Modul Sistem Kepartaian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SISTEM KEPARTAIAN PEMILU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA



A. UMUM Demokrasi



Konsep



Demokrasi Konstitusional : -



Gagasan : pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang.



-



Pembatasan tercantum dalam konstitusional



-



Ahli sejarah Inggris yaitu : Lord Acton : mengingat bahwa pemerintah selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia tanpa kecuali melekat banyak kelemahan.



“ Power tends to corrupt, but absulute power corrup : absulute “ (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan wewenang itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya). Sistem Demokrasi : -



Muncul pada lahir abad



-



Terdapat negara kota (city atate) di Yunani Kuno ( abad ke 6 – abad ke 3 SM)



-



demokrasi langsung.



Eropa (abad pertengahan ) 600 – 1400 struktur sosial yang fodal



masyarakat dicirikan oleh



menghasilkan “ Magna Charta “ (piagam



besar 1215) yang merupakan kontrol antar beberapa bangsawan dengan raja Jhon dari Inggris dimana raja mengikat diri untuk menrangkul dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya. Demokrasi Konstitusional : - Abad ke 6 – 3 SM -



Abad 10



City State (Yunani Kuno) Negara Hukum klasik : Menyelenggarakan hak-hak politik



secara yuridis.



1



-



Abad 26



Rule Of Law yang dinamis : setelah terjadi perubahan



sosial dan ekonomi :



1.







Perlindungan Konsultusional







Badan Kehakiman







Pemilu yang panas







Kebebasan berserikat (berorganisasi dan berposisi)







Pendidikan kewarganegaraan.



hak individu



PARTAI POLITIK DAN PERKEMBANGAN Partai Politik : -



Merupakan kegiatan ilmiah yang relatif baru



-



Dipelopori oleh ahli sosiologi politik :



-



-







M. Ostrogarky ( 1902 )







Robert Michels ( 1911 )







Maurice Duverger ( 1951 )







Sigmund Neumann ( 1956 )



Dipelajari oleh beberapa ahli behavioralis : •



Yosef Lapalombon







Myran Wennis



khusus tentang peneropongan



Secara khusus partai politik dalam hubungan dengan pembangunan politik (pol. Parties and pol. Development).



-



Pertama lahir di Eropa Barat menenai luasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses politik



Parpol



lahir



secara



spontan



dan



perkembangannya menjadi penghubung antara pemerintah dengan rakyat. -



Pada umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sispol yang sudah modern/sedang dalam proses



-



Di negara yang menganut faham Demo tentang rakyat



bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa



pemimpin -



jadi lembaga politik



Di negara Totaliter elit politik



partisipasi jadi



untuk mmenentukan kebijaksanaan umum (public policy). gagasan tentang partisipasi rakyat didasari bahwa rakyat perlu dibimbing daqn dibina untuk 2



mencapai stabilitas yang langgeng



untuk mencapai tujuan



jadi alat yang baik dalam legitimasi status quo. -



Perkembangan pada mulanya di Barat (prancis & Inggris) dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen •



Mula-mula bersifat elitist dan Aristokratis







Han. Kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan –tuntutan raja







Dengan semakin luasnya hak pilih parlemen



Pol. Berkembang diluar



dengan terbentuk panitia-panitia pemilihan untuk



pemilu. •



Setelah dirasa perlu memperoleh duk. Dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen makin lama berusaha berkembang ormas.







Terjalin hubungan tetap antara kelompok politik dalam paelemen dengan panitia pemilihan yang sepaham dan sekepentingan



• -



Maka lahirlah Parpol.



Partai seperti tersebut menekankan kemenangan dalam pemilu dan dalam masa antar dua pemilu biasanya kurang aktif



karena bersifat



Patronage (Partai perlingdungan). -



Perkembangan selanjunya di dunia barat timbul pula partai yang lahir diluar paelemen.



-



Partai-partai bersamaan pada suatu pandangan hidup/ideologi tentang seperti :



-







Sosialisme







Kristen Demokrat dan sebagainya



Partai politik di negara jajahan •



Didirikan dalam rangka pergerakan nasioanl diluar dewanperwakilan rakyat kolonial.







Kadang-kadang menolak untuk dudukl dalam badan tersebut (seperti Hindia Belanda, India)







Setelah kemerdrkaan tercapai dengan meluas



proses



urbanisasi, komunikasi masa, pendidikan umum bertambah kuatlahkecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik malalui parpol. 3



2.



PENGERTIAN Parpol : -



Suatu kelompok yang terorganisir



-



Terdiri dari anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai dan cita-cita yang sama



-



Tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional



-



Dalam rangka pelaksaan kebijaksanaan mereka



Kegiatan manusia dalam Parpol : - Merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang mencakupi semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta secara lansung/tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. - Kegiatan meliputi : •



Memilih dalam pemilihan umum







Jadi anggota golongan politik seperti : partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan







Duduk dalam lembaga seperti : DPR







Berkampanye







Hadiri kelompok diskusi dan sebagainya



Kebalikan partisipasi



apatis manusia apatis (secara politik) berarti tidak



ikut dalam kegiatan tersebut diatas Pengertian/definisi Parpol menurut para ahli yaitu antara lain : 1) Menurut Carl J. Friederich Parpol : Kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut/mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan parpolnya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adiil maupun materil. 2) Menurut R.B Soltau Parpol :



4



Kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan bertujuann menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. 3) Menurut Sigmund Neuman Parpol : Organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut kedudukan rakyat atas persaingan dengan suatu golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda. 3.



PERBEDAAN PARTAI DENGAN GERAKAN •



Suatu gerakan merupakan perbedaan politik alam golongan yang ingin mengadukan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik kadang ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang barusama sekali dengan memakai macam-macam politik.







Gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya kadang-kadang berasifat ideologi.







Orientasi gerakan merupakan ikatan yang kuat diantara anggota-anggota dan dapat menumbuhkan identitas kelompok (group identity) yang kuat berbeda dengan parpo, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilu.







Parpol berbeda dengan kelompok penekan (presure group) atau interest group



bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan



mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang positif atau menghindarkan keputusan yang negatif. B. FUNGSI ORPOL/PARPOL : Macam fungsi dalam Orpol/Parpol Pemerintah 1) Himpun seluruh kekuatan politik -



Tua dan muda



-



Terdidik agar



peroleh suara banyak



mampu kuasai



negara dan jalankan pemerintahan 2) Melakukan konsolidasi



untuk kekuatan optimal semangat dalam



berjalan secara : 5



-



Efektif



-



Produktif



-



Kreatif



-



Inovatif



3) Memperjuangkan kepentingan rakyat (Ipoleksosbud) 4) Membuat program secara : -



Rasional



-



Dapat diterima



-



Segala bidang keahlian



-



Pecahkan masalah yang dihadapi rakyat



5) Memilih



pemimpin-pemimpin



politik



yang



memiliki



loyalitas



terhadap



kepentingan rakyat dan bangsa negara. 6) Melakukan hubungan terhadap rakyat -



Langsung



-



Formal/informal



-



Antara pimpinan dengan yang dipimpin



7) Siapkan kader-kader politik dari generasi muda yang : -



Cakap, tangguh



-



Terpercaya



-



Memiliki kemampuan agar tidak terjadi kekacauan/kosong



8) Siapkan/himpun bamtuan dana dari anggota/simpatisannya 9) Menanamkan disiplin terhadap organisasi dan turut kepentingan bangsa negara. 10)Mengelola organisasi politik/terapkan manajemen. 11)Setiap Orpol harus melakukan strategi yang tepat kalau tidak jadi bimerang. Maka diperlukan ahli-ahli/pemikir struktur politik yang memiliki : -



Memiliki wawasan pengetahuan luas



-



Memiliki pengalaman cukup



-



Bekerja khusus bagaimana Orpol menguasai rakyat



12)Setiap Orpol Harus mampu melakukan kritikan-kritikan bersifat : o Korektif o Inovatif



terhadap Orpol yang jalankan Pemerintahan



o Efeltif



6



13)Setiap Orpol harus mampu ,elaksanakan social control baik bersifat vertikal/horizontal, supra struktur/infra struktur.  Peranan KP. o Keberanian moral o Penguasaan dan penyampaian o Pertanggung jawaban secara fakta o Tanpa vested interest 14)Harus mampu menyelesaikan pertikaian, baik intern/ekster bila tidak mampu kepercayaan rakyat  Peranan KP



Dlm diri dlm Kom



Peng



Memiliki kelebihan dlm



peng emos Penglaman



Bila tidak mampu



Orpol pecah/mati dengan sendirinya.



 Fungsi Parpol pada negara UB/PS/Islam dengan sistem kediktatoran walaupun parpol lebih



sulit jalan fungsi partai politik yang mentukan



jalan/tidak sistem politik/sistem pemerintahan.  Dalam negara ybs tumbuh ekonomi sehat sehingga rakyat merasakan kebutuhan hidup terpenuhi.  Dalam negeri ybs kamtib terjamin sehingga rakyat merasakan hidup tentram dan damai tanpa keresahan.  Dalam negara ybs Kamtib relaptif terjamin rakyat merasakan kehidupan yang tentram dan damai tanpa ada rasa khawatir, keresahan dan CHAOS. C.KLASIFIKASI PARTAI 1.Ditinjau dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya Terbagi 2 jenis : 1).Partai Massa utamakan kekuatan, atas dasar keunggulan jumlah anggota (system bernaung) Kelemahannya :  Cenderung untuk paksaan kepentingan masing-masing (saat Kritis) 7



 Persatuan lemah/hilang  Cenderung massa mudah termanipulasi oleh figure public (NSB)



2).Partai Kader  Mementingkan ketaatan anggota organisasi dan disiplin  Menjaga kemurnian dari politik yang dianut



dengan saring



 Pecat yang menyeleweng  Militansi yang kuat 2.Ditinjau dari sifat dan orientasi Terbagi 2 jenis : 1). Partai Lindungan Kelemahannya :  Memiliki organisasinasional yang kader/lemah  Disiplin lemah  Hanya untuk kemenagan pemilu  Tidak perlu iuran anggota  Hanya giat menjelang masa peralihan Contoh Partai Demokrat, Partai Republik di AS 2).Partai Ideologi/Azas Ciri :  Miliki garis hidup yang digariskan pimpinan  Tatanan nilai yang mengikat  Sistem saringan  Pimpinan  Dipungut iuran



melalui tahap-tahap percobaan mengikat secara teratur



 Organ-organ partai disebarkan dengan membuat ajaran-ajaran dan keputusan-keputusan yang telah dicapai kini. 3.Sistem Partai 1). Sistem Partai Tunggal (RRC, Unu Sovyet, Eropa Timur, Afrika Selatan) 8



 Azas Kompetitif  Partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominant  Tidak dibenarkan bersaing secara nerdeka melawan partai tersebut  Dihadapkan pada bagaimana mengintegrasikan pelbagai golongan  Terdapat kekhawatiran terhadap gejolak Sospol (keanrka ragaman) kelancaran pembangunan 2). Sistem Dwi Partai (AS, Philipina, Inggris, dan lain-lain)  Menang berkuasa



kalah : oposisi



 Yang kalah sebagai pengecam utma



dengan pemilu tapi juga setia /loyal terhadap



partai yang duduk di pemerintahan (loyal opposition, sebagai cirri)  Meletakan tanggung jawab tentang pelaksanaan fungsi politik  Memperrebutkan perorangan yang berada di tengah-tengah antara 2 partai (pemilih terapung/floating vote)  Disebut :a convenient system for conteted people”)  Sistem terasebut dapat dipenuhi dengan 3 syarat : a. Komposisi masyarakat = homogen (social homogeneity) Konsensus dalam masyarakat tentang azas dan tujuan sosial yang pokok (polical concept) continuity)



adalah kuat dan adanya kontiunitas sejarah (historical seperti INggris



ideal



terhadap



Dwi



Partai.



Perbesaan hanya pada cara-cara, kecepatan laksanakan beberapa program pembaharuan tentang masalah-masalah sosial, perdagangan dan industri. b. Terdapat partai lainnya



koalisi



c. Diperkuat dengan system pemilu system distrik (single member constituent)



tiap daerah pemilihan hanya 1 wakil saja. Miliki



kecenderungan menghambat pertumbuhan dan pembangunan partai kecil sehingga perkokoh system dua partai 3).Sistem Multi Partai (Indonesia, Malaysia, Perancis, Belanda dan lain-lain)  Keanekaragaman dalam komposisi masyarakat (agama, suku, ras dll) kuat



9



 Golongan masyarakat cenderung untuk primordial (ikatan-ikatan terbatas). Lemah dan ragu pada eksekutif karena cenderung menitik beratkan pada kekuasaan badan legislative (parlementer)  Bentuk Koalisi



k arena lemah



 Yang berkoalisi harus adakan musyawarah dan kompromi dengan partai  Oposisi tidak berperan dengan jelas  Sewaktu-waktu dapat duduk dalam pemerintahan koalisi baru  Dalam situiasi tertentu tedapat



satu partai yang dominant



stabilitas politik dapat lebih dijamin (seperti India).  Dapat diperkuat dengan system perwakilan berimbang



(proposional



representation) = memberi kesempatan luas bagi tumbuh partai-=partai dan golongan-golongan kecil = pemanfaatan suara lebih. 4.Parpol di Indonesia 1).Pertama lahir  Pada zaman Kolonial



sebagai manisfestasi kebangkiotan nasional



 Faham pergerakan •



Tujuan sosial



Budi Utomo dan Muhammadiyah



(ajaran agama) •



Tujuan politik dan agama



Sarikat Islam dan Partai Politik







Tujuan politik dan sekuler



PNI, PKI



 Mereka memainkan peranan penting dalam kebangkitan pergerakan nasional. 2).Pola kepartaian masa kini Adanya keanekaragaman



dilanjutkan pada masa kemerdekaan dalam



bentuk Multi Partai. D. ANALISIS HYSTORIS. 1. Partai Politik Pada Masa Pergerakkan Partai Politik adalah perkumpulan atau segolongan orang-orang yang seazas, sehaluan, setujuan terutama dibidang politik. Pada awal abad XX Parpol diawali oleh Organisasi Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta 10



oleh DR. Wahidin Sudirohusodo, yang menekankan pada bidang Pendidikan dan Pengajaran, sebagai perintis organisasi modern yang sudah mencantumkan azas dan tujuan organisasi dalam AD/ART. Inidsche Partaij didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwandi Suryaningrat ( dikenal sebagai Tiga Serangkai ) cara yang digunakan oleh IP untuk mencapai tujuannya adalah : Meresapkan kesatuan kebangsaan Indiers termasuk sejarah dan budayanya, memberantas adanya pengakuan ras putih sebagai ras istimewa ; kerjasama antar etnis atas dasar pengertian nasional ; ketahanan nasional terutama rakyat Hindia dengan mempererat kekuatan batin dalam soal kesusilaan ; berusaha mendapat persamaan hak bagi semua orang Hindia ; memperkuat daya tahan rakyat Hindia untuk mempertahankan tanah air dari serangan orang asing ; pendidikan yang bercorak Hindia dengan tidakj membedakan warna ras dan kulit memperbesar pengaruh hindia dalam pemerintahan serta memperbaiki status ekonomi bangsa Hindia terutama bagi yang ekoniminya lemah. IP oleh Belanda dianggap sebagai Organisasi yang radikal dan menentang Pemerintahan Kolonial yang memyebabkan di buangnya ketiga pendiri IP ke Negeri Belanda. 2. Timbulnya Parpol Di Masa Pendudukan Jepang Mei 1945 di bentuk BPUPKI yang di ketuai Dr. Rajiman, BPUPKI menghasilkan Dasar Negara (Pancasila) dan Piagam Jakarta yang kemudian hari menjadi Pembukaan UUD 45. Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan yang kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 16 – 17 Agustus 1945 PPKI mengambil keputusan untuk memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia. 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Konstitusi yang mengikat kepada seluruh bangsa. 3.Timbulnya Parpol Di Masa Kemerdekaan Timbulnya Parpol Timbulnya sejarah parpol diawali dari permulaan usaha penyusunan pemerintahan sentral Republik yang didasarkan atas pasal-pasal I – IV aturan peralihan UUD 1945, dan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintahan RI



11



Tanggal 3 Npember 1945 yang berisi anjuran mendirikan parpol dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pasal I aturan peralihan UUD 1945 menunjuk Panitia Persiapan Kemerdekaan pemindahan



sebagai



organ



kekuasaan



yang



pemerintahan



mengatur dari



dan



menyelenggarakan



pemerintahan



Jepang



ke



Pemerintahan Indonesia. Pasal 2 segala Badan Negara dan peraturan yang ada pada tanggal 19 Agustus 1945 berlaku terus selama belum diadakan yang baru menurut konstitusi. Pasal 3 menetukan bahwa Presiden dan wakil Presiden untuk pertama kalinya dipilih oleh PPKI. Pasal 4 menetukan bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut kinstitusi, maka segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Maka berdasarkan pasal tersebut PPKI memilih Ir, Soekarno dan Moh Hatta sebagai Presiden dan wakilnya. Dalam rapat 18 Agustus 1945, bahwa pemerintahan (eksekutif) terbagi atas 12 Departemen, dan Presiden mengangkat menteri. Dalam rapat tanggal 19 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan bahwa Presiden akan dibantu oleh satu Komite Nasional Pusat (KNPI) yang anggotanya diangkat oleh Presiden. Pada tanggal 3 Nopember 1945 Pemerintahan RI mengeluarkan Maklumat yang berisi anjuran mendirikan Partai Politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Partai Sosialis. Merupakan fusi dari partai Sosialis Indonesia (Parsi) yang didirikan oleh Amir Syarifuddin tanggal 1 November 1945 dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) didirikan oleh Syahrir tanggal 20 November 1945. Partai Komunis Indonesia Muncul tanggal 21 Oktober 1945 dipimpin oleh Moh. Yusuf, partai ini tidak berhubungan dengan PKI 1926 dan PKI 1935 yang ilegal, partyai ini



12



bertanggungjawab atas huru-hara anti pemerintah pada bulan Oktober 1945, yang memyebabkan Moh. Yusuf ditahan yang kemudian digantikan oleh sarjono. Partai Buruh Indonesia Tanggal 9 November 1945 pemimpin-pemimpin Barisan Buruh Indonesia yang baru didirikan membentuk Partaim Buruh Indonesia yang dipimpin oleh orang-orang Indonesia yang pernah bekerja di jawatan perburuhan Jepang yang dekat dengan Subarjo, tetapi dengan kedatangan Setiajid dari Belanda awal 1946 pimkpinan jatuh ketangannya. Partai Rakyat Jelata Atau Murba Didirikan bulan November 1945 oleh Sutan Dewanis dan Maruto Nitimiharjo, bersama dengan PBI Syamsul Harya Udaya dan sejumlah perkumpulan yang lain pada tahun 1948 mendirikan GRR dan kemudian berfusi menjadi Partai Murba. Masyumi Didirikan tanggal 7 November 1945 di Yogjakarta dengan ketuanya Sukiman Wiryosanjoyo, partai ini sudah dikenal sejak zaman Jepang, partai ini mempaunyai laskar Hisbullah dan Sabilillah yang terorganisir dengan baik serta bersenjata. Serindo – PNI Serindo (Serikat Rakyat Indonesia) merupakan awal mula berdirinya partai Nasioanl Indonesia yang didirikan pada tanggal 21 Januari 1946, yang merupakan hasil kongres dari tanggal 18 Januari – 1 Februari 1946 di Yogjakarta, yang diketuai oleh Samidi Mangunsarkoro. Maklumat Pemerintah Nomor X Atas desakan KNIP dalam sidangnya Tgl 16-17-oktober 1945 maka Tgl 16 oktober 1945 di umumkan maklumat presiden nomor



X yang menentukan



bahwa : 1.



KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR di serahi kekuasaan legislatip dan kekuasaan ikut serta menetapkan Garis-Garis besar dari haluan negara.



13



2.



Pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah badan pekerja KNIP ( BP-KNIP ) yang di pilih di antara anggota Knip dan bertanggung jawab terhadap KNIP-pleno Syahril di angkat sebagai ketua BP KNIP. Kemudian dengan pengumuman BP KNIP NO. 5 Tanggal 11 Nopember



1945 bahwa Presiden telah menyetujui untuk mengadakan pertanggungjawaban ministeril dan dengan Maklumat Presiden Tanggal 14 nopember 1945 yang mengumumkan pembentukan kabinet kedua yang bertanggungjawab terhadap KNIP. Maka dimasa berlakunya konstitusi pertama negara telah melihat 5 (lima) kabinet parlementer : 1.



Kabinet Syahrir ke – 1



04-11-1945



s/d



12-03-1946



2.



Kabinet Syahrir ke – 2



12-03-1946



s/d



28-06-1946



3.



Kabinet Syahrir ke – 3



02-10-1946



s/d



27-06-1947



4.



Kabinet Amir Syarifuddin



03-07-1947



s/d



31-01-1948



5.



Kabinet Halim



21-01-1950



s/d



17-08-0950



Karena timbul keadaan genting, Presiden selama tiga kali mengumpulkan kekuasaan kedalam tangannya sendiri yaitu : 1. Pada waktu percobaan mengumpulkan coup d’etat tan malaka cs, tanggal 28 Juni 1946 (Maklumat Presiden 1946 No. 1) hingga tanggal 28 Oktober 1946 (Maklumat presiden No. 2). 2. Pada tanggal 27 Juni 1947 (Maklumat Presiden 1947 No. 6) hingga tanggal 3 Juli 1947 (Maklumat Presiden 1947 N0.2) dimana peralihan antara Kabinet Syahrir ke – 3 dan Kabinet Syarifuddin. 3. Pada tanggal 31 januari 1948 (Maklumat presiden 1948 No. 3) dibentuk Kabinet Presidentil Hatta yang dibekukan tanggal 19 Desember 1948 dengan pendudukan Yogja oleh Belanda yang kemudian dicairkan kembali hingga tanggal 17 Agustus 1950, Yaitu tanggal mulai berlakunya UUDS 1950. Maklumat Pemerintah 3 November 1945



14







Pemerintahan menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan partai politik segala aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur.







Pemerintahan berharap supaya partai-partai itu tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan Perwakilan Rakyat dalam bulan Januari 1946.



Maka dengan maklumat itu berkembanglah : 1.



Partai Sosialis



2.



Partai Komunis Indonesia (PKI)



3.



Partai Buruh Indonesia (PBI)



4.



Partai Rakyat Jelata Atau Murba



5.



Masyumi



6.



Serindo – Partai Nasional Indonesia (PNI)



7.



Dsb.



4. Parpol Di Masa UUDS 1950 – 1959 a.Kabinet dan Parpol Masyumi Pada masa berlakunya UUDS (1950 – 1959) selama 9 tahun terjadi 7 kali pengantian kabinet ini relatif pendek karena berlakunya UUDS adalah bersifat parlementer. Daftar Kabinet RI Pada Masa UUDS (1950 – 1959) No 1 2 3 4 5 6 7



Sistem Kabinet Nama PM Extra Parlemen Natsir Sukiman – Suwiryo Wilopo Ali I Burhanudin Harahap Ali II Djuhanda Karya



Keterangan Masyumi PNI PNI PNI Masyumi PNI -



Pembentukan Negara Kesatuan sesudah pengambilan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 terdapat 3 (tiga) cara yaitu : 1. Negara Bagian menggabungkan diri dengan yang lainnya (RIS). 2. Penyerahan Kedaulatan pada Pemerintah Pusat (Pemerintah Federal)



15



3. Persetujuan antara Pemerintah Federal dengan Negara Bagian dengan cara peleburan menjadi Negara Kesatuan dengan cara : •



Pasal yang Federalis di dalam konstitusi RIS dicabut







RI dilebur ke dalam RIS, sehingga tak ada lagi Negara Bagian







Negara Kesatuan di bentuk menjadi republik Indonesia.



Dalam Sistem Politik UUDS 1950 peranan parpol sangat besar sekali, sangat berpengaruh sekali terhadap Pemerintah, Kesatuan terhadap partai memungkinkan ia bisa menduduki jabatan yang tinggi walaupun pendidikannya rendah sehingga timbul masalah yang rumit karena : •



Bagaimana membangun ekonomi nasional menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.







Sistem Politik/Pemerintahan yang bagaimana sebaiknya diterapkan di Indonesia.







Bagaimana hubungan dengan Belanda akibat KMB harus dipecahkan. Kabinet pertama sejak berlakunya UUDS 1950 adalah kabinet Moh.



Natsir yang programnya terdiri dari 5 pasal yang intinya yaitu : 1.



Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk Konstituante dalam waktu singkat



2.



Memajukan perekonomian, Kesehatan dan Kecerdasan Rakyat.



3.



Menyempurnakan organisasi pemerintah dan militer



4.



Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Jaya dalam tahun 1950.



5.



