Literasi Digital [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. [1] Literasi digital juga merupakan kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengkomunikasikan konten/informasi dengan kecakapan kognitif dan teknikal. [2] Digital literasi lebih cenderung pada hal hal yang terkait dengan keterampilan teknis dan berfokus pada aspek kognitif dan sosial emosional dalam dunia dan lingkungan digital. [3] Elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital:[1] •



Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;







Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;







Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;







Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;







Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;







Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;







Kritis dalam menyikapi konten; dan bertanggungjawab secara sosial



Prinsip dasar pengembangan literasi digital :[1] 1. Pemahaman untuk mengekstrak ide secara eksplisit dan implisit dari media 2. Saling ketergantungan antara media yang satu dengan media yang lain 3. Faktor sosial menentukan keberhasilan jangka panjang media yang membentuk ekosistem organik untuk mencari informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi dan akhirnya membentuk ulang media itu sendiri 4. Kurasi atau kemampuan untuk menilai sebuah informasi, menyimpannya agar dapat di akses kembali. Kerangka literasi digital Indonesia: 1. Proteksi (safeguard), yaitu perlunya kesadaran atas keselamatan dan kenyamanan pengguna internet, yaitu perlindungan data pribadi, keamanan daring serta privasi individu dengan layanan teknologi enkripsi sebagai salah satu solusi yang disediakan. 2. Hak-hak (right), yaitu hak kebebasan berekspresi yang dilindungi, hak atas kekayaan intelektual, dan hak berserikat dan berkumpul



3. Pemberdayaan (empowerment), yaitu pemberdayaan internet untuk menghasilkan karya produktif, jurnalisme warga, dan kewirausahaan serta hal -hal terkait etika informasi. [2]



Referensi[sunting | sunting sumber] 1.



^ a b c Literasi Digital (Gerakan Literasi Nasional). Jakarta: Sekretariat TIM GLN Kemdikbud. 2017. hlm. 8.



2.



^ a b Kerangka Literasi Digital. Jakarta: Kominfo Publisher. 2018. hlm. 4 5. ISBN 9786025132421.



3.



^ Lankshear, Colin.; Knobel, Michele. (2008). Digital literacies : concepts, policies and practices. NewYork: Peter Lang. ISBN 9781433101694. OCLC 213133349.



Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat. Namun, literasi informasi baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring. Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi.



Tiga aspek literasi digital: mengapa ponsel membuat Anda sulit fokus Januari 28, 2019 2.11pm WIB residen Joko Widodo baru-baru ini menyatakan perlunya meningkatkan literasi digital untuk masyarakat. Selain meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, literasi digital berguna untuk melawan informasi palsu dan berita bohong yang tersebar di internet. Sebanyak 65% dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa pengecekan ulang lebih dulu. Ini yang menyebabkan kebohongan menjadi mudah disebarkan oleh pengirim dan para penerimanya, seperti yang dibahas oleh pemenang Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 2002 Daniel Kahneman dalam karyanya Thinking, Fast and Slow. Literasi digital akan berguna untuk memeriksa akuntabilitas dan kebenaran dari sebuah informasi. Namun lebih dari itu, literasi digital adalah kompetensi esensial yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh pengakses internet. Dengan datangnya era internet untuk segala, yaitu perluasan koneksi internet ke pelbagai barang, tanpa kemampuan literasi digital pengguna internet akan kesulitan memanfaatkan informasi yang mereka dapatkan dan bahkan teralihkan fokusnya pada notifikasi-notifikasi yang mengganggu produktivitas mereka.



Manusia dalam hyperconnectivity Terminologi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi semakin ambigu dan memerlukan pendefinisian ulang hari ini. Betapa tidak, saat ini benda-benda seperti



jam tangan, mobil, lemari es, hingga spot area parkir juga dapat menghasilkan data dan informasi dalam format digital. Walau fungsi utama benda-benda ini bukan sebagai alat komunikasi, mereka sekarang juga dapat saling “berbicara” satu sama lain. Misalnya, lampu lalu lintas dapat secara otomatis mengatur durasi pergantian lampu berdasarkan sensor jalan. Jam tangan kita dapat bergetar bila masakan di dapur telah matang. Kondisi ini yang disebut berbagai pakar teknologi Luigi Atzori, Marina Pticek, dan Claudio Colleta sebagai era internet untuk segala (internet of things, IoT). Secara umum, internet untuk segala ditandai dengan perluasan konektivitas internet yang tidak lagi hanya menghubungkan laptop, tablet, atau seluler, melainkan juga bendabenda lain yang awalnya tidak digunakan sebagai alat komunikasi. Pada era internet untuk segala, beragam jurnal manajemen informasi dunia menganggap kehidupan masyarakat dewasa ini akan mengalami konektivitas hiper (hyperconnectivity). Keadaan ini menggambarkan kondisi ketika setiap teknologi mampu untuk menyimpan, menganalisis, dan mengatur data digital selama terhubung dalam jaringan internet. Dengan fitur kecerdasan yang saling berinteraksi ini, fungsi automasi dan interoperabilitas (kemampuan saling bekerja sama) dari sebuah teknologi akan semakin menguat. Hal ini sekaligus memengaruhi manusia untuk semakin bergantung dan mencandu ponsel pintar mereka. Notifikasi-notifikasi dari aplikasi pengingat, email, atau obrolan yang terus bermunculan sepanjang waktu akan mentransformasi bagaimana manusia, baik secara individu atau organisasi, berperilaku, bekerja, dan membuat keputusan). Cal Newport, profesor muda asal Georgetown University, dalam bukunya Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World mengatakan kemampuan fokus pada masa depan menjadi semakin langka di tengah maraknya notifikasi gawai yang adiktif. Semakin banyak aplikasi yang Anda unduh, maka semakin sulit pula untuk mengatasi adiksi terhadap pemakaian ponsel yang berlebihan.



