LP Snake Bite [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN SNAKE BITE



NAMA : .......................................................... NIM : ..........................................................



PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER YAYASAN JEMBER INTENATIONAL SCHOOL 2020/2021 LAPORAN PENDAHULUAN



SNAKE BITE 1.1 Pengertian Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan (Brunner and Suddarth,2015). Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan (Brunner and Suddarth,2015). Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. (Brunner and Suddarth,2015).



1.2 Etiologi Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit.



Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam (Corwin J.Elizabeth,2014). Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam : 1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic), Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain. 2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic), Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe. 3.



Bisa ular yang bersifat Myotoksin, Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.



4.



Bisa ular yang bersifat kardiotoksin, Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.



5.



Bisa ular yang bersifat cytotoksin, Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.



6.



Bisa ular yang bersifat cytolitik, Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.



1.3 Patofisiologi Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat (Corwin J.Elizabeth,2014).



1. Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan koma. 2. Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal. 3. Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. 4. Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung. 5. Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler. 6. Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat patukan 7. Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. (EgMansjoer,Arif 2014) Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas (EgMansjoer,Arif 2014) 1.5 Derajat Gigitan Ular



Derajat 0: Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam, Pembengkakan minimal, diameter 1 cm Derajat I: Bekas gigitan 2 taring, Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm, Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam Derajat II: Sama dengan derajat I, Petechie, echimosis, Nyeri hebat dalam 12 jam Derajat III: Sama dengan derajat I dan II, Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh Derajat IV: Sangat cepat memburuk, Pengelolaan Dan Penanganan.



1.6 Manifestasi Klinis Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit). Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan), (EgMansjoer,Arif 2014) Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular : 1.



Gigitan Elapidae, Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya: Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak. 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam. (EgMansjoer,Arif 2014)



2.



Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya: Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. Keracunan berat ditandai dengan



pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. 3.



Gigitan Hydropiidae Misalnya, ular laut, cirinya: Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.



4.



Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya: Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi, trombositopeni.



Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori: 1.



Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.



2.



Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.



3.



Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.



4.



Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.



5.



Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.



1.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan (Doengos Marylim E.,2013)



1.8 Penatalaksanaan Prinsip penanganan pada korban gigitan ular: Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular., Menetralkan bisa, Mengobati komplikasi (Doengos Marylim E.,2013) 1. Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu: R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget. I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan). G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.



T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada korban.



2. Prosedur Pressure Immobilization Balut tekan pada kaki: Istirahatkan (immobilisasikan) Korban, Keringkan sekitar luka gigitan, Gunakan pembalut elastis, Jaga luka lebih rendah dari jantung, Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas, Biarkan jari kaki jangan dibalut, jangan melepas celana atau baju korban, Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink), Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki. 3.



Balut tekan pada tangan: Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut), Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat, Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan, Pasang papan sebagai fiksasi, Gunakan mitela untuk menggendong tangan.



4. Penatalaksanaan selanjutnya : ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30-40 menit, Heparin 20.000 unit per 24 jam, Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc). Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV. Kalau perlu dilakukan hemodialise, Observasi pasien minimal 1 x 24 jam Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan secara cepat sambil diberi adrenalin. (Doengos Marylim E.,2013)



1.9 Konsep Asuhan Keperawatan (Doengos Marylim E.,2013) 2.0 Pengkajian 1. Primary survey : Nilai tingkat kesadaran, Lakukan penilaian ABC :



A – airway : kaji apakah ada muntah, perdarahan. B – breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan. C – circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, Hematuria, Hematemesis /hemoptysis Intervensi primer, Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu, Beri O2, bila perlu Intubasi, Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke tempat diberikannya anti bisa. Pasang infus Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka 2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan : Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa, Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa, Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa sbersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum anti bisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas . Bila alergi serum kuda : Adrenalin 0,5 mg/SC, ABU IV pelan-pelan. Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi : adrenalin 0,5 mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV. Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang. 3. Kaji Tingkat kesadaran: Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS), Ukur tanda-tanda vital 2.0.1 Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin 2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury (biologi, kimia, fisik,psikologis)



3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi. 4. Ketakutan/ansietas



berhubungan



dengan



krisis



situasi,



perawatan



di



rumah



sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan. 5.



Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasinfeksi, jaringan traumatik luka



2.0.2 Perencanaan NO 1



Diagnosa Keperawatan Bersihan jalan nafas tidak efektif Definisi : ketidak mampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas



TUJUAN/NOC 4. Respiratory Ventilation



NIC status: Airway Suction



5. respiratory status : Air way patency 6. aspiration control kreteria hasil:



1. pastikan kebutuhan oral /tracheal suctioning 2. auskultasi suara nafas sebelum dan



Batasan Karakteristik : 1. dispneu 2. cyanosis 3. kelainan suara nafas (reles, wheezing) 4. kesulitan berbicara 5. batuk tidak efektif 6. mata melebar 7. gelisah 8. produksi sputum 9. perubahan frekwensi dan irama nafas faktor-faktor berhubungan :



lain



yang



1. lingkungan : merokok, menghirup asap rokok, perokok pasif, infeksi 2. fisiologis : disfungsi neuromuscular, hiperplasia dinding bronkus, alergi jalan nafas, asma 3. obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyak mucus, adanya jalan nafas buatan, sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus, adanya benda asing di jalan nafas



1. mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah) 2. menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas dan frekwensi nafas dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) 3. mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas



sesudah suctioning 3. informasikan pada keluarga dan klien tentang suctioning 4. minta klien untuk nafas dalam sebelum dilakukan suction 5. berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal 6. gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan 7. anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter di keluarkan dari nasotrakeal 8. monitor status oksigen pasien 9. ajarkan keluarga cara menggunakan suction 10. hentikan suction dan berikan oksigen apabila menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2 airway managemen 1. buka jalan nafas, gunakan teknik chin, lift atau jaw trust bila perlu 2. posisikan



pasien



untuk memaksimalkan ventilasi 3. identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan 4. pasang mayo bila perlu 5. lakukan fisioterapi dada 6. keluarkan lendir dengan batuk atau suction 7. auskultasi suara nafas awasi adanya suara nafas tambahan 8. lakukan suction pada mayo 9. berikan bronkodilator bila perlu 10. berikan pelembab udara kassa basah nacl lembab 11. atur intake untuk optimalkan keseimbangan 12. monitor respirasi dan status O2



2



Nyeri



1. pain level



Definisi : sensori yang tidak 2. pain control menyenangkan dan pengalaman 3. comfort level emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan kreteria hasil jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan. 1. mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab



Pain managemen 1. lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi, kualitas dan faktor



Batasan karakteristik : 1. laporan secara verbal atau non verbal 2. fakta dari observasi 3. gerakan melindungi 4. tingkah laku berhati-hati 5. gangguan tidur 6. gelisah, perubahan tekanan darah, 7. perubahan makan



dalam



nafsu



faktor yang berhubungan : agen injury (biologi, fisik,psikologis)



kimia,



nyeri, mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri) 2. melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. mampu mengenali nyeri (skala nyeri, intensitas, frekwensi dan tanda nyeri) 4. menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. tanda vital dalam rentang batas normal (Td: 110/60120/80mmhg, RR: 1824x/menit, N: 6080x/menit, S: 36-37,5oC



presipitasi 2. observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. kaji kultur yang mempengaruhi nyeri pasien 5. evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. kurangi faktor presipitasi nyeri 7. pilih dan lakukan penanganan nyeri (non farmakologi, dan farmakologi) 8. ajarkan tentang teknik non farmakologi 9. berikan analgesik untuk mengurangi nyeri 10. kolaborasi dengan dokter jika keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil analgesik administration 1. tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. cek dokter



instruksi tentang



jenis obat, dosis, dan frekwensi 3. cek riwayat alergi 4. pilih analgesik yang di perlukan untuk kombinasi dari analgesik lebih dari satu 5. tentukan anallgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6. tentukan analgesik pilihan rute, dosis, 7. pilih rute pemerian secara IV,IM untuk pengobatan secara teratur 8. monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 9. berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10. evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping) 3



Hipertermia



Thermoregulation



Definisi : suhu tubuh naik diatas Kreteria hasil: rentang normal 1. suhu tubuh dalam Batasan karakteristik: rentang normal (3637oC) 1. kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal 2. Nadi dan RR dalam rentang normal (N: 602. serangan atau konvulsi 80x/menit, RR: 18(kejang) 24x/menit) 3. kulit kemerahan



3. tidak ada perubahan warna kulit dan tidak



Fever treatment 1. monitor suhu sesering mungkin 2. monitor iwl 3. monitor warna dan suhu tubuh 4. monitor tekanan darah, nadi, dan RR 5. monitor penurunan



4. perubahan RR 5. takikardi



ada pusing , merasa nyaman



6. saat disentuh teraba hangat



kesadaran 6. monitor WBC, Hb, dan HCT 7. monitor intake dan out put



faktor yang berhubungan: 1. penyakit/trauma



8. berikan antipiretik



2. peningkatan metabolisme



9. berikan pengobatan untuk mengatasi demam



3. aktivitas yang berlebih 4. pengaruh medikasi/anastesi 5. terpapar yang panas



10. selimuti pasien 11. berikan intravena



dilingkungan



cairan



12. kompres pasien pada lipatan paha dan aksila



6. dehidrasi 7. pakaian yang tidak tepat



13. tingkatkan sirkulasi udara 14. berikan pengobatan untuk mencegah mengigil temperatur regulation 1. monitor suhu tiap 2 jam 2. monitor tekanan darah, nadi dan RR 3. monitor warna kulit dan suhu kulit 4. tingkatkan intake cairan dan nutrisi 5. berikan antipiretik bila perlu 4



Ansietas berhubungan dengan Anxiety control kurang pengetahuan dan Coping hospitalisasi Definisi: Perasaan gelisah yang tidak jelas



Anxiety reduction (penurun kecemasan)



Kreteria Hasil: 1. klien



mampu



1. gunakan pendekatan yang menenangkan



dari ketidaknyamanan atau ketakutan disertai respon autonom. Di tandai dengan ; 1. gelisah 2. insomnia 3. resah 4. ketakutan 5. sedih 6. fokus pada diri 7. kekhawatiran



mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas 2. mengidentifikasi, mengungkapkan, dan menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas 3. vital sign dalam batas normal 4. postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan



8. cemas



2. jelaskan semua tentang prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur 3. temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut 4. dorong keluarga untuk menemani 5. dengarkan dengan penuh perhatian 6. bantu pasien dalam mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 7. dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan dan persepsi 8. instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi 9. berikan obat untuk mengurangi tingkat kecemasan



5



Resiko infeksi



1. immune status



Definisi : peningkatan resiko masuknya organisme patogen



2. knowledge control



Faktor-faktor resiko:



3. risk control



1. prosedur infasif



:infection



Kreteria hasil :



2. kurang pengetahuan untuk menghindari patogen



1. klien bebas dari tanda gejala infeksi



3. trauma



2. mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi



4. kerusakan jaringan dan peningkatan paparan



Infection control (kontrol infeksi) 1. bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2. pertahankan teknik isolasi 3. batasi pengunjung bila perlu 4. instruksikan pengunjung



bagi



lingkungan patogen 5. malnutrisi 6. imunosupresi 7. tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, leukopenia, penekanan respon inflamasi) 8. tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, penurunan sekresi PH 9. penyakit kronik



penularan serta penatalaksanaannya



mencuci tangan saat berkunjung



3. menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi



5. gungakan sabun anti mikroba saat mencuci tangan



4. jumlah leukosit dalam batas normal 5. menunjukkan hidup sehat



perilaku



6. cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan 7. gunakan baju dan sarung tangan sebagai pelindung 8. pertahankan teknik aseptik saat pemasangan alat infection protection (proteksi terhadap infeksi) 1. monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 2. monitor hitung granulosit, WBC 3. monitor kerentanan terhadap penyakit menular 4. pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko 5. pertahankan teknik isolasi jika perlu 6. berikan perawatan kulit pada area epidema 7. inspeksi kulit dan membran mukosaterhadap kemerahan 8. inspeksi



kondisi



luka/insisi bedah 9. instruksikan pasien minum antibiotik sesuai dengan resep 10. ajarkan pasien untuk mencegah infeksi



DAFTAR PUSTAKA Brunner and Suddarth, (2015). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Volume 1. Jakarta : ECG Corwin. J. Elizabeth, (2014). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Doengos. Marylinn E. (2013). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Tim Training dan Tim Pengkaji Medis Internasional SOS. (2013). PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) Level 2. Internasional SOS training department : Jakarta. EgMansjoer. Arif. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : EGC.