Makalah Sumber-Sumber Fiqih Islam [PDF]

  • Author / Uploaded
  • lilik
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH “SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM”



DISUSUN OLEH: M. SABRI DARMAWAN 11920111451 Mata Kuliah Ushul Fiqh Dosen: Prof. Dr. H. Alaidin Koto, MA Sukemi, M.Sy



JURUSAN HUKUM KELUARGA



1



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Fikih Islam” sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dosen Pengampu yang telah membantu, memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini serta kepada semua pihak yang terkait sehingga terselesaikannya makalah ini sesuai yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu penulis menerima dengan senang hati kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi untuk kemajuan ilmu pengetahuan kedepannya. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.



Januari, 2021



Penulis



1



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR................................................................................



1



DAFTAR ISI...............................................................................................



2



BAB I PENDAHULUAN 1. Latarbelakang...............................................................................



3



2. Maksud dan Tujuan......................................................................



3



3. Rumusan Masalah.........................................................................



4



BAB II ISI A. Sumber-Sumber Fiqih Islam.........................................................



5



1. Al-Qur’an................................................................................



5



2. Hadits Nabi S.A.W.................................................................



6



3. Ijma’........................................................................................



6



4. Al-Qiyas..................................................................................



7



B. Beberapa Sumber Hukum yang Dipakai Sebagian Ulama...........



8



a) Istihsan....................................................................................



8



b) Istishlah atau Al-Mashalih Ar-Mursalah................................



9



c) ‘Uruf.......................................................................................



10



d) Istishab....................................................................................



10



e) Syar’u Man Qablana...............................................................



12



f) Sad Al-Zari’ah........................................................................



12



g) Qaul Sahahabi.........................................................................



12



BAB III KESIMPULAN............................................................................



14



BAB IV DAFTAR PUSTAKA..................................................................



15



2



BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG Allah telah menetapkan hukum dari segala sesuatu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ahli ushul fiqih kemudian menggali pokok-pokok pemahaman dari teks-teks yang ada pada keduanya. Dengan memanfaatkan jerih payah para ahli ushul fiqih tersebut, para ahli fiqih kemudian menjelaskan hukum dari segala sesuatu. Penjelasan-penjelasan tersebut tertuang dalam Fiqih Islam. Jadi dengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan mengetahui hukum dari segala sesuatu, sehingga kita bisa menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum tersebut. Dengan menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Allah tersebut, kita akan selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat. Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber. Mengenai hal ini, para ulama ahlussunnah bersepakat bahwa, dalil-dalil syar’I yang menjadi dasar dan diakui sebagai dalil dari agama islam adalah alqur’an, hadist, ijma dan qiyas serta sumber lainnya yang dipakai oleh sebagian ulama. Berdasarkan hal tersebut maka pada makalah ini akan diulas lebih lanjut mengenai sumber-sumber fiqih Islam serta sumber hukum lain yang dipakai oleh sebagian ulama. 1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu: 1. Untuk mendeskripsikan sumber-sumber fiqih Islam yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi S.A.W, Ijma, serta Al-Qiyas. 2. Untuk mendeskripsikan sumber hukum yang dipakai sebagian ulama diantaranya Istihsan, Istishlah atau Al-Mashalih Ar Mursalah,‘Uruf, Istihsab, Syar’u Man Qablana, Sad Al-Zari’ah serta Qaul Sahahabi.



3



1.3 RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah makalah ini yaitu : 1. Apa sajakah sumber hukum fiqih Islam? 2. Apa sajakah sumber hukum yang dipakai sebagian ulama?



4



BAB II ISI A. Sumber-Sumber Fiqih Islam 1. Al-Qur’an Hukum fiqih Islam yang pertama ialah Al-Qur’an. Al-Qur‟an itu ialah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan kehidupannya. Menurut harfiah, Quran itu bacaan. Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah. Al Qur’an merupakan sumber hukum fiqih Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukumhukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya (Husain Hamid Hasan, 1971). Al Qur‟an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia, yaitu : 1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar. 2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan. 3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji. 4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat. Isi pokok Al Qur’an ditinjau dari segi hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama



5



dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya



disebut Ilmu Fiqih



(Mohammad Daud Ali, 1998). 2. Hadits Nabi S.A.W Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,



perbuatan,



maupun ketetapan



(taqrir).



Hadits



merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur‟an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatanperbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:



Artinya: “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7) Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan



cerminan



akhlak



mulia.



Apabila



seseorang



bisa



meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. 3. Ijma’ Kata Ijma secara bahasa berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan hukum setelah Rasulullah meninggal dunia.



6



Ijma menurut Abu Zahrah (1958) adalah “kesepakat seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah Rasulullah saw meninggala dunia”. Apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa tentang masalah hukum, maka kita wajib hukumnya mengikuti hukum hasil ijma tersebut, karena kekuatan hukum hasil ijma’ ulama mujtahid sudah mempunyai nilai yang qothiy, tidak bisa dihapus dan tidak bisa ditentang karena hasil kesepakatan seluruh ulama mujtahid, kebenarannya sudah dianggap memenuhi jiwa syar’i. Apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma’ yaitu: 1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’adalah seluruh mujtahid 2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam 3. Kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah mereka mengemukan pandangannya 4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-qur’an ataupun dalam hadits Rasulullah SAW masalah hukum, maka kita wajib hukumnya mengikuti hukum hasil ijma tersebut, karena kekuatan hukum hasil ijma’ ulama mujtahid sudah mempunyai nilai yang qothiy, tidak bisa dihapus dan tidak bisa ditentang karena hasil kesepakatan seluruh ulama mujtahid, kebenarannya sudah dianggap memenuhi jiwa syar’i 4. Al-Qiyas Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya (Syamsul



7



Anwar, 2010). Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu: 1. Dasar (dalil) 2. Masalah yang akan diqiyaskan 3. Hukum yang terdapat pada dalil 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan. B. Beberapa Sumber Hukum Yang Dipakai Sebagian Ulama a) Istihsan Secara harfiah, istihsan berarti memandang baik. Istihsan merupakan suatu kebijaksanaan hukum atau terkecualian hukum. Maksudnya, kebijasanaan untuk tidak memberlakukan aturan umum mengenai kasus, melainkan untuk kasus itu diterapkan ketentuan khusus sebagai kebijaksanaan dan perkecualian terhadap ketentuan umum karena adanya



alasan



hukum



(dalil)



yang



mengharuskan



diambilnya



kebijaksanaan hukum tersebut. Lazimnya dalam ilmu ushul fikih , istihsan diartikan sebagai “Meninggalkan ketentuan hukum yang umum berlaku mengenai suatu kasus dengan mengambil ketentuan hukum lain karena adanya alasan hukum untuk melakukan hal demikian” (Syamsul Anwar, 2010). Misalnya, aturan umum dalam hukum islam adalah bahwa harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Hak ini dilaranng oleh Nabi SAW dalam sebuah haditsnya:



Artinya: “Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh diwarisi. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum kafir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang



8



kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan temantemannya yang tidak memiliki harta” Akan tetapi, dalam keadaan khusus di mana apabila wakaf tidak dijual akan terjadi pemubaziran, sementara tindakan pemubaziran itu dilarang, maka wakaf diperbolehkan dijual dengan melanggar aturan umum mengenai larangan menjual wakaf itu. Jadi pembolehan menjual harta wakaf dalam kasus ini didasarkan kepada istihsani, yaitu tindakan mengambil kebijaksanaan hukum berdasarkan suatu alasan hukum (dalil) yang menghendaki hal itu dilakukan. Pada intinya, istihsan merupakan merupakan suatu upaya mengatasi kelakukan penerapan logis aturan umum, di mana apabila penerapan aturan umum itu dalam kasus tertentu tidak



lagi



dapat mewujudkan



tujuan



hukum,



yaitu terciptanya



kemaslahatan dan keadilan, maka boleh dilanggar agar tujuan hukum terpenuhi. b) Istishlah atau Al-Mashalih Ar-Mursalah Mashalih secara harfiah berarti manfaat dan mursalah berarti netral.



Sebagai



istilah



hukum



fiqih



islam,



mashalih



mursalah



dimaksudkan sebagai segala kepentingan yang bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash khusus (teks Alquran dan Hadits Nabi SAW) yang mendukungnya secara langsung ataupun yang melarangnya. Dengan kata lain, mashalihmursalah adalah segala kepentingan yang baik yang tidak dilarang oleh Al-quran dan Hadits Nabi SAW dan juga tidak terdapat penegasannya di dalam kedua sumber itu secara langsung (Wahbah azZuhaili, 1986). Contohnya adalah melakukan pencatatan nikah. Di dalam AlQuran dan Hadits tidak ada perintah langsung agar mencatatkan pernikahan. Bahkan di zaman Nabi SAW dan beberapa abad lamanya sepeninggal beliau umat islam tidak mencatat nikahnya. Namun demikian, tidak ada larangan mencatatkannya. Justru dengan mencatatkan



9



nikah itu akan terwujud suatu kebaikan dan kemanfaatan yang besar dan masyarakat terhindar dari kemudharatan. Atas dasar kebaikan dan manfaat dari pencatatan nikah itu, maka beberapa ijtihad hukum islam modern menetapkan kewajiban mencatatkan nikah. Ketentuan hukum seperti ini didasari oleh maslahah mursalah. c) ‘Uruf Adat atau uruf dalam istilah hukum fiqih islam adalah suatu hal yang diakui keberadaannya dan diikuti oleh dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan, sepanjang tidak bertentangan denga ketentuan nash syariah atau ijma’. Adapun yang mendefinisikan sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang diakui oleh jiwa kolektif dan diterima oleh akal sehat, baik berupa perkataan ataupun perbuatan sejauh tidak bertentangan dengan nash atau ijma (Ahmad Sudirman Abbas, 2004). Hukum islam mengakui adat istiadat masyarakat sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan beberapa syarat, yaitu adat tersebut tidak bertentangan dengan nash (Al-quran dan Hadits) atau ijma’ (konsensus); dan adat itu konstan dan berlaku umum di dalam masyarakat. d) Istishab Istishab berarti kelangsungan status hukum suatu hal di masa lalu pada masa kini dan masa depan sejauh belum ada perubahan terhadap status hukum tersebut. Misalnya, seorang hilang yang tidak diketahui rimbanya, maka statusnya dianggap tetap masih hidup, karena sebelum hilang is diketahui hidup sampai terbukti ia telah meninggal atau dinyatakan telah meninggal oleh hakim. Oleh sebab itu, selama belum ada bukti bahwa ia telah meningggal atau selama belum dinyatakan meninggal oleh hakim, maka harta kekayaannya belum dapat dibagikan kepada ahli waris (Basiq Djalili, 2010).



10



Istishab ada tiga macam, yaitu : (1) kelangsungan status hukum kebolehan umum, (2) kelangsungan kebebasan asli dan (3) kelangsungan hukum yang sudah ada. Istishab jenis pertama, yaitu kelangsungan kebolehan umum adalah bahwa segala sesuatu diluar tindakan ritual ibadah asas umumnya adalah kebolehan umum sampai ada dalil yang menunjukkan lain. Dalam bidang akad (perjanjian), misalnya dari asas kebolehan umum ini timbullah prinsip kebebasan berkontrak, yaitu bahwa orang pada asasnya dibolehkan untuk membuat jenis akad (perjanjian) baru apa saja dan mengisikan ke dalamnya klausul apa pun sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak melanggar ketentuan yang sudah ada. Istishab jenis kedua, yaitu kelangsungan kebebasan yang asli, menyatakan bahwa dzimmah seseorang menurut status hukum yang asli adalah bebas dari beban-beban dan kewajiban hukum sampai ada bukti yang menunjukkan lain. Misalnya dalam hal utang-piutang seseorang ditagih utang oleh orang lain dan orang lain itu tidak dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan atas adanya utang itu, maka orang yang ditagih dianggap bebas dari kewajban hutang itu sesuai dengan prinsip kebebasan asli dari beban-beban dan tuntutan-tuntutan yang dimilikinya. Prinsip ini dirumuskan dalam kaidah hukum islam yang berbunyi al- ashlu bara‟atudz-dzimmah (Asasnya adalah kebebasan dzimmah (tanggung jawab hukum). Istishab jenis ketiga, yaitu kelangsungan hukum adalah bahwa status hukum yang sudah ada di masa lampau terus berlaku hingga ada dalil yang menentukan lain. Termasuk kategori ini adalah ketentuan peralihan yang menyatakan bahwa ketentuan yang ada tetap terus berlaku sampai ada ketentuan baru yang menentukan lain. Dari prinsip istishab ini secara umum dirumuskan kaidah hukum islam yang berbunyi al-ashlu baqa‟u ma kana‟ala ma kana (Asasnya adalah berlangsungnya suatu yang telah ada itu sebagai mana adanya).



11



e) Syar’u Man Qablana Hukum Agama Samawi Terdahulu (Syar’u Man Qablana) adalah ketentuan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Isa AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Daud AS dan Nabi Musa AS. Apabila hukum agama terdahulu tersebut tidak mendapat konfirmasi dalam hukum agama islam, maka tidak menjadi sumber hukum fiqih islam (Amir Syarifuddin, 2011). Yang menjadi pembicaraan para ahli hukum islam dalam kaitan ini adalah aturan-aturan hukum agama terdahulu yang disebutkan di dalam Al-quran atau Hadits sebagai suatu cerita mengenai nabi-nabi terdahulu, bukan sebagai persyariatan hukum. Mengenai ini para ahli hukum islam berbeda pendapat antara yang menjadikannya sebagai sumber hukum dan tidak. f) Sad Al-Zari’ah Secara



harfiah,



saddudz-dzari’ah



artinya



menutup



jalan,



maksudnya menutup jalan menuju sesuatu yang dilarang oleh hukum syariah. Sebagai terminologi hukum islam, saddudz-dzari’ah merupakan tindakan preventif dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara’ sebenarnya dibolehkan, namun melalui ijtihad, perbuatan tersebut dilarang karena dapat membawa kepada suatu yang dilarang atau yang menimbulkan mudharat. Para ahli ushul fikih mendefinisikan saddudzdzari’ah sebagai pencegahan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian yang muktabar meskipun awalnya perbuatan-perbuatan tersebut mengandung maslahat (Yusuf Qaradhawi, 1995). g) Qaul Sahahabi Sahabat nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi SAW dan pernah bertemu dengan beliau walaupun sebentar. Sementara itu, yang dimaksud dengan Qaul Sahabat Nabi SAW adalah pendirian seseorang sahabat mengenai suatu masalah hukum ijtihad baik yang



12



tercermin dalam fatwanya maupun dalam keputusannya yang menyangkut masalah dimana tidak terdapat penegasan dalam Al-quran, Hadits Nabi SAW ataupun dalam ijma’. Apabila Qaul Sahabat bukan merupakan ijtihad murni melainkan merupakan suatu yang diketahuinya dari Rasulullah SAW, maka Qaul tersebut dapat diterima sebagai sumber hukum. Begitu pula apabila para sahabat sepakat pendapatnya mengenai suatu masalah sehingga merupakan ijma’, maka dapat menjadi sumber hukum (Barzah Latupono, 2007). Akan tetapi, apabila Qaul Sahabat merupakan hasil ijtihad murni, maka Qaul tersebut diperselisihkan oleh ahli hukum islam apakah dapat menjadi sumber hukum fiqih atau tidak. Sebagian menyatakan dapat menjadi sumber hukum sementara yang lain menyatakan tidak dapat menjadi sumber hukum fiqih. Pendapat yang lebuh kuat seperti dikemukakan oleh asy-Syaukani dan Wahbah as-Zuhaili adalah bahwa Qaul murni Sahabat tidak merupakan sumber hukum, karena Sahabat dalam hal ini sama saja dengan manusia lainnya.



13



BAB III KESIMPULAN 1. Sumber-sumber fqih Islam yaitu: a. Al-Qur’an b. Hadits Nabi S.A.W c. Ijma’ d. Al-Qiyas 2. Beberapa sumber hukum yang dipakai sebagian ulama diantaranya: a. Istihsan b. Istishlah atau Al-Mashalih Ar Mursalah c. ‘Uruf d. Istihsab e. Syar’u Man Qablana f. Sad Al-Zari’ah g. Qaul Sahahabi



14



BAB IV DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah. 1958. Ushul al-Fiqh. Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby Ahmad Sudirman Abbas. 2004. Qawa id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih. Jakarta : Radar Jaya Offset Amir Syarifuddin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Panamedia Group Barzah Latupono. 2007. Buku Ajar Hukum Islam. Yogyakarta: CV Budi Utama Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Panamedia Group Husain Hamid Hasan. 1971. Nadzariyyah al-Malahah fi al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar anNahdhah al-Arabiyah Mohammad Daud Ali. 1998. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press Syamsul Anwar. 2010. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Rajawali Pers Wahbah az-Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh. Damaskus: al-Fikr Yusuf Qaradhawi. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani



15