Makalah Konflik Damai Dan Harmoni [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang



Individu  mempunyai sifat yang sangat unik dengan keinginan, kebutuhan, dan tujuan yang berbeda­beda. Konflik merupakan adanya suatu perbedaan pendapat yang berarti berbeda keinginan, karna pada dasarnya konflik ini bersumber dari keinginan dan tidak semuanya pendapat yang berbeda itu dinamakan konflik. Konflik ini merupakan adanya suatu proses yang terjadi karena munculnya ketidak sepakatan dan ketidak sesuaian antar kedua pendapat tersebut yang tidak sepadaan  (berbeda sudut pandang) baik itu positif maupun negatife. Konflik ini mempunyai ciri­ciri yang dilatarbelakangi oleh individual dalam suatu interaksi. Perbedaan­ perbedaan konflik diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,  adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena adanya ciri­ciri individual dalam suatu interaksi sosial, maka konflik tersebut merupakan hal yang wajar dalam setiap bermasyarakat dan tidak sekali pun masyarakatnya pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik tersebut akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik tidak jauh dari sebuah perselisihan , kekerasan atau pertengkaran dengan pihak lain, karena konflik yang di latar belakangi oleh sebuah hal yang tidak sehat dan terpimpin kecil kemungkinan untuk  penyelesaian permasalahan yang terjadi. Konflik tersebut bertentangan dengan adanya integrasi, agar konflik dan integrasi dapaberjalan sebagai sebuah siklus dimasyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Maka dari itu dalam makalah ini menjelaskan permasalahan konflik yang yang terjadi di masyarakat dalam berbagai bidang, sehingga pembaca dapat memahami dan mendapatkan konflik yang sehat dan efektif.



1.2 Rumusan Masalah 1.



Apa definisi konflik?



2.



Apa saja jenis­jenis konflik



3.



Bagaimana cara mengurai konflik?



1.3



Tujuan



Adapun tujuan penyusunan makalah ini untuk mengetahui; definisi konflik, jenis konflik dan cara mengurai konflik



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Pengertian Konflik



      Konflik merupakan adanya suatu proses yang terjadi karena ketidak sesuian dan kesepakatan yang antara kedua pendapat yang tidak sepadan (berbeda sudut pandang) baik itu positif maupun negatif. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti berbeda keinginan,karna pada dasarnya konflik bersumber dari keinginan, dan tidak semuanya pendapat yang berbeda itu dinamakan konflik. Konflik tidak selalu dihindari , karena tidak selalu konflik yang mengandung negatif, dengan cara mengatasi konflik dan menanggulangi dengan keinginan dan perundingan antara kedua belah pihak maka kita dapat mengatasi konflik yang terjadi , atau dengan adanya musyawarah. Ada beberapa definisi konflik menurut para ahli: 1.



Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok



dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249). 2.



Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku­perilaku komunikasi



(Folger & Poole: 1984). 3.



Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan



kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.



4.



Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada



tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. 2.2 Konflik memiliki beber apa jenis, antar a lain: 1.



Konflik Intrapersonal



Yaitu konflik dengan dirinya sendiri , di sumberkan karena seseorang memiliki dua keinginan yang ingin di penuhi dalam waktu sama dan tak mungkin terpenuhi sekaligus. Kita lihat di jaman sekarang ini orang ingin memiliki kebutuhan dan peranan­peranan yang bersaing. 2.



Konflik Interpersonal



Konflik



Interpersonal



adalah



pertentangan



antar



seseorang



dengan



orang



lain



karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain­lain. 3.



Konflik antar Individu dan Kelompok



  Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan­tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.   4.



Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama



Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi­organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok. 5.



Konflik antara organisasi



Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara­negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk­produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien. Konflik juga mempunyai berbagai sumber diantaranya ; 1 . Konflik menyangkut informasi Pada banyak kejadian, pihak­pihak yang berkonflik tidak memiliki informasi yang cukup, atau bahkan tidak meiliki informasi yang sama tentang suatu situasi. Mengumpulkan dan mengklarifikasikan fakta­fakta yang diperlukan dapat menolong meredakan ketegangan yang terjadi.dalam situasi berbeda,pihak­pihak yang bertikai menafsirkan informasi dengan cara yang berlainan atau memberikan bobot kepentigan yang berbeda terhadap informasi yang sama. Diskusi yang terbuka dan masukan dari pihak yang dapat dipercaya akan membantu dalam menilai relevansi dari informasi yang tersedia.  



2.



KonflikmenyangkutSumberdaya Konflik menyangkut berbagai sumberdaya seperti tanah,



uang atau benda lain biasanya mudah diidentifikasikan dan sering diselesaikan lewat jalan tawar­ menawar / negosiasi. Namun, kadang­kadang walaupun dipermukaan pihak­pihak yang berkonflik seolah saling mempertikaikan sumberdaya tertentu, tetapi sesungguhnya konflik itu menyangkut suatu perkara lain, mungkin tentang relasi atau kebutuhan psikologis salah satu atau kedua belah pihak 3.



KonfliktentangRelasi Dalam hubungan keluarga, kemitraan bisnis atau organisasi



kemasyarakatan, orang sering berselisih pendapat tentang berbagai perkara, tetapi kadang­ kadang saling ketergantungan yang tercipta oleh relasi mereka itu melahirkan dimensi destruktif pada aneka perbedaan yang terjadi yang semestinya mudah diselesaikan. Berbagai kejadian dimasa lampau atau kesan dan prasangka yang sudah terbentuk selama bertahun­tahun dapat membuat orang menjadi sangat kaku atau tidak mau mencoba menempuh solusi yang sangat jelas yang berkaitan dengan tujuan, peranan, tangung jawab, dan perbedaan pandangan yang ada. 4.



Konflik Kepentingan atau Kebutuhan, Aneka kebutuhan manusiawi yang penting dan



kuat seperti kebutuhan akan jati diri, harga diri, atau partisipasi seringkali menjadi inti konflik yang di permukaan terkesan seperti persaingan menyangkut benda­benda materi belaka. Kesempatan yang konstruktif bagi individu atau kelompok masyarakat untuk mengungkapkan aneka kebutuhan mereka dan merasakan bahwa diri mereka telah didengarkan seringkali amat menentukan dalam mengatasi jenis­jenis kebutuhan ini. Pemecahan jangka panjang terhadap suatu konflik yang berkisar pada sumberdaya seringkali ditentukan baik oleh penguasa aneka kepentingan atau kebutuhan orang­oarang yang terlibat maupun oleh pembagian berbagai sumberdaya tersebut secara adil.



5.



KonflikMenyangkut StrukturStruktur kemasyarakatan dan organisasi menentukan siapa



yang memiliki akses pada kekuasaan atau sumberdaya, siapa yang wajib ltern hormat kepada siapa, dan siapa yang memiliki wewenang untuk membuat berbagai keputusan. Konflik menyangkut atau di dalam struktur seringkali melibatkan persoalan tentang keadilan dan tujuan­ tujuan yang saling tidak sejalan. Konflik­konflik semacam itu seringkali menuntut usaha bertahun­tahun untuk menghasilkan perubahan yang konstruktif. 6.



Konflik Menyangkut Nilai­Nilai Hidup Berbagai nilai hidup dan keyakinan dibentuk oleh



pengalaman hidup dan iman kepercayaan. Karena ancaman terhadap nilai hidup seseorang seringkali dipandang sebagai ancaman terhadap jati dirinya, maka konflik­konflik menyangkut nilai­nilai hidup biasanya paling sulit dipecahkan. Kebanyakan orang bereaksi secara lternati terhadap ancaman semacam ini dan menolak untuk bernegosiasi, mengira bahwa pemecahan konflik tersebut menuntut mereka untuk mengubah nilai­nilai hidup. Dalam kenyataan, dengan ltern kesempatan kepada orang yang bertikai untuk menjernihkan nilai­nilai hidup mereka dan merasa bahwa mereka telah didengarkan serta dipahami seringkali langkah itu dapat membuat mereka meniggalkan sikap lternati dan belajar hidup bersama dengan saling menerima berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.   2.2



Mengurai konflik Dalam



Dua ltern terakhir realitas harmoni Indonesia kerap terkoyak oleh serangkaian konflik berbau kekerasan (violence conflicts) yang marak merebak di berbagai daerah. Selain menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit, konflik juga mengakibatkan dampak ltern yang luar biasa.



Berbagai konflik komunal bukan hanya sangat mengganggu stabilitas nasional tetapi juga mengancam integrasi bangsa. Komunitas kebangsaan yang diangankan sebagai sebuah bangunan yang solid, sontak berubah menjadi sebuah komunitas semu yang menurut Benedict Anderson (2002) tak lebih hanya sebatas komunitas imajiner. Inilah sebetulnya tantangan terberat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tersusun secara multikultur, multietnik, dan multiagama yang rapuh dan rentan jatuh dalam perpecahan, jika bangsa ini gagal mengelolanya secara baik. Menyikapi serangkaian konflik yang muncul diperlukan perhatian dari semua pihak. Berbagai upaya penanganan konflik yang selama ini dilakukan elit masyarakat maupun pemerintah terkesan hanya menyelesaikan atau mengakhiri konflik, belum mengarah pada upaya transformasi konflik (conflict transformation) secara berkesinambungan. Akibatnya, meskipun konflik terlihat berhenti tetapi potensi konflik yang sama lte saja muncul di lain waktu. Keberadaanya biasanya mengiringi dinamika sebuah masyarakat. Eksistensi konflik dengan demikian merupakan sesuatu yang alamiah dan wajar. Akan tetapi ketika konflik telah mengarah pada tindak kekerasan dan anarkhi maka dampak positif konflik sebagai sarana kohesivitas dan soliditas sebuah grup, kemudian berubah menjadi sesuatu yang desktruktif. Untuk itu diperlukan upaya lternative yang berbeda dari cara­cara penyelesaian konflik yang selama ini ada. Konflik: Konsepsi dan Resolusi Konflik merupakan kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan atau karena ketidakseimbangan atau kesenjangan status ltern, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya serta sudut pandang terhadap suatu permasalahan. Konflik merupakan  fenomena yang selalu



hadir (inherent omnipresence) dalam suatu komunitas. Pada tingkatan ini, konflik sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang menyertai pola interaksi manusia sepanjang masa. Persoalannya adalah ketika konflik berubah menjadi kekerasan atau anarkhi apalagi dengan melibatkan massa dalam jumlah yang sangat banyak. Harmoni ltern yang telah terbangun biasanya akan berubah menjadi kekacauan. Ada banyak teori yang menjelaskan tentang sebab­ sebab terjadinya konflik. Salah satu di antaranya adalah yang dikemukakan oleh Simon Fisher dkk (2002) yang menyebutkan beberapa teori tentang terjadinya konflik: 1.



Teori hubungan masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh



polariasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat. 2.



Teori negosiasi konflik. Menganggap bahwa konflik terjadi oleh posisi­posisi yang tidak



selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak­pihak yang mengalami konflik. 3.



Teori kebutuhan manusia. Teori ini menganggap bahwa konflik disebakan oleh



kebutuhan dasar manusia­fisik, mental dan ltern­yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaran. 4.



Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang



terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. 5.



Teori kesalahpahaman antar budaya. Teori berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh



ketidakcocokan dalam cara­cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. 6.



Teori transformasi konflik. Bahwa konflik disebabkan oleh ketidaksetaraan dan



ketidakadilan yang muncul sebagai masalah­masalah ltern, budaya dan ekonomi. Konflik kekerasan juga lte dilihat dari perspektif konflik elit. Seperti diketahui pasca reformasi, selain beberapa kerusuhan, kondisi ltern politik di Indonesia ditandai dua gejala yang mencolok yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan politik (political violence). Tarik menarik kepentingan politik elit di satu sisi dapat menyumbang proses demokratisasi, tetapi dampak buruknya dapat memunculkan pengkotak­kotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif. Sementara itu untuk menyelesaikan suatu konflik, ada beragam versi atau model resolusi konflik, salah satunya seperti ditawarkan oleh Johan Galtung (2003). Galtung menawarkan tiga model yang saling terkait, yaitu; peace keeping, peace building, peace making. Peace keeping dilakukan ketika konflik benar­benar tak lte dihentikan secara halus. Pelibatan aparat keamanan atau militer terpaksa ditempuh guna menghentikan konflik. Peace building merupakan strategi yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat konflik dengan jalan membangun jembatan komunikasi antara pihak yang terlibat. Sedangkan peace making, adalah upaya negoisasi antara kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan. Teori lain menyebutkan bahwa untuk menangani konflik diperlukan upaya yang disebut resolusi konflik. Resolusi konflik merupakan suatu lternative ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai sebuah proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik melalui beberapa tahap sesuai status konflik. Ada empat tahapan dalam resolusi konflik yaitu: 1.



Tahap de­eskalasi konflik yang menekankan pada proses penghentian kekerasan. Militer



atau aparat keamanan biasanya akan melakukan pekerjaan ini.



2.



Tahap negoisasi, langkah penyelesaian yang lebih berorientasi politik dengan melibatkan



kelompok­kelompok yang bertikai. Tujuannya adalah untuk memaksa para pihak untuk memasuki meja perundingan. 3.



Tahap problem solving approach yang lebih bernuansa ltern. Ada empat komponen



utama pada tahap problem solving approach. Pertama, masing­masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Kedua, masing­masing pihak ltern informasi yang benar tentang konflik yang sedang terjadi meliputi penyebab, trauma yang timbul, hambatan lternativ yang mungkin dihadapi dalam resolusi konflik. Ketiga, kedua belah mulai mencari lternative solusi setidaknya signal­signal menuju perdamaian. Keempat,



problem solving workshop yakni kesediaan pihak­pihak untuk menyediakan suasana kondusif bagi resolusi konflik. 4.



Tahap peace building, yakni tahap yang bersifat lternat dan lternativ. Memerlukan waktu



yang panjang dan konsistensi untuk mewujudkan perdamaian yang permanen. Dari semua konsepsi di atas, satu hal yang sangat diharapkan dalam menangani konflik adalah kesediaan pihak­pihak yang memiliki otoritas agar bertindak secara objektif dan netral. Prinsip ini perlu diambil agar pihak­pihak yang terlibat tidak ada yang merasa dirugikan dan merasa puas (satisfaction). Selain langkah­langkah yang bersifat kuratif, tentu saja perlu dilakukan tindakan­tindakan yang bersifat prefentif agar potensi konflik kekerasan dapat diantisipasi.. 2.4 Resolusi (Negar a dan Masyar akat Sipil) Multikultur al Dalam bagian solusi terkait masyarakat lternativel, banyak ahli memberikan saran untuk mengatasi konflik ltern (yang melibatkan massa) baik massa berbasis agama maupun berbasis



lternat non agama. Seperti usulan Jack Rothman, misalnya, mengusulkan dua jalur resolusi konflik. Jika konflik melibatkan massa (agama maupun non agama), harus dilakukan hal­hal: 1.



Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan lternativel, penyelesaian lter, tekanan



politik dan ekonomi. 2.



Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu



menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat. 3.



Tindakan lternativ, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam



menghadapi realitas ltern, politik dan ekonomi 4.



tindakan lternati, yakni melakukan proses pembangunan persepsi dan keyakinan



masyarakat akan ltern ltern yang akan dicapai. Sementara untuk konflik kekerasan yang lebih bersifat vertical, perlu dilakukan dengan jalan rekonsiliasi atau penyelesaian politik yang menguntungkan masyarakat luas. Telah banyak pekerjaan dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil dalam upaya menyelesaikan konflik ltern agama (SARA) yang terjadi di Indonesia, sepanjang tahun 2000 sampai 2006 yang lalu, tetapi tetap saja konflik ltern (SARA) terus terjadi, bahkan belakangan terus berkembang pada tataran yang lebih ruwet. Jalur negosiasi, mediasi dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil sebenarnya sebagai upaya penyelesaiaan konflik SARA yang terus merebak, tetapi belum lte menghilangkan konflik­ kekerasan di nusantara. Hal ini, oleh para pengamat, sosiolog, agamawan, teolog, ahli politik dan kebijakan karena terjadinya “hegemonisasi” Negara atas rakyatnya sehingga Negara menganggap apa yang dikerjakan Negara selalu akan “diamini”, padahal tidak, kasus



tarnsmigrasi adalah contoh serius disini yang menjadikan bom waktu konflik ltern di Indonesia tahun 1997 di Sanggauledo, Sambas di Palangkaraya, di samping Ambon dan Aceh yang tidak terungkap kepermukaan karena yang dominan adalah konflik GAM­TNI. Ada persoalan serius yang seringkali dilupakan, sebenarnya secara sosiologis apa substansi konflik ltern (SARA) yang terus terjadi, karena itu penjelasan pengantar diawal tentang perlunya memetakan apa penyebab konflik ltern (SARA) dan mekanisme apa yang telah dikerjakan dalam proses penyelesaian perlu mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan dan para aktivis perdamaian. Masalah radikalisasi gerakan keagamaan memang bukan hanya “milik Islam” tetapi juga agama­agama lain, baik tradisi Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam), tetapi juga Hindu dan Buda, serta agama­agama lter yang ada di Indonesia. Semangat gethoisme Hindu Bali aliran mainstream (Mahayana) yang melarang menggunakan bahasa Pali dan Sanskerta oleh agama Kristen/Katolik dan orang Islam adalah bentuk­bentuk pemaknaan symbol yang berlebihan. Pelarangan sekolah SMU dan Rumah Sakit Kristen di Bali yang diprotes penganut Hindu di Badung dan bukit Kintamani adalah bentuk gehtoisme dalam Hinduisme di Bali. Sementara Gethoisme agama­agama lter di Palangkaraya dan Pontianak juga muncul, sehingga mereka menuntut adanya pemberlakuan nama­nama suku tertentu yang menganut agama­agama suku mereka untuk nama­nama tempat yang dipakai ltern (seperti Bandara, nama jalan dan tempat­tempat umum lainnya). Dari penjelasan di atas, ringkasnya dapat dikatakan bahwa masalah SARA di Indonesia merupakan masalah yang demikian pelik, membutuhkan ketelitian dan kejelian untuk mengurainya sehingga lte memberikan sumbangan yang memadai dalam konteks menjadikan



Indonesia sebagai lternati dunia yang masyarakatnya perlahan­lahan menjadi masyarakat yang beradab, bukan masyarakat yang uncivilized karena terbebani konflik SARA yang terus berkesinambungan dari tahun­ketahun. Dalam konteks rumitnya konflik kekerasan SARA yang seperti itu, maka Negara sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih memadai untuk terjadinya proses dialektika antar kelompok di masyarakat sehingga antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dapat saling menghargai, memahami dan bekerja sama. Tanpa ruang yang memadai untuk seluruh elemen masyarakat, yang akan terjadi adalah munculnya kekuatan­kekuatan baru yang akan menumbuhkan konflik kekerasan di masa yang akan ltern. Negara harus bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara yang damai dan agama menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya kelompoknya sendiri. Dengan demikian, resolusi konflik kekerasan berbasis agama harus dikembangkan dari hal­hal yang paling sederhana, kecil tetapi berkesinambungan, tidak mengesankan hanya karena proyek Negara, yang akan berakhir dengan bentuk­bentuk formalitas belaka. Formalisasi harus kita akhiri menuju kerja yang sistematik dan bermanfaat untuk semua. Beberapa contoh konflik yang terjadi pada masyarakat yaitu kerusuhan di Poso yang berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah tersebut bertumpu pada sub ltern budaya yang menyangkut masalah suku dan agama serta kurangnya keadilan dimana ada sebagian masyarakat yang merasa didiskriminasikan. Dimana kerusuhan diawali dengan pertikaian antarpemuda yang berbeda agama yang melakukan pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, pemusnahan dan pengusiran terhadap suku­suku pendatang seperti Bugis, Jawa dan Gorontalo yang terjadi di



Poso pada kerusuhan ke III. Kasus lain, adanya masalah pertikaian umat Islam yang berbeda aliran agama Islam. Kasus itu terjadi pada bulan oktober  2012 di Bandung, dimana salah satu Ormas Islam tidak setuju adanya umat Amadiyah di Bandung. Tempat peribadahan umat Ahmadiyah pun tak luput dari perusakan. Menurut walikota Bandung, Dada Rosada” Warga Bandung juga tidak setuju akan datangnya Ahmadiyah, karena selama ini tanpa kehadiran Ahmadiyah daerah Bandung sudah dalam keadaan kondusif”. Contoh di atas merupakan salah satu dampak lternat dari konflik ltern. Konflik ltern yang lternat akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat yaitu retaknya persatuan kelompok, perubahan kepribadian individu dan banyaknya kerugian baik harta benda, jiwa dan mental bangsa Indonesia. Permasalahan multikulturalisme membutuhkan strategi untuk memecahkan masalah tersebut. Strategi yang tepat hendaknya dimulai dari kesadaran masyarakat untuk saling menghormati keberagaman di masyarakat.    Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listyati mengingatkan, bangsa ini jangan sampai membiarkan eksistensi pancasila diragukan sebagai falsafah hidup. Sebab Dasar Negara ini merupakan cermin impian seluruh bangsa Indonesia tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diidealkan bersama dalam keberagaman. Berkaitan dengan multikulturalisme dan kekurangsiapan mental bangsa Indonesia, maka di lingkungan pendidikan harus terdapat pengajaran multikulturalisme. Karena lternat pendidikan sekarang lebih menekankan pada pengembangan intelektual dan mengabaikan pembentukan sikap moral dan penanaman nilai budaya. Saat  ditanyakan tentang multikulturalisme,  banyak yang hanya memahami secara sempit, yaitu sebatas mengetahui keberagaman budaya dan tidak



terlalu memahami bahwa persoalan multikulturalisme tidak lte hanya disandarkan pada kuantitas semata. Padahal multikulturalisme mencakup arti yang sangat luas, termasuk memahami sudut pandang serta cara berkomunikasi dan mengerti akan keberagaman dan keyakinan yang berbeda, serta sebagai salah satu  fondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan terlihat pada kekerasan dan tawuran antarpelajar yang melibatkan antarsekolah dan tidak jarang melakukan pengrusakan serta memakan korban. Berbagai sebab yang menyulut terjadinya tawuran memang beraneka ragam, akan tetapi tujuannya tidak jelas. Persoalan permasalahan yang terjadi karena kurangnya kepahaman masyarakat mengenai pengetahuan multikulturalisme. Padahal, pendidikan lternativel dapat memberikan kebijakan pendidikan berbasis karakter. 2.4  Multikultur alisme dalam Konflik Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi lter masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung lternat, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan lter, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip­prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah lternat yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai



landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah lternat yang berdiri sendiri yang terpisah dari lternat­ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep­konsep yang merupakan bangunan konsep­konsep untuk dijadikan acuan bagi yang memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep­konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Sebagai sebuah lternat lternat multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan ltern, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian­kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber­sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.



2.5 Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Fondasi Multikultur al Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah lternat yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut: Manusia tumbuh dan besar pada hubungan ltern di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana ltern



nilai di terapkan dalam berbagai ltern­simbol budaya dan ungkapan­ungkapan bangsa. 1.



Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan ltern dari masing­masing



kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme. 2.



Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat



diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan. Dewasa ini pada era globalisasi, secara teoritis, tidak mungkin ada suatu bangsa yang lternat dan monolitis. Hanya terdiri dari satu etnis atau satu agama. Globalisasi dengan salah satu wujudnya berupa  free trade, telah menciptakan ” bordeless world ”. Dunia tanpa batas. Karena barang, modal, jasa dan manusia akan mengalir dari suatu ltern ke ltern lain tanpa hambatan administrasi. Apalagi pada dasarnya memang tidak ada ltern satupun di dunia ini yang mampu hidup tanpa bantuan ltern lain. Jepang adalah ltern lternat yang kaya raya, tetapi tidak mampu mengembangkan pertanian dan perkebunan. Demikian juga dengan ltern­negara di Timur Tengah yang lternative minyak pasti memerlukan produk pertanian dan bahan makanan dari ltern lain. Hampir semua bangsa di dunia harus menerima kenyataan bahwa negaranya tergantung kepada ltern lain. Konsekuensinya mereka terpaksa menerima kehadiran bangsa lain yang berbeda secara etnis, agama maupun tradisi. Setelah ratusan tahun kemudian bangsa yang tadinya lternat menjadi heterogen. Amerika yang mayoritas berpenduduk Eropa dan Kristen harus hidup berdampingan  dengan penduduk berasal dari Afrika dan Asia yang beragama Islam. Sebaliknya Malaysia yang mayoritas Melayu beragama Islam harus hidup berdampingan dengan penduduk



dari etnis Cina beragama Kristen. Contoh heterogenitas dalam suatu ltern ini masih dapat diperpanjang lagi. Dan heterogenitas adalah sumber konflik. Konflik lternativ dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, lternativ dan mengancam keutuhan NKRI. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005, pengelolaan keragaman budaya di Indonesia dapat dilakukan dengan : 1.



Pelaksanaan dialog antar budaya yang terbuka dan demokratis.



2.



Pengembangan lternativel dalam rangka meningkatkan toleransi dalam masyarakat.



3.



Membangun kesadaran hidup lternativel menuju terciptanya keadaban.



Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan beberapa pengelolaan konflik atau lte disebut manajemen konflik, yaitu: 



Destruktif



Destruktif adalah bentuk penanganan konflik dengan menggunakan acaman, paksaan, atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau lte dikatakan individu cenderung menyalahkan. Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau individu­ individu yang terlibat di dalamnya. Konflik seperti ini misalnya terjadi pada dua remaja yang tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap permusuhan antar perorangan. Ada banyak keadaan di mana konflik dapat menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Selain itu juga banyak kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, misalnya : 1.



Perasaan cemas/tegang (ltern) yang berlebihan.



2.



Komunikasi yang kurang.



3.



Persaingan yang semakin berat.







Konstruktif



Konstruktif merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik, maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreativitas dan inovasi, meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994). Konflik ini berkebalikan dengan konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan­keuntungan dan bukan kerugiankerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya. Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, lternative untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak­pihak yang terlibat (Fisher, 2002). Menurut Johnson setiap orang memiliki Relegiusitas masing­masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas­relegiusitas ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak­ kanak dan berlanjut hingga remaja.        



       



BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan KonflikmenyangkutKepentinganatauKebutuhan Aneka kebutuhan manusiawi yang penting dan kuat seperti kebutuhan akan jati diri, harga diri, atau partisipasi seringkali menjadi inti konflik yang di permukaan terkesan seperti persaingan menyangkut benda­benda materi belaka. Kesempatan yang konstruktif bagi individu atau kelompok masyarakat untuk mengungkapkan aneka kebutuhan mereka dan merasakan bahwa diri mereka telah didengarkan seringkali amat menentukan dalam mengatasi jenis­jenis kebutuhan ini. Pemecahan jangka panjang terhadap suatu konflik yang berkisar pada sumberdaya seringkali ditentukan baik oleh penguasa aneka kepentingan atau kebutuhan orang­oarang yang terlibat maupun oleh pembagian berbagai sumberdaya tersebut secara adil. Konflik juga dapat berdampak baik tetapi Sebenarnya yang menentukan konflik bersifat merusak atau membangun bukan keberadaan konflik itu sendiri, tetapi bagaimana cara konflik tersebut di kelola. Konflik di atinga membangun jika: 1.



Hasilnya merupakan suatu persetujuan yang memperbolehkan setiap peserta mencapai



tujuannya. Persetujuan memaksimalkan hasil bersama, menguntungkan semua pihak, dan merupakan kepentingan terbaik dari semua peserta. 2.



Mempererat hubungan antar peserta dengan meningkatkan kesukaan, rasa hormat, dan



kepercayaan satu sama lain. 3.



Meningkatkan kemampuan peserta untuk memecahkan konflik satu sama lain di masa



yang akan ating secaran membangun.



DAFTAR PUSTAKA