Makalah Pemilu UU No. 7 Tahun 2017 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN I.



Latar Belakang



Pada masa sekarang ini, negara-negara di dunia hampir seluruhnya menggunakan demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Hal ini berarti kekuasaan rakyat diwakilkan oleh Badan Perwakilan Rakyat. Di negara Indonesia, salah satu cara untuk memilih wakil rakyat adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan salah satu bentuk ditegakkannya demokrasi di Indonesia. Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di Indonesia ada beberapa pemilu antara lain pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta yang terakhir pemilu Kepada Daerah yang biasanya dikenal dengan istilah Pilkada.pemilu dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) yang merupkan asasa dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 menjadi titik awal bangsa Indonesia menerapkan demokrasi, dalam hal ini rakyat yang memiliki hak pilih pada masa itu menentukan wakil-wakilnya di Badan Konstituante, sebuah badan yang akan menentukan Undang-Undang dasar Negara Indonesia melalui bilik bilik suara di seluruh Indonesia. Pemilu tersebut merupakan pemilu pertama setelah 10 tahun merdeka, serta berjalan lancar dan cukup demokrasi untuk sebuah Negara yang belum lama lepas dari penjajahan yang masih diwarnai berbagai pergolakan politik dan pemberontakan bersenjata. Hal itu menandakan bahwa sebagai sebuah bangsa Indonesia cukup solid untuk menyatukan pandangan dan langkah, sekaligus juga memiliki potensi yang sangat kuat sebagai negara



demokrasi, yang salah satu cirinya adalah terlaksananya pemilu secara berkala yang demokratis. Sejalan dengan penguatan demokrasi melalui amandemen UUD 1945, pada Tahun 2014 sistem pemilihan ini kembali berubah dari sistem pemilihan melalui DPRD menjadi sistem pemilihan langsung berdasarkan Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung menandai satu babak demokrasai deliberative yang merantas ke daerah sejalan dengan penguatan otonomi daerah. Hanya saja, memlalui Undang-Undnag Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Guberbur, Bupati dan Walikota sistem pemilihan langsung ini sempat dikoreksi lalu dikembalikan kepada mekanisme di DPRD, meski kemudian karena protes dan desakan publik juga dukungan penuh dari DPD RI yang memegang sejak awal mendukung Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akhirnya pembuat undang-undang kembali menetapkan mekanisme pilkada secara langsung melalui Undnag-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan yang terbaru Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Undang-undnag terakhir juga menetapkan Pemilihan Kepada Daerah secara langsung dilaksanakan secara serentak diharapkan dapat menghasilkan efesiensi dalam penyelenggaraanya. Sistem pemilihan langsung ini merupakan bentuk dari perwujudan di Indonesia, dimana masyarakat dilibatkan langsung dalam Pemilihan Umum. Masyarakat yang sudah memenuhi syarat dapat berhak memberikan suaranya unutuk pemilihan Kepala Negara/Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten melalui pencoblosan di TPS. Tradisi berfikir bebas atau kebebasan berfikiritu pada gilirannya memengaruhi tumbuh kembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan bersikap dan berorganisasi serta berhak memberikan suara. Namun dalam prakteknya ternyata banyak sekali permasalahan yang ditimbulkan dari sistem Pemilihan Umum secara langsung, sebut saja praktik politik uang, kecurangan pada saat perhitungan suara, polirisasi birokrasi khususnya



oleh petahana (Incumbent) keberpihakan oknum PNS kepada salah satu calon Kepala Daerah, konflik horizontal pemanfaatan fasilitas Pemerintah dan lain sebagainya. Pelaksanaan demokrasi yang mewujudkan dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Akan tetapi dalam pelaksanaan pemilu ini tidak satuppun yang dapat menjamin bahwa seluruh manusia selalu bertindak jujur dan adil dalam aspek kehidupannya dan tidak terkecuali dalam rangka pelaksanaan pemilu. Undang-undang atau berbagai peraturan memang sudah menggariskan hal-hal yang boleh dilakukan, wajib dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan (dilarang), akan tetapi dalam kenyataannya manusia sering lalai atau sengaja melanggar berbagai ketentuan atau peraturan dengan latar belakang yang berbeda termasuk dalam pelanggaran pemilu. Pemilihan umum merupakan wujud paling nyata sebagai pelaksana demokrasi apakah pihak penyelenggara (Pemerintah, KPU dan Panwaslu) atau pihak peserta pemilihan umum (Rakyat dan para calon) yang selalu melakukan pelanggaran, oleh karena itu semua pelanggaran pemilu harus bertindak, dan perbuatan yang bermaksud membuat pemilihan umum itu menjadi tidak demokratis yaitu, tida jujur dan tidak adil (Jurdil). Sebagai upaya awal oleh pemerintah untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak demokratis terhadap pelaksanaan pemilihan umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab IV tentang Kejahatan terhadap pelasanaan kewajiban dan hak kenegaraan. Selain di KUHP tindakan pidana pemilihan umum yaitu Pemilihan Kepala daerah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan DPR, DPD serta DPRD diatur masalahan tindak pidana yaitu khusunya di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UndnagUndang.



Dengan diaturnya masalah tindak pidana dalam pemilu, baik dalam KUHP maupun UndangUndang Pemilihan Umum termasuk juga aturan KPU, ini menunjukan kepada kita bahwa pembuatan undang-undang menganggap pemilu itu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi dan beragam di Indonesia. Yang sangat penting adalah bila pemilu tersenut bisa dilaksanakan dengan jujur dan adil. Tindak pidana pemilu memang memiliki ciri yang khas atau spesifik bila dibandingkan dengan tindak pidana uum, sebab Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU) hanya mungkin terjadi dalam pemilu (dalam tahapan dari proses dan pemungutan suara) karena pemilihan umum di Indonesia dilangsungkan sekali dalam 5 tahun. Maka terjadinya Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU) itu pun hanya dalam kurun waktu tersebut. Sedangkan tindak pidana lain, seperti pencurian, pembunuhan dan korupsi dan lain-lain bisa terjadi setiap waktu. Sebagai konsekuensi dari kondisi dan waktu terjadinya Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU), maka masyarakat dan aparatur negara (Pemerintah, Kepolisian, Kejaksaan dan Panwaslu) banyak yang tidak mengetahui, lupa atau kurang memahami apa dan bagaimana ketentuan dari Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU). Ketika ada yang melanggar tindak pidana pemilihan umum, ini banyak orang yang tidak sadar bahwa Pemilu dan Demokrasi telah ternoda. Kondisi demikian didukung pula adanya asumsi bahwa pemilihan umum memiliki nilai sensitivitas yang tinggi, sesuatu yang peka atau tabu untuk dipersoalkam, sehingga semakin tenggelam tentang perbuatan TPPU yang menodai pemilu dan demokrasi itu adalah kejahatan atau pelanggaran yang oleh peraturan diancam dengan hukuman yang tidak ringan. Kondisi waktu dan tidak pahamnya TPPU tidak hanya mempengaruhi masyarakat awam dan sebagian aparatur pemerintah termasuk pihak praktisi maupun sebagai pelaku politik yang



terlibat dalam proses demokrasi kelihatannya enggan untuk menegakkan hukum yang menyangkut Tindak Pidana Pemilihan Umum, akan tetapi yang lebih disayangkan adalah sikap kaum teoritis hukum khususnya kalangan Perguruan Tinggi yang sangat jarang melakukan sosialisasi masalah Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU). Padahal peraturan tentang Tindak Pidana Pemilihan Umum (TPPU) adalah bagian integral dari hukum, khusunya hukum pidana.



II.



Rumusan Masalah



1. Bagaimana kedudukan panitia pengawas pemilu dalam menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan lembaga penyelenggara lainnya ? 2. Perbuatan-perbuatan apa saja yang digolongkan sebagai tindak pidana dalam pemilu ? 3. Bagaimana kerangka hukum penegakan hukum pemilu ?



