Makalah Demam Tifoid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH DEMAM TIFOID Makalah Disusun Sebagai Tugas Praktikum Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia



Disusun oleh : SEKAR ARUM PRABANINGTYAS NIM. P07134219035



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN ANALIS KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN 2019



MAKALAH DEMAM TIFOID Makalah Disusun Sebagai Tugas Praktikum Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia



Disusun oleh : SEKAR ARUM PRABANINGTYAS NIM. P07134219035



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN ANALIS KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN 2019



i



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjantakan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Demam Tifoid”. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir semester 1 pada Progam Studi Sarjana Terapan Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Makalah ini terwujud atas bimbingan dan pengarahan dari Dra. RR Ni Ratih Hardisari, M.Kes. selaku pembimbing serta bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Joko Susilo, SKM, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta. 2. Subrata Tri Widada, SKM, M.Sc selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta. 3. Selaku Ketua Program Studi Sarjana Terapan Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta. 4. Orangtua dan keluarga besar yang telah memberikan bantuan dukungan baik moral maupun materil. 5. Sahabat dan teman-teman mahasiswa Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta 6. Semua pihak yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan



ii



Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenanan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Tidak lupa saran dan kritik penulis harapkan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.



Yogyakarta, 11 Desember 2019



Penulis



iii



Contents MAKALAH .............................................................................................................................. i MAKALAH .............................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………………….iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 A.



Latar Belakang ............................................................................................................ 1



B.



Tujuan .......................................................................................................................... 2



C.



Manfaat .................................................................................................................... 2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3 A.



Definisi Demam Tifoid ............................................................................................... 3



B.



Morfologi dan Struktur Bakteri .................................................................................. 3



C. Patogenitas .................................................................................................................. 3 D. Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 4 E.



Diagnosis ..................................................................................................................... 5



F.



Pencegahan Demam Tifoid ...................................................................................... 6



G. Pengobatan Demam Tifoid ....................................................................................... 7 BAB III KESIMPULAN ........................................................................................................ 12 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................



iv



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan (OMS, 2013). Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Salmonella typhi (S. typhi) disebut juga Salmonella choleraesuis serovar typhi, Salmonella serovar typhi, Salmonella enterica serovar typhi. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica subspesies Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C (Nelwan RHH, 2014). Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang berlangsung lama. Sumber infeksi demam tifoid adalah tinja seorang penderita demam tifoid atau seorang pembawa kuman yang tidak menampakkan gejalanya. Di daerah yang sarana kebersihannya kurang, demam tifoid kerap disebarkan melalui air minum yang tercemar air limbah, atau oleh lalat yang membawa bakteri dari tinja penderita kemudian hinggap di makanan. Terkadang seorang pembawa kuman yang berjualan makanan dan minuman pun dapat menjadi sumber penularan, terutama apabila cara memasak dan menyajikannya tidak memenuhi aturan kebersihan. Kerang-kerangan yang berasal dari daerah yang dilanda penyakit ini, terkadang juga menjadi sumber penularan, terutama jika memasaknya tidak sampai betul-betul matang. Manifestasi klinis demam tifoid sangat bervariasi dan tidak khas pada tiap individu. Gejala yang timbul seperti demam tinggi, diare, sakit kepala



1



2



menggigil, bradikardia relatif, hepatosplenomegali, atau penurunan kesadaran ringan.



