Makalah Suku Toraja Kel. 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEBUDAYAAN INDONESIA



TORAJA



DI SUSUN OLEH :



 Ananda Devi Mutia  Angel Feronica Hutabarat  Ghina Aninnas Amalia



V.542 KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang aha Esa atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kebudayaan yang membahas kebudayaan suku toraja. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada guru Kebudayaan Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.



Penulis



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias. Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.



B. Rumusan Masalah 1. Apa bahasa yang di pakai oleh suku toraja ? 2. Apa agama yang dianut oleh suku toraja ? 3. Apa mata pencaharian dan organisasi yang ada disuku toraja ? 4. Apa kesenian suku toraja ?



C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui bahasa yang di pakai toraja 2. Untuk mengetahui agama apa yang di anut oleh suku toraja 3. Untuk mengetahui mata pencaharian dan organisasi yang ada di suku toraja 4. Untuk mengetahui kesenian yang ada di suku toraja 5. Untuk lebih mengetahui sejarah suku toraja



BAB II



ISI A. PENGERTIAN SUKU TORAJA Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.



B. WILAYAH Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan bupati bernama Ir. Nico Biringkanae. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.203 km² dan berpenduduk sebanyak 268.588 jiwa (2017). Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu objek wisata di Sulawesi Selatan. Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di



kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa. Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150 c – 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn. Jika pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim hujan dan musim kemarau yang umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april sampai dengan september merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober sampai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut. Kondisi riil ini dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten Toraja.



C. BAHASA Bahasa Toraja, adalah bahasa yang digunakan oleh suku Toraja yang tersebar di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Bahasa Toraja masih memiliki beberapa dialek di daerah Kabupaten Tana Toraja, yang dibagi atas tiga dialek, yaitu dialek Makale-Rantepao, dialek Saluputti-Bonggakaradeng, dan dialek Sillanan-Gandangbatu. Klasifikasi Bahasa: 1. 2.



Polynesian, Proto Malayo Austronesian: Malayo-Polynesian: South Sulawesi: Northern



Beberapa dialek yang terdapat di Toraja, 1.Kalumpang, terdiri dari 4 dialek: Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da). 2.Mamasa, terdiri dari 7 dialek: Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi) 3.Ta'e



rob, terdiri dari 4 dialek: Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.



4.Talondo',



hanya 1 dialek



5.Toala',



terdiri dari 2 dialek: Toala' dan Palili'.



6.Torajan-Sa'dan,



terdiri dari 4 dialek: Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana)



D. AGAMA Di Tana Toraja dijumpai beberapa agama, antara lain 1. 2.



Kristen Protestan 298.22l jiwa, Katholik l08.850 jiwa,



3.



Islam 37.853 jiwa dan



4.



Hindu Toraja (Aluk Todolo) l3.145 jiwa.



Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.



E. MATA PENCAHARIAN Mata pencaharian masyarkat ini pada dasarnya ialah bercocok tanam padi disawah dan sedikit di ladang. Selain padi mereka juga menanam jagung, sayur-sayuran, singkong, ubi jalar, kopi, cengkeh, kelapa dan markisa. Pada masa lalu daerah Toraja terkenal sebagai



penghasil kopi yang bagus. Peternakan khususnya kerbau dan babi yang diperlukan untuk melengkapi upacara-upacara keagamaan mereka, untuk makanan sehari-hari mereka memelihara ikan di kolam beternak ayam dan itik.



F. ORGANISASI SISTEM : A. SISTEM ORGANISASI SOSIAL



Tentang organisasi sosial tidak lepas dari kata Tongkonan, yang berasal dari istilah tongkon yang berarti duduk. Tongkonan yang merupakan rumah, dahulu merupakan pusat pemerintahan, kekuasan adat dan pembangunan kehidupan sosial budaya. Tongkonan memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai  



pusat budaya, pusat pembinaan keluarga,







pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, Juga merupakan







pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.



Oleh karena itu Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang bertingkattingkat di masyarakat.. Sebagai contoh, ditampilkan beberapa contoh Tongkonan, yang memiliki kewajiban sosial dan budaya sebagai berikut:  Tongkonan Pesio’ Aluk, tempat menciptakan dan menyusun aturanaturan sosial keagamaan  Tongkonan Pekeindoran atau Pekamberan atau Tongkonan Kaparengesan, berfungsi sebagai tempat mengurus atau mengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk B. SISTEM PENGETAHUAN



“Toraya Mamali” adalah melandasi pengetahuan untuk modernisasi dan membangun Tana Toraja, karena masih kuatnya budaya tradisional. Upaya ini berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di dalam maupun berada di luar Tana Toraja, untuk bersama-sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggungjawab dan komitmen bersama. Adapun tekad yang diusung untuk menjadikan “Toraja Unggul”, adalah sebagai berikut: 1. Perkataan (berani dan penuh percaya diri) 2. Penguasan Ilmu dan Teknologi (cerdas dan terampil) 3.



Penebaran Kasih (saling hormat dan mengasihi)



4.



Pariwisata (budaya dan alam)



Toraya Mamali` dicanangkan sebagai program kerja lima tahunan yang diarahkan kepada bidang: 1. 2.



pendidikan, pertanian dan



3.



pariwisata.



C. SISTEM TEKNOLOGI Teknik Arsitektur dan Sipil Bangunan Rumah Adat Toraja yang disebut Tongkonan,



benar-benar artistik, unik dan mengagumkan, karenanya dijadikan obyek wisata. Bangunan Tongkonan secara garis besar ialah papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan bentuknya seperti perahu yang megah. Apabila diperhatikan dengan seksama, guratan pisau rajut yang mengukir papan berwarna merah itu menjadi pertanda status sosial pemilik bangunan. Estetika Tongkonan adalah digantungkannya deretan tanduk kerbau yang dipasang di depan rumah. D. SISTEM EKONOMI



Pertalian yang paling mendasar adalah Rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai “Keluarga”. Toraja memandang Rarabuku sebagai hubungan “Darah dan Tulang sebagai hubungan antara orangtua dengan anak atau keluarga inti. Dengan landasan Rarabuku dapat dimengerti bahwa Sistem Perekonomian Masyarakat Tana Toraja, menganut sistem perekonomian yang berasaskan kekeluargaan, sebagaimana tertera dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945.



G. KEBUDAYAAN Suku Toraja merupakan sebutan bagi etnis bangsa yang mendiami wilayah pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Kebudayaan suku Toraja yang populer di masyarakat adalah adat pemakamannya yang bisa dibilang unik. Kebudayaan yang lain pun juga tidak kalah menariknya. Karena keunikan budayanya itu, suku Toraja banyak didatangi oleh wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin mengenal lebih dekat bentuk khas kebudayaan mereka. Meskipun untuk sampai ke pemukiman mereka membutuhkan waktu dan jarak tempuh yang bisa dibilang tidak sebentar. Kata Toraja berasal dari Kata “To Riaja” yang berarti orang yang berdiam di pegunungan atau “To Riajang” yang memiliki arti orang yang berdiam di wilayah Barat. Sebutan ini pertama kali digunakan oleh orang suku Bugis Sidendereng dan suku Bugis Luwu. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari asal kata To atau Tau yang artinya orang, dan Raya dari kata Maraya yang artinya besar, maknanya adalah



orang orang besar atau bangsawan. Tana Toraja artinya adalah negeri tempat berdiamnya orang Toraja. Banyak sekali ciri kebudayaan suku Toraja yang menarik untuk dipelajari. Beberapanya mungkin sudah banyak dikenal, namun bisa jadi ada juga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.



H. FILOSOFIS HIDUP TORAJA Masyarakat Toraja hidup dengan mengamalkan falsafah kehidupan leluhur mereka yang disebut ‘tallu lolona’. Tallu lolona memiliki arti tiga kehidupan, yakni kehidupan manusia, kehidupan hewan, dan kehidupan lingkungan. Sistem pengetahuan dan cara berfikir suku toraja selalu dilandaskan pada falsafah tallu lolona ini. Suku Toraja mengembangkan hubungan harmonis antara sesama makhluk (lolo tau, lolo patuan dan lolo tananan) serta hubungan dengan yang kuasa didasarkan pada nilai keutuhan yang saling menghidupkan. Oleh sebab itu, bagi masyarakat Toraja, kehidupan yang saling memberikan keuntungan antara manusia, hewan dan lingkungan merupakan bentuk kehidupan yang ideal. Kehidupan yang saling memberi dan menguntungkan terhadap sesama makhluk akan menciptakan bentuk kehidupan yang indah dan damai. Prinsip hidup ini membentuk jati diri kepribadian orang suku Toraja yang selalu hidup bersanding dengan alam secara harmonis dan tidak dapat dilepaskan dari unsur alam. Selain itu, masyarakat toraja juga memiliki filosofis yang disebut dengan ‘tau’. Filosofis ‘tau’ ini memiliki empat pilar utama yang harus dijadikan sebagai arah hidup orang Toraja. Empat pilar tersebut adalah : 1. Sugi’ (Kaya) 2. Barani (Berani) 3. Manarang (Pintar) 4. Kinawa (Berhati Mulia, yakni memiliki nilai-nilai luhur, agamis dan bijaksana). Seorang Toraja bisa disebut sebagai ‘tau’ (manusia) ketika telah mampu mengamalkan keempat pilar dasar tersebut. Kedewasaan manusia dalam budaya suku Toraja terjadi ketika pribadi seseorang benar-benar telah mampu mencerminkan falsafah dasar ‘tau’ tersebut.



I. RUMAH ADAT TONGKONAN Tongkonan merupakan sebutan bagi rumah adat suku Toraja. Bentuknya yang unik seperti perahu, menjadi ciri khas rumah tongkonan dan senantiasa menarik orang untuk melihatnya secara langsung. Tongkonan berasal dari kata tongkon yang artinya menduduki atau tempat duduk. Hal ini karena dahulu tongkonan difungsikan sebagai tempat berkumpulnya bangsawan Toraja sambil duduk dan berdiskusi. Oleh sebab itu, Tongkonan disebut juga to ma’ parenta atau pusat pemerintahan. Banyak juga yang mengatakan bahwa rumah tongkonan ini hampir mirip dengan rumah gadang yang dimiliki sebagai kebudayaan suku Minangkabau .



Tongkonan memiliki struktur bentuk yang mencerminkan adat dan kepercayaan suku Toraja. Struktur bangunan Tongkonan terdiri dari 3 bagian, yaitu :



Rattingbuana. Merupakan ruang yang berada di bagian atas rumah. Memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang mempunyai nilai sakral dan bendabenda yang dianggap berharga. 2. Kale Banua. Merupakan bagian tengah yang digunakan sebagai tempat berkumpul dan melakukan pertemuan. Kale Banua masih terbagi lagi menjadi 3 bagian yakni : 1.



1. Tengalok, yang difungsikan sebagai tempat untuk anak-anak dan tempat tidur tamu. 2. Sali, sebagai tempat berkumpulnya keluarga atau tempat makan bersama. 3. Sambung, biasanya digunakan oleh kepala keluarga. 3.



Sulluk Banua. Merupakan bagian paling bawah dari tongkonan yang biasa digunakan untuk tempat hewan peliharaan atau tempat menyimpan alat-alat pertanian.



Selain itu, tongkonan juga memiliki pakem hiasan yang harus selalu digunakan, yaitu : 



Hiasan dinding



Hiasan dinding ini berbentuk ukiran yang terbuat dari tanah liat. Ukiran tersebut menggunakan 4 warna dasar yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Warna tersebut memiliki simbol tersendiri seperti warna hitam melambangkan kematian, warna merah melambangkan kehidupan, warna kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan Tuhan, warna putih melambangkan kebersihan dan kesucian. 



Tanduk Kerbau



Hiasan tanduk kerbau biasanya dipasang di bagian depan tongkonan dan disusun menjulang keatas. Hiasan tanduk kerbau ini melambangkan kemewahan dan strata sosial. Semakin banyak jumlah tanduk yang tersusun pada rumah adat tongkonan, maka menunjukkan semakin tinggi strata sosial kelompok adat yang memilikinya.



J. UPACARA ADAT TORAJA



1. Upacara Adat Rambu Solo Upacara adat rambu solo adalah upacara kematian yang diselenggarakan oleh orang Toraja. Umumnya, upacara rambu solo terdiri dari 2 prosesi upacara yakni proses pemakaman dan prosesi kesenian. Proses tersebut dilangsungkan secara harmonis dalam satu upacara pemakaman yang menunjukkan penghormatan orang Toraja pada leluhur mereka yang telah meninggal. Proses pemakaman (rante) biasanya diadakan di tengah lapangan yang ada pada kompleks rumah adat tongkonan. Prosesi ini terdiri dari beberapa kegiatan ritual.



1. Ma’Tudan Mebalun, yaitu prosesi untuk melakukan pembungkusan pada jasad orang yang meninggal 2. Ma’Roto, yaitu prosesi untuk menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak. 3. Ma’Popengkalo Alang, yaitu prosesi mengarak atau membawa jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan. 4. Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu proses mengarak jasad dari area Rumah Tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut Lakkian. Sedangkan pada prosesi kesenian, terdapat beberapa bentuk kesenian toraja yang disuguhkan. Kesenian ini tidak hanya untuk memeriahkan upacara tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang yang sudah meninggal. Terdapat beberapa bentuk kesenian yang biasanya disuguhkan. Pada saat penyembelihan kerbau, kerbau disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Cara ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Selain itu, kerbau yang akan disembelih bukanlah kerbau biasa, tetapi kerbau bule yang disebut Tedong Bonga yang harganya bisa mencapai angka antara 10 hingga 50 juta atau lebih per ekornya. Karena itulah, upacara kematian suku toraja, disebut juga sebagai upacara kematian yang mahal.



2. Upacara Adat Ma’ Nene Upacara ma’ nene merupakan salah satu tradisi budaya adat suku toraja yang bisa dibilang unik. Upacara ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka yang telah meninggal. Penghormatan ini dilakukan dalam bentuk pembersihan mayat dan penggantian baju bagi jasad nenek moyang yang telah meninggal. Ritual ini diselenggarakan setiap 3-4 tahun sekali. Upacara ini dilakukan dengan mendatangi makam nenek moyang, lalu mengeluarkan jasad mereka yang sebelumnya dimulai dengan semacam upacara adat dan membaca do’a bersama. Jasad-jasad ini kemudian dibersihkan dengan menggunakan kuas, lalu baju-baju mereka diganti dengan menggunakan baju-baju baru. Pembersihan dan penggantian baju jasad ini membutuhkan waktu tidak lama yakni sekitar 30 menit saja. Selanjutnya jasad-jasad tersebut kembali dimasukkan kedalam pekuburannya. Upacara diakhiri dengan do’a kembali dan makan bersama sambil silaturahmi antar keluarga yang masih satu leluhur.



3. Pekuburan Adat Toraja Masyarakat suku Toraja memiliki beberapa macam bentuk pekuburan untuk menguburkan jasad orang yang telah meninggal. Bentuk pekuburan ini merupakan salah satu unsur kebudayaan suku Toraja yang lain daripada yang lain, karena terdapat 5 macam bentuk pekuburan yang dimiliki oleh suku Toraja. Bentuk-bentuk pekuburan tersebut antara lain : 



Kuburan Goa



Masyarakat suku toraja memiliki salah satu bentuk adat menyimpan jenazah orang meninggal di dalam peti-peti mati yang kemudian disimpan di dalam goa-goa. Oleh sebab itu goa tempat menyimpan jenazah orang yang telah meninggal ini kemudian diberi nama kuburan goa. Kuburan goa ini banyak ditemui di Londa, Tampang Allo Sangalla serta di beberapa tempat lain. 



Kuburan Gantung



Selain menyimpan jenazah orang meninggal di dalam goa, terdapat sebagian masyarakat Toraja yang menyimpan jenazah di tebing-tebing bebatuan. Pada tebing-tebing tersebut dibuatkan semacam rak-rak sebagai tempat untuk meletakkan peti-peti mati yang berisi jenazah. 



Kuburan Batu (Liang)



Kuburan batu biasanya digunakan untuk menyimpan jenazah orang yang memiliki status sosial tinggi. Pembuatannya adalah dengana membuat lubang pahatan pada batu-batu besar yang ada digunung. Pembuatannya bisa memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, pekuburan jenis ini biasanya hanya orang berstatus sosial tinggilah yang menggunakannya. 



Kuburan Pohon (Passilliran)



Pohon yang digunakan untuk menyimpan jenazah disebut pohon tarra’. Pohon ini kemudian dilubangi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah. Kuburan jenis ini biasanya digunakan untuk menguburkan bayi yang meninggal di bawah umur 6 bulan. 



Kuburan Patane



Kuburan jenis ini merupakan kuburan yang paling umum untuk dijumpai di Tana Toraja. Kuburan jenis ini memiliki bentuk seperti rumah biasa. Namun kebanyakan berbentuk seperti rumah Tongkonan.



4. Adat Pernikahan Dalam adat suku Toraja terdapat 3 bentuk cara atau upacara untuk melangsungkan pernikahan. Cara yang ditempuh sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak dan disesuaikan dengan kemampuan atau status sosial masing-masing keluarga mempelai. 



Upacara Rompo Bobo Bonnang



Upacara pernikahan jenis ini merupakan yang paling simpel dan sederhana. Tata caranya: 1. Utusan mempelai pria datang menemui keluarga mempelai wanita untuk menyampaikan lamaran. Bila keluarga wanita menyetujui, maka akan disampaikan kapan waktu kedatangan keluarga mempelai pria. 2. Bila waktu ketentuan kedatangan sudah tiba maka keluarga mempelai pria dan mempelai pria akan mendatangi keluarga mempelai wanita. Selanjutnya orang tua mempelai wanita akan menyambut kedatangan mereka dengan bertanya “To lendu konronan roomika



batuto lempong kaboangian rokomiko” (Adakah kamu ini singgah karena hujan atau karena kemalaman?). Lalu perwakilan dari mempelai pria akan menjawab “Toeroka lendu to konronan batu toeroki lempang to kabuangin apa lamu ulu’ rukon olukna rompo kopa loma luntun roku bicarana pasuelle allo” (kami tidak singgah karena kehujanan, tapi kami akan datang untuk mengadakan pernikahan sesuai aturan dari dahulu kepada nenek moyang kita). 3. Selanjutnya keluarga mempelai wanita akan menerima mereka dan kemudian dilakukan perjamuan makan bersama. Setelah itu para keluarga mempelai pria akan kembali pulang kecuali mempelai pria yang akan tetap tinggal di rumah mempelai wanita. 



Upacara Rampo KaroEng



Upacara pernikahan jenis ini prosesinya hampir sama dengan Rompo Bobo Bonnang. Perbedaannya hanya pada perjamuannya saja. Sebelum acara perjamuan makan, rombongan mempelai pria akan disuruh menunggu terlebih dahulu di lumbung. Hal ini berbeda dengan Rompo Bobo Bonnang dimana rombongan akan langsung dipersilahkan untuk masuk. 



Upacara Rompo Allo



Upacara pernikahan jenis ini merupakan yang paling mewah. Perayaan pernikahan bisa dilakukan beberapa hari dengan acara yang cukup besar. Oleh sebab itu upacara jenis ini hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan atau berstatus sosial yang tinggi saja. Prosesi untuk upacara jenis ini adalah : 1. Utusan mempelai pria akan datang kepada keluarga mempelai wanita dengan membawa sirih sebagai lambang untuk melamar atau meminang. 2. Bila lamaran atau pinangan diterima maka akan ditentukan hari untuk melakukan prosesi pernikahan. 3. Keluarga mempelai wanita biasanya akan memotong babi sebagai jamuan pada upacara pernikahan. 4. Pada hari yang telah disepakati, rombongan mempelai pria akan datang menemui keluarga mempelai wanita. Dan setelah sampai di rumah mempelai wanita, rombongan akan disuruh untuk menunggu di lumbung dengan diberikan sajian sirih pinang. Setelah itu rombongan akan disuruh untuk naik masuk kedalam rumah dan kemudian akan dilakukan prosesi pernikahan dan perjamuan makan. Setelah perjamuan selesai rombongan mempelai pria akan pulang meninggalkan mempelai pria. 5. Tiga hari setelah perjamuan di rumah mempelai wanita, keluarga mempelai wanita akan pergi membalas mengunjungi keluarga mempelai pria, dan disini berlaku sebaliknya keluarga pria akan memotong babi untuk mengadakan perjamuan makan. Berikut adalah kebudayaan suku toraja yang wajib anda ketahui agar anda bisa mengetahui kebudayaan kebudayaan yang berbeda di setiap budayanya. Dengan adanya perbedaan dengan budaya lain sehingga kita bisa mengetahui dan mudah untuk mengingatnya.



K. KESENIAN – KESENIAN SUKU TORAJA Kesenian Toraja disebut Gau’ Tendengan atau Gau’ Pa’ Tendengan bersumber atau berdasarkan dari falsafah hidup dan kehidupan masyarakat Toraja yang keseluruhannya nampak dalam kehidupan Aluk Todolo sebagai tempat berpijaknya seluruh kebudayaan Toraja. Masingmasing kesenian tersebut mempunyai fungsi, waktu dan tempat pemakaian tertentu yang tidak boleh dicampur adukkan terutama yang menyangkut kesenian pemujaan, kedukaan dan kesenian kegembiraan. Kesenian Toraja dibagi dalam beberapa golongan, yaitu : 1. Seni Tari (Gellu’- gellu’)



a. Untuk upacara Rambu Tuka’ sebagai tanda kegembiraan (perkawinan, menyambut tamu terhormat dan lain-lain), yaitu : Tari Pa’ Gellu’, Tari Pa’ Bone Balla’, Tari Pa’ Lambu’ Pare, dan lain-lain. b. Untuk upacara Rambu Tuka’ sebagai tari pemujaan atau penyembahan, yaitu : Tari Pangnganta’, Tari Bondesan, Tari Burake dan lain-lain. c. Untuk upacara Rambu Solo’ sebagai tarian untuk mengenang / memperingati seseorang yang telah meninggal dunia karena keberaniannya dan keagungannya semasa hidupnya, yaitu :Tarian Ma’ Randing (Tarian Perang). 2. Seni Suara / Musik (Pa’ Kayoyoan atau Passuling-suling) a. Untuk upacara Rambu Tuka’, yaitu : Pa’ Geso’-geso’, Pa’ Oni-oni, Pa’Tulali, Pa’ Karombi dan lain-lain. b. Untuk upacara Rambu Solo’, yaitu : Massuling Marakka, Ma’ Dondi’, Memanna’ dan lain-lain. 3. Seni Tari Paduan Lagu dan Suruling (Gellu’- gellu’ di Gamarai atau Gellu’- gellu’



di Sulinggi). a. Untuk upacara Rambu Tuka’ dengan tujuan sebagai pemujaan dan penyembahan, yaitu : Tari Manimbong, Tari Ma’ Dandan, Tari Ma’ Bassen-bassen, Tari Ma’ Bugi’ dan lain-lain. b. Untuk upacara Rambu Solo’ dengan tujuan mengenang yang meninggal yang berisi doa, yaitu : Tari Pa’ Badong, Tari Ma’ Katia dan lain-lain 4. Seni Hias atau Dekorasi (Pa’ Belo-belo)



Masyarakat Toraja mempunyai bentuk tersendiri dalam seni hias (dekorasi) disesuaikan dengan fungsinya dan falsafah serta keyakinan hidup masyarakat Toraja. Penggunaan penempatan / pemakaian bahan tidak dilakukan dengan sembarang karena setiap bahan yang digunakan mempunyai arti yang tersendiri. Bahan-bahan yang sering digunakan adalah : a. Barang-barang pusaka dan perhisaan Toraja b. Tenunan-tenunan pusaka yang dianggap keramat dan bertuah c. Kain-kain yang berwarna tajam, yang disesuaikan dengan warna dan tempat pemakaian seperti warna merah dan putih dapat dipergunakan dimana saja, warna kuning untuk upacara Rambu Tuka’ dan warna hitam untuk upacara Rambu Solo’. d. Rautan-rautan bambu yang berbentuk lidi berbelit-belit yang disebut Pangarru’-arru’. e. Tumbuh-tumbuhan yang mempunyai arti tersendiri menurut Aluk Todolo, yaitu: - Pusuk (daun ijuk / kelapa mudah) - Tabang (daun semacam palem yang merah daunnya) dianggap mempunyai nilai magis



- Belo Bubun (semacam palem yang berwarna kuning hijau). - Kambunni’ (sejenis tanamam perdu yang terdapat digunung-gunung) 5. Seni Sastra (Tantanan Kada/Kada-kada Tominaa)



Dalam seni sastra Toraja agak berbeda dengan daerah lain di tanah air, hal tersebut nyata pada gaya yang terselip alam pengungkapannya menggunakan gaya bahasa Paralelisme dan Sinonisme sehingga dua kalimat yang diungkapkan tersebut hanya mempunyai satu arti dan hubungan pengungkapan itu sangat serasi (enak didengar). Juga dalam pengungkapanya berbentuk prosa dengan menggunakan gaya bahasa Allegoris yaitu mempergunakan bahasa Toraja tinggi. Penggunaan seni sastra tersebut pada upacara Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Dalam masyarakat Toraja dikenal beberapa sastrawan dalam beberapa tingkatan, yaitu : Tomina Bakaa atau Gora Tongkon (sastrawan yang didaktis), Tomina Burake (ahli sastra religius), Tomina Sanda (ahli sastra yang religius dan estetis), Rangga Kada (ahli membuat alasan dan kata-kata yang menarik). Beberapa ungkapan sastra Toraja menurut arti dan tujuannya, yaitu : a. Puisi atau syair yang terdiri dari 2 atau 3 bait yang jumlah tiap bait tidak tentu jumlahnya yaitu :Londe Tomangngura (Pantun orang muda), Ponto Bannang (Pepatah), Passimba (Sindiran), Karume (Teka-teki) dan lain-lain. b. Prosa Lirik untuk upacara Rambu Tuka’, yaitu : Ma’ Gellong (mantra dan doa) dibawakan oleh Panggala Gelong, Mangngimbo, mantra dan doa dalam pemujaan atau penyembahan yang dibawakan oleh Tominaa atau To Indo’ Padang, Massonde, pujian untuk menyukuri kebesaran dan kemuliaan Tuhan juga untuk menghibur orang sakit, Ma’ Ulelle’, isinya mengandung nasihat c. Prosa Lirik pada upacara Rambu Solo’, yaitu : Ma’ Kakarung, Sumengo, Ma’ Retteng, Mangimbo, Umbating dan lain-lain. 6. Seni Pahat (Pa’ Paa’), Seni Anyam (Panganan), Seni Tenun (Pa’ Tannun), Seni Tempa (Pa’ Tampa) 7. Seni Bangunan (Manarangngi)



Seni Bangunan bagi orang Toraja disebut Manaranggi sedang ahli bagunan disebut Tomanarang (To = orang, Manarang = pintar) 8. Seni Ukir (Passura')