Makalah Stemi Dan Av Block Kiky [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

I.



PENDAHULUAN



Acute coronary syndrome diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidak adanya ST elevasi. ST elevasi biasanya menggambarkan sumbatan akut pada arteri koroner oleh trombus. Terapi yang paling efektif antara lain adalah rekanalisasi arteri yang tersumbat secepat mungkin dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau dengan terapi thrombolitik. . Di seluruh dunia, coronary artery disease (CAD) merupakan penyebab kematian tersering. Lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahunnya karena CAD, terhitung sekitar 12.8% dari semua kematian. Setiap 6 pria dan 7 wanita di Eropa akan meninggal karena infark myocard. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species, dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-thrombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel. Atrioventrikular (AV) blok didefinisikan sebagai keterlambatan atau gangguan dalam transmisi impuls dari atrium ke ventrikel akibat gangguan anatomis atau fungsional dalam sistem konduksi. Gangguan konduksi dapat bersifat sementara atau permanen. Konduksi dapat ditunda, intermiten, atau tidak ada. Terminologi umum digunakan meliputi derajat pertama (konduksi melambat), derajat kedua, dan derajat ketiga atau AV blok total. (11)



II.



TINJAUAN PUSTAKA



1. STEMI A. Definisi dan Epidemiologi STEMI yang merupakan singkatan dari ST Elevated myocardial infarction merupakan sebuah tipe serangan jantung. Infark myocard (serangan jantung) terjadi ketika sebuah arteri koroner terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark (mati). STEMI merupakan bagian dari kelompok kelainan pada jantung yang disebut sebagai acute coronary syndromes yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi segmen ST, dan IMA dengan elevasi ST. Insidens STEMI telah menurun selama 20 tahun terakhir. Mortalitas di rumah sakit akibat acute coronary syndrome telah menurun dari sekitar 20% menjadi sekitar 5%, karena perbaikan terapi dan cepatnya didapatkan terapi yang efektif. Pada STEMI, arteri koroner hampir tertutup sempurna oleh bekuan darah, sehingga menyebabkan hampir semua bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mulai mengalami kematian. Tipe gagal jantung yang berat ini memiliki karakteristik pada EKG yaitu peningkatan segmen ST. B. Faktor Resiko Faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor resiko yang masih dapat diubah sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori. C. Etiologi dan Patofisiologi Mekanisme utama terjadinya acute coronary syndrome adalah proses thrombosis akut akibat rupturnya plak aterosklerosis yang menyebabkan sumbatan mendadak aliran darah koroner. Penyebab non-aterosklerotik lainnya seperti arteritis, trauma, diseksi, thromboemboli, kelainan kongenital, kokain, serta komplikasi tindakan kateterisasi jantung. Kejadian infark myocard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit 1



aterosklerosis ditandai dengan pembentukan bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species, dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-thrombotik dan antiproliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel. Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi thrombus di arteri koroner, maka terjadi infark myocard tipe elevasi segmen ST (STEMI).



Perkembangan



perlahan



dari



stenosis



koroner



tidak



menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat dengan cepat. D. Diagnosis Diagnosis infark myocard bergantung kepada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis, pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung (khususnya Troponin), dan hasil pemeriksaan EKG.



Dari anamnesis,



diagnosis infark myocard biasanya didasarkan pada riwayat nyeri dada selama 20 menit atau lebih di daerah substernal, tidak hilang dengan istirahat dan tidak berespon terhadap nitrogliserin. Ciri khas lain adalah nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Nyerinya tidak berat. Beberapa pasien datang dengan gejala yang lebih ringan, seperti mual/muntah, sesak nafas, kelelahan, palpitasi, atau pingsan. Pasien juga sering mengalami keringat malam. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut. (5)



2



Dari pemeriksaan fisis, didapatkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan penanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB dan Troponin T atau I yang merupakan biomarker pilihan karena sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk nekrosis myocard. Peningkatan kadar Troponin I atau Troponin T pada pasien dengan riwayat kemungkinan infark myocard berarti bahwa telah terjadi infark. Tabel 1 – Penentuan Lokasi Infark Myocard



Diagnosis STEMI yang cepat merupakan kunci keberhasilan terapi. Monitoring EKG harus dimulai secepat mungkin pada pasien yang dicurigai menderita STEMI untuk mendeteksi adanya aritmia yang dapat membahayakan jiwa.



3



Gambar 1 – Alur diagnosis dan terapi acute coronary syndrome E. Tatalaksana Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antithrombotik dan anti platelet, serta memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) penatalaksanaan STEMI yaitu dari ACC/AHA dan ESC, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana / fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada. Oksigen (sungkup atau nasal canule) harus diberikan pada pasien yang sesak nafas, hipoksik, atau yang juga menderita gagal jantung, serta pada pasien yang saturasi oksigennya < 90%. Pertanyaan mengenai apakah oksigen juga harus diberikan kepada pasien tanpa sesak nafas atau gagal jantung masih belum jelas. Monitoring saturasi oksigen dapat sangat membantu untuk memutuskan apakah pasien membutuhkan bantuan oksigen atau ventilator. Semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. (2)



4



Mengurangi nyeri sangat penting karena nyeri berhubungan dengan aktivasi simpatik yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan beban kerja jantung. Titrasi opioid IV (seperti morfin) merupakan obat yang paling sering digunakan. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Tidak boleh diberikan dalam bentuk injeksi IM. Efek sampingnya dapat berupa mual dan muntah, hipotensi dengan bradikardi, dan depresi pernafasan. Obat antiemetik dapat diberikan bersamaan dengan opioid untuk mengurangi mual. (13) Percutaneous Coronary Intervention Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan pada beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan memiliki outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya pada beberapa rumah sakit. (2) Fibrinolitik Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. 5



Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien pasca CABG yang datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI. Kontraindikasi terapi fibrinolitik : (7) A. Kontraindikasi absolut 1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral 2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (contoh : malformasi AV) 3. Terdapat neoplasma ganas intrakranial 4. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik akut dalam 3 jam 5. Dicurigai adanya diseksi aorta 6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi) 7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan B.



Kontraindikasi relatif 1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali 2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mmHg atau TDD > 110 mmHg) 3. Riwayat stroke iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui



ada



patologi



intrakranial



yang



tidak



termasuk



kontraindikasi 4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (> 10menit) atau operasi besar (< 3 minggu) 5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu 6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi 7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini 8. Kehamilan 9. Ulkus peptikum aktif 6



Obat fibrinolitik : 1) Streptokinase : Merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena telah terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah. 2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Penelitian oleh Global Use of Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal dibanding SK dan resiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. 3) Reteplase (retevase) : Penelitian INJECT menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada penelitian GUSTO III dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. 4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1-B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama jika dibandingkan dengan tPA.



2. AV BLOK A. Definisi Waktu yang diperlukan untuk penyebaran depolarisasi dari nodus SA ke otot ventrikel ditunjukkan oleh interval PR dan normalnya tidak lebih besar dari 0,2 detik. Dalam keadaan normal di simpul AV dapat terjadi perlambatan, tujuannya adalah untuk memberikan waktu yang cukup bagi atrium untuk berkontraksi agar beban akhir (preload) ventrikel optimal untuk fase sistolik selanjutnya. Selain itu, perlambatan ini juga dapat mencegah stimulasi ventrikel secara berlebihan akibat takiaritmia tertentu di supraventrikel. Namun pada kondisi tertentu perlambatan ini 7



berlangsung lama bahkan hingga blok sesuai derajat. Gangguan pada proses konduksi menyebabkan fenomena EKG yang disebut blok jantung. (11)



B. Etiologi Infark miokard (IM) Infark miokard pada dinding anterior dapat dihubungkan dengan AV blok infranodal sepenuhnya; hal ini menandakan sesuatu yang kurang baik. blok jantung total terjadi pada sekitar kurang dari 10 % kasus infark miokard inferior akut dan dengan prognosis yang jauh lebih baik. studi menunjukkan bahwa blok AV jarang merupakan komplikasi dari MI. Dengan penanganan revaskularisasi, angka kejadian blok AV berkurang dari 5,3 menjadi 3,7%. sumbatan dari setiap arteri koroner dapat berujung pada berkembangnya gangguan konduksi walau dengan suplai darah yang cukup dari arteri koroner lainnya. Umumnya, oklusi dari arteri koronaria kanan akan diikuti dengan AV blok. Khususnya, oklusi arteri koronaria kanan proksimal memiliki insidensi AV blok yang tinggi (24%) karena bukan hanya keterlibatan arteri nodal AV namun juga arteri desendens superior kanan, yang berasal dari bagian proksimal arteri koronaria kanan. Pada sebagian besar kasus, AV blok akan membaik setelah revaskularisasi, namun kadang waktu pengobatan akan memanjang. Secara umum, prognosisnya baik. AV blok pada oklusi arteri desendens anterior kiri memiliki prognosis yang lebih buruk dan biasanya akan memaksa menggunakan pacu jantung. AV blok derajat dua dihubungkan dengan blok cabang berkas. (12) Iatrogenesis AV blok dapat berhubungan dengan operasi katup aorta, ablasi septum alkohol, intervensi koroner perkutan dengan arteri desendens anterior kiri, atau ablasi jalur lambat atau cepat dari AVN. Penempatan kateter mekanis mengganggu satu fasikulus ketika konduksi telah terjadi penurunan dalam sistem konduksi yang tersisa (misalnya, mengenai 8



bundel yang tepat dengan kateter arteri paru pada pasien dengan blok cabang berkas) hampir selalu mambaik secara spontan. AV blok setelah operasi jantung terlihat pada 1-5,7% dari pasien. Faktor risiko utama yang diidentifikasi untuk kebutuhan pacu jantung permanen adalah operasi katup aorta, penyakit konduksi yang sudah ada sebelumnya (blok cabang berkas)., katup bikuspid aorta, kalsifikasi annulus, dan jenis kelamin perempuan. Kurun waktu untuk pemulihan sangat bervariasi, dengan sebagian besar pasien pulih selama 48 jam setelah operasi. Bukti yang ada menunjukkan bahwa jika tidak ada pemulihan konduksi AV dilihat oleh pasca operasi hari ke-4 atau 5, alat pacu jantung harus ditanamkan. C. Patofisiologi Dalam kondisi normal, persimpangan AV yang terdiri dari AVN dengan sambungannya terhadap jalur internodal atrium, bundel AV dan bagian yang tidak bercabang dari bundel His, memberikan hubungan tunggal untuk transmisi impuls antara sistem konduksi atrioventrikuler. Serat-serat pada AVN memiliki sifat tahanan yang tinggi yang menyebabkan penundaan antara transmisi impuls



atrioventrikuler.



Penundaan ini memberikan waktu optimal bagi pengisian ventrikel dan melindungi ventrikel dari laju abnormal yang berasal dari atrium. Gangguan konduksi dari AVN paling banyak dihubungkan dengan fibrosis atau jaringan luka pada sistem konduksi. Gangguan konduksi dapat juga berakibat dari pengobatan, termasuk digoxin, beta-bloker, calcium channel blocker dan antiaritmia kelas 1A. Faktor tambahan yang memperberat termasuk gangguan elektrolit, penyakit radang , atau operasi jantung. Blok jantung mengacu kepada gangguan konduksi impuls. Gangguan konduksi dapat berupa perubahan fisiologis atau patologis. Hal ini dapat terjadi pada serat AVN atau bundel AV. Interval PR pada EKG akan sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk penyampaian impuls dari nodus SA sampai ke jalur ventrikel. (12) D. Klasifikasi 9



AV Blok terbagi menjadi : 1. Blok AV derajat satu



Blok AV derajat satu merupakan derajat yang paling ringan. Pada jenis ini, impuls yang dibentuk disimpul SA mengalami perlambatan disimpul AV. Karena itu, istilah blok AV pada kondisi ini sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi adalah perlambatan (delay), bukan blok. Pada derajat satu, blok biasanya terjadi di simpul AV. Pada umumnya durasi kompleks QRS yang mengikuti masih sempit kecuali bila terjadi aberansi. Interval PR tampak konstan tanpa episode dropped beat. Karena itu interval RR juga tampak teratur. Pemanjangan interval ini antara lain disebabkan konsumsi obatobatan ( seperti penyekat reseptor beta, antagonis kalsium, amiodaron dan digoksin), penyakit jantung koroner. Meskipun jarang, pemanjangan interval PR (0,21-0,22 det) kadang masih akan ditemukan pada individu tanpa kelainan struktural apa-apa di jantung. Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Blok AV derajat satu biasanya tdak memerlukan tindakan apa-apa. Kriteria diagnostiknya adalah : 1) Setiap gelombang P di ikuti oleh QRS ( tidak ada episode dropped beat). 2) Interval PR > 0,2 detik. Pemanjangan interval ini konstan dari beat ke beat. 2. Blok AV derajat dua Tahun 1899, karel frederik Wenckebach, menjelaskan sebuah fenomena timbulnya sebuah ketidakteraturan denyut nadi karena blok parsial di atrium ventrikular junction. Akibat blok parsial ini , terjadi 10



pemanjangan progresif waktu konduksi di jantung. Fenomena ini kemudian disebut sebagai fenomena Wenckebach. Pada bulan juli 1923 woldemar mobitz untuk pertama kali membagi blok AV derajat dua menjadi dua tipe yaitu : 1) Tipe I ( mobitz tipe I atau Wenckebach phenomenon)



Pada mobitz tipe I impuls yang datang dari atrium lebih sulit melawati simpul AV. Pada EKG tampak pada interval PR memanjang progresif hingga suatu saat gelombang P tidak diteruskan menjadi kompleks QRS karena simpul AV masih



refrakter (Wenckebach



phenomenon). Dengan demikian, depolarisasi dari atrium tidak lagi diteruskan ke ventrikel atau dropped beat. Setelah dropped beat ini terjadi, masa refrakter simpul AV telah selesai. Dengan kata lain simpul AV telah siap untuk menerima dan meneruskan impuls yang baru dari atrium. Karena itu saat ada impuls yang baru datang, simpul AV kembali dapat meneruskannya ke distal dengan interval PR lebih pendek dibanding sebelum terjadinya dropped beat. Siklus baru akan di mulai kembali interval PR perlahan-lahan kembali memanjang hingga suatu saat kembali terjadi dropped beat demikian seterusnya. Interval PR perlahan-lahan akan tampak memendek hingga terjadinya blok. Karena adanya fenomena ini kompleks QRS akan tampak seperti mengelompok seperti adanya blok. Bila menemukan fenomena seperti ini kita dapat mencurigai terjadinya



11



blok wenckebach sebelum menyelidiki hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS. Tidak semua blok derajat ini memperlihatkan pemanjangan interval PR yang jelas. Pada sebagian kasus pemanjangan interval ini terjadi perlahan hingga terjadinya dropped beat. Meskipun demikian , kita akan selalu melihat bahwa interval PR setelah dropped beat akan selalu lebih pendek dibanding sebelum episode blok. Pada blok AV derajat dua tipe I lokasi blok biasanya masih berada disimpul AV atau bagian atas regio junctional atau supra his. Biasanya kompleks QRS juga akan normal (sempit). Hemodinamik masih akan normal. Pasien-pasien seperti ini akan tetap asimtomatik bertahun-tahun tanpa mengalami perburukan derajat. Pada kasus blok wenckebach terdapat kriteria sebagai berikut : a) Interval PR memanjang progresif hingga suatu saat mengalami blok. b) Interval RR memendek hingga gelombang P mengalami blok. c) Interval RR diantara gelombang P yang mengalami blok lebih pendek dari jumlah dua interval PP. Mobitz tipe satu dapat timbul karena konsumsi obat-obat tertentu seperti digoksin atau penyakat reseptor beta. Blok ini cukup sering terjadi pada infark miokard inferior akibat gangguan suplai darah ke simpul AV. Selain itu, juga dapat terjadi pada miokarditis, proses sklerodegeneratif yang melibatkan nodus AV dan tonus vagal yang tinggi (seperti saat tidur, muntah, atlet terlatih). 2)



Tipe II ( mobitz tipe II)



12



Tipe ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktural permanen berkas cabang akibat infark miokardium anterior luas atau proses degeneratif luas sistem konduksi. Lokasi blok biasanya terdapat dibawah bekas his atau infra his. Lokasi blok di simpul AV sangatlah jarang karena itu sebagian besar akan disertai oleh blok berkas cabang. Pada mobitz tipe II tidak di dapatkan pemanjangan progresif interval PR yang membedakannya dari mobitz tipe I. Interval PR akan konstan, bisa memanjang atau normal. Yang khas adalah terdapat blok intermiten gelombang P dengan rasio yang bervariasi (3:2,4:3,dll). Durasi QRS sering kali lebar yang menandakan lokasi blok di distal berkas his. Kriteria diagnosa mobitz tipe II yaitu : a) b)



Blok intermiten gelombang P Pada gelombang P yang diteruskan menjadi kompleks QRS



(conducted), interval PR akan konstan (bisa normal atau memanjang). c) Pada umumnya morfologi QRS merupakan blok berkas cabang. Gambar AV blok mobitz tipe I I 3. Blok AV 2:1 Blok AV 2:1 merupakan kondisi yang khusus. Pada blok AV rasio 2:1 ( 2 gelombang P dengan 1 QRS), sangat sulit ditentukan apakah termasuk blok mobitz tipe I atau tipe II. Pada tipe I harus ada pemanjangan proresif interval PR sedangkan pada tipe II harus ada bukti bahwa interval PR konstan. 4. Blok AV derajat tiga (Blok AV total)



13



Pada blok AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan ke ventrikel akibat adanya blok di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel tidak lagi distimulasi oleh pacu jantung(pace maker) normal yaitu simpul SA, melainkan dari sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi blok, bisa di AV jantung atau lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut subsidiary pacemaker. Karena itu baik aktifitas atrium dan ventrikel akan tampak berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi antara gelombang P dan kompleks QRS ( independent satu sama lain). Interval PP dan RR tampak teratur, kecuali ekstra sistol. Pada pasien dengan irama dasar fibrilasi atrium atau kepak atrium (atrial flutter), terjadinya blok AV Total dapat dikenali jika respon ventrikel menjadi teratur. Dalam interpretasi perlun disebutkan irama yang mengambil alih. Dengan demikian , kriteria blok AV total adalah : a) Tidak terdapat hubungan antara aktifitas atrium (gelombang P) dan b) c)



ventrikel (komplek QRS). Laju gelombang P biasanya lebih cepat dari laju QRS. Irama ventrikel dipertahankan oleh irama junctional



atau



idioventrikular. E. Bundle Branch Blok Jika gelombang depolarisasi mencapai septum interventrikular secara normal, interval antara permulaan gelombang P dan defleksi pertama pada kompleks QRS (interval PR) akan normal pula. Namun, jika terdapat kondisi abnormal melalui cabang-cabang berkas kanan atau kiri (blok cabang berkas), akan timbul perlambatan depolarisasi pada sebagian otot



ventrikel.



Penambahan



waktu



yang



diperlukan



untuk



mendepolarisasikan seluruh otot ventrikel menyebabkan kompleks QRS melebar. Jika durasi QRS lebih besar dari 0,12 detik , pasti kondusi ventrikel melewati jalur yang abnormal dan lambat. Walaupun komplek QRS yang lebar dapat menunjukkan BBB, pelebaran jika terjadi jika depolarisasi dimulai di dalam otot ventrikel itu sendiri. Bundle branch blok dibagi a.



menjadi dua yaitu : Right Bundle Branch Blok (RBBB) 14



RBBB merupakan gambaran EKG yang terjadi akibat adanya hambatan atau blok implus pada tingkat berkas cabang kanan. Tidak serta merta berarti kelainan jantung. Banyak individu normal menunjukkan RBBB (pre-existing RBBB). Dalam keadaan normal gelombang depolarisasi dari nodus AV akan diteruskan ke berkas HIS lalu ke berkas cabang kanan dan kiri pada waktu yang bersamaan. Karena adanya blok diberkas cabang kanan, depolarisasi ventrikel kanan kiri tidak terjadi simultan. Impuls akan di teruskan ke distal lebih dahulu secara normal melalui berkas cabang kiri. Karena itu proses awal (aktifasi septum) tetap berlangsung normal dari sisi kiri septum ke kanan. Proses eksitasi berlanjut ke ventrikel kiri melalui fasikulus anterior dan posterior lalu terakhir ke ventrikel kanan. Dengan demikian terjadi perubahan urutan aktifasi ventrikel. Fase awal aktifasi ventrikel pada RBBB adalah aktifasi septum yang tetap berlangsung normal dari sisi kiri septum ke kanan. Proses ini tidak terganggu karena seperti halnya dalam keadaan normal septum memang di aktifasi oleh cabang-cabang septal yang berasal dari berkas cabang kiri. Karena itu, RBBB tidak menimbulkan perubahan pada bagian awal kompleks QRS, lain halnya dengan LBBB. Karena arah vektornya adalah dari kiri belakang ke kanan depan, pada EKG proses ini akan terekam sebagai defleksi R di V1 dan Q di V6. Setelah aktifasi septum, fase berikutnya adalah aktifasi ventrikel kiri. Proses ini juga berjalan seperti dalam keadaan normal, hanya saja dalam keadaan normal proses ini stimultan dengan eksitasi ventrikel kanan melalui berkas cabang kanan. Vektornya menuju ventrikel kiri. Pada EKG akan terekam gelombang S di V1 dan R di V6, masih sama dengan EKG normal. Masalahnya terletak pada fase terakhir aktifasi ventrikel. Fase terakhir adalah depolarisasi ventrikel kanan yan terlambat. Pada EKG proses ini terekam sebagai R di V1 dan sebaliknya, S di V6. Gelombang R tampak lebar, biasanya lebih tinggi dari r. Gelombang S juga tampak lebar (slurred). Proses terakhir inilah yang membedakan aktifasi ventrikel pada RBBB dibanding keadaan normal. Akibatnya adalah perubahan arah



15



vektor terminal QRS ke kanan depan dengan gambaran S lebar (slurred) di sadapan precordial kiri, menuju ventrikel kanan. Kriteria diagnosis RBBB yaitu: a) b)



Durasi QRS > 0,12 detik Kompleks QRS berbentuk trifasik (rSR’) di sandapan prekardial



kanan (V1-V3). Biasanya disertai depresi segmen ST dan gelombang T terbalik. c) Gelombang S lebar di sandapan prekordial lateral (V5,V6) dan I. d) Onset intrinsicoid deflection di V6 normal. RBBB inkomplit RBBB inkomplit memiliki durasi QRS yang normal. Pada RBBB inkomplit, terjadi blok parsial atau perlambatan konduksi di berkas cabang kanan, dengan demikian masih ada implus yang dapat melewatinya untuk mengaktifasi ventrikel kanan secara normal. b.



Left Bundle Branch Blok (LBBB) LBBB terjadi akibat adanya hambatan atau blok implus pada tingkat berkas cabang kiri. Karena blok ada diberkas cabang kiri dengan sendirinya fase awal aktifasi ventrikel (aktifasi septum) pasti berubah. Artinya, aktifasi septum tidak lagi berlangsung dari sisi kiri ke kanan, melainkan sebaliknya. Aktifasi septum pada LBBB berlangsung sangat lambat dari otot ke otot. Karena itu waktu yang diperlukan lebih lama tidak heran jika durasi QRS pun akan menjadi lebih lebar. Pada LBBB urutan aktifasi ventrikel menjadi abnormal, baik dalam vektor awal maupun vektor akhir kompleks QRS. Akibat blok, eksitasi ventrikel akan di mulai oleh implus yang dihantarkan melalui berkas cabang kanan. Berkas cabang kanan berjalan dari atas septum ke distal (di sisi kanan septum interventrikel) menuju apex ventrikel kanan sebagai sebuah serabut tanpa memberikan cabang apa-apa. Daerah yang di eksitasi lebih awal adalah sisi kanan septum ventrikel, apex dan dinding bebas ventrikel kanan. Proses eksitasi septum selanjutnya berlangsung dari sisi kanan ke kiri. Pada LBBB, gelombang q septal ini akan hilang akibat perubahan arah vektor awal QRS. Selanjutnya eksitasi diteruskan ke ventrikel kiri yang ada di kiri belakang. Dengan demikian depolarisasi dan rerata vektor QRS juga berubah ke arah kiri dan posterior. Karena depolarisasi dihantarkan tidak 16



melalui sistem konduksi normal, maka defleksi yang timbul tampak lebar. Selain itu hjuga terdapat perubahan arah repolarisai, vektor segmen ST dan T menjadi berlawanan arah dengan vektor QRS. Akibatnya, terekam gambaran ST depresi dan infersi gelomabang T di sadapan precordial kiri, Sadapan 1 dan AVL. Kriteria diagnosis LBBB : a) Durasi QRS > 0,12det b) Gelombang R tampak lebar , bertakik, disandapan prekordial kiri , I dan aVL. c) Gelombang q menghilang di sadapan prekordial kiri d) Onset intrisicoid deflection terlambat di V6 namun masih normal di V1. e)



Depresi segmen ST dan inversi gelombang T berlawanan arah



dengan arah defleksi kompleks QRS (discordan). LBBB sering kali merupakan petunjuk adanya kelainan struktural di jantung. Konduksi patologis yang sering berhubungan adalah hipertensi lama, stenosis aorta, kardiomiopati dilatasi, infrak miokard, PJK , dan kelainan sistem konduksi listrik jantung. LBBB sering timbul pada PJK dengan fungsi ventrikel kiri yang rendah. (11) F. Penatalaksanaan Total AV



blok



merupakan



keadaan



darurat



jantung



yang



membutuhkan penanganan segera. Blok AV derajat III terjadi jika tidak ada impuls atrium yang dihantarkan ke ventrikel berdenyut sendiri-sendiri (terdapat disosiasi atrioventrikel). Atrium berdenyut teratur mengikuti impuls yang berasal dari simpuls SA. Ventrikel juga berdenyut dengan teratur namun frekuensinya jauh lebih lambat dibandingkan atrium (20-60 x/menit). Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR yang bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total sering diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan kecepatan ventrikel biasanya > 50x/ menit. Makna klinis dan prognosis blok AV bergantung pada penyebabnya. Blok AV akibat peningkatan rangsang vagus atau pada keracunan digitalis 17



yang ditangani dengan baik, mempunyai prognosis yang cukup baik. Namun bila ditemukan perubahan mendadak dari irama sinus menjadi blok AV total (sindrom Adam-Stokes), prognosisnya menjadi serius, karena dapat mendatangkan kematian akibat henti jantung mendadak atau fibrilasi ventrikel. Etiologi total AV blok selain kongenital bisa juga didapat. Kelainankelainan tersebut adalah : penyakit degeneratif sistem penghantaran (Lev's disease, Lenegre' disease), iskemi atau infark miokard, kardiomiopati dilatasi, keracunan obat karena digitalis, quinidin, fenotiazin, anti depresi trisiklik, penyakit katup jantung khususnya stenosis aorta dan insufisiensi aorta, kelainan miokard dan jaringan ikat (sarkodiosis, skeloderma, amiloidosis, SLE, penyakit tiroid) pembedahan, hiperkalemia dan diikuti anti aritmia, tumor jantung (baik primer maupun sekunder) dan Chagas'disease. Diagnosis total AV blok biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Pada EKG dapat dijumpai frekuensi gelombang P tidak sama dengan kompleks QRS, bentuk kompleks QRS dapat normal (picu sekunder di AV junction) atau menyerupai bentuk denyut ektopik ventrikel (picu sekunder pada dinding ventrikel). Gelombang P sinus dan banyak , sementara kompleks QRS hanya ada beberapa. Adanya disosiasi AV dimana tidak adanya hubungan gelombang P dan kompleks QRS. Interval RR masih teratur. Irama atrial lebih cepat daripada irama ventrikel, irama ventrikel biasanya sangat lambat > 45 x/menit (pada yang kongenital 4060x/menit). Pada kasus terlihat gambaran seperti tersebut dengan VR 31 x/ menit. Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena dengan dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan alat pacu jantung permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi hemodinamik pasien. American Heart Association/ American College of 18



Cardiology membagi indikasi pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I, II, III. Yang dimaksud kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II keadaan dimana masih terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan kelas III keadaan dimana tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu jantung pada blok AV adalah sebagai berikut: 1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan salah satu komplikasi berikut: a. Bradikardi simtomatik. b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang menimbulkan bradikardia simtomatik. c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang < 40 denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala. d. Setelah ablasi kateter AV junction. e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi. f. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik muskular, Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular peroneal. 2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan bradikardia simtomatik. Pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi eksternal yang digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan impuls dan/ atau transmisi menimbulkan bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati nomal pada saat istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen. Insersi biasanya dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu jantung permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan pacu jantung ventrikel. Pada kasus ini mula-mula diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x 10 mg kemudian diberikan injeksi sulfas atropin 0,5 mg-1 mg IV, total 0,04 mg/kgBB, namun tidak terjadi perbaikan sehingga 19



pasien dipasang alat pacu jantung temporer melalui vena femoralis kanan. Pada akhirnya pasien harus membutuhkan pacu jantung permanen melalui vena subklavia dengan keadaan hemodinamik pasien yang membaik. (12)



20



III.



KESIMPULAN



. 1. STEMI yang merupakan singkatan dari ST Elevated myocardial infarction merupakan sebuah tipe serangan jantung. Infark myocard (serangan jantung) terjadi ketika sebuah arteri koroner terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark (mati). 2. Atrioventrikular (AV) blok didefinisikan sebagai keterlambatan atau gangguan dalam transmisi impuls dari atrium ke ventrikel akibat gangguan anatomis atau fungsional dalam sistem konduksi. Terminologi umum digunakan meliputi derajat pertama (konduksi melambat), derajat kedua, dan derajat ketiga atau AV blok total. 3. Tujuan penatalaksaan pada pasien adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antithrombotik dan anti platelet, serta memberi obat penunjang.



21



DAFTAR PUSTAKA 1. Pie´rard LA. ST elevation after myocardial infarction: what does it mean? Heart Journal. November 2007;93(11):1329–30. 2. Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Blo¨mstrom-Lundqvist C, Borger MA, et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 24 August 2012;33(20):2569-619. 3. STEMI - ST Segment Elevation Myocardial Infarction [Internet]. 2014 [cited 10 February 2016]. Available from: http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm. 4. NICE. Myocardial infarction with ST-segment elevation : The acute management of myocardial infarction with ST-segment elevation. NICE Clinical Guideline. July 2013;167. 5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010. 6. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 147 ed: Cermin Dunia Kedokteran; 2005. 7. Dharma S. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2009. 8. Ramrakha P, Moore K. Oxford Handbook of Acute Medicine 2nd Edition. Oxford, England: Oxford University Press; 26 October 2006. 9. Antman EM, Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. USA: McGrawHill; 2005. p. 1449-50. 10. Hampton JR. The ECG in Practice, 4th Edition. London: Elsevier Science Limited - CHURCHILL LIVINGSTONE; 2003. 11. Ganong F. William, 2003, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, EGC, Jakarta. 12. Price & Wilson, 2006, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume I, EGC, Jakarta. 22