Makalah Hukum Keluarga - Hukum Perdata - IH A [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM KELUARGA (Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata)



Disusun oleh: 1. Ahmad Naufal Pratama



(05020720011)



2. Marwan Hanan Salsabila



(05040720036)



3. Amanda Tasya Marsa Ghariza



(05040720030)



4. Moh Ali Mashar



(05010720006)



Dosen Pengampu: Dr. Muwahid, SH, M.Hum NIP: 197803102005011004



PROGRAM HUKUM PERDATA JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2020



1



KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang mana telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Hukum Keluarga” Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampuh mata kuliah Hukum Perdata telah membimbing kami. Dan kami sadar akan kekurangan dalam makalah kami maka kami mohon maaf sebesar-besarnya. Dan harapan kami semoga tugas makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasannya pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas makalah ini.



Surabaya, 16 Maret 2021



Penulis



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................2 DAFTAR ISI...........................................................................................................3 BAB I.......................................................................................................................4 PENDAHULUAN...................................................................................................4 A. Latar Belakang Penulisan..............................................................................4 B. Rumusan Masalah.........................................................................................5 C. Tujuan Penulisan...........................................................................................5 BAB II.....................................................................................................................6 PEMBAHASAN.....................................................................................................6 A. Pengertian Hukum Keluarga.........................................................................6 B. Perkawinan....................................................................................................7 a.



Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum..............................................8



b.



Syarat Sah Perkawinan Menurut Agama Islam.......................................10



c.



Pencatatan dan Tata Cara Perkawinan....................................................12



d.



Pencegahan Perkawinan..........................................................................14



e.



Pembatalan Perkawinan..........................................................................16



C. Akibat Hukum Perkawinan.........................................................................17 a.



Hak dan Kewajiban Suami Istri...............................................................17



b.



Harta Benda dalam Perkawinan..............................................................18



c.



Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak...................................19



d.



Perwalian.................................................................................................20



D. Putusnya Perkawinan..................................................................................22 a.



Sebab-sebab Putusnya Perkawinan.........................................................22



b.



Akibat Putusnya Perkawinan...................................................................26



BAB III..................................................................................................................31 KESIMPULAN.....................................................................................................31 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Di Indonesia sendiri terdapat istilah Hukum Perdata yaitu seperangkat peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan yang lain yang menitikberatkan pada kepentingan pribadi. Hukum perdata di Indonesia berasal dari Burgerlijk Wetboek Belan da yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Sesuai dengan karakternya hukum perdata bersifat private sehingga mengikat para pihak terkait, karena ia mengatur kepentingan orang per orang. Manakala dilanggar, maka orang atau pihak yang dirugikan itu dapat menggugatnya.1 Dalam hukum perdata tidak luput dengan kata hukum keluarga yakni mengatur hubungan hukum yang bersumber pada pertalian kekeluar gaan. Tentu saja didalam hukum keluarga pasti kaitannya dengan perkawi nan, melihat di Indonesia ini dengan maraknya kasus problematika dalam r umah tangga karena pernikahan bukanlah hal yang mudah melainkan haru s mengerti aturan-aturan atau hukum yang mengatur dalam pernikahan. Ap alagi masyarakat yang memutuskan untuk memilih menikah pada usia yan g muda, tentu harus benar-benar memahami aturan yang ada didalam perni kahan karena menikah bukanlah hal yang mudah dijalani. Maka dari itu, pada makalah kali ini akan membahas tentang aturan atau hukum dalam perkawinan yang mencakup syarat, tata cara dan sahnya Muhammad Yasin, “Keberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, Hukumonline.com, June 2012, (diakses pada 17 Maret 2021). 1



4



perkawinan, harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, perwalian se rta sebab-akibat putusnya perkawinan.



B. Rumusan Masalah A. Apa pengertian Hukum Keluarga? B. Bagaimana syarat, pencatatan dan tata cara, sahnya, pencegahan dan pembatalan dalam perkawinan? C. Apa akibat dari hukum perkawinan? D. Bagaimana sebab dan akibat hukum dari perkawinan?