Sehingga



pemeriksaan



laboratorium



sangat



penting



dalam



menegakkan diagnosis demam tifoid (Permenkes 2006). Pengobatan demam tifoid sampai saat ini masih dianut tiga penatalaksanaan, salah satunya yaitu didominasi oleh berbagai jenis antibiotic seperti kloramfenikol, amoksisilin, kotrimoksazol, ampicillin dan tiamfenikol (Widodo, 1996). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka banyak obat-obat baru yang diproduksi, khususnya antibiotik. Penggunaan antibiotika secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya adalah harus sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai dengan badan kesehatan dunia (WHO, 2003). Lebih dari 50% obat-obatan antibiotik demam typhoid di Sukoharjo diresepkan dan diberikan tidak sesuai terapi (Rudi, 2010). B. Tujuan 1. Menjelaskan definisi demam tifoid 2. Menjelaskan morfologi dan struktur bakteri penyebab demam tifoid 3. Menjelaskan patogenitas demam tifoid 4. Menjelaskan manifestasi klinis demam tifoid 5. Menjelaskan diagnosis demam tifoid 6. Menjelaskan pencegahan demam tifoid 7. Menjelaskan pengobatan demam tifoid C. Manfaat 1. Mengetahui definisi demam tifoid 2. Mengetahui morfologi dan struktur bakteri penyebab demam tifoid 3. Mengetahui patogenitas demam tifoid 4. Mengetahui manifestasi klinis demam tifoid 5. Mengetahui diagnosis demam tifoid 6. Mengetahui pencegahan demam tifoid 7. Mengetahui pengobatan demam tifoid



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi (Alba, 2016). Penularan demam tifoid melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mogasale, 2016). Demam tifoid telah menjadi masalah yang cukup penting di beberapa negara. Diperkirakan 17 juta orang menderita penyakit ini per tahunnya. Hampir sebagian besar terjadi di negara dengan pendapatan pertahun yang masih rendah (Chau, 2007). WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia. Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah. (Widoyono, 2011). Sebuah penelitian yang dilakukan di daerah kumuh di Jakarta memperkirakan angka kejadian demam tifoid 148,7 per 100.000 penduduk per tahun pada kelompok umur 24 tahun, 180,3 per 100.000 penduduk pada kelompok umur 5-15 tahun dan 51,2 per 100.000 penduduk di antaranya lebih dari 16 tahun, dengan onset usia rata-rata 10,2 tahun (Ochiai, 2008). Tanpa pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki CFR sebesar 10-30%. Namun jumlah itu berkurang menjadi 1-4% setelah menerima pengobatan yang adekuat (Crump, 2010). B. Morfologi dan Struktur Bakteri Bentuk dari bakteri Salmonella typhi adalah batang, tidak berspora, ukuran 103,5 μm x 0,5-0,8 μm, besarnya koloni rata-rata 2-4 mm, memiliki flagela peritrikh. Secara serologi Salmonella, dibagi menjadi sekitar 2000 tipe, merupakan kombinasi antara tipe O antigen dan H antigen. S.typhi adalah bakteri enterik yang bersifat gram negatip, mempunyai antigen permukaan



3



2



yang cukup komplek dan mempunyai peran penting dalam Proses patogenitas, selain itu juga berperan dalam proses terjadinya respon imun pada individu yang terinfeksi. Antigen permukaan tersebut terdiri dari antigen flagel(antigen H), antigen somatik (antigen O) dan antigen kapsul atau antigen K atau antigen Vi (Darmawati, 2009). Antigen O disebut juga sebagai antigen dinding sel karena antigen tersebut adalah bagian duter layer dari dinding sel bakteri gram negatip. Antigen O tersusun dari LPS (Lipo Polisakarida) yang berfungsi pula sebagai endotoksin, resisten terhadap pemanasan 100⁰C, alcohol dan asam, reaksi aglutinasinya berbentuk butir' butir pasir (Joklik et al.,1990). Antigen H atau antigen flagel, antigen ini terdiri dari suatu protein yang dikode oleh gen/g yang berada pada lokus flic. Antigen H bersifat termolabil dan dapat rusak oleh alkohol, pemanasan pada suhu di atas 60⁰C dan asam, dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk butir-butir pasir yang hilang bila dikocok. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu antigen H fase 1 (Hl) dan antigen H fase 2 (HZ) sehingga dapat dijumpai S.typhi serovar Hl dan S.typhi serovar H 2. Sedangkan antigen Hl terdiri dari Hl-d dan Hl-j sehingga dapat dijumpai pula S.typhi serovar Hl-d yang tersebar luas di seluruh dunia dan S.typhi serovar H-j yang hanya dijumpai di Indonesia. Strain bakteri S.typhi serovar H-j bersifat kurang motil pada media semi solid agar dan kurang invasive apabila dibandingkan dengan S.typhi serovar H-d (Grossman, et al.l995). Antigen Vi atau antigen kapsul, yaitu antigen yang terdiri dari polimer polisakarida dan bersifat asam. Antigen Vi yang dimiliki oleh bakteri berfungsisebagai antiopsonik dan antipagositik, ekspresi antigen tersebut dikode oleh gen tviA yang berada di dalam lokus via B, tidak semua strain S.typhi mengekspresikan antigen Vi (Wain et a1.,2005), Antigen ini mudah rusak oleh pemanasan selama I jam pada suhu 60oC, selain itu pada penambahan fenol dan asam., dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk seperti awan (Darmawati, 2009). Secara biotyping, Salmonella typhi dibagi ke dalam subgenus I sampai IV, dan jenis yang pathogenik teruma adalah yang subgenus I, sedang yang