BAB II PEMBAHASAN I. Kedudukan Panitia Pengawas Pemilu dalam Menjalankan Tugas dan Fungsi Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Panitia Pengawas Pemilu berkewajiban sebagai berikut : 1. Panitia Pengawas Pemilu bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. 2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilu pada tingkat bawahnya. 3. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu. 4. Menyampaikan hasil pengawasan kepada Bawaslu provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodi dan/atau berdasarkan kebutuhan. 5. Menyampaikan temuan dan laporan kepada bawaslu Provinsi berkaitan dengan adanya sugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota yang mengakibatkan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota yang mengakibatkan adanya dugaan pelanggaran tahap pemilu ditingkat Kabupaten Kota. Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap tahapan pemilu, apa yang dilakukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantauan pemilu atau pengamat pemilu, yakni sama-sama mengkritik,



menghimbau, dan memproses apabila terdapat hal yang menyimpang dari undang-undang. Namun terkait dengan penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu, maka disini terdapat perbedaan yang fundamental, karena pengawas pemilu menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, dengan kata lain Panwaslu merupakan satu-satunya pintu masuk untuk menyampaikan laporan pelanggaran pemilu. Selain itu pula Panwaslu juga satu-satunya lembaga yang mempunyai lewenangan untuk melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran, dalam menjalankan konstitusi terkait pelanggaran, salah satu objeknya yaitu penyelenggara (KPU), pihak yang menjadi termohon dalam perkara perselisihan hasil pemilu. KPU sebagai pihak penyelenggara pemilihan umum itulah yang telah menetapkan hasil pemilihan umum yang dianggap merugikan hak konstitusional peserta pemilu, karena secara langsung telah memengaruhi terpilih tidaknya yang bersangkutan kedalam jabatan yang diperebutkan melalui pemilu tersebut. Jika dalam hal menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, Panwaslu bertambah kekuatannya, tidak demikian halnya dalam hak penanganan kasus-kasus pidana. Dalam hal ini menurut hemat panitia Panwaslu masih berkerja sama dengan institusi terkait misal dengan kepolisian dan kejaksaan, menurut peneliti hal ini lah membuat Panwaslu menjasi lemah dan tidak independent lagi. Dengan mempertahankan kelemahan ini panwaslu disamping harus meningkatkan kapasitas dan kemampuannya juga benar-benar dapat bertindak secara peofesional. Selain faktor lain menjadi kendala dalam pelaksanaan fungsi dan pengawasan pemilu adalah kendala waktu, di lain pihak undang-undang juga membatasi waktu laporan pelanggaran pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Mengenai pembatasan waktu tersebut memang baik untuk memberikan kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana pemilu tetapi dilain



pihak pengawasa pemilu akan mengalami kesulitan jika saksi yang harus di klarifikasi bertempat tinggal jauh terutama di pedesaan. Kendala tersebut coba dobatasi oleh Bawaslu RI bersama Jaksa Agung RI dam Kepala Kepolisian RI dengan memuat MoU tentang Sentra Gakkumdu. Secara umum dan dapat diakatakan keberadaan Sentra Gakkumdu cukum berhasil dalam melaksanakan enegakkan hukum secara senergi antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang jenggalnya ditingkat kabupaten yaitu Panwaslih ikut dalam Gakkumdu. Oleh karena itu peneliti menginginkan adanya amandemen mengenai PKPU Nomor 11 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 salah satunya terkait dengan perubahan kedudukan dan fungsi Panitia Pengawas Pemilu.



II.



Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Tindak Pidana Pemilu



Tindak Pidana Pemilu menurut Pasal 1 angka 2 Peratutan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Prmilihan Umum (Perma 1/2018) sebagai berikut: Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindakan Pidana Pemilu adalah tindak pidana Pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.



Jenis-jenis Tindak Pidana Pemilu Jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu Pasal 488 – Pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, beberapa diantaranya yaitu: 1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih; Psal 448 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisisan daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun denda paling banyak Rp. 12 juta. 2. Kepala desa yang melakukan tindakan



menguntungkan atau merugikan peserta



pemilu; Pasal 490 Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. 3. Orang yag mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilu; Pasal 491 Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. 4. Orang yang melakukan kampanye pwmilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU;



Pasal 492 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. 5. Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larang kampanye; Pasal 493 Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. 6. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu; Pasal 496 Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimakasud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. Pasal 497 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta.



7. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya; Pasal 510 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta. 8. Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan; Pasal 514 Ketua KPU ynag dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebiho jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud salam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling bnayak Rp. 240 juta. 9. Memberikan suaranya lebih dari satu kali; Pasal 516 Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suara lebih dari satu kali Tempat Pemungutan Suara (TPS)/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp. 18 juta. Perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana pemilu diatur dalam Pasal 488 – Pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, beberapa diantaranya adalah sebagaimana yang ka,i sebutkan di atas seperti pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye, melakukan kampanye diluar jadwal yang ditetapkan oleh KPU, memberi keterangan yang tidak benar berkaitan daftar pemilih, dan lain-lain.



Yang Berwenang Memutus Perkara Tindak Pidana Pemilu Terkait dengan tindak pidana pemilu ini, Pasal 2 huruf b Perma Nomor 1 Tahun 2018 mengatur bahwa Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi berwenang memriksa, mengadili dan memutuskan Tindak Pidana Pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidan pemilu yang diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1x24 Jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu. Dalam hal putusan pengadilan negeri diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadialan Tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus perkara banding dalam tindak pidana pemilu merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.



III.



Kerangka Hukum Penegakan Hukum Pemilu



Membahas persoalan penegakan hukum pemilu, setidaknya membahas 2 (dua) hal. Pertama, pelanggaran pemilu dan Kedua, sengketa pemilu. Pelanggaran pemilu terdiri dari atas pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu, pelanggaran administrasi oemilu serta pelanggaran tindak pidana pemilu. Sementara itu sengketa pemilu terbagi atas sengketa hasil dan sengketa non hasil atau sengketa dalam proses pemilu. 1. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu



Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Jika dicermati, rumusan Undang-Undnag Nomor 7 Tahun 2017 trntang Pemilu yang mengatur tentang pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak berbeda jauh dari Undang-Undang sebelumnya. Dewan Kehormatan Penyelenggara pemilu (DKPP) masih merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan untuk memproses dugaan kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu. DKPP dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 juga diberikan kewenangan untuk dapat membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD) untuk memeriksa dugaan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di daerah, meskipun pengambilan keputusan tetap dilakukan melalui rapat pleno DKPP. 2. Pelanggaran Administrasi Pemilu Pelanggaran Administrasi adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksana pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran administrasi ini tidak termasuk tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, ketentuan yang mengatur tentang pelanggaran Administrasi serta penyelesaian mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dalam Undang-Undang sebekumnya disebutkan Bawasku, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota membuat rekomendasi atas hasil kajian terkait pelanggaran administrasi pemilu. Sementara itu di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 461 ayat (1) menyebutkan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, Memeriksa, Mengkaji, Memutus pelanggaran administrasi. Dengan demikian, peran Bawaslu untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran administrasi menjadi semakin kuat. Kewenangan kuat yang paling menonjol adalah menindak dan memutus pelanggaran administrasi. Di Undang-Undang sebelumnya, kesimpulan bahwa sebuah tindakan dianggap sebagai pelanggaran dikeluarkan dalam bentuk rekomendasi. Kini kesimpulan tersebut dikeluarkan



dalam bentuk putusan. Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dapat berupa perbaikan administrasi, teguran tertulis, tidak diikuti pada tahap tertentu dan sanksi administrasi lainnya. Disamping itu, Bawaslu juga mempunyai kewenangan mendiskualifikasi peserta emilu yang melakukan pelanggaran politik uang. Pasal 286 ayat (1) Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 2017 melarang peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan/atau Tim Kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi kainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilu atau pemilih. Pasangan calon atau legislator yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai calon. Terhadap sanksi pembatalan ini, calon dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU ditetapkan. MA memutuskan uoaya hukum paling lambat 14 hari keja terhitung sejak berkas perkara diterima oleh MA. Hal lain yang menarik adalah jika KPU tidak menindak lanjuti putusan Bawaslu, maka Bawaslu mengadukan KPU ke DKPP, dimana ketentuan ini di Undnag-Undang sebelumnya tidak muncul. Undang-Undang sebelumnya hanya menyebutkan dalam hal KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu maka Bawaslu memberikan sanksi berupa teguran lisan. Dengan demikian, kontruksi penegakan hukum dalam hal ini terkait pelanggaran administrasi ada perkembangan dan kemajuan dari sisi eksekutorial. Hasil kaju dugaan pelanggaran administrasi yang dulu dalam bentuk rekomendasi, sekarang dalam bentuk putusan. Dan ada pengaduan ke DKPP oleh Bawaslu selaku yang membuat putusan dalam hal KPU tidak menindak lanjuti putusan Bawaslu. Posisi Bawaslu juga menjadi kayak peradilan semu (Quasi Justis). Dalam konteks ini, Bawaslu berwenang mengumpulkan barang bukti, membuktikan kesalahan pelaku politik uang, dan berwenang memutuskan kesalahan itu terbukti atau tidak. Kalau tindak pidana korupsi seperti KPK, kewenangan yang dimiliki



hanya sampai penuntutan. Lembaga peradilan dalam ini hakim pengadilan yang akan memutus. 3. Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam tindak pidana pemilu, lembaga pengawas paling bawah yang bisa meneruskan laporan tindadak pidana pemilu ke kepolisiam adalah penitia pengawas tingkat kecamatan (PANWASLU KECAMATAN). Di Undang-Undang sebelumnya tidak jelas, pengawas tingkat mana yang kemudian boleh melaporkan ke kepolisian. Pasal 476 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 menyatakan laporan dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian paling lama 1 x 24 jam sejak ditetapkan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakam tindak pemilu. Sementara ayat (2) menyatakan penetapan suatu perbuatan adalah tindak pidana pemilu dilakukan setelah berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Pasal 480 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga memberikan keleluasaan kepada penyidik dalam menyampaikan hasil penyidikan. Penyampaian hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 hari sejak diterimanya laporan dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka. Penuntut umum dalam melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri palng lama 5 hari sejak menerima berkas perkara dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka. Sementara itu Pengadilan negeri memeriksa can memutus perkara tindak pidana pemilu paling lama 7 hari setelah pelimpahan berkas perkara dan dapat dilakukan dengan dengan tanpa kehadiran terdakwa, dan dapat dilakukam upaya Banding ke Pengadilan tinggi paling lama 7 hari



setelah permohonan Banding diterima. Putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Dengan demikian, sebenarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dari sisi penegakan hukum dalam tindak pidana pemilu relatif lebih baik dan maju, karena memberikan kewenangan yang mampu mempercempat proses penyelesaian tindak pemilu dimana di Undang-Undang sebelumnya tidak diatur. 4. Sengketa Pemilu Sengketa pemilu merupakan sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggaraan pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU. Sengketa ini terbagi menjadi 2 (dua), sengketa proses dan sengketa hasil. Apabila dicermati, ketentuan-ketentuan norma yang ada di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 ada perubahan yang cukup baik dan maju, karena di Undang-Undang ini lebih memberikan kewenangan dan keleluasaan peran dan tugas bawaslu untuk menangani dan menyelesaikan sengketa. a. Sengketa Proses (Non Hasil Pemilu) Jika di Undang-Undang lama (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu) kewenangan penyelesaian sengketa hanya ada di Bawaslu RI, di Pasal 467 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu memberikan kewenangan



menyelesaikan sengketa sampai kepada Bawaslu Kabupaten/Kota. Proses



penyelesaian sengketa pun berbeda. Jika di Undang-Undang sebelumnya disebutkan proses tahapan penyelesaian sengketa adalah menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa, mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai mufakat, dan jika tidak mufakat maka Bawaslu mencari alternative lain, maka di Undang-Undang Nomor 7 Tahun



2017 ini, jika tidak mencapai mufakat maka dilakukan proses adjudikasi. Pasal 468 (4) secara jelas menyatakan; Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antar pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud



ayat (3) huruf b, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu



Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi. Disinilah kemudian lagi menempatkan Bawaslu sebagai Peradilan Semu (Quasi Justice). Putusan Bawaslu mengenaipenyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu, penetapan daftar calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta penetapan calon presidan dan wakil presiden. Dan putusan itu bisa diajukan banding ke PTUN, sementara di Undang-Undang lama proses pengajuan banding dilakukan ke Pengadilan Tinggi TUN. b. Sengketa Hasil Pemilu / Perselisihan Hasil Pemilu Sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antar KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu yang dpat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu atau mempengaruhi penetapan hasil Pemilu presiden dan wakil presiden. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD maupun hasil pemilu presiden dan wakil presiden, peserta anggota DPR, DPD danDPRD maupun presiden dan wakil presiden mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi. Hanya di undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini proses penyelesaian di MK tidak dijelaskan beberapa hari harus diselesaikan. Tetapi di perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dibatasi waktu 14 hari. Baik untuk perselisihan hasil pemilu legislative maupun pemilu presiden dan wakil presiden terhadap putusan MK KPU wajib untuk menindaklanjuti.



Berdasarkan beberapa paparan diatas, untuk melihat bagaimana desain serta kerangka penegakan hukum pemilu, sebenarnya di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah dibuat secara lebih lengkap terkait tata cara, mekanisme penegakan hukum pemilu. Rumusanrumusan norma Undang-Undang pemilu hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 merupakam rumusan norma yang disusun sebagai bagian dari upaya penyempurnaan Undang-Undang sebelumnya, dengan didasari bahwa hukum pemilu yang merupakan unsur utama pemilu demokratis, jujur dan adil tidak akan pernah terwujud jika model penegakan hukumnya lemah. Pertama, tugas dan kewenangan Bawaslu sebagai lembaga formal/alat Negara untuk mengawasi pemilu diperkuat secara tugas pokok fungsinya, mulai dari kewenangan melakukan pencegahan, penindakan sampai kepada menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang mempunyai kewenagan semacam peradilan semu, yaitu menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran dan sengketa.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap tahapan pemilu, apa yang dilakukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantauan pemilu atau pengamat pemilu, yakni sama-sama mengkritik, menghimbau, dan memproses apabila terdapat hal yang menyimpang dari undang-undang. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemilihan umum merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar 1945 untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat yang dilaksanakan 5 tahun sekali di Negara republik Indonesia dengan tujuan: a. Menyusun Lembaga Permusyawaratan Rakyat yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. b. Memilih wakil-wakil rakyat dan Presiden dan wakil Presiden dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan tujuan dari negara. c. Pemilihan umum adalah suatu alat melaksanakan demokrasi untuk menegakan tegaknya Pancasila dan memperkuatkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Untuk



menjamin



kesinambungan



pembangunan nasional.



pemerintah



lima



tahun



dan



mengisi



2. Tindak Pidana Pemilu dapat dimasukkan dalam pidana khusus yaitu pidana pemilu dan pelanggaran baik yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Adapun para pihak yang dapat disangkahkan terhadap tindak pemilu adalah: a. Pemyelenggara Pe,ilu (KPU, Bawaslu, Pemerintah). b. Peserta Pemilihan Umum (Partai Politik, Calon DPR, DPD, DPRD, Calon Presiden dan Wakil Presiden). c. Masyarakat sebagai subjek hukum (sebagai pemilih, Tim Sukses termasuk Masyarakat yang mengajak tidak menggunakan hak suaranya).