LP Bibir Sumbing New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS



ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BIBIR SUMBING (LABIOPALATOSCHISIS) DI RUANG TULIP RUMAH SAKIT PARU JEMBER



oleh Ekfatil Mardiyah NIM 152310101120



FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2018



i



LEMBAR PENGESAHAN



Laporan kasus aplikasi klinis yang dibuat oleh: Nama



: Ekfatil Mardiyah



NIM



: 152310101120



Judul



: LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN BIBIR SUMBING



(LABIOPALATOSCHISIS)



DI



RUANG



TULIP



RUMAH SAKIT PARU JEMBER telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada: Hari



: Jumat



Tanggal : 19 Januari 2018



Jember, 19 Januari 2018



TIM PEMBIMBING Pembimbing Akademik,



Pembimbing Klinik,



__________________________



_________________________



NIP..............................................



NIP............................................



ii



DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL...............................................................................i LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................ii DAFTAR ISI..............................................................................................iii BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT...................................................1 1.1



Anatomi Fisiologi Mulut.............................................................1



1.2



Definisi Penyakit..........................................................................4



1.3



Epidemiologi................................................................................4



1.4



Etiologi ........................................................................................5



1.5



Klasifikasi ...................................................................................6



1.6



Patofisiologi.................................................................................8



1.7



Manifestasi Klinis........................................................................8



1.8



Pemeriksaan Penunjang...............................................................9



1.9



Penatalaksanaan Medis..............................................................10



1.10 Pathway......................................................................................12 BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN BIBIR SUMBING...13 2.1 Pengkajian.....................................................................................13 2.2 Diagnosa........................................................................................16 2.3 Intervensi ......................................................................................17 2.4 Discharge Planning.......................................................................22 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................23



iii



BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT



1.1 Anatomi Fisiologi Bibir terdiri dari 3 bagian kutaneus, vermilion, dan mukosa.Bibir bagian atas disusun 3 unit kosmetik yaitu 2 lateral dan 1 medial. Cupid bow adalah proteksi ke bawah dari unit philtrum yang member bentuk bibir yang khas. Proyeksi linear tipis yang member batas bibir atas dan bawah secara melingkar pada batas kutaneus dan vermilion disebut white roll. Menurut The American Joints Comittee on Cancer, bibir merupakan bagian dari cavum oris, mulai dari perbatasan vermilion-kulit dan meliputi seluruh vermilion saja. Tetapi para ahli bedah menyebutkan bahwa bibir atas meliputi seluruh area di bawah hidung, kedua lipatan nasolabialis, kemudian intra oral sampai sulcus ginggivolabialis, dan bibir bawah meliputi vermilion, lipatan labiomentalis sampai sulcus ginggivolabialis intraoral.



Anatomi topografik bibir. 1) Phitral column, 2) Phitral groove, 3) Cupid’s bow 4) White roll upper lip, 5) Tuberculum, 6) Commissura, 7) Vermilion Bibir atas yang normal mempunyai otot orbicularis oris utuh, 2 buah philtrum ridge yang sejajar dan sama panjang dengan di tengahnya terbentuk philtrum dimple. Disamping itu mempunyai cupid bow, di bagian permukaan mempunyai vermilion yang simetris (milard). Vaskularisasi berasal dari a. labialis superior



iv



dan inferior, cabang dari a. facialis. Arteri labialis terletak antara m.orbicularis oris dan submukosa sampai zona transisi vermilion-mukosa. Innervasi sensoris bibir atas berasal dari cabang N.cranialis V (N.Trigeminus) dan N.Infraorbitalis. Bibir bawah mendapat innervasi sensoris dari N.Mentalis. Pengetahuan innervasi sensoris ini penting untuk melakukan tindakan blok anastesi. Innervasi motoric bibir berasal dari N.Cranialis VII (N.Facialis). Ramus buccalis N. Facialis menginnervasi m. orbicularis oris dan M. Elevator Labii. Ramus mandibularis N. Facialis menginnervasi m.orbicularis oris dan m.depressor labii.12 Muskulus utama bibir adalah m. orbicularisoris yang melingkari bibir. Muskulus ini tidak melekat pada tulang, berfungsi sebangai sfingter rima oris. Dengan gerakan yang kompleks, muskulus ini berfungsi untuk puckering, menghisap, bersiul, meniup dan menciptakan ekspresi wajah. Kompetensi oris dikendalikan oleh m. orbicularisoris, dengan muskulus ekspresi wajah lainnya daerah otot ini dikenal dengan istilah modiolus. Langit-langit mulut membentuk batas dinamis antara rongga mulut dan rongga hidung. Ini terdiri dari anterior palatum durum dan posterior palatum molle. Palatum molle mulut adalah struktur dinamis yang berfungsi sebagai katup antara oropharynx dan nasofaring. Platum yang intak dapat secara berkala, selektif, dan benar-benar mengisolasi nasofaring dari oropharynx. Palatum molle yang utuh penting untuk untuk bicara dan makan yang normal. Palatum durum terdiri dari palatum bertulang dan mukosa yang melekat secara utuh kepada periosteum. Palatum durum bertulang ini terdiri dari pasangan prosesus palatina maksilla dan porsi horizontaldari tulang palatina. Bagian ujung alveolar dari maksila menunjukkan bahgian anterior dan batas lateral palatum durum. Aspek posterior dikenal sebagai ujung bebas karena tidak memiliki sebarang tulang. Dari tepi batas ini palatum molle menempel pada palatum durum. Palatum terdiri dari palatum durum dan palatum molle yang bersama-sama membentuk atap mulut dan dasar hidung. Prosesus palatina dari maksila dan lamina horizontal dari tulang palatine membentuk palatum durum. Suplai darah



v



palatum berasal dari arteri maksilaris interna, arteri palatina yang lebih besar memperdarahi palatum durum, arteri palatina yang lebih kecil memperdarahi palatum molle Palatum molle juga dikenali sebagai velum. Persarafan berasal dari nervus palatina inferior dan nervus nasopalatina. Palatum molle terjadi dari jaringan fibromuskular yang terdiri dari otot-otot yang saling melekat pada bagian posterior palatum durum. Bagian ini menutup nasofaring dengan menekan dan mengangkat, dengan cara ini berhubungan dengan sisi passavants di posterior. Palatum molle terdiri dari tensor velli palatini, levator velli palatini, muskulus uvula, palatoglosus, dan muskulus palatofaringeus. Mukosa dari palatum molle menempel pada anterior palatum durum dan ke lateral dinding faringeal. Sisi posterior palatum molle bebas dari sembarang pelengketan. Otot dari paltum molle secara selektif dapat mengisolasi nasofaring dari oropharynx. Ketika bernapas, tepi posterior palatum molle berada dalam posisi hampir vertikal. Hal ini memungkinkan komunikasi antar kavitas oral dan kavitas nasal, diamana memfasilitasi pernafasan pada nasal. Sebaliknya selama berbicara dan menelan otot dari palatum molle berkontraksi dan menarik palatum molle ke arah yang lebih horizontal yang menghubungkan faringeal posterior. Palatum molle terdiri dari lima pasangan otot dan pusat aponeurosis. Pasangan otot uvula berasal dari posterior tulang belakang hidung dan dimasukkan di anak uvula. Tensor veli palatini yang berasal dari dinding lateral tuba Eustachian. Ia menjadi tendon yang sempit dimana secara lateral melengkung hamulus sebelum bergabung palatum molle sebagai tendon triangular yang luas. Didalam palatum molle, fiber tensor veli palatini berjalan lateral ke medial. Kontraksi otot ini menghasilkan sebuah kekuatan lateral yang mengeraskan palatum molle. Tensor veli palatini adalah pembuka utama tuba estachius. Levator veli palatini berasal dari aspek medial tuba Eustachii dan pada permukaan inferior dari tulang temporal. Ini menyebabkan penyisipan secara anterior dan inferior di permukaan atas palatum molle. Kontraksi levator veli palatini menaikkan palatum molle dan menutup nasofaring. Dua pasang otot terakhir yang berkontribusi



vi



terhadap palatum molle adalah otot palatoglossus dan palatopharyngeus. Palatoglossus bersama-sama dengan mukosa atasnya membentuk tiang anterior tonsillar. Palatoglossus memanjang dari inferior lidah ke superior palatum molle. Palatoglossus berfungsi sebagai sfingter untuk mencegah regurgitasi oral selama menelan makanan. Pasangan otot palatopharyngeus berjalan dari lateral dinding faring ke palatum molle. Palatopharyngeus bersama-sama dengan mukosa membentuk tiang posterior tonsilar. Palatoglossus mengangkat laring selama menelan untuk membantu mencegah aspirasi. 1.2 Definisi Labiopalatoschisis atau bibir sumbing merupakan deformitas daerah mulut berupa celah atau dumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa perkembangan embrional dimana bibir atas bagian kanan dan kiri tidak tumbuh bersatu.(Vivian Nanay LD, 2010). Labiopalatoschisis atau bibir sumbing merupakan cacat bawaan berupa celah pada bibiar atas, gusi, rahang, dan langit-langit (Fitri Purwanto, 2001). Labiopalatoschisis atau bibir sumbing merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut palate schiziz (sumbing palatum) labio schizis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio (Hidayat, 2005).



1.3 Epidemiologi Insidensi terjadinya celah rongga mulut di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 700 kelahiran. Celah ini berhubungan dengan predileksi ras, dimana lebih sedikit terjadi pada kulit hitam dan banyak terjadi pada orang Asia dan penduduk asli Amerika. Laki-laki lebih banyak menderita orofaacial cleft dipbandingkan wanita dengan rasio 3 : 2. Celah bibir palatum terjadi dua kali lebih banyak pada pria dibanding wanita ( Elis, 2003). Sedangkan menurut Cummings (1993) insidensi celah bibir dan palatum adalam 1/1000 kelahiran, dan 35% - 55% adalah vii



celah palatum. Menurut Margulis (2002) insidensi celah palatum di Asia rasionya adalah 0.45-0.5/1000 kelahiran. Celah palatum terjadi oleh karena suatu kegagalan penyatuan dua proses maksilaris kiri dan kanan atau kegagalan penyatuan prosesus fronto nasalis pada saat perkembangan janin Di Indonesia, jumlah tertinggi penderita kelainan ini terbanyak di Nusa Tenggara Timur yaitu 6 sampai 9 orang per 1000 penduduk. Jumlah ini sangat tinggi bila dibandingkan kasus di Internasional yang hanya 1 sampai 2 orang per 1000 penduduk. 1.4 Etiologi Belum di ketahui pasti. Hipotesis yang di ajukan antara lain : 1. Faktor genetik Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. 2. Faktor Non-Genetik Faktor non-genetik memegang peranan penting dalam keadaan krisis dari penyatuan bibir pada masa kehamilan. Beberapa hal yang berperan penyebab terjadinya celah bibir : a.



Defisiensi nutrisi Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyebab terjadinya celah.



b. Zat kimia Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan trimester pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat yang



viii



bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitonin, serta alkohol, kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid. c. Virus rubella Virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, tetapi hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan celah. d. Trauma Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat



menyebabkan



terjadinya



celah.



Stress



yang



timbul



menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone (ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan. 1.5 Klasifikasi Jenis belahan pada labioskizis dan labiopalatoskizis dapat sangat bervariasi, bisa mengenal salah satu bagain atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum, serta palatum mlle. Suatu klasifikasi membagi struktur-struktur yang terkena menjadi beberapa bagian berikut. 1. Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus, dan palatum durum di belahan foramen insisivum. 2. Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap foramen. 3. Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan juga bisa berupa unilateral atau bilateral. 4. Terkadang terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.



ix



Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui : 1) Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. 2) Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. 3) Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memnajang hingga ke hidung



1.6 Patofisiologi Labioskizis terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan frominem maksilaris dengan frominem medial yang diikuti disrupsi kedua bibir rahang dan palatum anterior. Masa krisi fusi tersebut terjadi sekitar minggu keenam



x



pascakonsepsi. Sementara itu, palatoskizis terjadi akibat kegagalan fusi dengan septum nasi. Gangguan palatum durum dan palatum molle terjadi pada kehamilan minggu ke-7 sampai minggu ke-12. Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya mesoderm, pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (proses nasalis dan maksilaris) pecah kembali. Labioskizis terjadi akibat fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominan nasalis dan maksilaris dengan prominan nasalis medial yang diikuti disfusi kedua bibir, rahang dan palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi septum nasi. Gangguan fusi palatum durum serta paltum molle terjadi sekitar kehamilan ke- 7 sampai 12 minggu. 1.7 Manifestasi Klinis Biasanya, sebuah celah atau takik di bibir atau palatum segera dapat diidentifikasi ketika lahir. Celah dapat muncul sebagai takik kecil pada bibir atau dapat meluas dari bibir melewati gusi atas dan palatum. Lebih jarang lagi, celah muncul hanya pada otot palatum molle (celah submukosa), yang terletak di belakang mulut dan ditutupi oleh garis mulut. Karena letaknya yang tersembunyi, tipe celah seperti ini hanya dapat didiagnosa setelah beberapa saat lamanya. Ada beberapa gejala : 1. Terjadi pemisahan bibir dan langit – langit. 2. Infeksi telinga berulang. 3. Berat badan tidak bertambah. 4. Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya air susu dari hidung.



1.8 Pemeriksaan Penunjang A. Ultrasonografi Ultrasonografi, sebagai metode pencitraan utama, pemeriksaan yang menunjukkan kondisi janin saat itu, selain itu mudah untuk dilakukan dan



xi



tidak mahal. Namun, pemeriksaan menggunakan sonografi pada masa prenatal dengan bibir sumbing dan palatum dapat menjadi sulit karena ‘membayangi’ dari struktur tulang di sekitarnya. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa kebanyakan pemeriksaan anatomi dengan menggunakan pencitraan dua dimensi transabdominal menggunakan 3,5- to-5 MHz transduser yang dapat menunjukkan kejadian bibir sumbing pada janin dari usia kehamilan 16 minggu dengan akurat. Namun, pemeriksaan untuk mendeteksi beberapa kelainan sumbing, seperti pada sumbing bibir atau palatum terisolasi, tidak terlalu menggambarkan hasil baik. B. 3-Dimensi atau 4-Dimensi USG dan MRI Pada pencitraan di wajah memiliki keuntungan untuk dapat melihat tingkat midline-anomaly yang kompleks, yang mungkin terbatas jika dilakukan pada pencitraan gambar dua dimensi biasa. 70 Studi lain mengatakan bahwa MRI mampu untuk menentukan tingkat keterlibatan posterior palatum dan penyebaran ke arah lateral sumbing pada CL/P (Cleft lip with or without palate) atau CP (Cleft palate) mempunyai akurasi diagnostik lebih tinggi dari pemeriksaan. ultrasound. Selain itu, MRI menyajikan secara lengkap struktur kepala janin dan biometrik perkembangan tulang wajah, sehingga memungkinkan deteksi dini potensi untuk terjadinya kelainan sindrom. Penelitian lain berpendapat bahwa MRI pada diagnosis prenatal untuk mengevaluasi palatum primer dan sekunder. C. Chorionic Villus sampling Prosedur ini melibatkan aspirasi jaringan plasenta. Pemeriksaan ini untuk mendeteksi kelainan genetik pada janin selama masa kehamilan berlangsung. Pemeriksaan chorionic villus sampling ini biasa digunakan dengan bantuan USG dalam mendeteksi risiko fetus mengalami kelainan sindroma dan dari aspirasi jaringan plasenta janin ini merupakan pemeriksaan definitif untuk mengetahui adanya kelainan kromosom pada bayi.



xii



1.9 Penatalaksanaan 1.9.1



Keperawatan Masalah yang dapat terjadi adalah resiko tersedak. Ibu harus dilatih untuk memberikan asi, yang harus diberikan secara hati – hati dan sering beristirahat jika tetap mengalami kesukaran. Asi dapat di pompa dan diberikan dengan sedotan sedikit – sedikit. Perhatikan agar pompa payudara dan gelas penampung asi selalu diseduh agar tidak terjadi terkontaminasi.



1.9.2



Medis -



Tindakan operasi pertama di kerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria tube of ten yaitu umur > 10 minggu (3 bulan) > 10 pon (5 kg), > 10 gr/dl, leukosit > 10.000/ui.



-



Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langitan (palatolasti0. di kerjakan sedini mungkin (15-24bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara.



-



Setelah operasi, anak dapat belajar dari orang lain atau melakukan spech therapist untuk melatih atau mengajar anak bicara dengan normal.



-



Pada umur 8-9 tahun dilakukan operasi penambahan tulang



pada



celah



alveolus



/



maksila



untuk



memungkinkan



ablioefodenti mengatur pertumbuhan gigi di kanan-kiri celah supaya normal. 1.9.3 -



Pencegahan infeksi. Menaati praktek pencegahan infeksi terutama kebersihan tangan serta memakai sarung tangan.



-



Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda kotor,ikuti dengan sterilisasi dan desinfeksi tingkat tinggi.



xiii



-



Selalu memperhatikan teknik aseptik sewaktu melakukan tindakan yang bersifat infasif seperti : suction endotracheal,melakukan penyuntikan obatobat pada akses perifer maupun vena central, pemasangan kateter urine,dll.



xiv



1.10 Pathway



Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang



Toksikosis selama kehamilan



Infeksi



Kegagalan fungsi palatum pada garis tengah



Genetik



Kegagalan fungsi palatum dengan septum nasi



Adanya sumbing pada bibir dan palatum Adanya gangguan anatomiadanya nasofaring adanyamenerima, garis jahit ggu akibat Bayi adanya rewel,patoogis, ,menangis, pucat, tidak tugor dapat kulit Adanya beristirahat jelek, disfungsi kulitdengan kering, tubatenang perut eustachius kembung, dan nyaman, yang BB dapat menurun sulit mengakibatkan mengisap danterjadinya menelan ASI otitis media serta gangguan pendenaran, sifat ,kurang



Gangguan rasa nyaman nyeri



Resiko tinggi trauma sisi pembedahan tidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Resiko perubahan menjadi orangtua



15



BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN BIBIR SUMBING



2.1 Pengkajian a) Biodata pasien dan biodata penanggung jawab b) Riwayat kesehatan masa lalu Pasien menderita insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional. c) Riwayat kesehatan sekarang Pengaruh obat tetatologik termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal,kecanduan alkohol. d) Riwayat keluarga Anggota keluarga ada yang bibir sumbing. e) Pemeriksaan Fisik 1. Mata 



Keadaan konjungtiva







Keadaan sclera







Keadaan lensa



2. Hidung 



Kemampuan penglihatan kepekaan penciuman







Adanya polip/hambatan lain pada hidung, adanya pilek.



16



3. Mulut dan Bibir 



Warna bibir







Apakah ada luka







Apakah ada kelainan



4. Leher 



Keadaan vena jugularis







Apakah ada pembesaran kelenjar.



5. Telinga 



Bentuk telinga







Kepekaan pendengaran







Kebersihan telinga



6. Dada 



Bentuk dan irama napas







Keadaan jantung dan paru-paru



7. Abdomen 



Ada kelainan atau tidak







Bentuknya supel atau tidak



8. Genitalia 



Kebersihan daerah genetalia



17







Ada edema atau tidak







Keadaan alat genetalia



9. Ekstermitas atas dan bawah 



Bentuknya normal atau tidak







Tonus otot kuat atau lemah



10. Kulit



f)







Warna kulit







Turgor kulit



Pengkajian Perpola a. Aktivitas / istirahat 



Sulit mengisap Asi







Sulit menelan Asi







Bayi rewel,menangis







Tidak dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman



b. Sirkulasi 



Pucat







Turgor kulit jelek c. Makanan / cairan -



Berat badan menurun



18



-



Perut kembung



-



Turgor kulit jelek, kulit kering



d. Neurosensori - Adanya trauma psikologi pada orang tua - Adanya sifat kurang menerima, sensitif e. Nyaman / nyeri - Adanya resiko tersedak - Disfungsi tuba eustachi - Adanya garis jahitan pada daerah mulut 2.2 Diagnosa 1. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defek fisik 2. Resiko tinggi perubahan menjadi orang tua b/d bayi dengan defek fisik yang sangat terlihat 3. Resiko tinggi trauma sisi pembedahan b/d prosedur pembedahan 4. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d insisi bedah 5. Resiko tinggi infeksi b/d terpaparnya linkungan dan prosedur invasi



19



2.3 Intervensi Diagnosa



Tujuan dan Kriteria Hasil



Keperawatan Kebutuhan nutrisi Setelah



(NOC) mendapatkan



kurang dari kebutuhan tindakan tubuh b/d defek fisik



keperawatan



Intervensi 1. Bantu



ibu



menyusui,



dalam bila



ini



selama 2 x 24 jam di



adalah keinginan ibu.



harapkan kebutuhan nutrisi



Posisikan dan stabilkan



dapat teratasi



puting susu dengan baik



Kriteria Hasil :



di dalam rongga mulut.







tidak pucat







turgor



 



2. Bantu kulit



menstimulasi



refleks ejeksi Asi secara



membaik



manual / dengan pompa



kulit lembab, perut



payudara



tidak kembung



menyusui



bayi



menunjukan



penambahan



berat



badan yang tepat.



3. Gunakan



sebelum alat



makan



khusus,



bila



menggunakan alat tanpa puting.



(dot,



spuit



asepto) letakan formula di belakang lidah 4. Melatih



ibu



untuk



memberikan Asi yang baik bagi bayinya 5. Menganjurkan untuk



tetap



ibu menjaga



kebersihan, apabila di pulangkan 6. Kolaborasi dengan ahli



20



gizi. Resiko perubahan orang



tua



tinggi Setelah



mendapatkan



menjadi tindakan



keperawatan



b/d



untuk mengekspresikan



bayi selama 1 x 24 jam di



dengan defek fisik yang harapkan sangat terlihat



1.



resiko



tinggi



perasaan 2.



perubahan menjadi orang



penerimaan



tua tidak terjadi



bayi dan keluarga



Kriteria Hasil : 



3.



pasien dan keluarga



perilaku bahwa anak



menunjukan



adalah manusia yang



penerimaan terhadap



berharga 4.



bayi 



terhadap



keluarga



perbaikan



bedah



mendiskusikan



terhadap



defek,



perasaan



gunakan



dan



hasil



yang memuaskan



kekhawatiran mengenai



foto



defek



5.



anak,



dengan orang tua lain



perbaikannyadan



yang



proses masa depan



pengalaman serupa dan dapat



mempunyai menghadapinya



dengan baik. 6. untuk selalu menjaga kesehatan bayinya



Resiko tinggi trauma Setelah



mendapatkan 1. Beri posisi leher yang



sisi pembedahan



keperawatan



b/d tindakan



21



miring atau duduk



prosedur pembedahan



selama 3 x 24 jam di 2. Pertahankan harapkan



pelindung



bibir.



pembedahan tidak terjadi



Gunakan



teknik



Kriteria Hasil :



pemberian



makan







trauma



sisi



alat



Bayi tidak rewel



3. Gunakan paket restrain



dan menangis 



Bayi



dapat



beristirahat



nontraumatik. pada bayi



dengan 4. Hindarkan



tenang dan nyaman,



menempatkan objek di



dapat menelan Asi



dalam



dengan baik.



perbaikan



mulut



setelah kateter



mengisap. Spatel lidah sedalam



dot



atau



pendek kecil. 5. Jaga agar bayi tidak menangis dengan jelas dan terus menerus 6. Bersihkan garis jahitan dengan perlahan setelah memberi jika



makan



perlu



dan sesuai



instruksi dokter 7. Ajar



tentang



pembersihan prosedur



dan restrain



khususnya bila bila bayi akan sebelum



22



di



pulangkan jahitan



di



lepas. Gangguan rasa nyaman Setelah



mendapatkan Observasi



nyeri b/d insisi bedah



keperawatan



1. Kaji tanda-tanda vital,



selama 2 x 24 jam di



perhatikan tackikardi



harapkan



dan



tindakan



masalah



nyeri



dapat terkontrol



peningkatan



pernapasan.



Kriteria Hasil :



2. Kaji



penyebab







Bayi tidak rewel



ketidaknyamanan







Tidak menangis



yang mungkin selain







Bayi



dari prosedur operasi



tampak



nyaman dan istirahat dengan tenang.



3. Kaji skala nyeri, catat lokasi, intensitas nyeri Mandiri 4. Anjurkan untuk



keluarga melakukan



masase ringan Penkes 5. Jelaskan orangtua atau keluarga untuk terlibat dalam perawatan bayi 6. Kolaborasi, analgesik



berikan /



sesuai instruksi.



Resiko tinggi infeksi Setelah



mendapatkan Observasi



23



sedatif



b/d



terpaparnya tindakan



linkungan dan prosedur selama invasi



keperawatan 1. Kaji tanda-tanda vital. 3



x



24



jam



diharapkan masalah resiko 2. Kaji tanda-tanda infeksi tinggi infeksi tidak terjadi Kriteria Hasil :



Mandiri



- Luka sembuh dan tidak 3. Jaga area kesterilan luka tertutup kasa



operasi 4. Lakukan aseptik dan desinfeksidalam perawatan luka 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah



melakukan



tindakan perawatan luka. Penkes 6.



Menjelaskan



kepada



keluarga



untuk



menciptakan



lingkungan



yang bersih dan bebas dari kontaminasi dari luar 7.



Menjelaskan



keluarga



untuk



kepada menjaga



kebersihan luka Kolaborasi 8. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat yang



24



sesuai (antibiotik )



25



2.4 Discharge Planing 1. Berikan dukungan emosional dan tenangkan ibu beserta keluarga. 2. Jelaskan kepada ibu bahwa sebagian besar hal penting harus dilakukan saat ini adalah memberi makanan bayi guna memastikan pertumbuhan yang adekuat sampai pembedahan yang dilakukan. 



Jika bayi memiliki sumbing tetapi palatumnya utuh, izinkan bayi berupaya menyusu.







Jika bayi berhasil menyusu dan tidak terdapat masalah lain yang membutuhkan hospitalisasi, pulangkan bayi. Tindak lanjuti dalam satu minggu untuk memeriksa pertumbuhan dan penambahan berat badan.



3. Jika bayi tidak dapat menyusu dengan baik karena bibir sumbing,berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir). 4. Jika bayi memiliki celah palatum, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir). 5. Ketika bayi makan dengan buruk dan terjadi penurunan berat badan, rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau pusat spesialisasi, jika memungkinkan untuk pembedahan guna memperbaiki celah tersebut. 6. Segera setelah sadar, penderita diperbolehkan minum dan makan makanan cair sampai 3 minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga higiene oral bila anak sudah mengerti. Bagi anak yang masih kecil biasakan setelah makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama 3 hari.



26



DAFTAR PUSTAKA



Doengoes Marlin. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC Hopper RA, Cutting C, Grayson B. (2007). Cleft Lip and Palate. In: Thorne CH, Beasley RW, Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL, editors. Grabb& Smith’s Plastic Surgery 6th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins;.p. 201-205. Marzoeki D, Jailani M, Perdanakusuma DS. (2002). Teknik Pembedahan Celah Bibir Dan Langit-Langit. Jakarta:Sagung Seto. Ngastinya. (2005). Perawatan anak sakit edisi 2. Jakarta : EGC



27