3



ke



II



dan



ke



III



memiliki



pathogenik



(Winarno,2007).



Bakteri



ini



memfermentasikan glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Sebagian besar isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S (Jawetz et al., 2006). Isolat Salmonella typhi pada media SSA (salmonella dan shigella agar) ketika suhu 37⁰C maka menunjukkan koloni yang tampak cembung, transparan dan memiliki bercak hitam dibagian pusat (Nugraha,2012). Bakteri Salmonella typhi akan mati pada suhu 60⁰C selama 15 –20 menit melalui pasteurisasi, pendidihan dan khlorinasi (Kementerian kesehatan RI, 2006). C. Patogenitas Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Bakteri ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh kotoran atau tinja dari seseorang pengidap atau penderita demam typoid (Darmawati, 2009). Bakteri S.typhi menembus mukosa epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah sehingga terjadi bacteremia pertama yang asimomatis, lalu kuman masuk ke organ-organ terutama hepar



dan



sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan kuman dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakteremia kedua. Kuman yang berada di hepar akan masuk kembali ke dalam usus kecil, sehingga terjadi infeksi seperti semula dan sebagian kuman dikeluarkan bersama tinja (Cita, 2011). Apabila bakteri masuk ke dalam tubuh manusia, tubuh akan berusaha untuk mengeliminasinya. Tetapi bila bakteri dapat bertahan dan jumlah yang masuk cukup banyak, maka bakteri akan berhasil mencapai usus halus dan berusaha masuk ke dalam tubuh yang akhirnya dapat merangsang sel darah putih untuk menghasilkan interleukin dan merangsang terjadinya gejala demam, perasaan lemah, sakit kepala, nafsu makan berkurang, sakit perut, gangguan buang air besar serta gejala lainnya (Darmawati,2009)



4



D. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang ditemukan pada demam tifoid diantaranya adalah: 1. Demam Demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari, yaitu mencapai 39,4 – 40°C. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga (Mansjoer dkk, 2007). Demam seringkali disertai denyut jantung yang lambat dan kelelahan luar biasa (Anonim, 2007). 2. Gangguan saluran pencernaan Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap, bibir kering dan pecah, lidah kotor tertutup oleh selaput putih, sakit tenggorokan serta batuk (Anonim, 2007). Pada umumya penderita sering mengeluh nyeri perut, penurunan nafsu makan, mual, muntah dan keluhan buang air besar (Musnelina dkk, 2004). 3. Gangguan kesadaran Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan dengan kesadaran seperti berkabut. Apabila gejala klinis berat tak jarang penderita sampai koma (Anonim, 2007). 4. Hepatosplenomegali Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri jika ditekan (Mansjoer dkk, 2007). Menurut WHO (2003), ada dua macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis: 1. Demam tifoid akut non komplikasi, demam berkepanjangan, gangguan pencernaan, sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk bronkhitis terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada, abdomen dan punggung (Anonim, 2003).