Cakupan literasi digital Literasi digital cenderung dipahami secara sempit yang terbatas pada penguasaan dalam penggunaan teknologi saja. Literasi digital semestinya juga meliputi aspek-aspek kritis lain seperti kesadaran data (data awareness), kemampuan analisis data, dan kemampuan untuk fokus (deep work). Pertama, kesadaran data selama mengakses internet. Data menjadi sebuah komponen vital dalam setiap sistem aplikasi yang saling berinteraksi dan bertransaksi dalam dunia siber. Hanya dengan mendaftarkan diri ke sebuah platform, data kita akan secara otomatis disinkronisasikan ke dalam sistem. Misalnya, ketika mensinkronkan aplikasi WhatsApp ke Facebook, Anda harus sadar telah mengizinkan segala data percakapan dari akun Anda untuk dapat diakses oleh kedua platform media sosial tersebut. Walau pengguna akan mendapatkan beragam keuntungan dari proses sinkronisasi tadi, ada konsekuensi-konsekuensi lain yang harus dipertimbangkan. Misalnya, dengan



memberikan nomor rekening bank pada suatu perusahaan niaga elektronik, maka kita telah memberi persetujuan kepada pemberi layanan untuk menarik transaksi atau berlangganan rutin sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Hal ini berlaku pula pada data-data pribadi lain seperti nomor kartu tanda penduduk, nomor kepegawaian, alamat, dan kontak pribadi. Kedua, kita tidak hanya melek dalam memahami konsekuensi dari diseminasi data digital, tapi juga memahami data yang masuk agar menjadi informasi yang berguna. Pada era internet untuk segala, menjadi tantangan tersendiri untuk mencerna data yang masuk dengan volume, kecepatan, dan varietas yang besar. Analisis data berarti bagaimana kita berusaha menerjemahkan kondisi dari data yang ada dan membuat keputusan dengan lebih akurat. Contoh, statistik langkah kaki dan detak jantung yang direkam secara otomatis lewat jam tangan pintar akan meningkatkan kesadaran kita akan kebutuhan pola olahraga dan makan yang teratur. Kemampuan untuk memanfaatkan konektivitas hiper ini tentu juga memiliki dampak yang makro seperti pemerintah Kota Dublin yang menggunakan pendekatan tata kelola algoritmatik (algorhythmic governance) untuk mengatur transportasi massal berbasis data waktu nyata. Kedua aspek itu menunjukkan bahwa kemampuan penggunaan fitur digital belum secara otomatis membuat kita melek akan konsekuensi dan kegunaan dari data digital yang dihasilkan. Tanpa kemampuan untuk menerjemahkan data, maka menerima, memiliki, dan menyimpannya pun mungkin tidak akan ada gunanya. Ketiga, internet untuk segala bukan hanya identik dengan fenomena disrupsi, melainkan juga gejala distraksi yang ditimbulkan oleh penerimaan informasi dan data yang sangat besar, beragam, dan cepat. Argumen distraksi ini juga diperkuat oleh studi lembaga riset Qualtrics and Accel yang menemukan bahwa rata-rata generasi milenial mengecek telepon pintar mereka sebanyak 150 kali setiap hari. Perilaku ini menjadikan mereka tidak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di depan mata. Akibatnya, ponsel digital yang seharusnya membantu manusia untuk meningkatkan dan mempercepat produktivitas malah menjadi penghambat kinerja. Teknologi pada dasarnya diciptakan untuk memudahkan urusan manusia agar menjadi lebih efektif dan efisien. Namun, apa yang ditawarkan oleh fitur teknologi hari ini membutuhkan kompetensi khusus agar dapat mengoptimalkan fungsinya. Literasi digital sebagai kompetensi bukan hanya kemampuan penggunaan teknologi, tapi juga meliputi kemampuan menganalisis, berpikir kritis, sampai dengan kontrol dari penggunaannya yang adiktif. Karena bagaimana pun, bukankah ponsel pintar tidak seharusnya lebih pintar dari penggunanya?



