Makalah HAM Dan Demokrasi Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia yang semakin global ini, hampir di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang mulai memahami akan pentingnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pada hakikatnya, semua manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, serta memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama maupun status sosial yang lainnya. Karena, setiap manusia memiliki derajat yang luhur (human dignity) berasal dari Tuhan yang menciptakannya sebagai individu yang bebas untuk dapat mengembangkan diri. Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia internasional. Sejak beberapa abad silam, agama Islam juga telah memberikan sinyalemen tentang hak-hak asasi yang ideal bagi umat manusia. Sebagai institusi keagamaan yang hadir pada saat terjadi banyaknya ketimpangan sosial dalam masyarakat dunia – khususnya masyarakat Arab Jahiliyah- pada saat itu mampu menjadi instrumen penting dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persamaan dalam masyarakat dunia. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan keTuhan-an (theocentries) atau menempatkan Allah SWT melalui syariat-Nya sebagai tolak ukur tentang tatanan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan manusia sebagai individu, berbangsa maupun bernegara. Ketentuan-ketentuan tentang HAM dalam Islam selalu didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber ajaran normatif. Selain itu, ketentuan-ketentuan HAM dalam Islam juga didasarkan



1



pada sejarah kehidupan umat Islam periode awal (atsar) yang kemudian terwujud dalam konsep ijtihad. B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang diatas, penyusun hendak memfokuskan kajian ini pada : 1. Bagaimana dasar dan sumber pijakan serta bentuk karakteristik dan sifat konseptual Demokrasi dan HAM dalam Islam ? 2. Apakah prinsip-prinsip Demokrasi HAM di Indonesia telah menampung prinsipprinsip HAM Islam dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat muslim di Indonesia? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk menguraikan dan mengetahui bagaimana nilai-nilai Demokrasi dan HAM dalam Islam dan apa yang menjadi dasar pijakannya serta apakah bentuk karakteristik konsepsi atau rumusan HAM tersebut bersifat partikular atau bersifat universal. 2. Untuk mengetahui apakah rumusan demokrasi dan HAM yang diaplikasikan di Indonesia telah sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan dan HAM Islam dan memenuhi aspirasi masyarakat muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia. D. Manfaat Penulisan 1. Secara akademis, makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu demokrasi dan HAM baik hukum nasional maupun hukum Islam 2. Secara umum, makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik terhadap kajian tentang Demokrasi dan HAM dan Islam



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian HAM Secara etimologis hak asasi manusia dalam bahasa Inggris disebut dengan human right dan dalam bahasa Arab disebut huquq al insan. Right dalam bahasa Inggris berarti hak, kebenaran, kanan. Dalam bahasa Arab hak berarti lawan kebatilan, keadilan, bagian, nasib. Hak asasi manusia secara terminologis adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu baik yang bersifat materi maupun non materi. Pengertian HAM (Hak Asasi Manusia) menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan, bukan pemberian manusia ataupun penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. Pengertian HAM terdapat dalam UU tentang Hak Asasi Manusia pasal 1, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Berbicara mengenai sejarah HAM atau sejarah Hak Asasi Manusia, para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Piagam ini menyatakan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, akan tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum), kekuasaan raja tersebut dibatasi dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari piagam tersebut kemudian lahir suatu doktrin bahwa raja tidak kebal hukum lagi serta bertanggungjawab kepada hukum. Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak baru bagi pelaksanaan HAM



yaitu



jika



raja



melanggar



hukum



ia



harus



diadili



dan



mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa sejak itu sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan 3



