Makalah Pengalengan Daging [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEKNOLOGI HASIL PETERNAKAN DAN PERIKANAN “PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA”



Disusun oleh: Elana Indah Novia H.



201610220311008



Khayzuran Afifah



201610220311013



Revvy Rabbinastri



201610220311016



Yessi Maulidhia N. W.



201610220311039



Bayu Dwi Raharja



201610220311045



ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018



1



DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... 1 DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2 BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 3 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 3 1.2 Tujuan ....................................................................................................... 3 1.3 Manfaat ..................................................................................................... 3 BAB 2. MATERI DAN METODE ................................................................... 4 2.1 Pengalengan ............................................................................................... 4 2.2 Metode Pengalengan .................................................................................. 4 2.3 Efek Pengalengan ....................................................................................... 5 2.4 Metode Penelitian ...................................................................................... 5 BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 9 3.1 Standarisasi Resep/Formula Rendang........................................................ 9 3.2 Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan ............. 9 3.3 Susut Masak dan Sifat Fisik Kalio ........................................................... 12 BAB 4. KESIMPULAN .................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19



2



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu komoditi hasil ternak yang mengandung zat gizi tinggi yang biasa disebut sebagai excellent nutrition food karena mengandung protein, zat besi dan vitamin B yang banyak. Daging merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani dengan kualitas baik, sehingga seringkali masyarakat mengonsumsi daging sebagai sumber protein guna memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuhnya. Daging sebagai makanan yang bergizi tinggi memiliki umur simpan yang pendek apabila tidak segera diolah. Pengolahan daging selain ditujukan untuk memperpanjang umur simpan juga bertujuan untuk meningkatkan cita rasa serta mutu konsumsi daging tersebut. Di Indonesia, daging biasa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang kaya akan rempah, salah satunya yaitu diolah sebagai kalio. Kalio merupakan produk pangan tradisional dari Sumatera Barat yang sudah dikenal luas, umumnya dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak dengan campuran bumbu rempahrempah tertentu. Kalio adalah sejenis rendang dengan formulasi bumbu rempahrempah relatif sama dengan rendang tetapi memiliki kadar air kurang lebih dua kali lebih tinggi dengan kuah jauh lebih encer dibanding rendang (Murhadi, 1994). Untuk memperpanjang umur simpan produk pangan yang telah diolah, tentunya diperlukan pengombinasian dengan metode pengawetan lainnya. Pengalengan dapat menjadi alternatif metode pengawetan dengan cara mengemas kalio dalam kaleng yang tertutup rapat. Pengalengan ini dapat menjaga bahan terbebas dari kontaminan dan perusakan kalio akibat faktor lingkungan misalnya oksidasi sehingga umur simpan kalio menjadi lebih panjang. Selain itu, proses pengalengan biasanya juga disertai dengan proses thermal yang mana pengaplikasian proses thermal pada proses pengalengan memungkinkan dihasilkannya produk yang siap konsumsi (ready to eat). Keuntungan ini memberikan peluang lebih besar terhadap upaya pengembangan produk, mengingat terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat kita yang kini lebih menyukai kepraktisan. Memperhatikan potensi tersebut, studi mengenai perubahan mutu produk dan optimasi proses pengalengan perlu dilakukan sebagai dasar pengembangan proses untuk skala yang lebih besar. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai pengalengan pada produk kalio beserta pengaruh sterilitas pemanasan pada berbagai suhu terhadap perubahan sifat fisiknya. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan proses optimum dalam pengalengan kalio daging sapi untuk skala yang lebih besar. Aplikasi teknologi pengalengan pada menu kuliner Nusantara ini diharapkan dapat memberi nilai tambah pada menu tersebut.



3



BAB II MATERI DAN METODE 2.1 Pengalengan Menurut (Adawyah 2008) Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Metode pengawetan tersebut ditemukan oleh Nicolas Appert, seorang ilmuwan Prancis. Di dalam pengalengan makanan, bahan pangan dikemas secara hermetis (hermetic) dalam suatu wadah, baik kaleng, gelas atau alumunium. Teknologi pengalengan merupakan salah satu aplikasi proses termal yang banyak dilakukan di industri pangan. Sharma et al. (2000) mendefinisikan proses pengalengan pangan sebagai suatu prosedur pengawetan pangan menggunakan kemasan yang tertutup secara hermetis dan memanaskannya untuk membunuh mikroorganisme patogen dan penyebab kebusukan beserta sporanya, serta untuk menginaktivasi enzim yang dapat merusak mutu. Teknologi ini dapat mempertahankan daya simpan produk sampai lebih dari enam bulan (Kusnandar et al., 2006). Istilah pengalengan tidak hanya merujuk pada pengemasan bahan pangan menggunakan kaleng, tetapi juga termasuk penggunaan kemasan hermetis lainnya seperti retort pouch, tetrapack, glass jar, dan sebagainya. Kemasan hermetis merupakan kemasan kedap udara yang tidak memungkinkan adanya kontak antara bahan pangan dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga mencegah terjadinya rekontaminasi dari lingkungan setelah proses pemanasan (Muchtadi, 1995). Tiga jenis bahan yang dipakai dalam proses pembuatan kaleng, yaitu Electrolyte Tin Plate (ETP), Tin Free Steel (TFS), dan aluminium. Kebanyakan pengalengan menggunakan TFS-CT yang merupakan lapisan baja yang dilapisi kromium secara elektris yang memiliki keunggulan murah harganya dan daya adhesinya lebih baik terhadap bahan organik namun memiliki kelemahan yaitu lebih tinggi peluangnya untuk berkarat. 2.2 Metode Pengalengan Metode pengalengan secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengalengan konvensional dan metoda aseptik. Pada metode pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metode pengalengan aseptik bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah. Bahan pangan diperlakukan sesuai dengan proses termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu (Mayasari, 2013). Berdasarkan suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, pengalengan terbagi menjadi dua proses yaitu pasteurisasi dan sterilisasi komersial. Pasteurisasi terutama ditujukan untuk produk pangan yang mudah rusak oleh panas, atau berasam tinggi, atau jika akan dilakukan kombinasi dengan metode pengawetan lain seperti penyimpanan dingin. Sedangkan sterilisasi komersial terutama diterapkan pada produk pangan berasam rendah (Kusnandar et al., 2006). 4



2.3 Efek Pengalengan Adapun efek ygang ditimbulkn dari penggunan teknologi pengalengan baik yang menguntungkan maupun merungikan sebagai berikut : Keuntungan:  Dapat memformulasi dan mengalengkan berbagai jenis makanan.  Mutunya baik dan stabil ( tetap ) baik pada skala besar dan kecil  Kemasan kaleng melindungi isi dari segala bentuk benturan fisik sehingga bentuk isi tetap utuh  Daya awet makanan menjadi lebih lama  Dapat dikonsumsi kapan saja dan dimana saja (cocok untuk makanan siap saji) Kerugian:  Interaksi antara bahan dasar kaleng dengan makanan. Kerusakan makanan kaleng akibat interaksi antara logam pembuat kaleng dengan makanan kehilangan zat gizi yang menyebabkan tercampurnya zat tersebut dengan makanan.  Kerusakan biologis  Botulisme (kontaminasi oleh spora C. botulinum)  Berpengaruah pada kandungan senyawa 2.4 Metode Penelitian 2.3.1 Bahan dan Alat Penelitian  Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 1. daging sapi bagian has luar (sirloin), 2. bumbu kalio, 3. bahan pengemas berupa kaleng berukuran 307 x 113, 4. bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat.  Peralatan yang digunakan meliputi : 1. peralatan masak, 2. boiler, 3. exhauster, 4. double seamer, 5. retort, 6. termokopel, 7. termorekorder, 8. instrumen analisis fisik 2.3.2 Tahapan Penelitian Tahap pertama yaitu standarisasi formula dan proses pembuatan kalio untuk proses pengalengan. Formula dan prosedur standar yang diperoleh dari tahap tersebut. Selanjutnya dilakukan evaluasi penetrasi panas pada produk untuk memperoleh parameter penetrasi panas berupa nilai fh dan jh. Keduanya digunakan dalam perancangan jadwal proses untuk mendapatkan nilai Fo 3, 10.7, dan 18 menit pada berbagai suhu (111° C, 116° C, dan 121° C).



5



Tahap berikutnya dilakukan proses produksi dengan jadwal proses yang telah ditentukan. Pada produk kalio dari kesembilan perlakuan tersebut, dilakukan analisis susut masak, sifat fisik, serta mutu organoleptiknya. Sifat fisik yang diamati meliputi warna bumbu, warna daging, dan tekstur daging. Sedangkan evaluasi organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif, yang bertujuan menilai respon subjektif panelis dalam hal penerimaan atau preferensi terhadap produk dan beberapa atribut sensorinya. Berdasarkan kedua analisis tersebut diperoleh nilai terukur dari sifat-sifat fisik yang memiliki respon nilai kesukaan paling tinggi. Hal ini dijadikan sebagai dasar dalam penentuan proses pengalengan kalio yang optimum. Terakhir, dilakukan analisis proksimat terhadap produk yang dihasilkan dari proses optimum. 1. Standarisasi Formula dan Proses Pembuatan Kalio dalam kaleng Tahap ini bertujuan menentukan formulasi dan proses pengolahan kalio untuk proses pengalengan yang menghasilkan produk dengan karakteristik mendekati produk kalio dengan pemasakan konvensional. Karakteristik yang dimaksud meliputi karakteristik sensori (warna, aroma, rasa, kekerasan daging) dan sifat fisik terukur (viskositas bumbu, warna bumbu dan daging, serta nilai kekerasan daging).. Standarisasi formula bumbu kalio. Standarisasi formula dimulai dengan pengujian formula menggunakan metode pemasakan konvensional untuk memastikan bahwa karakteristik sensori dari produk yang diperoleh cukup baik. Untuk memudahkan proses produksi dan standarisasi mutu produk, dilakukan penggantian santan alami dengan santan kental. Penyesuaian jumlah santan siap pakai dilakukan beberapa kali, dengan asumsi awal bahwa sejumlah 200 ml santan kental siap pakai setara dengan santan dari separuh butir kelapa. Setelah diperoleh formula standar, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan kalio dalam kaleng. Penyesuaian kondisi pemasakan yang dilakukan meliputi tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, serta perbandingan bobot keduanya. Tahap ini juga dilakukan beberapa kali sampai ditemukan kondisi proses yang menghasilkan kalio dengan karakteristik fisik dan sensori mendekati kalio acuan.



6



1) tahapan pengalengan kalio daging dengan perlakuan a



Gambar 1. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah (perlakuan a) 2) tahapan pengalengan kalio dari dagng yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu (perlakuan b)



7



Gambar 2. Diagram alir pengalengan kalio dari daging yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu



8



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Standarisasi Resep/Formula Rendang Standarisasi formula dimulai dengan melakukan pengujian resep dengan pemasakan konvensional. Resep kalio yang digunakan disajikan dalam Tabel 4. Secara umum, kalio yang diperoleh dengan pemasakan tradisional ini memiliki karakter sensori yang baik dan layak disebut sebagai kalio. Menurut Mainofri (1990), daging has luar menghasilkan rendang dengan tekstur yang lebih baik dibanding lamusir. Pada tahap ini dilakukan pula penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai merek “Kara”. Penggunaan santan komersil yang telah terstandarisasi ini memudahkan proses produksi dan standarisasi mutu produk. Dilakukan percobaan dengan basis bobot bumbu kalio mentah sebanyak 500 g, dengan penyesuaian jumlah masing-masing bumbu mengacu pada Tabel 3. Variasi jumlah santan yang digunakan yaitu 30%, 40%, 50%, dan 60%. 3.2 Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan Setelah dilakukan standarisasi formula kalio, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan rendang dalam kaleng, yang meliputi penyesuaian tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, perbandingan jumlah bumbu dan daging (filled weight), serta lama waktu blansir daging dan exhausting. Penyesuaian kondisi proses pengalengan dilakukan untuk memperoleh produk kalio dalam kaleng yang memiliki karakteristik sensori mendekati kalio dengan pemasakan konvensional. Mula-mula dilakukan penentuan tingkat kematangan daging pada saat pengisian ke dalam kaleng. Dilakukan dua perlakuan percobaan tingkat kematangan daging, yaitu mentah dan tanpa proses blansir (a) dan dimasak setengah matang bersama bumbu selama 30 menit (b). Skema dari kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Gambar 10 dan 11. Bumbu I meliputi rempah-rempah yang dihaluskan, yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, kapulaga, pala, jinten, dan merica. Sedangkan bumbu II meliputi rempah-rempah yang tidak dihaluskan. Proses blansir tidak diikut sertakan pada perlakuan (a) dengan pertimbangan bahwa proses exhausting dengan suhu 80° C selama 5 menit yang dilakukan mampu menghilangkan udara yang terperangkap dalam daging. Selain itu dihawatirkan proses blansir yang dilakukan dengan suhu minimum 80° C akan menyebabkan denaturasi protein daging. Denaturasi protein ini, selain menyebabkan keluarnya sebagian cairan daging bersama komponen gizi larut air, juga dihawatirkan akan merubah struktur daging dan menghambat pentrasi bumbu ke dalam daging selama pemanasan di dalam retort. Sedangkan perlakuan (b) dilakukan dengan tujuan meresapkan bumbu ke dalam daging sebelum dilakukan proses pemanasan di dalam retort, sehingga diharapkan bumbu akan lebih meresap ke dalam daging. Selain itu juga menghindari kehilangan kehilangan komponen gizi larut air.



9



Pemasakan bumbu bertujuan membentuk warna dan aroma rendang sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Lama waktu pemasakan sangat bergantung pada banyaknya bahan yang dimasak. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pendidihan santan selama 5 menit, pemasakan I selama 15 menit, dan pemasakan II selama 10 menit. Pemasakan II dihentikan saat mulai tercium aroma rendang dan fraksi minyak dari santan mulai terpisah. Demikian pula untuk pemasakan bumbu yang disertakan daging di dalamnya. Tabel 1. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan



Perlakuan (a) menghasilkan konsistensi bumbu yang sangat encer, karena air dari dalam daging keluar selama sterilisasi. Hal ini juga berakibat pada “pengenceran” rasa bumbu, sehingga menjadi lebih “ringan” dibanding perlakuan (b). Berdasarkan penilaian secara subjektif, dari segi keempukan daging, warna, aroma, serta secara keseluruhan, keduanya tidak berbeda, tetapi belum diperoleh karakteristik produk yang diinginkan. Pengukuran terhadap konsistensi bumbu, warna daging, dan kekerasan daging tidak dilakukan secara objektif menggunakan instrumen karena secara visual telah tampak sangat jauh berbeda dengan produk acuan. Dengan pertimbangan bahwa proses pengalengan kalio langsung dari daging mentah akan lebih sederhana, baik dalam hal persiapan bahan sebelum filling maupun penentuan perbandingan bahan saat filling, maka digunakan prosedur tersebut untuk tahap selanjutnya. Memperhatikan konsistensi bumbu yang masih sangat encer, maka dilakukan percobaan berikutnya untuk memperoleh konsistensi bumbu yang diinginkan, yaitu dengan menyertakan proses blansir pada daging dan menyesuaian perbandingan jumlah daging dan bumbu saat filling. Proses blansir dalam hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi air dari dalam daging yang dapat keluar saat sterilisasi dan berakibat pada pengenceran bumbu. Penggembungan yang mengakibatkan terjadinya buckling pada perlakuan a2 diduga akibat masih terdapatnya udara dalam daging mentah yang tidak keluar secara sempurna oleh proses exhausting, sehingga saat sterilisasi keluar dan memenuhi headspace, kemudian memuai karena panas dan mendesak volume



10



kaleng sehingga terjadi penggembungan. Nilai viskositas bumbu produk acuan adalah 1,518.33 ± 52.39 cP, dengan demikian perlakuan a1 lebih mendekati produk acuan dibanding perlakuan a2. Tabel 2. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan



Proses blansir dengan uap jenuh pada suhu 90° C menyebabkan denaturasi protein dalam daging sehingga menyebabkan perubahan struktur dan secara tidak langsung menyebabkan perubahan tingkat kekerasan daging. Perubahan struktur daging pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60° C), aktin (66-73° C), dan penyusutan kolagen (56-62° C). Kontraksi protein ini menyebabkan pengeluaran air dari dalam daging, yang lazim disebut dengan susut masak (cooking loss) (Martens 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Susut masak akibat proses blansir yang dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 39.9% sampai 40.3%. Denaturasi protein daging yang semula dihawatirkan akan menghambat penetrasi bumbu ke dalam daging, ternyata tidak terlalu berpengaruh. Berdasarkan penilaian secara subjektif, tingkat peresapan bumbu ke dalam daging pada keduanya tidak berbeda. Secara keseluruhan, perlakuan a1 memberikan karakter produk yang lebih baik dibanding perlakuan a2, tidak menyebabkan penggembungan kaleng dan timbulnya buckling. Karena itu standar proses pengalengan yang diberlakukan untuk tahap berikutnya mengacu pada perlakuan a1 tersebut. Diagram alir standar proses pengalengan yang dimaksud disajikan dalam Gambar 3. Waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pemasakan pada Gambar 3 berbeda untuk jumlah bumbu yang berbeda. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 15 dan 10 menit, sedangkan untuk 2 kg bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 30 dan 25 menit. Selama pemasakan I dan II, rata-rata air yang menguap dari bumbu sebanyak 39.1-41.9%. Standardisasi konsistensi bumbu dilakukan dengan menambahkan air ke dalam bumbu jika air menguap terlalu banyak, dan dengan menguapkan kembali jika air masih terlalu banyak. Hal ini dilakukan karena di dalam bumbu hampir tidak terdapat komponen yang dapat 11



mengakibatkan perubahan konsistensi bumbu akibat perubahan strukturnya selama pemanasan, seperti pati. Konsistensi bumbu hanya dipengaruhi oleh proporsi air dan padatan yang terdapat di dalamnya.



3 . .



3.3 Susut Masak dan Sifat Fisik Kalio Sifat fisik terukur yang diamati meliputi susut masak daging, kekerasan daging, warna daging, dan warna bumbu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 sampai 16. Sampel daging yang digunakan untuk nilai Fo = 0 menit adalah sampel daging yang telah diblansir dengan medium uap jenuh pada suhu 90° C selama 5 menit, tetapi belum mengalami proses sterilisasi. Sedangkan sampel bumbu untuk nilai Fo = 0 menit merupakan bumbu yang telah ditumis dan belum mengalami proses sterilisasi.



12



1. Susut Masak Daging Selama Sterilisasi Grafik perubahan persentase susut masak daging disajikan dalam Gambar 4. Seperti tampak pada Gambar tersebut, umumnya susut masak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya nilai Fo, dengan peningkatan yang sangat kecil. Sedangkan perbedaan suhu sterilisasi, dilihat dari error bar dalam grafik, tampak tidak memberikan pengaruh signifikan. Kurva tersebut memiliki pola yang sama dengan hasil pengamatan Combes et al (2003). Peningkatan suhu lebih dari 80° C dan perpanjangan waktu pemanasan (holding time) setelah 40 menit tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap susut masak daging. Menurut Laroche (1982) dalam Combes et al. (2003), susut masak terjadi secara singkat karena peningkatan suhu dan hanya bergantung pada suhu internal yang tercapai. Susut masak berkaitan erat dengan perubahan struktur daging, dengan demikian dapat menjelaskan perubahan tekstur daging selama pemasakan. Palka dan Daun (1999) menemukan hubungan yang linier antara peningkatan susut masak dengan penyusutan sarkomer.



Gambar 4. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan Akumulasi susut masak yang cukup tinggi terkait dengan nilai pH produk, yaitu sebesar 6.04. Nilai pH yang semakin mendekati nilai pH isoelektrik (5.0-5.1) menyebabkan daya ikat air daging menjadi rendah dan meningkatkan susut masak. Menurut Soeparno (2005), jus daging bernilai minimal saat nilai pH berada pada kisaran 6.0. Daging dengan pH tinggi akan mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi dibanding daging dengan pH rendah. Kekerasan maksimal daging sapi dicapai pada pH 5.9, kemudian semakin menurun sampai kisaran pH 6.0-7.0 (Soeparno, 2005). Semula diduga bahwa selama sterilisasi, daging masih dapat menyerap air dari bumbu sehingga meningkatkan bobot daging pada produk akhir. Akan tetapi, meningkatnya susut masak akibat sterilisasi menyebabkan bobot daging justru menurun, yaitu hanya 44.67±0.48%. 2. Kekerasan Daging Kekerasan merupakan atribut paling berpengaruh terhadap tekstur daging di antara beberapa atribut lain (kekenyalan, elastisitas, kekompakan, daya kunyah) (Wirakartakusumah et al., 1992), karena itu pada penelitian kali ini pengukuran tekstur daging dinyatakan dengan nilai kekerasan. Nilai tersebut diukur secara empiris menggunakan Texture Analyser TX2 dengan satuan gram force (gf).



13



Perubahan nilai kekerasan daging disajikan dalam Gambar 5. Sampel dengan nilai Fo = 0 menit merupakan sampel yang telah mengalami proses blansir dan belum mengalami proses sterilisasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan nilai kekerasan akibat peningkatan nilai Fo tidak terjadi secara linier. Memperhatikan besarnya nilai error bar, tampak bahwa suhu sterilisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai kekerasan daging pada nilai Fo yang sama. Artinya, sterilisasi dengan nilai Fo yang sama akan memberikan nilai kekerasan yang relatif sama meskipun dilakukan pada suhu yang berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antarotot dan antara otot yang berbeda (Tornberg, 2005).



Gambar 5. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80° C. Sedangkan peningkatan nilai kekerasan pada pemanasan lanjut (Fo lebih dari 3 menit) diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus (Palka dan Daun, 1999). Melihat hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik (lembut). Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot (Tornberg, 2005), sementara jaringan ikat dalam



14



lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh. 3. Warna Bumbu dan Daging Berdasarkan pengamatan secara visual, warna produk secara keseluruhan didominasi oleh warna bumbu, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Nilai pengukuran warna bumbu maupun daging dinyatakan dengan skala CIE L*a*b*. Perubahan komponen warna keduanya disajikan dalam Gambar 18. Nilai L menunjukkan kecerahan, nilai a+ (positif) menunjukkan warna kromatik merah dengan kisaran 0 sampai +100, sedangkan nilai b+ menunjukkan warna kromatik kuning dengan kisaran 0 sampais +70 (Faridah et al., 2009). Tabel 3. Penampakan Produk Secara Visual



Secara visual, seperti yang tampak pada Tabel 3, warna produk tidak terpengaruh secara signifikan baik oleh perubahan suhu maupun nilai Fo pemanasan. Sedangkan berdasarkan pengukuran secara objektif, perbedaan suhu sterilisasi pada nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap komponen seluruh komponen warna (L, a, b) dari daging maupun warna bumbu, kecuali nilai kecerahan (L) bumbu. Untuk warna daging, nilai kecerahan (L) menurun pada awal pemanasan sampai Fo=3 menit, kemudian meningkat dengan perubahan yang tidak signifikan; sedangkan nilai a maupun b meningkat pada awal pemanasan, kemudian menurun dengan perubahan yang juga tidak signifikan. Untuk warna daging, perbedaan suhu di bawah 121° C tidak menunjukkan pengaruh signifikan, sedangkan pada suhu 121° C terlihat berpengaruh, dengan penurunan yang tidak signifikan akibat meningkatnya nilai Fo pemanasan. Dengan demikian pemanasan dengan suhu 121° C dapat meminimalisir penurunan nilai kecerahan, sehingga diharapkan kecerahan bumbu dapat terjaga lebih baik. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C (Soeparno, 2005). Warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit (mengandung kurkumin), cabai merah (mengandung kapsanthin), serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin daging yang tidak keluar sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal



15



ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi, yaitu dengan menambah atau mengurangi komponen yang paling berpengaruh terhadap warna. Dapat juga ditambahkan gula untuk menimbulkan reaksi maillard yang akan membuat bumbu tampak lebih coklat.



Gambar 6. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dapat difokuskan pada perubahan tekstur daging. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, nilai kekerasan dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu. Artinya, pada rentang suhu 111-121° C, hanya nilai Fo yang berpengaruh terhadap perubahan keduanya. Karena itu optimasi proses pada tahap berikutnya, yaitu uji organoleptik, dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi, yang memerlukan waktu pemanasan lebih singkat dibanding suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan nilai Fo yang sama.



16



BAB IV KESIMPULAN Teknologi pengalengan dapat diaplikasikan pada produk kalio (kalio). Proses pemanasan yang diberikan selama sterilisasi dapat sekaligus mematangkan Daging, sehingga tidak perlu dilakukan pemanasan sebelum filling. Namun diperlukan proses blansir (90° C selama 5 menit dengan medium uap jenuh) untuk mengurangi cairan dalam daging yang dapat keluar dan mengencerkan bumbu selama sterilisasi. Diperlukan pula penumisan bumbu sebelum filling untuk membentuk warna dan aroma kalio. Berdasarkan evaluasi penetrasi panas ke dalam produk dan perhitungan dengan metode formula Ball, diperoleh nilai fh dan jh masing-masing sebesar 57.56 dan 1.68. Korelasi antara perubahan nilai Fo pada berbagai suhu pemanasan dengan sifat fisik terukur (susut masak, kekerasan, warna) tidak terjadi secara linier, karena pengaruh faktor antemortem dan postmortem yang kompleks. Susut masak dan kekerasan daging dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan nilai Fo yang diperoleh dari berbagai kombinasi suhu dan waktu. Susut masak cenderung meningkat selama pemanasan, sebagai akibat dari penyusutan sarkomer selama pemanasan. Sementara nilai kekerasan daging untuk ketiga suhu menurun sampai Fo = 3 menit, kemudian terus meningkat perlahan sampai Fo 18 menit. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan diduga berkaitan dengan gelatinisasi kolagen, sedangkan peningkatan nilai tersebut pada pemanasan lanjut diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus. Secara visual, warna produk didominasi oleh warna bumbu. Perubahan setiap komponen warna (L, a, b), baik warna bumbu maupun warna daging, dipengaruhi oleh perubahan nilai Fo dan suhu pemanasan (Tr). Perubahan tersebut juga tidak terjadi secara linier. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C. Sedangkan warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit, cabai merah, kayu manis, serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin dari daging yang tidak keluar sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi. Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dalam hal ini difokuskan pada perubahan kekerasan daging, yang tidak dipengaruhi secara signifikan oleh suhu proses (Tr). Karena itu uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi (121° C). Akan tetapi perubahan sifat-sifat fisik akibat perbedaan nilai Fo tersebut ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis secara keseluruhan. Maka penentuan proses optimum dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121° C dan nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk 17



mereduksi 13 siklus log C. botulinum, dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDA-FSIS. Secara umum, skor rata-rata kesukaan panelis untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan produk secara keseluruhan adalah sekitar 3, atau “agak suka”. Sebanyak 56% dari 97% panelis yang menyatakan bahwa produk layak disebut sebagai kalio, memilih rasa sebagai faktor penentu kesukaan secara keseluruhan. Dengan demikian upaya peningkatan nilai kesukaan konsumen dapat dilakukan dengan memperbaiki formulasi bumbu untuk menyesuaikan selera masyarakat secara umum.



18



DAFTAR PUSTAKA Combes S., Lepetit J., Darche B., Lebas F. 2003. Effect of cooking temperature and cooking time on Warner-Bratzler tenderness measurement and collagen content in rabbit meat. J. Meat Sci 66 : 91-96. Faridah D.N., Kusnandar F., Herawati D., Kusumaningrum H.D., Wulandari N., Indrasti D. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusnandar F., Hariyadi P., dan Syamsir E. 2006. Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Laroche. M. 1982. Perte de jus pendant le chauffagede la viande II. Comparaison viande hachee-morceau. Lebensmittel Wissenschaft und Technologie 15 , 131-134. Martens H., Staburvik E., Martens M. 1982. Texture dan color changes in meat during cooking related to thermal denaturation of muscle proteins. J. Texture Stud 13 : 291-309. Mainofri. 1990. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap mutu rendang daging sapi [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi, D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Palka K. dan Daun H. 1999. Changes in texture, cooking losses, and myofibrilar structure of bovine M. Semitendinosus during heating. J. Meat Sci 51 : 237243. Sholihah Awaliyatus. 2011. Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi dan Kajian Pengaruh Sterilitas (Fo) Pemanasan pada Berbagai Suhu Terhadap Perubahan Sifat Fisiknya. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sharma S.K., et al. 2000. Food Process Engineering, Theory dan Laboratory Experiment. New York: Wiley-Interscience. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tornberg, E. 2005. Effects of heat on meat proteins - implications on structure and quality of meat products. J. Meat Sci 70 : 493-508. Wirakartakusumah M.A., Abdullah K, dan Syarif A.M. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.



19