LITERASI DIGITAL



Potret literasi digital pelajar di Indonesia   



13SEBARAN



Anindhita Maharrani18:16 WIB



- Selasa, 02 April 2019



Ilustrasi literasi digital. | Chaay_Tee /Shutterstock



Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menakar literasi digital pelajar di Indonesia lewat Gerakan Siberkreasi. Survei mereka menunjukkan beberapa fakta menarik.



Kemampuan membaca, menulis, dan matematika dianggap sebagai landasan dasar literasi seseorang. Literasi digital dikenal sebagai literasi keempat. Makna literasi di era kini belum lengkap jika seseorang tidak mampu mengakses dan membuat informasi digital. "Literasi adalah hal yang fundamental, hal yang strategis. Namun, literasi ini bukan pekerjaan yang mudah, karena memerlukan waktu yang lama,” kata Menkominfo Rudiantara di Jakarta, Senin (01/04). Untuk itu, Kemkominfo membuat gerakan Siberkreasi. Di dalamnya ada pemerintah, korporasi, swasta, operator telekomunikasi, NGO, Civil Society Organization (CSO), bahkan ada figur publik seperti selebritas. Siberkreasi Kemkominfo menggelar survei literasi digital di kalangan pelajar berusia 13 hingga 18 tahun. Survei dilakukan terhadap dua ribu responden pada September hingga November 2018. Survei dilakukan untuk menyusun indeks literasi digital remaja di tujuh kota besar tanah air. Pemilihan kota ini berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 tentang wilayah dengan penetrasi internet atau teknologi digital di atas 70 persen. Pada fase pertama, survei digelar di empat kota, Bandung, Surabaya, Pontianak, dan Denpasar. Selanjutnya survei fase kedua akan dihelat di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar. Ada delapan komponen literasi digital yang dinilai. Termasuk di dalamnya, Functional Skill and Beyond, Creativity, Collaboration, Communication, The Ability to Find and Select Information, Critical Thinking and Evaluation, Cultural and Social Understanding, dan E-Safety. Dari delapan komponen yang dinilai, para pelajar mendapat skor tertinggi dalam kemampuan menemukan dan memilah informasi. Remaja di kota Bandung mendapat nilai 85,02, disusul Denpasar dengan nilai 84,08, Pontianak 84,36, dan Surabaya 81,90. Menurut Ketua Divisi Riset Siberkreasi Catur Nugroho, hal ini baik. Namun, ia menyayangkan rendahnya nilai komponen kreativitas. Catur menilai, ini karena para pelajar kurang difasilitasi dalam mengembangkan dan mengasah kreativitas di sekolah, pun di rumah. "Bagaimana mereka bisa berkreativitas memproduksi secara kreatif untuk membagikan konten. Dari 8 komponen itu, creativitypaling rendah," ujar Catur.



Temuan lain yang juga menarik adalah perihal kemampuan para pelajar menggunakan teknologi digital yang ternyata didapat secara otodidak. Baru kemudian mereka mendapat pengetahuan itu dari keluarga, teman, sekolah, dan cara lain. "Jadi di Bandung tuh 74,6 persen kemudian Denpasar 62 persen, Pontianak 72 persen, dan Surabaya 57 persen. Jadi mereka kebanyakan secara rata-rata 4 kota ini otodidak. Dan itu paling tinggi untuk bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan tentang teknologi digital," urai Catur. Melihat temuan ini Rudiantara menyampaikan kritiknya. "Kita harus lihat efektivitas dari sebuah program. Kita banyak upaya meliterasi digital masyarakat, salah satunya lewat Siberkreasi. Kita lihat tadi berapa persen yang lakukan otodidak. Artinya, apa yang kita lakukan itu belum sampai," tukasnya. Karena itu, pihaknya akan meninjau ulang program literasi yang sudah dilakukan Kemkominfo. "Makanya, kita minta review semua program, mana yang efektif. Kalau yang efektif otodidak, ya sudah kita kerja sama dengan operator, karena masyarakat mengakses internet lewat ponsel," jelas Rudiantara. Kini, literasi digital bisa jadi alat yang sangat efektif dan progresif untuk mempromosikan pengalaman belajar lebih menarik dan interaktif. Jadi, anak-anak bisa memperoleh manfaat dari literasi digital, baik di sekolah maupun di rumah. Memperkenalkan anak-anak pada teknologi digital bisa membantu membekali mereka dengan banyak keterampilan berharga dan pengetahuan progresif yang akan berguna baik sekarang maupun di masa yang akan datang.