C. Tujuan Penulisan A. Untuk mengetahui pengertian Hukum Keluarga B. Untuk mengetahui syarat, pencatatan dan tata cara, sahnya, pencegahan dan pembatalan dalam perkawinan C. Untuk mengetahui akibat dari hukum perkawinan D. Untuk mengetahui sebab dan akibat hukum dari perkawinan



5



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum Keluarga Istilah hukum keluarga berasal dari terjemaahan Belanda Familierecht atau Inggris Law of Familie, menurut konsepsi Ali Afandi hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keaadan tak hadir. Menurut Tahir Mahmud, mendefinisikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum yang diyakini memiliki aspek religious menyangkut peranan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisa, pemberian mas kawin, perwalian dan lain-lain. 2Dan definisi tersebut pada dasarnya mengkaji dua sisi yaitu dengan prinsip hukum dan ruang lingkup hukum, prinsip hukum yakni berdasarkan ketaatan agama sedangkan ruang lingkup dalam hukum yakni berdasarkan peranan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisa, pemberian mas kawin, perwalian dan lain-lain. Namun, apabila diperhatikan definisi ini terlalu luas karena mencakup warisa. Menurut Salim H.S., hukum keluarga merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian. Dan definisi ini mengandung dua hal penting yaitu kaidah hukum dan substansi ruang lingkup hukum. Kaidah hukum meliputi;



2



Salim H. S.,”Pengantar Hukum Perdata Tertulis”, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 55.



6



1. Hukum Keluarga Tertulis, kaidah-kaidah yang bersumber dari undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. 2. Hukum Keluarga Tidak Tertulis, kaidah-kaidah hukum keluarga yang



timbul,



tumbuh



dan



berkembang



dalam



kehidupan



masyarakat. Dari definisi-definisi tersebut3, maka disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi; 1. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan. 2. Peraturan perceraian. 3. Peraturan kekuasaan orang. 4. Peraturan kedudukan anak. 5. Peraturan pengampuan (curatele). 6. Peraturan perwalian (voogdij).



B. Perkawinan Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk kel uarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yan g Mahaesa. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hu kum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berl aku bagi semua warga negara.



Titik Triwulan Tutik, “Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional”, Jakarta: Prenadamedia Group, 2008, hlm 73-74 3



7



a. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sam pai dengan Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu ditent ukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat inter n dan syarat ekstern. Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanaka n perkawinan. Syarat-syarat intern meliputi: 1. Persetujuan kedua belah pihak; 2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; 3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; 4. Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin; 5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dal am pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi; 1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk; 2. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang m emuat: a) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu di sebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu; b) Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan.



8



Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi men jadi dua macam, yaitu: a) Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan initi atau pokok dal am melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu; 1. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi; a. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai se orang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW); b. Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata); c. Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 K UH Perdata); d. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi h arus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terd ahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata); e. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya ba gi anak-anak ynag belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata). 2. Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi s eseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi: a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kek eluargaan sedarah dank arena perkawinan; b. Larangan kawin karena zina; c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah ada nya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.



9



b) Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalit as dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapa n. Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan ad alah: a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calo n mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,dalam jan gka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkaw inan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkanny a pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawi nan. Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberitah ukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada Undang-Undang ya ng dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman terseb ut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syar at dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi calon me mpelai.



b. Syarat Sah Perkawinan Menurut Agama Islam Terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan menurut jumhur ul ama dalam Islam, antara lain: a. Akad nikah (Ijab dan Qabul); Calon mempelai laki-laki dan perempuan; wali; dan saksi. Sementara Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bah wa untuk melaksanakan perkawinan dibutuhkan: calon suami; calo n istri; wali nikah; dua saksi; ijab dan qabul. Ijab dan Qabul, Ijab y aitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempua n) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. S edangkan qabul adalah ucapan pengantin laki-laki sebagai tanda pe



10



nerimaan. Ijab dan Qabul dapat diucapkan dalam Bahasa Indonesia. Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus j elas beruntun dan tidak berselang waktu. Yang berhak mengucapka n Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-hal te rtentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan k etentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tert ulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mem pelai pria. b. Calon Mempelai Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: cal on suami beragama Islam; terang bahwa calon suami itu betul lakilaki; orangnya diketahui dan tertentu; calon suami itu jelas halal di kawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon istri; calon sua mi rela untuk melakukan perkawinan itu; tidak sedang melakukan i hram; tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri; dan tidak punya istri empat. Sementara persyaratan calon mempelai perempuan adalah s ebagai berikut: beragama Islam; terang bahwa ia wanita; wanita itu tentu orangnya; halal bagi calon suami; wanita tersebut tidak berad a dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah; tidak dipa ksa; dan tidak sedang berihram. c. Wali Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawi nan merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi calon mempelai w anita yang bertindak untuk menikahinya. Syarat wali adalah: Islam; sudah baligh; berakal sehat; merdeka; laki-laki; adil; dan sedang ti dak melakukan ihram. Sementara urutan orang yang boleh menjadi wali adalah: B apak; Kakek dari jalur Bapak; Saudara laki-laki kandung; Saudara l aki-laki tunggal bapak; Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya sau



11



dara laki-laki sekandung); Kemenakan laki-laki (anak laki-laki sau dara laki-laki bapak); Paman dari jalur bapak; Sepupu laki-laki ana k paman; Hakim bila sudah tidak ada wali–wali tersebut dari jalur nasab. d. Saksi Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan aka d nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tida k tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara la ngsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu da n di tempat akad nikah dilangsungkan.



c. Pencatatan dan Tata Cara Perkawinan Pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi negara dalam rangka mewujudkan tata kelola pencatatan perkawinan yang baik (g ood governance). Tetapi menurut keputusan MK pencatatan secara admini stratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bers angkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait den gan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Pemerintah mengatur pencatatan perkawinan adalah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode istishlah atau maslahat. Secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatat an perkawinan, namun karena kandungan maslahatnya sejalan dengan tind akan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan demi kian dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak, karena memiliki l



12



andasan yang kokoh yaitu maslahah mursalah (suatu metode berpikir yang dibangun atas dasar kejadian induktif). Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tenta ng Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakuka n menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sela njutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada per kawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perk awinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perat uran yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nom or 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Pemerintah No mor 1 Tahun 1954 dan Nomor 2 Tahun 1955. Menurut ketentuan Pasal 2 P eraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan perkawinan b agi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) K antor Urusan Agama, sedangkan pencatatan perkawinan bagi selain Islam dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Pasangan suami istri yang mempunyai anak, sedangkan perkawina nnya tidak tercatat dan akan membuatkan akta kelahiran anaknya pada Ka ntor Catatan Sipil akan mengalami kesulitan, karena salah satu kelengkapa n administrasi yang harus dipenuhi adalah foto copy Kutipan Akta Nikah o rang tuanya. Bagi pasangan suami istri yang tidak mempunyai Buku Nikah maka Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran anak tanpa mencantumkan nama bapaknya dalam akta tersebut. Pasangan suami istri yang tidak memiliki Buku Nikah karena perka winan mereka tidak dicatatkan, yang akan melakukan perceraian di Penga dilan, maka memerlukan proses yang lebih lama daripada orang yang mem iliki Buku Nikah, sebab sebelum pemeriksaan dalil-dalil yang menjadi alas an untuk bercerai, Pengadialan terlebih dahulu akan mengumumkan melal ui media massa sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan minimal satu bulan setelah pengumuman terakhir Pengadilan baru akan m



13



emeriksa status perkawinannya, apakah sah atau tidak. Apabila dalam pros es pemeriksaan ternyata perkawinan mereka telah memenuhi syarat dan ru kum perkawinan, maka perkawinan mereka akan diisbatkan (Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam). Apabila tidak memenuhi syarat dan r ukun perkawinan, maka gugatan atau permohonan mereka untuk bercerai t idak diterima oleh Pengadilan. Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan m enurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat men urut peraturan perundangundangan yang berlaku. Di Negara Indonesia ad a dua Instansi atau Lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan, perceraian dan rujuk. Adapun Instansi atau Lembaga yang dimaksud adala h: a) Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Rujuk bagi orang beragama Islam (lihat Undang-Undang No. 22 Tahun 1 946 jo. UndangUndang Nomor 32 Tahun 1954). b) Kantor Catatan Sipil untuk perkawinan bagi yang non muslim.



d. Pencegahan Perkawinan Pada dasarnya pencegahan perkawinan diperuntukan guna mencegah s uatu perkawinan yang akan dilaksanakan. Setidaknya terdapat 2 (dua) alas an untuk mencegah suatu perkawinan, yaitu: 1. Perkawinan yang dilakukan ternyata masih terikat perkawinan deng an orang lain. Merujuk pada dasar hukum pasal 15 UU tentang perkawinan “Bar ang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan s alah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya per kawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak me ngurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang i ni”. 2. Perkawinan yang dilakukan ternyata masih dibawah umur (dibawa h pengampuan)



14



Apabila perkawinan tersebut akan dilakukan tidak berdasar kan umur ditetapkan di dalam undang-undang ini dan tidak menda patkan persetujuan dari walinya, maka dapat dimintakan pencegaha n perkawinan. Adapun umur perkawinan yang diizinkan untuk pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Merujuk pada dasar hukum p asal 14 ayat 2 UU tentang perkawinan yang berbunyi “Mereka yan g tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlang sungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai b erada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan terseb ut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini”. Kemudian pihak-pihak yang dapat mencegah suatu perkawinan di atur dalam Pasal 14 ayat (1) adalah: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, 2. Saudara, 3. Wali nikah, 4. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai ,dan 5. Pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 yaitu sebagai berikut: 1. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.



15



2. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.4 e. Pembatalan Perkawinan Pembatalan pernikahan adalah mekanisme yang dijamin hukum. Pa sal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut tegas bahwa ‘perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-sy arat untuk melangsungkan perkawinan’. Permohonan pembatalan dapat di ajukan isteri atau suami. Dari sisi formal ketentuan UU Perkawinan, tentu berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan: “Seorang su ami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan a pabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka men genai diri suami atau isteri”. Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menambahkan frasa ‘pe nipuan atau salah sangka’, sehingga menjadi: “Seorang suami atau isteri d apat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada wakt u berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka menge nai diri suami atau isteri”. Dan di Pengadilan Agama, alat-alat bukti yang dikenal adalah: 1. Alat bukti surat (tulisan) 2. Alat bukti saksi 3. Persangkaan (dugaan) 4. Pengakuan 5. Sumpah Semakin banyak bukti yang Anda ajukan, semakin kuat kemungkin an argumentasi hukum yang Anda sampaikan ke persidangan. Tetapi penil aian atas semua bukti tersebut ada di tangan hakim.5 R. Indra, “Pencegahan Perkawinan”, Doktorhukum.com (diakses pada 18 Maret 2021) Muhammad Yasin, “Bukti Terkuat Untuk Pembatalan Nikah”, Hukumonline.com, 2015 (diakses p ada 18 Maret 2021) 4 5



16



C. Akibat Hukum Perkawinan



a. Hak dan Kewajiban Suami Istri Hak merupakan kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus di kerjakan. Adapaun yang dimaksud dengan kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksankan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri itu adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan dilakukan untuk suaminya. Menurut sayyid sabiq (1988:52), hak dan kewajiban suami-istri ada tiga macam, yaitu: hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama. 6Kewajiban suami merupakan hak istri yang harus diperoleh dari suami berdasarkan kemampuannya. Sejak terjadinya perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri timbul karena hubungan hukum. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasa l 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiba n suami-istri menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan r umah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 1974). 2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedud ukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974). 3. Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). 4. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasa l 32 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974). 5.



Suami-istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pas al 33 UU Nomor 1 Tahun 1974).



6



Beni Ahmad Saebani, “Fiqh Munakahat” (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 11.



17



6.



Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuat u keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).



7. Istri wajib mengatur utusan rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri d apat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Pe rdata juga diatur tentang hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiba n suami-istri sebagai berikut: 1. Suami adalah kepala rumah tangga; 2. Suami harus membantu istri; 3. Suami harus mengurus harta bawaan istri; 4. Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yan g baik; 5. Suami tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan istri.



b. Harta Benda dalam Perkawinan Pengaturan harta benda perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai ketentuan yang berlainan dengan Undang-Un dang Perkawinan. Dalam pasal 119 Kitab Undang-Undang bulat antara har ta kekayaan suami dan istri sepanjang tidak di tentukan lain. Persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan istri, bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali si pewaris atau yang memberi hibah dengan te gas menetukan sebaliknya. 7Persatuan itu juga meliputi segala utang suami istri masing-masing yang terjadi baik sebelum maupun sepanjang perkawi nan. 8



7 8



Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 121 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata



18



Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai denga n pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan ant ara harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang dipe roleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-masing seb agai hadiah atau warisan. Harta warisan itu berada di bawah penguasaan masing-masing piha k, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Nom or 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan antara suami-istri putus karena per ceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta be rsama itu dibagi sama rata antara suami-istri.



c. Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak Antara orang tua dan anak mempunyai kewajiban timbal balik dian tara keduanya yakni orang tua wajib memelihara dan bertanggung jawab mendidik anak-anak mereka sedangkan, anak wajib menghormati dan men ghargai orang tuanya serta menaatinya hingga ia dewasa. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sa mpai dengan Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban oran g tua dan anak adalah sebagai berikut: 1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebai k-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin ata u dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 1 Tahun1974). 2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974). 3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala su dah tua (Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). 4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawin an ada dibawah kuasa orang tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tah un 1974).



19



5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). 6. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaik an barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali k epentingan si anak menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974). Kekuasaan orang tua akan berakhir apabila anak telah berusia 18 tahun anak menikah dan salah satu atau kedua orang tuanya dicabut kekuasaann ya.9



d. Perwalian Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur y ang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda ata u kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang-undang. Timbulnya suatu Perwalian diakibatkan oleh putusnya perkawinan baik karena kematian maupun karena suatu putusan pengadilan dan selalu membawa akibat hukum baik terhadap suami/isteri, anak-anak maupun har ta kekayaannya terutama terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai Wali: 1. Mengurus harta kekayaan anak yang berada dibawah perwaliann ya; 2. Bertanggung-jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena peng urusan yang buruk; 3. Menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak belum de wasa sesuai harta kekayaannya dan mewakili anak dalam segala tindakan perdata; 9



Wibowo T. Tunardy, “Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak”, Jurnal Hukum, 2012



20



4. Mengadakan pencatatan dan inventarisasi harta kekayaan si ana k; 5. Mengadakan pertanggungjawaban pada akhir tugas sebagai wali; Sebagaimana diketahui bahwa anak-anak yang masih di bawah umu r mereka belum cakap bertindak dalam menjalankan perbuatan hukum, dal am hal demikian mereka ini rentan sekali untuk dimanfaatkan oleh waliny a akan hal-hal mereka. Perwalian anak dibawah umur terjadi karena: 1. Salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia; 2. Orangtua bercerai; dan, 3. Pencabutan dari kekuasaan orang tua. Perwalian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 50 dijelaskan bahwa, “(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapa n belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun hart a bendanya.” Pada Pasal 330 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdat a dinyatakan, “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kek uasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebaga imana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini.”



Pengangkatan Perwalian Cara untuk mendapatkan seorang wali diatur dalam pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menentuka n bahwa: “Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan sala



21



h satu kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat at au dengan lisan dihadapan dua orang saksi”. Sehingga dapat dipahami dari ketentuan tersebut di atas bahwa cara penunj ukan wali terdapat tiga macam. 1. Melalui lisan dihadapan dua orang saksi 2. Secara tertulis melalui surat wasiat 3. Dengan cara tertulis melalui penetapan hakim dalam hal pencabuta n. Syarat-syarat untuk menjadi wali terdapat dalam pasal 51 ayat (2) y ang harus dipenuhi yaitu diantaranya: 1. sudah dewasa, 2. sehat pikirannya, 3. jujur, dan 4. berkelakuan baik atau mempunyai i‟tikad baik untuk menjadi wal i.



D. Putusnya Perkawinan a. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat diliha t dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawi nan, yang berbunyi “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputu san Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sej ak saat berlangsungnya perkawinan”.



Perkawinan dapat putus karena:



22



a. Kematian. b. Perceraian. c. Atas keputusan pengadilan.10 Putusnya hubungan perkawinan karena kematian dari salah satu piha k ini tidak banyak menimbulkan persoalan. Sebab putusnya hubungan perk awinan tersebut bukan atas kehendak bersama ataupun kehendak dari salah satu pihak, akan tetapi karena kehendak Tuhan. Serta sudah jelas bahwa de ngan meninggalnya salah seorang satu pihak sehingga dengan sendirirnya perkawinan menjadi putus. Maka akibat putusnya perkawinan karena kem atian ini tidak diuraikan lebih lanjut. Putusnya hubungan perkawinan dapat disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak menjadi a hli waris atas peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian su ami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi ist ri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau mela ngsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 bulan 10 hari atau 130 hari (Pasal 39 ayat (1) huruf; a). apabila p erkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdata ng bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan ba gi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anak nya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.



Kemudian dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undan g-undang Perkawinan dan dalam peraturan pelaksanaan, maka dapat adany a 2 (dua) macam perceraian, yaitu; a) Cerai Talak 10



UU No.1 Tahun 1974, Pasal 38.



23



Talak adalah suatu bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya di depan sidang pengadilan, yang dikenal um um dan banyak terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, seorang suami y ang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta k epada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Pengertian cerai ta lak diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen Undangundang Nomor 7 Tahun 1989. b) Cerai Gugat Yaitu perceraian yang diajukan oleh suami atau istri atau ku asanya. Dalam hal ini, gugatan perceraian dimaksud dapat dilakuka n oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut aga ma Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsu ngkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan nya itu selain agama Islam (Penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah No mor 9 Tahun 1975). Pengertian cerai gugat diatur dalam Pasal 73 a yat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Ag ama jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandeme n Undangundang Nomor 7 Tahun 1989. Karena walaupun perceraian itu merupakan urusan pribadi baik atas kehendak salah satu pihak atau keduanya, yang seharusny a tidak perlu adanya campur tangan dari Pemerintah, namun untuk menghindari tindakan sewenang-wenangnya terutama dari pihak su ami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalu i saluran lembaga peradilan. Sehubungan dengan ketentuan yang m engatur bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadi



24



lan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi yang beragama Islam. W alaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perc eraian itu harus dilakukan di depan sidang pengadilan namun karen a ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua be lah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang beragama Islam w ajib mengikuti ketentuan ini. Adapun pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang perceraian adalah bagi mereka yang beragama Isl am di Pengadilan Agama dan bagi yang beragama lain selain Islam di Pengadilan Negeri setempat. Serta putusnya hubungan perkwainan karena berdasarkan k eputusan pengadilan, yaitu perceraian yang dilakukan dengan putus an Pengadilan Agama bagi menganut agama Islam ataupun dengan putusan Pengadilan Negeri bagi yang menganut selain agama Islam yang didasarkan oleh suatu gugatan perceraian dari salah satu piha k suami atau istri. Oleh karena itu, di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawi nan disebutkan bahwa, akibat putusnya perkawinan karena percerai an baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidi k anakanaknya, bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeli haraan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bapak berkewajiba n memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewaji ban bagi bekas istrinya. Dan pada Pasal 37 Undang-undang Perkaw inan, yang berbunyi: “Bila perkawinan putus karena perceraian, h arta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Maksudn ya dalam hal ini menurut hukumnya masing-masing, yaitu bisa dari undang-undang, hukum Islam ataupun dari hukum adat. Menurut KUHPerdata Pasal 199, disebutkan 4 (empat) cara pemutusan perkawinan secara limitatif, yaitu; a. Karena kematian. b. Karena keadaan tak hadir.



25



c. Karena pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed). d. Karena perceraian.11



b. Akibat Putusnya Perkawinan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUHPerdata, adal ah; a) Kewajiban suami atau istri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau istri yang menang dalam tuntutan perceraian (Pasal 22 2 KUHPerdata). Kewajiban memberikan tunjangan nafkah ini ber akhir dengan meninggalnya si-suami atau si-istri (Pasal 227 KUH Perdata). b) Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian terhadap anak-anak mereka (Pasal 229 KU HPerdata). c) Apabila suami dan istri yang telah bercerai hendak melakukan ka win ulang, maka demi hukum segala akibat perkawinan pertama h idup kembali, seolah-olah tak pernah ada perceraian (Pasal 232 K UHPerdata). Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanji an.12 Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, te ntu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai ter sebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan ha sil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Adanya putusnya hu bungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai k ewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya. Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, dise Pasal 119 KUHPerdata Martiman Prodjohamidjojo, “Hukum Perkawinan Indonesia”, (Jakarta: Indonesia Legal Centre P ublishing, 2002), hal 46. 11 12



26



butkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik an ak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana a da perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan membe ri keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan p endidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataa nnya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan da pat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberika n biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi b ekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawin an karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Dampak perceraian a. Dampak terhadap suami istri Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjia n suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungki nan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebab kan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-istri t erputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan. Seorang istri y ang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau ber akhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (ser atus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a). Apabila perkawina n putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatan g bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapk 27



an 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabil a ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi is tri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan ana knya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Ta hun 1975. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai den gan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh lan gsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah. b. Dampak terhadap anak Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membay ar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilak ukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri. Baik bekas suami maupun bekas istri tetap ber kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan ke pentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas se gala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila su ami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu y ang memikul biaya anak-anak.



c. Dampak terhadap harta bersama Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah har ta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti ya ng ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatu r menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pa sal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adal ah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Memperhat



28



ikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undan g-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentan g bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Tentang yan g dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagi an harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan ca ra pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum y ang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan r umah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian: 1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama it u merupakan kesadaranhukum yang hidup dalam menga tur tata cara perceraian; 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum a dat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum y ang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangk utan; Atau hukum-hukum lainnya.13 Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditan gan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tida k melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat mel alui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebu t dapat dilaksanakan. Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, su ami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan ba gi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.14



13



Harahap, Op. Cit., hal. 125. Mohd. Idris Ramulyo, “Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, April 1999), hal. 2, m engutip Hazairin “Hukum Kekeluargaan Indonesia”, (Jakarta: Tintamas, 1961), hal. 189. 14



29



BAB III KESIMPULAN Dari pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik itu tertulis maupun tida k tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawi nan. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seoran g wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Menikah tentunya 30



saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi baik itu dari hukum maupun aturan aga ma masing-masing. Dan sebelum melangsungkan pernikahan tentu saja harus melalui pencatat an perkawinan yang diselenggarakan pada lembaga-lembaga negara yang ditunjuk seperti KUA dan Kantor Catatan Sipil. Perkawinan dapat dibatalkan atau dicegah apabila salah satu pihak mengal ami penipuan dan dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan. Hukum juga mengatur hak dan kewajiban suami istri Harta benda dalam p erkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian serta putusny a sebuah perkawinan.



 



DAFTAR PUSTAKA



H.S., S. (n.d.). Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika. Indra, R. (n.d.). Pencegahan Perkawinan. Doktorhukum.com. Prodjohamidjojo, M. (2002). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia Le gal Centre Publishing.



31



Ramulyo, M. I. (1999). Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-u ndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. In Hazairin, Hu kum Kekeluargaan Indonesia (p. 2). Jakarta: Bumi Aksara. Saebani, B. A. (2001). Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia. Tunardy, W. T. (2012). Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak. Jurnal Hukum. Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Pran adamedia Group. Yasin, M. (2012). Keberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hukumonl ine.com. Yasin, M. (n.d.). Bukti Terkuat Pembatalan Nikah. Hukumonline.com. (n.d.). Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.



(n.d.). Pasal 121 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (n.d.). Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 .



32