Makalah Gangguan Pencernaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FARMAKOLOGI SISTEM PENCERNAAN “Gangguan Sistem Pencernaan”



Disusun Oleh : Ervina Novitasari (3111001)



Kelas : 2A Farmasi



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKes BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam penulisan makalah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besasrnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis, baik bantuan moril seperti masukan, saran, nasehat, dan dukungan dalam penulisan makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, ntuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi kesempurnaan dalam penulisan berikutnya. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan kita dan bermanfaat sebagai penunjang proses belajar mengajar.



Tasikmalaya. 16 April 2020



Penulis



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii DAFTAR ISI ............................................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................................................1 1.1. Latar belakang ...............................................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................................1 1.3. Tujuan ...........................................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................2 2.1. Pengertian Gangguan Pencernaan .................................................................................2 2.2. Gejala Gangguan Pencernaan .......................................................................................2 2.3. Penyebab Gangguan Pencernaan ..................................................................................2 BAB III PENUTUP .................................................................................................................50 3.1. Kesimpulan ................................................................................................................50 3.2. Saran ..........................................................................................................................50 DAFTAR PUSTAKA



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, persentasi kasus-kasus penyakit yang berdampak pada gangguan saluran pencernaan mulai mengalami peningkatan. Kecukupan nutrisi tubuh berpengaruh besar terhadap produktivitas dan hal itu sangat berkaitan erat dengan fungsi kerja saluran pencernaan. Saluran pencernaan yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan nilai pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi. System pencernaan merupakan system yang memproses mengubah makanan dan menyerap saei makanan yang brupa nutrisi-mutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. System pencernaan juga akan memecah molekul makanan yang kompleks menjadi molekul yang sederhana dengan bantuan enzim sehingga dicerna oleh tubuh. Gangguan saluran pencernaan ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Kelainan saluran pencernaan, gangguan absorpsi, gangguan struktur lainnya, serta pola makan yang tidak benar dan tidak sehat dapat menjadi penyebab dari timbulnya gangguan saluran pencernaan. Berbagai macam pengobatan dan terapi dilakukan untuk mengatasi adanya gangguan saluran pencernaan. Hanya saja tidak semua terapi dan pengoabatan dilakukan dengan sesuai dan benar. Pemilihan obat dan metode terapi yang sesuai dan benar sangat dibutuhkan untuk dapat mengatasi gangguan saluran pencernaan tersebut. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa itu gangguan pencernaan ? 2. Bagaimana gejala gangguan pencernaan ? 3. Apa saja penyebab dari gangguan pencernaan ? 1.3. Tujuan 1. Memahami pengertian dari penyakit gangguan pencernaan. 2. Mengetahui gejala dari penyakit gangguan pencernaan. 3. Mengetahui pemeriksaan laboratorium bagi penyakit gangguan pencernaan. 4. Mengetahui terapi farmakologi pada penyakit gangguan system pencernaan. 5. Mengetahui terapi non farmakologi pada penyakit gangguan system pencernaan.



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Gangguan Pencernaan Gangguan pencernaan adalah masalah yang terjadi pada salah satu organ sistem pencernaan, atau lebih dari satu organ pencernaan secara bersamaan. Sistem pencernaan terdiri dari sejumlah organ, mulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. Organ hati, pankreas, dan kantung empedu juga berperan dalam mencerna makan, namun tidak dilewati oleh makanan atau terletak di luar saluran pencernaan. Sistem pencernaan berfungsi menerima dan mencerna makanan menjadi nutrisi yang dapat diserap. Nutrisi tersebut kemudian disalurkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sistem pencernaan juga berfungsi memisahkan dan membuang bagian makanan yang tidak bisa dicerna oleh tubuh. Ketika tubuh tidak dapat mencerna makanan dengan baik, kondisi tersebut dapat menyebabkan intoleransi makanan. 2.2. Gejala Gangguan Pencernaan  Sulit menelan  Sensasi terbakar di dada (heartburn)  Mual  Muntah  Perut kembung  Sakit maag 



Sakit perut



 Diare  Sembelit  Muntah darah atau BAB berdarah  Berat badan naik atau malah turun 2.3. Penyebab Gangguan Pencernaan Penyebab gangguan pencernaan sangat bervariasi, tergantung kepada penyakitnya. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa penyakit gangguan pencernaan beserta penyebab yang mendasarinya. 2



2.3.1. Penyakit Refluks Asam Lambung  Pengertian Penyakit



refluks



asam



lambung atau gastroesophageal



reflux



disease (GERD) adalah kondisi ketika asam lambung naik ke esofagus (kerongkongan). Kondisi ini terjadi akibat melemahnya cincin otot kerongkongan yang berfungsi mencegah makanan kembali ke kerongkongan setelah masuk ke lambung.  Gejala Gejala yang biasa terjadi saat asam lambung naik adalah rasa asam atau pahit di  mulut dan sensasi perih atau panas terbakar di dada dan ulu hati. Kedua gejala ini biasanya akan semakin memburuk saat penderita membungkuk, berbaring, atau setelah makan. Adapun gejala lainya yaitu :  Kesulitan menelan atau perasaan seperti ada benjolan di tenggorokan.  Gangguan pernapasan, seperti batuk-batuk dan sesak napas. Orang yang memiliki penyakit asma akan sering kambuh ketika gejala GERD kumat.  Suara serak.  Mual dan muntah.  Sakit tenggorokan.  Keluarnya isi lambung tanpa disadari.  Gangguan tidur.  Kerusakan gigi karena sering terkena asam lambung.  Bau mulut.  Pemeriksaan Lab 1. Terapi Empiric Terapi empirik merupakan pendekatan diagnosis yang dapat diterapkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama karena sederhana dan tidak memerlukan alat penunjang diagnostik. Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian 3



kuisioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (proton pump inhibitor). Selain itu, gejala GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-Q). Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respon terapi. 2. Uji Terapi PPI Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI (PPI test). Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1–2 minggu tanpa didahului endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Uji terapi PPI dikatakan postif jika terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50 %. Indikasi uji terapi ini adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia, hematemesis-melena, riwayat keluarga dengan keganasan, penggunaan NSAID kronik, usia >40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi) dan yang tidak respon dengan uji terapi empirik dengan PPI 2 kali sehari. 3. Endoskopi Pemeriksaan standar baku untuk menegakkan GERD adalah endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA). Endoskopi terutama dilakukan pada penderita GERD dengan gejala alarm. Pemeriksaan endoskopi menilai berat ringannya mucosal break pada penderita refluks gastroesofageal. Di Indonesia, fasilitas endoskopi hanya ada di fasilitas kesehatan tingkat lanjut. 4. Ambulatory Reflux Monitoring Dilakukan pemeriksaan selama 24 jam untuk menilai paparan asam dalam esofagus dan mengkorelasikan dengan gejala yang ada. 4



5. Esophageal Manometry Lebih di rekomendasikan untuk evaluasi ekskluasi kelainan motilitas seperti achalasia atau aperistalti.  Terapi Farmakologi Obat golongan PPI (protont pump inhibitor) merupakan obat pilihan yang terbukti efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis. Terdapat 5 jenis PPI yang beredar di pasaran yaitu omeprazol 20 mg, pantoprazol 40 mg, lansoprazol 30 mg, esomeprazol 40 mg, dan rabeprazol 20 mg. Terapi bagi penderita GERD adalah PPI dosis tunggal selama 8 minggu. Jika gejala tidak membaik atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI dosis ganda selama 4–8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenace berupa PPI dosis tunggal selama 5–14 hari. Selaim PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik. Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks ringan dan terapi maintenance bersama PPI.  Terapi Non Farmakologi  Meninggikan posisi kepala 6 inchi (15 – 20 cm ) saat tidur.  Menurunkan berat badan sesuai IMT ideal.  Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol dan makanan berlemak ,asam, pedas.  Makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.  Tidak makan terlalu kenyang. 2.3.2. Esofagitis  Pengertian Esofagitis adalah peradangan di lapisan kerongkongan yang dapat menimbulkan nyeri, sulit menelan, dan nyeri di bagian dada. Apabila 5



dibiarkan tidak tertangani, esofagitis dapat menyebabkan penyempitan pada kerongkongan.   Gejala  Perasaan terbakar (pyrosis) dan perih dibelakang tulang dada, yang disebabkan karena luka-luka mukosa bersentuhan dengan makanan atau minuman yang merangsang (alcohol, sari buah, minuman bersoda).  Timbul perasaan asam atau pahit dimulut akibat mengalirnya kembali isi lambung (reflux).  Disfagia, adinofagia, terasa nyeri dan pahit saat menelan. Pada beberapa penderita mengeluh dapar merasakan jalannya makanan yang ditelan dari kerongkongan ke lambung, rasa nyeri retrosternal yang menyebar sampai ke daerah scapula atau terasa disepanjang vetebrata torakalis sinistra.  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan Esofagoskopi Tidak di dapatkan kelainan yang jelas (blackstone), ciri khas dari esophagitis reflux yaitu peradangan mulai dari daerah perbatasan esophagus gaster ke proksimal daerah esophagus. Menunjukkan adanya ulkus atau adenokarsinoma pada esophagus bagian distal yang dibatasi oleh sel kolumner.  Pemeriksaan Dengan Menelan Barium Menelan barium biasanya normal bagi penderita esophagitis tanpa komplikasi, tetapi dapat menunjukkan adanya komplikasi stikura atau pembentukan ulkus.  Pemeriksaan Radiologi Kontras barium dapat menunjukkan kelainan yang terjadi pada keadaan pasca operasi.  Pemeriksaan Endoskopi 6



Terlihat lesi dimukosa esophagus , mukosa hipermis rapuh, erosive, eksudat dan pada kasus yang berat terdapat striktur dan stenosis.  Terapi Farmakologi Pengobatan esofagitis akan disesuaikan dengan penyebabnya. Berikut adalah beberapa bentuk pengobatan esofagitis berdasarkan penyebabnya:  Refluks asam lambung Penderita akan diberikan obat-obatan yang menetralkan asam lambung atau menurunkan produksi asam lambung. Contoh obat-obatan yang



diberikan



antasida, ranitidin,



cimetidin,



omeprazole,



atau



lansoprazole. Jika diperlukan, tindakan pembedahan akan dilakukan untuk memperkuat katup antara lambung dan kerongkongan.  Infeksi Untuk menangani esofagitis jenis ini, dokter akan meresepkan obat antibiotik, antivirus, atau antijamur sesuai dengan penyebab infeksi.  Obat-obatan Konsultasikan kembali kepada dokter yang memberikan obat tersebut. Bicarakan mengenai manfaat dan risiko obat, serta tanyakan apakah



obat



tersebut



dapat



diganti



atau



dihentikan,



karena



menimbulkan efek samping esofagitis.  Alergi Selain memberikan obat yang menurunkan produksi asam lambung, dokter juga akan memberikan obat antialergi dan kortikosteroid, serta mengatur jenis makanan yang dikonsumsi.  Terapi Non Farmakologi  Berhenti merokok.  Menurunkan berat badan.  Menghindari tiduran setelah makan.  Meninggikan posisi kepala pada saat tidur.  Menelan obat dengan bantuan segelas air. 7



 Mengurangi konsumsi makanan yang dapat meningkatkan asam lambung, seperti kopi, alkohol, coklat, dan makanan berasa mint. 2.3.3. Akalasia  Pengertian Akalasia adalah kondisi ketika saraf di area esofagus (kerongkongan) mengalami kerusakan. Kondisi tersebut menyebabkan otot katup di antara kerongkongan dan lambung kehilangan kelenturan, sehingga makanan sulit terdorong ke lambung.  Gejala Gejala akalasia muncul secara bertahap. Seiring waktu, fungsi kerongkongan akan semakin lemah dan muncul beberapa gejala sebagai berikut:  Disfagia, kondisi ketika penderita akalasia kesulitan, bahkan kesakitan, ketika menelan makanan atau minuman.  Heartburn, adalah rasa panas atau perih di ulu hati akibat asam lambung yang naik ke kerongkongan.  Regurgitasi, kondisi ketika makanan atau minuman kembali naik ke tenggorokan.  Nyeri dada  Muntah yang mengalir atau menetes dari mulut.  Penurunan berat badan. Jika gejala akalasia terus dibiarkan tanpa pengobatan, maka akan meningkatkan risiko terjadinya kanker esofagus.  Pemeriksaan Lab  Esofagografi Salah satu jenis tes pencitraan untuk mendapatkan gambar detail kerongkongan. Pasien akan diminta untuk menelan cairan zat pewarna (kontras) yang mengandung barium, sehingga kerongkongan dapat terlihat jelas saat foto Rontgen. Normalnya, diameter kerongkongan



8



terlihat cukup lebar dan barium terlihat lancar memasuki lambung. Namun, tidak demikian pada penderita akalasia.  Manometri Tabung



plastik



kecil



dan



fleksibel



akan



dimasukkan



ke



kerongkongan melalui hidung. Alat ini akan merekam aktivitas dan kekuatan kontraksi otot, serta memeriksa tekanan yang muncul di LES.  Endoskopi Sebuah instrumen fleksibel disertai kamera di bagian ujungnya akan dimasukkan ke bagian bawah kerongkongan agar dokter dapat memeriksa kondisi dinding kerongkongan dan lambung.  Terapi Farmakologi  Pelebaran kerongkongan.  Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan sebuah balon ke bagian kerongkongan



yang



mengalami



penyempitan



dengan



bantuan



endoskopi. Balon tersebut kemudian dikembangkan untuk memperbesar bukaan LES, sehingga makanan dapat masuk ke dalam lambung. Tindakan ini perlu dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan hasil terbaik.  Suntik botox (botulinum toxin) Jenis pengobatan ini dilakukan untuk pasien dengan kondisi kesehatan secara umum kurang baik, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan pelebaran kerongkongan. Dokter akan menyuntikkan botox secara langsung ke LES melalui endoskopi, sehingga LES akan mengendur dan terbuka. Pengaruh suntik botox hanya bersifat sementara, dapat bertahan selama beberapa bulan dan terkadang beberapa tahun.  Operasi Prosedur operasi untuk membuka LES dikenal dengan myotomy. Ada beberapa jenis operasi myotomy untuk menangani akalasia, antara lain: 9



a. Heller myotomy. Prosedur ini dilakukan dengan memotong otot LES menggunakan teknik laparoskopi atau operasi dengan sayatan minimal, sehingga makanan lebih mudah masuk ke lambung. b. Peroral endoscopic myotomy (POEM). Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan endoskopi yang dimasukkan melalui mulut ke kerongkongan untuk memotong LES. c. Fundoplication. Dokter bedah akan membungkus bagian atas lambung (di bawah dari LES) untuk mengencangkan otot lambung dan mencegah naiknya asam lambung. Prosedur operasi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan Heller myotomy melalui teknik laparoskopi.  Obat Selain itu, pemberian obat-obatan juga dapat dilakukan dokter jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk melalui prosedur pelebaran kerongkongan atau operasi, dan apabila suntik botox juga tidak menolong. Obat-obat yang dapat diberikan untuk melemaskan LES, antara lain nitrogliserin atau nifedipine, yang dikonsumsi sebelum makan.  Terapi Non Farmakologi  Memperbanyak minum ketika sedang makan.  Mengunyah makanan dengan baik sebelum ditelan.  Menjalani pola makan dengan porsi kecil dan lebih sering.  Menghindari makan sebelum tidur, berikan waktu minimal 3 jam sebelum tidur.  Menghindari tidur dengan posisi datar.  Gunakan bantal untuk menyanggah kepala, hal ini dilakukan untuk mencegah asam lambung naik ke kerongkongan.  Berhenti merokok. 2.3.4. Gastritis  Pengertian 10



Gastritis adalah peradangan di dinding lambung, yang dapat terjadi tibatiba (akut), atau berlangsung dalam jangka panjang (kronis). Kondisi ini dapat menyebabkan tukak lambung.  Gejala Gejala yang di timbulkan antara lain:  Nyeri yang terasa panas dan perih diperut bagian ulu hati.  Perut kembung  Cegukan  Mual  Muntah  Hilang nafsu makan  Cepat merasa kenyang saat makan  Buang air besar dengan tinja berwarna hitam  Muntah darah  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan Rontgen Diagnosis yang tepat bisa ditentukan dengan pemeriksaan rontgen bila dikerjakan dengan baik yaitu dengan cara full filling kontras ganda, mucosal studies dan kompresi. Kontras ganda diperlukan untuk melihat lesi-lesi kecil dan keganasan pada tukak. 



Endoskopi Endoskopi ada dua macam, yaitu dengan pandangan samping (“Oblique View”) dan dengan pandangan depan (“Forward View”). Pada saat ini pemeriksaan dengan endoskopi dianggap lebih baik daripada radiologi terutama untuk tukak duodenum. Bila dikombinasi dengan biopsy dan sitologi ketepatan diagnosis hamper 98-100%.



 Terapi Farmakologi



11



 Obat pilihan berdasarkan pada algoritma.  Pada ulcer yang disebabkan H. pylori dipilih terapi kombinasi yang paling efektif dan aman. Terapi selama 14 hari lebih disukai karena daya eradikasinya lebih sempurna dibandingkan terapi selama 10 hari, terapi 7 hari tidak dianjurkan. No



Regimen Obat



. 1.



Klaritromisin 2×500 mg Amoksisilin 2×1 gram



2.



PPI 2×1 tab selama 10-14 hari Klaritromisin 2×500 mg Metronidazole 2×500 mg



3.



PPI 2×1 tab selama 10-14 hari Klaritromisin 2×500 mg Tetrasiklin 2×500 mg sehari Ranitidine Bismuth Sitrat



4.



2×400 mg selama 10



hari Bismuth subsalisilat 4×500 mg Metronidazole 4×500 mg PPP sesuai dosis lazim selama 14 hari.



 Pasien dengan ulcer harus diberi PPI dan H2GRA untuk mengurangi gejala yang timbul.  PPI haus diminum 15-30 menit sebelum makan.  Ulcer yang tidak komlek karena NSAID dapat sembuh setelah penghentian NSAID.  Jika penggunaan tidak dihentikan pemberian PPI lebih tepat karena PPI lebih kuat dalam menghambat sekresi HCl. 



Pasien ulcer dengan komplikasi sering memerlukan endoskopi dan pembedahan. Obat yang efektig digunakan :



 H2 Reseptor Antagonis (H2RA) 12



Contoh : Simetidin, famotidin, nizatidine, dan ranitidine. Cara kerja : menghambat sekresi asam dengan menghambat ikatan antara histamin dengan reseptornya. Efek samping : diantaranya diare, sakit kepala, dizines, dan rash. Simetidin mempunyai efek antiandrogen yang dapat menyebabkan ginekromastia dan impotensi.  Pompa Proton Inhibitor (PPI) Contoh : omeprazole, pantoprazole, lansoprazole, esomeprazole, dan rabeprazole. Cara kerja : mengikat K/H+ dan -ATPase secara irreversible sehingga menghambat pompa proton (H+) dan selanjutnya menghambat sekresi HCl  Antasida Cara kerja : Al(OH)3 dan Mg(OH)2 mengikat asam lambung dan meningkatkan ketahanan mukosa terhadap asam. Dimetilpolisiloksan atau simetidin bersifat flatulen dan mendorong terjadinya flatus.  Sukralfat Cara kerja : obat ini adalah berikatan dengan jaringan yang mengalami tukak membentuk lapisan yang dapat melindungi tukak dari asam lambung sehingga memberi kesempatan tukak untuk sembuh. Efek samping : relative jarang terjadi kejadian yang sering adalah konstipasi



mulut



kering, mual



dan



rash. Dapat



menurunkan



bioavailabilitas dari dari digoxin, fenitoin, teofilin, ketokonazol, quinidine, quinolone, dan warfarin.  Misoprostol Adalah suatu analog prostaglandin E1 yang bersifat antisekretori dan sitoprotektif yang dapat mencegah ulcer karena penggunaan AINS. Efek samping : diare tergantung dosis. Obat ini dikontraindikasikan untuk wanita hamil dapat merangsang uterus.  Antimikroba



13



Antimikroba



yang digunakan untk eradikasi



H. pylori yaitu



Amoksisilin, klaritromisin, metronidazole, dan tetrasiklin.  Terapi Non Farmakologi  Kurangi stress, rokok dan penggunaan NSAID. Jika NSAID tidak dapat dihindari, pakai dosis efektif minimum atau gant dengan NSAID yang selektif menghambat COX-2 seperti celecoxib dan refecoxib.  Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan dyspepsia dan memperberat symptom ulcer. 2.3.5. Tukak Lambung  Pengertian Tukak lambung (peptic ulcer) merupakan luka terbuka yang terbentuk di lapisan lambung, atau bisa juga terjadi di usus 12 jari (ulkus duodenum). Tukak lambung dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, dan penggunaan aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid dalam jangka panjang.  Gejala Gejala yang muncul adalah sakit maag atau nyeri ulu hati. Nyeri tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut :  Berlangsung dalam hitungan menit hingga jam.  Hilang timbul selama beberapa hari, minggu, atau bulan.  Memburuk diwaktu makan, saat malam hari, atau pagi-pagi sekali.  Makin parah ketika perut kosong.  Reda bila perut diisi makanan atau setelah minum obat sakit maag, tetapi kemudian akan muncul kembali. Gejala lain yang bisa muncul pada tukak lambung adalah :  Mual dan muntah  Perut kembung  Sering bersendawa  Dada terasa seperti terbakar



14



 Hilang nafsu makan atau mudah kenyang  Berat badan turun  Sulit menarik nafas  Lemas  Pemeriksaan Lab  Radiologi Terlihat gambaran niche atau crater.  Endoskopi Terlihat tukak gaster engan pinggir teratur, mukosa licin, lipatan radiasi keluar dari pinggir tukak secara teratur.  Hasil Biopsi Tidak menunjukkan adanya keganasan.  Pemeriksaan tes CLO (Compylobacter Like Organism / PA (Pyloric Antrum) Untuk menunjukkan apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam rangka eradikasi kuman.  Terapi Farmakologi  Antacid Dosis 3 × 1 tablet atau 4 × 30 cc. Namun efektifitasnya kurang bila dibandingkan Antagonis reseptor H2/ARH2 dan tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan hipermagnesia dan kehilangan fosfat. Selain itu, dapat menyebabkan kontipasi dan neurotoksik.  Koloid Bismuth Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal Bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam lambung dan pepsin. Dosis 2 × 2 tablet/hari.  Sukralfat



15



Suatu kompleks garam sukrosa dimana kelompok hidroksil diganti dengan alumunium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja melalui pelepasan kutub alumunium hidroksida yang berikatan dengan kutup positif molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu prostaglandin, kerja sama dengan EGF, menambah sekresi bikarbonat dan mucus, meningkatkan daya tahan pertahanan dan perbaikan mucosal. Tidak dianjurkan pada gagal ginjal kronik. Dosis 4 × 1 gram/hari sebelum makan.  Prostaglandin Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam dan menambah sekresi mucus, bilarbonat, dan meningkatkan aliran darah di mukosa. Dosis 4 × 200 mg.  Antagonis Reseptor H2 / ARH2 Struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerja memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Dosis simetidin 2 × 400 mg, ranitidine 300 mg malam hari, famotidine 1 × 40 mg.  Proton Pump Inhibitor (PPI) Terdapat 5 jenis PPI yang beredar dipasaran yaitu omeprazole, fanzoprazol, rabeprazole, pantoprazole, dan esomeprazole. Obat-obat PPI dapat menghambat sekresi asam lambung sampai 90% dalam 24 jam, disbanding antagonis H2 yang hanya 65%. PPI sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan. Semua PPI memberikan kesembuhan pada ulkus duodenum 90% kasus setelah 4 minggu dan 90% pada ulkus lambung setelah 8 minggu pemberian. Tentunya bila derajat Hp (H. pylori), Hp nya harus diterapi secara efektif. Mekanisme kerja menghambat atau memblokir kerja enzim K H ATPase yang akan memecah K H ATPase menghasilkan energi yang digunakan untuk mensekresi asam HCl, dari sel kanalikuli ke lumen lambung. Dosis omeprazole 2 × 20 mg, lansoprazole 2 × 30 mg. 16



 Obat Prokinetik Pemberiannya apabila diperlukan sesuai dengan manifestasi klinik yang muncul : 



Betanechol







Domperidone







Metoclopramide







Cisapride



 Anti H. pylori 



Mono therapy : ARH2 atau PPP







Dual therapy : ARH2/PPP + ampicillin/clarithromycin







Triple therapy : PPP + ampicillin + clarithromycin/metonidazole







Quadruple therapy : PPP + clarithromycin + metronidazole + bismuth



 Operasi 



Efektif (tukak refraktor / gagal pengobatan)







Darurat (komplikasi : perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)







Tukak gaster dengan kecurigaan keganasan.



 Terapi Non Farmakologi  Diet 



Diet ketat tak dianjurkan lagi.







Hindarkan makanan yang memperberat keluhan, seperti asam, pedas, panas, banyak lemak.







Khusus : makan teratur, sebaiknya makanan lunak, hindari makan sebelum tidur (terutama tidur malam).



 Stop merokok  Hindari alcohol terutam dalam lambung kosong  Hindari ASA/NSAID/steroid  Banyak istirahat, hindari stress



17



2.3.6. Penyakit Celiac  Pengertian Penyakit celiac adalah penyakit akibat reaksi sistem imun terhadap konsumsi gluten, yaitu protein yang dapat ditemukan pada gandum. Pada penderita penyakit celiac, gluten akan memicu reaksi sistem imun di usus halus. Bila kondisi tersebut berlangsung terus-menerus, lapisan usus halus dapat rusak dan mencegah nutrisi terserap.  Gejala Gejala penyakit celiac pada anak-anak dan dewasa dapat sedikit berbeda, dimana gejala pada sebagian penderita dewasa tidak berkaitan dengan system pencernaan. Gejala tersebut antara lain :  Anemia, sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau vitamin B12.  Kesemutan dan mati rasa pada ujung jari tangan dan kaki (neuropati perifer).  Pembengkakan pada tangan, telapak kaki, lengan, serta tungkai, akibat penumpukan cairan di jaringan tubuh.  Rusaknya kepadatan tulang.  Rusaknya lapisan gigi.  Ruam pada kulit yang teras gatal dan lecet (dermatitis herpetiformis).  Nyeri sendi.  Gangguan keseimbangan tubuh.  Gangguan fungsi limfa.  Sulit hamil. Sedangkan pada anak-anak, gejala penyakit celiac dapat berupa :  Nyeri perut.  Perut kembung.  Konstipasi.  Turunnya berat badan, hingga gangguan tumbuh kembang.  Tingi tubuh dibawah rata-rata. 18



 Pubertas terlambat.  Gangguan saraf, seperti ADHD, ketidakmampuan belajar, sakit kepala, dan koordinasi otot yang buruk.  Pemeriksaan Lab  Uji Serlogi Beberapa uji serologi dapat digunakan sebagai uji awal pada pasien dengan



kecurigaan



penyakit



celiac.



Karena



sensitivitas



dan



spesifisitasnya yang rendah, pemeriksaan antibody antigliadin tidak lagi direkomendasikan sebagai uji awal. Sementara itu, uji endomysial antibody (EMA) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi harganya lebuh mahal. Pemeriksaan tissue transglutaminase (tTG) juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tingi.  Endoskopi Pemeriksaan endoskopi diketahui kurang sensitive dan spesifik mendeteksi penyakit celiac. Namun demikian, gambaran berikut pada endoskopi meningkatkan kecurigaan kea rah penyakit celiac, meliputi : 



Fisura di sepanjang lipatan dan pola mosaic dari mukosa







Lipatan yang semakin mendatar







Penurunan jumlah lipatan, ukuran dan atau hilangnya lipatan dengan insuflasi maksimum







Hilangnya vilus usus halus







Gambaran granular dari bulbus duodenum.



 Kapsul Endoskopi Kapsul endoskopi merupakan metode alternative untuk evaluasi penyakit celiac dan identifikasi komplikasi. Penanda penyakit celiac menjadi lebih akurat dengan menggunakan kapsul endoskopi jika dibandingkan dengan endoskopi konvensional.  Biopsy Usus Halus dan Histopatologi



19



Kombinasi abnormalitas vilus yang terlihat dari biopsy usus halus dengan uji serologi yang positif merupakan kriteria standar diagnosis untuk penyakit celiac. Perubahan histologi yang terlihat pada pasien penyakit celiac dengan khas, namun bukan patognomonik. Sebab, perubahan tersebut dapat juga ditemukan pada kondisi lainnya seperti infeksi parasite, kondisi imunodefisiensi, enteropati HIV, dan enteropati yang dipicu karena alergi obat seperti susu sapi. Biopsy pada pasien penyakit celiac harus diambil ketika pasien menjalani diet yang mengandung gluten minimal 3 gram gluten/hari selama 2 minggu.  Tes Genetik HLA-DQ2 (95%) atau HLA-DQ8 (5%) ditemukan pada hampir sebagian besar penderita penyakit celiac.  Terapi Farmakologi  Vaksinasi Pada beberapa kasus, penyakit celiac bisa menyebabkan kerja limfa kurang efektif sehingga penderita rentan terkena infeksi. Oleh karena itu, penderita membutuhkan vaksinasi tambahan, seperti vaksin flu, vaksin Haemophillus influenza type B, vaksin meningitis, serta vaksin pneumokokus, untuk melindungi pasien dari infeksi.  Suplemen Terapi ini dibutuhkan untuk menjamin penderita mendapatkan semua nutrisi yang dibutuhkan. Suplemen yang dibutuhkan berupa kalsium, asam folat, zar besi, vitamin B12, vitamin D, vitamin K, dan zink.  Kortikosteroid Obat ini diperlukan saat kerusakan usus sangat parah, unruk meredakan gejala selama proses penyembuhan usus.  Dapsone



20



Obat ini digunakan agar gejala lebih cepat mereda. Dosis obat dapsone yang diberikan biasanya sangat kecil, mengingat dapat menimbulkan efek samping sakit kepala dan depresi. 2.3.7. Penyakit Batu Empedu  Pengertian Penyakit batu empedu adalah kondisi ketika terjadi penyumbatan pada saluran empedu. Sumbatan disebabkan oleh batu hasil pengkristalan kolesterol. Pada beberapa kasus, batu empedu terbentuk dari pengkristalan bilirubin atau zat yang menyebabkan penyakit kuning.  Gejala Gejala utama batu empedu adalah nyeri secara mendadak di bagian kanan atas atau tengah perut. Gejala lain :  Mual  Muntah  Hilang nafsu makan  Urine berwarna gelap  Sakit maag  Diare  Pemeriksaan Lab  Ultrasonografi Ultrasonografi menghasilkan gambar keseluruhan perut. Ini adalah jenis pemeriksaan lab yang disukai untuk mengonfirmasi bahwa seseorang memiliki penyakit batu empedu.  CT Scan Perut Tes ini mengambil gambar hati dan daerah perut.  Pemindaian Radionuklida Gallbladder Pemindaian penting ini membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikannya. Seorang spesialis menyuntikkan zat radioaktif ke dalam pembuluh darah. Zat itu mengalir melalui darah ke hati dan 21



kantong empedu. Pada pemindaian ini dapat mengungkapkan bukti yang menunjukkan infeksi atau penyumbatan saluran empedu dari batu.  Tes Darah Tes ini dilakukan untuk mengukur jumlah bilirubin dalam darah. Tes ini juga membantu menentukan seberapa baik hati berfungsi.  Endoskopi Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) ERCP adalah prosedur yang menggunakan kamera dan sinar-X untuk melihat masalah pada saluran empedu dan pankreas. Ini membantu dokter mencari batu empedu yang tersangkut di saluran empedu.  Terapi Farmakologi  Operasi Operasi atau pembedahan untuk mengangkat kantung empedu disebut kolesistektomi. Kantung empedu bukan organ yang vital, karena seseorang dapat hidup secara normal tanpa kantung empedu. Seorang ahli medis akan memberikan anestesi untuk melakukan operasi.



Ahli bedah akan melakukan dua metode kolesistektomi



atau pengangkatan kantung empedu untuk menghilangkan batu empedu. Di antaranya: 



Kolesistektomi Laparoskopi Pengangkatan kantong empedu dengan cara laparoskopi. Hal tersebut dikarenakan pengidapnya hanya melakukan rawat jalan dan dapat pulang ke rumah setelah operasi dilakukan. Selain itu, pasien dapat beraktivitas fisik secara normal dalam rentang waktu satu minggu.







Kolesistektomi Terbuka Metode ini digunakan ketika kandung empedu sudah meradang, terinfeksi, atau terdapat bekas luka dari operasi lain. Hal ini merupakan alternatif jika terjadi masalah ketika kolesistektomi laparoskopi dilakukan. Setelah operasi dilakukan, mungkin kamu 22



perlu beristirahat di rumah selama seminggu dan beraktivitas normal setelah sebulan.  Obat asam empedu Jika gejala tidak terlalu parah dan kristal yang terbentuk di dalam empedu belum begitu besar, penggunaan obat-obatan bisa membantu. Selain obat pereda nyeri, dapat juga menggunakan obat asam empedu. Obat asam empedu mengandung beberapa bahan kimia tertentu seperti ursodiol atau chenodiol yang telah terbukti mampu melarutkan batu empedu. Obat ini tersedia dalam pil asam empedu oral.  Suntikan MTBE Pilihan perawatan satu ini melibatkan penyuntikan pelarut yang dikenal sebagai metil tersier-butil eter (MTBE). Pelarut tersebut akan disuntikkan ke kantong empedu untuk melarutkan batu empedu. Penelitian telah menunjukkan bahwa MTBE cepat melarutkan kristal yang terbentuk di empedu. Akan tetapi sama seperti prosedur medis lainnya, suntik MTBE juga memiliki beberapa efek samping. Bahkan efek samping yang paling serius bisa menyebabkan rasa terbakar parah.  Terapi Extracorporeal Shock Wave Lithotrips (ESWL) Extracorporeal Shock Wave Lithotrips (ESWL) adalah pilihan pengobatan batu empedu lainnya yang tanpa operasi. Terapi ini paling efektif jika batu empedu soliter masih berdiameter kurang dari 2 sentimeter. Tujuan pengobatan ini adalah untuk memecah atau menghancurkan batu empedu dengan mengirimkan gelombang kejut (shockwave) melalui jaringan lunak tubuh.  Terapi Farmakologi  Pertahankan berat badan yang sehat.  Hindari penurunan berat badan yang cepat.  Makanlah diet anti-inflamasi.  Dapatkan olahraga teratur. 23



2.3.8. Kolesistitis  Pengertian Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu. Peradangan tersebut dipicu oleh tersumbatnya kantung empedu oleh batu empedu atau tumor. Penyumbatan menyebabkan cairan empedu terperangkap di dalam kantung empedu, dan memicu peradangan.  Gejala Gejala yang ditimbulkan diantaranya :  Gangguan pencernaan menahun  Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar)  Sendawa  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan Ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.  Kolesistografi Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relative murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. 24



 Penataan hati dengan HIDA Metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus misalnya karena batu.Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian akan di sekresi ke kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam duodenum.  Computed Tomografi (CT) Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal disbanding USG.  Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) merupakan metode kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti ekstraksi batu. Tes invasive ini melibatkan opasifikasi lansung batang saluran empedu dengan 17 kanulasi endoskopi ampula vateri dan suntikan retrograde zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mecakup sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.



 Terapi Farmakologi  Operasi



25



Tindakan pembedahan bertujuan untuk mengangkat kantung empedu.



Operasi



ini



dikenal



dengan



prosedur



kolesistektomi



(cholecystectomy). Kolesistektomi terdiri atas dua jenis, yaitu kolesistektomi laparoskopi dan kolesistektomi terbuka. 



Kolesistektomi laparoskopi Metode pengangkatan kantung empedu ini dilakukan dengan menggunakan laparoskop, yaitu selang elastis tipis yang dilengkapi kamera bercahaya. Metode ini dikenal juga dengan “operasi lubang kunci”.







Kolesistektomi terbuka Metode operasi terbuka dilakukan ketika metode laparoskopi tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan kantung empedu, misalnya karena letak kantung empedu yang sulit dijangkau, penderita sedang hamil, atau menderita obesitas.



 Obat-obatan Obat-obatan digunakan ketika batu empedu berukuran kecil dan gejala yang muncul bersifat ringan, atau kondisi penderita tidak memungkinkan untuk menjalani operasi, misalnya penderita obesitas morbid. Obat yang paling sering diberikan adalah ursodeoxycholic acid. Obat ini dapat membantu melarutkan batu empedu. Meski demikian, pemberian obat jarang digunakan karena beberapa alasan sebagai berikut: 



Butuh waktu sekitar 6-12 bulan untuk melarutkan sebagian besar batu empedu.







Batu empedu dapat muncul kembali jika konsumsi obat dihentikan.







Hanya dapat digunakan untuk batu empedu yang disebabkan kolesterol.







Menyebabkan diare ringan.



 Terapi Non Farmakologi  Menjalani diet rendah lemak 26



 Menurunkan berat badan



2.3.9. Hepatitis  Pengertian Hepatitis adalah istilah yang merujuk pada peradangan hati. Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, penyakit autoimun, serta paparan alkohol, obat, racun kimia, atau NAPZA.  Gejala Gejala yang ditimbulkan diantaranya :  Mengalami gejala seperti flu, misalnya mual, muntah, demam, dan lemas.  Feses berwarna pucat. 



Mata dan kulit berubah menjadi kekuningan (jaundice). Hal ini terjadi karenapeningkatan bilirubin dalam darah.



 Nyeri perut.  Berat badan turun.  Urine menjadi gelap seperti teh.  Kehilangan nafsu makan.  Pemeriksaan Lab  Tes fungsi hati Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel darah dari pasien untuk mengecek kinerja hati. Pada tes fungsi hati, kandungan enzim hati dalam darah, yaitu enzim aspartat aminotransferase dan alanin aminotransferase (AST/SGOT dan ALT/SGPT), akan diukur. Dalam kondisi normal, kedua enzim tersebut terdapat di dalam hati. Jika hati mengalami kerusakan akibat peradangan, kedua enzim tersebut akan tersebar dalam darah sehingga naik kadarnya. Meski demikian, perlu



27



diingat bahwa tes fungsi hati tidak spesifik untuk menentukan penyebab hepatitis.  Tes antibodi virus hepatitis Tes ini berfungsi untuk menentukan keberadaan antibodi yang spesifik untuk virus HAV, HBV, dan HCV. Pada saat seseorang terkena hepatitis akut, tubuh akan membentuk antibodi spesifik guna memusnahkan virus yang menyerang tubuh. Antibodi dapat terbentuk beberapa minggu setelah seseorang terkena infeksi virus hepatitis. Antibodi yang dapat terdeteksi pada penderita hepatitis akut, antara lain adalah: 



Antibodi terhadap hepatitis A (anti HAV).







Antibodi terhadap material inti dari virus hepatitis B (anti HBc).







Antibodi terhadap material permukaan dari virus hepatitis B (anti HBs).







Antibodi terhadap material genetik virus hepatitis B (anti HBe).







Antibodi terhadap virus hepatitis C (anti HCV).



 Tes protein dan materi genetik virus Pada penderita hepatitis kronis, antibodi dan sistem imun tubuh tidak dapat memusnahkan virus sehingga virus terus berkembang dan lepas dari sel hati ke dalam darah. Keberadaan virus dalam darah dapat terdeteksi dengan tes antigen spesifik dan material genetik virus, antara lain: 



Antigen material permukaan virus hepatitis B (HBsAg).







Antigen material genetik virus hepatitis B (HBeAg).







DNA virus hepatitis B (HBV DNA).







RNA virus hepatitis C (HCV RNA).



 USG perut Dengan bantuan gelombang suara, USG perut dapat mendeteksi kelainan pada organ hati dan sekitarnya, seperti adanya kerusakan hati, pembesaran hati, maupun tumor hati. Selain itu, melalui USG perut



28



dapat juga terdeteksi adanya cairan dalam rongga perut serta kelainan pada kandung empedu.  Biopsi hati Dalam metode ini, sampel jaringan hati akan diambil untuk kemudian diamati menggunakan mikroskop. Melalui biopsi hati, dokter dapat menentukan penyebab kerusakan yang terjadi di dalam hati.  Terapi Farmakologi  Antivirus Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA. Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida



deoxycytidine



dan



bekerja



dengan



menghambat



pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudine akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati selama 1 bulan. Lamivudin akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal,dan menekan terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine + Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang amat terbatas. Didanosine atau Stavudine tidak boleh diminum untuk penderita yang sedang mendapat pengobatan interferon dan Ribavirin, karena beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati. Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila digunakan bersama Ribavirin (untuk pengobatan hepatitis C), karena masing-masing dapat menimbulkan anemia. Anemia dapat diantisipasi dengan pemberian eritropoietin atau tranfusi darah. Neviraldapat



29



mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.  Kolagogum, kolelitolitik dan hepatic protector. Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan yang lebih berat akibat hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya: calcium



penthothenat,



phosphatidyl



choline,



silymarin



dan



ursodeoxycholic acid dapat digunakan pada kelainan yang disebabkan karena kongesti atau insufisiensi empedu, misalnya konstipasi biliari yang keras, ikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi aliran empedu dari hati. Namun demikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis akut atau kelainan hati yang sangat toksis.  Multivitamin dengan mineral Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis



dan



penyakit



hati



lainnya.



Biasanya



penyakit



hati



menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (fat-soluble) seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.  Terapi dengan Vaksin Interferon merupakan sistem imun alamiah tubuh dan bertugas untuk melawan virus. Obat ini bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan D. Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tertentu dan T-limfosit selama infeksi virus. Ada 3 tipe interferon manusia, yaitu interferon α, interferon β dan interferon γ.  Terapi Non Farmakologi  Diet seimbang  Segera beristirahat bila merasa lelah  Menghindari minum alcohol 30



2.3.10. Sirosis  Pengertian Sirosis adalah terbentuknya jaringan parut di hati, yang menyebabkan fungsi hati menurun atau bahkan gagal berfungsi. Sirosis merupakan akibat jangka panjang dari hepatitis.  Gejala Pada tahap awal, sirosis tidak menimbulkan gejala apapun. Hal ini karena masih banyak sel hati yang berfungsi normal, meskipun ada yang rusak. Namun seiring bertambahnya kerusakan hati, penderita akan mengalami gejala berikut:  Lemas  Perut kembung  Nyeri perut 



Mual dan muntah



 Kehilangan nafsu makan  Berat badan menurun  Telapak tangan memerah  Muncul tanda seperti sarang laba-laba di kulit Bila sirosis semakin parah, penderitanya dapat mengeluhkan gejala berupa: 



Perut membesar (asites)



 Mudah memar  Peyakit kuning dan gatal-gatal 



BAB berdarah (melena) dan muntah darah



 Bicara kacau dan hilang kesadaran  Pemeriksaan Lab



31



 Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom mikrosister/hipokrom makrosister.  Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.  Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.  Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.  Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.  Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.  Terapi Farmakologi Pengobatan sirosis bertujuan untuk mencegah kerusakan hati bertambah parah, serta mengatasi gejala yang muncul. Pengobatan itu dapat dilakukan dengan: 



Mengonsumsi makanan rendah garam dan tablet spironolactone, untuk mengurangi kelebihan cairan di dalam tubuh.







Mengonsumsi propranolol, untuk mengurangi tekanan yang tinggi di dalam hati.



 Mengonsumsi suplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi dan mencegah pengeroposan tulang. 32



 Menggunakan krim untuk mengatasi rasa gatal. 



Mengikat pembuluh darah yang melebar di kerongkongan dan berisiko menimbulkan perdarahan, dengan gastroskopi.



 Terapi Non Famakologi  Bedrest , agar tidakbanyak bergerak serta meminimalkan gerakan. Untuk menimialkan efek edema tersebut maka pasien disarankan untuk bedrest  Diet rendah garam 0,5 g/hari dan asupan cairan 1,5 L/hari, hal ini disebabkan karena garam dapat meningkatkan cairan tubuh  Diet seimbang. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat menambah difungsi hati dan menyababkan penimbunana lemak hati  Menghindari minuman alcohol.



2.3.11. Pankreatitis  Pengertian Pankreatitis adalah



peradangan



pada



organ



pankreas.



Pankreas



merupakan organ yang menghasilkan enzim untuk mencerna makanan dan hormon untuk mengatur kadar gula darah. Pankreatitis dapat disebabkan oleh penyakit batu empedu atau kecanduan alcohol.  Gejala Gejala lain yang mungkin timbul pada pankreatitis adalah: 



Demam.







Diare.







Mual dan muntah.



 Gangguan pencernaan.  Perut membengkak dan sakit bila disentuh. 



Kulit dan mata menguning (penyakit kuning).



33



 Jantung berdetak lebih cepat dari normal (takikardia).  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan darah, untuk mengukur kadar enzim amilase dan lipase. 



Pemindaian dengan USG, CT scan, atau MRI untuk melihat kemungkinan adanya batu empedu, serta untuk menentukan tingkat keparahan pankreatitis akut.



 Terapi Farmakologi Golongan obat yang sering digunakan untuk membantu melarutkan batu empedu adalah Asam Kenodeoksikolat dan Asam Ursodeoksikolat yang bekerja mengurangi penjenuhan kolesterol empedu dengan cara mengurangi sekret kolesterol dan meningkatkan sekresi asam empedu.  Asam Kenodeoksikolat 



Indikasi: Pelarut batu empedu.







Kontra Indikasi: Batu radio-opak, kehamilan, kandungan empedu tidak berfungsi, penyakit radang dan kondisi dari usus halus dan kolon yang mengganggu sirkulasi enterhepatik garam-garam empedu.







Efek Samping: Diare terutama pada dosis awal yang tinggi, gatalgatal, gangguan hati ringan.







Dosis: 10-15 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal menjelang tidur malam atau dalam dosis terbagi 3-24 bulan (tergantung pada besarnya batu). Pengobatan diteruskan paling tidak selama 3 bulan setelah batunya melarut. Dianjurkan juga melakukan diet kolesterol rendah.







Sediaan Beredar: Chenofalk (Darya Varia) Kapsul Lnk. 250 mg (K).



 Asam Ursodeoksikolat 



Indikasi: Pelarutan batu empedu.







Efek Samping: Sama seperti asam kenodeoksikolat. 34







Dosis: Pelarutan batu empedu, 8-12 mg/kg sehari dalam 2 dosis terbagi sampai 3-4 bulan setelah batunya melarut.







Sediaan Beredar: Estazor (Pratapa Nirmala) Kapsul 250 mg (K), Pramur (Prafa) Tablet 250 mg (K), Urdafalk (Daya Varia) Kapsul 250 mg (K), Ursochol (Pharos) Tablet 300 mg (K).



 Terapi Non Farmakologi  Nutrisi Pendukung Pemberian nutrisi pendukung dilakukan untuk mengistirahatkan saluran cerna sehingga mengurangi stimulasi terhadap pankreas juga karena terjadinya malnutrisi.  Intervensi radiologi ERCP dan Pembedahan Mengangkat batu empedu dengan ERCP atau pembedahan biasanya dapat mengatasi PA (pancreas akut) dan mencegah kambuh kembali. Tindakan pembedahan bisa dilakukan pada PA untuk pengobatan luka pada pankreas atau resiko nekrosis. 2.3.12. Radang Usus  Pengertian Radang usus adalah kondisi ketika usus mengalami peradangan. Radang usus terdiri dari 2 jenis, yaitu penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Bedanya, radang pada kolitis ulseratif hanya terjadi di usus besar. Sedangkan pada penyakit Crohn, radang dapat terjadi di seluruh bagian saluran pencernaan.  Gejala Gejala radang usus bervariasi, tergantung pada lokasi peradangan pada saluran pencernaan. Gejala tersebut meliputi:



 Nyeri perut atau kram perut  Perut kembung  Diare  Selera makan berkurang 35



 Berat badan turun 



BAB berdarah (hematochezia)



 Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan tinja Pemeriksaan



ini



dilakukan



untuk



mendeteksi



infeksi



dan



keberadaan darah pada tinja yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.  Endoskopi dan teropong Endoskopi ini dilakukan untuk melihat lapisan rongga usus dengan menggunakan alat khusus yang dilengkapi kamera. Alat dapat dimasukkan melalui dubur atau mulut  Tes darah Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah penderita mengalami anemia atau infeksi.  Tes pencitraan Foto Rontgen, USG perut, CT scan, atau MRI dilakukan bila dicurigai ada hal lain yang menyebabkan timbulnya gejala.  Terapi Farmakologi  Obat antiinflamasi.  Obat-obatan untuk menekan kerja sistem imun.  Antibiotik.  Obat anti diare.  Obat anti nyeri.  Suplemen zat besi.  Suplemen kalsium dan Vitamin D.  Pemberian nutrisi.  Terapi Non Farmakologi  Hindari kebiasaan merokok. 36



 Jaga pola makan yang sehat. 



Tidak sering mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).



2.3.13. Diverticulitis  Pengertian Divertikulitis adalah peradangan pada divertikula. Divertikula sendiri adalah kantong-kantong abnormal yang terbentuk di saluran pencernaan. Divertikulitis dapat menimbulkan gejala demam, sakit perut, mual, muntah, sembelit atau diare.  Gejala Divertikulitis biasanya diawali dengan gejala penyakit divertikulosis, yang meliputi: 



Nyeri pada perut. Rasa nyeri akan lebih terasa sesaat setelah makan atau ketika bergerak.



 Sembelit, diare, atau keduanya. 



Perut kembung atau perut terasa dipenuhi gas.



 Terkadang buang air besar disertai lendir. Kadang divertikulosis dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala. Namun, divertikulosis yang sudah mengalami peradangan dan menjadi divertikulitis, akan menimbulkan gejala: 



Demam.



 Nyeri perut yang semakin parah dan berkelanjutan.  Mual dan muntah. 



Buang air besar berdarah.



 Pemeriksaan Lab Langkah awal yang dilakukan dokter untuk mendiagnosis divertikulitis adalah memeriksa riwayat kesehatan dan gejala yang dialami oleh pasien. Kemudian, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama



dengan



memeriksa bagian perut penderita untuk mendeteksi letak peradangan atau 37



infeksi di dalam rongga perut. Lokasi peradangan dapat terdeteksi dengan rasa nyeri ketika perut ditekan. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan colok dubur, untuk melihat adanya perdarahan. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan tambahan tersebut meliputi:  Tes darah. Untuk melihat kemungkinan terjadi infeksi atau perdarahan di usus besar penderita, serta pemeriksaan fungsi hati untuk mendeteksi apakah nyeri perut disebabkan oleh gangguan hati atau tidak.  Tes urine. Tes urine dilakukan untuk menunjukkan apakah penderita mengalami infeksi saluran kemih.  Tes kehamilan. Untuk memastikan bahwa sakit perut yang dialami penderita wanita bukan disebabkan oleh kehamilan.  Tes darah samar pada sampel tinja. Untuk memeriksa apakah tinja penderita mengandung darah.  CT scan. Untuk menunjukkan secara detail kantung-kantung yang mengalami peradangan atau infeksi dan memastikan diagnosis. CT scan juga dapat menunjukkan tingkat keparahan divertikulitis.  Terapi Farmakologi Berbagai cara dilakukan untuk pengobatan penyakit Diverticularitis agar dapat



membantu



meredakan



sakit



yang



di



derita



oleh



pasien



tersebut.Penatalaksanaan farmakologi sendiri yaitu dengan cara memberikan obat kedalam daerah atau organ yang terkena penyakit diverticularitis. Terapi farmakologi yang dilakukan sebagai berikut :  Antibiotik intravena, biasanya diberikan untuk menangani infeksi yangmenyebabkan rasa nyeri.



38



 Pasien dengan gejala ringan yang disebabkan oleh kejang otot di daerahverticularitis



mendapatkan



chlordiazepoxide(Librax),



obat



dicyclomine



anti



kejang



(Bentyl),



seperti



hyoscyamine,



atropine, scopolamine, phenobarb (Donnatal), dan yoscyamine (Levsin) .  Ada juga obat antibiotic yang biasanya digunakan oleh dokterdokterdalam



menyembuhkan



atau



meredakan



penyakit



diverticularitisseperti ciprofloxacin (Cipro), metronidazole (Flagyl), cephalexin(Keflex), dan doxycycline (Vibramycin).  Pembedahan, biasanya untuk kasus dengan komplikasi /kambuh , kasus yang telah terbukti, serangan akut atau (jarang) kasus yang gagal dengan terapi medic amentosa.  Terapi Non Farmakologi  Diet tinggi serat ( buah,sayuran,roti gandum,kulit padi ) Diet dengan buah dan sayuran yang melimpah dianjurkan karena tampaknya efek perlindungan ini mengurangi perkembangan gejala dan mencegah komplikasi karena Diet tinggi serat dapat mencegah pembentukan divertikula tambahan, menurunkan tekanan dalam lumen,dan mengurangi kemungkinan bahwa salah satu diverticula yang adaakan meledak atau meradang. 2.3.14. Proctitis  Pengertian Proktitis adalah peradangan pada rektum (bagian akhir dari usus besar yang tersambung ke anus). Kondisi ini dapat menimbulkan rasa ingin BAB yang sering (tenesmus). Proktitis juga menyebabkan nyeri di perut, rektum, dan anus.  Gejala



39



Proktitis ditandai dengan perut mulas atau rasa ingin buang air besar (BAB) terus-menerus. Gejala ini bisa berlangsung sementara atau berkepanjangan (kronis) hingga berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Selain itu, ada sejumlah gejala lain yang menandakan terjadinya proktitis, yaitu:  Sakit perut bagian kiri, terutama ketika BAB.  Dubur terasa sakit.  Diare.  Merasa tidak tuntas setelah BAB.  BAB berdarah atau berlendir.  Pemeriksaan Lab  Tes darah. Tes ini dapat mendeteksi kehilangan atau infeksi darah.  Tes feses. Anda mungkin akan diminta untuk mengumpulkan sel feses untuk diuji. Tes ini dapat menentukan paakah proctitis disebabkan oleh infeksi bakteri.  Pemeriksaan pada bagian akhir usus besar. Selama sigmoidoskopi fleksibel, dokter menggunakan tabung fleksibel dengan sinar untuk memeriksa sigmoid, bagian terakhir dari usus besar – termasuk rektum. Selama prosedur ini, dokter juga dapat mengambil sampel kecil dari jaringan (biopsi) untuk analisis laboratorium.  Tes infeksi menular seksual. Tes ini meliputi pengambilan sampel cairan dari rektum atau saluran yang mengeluarkan urin dari kandung kemih (uretra).  Terapi Farmakologi  Terapi radiasi merupakan komponen utama dalam pengobatan keganasan pelvis. Namun, toksisitas sekunder pada saluran cerna bagian bawah akibat modalitas ini dapat terjadi. Proktitis radiasi adalah komplikasi yang sering dijumpai. Berbeda dengan proktitis radiasi akut (PRA) yang umumnya self-limiting, proktitis radiasi kronik (PRK) dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya 40



biaya kesehatan, morbiditas, dan bahkan mortalitas pasien.1-6 Pada populasi wanita, keganasan ginekologik merupakan keganasan yang paling sering dijumpai. 



Obat antibiotik, jika proktitis disebabkan oleh infeksi bakteri.







Obat antivirus, jika proktitis disebabkan oleh infeksi akibat virus (misalnya herpes).



 Obat pelunak tinja dan prosedur pelebaran rektum atau ablasi, jika proktitis disebabkan oleh efek samping radioterapi. 



Obat antiperadangan dan obat imunosupresif, jika proktitis disebabkan oleh radang usus.



 Terapi Non Farmakologi  Menghindari kebiasaan makan sesaat sebelum tidur, agar sistem pencernaan dapat beristirahat.  Merendam bokong dan selangkangan dengan air hangat selama beberapa menit.  Menggunakan obat pereda sakit yang dijual bebas pasaran.  Menghindari makanan pedas, asam, atau berlemak.  Minum banyak air putih.  Menghindari konsumsi minuman yang mengandung soda, kafein, dan susu. 2.3.15. Kanker Usus Besar  Pengertian Kanker usus besar adalah kanker yang menyerang usus besar, yaitu bagian terakhir dari saluran pencernaan. Kanker usus besar bisa bermula dari tumor jinak yang disebut polip adenoma. Seiring waktu, polip tersebut berkembang menjadi ganas.  Gejala



41



Gejala kanker usus besar pada stadium awal terkadang tidak terasa, atau bahkan tidak muncul sama sekali. Walaupun demikian, ada beberapa gejala yang dapat muncul pada kanker usus besar stadium awal, yaitu:  Diare atau sembelit  Perut kembung  Kram atau sakit perut  Perubahan bentuk dan warna tinja  BAB berdarah Jika sudah memasuki stadium lanjut, penderita kanker usus besar dapat mengalami gejala berupa:  Kelelahan  Sering merasa BAB tidak tuntas  Perubahan pada bentuk tinja yang terjadi lebih dari sebulan  Penurunan berat badan drastic Apabila kanker usus besar sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya, dapat muncul gejala berupa:  Sakit kuning (ikterus)  Pandangan kabur  Pembengkakan pada lengan dan tungkai  Sakit kepala  Patah tulang  Sesak napas  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan laboratorium klinis Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa untuk menegakkan



diagnosa



maupun



monitoring



perkembangan



atau



kekambuhannya. Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hypokalemia kemungkinan 42



ditemukan



oleh



karena



adanya



perdarahan



kecil.



Perdarahan



tersembunyi dapat dilihat dari pemeriksaan tinja.Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal dilakukan juga skrining CEA (Carcinoma Embrionic Antigen).  Pemeriksaan Laboratorium patologi-anatomi. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker kolorektal adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun reseksiusus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi yang merupakan diagnosa definitif. Dari pemeriksaan histopatologi inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker maupun karsinoma di kolorektal ini. Untuk memperoleh sediaan yang adekuat , biopsi dilakukan pada 2-3 tempat pinggir dan di bagiantengah tumor.  Terapi Farmakologi  Kemoterapi: 



5-Fluorourasil



(5-FU)



adalah



obat



kemoterapi



golongan



antimetabolit



pirimidin dengan mekanisme kerja menghambat



metilasi asamdeoksiuridilat menjadi asam timidilat dengan menghambat enzim timidilat sintase, terjadi defisiensi timin sehingga menghambat sintesis asam deoksiribonukleat(DNA), dan dalam tingkat yang lebih kecil dapat menghambat pembentukan asam ribonukleat (RNA). 



Leucovorin/Ca-folinat







Capecitabine adalah sebuah fluoropirimidin karbamat, yang dirancang sebagai obat kemoterapi oral, merupakan prodrug fluorourasil yang mengalami hidrolisis di hati dan jaringantumor untuk membentuk fluorourasil yang aktif sebagai antineoplastik. Mekanisme kerjanya sama seperti fluorourasil.







Oxaliplatin merupakan derivatgenerasi ketiga senyawa platinum dan termasuk dalam golongan obat pengalkilasi (alkylating agent). 43



Mekanisme kerja Oxaliplatin yaitu setelah mengalamihidrolisis intraselular, platinum berikatan dengan DNA membentuk ikatan silang yang menghambat replikasi DNA dan transkripsinya sehingga menyebabkankematian sel. 



Irinotecan menghambat aksi enzim Topoisomerase I, yakni suatu enzim yang menghasilkan pemecahan DNA selama proses replikasi DNA.Irinotecan dan SN-38 mengikat DNA Topoisomerasi I sehingga mencegah pemecahan DNA yang menghasilkan dua DNA baru serta kematian sel.



 Terapi Biologis (Targeted Therapy  ): 



Bevacizumab, manusia



merupakan



yang



rekombinan



berikatan



dengan



monoklonal semua



antibodi isotope



Vascular Endothelial Growth Factor  A (VEGF-A/VEGF) yang merupakan



mediator



utama



angiogenesis



terjadinya



vaskulogenesis



tumor,



dan



sehingga



menghambat pengikatan VEGF ke reseptornya, Flt-1 (VEGFR-1) d an KDR (VEGFR-2.) 



Cetuximab, merupakan antibodi monoclonal chimeric mouse / rekombinan manusia yang mengikat secara spesifik reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR, HER1, c-ErB-1) dan secara kompetitif menghambat ikatan EGF danligan lain.







Ziv-aflibercept, merupakan protein rekombinan yang memiliki bagian reseptor 1 dan 2 VEGF manusia yang berfusi pada porsi Fc dari IgG1 manusia.







Panitumumab, merupakan antibodi monoklonal murni dari manusia. Antibodi monoklonalini diindikasi pada pasien metastasis kanker kolorektal dengan KRAS dan NRAS wild type.







Regorafenib,



adalah



target



multipel VEGFR2-TIE2



tyrosine



kinaseinhibitor, yang meliputi reseptor VEGF, reseptor  fibroblast growth factor (FGF), reseptor platelet derived growth factor



44



(PDGF), BRAF, KIT dan RET yangmelibatkan berbagai proses termasuk pertumbuhan tumor dan angiogenesis. 



BIBF 1120, adalah suatu tyrosine kinase inhibitor pada VEGFR, PDGF dan FGF,yang menunjukkan komperatif antara keberhasilan dan toksisitas dalam kombinasi dengan FOLFOX dibandingkan FOLFOX+Bevacizumab pada lini pertama.







Cediranib, adalah tyrosine kinase inhibitor VEGFR, yang terbukti dalam percobaan fase ketiga dengan FOLFOX di lini pertama dibandingkan



hasilnya



dengan



FOLFOX



atau



Bevacizumab, kualitas hidup lebih baik dengan Bevacizumab.  Terapi Non Farmakologi  Aktivitas Fisik Direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisik pada pasien kanker selama dan setelah pengobatan untukmembantu pembentukan massa otot, fungsi fisik dan metabolisme tubuh.  Nutrisi bagi Penyintas Kanker Para penyintas kanker sebaiknya memiliki berat badan yang sehat (ideal) dan menerapkan pola makan yang sehat (terutama berbasis tanaman), tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta rendah lemak, daging merah, dan alkohol.  Rehabilitasi Medik Bertujuan untuk mengembalikan kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengancara aman & efektif, sesuai dengan kemampuan yang ada.  Pola Makan Pasien disarankan untuk menghindari makanan yang sulit dicerna seperti makanan berlemak dan makanan yang bisa mengiritasi usus besar,misalnya makanan berkari atau pedas.



45



2.3.16. Fisura ani  Pengertian Fisura ani adalah luka terbuka pada jaringan yang melapisi anus. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri dan tegang pada dubur atau anus. Penderita juga dapat mengalami perdarahan saat buang air besar.  Gejala Gejala yang ditimbulkan diantaranya :  Perdarahan pada anus setelah BAB.  Kelainan kulit di sekitar jaringan yang robek, seperti terdapat benjolan kecil.  Rasa terbakar atau gatal pada anus.  Keluarnya cairan berbau busuk dari anus.  Pemeriksaan Lab  Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan pada anus ini diawali dengan melihat kulit di sekitar lubang anus, apakah terdapat robekan atau tidak. Setelah itu, dokter dapat melakukan pemeriksaan colok dubur untuk meraba saluran anus, guna mendeteksi kelainan pada dinding saluran anus.  Endoskopi Endoskopi adalah sebuah prosedur pemeriksaan yang bertujuan untuk melihat kondisi organ tubuh tertentu secara visual, dengan menggunakan alat khusus yang disebut endoskop  Anoskopi Dalam tes ini, dokter akan memasukkan tabung kecil yang dilengkapi dengan cahaya untuk melihat kanal anus Anda. Tabung kecil ini dapat membantu dokter melihat lebih jelas bagian anus Anda yang robek. 46



 Terapi Farmakologi  Obat-obatan 



Suntikan botox Suntikan Botulinum toxin tipe A atau botox berguna untuk menenangkan otot sfingter pada anus dan meringankan kejang anus.







Nitrogliserin (Rectiv) Obat topikal ini membantu meningkatkan aliran darah pada robekan anus, sehingga luka lebih cepat menutup dan otot anus lebih rileks. Terapi ini dipilih jika terapi konservatif tidak berhasil. Salah satu efek samping yang mungkin terasa adalah sakit kepala.







Krim anestesi topical Untuk meringankan rasa sakit, seperti lidocaine hydrochloride (Xylocaine).



 Bedah atau Operasi Apabila kondisi yang Anda derita telah tergolong kronis dan tidak membaik juga setelah menjalani pengobatan di atas, dokter akan merekomendasikan prosedur operasi. Dokter bedah akan melakukan prosedur yang disebut dengan lateral internal sphincteroctomy (LIS). Dalam prosedur ini, dokter bedah akan memotong sedikit bagian otot sfingter anal Anda untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan.  Terapi Non Farmakologi  Hindari mengejan terlalu kuat saat buang air besar. Mengejan menyebabkan tekanan, yang dapat membuka robekan yang sedang dalam pemulihan atau menyebabkan robekan baru. Atur jadwal untuk buang air besar setiap harinya.  Minum banyak cairan, Cairan dapat membantu mencegah konstipasi.



47



 Olahraga dengan rutin. Berolahraga membantu buang air besar dan meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh, yang dapat mempercepat pemulihan fisura ani.



2.3.17. Wasir  Pengertian Penyakit wasir atau Hemoroid adalah gangguan atau pembengkakan dari pembuluh darah di usus besar bagian akhir (rektum), serta dubur atau anus.  Gejala Wasir atau hemoroid sering di tandai dengan adanya benjolan diluar anus selain itu juga ditandai dengan keluar lendir saat setelah BAB, rasa gatal dan sakit di area anus juga menngalami pendarahan atau keluar darah setelah BAB.  Pemeriksaan Lab  Endoskopi Untuk melihat saluran anus dan rektum, menggunakan alat khusus menyerupai selang yang dilengkapi dengan kamera. Prosedur ini dapat berupa anoskopi, proktoskopi, atau sigmoidoskopi, tergantung seberapa jauh alat tersebut masuk. Dengan pemeriksaan visual, dokter bisa melihat dengan jelas kondisi saluran anus, serta cincin otot yang berkontraksi dan berelaksasi.  Terapi Farmakologi  Pengikatan atau ligasi hemoroid Prosedur ini dilakukan atau menggunakan tali elastis untuk di ikatkan dengan kuat pada dasar hemoroid tujuannya agar memotong aliran darah, hemoroid akan terlepas setelah 1 minggu. Wasir akan terlepas ketika buang



48



air besar dengan di tandai adanya lendir saat buang air besar tujuh hari setelah ligase.  Suntikan skleroterapi Skleroterapi bisa dilakukan sebagai pengganti prosedur pengikatan wasir. Pada proses skleroterapi, larutan kimia disuntikkan melalui pembuluh darah  di sekitar anus. Suntikan ini akan menghilangkan rasa sakit dengan membuat ujung saraf menjadi mati rasa (kebas) serta membuat jaringan wasir mengeras, sehingga akhirnya membentuk sebuah luka. Usai menjalani prosedur ini, wasir akan mengecil atau menyusut dalam waktu sekitar satu setengah bulan.  Koagulasi inframerah Koagulasi dengan inframerah terkadang juga dipakai untuk menangani wasir. Pada prosesnya, sebuah alat yang memancarkan sinar inframerah dipakai untuk membakar jaringan hemoroid. Langkah ini juga Selain



berfungsi



untuk



inframerah,



prosedur



memotong yang



sama



juga



aliran



darah.



bisa



dilakukan



menggunakan arus listrik. Metode ini lebih dikenal dengan diatermi atau elektrokoagulasi.  Terapi Non Farmakologi  Perubahan Pola Makan Meningktkan atau lebih banyak mengkonsumsi asupan serat pada saat makan, sumber serta yang baik seperti Biji-bijian, buah, sayuran dan sereal.  Perilaku buang air besar (BAB) Untuk membuat kondisi tinja lebih lunak memperbanyak konsumsi air putih dan menghindari minuman berkafein dan minuman bersoda  Olahraga Rutin berolah raga juga akan sangat membantu dengan berolahraga juga maka akan mencegah terjadinya konstipasi.



49



50



BAB III PENUTUP



3.1. Kesimpulan Gangguan saluran cerna dapat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti penderita yang tidak membiasakan pola hidup bersih dan sehat, pola makan yang tidak teratur. Diagnosa, pengobatan, pencegahan terapi pada penyakit gangguan saluran cerna tergantung pada jenis penyakit yang diderita. 3.2. Saran Untuk menghindari penyakit gangguan saluran pencernaan sebaiknya kita menjaga dan membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat, memakan makanan yang sehat untuk tubuh dan yang mengandung serat, serta makan dengan pola makan yang teratur.



51



DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta: Interna Publishing. Asali, et al. 2018. Risk Factor Leading to Peptic Ulcer Disease: Systematic Review in Literature. International Journal of Community Medicine and Public Health. 5(10): 4617-4624. Davis, C, Anand, B. MedicineNet. 2017. Gastritis (Symptoms, Pain, Home Remedies, and Cure). Deterdig, Robin R., William W. Hay Jr., Myron J. Levin, Judith M. Sondheimer. 2007. Current Diagnosis and Treatment in Pediarics 18th ed. McGraw Hill. Diyah, P.W.P. 2010. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptic Pada Pasien Tukak Peptic (Peptic Ulcer Disease) Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta. [Skripsi]. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Oktadiana, H. et. al. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Celiac. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 4(3): 157-165. Parzanese, I. et. al. 2017. Celiac Disease: From Pathophysiologi to Treatment. World J Gastrointest Pathophysiol. 8(2): 27-38. Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi. Tjokroprawiro, Askandar. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Depkes RI, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 2007. Macon, B.L., Yu, W., & Nall, R. Healthline (2017). Understanding Gallstones: Types, Pain, and More. Stoppler, M.C. Emedicine Health (2019). Gallstones. National Institute of Health (2019). Medical Encyclopedia. Acute Cholecystitis. Ratmiani. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien Ny “J” Yang Mengalami Post Op Cholelitiasis Dengan Masalah Keperawatan Nyeri Di Ruang Perawatan Garuda Rumah Sakit Bhayangkara. Cianferoni, A. Spergel, J. (2015). Eosinophilic Esophagitis: A Comprehensive Review. Clin Rev Allergy Immunol. 50(2), pp.159-174. Harvard Health Publishing Harvard Medical School (2018). Heartburn vs. Heart Attack.



Harvard Health Publishing Harvard Medical School (2016). What is GERD or Gastroesophageal Reflux Disease. National Institutes of Health (2019). U.S. National Library of Medicine. GERD. Pandolfino, J. E. Gawron, A. j. (2015). Achalasia: a systematic review. JAMA, 313(18), pp. 1841-1852. Wilcox, C. (2013). Overview of Infectious Esophagitis. Gastroenterol Hepatol (N Y). 9(8), pp. 517–519. Zografos, G. et. al. (2009). Durg-induced Esophagitis. Diseases of the Esophagus. 22, pp. 633– 637. Price, Sylvia A. 1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Edisi1 Jakarta: EGC. Mulia, Dadang Makmun, Murdani Abdulah, Nana Supriana.2015. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Proktitis Radiasi Kronik pada Pasien Kanker Leher Rahim yang Mendapatkan Terapi Radiasi.Jurnal penyakit dalam Indonesia.vol 3.No 2. Hal 151- 159.