bertanggungjawab kepada rakyat, namun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangannya. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkrit dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris tahun 1689. Bersamaan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum. Adagium ini selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi negara hukum dan demokrasi. Dengan hadirnya Bill of Rights telah menghasilkan asas persamaan yang harus diwujudkan betapapun berat resiko yang akan dihadapi, sebab hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Perkembangan sejarah HAM Selanjutnya ditandai dengan kemunculan The American Declaration of Independence di Amerika Serikata yang lahit dari semangat paham Monesquieu dan Rousseau. Jadi sekalipun di negara kedua tokoh HAM itu yakni Inggris dan Perancis belum lahir rincian HAM, namun di Amerika telah muncul. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga sangat tidak masuk akal bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Perkembangan sejarah HAM selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French Declaration, dimana hak asasi manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan dasar-dasar ngera hukum. Dalam dasar-dasar ini antara lain dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semena-mena, juga termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah penangkapan, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam Sejarah HAM, pada abab ke 20 hak-hak politik ini dianggap kurang sempurna dan mulailah dicetuskan hak-hak lain yang lebih luas cakupan pembahasannya. Satu diantara yang sangat terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh presiden Amerika F. D. Roosevelt pada awal PD II. Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB memprakarsai berdirinya sebuah komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama Commission on Human Rights pada tahun 1949. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara terperinci beberapa hak-hak ekonomi dan sosia disamping hak-hak politisi. Dari uraian historis tersebut, pada prinsipnya HAM adalah sebuah ikhtiar untuk memuliakan manusia sebagai manusia agar satu sama lain saling menghormati tanpa mengenal batas ras, etnis, agama, dan bangsa.



4



B. HAM dalam Islam Islam adalah agama rahmatal lil'lamin (agama yang mengayomi seluruh alam). Islam mengakui perbedaan sebagai kenyataan tak terbantahkan. Dengan pengakuan ini, Islam menghormati keragaman dan menganjurkan agar keragaman menjadi instrumen kerja sama di antara manusia. Perbedaan adalah sunnatullah, karena dengannya manusia bisa saling melengkapi (take and give). Jauh sebelum adanya declaration of human right yang ditetapkan oleh PBB sebagai dasar bersama penghormatan terhadap manusia, Islam sejak 15 abad yang lalu telah memuat nilai-nilai kemanusiaan universal baik yang tertera dalam alQur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah. Nilai-nilai universal kemanusiaan, secara tegas dinyatakan dalam pidato Rasulullah yang terkenal ketika beliau melakukan haji wada. didepan umat Islam beliau menyatakan : “Sesungguhnya darahmu, hata bendamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (hajimu) ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan dinegerimu (tanah suci) ini, sampai tibanya hari kamu sekalian bertemu dengan Dia (Allah)” Pengakuan, penghormatan, keadilan dan kerja sama adalah elemen-elemen penting dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Elemen-elemen itu terdapat dalam sumber Islam (Syari'ah). Memang al-Qur'an tidak berbicara spesifik tentang HAM. Mengenai HAM, Al-Qur'an berbicara pada tataran prinsip seperti: keadilan, musyawarah, saling menolong, menolak diskriminasi, menghormati kaum wanita, kejujuran, dan lain sebagainya. Rincian atas konsep-konsep itu dilakukan dalam Hadis dan tradisi tafsir. Karena itu, nilai-nilai HAM adalah kelanjutan dari prinsipprinsip ajaran Islam di atas. Perbedaan antara Syari'ah dan konsep HAM terjadi pada aspek-aspek rinci (furu'iyyah) sehingga secara prinsipal tidak ada problem. Selanjutnya, di dalam Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang Hak. Pertama, Hak Manusia atau huquq al-ins al-dharuriyyah. Kedua, Hak Allah atau huquq Allah. Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan. Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM menurut perspektif Barat. 5



Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang bersifat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah kritik Islam atas ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang diperjuangkan oleh HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan "kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja", QS, 59:7. Juga aturan zakat dalam QS 9:60 memperkuat bagaimana Islam peduli pada orang-orang tertindas yang perlu ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya. Melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah perbuatan melanggar agama dan HAM. Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakeknenek. Unit keluarga adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia mulai ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan lain-lain. Karena itu, peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an di atas mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik dalam tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan oleh oknum umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam. Penegasan ini perlu, karena semua pelanggaran HAM dalam bentuk pemerintahan otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi, dan lain-lain), dalam bentuk terorisme, dan dalam bentuk penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada umat Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap agama manapun. Terorisme bukan ajaran agama karena ia bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sunnatullah.



6



Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah dilakukan oleh setiap agama. Namun, akan lebih bijak kalau pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan karena ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-oknum umat beragama yang salah menginterpretasikan ajaran agamanya. Di sini perlu adanya upaya-upaya kerja sama di antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran HAM. Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ajaran Islam, ia justru menawarkan konsep kerja sama berdasarkan keadilan, saling menghormati, dan persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan, yang manusia sendiri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam QS, 16:125, "Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk". Prinsip ini mempertegas bahwa dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan engkau hiraukan keyakinannya selama ia tidak memusuhi dan melakukan penyerangan. Dengan kata lain, keyakinan yang berbeda jangan menghalangi kerja sama dan saling menghormati di antara manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi jalan umat Islam untuk menjadi pelopor dalam toleransi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Umat Islam semestinya tidak gamang berbicara soal HAM, karena prinsip-prinsipnya telah diajarkan dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu.[5] Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat Islam justru menandai kemunduran perspektif Islam dan membiarkan prinsip ini tidak aplikatif. Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah. Selain deklarasi Madinah juga terdapat deklarasi Cairo yang memuat ketentuan HAM yakni Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan Al-Mumahanah : 8). Hak Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al Isra : 33). Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17, At-Taubah : 6). Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6). Hak Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al7



Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6). Hak Keseteraan Wanita dan Pria (QS. AlBaqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13). Hak Anak dari Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24). Selanjutnya, Hak Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5). Hak Kebebasan Beragama (QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29). Hak Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9). Hak Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Malk : 15). Hak Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran : 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29). Dan Hak Taharan (QS. Al-Mumtaharah : 8). Ayat-ayat di atas yang secara tematik dapat menjadi konsep-konsep utama al-Qur'an tentang HAM dapat diperluas lagi. Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun deklarasi Cairo, betapa besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak Islam ada sehingga Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku, budaya, strata sosial dan sebagainya. Implementasi HAM di Indonesia mengikuti iklim politik yang berjalan. Politik di Indonesia bukanlah politik Islam. Namun demikian, dalam banyak hal nilai-nilai Islam masuk ke dalam semangat perundangan dan peraturan negara. Terkait dengan toleransi, kerukunan beragama, dan penolakan terhadap terorisme, umat Islam Indonesia sebagaimana diwakili oleh ormas-ormas Islam (Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, dan lain-lain) memiliki sikap yang jelas. Umat Islam Indonesia mendukung toleransi, mengutuk terorisme, mengembangkan kebajikan-kebajikan sosial, dan aktif dalam program pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan melalui unit-unit organisasi di bawahnya. Ormas-ormas Islam adalah representasi dari umat Islam Indonesia. Dalam sejarah HAM, umat Islam justru menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara (rejim politik tertentu). Tragedi G 30 S, Peristiwa Tanjung Periuk, dan lain-lainnya adalah contoh pelanggaran HAM yang meminta korban umat Islam. Dengan demikian, selama ini umat Islam Indonesia tetap konsisten membela tegaknya HAM dan bahkan sangat kritis terhadap semua bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh negara ataupun oleh oknum umat Islam. 8



Karena itu, menilai apakah Islam di Indonesia bagian dari penegakan HAM harus dilihat dari optik sikap resmi ormas-ormas Islamnya. Bukan oleh sikap pribadipribadi Muslim atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari perspektif ini hubungan antara umat Islam Indonesia dengan prinsip-prinsip HAM adalah paralel dan bukan antagonistis. Dalam Islam, posisi manusia amat penting dan mulia. Hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia bahkan menjadi tema utama dalam keseluruhan pembicaraan al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa trikotomi hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia menempatkan hubungan yang sinergis dan harmonis. Dilihat dari kacamata HAM, trikotomi hubungan itu menunjukan bahwa alam semesta dan manusia harus saling berkerjasama untuk memenuhi sunnatullah dan memperoleh ridha Allah. Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai Syari'ah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan menilik potensi-potensi nilai HAM dalam Syari'ah, masa depan HAM di dalam tradisi Islam justru amat cerah dan memperoleh topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan mengalami gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan pemahaman para ulama yang makin baik tentang sumber-sumber Syari'ah dan wawasan kemodern tentang HAM. Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan menjadi avant-guard (garda depan) bagi penegakan HAM berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal. C. Demokrasi, Pengertian dan Sejarah 1. Pengertian Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kunoyang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.



9



Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitudemos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Menurut beberapa ahli seperti Abraham Lincoln, demokrasi merupakan suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, olehrakyat dan untukrakyat. Sedangkan menurut Hans Kelsen demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana segala keputusan pemerintah yang penting secara langsung ataupun tidakdidasarkan padakesepakatan mayoritas yang diberikan dengan bebas kepada rakyat dewasa. Jadi secara umum, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. 2. Sejarah Secara mendunia, demokrasi pertama kali muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena dan diipimpin oleh Cleisthenes warga Athena dan dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Untuk di Indonesia sendiri, pada awal kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat yang memegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih melalui pemilu. Indonesia juga sempat menggunakan sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin hingga akhirnya, Indonesia menganut sistem demokrasi reformasidari tahun 1998 sampai sekarang. a. Demokrasi masa revolusi kemerdekaan Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan : 10



a) Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif. b) Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik. c) Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer



b. Demokrasi parlementer (1945-1959) Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan UUD Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepad pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi. Ada hampir 40 partai yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang tinggi dalam proses rekruitmen baik pengurus, atau pimpinan partainya maupun para pendukungnya. Demokrasi parlementer gagal karena (1) dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik; (2) basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah;(3) persamaan kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan. c. Perkembangan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Sejak berakhirnya pemillihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai politik sangat orientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan



dan



kurang



memperhatikan



kepentingan



politik



nasional



secara



menyeluruh.disamping itu Soekarno melontarkan gagasan bahwa demokrasi



11



parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong. Politik pada masa ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan politik yang utama pada waktu itu, yaitu: presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat. Karakteristik yang utama dari demokrasi terpimpin adalah: menggabungkan sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasionall menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi sangat lemah, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semnagt anti kebebasan pers, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. (Sunarso, dkk. 2008:132136) d. Perkembangan Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi sesaat atau temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan masyarakatan. Oleh karena itu pada kalangan elit perkotaan dan organisasi sosial politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi mendukung program-program pembaruan pemerintahan baru. Perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya 12



sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan danproses formulasi kebijakan. Kedaan ini adalah dampak dari (1) kemenangan mutlak dari kemenangan Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yangkuat kepada negara; (2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai, dan institusionalisasi; (3) dipakai pendekatan keamanan; (4) intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepda negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas nonmigas dan pajak domestik, mauppun yang berasal dari bantuan luar negeri, dan akhirnya (6) sukses negara orde baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab struktural. Pemberontakan G-30-S/PKI merupaka titik kulminasi dari pertarungan atau tarik tambang politik antara Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunisme Indonesia. Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat



mendominasi



pemerintahan,



terbatasnya



peran



partai



politik,



berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah. Beberapa karakteristik pada masa orde baru antara lain: Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. Ketiga, PemilihanUmum. Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara. (Rukiyati, dkk. 2008:114-117) e. Perkembangan Demokrasi Pada Masa Reformasi (1998 Sampai Dengan Sekarang). Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. 13



Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru. Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksanakan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru. Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indicator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999. Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokrasi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat. 3. Kriteria Demokrasi Berdasarkan International Conference of Jurist di Bangkok tahun 1965, ada 5 kriteria sebagai negara demokrasi yaitu sebagai berikut: 1) Supremasi of Law (hukum di atas segalanya) 2) Equality before the Law (persamaan di hadapan hukum) 3) Constitutional quarante if human rights (jaminan konstitusional terhadap HAM) 4) Impartial tribune (peradilan yang tidak memihak) 5) Civic education (pendidikan kewarganegaraan)



4. Tujuan Demokrasi Sekarang ini demokrasi bukan semata-mata soal kekuasaan, melainkan juga masalah nilai-nilai, perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup yang lebih baik. 14



Demokrasi bukan sekedar metode kekuasaan mayoritas untuk menentukan jabatanjabatan publik, melainkan lebih dari itu, demokrasi juga menyangkut nilai-nilai universal yang terangkum dalam HAM. Karena itu demokrasi tidak hanya dipahami sebagai semata-mata institusi formal, melainkan juga nilai-nilai yang dipraktikkan dalam kehidupan sosial politik sehari-hari. Karena itu Ulf Shundaussen menegaskan bahwa ada dua prinsip sistem demokrasi, yaitu : kebebasan dan persamaan. Dengan demikian jelas bahwa tujuan paling hakiki dari sistem demokrasi adalah membentuk sebuah sistem yang apresiatif terhadap dasar-dasar manusia sebagai makhluk, baik individu maupun anggota kelompok sosial, yang berdaulat dan bermartabat. Demokrasi baik sebagai nilai-nilai maupun sebagai manifestasi dalam bentuk institusi formal akan mencegah munculnya sistem diktator dan otoriter yang menghancurkan individu dan masyarakat. Demokrasi sebagai sistem politik yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai sentrum utama sistem pengambilan keputusan publik suatu negara, merupakan sistem yang melembagakan kebebasan manusia dan menjamin hak-hak dasar mereka untuk mewujudkan kemaslahatan umum.1 5. Demokrasi dan Islam Jika demokrasi dengan sistem pengambilan keputusan diserahkan kepada rakyat demi kepentingan bersama dengan menjamin eksistensi hak-hak dasar manusia, maka demokrasi tidak ada masalah dengan Islam. Demokrasi kompatibel dengan Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, dalam konteks berbangsa dan bernegara, tujuan pokoknya tidak lain adalah menyelenggarakan kebaikan dan mencegah keburukan dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan. Nilai-nilai demokrasi yang bisa digali dari sumber Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti dikemukakan oleh Huwaydi dan Muhammad Dhiya al-Din Rais adalah 1) Keadilan dan musyawarah 2) Kekuasaan dipegang penuh oleh rakyat 3) kebebasan adalah hak penuh bagi semua warga negara 4) persamaan diantara sesama manusia khususnya persamaan didepan hukum 5)



15



keadilan untuk kelompok minoritas 6) undang-undang diatas segalanya 7) pertanggung jawaban penguasa kepada rakyat. Karena itu, seperti dikatakan oleh Ahmad Syafii Maarif, mayoritas umat Islam Indonesia menerima demokrasi sebagai bagian dari nilai yang prinsipprinsipnya sesuai dengan Islam. Dan karena itu pula umat Islam harus berusaha untuk mendorong terjadinya demokrasi didalam bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. 6. Prinsip dalam Kepemimpinan Islam Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya. a. Prinsip Tauhid



Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.



b. Prinsip Musyawarah (Syuro)



Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan 16



minoritas. 3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya" Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya". meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti alQur'an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya. c.



Prinsip Keadilan (Al-'adalah) Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan,



sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-



17



sulthoniyah-Nya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak menbedambedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat anNisa' 58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil". kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur'an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya. d. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah) Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.



18



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Sedangkan demokrasi ialah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Dalam melakukan sebuah perbuatan, yang menjadi panutan ialah aturan-aturan yang telah dibuat pemerintah dan tidak meninggalkan hukum islam sebagai orang yang beragama islam. Untuk bermusyawarah haruslah dilakukan ketika sulit untuk mencapai suatu kata bulat (mufakat) dengan adab-adab yang ada. Sehingga tidak akan terjadi perpecahan pada saat melakukan musyawarah tersebut. B. Saran Sebagai warga negara Indonesia, kita patut untuk mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Sedangkan sebagai seorang yang beragama Islam, kita juga patut untuk mematuhi dan mengikuti ajaran agama tentang berdemokrasi maupun bermusyawarah dengan benar. Pada masa modern ini, terjadi banyak perpecahan pada saat melakukan musyawarah dikarenakan tidak mengetahui adab-adab pada saat musyawarah, apalagi sebagai seorang muslim ataupun muslimah, cara bermusyawarah telah ada di Al-Quran maupun hadits-hadits yang bisa dijadikan panutan. Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa seharusnya mempunyai pengetahuan dan ilmu juga skill dalam berdemokrasi maupun bermusyawarah sehingga tidak terjadi perpecahan di antara umat muslim, masyarakat, bangsa, dan negara.



19



DAFTAR PUSTAKA Ubaidillah, Abdul Rozak dkk, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani). Penerbit IAIN Jakarta Press : Jakarta. Sunarso, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. _____: Jakarta Nurdin, Ali et al. 2009. Pendidikan Agama Islam. Penerbit Universitas Terbuka : Jakarta



20