Makalah Doktrin Allah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH DOKTRIN ALLAH



Kelompok 2 : Ketua Kelompok : AZERYA ALFA OMEGA PUTRI NIM : 2002130038 Anggota 1 : MENAE NIM : 2002130040



Anggota 2 : WINI ASTATINA NIM : 2002130046



Anggota 3 :TENIE NIM : 2002130045



Anggota 4 : YULITA BUSIRA NIM : 2002130051



PROGRAM STUDI PASTORAL KONSELING INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN) PALANGKA RAYA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021



KATA PENGANTAR Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan, penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan penyertaan-Nya, sehingga makalah yang berjudul Doktrin Allah diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan tempo waktu yang telah diberikan. Penulisan makalah ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban mahasiswa (Kelompok) terhadap dosen atas tugas yang telah diberikan, sehingga untuk menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang dan study yang kami tekuni. Akhir kata penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, karena penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua. Tuhan Yesus Memberkati.



Palangkaraya, Mei 2021



Kelompok II



BAB 1 PENDAHULUA]]N



A. Latar Belakang “Apa yang timbul di dalam pikiran kita pada waktu kita memikirkan tentang Allah merupakan hal yang paling penting dan mendasar. Oleh karena itu, maka persoalan yang terpenting yang selalu dihadapi oleh manusia ialah soal Allah sendiri. Dan yang terpenting mengenai seseorang bukanlah apa yang dikatakan atau dilakukannya pada saat-saat tertentu, melainkan bagaimana pendapatnya tentang Allah, pendapat yang terdapat jauh di dalam hatinya.” Pandangan yang benar tentang Allah merupakan dasar bukan saja dari teologi sistematis, tetapi juga dari kehidupan Kristen yang praktis. Hal ini penting untuk ibadat kita, sama pentingnya seperti sebuah fondasi suatu bangunan. Apabila fondasi itu tidak memadai atau tidak tegak lurus, maka cepat atau lambat bangunan itu akan ambruk. Hampir semua kesalahan dalam doktrin dan kegagalan dalam menerapkan etika , disebabkan pandangan yang kurang sempurna dan kurang mulia tentang Allah.



B. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5.



Apa yang dimaksud dengan Allah Tritunggal? Bagaimana Sifat-Sifat Allah? Apa yang dimaksud dengan Predestinasi? Bagaimana proses Penciptaan? Apa yang dimaksud dengan Providensi Allah?



C. Tujuan 1. 2. 3. 4. 5.



Menjelaskan maksud dari Allah Tritunggal. Menjelaskan Sifat-Sifat dari Allah. Menjelaskan maksud dari Predestinasi. Menjelaskan proses Penciptaan. Menjelaskan maksud dari Providensi Allah.



BAB II PEMBAHASAN A. ALLAH TRITUNGGAL Bagaimana rupa Allah? Jawaban umum sementara adalah “Allah itu Roh berpribadi yang hidup”. Allah yang dinyatakan dalam Alkitab sungguh-sungguh hidup dan bertindak (Mzm. 97:7; 115:3). Ia bukan kuasa atau kekuatan tak berpribadi, tetapi Allah berpribadi dan berwatak dengan kodrat khusus. Dia adalah Roh yang melebihi seluruh tatanan dunia, walaupun tatanan itu bergantung padaNya. Alkitab berbicara tentang Allah sebagai tiga oknum yang dapat dibedakan, yang biasa disebut sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Istilah teknis untuk gagasan ini, Tritunggal, tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi termasuk golongan istilah yang bersifat alkitabiah dalam arti mengungkapkan dengan jelas ajaran Alkitab. a. Perjanjian Lama Bagi bangsa Israel, keesaan Allah merupakan aksioma (suatu pernyataan yang bisa dilihat kebenarannya tanpa perlu adanya bukti): ”Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa” (Ul 6:4). Penekanan pada keesaan ilahi ini sangat penting, mengingat politeisme yang memuja berhala dan bersifat dekaden dari bangsa-bangsa di sekeliling Israel. Namun Perjanjian Lama juga mengandung isyarat tentang “kepenuhan” dalam Allah yang merupakan landasan ajaran Perjanjian Baru tentang Tritunggal. Acapkali Allah memakai istilah jamak untuk diri-Nya sendiri (Kej. 1:26; 3:22; 11:7; Yes. 6:8) dan penulis Injil Yohanes memperlakukan perikop Yesaya itu sebagai penglihatan Yesus (Yoh 12:41). Ada sebutan mengenai ”malaikat Tuhan” yang disamakan dengan Allah tetapi berbeda dengan-Nya (Kel. 3:2-6; Hak. 13:2-22). Perjanjian Lama juga menyebutkan Roh Allah sebagai wakil pribadi Allah (Kej. 1:2; Neh. 9:20; Mzm. 139:7; Yes 63:10- 14). Ada juga disebutkan tentang hikmat Allah, khususnya dalam Amsal 8:1-36, sebagai perwujudan Allah di dunia, dan mengenai firman Allah sebagai ungkapan yang kreatif (Mzm. 33:6,9; bnd. Kej 1:26). Ada juga nubuat yang menyamakan Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu itu dengan Allah (Mzm. 2:1-12; Yes. 9:5-6).