5



2. Demam tifoid dengan komplikasi, bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi dan ketidaknyamanan abdomen (Anonim, 2003). E. Diagnosis Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1. Pemeriksaan darah tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bias menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, kadang didapat aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut (Prasetyo dan Ismoedijanto, 2006). 2. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses (Prasetyo dan Ismoedijanto, 2006). 3. Uji serologis Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : a. Uji widal, pemeriksaan reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah sama sehingga terjadi aglutinasi. b. Tes tubex, merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat, menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.



6



c. Metode enzyme immunoassay, uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. d. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. e. Pemeriksaan dipstik, mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membrane nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol (Prasetyo dan Ismoedijanto, 2006). 4. Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Prasetyo dan Ismoedijanto, 2006).



F. Pencegahan Demam Tifoid Penularan demam tifoid dapat dicegah dengan kita selalu menjaga kebersihan diri kita dan kebersihan lingkungan di sekitar kita. Di Indonesia, kegiatan pengendalian belum dapat dilaksanakan secara optimal, antara lain karena belum didukung dengan pendanaan yang memadai. Pada tahun 2014, biaya yang dialokasikan untuk pengendalian tifoid di Ditjen PP dan PL hanya sekitar Rp200 juta atau 1,3% dari perkiraan biaya rata-rata yang diperlukan dalam setahun dari tahun 2015 sampai dengan 2019. Selain itu, belum semua kabupaten atau kota di Indonesia menyediakan anggaran khusus untuk program pengendalian tifoid (Purba, 2016).



7



Strategi yang digunakan untuk pencegahan demam tifoid adalah selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, hygiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid (Ardiaria, 2019). Vaksinisasi diutamakan untuk para pendatang dari negara maju, karena di negara-negara maju seperti di Eropa kemungkinan untuk terserang demam tifoid sangatlah kecil. Di negara maju akses air bersih, hygiene dan sanitasinya sudah sangat baik, sehingga tidak ditemukan informasi yang memadai tentang program pengendalian tifoid (Purba, 2016). G. Pengobatan Demam Tifoid Pengobatan penyakit ini diberikan selama 14 hari, atau sampai 7 hari sesudah penderit tidak demam lagi (Soedarto, 2009). Pengobatan penderita demam tifoid bervariasi tergantung gejala klinik, status pasien dan sensitivitas antimikroba terhadap kuman. Menurut peranannya di dalam penyembuhan penyakit, pengobatan tersebut dibagi menjadi pengobatan simtomatik, suportif dan spesifik (Juwono, 2004). 1. Terapi simtomatik a. Antiemetik adalah zat-zat yang berkhasiat menekan rasa mual dan muntah. b. Antipiretik, berkhasiat menurunkan demam tetapi tidak perlu diberikan rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak berguna (Juwono, 2004). c. Kortikosteroid, pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan menjadi normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps (Juwono, 2004).



8



2. Terapi suportif a. Vitamin, senyawa organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan tubuh. b. Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. c. Jika terjadi perforasi usus mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki bagian usus yang mengalami perforasi (Anonim, 2007). 3. Terapi spesifik Terapi spesifik untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tepat, dapat menyembuhkan 99% penderita dengan cara menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam penggunaan antibiotik adalah khasiat, ketersediaan dan harga obat. Antibiotik yang dapat digunakan pada penderita tifoid adalah: a. Kloramfenikol Mekanisme kerja obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman



dengan cara berikatan pada ribosom



50S sehingga



menghambat pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti riketsia, klamidia, mikoplasma dan beberapa strain kuman gram positif dan gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). b. Tiamfenikol Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol. Secara farmakologis, tiamfenikol lebih menguntungkan dalam darah lebih tinggi serta waktu paruh yang lebih panjang yang berarti obat ini berada lebih lama dalam cairan tubuh, termasuk dalam cairan empedu (Tjay dan Raharja, 2007). Obat ini cukup baik digunakan untuk demam tifoid, penderita yang diberi tiamfenikol memperlihatkan hasil yang sama dengan penderita yang diobati dengan kloramfenikol dalam hal turunnya suhu



