Makalah Euthanasia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. LATAR BELAKANG Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam peradaban manusia, hal ini bertujuan untuk kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan segala konsekuensi terhadap kesehatan. Salah satu kemajuan ilmu didalam peradaban manusia yaitu kemajuan ilmu kedokteran.



Pengetahuan



kedokteran



dapat



memperkirakan



kemungkinan



keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan, pengurangan, penderitaan pasien, bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien yang mengalami penyakit tertentu dapat dilakukan secara cepat, tetapi kemajuan di bidang ilmu kedokteran tidak mustahil akan mengundang permasalahan Salah satu yang masalah penting yang terpengaruh kemajuan teknologi adalah praktek euthanasia. Euthanasia yang secara sederhana membantu seseorang untuk mati agar terbebas dari penderitaan yang sangat, dan juga praktek euthanasia menggunakan peralatan kedokteran terhadap pasien yang pelik dan rumit, misalnya apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan



ataupun



pengurangan



penderitaan,



apakah



seseorang



boleh



mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? apabila segala upaya yang dilakukan akan sia-sia atau bahkan dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana yang banyak atau bahkan lebih berbahaya jika dibiarkan karena penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular penyakit AIDS misalnya.yang menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan, tindakan eutahasia ini dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya. Kontroversi menyangkut euthanasia tidak saja santer didiskusikan dikalangan dunia medis, tapi telah merambah kemana-mana. Di Amerika, Dr. Jack Kevorkian yang keluar masuk pengadilan akibat tekadnya untuk tidak saja membenarkan euthanasia, tapi bahkan melakukannya secara terbuka, menambah semaraknya kontroversi yang diliput secara luas oleh media massa. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tidak memperbolehkan Euthanasia, demikian juga dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Euthanasia – SUHERMI YENTI | 1



Di dalam Al-Quran Surat Al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ialah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, Penciptanya. Adapun bunyi dari Surat Al-Mulk ayat 2 adalah :



Artinya : “Yang menjadikan mati dan hidup. Supaya Dia menguji kamu. Siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa Lagi Maha Pengampun”.



B. KERANGKA TEORI / PENGERTIAN Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145). Euthanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter Euthanasia yaitu sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup orang lain (pasien) untuk kepentingan pasien itu sendiri. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah. 2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar. 3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 2



Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Jenis-Jenis Euthanasia Dari Cara Dilaksanakannya : 1. Dilihat dari cara dilaksanakannya euthanasia dapat dibedakan atas a. Euthanasia pasif Di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau melanjutkan bantuan medik. Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 3



Contoh euthanasia pasif, misalkan :  Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat 



mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177). Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut. Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.



b. Euthanasia Aktif Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176). Euthanasia aktif baik secara langsung atau tidak langsung, dimana dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien. Contoh euthanasia aktif, misalnya : 



Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang Euthanasia – SUHERMI YENTI | 4



bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya 



sekaligus (Utomo, 2003:178). Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri Hasan) yang mengalami



koma



selama



tiga



bulan



dan



dalam



hidupnya



membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. 2. Euthanasia ditinjau dari pemberian izin a. Euthanasia tidak sukarela Terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena factor umur, ketidakmampuan fisik dan mental. Sebagai contoh adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada didalam keadaan vegetative (koma) b. Euthanasia sukarela Dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. c. Euthanasia diluar kemauan pasien Ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyak persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. Alasan dilakukannya Euthanasia : 



Adanya hal moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang







mempunyai hak untuk memilih cara kematiannya Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan



 



sesame adalah tindakan kebajikan. Tindakan belas kasihan keluarga pasien Mengurangi beban ekonomi



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 5



C. PANDANGAN MEDIS Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan akhlak, yaitu pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap makhluk lain dan sesama manusia. Etika atau ethic memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku dalam bermasyarakat sehingga bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban. Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang menjadi etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok profesi. Tujuan dari etika profesi ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi. Oleh karena itu, etika profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang menjalankan profesi tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kode Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti Euthanasia – SUHERMI YENTI | 6



pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.” Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang dimaksud pada Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri. Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien yang ingin di eutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas hidup dan tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya, dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien salah satunya adalah Euthanasia. Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan Euthanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut Pasal 7d seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang pasien. Beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan norma-norma etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia. Mengenai kasus euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode Etik Kedokteran Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah Hipocrates (460-377 SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah dokter, International Code of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960), Deklarasi Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi Sydney (1968) mengenai saat kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai pengguguran kandungan atas indikasi medik dan Deklarasi Tokyo (1975) mengenai penyiksaan.



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 7



D. PANDANGAN ISLAM Dalam



bahasa



Arab,



Euthanasia



dikenal



dengan



istilah qatl



ar-



rahmaatau taysîr al-mawt. Syariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-‘amâd), walaupun niatnya baik, yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.: Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am [6]: 151). Dari dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif, karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun atas permintaan keluarga atau si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan. Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah Euthanasia – SUHERMI YENTI | 8



sunnah (mandûb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !” Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’. Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan Euthanasia – SUHERMI YENTI | 9



hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undangundang. Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat. Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus



dibunuh,



disalib



dan



diasingkan



dari



tempat



kediamannya”(HR Abu Dawud dan An-Nasa’i) Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan Euthanasia – SUHERMI YENTI | 10



hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari). Pada prinsipnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim). Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, AlMulk:1-2). Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan? Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu Euthanasia – SUHERMI YENTI | 11



serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim). Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah. Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh. Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar AlGhifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat Euthanasia – SUHERMI YENTI | 12



ataupun generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya. Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib. Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah. Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl arrahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 13



dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya. Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.



Hukum Euthanasia Positif Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Euthanasia – SUHERMI YENTI | 14



Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Hukum Euthanasia Negatif Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar pada menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat. Dasar Kebolehan Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasi negatif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagainulama. Yaitubahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnyawajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegangolehimam-imam mazhab. Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetapmewajibkannya. Misalnyaapa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bion Hanbal, jugasebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah). Perbedaan Pendapat



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 15



Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya. Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzarradhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu. Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun. Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib. Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 16



Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab. Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah. Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. E. KESIMPULAN Euthanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter. Seorang Dokter harus menjaga dan melindungi hidup seseorang insan, ini berarti dokter tidak boleh : Euthanasia – SUHERMI YENTI | 17



a. Menggugurkan kandungan b. Mengakhiri hidup seseorang meskipun ia tidak akan sembuh lagi. Dan dilihat dari sudut pandang Islam Euthanasia tidak diperbolehkan karena bertentangan / melanggar kehendak dan wewenang Tuhan, seperti dalam Firman Allah Surat An-Nisa 29 - 30 dan Surat AI-An'am ayat 151.



DAFTAR PUSTAKA 1. Permatasari, Leya Indah. “Euthanasia Dalam Pandangan Islam”. 13 Desember 2015. http://nursemuslimfikunpad.blogspot.co.id/ 2. Hanafiah Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC.



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 18



3. Reni, Erwin. “Makalah Euthanasia – Hukum Euthanasia Menurut Dunia Kesehatan dan Hukum Islam”. 13 Desember 2015. https://www.academia.edu/11751628/MAKALAH_EUTHANASIA



EUTHANASIA TUGAS FILSAFAT KEMUHAMMADIYAHAN



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 19



NAMA



: SUHERMI YENTI



NPM



: 1509047030



SEMESTER



: I (SATU)



ANGKATAN



: 18



SEKOLAH PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA NOVEMBER, 2015



Euthanasia – SUHERMI YENTI | 20