Jelaslah bahwa Perjanjian Lama tidak mengajarkan mengenai Tritunggal secara lengkap, tetapi dengan menyajikan keesaan Allah dalam bentuk jamak, perikop-perikop tadi mendahului ajaran Perjanjian Baru yang lebih lengkap. b. Perjanjian Baru Ajaran tersirat dalam Perjanjian Lama muncul ke permukaan dalam Perjanjian Baru. Pertama, para rasul semakin tergerak untuk menyembah Yesus sebagai Tuhan, berdasarkan pengaruh dampak kehidupan dan watak-Nya, tuntutan dan mujizat-mujizat, dan terutama kebangkitan serta kenaikan-Nya. Kedua, realitas dan kegiatan Roh Kudus di antara mereka jelas merupakan kehadiran Allah sendiri. Sebab itu, acuan yang Yesus berikan kepada mereka (Mat. 28:19) menentukan pemahaman mereka. Allah adalah esa, namun dapat dibedakan dalam tiga oknum: Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kita bukan berpikir tiga atau satu, tetapi tiga dan satu. Tiga dan satu berarti tiga Pribadi Allah yang masing-masing pribadi yang berbeda dengan kehendak, pikiran, dan emosi/perasaan yang berbeda, tetapi ketiga pribadi ini bukan berarti tiga Allah, tetapi satu esensi Allah. Di dalam Allah Tritunggal ini, juga terdapat hubungan yang setara dan bertingkat antara masing-masing Pribadi. Meskipun ketiga Pribadi Allah ini adalah Allah (setara), tetapi ketiga-Nya tetap bertingkat. Artinya, hanya Allah Bapa yang dapat mengutus Allah Anak (bukan sebaliknya), dan Allah Bapa dan Allah Anak mengutus Allah Roh Kudus (bukan sebaliknya). Membalik posisi ini berarti melawan Alkitab. Ajaran setara dan bertingkat ini juga berimplikasi penting di dalam kehidupan kita sehari-hari di mana kita harus memiliki paradigma memandang semua orang adalah ciptaan Allah, tetapi di sisi lain tetap memposisikan mereka sesuai posisinya masing-masing (artinya: meskipun majikan dan bawahan samasama ciptaan Allah, majikan tetap adalah majikan, bawahan tetap adalah bawahan, dan tentunya bawahan bukan memerintah majikan, tetapi majikan yang memerintah bawahan).



Empat Persoalan Kiranya cukuplah membahas secara singkat empat persoalan penting. 1. Keterbatasan bahasa



Kehidupan Allah sebagai Tritunggal jelas tidak ada padanannya dalam pengalaman manusia. Kita berbicara tentang misteri ini hanya karena Allah sendiri telah berbicara tentang hal ini dalam Alkitab. Sudah tentu timbul kesulitan dalam mengungkapkannya dengan bahasa yang dapat dimengerti. Augustinus, misalnya, dalam membahas kelayakan memakai istilah “oknum” berhubungan dengan Tritunggal, mengatakan, ”Ketika ditanyakan tiga apa?, bahasa manusia sangat terbatas karena miskin dalam perbendaharaan kata. Namun dikatakan ‘tiga oknum’, bukan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya, tetapi untuk mengatakan sesuatu yang menyampaikan arti sekalipun terbatas”. Hal yang serupa dikemukakannya tentang angka tiga berkaitan dengan keberadaan Allah: ”Dalam ketritunggalan ini dua atau tiga oknum tidak lebih besar daripada salah satu oknum.” 2. Cara memakai kata ”Allah” Para penulis Kristen memakai kata ”Allah” dengan dua cara: kadangkadang mereka maksudkan sang Bapa khususnya dan kadang-kadang Allah dalam ketritunggalan-Nya. Jika dianggap bahwa yang dimaksudkan dengan “Allah” hanya sang Bapa, maka perendahan Anak dan Roh Kudus di bawah sang Bapa tak terelakkan. Banyak sekte tidak menyadari perbedaan yang sangat penting itu, dan oleh karena itu terjadi kesulitan dengan ajaran Alkitab mengenai keilahian penuh dari Anak dan Roh Kudus. Saksi-saksi Yehowa, misalnya, tidak mengerti bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah (_Yhwh_, yang mereka sebut ”Yehowa”) berarti Allah yang Tritunggal (bnd. ps 16 di bawah tentang keilahian Kristus). Sang Bapa tidak dibedakan dengan Anak dan Roh Kudus karena Dia adalah Allah. Keilahian sama-sama dimiliki oleh ketiga Oknum; berdasarkan ini Allah adalah esa tetapi juga tritunggal. 3. Tiga apa? Bagaimana manusia dapat mengacu pada ketritunggalan dalam diri Allah tanpa membahayakan keesaan-Nya? Di Indonesia, masyarakat Kristen telah memakai istilah ”oknum” sebagai padanan istilah klasik Yunani _hupostasis _dan Latin persona. Pada zaman ini, istilah itu hampir tidak dipakai lagi kecuali dalam konteks teologi Kristen, sehingga dapat dikatakan tidak lagi mempunyai arti bagi orang biasa. Istilah ”pribadi” yang acapkali dipakai cenderung memberi kesan bahwa ada tiga kepribadian dalam Allah, masing-masing dengan ciri-ciri kekhususan secara tersendiri, dan karena itu membahayakan keesaan Allah. Istilah ”cara berada” pernah dipakai, tetapi sekali lagi memberi kesan bahwa keberadaan Bapa berbeda dengan keberadaan Anak, dan seterusnya. Tetapi karena masih belum ada istilah yang dapat diterima secara umum sebagai alternatifnya, maka



istilah tradisional ”oknum” tetap dipertahankan sekalipun tidak seratus persen memadai. 4. Adakah analogi Tritunggal dalam pengalaman manusia? Kesulitan memahami Allah sebagai “tiga dalam satu” telah mendorong para pemikir Kristen berabad-abad untuk mencari analogi-analogi Tritunggal yang dapat mencerahkan pemahaman. Di bawah pengaruh pandangan modern tertentu tentang kepribadian, maka sejumlah teolog telah menghidupkan kembali analogi purba tentang kelompok tiga orang. Sama seperti kepribadian orang dapat bergabung dan menyatu dengan kepribadian-kepribadian lain, begitu pula Oknumoknum dalam Allah menyusup satu dengan yang lain dan mengungkapkan diri dalam kesatuan ilahi. Mungkin ada ayat-ayat Alkitab yang mendukung pandangan ini, khususnya yang berbicara tentang perkawinan. Yesus mengatakan bahwa dalam perkawinan “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat. 19:15). Analogi ini yang disebut ”analogi sosial” memberikan penjelasan yang berharga tentang pluralitas oknum-oknum dalam Allah, tetapi juga dapat membahayakan keesaan Ilahi.



