Mencerdaskan Kehidupan Bangsa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA JAKARTA, KOMPAS - Hari Pendidikan Nasional kita peringati dengan belasungkawa yang mendalam atas kejatuhan secara kolosal mutu keterdidikan bangsa. Ukuran yang paling memilukan dari keterpurukan ini bukanlah rendahnya peringkat Indonesia dalam kemampuan baca, matematika, dan sains menurut standar Programme for International Student Assessment, melainkan pada kemerosotan mutu kecerdasan para politisi dan penyelenggara negara sebagai produk pendidikan. Demokrasi tanpa kecerdasan adalah kegaduhan dalam kebutaan. Situasi ini melenceng jauh dari imperatif konstitusi kita. Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung "empat pokok pikiran" haluan negara sebagai transformasi nilai-nilai Pancasila. Pertama, negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Untuk mewujudkan empat pokok pikiran tersebut, Pembukaan UUD 1945 juga menggariskan empat fungsi negara (sistem pemerintahan negara), seperti tertuang dalam alinea keempat. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jika kita perhatikan secara saksama, para pendiri bangsa secara konsisten mengupayakan korespondensi antara empat pokok pikiran itu dan empat fungsi negara. Urutan pokok pikiran berpasangan dengan urutan fungsi negara. Maka, tampaklah bahwa pokok pikiran ketiga, "negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan" berpasangan dengan fungsi negara ketiga, "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dengan kata lain, demokrasi berdasarkan



cita kerakyatan dan permusyawaratan memerlukan kepemimpinan hikmatkebijaksanaan yang meniscayakan kecerdasan bangsa. Pengertian kecerdasan di sini lebih dari sekadar kecerdasan kognitif, melainkan kecerdasan multidimensional berbasis kesadaran eksistensial: ke dalam dan ke luar. Ke dalam, manusia cerdas mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam, yang harus menemu-kenali kekhasan potensi dirinya sebagai dasar pembentuk karakter personal. Ke luar, manusia cerdas mampu mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter personal berkembang menjadi warga negara yang berkarakter baik atau buruk. Kebudayaan sebagai lingkungan sosial bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter kolektif. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman." Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan karakter kolektif. Ditinjau dari sudut ini, proses pendidikan harus mampu melahirkan pribadipribadi berkarakter sekaligus menjadi warga negara (pribadi yang membangsa) yang berkarakter. Keterpurukan dunia pendidikan kita tampak dari defisit manusia berkarakter dan warga negara yang berkarakter. Di atas kemarau karakter seperti itu tumbuh para politisi dan para penyelenggara negara yang kerdil. Demokrasi dirayakan dengan mediokrasi dan korupsi. Di republik korup dan jahil, keadaban publik hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Kehidupan mengalami kematian: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.



Dalam puing-puing keruntuhan kecerdasan dan keadaban, yang diambil dari warisan luhur para pendiri bangsa hanyalah abunya, bukan apinya. Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) masih digemakan, tetapi karakter dasarnya luput dari penghayatan. KAA, 60 tahun yang lalu, adalah cermin kebesaran karakter kita sebagai bangsa, pembawa obor harapan bagi dunia. Menjelang konferensi, para pemenang nobel, sarjana humanis, dan penulis kenamaan dunia mengirimkan surat kepada PM Ali Sastroamidjojo. "Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.... Cara Caesar, yang menggunakan kekuasaan perjuangan hidup, telah kandas di Moskwa dan Washington juga di Roma. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan." Perkembangan demokrasi Indonesia seperti mengenakan baju terbalik, momentum datang memberi peluang meneruskan obor kebesaran bangsa, tetapi yang memainkan peran hanyalah manusia-manusia kerdil. Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2015 dengan judul "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Demi Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Salah satu cita-cita dan kewajiban negara yang secara tegas diakui dalam konstitusi Indonesia -tiga tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dikumandangkan- adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi hak bagi warga negara, dan negara cq pemerintah wajib mengusahakan serta menyelenggarakannya. Dalam perkembangannya, konstitusi juga mengakui bahwa hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia (Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen) dan dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen). Dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi warganya, negara perlu berpegang setidaknya pada dua hal pokok. Pertama, dengan mendasarkan pada ketersediaan sumber daya, negara wajib menyediakan pelbagai sarana dan fasilitas standar bagi



pendidikan warganya, serta menjamin kemudahan akses dan keterjangkauan bagi setiap warga untuk menikmatinya. Benar bahwa pendidikan tidak dapat direduksi dan terbatas hanya pada sekolah (formal), namun demi memenuhi kewajiban standar hak atas pendidikan ini negara wajib menyediakan fasilitas serta kemudahan akses dan keterjangkauan bagi warganya untuk menikmati fasilitas persekolahan. Pendidikan cq persekolahan adalah hak warga, termasuk juga pendidikan/persekolahan yang berkualitas. Sebagai sebuah kewajiban, negara tidak seharusnya melepas tanggung jawab ini dan menyerahkan kesempatan untuk menikmati pendidikan via sekolah bagi warganya dengan mendasarkan pada kemampuan daya beli mereka masing-masing dalam berhadapan dengan industri sekolah. Hak atas pendidikan, termasuk kesempatan menikmati pendidikan via sekolah, adalah hak asasi manusia dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Kedua, pendidikan, lebih khusus lagi sekolah, tidak boleh di(-salah-)gunakan negara atau elitnya untuk dijadikan sebagai sarana indoktrinasi atau bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Pokok ini berhubungan dengan substansi dari pendidikan itu sendiri, yang mewujud di antaranya melalui kurikulum yang diselenggarakan. Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan peserta didik dan kehidupan bersama, sementara indoktrinasi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya atas sekolah justru akan mempersempit wawasan peserta didik dan memberi ruang bagi berlangsungnya proses dehumanisasi. Substansi pendidikan yang mencerahkan, termasuk kurikulum yang mencerdaskan, adalah hak asasi manusia dan pemenuhannya adalah tanggung jawab negara. Lantas, bagaimana realitas atau situasi pemenuhan hak atas pendidikan, terutama via sekolah, di Indonesia saat ini bila dilihat dari kesesuaiannya dengan konstitusi dan kedua pokok yang disampaikan ini? Adakah masalah, mengapa bisa terjadi, dan bagaimana strategi bagi perbaikannya? Dalam dekade terakhir ini tampak ada kecenderungan maraknya privatisasi dan komersialisasi di bidang pendidikan/persekolahan. Ini terlihat dari pelbagai produk kebijakan dan praktik pendidikan/sekolah, di mana pendidikan cenderung diperlakukan seolah bukan hak namun lebih sebagai komoditi. Sebagai komoditi, hanya mereka yang punya daya beli saja yang dapat menikmati. Contoh paling telanjang adalah proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), yang dalam perjalanannya kemudian dibatalkan. Persoalan lain adalah menyangkut rencana pemberlakuan kurikulum baru yang memunculkan polemik dan penolakan. Oleh pihak yang mempersoalkan, kurikulum 2013 ini dinilai terburuburu, tanpa riset dan persiapan yang memadai, disusun secara top-down, dinilai kurang terbuka, anggarannya terlalu besar, mengalami politisasi, kesan hegemoni agama yang berlebihan, dan minim partisipasi keterlibatan para guru dalam penyusunannya sehingga menimbulkan keraguan akan kemampuannya dalam menjawab kebutuhan untuk mencerdaskan peserta didik dalam keseluruhan dimensinya. Pelbagai masalah yang membelit kebijakan dan praktik pendidikan di negara kita ini tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-politik-ekonomi yang tengah terjadi, di mana representasi politik tidak berlangsung dan berkaitkelindan dengan menguatnya arus pasang fundamentalisme pasar/neo-liberalisme. Dalam persoalan menghadapi arus pasang ini, negara tidak hanya tidak berdaya, namun justru larut dan memfasilitasinya, tak terkecuali di bidang pendidikan. Lantas, dalam situasi seperti ini, bagaimana strategi yang dapat ditempuh bila kita hendak mendorong agar negara kembali atau pun tetap berada di jalur tanggung jawabnya untuk



memenuhi hak atas pendidikan warganya? Di sini, kesediaan kita untuk menjadi warga negara yang aktif dan mendorong pejabat publik agar representatif –mau dan mampu mewakili kepentingan maupun aspirasi warga- untuk menciptakan hidup bersama secara lebih baik, termasuk dalam hal pemenuhan hak atas pendidikan, patut dipertimbangkan. Meski terlihat seperti sebuah proyek yang maha besar, namun sejatinya tindakan ini dapat kita mulai dari halhal yang sederhana dan sehari-hari di lingkungan kita. Misalnya aktif memperhatikan dan tidak segan untuk bersikap kritis serta berani mengemukakan pendapat ke pihak atau pejabat publik yang relevan bila kita melihat ada praktik pendidikan atau persekolahan anak, adik, keponakan, atau tetangga yang tidak sesuai dengan kedua pokok di atas. Contohnya bila ada pungutan biaya dari pihak sekolah yang membebani orang tua siswa atau menemukan adanya materi yang tidak layak di dalam buku ajar siswa. Bahkan, bila memang diperlukan, tidak segan untuk menempuh jalur hukum -karena ini juga hak yang dilindungi konstitusi- seperti yang pernah dilakukan oleh sejumlah warga negara dan orang tua siswa dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap regulasi yang memayungi penyelenggaraan RSBI (Pasal 50 Ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) yang dinilai diskriminatif. Langkah ini telah membuktikan kemampuannya untuk membuahkan hasil. Redaksi



Pendidikan yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Pendidikan menjadi satu hal yang sangat krusial dan penting ketika kita ingin memajukan suatu bangsa. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia membutuhkan kualitas pendidikan yang baik dan merata untuk dapat setara dan bersaing dengan negara maju. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya bibit yang ada di Indonesia adalah bibit unggul. Hal ini dibuktikan dengan prestasi Indonesia yang sangat membanggakan di dalam Olimpiade di tingkat Internasional beberapa tahun belakangan ini. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya bangsa Iindonesia mampu untuk bersaing dengan negara maju, dengan syarat adanya pendidikan yang juga mumpuni.



Sesuai Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Dalam hal ini mencerdaskan kehidupan bangsa harus diartikan secara mendalam dan menyeluruh. Artinya bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya dijadikan sebuah alat untuk menaikkan derajat sosial ekonomi saja, namun harus dapat menjadikan manusia sebagai manusia. Menjadikan manusia sebagai manusia



seutuhnya. Namun, Sisdiknas yang menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan formal dirasa kurang untuk dapat mewujudkan tujuan diatas. Pendidikan formal justru terasa meng-counter tujuan awal pendidikan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini dikarenakan pendidikan formal justru lebih banyak (walaupun tidak semua) mengarahkan dan mengajarkan peserta didiknya untuk menjadi pekerja, mengajarkan bahwa pendidikan adalah sekolah dan kuliah. Bahkan secara ekstrim, pendidikan formal cenderung mengajarkan peserta didik menjadi robot, mesin, mengajarkan untuk memperlakukan manusia lainya juga sebagai robot, tidak menjadi manusia seutuhnya.



Pendidikan sebenarnya berlingkup sangat luas. Namun pendidikan formal justru membatasi ruang lingkup pendidikan itu sendiri. Padahal sesuai Pembukaan UUD tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerdaskan dalam berbagai bidang kehidupan, baik itu secara Ekonomi, Politik, Hukum, Budaya, serta Pertahanan dan Keamanan. Maka dari itu, sangat perlu untuk merevisi Sisdiknas, agar kedepan pendidikan formal dapat dijadikan suatu wadah pembentukan karakter bangsa. Sehingga generasi muda kita kelak dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter kebangsaan.



Selain itu, ada beberapa usulan solusi yang sekiranya dapat diterapkan untuk dapat memajukan pendidikan di Indonesia. Pertama, penyesuaian materi keilmuan. Hal ini perlu karena selama ini ilmu kita bersumber dari barat yang sebenarnya tidak sepenuhnya cocok dengan keadaan Indonesia. Pendidikan, ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan budaya, maka dari itu kita perlu untuk menyesuaikan ilmu itu dengan budaya kita sendiri. Sehingga kita tidak menjadi bangsa yang lupa akan budaya kita sendiri.



Kedua, memasukan materi kebangsaan dan sejarah perjuangan bangsa secara berkelanjutan. Hal ini diperlukan agar peserta didik mengerti dan benar – benar insyaf dengan perjuangan para pendahulunya, sehingga mereka menjadi generasi dan tidak lupa sejarah. Juga agar peserta didik mampu memahami kemajemukan dan budaya Indonesia serta menjadi generasi yang berkarakter kebangsaan. Sangat menyedihkan ketika kita



mengetahui bahwa ada generasi muda Indonesia yang tidak mengenal pahlawan dan para pendahulunya yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.



Ketiga, Sisdiknas harus memberi ruang dan mendorong sepenuhnya kegiatan yang membangun kepemimpinan dan karakter peserta didik. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan – kegiatan di luar kegiatan akademik dimana kegiatan itu memberi nilai tambah bagi peserta didik dalam hal kepemimpinan dan character building.



Keempat, penguatan pendidikan informal sebagai alternatif penanaman nilai. Pendidikan mempunyai lingkup yang sangat luas. Bahkan pendidikan pertama yang didapat adalah pendidikan informal. Maka dari itu, penguatan pendidikan informal bisa menjadi alternatif solusi untuk dapat mendukung atau mengimbangi pendidikan formal di sekolah maupun di kampus.



Demikian, semoga dapat menjadi sumbangsih bagi kemajuan pendidikan di Indonesia demi memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Selamat hari Pendidikan.



Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Wakaf Produktif Catatan Panjang Wakaf dakwatuna.com – Wakaf memiliki catatan panjang dalam budaya dan peradaban sejarah manusia dan bangsa-bangsa. Di Mesir, terdapat tanah yang dialokasikan untuk biarawan Mesir Kuno. Dalam peradaban Yunani Kuno, ada perpustakaan wakaf dan pusat-pusat pendidikan. Meskipun dalam agamaagama atau kepercayaan kuno mengabadikan aset/properti itu sudah biasa, namun wakaf dalam Islam memiliki situasi khas, salah satunya tentang amal yang tak putus-putus pahalanya, juga menjadi pengaruh yang besar pada valuasi wakaf negara-negara non-muslim yang telah mengikuti jejak berwakaf untuk tujuan kemanusiaan dan pembangunan. Universitas Oxford telah didirikan dengan mengikuti model wakaf dalam Islam. Wakaf untuk pengembangan pusat-pusat pendidikan untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Islam. Universitas Al-Azhar adalah model sukses dari universitas di dunia yang didasarkan pada investasi manfaat wakaf. Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan



selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya gunannya keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Sementara Pasal 215 (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya sesuai dengan ajaran Islam. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Melalui Wakaf Melanjutkan pendidikan pascasarjana ataupun doktoral di dalam maupun di luar negeri bukanlah impian sedikit orang, banyak mimpi-mimpi untuk melanjutkan studi ke negeri seberang namun kendala pendanaan yang biasanya muncul ke permukaan. Biaya pendaftaran, seatlement cost, living cost, biaya untuk buku kuliah, biaya pendidikan, akomodasi dan biaya hidup lainnya. Belum lagi apabila kurs negeri sebrang menanjak naik memekik rupiah, mengecap pendidikan di Amerika, Inggris, Jepang, Jerman mungkin hanya isapan jempol belaka. Piramida penduduk Indonesia 2010 dan 2015 memperlihatkan usia muda dan produktif (15-39 tahun) mendominasi komposisi peduduk Indonesia. Menurut data Proyeksi Penduduk Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik tahun 2013, penduduk usia sarjana, katakan saja antara 15-39 tahun, pada tahun 2010 berjumlah 101.615.700 jiwa atau sekitar 42,602% dari total jumlah penduduk Indonesia. Sementara di tahun 2015, penduduk usia sarjana berjumlah 104.687.100 jiwa atau sekitar 40,976%. Data tersebut menunjukan adanya potensi besar pemberdayaan pendidikan masyarakat Indonesia demi kemajuan bangsa. Bonus demografi antara 20102035 harus dijadikan sebagai masa pengembangan penduduk usia produktif mengingat jumlah mereka yang mendominasi. Bonus demografi di atas menjadi sebuah amunisi bagi Indonesia dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Peningkatan kualitas pendidikan yang biasanya terbentur pendanaan sudah seharusnya menemukan skema yang menjadi solusi. Solusi dalam bentuk pengadaan fasilitas pendidikan maupun pengembangan sumber daya manusia menjadi dua sasaran utama. Himbauan wajib belajar 12 tahun di Indonesia belum cukup menjadi pendukung peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia, diperlukan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas. Sejak diinisiasi menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di tahun 2010 dalam bentuk Penyisihan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional, akhirnya di tahun 2012 Indonesia memiliki Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Badan Layanan Umum di bawah satuan kerja Kementrian Keuangan. Lembaga pengelola salah satu beasiswa terbesar ini ternyata memiliki skema yang unik. Umat muslim mungkin mengenal apa yang disebut dengan skema wakaf. Di kalangan masyarakat, wakaf lebih dikenal melalui skema wakaf tanah dan bangunan, namun saat ini sudah menjadi trend ketika setiap orang, siapapun, apapun latar belakangnya, bisa berwakaf melalui uang yang dia miliki. Terhitung dengan Rp 100.000 per bulan masyarakat Indonesia sudah bisa berwakaf melalui program wakaf tunai yang diakomodasi oleh Badan Wakaf Indonesia. Sumber pendanaan LPDP adalah sisa anggaran pendidikan tahun sebelumnya. Sisa alokasi dan ini akan membutuhkan waktu lama jika dimasukkan kembali menjadi sumber pemasukan anggaran tahun berjalan, apalagi untuk mengelolanya langsung kembali menjadi dana beasiswa yang diatur oleh birokrasi pendidikan. Oleh karena itu LPDP hadir untuk mengelola dan menyalurkan anggaran sisa tersebut menjadi beasiswa bagi putra putri terbaik Indonesia. Sisa anggaran dana yang pertama kali dikelola LPDP dipertahankan nominalnya dengan cara diinvestasikan. Imbal hasil investasi itulah yang kini disalurkan menjadi beasiswa. “Setiap tahunnya penerimaan dana untuk beasiswa LPDP terus meningkat, namun dana abadi beasiswa sejak dulu nilainya tidak pernah berkurang, tetap dipertahankan”, tutur M. Kamaluddin, salah seorang evaluator beasiswa LPDP dalam kesempatannya menjadi narasumber Diskusi Paska Kampus PPSDMS Nurul Fikri Jakarta (20/10/2014). Hal ini yang kemudian teridentifikasi sebagai salah satu ciri khas dari sebuah wakaf. Nilai nominal aset yang dipertahankan. Begitu pun dengan wakaf uang, mungkin sebagian orang masih meragukan akan boleh atau tidaknya wakaf uang ini mengingat wakaf biasanya dilakukan penyerahan aset tetap, bukan aset likuid semacam uang cash. Kembali ke prinsip mempertahankan nilai, LPDP di sini berperan sebagai nadzir wakaf yaitu pihak yang bertanggung jawab mengelola dana wakaf, memastikan dana abadi tersebut tidak berkurang nilainya. Apabila suatu saat mengalami kerugian dan nominal wakaf berkurang, maka LPDP bertanggung jawab mengembalikan nominal awal wakaf uang tersebut.



Selain skema mempertahankan nilai, pengelolaan dana LPDP ini bisa dikategorikan sebagai wakaf juga karena lembaga ini menyalurkan dana demi tujuan kebaikan, tujuan yang tidak bertentangan dengan apa yang Islam ajarkan. Akan tetapi, tidak serta merta dana abadi yang dipertahankan nilainya ini yang kemudian kita sebut sebagai wakaf sudah benar-benar bebas dari transaksi yang dilarang dalam Islam. Jika kita lihat di Laporan Keuangan LPDP Tahun Anggaran 2013, beberapa investasi jangka pendek masih dilakukan dalam sistem konvensional, dimana 19% investasi jangka pendek ditempatkan di bank konvensional yang masih menerapkan prinsip bunga. Begitupun dengan penempatan dana abadi (endownment fund) yang kemudian kita sebut sebagai dana wakaf, 72% masih diinvestasikan pada instrument deposito di bank konvensional. Selebihnya, 28% telah diivestasikan dalam deposito syariah, di mana LPDP bertindak sebagai shahibul maal dan bank syariah sebagai mudharib yang mengelola dana abadi tersebut. Dana abadi ini tidak diperbolehkan untuk belanja kegiatan, melainkan hanya dapat dikelola dalam penempatan investasi. Maka apabila 100% dana abadi ini telah disalurkan dalam investasi dengan basis nonbunga, pengelolaan dana pendidikan di LPDP ini telah bisa disebut sebagai salah satu implementasi skema wakaf produktif yang mengantarkan Indonesia pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/08/20/73415/mencerdaskan-kehidupan-bangsa-melalui-wakafproduktif/#ixzz3ouNKhitA Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook



Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional // Rubrik Pendidikan · Majalah 1000guru · August 2013 // Enam



puluh



delapan



tahun



setelah



bangsa



Indonesia



memproklamasikan



kemerdekaannya,



perkembangan hampir di semua sektor kehidupan negara bangsa di era globalisasi ini jauh tertinggal dari negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh beberapa tahun setelah Indonesia. Sebagai contoh, Malaysia baru merdeka tahun 1957, Singapura tahun 1965, Korea Selatan baru setelah perang besar tahun 1950-an, dan Taiwan tahun 1949. Negara-negara ini kini perlahan-lahan namun pasti menjadi kekuatan besar. Sebelum China menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, kita masih bisa berkilah bahwa Indonesia tertinggal dari negara tetangga karena wilayah kita demikian luas dan penduduk Indonesia berlipat dari negara-negara tetangga. Namun, setelah China dengan jumlah penduduk enam kali penduduk Indonesia dan wilayah yang jauh lebih luas dari Indonesia mampu mendominasi perekonomian dunia, kita patut bertanya, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional Indonesia sehingga setelah



68 tahun



merdeka



belum



juga



menjadi



bangsa



yang



cerdas



kehidupannya,



maju



kebudayaannya, dan sejahtera kehidupan rakyatnya?” Secara sederhana, kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan belum cerdas di antaranya dilihat dari indikator berikut: 1) musim kering kekurangan air bersih, 2) musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, 3) jika ada bencana alam tidak dapat mengatasi sendiri dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan asing, baik dalam modal maupun teknologi, 4) wabah penyakit yang berulang kali muncul dan mematikan namun tidak diupayakan secara strategis bagaimana mengatasinya, 5) masih rendahnya atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi, 6) rendahnya daya saing dalam segala bidang, termasuk olah raga, dan 7) tingginya ketergantungan kita kepada



teknologi impor. Selain itu, cita-cita memajukan kebudayaan nasional pun masih jauh dari tercapai karena setelah 68 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis, berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, rendahnya produktivitas bangsa dalam IPTEK maupun ekonomi serta, masih rendahnya semangat bersatu. Kemudian, bahwa tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita “terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, antara lain dapat dilihat dari tingginya pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat, dan rendahnya tingkat pendidikan warga negara. Berangkat dari pertanyaan pokok, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional sehingga cita-cita para pendiri republik ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan nasional, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum juga nampak akan terwujud?” Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari atau mengidentifikasikan kesalahan tersebut, melainkan akan mencoba melakukan renungan analitik terhadap makna amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional dalam membangun negara bangsa Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan. Sepanjang pengetahuan penulis, hampir tidak ada bangsa di dunia yang UUD-nya memberikan fungsi kepada penyelenggara negara (pemerintah) untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tampaknya, setelah para pendiri republik meninggalkan gelanggang penyelenggaraan negara, amanat UUD 1945 ini kurang diperhatikan dan dipahami makna hakikinya. Akibatnya, sebagian pihak menganggap bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa sama dengan memperluas kesempatan warga negara mengikuti pendidikan. Pandangan ini benar, tetapi tidak sepenuhnya karena perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang tidak bermutu dalam analisis UNESCO (International Commission on Education for the 21st Century) tidak berdampak positif kepada pembangunan nasional tetapi bahkan menimbulkan masalah. Penulis berpandangan bahwa tanpa mengetahui dan memahami konteks perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia pada saat pergerakan nasional sampai saat proklamasi kemerdekaan, kita tidak akan dapat memahamimengapa para pendiri republik menuliskan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu fungsi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di samping “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”, “memajukan kesejahteraan umum”, “serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Para pendiri republik yang cendekiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia itu tampaknya sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dunia telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi, politik, dan IPTEK. Suatu peradaban yang akarnya adalah budaya Helenik dari empat abad SM yang pasca Renaissance pada abad ke-17 telah menggerakkan Eropa memasuki industri oleh gerakan negara kebangsaan yang modern. Pada saat Eropa bangkit melalui Renaissancedan industrialisasi serta munculnya negara-negara kebangsaan modern, Indonesia sebaliknya memasuki abad kegelapan, yaitu periode di bawah kekuasaan penjajah. Pendiri republik sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu dikuasai dan dijajah oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris, dan Belanda) karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari dalam seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil. Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara kultural dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak tersentuh



oleh budaya peradaban modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK. Oleh karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain ini berarti seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga negara dari bangsa yang modern, yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya. Untuk itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari UUD negara lain yaitu menetapkan ketentuan tentang kewajiban “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” dan “memajukan kebudayaan nasional bangsa Indonesia.” UUD 1945 pasal 31 ayat (2) menggariskan “diusahakan dan diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional”, bukan pendidikan, karena pendidikan bermakna lebih luas dari “pengajaran”. Tidak lain karena para pendiri republik telah menjadi “cerdas” dan tinggi rasa kebangsaan serta secara rasional mampu membawa bangsanya kepada gerbang kemerdekaan, bekal pendidikan sekolah yang telah ditempuh. Dan peradaban modern yang berkembang setelah industrialisasi tidak lain karena dilembagakannya sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai sikap kemampuan, nilai, dan sikap. Melalui sistem persekolahan yang modern dan bermutu –seperti bermutunya sekolah-sekolah yang ditempuh pada saat para pendiri republik mengikuti pendidikan– akan lahir generasi baru dalam Indonesia merdeka yang “cerdas” dan “berkarakter”. Generasi baru ini yang akan mendorong majunya kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu pula dalam UUD 1945 Bab XIII tentang pendidikan sudah meliputi Pasal 31 tentang pendidikan, dan Pasal 32 tentang kebudayaan. Selain itu, Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam lingkup perhatian satu departemen. Untuk kepentingan inilah pemerintah pada era kepemimpinan para pendiri republik menyediakan ikatan dinas dan asrama bagi calon guru, memberikan asrama mahasiswa serta perumahan dosen pada Universitas Negeri, merencanakan pelaksanaan wajib belajar, dan mendirikan sekurang-kurangnya satu Universitas Negeri untuk setiap provinsi. Sangat



disayangkan



bahwa



setelah



para



pendiri



republik



ini



meninggalkan



gelanggang



penyelenggaraan negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri republik ditinggalkan. Kebijakan memberi ikatan dinas dan asrama kepada mahasiswa calon guru ditiadakan, penyediaan perumahan dosen ditiadakan, asrama mahasisiwa pada setiap Universitas tidak difasilitasi lagi. Perluasan pendidikan yang ditempuh tidak dibarengi dengan mutu. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah



satu



akarnya



adalah



diabaikannya



penyelenggaraan



pendidikan



yang



bermutu,



yang



bermakna juga kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Catatan: Garis besar tulisan ini merupakan bagian dari kuliah umum program Magister Manajemen publik, Universitas Sriwijaya, Palembang, 7 Januari 2006. Penulis: Prof. Dr. Soedijarto, Guru Besar Ilmu Pendidikan (Emeritus) di Universitas Negeri Jakarta.