9



tubuh menjadi normal, hilangnya gejala klinis hepatosplenomegali dan gangguan hematologis (Tjay dan Raharja, 2007).



c. Ampisilin, Amoksisilin Ampisilin merupakan derivat penisilin spektrum luas yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus resistensi terhadap kloramfenikol. Amoksisilin merupakan turunan ampisilin dan memiliki spektrum antibakteri yang sama namun diabsorpsi lebih baik bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan jaringan. Dalam hal ini kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak



penggunaannya



adalah



pasien



demam



tifoid



dengan



leukopenia (Juwono, 2004). Ampisillin dan amoksisilin diberikan 50100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis perhari baik secara oral, intramuskular, intravena (Anonim, 2003). Mekanisme kerja obat bergabung dengan penicillin binding protein (PBPs) pada kuman. Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi antar rantai peptidoglikan terganggu. Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel. Ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral (Istiantoro dan Gan, 2005) d. Trimetropim-Sulfametoksazol (kotrimoksazol) Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi



karena



sifat



sinergisnya.



Kombinasi



keduanya



menghasilkan inhibisi enzim berurutan pada jalur asam folat (Anonim, 2008). Kotrimoksazol dapat diberikan dengan dosis 160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfametoksazol 2 kali perhari selama 14 hari secara oral, intravena, intramuskular (Anonim, 2003). Mekanisme



kerja



sulfametoksazol



dengan



mengganggu



sintesa asam folat bakteri dan pertumbuhan lewat penghambat



10



pembentukan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat. Dan mekanisme kerja trimetoprim adalah menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (Tjay dan Raharjo, 2007). e. Sefalosporin Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang mirip dengan penisilin. Mempunyai spektrum kerja yang luas dan aktifterhadap kuman gram positif dan negatif tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi (Tjay dan Raharjo, 2007). Mekanisme



kerja



obat



berdasarkan



penghambatan



sintesis



peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya (Tjay dan Raharjo, 2007). f.



Kuinolon Fluorokuinolon



adalah



antibiotik



pilihan



pertama



untuk



pengobatan demam tifoid untuk orang dewasa, karena relatif murah, lebih toleran dan lebih cepat menyembuhkan dari pada antibiotik lini pertama seperti kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol (Anonim, 2003). Mekanisme kerja obat dengan menghambat DNA gyrase sehingga sintesa DNA kuman terganggu. Antibiotik golongan ini antara lain ialah siprofloksasin, ofloksasin, pefloksasin, norfloksasin dan fleroksasin (Hadinegoro, 1999). g. Azitromisin Azitromisin adalah makrolida yang aktivitasnya terhadap bakteri Gram negatif lebih aktif dibanding terhadap bakteri Gram positif (Anonim, 2008). Azitromisin dengan dosis 500 mg (10 mg/kg) diberikan setiap hari selama 7 hari terbukti efektif untuk mengobati demam tifoid untuk pasien dewasa dan anak-anak, efektifitas azitromisin mirip dengan kloramfenikol (Anonim, 2003). Mekanisme kerja obat melalui pengikatan reversible pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi (Tjay dan Raharjo, 2007).