B. SIFAT-SIFAT ALLAH Allah Tritunggal telah menyatakan diri-Nya sedemikian rupa sehingga kita dapat mengenal beberapa sifat diri-Nya. Sifat-sifat Allah itu telah digolongkan menurut berbagai cara. Cara yang paling penting membedakan antara: - sifat-sifat yang unik (Ing. incommunicable), seperti keberadaan diri-Nya yang tidak ada kesejajaran dengan manusia; dan - sifat-sifat yang tidak unik (Ing. communicable), seperti kasih atau keadilan, yang dapat dicerminkan dalam makhluk moral lain. Dalam membahas sifat-sifat Allah, Calvin menulis “agar kita tetap bijaksana, Allah berbicara sedikit saja tentang hakikat-Nya”. Oleh sebab itu, tanpa meniadakan satu segi pun dari penyingkapan diri Allah sebaiknya kita jangan menggambarkan dan membedakan terlalu rinci. Perlu pula mengingat bahwa sifatsifat itu ada pada Allah sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Kemuliaan Allah Istilah ”kemuliaan” sering ditemukan dalam Alkitab dan biasanya berarti manifestasi keberadaan Allah. Kemuliaan-Nya mengungkapkan inti keberadaanNya sebagai Allah, kemegahan Ilahi-Nya, dan keilahian-Nya yang murni. Istilah senada ”kemahatinggian” menunjukkan sifat Allah yang melampaui realitas yang terbatas.



Dalam Alkitab, sifat ini dinyatakan pada saat Allah memperlihatkan diri di Gunung Sinai (Kel 19:1-24:18): ”Tampaknya kemuliaan Tuhan sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu” (Kel 24:17; bnd. Kel 19:16-22). Yehezkiel menerima wahyu yang menakjubkan tentang Allah di tepi Sungai Kebar (Yeh 1:1-28). Juga agak mirip dengan gambaran Yesus yang dimuliakan: ”mata-Nya bagaikan nyala api … wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik” (Why 1:14-16). Paulus bersaksi telah melihat ”kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2Kor 4:6; bnd. Yoh 1:14) dalam penampakan diri Kristus yang menyilaukan di jalan menuju Damsyik. Kemuliaan Ilahi hanya dapat kelihatan kalau orang bersembah sujud di hadapan-Nya dengan rasa khidmat dan memuja.



Ketuhanan Allah Nama Allah yang paling sering dipakai dalam Perjanjian Lama ialah Yahwe, yang dihubungkan khususnya dengan perjanjian antara Allah dan bangsa Israel. Yahwe adalah sebutan Allah bagi diri-Nya ketika Musa menanyakan namaNya (Kel 3:13-15), yang diartikan ”AKU ADALAH AKU”. Sebutan itu dapat juga berarti ”Aku akan ada yang Aku akan ada” dan merupakan janji Allah untuk memenuhi rencana-Nya untuk membebaskan Israel dari Mesir dan menempatkan mereka di negeri perjanjian. Nama itu menunjuk pada kesetiaan Allah kepada bangsa-Nya dan kepastian janji-Nya. Keyakinan yang sama diperlihatkan dengan menunjuk pada kedaulatan Allah. Ia memerintah dunia dan kehendak-Nya merupakan penyebab akhir dari segala sesuatu, termasuk penciptaan dan pemeliharaan (Mzm 95:6; Why 4:11), pemerintahan manusiawi (Ams 21:1; Dan 4:35), penyelamatan umat Allah (Rom 8:29; Ef 1:4,11), penderitaan Kristus (Luk 22:42; Kis 2:23), penderitaan orang Kristen (Fil 1:29; 1Pet 3:17), hidup dan masa depan manusia (Kis 18:21; Rom 15:32), bahkan soal-soal paling kecil dalam kehidupan (Mat 10:29). Allah memerintah di alam semesta-Nya, ditinggikan di atas semua penuntut kekuasaan dan kewenangan. Hanya Dia yang adalah Allah: ”Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain” (Yes 45:6, bnd. Yes 43:11; 44:8; 45:21). Ketuhanan Allah diungkapkan dalam tiga sifat yang terkait, yakni kemahakuasaan, kemahahadiran dan kemahatahuan. Sifat ini merupakan dasar gagasan bahwa penyataan diri Allah adalah lengkap.Seandainya Allah hanya mengetahui sebagian, kebenaran-Nya sifat sementara saja. Kemahatahuan Allah berarti kita tidak menunggu penyataan lagi yang dapat menggantikan penyingkapan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Sebagai Anak Allah yang kekal, Yesus adalah penyataan yang terakhir, kebenaran yang di dalamnya tersembunyi segala hikmat dan pengetahuan (Yoh 14:6; Kol 2:3). Kemahatahuan Allah juga merupakan dasar pekerjaan Roh Kudus yang menyingkapkan pikiran dan



kebenaran Allah dalam Alkitab dan dengan demikian menjamin keter-andalan dan finalitasnya (Yoh 16:13; 17:17). Kekudusan Allah Ada orang yang merasa kesulitan dalam menghubungkan Allah sebagai pemberi hukum yang kudus, dengan Allah yang penuh kasih dalam Injil. Sebagian orang mencoba mengatasi kesulitan ini dengan terlalu menitik-beratkan kekudusan Allah. Allah digambarkan secara keras dan kaku, yang memaksakan orang tanpa henti-hentinya untuk bergumul secara moral karena ancaman penghakiman kelak. Yang lain terlalu menitik-beratkan kasih Allah dan mengubah-Nya menjadi tokoh yang pemurah dan sentimental, yang tidak ada keteguhan moral. Sedangkan Allah dalam Alkitab adalah kudus dan juga pengasih, dan kedua sifat itu terikat dalam kesatuan yang tak terpisahkan dalam masing-masing oknum Allah. Kekudusan Allah adalah inti keberadaan-Nya dan terutama menonjol dalam Perjanjian Lama (Im 11:44; 19:2; Yos 24:19; 1Sam 6:20; Mazm 22:4; Yes 57:15). Dalam Perjanjian Baru, sifat itu nampaknya tidak dititik-beratkan, tetapi harus diingat bahwa Perjanjian Baru menekankan kepribadian dan pekerjaan Roh yang Kudus. Unsur dasar dalam arti kata Ibrani qodesy (’kudus’) mungkin sekali ”pemisahan”, dengan pengertian positif bahwa sesuatu dipisahkan supaya menjadi milik Allah. Kalau konsep ini dipakai tentang Allah sendiri, ada dua dampak. Pertama, Allah terlepas dari oknum-oknum lain; hanya Dialah Allah. Menurut pengertian ini, kekudusan Allah mirip dengan kemuliaan-Nya. Hal ini diungkapkan dalam penglihatan Yesaya: ”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya” (Yes 6:3). Dan itu digemakan dalam penglihatan Yohanes seribu tahun kemudian: ”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (Why 4:8; bnd. 1Tim 6:16). Kekudusan ilahi ini juga diterapkan pada sang Anak (Mr 9:2; Luk 1:35; Kis 9:3; Wahy 1:12) dan Roh Kudus (Luk 1:13; Kis 2:4; 4:31*; Ef 4:30; Ibr 9:8). Kedua, yang dimaksudkan dengan kekudusan Allah dalam pengertian etis adalah pemisahan diri-Nya dari segala sesuatu yang menentang dan melawan Dia. Inilah dasar semua perbedaan moral. Yang baik adalah yang dikehendaki Allah; yang jahat adalah yang menentang dan melawan kehendak-Nya, dan oleh sebab itu hakikat-Nya juga. Kekudusan Allah berarti bahwa Ia betul-betul murni dan sempurna, tanpa dosa atau kejahatan; keberadaan-Nyalah yang merupakan penyemarakan dan luapan kemurnian, kebenaran, kebajikan, keadilan, kebaikan serta kesempurnaan



moral apa pun. Tantangan etis yang diakibatkan oleh kekudusan itu cukup jelas dalam Alkitab. Dalam Kitab Yesaya, Allah sering disebut “Yang Mahakudus, Allah Israel” (Yes 5:19; Yes 30:12; 43:3; Yes 55:5) yang menghendaki agar Israel mengubah sikapnya dan mengikuti tabiat Allah yang diam di tengah-tengah mereka (Yes 12:6). Dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus mendiami batin orang Kristen dengan dampak etis yang jelas: orang Kristen harus ”menjauhkan diri dari percabulan” dan “hidup di dalam pengudusan” (1Kor 6:18; 1Tes 4:3,7). Kegagalan orang dalam mendasarkan kekudusan Allah pada hakikat-Nya menyebabkan kekhilafan mereka yang memisahkan kekudusan dari kasih-Nya. Jika kekudusan adalah kehendak Allah, maka perbuatan kasih dan pengampunanNya harus juga merupakan perbuatan kudus. Kasih Allah “Allah kasih adanya” (1Yoh 4:8) adalah definisi Alkitab yang paling dikenal tentang Allah. Namun di antara manusia, kasih meliputi beraneka ragam sikap dan tindakan. Digunakan untuk Allah, kasih itu mengandung gagasan yang khas. ”Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus AnakNya yang tunggal ke dalam dunia … sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:9). Kata Yunani yang dipakai dalam Alkitab untuk menyebut kasih Allah (_agape_) tidak banyak dipakai di luar Perjanjian Baru. Ada kata Yunani yang lebih sering dipakai secara umum, yakni eros, yang menyebut cinta-kasih yang berhubungan dengan objek yang layak. Sedangkan agape adalah kasih kepada objek yang tidak layak, yaitu orang yang tidak berhak atas kesetiaan kekasihnya. Dalam Perjanjian Lama, ada kesaksian tentang hal ini berhubung dengan kasih Allah kepada Israel (Ul 7:7) dan kasih Hosea kepada istrinya yang tidak setia (Hos 3:1). Ini seolah-olah menghadirkan lagi pemisahan antara kekudusan dan kasih Allah. Bagaimana Allah yang bertindak bebas dalam kasih dapat disamakan dengan Allah yang kudus, yang mempedulikan kemuliaan-Nya? Akan tetapi, harus diingat bahwa kekudusan Allah adalah dasar dan sumber segala sesuatu yang baik; dengan begitu kita dapat melihatnya sebagai landasan kasih-Nya. Di samping itu, hanya Dia yang adalah Allah sepenuhnya dapat dengan bebas merendahkan diri sepenuhnya dan mengasihi yang lain dengan kasih agape, didasarkan pada saling mengasihi yang kekal di antara ketiga Oknum dalam Tritunggal. Kekudusan dan kasih bergabung dengan sempurna dalam diri Yesus Kristus dan pekerjaan-Nya. Sebagai Anak Allah, Ia mewujud nyatakan kekudusan Ilahi yang terlepas dari dosa dan kejahatan apa pun, namun justru kedatangan-Nya



merupakan jawaban kasih Allah yang penuh kemurahan terhadap kesalahan manusia dan keadaannya yang tak berdaya. Kedua sifat itu juga bersatu dalam pelayanan Roh Kudus, yang membaharui dan menguduskan umat Allah sebagai penggenapan rencana kasih Allah. Sebab itu, kasih Allah selalu erat hubungannya dengan anugerah, seperti Allah membungkuk untuk memeluk mereka yang tidak layak. Kasih-Nya adalah keputusan-Nya yang bebas dan tak dipaksa untuk menyelamatkan orang berdosa dalam Yesus Kristus dan memperbarui serta menguduskan mereka dalam Roh Kudus. Karena itu kasih Allah ini sungguh-sungguh merupakan Mujizat. Tiga aspek tambahan perlu dicatat. Pertama, kasih (_agape_) Allah diungkapkan terutama dalam pembebasan orang-orang berdosa serta segala yang berhubungan dengan hal itu. Tetapi kasih ini juga dinyatakan dalam kepedulianNya terhadap ciptaan-Nya. Ini sering disebut sebagai kebaikan atau kemurahan yang juga kelihatan dalam alam (Kis 14:17). Kedua, rahmat Allah adalah kasihNya pada saat menghadapi dosa manusia. Dalam rahmat-Nya, Ia mengampuni pelanggaran-pelanggaran manusia. Rahmat Allah selalu mahal harganya karena menyangkut penerimaan konsekuensi dosa manusia di kayu salib oleh Allah (Ef 2:4; Tit 3:5). Ketiga, perjanjian adalah gagasan penting dalam Alkitab dan banyak ajaran tentang kasih Allah berkisar pada hal itu. Perjanjian mengacu pada kasih Allah ketika Ia mengadakan hubungan dengan manusia. Perjanjian pokok dalam Perjanjian Lama diadakan dengan Abraham dan mencapai puncak perkembangan dengan perjanjian baru dalam Kristus. Dengan perjanjian ini, Allah secara bebas mengikat diri-Nya untuk membebaskan umat-Nya dan tetap menjadi Allah mereka. Kata-kata Ibrani untuk anugerah (_khen, khesed_) dipakai berhubungan dengan perjanjian dengan arti kasih setia, atau kasih yang tabah. Aspek kasih yang ketiga ini adalah jaminan yang paling mendasar bagi orang Kristen: ”jika kita tidak setia, Dia tetap setia” (2Tim 2:13). Kedudukan orang Kristen di hadapan Allah tidak tergantung dari pegangannya pada Kristus dan akhirnya juga tidak ditentukan oleh ketidakpatuhan atau kekurangan dalam responsnya terhadap Injil. Allah mengasihi kita dan dalam kenyataan inilah terletak jaminan serta damai sejahtera akhirnya.



C. PREDESTINASI Secara etimologi predestinasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Proorizo yang berarti “ menandai sebelumnya ” dan muncul enam kali dalam Perjanjian Baru ( Kis 4:28, Rm :29-30, 1Kor 2:7, Ef 1:5, 11 ).



Dalam kamus Webster’s New Collegiante, kata “pre” dari predestinasi menunjuk pada waktu “ sebelumnya “ sedangkan “ destiny ” menunjuk “ pada tempat tujuan kita ”. Dapat di simpulkan dengan bahasa sederhana predestinasi adalah berkenaan dengan tujuan akhir kita, yaitu surga atau neraka. Tujuan ini ditetapkan oleh Allah, bukan saja sebelum kita tiba di sana, bahkan sebelum dunia di jadikan. Dengan kata lain dari kekekalan sebelum kita ada di dalam dunia ini Allah menetapkan untuk menyelamatkan sebagian umat manusia dan membiarkan umat yang lain binasa. Beberapa karakteristik dari predestinasi : 1. Meliputi seluruh peristiwa bukan hanya berkaitan dengan keselamatan secara individu ( Kis 4:28). 2. Menentukan status kita sebagai anak-anak Allah yang diadopsi ( Ef 1:5). 3. Menjamin kita akan dimuliakan pada akhirnya ( Rm 8:29-30). 4. Untuk meninggikan tujuan Anugrah Allah ( Ef 1:6). 5. Menjamin warisan kekal kita (Ef 1:11 ).



Kedaulatan Allah. Ketika kita berbicara tentang predestinasi tentunya tidak terlepas dari pokok pembicaraan tentang kedaulatan Allah. Ketika kita sedang berbicara tentang kedaulatan Allah itu berarti kita sedang berbicara tentang otoritas Allah. Sebagai Allah yang berdaulat, Allah mempunyai otoritas yang tertinggi diatas dunia dan jagat raya ini. Kata “ otoritas “ ( authority ) mengandung kata “ author “ yang berarti penyebab, Allah adalah penyebab dari segala sesuatu yang berada di bawah otoritasnya. Demikian juga dengan kuasa yang ada dalam alam semesta ini, semuanya berasal dari kuasa Allah. Semua kuasa yang ada di alam ini berada di bawah kuasa Allah ( termasuk kuasa setan ). Setan tidak mampu melakukan kuasa apa pun tanpa mendapat ijin dari Allah, seperti halnya dengan contoh yang terjadi pada Ayub ( ayub 1 :12, 2:6 ). Setan memang jahat namun kejahatannya tunduk pada kedaulatan Allah, otoritas Allah adalah yang tertinggi. Kuasanya adalah “ mahakuasa “ , Ia adalah Allah yang berdaulat penuh. Kedaulatan Allah bermakna keberkuasaan Allah serta keilahian Allah. Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan menyebut-Nya sebagai yang maha tinggi, menyebut-Nya sebagai yang maha kuasa, yang empunya segala kuasa di surga dan di bumi ( Maz 115:3), menyebut-Nya sebagai yang memerintah bangsabangsa ( Maz 22:29). Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan menyatakan bahwa Dia adalah “ penguasa yang satu-satunya dan penuh bahagia, Raja di atas segala raja, tuan di atas segala tuan “ ( 1 Tim 6:15). Kedaulatan Allah menurut kitab suci bersifat mutlak, dan tak terbatas, artinya Allah mempunyai hak penuh atas apa yang di ciptakan-Nya, seperti tukang periuk atas tanah liat, tukang periuk berhak membentuk tanah liat menjadi apa pun sesuai dengan kehendak tukang periuk.



Kedaulatan mencirikan seluruh keberadaan Allah, Allah berdaulat dalam seluruh atribut-Nya, kuasa-Nya dinyatakan seturut kehendak-Nya dimanapun dan kapan pun. Contoh ketika bangsa Israel mengalahkan kota Yeriko, bangsa Israel tidak turun tangan berperang tetapi Allah sendiri yang berperang, contoh yang lainya adalah ketika Allah dengan kuasa-Nya melepaskan Daud dari si raksasa Goliat. Allah berdaulat dalam melaksanakan kemurahan-Nya, pelaksanaannya yakni kemurahan yang ditujukan-Nya kepada pada para pendosa. Allah berdaulat melaksanakan anugerahnya : Anugrah merupakan suatu pertolongan yang dianugerahkan kepada mereka yang tidak layak menerimanya, kepada mereka yang layak menerima hukuman di neraka. Anugrah didefinisikan sebagai suatu bentuk perkenanan Allah yang diterima bukan karena pekerjaan manusia. Dengan cara yang luar biasa anugerah Ilahi dinyatakan pada waktu kelahiran Sang juru selamat.



D. PENCIPTAAN



1. Penciptaan menurut Perjanjian Lama. Kitab Kejadian Dalam Perjanjian Lama, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Dan selanjutnya dijelaskan pada Kejadian 1 dan 2, penciptaan langit dan bumi disampaikan secara tematis. Cerita tentang penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 1 berasal dari sumber Codex yang telah ada pada permulaan pembuangan bangsa Israel ke Babel. Cerita tentang penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 2 diduga diambil dari sumber Yahwist yang berasal dari zaman raja-raja. Perbedaan di antara kedua nas ini terlihat dari sifat kesaksian masing-masing yang berbeda. Oleh karena itu, kedua kesaksian itu perlu dipahami dalam “keberlainannya”. Allah adalah hal yang melampaui segala sesuatu dan segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia, tidak ada sesuatu yang telah jadi dari segala sesuatu yang telah diajdikan. Allah berada di luar dan di atas ciptaan-Nya. Allah tetap bekerja sampai sekarang. Allah menciptakan dunia selama enam hari secara teratur dan mengambil hari ketujuh untuk beristirahat. Dalam waktu enam hari Allah mengatur segala sesuatu yang dicipta-Nya. Pada tiga hari pertama, Allah menciptakan sebuah rancangan dasar kosmos: pertama langit, air, dan kemudian lahan kering.Pada hari keempat, kelima, dan keenam, Allah menciptakan penduduk wilayah ini: pertama matahari dan bulan, kemudian ikan dan burung, dan akhirnya hewan dan manusia. Setelah Allah selesai menciptakan semua itu, Allah menilai bahwa semua itu baik. Allah menciptakan semua itu melalui Firman-Nya. Allah menyatakan kuasa-



Nya dengan memisahkan cahaya dari kegelapan, serta langit dari bumi. beberapa orang menekankan kesetiaan dari metode Allah secara logis dengan pengulangan dari tujuh langkah secara teratur yang menggambarkan proses itu dengan menggunakan beberapa kata: "Tuhan berkata" "Jadilah" "dan jadi" yang khusus karya penciptaan penamaan Tuhan atau berkat dari makhluk tersebut Tuhan mengatakan bahwa semuanya itu baik, dan "Jadilah petang dan pagi".



Allah menciptakan segala sesuatu di dunia selalu menggunakan pola dengan tujuh langkah yang telah disebutkan di atas. Kejadian 1:9 Berfirmanlah Allah: "Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering. Dan semuanya itu baik. Makhluk hidup menerima berkat Tuhan. Umat manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan diberi kuasa atas seluruh ciptaan. Tidak ada permasalahan yang terjadi di antara makhluk. Semua manusia memiliki tempat dalam dunia, di mana dunia telah dirancang untuk manusia dan ciptaan lain. Kemudian, bumi itu menjadi tempat manusia hidup. Manusia adalah makhluk bumi, sebab manusia terbentuk dari ‘debu tanah’ (bahasa Ibraninya, Adamah). Manusia yang dibentuk oleh Allah menjadi makhluk hidup ketika Allah menghembuskan napas hidup kepadanya (Kejadian 2:7). Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya (Yohanes 3:31). Manusia ditempatkan dalam taman Eden dengan suatu tanggung jawab. Dalam taman Eden terdapat pohon pengetahuan yang baik dan buruk. Pohon ini merupakan pohon pengetahuan segala sesuatu yang tidak terbatas. Setiap orang yang makan buah dari pohon itu, maka ia akan mengetahui segala sesuatu. Manusia ingin mengetahui segala sesuatu yang tidak terbatas. Apabila hal itu terjadi, maka manusia telah melanggar hak yang hanya menjadi milik Allah yaitu kekekalan. Namun, pada akhirnya manusia tergoda oleh pencobaan dan semua menjadi kacau. Manusia menjadi makhluk yang memberontak terhadap Sang Pencipta. Manusia tidak mampu menerima bahwa pengetahuannya terbatas dan dirinya bukan pusat atas alam semesta.



Mazmur Kisah penciptaan dalam kitab Mazmur mengungkapkan tentang perjuangan Allah melawan ular naga dan samudera raya yang menjadi lambang dari kekacauan, kegelapan, dan kematian pada zaman purba. Mazmur 74:13-15 tertulis bahwa “Engkau yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, yang memecahkan kepala ular-ular naga di atas muka air. Mazmur – mazmur mengekspresikan aspek yang essensial dari kepercayaan yang ditimbulkan oleh karya penciptaan Allah. Pernyataan mengenai penciptaan langit dan bumi terdapat dalam “ajaran” dan penghayatan iman. Dalam mazmur karya penciptaan Allah diberitakan supaya umat dapat memuji dan merayakan kekuasaan-Nya. Hal itu biasanya terjadi dalam ibadah, sebab mazmurmazmur biasa dibacakan, dinyanyikan, dan didoakan dalam ibadah. Misalnya, Mamzur 33 menperlihatkan Allah yang meciptakan langit dan bumi melalui perkataan dan perbuatan-Nya (ayat 6), dipuji sebagai Allah yang setia (ayat 5), dan Allah dari sorga memperlihatkan “semua anak manusia” (ayat 11) dan “mereka yang takut akan Dia” (ayat 18). Kitab Mazmur juga mengungkapkan perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam sejarah Israel. Cerita penciptaan dan sejarah keselamatan disampaikan secara berdampingan sebagai karya yang mengagumkan dari Yahwe, Allah Israel. Alkitab mengungkapkan bahwa di atas bumi ada air yang menjadi tempat kediaman Allah. Air itu mendukung Sorga (Mazmur 78:23). Gambaran Israel mengenai bumi yaitu bumi terapung-apung di atas air samudera yang raksasa. Bumi diibaratkan sebagai kapal selam yang besar. Langit diibaratkan sebagai tutup kubah yang memisahkan bumi dari air. Sekalipun bumi berada di dalam lautan besar, tetapi bumi kokoh, sebab Allah telah memberikan dasar alasnya.



Ayub Hal yang menjadi penekanan dalam kitab ini ialah Ayub dalam keluhannya yang panjang dan terperinci meminta pertanggungjawaban kepada Allah terhadap “mala petaka” yang menimpanya. Allah menjawab keluhan Ayub bukan dalam bentuk pertangungjawaban, melainkan dalam bentuk pernyataan hikmat melalui pertanyaan yang tidak perlu dijawab oleh Ayub sendiri. Allah tidak perlu memberikan pertangungjawaban kepada siapa pun juga terhadap pimpinan dan pemerintahan-Nya. Dalam Ayub 38:4 tertulis “di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengetahuan! Ayub bertanya “Siapakah yang telah menetapkan ukurannya?” ...”.Maksud Ayub menyebutkan mujizat penciptaan Allah ialah supaya mujizat penciptaan-Nya dapat berfungsi sebagai saksisaksi-Nya, sedangkan mujizat penciptaan-Nya sebagai saksi.



2. Penciptaan menurut perjanjian Baru Dalam Perjanjian Baru ada beberapa nas yang membicarakan tentang penciptaan. Pertama, Kisah Para Rasul 14:15-17 yang memuat pemberitaan rasul



Paulus kepada orang-orang kafir di Listra di mana mereka menilai Rasul Paulus sebagai “dewa yang turun di tengah-tengah mereka dalam wujud manusia”. Pemberitaan ini bertolak dari keyakinan mereka terhadap Allah sebagai Pencipta langit dan bumi dan menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan seperti menurunkan hujan dari langit dan memberikan musim-musim subur kepada manusia. Kedua, Kisah Para Rasul 17:22-31 berisi pemberitaan yang terkenal dari Rasul Paulus di Athene terkait dengan tulisan “kepada Allah yang tidak dikenal” yang dilihatnya di sebuah mezbah kafir di kota itu. Pemberitaan itu juga bertolak dari peran Allah sebagai Pencipta langit dan bumi.



Roma Surat Roma dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma menggunakan bahasa yang lain daripada bahsa yang digunakannya dalam surat Kisah Para Rasul. Paulus mengungkapkan bahwa “kekuatan Allah yang kekal dan keilahian-Nya sejak penciptaan yang tampak dalam karya-karya-Nya. Dengan kata lain, Paulus melakukan pendekatan terhadap orang-orang kafir dengan bertitik tolak dari Allah sebagai Pencipta langit dan bumi.



Kolose Kolose berisi pujian yang memuliakan Kristus sebagai “perantara” penciptaan dan “penguasa” dari seluruh kosmos. Paulus mempunyai maksud lain dalam penulisan pujian itu. Ia ingin suratnya sebagai alat untuk melawan penghormatan yang diberikan oleh orang-orang Kolose kepada penguasa-penguasa kosmis melalui pernyataan bahwa penguasa-penguasa kosmis itu diciptakan oleh Kristus sehingga mereka takhluk kepada-Nya. Dengan kata lain, hal hendak ditekankan oleh Paulus ialah bukan hanya Kristus sebagai “perantara” penciptaan, tetapi juga kekuasaan Kristus melebihi penguasa-penguasa kosmis yang saat itu ditakuti oleh orang-orang Kolose. Pemberitaan mengenai Kristus adalah “perantara” penciptaan yang sangat kuat dipengaruhi oleh paham Perjanjian Lama mengenai hikmat. Hal yang hendak ditekankan Paulus, bukan menjelaskan peranan Kristus dalam penciptaan, tetapi menekankan bahwa Kristus adalah “rahasia” penciptaan dan penciptaan didasarkan atas Allah.



3. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah Manusis adalah ciptaan Allah, sehingga manusia harus tunduk kepada Allah . Meskipun, manusia diciptakan segambar dengan Allah, tetapi manusia tidak sama dengan Allah. Allah adalah pencipta, sedangkan manusia adalah ciptaan. Manusia, malaikat dan semua ciptaan, diciptakan oleh Allah. Kejadian 2 ayat 6-7, “Tetapi kabut naik ke atas bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi, ketika itulah Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya. Demikianlah, manusia itu menjadi makhluk yang hidup”.



Setelah Allah menjadikan langit dan bumi, Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidung manusia, sehingga manusia menjadi makhluk hidup. Manusia memiliki tubuh, jiwa dan roh. Kata tubuh, roh, dan jiwa digunakan secara bergantian menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu makhluk yang diciptakan Allah secara utuh. Misalnya, dalam Mazmur 103:1; Mazmur 104:1,35; dan Mazmur 146:2 tertulis bahwa “jiwaku memuji Tuhan. Perbandingan antara cerita penciptaan dalam Kejadian 1 dan Kejadian 2: 1. Cerita dalam Kejadian 1 memperlihatkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”. Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai makhluk yang memiliki hubungan khusus. Kejadian 2 menceritakan bahwa manusia dibentuk dari debu tanah, tetapi Allah menghembuskan napas hidup “ke dalam hidungnya”. Jadi, antara Allah dan manusia memiliki hubungan (relasi) khusus. 2. Kejadian 1 memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan bersamasama. Keduanya tidak ada perbedaan derajat. Kejadian 2 memperlihatkan bahwa lakilaki diciptakan lebih dahulu daripada perempuan, meskipun demikian perempuan merupakan “penolongnya yang sepadan dengan dia” dan dibentuk sesuai dengan unsur yang sama. 3. Cerita dalam Kejadian 1 manusia memperoleh tugas untuk “menguasai”. Cerita di Kejadian 2 manusia memperoleh tugas untuk “mengusahakan dan memelihara”.



Kedua cerita penciptaan dalam pasal 1 merupakan gambaran umum penciptaan manusia itu sedangkan pada pasal 2 merupakan detail atau gambaran khusus tentang penciptaan manusia. Dengan kata lain, antara cerita penciptaan di Kejadian 1 dan Kejadian 2 tidak ada pertentangan. Manusia tidak diciptakan hanya dengan melalui firman Allah saja seperti ciptaan yang lainnya tetapi dikerjakan dengan sempurna oleh tangan Allah yang maha kuasa lalu diberikan nafas kehidupan sehingga manusia memiliki hubungan atau relasi yang khusus dengan Allah. “Sebenarnya dalam pikiran manusia ada naluri alamiah untuk mencari Tuhan,” kata John Calvin. Kita dilahirkan dan hidup untuk tujuan yang jelas, yaitu mengenal dan mengasihi Allah. Dia adalah sumber kehidupan kita, dan hati kita selalu gelisah sebelum datang kepada-Nya.



E. PROVIDENSI



Mengenal Providensi atau pemeliharaan Allah sangatlah penting dalam kehidupan iman Kristen. Doktrin Reformed mempercayai tentang Providensi Allah ini, tidak ada satu pun orang Reformed yang sejati tidak mempercayai doktrin Providensi ini. Doktrin ini sangat penting bagi orang percaya, Calvin menuliskan betapa pentingnya doktrin ini:[1] 1. Ignorance of Providence is the ultimate of all miseries; the highest blessednesslies in the knowledge of it (Ketidaktahuan tentang Providensia adalah asal mula semua kesengsaraan; berkat yang terbesar terletak dalam pengenalan tentang providensia). 2. Nothing is more profitable than the knowledge of this doctrine (Tidak ada yang lebih berguna dari pada pengenalan tentang doktrin ini). Providensi berasal dari bahasa latin “providential”. Asalnya pengertian itu ialah kata kerja latin “providere”, yang berarti memandang ke depan, melihat terlebih dahulu terjadinya sesuatu dan sebab itu juga terlebih dahulu mengambil tindakan-tindakan, terlebih dahulu menyelenggarakan atau menyediakan sesuatu[2]. Providensia tidak dapat disamakan dengan takdir Allah.[3]Dalam kamus arti providensia adalah “pemeliharaan baik”, sedang dalam teologi providensia lebih dari sekedar pemeliharaan baik, tetapi providensia adalah pelaksanaan yang tidak mungkin gagal dari rencana Allah atau pemerintahan (pengaturan) terhadap segala sesuatu sehingga rencana Allah terlaksana.[4] Providensi Allah tidak mungkin gagal. Rencana Allah sudah ada atau rencana Allah sejak semula (2 Raja-raja 19:25, Maz. 139:16) dan rencana Allah tidak mungkin berubah atau gagal (Bil. 23:19, 1 Sam. 15:29, Maz. 33:11).[5] Orang Arminian percaya bahwa rencana Allah bisa mengubah Rencana-Nya, dan percaya bahwa Rencana Allah bisa gagal. Hal ini merupakan suatu penghinaan bagi Allah karena menyamakan Allah dengan manusia, yang sering mengubah rencana-Nya dan gagal dalam mencapai rencananya itu. Alasan mengapa Allah tidak pernah gagal dalam rencana-Nya adalah:[6] 1. Kemahatahuan Allah. Pada waktu Allah rencanakan , bukankah Dia sudah tahu apakah rencana-Nya akan gagal atau berhasil? 2. Kemahabijaksanaan Allah. Kebijaksanaan Allah menyebabkan Ia pasti membuat rencana yang terbaik. 3. Kemahakuasaan Allah. Allah yang Maha kuasa tidak mungkin gagal mencapai Rencana-Nya atau terpaksa mengubah Rencana-Nya. 4. Kedaulatan Allah. Allah tidak mungkin mengubah Rencana-Nya, karena perubahan rencana membuat Allah tergantung pada situasi dan kondisi. Kalau manusia membuat rencana, maka manusia membuatnya secara bertahap. Manusia membutuhkan penambahan pengetahuan untuk bisa membuat rencana lanjutan. Tetapi rencana Allah yang maha tahu dan maha bijaksana , merencanakan seluruh rencananya dari semula.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Setelah kami mengambil kesimpulan bahwa, Allah Tritunggal merupakan konsep yang paling hakiki dari Allah sendiri. Dengan adanya Tritunggal Allah dapat menunjukkan kasih dan relasiNya yang unik. Allah bukan dipisah-pisah menjadi 3 bagian yang berbeda, namun Allah tetap satu adanya. Konsep yang paling kuat yang menunjukkan keesaan dari Allah yaitu Allah Bapa, Allah anak, dan Allah Roh Kudus merupakan satu Allah dalam esensi masing-masing, Allah Bapak diidentikan dengan Allah Pencipta langit dan bumi, Allah anak diidentikkan dengan Allah penyelamat umat percaya,Allah Roh Kudus diidentikan dengan Allah penghibur umat percaya. sampai saat ini masih banyak kontroversi yang terjadi berkaitan dengan konsep Allah Tritunggal dan hal ini merupakan perbedaan pendapat mengenai doktrin dan dogma yang dipegang oleh masing-masing personal. Allah adalah Allah yang tak terbatas namun rela membatasi diriNya sehingga manusia dapat memahami dalam keterbatasan manusia.Pengenalan manusia kepada Allah oleh karena Allah yang memperkenalkan diriNya kepada manusia. Pengungkapan diri Allah (The revealed of god) melalui pernyataan umum dan khusus. Alkitab memberikan kepastian kepada kita bahwa Allah ada dan bagaimana Allah. Sehingga didalam alkitab kita mendapatkan pengajaran yang jelas tentang Allah sejauh Alkitab membukakan.