Makalah Kelompok 10 Motivasi Sosial Dan Konteks Sosiokultural, Teori Atribusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN MOTIVASI HUBUNGAN DAN KONTEKS SOSIOKULTURAL, TEORI ATRIBUSI



Disusun Oleh : 1. Ariesta Dinda Widya Putri (15000119120018) 2. Fawziya Amira Saputro



(15000119130119)



3. Kartika Ratri Andini



(15000119120063)



4. Novera Amanda Putri



(15000119140246)



5. Zulva Ramadhanty



(15000119130145)



6. Aulia Rukhiyati Aulad



(15000119140170)



Dosen Pengampu : Dian Ratna Sawitri, S.Psi, M.Si, Ph.D



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Pendidikan dengan judul “Motivasi Hubungan dan Konteks Sosiokultural, Teori Atribusi” ini dengan lancar. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dan kebaikan makalah ini.



Semarang, 25 September 2020



Kelompok 10



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR



………………………………………………………………… i



DAFTAR ISI



………………………………………………………………… ii



BAB I PENDAHULUAN I.



Latar Belakang Masalah………………………………………………………………. 1



II.



Rumusan Masalah……………………………………………………………………. . 2



III.



Tujuan…………………………………………………………………………………. 3



BAB II PEMBAHASAN I.



Motif Sosial…………………………………………………………………………… 3



II.



Hubungan Sosial……………………………………………………………………….4



III.



Konteks Sosiokultural………………………………………………………………… 5



IV.



Teori Atribusi………………………………………………………………………….12



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN I.



Kesimpulan…………………………………………………………………………….16



II.



Saran……………………………………………………………………………………16



DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………17



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia pendidikan, untuk mencapai pendidikan yang tinggi tidak dapat dipisahkan dari prestasi yang unggul. Siswa yang memiliki keunggulan dalam prestasi dapat dengan mudah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Nasution S [ CITATION Ham11 \l 1033 ] prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai dalam berfikir, merasa, dan berbuat, dan dapat dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek diantaranya adalah kognitif, afektif, dan psikomotor. Berbeda dengan Nasution, Winkel dalam mendefinisikan prestasi belajar sebagai suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar sesuai bobot yang dicapainya [ CITATION Ham11 \l 1033 ] . Berdasar pengertian dari kedua tokoh, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seorang siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar. Untuk mendapatkan prestasi belajar yang memuaskan, seorang siswa setidaknya memiliki sebuah motivasi untuk belajar. Motivasi belajar sendiri diartikan sebagai kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi belajar sebaik mungkin. Dalam mencapai prestasi, siswa tentunya akan dibantu oleh lingkungan keluarga dan sosialnya. Dalam lingkungan keluarga, orang tua pasti akan memberikan fasilitas yang terbaik untuk mendukung proses belajar anaknya. Namun, tidak semua orang tua mampu memberikan fasilitas belajar yang baik untuk anaknya dikarenakan dikarenakan beberapa hal seperti faktor ekonomi yang rendah. Sedangkan dari faktor lingkungan sosial, yang termasuk didalamnya adalah lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal siswa baik teman maupun rekan sebaya. Selain itu, guru juga berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan seorang siswa didalam kelas. Namun pada kenyataannya, masih banyak siswa yang memiliki prestasi yang kurang memuaskan serta minat yang kurang dalam pendidikan. Hal ini tentunya



1



dipengaruhi oleh beberapa hal. Dari permasalahan tersebut, kami ingin membahas lebih lanjut mengenai motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultular, dan teori atribusi dalam pengaruhnya terhadap motivasi dan prestasi siswa. B. Rumusan Masalah 1.



Apa pengertian motif sosial?



2.



Bagaimana keterkaitan antara hubungan sosial dengan prestasi dan motivasi siswa?



3.



Apasaja yang mempengaruhi prestasi dan motivasi siswa dalam konteks sosiokultural?



4.



Apa pengertian Teori Atribusi?



C. Tujuan Makalah ini bertujuan agar kita dapat mengetahui seluk beluk mengenai topik yang dibahas yaitu motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultural, serta teori atribusi dalam ranah psikologi pendidikan.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Motif Sosial Lindgren (1973) beranggapan bahwa motif sosial adalah motif yang dipelajari dan lingkungan individu memegang peranan yang penting dalam motif tersebut. Motif sosial adalah keinginan yang dipelajari melalui pengalaman dengan dunia sosial. Motif timbul karena adanya kebutuhan (need). Kebutuhan dapat dikatakan sebagai kekurangan yang dimiliki seseorang sehingga menimbulkan adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan tersebut untuk segera mendapatkan keseimbangan. McClelland (1987) menyebutkan macam motif sosial antara lain: motif berprestasi (achievement motive), motif berafiliasi (affiliation motive) dan motifberkuasa (power motive). a. Motif berprestasi Motif berprestasi adalah motif yang mendorong individu mencapai sukses dan dapat berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan dapat berupa prestasi orang lain, prestasi diri sendiri dan dapat pula kesempurnaan tugas. Menurut McClelland (1987) indlvidu dengan kebutuhan berprestasl tinggi menampilkan perilaku antara lain: pertama, lebih menyukai tugas yang menantang dengan tingkat kesulitan yang moderat. Kedua, meyukai adanya umpan balik terhadap sejauh mana keberhasilan yang dicapai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Ketiga, dinamis dan memilikl mobilitas tinggi dalam melaksanakan pekerjaan. Keempat, cenderung meningkatkan wawasan dalam bekerja sehingga akan terus mampu mengerjakan pekerjaan yang menantang dan sutit. Ke lima, dalam bekerja mengetahui apa yang harus dlkerjakan untuk mencapal has ii yang telah ditetapkan. Motif berprestasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan, norma kelompok, tujuan, harapan, kedisiplinan, pengalaman, potensi dasardan dorongan sukses. b. Motif Berafiliasi 3



Motif berafiliasi adalah motif yang mendorong, mengarahkan tingkah laku seseorang untuk berinteraksi dengan orang Jain, yang mengandung unsur kepercayaan, afeksi dan kebersamaan. Menurut McClelland (1987), motif berafiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain. Motif inilah yang mendorong individu untuk berhubungan sosial, seperti bergaul, bekerjasama, dihargai, diakui secara sosial dan masuk dalam kelompok. Orang yang memiliki motif berafiliasi tinggi mempunyai ciri-ciri yaitu selalu ingin berhubungan dengan orang lain, konformis, mempunyai kebutuhan bekerjasama, keinginan memberi maaf kepada orang lain, rasa empati kepada orang lain dan memiliki keinginan untuk menyenangkan oran lain. c. Motif Berkuasa Motif berkuasa adalah motif yang mendorong individu untuk menguasai atau mendominasi orang lain. Menurut McClelland (1987), motif berkuasa adalah hasrat seseorang untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain yang lebih rendah. Orang yang memiliki motif berkuasa tinggi leblh menaruh perhatian pada prestise daripada prestasi. Mereka cenderung mengontro1 dan mendominasf orang lain. Orang yang memiliki motif berkuasa tinggi memiliki ciri-ciri, adanya kebutuhan untuk berkuasa, keadaan afektif dalam menguasai atau mempengaruhi orang l a i n , memperhitungkan rintangan yang ada, mengontrol orang lain, harapan akan tujuan berkuasa dan mempunyai keinginan untuk prestlse. Kebutuhan sosial siswa tercermin dalam keinginan mereka untuk menjadi dikenal oleh rekan sebaya, memiliki banyak teman dekat, dan memiliki daya tarik kuat kepada orang yang mereka cintai. Kebutuhan afiliasi atau keterkaitan pasti dimiliki oleh semua orang, tetapi pengaruh kuat atau lemahnya pada setiap orang berbeda-beda. Contoh dari kebutuhan afiliasi yang tertanam kuat dalam individu yaitu ketika di sekolah menengah, siswa merasa ada sesuatu yang hilang secara drastis dalam kehidupan mereka apabila mereka tidak memiliki pacar. Hal tersebut berbeda dengan individu yang tidak memiliki kebutuhan afiliasi kuat dimana mereka tidak dikelilingi oleh teman dekat sepanjang hari dan tidak cemas di kelas jika mereka tidak memiliki pasangan.



4



Kepedulian sosial anak-anak memengaruhi kehidupan mereka di sekolah (Anderman & Anderman, 2010). Siswa akan bekerja untuk membangun dan memelihara hubungan sosial mereka ketika berada di sekolah. Para peneliti telah menemukan bahwa siswa yang menampilkan perilaku sosial yang kompeten lebih mungkin untuk unggul secara akademis daripada mereka yang tidak (Wentzel, 2008). Dalam hal ini, persetujuan guru dan rekan merupakan motif sosial yang paling penting bagi sebagian besar siswa. Pada tahun-tahun sekolah dasar, siswa termotivasi untuk menyenangkan orang tua mereka dibandingkan dengan temannya (Berndt, 1979). Sedangkan pada akhir sekolah dasar, persetujuan antara orang tua dan teman hampir sama dalam hal motif sosial. Pada kelas 8 atau 9, komformitas dengan rekan sebaya melampaui komformitas dengan orang tua. Sedangkan pada kelas 12, komformitas dengan rekan sebaya agak menurun karena siswa menjadi lebih mandiri dan lebih kepada membuat keputusannya sendiri. Masa remaja dapat menjadi titik yang sangat penting bagi siswa dalam hal prestasi, motivasi diri, dan motivasi sosial (Anderman, 2011; Anderman & Mueller, 2010 Eccles & Roeser, 2010). Adanya tekanan akademik dan juga sosial yang baru bagi remaja memaksa mereka untuk menghadapi peran baru yang melibatkan tanggung jawab yang lebih banyak pula. Seiring dengan remaja yang mengalami tuntutan prestasi yang lebih intens, minat sosial mereka mungkin akan teralihkan demi kebutuhan akademis mereka yang membutuhkan lebih banyak waktu. Pada remaja awal, siswa dihadapkan pada pilihan antara tujuan sosial atau tujuan akademiknya. Keputusan yang diambil tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang yang akan berpengaruh pada pendidikan dengan karir yang ingin mereka capai. B. Hubungan Sosial Hubungan siswa dengan orang tua, rekan sebaya, teman-teman, dan guru sangat memengaruhi prestasi dan motivasi sosial mereka. Penelitian dilakukan pada hubungan antara orang tua dan motivasi belajar siswa, beberapa faktor yang diteliti antara lain : 1. Karakteristik demografi. Orang tua yang memiliki pendidikan memadai akan lebih mampu terlibat aktif dalam proses belajar siswa, mereka akan mampu memberi stimulasi secara intelektual pada siswa di rumah. Sebaliknya, prestasi



5



dan motivasi siswa akan lemah jika pendidikan orang tua rendah, orang tua sibuk, dan juga tinggal bersama orang tua tunggal. 2. Praktik pengasuhan anak. Beberapa praktik pengasuhan anak yang mampu meningkatkan motivasi dan prestasi siswa adalah pengetahuan yang cukup tentang kondisi anak untuk memberikan jumlah tantangan dan dukungan yang tepat, memberikan



suasana



emosional



positif



yang



memotivasi



anak



untuk



menginternalisasi nilai-nilai dan tujuan orang tua, dan pemodelan perilaku bekerja keras dan terus bertahan dengan upaya dalam tugas yang menantang. 3. Penyediaan pengalaman spesifik di rumah. Orang tua menyediakan berbagai kegiatan di rumah yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa, seperti menyediakan bacaan untuk menumbuhkan minat baca pada anak, khususnya usia pra sekolah. Selain orang tua, rekan sebaya dan guru juga turut mempengaruhi motivasi anak : 1. Rekan sebaya. Siswa yang lebih diterima oleh rekan sebaya dan memiliki keterampilan sosial yang baik, memiliki motivasi prestasi akademik yang lebih baik. 2. Guru. Melibatkan guru secara efektif mendorong siswa untuk memiliki pencapaian prestasi yang teratur karena siswa terus dibimbing untuk berusaha keras dan mengembangkan efikasi diri. 3. Guru dan orang tua. Guru dapat secara sistematis dan rutin memberi tahu orang tua tentang perkembangan siswa dan orang tua terlibat dalam pembelajaran anak mereka. hal ini juga turut membantu siswa dalam mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi. C. Konteks Sosiokultural 1. Perbedaan Budaya dan Etnis Banyak kelompok budaya dan etnis yang menghargai pendidikan yang baik (P. J. Cook & Ludwig, 2008; Fuligni & hardway, 2004; Phalet, Andriessen, & Lens, 2004; Spera, 2005). Para peneliti telah mengamati perbedaan spesifik tentang pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh, banyak dari budaya Asia seperti Cina, Jepang, dan Rusia menekankan pelajaran demi pembelajaran: Dengan 6



pengetahuan datang pertumbuhan pribadi, pemahaman yang lebih baik tentang dunia, dan potensi yang lebih besar untuk berkontribusi pada masyarakat. Dalam budaya Asia, kerja keras dan ketekunan juga penting dalam studi akademis, walaupun materi yang dipelajari tidak menyenangkan (Hufton et al., 2002; j. Li, 2006; Morelli & Rothbaum, 2007). Sedangkan di sisi lain, siswa yang berasal dari Amerika atau Eropa cenderung kurang rajin ketika topik yang dibahas kurang menarik, tetapi mereka sering menemukan nilai dalam topik yang menarik perhatian mereka dan tugas yang membutuhkan kreativitas, pemikiran mandiri, atau analisis kritik (Hess & Azuma, 1991; Kuhn & Park, 2005; Nisbett, 2009). Latar belakang budaya dan etnis peserta didik juga memengaruhi atribusi mereka. Seperti misal, siswa yang berasal dari keluarga dengan budaya tradisional Asia cenderung lebih bisa menghubungkan keberhasilan dan kegagalan kelas dengan faktor yang tidak stabil daripada siswa dengan latar budaya Barat (J.Li & Fischer, 2004; Lillard, 1997; Weiner, 2004). Juga ditemukan dalam beberapa penelitian jika siswa Afrika-Amerika memiliki tendensi yang lebih bagus untuk mengembangkan kekurangan mereka untuk mencapai kesuksesan akademik. Hal itu disebabkan oleh prasangka rasial dapat berkontribusi pada kelemahan yang mereka pelajari: siswa mungkin mulai percaya jika karena warna kulit mereka, mereka memiliki sedikit kesempatan untuk sukses tidak peduli dengan apa yang telah mereka lakukan (G. H. Brody et al., 2006; Graham, 1989; van Laar, 2000). 2. Perbedaan Gender Secara umum, anak perempuan lebih khawatir dengan prestasi di sekolah daripada anak laki-laki, mereka akan berusaha lebih keras ketika mengerjakan tugas, dan mendapatkan nilai yang lebih tinggi (Elmore & Oyserman, 2012; H. M. Marks, 2000; Marsh, Martin & Cheng, 2008; McCall, 1994; J. P. Robinson & Lubienski, 2011). Tetapi beberapa siswa merasakan bidang kekuasaan tertentu seperti misal menulis atau musik lebih cenderung untuk anak perempuan sedangkan bidang kekuasaan lain seperti matematika dan sains cenderung untuk anak laki-laki. Hal tersebut memperkecil minat dan self-efficacy mereka sehingga pilihan kerja mereka menjadi terbatas (Eccles, 2005; Jacobs et al., 2002; Leaper & Friedman, 2007; Plante et al., 2013; Weisgram, Bigler, & Liben, 2010). Gambaran 7



tujuan jangka panjang para siswa pun menjadi: Anak perempuan lebih mungkin dibandingkan anak laki-laki untuk mempertimbangkan bagaimana pilihan karir mereka mungkin cocok dengan keinginan mereka untuk bekerja dengan orangorang (bukan objek) dan untuk mengurus keluarga (Diekman, Bron, Johnston, & Clark, 2010; Eccles, 2009). Perbedaan gender lain yang sering diamati adalah kecenderungan anak perempuan (terlebih perempuan berdedikasi tinggi) untuk lebih berkecil hati ketika mengalami kegagalan daripada anak laki-laki (Dweck, 1986, 2000). Beberapa riset menjelaskan jika anak laki-laki cenderung menghubungkan kesuksesan mereka dengan kemampuan yang cukup stabil dan kegagalan dengan kurangnya usaha mereka, dan mempercayai jika mereka bisa melakukan itu. Sebaliknya, anak perempuan cenderung menghubungkan kesuksesan mereka dengan usaha dan kegagalannya dengan kurangnya kemampuan yang mereka miliki, dan mempercayai jika mereka tidak tahu apakah mereka bisa terus melanjutkannya karena mereka tidak menguasai hal tersebut. Perbedaan tersebut paling sering diamati dalam domain stereotip laki-laki (misalnya, matematika, olahraga) dan dapat muncul bahkan ketika anak laki-laki dan tingkat prestasi perempuan sebelumnya dalam domain tersebut telah setara (Leaper & Friedman, 2007; McClure et al., 2011 ; Stipek, 1984; Vermeer, Boekaerts, & Seegers, 2000). Dalam meningkatkan motivasi para siswa, pengajar mungkin ingin memfokuskan usaha mereka ke arah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Untuk anak laki-laki yang memiliki lebih sedikit kekhawatiran tentang prestasi di sekolah, pengajar mungkin perlu menekankan pentingnya pencapaian akademis untuk tujuan hidup jangka panjang mereka dan melakukan upaya khusus untuk membangkitkan minat mereka dalam kegiatan kelas. Untuk anak perempuan, pengajar mungkin perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkan mereka bahwa keberhasilan kelas mereka bukan hanya dari hasil usaha mereka tetapi juga dari kemampuan alami mereka dan bahwa mereka memiliki ‘apa yang diperlukan’ untuk menjadi sukses menurut laki-laki. 3. Perbedaan Sosioekonomik



