MAKALAH STRUKTURALISME SAUSSURE KELOMPOK 2 BLM Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TEORI SASTRA STRUKTURALISME FERDINAND DE SAUSSURE



disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra Dosen pengampu



Oleh 1.



Martina Puspita Rakhmi



(0202519009)



2.



Dian Nurani Azmi



(0202519010)



3.



Hanan Karunia Afifah



(0202519013)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum w.w. Puji syukur kami ucapkan atas terselesaikannya makalah Teori Sastra yang berjudul “Strukturalisme Ferdinand de Saussure”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra. Sebagaimana judulnya makalah ini diharapkan mampu memberikan wawasan, pengetahuan, dan gambaran tentang strukturalisme Ferdinand de Saussure yang mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu kesastraan. Kami sadar bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan kualitas makalah ini. Demikian harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan semua pembaca. Terima kasih. Wassalamualaikum w.w.



Semarang, 17 September 2019 Penyusun



DAFTAR ISI Halaman Judul .............................................................................................................i Kata Pengantar ............................................................................................................ii Daftar Isi .......................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1.3 Tujuan ............................................................................................................. BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2.1 Konsep Umum Strukturalisme Ferdinand de Saussure .................................. 2.2 2.3 Konsep Sintagmatik dan Paradigmatik .......................................................... 2.4 Konsep Langage, Parole, dan Langue ........................................................... 2.5 BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 3.2 Saran ............................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, dan tujuan penyusunan makalah. 1.1 Latar Belakang Secara normatif, studi sastra dibagi dalam beberapa bidang. Salah satunya adalah teori sastra. Teori sastra mempelajari kaidah-kaidah, paradigma-paradigma, dan pemikiranpemikiran masyarakat atau kelompok teoritikus terhadap sastra. Dengan kata lain, teori sastra mempelajari pandangan orang terhadap sastra. Pada awalnya, teori sastra menerapkan satu pendekatan dalam memahami sastra dalam konteks relevansi ilmu bahasa. Pada akhirnya, teori sastra muncul sebagai satu solusi untuk menjelaskan tingkat produksi teks sebagai satu bagian proses budaya daripada sebagai satu produk individual (seniman) dan jatuh pada persoalan bagaimana teks itu dapat menciptakan satu budaya yang baru. Seiring perkembangan ilmu kesastraan, muncul pula satu cabang pemikiran baru mengenai bahasa, yakni ilmu linguistik. Dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1920-an) dengan aliran yang dinamakan aliran strukturalisme yang dikembangkan juga oleh Claude Lévi-Strauss. Pemanfaatan model linguistik digunakan untuk menjelaskan fenomena budaya selain bahasa. Aliran ini merupakan aliran yang mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan bermacam-macam bentuk di permukaan secara ilmiah dan tentu objektif sehingga aliran ini dapat memunculkan objektivitas yang bersifat positivistik. Keberadaan sejumlah warisan pemikiran Saussure yang hingga saat ini masih terus dibicarakan dan menjadi bahan kajian tidak hanya dalam disiplin ilmu bahasa namun juga berpengaruh pada disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi, film dan musik, sejarah, dan lainnya. Dalam makalah ini akan dilakukan pembahasan salah satu jenis relasi paling penting dalam pandangan Saussure, yaitu oposisi biner. Beberapa gagasan besar yang lebih mudah untuk dipahami dalam bentuk oposisi biner seperti signifiant-signifie, syntagmatic-paradigmatic, langue-parole, dan sinkronis-diakronis.



1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain: 1.2.1 Bagaimana konsep umum strukturalisme Ferdinand de Saussure? 1.2.2 Bagaimana konsep signifiant-signifie? 1.2.3 Bagaimana konsep syntagmatic-paradigmatic? 1.2.4 Bagaimana konsep langue-parole? 1.2.5 Bagaimana konsep synchronis? 1.3 Tujuan Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui: 1.3.1 Konsep umum strukturalisme Ferdinand de Saussure. 1.3.2 Konsep signifiant-signifie 1.3.3 Konsep syntagmatic-paradigmatic. 1.3.4 Konsep langue-parole. 1.3.5 Konsep synchronis



BAB II PEMBAHASAN



Pada bab ini akan dibahas konsep umum strukturalisme Ferdinand de Saussure, konsep signifiant-signifie, syntagmatic-paradigmatic, langue-parole, dan sinkronis-diakronis. 2.1 Konsep Umum Strukturalisme Ferdinand de Saussure Strukturalisme



adalah



satu



aliran



filsafat



yang



muncul



di



Prancis.



Istilah



“strukturalisme” tidak hanya digunakan dalam bidang kesastraan tetapi juga dalam bidangbidang yang lain, seperti biologi, psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, bahasa atau linguistik, dan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Menentukan asal-usul paham atau pemikiran strukturalisme akan bertemu dengan beberapa kesulitan sebab bapak strukturalisme, Claude Lévi Strauss, adalah seorang antropolog. Beliau banyak terpengaruh atau menggunakan konsep dari bapak linguistik, yakni Ferdinand de Saussure. Sebagai satu bidang pemikiran, strukturalisme memiliki beberapa ciri. Pertama, strukturalisme memiliki satu konsep bahwa sesuatu yang ada dalam permukaan (face structure) itu pada hakikatnya menjelaskan sesuatu yang di dalam (deep structure). Ketidakteraturan pada permukaan pada dasarnya memiliki satu mekanisme yang mengatur hal tersebut sehingga dapat diketahui formula yang ada. Kedua, merupakan turunan sifat dari yang pertama. Struktur yang dalam (deep structure) pada hakikatnya memiliki satu hukum yang terstruktur atau mekanisme yang teratur pada dirinya sendiri. Sifat dari mekanisme itu tidak hanya statis namun memiliki kemampuan yang terorganisasi dan terpola. Kaum strukturalis percaya bahwa struktur “yang terdalam” terdiri atas blok-blok unsur yang bila digabungkan dapat menjelaskan yang ada di permukaan. Kaum strukturalis percaya bahwa diri mereka adalah objektif. Mereka mampu menjaga jarak antara diri mereka dengan objek yang diteliti sehingga mampu mendapatkan hasil yang objektif. Strukturalisme dipengaruhi oleh linguistik struktural dalam yang mana bahasa dianggap sebagai sistem kata-kata, bahkan unsur-unsur mikro seperti suara. Relasi antarunsur memungkinkan bahasa menyampaikan informasi untuk menandai. Strukturalisme melebihi humanism. Para strukturalis menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang dianggap terlalu individualistik dan kurang ilmiah. Konsep-konsep pemikiran linguistik oleh Ferdinand de Saussure dalam kerangka strukturalisme sangat penting untuk diketahui atau dijadikan dasar membicarakan teori



strukturalisme secara umum dalam bidang kesusastraan ataupun kebudayaan. Konsep-konsep yang dimaksud difokuskan pada konsep signifiant-signifie, syntagmatic-paradigmatic, langue-parole, dan sinkronis-diakronis. 2.2 Konsep Signifiant-Signifié Salah satu cabang ilmu linguistik yaitu pembahasan sastra sebagai tanda dalam bidang semiotik. Dalam Cours De Linguistique diuraikan secara panjang lebar bahwa



bahasa adalah sistem tanda dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain yakni signifiant (penanda) dan signifie’ (petanda). Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangakn signifie’ adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Secara sederhana signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara itu signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. (Sobur, 2004: 125). Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Secara sederhana signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara itu signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. (Sobur, 2004: 125). Gambar 1 Keterkaitan tanda menurut Saussure signifier (word/image. Sound, gesture): Tree” (as written, poken, or depicted)



Sign (a representasion that Stands in place of)



Signified (concept or the idea of “treeness”



Signifier mengacu pada tampilan fisik dari sign yang dapat berupa goresan gambar, garis, warna, maupun suara atau tanda-tanda lainnya, sedangkan Signified mengacu pada makna yang tersemat pada tampilan fisik tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda (Sign) bersifat arbitrari dimana kombinasi antara Signifier dan signified adalah entitas yang manasuka (Saussure, 1959: 67). Tidak ada hubungan yang natural antara signifier dan signified. Tidak ada alasan intrinsik mengenai mengapa sebuah benda diberi nama sesuai dengan namanya tersebut. (Culler, 1990: 19). Setiap kata dapat menggantikan nama benda tersebut apabila telah diterima oleh konsensus atau konvensi suatu masyarakat. Bahkan menurut Saussure pada kenyataannya, setiap ekspresi yang digunakan dalam masyarakat diperoleh berdasarkan perilaku kolektif atau kesepakatan (konvensi) (Saussure, 1959: 68).



Gambar 2 Anak Anjing dalam Penjabaran Segitiga Tanda Saussure



Signifier Gambar atau goresan tinta warna hitam yang membentuk suatu gambar anak anjing.



Sign Sebuah gambar anak anjing yang lucu dan menggemaskan



Signified (Pemaknaan anak anjing yang lucu, menggemaskan, hangat, ceria, dan lincah)



De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa bukanlah satu-satunya sistem tanda yang dipakai dalam masyarakat, ada berbagai sistem tanda lain misalnya, dalam masyarakat modern kita memakai sistem tanda lalu lintas, yang prinsipnya sama dengan bahasa. Tanda lalu lintas juga bersifat arbitrer , konvensional (manusia harus belajar sistem tanda itu, sebab tidak bersifat wajar), dan sistematik .



2.3 Konsep Syntagmatic-Paradigmatic Sebuah tanda bermakna karena tanda itu berbeda dengan tanda lainnya. Perbedaan itu dapat bersifat syntagmatic (sintagmatik) atau paradigmatic (paradigmatik). Sintagmatik adalah hal yang sama yang dapat dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang menentukan nilai tanda itu. Paradigmatik adalah sesuatu yang tidak sama yang dapat ditularkan dengan sesuatu yang lain yang menentukan nilai tanda itu (Saussure, dalam Sukyadi, 2013:6). Chandler (dalam Sukyadi, 2013: 6), sintagmatik menyangkut penempatan, sementara paradigmatik menyangkut penggantian atau substitusi. Sintagmatik berhubungan secara horizontal, sedangkan paradigmatik bersifat vertikal. Hubungan sintagmatik adalah kombinasi antara ini dan ini dan ini, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan pemilihan ini atau ini atau ini. Hubungan sintagmatik merujuk secara intratekstual atas tanda yang sama-sama hadir dalam sebuah teks. Hubungan paradigmatik merujuk secara intertekstual atas tanda lain di luar teks. Sebuah kalimat terdiri atas berbagai fungsi berantai yang saling berhubungan seperti subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Hubungan antarfungsi itu merupakan hubungan sintagmatik. Sementara itu, sebuah eemen dalam kalimat dapat digantikan dengan tanda lain yang berasal dari paradigma yang sama. Misalnya, Ana pergi ke toko, subjek Ana dapat digantikan dengan ibu, adik, kakak, Nisa, Ari, atau yang lainnya asal masih satu paradigma dan inilah yang disebut dengan hubungan paradigmatik. Berdasarkan karakteristik seperti itu, hubungan sintagmatik disebut juga hubungan in presensia, sedangkan hubungan



paradigmatik disebut juga hubungan in absensia. Dikotomi sintagmatik dan paradigmatik berpengaruh terhadap lahirnya aliran strukturalisme. 2.4 Konsep Langue-Parole Langage merupakan fenomena bahasa yang bersifat umum. Langage mencakup langue dan parole. Parole sendiri diartikan sebagai pemakaian bahasa yang bersifat individual, yakni cara seseorang dalam berbahasa. Langue adalah bahasa yang menjadi milik masyarakat tertentu. Dengan demikian, langue meliputi parole-parole dari masyarakat (Susanto, 2012: 95). Saussure (dalam Sukyadi, 2013: 3) membedakan langue dan parole. Langue merupakan sistem yang sistematis dan abstrak dari sebuah bahasa yang tanpa sistem itu, ujaran yang bermakna (parole) tidak mungkin dihasilkan. Sementara itu, Sanders (dalam Sukyadi, 2013: 3) juga mengungkapkan bahwa dalam memaknai langue sebagai sistem linguistik potensial yang ada dalam benak semua anggota dari sebuah masyarakat tutur, dan menunggu untuk dibangkitkan di dalam parole, yaitu ujaran individual atau tindak tutur. Langue merepresentasikan hasil berpikir bersama yang dapat bersifat internal pada masing-masing individu atau bersifat kolektif karena berada di luar jangkauan kemampuan seorang individu untuk mengubahnya. Di sisi lain, parole menandai perwujudan tindakan, pernyataan, dan ujaran berbahasa seorang individu melalui kombinasi penggunaan konsep dan bunyi yang merepresentasikannya. Tatabahasa yang tertuang dalam buku atau kosakata dalam kamus merupakan langue, sedangkan ujaran atau tulisan yang kita hasilkan saat berkomunikasi lisan atau tulis yang bisa saja di dalamnya terdapat kesalahan, pengulangan, atau penyederhanaan merupakan parole. Dengan demikian, menurut Saussure (dalam Sukiyaddi, 2013: 3) kajian linguistik akan mencakupi parole yang menitikberatkan ujaran individual, dan langue yang menitikberatkan sistem linguistik bahasa itu. 2.5 Konsep Synchronis a. Pengertian Linguistik Sinkronis Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani “syn” yang berarti “dengan” dan “khronos” yang berarti “waktu atau masa”. Menurut Ferdinan de Saussure telaah bahasa secara sinkronis adalah mempelajari suatau bahasa pada suatu kurun waktu tertentu saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman penjajahan atau



pada masa tahun empat puluhan. Linguistik sinkronis disebut juga linguistik deskriptif, karena mendeskripsikan bahasa secara apa adanya pada suatu masa tertentu. Pateda (1988:48) juga berpendapat bahwa linguistik sinkronis mempersoalkan bahasa pada masa tertentu, bersifat mendatar atau horizontal. Tujuan linguistik sinkronis yaitu mendeskripsikan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam bahasa yang diteliti dan untuk mengetahui bentuk atau struktur bahasa pada kurun waktu tertentu



b. Karakteristik Linguistik Sinkronis -



Mempelajari bahasa pada kurun waktu tertentu saja, terbatas. Misalnya bahasa Jawa pada masa pendudukan Belanda



-



Bersifat deskriptif, karena mempelajari keadaan bahasa itu apa adanya pada kurun waktu yang terbatas itu. Bahasa itu diterangkan bagaimana kerja dan penggunaanya oleh para penuturnya pada kurun waktu tertentu. Bahasa yang ketika peneliti mengadakan penelitian dan analisis



-



Bersifsat horizontal atau mendatar, karena tidak memiliki perbandingan dengan bahasa lain, dan juga tidak membandingkannya dengan dengan periode lain.



c. Contoh Linguistik Sinkronis Mengkaji bahasa Indonesia setelah sumpah pemuda, Ejaan van Ophuijsen.Pada awal abad ke-20 terjadi perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu. Pada tahun 1901, Indonesia menggunakanejaan Van Ophuijsen. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Bentuk ejaan ini diantaranya yaitu huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang. Bentuk lain yaitu Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer. 1. Diakronis a. Pengertian Linguistik Diakronis Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani yaitu “dia” yang berarti “melalui” dan “khronas” yang berarti “waktu atau masa”. Ferdinand de Saussure berpendapat



telaah linguistik diakronis adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Sedangkan Menurut Chaer (2003 : 14) linguistik diakronis berupaya mengkaji bahasa pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran bahasa tersebut sampai zaman punahnya bahasa tersebut (contoh bahasa yang sudah punah seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta), atau sampai zaman sekarang (contoh bahasa yang masih hidup, seperti bahasa Jawa). Tujuan linguistik diakronis adalah untuk mengetahui sejarah suatu struktural bahasa dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya.



b. Karakteristik Linguistik Sinkronis -



Bersifat tidak terbatas, bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya bahasa tersebut.



-



Menguraikan, menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa



-



Bersifat historis atau vertikal. Bersifat historis yaitu membicarakan perkembangan bahasa sejak mula adanya sampai sekarang, jadi hal yang berhubungan dengan sejarah bahasa tersebut. Kata sejarah mengandung pengertian telaah dari masa silam hingga kini. Seperti dalam sejarah bahasa Indonesia pada masa lampau, maka mengacu pada bukti-bukti sejarah pertama yang ditemukan sampai hari ini



-



Bersifat linguistik komperatif diakronis, yaitu perbandingan antara bahasa-bahasa yang serumpun, yang ditujukan kepada rekonstruksi bahasa induk atau dapat ditujukan untuk mengetahui daerah bahasa induk ini dahulu dipakai.



-



Bahasa berbentuk dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.



c. Contoh Linguistik Diakronis Perkembangan bahasa Indonesia dari awal dibentuk hingga sekarang. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu sudah dipakai



dengan



ditemukannya bukti berupa prasasti, contohnya Prasasti di Kedudukan Bukit berangka pada tahun 635 M (Palembang), Prasasti di Talang Tuwo berangka pada tahun 684 M (Palembang), Prasasti di Kota Kapur berangka 686 M (Bangka), dan lain-lain. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara secara intensif dan dalam waktu yang lama mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuaan bangsa Indonesia, maka para kaum intelektual muda pada saat itu merasa



perlu adanya bahasa persatuan, sehingga pada tanggal 28 Oktober 1928 melahirkan ikrar sumpah pemuda yang terbagi menjadi tiga butir yaitu 1. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah satoe tanah air Indonesia 2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah satoe bangsa Indonesia 3. poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah satoe Bahasa Indonesia Kemudian pada tanggal 1938 diselenggarakan kongres pertama bahasa Indonesia di Solo dan pada masa penjajahan Jepang bahasa Indonesia semakin berkembang karena pemerintahan Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda. Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia semakin dikukuhkan sebagai bahasa Nasional.



BAB III PENUTUP Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran. 3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan singkat mengenai berbagai buah pikiran Semiotika Saussure maka dapat dilihat bahwa Saussure mempercayai adanya struktur dalam bahasa. Ia lebih meyakini studi bahasa sebagai studi sinkronis yang meneliti mengenai struktur yang ada dalam bahasa, dan tidak melihat bahasa sebagai proses evolusioner yang terus berubah-ubah sepanjang sejarah. Saussure juga meyakini bahwa Parole atau bahasa tuturan manusia hanya dapat muncul karena ada Langue atau kemampuan bahasa yang bersifat kolektif. Ia meyakini bahwa ada keteraturan dalam bahasa yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Penggunaan bahasa ini mungkin nampak berantakan dipermukaan, akan tetapi ada keteraturan yang baku didalamnya. Semiotika Strukturalisme Saussure inilah yang kemudian digunakan untuk menemukan keteraturan tersebut. 3.2 Saran Adapun saran penyusun dari makalah ini, antara lain: Hasil penelitian ini disarankan agar digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan dalam megembangkan karya sastra. Makalah ini hendaknya dimanfaatkan mahasiswa dalam belajar dan menambah wawasan mahasiswa dalam bersastra dan berbahasa.



DAFTAR PUSTAKA



Buku De Saussure, Ferdinand edited by Charles Bally and Albert Sechehaye. (1959). Course in General Linguistics 3rd ed. New York: Philosophical Library Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Sleman: Caps Penerbit. Jurnal Ilmiah Barthes, Roland translated by Annette Lavers. (1972). Mythologies. New York: The Noonday Press Ken Smith and friends. (2005). Handbook of Visual Communication: Theory, Methods, and Media. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associa Sukyadi, Didi. Dampak Pemikiran Saussure Bagi Perkembangan Linguistik dan Disiplin Ilmu Lainnya. Jurnal Parole Vol. 3 No. 2, Oktober 2013. Universitas Pendidikan Indonesia. Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya