MAKALAH TENTANG KEKERASAN Dalam RUMAH TANGGA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TENTANG KEKERASAN dalam RUMAH TANGGA (KDRT) Disusun oleh :



SILVIA H. HUTABARAT XII MIPA 4 SMA Negeri 1 Merauke



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disharmonis apabila terjadi sebaliknya. Masalah kekerasan selalu menjadi topik yang hangat dari abad ke abad, karena kekerasan terjadi dimana pun dan kapan pun. Manusia yang seharusnya hidup dalam ketenangan dan kedamaian, kini telah terusik dengan tindakan kekerasan yang telah membudaya. Hidup berdampingan di dalam kekeluargaan, kasih, kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan kini telah menjadi kabur bahkan hanya menjadi sebuah moto hidup yang sulit direalisasikan baik dalam kehidupan individual maupun sosial. Topik mengenai kekerasan memang bukan hal yang baru lagi bagi umat dan telah muncul sejak awal kehidupan manusia contohnya dalam cerita “Kain membunuh Habel”, Dina anak Lea yang dilahirkan bagi Yakub juga mengalami bentuk-bentuk kekerasan yaitu perkosaan dari Sikhem anak Hemor, orang Hewi (Kej. 34:1-2. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga. Faktor pendorong terjadinya KDRT dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam atau pun faktor dari luar pelaku KDRT sendiri.



B. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4.



Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga? Faktor apa saja penyebab terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga? Apa dampak bila melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga? Apakah Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga? 5. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga? 6. Bagaimana perlindungan bagi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga? 7. Bagaimana pandangan iman Kristen terhadap tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga?



C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga 3. Untuk mengetahui dampak bila melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga 4. Untuk mengetahui Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga 5. Untuk mengetahui cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga 6. Untuk mengetahui perlindungan bagi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 7. Untuk mengetahui pandangan iman Kristen mengenai tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga



BAB II PEMBAHASAN 1. Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa: a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk  kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945. b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus. c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”



2. Faktor Penyebab Terjadi Kekerasan dalam Rumah Tangga Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:



1.



Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.



Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. 2.



Ketergantungan ekonomi.



Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. 3.



Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.



Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.



3. Dampak bila melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami dampak dalam berbagai bentuk, baik secara medis, emosional, personal (kepribadian) maupun profesionalitas. Bila korban kejahatan KDRT tidak melaporkan sebagai akibat ”kepasrahan” dirinya, maka korban akan mengalami Post Traumatic Syndrome Stress (PTSS). Ada beberapa hal yang menyebabkannya. 1. The belief in personal invulnerability, yaitu tidak percaya bahwa dirinya sudah menjadi korban. Walaupun sebelumnya telah banyak terjadi kejahatan semacam itu, tidak pernah terpikir bahwa kejadian tersebut akan menimpa dirinya. Hal ini menyebabkan kecemasan yang mendalam. Persepsi yang selalu muncul adalah dia mudah diserang dalam segala hal. 2. The world as meaningful, apa pun yang terjadi di dunia ini adalah sesuatu yang teratur dan komprehensif. Maksudnya, apabila orang berbuat baik dan berhati-hati niscaya ia akan terhindar dari penderitaan. Tetapi ternyata apa yang diperkirakan tersebut tidak berjalan seperti itu, walaupun telah berbuat baik dan berhati-hati ternyata dirinya tetap menjadi korban. 3. Positive self-perception, manusia selalu berusaha menjaga derajat dirinya, tetapi pengalaman menjadi korban membuat mereka memiliki gambaran negatif. Dirinya



adalah seorang yang lemah, tak berdaya dan berguna lagi. Perlindungan korban dalam Pasal 39 UUKDRT diserahkan kepada kepolisian disertai dengan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Jika terjadi keterlambatan dalam mengantisipasi pemulihan korban, maka akan menimbulkan dampak dari penanganan yang kurang baik. Apabila penanganan yang diberikan pemerintah atau masyarakat pada korban kurang, hal ini dapat menyebabkan korban mengalami tiga kali menjadi korban, yaitu : 1) menjadi korban suatu kejahatan; 2) menjadi korban dari stigmatisasi masyarakat, hal ini sering terjadi pada korban perkosaan dan pelecehan seksual, 3) menjadi korban sistem peradilan pidana.



4. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan (Fisik) dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Pidana Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana. Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa). Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya. Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.



Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16 Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut: 1.



Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2). 2. Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi: 1. Penghormatan hak asasi manusia 2. Keadilan dan kesetaraan gender 3. Anti diskriminasi, dan 4. Perlindungan korban 3. Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5. 4. Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:  Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.  Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.  Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.  Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dan. Pelayanan bimbingan rohani. 5. Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:  Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.







Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga 6. Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25. 7. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: A. Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40) B. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41) 8. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut: A. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,B. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-



5. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain: 1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran. 2. Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada. 3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. 4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.



5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.



6. Perlindungan bagi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya. Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing: a) Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban



b)



c)



d)



e)



f)



KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan). Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.



g) Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.



7. Pandangan iman Kristen terhadap tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT dari sudut pandang Etika KristenJika dihubungkan dengan ajaran Etika Kristen, tentang KDRT tidak ada ditemukan. Di dalam Alkitab Perjanjian Baru banyak kita baca tentang ajaran yang berhubungan dengan rumah tangga Kristen yang mengutamakan KASIH. Maka dapat kita lihat bahwa Alkitab banyak sekali mengajarkan kepada setiap keluarga tentang tindakan preventif (pencegahan) agar sebuah rumah tangga hidup dalam damai sejahtera penuh dengan Kasih Kristus. Hal-hal yang menentukan kebahagiaan sebuah keluarga Kristen sekaligus menjadi anti terjadinya KDRT yaitu : 1. Saling menasehati 2. Saling menghibur 3. Saling membela 4. Sabar seorang terhadap yang lain 5. Saling mengampuni 6. Saling berbuat baik 7. Ciptakan suasana sukacita dalam keluarga. Masalah yang paling besar dalam keluarga ialah bagaimana menjalani hidup bahagia dengan suami yang kasar dan sukar dimengerti, atau suami bertitel sedang istri tidak berpendidikan, atau istri cantik sedangkan suami jelek, atau istri muda belia sedangkan suami lanjut usia atau istri keturunan orangkaya sedangkan suami hanya seorang supir bis dsb.Perbedaan-perbedaan semacam ini seringkali menjadi pemicu terjadinya KDRT. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, menurut Pendeta Yacob Nahuway satu-satunya yang menjadi obatnya adalah KASIH, karena dengan KASIH akan membuahi 4 (empat) pokok penyelesaian yaitu :1. Kasih membuat kita melihat setiap orang dalam keluarga adalah orang-orang penting dan istimewa. 2. Kasih membuat kita melihat apa yang menjadi prioritas di dalam keluarga.



3. Kasih itu tidak sombong, karena kesombongan pribadi menghancurkan keluarga. 4. Kasih membuat kita rela mengorbankan apa saja demi keluarga bahagia



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Setiap orang/jemaat yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya



kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, yaitu :a. mencegah berlangsungnya tindak pidana. b. Memberikan perlindungan kepada korban c. Memberikan pertolongan darurat d. Membantu proses pengajuan permohonanpenetapan perlindungan. 2. Peran gereja/jemaat dalam menanggulangi permasalahan KDRT yaitu :1. memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban korban 2. memberikan penguatan iman (konseling) 3. Dibawah ini ada beberapa tips ayat-ayat Alkitab yang dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk mencegah terjadinya KDRT 1. 1 Petrus 3 :1-7 : tentang hidup bersama suami istri 2. 1 Petrus 4 : 8 : tentang kasih menutupi banyak sekali DOSA 3. 1 Tim 2 : 8-15 : tentang sikap orang laki-laki dan perempuan dalam ibadah jemaat. 4. 1 Tim 6 : 10 : tentang uang adalah akar segala kejahatan 5. Kolose 3 :18-19 : tentang hubungan antara anggota-anggota rumah tangga 6. Efesus 5 : 22-23 : tentang Kasih Kristus adalah dasar hidup suami istri



B. SARAN Pemerintah setempat perlu memberikan motivasi, sosialisasi, agar tindakan KDRT seperti ini sudah tidak terjadi lagi. Pemerintah sangat perlu mengontrol kehidupan masyrakat. Demikian yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun. Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya. Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.