8



Banyak siswa yang berlatar belakang berpenghasilan rendah ingin berprestasi (Payne, 2005; Shernoff, Schneider, & Csikszentmihalyi, 2001; BL Wilson & Corbett, 2001). Hanya saja perilaku guru, praktik instruksional, dan hubungan dengan siswa memiliki pengaruh yang signifikan pada apakah para siswa ini memilih untuk mengejar kesuksesan akademik; ini terutama berlaku untuk siswa yang berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan akademis (L. W. Anderson & Pellicer, 1998; Kumar et al., 2002; Maehr & Anderman, 1993; Murdock, 1999). Murid yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung berkembang di sekolah dengan guru yang memiliki ekspektasi tinggi dengan pencapaian prestasi, melibatkan siswa dengan kegiatan dan pelajaran yang menarik, menekankan tujuan pendekatan penguasaan atas tujuan kinerja, dan memuat siswa untuk merasa dihargai sebagai anggota di dalam komunitas kelas (Hom & Battistich, 1995; Juvonen, 2006; Osterman, 2000; Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007). Sama pentingnya bagi guru untuk menaikkan nilai yang dirasakan dari kegiatan sekolah dengan membuatnya relevan dengan kehidupan dan kebutuhan mereka (P. A. Alexander et al., 1994; Knapp, Turnbull, & Shields, 1990; Wlodkowski & Ginsberg, 1995). Tidak jarang juga, para siswa di sekolah yang berasal dari lingkungan berpenghasilan rendah menemui intruksi yang fokus kepada keterampilan dasar dan hafalan, dan hal tersebut tidak dapat menarik perhatian murid bahkan murid dengan motivasi tinggi sekalipun. Penting bagi para pengajar untuk membantu para siswa memperoleh keterampilan dan strategi yang akan mereka butuhkan untuk mencapai tujuan jangka panjang untuk edukasi lebih tinggi dan karir yang bermanfaat. Selain itu, jika siswa memiliki sedikit kontak langsung dengan kehidupan kampus atau profesi berpenghasilan tinggi, pengajar harus mempromosikan pemahaman realistis tentang apa yang tercakup dalam pencapaian perguruan tinggi dan kesuksesan profesional. 4. Mengakomodasi Siswa Berkebutuhan Khusus Siswa dengan kebutuhan pendidikan yang khusus biasanya memunculkan motivasi yang lebih bagus. Contoh, siswa dengan disabilitas intelektual cenderung lebih mudah putus asa ketika mengerjakan tugas yang menantang; beberapa mungkin akan menunjukkan tanda-tanda ketidakberdayaan jika upaya mereka 9



secara konsisten menemui kegagalan (Jacobsen, Lowery, & Ducette, 1986; Mercer & Pullen, 2005; Seligman, 1975). Sebaliknya, siswa yang memiliki kelebihan akan lebih cepat bosan atau terganggu jika aktivitas dalam kelas kurang menantang kemampuan mereka (Bleske-Rechek, Lubinski, & Benbow, 2004; Winner, 2000). Berikut merupakan table karakteristik motivasional murid dengan kebutuhan khusus :



Karakteristik yang Mungkin Di Observasi



Kategori Murid dengan masalah kognitif atau kesulitan akademik tertentu











 



Murid dengan masalah sosial atau masalah kepribadian







Strategi yang Di Sugestikan



Motivasi intrinsik yang kurang untuk berhasil di bidang akademik tugas, sebagian karena rasa efikasi diri yang rendah dan kompetensi Keengganan untuk bertanya atau mencari bantuan, terutama di kelas menengah Sedikit atau tidak ada ketekunan saat sulit mengonfirmasi tugas Kecenderungan untuk mengaitkan prestasi yang buruk dengan yang rendah kemampuan daripada faktorfaktor yang lebih terkendali; terpelajar ketidakberdayaan tentang beberapa tugas kelas







Keinginan untuk sukses dikelas, meskipun perilaku terlihat mengindikasikan kurangnya motivasi







10















Menggunakan penguat ekstrinsik untuk mendorong usaha dan pencapaian; secara bertahap menghapus penguat ketika para murid menunjukkan tanda-tanda dari motivasi intrinsic. Tetapkan tujuan jangka pendek untuk pencapaian yang dianggap murid sebagai tantangan yang dapat diselesaikan. Tawarkan bantuan ketika murid dirasa memerlukannya, tetapi coba menahan untuk tidak menawarkan bantuan jika murid dirasa mampu menyelesaikannya sendiri. Mengajarkan strategi belajar yang efektif dan mendorong siswa untuk menghubungkan kesuksesannya dengan strategi sepert itu. Memberikan bimbingan dan dukunganyang dibutuhkan siswa untuk sukses dalam mengerjakan























Murid dengan keterlambatan kognitif umum dan fungsi sosial







   



Kecenderungan untuk menerjemahkan pujian sebagai kesempatan untuk mengontrol (untuk murid yang menunjukkan defiansi atau perilaku berlawanan) Keinginan lebih kuat untuk menguasai teman sekelas daripada membangun persahabatan (untuk murid dengan kelainan emosi dan perilaku) Kecil atau tidak terlihatan ketertarikan untuk berinteraksi sosial (untuk murid dengan gangguan spektrum autism) Persepsi tugas kelas yang memiliki sedikit relevamsi dengan kebutuhan dan tujuan pribadi Kecenderungan untuk menghubungan konsekuensi negative dengan faktor yang tidak terkendali (kejadian ‘hanya terjadi’) Rata-rata, motivasi intrinsic lebih rendah daripada teman sebaya yang tidak cacat; keingintahuan sesekali tentang topik tertentu Responsivitas untuk motivator ekstrinsik Kecenderungan untuk mudah menyerah ketika dihadapkan dengan kesulitan Terbatas atau tidak adanya kemampuan untuk membuat konsep tujuan janka panjang Kecenderungan unyuk menghubungkan prestasti buruk dengan kurangnya kemampuan atau dengan sumber ekternal daripada 11















 







 







tugas kelas Ketika murid merasa khawatir dengan masalah control, gunakan penguatan halus (co: meninggalkan catatan memuji perilaku produktif) daripada menggunakan penguatan yang lebih jelas dan terlihat seperti mengontrol. Tawarkan beberapa pilihan aktivitas dan penguatan untuk menaikkan rasa self-determination Bantu siswa untuk menemukan manfaat dari interaksi yang menyenangkan dan prososial dengan teman sebaya. Hubungkan kurikulum dengan kebutuhan dan minat siswa Ajarkan perilaku yang mangarahkan pada konsekuensi yang diinginkan. Menggunakan penguatan ekstrinsik untuk memicu perilaku produktif; secara bertahap kurangi penguatan jika murid memunculkan tanda-tanda dari motivasi intrinsic Memperkuat ketekunan serta kesuksesan Menetukan tujuan jangka pendek yang spesifik; tanya murid untuk menentukan tujuannya sendiri Bantu murid untuk melihat hubungan antara aksi mereka dan konsekuensi hasil



faktor-faktor yang lebih dapat dikendalikan Murid dengan masalah fisik atau sensori



 



Rendahnya selfdetermination tentang jalan hidup mereka Lebih sedikitnya kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan keterkaitan, terlebih dengan teman sebaya



 







Murid dengan perkembangan kognitif yang tinggi



 











   



Self-efficacy dan rasa kompetensi yang tinggi Keinginan untuk banyak tantangan; bosan ketika tugas kelas tidak menantang kemampuan mereka Gigih ketika dihadapkan dengan kegagalan (Waupun terkadang mungkin akan menyerah dengan cepat jika mereka tidak biasa dengan kegagalan) Kemungkinan mengalami gangguan diri jika ada keinginan untuk berafiliasi dengan teman-teman yang berprestasi Isolasi sosial (untuk beberapa siswa yang sangat berbakat) Memiliki banyak minat, terkadang mengehar dengan penuh semangat Memiliki tujuan yang lebih tinggi dari tujuan yang telah ditetapkan Secara internal, optimis 12







 











Mengajarkan perilaku self-regulating dan keterampilan kemandirian Megidentifikasi teman sekelas yang bisa menjadi teman belajar untuk membantu murid dengan tugas yang dikerjakan atau bisa menemani saat makan siang atau istirahat Bekerjasama dengan orangtua untuk mendorong interaksi dengan teman sekelas di luar sekolah Memberikan murid kesempatan untuk mengejar tugas-tugas dan aktivitas kompleks dalam waktu yang lama Memberikan tugas yang menurut siswa menstimulasi dan menantang Menjaga kerahasiaan pencapaian tinggi siswa jika teman sekelasnya tidak menghargai pencapaian itu Memberikan kesempatan untuk mengejar minat individu, mungkin bisa dengan murid lainnya yang memiliki minat yang sama atau mungkin dengan bantuan mentor luar sekolah Mendorong siswa untuk menentukan tujuan tinggi tanpa mengharapkan kesempurnaan







dengan prestasi kelas Kecenderungan untuk mengadopsi pandangan entitas tentang kecerdasan; bisa menyebabkan perasaan ketidakberdayaan jika dihadapkan dengan kegagalan setelah serangkaian kesuksesan awal (terutama untuk perempuan)



D. Teori Atribusi 1. Pengertian Atribusi Teori atribusi (attribution theory) dipelopori oleh Bernard Weiner dan Fritz Heider. Teori ini membahas bagaimana individu menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi). Atribusi adalah proses yang menggambarkan cara individu menjelaskan, menginterpretasi, dan mengambil kesimpulan terhadap peristiwaperistiwa yang berhubungan dengan dirinya maupun peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan orang lain. Ahli psikologi sosial Fritz Heider (Zanden, 1984) mengemukakan bahwa atribusi menggambarkan pengaturan aliran informasiinformasi yang berkesinambungan yang diperoleh dari dunia ke dalam suatu unit yang bermakna. Menurut Baron & Byrne (1997), atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari perilaku orang lain sehingga mendapatkan pengetahuan mengenai karakteristik stabil dari orang tersebut. Secara spesifik, atribusi sosial adalah cara seseorang dalam melakukan proses persepsi dan interpretasi terhadap sebab-sebab perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Atribusi adalah penjelasan yang dibangun sendiri oleh peserta didik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, hal itu berupa keyakinan mereka tentang apa yang menyebabkan sesuatu hal terjadi dalam kehidupan pribadi 13



mereka. Pelajar sering kali bersemangat untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab hal-hal yang terjadi pada mereka, terutama saat kejadian tidak terduga, misalnya kapan mereka mendapat nilai yang rendah pada tugas kelas setelah berpikir mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik (Stupnisky, Stewart, Daniels, & Perry, 2011; Tollefson, 2000; Weiner, 1986, 2000). Dari tulisan Heath (2005) dan McDermott (2009), dapat dideskripsikan beberapa asumsi teori atribusi yang dirumuskan Heider dan Weiner sebagai berikut : -



Individu cenderung ingin mengetahui penyebab perilaku yang mereka lihat.



-



Individu menggunakan proses sistematik dalam menjelaskan perilaku.



-



Sekali atribut dibuat, atribut itu mempengaruhi perasaan dan perilaku berikutnya.



-



Individu memiliki alasan untuk membangun impresinya terhadap orang lain. Impresi ini terbangun melalui tiga tahap, yakni mengamati perilaku, menentukan apakah perilaku tersebut dilakukan sengaja atau tidak, dan mengkategorikan perilaku tersebut sebagai perilaku yang didorong oleh motivasi internal atau eksternal.



Terdapat beberapa teori atribusi sosial, di antaranya : 1. Theory of Naïve Psychology Theory of Naïve Psychology atau Common Sense Psychology dapat membantu manusia untuk memahami dunia sosial dengan baik. 2. Correspondent Inference Theory Teori ini menjelaskan proses yang digunakan orang-orang di dalam melakukan atribusi internal terutama ketika perilaku yang diamatinya tidak mudah dipahami (Bordens & Horowitz, 2008). 3. Covariation Theory Covariation Theory menjelaskan penyebab eksternal atau situasional dari perilaku (Bordens & Horowitz, 2008). 14



2. Variasi Cara Beratribusi Atribusi mereka bervariasi dalam tiga cara utama (Weiner, 1986, 2000, 2004, 2005): 1. Locus: Internal versus external. Pelajar terkadang mengaitkan penyebab kejadian dengan hal-hal internal yakni dengan faktor-faktor dalam diri mereka sendiri. Misalnya, jika seseorang berpikir bahwa nilai yang bagus adalah karena mereka bekerja keras, sedangkan nilai yang buruk karena kurangnya kemampuan mereka. Hal tersebut



adalah



contoh



atribusi



internal.



Di



waktu



lain,



pelajar



menghubungkan suatu peristiwa dengan hal-hal eksternal yakni dengan faktor di luar dirinya. Misalnya, seseorang menyimpulkan bahwa ia menerima beasiswa karena beruntung dan menafsirkan kemarahan teman sekelas sebagai tanda suasana hatinya yang buruk. Hal tersebut adalah contoh atribusi eksternal. 2. Stability: Stable versus unstable. Terkadang pelajar percaya bahwa peristiwa disebabkan oleh faktor stabil yakni ke hal-hal yang mungkin tidak akan banyak berubah dalam waktu dekat. Misalnya, seseorang percaya bahwa ia berhasil dalam sains karena kecerdasan bawaannya. Namun terkadang pelajar percaya bahwa peristiwa dihasilkan dari faktor yang tidak stabil yakni ke hal-hal yang dapat berubah dari satu waktu ke waktu berikutnya. Misalnya, seseorang berpikir bahwa ia memenangkan pertandingan tenis karena lawannya merasa tidak enak badan dan percaya bahwa ia mendapat nilai ujian yang buruk karena ia kelelahan saat ia mengikuti tes. 3. Controllability: controllable versus uncontrollability. Pada beberapa kesempatan, pelajar menghubungkan peristiwa untuk faktor-faktor yang dapat dikontrol yakni hal-hal yang dapat dipengaruhi dan diubah. Misalnya, seseorang berpikir teman sekelas mengundangnya ke pesta 15



karena ia sering tersenyum padanya atau ia merasa gagal ujian karena ia tidak mempelajari hal yang benar, ia mengaitkan peristiwa ini dengan faktor yang dapat dikontrol. Pada kesempatan lain, pelajar mengaitkan peristiwa dengan faktor tak terkendali yakni dengan hal-hal yang tidak dapat dipengaruhi. Misalnya, seseorang berpikir bahwa ia dipilih untuk memimpin drama sekolah hanya karena ia terlihat "tepat" untuk peran tersebut atau seseorang buruk dalam memainkan permainan bola basket karena ia sakit, ia mengaitkan peristiwa ini dengan faktor yang tidak terkendali.



Ada strategi yang dapat digunakan guru untuk membantu siswa dalam mengubah atribusi. Psikolog pendidikan sering merekomendasikan guru untuk memberikan serangkaian rencana pengalaman prestasi kepada siswa teladan, informasi tentang strategi, praktik, dan umpan balik yang dapat digunakan untuk membantu mereka berkonsentrasi pada tugas yang mereka lakukan daripada khawatir gagal, mengatasi kegagalan dengan menelusuri kembali langkah mereka untuk menemukan kesalahan atau dengan menganalisis masalah untuk menemukan pendekatan lain, kaitkan kegagalan mereka dengan kurangnya upaya dan bukan karena kurangnya kemampuan (Boekaerts, 2009; Brophy, 2004; Dweck & Elliot, 1983). Strategi ini tidak bertujuan menunjukkan orang-orang teladan kepada siswa dalam menangani tugas-tugas dengan mudah dan memamerkan keberhasilan, namun untuk menunjukkan mereka orang-orang teladan yang berjuang untuk mengatasi kesalahan sebelum akhirnya berhasil (Brophy, 2004). Dengan cara ini, siswa belajar bagaimana menangani frustasi, bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan konstruktif mengatasi kegagalan



16



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan prestasi dipengaruhi oleh motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultural, dan atribusi. Motif sosial merupakan dasar dari individu untuk memulai hubungan sosial dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan adanya motif sosial, individu berusaha untuk memulai hubungan dengan individu lain. Individu yang memiliki kompeten yang baik dalam hubungan sosial lebih dimungkinkan utnuk memiliki prestasi yang baik pula. Namun, dalam meraih prestasi masih terdapat beberapa hambatan jika dilihat dari konteks sosiokulturalnya. Perbedaan stereotip antara laki-laki dan perempuan menyebabkan individu merasa terbatasi dalam mencapai prestasi. Selain itu, individu dengan tingkat ekonomi rendah juga perlu diperhatikan



agar mereka tidak merasa rendah diri dan mampu untuk



mencapai prestasi. Kemudian, untuk menangani siswa dengan kebutuhan khusus dalam pendidikan, bisa dilihat berdasarkan permasalahan siswa. Untuk mengurangi perasaan gagal dalam diri siswa dapat dilakukan dengan memberikan atribusi yang bersifat membangun kepada siswa, sehingga siswa dapat meningkatkan motivasi untuk unggul di kelas. B. Saran Sebagai penutup dari makalah ini, kami menyarankan kepada para pembaca agar jangan hanya terpaku pada makalah ini saja. Pembaca bisa mencari referensi lain dari berbagai sumber seperti buku maupun jurnal-jurnal penelitian lainnya yang terkait.



17



DAFTAR PUSTAKA



Hamdu, G., & Agustina, L. (2011). Pengaruh Motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA di sekolah dasar. Jurnal penelitian pendidikan, 81-86. Hanurawan, F. (2015). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kriyantono, R. (2017). Teori-Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana. Mulyani, D. (2013). Hubungan kesiapan belajar siswa dengan prestasi belajar. Jurnal Ilmiah Konseling,27-31. Rahman, A. A. (2017). Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers. Santrock, J. W. (2014). Psikologi Pendidikan (Educational Psychology). Jakarta: Salemba Humanika. Ormrod, J. E., Anderman, E. M., & Anderman, L. (2017). Educational Psychology (Vol. Ninth Edition). England: Pearson Education Limited. Coffer, C.N &Appley, M.H. 1964. Motivation: Theory and Research. New York: Willey and Sons.



18