Makalah Kelompok 3 (Chapter5,6,7) Leadership and Management (Kris Cole, 2019) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH LEADERSHIP AND MANAGEMENT: THEORY AND PRACTICE: 7TH EDITION BY KRIS COLE, 2019



MANAGING YOURSELF: PART 2 CHAPTER 5



STRENGTHENING YOUR PERSONAL SKILLS



CHAPTER 6



COMMUNICATING WITH INFLUENCE



CHAPTER 7



PRESENTING INFORMATION AND NEGOTIATING PERSUASIVELY



OLEH: BELLA KUSUMAWATI H



H2501222031



FADIAH RETNO IMARA



H2501222035



NARAINI PUTRI KUATA A



H2501222043



M LUTHFI ICHSAN S



H2501222051



MEYGY ALIFUDIN



H2501222062



ILMU MANAJEMEN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2022



DAFTAR ISI DAFTAR ISI......................................................................................................................1 PENDAHULUAN .............................................................................................................2 CHAPTER 5. MENGUATKAN SKIL PRIBADI ..............................................................3 5.1.



Memahami Diri Sendiri ......................................................................................3



5.2.



Menetapkan Tujuan Pribadi ...............................................................................5



5.3.



Berpikir seperti Seorang Pemimpin ....................................................................5



5.4.



Mengasah Kecerdasan Emosional ......................................................................6



5.5.



Mengelola Karir dan Pengembangan Profesional ...............................................7



CHAPTER 6. BERKOMUNIKASI DENGAN MEMBERI PENGARUH ...................... 11 6.1.



Mengatasi Hambatan Berkomunikasi ............................................................... 11



6.2.



Mengumpulkan Informasi yang Baik ............................................................... 12



6.3.



Memberikan Informasi yang Baik .................................................................... 15



6.4.



Mengatur Metakomunikasi ............................................................................... 17



CHAPTER 7. MENYAJIKAN INFORMASI DAN NEGOSIASI SECARA PERSUASIF ......................................................................................................................................... 18 7.1.



Mempromosikan Ide-ide Anda ......................................................................... 18



7.2.



Negosiasi yang Baik ......................................................................................... 19



7.3.



Mengubah Konflik menjadi Kesepakatan ......................................................... 21



7.4.



Penyajian dalam Bentuk Catatan ...................................................................... 23



7.5.



Menyampaikan Presentasi yang Sukses ........................................................... 30



KESIMPULAN ................................................................................................................ 31 SARAN ............................................................................................................................ 32 STUDI KASUS................................................................................................................ 32 REVIEW JURNAL .......................................................................................................... 33



1



PENDAHULUAN Mengatur diri sendiri akan menjadi tantangan bagi kita semua, bagaimana mengatur diri dengan meningkatkan kemampuan diri baik dalam berkomunikasi hingga membangun kinerja yang efektif. Manajemen diri berarti menempatkan segala sesuatu secara teratur dalam hidup, dalam penggunaan waktu, pilihan, kepentingan, kegiatan, serta dalam keseimbangan fisik dan mental. Ini juga berarti mendorong diri untuk maju, mengatur semua unsur pribadi, mengendalikan potensi kemauan untuk mencapai hal-hal yang baik, dan mengembangkan berbagai aspek kehidupan pribadi untuk membuatnya lebih sempurna. Manajemen diri dapat digunakan sebagai proses mencapai kemandirian (personal autonomy). Secara istilah manajemen diri yaitu menempatkan individu pada tempat yang sesuai untuk dirinya dan menjadikan individu layak menempati suatu posisi sehingga tercapai suatu prinsip laki-laki yang kapabel pada posisi yang tepat (yakni, menyediakan posisi untuk tiap-tiap individu dan memposisikan tiaptiap individu pada posisinya secara tepat). Jadi, pada dasarnya manajemen diri merupakan pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan, dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan perbuatan yang baik dan benar. Manajemen diri adalah sebuah proses merubah “totalitas diri” baik itu dari segi intelektual, emosional, spiritual, dan fisik agar apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai. Manajemen diri merupakan suatu alat untuk menyalurkan keinginan dalam memenuhi kebutuhan kompetensi seseorang yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani proses pendidikannya, dimana untuk mencapainya dibutuhkan adanya motivasi berprestasi dan akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan mempunyai kepercayaan diri atas kemampuan dirinya yang disebut dengan efikasi diri (Self efficacy). Terdapat empat sumber penting yang digunakan individu dalam membentuk efikasi diri, yaitu pertama mastery experience (pengalaman keberhasilan), kedua vicarious experience atau modeling (meniru), ketiga verbal persuasion (persuasi verbal) dan keempat tingkat psikologi dan emosi. Pengalaman hidup di dalam berinteraksi membuktikan betapa sulitnya hubungan antarmanusia. Tidak jarang orang mengerahkan sekian banyak tenaga hanya untuk menguraikan persoalan sepele. Menyisihkan sekian banyak waktu untuk menjelaskan maksud baik yang disalahpahami. Tidak menyapa pada saat bertemu, tidak tersenyum saat teman bergembira, tidak berkomentar saat teman berpakaian baru, dan sebagainya, yang boleh jadi dinilai sepele oleh satu pihak akan dapat mengakibatkan rentannya hubungan. Memang, hubungan antarmanusia sering diliputi oleh kabut, yang seringkali memicu lahirnya perselisihan dan aneka problem. Dengan berinteraksi dan berkomunikasi, maka dapat membentuk rasa saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Namun, komunikasi juga dapat menyebabkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, 2



merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. Tidak jarang, konflik sesama manusia terjadi akibat komunikasi yang kurang empatik. Kualitas hidup dan hubungan sesama manusia dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukan. Tidak sedikit orang menganggap bahwa komunikasi itu mudah dilakukan, laksana semudah bernafas. Barulah pada saat seseorang memasuki pengalaman bahwa proses komunikasi yang biasa ia lakukan rusak atau macet, maka ia akan menyadari bahwa komunikasi itu ternyata tidak mudah. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara empatik, kelihatannya mulai sirna dari individuindividu dalam masyarakat kontemporer. Akhir-akhir ini, kemampuan komunikasi empatik makin dibutuhkan untuk memperbaiki berbagai kegagalan komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi sosial ataupun komunikasi antarbudaya, yang tak jarang dalam kehidupan sehari-hari telah menyulut kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling menyalahkan, bahkan memicu terjadinya konflik. Dalam kehidupan sehari – hari negosiasi sangat diperlukan untuk mendapatkan sebuah hasil dari sebuah diskusi formal atau informal. Dalam situasi formal negosiasi biasanya dilakukan melalui sebuah perundingan atau rapat resmi, sedangkan informal biasanya dilakukan dimana saja seperti di warung kopi dan lainnya guna untuk mendapatkan sebuah hasil dan manfaat yang menguntungkan pihak - pihak yang terlibat. Namun banyak etika dan cara negosiasi yang orang atau utusan perusahaan tidak ketahui sehingga negosiasi tidak berjalan dengan baik dan tidak mencapai sebuah kesepakatan yang mengakibatkan kerja sama tidak terlaksana atau bahkan menimbulkan persaingan antar pihak yang terlibat. Banyak hal dalam negosiasi yang harus diketahui sehingga negosiasi berjalan sebagaimana mestinya. Sikap dalam negosiasi dan mengatasi ketidaksepahaman antar pihak yang bernegosiasi sangat diperlukan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang menguntungkan pihak yang terlibat. CHAPTER 5. MENGUATKAN SKIL PRIBADI 5.1.



Memahami Diri Sendiri Keterampilan diri merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki pada keberhasilan seorang manajer. Hal ini menjadi penting karena sebelum kita dapat memimpin dan mengatur orang lain, kita harus memiliki kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri. Sebelum kita bisa melakukan hal tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami diri kita sendiri. Memahami diri sendiri merupakan hal yang penting untuk dilakukan, jika kita tidak memiliki kesadaran akan diri sendiri (self-awareness) maka kita akan kesulitan untuk mengembangkan diri. Jika kita tidak bisa memahami diri kita sendiri, kita akan kesulitan untuk dapat memahami orang lain. Dengan kita memahami diri sendiri, kita akan lebih mudah untuk



3



merancang masa depan dan kita dapat mengetahui bidang pekerjaan yang sesuai dengan diri kita. The Johari Window Teori Johari Window merupakan sebuah teori yang digunakan untuk membantu orang lain dalam memahami hubungan antara dirinya sendiri dengan orang lain. Teori ini digagas oleh dua orang psikolog Amerika yaitu Joseph Luft dan Harrington Ingham pada tahun 1955. Teori ini dikenal juga sebagai teori kesadaran diri mengenai perilaku maupun pikiran yang ada di dalam diri sendiri maupun orang lain. Teori Johari Window berkaitan dengan Emotional Intelligence Theory yang berhubungan dengan kesadaran dan perasaan manusia.



Teori Johari Window mengelompokan empat area dari kesadaran diri sendiri (self-awareness), yaitu: 1. Open area (area publik), informasi mengenai diri kita yang diketahui orang lain seperti nama, pekerjaan, pengalaman organisasi, dan lain-lain. 2. Blind area, informasi mengenai diri kita sendiri tetapi mungkin tidak kita sadari. Misalnya mungkin kita sebetulnya dinilai orang yang reaktif di kelas tapi kita tidak menyadarinya. 3. Closed area, informasi yang diri kita yang kita ketahui tapi orang lain tidak mengetahui, bisa jadi merupakan rahasia diri kita pribadi atau sesuatu yang tidak pernah kita beritahukan kepada orang lain. Misalnya rasa ketakutan atau niat yang ada di pikiran kita 4. Unknown area, informasi yang diri kita maupun orang lain tidak ketahui. Misalnya bakat terpendam yang tidak disadari atau perasaan tertekan yang tidak disadari



4



5.2.



Menetapkan Tujuan Pribadi Menetapkan tujuan merupakan suatu yang penting dalam pengembangan diri seseorang. Kita harus memiliki tujuan yang jelas agar kita tahu jalan mana yang harus kita pilih untuk mencapai tujuan tersebut. Agar arah hidup kita benar, kita harus memahami 3 hal penting yaitu nilai dan minat dalam hidup kita, rencana hidup, serta menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan (work-life balance). 5.3. Berpikir seperti Seorang Pemimpin Dalam sebuah organisasi, pemimpin memiliki peran yang sangat penting. Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, dibutuhkan wawasan dan pengalaman yang teruji untuk menjaga ritme organisasi berjalan dengan baik. Pemikiran dan nilai-nilai yang kita pegang merupakan komponen kunci dari personal skill kita. Hal tersebut berhubungan langsung dengan kebiasaan kita, biasanya tanpa kita sadari tercermin dalam apa yang kita katakan dan kita lakukan. Terdapat empat hal penting dalam pola pikir seorang manajer, yaitu: 1. Menghargai diri sendiri Orang dengan self-esteem yang rendah akan merasa tidak diinginkan dan tidak nyaman dengan diri mereka sendiri. Kepercayaan diri mereka rendah, yang mana akan membuat mereka sulit untuk membuat keputusan, mengemukakan apa yang ada di pikiran mereka, dan menghadapi permasalahan yang sulit. High self-esteem memberikan rasa percaya diri untuk menghadapi permasalahan serta orang-orang yang sulit. 2. Tetapkan Standar yang Tinggi Ketika kita menetapkan standar yang tinggi, kita akan berekspektasi hal yang tinggi untuk diri kita sendiri, dari diri kita, dan dari orang-orang di sekitar kita. Standar yang tinggi juga mendorong anda untuk berinovasi dan mencari jalan untuk melanjutkan hal-hal dengan lebih baik, lebih mudah, lebih cepat, dan lebih ekonomis. 3. Melihat Hal Positif dan Peluang Pandangan positif akan menarik orang-orang kepada kita dan akan menular kepada orang lain. Penelitian menunjukan bahwa orang dengan pandangan yang positif akan lebih bahagia, lebih sehat, dan hidup lebih lama daripada orang yang berpikiran negatif. Dalam masa-masa sulit, pandangan positif dari seorang pemimpin akan membantu dalam membangun Kembali kepercayaan diri yang hilang. Hal ini akan membantu orang berkonsentrasi pada apa yang dapat mereka lakukan sekarang dan bagaimana, bukan pada apa yang tidak dapat mereka lakukan 4. Memberikan Perhatian Memberikan perhatian kepada detail dan untuk menemukan fakta sebelum membuat keputusan atau mengambil tindakan. Berikan perhatian pada apa pun yang sedang anda kerjakan, dan akan memberikan manfaat sebagai berikut:



5



a. Meningkatkan produktivitas b. Membantu untuk menemukan cara yang lebih mudah, lebih ekonomis, lebih dapat diandalkan, lebih aman, dan lebih cepat dalam menyelesaikan tugas c. Membuat anda tetap berenergi d. Membuat kita mau terlibat, tertarik, dan mau keluar dari kebiasaan e. Meningkatkan kepuasan kerja f. Mencegah kesalahan 5.4.



Mengasah Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan emosional yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati. Dasar kemampuan dalam mengasah kecerdasan emosi yaitu: 1. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri membuat kita lebih waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. 2. Mengelola Stres Kinerja meningkat ketika tingkat stress meningkat, tetapi hanya sampai titik tertentu, hal ini digambarkan pada Kurva Yarkes-Dodson. Ketika stress masih membantu kita untuk berkonsentrasi lebih baik, gunakan waktu tersebut dengan lebih baik dan berpikirlah lebih jelas dan kreatif pada fase tersebut. Tingkat stress yang lebih tinggi akan mematikan kinerja dan tentu saja hal tersebut tidak sehat serta dapat mengancam nyawa seseorang.



6



Berikut cara yang dapat dilakukan untuk menghindari burnout: 1. Hindari bekerja berjam-jam yang tidak diperlukan 2. Membangun harga diri sehingga kita menjadi lebih tangguh 3. Miliki minat di luar pekerjaan 4. Miliki harapan yang realistis 5. Berkata “TIDAK” ketika diperlukan 6. Slow Down Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengelola stress yaitu: 1. Belajar untuk mengenali respon fisik, emosi, dan perilaku anda terhadap stress 2. Identifikasi penyebab stress 3. Mengurangi atau menghilangkan penyebab stress 4. Jika anda terus mengalami kesulitan, bertindaklah untuk mengurangi efek negatif dari penyebab stress 3. Membangun Ketangguhan (Resiliensi) Resiliensi adalah kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Kemampuan ini sangat penting untuk digunakan untuk mengelola stress dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik maka akan lebih berhasil dalam menghadapi permasalahan hidup yang sedang dihadapi. Ciri-ciri seseorang yang resilien diantaranya adalah inisiatif, independen, berwawasan, memiliki hubungan yang baik, memiliki selera humor, kreatif, memiliki moral yang baik, memiliki keterampilan pemecahan masalah yang baik, serta memiliki kesadarkan akan masa depan. 5.5. Mengelola Karir dan Pengembangan Profesional Arti sukses dan bertanggungjawab untuk mengelola karir, dan mengenali diri sendiri dalam kekuatan, kelemahan, dan minat serta mengidentifikasi keunggulan untk mencapai sukses dalam pekerjaan. 1. Visi Karir



7



Meluangkan waktu untuk mendefinisikan arti sukses. kecuali telah mengetahui apa yang diinginkan, apa yang disukai, apa yang dikuasai, kontribusi apa yang ingin diberikan, serta keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk berhasil. Memikirkan tentang keterampilan dan bakat, jenis kegiatan yang disukai. peran yang ingin dilakukan dan dampak yang ingin dibuat, alih-alih pekerjaan yang ingin dilakukan. ada alasan untuk ini: a. organisasi mengubah struktur dan jenis pekerjaan yang ingin ditawarkan lebih sering menargetkan pekerjaan tertentu. b. rentang hidup organisasi semakin pendek dan harapan hidup ratarata perusahaan adalah 10 tahun. 2. Mengetahui tentang diri sendiri Untuk memulai perencanaan, pengembangan karir dan pengembangan profesi, membutuhkan untuk mengetahui diri sendiri seperti apa. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. 3. Merencanakan Karir Dalam Pengembangan Profesional Pembelajaran dan pelatihan awal tidak dapat dilihat melalui karir, keterampilan terapresiasi dan perlu ditingkatkan dan diganti. Seperti halnya mengelola karir, demikian juga dengan tetap up to date di bidang yang kita miliki, industri dan dengan pengembangan pribadi, teknik manajemen dan teknologi. menambah pengembangan dan mempertajam keterampilan dan pengetahuan, dan mendapatkan pengalaman di berbagai bidang, tetap dapat dipekerjakan dan meningkatkan potensi penghasilan untuk menciptakan karir yang berkelanjutan, memperkuat nilai saat ini serta nilai masa depan di bidang ini. nilai saat ini adalah apa yang dibuat untuk organisasi dalam peran saat ini. a. Belajar Sambil Bekerja Hidup bisa sangat sibuk sehingga sulit untuk meluangkan waktu untuk merenung. namun meminta waktu untuk berefleksi membantu karir serta kinerja pekerjaan. b. Mencari Umpan Balik Salah satu cara paling ampuh untuk memeriksa kinerja rekan kerja sendiri adalah dengan bertanya kepada orang lain bagaimana pendapat mereka tentang apa yang dilakukan dan bagaimana Anda dapat meningkatkannya. Mereka memang lebih tua, lebih berpeengalaman orang yang lebih berpengalaman yang tertarik pada karier yang kita miliki. 4. Memikirkan Peran yang Kita Miliki Setiap orang memainkan peran yang berbeda dalam situasi yang berbeda, memerankan bagian yang diperlukan. terkadang kamu adalah pemimpin, terkadang kamu pengajar, terkadang teman yang peduli, terkadang teman yang menyenangkan. Memainkan peran tidak berarti bahwa Anda bertindak atau dengan cara apa pun berperilaku salah. melainkan, itu berarti Anda berperilaku



8



menurut seperangkat konsep yang mendefinisikan, bagi Anda, bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. seperangkat konsep pribadi ini disebut persepsi peran. Menyesuaikan persepsi peran untuk menyesuaikan dengan harapan peran yang dipegang oleh orang-orang di sekitar, dengan bagaimana mereka percaya orang harus berperilaku dalam peran tertentu. Di beberapa organisasi, misalnya, manajer berpakaian sangat informal, sementara di organisasi lain pakaian yang diharapkan adalah pakaian kasual atau setelan bisnis. 5. Mendapatkan Reputasi Profesional Seperti halnya reputasi organisasi yang tak ternilai harganya. Ketika Anda telah mendapatkan reputasi profesional, orang-orang mendengarkan ketika Anda berbicara dan mencari pendapat dan saran untuk Anda. tunjukkan rasa hormat kepada orang yang ditemui dan ingat sopan santun. Hal-hal sederhana seperti mengetahui nama seseorang atau menanyakan nama keluarga mereka membangun reputasi professional. Melihat dan bertindak bagian dengan mempertahankan sikap positif dan profesional dan berpakaian dengan cara yang dianggap tepat di organisasi Anda untuk pekerjaan Anda atau pekerjaan yang Anda cita-citakan 6. Berpindah Atau Memudar Ketika memutuskan apakah akan melanjutkan, pikirkan tentang keseimbangan antara apa yang telah Anda sumbangkan pada peran Anda dan apa yang telah Anda peroleh darinya. pikirkan apakah Anda dapat terus berkontribusi pada peran tersebut dan apakah Anda masih dapat belajar dan berkembang dalam peran. Mengklarifikasi tujuan pekerjaan, hasil kunci dan perhitungan dalam kesuksesan bekerja kemudian bertujuan untuk menghabiskan waktu mencari tahu tentang: a. apa yang orang lain harapkan dari diri sendiri b. tugas dan prioritas penting dan apa yang perlu dilakukan untuk unggul dalam hal itu c. cara terbaik untuk membagi dan mengalokasikan waktu untuk kegiatan yang berbeda 5.5.1. Bekerja untuk Kekuatan yang Dimiliki a. Mengidentifikasi yang dimana tidak memiliki kekuatan dan keahlian b. Tetap mengembangi dan meningkatkan kekuatan yang dimiliki c. Cari celah dalam keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki d. Memanatau diri sendiri sehingga terhindar dari kekuatan pesaing. e. Menempatkan diri sendiri dalam peran yang dimana kekuatan tersebut dapat membantu menghasilkan hasil yang diinginkan. f. Kenali dan ambil langkah-langkah untuk memperbaiki kebiasaan buruk yang dimiliki. 5.5.2. Mengetahui Sisi Pintar Anda



9



Mengetahui cara sisi pintar ppada diri sendiri sangat mempengaruhi apa yang diminati dan apa yang ingin dikuasai. Ketika telah mengetahui sisi pintarnya, maka mengetahui peluang kekuatan yang lainnya. Ketika mengetahui jenis kecerdasan apa yang dimiliki orang-orang yang bekerja dengan kita, kita juga tahu bagaimana bekerja dengan baik dengan mereka. Sembilan Jenis Kecerdasan: a. Tubuh Orang dengan kecerdasan kinestetik tubuh suka bergerak dan menggunakan tubuh mereka b. Music Orang dengan kecerdasan musik bekerja dengan baik dengan melodi, musik, dan ritme c. Alam Orang-orang dengan kecerdasan naturalis adalah pengamat yang tajam dari tatanan alam dan pandai mempertimbangkan prinsip-prinsip yang lebih luas di alam. d. Masyarakat Orang dengan kecerdasan interpersonal senang berpartisipasi dan bekerja sama dengan orang lain e. Secara Filosofis Orang dengan kecerdasan eksistensial suka memikirkan masalah secara filosofis dan gambaran besar. f. gambar dan ruang cerdas Orang dengan kecerdasan spasial pandai mengamati dan mengamati dan bekerja dengan gambar dan gambar serta representasi lainnya, seperti diagram alur dan peta. g. Penalaran Orang dengan kecerdasan matematis logis adalah mengklasifikasikan informasi dengan baik, menggunakan pemikiran abstrak, dan menemukan prinsip dan pola dasar. h. Pintar pada diri sendiri Orang-orang dengan kecerdasan interpersonal senang memikirkan ideide dan bekerja sendiri i. Berkalimat Orang dengan kecerdasan linguistik baik dengan kata-kata 5.5.3. Mengetahui Bagaimana Cara Bekerja dengan Baik Setelah mengetahui apa yang dikuasai, dapat mengetahui bagaimana diri sendiri untuk bekerja dengan baik, dengan orang lain dan dengan informasi. Orang bekerja dan bekerja secara berbeda. berikut adalah beberapa pertanyaan tentang gaya kerja dan mencari gaya kerja yang diinginkan. Jadi mengetahui bagaimana baiknya bekerjasama.



10



a. Apakah pembuat diskusi atau pemberi nasihat? penasihat tidak unggul di bawah beban dan tekanan membuat keputusan, sementara pembuat keputusan, meskipun tegas, sering membutuhkan penasihat untuk membantu mereka memikirkan keputusan. b. Apah mempraktikkan? c. Apakah pemberi perhatian terhadap fakta? d. apakah melakukan yang terbaik dalam organisasi besar atau kecil? e. apakah memiliki perkembang dengan tantangan dan stimulasi konstan dan mengatasi masalah? f. Apakah kenyamanan pada hirearki? g. Apakah senang terhadap beekrja sendiri atau bekerja Bersama? h. Apakah bekerja dengan berpikir atau pemberi ide? 5.5.4. Merencanakan Karir Setelah mengenal diri sendiri dan bagaimana bekerja dengan baik, berada dalam posisi yang baik untuk bertanggung jawab atas karir dan pengembangan professional. Memutuskan arah yang diinginkan untuk diambil oleh karier dan buat daftar opsi yang terbuka untuk diri sendiri. mengingat bahwa dapat mencapai tujuan dengan banyak cara. CHAPTER 6. BERKOMUNIKASI DENGAN MEMBERI PENGARUH Manajer pemimpin memainkan peran komunikasi penting dalam organisasi dan sebagai manajer pemimpin. Anda dapat berharap untuk menghabiskan sebagian besar jam kerja Anda berkomunikasi dalam salah satu dari empat mode komunikasi, yaitu: mendengarkan, berkomunisaki, membaca dan menulis. Seberapa baik Anda berkomunikasi tergantung pada kesadaran diri, pola pikir dan kecerdasan emosional serta pada keterampilan komunikasi bersama-sama, mereka mengatur untuk pekerjaan yang produktif dan hubungan kerja yang efektif. 6.1. Mengatasi Hambatan Berkomunikasi Untuk berkomunikasi secara efektif, seseorang - pengirim - perlu menyampaikan pesan sehingga orang lain - penerima - menangkapnya dengan cara yang sama. agar itu terjadi, ada faktor-faktor yang terlibat, dan apa pun yang menghalangi salah satu dari mereka menghambat komunikasi yang efektif: a. Memperhatikan, sebagai pengirim dan penerima masing-masing merasakan sinyal yang lain. b. Pemahaman, yang terjadi dalam pikiran. c. Menerima, yang terjadi pada tingkat emosional Selama proses memperhatikan, memahami, dan menerima, baik pengirim maupun penerima perlu menavigasi berbagai hambatan komunikasi yang dapat mengganggu arus informasi dan membuang-buang niat baik, uang, dan waktu.



11



Dengan setiap pesan yang ingin dikomunikasikan, baik secara elektronik atau di kertas, nonverbal atau verbal, memiliki tiga kelompok rintangan untuk diatasi, yaitu: a. Hambatan lingkungan b. Hambatan dalam penerima c. Hambatan dalam diri sendiri Enam Jenis Komunikasi: a. Antarorganisasi (Komuniasi antar organisasi) b. Intraorganisasional (Komunikasi dalam sebuah organisasi) c. Antarkelompok (Komunikasi antar kelompok dalam sebuah organisasi) d. Intragrup (Komunikasi dalam kelompok kerja atau tim) e. Antarpribadi (Komunikasi antara individu) f. Intrapersonal (Komunikasi pada diri sendiri) Kita tahu bahwa keyakinan, harapan, dan prasangka kita menyaring dan mengubah komunikasi yang kita terima sehingga kita melihat apa yang kita harapkan untuk dilihat. 6.2. Mengumpulkan Informasi yang Baik Manusia diciptakan dengan satu lidah dengan dua telinga, sudah seyogyanya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Hal ini adalah suatu bentuk komunikasi, dan diperlukan komunikasi yang efektif agar dapat menangkap maksud dan tujuan yang diinginkan. Komunikasi yang efektif atau sukses adalah suatu proses memberi dan menerima informasi yang baik untuk mencapai tujuan tertentu.Tujuan diperlukan untuk membangun kerjasama yang baik, yang ada pada pikiran orang lain agar dan bekerja bersama-sama Komunikasi yang efektif dimulai dengan mengumpulkan informasi dengan baik dengan cara menanyakan pertanyaan yang tepat, memperhatikan poin-poin yang dibicarakan, mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikan, termasuk memilah apakah hal yang dibicarakan adalah fakta, asumsi atau opini. Pemilahan ini terkadang akan membentuk opini kita sendiri, perasaan bahkan ketidaksetujuan pada topik yang dibicarakan. Gunakan empat indera kita untuk mengumpulkan informasi 1. Gunakan telinga untuk mendengarkan secara seksama apa yang disampaikan 2. Gunakan mata untuk mengamati sinyal yang tidak tersampaikan 3. Gunakan kepala atau pikiran kita apa yang tidak tersampaikan oleh lawan bicara dan kemungkinan kebohongan yang disampaikan Gunakan hati kita untuk menempatkan diri apabila kita berada di keadaan lawan bicara kita agar kita bisa memahami. 6.2.1. Menanyakan Pertanyaan yang Tepat Ketika kita mencoba memahami apa yang disampaikan oleh orang lain, bertanya adalah salah hal yang dapat dilakukan. Menanyakan pertanyaan yang tepat dapat membuat kita menggali informasi, fakta dan opini tanpa seperti merasa



12



diinterogasi. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang alami dengan intonasi netral serta menunjukkan bahwa kita sedang mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan akan membuat lawan bicara nyaman untuk menyampaikan. Tanyakan pertanyaan yang umum ditanyakan, menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang dapat mengelaborasi jawaban dan tidak sekedar jawaban iya dan tidak. Gunakan pertanyaan yang mengklarifikasi apabila ada hal yang tidak yakin akan jawaban yang diberikan. Perhatikan pertanyaan yang tidak tersampaikan yang biasa terjadi, misalnya menaikkan alis atau kata hmmm. 6.2.2. Mendengarkan Beberapa leader-manager terutama yang belum berpengalaman berfikir bahwa berbicara lebih banyak adalah cara yang lebih ampuh daripada mendengarkan karena merasa berkuasa, namun hal ini salah karena pemimpin yang berpengalaman menghabiskan waktu dengan mendengarkan lebih banyak. Mendengarkan dengan seksama dapat membangun hubungan dengan orang lain. Ketika kita mendengarkan orang lain maka kita akan didengarkan. mendengarkan adalah cara untuk mengerti. ketika kita mendengarkan secara seksama, mata dan hati kita akan ikut mendengarkan dengan seksama seperti telinga kita. Selain itu, mendengarkan dengan seksama juga meningkatkan detak jantung dan juga suhu tubuh kita sehingga mengambil energy yang membangun empati dan juga pengertian kepada orang yang sedang kita dengarkan. Mendengarkan orang lain seperti kerja keras, namun hasilnya akan sepadan. Saat mendengarkan orang lain bicara, tunjukkan bahwa kita sedang mendengarkan apa yang sedang dibicarakan, dengan menunjukkan bahasa tubuh bahwa kita sedang benar-benar memperhatikan dengan seksama. Melihat pembicara dan mengulangi beberapa kata yang sedang dibicarakan dapat menunjukkan bahwa kita sedang benar-benar memperhatikan. Berkonsentrasi agar kita tetap dapat mengerti apa yang dibicarakan, selain itu merangkum pembicaraan juga bisa membuat komunikasi menjadi lebih efektif. kita dapat mengerti dan juga memahami topik pembicaraan yang sedang disampaikan orang lain. 6.2.3. Menganalisis Informasi Saat kita mendengarkan seseorang sedang menyampaikan sesuatu, maka kita seperti menjadi detektif yang mencoba untuk mencari informasi lebih dalam dengan berbagai pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada pembicara. Terkadang ini bisa membuat kita menjadi bingung, jangan terkecoh dengan jawaban yang diberikan, apabila kita merasa jawabannya kurang menyakinkan, kita dapat mengajukan pertanyaan kembali sehingga kita bisa menganalisis kembali pernyataan yang disampaikan hingga kita mendapatkan informasi yang kita inginkan.



13



Gunakan 5 F untuk menganalisis pernyataan yang disampaikan oleh pembicara. 1. Fact atau fakta, apakah pernyataan yang disampaikan adalah fakta yang dapat diterima oleh semua 2. Fiction atau fiksi, apakah pernyataan yang disampaikan adalah fiksi yang merupakan informasi yang salah. 3. Fantasy atau Fantasi, terkadang yang disampaikan adalah opini yang merupakan fantasi. 4. Feeling atau perasaan, terkadang, intuisi berguna dan dapat digunakan untuk mendapatkan informasi untuk mencapai tujuan komunikasi yang baik. 5. Folklore atau dongeng atau cerita rakyat, cerita yang biasa kita dengar seperti rumor atau gosip.



14



6.3.



Memberikan Informasi yang Baik Komunikasi yang baik tidak hanya tentang mencari informasi dengan baik, namun juga dengan memberikan informasi yang tepat. Berbicara dan Menyampaikan dengan tepat adalah sesuatu hal yang berbeda, orang bodoh mungkin hanya sekedar berbicara, tetapi orang bijak akan menyampaikan dengan tepat. Mengerti dan menerima informasi juga dua hal yang berbeda, apakah pesan yang ingin disampaikan telah diterima atau tidak. Oleh karena itu kita harus berfikir dahulu apa yang akan kita katakan sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Selain itu juga menempatkan diri menjadi orang tersebut apabila kita tidak sependapat dengan apa yang disampaikan. Komunikasi yang baik dan efektif dalam suatu tim kerja dapat ditunjukkan pada gambar 6.3.



Ada banyak hal yang dipikirkan sebelum kita berkomunikasi dengan baik, komunikasi yang berhasil, tidak hanya sekedar seperti memberitahu kepada seseorang. Kebenaran yang kita sampaikan bukanlah hal terpenting, yang paling penting adalah pesan apa yang diterima oleh lawan bicara kita, karena apabila pesan yang akan kita sampaikan tidak sama dengan apa yang diartikan oleh lawan bicara maka miskomunikasi akan terjadi. Oleh karena itu kita harus tau tujuan dari komunikasi kita dan mempresentasikan informasi yang akan disampaikan secara jelas dan juga persuasif agar penerima pesan dapat memahami apa yang kita sampaikan.



15



6.3.1. Tujuh Tipe untuk Komunikasi yang Lebih Baik Ketika kita adalah seorang pemimpin, para karyawan akan mengulangi dan juga mengartikan semua yang kita sampaikan, oleh karena itu kita harus dapat menyampaikan pesan kita dengan baik, agar tujuan dapat tercapai. Terdapat 7 tips yang dapat kita lakukan agar komunikasi menjadi lebih baik. 1. Kita harus memikirkan terlebih dahulu akan yang akan kita sampaikan- dan bagaimana cara untuk menyampaikan informasi yang akan kita berikan agar dapat dipahami dengan baik oleh lawan bicara. Gunakan bahasa yang baik dan juga mudah dimengerti juga contoh agar dapat lebih mudah dipahami. 2. Pilih tempat yang tepat saat menyampaikan suatu informasi, misalnya tempat yang lebih sepi, misalnya ruangan yang tidak ramai agar tidak terganggu oleh suara berisik. Kantin dan tempat makan juga dapat digunakan untuk menyampaikan sesuatu agar lebih casual. 3. Atur harapan atau ekspektasi dengan mengurangi hambatan dan menunjukkan bahwa kita mengharapkan yang terbaik dari lawan bicara. maka dengan demikian, mereka akan memberikan yang terbaik. 4. Gunakan empati, dengan menempatkan diri kita apabila kita berada di tempat mereka. mengalami situasi dan apa yang mereka rasakan. Hal ini membuat kita memahami, memberikan umpan balik dan meningkatkan komunikasi agar dapat dimengerti dan diterima. 5. Potonglah pesan yang ingin disampaikan dan juga ulangi agar lebih dapat dipahami. Kurangi pesan yang terlalu rumit yang memungkinkan pesan tersebut sulit untuk dipahami. Selain itu kita bisa mengulangi pesan yang kita ingin sampaikan dengan media komunikasi yang lain. Sebagai contoh, undangan dapat kita kirimkan melalui email, surat biasa, dan juga menghubungi melalui telepon. Hal ini berguna agar pesan yang kita inginkan dapat tersampaikan. 6. Perhatikan dan minta umpan balik karena komunikasi secara langsung atau face to face memungkinkan untuk langsung mendapatkan umpan balik, maka saat menyampaikan pendapat ini yang tepat untuk meminta ide dan juga informasi umpan balik atau tanggapan. Menyampaikan pendapat secara langsung akan mengurangi kemungkinan miskomunikasi dengan memberikan kesempatan lawan bicara untuk bertanya apabila ada hal yang



16



tidak dipahami. Kita juga dapat memperhatikan sinyal persetujuan atau ketidaksetujuan lawan bicara yang mungkin tidak dapat disampaikan. 7. Buatlah pesanmu menonjol agar tujuan yang ingin disampaikan dapat tercapai. Dalam suatu komunikasi juga dibutuhkan ketegasan, ketegasan dilakukan berdasarkan kemampuan diri dan juga rasa percaya kepada diri dan juga orang lain. Kita juga akan membutuhkan keterbukaan dan juga kepercayaan orang lain, dapat menerima kritik dan juga menerima permintaan. Terdapat tiga tipe dalam berkomunikasi yaitu aggressive, passive dan assertive. Seseorang yang dengan tipe aggressive akan berfokus bagaimana menerima kepuasan diri,, atau disebut win-lose position saya menang dan kamu kalah. Sebaliknya gaya komunikasi passive lebih mementingkan kesenangan orang lain atau lose-win position atau saya kalah kamu menang. Tipe komunikasi assertive adalah gaya komunikasi yang lebih lengkap yang berada di tengah antara aggresive dan passive. Dimana gaya komunikasi ini memberikan solusi win-win position yang menghormati pendapat kita dan juga orang lain



Berhati-hatilah dalam menggunakan dunia maya, apa yang disajikan secara online mungkin akan diingat orang lain walau kita telah menghapusnya. Tulislah apa yang menjadi cerminan dari nilai organisasi. Buat profil di media sosial secara profesional. apabila menginginkan itu menjadi private maka,, dapat di setting hanya untuk diri sendiri, terutama yang menyangkut dengan keluarga dan juga kolega. Selain itu juga anda dapat membedakan sosial media untuk pribadi dan keluarga dan media sosial untuk profesional. 6.4.



Mengatur Metakomunikasi Bahasa yang tidak terucapkan seperti diam, senyuman, menghentakkan kaki, menggoyangkan kaki, helaan napas adalah bentuk sinyal dari metakomunikasi. ada beberapa orang yang memperhatikan metakomunikasi ini, ketika bahasa yang tidak terucap ini tidak sama dengan apa yang diucapkan maka orang cenderung akan membuat kepercayaan pada kita. Simbol komunikasi seperti seberapa luas ruang kerja seseorang menunjukkan status pada suatu organisasi atau pakaian yang dikenakan dapat memberikan pertanda pekerjaan yang dilakukan.



17



Bahasa tubuh juga dapat menjadi cara kita berkomunikasi, postur tubuh dapat menunjukkan seberapa percaya diri kita. Tinggi rendah suara, intonasi saat berbicara juga dapat menunjukkan emosi saat berkomunikasi. Perhatikan bahasa tubuh lawan bicara kita apakah mengindikasikan persetujuan, penolakan atau bahkan emosi yang lain. Kita juga mempunyai ruang personal atau pribadi, saat seseorang masuk ke ruangan tersebut, maka kita akan menjadi tidak nyaman dengan hal tersebut hal ini juga terjadi sebaliknya. oleh karena itu kita perlu berada di jarak yang benar agar seseorang merasa tidak nyaman dengan kita. Bahasa Tubuh dapat dipahami dengan SO CLEAR a. S adalah adalah cara kita Sit, Stand and use space atau cara kita berdiri, duduk dan juga menjaga jarak b. O adalah Open up jaga gestur tubuh kita agar terbuka dengan tidak menyilangkan tangan atau kaki yang menunjukkan bahwa kita tidak tidak ingin berkomunikasi. c. C adalah concentrate atau tunjukkan bahwa kita benar-benar memperhatikan lawan bicara d. L adalah Lean yaitu seberapa besar kita menunjukkan perhatian dan menerapkannya yang disampaikan e. E adalah eye contact usahakan untuk menatap mata lawan bicara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan apa yang disampaikan. f. A adalah at ease jangan terlalu tegang dan menghindari terlalu gelisah saat berkomunikasi dengan orang lain sehingga lawan bicara tidak merasa tidak nyaman saat berbicara dengan kita. g. R adalah refflecting dengan menunjukkan hal yang sama, seperti gestur tubuh, intonasi nada yang digunakan dapat membuat komunikasi berjalan lebih baik dan orang akan nyaman untuk berkomunikasi dengan kita. Bangun hubungan yang baik dengan menggunakan bahasa tubuh sehingga lawan bicara akan merasa nyaman dan juga merasa percaya dengan apa yang disampaikan. CHAPTER 7. MENYAJIKAN INFORMASI DAN NEGOSIASI SECARA PERSUASIF 7.1. Mempromosikan Ide-ide Anda 7.1.1. Pikirkan Ide Anda Berilah waktu pada diri sendiri untuk menciptakan sebuah ide yang baik. Menyampaikan ide lebih cepat bukan hal yang diharuskan karena terkesan terburu – buru. Ide yang cemerlang memerlukan waktu dan itu tidak singkat. Banyak tahapan yang harus kita pikirkan untuk mencapai hasil dan manfaat dari ide kita secara spesifik. Kita dituntut untuk menjadi seorang pembuat keputusan. Memikirkan mengenai siapa yang pro dan kontra terhadap ide kita. Bagaimana ide



18



kita dapat membantu mereka. Apa yang ingin mereka ketahui dan apa yang ingin mereka inginkan. Saat ingin mengembang ide kita, kita harus memikirkan tentang: a. Menunjukkan kebutuhan sebuah ide b. Ide kita terhadap kelompok atau organisasi c. Membawa atau mempengaruhi seseorang atau kelompok d. Siapa yang akan mendukung atau memblokir ide kita e. Serta bagaimana cara agar pengimpelemntasian ide kita dapat berjalan dengan baik. Lalu kumpulkan bukti – bukti untuk membangun kepercayaan diri. Karena fakta lebih baik daripada opini. 7.1.2. Menyampaikan Dasar Pemikiran Setelah memperoleh sebuah ide yang matang, penting untuk dapat mendiskusikannya kepada rekan kerja. Jadikan diskusi itu sebagai bahan dalam membentuk dan memperbuat sebuah ide sebelum akhir disampaikan atau dipresentasikan. Sampaikan dasar pemikiran kita dan minta pandangan para koalisi kita. Minta pandangan koalisi dan tampung semua saran mereka. Jadikan ide saya menjadi ide kami. Sehingga para koalisi merasa nyaman melakukan kerja sama. 7.1.3. Menyampaikan Ide Ide yang dikemas yang baiklah yang akan menjadi terbaik. Sajikan informasi yang benar dengan tegas dan dalam bentuk kalimat yang mudah dicerna Ketika menyampaikannya secara tertulis maka uraikan dengan jelas dan perhatikan titik koma dalam penulisan sehingga dapat dipahami secara mudah. Dan jika menyampaikannya secara lisan maka sampaikan dengan tenang agar orang yang terlibat mampu mengikuti argument kita. Gunakan kata kunci ide kami agar mampu membawa hal positif dan anggapan bahwa ide ini telah di diskusikan dengan baik dan telah mencapai tujuan terbaik. Bingkai ide itu agar terlihat membawa sesuatu yang dapat memecahkan masalah dan mendapatkan sebuah inovasi. Ketika ide kita diterima. Pikirkan proses pengimplementasiannya dan bagaimana agar ide ini terus akan terus berjalan baik. Memikirkan tentang biaya – biaya serta kemungkinan resiko yang akan terjadi dan bagaimana cara menanganinya. 7.2.



Negosiasi yang Baik Dalam sebuah negosiasi, kita sebuah salah satu pihak ingin mencapai hasil negosiasi yang bermanfaat dan dapat diterima semua pihak. Berikut beberapa hal dalam melakukan negosiasi yang baik: 7.2.1. Bingkai Negosiasi Positif Hasil negosiasi yang baik datang dari kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak dan membangun rasa saling percaya dan menghormati. Sikap – sikap dalam negosiasi bisa dilihati pada tabel 7.1 yang menggambarkan bahwa negosiasi bisa saja beresiko tidak memiliki solusi dan pada akhirnya akan merugikan salah satu pihak atau semua pihak yang terlibat.



19



7.2.2. Lakukan Pekerjaan Rumah Lakukan riset sebelum duduk di meja negosiasi. Putuskan masalah mana yang paling penting bagi organisasi dan mana yang kurang penting. Pikirkan melalui tujuan strategis organisasi dan strategi negosiasi dengan berkonsultasi dengan orang lain. Riset dengan menggunakan analisis audiens dan memikirkan tentang tujuan, keharusan, keinginan, dan sebagainya dari sudut pandang pihak lain. Putuskan bagaimana cara terbaik untuk membangun rasa saling menghormati dan percaya, dan kemudian siapkan posisi pembukaan yang baik sehingga sejalan dengan tujuan negosiasi. Berikut beberpa rumusan masalah dalam analisi audiens: a. Apa tujuan utama dan apa tujuan sekunder? b. Apa hubungan pihak lain dengan organisasi dan seberapa kuat serta positifnya? c. Seberapa banyak yang diketahui pihak lain tentang masalah tersebut dan apakah mereka mendukung, bermusuhan, atau netral terhadapnya? d. Apa pro dan kontra sudut pandang mereka? e. Bagaimana Anda membantu mereka mencapai tujuan mereka? f. Apa kendala utama mereka? g. Perihal apa yang penting bagi mereka? h. Latar belakang, beban, dan bias apa yang mungkin mereka bawa? i. Siapa yang perlu dibuat terkesan oleh pihak lain? j. Informasi apa yang paling dan paling tidak mungkin untuk membujuk mereka? Gaya apa (misalnya, formal, informal, semua detail, singkat dan to the point) dan saluran (misalnya tertulis, tatap muka) yang mungkin mereka sukai untuk disajikan? 7.2.3. Pikirkan Efisiensi Negosiasi Sederhananya, lakukan negosiasi pagi daripada sore hari agar memiliki lebih banyak waktu untuk mencapai kesepakatan. Menginvestasikan lebih banyak waktu dalam negosiasi juga meningkatkan kemungkinan hasil yang bahagia karena dapat membangun hubungan baik dan tidak ada pihak yang ingin kehilangan investasi waktu mereka karena negosiasi yang gagal. 7.2.4. Selama Negosiasi Hindari kalimat negosiasi standar, yang menyebabkan orang bernegosiasi lebih agresif. Misalnya, hindari istilah seperti “Saya bersedia untuk” dan gunakan kata - kata kooperatif seperti “Mari berkolaborasi”, “Bekerja sama” dan “Bertukar pikiran”. Gunakan redaksi kata “kami” untuk tekankan tujuan bersama. Luangkan



20



waktu untuk membangun hubungan, rasa saling percaya, dan rasa hormat. Mengungkapkan beberapa informasi yang tidak terkait dengan negosiasi seperti minat, hobi, keluarga, dan apa pun yang dirasa pantas guna memperlancar roda negosiasi. Empat Cara Untuk Mendapatkan Kredibilitas a. Jangan katakan “Saya tidak tahu” tapi Katakan “Satu hal yang saya tahu” b. Jangan katakan “Saya tidak bisa” tapi Katakan “Saya bisa”, dan jelaskan apa yang bisa diwujudkan. Misalnya, jangan katakan “Saya tidak bisa menjanjikan Anda” tapi katakan “Aku bisa menjanjikan ini padamu” c. Jawaban mengenai pertanyaan "Bagaimana jika itu tidak sesuai dengan organisasi saya karena alasan komersial?" kita dapat menjawab “Inilah yang dapat kami lakukan untuk menyiasatinya”. d. Hilangkan kata – kata mungkin, mungkin dan mungkin. 7.2.5. Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan Jangan pernah memotong pembicaraan lawan negosiasi kita. Mengangguk, secara tidak langsung membuat catatan singkat, meringkas atau merekap pemahaman mengenai apa yang di bicarakan. Tujuannya di sini adalah untuk menentukan kebutuhan dan keinginan pihak lain serta mencoba merasakan perasaan mereka di mata pihak lain. Jadi dengarkan baik - baik dan terus ajukan pertanyaan yang baik 7.2.6. Kekuatan Jeda Hening selama tujuh detik sangatlah ampuh. Ketika pihak lain mengajukan penawaran, berhentilah selama lima sampai tujuh detik dan pertimbangkan bagaimana hal itu dan apakah itu memenuhi kebutuhan sebagai perwakilan organisasi. Bahkan jika itu adalah tawaran yang bagus, berhentilah sejenak sebelum menerimanya. Saat pihak lain menolak tawaran yang dibuat, jeda, bahkan saat membuat penawaran rendah, kita harus menyesuaikan. Ini menunjukkan kepada pihak lain bahwa kita bersikap adil, objektif, dan bijaksana serta meningkatkan nilai saran dan penawaran yang dibuat. 7.2.7. Setelah Bernegosiasi Ucapkan terima kasih kepada pihak lain karena telah bertemu dengan Anda dan atas waktu mereka, lalu rangkum kesepakatan Anda. Tunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak dan apa yang diberikan oleh masing-masing pihak. Sebuah pujian juga membuat kemungkinan besar mereka akan menandatangani kesepakatan. 7.3. Mengubah Konflik menjadi Kesepakatan 7.3.1. Penyebab Utama Konflik a. Hambatan komunikasi, seperti prasangka, prasangka, dan pendengaran selektif



21



b. Persaingan untuk sumber daya yang terbatas Konten penting, seperti siapa yang mengatakan bagaimana dengan rencana, kebijakan, dan prioritas c. Perbedaan harapan, tujuan, kebutuhan dan keinginan Perbedaan nilai dan pandangan dunia. d. Masalah emosional, seperti ketakutan akan kehilangan orang (termasuk 'wajah') e. Persepsi; misalnya, siapa yang memiliki otoritas? Siapa yang paling tahu? Pekerjaan siapa itu? f. Bentrokan kepribadian g. Komunikasi yang buruk, seperti ketidakmampuan untuk mendengarkan secara reflektif, kurangnya ketegasan, kurangnya empati dan keterampilan meringkas yang buruk h. Harapan peran, persepsi dan tekanan 7.3.2. Konflik Bisa Bermanfaat Faktanya, beberapa konflik itu sehat, dan bisa produktif. Ketika Anda mengarahkan energi orang ke arah yang benar (tujuan tim atau visi organisasi) konflik dapat menghasilkan ketegangan kreatif yang menghasilkan diskusi, inovasi, dan peningkatan pemahaman di antara orang-orang. 7.3.3. Lima Cara Mengelola Konflik a. Menampung Akomodasi dapat menjadi pilihan yang baik ketika, membangun hubungan lebih penting daripada masalah. Anda tidak memiliki harapan untuk memenuhi keinginan Anda dan mengakomodasi merupakan salah satu cara terbaik meminimalkan kerugian dan memelihara iklim kerjasama dengan pihak lain. b. Menghindari Menghindari konflik mungkin merupakan pilihan yang baik ketika hubungan maupun masalahnya tidak penting. Banyak situasi konflik potensial yang tidak sepadan dengan waktu dan upaya untuk mengambil sikap, atau kadang-kadang bukan tempat Anda untuk terlibat. c. Berkolaborasi Berkolaborasi adalah kooperatif dan kebalikan dari menghindari. Ini melibatkan pembentukan suasana yang konstruktif dan bekerja dengan pihak lain untuk menemukan hasil yang memuaskan Anda berdua. Ini mungkin mengambil bentuk mengeksplorasi ketidaksepakatan untuk mempelajari keprihatinan, kebutuhan, keinginan, persepsi dan posisi satu sama lain, dan kemudian bekerja sama untuk menghasilkan resolusi yang memuaskan. Pendekatan dengan ‘mari kita perbaiki bersama’ ini sangat berguna dalam situasi di mana masalah dan hubungan penting bagi Anda dan Anda menginginkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. d. Bersaing Bersaing juga merupakan respon yang tepat pada pengelolaan konfik. Seperti dalam keadaan darurat, dan ketika masalah lebih penting daripada



22



hubungan, secara sadar mengambil pendekatan “lakukan dengan cara saya” mungkin menjadi pilihan terbaik, setidaknya dalam jangka pendek, misalnya, ketika: 1. Tidak ada yang berhasil dan 'tidak' bukanlah pilihan 2. Masalah keselamatan dipertaruhkan 3. Harus membuat keputusan yang sulit. 4. Sedang berkonflik dengan pihak - pihak yang menolak untuk bekerja sama dan yang mencoba mengambil keuntungan. e. Kompromi Berkompromi adalah jalan tengah antara mengakomodasi dan bersaing, di mana Anda lebih banyak menyerah daripada bersaing tetapi kurang dari mengakomodasi untuk sampai pada solusi yang sebagian dapat diterima oleh kedua belah pihak. 7.3.4. Sikap terhadap Sebuah Konflik Menang-Kalah



Kalah-Menang



Saya akan ‘menyerang’ anda Mari kita secara pribadi jika perlu berdebat Saya harus memenangkan Lakukan pertarungan ini cara anda Saya ingin kemenangan total



Tujuan saya penting 7.3.5. a. b. c. d.



yang



Menang-Menang



tidak Mari kita pertimbangkan ini dengan Mari selesaikan masalah kita



Kamu menang



Mari kita lihat apakah kita berdua bisa puas



paling Tujuan anda lebih Apa tujuan kita bersama? penting dari saya



Empat Langkah untuk Mencapai Kesepakatan Buka diskusi Berikan informasi yang baik Kumpulkan informasi yang baik Pemecahan masalah



7.4.



Penyajian dalam Bentuk Catatan Terkadang, kita tidak dapat selalu berbicara secara tatap muka, melalui komunikasi elektronik, surat, proposal, laporan dan penyimpanan dokemen sangat diperlukan oleh seorang manajer. Oleh karena itu diperlukan catatan atau komunikasi tertulis untuk menyampaikan pesan. Catatan membatu kita dalam penyimpanan dokumen yaitu: a. Komunikasi dapat terhalang telat, atau bahkan lupa untuk disampaikan



23



b. Menulis bisa tidak dilakukan pertemuan tatap muka, bahkan lewat telepon atau percakapan c. Kekurangan catatan yaitu sulit dibaca dan mungkin terjadi misinterpretation d. Tidak menjamin catatan akan dibaca e. Tidak menjamin mereka akan mengerti dan melakukan yang kamu inginkan Terdapat beberapa karakteristik ketika menulis catatan a. Dapat menyelesaikan masalah jarak, membuat komunikasi lebih mudah daripada pertemuan tatap muka b. Efisien dalam penyampaian informasi yang sama kepada banyak orang dan memastikan bahwa mereka mengerti dan menerima pesan tersebut c. Menyimpan catatan dapat berguna untuk referensi di masa mendatang. Berguna untuk memperkenalkan sistem prosedur kepada orang baru d. Penyimpanan bersifat permanen sehingga dapat dibaca kapanpun dan dimanapun e. Membantu menjelaskan secara tepat dan hati-hati. Dapat juga ditulis, diedit dan update infomrasi terbaru dengan jelas dan akurat. Dapat juga menambahkan grafik, peta, diagram dan keterangan lain yang berguna mendukung informasi f. Konfirmasi ulang pesan dapat langsung ditanyakan kepada penulis pesan dan tulisan nya sangat dapat dipercaya Sebelum menulis sesuati, tentukan maksud dan tujuan yang jelas terlebih dahulu kemudian rincikan beberapa pertanyaan untuk melengkapi tujuan diantaranya: a. Apa inti dari dokumen tersebut? b. Siapa yang akan menerima pesan tersebut? c. Mengapa penting untuk mereka? d. Apa yang seharusnya mereka lakukan setelah membaca pesan tersebut? e. Apa yang mereka butuh ketahui mengenai suatu rencana? f. Apa yang harus mereka ketahui dan mempercayai pesan tersebut? g. Mengapa penting saya membuat ini?



24



Untuk memudahkan proses perincian catatan, dapat dipermudah dengan membuat spidergram atau bisa juga disebut Jot Down Ideas. Diagram ini berguna untuk menggambarkan konsep brainstorm yang mduah dipahami. Tidak perlu menuliskan kalimat lengkap, penulisan nya harus singkat, padat dan jelas. Untuk membantu memutuskan apa yang tidak harus disampaikan dan apa yang harus di pertahankan, diantaranya: a. Must know. Pesan apa yang harus audiens ketahui secara garis besar b. Should know. Pesan apa yang sebaiknya diketahui audien c. Could know. Pesan apa yang boleh diketahui, sifatnya tidak penting tetapi baik untuk diketahui oleh audien Proses pembuatan catatan harus menggunakan Bahasa yang sederhana bertujuan untuk memepermudah penulis dan pembaca agar informasi dapat dipahami dan segera dilaksanakan dalam mencapai tujuan. Pembaca dapat mudah memahami, mengerti pesan yang disampaikan, sehingga pembaca dapat segera bertindak setelah membaca pesan tersebut. Terkadang dalam menulis terdapat permasalahan dan harus menemukan solusi nya. Dapat dilihat dalam tabel berikut:



25



7.4.1. Buatlah Tulisan Secara Singkat dan Sederhana Menggunakan ABC untuk memebuat tulisan yang baik. Accurate, Brief and Clear. Orang akan mudah mengerti secara akurat, tulisan yang jelas, singkat dan tambahkan informasi yang memberikan pukulan dan kekuatan. Tuliskan apa yang ingin disampaikan. Bukan sekedar menulis kalimat pendek atau menghindari penjelasan, gunakan kata yang cukup untuk mengkomunikasikan pesan secara jelas. Biasanya pesan dapat ditulis rata-rata 18-25 kata perkalimat. Usahakan menegunakan kalimat ganti yang jelas dan bermakna sama. Berikut contoh penggunaan kata yang lebih baik:



26



7.4.2. Sederhanakan Kalimat Melakukan penghapusan pada kalimat pemborosan kata. Tetaplah menggunakan kalimat panjang ketika: a. Kata yang digunakan untuk mendukung arti dalam kalimat yang penuh makna b. Kata yang bersifat menjual c. Kata yang sering digunakan d. Kata yang unik dan tidak dapat digantikan dengan kalimat lain Berikut contoh kata yang dapat disederhanakan:



27



Tujuh step untuk menulis bisnis. Untuk penulisan tulisan bisnis diperlukan perhatian pada beberapa aspek penulisan diantaranya: a. Memiliki tujuan yang jelas b. Rencanakan dalam bentuk tulisan c. Jelaskan mengapa pembaca harus membaca dokumen bisnis tersebut d. Mulai menulis draft dan cek penggunaan tata kata dan Bahasa e. Membuat draft bisnis final f. Periksa Kembali draft yang sudah ditulis tersebut 7.4.3. Menggunakan Kalimat yang Positif dan Tepat Kebanyakan orang tidak suka mendapatkan informasi ‘apa yang tidak termasuk kasus’ atau ‘apa yang tidak boleh dilakukan orang’. Kebanyakan orang suka bertanya tentang’ kasus apa’ atau ‘apa yang harus mereka lakukan’. Menuliskan laporan atau catatan juga berlaku sama, herus menggunakan kalimat positif dan tepat. Hal ini dapat meningkatkan penggunaan kata dalam menulis. Dapat juga membantu orang untuk mengingat pesan secara akurat. Contoh: Jangan menggunakan kalimat “kami tidak akan menerima pesanan bulan ini karena kehabisan stok”. Tetapi gunakanlah kalimat “kami akan menerima



28



pesanan anda segera dibulan depan sampai kami mendapatkan stok dating kemudian”. 7.4.4. Menggunakan Kalimat Aktif Penggunaan kalimat aktif mampu lebih interaktif dan mudah dibaca apabila menggunakan pelaku utama didepan sebelum kata kerja. Contoh: “Tugas Menyusun laporan bulan depan akan disusun oleh sekretaris” akan lebih baik jika menggunakan kalimat “Fungsi sekretaris adalah Menyusun laporan bulanan”. 7.4.5. Menulis Untuk Pembaca Gunakan kata dan istilah yang dapat dimengerti, diinterpretasi, di visualkan dan menghindari istilah teknikal kepada pembaca yang memiliki latar dari non teknikal. Perhatikan latar belakang audiens. Pastikan topik pembahasan sesuai dengan latarbelakang. Hal ini dapat menjadi suatu interest untuk membahas topik tertentu 7.4.6. Periksa Penggunaan Gaya Bahasa dan Penggunaan Ejaan Sering terjadi kesalahan dalam menggunakan ejaan kata. Hal ini akan berakibat pada kesalahan pengejaan dan kesalahan penggunaan kata. Lebih banyak dapat dilihat apda tabel Misspelled dan Misused.



29



7.4.7. Mengatur Dokumen secara Profesional Dokumen yang telah ditulis kemudian akan disimpan. Perlu diperhatikan dalam menyimpan tulsian dalam bentuk yang disusun rapi agar orang tertarik dan mudah untuk dibaca. Biasanya setiap organisasi sudah mempunyai template yang biasa digunakan. 7.5.



Menyampaikan Presentasi yang Sukses Presentasi yang baik harus dilakukan persiapan dalam menyampiakan informasi. Setiap kali menyampiakan suatu informasi terkadang selalu merasalah adanya nervous. Hal ini wajar terjadi akibat adanya aktivitas enzim adrenalin di dalam tubuh penyaji. Tiga hal yang dapat menyebabkan nervous adalah kurangnya pengetahuan, kurang nya persiapan yang matang dan kurangnya percaya diri. Oleh karena itu untuk mengurangi sifat nervous tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup, cukup membaca informasi, pastikan presentasi yang kita lakukan sesuai dengan keahlian dibidangnya. Melakukan persiapan yang baik dan matang. Sehingga dapat melakukan presentasi dengan percaya diri. Berikut merupakan Langkah-langkah dalam membuat presentasi yang baik: 1. Tentukan tujuan yang jelas Patikan audiens mengetahui tentang tujuan apa yang akan dipresentasikan. Kemudian sebelum melakukan presentasi, tulislah beberapa tujuan presentasi secara garis besar. 2. Analisis sasaran audiens Memperhatikan terlebih dahulu kepada siapa anda akan melakukan presentasi. Hal ini berhubugnan dengan latar belakang audiens seperti umur, budaya, Bahasa, skill atau keterampilan teknis yang dimiliki. Perhatikan juga logistic yang digunakan untuk mendukung presentasi. Berhubungan dengan waktu yang digunakan untuk emalkukan presentasi, menentukan pengaturan raungan, waktu, kondisi dan suasana saat presentasi. 3. Putuskan apa yang akan disajikan yang berhubungan dengan latar belakang audiens Membuat poin-poin penting presentasi. Dapat dipermudah menggunakan spidergram untuk mempermudah brainstorm kepada audiens. 4. Mengembangkan garis besar presentasi Setelah menemukan poin-poin penting presentasi, gunakan imajinasi untuk mengembangkan poin menjadi informasi penting untuk diketahui audiens. Arahkan pemikiran audiens untuk membayangkan apa yang akan dipresentasikan. 5. Tuliskan apa yang ingin disampaikan Mulailah menulis presentasi dengan beberapa Langkah yaitu a. Menggunakan outline yang sesuai b. Buat bagian utama yang menarik perhatian audiens agar dapat menyerap informasi yang disampaikan beberapa menit kedepan



30



c. Lakukan Latihan presentasi d. Buat catatan kecil untuk mendukung presentasi e. Tulis point kesimpulan dengan menghubungkannya dengan pendahuluan dan tujuan awal yang ingin penyaji berikan kepada audiens f. Persiapkan ucapan terimakasih kepada audiens dan tulis kemungkinan pertanyaan yang mungkin audiens tanyakan 6. Lakukan Latihan untuk presentasi Kesuksesan dalam presentasi sangat dipengaruhi oleh persiapan dan pengalaman presentasi. Semakin banyak melakukan presentasi, penyaji akan semakin siap dan terhindar dari gugup saat presentasi. Berikut beberapa tips dalam menyajikan presentasi: a. Persiapkan segala sesuatunya b. Hindari berbicara terlalu cepat c. Temukan ritme presentasi d. Jangan berlatih berjam-jam sebelum presentasi, lakukan Latihan secara berkala dan rutin e. Lakukan pemahaman pada presentasi bukan menghafal isi presentasi f. Tentukan gaya penyampaian yang sesuai(ekspresi, gestur, intonasi untuk memperkuat penyampaian) 7. Sampaikan presentasi dengan baik Saat melakukan presentasi pasti seorang penyaji akan mengalami demam panggung, dan itu hal yang normal. Pikirkan presentasi anda sebagai percakapan yang diperluas dengan beberapa teman. Pastikan audien memahami presentasi yang disampaikan oleh pemateri. Tetap tenang saat melakukan presentasi, sesekali atur nafas dan minum air agar membuat anda tetap tenang. Selalu awasi audiens, saat presentasi berlangsung fokuslah apda materi yang akan anda sampaikan dan jangan focus pada alat presentasi. Berusaha mengirimkan sinyal non verbal, kemudian coba membaca pikiran audien dengan mengulang, memperlambat atau mempercepat pembicaraaan agar audien dapat menyerap informasi yang kita sampaikan. 8. Rencana kedepan dan terus melakukan improvisasi Sesaat setelah presentasai anda akan merasakan tenang dan diharapkan mampu menyerap kritik dan saran untuk perbaikan mendatang. KESIMPULAN Dalam sebuah negosiasi kita memerlukan suatu kemampuan diri yang disebut sebagai personal skill. Memahami diri sendiri, menentukan tujuan pribadi, berpikir seperti seorang pemimpin, mengasah atau dapat mengendalikan emosi, dan



31



mengelola karir serta pengembangan profesional merupakan lima aspek penting untuk menguatkan pribadi kita untuk menjadi manusia yang mampu berkembang, beradaptasi dan bertanggung jawab terhadap situasi dan kondisi apapun. Utamanya dalam karir profesional dengan dinamika di dalamnya. Mental yang kuat juga sangat diperlukan terutama dalam menjalin hubungan dengan perusahaan lain untuk kerja sama. Komunikasi yang efektif dan beretika serta penyajian informasi yang jelas menjadi hal yang sangat penting sehingga dalam makalah ini yang didasari dari ringkasan buku leadership and management karangan Kris Cole membuat kita harus menjadi sosok pemimpin serta pembuat keputusan yang baik terhadap diri sendiri dan lingkungan karir profesional. SARAN Kami dari kelompok tiga masih harus banyak belajar mengenai tiga bab yang kami ringkas dan bahas di pertemuan ke empat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan dari pembaca agar membuat makalah ini menjadi lebih baik. STUDI KASUS Kolonel Harland David Sanders merupakan seorang pebisnis yang mendirikan Kentucky Fried Chicken (KFC). Sebelum menjadi pebisnis yang sukses, dia telah melalui berbagai tantangan yang menjadikan dia sebagai seseorang yang memiliki sifat resilien. Berikut rincian kisah Kolonel Sanders seperti yang diceritakan pada halaman https://www.gramedia.com/literasi/pendiri-kfc/ : 1. Jauh sebelum mendirikan KFC, Sanders mendirikan sebuah perusahaan kapal ceri yang dianggap cukup sukses. Hanya dalam kurun waktu dua tahun perusahaan tersebut telah memperoleh keuntungan sehingga dilirik oleh para investor. Pada akhirnya pada tahun 1923 Sanders melepaskan perusahaan tersebut dan menjualnya kepada para investor. Dari hasil penjualan tersebut, Sanders mendirikan perusahaan lampu di tahun 1924. Perusahaan tersebut akhirnya gagal total dikarenakan kemunculan perusahaan listrik lain yang lebih dominan. Setelah itu Sanders berpindah dari Indiana ke Kentucky dan membuka usaha pom bensin. Namun sayangnya dia juga tidak berhasil pada usaha ini karena di tahun 1930 Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Setelah adanya krisis tersebut, Sanders mencoba kembali peruntungannya dengan membuka sebuah restoran yang ternyata cukup berhasil dan bertahan hingga belasan tahun. Namun sayangnya beberapa tahun kemudian, Kota Kentucky mengalami perubahan sehingga restoran Sanders tidak lagi strategis dan menarik pengunjung. Akhirnya Sanders menjual restoran tersebut dengan harga yang cukup murah yaitu sebesar 70.000 US Dollar, yang pada saat itu



32



bahkan tidak dapat menutupi utang yang dia miliki untuk membangun restoran tersebut pasca terkena musibah kebakaran. Dari penggalan kisah ini dapat terlihat sifat Sanders yaitu memiliki inisiatif, berwawasan, serta kreatif, yang termasuk ke dalam ciri-ciri seseorang dengan sifat resilien. Ketika menghadapi suatu permasalahan dalam usaha yang sedang dilakukan, dia tidak menyerah dan dengan wawasan serta inisiatifnya dia mencoba lagi berbagai usaha sampai akhirnya memperoleh kesuksesan. Hal ini juga menunjukan bahwa Sanders merupakan seseorang yang memiliki moral yang baik. 2. Dalam biografi Sanders diceritakan bahwa Sanders merupakan seorang penggemar ayam goreng yang tidak menggunakan cara klasik, yaitu dengan menggunakan minyak yang tidak dapat menghasilkan rasa seperti yang diinginkannya. Kemudian pada tahun 1939, Sanders menemukan cara yang cukup efektif untuk menggoreng ayam. Salah satu yang membantunya dalam menemukan cara barunya itu adalah penemuan pressure cooker atau panci bertekanan yang bisa menghasilkan ayam yang enak dan segar dalam waktu sepuluh detik saja dengan cara dikukus. Dari sini kita dapat melihat kembali sifat resiliensi yang dimiliki oleh Sanders, yaitu seseorang yang kreatif, memiliki keterampilan pemecahan masalah yang baik, serta melakukan inovasi karena memiliki kesadaran akan masa depan. Sanders juga merupakan seseorang yang independen karena dia mendirikan usaha ini dengan usahanya sendiri serta diceritakan bahwa Sander memiliki kemampuan memasak karena sejak kecil dia terbiasa membantu ibunya menjaga adik-adiknya dengan memasak di rumah. 3. Di tahun 1963, franchise KFC telah sukses menaungi enam ratus tempat rumah makan. Jumlah tersebut tentu sangat banyak dan tidak mungkin Sander bisa mengelolanya sendiri. Oleh sebab itu, Sanders memutuskan untuk menjual usaha atau bisnisnya tersebut kepada John Brown Junior dan juga seorang miliuner, Jack Mass senilai satu juta dolar. Dari kutipan cerita ini, dapt kita lihat bahwa Sanders merupakan seorang yang memiliki hubungan baik dengan para investor serta rekan usahanya. Hal ini juga merupakan salah satu ciri dari seseorang dengan sifat resiliensi. REVIEW JURNAL Judul Jurnal: Exploring The Factors Influencing The Negotiation Process in CrossBorder M&A Penulis: Muhammad Faisal Ahammad, Shiomo Y. Tarba, Yipeng Liu, Keith W. Glaister, Cary L. Cooper Penelitian ini yaitu mengenai dampak jarak budaya nasional, perbedaan budaya organisasi, komunikasi, dan retensi karyawan yang direncanakan pada



33



efektivitas proses negosiasi dalam merger dan akuisisi lintas batas. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1. Komunikasi secara positif mempengaruhi fase anteseden dan konkuren dalam proses negosiasi. Fase anteseden yaitu proses sebelum negosiasi berjalan, seperti proses identifikasi dan pengumpulan informasi. Sedangkan fase konkuren merupakan proses berlangsungnya negosiasi itu sendiri. Komunikasi sangat penting dan berpengaruh pada kedua fase ini, dimana komunikasi yang baik tentunya akan berpengaruh positif kepada proses negosiasi yang berlangsung. Informasi yang diberikan oleh seorang yang terlibat dalam kedua fase ini harus disampaikan dengan strategi komunikasi yang baik sehingga akan memberikan hasil yang positif. 2. Jarak budaya nasional dan perbedaan budaya organisasi secara negatif mempengaruhi efektivitas pada kedua fase tersebut. Perbedaan budaya dua atau lebih organsisasi yang akan dilakukan akuisisi atau merger tentunya akan menjadi faktor negatif dalam proses negosiasi, karena semakin berbeda organisasi yang terlibat maka pertimbangan untuk dilakukan merger atau akusisi akan semakin banyak. 3. Efek positif dari komunikasi lebih rendah ketika jarak budaya nasional lebih tinggi. Ketika terdapat perbedaan budaya nasional yang tinggi antara organisasi yang akan dilakukan merger dan akuisisi, maka komunikasi yang dilakukan akan memiliki efek yang lebih rendah dibandingkan dengan efek komunikasi pada dua organisasi yang memiliki jarak budaya lebih kecil. 4. Retensi karyawan yang direncanakan secara positif mempengaruhi efektivitas fase konkuren. Retensi karyawan merupakan cara atau kebijakan yang dilakukan oleh manajemen untuk mempertahankan karyawan yang potensial atau memiliki kompetensi tinggi sampai jangka waktu tertentu sehingga mengurangi tingginya perputaran karyawan. Ternyata hal ini memiliki pengaruh positif kepada efektivitas fase negosiasi merger dan akuisisi organisasi. Dengan mempertahankan karyawan potensial tersebut, tentunya dapat menjadi keuntungan untuk kedua organisasi yang dilakukan merger dan akuisisi karena secara otomatis dapat memiliki SDM yang kompeten dari hasil merger dan akuisisi ini. 5. Efektivitas fase konkuren berpengaruh positif terhadap efektivitas fase konsekuen yaitu fase kesepakatan merger dan akuisisi. Fase konkuren yang merupakan proses negosiasi merupakan fase yang sangat penting dalam merger dan akuisisi. Proses ini tentunya memiliki pengaruh paling tinggi pada hasil kesepakatan merger dan akuisisi yang akan dilakukan. Sesuai pembahasan kelompok kami, pembahasan jurnal ini kami fokuskan kepada kesimpulan yang pertama, yaitu betapa pentingnya komunikasi dalam proses negoisasi, karena negoisasi dapat gagal karena strategi komunikasi yang salah. Jadi, seorang manajer yang terlibat dalam proses merger dan akuisisi harus dapat mengkomunikasikan informasi dengan optimal. Seorang manajer harus benar-benar mengantisipasi kemungkinan dampak yang dihasilkan sebelum memberikan informasi kepada perusahaan target merger dan akuisisi tersebut.



34



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



Contents lists available at ScienceDirect



International Business Review journal homepage: www.elsevier.com/locate/ibusrev



Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A Mohammad Faisal Ahammad a,1, Shlomo Y. Tarba b,*, Yipeng Liu b,c, Keith W. Glaister d, Cary L. Cooper e,2 a



Sheffield Business School, Sheffield Hallam University, United Kingdom Birmingham Business School, University of Birmingham, United Kingdom Mannheim University, Germany d Warwick Business School, University of Warwick, United Kingdom e Manchester Business School, University of Manchester Booth Street West, Manchester M15 6PB b c



A R T I C L E I N F O



A B S T R A C T



Article history: Received 21 January 2013 Received in revised form 15 December 2014 Accepted 8 June 2015 Available online xxx



This research study provides an empirical examination of the impact of national cultural distance, organizational cultural differences, communication, and planned employee retention on the effectiveness of negotiation process in the cross-border mergers & acquisitions (M&As). We developed and tested a conceptual framework of negotiation process in order to provide a framework for analysis of the key components of the negotiation process in the cross border M&A. The findings indicate that communication positively influence antecedent and concurrent phase of negotiation process. In addition, national cultural distance and organizational cultural differences negatively influence the effectiveness of concurrent phase. We also found that national cultural distance moderates the relationship between communication and effectiveness of concurrent phase of the negotiation process, as such that the positive effect of communication is lower when national cultural distance is higher. Furthermore, we found that planned employee retention positively affect the effectiveness of concurrent phase. Finally, the effectiveness of concurrent phase positively influence the effectiveness of consequent phase i.e. M&A agreement. The contribution of this study lies in providing new insights on negotiationassociated factors for incumbent executives, in order to enable them to better plan and implement crossborder mergers and acquisition deals. ß 2015 Elsevier Ltd. All rights reserved.



Keywords: Negotiations Cross-border mergers and acquisitions National cultural distance Organizational cultural differences Communication Planned employee retention



1. Introduction The frequency and scale of mergers and acquisitions (M&A) have significantly increased during the past two decades in spite of continuous reports on their high failure rates (e.g., Cartwright & Cooper, 1996, 2000; Reus & Lamont, 2009; Weber, Tarba, & Oberg, 2014). Unfortunately, studies from different scientific streams have generally failed to develop synergistically, hence missing the opportunities from cross-fertilization (Weber, Tarba, & Reichel,



* Corresponding author. Tel.: +44 (0) 7702681468. E-mail addresses: [email protected] (M.F. Ahammad), [email protected] (S.Y. Tarba), [email protected] (Y. Liu), [email protected] (K.W. Glaister), [email protected] (C.L. Cooper). 1 Tel.: +44 015 848 3831. 2 Tel. +44 01524 510750.



2009). Recent reviews (e.g., Schweiger & Goulet, 2000, 2005; Stahl & Voigt, 2008; Weber, Tarba, & Reichel, 2011) point out that most of the existing research on the human side of M&As has been atheoretical, fragmented across various disciplines, has not been systematic and linked to any comprehensive theory, and rarely have models been proposed that were applicable across different organizations. The degree of organizational change, following various postacquisition integration approaches, may vary substantially across different national and cultural settings. Thus, the impact of M&A on individuals and groups may differ widely between various human resource management practices (Budhwar, Varma, Katou, & Narayan, 2009; Weber & Tarba, 2010), evoked cultural change following acculturation between combining firms (Kavanagh & Ashkanasy, 2004), leadership approaches in M&A (Kavanagh & Ashkanasy, 2006), individual psychological



http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001 0969-5931/ß 2015 Elsevier Ltd. All rights reserved.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 2



M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



and emotional reactions to the organizational change in general and M&A in particular (Kiefer, 2002, 2005; Kusstatscher & Cooper, 2005; Kusstatscher, 2006; Sinkovics, Zagelmeyer, and Kusstatscher, 2011), coping strategies with M&A (Amiot, Terry, Jimmieson, & Callan, 2006; Scheck & Kinicki, 2000), and self-attribution biases in M&A (Billett & Qian, 2008). Yet, rather strikingly the topic of negotiation, and associated with it cultural challenges in the specific context of cross-border M&A, is still rather underexplored (Weber, Belkin, & Tarba, 2011). Albeit post-merger M&A performance of acquiring firms is disappointing, cross-border M&A is a sought-after corporate strategy (Cartwright & Schoenberg, 2006). There might be some unidentified moderating variables which affect M&A performance (Stahl & Voigt, 2008). Scholars argue that a successful M&A is strongly correlated with early and ongoing cooperative negotiations, until the deal is actually signed (Saorı´n-Iborra, 2006, 2008; Sebenius, 1998). In addition, many M&A failures can be partially attributed to lack of fruitful contacts and information exchange between acquiring and target firms at various stages (de Beaufort & Lempereur, 2003). Therefore, an understanding of the factor influencing effective negotiation process is vital for the success of cross border M&A. As noted by Ghauri and Usunier (2003) and Graham, Mintu, and Rodgers (1994) ‘‘negotiation’’ is viewed as an ongoing process consisting of three phases: antecedent, concurrent and consequent. The antecedent part relates to the pre-interaction phase, the preparation and the information gathering. In the particular context of cross-border M&A, acquiring firm needs to collect information regarding the target firm before it starts negotiations with it. The concurrent phase is the process of negotiation per se entailing the interaction between the incumbent parties (Graham, 1985a). Furthermore, as maintained by Greenhalgh, Neslin, and Gilkey (1985) the behaviours and processes during the concurrent stage act as mediators of the outcomes at the consequent phase. In the context of cross-border M&A, the afore-mentioned consequent phase refers to reaching an actual agreement to close an M&A deal. Therefore, in our view, the process perspective on negotiation may advance largely our comprehension of cross-border M&A endeavours. The aim of the paper is to investigate the factors influencing the effectiveness of negotiation process in cross border acquisitions. Specifically, the paper examines the impact of cultures, communication and planned employee retention on the effectiveness of negotiation process in the context of cross border acquisitions. Our paper is organized as follows. First, we provide an exhaustive review of the literature on the negotiations in general and then in the specific context of M&A. Afterwards we present the hypotheses development, methodology used, and the results. In the following section we discuss the findings and finally present the conclusions and managerial implications. 2. Literature review and hypotheses development Negotiation has been investigated mainly from social psychological and behavioural decision perspectives (Bazerman, Curhan, Moore, & Valley, 2000; Ghauri, 2003; Thompson, Wang, & Gunia, 2010). International business negotiations received increasing attention as a full part of the managerial process, highly relevant to the implementation of international business strategies ranging from macro-strategic perspective on organizations to microbehavioural perspectives on individuals (Ghauri & Usunier, 2003; Weiss, 2006). From the negotiation process perspective, Ghauri (2003) structures the international business negotiation process in terms of the pre-negotiation, negotiation, and postnegotiation stages. These stages are influenced by factors, such as culture, strategy, background, and atmosphere.



As a metaphor, inter-cultural negotiation process resembles a dance, where one person does a waltz with another doing a tango (Adair & Brett, 2005). Viewing a kind of ‘dilemma of differences’, the different cultural scripts present procedural conflict at the bargaining table, while differences in preferences present opportunities for both parties (Tinsley, 2001; Tinsley, Curhan, & Kwak, 1999). Multiple models of negotiation exist (Lewicki, Weiss, & Lewin, 1992), such as the parties’ relationship and parties’ behaviours (Weiss, 1993), the stages view of negotiation (Graham, 1985b), cultural influences (Gelfand & Brett, 2004), self-regulation (Brett, Northcraft, & Pinkley, 1999) and dynamics of relational self (Gelfand, Major, Raver, Nishii, & O’Brien, 2006). There is increasing literature on culture and negotiation, however, the influence of culture on negotiation tactics and outcomes awaits further scholarly inquiry (Gelfand & Dyer, 2000). Culture is a major determinant of strategies and tactics in international business negotiation, because negotiations involve communication, time, and power and these variables vary across different cultures (Ghauri & Usunier, 2003). We believe cross-border merger and acquisition (M&A) can offer the ideal empirical setting to advance our understanding by investigating the negotiation process. In this section, we will review the literature streams of cultural differences, communication and planned employee retention in cross-border M&A negotiation, developing our hypothetical constructs accordingly. Culture can influence the process of business negotiations (Graham, 1985b), and business negotiations vary across cultural groups (Graham et al., 1994). In today’s globalized and interdependent world, understanding culture and cross-cultural issues is central to understand negotiation (Gelfand & Brett, 2004). Two functions of negotiations exist, namely, ‘‘value creation’’ via integrative negotiation (win-win) and ‘‘value claiming’’ via distributive negotiation (win-lose) (Thompson et al., 2010). In the context of cross-border M&A, value creation via integrative negotiation is supposed to be what acquiring and target firms aim to achieve. 2.1. The process perspective of negotiation in cross border acquisitions 2.1.1. Communication Communication is of critical importance in affecting negotiation process. It is urged to take a contextual view of communication in order to understand negotiation process, whereas different situational conditions can affect the patterns of frequencies, sequences, and phases of negotiation communication (Weingart & Olekalns, 2004). Despite similarities between the negotiating parties in national culture and language, the merger negotiation between two large telecom operators the Swedish Telia and the Norwegian Telenor, eventually failed largely due to communication strategies (Fang, Fridh, & Schultzberg, 2004; Meyer & Altenborg, 2008). The medium choice of communication affects the negotiation process and outcomes (Valley, Moag, & Bazerman, 1998). Face-to-face communication enabled participants to foster greater rapport and cooperation than audio-only communication (Drolet & Morris, 2000). However, when arousal is high, audio-only communication may reduce the likelihood of pressure tactics (Lewis & Fry, 1977). The technological advancement and availability of communication channels, such as telephone, fax, email, etc., can affect the negotiation process. Moreover, media accounts of acquisition can promote international relations, which may affect international acquisitions (Riad, Vaara, & Zhang, 2012). ‘‘Communication’’ is regarded as the most important ingredient for post-acquisition integration. Contact between employees of the two companies is needed for managerial and cultural integration (Shrivastava, 1986), and the creation of communication channels can facilitate the coordination and knowledge flows between firms (Chesbrough & Teece, 2002). The release of preview of merger



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



announcement reduced dysfunctional outcomes of a merger in comparison to the employees who received limited information (Schweiger & Denisi, 1991). Interestingly, Saorı´n-Iborra (2008) reached the conclusion that the time pressure perceived by negotiation parties during acquisition negotiations impacts the communication between them (Saorı´n-Iborra, 2008). Another recent study using interaction data from employee communication logs found out the communication patterns across firms develop slowly, and communication routines persist even in an acquisition event (Allatta & Singh, 2011). In our current study, the intended integration approach is ‘‘absorption acquisition’’, where there is a relatively high need for interdependence between the firms to transfer capabilities and low need for autonomy between firms to preserve the boundaries (Haspeslagh & Jemison, 1991). Even in such an active high-level integration mode, the communication patterns are slow to change. A clear communication strategy, aligned with the integration strategy and the desired culture of the new organization, is a critical component of a successful integration strategy (Gomes, Weber, Brown, & Tarba, 2011). We argue that clear and frequent communication involving key stakeholders in the negotiation process will enable the acquiring and target firms to better understand various expectations and integration strategy after the transactions. This communication strategy can smooth the integrative negotiation process in crossborder M&A. According to Datta & Yu (1991) the better informed the acquiring firm is of the target firm, the better are the odds of attaining the greatest benefits from the negotiation process. Coff (1999) found that the lengthening of negotiation process in knowledge-intensive industries leads slower momentum thus allowing the negotiating parties to better share information without time pressures. In the same vein, Weber et al. (2014) note that information exchange between amalgamating entities can reduce the level of ambiguity thus improving the chances of negotiations and also the overall M&A deal success. We thus hypothesize: H1. Communication between acquiring firm and target firm will positively influence the antecedent phase of negotiation process. H2. Communication between acquiring firm and target firm will positively influence the concurrent phase of negotiation process. 2.1.2. National cultural differences Hofstede’s (1980, 2001) cultural differences and cultural values framework witnessed a vast variety of empirical studies in business and psychology journals (Kirkman, Lowe, & Gibson, 2006). Scholars argue that cultural institutions provide contexts for negotiations, while culture provides scripts and schemas for negotiation (Leung, 1997). Cross-cultural research comparing negotiations in different cultures suggests the distinctive negotiating styles (Graham, 1993; Graham & Lam, 2003; Graham et al., 1994; Sebenius & Qian, 2008). In the realm of international negotiations, studies stated that cultural differences, such as individualism versus collectivism, affect negotiation process (Gelfand & Realo, 1999), judgement biases in negotiation (Gelfand et al., 2002), negotiation behaviour (Adair, Okumura, & Brett, 2001), conflict resolution strategies (Tse, Francis, & Walls, 1994), and negotiation joint gains (Brett & Okumura, 1998). Tension felt in international business negotiations affect trust of negotiators’ counterparts (Lee, Yang, & Graham, 2006). A recent 33-nation study reveals the differences between tight and loose cultures (Gelfand et al., 2011). In their view, tight cultures have many strong norms and a low tolerance of deviant behaviour, whereas loose cultures have weak social norms and a high tolerance of deviant behaviour. They suggested an integrated multilevel system



3



which incorporates both historical factors and contemporary processes to understand the national cultural differences. Negotiations in the context of cross-border M&A require the acquiring firms not only to attend the local traditions and etiquette, but also to understand the deeper and subtle governance and decision-making processes shaped by national cultures (Sebenius, 2002a, 2002b). A case study on SMI, an Italian copper-products firm, which navigated through and negotiated successful cross-border M&As in France and Germany, illustrates the benefits of understanding national cultural differences (Sebenius, 1998). An explorative study on M&A cross European borders found out that national culture differences play an important role in affecting acquirer’s perceptions of target companies, which have important consequences for the negotiation of deals (Angwin, 2001). One exemplary study from a sociocultural perspective developed a business negotiation process model based on Swedish multinational Ericsson and its negotiation process for various projects in China (Ghauri & Fang, 2001). In the research of international alliances, cultural distances were found to affect negotiators’ tactics (Rao & Schmidt, 1998). One study shows the judgement bias in which negotiators fail to accurately understand their counterparts’ interests, would be more prevalent at the end of negotiations in an individualistic culture than collectivistic culture (Gelfand & Christakopoulou, 1999). Cultural values and norms are evident in a negotiator’s implicit theory about negotiation that guide what strategies are available to negotiators (Adair & Brett, 2005). In the context of cross-border M&A, national culture differences can place hurdles for M&A partners to prepare and enter the negotiation process. We thus hypothesize: H3. National cultural difference will negatively influence the concurrent phase of negotiation process. 2.1.3. Organizational cultural differences Scholars argue that organizations or institutions may serve as barriers to negotiations (Wade-Benzoni et al., 2002). The relationships between organizational cultural differences and other human factors to the effectiveness of the integration process are complex and vary across different industry sectors (Weber, 1996; Weber, Shenkar, & Raveh, 1996). Recent quantitative research advanced our understandings on the influences of national and organizational culture differences, and culture integration mechanisms, on actual post M&A integration processes (Sarala, 2010; Sarala & Vaara, 2010). Beyond for-profit M&A setting, organizational culture also plays a significant role in the outcomes of the merger integration process non-profit M&A (La Piana & Hayes, 2005). It is recommended that the negotiations committee assess the culture of each organization and understand the existing differences (La Piana & Hayes, 2005). A recent study empirically tested the effects of organizational cultural preservation, multiculturalism, and partner attractiveness on post-acquisition conflicts (Sarala, 2010). The results indicate that organizational cultural differences and organizational cultural preservation increase conflicts. Amid the increase of conflicts, we argue that organizational cultural differences may negatively affect the negotiation process. In the context of international joint venture, organizational antecedents affect negotiation process and variables, such as term specificity and topic inclusiveness (Luo, 1999; Luo & Shenkar, 2002). In cross-border M&A, the corporate agents need to develop early strategies to obtain relevant information from the other side, while sharing information with prospective partners, so as to increase the chance of common understandings. This requires the acquiring company actively listen to target’s concerns and constraints, then to develop a persuasive argument and build a



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 4



M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



compelling case. However, such cooperation cannot be simply taking place between two different organizational cultures. We thus hypothesize:



the target firms which may enhance the effectiveness of concurrent phase of negotiation process. We thus hypothesize:



H4. Organizational cultural difference will negatively influence the concurrent phase of negotiation process.



H5. Planned employee retention will positively influence the concurrent phase of negotiation process.



2.1.4. Planned employee retention Post-acquisition integration plays important role in achieving synergy after M&A transactions (Gomes, Weber, Brown, & Tarba, 2011; Weber, Tarba, & Bachar, 2011). Organizational integration, such as interaction and coordination between the two firms involved in the acquisition, is considered as the most influential factors for achieving synergies (Larsson & Finkelstein, 1999; Larsson & Lubatkin, 2001). Although human resources (HR) practices, such as training, communication and autonomy are important to M&A performance, there is no clear best practice to address the cross-cultural conflict situations with cross-border M&A (Weber, Rachman-Moore, & Tarba, 2011; Weber & Tarba, 2010). Weber and Tarba (2010) suggest that acquirers must use HR practices to develop integration capabilities during post-merger integration to enhance M&A performance. Based on a model that encompasses national culture dimensions, corporate culture differences, and the synergy potential between the merging firms Gomes, Weber, Brown, and Tarba (2011) and Weber, Tarba, and Reichel (2009, 2011) proposed that the reason for the dismal performance track record of the acquiring companies is likely to lie in inability or failure to adopt and/or implement the integration approach necessitated in each specific case. In this context, Tarba (2009) based on a large sample data about M&A deals in the Israeli high-tech industry between 1990 and 2006, found that there is a significant difference in the extent of the fit between the integration approaches that should be and that were actually applied by the acquirers based on the model of Haspeslagh and Jemison (1991). Specifically, only 42% of M&A transactions in the sample actually have showed an aforementioned fit (Tarba, 2009). Another recent study’s findings suggested that post-acquisition integration approach plays a mediating role in the relationships between both synergy potential and organizational culture, and subsequent integration effectiveness (Weber, Tarba, & Bachar, 2011). The creation of a trust relationship during the negotiation process is considered essential, and post-negotiation atmosphere is important for the post integration phase and performance. When the value of the acquisition is generated by leveraging the knowledge target firms’ human capital, it is crucial to avoid the turnover of key staff (Ranft & Lord, 2002). Although previous studies suggest the M&A negotiation impacts target company top management turnover (Hambrick & Cannella, 1993; Walsh, 1989), there is scant research on the influence of planned employee retention on negotiation process. An employee retention plan may lower CEO resistance to takeover (Buchholtz & Ribbens, 1994). Human beliefs and professional attitudes such as the fear of change and the insecurity during the negotiations affect the result of merger (Konstantopoulos, Sakas, & Triantafyllopoulos, 2009). One study on joint venture negotiation found out that satisfaction with the relationship created between partners is the most suitable indicator of negotiation outcome (Saorı´n-lborra, 2006). The role of affect in cross-cultural negotiations influences the character of the negotiation process (George, Jones, & Gonzalez, 1998). Emotion can shape the dynamics of intercultural negotiation process (Kumar, 2004). The planned employee retention plan might resonate with positive affect and emotion which in turn influences the crossborder M&A negotiation process. Thus, the planned employee retention and potential job creations can be perceived positively by



2.2. Moderating effect of culture on communication and negotiation process National culture distance affects the extent to which acquisition partners communicate during negotiation process and integration process. Several studies report that national culture has an important influence on how people interact with others. For example, Hofstede (2001) explained that in cultures that are characterized by large power distance, centralisation of communication is popular, whereas in small power distance cultures decentralization is popular. Research on cross-cultural communication found that mothers from collectivistic cultures tend to encourage listening and empathy in their children, whereas mothers from individualistic cultures tend to teach self-expression (Singelis and Brown, 1995). These differences are likely to lead to very distinct communication styles and expectations from communication. During the concurrent phase, acquiring and target firm can convey critical information about the target firm’s capabilities and provide, or ask for, clarification and explanation about these capabilities. Moreover, communication functions as an important driver of trust between groups (Citera and Rentsch, 1999). However, culture distance makes it more difficult for employees to interact and share ideas, and, as a result, impedes communication. Even when language differences are not present, or are overcome through training and education, organization members are likely to prefer, and have greater opportunities for, communicating with other members from similar cultures rather than with members from distant cultures (Lane et al., 2004). Therefore, during the concurrent phase of a negotiation process, the positive effect of communication on concurrent phase is lower when the national cultural distance between the acquiring and target firm is very high. Based on the above argument, we propose the following hypothesis: H6. National cultural distance negatively moderates the relationship between communication and concurrent phase of a negotiation process. Specifically, the positive effect of communication is lowest when the national cultural distance between acquiring and target firm is very high. Organizational culture influences the integration approach of cross-border M&A (Weber, Tarba, & Reichel, 2011c; Weber, Teerikangas, Rouzies, & Tarba, 2011d). The cross-border acquisitions by Teva Pharmaceuticals illustrate the organizational cultural differences lead to different communication strategies (Almor, Tarba, & Benjamini, 2009; Tarba, Almor, & Benyamini, 2011). One recent study contrasting state-owned enterprises and privatelyowned enterprises of Chinese firms’ cross-border acquisitions in Europe manifests the variations of communication approaches, which may lead to different negotiation tactics and outcomes (Liu & Woywode, 2011). The flexible and open organizational culture tends to convey M&A motives and integration strategy explicitly to the target firms. However, the moderating effect of organizational cultural differences on concurrent phase of a negotiation process should be considered with caution. Irrelevant information sharing among negotiation partners may have a detrimental effect, where too much information can impair negotiators’ effectiveness (Wiltermuth & Neale, 2011). It is not necessary that the more



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



information sharing among partners, the better the cross-border M&A negotiation process is. Furthermore, straightforwardness can become a liability in negotiation due to integrative potential and structural power (DeRue, Conlon, Moon, & Willaby, 2009). Accordingly, the positive effect of communication on concurrent phase is lowest when the organizational cultural difference is very high. H7. Organizational cultural differences negatively moderate the relationship between communication and concurrent phase of a negotiation process. Specifically, the positive effect of communication is lowest when the organizational cultural differences between acquiring and target firm is very high. 2.3. The relationship between different phases of negotiation process ‘‘Negotiation’’ is viewed as an ongoing process consisting of three phases: antecedent, concurrent and consequent (Graham et al., 1994). The antecedent part refers to the pre-interaction phase, the preparation and the information gathering. In the context of cross border M&A, acquiring firm needs to gather information about the target firm such as profitability, management styles before commencing the negotiation with the target firm. The concurrent phase is the process of negotiation per se. It is the interaction between the parties, where negotiating behaviours come into play (Graham, 1985a); they act as mediators of the outcomes following in the consequent phase (Greenhalgh et al., 1985). In the context of cross border M&A, managers involved in M&A negotiation can feel pressure to conclude the deal or managers could have multiple motives for the M&A deal which could impair effective negotiation. This consequent phase refers to the outcomes of the negotiation (Paik & Tung, 1999). They are generally considered as distributive (win-lose) or integrative (winwin). In the context of cross-border M&A, the consequent phase is an agreement of a cross-border M&A deal. Therefore, in our view, the process perspective on negotiation may advance largely our understanding of cross-border M&A endeavours. During the antecedent phase, acquiring firm has the opportunity to understand the differences in culture and management styles (Schweiger & Very, 2003) and better prepare for the next stage, the concurrent phase. The failure to plan the negotiation process can negatively impact the consequent M&A deal performance (Weber, Belkin, & Tarba, 2011). For instance, an ineffective preparation in the antecedent phase may lead to unexpected



National cultural differences



conflicts and arguments during the concurrent phase, while an effective management of the antecedent phase is expected to have a positive influence on the concurrent phase. Moreover, an effective concurrent phase is likely to impact the consequent phase i.e. outcome of the negotiation. During the concurrent phase, the acquiring firm feels the pressure of concluding the deal and attempt to effectively negotiate the terms and condition of the acquisitions such as a suitable employment contract with the foreign target firm. An ineffective concurrent phase may lead to the break-down of the negotiation or lead to disagreement between the acquiring firm and foreign target firm. Therefore, an effective concurrent phase is expected to have a positive influence on the consequent phase i.e. the outcome of cross border M&A negotiation. Based on the above arguments, we propose the following hypotheses: H8. Antecedent phase positively influence the concurrent phase. H9. Concurrent phase positively influence the consequent phase i.e. M&A agreement. In Fig. 1, we draw the relationships of the nine hypotheses derived from literature review. 3. Methodology 3.1. Data collection We conducted a cross-section survey involving data collection through a self-administered questionnaire in 2007. In this study, we look into cross border acquisition transactions undertaken by UK firms, with a period of five years (2000–2004). At first, we gathered the M&A cases from Thomson One Banker Database. The sample includes those M&A deals in which the acquirer bought a 100 percent equity stake in the acquired company. Based on the results of the website search and telephone enquiries, a list key informants and potential survey participants was assembled. After eliminating companies with a policy of non-participation in surveys, we obtained a final sampling frame of 591 international acquirers. 591 questionnaires were sent to potential survey participants (i.e., UK acquiring firm managers). We made an effort to recognize the managers involved in acquisition decision and implementation process. In order to encourage for accurate responses, the respondents were guaranteed anonymity and were promised a



Antecedent



H3 (-)



H8 (+)



H1 (+)



Communication H2 (+)



H6 (-) H7 (-)



Organizational cultural differences



Concurrent



H4 (-) H9 (+) H5 (+)



Planned employee retention



5



Consequent - M&A Agreement



Fig. 1. A conceptual framework of negotiation process in cross border M&A.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



6



summary report of research findings if requested. After three reminders, we received 65 completed and usable questionnaires, representing a response rate of 11%. This response rate is comparable with the ones found in the surveys involving executives (Graham and Harvey, 2001; Colombo, Conca, Buongiorno and Gnan, 2007; Mukherjee, Kiymaz and Baker, 2004). This response rate is a reasonable one given the senior positions of the respondents and the sensitivity of the information, the welldocumented difficulties of obtaining questionnaire responses from executives (Harzing, 1997), and the decreasing rate of response from executives (Cycyota and Harrison, 2006). All of the respondents had been directly involved in managing the CBA process. An examination of the job titles revealed 23 Business Development Directors, 16 Finance Directors or Chief Financial Officers, 12 Chief Executive Officers, 8 Managing Directors, 6 Executive Directors. The sample represents acquisition activity on two continents: North America and Europe. Europe is represented by 35 acquisitions. In North America, the acquired firms are from the USA and Canada (21 and 9 respectively). 3.2. Common method bias When a survey method is used to collect data using a single source, common method bias is a potential issue. Since the dependent variables (e.g. concurrent phase), some of the independent variables (e.g. organizational cultural differences, planned employee retention), and the control variables (e.g. past performance of target firm) are based on data provided by a single individual, they may be affected by common method bias. This is unlikely, however, because the items measuring these variables are measured through a large number of items and are dissimilar in content. Moreover, in order to minimize the problem of common method bias, a combination of subjective measures (e.g. organizational cultural differences) and objective measures (e.g. national cultural distance, consequent phase) has been used to measure the key variables. We also guaranteed anonymity to all respondents and urged them to respond to questions as honestly as possible considering that there were no right or wrong answer and results would only be presented to third parties in aggregate form. In addition, we checked for common method bias by conducting Harman’s single-factor test. A substantial amount of common method bias exists when a single factor emerges or one general factor accounts for over 50% of the variance (Podsakoff et al., 2003). When independent and dependent variables of this study were included, the un-rotated factor analysis produced 4 factors. The largest factor explained 20.16% of the total variance. Based on Harman’s test we can conclude that there was no serious common method variance present in our data. Finally, the presence of complex relationships, such as interaction, among dependent and independent variables that are unlikely to be part of the individual rater’s cognitive map reduce the chances for common method variance effects (Chang et al., 2010).



Table 1 Comparisons of 2000 and 2004 acquisitions.



National cultural distance Organizational cultural differences Communication Planned employee retention Concurrent phase



2000 (n = 18)



2004 (n = 25)



T-value



Mean



S.D.



Mean



1.560 0.237



0.520 1.090



1.435 0.133



0.474 0.980



0.817 1.164



0.03 3.333 3.687



1.046 0.996 1.144



0.06 3.266 3.771



1.151 1.042 1.131



0.083 0.219 0.244



S.D.



reported in Table 1. These findings suggest that retrospective bias does not pose a problem for the study. 3.4. Non-response bias We evaluated non-response bias by using two procedures (following (Ranft and Lord, 2000). First, we compared early with late respondents along a number of key descriptive variables. The findings are reported in Table 2. Differences between the two groups were not statistically significant, suggesting that nonresponse bias is not evident. Second, the possibility of non-response bias was checked by comparing respondent and non-respondent firms in terms of the transaction value and total sales. The average transaction value of cross border acquisitions included in the sample was £251 million, which is not significantly different from the average transaction value (£218 million) for acquisitions of non-participating firms (t = 0.406, p = 0.685). The t-tests of mean difference were insignificant, confirming no systematic bias between the responding firms and non-responding firms. 3.5. Operationalization of the constructs 3.5.1. Dependent variables – effectiveness of negotiation process Based on the theoretical framework of Graham et al. (1994), we developed questionnaire related with three phases (i.e. antecedent, concurrent and consequent) of negotiation process. The antecedent phase refers to the pre-interaction phase, the preparation and the information gathering. In the context of cross border M&A, acquiring firm needs to gather information about the target firm such as profitability, management styles before commencing the negotiation with the target firm. The effectiveness of Antecedent phase depends on the effective management of preinteraction phase by ensuring reliability of information collected and by ensuring that acquiring firm understand the differences in culture and management styles between foreign target firm and UK acquiring firm. Through a review of previous research on acquisition (e.g. Very and Schweiger, 2001), three Antecedent phase issues were identified: (1) ensuring reliability of information collected, (2) understanding different cultures, and (3) understanding different



3.3. Retrospective bias Respondents need to recollect information about the past events in a survey research. Potentially this exposed the study to retrospective bias, because some information may be lost or distorted over time. We adopted a research design and survey instrument anticipated to minimize retrospective bias. In addition, in order to assess potential retrospective bias, responses concerning acquisitions made in 2004 were compared to acquisitions made in 2000. The t-tests for mean differences in variables were calculated, and no statistically significant differences were found in means between responses concerning acquisitions made in 2000 compared to acquisitions made in 2004. The findings are



Table 2 Comparisons of early and late respondents.



National cultural distance Organizational cultural differences Communication Planned employee retention Concurrent phase



Early respondents (n = 39)



Late respondents (n = 26)



T-test



Mean



S.D.



Mean



S.D.



1.489 0.030



0.496 0.941



1.315 0.133



0.368 1.266



1.378 0.423



0.05 3.314 3.767



0.971 0.884 0.979



0.21 3.055 3.638



1.139 1.187 1.313



0.738 0.712 0.319



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



management styles. Respondents were asked to indicate the extent to which acquired firm were able to effectively manage the above issues in a 5-point Likert scale, anchored from 1 (= ‘Less effective’) to 5 (= ‘Highly effective’). These 3 items are measuring ‘‘the effectiveness of Antecedent phase’’. The Concurrent phase is the process of negotiation per se. It is the interaction between the parties, where negotiating behaviours come into play (Graham, 1985a); they act as mediators of the outcomes following in the consequent phase (Greenhalgh et al., 1985). In the context of cross border M&A, managers involved in M&A negotiation can feel pressure to conclude the deal or managers could have multiple motives for the M&A deal which could impair effective negotiation. The effectiveness of Concurrent phase depends on how the acquiring firm manages the pressure during the negotiation and how acquiring firm effectively negotiate the terms and condition of the acquisitions such as a suitable employment contract with the foreign target firm. Three Concurrent phase issues were identified from existing literature (two issues from Haspeslagh and Jemison 1991; one issue from Very and Schweiger, 2001): (1) increased personal pressure to conclude the deal, (2) Multiple motives of employees (from acquiring and acquired firm) involved in the negotiation process could lead to negotiation problems, and (3) negotiating employment contract. Respondents were asked to indicate the extent to which acquired firm were able to effectively manage the above issues in a 5-point Likert scale, anchored from 1 (= ‘Less effective’) to 5 (= ‘Highly effective’). These 3 items are measuring ‘‘the Effectiveness of Concurrent phase’’. This Consequent phase refers to the outcomes of the negotiation (Paik & Tung, 1999). They are generally considered as distributive (win-lose) or integrative (win-win). In the context of cross-border M&A, the consequent phase is an agreement of a cross-border M&A deal. The effectiveness of Consequent phase depends on whether an agreement is reached between the foreign target firm and UK acquiring firm. Based on an objective measure, we created a dummy variable for the Consequent phase where the cross border acquisitions assumed the value ‘1’ if agreement of a cross-border M&A deal is reached and ‘0’ otherwise. This measure of consequent phase is used in the subsequent data analysis. 3.6. The explanatory variables 3.6.1. National cultural distance GLOBE practices scores were used to measure national cultural distance (House et al., 2004). This study used the GLOBE measures for the following reasons. (1) The GLOBE study used qualitative methods to assist the development of quantitative survey instruments. (2) The GLOBE study is not based solely on nations (for instance, French and English-speaking Canada is separated). (3) The data is collected in 951 organizations instead of just one. Based on the nine dimensions of the GLOBE-practices scores, this study built an index of national culture differences following Morosini, Shane and Singh (1998). The index represents the aggregate national culture distance of the two acquisition qffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffiffi P ðIi j  Iik Þ2 where CDj: the cultural differences parties:CD j ¼ for the jth country; Iij: GLOBE score for ith cultural dimension and jth country; k: indicates UK. Greater values on the cultural distance measures indicate greater differences or distance between the UK and the local firm’s country with respect to the cultural dimension. 3.7. Organizational culture differences Based on prior studies, Organizational cultural difference was measured using four items (Chatterjee et al., 1992; Datta, 1991). The respondents were asked to determine the extent to which the



7



acquired firm differed from the acquiring firm in (1) general management style, (2) values, beliefs and philosophy, (3) reward and evaluation systems, (4) approach to risk taking. Each item was measured on a Likert-type scale, anchored from 1 (= ‘Very similar’) to 5 (= ‘Very different’). EFA produced one factor for the four measures of organizational culture differences, which explained a total of 70.69 percent of the observed variance. A composite measure of organizational culture difference was calculated by averaging the factor scores for the items that loaded on the single factor (Cronbach’s a = 0.89). 3.7.1. Communication Building on Dafi and Lengel’s (1986) theory of media richness, several authors developed a measure to determine the extent to which organization members engage through different network ties in communication with varying degrees of richness (e.g., Whitfield, Lamont, & Sambamurthy, 1996). We adjusted this measure to comprise five items that asked the respondent to rate the extent to which organization members communicated with target firm boundaries through media such as use of first name, email, phone conversations, formal meetings, and socializing outside of work. All items used a five-point Likert-type scale ranging from 1 (= ‘hardly ever’) to 5 (= ‘very frequently’). An attempt was made to identify a parsimonious set of variables to determine the underlying dimensions governing the full set of five measures of communication. Exploratory factor analysis (EFA) using varimax rotation was used to extract the underlying factors. The EFA produced one factor for the five measures of communication. The factor explained a total of 66.96 percent of the observed variance (with Cronbach’s a = 0.81). 3.8. Planned employee retention Respondents were asked to indicate the importance of retaining employees during the pre-acquisition stage (following Ranft and Lord, 2000), on a Likert-type scale anchored from 1 (= ‘not important’) to 5 (= ‘extremely important’) based on the employees’ position within the acquired firm: (i) top management, (ii) middle management, (iii) research and development (iv) manufacturing and operations (v) marketing, sales and distribution, and (vi) finance, legal and other staff. EFA produced one factor for the six types of employees. Respondents were also asked to indicate the extent to which employees of the target firm was planned to retain on a Likert-type scale anchored from 1 (= ‘no retention’) and 5 (= ‘full retention’). We calculated a composite measure of ‘‘planned employee retention’’ by multiplying the factor score on ‘‘importance’’ with the measures of ‘‘retention’’ and then taking the average of scores. 3.9. Control variables Three control variables were included in the statistical model: industry relatedness between the UK acquiring firm and foreign target firm, relative size of the foreign target firm, and prior performance of target firm. The relatedness of the acquiring firm and the acquired firm was coded as a binary variable depending on whether or not the acquirer and the acquired firms operated in the same industry as indicated by the respondent (Lubatkin, Merchant, and Srinivasan 1993). To control for potential effects of relatedness, the relatedness of the acquired firm and the acquirer was coded ‘1’ if ‘related’ and ‘0’ if ‘not related’ acquisitions. Relative size was operationalized as the ratio of the sales turnover of the acquired firm to that of the acquiring firm at the time of the acquisition (following Krishnan et al., 1997, and Schoenberg, 2004).



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



8 Table 3 Descriptive statistics and Pearson’s correlations.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Agreement Antecedent phase Communication Concurrent phase Employee retention National cultural differences Communication  national cultural differences 8. Organizational cultural differences 9. Communication  organizational cultural differences 10. Relatedness 11. Size 12. Past performance



Mean



S.D.



1



1/0 2.458 3.820 3.743 3.317 1.457 0.0536



n/a 1.00 0.678 0.113 1.00 0.890 0.054 0.370* 1.038 0.178 0.105 0.854 0.058 0.272* 0.477 0.271* 0.134 1.357 0.049 0.358*



2.910 0.800 0.201 0.012 0.767 0.040 1/0 2.458 3.25



2



3



0.066 0.261*



n/a 0.179 1.077 0.060 1.160 0.074



0.245* 0.418** 0.051



4



5



6



1.00 0.559** 1.00 0.599** 0.556** 1.00 0.172 0.014 0.104 0.493** 0.176 0.445**



7



1.00 0.101



8



9



0.399* 0.503** 0.122



11



12



1.00



0.259* 0.500** 0.382* 0.104 0.168 1.00 0.406** 0.546** 0.436** 0.096 0.331* 0.454** 0.297* 0.397* 0.402** 0.188 0.017 0.185



10



0.027 0.299* 0.015 0.319* 0.080 0.283*



0.118 0.185 0.095



1.00 0.331* 1.00 0.350* 0.228 1.00 0.063 0.123 0.249* 1.00



Note: N = 65; S.D. = standard deviation; **p < 0.01, *p < 0.05; two-tailed test.



To measure prior performance of target firm, respondents were asked to indicate the profitability (return on capital employed) of the acquired firm relative to the acquiring firm at the time of acquisition on a scale ranging from 1 = ‘very poor’ to 5 = ‘very good’.



4. Findings The survey data were screened to check for outliers, out-ofrange values, missing data. Descriptive statistics and correlations for each of the variables used in the analyses are presented in Table 3. We analyzed the data using partial least square (PLS) analysis. SmartPLS 2.0 (Ringle, Sven and Alexander, 2005) was used to carry out the PLS tests. PLS is a powerful multivariate analysis technique (Fornell and Bookstein, 1982). The primary goal of PLS, as opposed to covariance-based structural equation modelling, is to maximize the variance explained in latent and endogenous variables. PLS is widely used in analyzing data for the estimation of complex relationship between constructs in business and management (Gudergan et al., 2008). PLS-SEM is used in M&A research (e.g. Cording, Christmann and King, 2008) and international marketing (e.g. Hair et al., 2012; Henseler, Ringle, and Sinkovics, 2009). We checked the reliability and validity of the measures used in our model. Table 4 reports the Cronbach’s alpha, Composite reliability, and AVE (Average variance explained). The traditional criterion for internal consistency is Cronbach’s alpha which provides an estimate for the reliability based on the indicator



Table 4 Overview of path model. R-square Communication Employee retention National cultural differences Organizational cultural differences Antecedent phase Concurrent phase Agreement Communication  national cultural differences Communication  organizational cultural differences Relatedness Size Past performance



0.1376 0.5842 0.1216



AVE



Composite reliability



Cronbachs alpha



0.5977 1.0000 1.0000 0.5687



0.9216 1.0000 1.0000 0.8401



0.9013 1.0000 1.0000 0.7487



0.8027 0.7054 1.0000 0.4726



0.8905 0.9052 1.0000 0.8664



0.7564 0.8607 1.0000 0.8190



0.5792



0.9775



0.9768



1.0000 1.0000 1.0000



1.0000 1.0000 1.0000



1.0000 1.0000 1.0000



inter-correlations. Cronbach’s alpha for all indicators are greater than 0.70. As Cronbach’s alpha tends to provide a major underestimation of the internal consistency reliability of latent variables in PLS path model, the ‘composite reliability’ is more appropriate measure of internal consistency (Henseler, Ringle and Sinkovics (2009, p. 299)). Using the measure suggested by Fornell and Larcker (1981), we found that all composite reliability values exceeded the minimum threshold of 0.70 (Nunnally and Bernstein, 1994). Fornell and Larcker (1981) recommended using the Average Variance Extracted (AVE) as a criterion of convergent validity. An AVE value of at least 0.50 suggests adequate convergent validity, meaning that a latent variable is able to explain more than half of the variance of its indicators on average (Gotz, Liehr-Gobbers and Krafft, 2009). Table 4 indicates that the AVE values for latent variables are greater than 0.50 (except ‘‘national cultural distance  communication’’ which is about 0.48). Table 4 also indicates the construct validity. An indicator for the construct validity is the R-squared. The R-squared on antecedent phase, concurrent phase and consequent phase is 0.1376, 0.5842 and 0.1216, respectively. This means that our model explains about 14% of the variance in antecedent phase, about 59% of the variance in the concurrent phase and about 12% variance in consequent phase. To test the hypotheses, a structural model was built using the SmartPLS 2.0 program. The path coefficients are produced using a bootstrapping procedure. SmartPLS calculated the path coefficient estimates. Each path corresponds to one hypothesis. Table 5 shows the overview of path model. Hypothesis 1, arguing that communication between the acquiring and target firm will positively influence the effectiveness of antecedent phase, is supported. The coefficient is positive (b = 0.3709), and the path is statistically significant (p < 0.01). Thus, diverse communication methods and higher frequency have positive impact on the effectiveness of antecedent phase of a negotiation process. PLS path model provides support for hypothesis 2 about the positive effect of communication on the effectiveness of concurrent phase. The coefficient is positive (b = 0.4212) and the path is statistically significant (p < 0.01). Thus, the effectiveness of concurrent phase is positively influenced by the extent of communication between the acquiring and target firm. Hypothesis 3 is supported: National cultural distance is negatively (b = 0.1347) and significantly (p < 0.10) related to the effectiveness of concurrent phase. Therefore, the greater the national cultural distance, the lower the effectiveness of concurrent phase of a negotiation process is. Hypothesis 4 suggested that organizational cultural differences can negatively influence the effectiveness of concurrent phase. The



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



9



Table 5 Partial least square (PLS) path model. Path



Coefficient



Standard deviation



Standard error



T-statistics



p-value



Hypothesis



Communication ! antecedent Communication ! concurrent National cultural differences ! concurrent Organizational cultural differences ! concurrent Planned employee retention ! concurrent Communication  national cultural differences ! concurrent Communication  organizational cultural differences ! concurrent Antecedent ! concurrent Concurrent ! M&A agreement Industry relatedness ! M&A agreement Relative size ! M&A agreement Prior performance of target firm ! M&A agreement



0.3709 0.4212 0.1347 0.1921 0.2542 0.2534 0.3012 0.1029 0.3263 0.2731 0.0900 0.1236



0.0966 0.1581 0.0772 0.0997 0.1404 0.1479 0.2934 0.0804 0.0872 0.0876 0.1040 0.1114



0.0966 0.1581 0.0772 0.0997 0.1404 0.1479 0.2934 0.0804 0.0872 0.0876 0.1040 0.1114



3.8409*** 2.6643*** 1.7446* 1.9272* 1.8103* 1.7131* 1.0266 1.2804 3.7420*** 3.1168*** 0.8649 1.1086



0.000 0.009 0.085 0.058 0.074 0.091 0.308 0.205 0.000 0.002 0.390 0.271



Supported Supported Supported Supported Supported Supported No support No support Supported n/a n/a n/a



Note: N = 65; p-values for 2-tail test; ***p < 0.01, **p < 0.05, *p < 0.10.



coefficient is negative (b = 0.1921) and the path is statistically significant (p < 0.10). Accordingly, the higher the organizational cultural difference, the lower the effectiveness of concurrent phase of a negotiation process is. PLS path model provides support for hypothesis 5 about the positive effect of planned employee retention on the effectiveness of concurrent phase. The coefficient is positive (b = 0.2542) and the path is statistically significant (p < 0.10). Thus, the effectiveness of concurrent phase is positively influenced by the planned employee retention of the target firm. Hypothesis 6, arguing that national cultural distance negatively moderates the relationship between communication and concurrent phase of the negotiation process, is supported. The coefficient is negative (b = 0.2534), and the path is statistically significant (p < 0.10). Consequently, the positive effect of communication is lowest when the national cultural distance between acquiring and target firm is very high. Hypothesis 7 is not supported: the coefficient is negative (b = 0.3012) but statistically insignificant (p > 0.10). In addition, Hypothesis 8 is not supported. The coefficient is negative (b = 0.1029) but statistically insignificant (p > 0.10). PLS path model provides support for hypothesis 9 about the positive effect of the effectiveness of concurrent phase on the effectiveness of consequent phase. The coefficient is positive (b = 0.2542) and the path is statistically significant (p < 0.01). Thus, the effectiveness of consequent phase is positively influenced by the effectiveness of concurrent phase of the negotiation process. With regards to control variables, relative size and prior performance of the target firm have no influence on the consequent phase of negotiation process. However, industry relatedness is positively influence the consequent phase of negotiation process (b = 0.2731; p < 0.01). The findings tend to indicate that industry relatedness between the acquiring and target firm is expected to have a positive impact on the M&A agreement. 5. Discussion In the context of cross border acquisitions, scant research exists investigating the impact of communication, national cultural distance, organizational cultural differences, and planned employee retention on the various stages of negotiation process (e.g. antecedent, concurrent and consequent phases). Our paper contributes by examining the effect of communication on the effectiveness of antecedent and concurrent phase of the negotiation process. The findings provide strong support for the argument that frequent communication using diverse method can positively influences the effectiveness of antecedent phase of the negotiation



process. Our finding is consistent with Valley et al. (1998), who suggested that medium choice of communication affects the negotiation process. While maintaining confidentially of negotiation details is important, relevant information sharing about the M&A deal can prevent rumours from flourishing (Risberg, 1999). Clear and frequent communication involving key stakeholders can assist parties involved in the negotiation process in understanding and managing various expectations. Consequently, the likelihood of an effective negotiation process will be higher. Our paper also contributes to the existing literature by examining the direct and moderating affect of national cultural distance and organizational cultural differences on the concurrent phase of the negotiation process in cross border acquisitions. We found that both national cultural distance and organizational cultural differences can have direct and negative impact on the effectiveness of concurrent phase of the negotiation process. Differences in national culture and diversity in philosophies, values and behaviour of the management team can lead to uncertainty amongst managers of target firm involved in M&A deal (Buono and Bowditch, 1989), which may develop into feelings of anxiety and resentment (Cartwright & Cooper, 1992). These negative feeling in turn can result in conflicts between the acquiring firm and target firm (Sales & Mirvis, 1984), and reduced commitment towards cooperation (Weber et al., 1996). Consequently, the likelihood of organizational conflict is higher when organizations involved in M&A deal have higher cultural dissimilarities (Sarala, 2010). Therefore, during the concurrent phase of the negotiation process, the chances of cooperation between the acquiring and target firm is low when parties negotiating have high national cultural distance and greater organizational cultural differences. Consequently, effectiveness of the concurrent phase of the negotiation process can be impaired in cross border acquisition. Apart from direct impact, national cultural distance and organizational cultural differences can moderate the relationship between communication and effectiveness of concurrent phase of the negotiation process in cross border acquisitions. We found that the positive impact of communication on the effectiveness of concurrent phase of the negotiation process is lower when acquiring and target firm have large national and organizational cultural dissimilarities. In the context of cross border acquisitions, national cultural distance and organizational cultural differences can lead to a diverse communication strategy, which may lead to different negotiation strategy and outcome (Liu & Woywode, 2011). While ‘‘communication’’ has a significant impact on negotiation process, the finding tends to suggest that the extent of benefit arising from frequent communication could be limited when parties negotiating M&A deal have large national cultural distance and greater organizational cultural differences. During the concurrent phase of negotiation process, acquiring firm should



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 10



M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



carefully communicate relevant and appropriate amount of information. Irrelevant and inappropriate amount of information sharing can impair negotiators’ effectiveness (Wiltermuth & Neale, 2011). Another contribution of the present study is related with the impact of cultural differences on the effectiveness of negotiation process in cross border acquisitions. Weber et al. (1996) found that organizational cultural differences and national cultural differences were different construct, having different impacts on M&A performance. Teerikangas and Very (2006) suggested discriminating national and organizational culture. Following Weber et al. (1996) and Teerikangas and Very (2006), we separately tested the impact of national cultural differences and organizational differences on the negotiation process. The paper contributes by investigating the impact of planned employee retention on the concurrent phase of negotiation process. The findings provide strong support for the argument that planned employee retention positively influences the effectiveness of concurrent phase of negotiation process. Buchholtz and Ribben (1994) suggested that an employee retention plan may lower CEO resistant to takeover. Such a plan can encourage cooperation during the negotiation process. Moreover, Konstantopoulos et al. (2009) argued that human beliefs and professional attitudes such the fear of change and the security during the negotiations affect the result of M&A. In this case, employee retention plan can be perceived positively by the firms involved in M&A negotiation process. As a result, the likelihood of an effective negotiation process will be higher when acquiring firm plan to retain employees of the target firm. We also found that an effective concurrent phase positively influence the consequent phase i.e. outcome of the negotiation. An ineffective concurrent phase may lead to the break-down of the negotiation or lead to disagreement between the acquiring firm and foreign target firm. Therefore, the effectiveness of concurrent phase positively influences the consequent phase i.e. the outcome of cross border M&A negotiation. 6. Conclusion and recommendations The paper provides an empirical examination of the impact of national cultural distance, organizational cultural differences, communication, and planned employee retention on effective negotiation process. While negotiation and culture have received attention in social psychology and organizational behaviour research, our current understanding of how and when national cultural distance and organizational cultural differences, communication and planned employee retention influence cross border M&A negotiation is limited. Hence, an important contribution of the paper is the examination of national cultural distance and organizational cultural differences, communication and planned employee retention. In addition, prior researchers have identified a number of factors influencing the negotiation process such as cultural differences and communication. These factors have not been considered in a single study, but have arisen from a number of studies that have examined different factors. Our paper is novel in that we consider all the identified factors simultaneously and examine their impact on different phases of negotiation process (e.g. antecedent, concurrent and consequent phase). The finding tends to indicate that communication between the acquiring firm and target firm directly influence the effectiveness of antecedent phase of negotiation process. In addition, the findings indicate that the effectiveness of concurrent phase can directly be influenced by communication, national cultural distance, organizational cultural differences, and planned employee retention. Moreover, we found that national cultural distance



negatively moderates the relationship between communication and the effectiveness of concurrent phase as such that the positive effect of communication is lowest when the national cultural distance between the acquiring and target firm is higher. Finally, we found that the effectiveness of concurrent phase positively influence the effectiveness of consequent phase. The study has implication for managers involved cross border acquisitions. Firstly, we developed and tested a conceptual framework of negotiation process in order to provide a framework to analyze the key components of the negotiation stage of the cross border M&A process. As such, the presented framework is essential to practitioners. Practitioners gain insight into the significance of considering multiple factors during the M&A negotiation stage, which permits the acquiring and target firms to accomplish an agreement that better positions the combined firm to create value following the deal. Also, understanding vital components of the negotiation stage and their effects can assist practitioners, especially those planning to engage in multiple deals, to focus efforts on certain negotiation practices while becoming more thriving in M&A negotiations. In addition, the contribution of this study lies in providing new insights on negotiation-associated factors for incumbent executives in order to enable them to better plan and implement crossborder M&A deals. We found that national cultural distance can have negative impact on the concurrent phase of negotiation process. Therefore, we recommend that managers involved in M&A negotiation process assess the national cultural distance and attempt to understand the existing differences between acquiring and target firm. Such assessment and appreciation of national cultural distance can assist acquiring firms to formulate more effective negotiation strategy. Finally, we also found that national cultural distance moderates the relationship between communication and effectiveness of concurrent phase as such that the positive effect of communication on concurrent phase is lower when national cultural distance is higher. We suggest that managers involved in M&A negotiation process attempt to anticipate the likely impact of any information on target firm before actually sharing the information. Such anticipation is even more important when parties involved in M&A have large national cultural distance. Our findings also suggest that managers involved in M&A should communicate relevant and optimal information. Example of relevant information is the plan to retain employees of the target firm. Information about the employee retention plan should be communicated with the target firm which can facilitate effective negotiation process.



References Adair, W. L., & Brett, J. M. (2005). The negotiation dance: Time, culture, and behavioral sequences in negotiation. Organization Science, 16(1), 33–51. Adair, W. L., Okumura, T., & Brett, J. M. (2001). Negotiation behavior when cultures collide: The United States and Japan. Journal of Applied Psychology, 86(3), 371. Allatta, J. T., & Singh, H. (2011). Evolving communication patterns in response to an acquisition event. Strategic Management Journal, 32, 1099–1118. Almor, T., Tarba, S. Y., & Benjamini, H. (2009). Unmasking integration challenges: The case of Biogal’s acquisition by Teva Pharmaceutical Industries. International Studies of Management and Organization, 39(3), 32–52. Amiot, C. E., Terry, D. J., Jimmieson, N. L., & Callan, V. J. (2006). A longitudinal investigation of coping processes during a merger: Implications for job satisfaction and organizational identification. Journal of Management, 32(4), 553–574. Angwin, D. (2001). Mergers and acquisitions across European borders: National perspectives on preacquisition due diligence and the use of professional advisers. Journal of World Business, 36(1), 32–57. Bazerman, M. H., Curhan, J. R., Moore, D. A., & Valley, K. L. (2000). Negotiation. Annual Review of Psychology, 51(1), 279–314. Billett, M. T., & Qian, Y. (2008). Are overconfident CEOs born or made? Evidence of self-attribution bias from frequent acquirers. Management Science, 54(6), 1037–1051.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx Brett, J. F., Northcraft, G. B., & Pinkley, R. L. (1999). Stairways to heaven: An interlocking self-regulation model of negotiation. Academy of Management Review, 24(3), 435–451. Brett, J. M., & Okumura, T. (1998). Inter-and intracultural negotiation: US and Japanese negotiators. Academy of Management Journal, 41(5), 495–510. Buchholtz, A. K., & Ribbens, B. A. (1994). Role of chief executive officers in takeover resistance: Effects of CEO incentives and individual characteristics. Academy of Management Journal, 37(3), 554–579. Budhwar, P. S., Varma, A., Katou, A., & Narayan, D. (2009). The role of HR in crossborder mergers and acquisitions: The case of Indian pharmaceutical firms. Multinational Business Review, 17(2), 89–110. Buono, A. F., & Bowditch, J. L. (1989). The human side of mergers and acquisitions - Managing collisions between people, cultures and organizations. London: Jossey-Bass. Cartwright, S., & Cooper, C. L. (1992). Mergers and acquisitions: The human factor. Oxford: Butterwoth-Heinemann. Cartwright, S., & Cooper, C. L. (1996). Managing Mergers, Acquisitions, and Strategic Alliances: Integrating People and Cultures. Oxford, Boston: ButterworthHeinemann. Cartwright, S., & Cooper, C. L. (2000). HR Know-How In Mergers and Acquisitions. London: Chartered Institute of Personnel and Development. Cartwright, S., & Schoenberg, R. (2006). Thirty years of mergers and acquisitions research: Recent advances and future opportunities. British Journal of Management, 17, S1–S5. Chang, S.-J., van Wittleloostuijn, A., & Eden, L. (2010). From the editors: common method variance in international business research. Journal of International Business Studies, 41, 178–184. Chatterjee, S., Lubatkin, M. H., Schweiger, D. M., & Weber, Y. (1992). Cultural differences and shareholders value: Explaining the variability in the performance of related mergers. Strategic Management Journal, 13, 319–334. Chesbrough, H. W., & Teece, D. J. (2002). Organizing for innovation: When is virtual virtuous? Harvard Business Review, 80(1), 127–135. Coff, R. (1999). How buyers cope with uncertainty when acquiring firms in knowledge-intensive industries: Caveat emptor. Organization Science, 10, 144–161. Colombo, G., Conca, V., Buongiorno, M., & Gnan, L. (2007). Integrating cross-border acquisitions: A process oriented approach. Long Range Planning, 40, 202–222. Cording, M., Christmann, P., & King, D. R. (2008). Reducing causal ambiguity in acquisition integration: Intermediate goals as mediators of integration decisions and acquisition performance. Academy of Management Journal, 51(4), 744–767. Cycyota, C. S., & Harrison, D. A. (2006). What (not) to expect when surveying executives. Organizational Research Methods, 9, 133–160. Dafi, R. L., & Lengel, R. H. (1986). Organizational information requirements, media richness and structural design. Management Science, 32(5), 554–571. Datta, D. (1991). Organizational fit and acquisition performance: Effects of postacquisition integration. Strategic Management Journal, 12(4), 281–297. Datta, D. K., & Yu, P. L. (1991). Corporate acquisitions, the merging of habitual domains. Human Systems Management, 10, 47–60. de Beaufort, V., & Lempereur, A. P. (2003). Negotiating mergers and acquisitions in the European Union. In P. Ghauri & J. Usunier (Eds.), International business negotiation (pp. 291–324). Oxford, UK: Pergamon. DeRue, D. S., Conlon, D. E., Moon, H., & Willaby, H. W. (2009). When is straightforwardness a liability in negotiations? The role of integrative potential and structural power. Journal of Applied Psychology, 94(4), 1032. Drolet, A. L., & Morris, M. W. (2000). Rapport in conflict resolution: Accounting for how face-to-face contact fosters mutual cooperation in mixed-motive conflicts. Journal of Experimental Social Psychology, 36(1), 26–50. Fang, T., Fridh, C., & Schultzberg, S. (2004). Why did the Telia–Telenor merger fail? International Business Review, 13(5), 573–594. Fornell, C., & Bookstein, F. L. (1982). Two structural equation models: LISREL and PLS applied to consumer exit-voice theory. Journal of Marketing Research, 19, 440–452. Fornell, C., & Larcker, D. F. (1981). Structural equation models with unobservable variables and measurement error: Algebra and statistics. Journal of Marketing Research, 18(3), 328–388. Gelfand, M., & Dyer, N. (2000). A cultural perspective on negotiation: Progress, pitfalls, and prospects. Applied Psychology, 49(1), 62–99. Gelfand, M. J., & Brett, J. M. (2004). The handbook of negotiation and culture. Stanford, CA: Stanford University Press. Gelfand, M. J., & Christakopoulou, S. (1999). Culture and negotiator cognition: Judgment accuracy and negotiation processes in individualistic and collectivistic cultures. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 79(3), 248–269. Gelfand, M. J., Higgins, M., Nishii, L. H., Raver, J. L., Dominguez, A., Murakami, F., et al. (2002). Culture and egocentric perceptions of fairness in conflict and negotiation. Journal of Applied Psychology, 87(5), 833. Gelfand, M. J., Major, V. S., Raver, J. L., Nishii, L. H., & O’Brien, K. (2006). Negotiating relationally: The dynamics of the relational self in negotiations. The Academy of Management Review, 31(2), 427–451. Gelfand, M. J., Raver, J. L., Nishii, L., Leslie, L. M., Lun, J., Lim, B. C., et al. (2011). Differences between tight and loose cultures: A 33-nation study. Science, 332(6033), 1100. Gelfand, M. J., & Realo, A. (1999). Individualism–collectivism and accountability in intergroup negotiations. Journal of Applied Psychology, 84(5), 721–736. George, J. M., Jones, G. R., & Gonzalez, J. A. (1998). The role of affect in crosscultural negotiations. Journal of International Business Studies, 29(4), 749–772.



11



Ghauri, P., & Fang, T. (2001). Negotiating with the Chinese: A socio-cultural analysis. Journal of World Business, 36(3), 303–325. Ghauri, P. N. (2003). A framework for international business negotiations. In G. J. C. Usunier (Ed.), International business negotiations (pp. 3–22). Kidlington, Oxford: Pergamon. Ghauri, P. N., & Usunier, J.-C. (2003). International business negotiations. Kidlington, Oxford: Pergamon. Gomes, E., Weber, Y., Brown, C., & Tarba, S. Y. (2011). Mergers, acquisitions and strategic alliances: Understanding the process. USA & UK: Palgrave Macmillan. Go¨tz, O., Liehr-Gobbers, K., & Krafft, M. (2009). Evaluation of structural equation models using the partial least squares (PLS) approach. In V. E. Vinzi, W. W. Chin, J. Heneseler, & H. Wang (Eds.), Handbook of Partial Least Squares: Concepts, Methods and Applications. Berlin: Springer. Graham, J. L. (1985a). Cross-cultural marketing negotiations: A laboratory experiment. Marketing Science, 4(2), 130–146. Graham, J. L. (1985b). The influence of culture on the process of business negotiations: An exploratory study. Journal of International Business Studies, 16(1), 81–96. Graham, J. L. (1993). The Japanese negotiation style: Characteristics of a distinct approach. Negotiation Journal, 9(2), 123–140. Graham, J. L., & Lam, N. M. (2003). The Chinese negotiation. Harvard Business Review, 81(10), 82–91. Graham, J. R., & Harvey, C. R. (2001). The theory and practice of corporate finance: Evidence from the field. Journal of Financial Economics, 60, 187–243. Graham, J. L., Mintu, A. T., & Rodgers, W. (1994). Explorations of negotiation behaviors in ten foreign cultures using a model developed in the United States. Management Science, 72–95. Greenhalgh, L., Neslin, S. A., & Gilkey, R. W. (1985). The effects of negotiator preferences, situational power, and negotiator personality on outcomes of business negotiations. Academy of Management Journal, 28(1), 9–33. Gudergan, S. P., Ringle, C. M., Wende, S., & Will, A. (2008). Confirmatory tetrad analysis in PLS path modeling. Journal of Business Research, 61(12), 1238–1249. Hair, J. F., Sarstedt, M., Ringle, C. M., & Mena, J. A. (2012). An assessment of the use of partial least squares structural equation modeling in marketing research. Journal of the Academy of Marketing Science, 40(3), 414–433. Hambrick, D. C., & Cannella, A. A., Jr. (1993). Relative standing: A framework for understanding departures of acquired executives. Academy of Management Journal, 36(4), 733–762. Harzing, A.-W. (1997). Response rates in international mail surveys: Results of a 22-country study. International Business Review, 6(6), 641–665. Haspeslagh, P., & Jemison, D. B. (1991). Managing Acquisitions: Creating Value Through Corporate Renewal. New York, NY: The Free Press. Henseler, J., Ringle, C. M., & Sinkovics, R. R. (2009). The use of partial least squares path modeling in international marketing. In R. Rudolf, Sinkovics, N. Pervez, & Ghauri (Eds.), Advances in International Marketing (vol. 20, pp. 277–320). Bingley, UK: Emerald Group. Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences. Sage. Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations. London: Sage. House, R. J., Hanges, P. J., Javidan, M., Dorfman, P. W., & Gupta, V. (2004). Culture, leadership, and organization: The GLOBE study of 62 societies. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Kavanagh, M. H., & Ashkanasy, N. M. (2004). Management approaches to merger evoked cultural change and acculturation outcomes. In S. Finkelstein, & C. L. Cooper (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. 3, pp. 1–33). New York, NY: JAI. Kavanagh, M. H., & Ashkanasy, N. M. (2006). The impact of leadership and change management strategy on organizational culture and individual acceptance of change during a merger. British Journal of Management, 17, S81–S103. Kiefer, T. (2002). Understanding the emotional experience of organizational change: Evidence from a merger. Advances In Developing Human Resources, 4(1), 39–61. Kiefer, T. (2005). Feeling bad: Antecedents and concequences of negative emotions in ongoing change. Journal of Organizational Behavior, 26, 875–897. Kirkman, B. L., Lowe, K. B., & Gibson, C. B. (2006). A quarter century of culture’s consequences: A review of empirical research incorporating Hofstede’s cultural values framework. Journal of International Business Studies, 37(3), 285–320. Konstantopoulos, N., Sakas, D., & Triantafyllopoulos, Y. (2009). Lessons from a case study for Greek banking M&A negotiations. Management Decision, 47(8), 1300–1312. Krishnan, H. A., Miller, A., & Judge, W. Q. (1997). Diversification and top management team complementarity: Is performance improved by merging similar or dissimilar teams? Strategic Management Journal, 18, 361–375. Kumar, R. (2004). Culture and emotions in intercultural negotiations: An overview. In M. J. Gelfand & J. M. Brett (Eds.), The handbook of negotiation and culture (pp. 95–113). Stanford, CA: Stanford University Press. La Piana, D., & Hayes, M. (2005). M&A in the nonprofit sector: Managing merger negotiations and integration. Strategy and Leadership, 33(2), 11–16. Kusstatscher, V., & Cooper, C. L. (2005). Managing Emotions in Mergers and Acquisitions. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing. Kusstatscher, V. (2006). Cultivating positive emotions in mergers and a acquisitions. In S. Finkelstein, & C. L. Cooper (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. 5, pp. 91–103). New York, NY: JAI. Larsson, R., & Finkelstein, S. (1999). Integrating strategic, organizational, and human resource perspectives on mergers and acquisitions: A case survey of synergy realization. Organization Science, 10(1), 1–26.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 12



M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx



Larsson, R., & Lubatkin, M. (2001). Achieving acculturation in mergers and acquisitions: An international case survey. Human Relations, 54(12), 1573–1607. Lee, K., Yang, G., & Graham, J. L. (2006). Tension and trust in international business negotiations: American executives negotiating with Chinese executives. Journal of International Business Studies, 37(5), 623–641. Leung, K. (1997). Negotiation and reward allocations across cultures. In P. C. Earley & M. Erez (Eds.), New perspectives on international industrial/organizational psychology (pp. 640–675). San Francisco: Jossey-Bass. Lewicki, R. J., Weiss, S. E., & Lewin, D. (1992). Models of conflict, negotiation and third party intervention: A review and synthesis. Journal of Organizational Behavior, 13(3), 209–252. Lewis, S. A., & Fry, W. R. (1977). Effects of visual access and orientation on the discovery of integrative bargaining alternatives. Organizational Behavior and Human Performance, 20(1), 75–92. Liu, Y., & Woywode, M. (2011). Chinese M&A in Germany. In I. Alon, M. Fetscherin, & P. Gugler (Eds.), Chinese international investments. UK/Hampshire: Palgrave Macmillan. Lubatkin, M., Merchant, H., & Srinivasan, N. (1993). Construct validity of some unweighted product-count diversification measures. Strategic Management Journal, 14, 433–449. Luo, Y. (1999). Toward a conceptual framework of international joint venture negotiations. Journal of International Management, 5(2), 141–165. Luo, Y., & Shenkar, O. (2002). An empirical inquiry of negotiation effects in crosscultural joint ventures. Journal of International Management, 8(2), 141–162. Meyer, C. B., & Altenborg, E. (2008). Incompatible strategies in international mergers: The failed merger between Telia and Telenor. Journal of International Business Studies, 39(3), 508–525. Morosini, P., Shane, S., & Singh, H. (1998). National cultural distance and crossborder acquisition performance. Journal of International Business Studies, 29(1), 137–158. Mukherjee, T. K., Kiymaz, H., & Baker, H. K. (2004). Merger motives and target valuation: a survey of evidence from CFOs. Journal of Applied Finance, 14(2), 7–24. Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychological theory. New York: McGrawHill. Paik, Y., & Tung, R. L. (1999). Negotiating with East Asians: How to attain ‘‘winwin’’ outcomes. Management International Review, 39(2), 103–122. Podsakoff, P. M., MacKenzie, S. B., Lee, J. Y., & Podsakoff, N. P. (2003). Common method biases in behavioral research: A critical review of the literature and recommended remedies. Journal of Applied Psychology, 88, 879–903. Ranft, A. L., Michael, D., & Lord, M. D. (2000). Acquiring new knowledge: The role of retaining human capital in the acquisition of high-tech firms. Journal of High Technology Management Research, 11(2), 295–319. Ranft, A. L., & Lord, M. D. (2002). Acquiring new technologies and capabilities: A grounded model of acquisition implementation. Organization Science, 13(4), 420–441. Rao, A., & Schmidt, S. M. (1998). A behavioral perspective on negotiating international alliances. Journal of International Business Studies, 29(4), 665–693. Reus, T. H., & Lamont, B. T. (2009). The double-edged sword of cultural distance in international acquisitions. Journal of International Business Studies, 40, 1298–1316. Riad, S., Vaara, E., & Zhang, N. (2012). The intertextual production of international relations in mergers and acquisitions. Organization Studies, 33(1), 121–148. Ringle, C. M., Wende, S., & Will, A. (2005). SmartPLS 2.0 M3. Available at http:// www.smartpls.de. Risberg, A. (1999). Ambiguities thereafter: An interpretive approach to acquisitions. Malmo: Lund University Press. Sales, A., & Mirvis, P. (1984). When cultures collide: issues in acquisition. In J. Kimberly & R. Quinn (Eds.), New Futures: the challenge of managing corporate transition. Illinois: Irwin, Homewood. Saorı´n-Iborra, M. C. (2008). Time pressure in acquisition negotiations: Its determinants and effects on parties’ negotiation behaviour choice. International Business Review, 17(3), 285–309. Saorı´n-lborra, M. C. (2006). A review of negotiation outcome: A proposal on delimitation and subsequent assessment in joint venture negotiations. Revue Canadienne des Sciences de l’Administration, Canadian Journal of Administrative Sciences 23(3), 237–252. Sarala, R. M. (2010). The impact of cultural differences and acculturation factors on post-acquisition conflict. Scandinavian Journal of Management, 26(1), 38–56. Sarala, R. M., & Vaara, E. (2010). Cultural differences, convergence, and crossvergence as explanations of knowledge transfer in international acquisitions. Journal of International Business Studies, 41(8), 1365–1390. Schweiger, D. M., & Denisi, A. S. (1991). Communication with employees following a merger – A longitudinal field experiment. Academy of Management Journal, 34(1), 110–135. Scheck, C. L., & Kinicki, A. G. (2000). Identifying the antecedents of coping with an organizational acquisition: A structural assessment. Journal of Organizational Behavior, 21, 627–648. Schoenberg, R. (2004). Dimensions of management style compatibility and crossborder acquisitions outcome. In S. Finkelstein, & C. L. Cooper (Eds.), Advances in Mergers andAcquisitions (vol. 3, pp. 149–175). New York, NY: JAI. Schweiger, M. D., & Goulet, P. K. (2000). Integrating mergers and acquisitions: An international research review. In C. Cooper, & A. Gregory (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. I, pp. 61–91). New York, NY: JAI.



Schweiger, M. D., & Goulet, P. K. (2005). Facilitation acquisition integration through deep – level cultural learning interventions: A longitudinal field experiment. Organization Studies, 26(10), 1477–1499. Schweiger, D., & Very, P. (2003). Creating value through merger and acquisition integration. In S. Finkelstein, & C. L. Cooper (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. 2, pp. 1–26). New York, NY: JAI. Sebenius, J. K. (1998). Negotiating cross-border acquisitions. MIT Sloan Management Review, 39(2), 27–41. Sebenius, J. K. (2002a). Caveats for cross-border negotiators. Negotiation Journal, 18(2), 121–133. Sebenius, J. K. (2002b). The hidden challenge of cross-border negotiations. Harvard Business Review, 80(3), 76–85. Sebenius, J. K., & Qian, C. J. (2008). Cultural notes on Chinese negotiating behavior. Harvard Business School working paper no. 09-076. Shrivastava, P. (1986). Smoothing postmerger integration. Journal of Business Strategy, 7(1), 65–76. Singelis, T. M., & Brown, W. J. (1995). Culture, self, and collectivist communication: Linking culture to individual behavior. Human Communication Research, 21(3), 354–389. Sinkovics, R. R., Zagelmeyer, S., & Kusstatscher, V. (2011). Between merger and syndrome: The intermediary role of emotions in four cross-border M&As. International Business Review, 20(1), 27–47. Stahl, G. K., & Voigt, A. (2008). Do cultural differences matter in mergers and acquisitions? A tentative model and examination. Organization Science, 19(1), 160–176. Tarba, S.Y. (2009). The Effect of National and Organizational Culture Differences and of Synergy Potential on the Choice and Implementation of a Post-Acquisition Integration Approach, and on Its Effectiveness. Unpublished Ph.D. dissertation, Ben-Gurion University, Israel. Tarba, S. Y., Almor, T., & Benyamini, H. (2011). A comparative anatomy of two cross-border acquisitions by Teva pharmaceutical industries. In C. L. Cooper, & S. Finkelstein (Eds.), Advances in mergers and acquisitions (Vol. 10, pp. 75–102). Emerald Group Publishing Limited. Thompson, L. L., Wang, J., & Gunia, B. C. (2010). Negotiation. Annual Review of Psychology, 61, 491–515. Tinsley, C. H. (2001). How negotiators get to yes: Predicting the constellation of strategies used across cultures to negotiate conflict. Journal of Applied Psychology, 86(4), 583. Tinsley, C. H., Curhan, J. J., & Kwak, R. S. (1999). Adopting a dual lens approach for examining the dilemma of differences in international business negotiations. International Negotiation, 4(1), 5–22. Tse, D. K., Francis, J., & Walls, J. (1994). Cultural differences in conducting intra-and inter-cultural negotiations: A Sino-Canadian comparison. Journal of International Business Studies, 25(3), 537–555. Valley, K. L., Moag, J., & Bazerman, M. H. (1998). ‘A matter of trust’: Effects of communication on the efficiency and distribution of outcomes. Journal of Economic Behavior & Organization, 34(2), 211–238. Very, P., & Schweiger, D. (2001). The acquisition process as a learning process: Evidence from a study of critical problems and solutions in domestic and crossborder deals. Journal of World Business, 36, 11–32. Wade-Benzoni, K. A., Hoffman, A. J., Thompson, L. L., Moore, D. A., Gillespie, J. J., & Bazerman, M. H. (2002). Barriers to resolution in ideologically based negotiations: The role of values and institutions. Academy of Management Review, 27(1), 41–57. Walsh, J. P. (1989). Doing a deal: Merger and acquisition negotiations and their impact upon target company top management turnover. Strategic Management Journal, 10(4), 307–322. Weber, Y. (1996). Corporate cultural fit and performance in mergers and acquisitions. Human Relations, 49(9), 1181–1202. Weber, Y., Tarba, S. Y., & Reichel, A. (2009). International mergers and acquisitions performance revisited - The role of cultural distance and post-acquisition integration approach. In C. Cooper, & S. Finkelstein (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. 8, pp. 1–17). UK: Emerald Publishing. Weber, Y., Tarba, S. Y., & Reichel, A. (2011). A model of the influence of culture on integration approaches and international mergers and acquisitions performance. International Studies of Management and Organization, 41(3), 9–24. Weber, Y., Belkin, T., & Tarba, S. Y. (2011). Negotiation, cultural differences, and planning in mergers and acquisitions. Journal of Transnational Management, 16(2), 107–115. Weber, Y., Rachman-Moore, D., & Tarba, S. Y. (2011). HR practices during postmerger conflict and merger performance. International Journal of Cross-Cultural Management, 12(1), 73–99. Weber, Y., Tarba, S. Y., & Reichel, A. (2009). International mergers and acquisitions performance revisited - The role of cultural distance and post-acquisition integration approach. In C. Cooper, & S. Finkelstein (Eds.), Advances in Mergers and Acquisitions (vol. 8, pp. 1–17). UK: Emerald Publishing. Weber, Y., Shenkar, O., & Raveh, A. (1996). National and corporate cultural fit in mergers/acquisitions: An exploratory study. Management Science, 42(8), 1215–1227. Weber, Y., & Tarba, S. Y. (2010). Human resource practices and performance of mergers and acquisitions in Israel. Human Resource Management review, 20(3), 203–211. Weber, Y., Tarba, S. Y., & Bachar, Z. R. (2011). Mergers and acquisitions performance paradox: The mediating role of integration approach. European Journal of International Management, 5(4), 373–393.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001



G Model



IBR-1226; No. of Pages 13 M.F. Ahammad et al. / International Business Review xxx (2015) xxx–xxx ¨ berg, C. (2014). A comprehensive guide to mergers and Weber, Y., Tarba, S. Y., & O acquisitions: Managing the critical success factors across every stage of the M&A process. New York/London: Pearson/Financial Times Press. Weber, Y., Tarba, S. Y., & Reichel, A. (2011). A model of the influence of culture on integration approaches and international mergers and acquisitions performance. International Studies of Management and Organization, 41(3), 9–24. Weber, Y., Teerikangas, S., Rouzies, A., & Tarba, S. Y. (2011). Cross-cultural management in mergers and acquisitions. European Journal of International Management, 5(4), 319–326. (editorial). Weingart, L. R., & Olekalns, M. (2004). Communication processes in negotiation: Frequencies, sequences, and phases. In M. J. Gelfand & J. M. Brett (Eds.), The handbook of negotiation and culture (pp. 143–157). Stanford, CA: Stanford University Press. Weiss, S. E. (1993). Analysis of complex negotiations in international business: The RBC perspective. Organization Science, 4(2), 269–300. Weiss, S. E. (2006). International business negotiation in a globalizing world: Reflections on the contributions and future of a (sub) field. International Negotiation, 11(2), 287–316. Wiltermuth, S. S., & Neale, M. A. (2011). Too much information: The perils of nondiagnostic information in negotiations. Journal of Applied Psychology, 96(1), 192–201. Whitfield, J., Lamont, B., & Sambamurthy, V. (1996). The effects of organization design on medium richness in multinational enterprises. Management Communication Quarterly, 10(2), 209–226. Mohammad Faisal Ahammad is a Reader at Sheffield Business School, Sheffield Hallam University, UK. Dr Ahammad is an active researcher in the field of international business and finance, in particular in the area of cross border mergers and acquisitions (M&As) on which he holds a PhD degree from the University of Sheffield. Dr. Ahammad has published his research studies in International Business Review, International Journal of Human Resource Management, Human Resource Management (USA), International Studies of Management & Organization, European Journal of International Management, and others. His current projects include: pre-acquisition evaluation and cross border acquisition performance, post-acquisition issues and cross-border acquisition performance. Shlomo Y. Tarba is an Associate Professor (Reader) in Business Strategy at the Birmingham Business School, University of Birmingham, UK. He received his PhD in Strategic Management from Ben-Gurion University and Master’s in Biotechnology degree at the Hebrew University of Jerusalem, Israel. His research interests include strategic agility, organizational ambidexterity and innovation, and mergers and acquisitions. Prof. Tarba is a member of the editorial board of British Journal of Management, Human Resource Management (US, Wiley), and Management International Review. His research papers are published/forthcoming in journals such as Journal of Management (SAGE), Academy of Management Perspectives, California Management Review, British Journal of Management, Management International Review, International Journal of Human Resource Management, Human Resource Management Review, International Studies of Management & Organization, Thunderbird International Business Review, and others. One of his papers has been selected and published in Best Paper Proceedings of the Academy of Management (USA) in 2006. Prof. Tarba’s recent two



13



co-authored books are A Comprehensive Guide to Mergers & Acquisitions: Managing the Critical Success Factors Across Every Stage of the M&A Process by Pearson & Financial Times Press (2014), and Mergers, Acquisitions, and Strategic Alliances: Understanding The Process by Palgrave Macmillan (2011). His consulting experience includes biotechnological and telecom companies, as well as industry association such as The Israeli Rubber and Plastic Industry Association, and The US – Israel Chamber of Commerce Yipeng Liu is a Senior Lecturer (Associate Professor) in Entrepreneurship at Birmingham Business School, University of Birmingham, UK. He holds a doctorate in Management from Mannheim University, Germany, and obtained professional education and training on Harvard Participants-Centerd Learning methods (HBS-PCL) from European Entrepreneurship Colloquium (EEC 2010) at IESE Business School. His research interests include entrepreneurship and innovation, business sustainability, and Mergers & Acquisitions. His work is published/forthcoming in Human Resource Management (US, Wiley), Management International Review, Thunderbird International Business Review, among others. Dr. Liu served as a guest editor for the special issues at Thunderbird International Business Review and International Journal of Human Resource Management. Keith Glaister is Associate Dean and Professor of International Business. Before joining Warwick Business School, he was Dean of Sheffield University Management School (2005-2013) and before that Pro Dean for Learning and Teaching at Leeds University Business School, where he was also Professor of International Strategic Management. As a leading researcher in the field of international strategic management, he has published 5 books and over 80 articles and book chapters. His main research focuses on the analysis of formation, partner selection, management and performance of international joint ventures and strategic alliances. Prof. Glaister has published in Strategic Management Journal, Journal of World Business, Journal of Management Studies, Organization Studies, British Journal of Management, Management International Review, and others. He is an Editorial Board member of the British Journal of Management and several other journals. He was recently re-elected to be a member of the Council of the British Academy of Management. Cary L. Cooper is Distinguished Professor of Organizational Psychology and Health. He is the author/editor of over 120 books (on occupational stress, women at work and industrial and organizational psychology), has written over 400 scholarly articles for academic journals, and is a frequent contributor to national newspapers, TV and radio. He is currently Founding Editor of the Journal of Organizational Behavior and Editor-inChief of the medical journal Stress & Health. He is a Fellow of the British Psychological Society, The Royal Society of Arts, The Royal Society of Medicine, The Royal Society of Public Health, The British Academy of Management and an Academician of the Academy of Social Sciences. Professor Cooper is past President of the British Academy of Management, is a Companion of the Chartered Management Institute and one of the first UK based Fellows of the (American) Academy of Management (having also won the 1998 Distinguished Service Award for his contribution to management science from the Academy of Management). In 2001, Prof. Cooper was awarded a CBE in the Queen’s Birthday Honours List for his contribution to occupational safety and health. He currently serves as a guest co-editor for the special issue on ‘‘Emotions and stress in the global interorganizational encounters’’ at International Business Review.



Please cite this article in press as: Ahammad, M. F., et al. Exploring the factors influencing the negotiation process in cross-border M&A. International Business Review (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.ibusrev.2015.06.001