BAB III KESIMPULAN Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi. Penularan demam tifoid melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Demam tifoid telah menjadi masalah yang cukup penting di beberapa negara. Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid. Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah. Tanpa pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki CFR sebesar 10-30%. Namun jumlah itu berkurang menjadi 1-4% setelah menerima pengobatan yang adekuat. S.typhi adalah bakteri enterik yang bersifat gram negatip, mempunyai antigen permukaan yang cukup komplek dan mempunyai peran penting dalam Proses patogenitas, selain itu juga berperan dalam proses terjadinya respon imun pada individu yang terinfeksi. Antigen permukaan tersebut terdiri dari antigen flagel(antigen H), antigen somatik (antigen O) dan antigen kapsul atau antigen K atau antigen Vi. Secara biotyping, Salmonella typhi dibagi ke dalam subgenus I sampai IV, dan jenis yang pathogenik teruma adalah yang subgenus I, sedang yang ke II dan ke III memiliki pathogenik. Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Bakteri ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh kotoran atau tinja dari seseorang pengidap atau penderita demam typoid. Gejala klinis yang ditemukan pada demam tifoid diantaranya adalah demam, gangguan saluran pencernaan, gangguan kesadaran, Hepatosplenomegali. Menurut WHO (2003), ada dua macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis, yaitu demam tifoid akut non komplikasi dan demam tifoid dengan komplikasi. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu pemeriksaan darah tepi, Identifikasi kuman melalui



isolasi/biakan,



uji



serologis(Uji



widal,



tes



tubex,



metode



enzyme



immunoassay, metode enzyme-linked, pemeriksaan dipstik) dan pemeriksaan kuman secara molekuler. 12



13



Penularan demam tifoid dapat dicegah dengan kita selalu menjaga kebersihan diri kita dan kebersihan lingkungan di sekitar kita. Strategi yang digunakan untuk pencegahan demam tifoid adalah selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, hygiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Pengobatan penyakit ini diberikan selama 14 hari, atau sampai 7 hari sesudah penderit tidak demam lagi. Menurut peranannya di dalam penyembuhan penyakit, pengobatan tersebut dibagi menjadi pengobatan simtomatik, suportif dan spesifik. Antibiotik yang dapat digunakan pada penderita tifoid adalah kloramfenikol, tiamfenikol, ampisilin, amoksisilin, trimetropim-sulfametoksazol (kotrimoksazol) dan sefalosporin, kuinolon, azitromisin.



DAFTAR PUSTAKA Andayani dan Febriana, I.A. Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang.



Higeia



Journal



of



Public



Health



Research



and



Development. 2(1):58-60 Winarno, G.F. 2007. Analisis Laboratorium. Bogor: PT Embrio Biotekindo. Ardiaria, M. 2019. Epidemiologi, Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Demam Tifoid. Journal of Nutrition and Health. 7(2):35-36. Chin, J. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV Infomedika. Cita, Y.P. 2011. Bakteri Salmonella typhi dan Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 6(1):42-43. Darmawati, S. 2009. Keanekaragaman Genetik Salmonella typhi. Jurnal Kesehatan. 2(1):29-32 Hendrayana, Agus. 2017. Identifikasi dan Diagnosis Infeksi Bakteri Salmonella typhi. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/8e5dfa9e39bb564 57fc435f789539358.pdf. diunduh tanggal 10 Mei 2017. Marhamah. 2010. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Batung Kabupaten Hulu Sungai Utara



Umum Daerah Pambalah



Kalimantan Selatan Tahun 2009.



Skripsi. Surakarta : Fakultas Farmasi Muhammadiyah Surakarta. Putri, B.A.R.M. 2019. Identifikasi Bakteri Salmonella typhi pada Makanan Jajanan Gorengan yang Dijual di Depan Sekolah



Dasar



Negeri



Kecamatan



Kedaton Kota Bandar Lampung. Skripsi. Lampung : Universitas Lampung.



Risa, I.M., dkk. 2019. Pengaruh Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) terhadap Kejadian Demam Tifoid. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains. 1(1):17. Soedarto dan Park. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta : CV Sagung Seto. Hermaya. 1992. Ensiklopedia Kesehatan. Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka