LP Fraktur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR DIGIT V METACARPAL SINISTRA DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT



Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Program Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis”



OLEH: MUHAMMAD ARYADIE, S.Kep NIM 19.31.1517



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) CAHAYA BANGSA BANJARMASIN 2020



LEMBAR PENGESAHAN FRAKTUR DIGIT V METACARPAL SINISTRA DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT



OLEH: MUHAMMAD ARYADIE, S.Kep NIM 19.31.1517



Kapuas , September 2020 Mengetahui, Preseptor Akademik



( Agustina Lestari,S.Kep, Ns )



LAPORAN PENDAHULUAN



PreseptorKlinik



FRAKTUR 1. DEFINISI Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada tulang panjang atau femur Definisi lain fraktur sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut: a. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2001). c. Fraktur tulang adalah patah pada tulang (Corwin, 2009). 2. ETIOLOGI Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur patologis) fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau indivisu yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang,



biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang baru (Corwin, 2009). Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. MEKANISME FRAKTUR 1) Trauma (benturan) Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu: a. Benturan langsung b. Benturan tidak langsung c. Gaya Puntir 2) Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur (patah tulang) yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulangtulang pada betis) atau metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin terjadi patah tulang di daerah tertentu. 3) Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor maka dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang pada orang normal belum dapat menimbulkan fraktur. JENIS-JENIS FRAKTUR Untuk lebih sistematisnya, fraktur dapat dibagi sebagai berikut: 1) Lokasi Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi. 2) Luas Terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak lengkap.



a. Fraktur komplet: fraktur yang mengenai tulang secara keseluruhan dan biasanya mengalami pergeseran. b. Fraktur inkomplet: fraktur yang mengenai tulang secara parsial atau sebagian dari garis tengah tulang, seperti: o Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang/patah retak rambut) o Buckle fraktur / torus fraktur (bila terjadi satu lipatan, satu korteks dengan komprea tulang spongiosa dibawahnya) o Greenstick fraktur (mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak) (Smeltzer & Bare, 2001; Corwin, 2009). Fraktur tidak lengkap contohnya adalah retak. c. Konfigurasi Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik (miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif. d. Hubungan antar bagian yang fraktur. Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced). e. Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar. Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar. Fraktur terbuka digradasi menjadi:  Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya.  Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.



 Grade III: sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif (Smeltzer & Bare, 2001)  f. Komplikasi



Fraktur dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot,sendi, dll atau tanpa komplikasi. g. Berdasarkan Pergeseran Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi pergeseran searah sumbu dan overlapping, pergeseran membentuk sudut, dan pergeseran di mana kedua fragmen saling menjauhi. Fraktur tidak bergeser: garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2001). Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma  Garis patah melintang (transversal)



:



Trauma



angulasi



atau



langsung  Garis patah oblique



: Trauma angulasi, garis patah miring



 Garis patah spiral



: Trauma notasi,garis patah melingkari



tulang  Fraktur kompresi



: Trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa



 Fraktur avulse : Trauma tarikan, fraktur patella Fraktur jari-jari tangan terbagi atas 3 : a) Baseball finger (mallet finger) : fraktur ujung jari yang dalam keadaan tibatiba fleksi pada sendi interfalang karena trauma. b) Boxer fracture (street fighter’s fracture) : fraktur kolum metacarpal V terjadi karena tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal. c) Fraktur bennet : fraktur dislokasi basis metacarpal I (arief mansjoer . 2000) 3. TANDA DAN GEJALA Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata. Nyeri bisa sangat hebat dan biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan. Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri. Alat gerak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat menggerakkan lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan tangannya. Darah bisa merembes dari



tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat cedera. Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya: a. Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam seperti pada tulang leher atau tulang paha. b. Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar), atau pemendekan. c. Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur. Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain: a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. 4. PATOFISIOLOGI Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast



terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).



PATHWAY



5. PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua sisi, dan dua tulang (kanan dan kiri). Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan. 6. PENATALAKSANAAN Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya.



Proses penyembuhan



memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi. Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan. Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang selangka (terutama pada anak-anak), tulang bahu, tulang iga, jari kaki dan jari tangan, akan sembuh sempurna. Patah tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (imobilisasi). Imobilisasi bisa dilakukan melalui: 1) Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang. 2) Pemasangan gips: merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. 3) Penarikan (traksi): menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang pinggul. 4) Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi. Imobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan



menciut. Karena itu sebagian besar penderita perlu menjalani terapi fisik. Terapi dimulai pada saat imobilisasi dilakukan dan dilanjutkan sampai pembidaian, gips atau traksi telah dilepaskan. Pada patah tulang tertentu (terutama patah tulang pinggul), untuk mencapai penyembuhan total, penderita perlu menjalani terapi fisik selama 6-8 minggu atau kadang lebih lama lagi. Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah: 1) Untuk menghilangkan rasa nyeri Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips. 2) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri. 3) Agar terjadi penyatuan tulang kembali. Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang



terdapat



gangguan



dalam



penyatuan



tulang,



sehingga



dibutuhkan graft tulang. 4) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin. Menurut Smeltzer dan Bare (2001), prinsip-prinsip tindakan terhadap fraktur: 1. Recognisi/pengenalan



Pengenalan mengenai diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di RS Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang berperan, menentukan kemungkinan tulang yang patah dan pemeriksaan yang spesifik untuk frakture. 2. Reduksi (Setting Tulang) Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Dapat dibedakan menjadi : a.



Reduksi tertutup Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujungujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi traksi manual (ex: gibs).



b.



Traksi Digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi beratnya traksii disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.



c.



Reduksi terbuka Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fikasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan sampai penyembuhan tulang terjadi.



3. Imobilisasi Fraktur Sebuah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi (dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran dapat dilakukan dengan metode fiksasi eksterna dan interna. a.



Metode fixasu eksterna : pembalutan, gibs, bidai, traksi, kontinu (dengan plester felt pada kulit), pin fiksator eksterna.



b. Metode fikasi interna : inplant logam 4. Restorasi (Pemulihan Fungsi) dan Rehabilitasi Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan otot. Dapat dilakukan dengan: a.



Latihan isometrik dan setting otot: untuk meminimalkan atropi disease dan meningkatkan peredaran darah.



b.



Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal



c.



Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.



d.



Periode ini dimudahkan dengan bantuan fisioterapi.



PENYEMBUHAN Secara rinci proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1) Fase hematoma Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan pembengkakan jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.Pada ujung tulang yang patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur tersebut. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam. 2) Fase proliferative Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel-sel periosteal dan endoosteal



menjadi



fibro



kartilago



yang



berasal



dari



periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Kemudian, hematoma akan terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan dari bone marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam satu preses yang sama, proses terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang tersebut sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Pada saat ini mungkin tampak di beberapa tempat pulau-pulau kartilago, yang



mungkin banyak sekali,walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan tulang. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3) Fase pembentukan callus Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan disini tulang menjadi osteoporotik akibat resorbsi kalsium untuk penyembuhan. Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast yang mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sel-sel osteoblas mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari kolagen dan polisakarida, yang segera bersatu dengan garam-garam kalsium, membentuk tulang immature atau young callus. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal makapada akhir stadium akan terdapat dua macam callus yaitu didalam disebut internal callus dan diluar disebut external callus. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4) Fase konsolidasi Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh aktivitas osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan pembentukan lamela-lamela. Pada setadium ini sebenarnya proses penyembuhan sudah lengkap. Pada fase ini terjadi pergantian fibrous callus menjadi primary callus. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada umur-umur lebih mudah lebih cepat. Secara berangsur-angsur primary bone callus diresorbsi dan diganti dengan second bone callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.



5) Fase remodeling Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan kalsium yang banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari medula tulang. Apabila union sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal, sehingga dapat membentuk kanal medularis. Dengan mengikuti stress/tekanan dan tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya. Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa berdasarkan lokalisasi fraktur adalah sebagai berikut: a. Falang/metacarpal/metatarsal/kosta: 3-6 minggu b. Distal radius: 6 minggu c. Diafisis ulna dan radius: 12 minggu d. Humerus: 10-12 minggu e. Klavikula: 6 minggu f. Panggul: 10-12 minggu g. Femur: 12-16 minggu h. Kondilus femur atau tibia: 8-10 minggu i. Tibia/fibula: 12-16 minggu j. Vertebra: 12 minggu 7. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Meliputi keadaan sakit pasien, tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital b. Pemeriksaan Sistem Integumen.



Tidak ada perubahan yang menonjol pada sistem integumen seperti warna kulit, adanya jaringan parut / lesi, tekstur kulit kasar dan suhu kulit hangat serta kulit kotor. c. Pemeriksaan Kepala Dan Leher. Tidak ada perubahan yang menonjol pada kepala dan leher seperti warna rambut, mudah rontok, kebersihan kepala, alupeaus, keadaaan mata, pemeriksaan takanan bola mata (TIO), pemeriksaan visus, adanya massa pada telinga, kebersihan telinga, adanya serumen, kebersihan hidung, adanya mulut dan gigi, mulut bau adanya pembengkakan pada leher, pembesaran kelenjar linfe atau tiroid. d. Pemeriksaan Sistem Respirasi. Tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada ada tidaknya sesak nafas, sura tambahan, pernafasan cuping hidung. e. Pemeriksaan Kardiovaskuler. Klien fraktur mengalami denyut nadi meningakat terjadi respon nyeri dan kecemasan, ada tidaknya hipertensi, tachikardi perfusi jaringan dan perdarahan akiobat trauma. f. Pemeriksaan Sistem Gastro Intestinal. Tidak ada perubahan yang menonjol seperti nafsu makan tetap, peristaltik usus, mual, muntah, kembung. g. Pemeriksaan Sistem Ganitourinaria. Tidak ada perubahan yang menonjol seperti produksi urin, warna urin, apakah ada hematovia / tidak, adakah disuria, kebersihan genital. h. Pemeriksaan Sistem Muskuslukeletal. Terdapat fraktur, Nyeri gerak, kekakuan sendi, bagaimana tonus ototnya ada tidaknya atropi dan keterbatasan gerak, adanya karepitus. i. Pemeriksaan Sistem Endokrin. Tidak ada perubahan yang menojol seperti ada tidaknya pembesaran thyroid / struma serta pembesaran kelenjar limfe.



j. Pemeriksaan Sistem Persyarafan. Ada tidaknya hemiplegi, pavaplegi dan bagaimana reflek patellanya 8. Diagnosa a. Nyeri akut bd spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. b. Gangguan integritas kulit bd fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) c. Gangguan mobilitas fisik bd kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan bd kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada e. Risiko infeksi bd ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) f. Risti ketidakefektifan perfusi jaringan perifer bd penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)



9. No 1.



INTERVENSI Diagnosa Keperawatan Nyeri akut bd spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.



Tujuan/ criteria NOC: Pain level, pain control, comfort level Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (1x60 menit) nyeri klien akan berkurang dengan kriteria hasil klien akan: Indikator IR 1. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan hal yang memperberat nyeri) 2. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri) 3. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang



ER



Intervensi NIC: Pain Management 1. Lakukan pengkajian lengkap pada nyeri termasuk lokasi, sifat, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetusnya. 2. Kaji isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi dengan efektif 3. Pastikan pasien mendapatkan pengobatan analgesik 4. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan respon penerimaan pasien terhadap nyeri 5. Gali kepercayaan dan pengetahuan klien tentang nyeri 6. Sadari adanya pengaruh budaya dengan respon terhadap nyeri 7. Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup klien 8. Gali faktor-faktor yang meningkatkan/memperburuk nyeri 9. Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan lain tentang keefektifan kontrol nyeri di masa lalu 10. Bantu klien dan keluarga untuk mencari dan menyediakan dukungan 11. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri 12. Kurangi faktor presipitasi nyeri 13. Kaji tipe dan dan sumber nyeri untuk menentukan



intervensi 14. Ajarakan teknik non farmakologi 15. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 16. Ajarkan teknik dan prinsip manajemen nyeri 17. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 18. Tingkatkan istirahat Analgegesic Administrasion



2.



Gangguan integritas kulit bd fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)



NOC:TissueIntegrity:SkinandMucous Membranes Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama(3x60 menit), resiko kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil klien akan:



1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. Cek instruksi doktertentang jenis obat,dosis, dan frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur 8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah 9. Pemberian analgesik pertama kali NIC: Pressure Management 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering



Indikator 1. Integritas kulit yang baik bias dipertahankan 2. Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan 3. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang 4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami



3.



Gangguan mobilitas fisik bd kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Data penunjang :  Klien terpasang gips / traksi.



IR



ER



4. Mobilisasi pasien (ubahposisi pasien) setiap dua jam sekali 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil padadaerah yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 8. Monitor status nutrisi pasien 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat Pengawasan Kulit 1. Inspeksi kulit dan membran mukosa dari kemerahan, panas yang tinggi, edema, dan drainage 2. Observasi ekstremitas (warna,kehangatan, pembengkakan, denyutan, tekstur, edema, dan ulcer 3. Inspeksi kondisi dari insisi bedah 4. Monitor warna kulit dan suhu 5. Monitor kulit dan membran mukosa dari perubahan warna, memar, dan kerusakan. 6. Monitor dari infeksi 7. Monitor dari sumber tekanan dan fraksi 8. Dokumentasikan perubahan kulit dan mukosa membran NIC :



NOC :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (3x60 menit) mobilitas fisik tidak ada Pengaturan posisi: neurologis hambatan, dengan kriteria hasil klien akan, 1. Immobilisasi atau topang bagian tubuh yang terganggu dengan tepat. Adaptasi terhadap disabilitas fisik 2. Berikan posisi yang terapeutik. 3. Jangan berikan tekanan pada daerah yang terganggu. Indikator IR ER 4. Pertahankan posisi yang tepat saat mengatur posisi klien. 5. Instruksikan pasien untuk ppostur tubuh dan pergerakan yang tepat saat melakukan aktivitas-aktivitas. 6. Lakukan ROM pasif pada ekstremitas yang terganggu sesuai dengan instruksi petugas rehabilitasi medic.



7. Ajarkan keluarga untuk mengatur posisi pasien dan melakukan ROM pasien dengan tepat.



 Menyampaikan secara lisan kemampuan untuk menyesuaikan terhadap disabilitas.  Menyampaikan secara lisan penyesuaian terhadap disabilitas.  Beradaptasi terhadap keterbatan secara fungsional. 4.



Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan bd kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Data penunjang :  Klien menyatakan belum memahami tentang aktifitas yang boleh/tidak boleh dilakukan.  Klien kurang kooperatif dalam program mobilisasi.



Setelah dilakukan tindakan keperawatan,



Pengajaran Proses Penyakit



Keluarga pasien mampu memanajemen kanker dengan kriteria hasil :



1) Kaji tingkat pengetahuan pasien terkaitdengan proses penyakit 2) Review pengetahuan pasien mengenaikondisinya 3) Jelaskan proses penyakit 4) Identifikasi kemungkinan penyebabsesuai kebutuhan 5) Identifikasi perubahan kondisi fisikpasien 6) Diskusikan pilihan/terapi penanganan 7) Edukasi pasien mengenai tindakanuntuk meminimalkan gejala Pengajaran : Prosedur/perawatan



Indikator IR Tanda dan gejala kanker 2) Penyebab dan faktor-faktor yangberkontribusi 4) Tahapan kanker 5) Tanda dan gejala kekambuhan 6) Pilihan pengobatan yang tersedia 7) Pengobatan alternatif 8) Efek lanjut obat 9) Masalah perawatan diri selamapemulihan 10) Tingkat kelangsungan hidup



ER



1) Kaji pengalaman pasien sebelumnyadan tingkat pengetahuan 2) Jelaskan prosedur/penanganan 3) Beritahu pasien pentingnya pengukurantanda-tanda vital selama tindakan 4) Informasikan pasien agar pasien ikutterlibat dalam proses penyembuhannya 5) Kaji harapan pasien mengenai tindakanyang dilakukan



5.



Risiko infeksi bd ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) Data penunjang :  Adanya luka pada daerah fraktur.



NOC: Immune Status, Knowledge: Infection Control, Risk Control Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama(3x60 menit), resiko infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil klien akan: Indikator IR 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat



ER



6) Diskusikan pilihan-pilihan tindakanyang memungkinkan NIC: Infection Control 1. Intruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung pasien 2. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 4. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 5. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 6. Gunakan kateter intermitten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 7. Berikan terapi antibiotic jika perlu 8. Tingkatkan intake nutrisi Infection Protection 1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local 2. Monitor kerentangan terhadap infeksi 3. Monitor hitung mutlak granulosit, WBC dan hasil-hasil diferensial 4. Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area (yang mengalami) edema 5. Periksa kulit dan selaput lender untuk adanya kemerahan, kehangatan ekstrim atau drainase 6. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup 7. Anjurkan casupan airan dengan tepat 8. Anjurkan istirahat 9. Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana cara menghindari infeksi



6.



Risti ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Berhubungan dengan penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)



NIC:



NOC:Circulationstatus, TissuePrefusion:cerebral Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 3x60menit perfusi jaringan menjadi efektif, dengan kriteria hasil: Indikator 1. Mendemonstrasikan status



sirkulasi 2. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif 3. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh



IR



ER



Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial) 1. Catat respon pasien terhadap stimuli 2. Monitor intake dan output cairan 3. Restrain pasien jika perlu 4. Monitor suhu dan angkaWBC 5. Kolaborasi pemberian antibiotic 6. Posisikan pasien pada posisi semifowler 7. Minimalkan stimuli dari lingkungan



Peripheral Sensation Management 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul 2. Monitor adanya paretese 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi atau laserasi 4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung 6. Monitor kemampuan BAB 7. Kolaborasi pemberian analgetik 8. Monitor adanya tromboplebitis 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi



Daftar Pustaka Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, vol. 2, ed 6. Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6. Jakarta: EGC. Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D., Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F., Wahyudi, I., Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. pp:372-374. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC. http://ilmubedah.info/lesi-pleksus-brachialis-penyakit-20110206.html http://ilmubedah.info/fraktur-clavicula-20110818.html