Memulihkan keamanan dan ketertiban. Parlemen sementara yang diketuai oleh Sartono (PNI) merupakan



lawannya bukan partnernya, RUU Pemilu yang disampaikan kepada parlemen oleh Menteri Kehakiman Wongsonegoro pada bulan Februari 1951 tidak segera direalisasikan. Natsir sering mengeluarkan UU darurat dan kabinet Moh. Natsir jatuh pada bulan Maret 1951. Pada waktu RIS masih berdiri,



Negara Bagian RI telah mengeluarkan



peraturan tentang perwakilan daerah yaitu, Pemerintahan RI No. 39 Tahun 1950 A.I DPRD tak dibentuk lewat pemilu yang bersifat langsung tapi lewat pemilihan



16



yang anggotanya berasal dari organiosasi masa kemasyarakatan seperti, Parpol, Serikat Buruh, Serikat Tani, Perkumpulan Wanita, Pramuka, Ulama, Dll.  Untuk DPR Kodya/Kabupaten dipilih yang anggotanya merupakan utusan yang ada di daerah tersebut.  Organisasi ini masa berhak mengirim utusan bila mempunyai cabang minimal 3 Kabupaten di tiap Propinsi yang telah aktif. I.Pemilu Ke I (satu) Pemilu pertama baru dilaksanakan 1955, ada berbagai sebab yang menghadangnya karena : 1. Revolusi lebih diarahkan pada mempertahankan kemerdekaan dengan membendung arus kolonial dengan berbagai dalih ingin menjajah kembali. 2. Pertikaian intern dalam lembaga Politik dan Pemerintahan di samping belum ada yang mengatur Undang-Undang pelaksanaan Pemilu. Beberapa kabinet saat menjelang Pemilu 1955 antara lain : 1. Kabinet Wilopo Kabinet ini bekerja sejak tanggal 3 April 1952, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 85 Tahun 1952 tanggal 1 April 1952. Dalam kabinet ini terdapat perkembangan politik yang menarik yaitu menjelmanya NU sebagai parpol dan perubahan haluan PKI. NU lahir pada tanggal 30 Agustus 1952 dimulai dari keluarnya NU dari Masyumi bersama PSII dan Perti membentuk liga Muslimin Indonesia. Dalam Kabinet Wilopo yang didukung PKI di bawah pimpinan Aidit terdapat juga tokoh masyumi, tapi PKI dengan taktiknya mendekati tokoh-tokoh persatuan atau penganjur persatuan dari PNI, maka mulailah terjalin hubungan baik antara PNI dan PKI. 2. Kabinet Sastroamijoyo Program



Kabinet Ali Sastroamidjoyo mempunyai 4 (empat) program :







Meningkatkan Keamanan dan Kemakmuran dan diadakan Pemilu segera







Pembebasan Irian Jaya secepatnya







Politik Bebas Aktif dan peninjauan kambali KMB



17







Penyelesaian Parpol. Kabinet Ali Sastroamijoyo I menyelesaikan UU Pemilu dan mengadakan



Konperensi Asia Afrika tanggal 18 – 24 April Tahun1955 dan kabinet Ali di Demisionerkan tanggal 24 Juli 1955 berdasarkan Keppres No. 122 tahun 1955 tanggal 24 Juli 1955. 3. Kabinet Burhanuddin Harahap Kabinet Burhanuddin Harahap bekerja sejak tanggal 12 Agustus 1955 (Keppres No. 14 tahun 1955) Kabinet ini terkenal karena pada masa ini berhasil menyelenggarakan Pemilu I untuk memilih anggota DPR dan memilih anggota konstituante. 4. Kabinet Ali Sastroamidjoyo II Kabinet Ali II mulai tanggal 24 Maret tahun 1956 sampai tanggal 9 April 1957. 5.Parpol Di Masa Orde Lama Dalam Pemilu tahun 1955 ternyata 52 kontestan terdiri dari parpol dan perorangan, dengan tahap ini perkembangan kepartaian terseleksi hingga menjadi belasan saja, dengan berubahnya iklim politik dari alam Demokrasi Liberal ke alam Demokrasi Terpimpin. Pemberontakan PPRI PERMESTA pada tahun 1958/1959 membawa dampak kehidupan kepartaian. Pada tanggal 31 Desember 1959 Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 Pemimpin parpol turut serta



tentang pembubaran partai politik bila



dalam pemberontakan/jelas memberikan bantuan,



partai ini tiak menyalahkan perbuatan anggotanya tersebut. Pada bulan Agustus Partai Masyumi dan PSI dibubarkan, Maka dengan demikian pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengawasan, Pembubaran Partai-partai. Partai dapat dibubarkan bila tak dapat menghimpun/tedaftar 150.000 Orang. Disini terlihat upaya untuk melakukan seleksi dan 8 partai diangggap berhasil memenuhi ketentuan yaitu, PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Portindo, Partai Murba, PSII, Arudji, IPKI, dan ditambah partai susulan Parkindo, dan Partai Islam Perti.



18



Partai Politik yang berhak hidup tinggal 10 buah saja, sisanya dianggap tidak memenuhi definisi, tetapi Presiden



Soekarno atas desakan PKI membubarkan



Partai Murba dengan alasan merongrong jalannya revolusi. I.Demokrasi Terpimpin Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka pada tanggal 6 Juli 1959 Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden berdasarkan UUD 1945 yang diberlakukan kembali, Presiden Soekarno langsung memimpin pemerintah, bukan saja Kepala Negara tetapi sekaligus Kepala Pemerintahan dan membentuk Kabinet Kerja yang Menteri-menterinya tidak terikat kepada partai. Pada tanggal 9 Juli di umumkan terbentuknya Kabinet Kerja I, kabinet ini bersifat Presidentil, sebab Presiden menjabat sebagai Perdana Menteri. Dalam Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 – 6 Maret 1962), ada perubahan struktur kabinet, disamping menteri pertama ditambah Wakil Menteri pertama, dalam Kabinet Kerja III )6Maret 1962 – 13 November 1962) semuanya disebut Menteri. Program Kabinet Kerja hendaknya dijalankan dengan uraian menjadi GBHN, dan oleh MPRS dan dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol), yang berintikan USDEK. Kesukaran Ekonomi belum teratasi



saat RI mulai



mengunakan kembali UUD 1945, keuangan negara yang dilanda inflasi ialah pengebirian rupiah bernilai 10 % nya saja dari nilai nominalnya. Pada tahun1965, timbul ketegangan Sosial politik. Hubungan Soekarno dan Angkatan Darat tegang karena banyak sikap terhadp PKI dan hampir semua kekuatan sosial memusuhinya. I.Pemulihan Keamanan Sesudah mendapat pengakuan internasional pada tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1962 banyak gangguan keamanan yang timbul antara lain : DI. TII Kartosuwiryo di Jaw Barat dan Jawa Tengah Sebagai



reaksi



negatif



atas



persetujuan



Renvile



maka



kartosuwiryo



menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), Pemberontakan Kartosuwiryo ini dapat dipadamkan pada tahun 1962 dan tanggal 2 Juni 1962 Kartosuwiryo ditangkap. DI. TII di Aceh 19



PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dipimpin oleh Daud Beureuh. Daud Beureuh bersama pengikut-pengikutnya melakukan perlawanan dengan kekerasan dan menyatakan Aceh menjadi bagian dari NII Pimpinan Kartosuwiryo. Kabinet Ali Satroamijoyo mengambil tindakan tegas untuk mematahkan kekuatan Daua Beureuh dan pada tahun 1961 keadaan Aceh menjasdi aman kembali. DI. TII di Sulawesi Selatan Kolonel Kawilarangselaku Panglima Tentara dan Teritoriaum VII (Indonesia Timur) dihimpun dalam wadah bernama Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan sebagian dimasukan ke TNI yang memyebabkan KGSS kecewa, untuk mendamaikan perselisihan KGSS – PKI, tanggal 22 Juni 1950 KGSS dan Kahar Muzakar, akhirnya Kahar Muzakar bergabungdan diangkat sebagai Komandan KGSS, dan ternyata Kahar Muzakar telah berhubungan dengan Kartosuwiryo dan diangkat menjadi Komandan Divisi TII. Pemberontakan Kahar Muzakar ini dapat dipadamkan pada tanggal 3 Februari 1965, bersamaan tertembaknya Kahar Muzakar oleh Kesatuan Siliwangi.



Pemberontakan KRYT di Kalimantan Selatan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) dipimpin oleh Ibnu Hajar bekas anggota ALRI Divisi IV, pada pertengahan tahun 1950, akibat tidak puas dengan kebijaksanaan pemerintahan dengan program demobilisasi tentara. Ibnu Hajar dan sisa pasukannya menyerahkan pada bulan Juli 1963. Pemberontakan G, 30 S/PKI PKI telah dua kali mencoba mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pertama di kenal Pemberontakan PKI Madiun, kedua merupakan suatu coup d’eta dikenal denagn nama G. 30 S/PKIdi Jakarta, PKI terus merongrong kewibawaan dan keutuhan TNI-AD dengan mengadu domba sesama pimpinan AD, antara AD dengan rakyat. Untuk melancarkan siasat ini mereka memilih beberapa tempat yang strategis, yang jauh terpencil dari kota besar. Keadaan yang nampak, sejak awal 1965 Presiden Soekarno menderita sakit dan pada saat itu terjadi ketegangan Sosial Politik yang menjadi-jadi dan ketika ketegangan telah memuncak dan PKI merasa kekuatannya meyakinkan maka PKI mempersiapkan perebutan Kekuasaan. 20



6. Partai Politik Di Masa Orde Baru I.Aksi Tritura Pada waktu PKI meletus keadaan ekonomi Indonesia kacau balau, dan sikap Presiden Soekarno yang kurang tegas memyebabkan ketidakpuasan meluas dikalangan



rakyat,



dengan



dimotori



oleh



KAMI



terjadilah



aksi



yang



menyampaikan 3 tuntutan rakyat yang dikenal dengan TRITURA, yaitu : 1. Bubarkan PKI 2. Bersihkan Kabinet Dwikora 3. Turunkan harga-harga barang Aksi Tritura ini berlangsung pada tanggal 10 januari1966 di Jakarta selama 60 hari sampaidikeluarkannya Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang berisikan antara lain : Memerintahkan pada Lenjend Soeharto, Men Pangab, untuk atas nama Presiden mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamayan pribadi dan kewibawaan Presiden. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Presiden adalah pembubaran dan larangan atas PKI dan seluruh organisasi bawahannya di seluruh Indonesia. Kemudian disusunnya “Kabinet Dwikora Yang lebih Disempurnakan”, dengan tiga tokoh utama yaitu : Soeharto, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik yang digelari Triumvirat. Beberapa keputusan penting dari sidang MPRS tahun 1966 adalah sebagai berikut : 1. Tap. No. IX/ MPRS/66 berisi pengukuhan Super Semar. Dengan demikian Presiden Soekarno tidak bisa lagi mencabutnya. 2. Tap. No.XXV/MPRS/66 berisi pengukuhan atas pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan ajaran marxisme-komunisme di Indonesia. 3. Tap. No. XVIII/MPRS/66 berisi pencabutan Tap.No. II/MPRS/63 yang berisi pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. 4. Tap. NO. XIII/MPRS/66 berisi pemberian kekuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk membentuk Kabinet Ampera dengan tujuan pokok Dwidharmadan Programnya Catur Karya. 21



Dwidharma adalah menciptakan : 1.



Kestabilan Politik



2.



Kestabilan Ekonomi



Catur Karya ialah : 1. Memenuhi Sandang Pangan 2. Pemilu 3. Politik Luar Negeri Bebas Aktif 4. Melanjutkan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Maret 1968 MPRS mengadakan sidang dengan keputusan sebagai berikut : 1. Tap. No. XLIV/MPRS/68 yang menetapkan Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI untuk masa 5 tahun (1968 – 1973). 2. Tap. No. XLI/MPRS/68 yang menetapkan perlunya dibentuk Kabinet Pembangunan dengan tugas pokok melaksanakan program disebut Pancakrida. 3. Tap. No. XLII/MPRS/68 yang menetapkan penyelenggaraan Pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1971. I.Pemilu Pemilu pertama pada masa Orde Baru diadakan pada tanggal 2 Mei 1971, peserta pemilu 1971 terdiri dari 9 parpol yaitu : PKRI, PSII, Parsumi, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan satu Golongan Karya. Berbeda dengan pemilu yang pertama yang mengunakan sistem proporsional, maka pemilu 1971 mengunakan sistem tak langsung. Dalam pemilu 1971 memperebutkan 360 kursi, sedangkan 100 kursi disediakan untuk ABRI dan Non ABRI yang keanggotaannya dilakukan dengan pengangkatan. Jadi seluruhnya 460 kursi, jumlah angota MPR selurunya ada 920 Orang 130 diantaranya adalah utusan daerah. Perolehan kursi yang tidak merata diantaranya peserta pemilu melahirkan gagasan penyederhanaan partai, partai-partai mengadakan fusi, partai-partai yang berideologi Islam bergabung menjadi PPP pada tanggal 5 Januari 1973, sedangkan partai-partai non Islam berfusi menjadi PDI pada tanggal 10 Januari



22



1973, yanh akhirnya menjadi 4 (empat) wadah organisasi politik sebagai sarana berpolitik di Indonesia yaitu : 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2. Golongan Karya (Golkar) 3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 4. Fraksi ABRI Pemili berikutnya dilaksanakan oleh 3 (tiga) kontestan yaitu : PPP, Golkar dan PDI. Kristalisasi Parpol 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dibentuk pada tanggal 5 Januari 1973, pada awalnya diberi nama Golongan Spriritual, lalu menjadi Fraksi Persatuan Pembangunan/Partai Persatuan Pembangunan yang merupaka fusi (gabungan) dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti.



2. Golongan Karya (Golkar) Secara Eksplisit Golkar lahir tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama sekretariat Bersama Golongan Karya yang bertujuan untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menurut Munas II Golongan Karya disebutkan Golongan Karya adalah : “Segolongan orang dalam masyarakat Indonesia yang menyatukan diri dalam satu



organisasi



atas dasar persamaan



kehendak untuk ikut serta



memperjuangkan pembaruan dan pembangunan sebagai pelaksanaan citacita Proklamasi 17 Agustus 1945 melalui pengabdian kekaryaan yang didasarkan atas jenis karya dan atau lingkungan kerja dengan menjungjung tinggi budi pekerti yang luhur dan ketajaman rasio keseimbangan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah”. 3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)



23



Partai ini dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973, pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima Partai Politik yang berfaham Nasionalis, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Katolik, (PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai katolik). I. Dwi Fungsi ABRI Fungsi yang melekat pada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan sosial dalam rangka perjuangan nasional untuk mencapai tujuan nasional sesuai Pancasila dan UUD 1945. Jadi Dwi Fungsi ABRI adalah jiwa sebagai kekuatan sosial dan ABRI sebagai kekuatan Hankam. Hakikatnya adalah jiwa dan semangat pengabdian ABRI untuk bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia baik di bidang Pertahan Keamanan Negara maupun di bidang Pembangunan Kesejahteraan Bangsa, dalam rangka mencapai Tujuan Nasional. Tujuan 1.



ABRI



sebagai



kekuatan



Sosial



:



Terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam UUD 1945.



2.



Tercapainya masyarkat adil dan makmur yang merata Spiritual dan Material berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.



3.



Tercapainya dan terpeliharanya Ketahanan Nasional di segala bidang dan aspek kehidupan aspek kehidupan Negara serta Rakyat Indonesia.



Hubungan ABRI dengan Parpol dan Golkar adalah sebagai berikut : 1.



ABRI sebagai kekuatan Sosial mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Parpol dan Golkar.



2.



ABRI parpol dan Golkar berasal dari sumber yang sama yaitu rakyat.



3.



Parpol dan Golkar sebagai kekuatan Sosial politik di usahakan agar dapat berkembang ke arah pertumbuhan dan konsolidasi yang makin dewasa.



4.



ABRI,



Parpol



dan



Golkar



merupakan



salah



satu



Modal



Dasar



Pembangunan.



24



Awal pertumbuhan parpol di Indonesia sejak 1911 dalam sejarah perkembangannya memiliki tujuan yang berbeda-beda. Parpol pertama di Indonesia adalah Indische Partaij. Parpol



dimasa



kemerdekaan



pada



umumnya



bertujuan



untuk



memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia dengan cara yang kooperatif maupun non Partaij. Parpol dewasa ini sudah di mantap dalam kegiatan kekuatan sosial politik yang ada yaitu PPP, Golkar dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satusatunya azas (UU No. 3 tahun 1985). Dalam masa Orde Baru format Sistem Politik lebih disederhanakan yaitu dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya, adanya kekuatan politik lewat Golkar dan Parpol serta kesetiaan mereka dalam melaksanakan Pancasila serta konsekuen. Malalui mesin politik baik GOLKAR dan ABRI, Pemerintahan ORBA berjalan dengan relatif mulus, sekalipun dipertengahan perjalanan politik antara tahun 1990 – an semakin terlihat adanya kekuatan kekuasaan rezim Soeharto tetap dalam kapasitas pengenali sehingga tidak ada satupun kekuatan parpol sebagai penyeimbangan atau oposisi ; bahkan sebaliknya PDI dan PPP berada dalam satu pengaruh besar dari GOLKAR, apalagi dengan alasan pembenaran (Justification) bahwatindakan tersebut telah berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara Signifikan. Ketika masuk ke pemilu yang ke VI dalam masa ORBA, terjadi akumulasi kekecewaan masyarakat seolah-olah seperti Bola Salju (Snow Ball) yang, menggelinding semakin besar dan berakhir pada tahun 1998 dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto yang kemudian disusul dengan amandemen UUD 1945. Kejatuhan rezim Soeharto pada dasarnya sebagai dampak dari anatar lain : 1. Ketidak berhasilan dalam distribusi hasil-hasil pembangunan sehingga tingkat kesenjangan antara pemilik modal kuat dengan yang bermodal kecil semakin lebar, sekalipun kebutuhan pokok relatif terpenuhi. 2. Semakin termarginalkannya PARPOL sehingga terkesan bahwa di Indonesia menganut sistem satu partai (yang dominan adalah GOLKAR identik dengan Partai Tunggal) dengan demikian sistem kontrol sangat rendah, bahkan cenderung mati.



25



3. Komunikasi politik hanya satu arah (Top Down) sehingga masyarakat cenderung terbelenggu dan kemudian terakumulasi menjadi bentuk perlawanan luar biasa dan akhirnya dapat mengoyahkan ke stabilan pemerintahan Soeharto. 4. Dibalik terpusatnya kekuasaan (Centralisation Power) ternyata terdapat berbagai tindak penyalahgunaan wewenang dan yang paling menonjol adalah Korupsi dan pelanggaran HAM. 5. Kebebasan pers yang belum terjamin berakibat Social Control relatif melemah, sehingga segala bentuk informasi tidak dapat diketahui publik secara luas, apabila diketahui informasi tersebut sudah direkayasa demi kepentingan penguasa/rezim, setiap pemberitaan pers baik menyinggung kebijakan pemerintah akan dianggap menetang pemerintah maka pers pun cenderung terbelenggu. 6. Ketidakstabilan politik, dikarenakan adanya dominasi/tirani minoritas yaitu peran pemerintah terlalu kuat (Power Centralisme). Selain hal tersebut di atas juga terdapat pengaruh luar negeri terutama dari nagara barat yang mampu mempengaruhi dan mengendalikan



masyarakat



sehingga sewaktu-waktu dapat dirasakan untuk kepentingan Amerika/Barat. Kejatuhan rezim Soeharto tidak jauh berbeda dengan masa keruntuhan pemerintahan Sukarno, di mana kedua-duanya ditandai ketika mereka dianggap semakin jauh dengan kepentingan Amerika Serikat, sehingga secara logika apabila oleh AS diterapkan hanya dua kali massa pemerintahan seyogyanya harus sudah terjadi pengantian namun selama tidak bertentangan dengan kepentingannya akan masih terus di dukung dengan dipertahankan sekaligus dipersiapkan strategi yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkannya. Sifat ketergantungan inilah proses politik di Indonesia selalu dihadapi dengan sikap ambivalen Amerika Serikat sebagai kekuatan besar yang selalu cenderung HEGEMONI dan akhirnya Indonesia selalu menari mengikuti gendang orang lain, inilah wabah politik kolonialisme & kapitalisme wajah baru yang di implementasikan dalam bentuk penguasaan sumber-sumber daya yang dimiliki negara lain. 7.Partai Politik di Masa Reformasi 26



A..Masa ORBA telah melahirkan terakumulasinya tingkat kekecewaan masyarakat yang sudah tidak dapat tebendung lagi, dengan berdalih berbagai macam alasan untuk mempertahankan status Quonya, sehingga dari hal tersebut lahirlah tindakan kesewenang-wenangan yaitu dampak salah satunya yang menonjol adalah : antara lain KKN dan Pelanggaran HAM. Apa sebenarnya yang menjadi tuntutan dasar dalam peristiwa reformasi tersebut, sehingga menimbulkan korban jiwa baik di kalangan mahasiswa, masyarakat maupun pihak petugas keamanan yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Dalam peristiwa politik tersebut di tuntut yaitu : 1.



Mendurnya pemerintahan Soeharto, bahkan dilanjutkan dengan proses pengadilan.



2.



Amandemen UUD 1945



3.



Dilaksanakan pemilu ulang.



4.



Diberlakukan UU Bidang Politik yang mengatur tentang PARPOL & PEMILU.



5.



Diberlakukan Otonomi Daerah yang semula UU No. 5 tahun 1974 menjadi UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian di revisi menjadi menjadi UU No. 32 Tahun 2004.



B..Perjalanan politik pada masa periode 5 tahun pertama ketika Gusdur menjadi Presiden ke IV setelah B.J. Habibi tidak diterimanya LPJ (laporan pertanggung jawaban) oleh MPR, sehingga tidak memperoleh kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Namun dalam perjalanan pemerintahan Gusdur justru kondisi politik semakin tidak stabil ditandai dengan masyarakat cenderung anarkhis dan radikal, bahkan sepanjang sejarah politik di Indonesia tidak pernah terjadi benturan langsung antara NU dengan Muhamadyah, justru dimasa pemerintahan Gusdur hal tersebut terjadi walaupun idiologi Islam sebagai orientasinya, terutama dampak politik yang paling besar adalah terjadinya konflik horizontal di berbagai wilayah yang menandai pemerintahan cenderung sangat lemah Hal ini berdampak pada perekonomian semakin kacau yang akhirnya Gusdur dilengserkan ditengah perjalanan yang sebelumnya sempat mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang kedua tentang Pembubaran Parlemen, sehingga mengundang hal-hal yang kontroversial, Disini Gusdur telihat ketidakmampuan 27



dalam memahami Sistem Pemerintahan Indonesia bahwa Dekrit dikeluarkan apabila menganut Sistem Kabinet Parlementer, padahal sistem yang di anut adalah Sistem Presidentil. Suatu kelemanahan di masa pemerintahan Gusdur antara lain : •



Kapabilitas dalam menjaga potensi (ekstratif )sangat lemah hal ini disebabkan keterbatasan fisik maupun non fisikk yang dimilikinya.







Pernyataan –pernyataan yang kontroversial antara lain usulan dicabutnya TAP MPR XXV tentang Faham Komuinis sehingga sering menimbulkan konplik.







Dikeluarkannya Dekrit Presiden sehingga mengancam kredibilitas parlemen (Badan Legislatif, padahal sistem pemerintahan Presidentil, seorang presiden tidak memiliki wewenang untuk membubarkan parlemen.







Ketidakstabilan dibidang Politik dan Ekonomi,







Disinilah Gusdur terlihat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pemerintahan.







Terlalu dianggap sering berkunjung ke Luar Negeri tanpa membawa hasil, sehingga terkesan pemborosan uang negara.







Keterlibatan hasil “Bulog Gate”







Terjadinya banyak peristiwa-peristiwa konplik yang mengancam sehingga para investor di dalam negeri.







Tidak menunjukan kemampuan sebagai negarawan maupun administrator pemerintahan disebabkan terbatasnya pengetahuan di bidang Ketata Negaraan.







Demokrasi yang dikembangkan adalah kebebasan tanpa didasarkan pada pengetahuan yang cukup, sehingga terkesan “kebablasan”.







Mendukung gagasan dikibarkannya bendera Papua Merdeka dan pemberian dana bantuan sehingga membawa semakin berkembangnya polemik dalam negeri, lebih berbahaya lagi akan memunculkan bentuk-bentuk toleransi politik dari pemerintah terhadap kelompok sparatisme di Indonesia, sehingga Gusdur sebagai sosok yang memperlihatkan tidak memiliki Integritas bangsa.



28







Gusdur dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan cenderung banyak dipengaruhi oleh pembisik tanpa dikuti kemampuan dalam memfilter setiap informasi apalagi dalam posisi yang strategis. Hal ini disebabkan keasdaan fisik dan non fisik yang tidak menandai bahkan dianggap aneh, seorang seperti Gusdur dengan kelemahan fisiknya dapat menjadi Presiden, sehingga dampaknya cukup luas terhadap kestabilan politik dan tingkat pencapaian kesejahteraan. Demikian pula setelah kejatuhan Gusdur melalui Sidang Istimewa MPR,



maka ditetapkan pula Megawati yang sebelumnya sebagai Wakil Presiden diangkat sebagai Presiden RI ke V (lima). Ketika masa pemerintahan Megawati, banyak harapan masyarakat bersandar padanya sebagai pimpinan tertinggi di PDIP juga sebagai pemenang Pemilu 1999 sekalipun hanya mencapai 32 %. Namun perjalanan Megawati tidak begitu mulus mengantar dirinya ke Pemilu 2004, sehingga usia selama menjadi Presiden hanya 2,5 Tahun tidak merupakan momentum yang signifikan dengan persiapan terpilihnya kembali, sehingga terlihat jelas bahwa diharapkan masyatakat secara langsung popularitas Megawati tidak sebesar popularitas yang dimiliki Susilo Bambang Yudoyono (SBY). E.SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU Dari literatur dapat diketahui bahwa banyak macam sistem kepartaian yang pada hakekatnya meruipakan subsistem politik. Untuk dapat memahami sistem kepartaian maka sebaiknya dipakai cara pendekatan yuang bersifat kualitatif dan tidak kuantitatif. Adalah menyesatkan apabila dalam pendefinisikan sistem kepartaian dipakai definisi yang bersifat kuantitatif (dari sudut jumlah partai di dalam suatu negara/sistem politik). Definisi kualitatif lebih memberi tekanan bukan pada jumlah partai, melainkan pada kualitas mayoritas mutlak yang tercermin dalam lembaga legislatif ataupun pada homogenitas



badan eksekutif yang lalu dapat dituangkan ke ukuran



kuantitatif berupa prosentase pengaruhnya dalam lembaga perwakilan rakyat atau lembaga eksekutif. 29



Menurut litelatur ada tiga jenis pokok sistem kepartaian, yaitu : a) Sistem Multi – Partai (Sistem banyak partai, sistem partai banyak ; multi-party system, multi-partism, poly-partism), yakni manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwalian rakyat dibentuk atas dasar kerja-sama dua kekuatan atau lebih, atau eksekutifnya tidak homogen. Mayoritas mutlak demikian tidak pernah terwujud tanpa melalui kerja-sama, koalisi, atau aliansi. Kerjasama pada dasarnya dapat saja berakhir apabila unsur-unsur yang membentuk kerjasama tersebut pecah. Mayoritas demikian selalu rawan, karena selalu disandarkan pada janji-janji kerjasama yang dasarnya kurang kuat atau nonpermanen. Mayoritas seperti itu mudah pecah (fragile majority) akibat berbagai soal, baik besar maupun kecil. Hal ini pun tercermin dalam parlemen, semua keputusan parlemen harus merupakan hasil komitmen antara pihak-pihak tertentu. Keadaan semacam ini sangat besar pengaruh negatifnya terhadap eksekutif, bila berlaku sistem pertanggungjawaban eksekutif kepada parlemen (sistem parlementer). Sistem multi-partai ini tumbuh oleh dua sebab, yaitu : 1) Kebebasan tanpa restriksi dalam pembentukan partai-partai politik, seperti di negara kita setelah keluar Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. 2) Sistem pemilihan umum proporsional. Belanda, Perancis (Republik IV), Italia, Indonesia (1945-1959) dapat diambil sebagai contoh negara yang menganut sistem multi partai. Di



dalam



keadaan



partai-partai



menghadapi



kesukaran



untuk



bekerjasama atas dasar persamaan ideologi atau kesamaan program politik, banyak kesempatan bagi tokoh politik yang karismatik untuk berperan sebagai penengah. (Contohnya : munculnya Jenderal de Gaulle dalam Republik V Perancis yang menganut sistem multi-partai). Kesulitan



mengimplementasi



sistem



multi-partai



ke



dalam



sistem



pemerintahan parlementer terlihat dari uraian Marto Einaudi sebagai berikut : Semua pemerintahan bersifat koalisasi : karena itu pengeseran dukungan dari kelompok yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan perimbangan baru dalam parlemen. Krisis Kabinet bisa terjadi setiap saat



30



akibat soal kecil-kecil yang dipermasalahkan beberapa orang wakil yang menimba keuntungan dari krisis tersebut. Dari sudut ini, dapat dimengerti apabila terjadi konflik antara partai, baik yang tidak didasarkan atas prinsip, atau dasar prinsip sekunder (program politik) atau akibat yang benar-benar menyangkut prinsip. b) Sistem dua-partai (sistem partai-dua, sistem dwipartai, twoparty system, biparty system, bipartism), yakni bilamana mayoritas mutlak dalam lembaga perwalian rakyat selalu dikuasai oleh salah satu dari dua kekuatan politik terbesar secara bergiliran menurut hasil pemilihan umum apalagi yang ditentukan oleh parlemennya – akan homogen, dan karenanya dapat menjalankan programnya secara lebih tenang dibandingkan dengan apabila yang berlaku adalah sistem multi-partai. Sistem dua-partai, menurut pengamatan, merupakan hasil implentasi sistem pemilihan umum distrik (disamping itu tentu masih terdapat berbagai penyimpangan). Seperti di Amerika Serikat misalnya, disamping dua partai politik yang besar, Partai Demokrat dan Partai Republik, ada lagi beberapa partai kecil. Kedua partai besar itu bergiliran menguasai Congress sekalian mendudukkan orangnya menjadi Presiden bagaikan gerakan pendulum atau Congress dikuasai oleh partai yang satu dan sebagai Presiden duduk orang dari partai yang lain. Perbedaan penugasaan oleh partai atas legislatif dan eksekutif di Amerika Serikat dimungkinkan karena pemilihan umum untuk keanggotaan Congress dengan pemilihan Presiden tidak serempak, dan juga karena antara kedua partai besar itu tidak terdapat



perbedaan ideologis ; yang



berbeda hanya program mereka. Boleh jadi untuk menumbuhkan masyarakat yang berorientasi kepada program (jadi bukan kepada ideologi semata-mata), perlu dipikirkan tentang cara menumbuhkan sistem dua-partai ini. Bagi masyarakat Indonesia yang pluralistik (mosaic Society) yang juga bergantung kepada aliran, ada baiknya bila dipikirkan konsep-konsep yang menuju ke arah sistem dua-partai ini. c) Sistem satu-partai (sistem partai-satu, sistem partai-tunggal, sistem ekapartai ; one-party system, unipartism, monopartism) adalah sistem kepartaian dimana dalam negar atau badan legislatifnya ataupun dalam badan eksekutifnya hanya terdapat satu partai atau satu-satunya partai terbesar 31



yang menguasai mayoritas secara terus di samping partai-partai kerdil lainnya. Mayoritas ini tentunya dapat bervariasi dari 100 %sampai dengan yang terkecil yaitu lebih dari 50 % suara. Sistem ini terjadi oelh dua sebab utama yaitu : 1. Keharusan konstitusional dalam negara yang bersangkutan (seperti Uni sovyet berdasarkan pasal 126 konstitusi Stalin). 2. Kondisi atau konstelasi sosial politik di mana hanya terdapat satu partai politik yang dominan terus-menerus (seperti Turki di bawah Kemal Ataturk dengan Partai Rakyat Turkinya sebelum tahun 1938). Sistem satu partai ini (berbeda dengan sistem multi partai dan sistem dus partai yang masih menjungjung tinggi nilai-nilai demokratik) akan selalu menumbuhkan corak pemerintahan yang diktatur. Maurice Devenger mengkatagorikan sistem satu partai ini sebagai “lebih mendekati demokrasi dari pada diktatur tanpa partai, diktatur perorangan, atau diktatur militer”. Disamping ketiga macam sistem kepartaian yang pokok tadi, masih mungkin pula ada bentuk variannya, misalnya, Satu setengah partai atau sistem yang formal multi partai, tetapi hakekatnya sistem satu partai (sistem satu partai yang semu disguised one party system) seperti terlihat di Indonesia dalam tahun 1959 – 1965. F.SISTEM PEMILIHAN UMUM Sampai di Mana pemilihan umum turut menetukan sistem kepartaian, dapat terlihat dari uraian di bawah. Seperti diketahui, pada asasnya ada dua macam sistem pemilihan umum, yaitu : 1. Pemilihan umum proporsional (sistem pemilihan umum menurut suara berimbang ; Proportional representation/PR.,multi-member contituency). Menurut sistem ini, pada asasnya wilayah negara dianggap sebagai satu wilayah pemilihan yang utuh. Dalam kenyataannya, wialayh negara dapat dibagi atas sejumlah resor (daerah) pemilihan umum yang berfungsi teknis administratif



semata-mata,



yaitu



menyelenggarakan



pengumpulan,



perhitungan suara dan lain-lain.



32



Dalam sistem ini di kenal bilangan pembagipemilihan , yaitu perbandingan (ratio) antara sejumlah pemilih dengan wakil yang akan duduk dalam lembaga perwakilan, menurut yang ditentukan oleh perundang-undangan. Jumlah suara yang diperoleh oeh setiap kontestan dalam pemilihan umum dihitung secara nasional dan kemudian dibagi oleh biloangan pembagi tersebut, sehingga akan menghasilkan sejumlah kursi yang bersangkutan secara proporsional atau sesuai dengan jumlah suara yang mendukungnya. Sisa suara yang tidak genap terbagi di tingkat resor dapat digabungkan secara nasional, yang mungkin masih dapat menghasilkan sejumlah kursi tambahan. Dengan demikian sisa suara yang tidak habis terbagi oleh bilangan pembagi pemilihan pada tingkat nasional, dengan sendirinya terbuang, bilaman tidak diperolah kesepakatan kotak suara dengan kontestan lainnya. Untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil , secara formal atau informal dibuatlah daftar urutan nama calon yang diajukan oleh kontestan (oleh karena itu disebut sistem daftar/”lijsten atelsel”). Oleh karena adanya kemungkinan penjumlahan suara secara nasional, sangat mudah bagi partai-partai kecil untuk memperolah paling sedikit satu kursi dalam lembaga perwakilan rakyat tanpa harus bekerja sama dengan kontestan lainnya. Dengan demikian setiap partai politik/kekuatan politik peserta pemilihan umum terjamin kelanjutan hidupnya, (eksistensinya) tanpa harus berfusi/beraliansi/bekerja sama. Kerja sama biasanya menyebabkan perbedaan-perbedaan yang ada, baik yang bersifat ideologis maupun yang bersifat program kerja (political platform) harus ditekan. Sebagai akibat adanya jaminan eksistensinya tersebut, tiap partai politik yang bersangkutan bebas memformulasi ideologi atau keyakinannya secara ekstrim dan sejauh mungkin bedanya dengan ideologi kontestan lainnya. Oleh karena itu sistem ini mengandung sikap mental yang menjauhi titik persamaan pendapat atau menjauhi titik tengah. Sikap mental ini disebut sikap mental sentrifugal. Dapat dimengerti apabila dalam kampanye pemilihan umum dan juga dalam kehidupan sehari-hari akan terdapat dua pengelompokan yang satu sama lain bersifat antagonistik dengan dua ujung ekstrim.



33



Maurice Duvenger mengutarakan formula : “the simple majority system with second ballot and proportional representation favours multy-partism”. Di Indonesia, tahun 1955 berlangsung pemilihan umum atas dasar No. 7 – 1953 yang menganut sistem proporsional seperti terurai di atas. 2. Sistem pemilihan umum distrik (single-member constutuency). Menurut sistem ini, sejumlah distrik sama dengan jumlah kursi yang direncanakan dalam lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian dari satu distrik pemilihan hanya akan ada seorang wakiol saja. Perwakilan dari distrik adalah organisasi kontestan yang tentunya diwakili oleh seorang individu yang dianggap erat hubungannya dengan distrik tersebut ; oleh karenanya sering disebut sebagai stelsel perorangan (personen stelsel). Yang berhak mewakili suatu distrik ialah organisasi yang setidak tidaknya memperoleh mayoritas sederhana (simple or relative majority) atau yang memperoleh mayoritas yang lebih besar lagi. Dari sudut ini, baik dalam distrik maupun secara nasional, akan tergambar adanya usaha para calon kontestan untuk bergabung agar cukup kuat untuk keluar sebagai pemenang dalam distrik yang bersangkutan. Partai kecil tergabung dengan partai kecil lainnya yang seideologi maupun yang sama program poitiknya, atau tergabung dengan partai besar atas dasar pertimbangan yanga sama, agar menjadi cukup kuat atau tetap dapat menyalurkan aspirasinya. Tentu saja penggabungan tersebut akan mengakibatkan melunaknya perbedaan-perbedaan yang sebelumnya terdapat dalam masyarakat. Dengan demikian sistem ini menyebabkan tumbuhnya sikap mental sentripetal yang mendorong ke arah titik persamaan/integrasi. Lambat laun penerapan secara periodik sistem distrik ini akan mentebabakan penyederhanaan partai politik secara alamiah dan akhirnya menumbuhkan sistem dua partai (the simple-majority single ballot system favours the twoparty system). Di samping kedua sistem pokok pemilihan umum tersebut di atas, ada pula sistem campuran sistem proporsional dengan sistem distrik, seperti pemilihan umum di Indonesia atas dasar UU No. 15 – 1969 atau kemudian disebut UU No. 15 – 1969 jo. UU No. 4 -1974 jo. UU. no. 2 – 1980. (sebagian penelaah menamakan sistem proporsional terbatas, yaitu penjumlahan sisa suara hanya diperkenankan sampai tingkat provinsi saja). 34



Kemudian perlu dicatat adanya beberapa bentuk penyiasatan dalam pemilihan umum, sehingga perkiraan secara sistematik tersebut di atas tidak akan sesuai dengan kenyataan hasil pemilihan umum, karena adanya berbagai faktor. Dalam literatur , bentuk penyiasatan dalam pemilihan umum tersebut (dari yang lunak sampai dengan yang ekstrim) di sebut ; “ gerryman dering”. Sistem “salamander” do Perancis dalam masa de Gaulle dianggap sebagai campuran sistem proporsional dengan penyesuaian batas-batas distrik yang dibentuk seperti binatang salamander, yang dimaksudkan untuk tujuan penyiasatan tertentu, yakni memotong kekuatan Partai Komunis Perancis. Terhadap kedua sistem pemilihan umum tersebut, masih dapat diutarakan sejumlah kelemahan maupun kebaikan yang inheren. Salah satu kelemahan, baik dalam sistem pemilihan umum proporsional maupun sistem distrik, ialah terdapatnya distorsi pendapat (distortion of opinion) yang pada prisipnya meliputi terjadinya perbedaan/diskrepansi antara kekuatan partai dalam masyarakat (electoral strength) denga kekuatan dalam parlemen (parliamentary strength). Dengan demikian dapat dimengerti apabila kemudian ada usaha penyempurnaan dalam bentuk penampungan perwakilan kepentingan maupun pengangkatan.



Seberapa



jauh sistem pengangkatan ini dapat dipertahankan di Indonesia, perlu kiranya dikaji lebih jauh. G..ORGANISASI PARTAI POLITIK Dalam literatur mengenai partai politik, pengorganisasian partai politik atau struktur apartai politik, antara lain dikupas soal-soal : 1. Unsur-unsur pokok seperti “caucus” (pertemuan para pemimpin partai), cabang, sel, dan militia. 2. Bagian-bagian umum : hubungan vertikal dengan masyarakat pendukung, dan horisontal dengan pengelompokan/golongan lain, sifat sentralisasi dan desentralisasi dalam tubuh partai politik (ternasuk organisasi partai politik yang bersifat totaliter). 3. Keoanggotaan : perbedaan antara partai kader dan partai massa tingkat partisipasi para pemilih, pendukung, dan kaum militannya.



35



4. Cara pemilihan pemimpin : kecenderungan sifat otokratik, pemimpin tituler dan pemimpin riil, peranan kelompok inti (inner circle), serta cara penggantiannya. 5. Kewenangan pemimpin : hubungan antara para pemimpin partai dengan parlemen, dam jenis asal partai, yaitu “electoraland parliamentary origins of parties” dan “ axtra parliamentary origins of parties”. Untuk sekedar pemikiran sejauh menyangkut Indonesia, seyogyanya dikupas soal : sejarah kepartaian di Indonesia, hubungan vertikal antara partai politikdengan massanya, dan jenis partai massa dan partai kader.



H.PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA Di Indonesia telah berulang kali dilangsungkan Pemilihan Umum yang disebut sebagai pesta demokrasi Pancasika Rakyat Indonesia. Baik sewaktu orde lama, orde baru, dan reformasibaru-baru ini. Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut :



1.



Sistem Distrik Sistem ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak jumlah



suara



yang



akan



terbuang



di



satu



pihak



tetapi



malahan



menguntungkan pihak yang renggang penduduknya. Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya lansung, pemilih akrab dengan wakilnya (personan Stelsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single member constituency). 2. Sistem Proporsional Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peseta pemilih, misalnya setiap



40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara



berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu, yaitu para partai politik (multy member constituency) yang



36



dikenal lewat tanda gambar (lijsten stelsel), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab. Hal imi cukup adil dalam keseimbangan jumlah, bahkan sisa suara dapat digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan demikian



partai



kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Tetapi resikonya banyak wakil setoran dari pemerintah pusat karena adakalanya salah satu jumlah yang memenuhi syarat tidak memilki wakil yang tepat. Setelah bangsa Indonesia memerdekakan diri dari kungkungan penjajahan, pada tahuin 1955 dilakukan pemilihan umum yang pertama, berhasil ikut dalam kesempatan tersebut adalah partai-partai sebagai berikut : 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 2. Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) 3. Nahdatul Ulama (NU) 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 6. Parytai Kristen Indonesia (Parkindo) 7. Partai Katholik 8. Partai Sosial Indonesia (PSI) 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 10. Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) 11. PRN 12. Partai Buruh 13. GPPS 14. PRI 15. PPPPRI 16. Partai Murba 17. Baperki 18. PIR Wongsonegoro 19. Garinda 20. Permai 21. Persatuan Daya 22. PIR Hazairin 23. PPTI 37



24. AKUI 25. PRD 26. PRIM 27. Acoma 28. Partai R. Soejono Prawiro Soedarmo. Setelah Pemilihan Umum Tahun 1955 pemerintahan orde lama tidak lagi melakukan pemilihan umum, bahkan legislatif menyatakan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup, hal ini berakhir sampai kejatuhan Bung Karno setelah peristiwa G 30 S/PKI. Pemerintaha orde lama mempersiapkan pemilihan umum dengan matang, yaitu dengan memasukan ABRI dan Korpri dalam perpolitikan keberadaan Golkar). Berdasarkan UUD 1945



(dalam



utusan daerah dan utusan



golongan lebih jauh juga bernuansa Golkar, karena persiapan inilah pemilihan umum baru dielenggarakan pada tahun 1971. Secara lengkap peserta pemilihan umum tahun 1971 adalah sebagai berikut : 1. Golongan Karya (Golkar) 2. Paryai Nasional Indonesia (PNI) 3. Nahdatul Ulama (NU) 4. Partai Katholik 5. Partai Murba 6. Partai Syariat Islam Indonesia (PSSI) 7. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 8. Partai Kristen Indonesia 9. Partai Muslimin Indonesia 10. Partai Islam Perti. Dalam pemilihan umum tahun 1977 partai-partai politik digabung mejadi dua partai besar yaitu partai-partai Kristen seperti Parkindo dan Partai Katholik ditambah dengan PNI, Murba, dan IPKI menjadi partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan kumpulan partai partai Islam seperti NU, Parmusi, PSII, Perti, menjadi Parta Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam Pemilihan Umum tahun 1982 tidak banyak perbedaan yang menyolok dibanding pemilu tahun 1977sebelumnya, hanya saja dalam pemilu 1987 38



para seperta pemilihan umum (kontestan) yang selama ini mempunyai ciri-ciri seperti : 1. Ciri ke Islaman dan ideologi Islam bagi Parsatuan Pembangunan. 2. Ciri Demokrasi, kebangsaan (nasioalisme) bagi partai Demokrasi Indonesia. 3. Ciri kekaryaan dan keadilan sosial bagi Golongan Karya. Ditetapkan agar hanya memperjuangkan satu-satunya azas yaitu Pancasila, dengan demikian perlombaan pengaruh antar para kontestan dalam setiap pemilihan umum, adalah hanya pada program kerja masing-masing saja. Golkar yang ada mulanya disebut sebagai Sekretariat bersama (Sekber), Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat



dan



angkatan



bersenjata,



muncul



satu



tahun



sebelum



meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI, tepatnya Golkar lahir pada tanggal 20 Ojtober 1964. Dan Memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai ke daerah-daerah. Di sanping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 November 1971 ikut menggabungkan didi ke dalam Golkar. Golkar inilah kemudian yang dijadikan kendaraan oleh Pak Harto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satu pun kritik dari infra struktur politik ini yang berani mempecundangi dirinya. Setelah Pakk Harto jatuh diganti oleh Prof. Dr. BJ. Habibie, Presiden RI ketiuga ini melakukan berbagai perubahan di bidang politik, di antaranya mengeluarkan : 1. UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik 2. UU Nomor 3 Tahun tentang Pemilihan Umum 3. UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR. Itulah sebabnya setahun setelah reformasi, pemilihan umum dilaksnakan. Para pesertanya tidak lagi tiga kontestan tetapi membengkak menjadi lebih dari 100 partai politik, yang setelah diseleksi hanya 48 partai dapat ikut dalam pemilu 1999, yaitu : 1. Partai Indonesia Baru 39



2. Partai Kristen Nasional Indonesia 3. Partai Nasional Indonesia 4. Partai Aliansi Demokrasi Indonesia 5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 6. Partai Umat Islam 7. Partai Kebangkitan Umat 8. Partai Masyumi Baru 9. Partai Persatuan Pembangunan 10. Partai Syarekat Islam Indonesia 11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 12. Partai Abul Yatama 13. Partai Kebangsaan Merdeka 14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 15. Partai Amanat Nasional 16. Partai Rakyat Demokratik 17. Partai Syarekat Islam Indonesia 1905 18. Partai Katholik Demokrat 19. Partai Pilihan Rakyat 20. Partai Rakyat Indonesia 21. Partai Politik Islam Indoensia Masyumi 22. Partai Bulan Bintang 23. Partai Solidaritas Pekerja 24. Partai Keadilan 25. Partai Nahdlatul Umat 26. Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis 27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 28. Partai Republik 29. Partai Islam Demokrat 30. Partai Nasional Indonesia Massa Marhaen 31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 32. Partai Demokrasi Indonesia 33. Partai Golkar 34. Partai Persatuan 35. Partai Kebangkitan Bangsa 40



36. Partai Uni Demokrasi Indonesia 37. Partai Buruh Nasional 38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong 39. Partai Daulat Rakyat 40. Partai Cinta Damai 41. Partai Keadilan dan Persatuan 42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia 43. Partai Nasional Bangsa Indonesia 44. Partai Bhineka Tunggal Ika 45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia 46. Partai Nasional Demokrat 47. Partai Umat Muslimin Indonesia 48. Partai Pekerja Indonesia Untuk mengkaji Pemilu 2004 ratusan partai lagi sudah mendaftar bahkan yang ada kini pun pecah, seperti KH. Zainudin MZ, hengkang dari PPP dan membentuk PPP Reformasi begitu juga dengan Matori Abdul Jalil hengkang dari PKB dan membentuk kubu sendiri. Sejak reformasi beberapa tahun yang lalu dibuatlah undang-undang pemilihan untuk menentukan jumlah kursi sebagaimana tabel berikut di bawah ini. Tabel : Jumlah Kursi DPRD Propinsi No 1.



Jumlah Penduduk 0 – 3.000.000 jiwa



2.



3.000.001 – 5.000.000 jiwa



55 kursi



3.



5.000.001 – 7.000.000 jiwa



65 kursi



4.



7.000.001 – 9.000.000 jiwa



75 kursi



5.



9.000.001 – 12.000.000 jiwa



85 kursi



6. 12.000.001 jiwa dst Sumber : UU No. 3 Tahun 1999 Pasal 5



Jumlah Kursi 45 kursi



100 kursi



Tabel : Jumlah Kursi DPRD No 1.



Jumlah Penduduk 0 – 100.000 jiwa



Jumlah Kursi 20 kursi



2.



100.001 – 200.000 jiwa



25 kursi



3.



200.001 – 300.000 jiwa



30 kursi 41



4.



300.001 – 400.000 jiwa



35 kursi



5.



400.001 – 500.000 jiwa



40 kursi



6. 500.001 jiwa dst Sumber : UU No. 3 Tahun 1999 Pasal 6



45 kursi



Pada Pemilihan Umum tahun 2004 partai politik yang ada berjumlah 225 partai. Jumlah partai yang demikian banyak ini salah satunya disebabkan banyak partai yang terpecah menjadi beberapa kubu, seperti halnya pada partai Persatuan salah satu tokohnya KH. Zainudin MZ hengkang dari kepengurusan lama dan mendirikan kubu baru dengan nama Partai Bintang Reformasi. Demikian juga yang terjadi dalam Partai Kebangkitan Bangsa, Matori Abdul Jalil membentuk kubu tersendiri dalam partai tersebut. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi dalam tubuh beberapa partai lain. Terlepas dari memenuhi syarat atau tidak karena mewakili 50 % propinsi di Indonesia, namun yang jelas dengan tubuhnya partai-partai baru tampak kenyataan



bahwa



bangsa



ini



mencoba



berpartisipasi



dalam



politik



pemerintahan terlepas dari sebagian pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut sekedar untuk mencari uang dan kekuasaan. Hal demikian akan terindikasi dari caranya berkatogori halal atau cenderung haram karena keluar dari nilai-nilai agama, adat dan hukum negeri ini atau sejarah yang akan membuktikannya. Berikut adalah partai peserta Pemilu tahun 2004 dengan ketua umumnya masing-masing dan nomor urutnya, yaitu : 1. PNI Marhaenisme (Sukmawati Soekarno Putri) 2. Partai Buruh Sosial Demokrat (Dr. Muchtar Pakpahan) 3. Partai Bulan Bintang – PBB (Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH) 4. Partai Merdeka (Adi Sasono) 5. Partai Persatuan Pembangunan – PPP (Hamzah Haz) 6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan – PDK (Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA) 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru – PIB (Dr. Syahrir) 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (Erros Djarot) 9. Partai Demokrat (Prof. Dr. S. Budhisantoso) 10. Partai Keadilan Persatuan Bangsa – PKPI (Eddy Sudrajat)



42



11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (Dimmy Haryanto) 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia – PPNUI (KH. Syukron Makmun) 13. Partai Amanat Nasional – PAN (Prof. Dr. Amin Rais, MA) 14. Partai Karya Peduli Bangsa – PKPB (HR. Hartono) 15. Partai Kebangkitan Bangsa – PKB (Alwi Shihab, Ph.D.) 16. Partai Keadilan Sejahtera – PKS (Dr. Hidayat Nurwahid) 17. Partai Bintang Reformasi – PBR (KH. Zainudin MZ) 18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan – PDIP (Megawati Soekarno Putri) 19. Partai Damai Sejahtera – PDS (Ruyandi Hutasoit) 20. Partai Golongan Karya – Golkar (Akbar Tanjung) 21. Partai Patriot Pancasila – PP (Yapto Soerjo Sumarmo) 22. Partai Serikat Indonesia – PSI (Siswono Yudohusodo) 23. Partai Persatuan Daerah – PPD (Oesman Sapta) 24. Partai Pelopor (Rahmawati Soekarno Putri)



I. OTONOMI DAERAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH 1. Otonomi Daerah Pada Massa Orde Lama Pelaksanaan pemerintahan daerah pada masa pemerintahan orde lama, di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno, sukar untuk diberikan suatu genelarisasi tunggal, bahwa apakah pada era orde lama pemerintahan daerah dilaksanakan dengan sistem yang tersentralisasi, atau melaksanakan sistem pemerintahan yang desentralisasi (otonomi). Pemekiran tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada era pemerintahan rezim Soekarno yang kemudian oleh orde baru disebut orde lama (1945-1966), ditandai sebagai era yang penuh gejolak, baik pemberontakan di daerah-daerah yang menuntut pemisahan diri seperti RMS (Republik Maluku Selatan), Permesta, Pemeribtahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) maupun yang memberontak karena odeologi seperti PKI di Madiun, DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, yang kemudian meluas ke Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan.



43



Di lain pihakj, era di pemerintahan orde lama diwarnai dengan perubahan konstitusi



yang



dengan



sendirinya



juga



akan



mempengaruhi



sistem



pemerintahan yang ditetapkan di daerah-daerah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa era 1945-1949, bangsa Iondonesia masih bergelit melawan Belanda dengan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dilahirkan 2 (dua) UU yang mengatur pemerintahan daerah, yang pertama yaitu UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Peraturan Mengenai Komite Nasional Daerah. UU ini sangat singkat, yang hanya memuat enam pasal, yang ditetapkan pada tanggal 23 November 1945. UU No, 1 Tahun 1945 mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui,Bahwa pada masa awal kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki perangkat kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan sem,ua tugas-tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan ini dapat dibaca dalam pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi : “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.” UU No. 1 Tahun 1945 sukar diterima oleh daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, mengingat situasi saat itu. Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta di Solo [un juga tidak diatur secara jelas, mengingat pemerintah pusat pada saat itu masih menghargai keberadaan kedua daerah tersebut, yang tetap diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, walau pun dengan berbagai pembatasan dan intervensi. Kemudian



yang



kedua, pada



saat Pemerintahan Republik Indonesia



dipindahkan ke Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli tahun 1948, dikeluarkanlah UU No. 32 Tahun 1948 tentang Pemerintahan daerah. Undang-undang ini langsung dinyatakan berlaku oleh pemerintah Indonesia pada hari itu juga. UU ini tidak mendapatkan pengesahan dari DPR sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, tetapi oleh BP-KNIP, UU No. 32 Tahun 1948 memuat hal-hal sebagai berikut : 44



1. Pemerintah daerah dinyatakan terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Kepala Daerah menjabat Ketua Dewan Pemerintah daerah (Pasal 2 ; 3) 3. Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daeah, apabila anggota Dewan Pemerintah Daerah berhenti dari keanggotaannya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka



dengan



sendirinya



yang



bersangkutan



juga



berhenti



dari



keanggotaan Dewan Pemerintah Daerah atau sebaliknya. 4. Dewan perwakilan Rakyat Daerah yang membuat pedoman untuk Dewan Pemerintah Daerah guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, yang sebelum diberlakukan harus mendapatkan persetujuan Presiden (Pasal 15). 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus Rumah Tangganya sendiri berdasarkan Undang-Undang Pembemtukan bagi tiaptiap daerah (Pasal 23). 6. Sekretaris Daerah tidak dikenal, yang ada adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang merangkap Sekretaris Dewan Pemerintah Daerah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atas usul Dewan Pemerintah Daerah (Pasal 20). Dari enam point tersebut di atas, dapat disermati bahwa dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Darah, kewenangan DPRD No. 22 Tahun 1948 dibuat dengan sistem parlementer. Sebab kewenangan Kepala Daerah sangat minimal, bila dibandingkan dengan kewenangan Kepala Daeah dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Selain itu, dalam UU No. 22 Tahun 1948 juga diatur dengan tegas dalam pasal 26, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan



Rakyat.



Dengan



pasal



tersebut



dapat



dikatakan



bahwa



pemerintahan pusat saat itu sangat menghargai keberadaan daerah. Padahal anggota-anggota DPR juga merupakan wakil rakyat yang juga dipilih dari daerah-daerah. Selain itu, dalam pasal 27 UU No. 22 Tahun 1948, juga mengatur bahwa daerah-daerah dapat mengadakan kerjasama. Dengan demikian yang dapat ditarik dari Undang-Undang ini adalah : 45



1. Sangat menghargai keberadaan daerah-daerah, sebagai satu kesatuan masyarakat yang berbudaya dan memiliki karateristik sendiri-sendiri. 2. Kekuasaan Kepala Daerah diminimalkan, yang dikedepankan adalah kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3. Memiliki nuansa parlementer. Dengan demikian sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menganut asas Presidentil. Walaupun demikian penyimpangan ini mungkin karena masih dalam masa awal kemerdekaan. Walaupun demikian UU No. 22 Tahun 1948 tetap berlaku sampai keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan di Daerah, meskipun pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Drs. Moh. Hatta telah mengambil kesepakatan tentang pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS) dengan pemerintah Belanda. Dan Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RIS. Kecuali Irian Jaya yang akan



diserahkan



kemudian,



sikap



mempertahankan



Irian



dan



sikap



mengalahnya pemerintah Indonesia atas kesepakatan menyangkut Irian Jaya inilah yang kemudian menjadi kemelut yang hingga kini tetap menjadi problem di antara sebagian masyarakat Irian Jaya dengan pemerintah Indonesia. Selain itu UU No. 22 Tahun 1948 secara defacto hanya berlaku dalam wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia pasca Perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Wilayah RI saat itu sangat kecil, sebagaimana dapat dicermati dalam penjelasan berikut. Di Luar wilayah RI dengan sendirinya UU No. 22 Tahun 1948 tidak berlaku. Sejak tanggal 27 Desember 1949 dengan sendirinya Indonesia berbentuk negara serikat, walaupun baru diumumkan dalam lembaran negara oleh Pemerintah RI



pada tanggal 6 Februari 1950. Pengaturan tentang



pemerintahan daerah, diatur berdasarkan keberadaan negara-negara bagian yang untuk lebih jelasnya dapat dicermati dalam Pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai berikut : Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama : a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam Persetujuan Renville tanggal 17 Januari tahun 1948 : -



Negara Indonesia Timur 46



-



Negara Pasundan, termasuk distrik Federal Jakarta



-



Negara Jawa Timur



-



Negara Madura



Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku, Negara Sumatera Selatan. b. Satuan - satuan Kenegaraan yang tegak sendiri : -



Jawa Tengah



-



Bangka



-



Belitung



-



Riau



Kalimantan Barat (Daerah Istimewa) : -



Dayak Besar



-



Daerah Banjar



-



Kalimantan Tenggara dan



-



Kalimantan Timur



a dan b, ialah daerah-daerah bagian yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan Federasi Republik Indonesia Serikat. c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian. Konstitusi RIS yang terdiri atas 197 pasal, dan merupakan lampiran dari piagam persetujuan antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi pertemuan untuk permusyawaratan federal (Bijeenkomst Federal Overleg) tentang Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang ditandatangani oleh : o Drs. Moh. Hatta ; sebagai Pemimpin delegasi Republik Indonesia. o Sultan Hamid II, Selaku Ketua BFO, dan utusan Kalimantan Barat o Ide Anak Agung Gde Agung, Wakil Ketua BFO, pertama, dan utusan Indonesia Timur. o Dr. Soeparmo, Wakil Ketua BFO, kedua, dan Utusan Madura o A.A. Rivai, utusan Banjar o Saleh Achmad, Utusan Bangka o K.A. Moh. Joesoef, utusan Belitung 47



o Mochram bin Hodji Moh ali, Utusan Dayak Besar o Dr. R. Sudjito, Utusan Jawa Tengah o R. Tg. Djuwito. Utusan Jawa Timur o M. Jamani, Utusan Kalimantan Tenggara o Adji Pangeran Sosronegoro, Utusan Kalimantan Timur o Raja Mohamad, Utusan Riau o Abdul Malik, Utusan Sumatera Selatan. o Raja Kaliamsyah Sinaga, Utusan Sumatera Timur. Keberadaan RIS tidak bertahan lama, sebab pada tanggal 17 Agustus 1950, seluruh wilayah Indonesia Serikat menyatakan diri melebur dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peleburan ini tanpa paksaan senjata. Padahal kalau semangat separatis memang telah ada sejak dulu, pada saat itu akan sangat sulit pemerintah Jakarta mengatakan tidak. Sejak tanggal 17 Asgustus 1950, Konstitusi RIS pada dasarnya tetap dipakai, dengan hanya mengadakan penyesuaian terhadap hal-hal pokok saja menyangkut peralihan bentuk negara dari Negara Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Yang diumumkan dalam lembaran negara No. 56 Tahun 1950. Menyangkut pemerintahan daerah, dalam kurun waktu 1950-1959, pemerintah tidak mengeluarkan satu UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 131, 132, dan pasal 133 UUDS 1950. Dalam ketiga pasal tersebut, ditegaskan antara lain : o Peraturan perundangan yang ada di daeah-daerah sebelumnya tetap berlaku sampai ada penggantinya o Pemerintah akan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. o Mempertegas kedudukan daerah-daerah Swapraja (bekas kerajaanyang pemerintahannya memiliki kekhususan).



48



Dengan demikian, UU NO. 22 Tahun 1948 yang hanya berlakudi wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tetap berlaku, demikian pula UU No. 44 Tahun 1950 yang berlaku di Wilayah Indonesia Timur juga tetap belaku serta peraturan-peraturan p[eninggalan Belanda yang ada di daerah-daerah bagian lainnya. UU No. 32 Tahun 1956 tentang perimbangan Keuangan Antara Negara dengan Daerah-Daerah Yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya sendiri, yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1956. Dalam Diktum mengingatnya UU No. 32 Yahun 1956 ini, tercantum antara lain UU NO. 22 Tahun 1948, dan UU No. 44 Tahun 1950. Dengan demikian sampai tahun 1956, pengaturan pemerintahan daerah masih berjalan sendiri-sendiri sesuai keadaan sebelumnya. Sampai dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU No, 1 Tahun 1957 yang diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957, dengan tegas mencabut UU No. 22 tahun 1948, dan UU No. 44 Tahun 1950. Walapun demikian, apabila dicermati UU Ni. 1 Tahun 1957 tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan UU Ni. 2 Tahun 1948, dalam banyak hal seperti yang menyangkut pemerintahan daerah tetap sama, kecuali aturan mengenai tingkatan daerah, kalau dalam UU No. 22 Tahun 1948 daerah dibagi atas daerah Propinsi, Daerah Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota Kecil). Dalam UU No. 1 Tahun 1957, Pembagiannya dipertegas dengan sambutan Daerah Propinsi (Dati I), Daerah Kabupaten (Dati II) dan daerah Tingkat ke III. Persamaan lainnya antara kedua UU ini, tetap bernuansa Parlementer, walaupun UU No. 22 Tahun 1948 dibuat dengan dasar UUD 1945 yang Presidensiil, akan tetapi semangat yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 1948 adalah Parlementer. Akan halnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokokpokok Pemerintahan Daerah, yang dibuat dalam suasana UUDS 1950 yang memang bersifat parlementer. Kedua UU ini tidak mengekang daerah-daerah untuk berekspresi, apalagi dalam pelaksanaan kedua UU ini juga ditunjang dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom, yang dalam banyak hal UU No. 32 Tahun 1956 masih memiliki nilai-nilai yang lebih otonom dan memberikan keleluasaan kepada daerah, dibandingkan dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pusat dan Daerah.



49



UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dengan sendirinya hanya eksis berlaku sampai pada tahun 1959. Sebab sejak tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menekankan agar kembali ke UUD 1945. Sehingga UU No. 1 Tahun 1957 yang dibuat dengan dasar UUD 1950 dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Untuk mengisi kekosongan pengaturan pemerintahan daerah, maka pemerintah pusat mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (disempurnakan), dalam ketentuan ini , diatur bahwa pemerinatahan daerah terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 1), sedangkan kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan juga alat pemerintah daerah (pasal 14) dengan demikian penetapan Presiden ini terasa telah mulai menerapkan sistem dekonsentrasi. Selain itu juga diatur adanya Badan Pemerintah Daerah (BPD), yang menggantikan kedudukan Dewan Pemerintah Daerah dalam UU No. 1 Tahun 1957. Penetapan pemerintah ini dalam hubungannya dengan kedudukan pemerintah daerah, tidak berbeda jauh dengan sistem pemerintahan sesuai UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring dengan adanya keanggotaan DPRGR di pusat, maka di daerahpun diadakan DPRDGR yang pengaturannya dituangkan dalam Penetapan Presiden Republik IndonesiaNo. 5. Tahun 1960 (disempurnakan) tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretaris Daerah. Pembentukan DPRDGR ini sebagaimana yang ada dalam pembentukan DPRGR ditingkat pusat, penetapan anggotanya tidak melalui pemilu, dan tergantung pemerintah. Semangat sentralisasisangat terasa pada saat ini, dan kemudian akan diadakan perubahan pada saat UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini dengan tagas mencabut UU No. 1 Tahun 1957 serta senua penetapan pemerintah dan Presiden tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang ini membagi daerah dalam tiga tingkatan, sesuai dengan yetentuan dalam UU No. 1 Tahun 1957. UU No. 18 Tahun 1965 sebenarnya tidak pernah berlaku, walaupun secara resmi diundangkan pada tanggal 1 September 1965. Pemerintah Orde Baru manganggap UU ini dibuat oleh PKI. Dilihat dar faktor demokratisasi, UU ini juga tidak lebih baik dari beberapa penetapan Presiden sebelumny, sebab 50



Dewan Perwakilan Rakyat Daerah malah diwajibkanuntuk bertanggung jawab kepada kepala daerah (pasal 8). Dengan demikian pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada era orde lama, agak sukar untuk mengadakan penilaian secara umum, akan tetapi melihat beberapa muatan UU yang pernah berlaku, maka dapat disimpulkan bahwa pada, masa orde lama utamanya pada saat UU No. 1 Tahun 1945, dan UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957, daerahdaerah masih diberi keleluasaan yang besar untuk berotonomi, akan tetapi pasca Dekrit Presiden



5 Juli Tahun 1959 Pemerintahan Daerah telah



bernuansa sangat sentralistis. 2.Otonomi di Era Orde Baru Pemerintahan Orde Baru pada awalnya hadir sebagai koreksi atas kegagalan pemerintah orde lama. Kpreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh Jenderal Soeharto , tokoh Supersemar yang kemudian menjadi Presiden paling lama ini adalah sebagaimana disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan Keutuhan Partai Nasional Indonesia. Soeharto (dalam LP3ES, 1988 ; 134) menyatakan sebagai berikut :



Ketiga penyelewengan dimaksud adalah : 1. Radikalisme PKI 2. Terjadinya Oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi 3. Terjadinya penyelewengan ekonomi. Keadaan ekonomi pada era orde lamadi bawah kepemimpinan Ir. Soekarno memang masih morat-marit, keadaan tersebut di samping karena kondisi bangsa Indonesia yang baru merdeka, juga karena kebijakan pemerintahan rezim Soekarno yang dinilai terlalu memperhatikan masalah politik. Tetapi mengesampingkan masalah ekonomi. Di dalam negeri, pemerintah sangat memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi politisi sipil untuk tampil, sedangkan dipanggung politik Internasional, Indonesia juga sangat aktif, sampai keluarnya Indonesia dari PBB.



51



Politik IR. Soekarno yang hendak membangun kesatuan antara tiga golongan politik utama Indonesia



(PNI, PKI, Agama) yang dikenal dengan



istilah NASAKOM, yang berakhir pada meletusnya tragedi G 30 S/PKI tahun 1965. Krisis politik yang mengiringi meletusnya G 30 S/PKI tahun 1965, dengan sendirinya juga menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat terpuruk, Rupiah mengalami apresiasi yang sangat tajam terhadap Dollar Amerika, inflansi pada akhir pemerintahanorde lama da awal orde baru adalah 600 %. Akibat krisis politik dan terpuruknya ekonomi yang ada, meyebabkan Jenderal Soeharto yang didukung oleh kalangan



teknokrat



menyusun



strategi



pembangunan



ekonomi,



dan



mengesampingkan pembangunan politik. Akan tetapi walaupun demikian pemerintah orde baru harus mempertahankan kekuasaannya melalui pemilihan umum. Padahla Soeharto sebagai tokoh orde baru tidak memiliki dukungan pokitik yang kuat. Sebab Soeharto bukan berasal dari partai politik, tetapi dari Militer. Partai besar saat itu adalah PNI dan NU, sebab partai besarlainnya seperti Masyumi telah dibubarkan pasca pemberontakan 30 September 1965. Dengan demikian untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah orde baru harus mendekati dua partai besar tersebut (PNI dan NU). Akan tetapi kedua partai ini memiliki persoalan yang sama terhadap orde baru, PNI dipandang sebagai partainya Soekarno, malah dalam pemilu 1971 PNI telah mengindentifikasikan diri dengan Ir. Soekarno. Sedangkan untuk mendikte NU, juga bukan merupakan pilihan yang tepat bagi orde baru, sebab orde baru yang Pancasilais tidak akan sejalan dengan NU yang merupakan partai agama yang masih mencita-citakan pendirian Negara Islam. Dengan demikian pilihan terbaik orde baru adalah membesarkan Golongan Karya untuk dijadikan sebagai kendaraan politik pemerintah orde baru. Sejak saat itulah barbagai manipulasi politik dilakukan oleh pemerintahan rezim orde baru, dengan mesin utama militer dan birokrasi, upaya pemenangan Golongan Karya ini kemudian dikenal dengan istilah politik massa mengambang, yaitu kebijakan untuk membuat massa rakyat tidak memiliki kedekatan emosional dengan partainya. Agar kekuasaannya dapat efektif dan tetap dipatuhi, maka yang harus dilakukan adalah pemerintahan yang sentralistis. Pilihan pemerintahan



52



sentralistis ini di samping akan menciptakan stabilitas yang kuat, juga akan membuat daerah-daerah dapat dikuasai. Dengan demikian pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah orde baru yang sentralistis tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memenangkan Golongan Karya, yang dengan sendirinya akan menjaga kelangsungan pemerintahan orde baru. Sehingga tidaklah berlebihan bila setiap Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan bahkan Kades adalah pembina Golkar di daerah, Sedangkan Ketua Korpri di daerah yang juga adalah Sekda merupakan Ketua Jalur Birokrasi (jalur B) sedangkan Pangdam, Kodam, Koramil, Babinsa, Pimpinan POLRI juga dengan sendirinya adalah pimpinan jalur A (ABRI), di daerah. Dengan demikian tidak perlu ada keraguan bahwa UU No. 5 Tahun 1974



tentang



Pokok-Pokok



Pemerintahandi



Daerah,



yang



sentralitis



merupakan salah satu program orbadi daerah. Kehadiran UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah diyakini akan mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi kewenangan yang sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, akan tetapi tidak ada balancess sama sekali, sebab sebagaimanan di pusat, di daerah DPRD juga hanya merupakan tukang stempel untuk kepentingan eksekutif. Anggota DPR/DPRD sebelum diangkat harus melalui litsus dulu, apabila Ditsospol mengatakan yang bersangkutan tidak lolos maka dengan sendirinya tidak akan bisa jadi anggota DPR/DPRD. Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa yang mendapatkan berapa suara. Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah diprioritaskan tersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, dan pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dan hasil usulan/hasil pemilihan tersebut (pasal 15 UU. No. 5 tahun 1974). Jadi



otonomi



yang



nyata



dan



bertanggung



jawab



sebagaimanayang



diamanatkan oleh UU. No. 5 Tahun 1974 dalam pasal 11 hanya merupakan retorika belaka,m sebab sampai UU. No. 5 Tahun 1974 dicabut, tidak pernah 53



ada peraturan pelaksanaannya. Pemerintah orde baru memang pernah mengadakan Otonomi Percontohan atau lebih tepatnya uji coba penerapan otonomi daerah yang dilaksanakan pada satu daerah kabupaten/kota pada masing-masing Provinsi. Program tersebut gagal total, karena memang semangat orde baru bukan untuk mengadakan otonomi daerah, tetapi strategi yang matang agar ada alasan kuat untuk tetap menerapkan sentralisasi kekuasaan atas pemerintahan daerah. Kegagalan otonomi percontahan ala orde baru tersebut disinyalir karena pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan yang sebesar-besarnya tetapi tidak memberikan uang, alat, dan aparat. Istilah yang berkembang saat itu adalah “kepala di lepas akan tetapi ekor di tahan”. Pemerintah orde baru tidak akan mau memberikan otonomi daerah, sebab memberikan otonomi berarti membagi kekuasaan sedangkan pembagian kekuasaanakan meyebabkan berkurangnya wibawa pemerintah pusat yang kemudian



akan



menyebabkan



terjadinya



pembengkakan



pemerintah



daerahyang jauh dari kekuasaan pemerintah pusat.Otonomi Daerah pada orde barudapat dikatakan hanya akan menjadi cita-cita dan angan belaka. Pola pikir para penyusun UU. No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, ini betul-brtul mengamalkan doktrin Wawasan Nusantara, yang menekankan bahwa agar terwujud Indonesia yang satu dalam konsep Politik, Budaya, Hankam, dan Ekonomi maka sejauh mungkin susunan dan sistem pemerintahan daerah diseragamkan. Untuk lebih jelasnya berikut cuplikan tanggapan Fraksi ABRI terhadap konsep UU Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh pemerintah dalam Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 7 Juni 1974 (dalam Sujamto ; 1988 : 69-70) sebagai berikut : “.... Adapun menaggapi masalah kedudukan pemerintahan daerah, sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara kita menegaskan bahwa Wawasan Nusantara yang mencakup



yang mencakup perwujudan



Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial dan budaya, satu kesatuan ekonomi, serta satu kesatuan pertahanan keamanan



;



demikian



pula



berdasarkan



arah



dan



kebijaksanaan



pembangunanj daerah yang mencakup keselarasan pembangunan sektoral dan pembangunan regional, keselarasan laju pertumbuhan antar daerah, peningkatan prakarsa dan partisipasi serta peningkatan pendapatan asli 54



daerah, Fraksi ABRI berpendapat bahwa kedudukan Pemerintah Daerah itu sejauh mungkin perlu diseragamkan....” Padahal apabila kitacermati, maka strategi pemerintah orde baru dalam menjalankan UUD 1945 yang katanya akan konsekuen telah mulai nampak, sebab dengan penyeragaman pemerintah daerah maka dengan sedirinya pemerintah orde baru telah melanggar Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur bahwa daerah-daerah dibentuk atas daerah besar dan kecil dengan memandang dan mengingati dasar-dasar permusyawaratan dan hak-hak asal usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pemerintahah orde baru tanpa ada



persetujuan



dari



masyarakat



di



daerah-daerah



mengadakan



penyeragaman dengan menghapus keistimewaan daerah-daerah yang pada masa



orde



lama



diakui



sebagai



daerah-daerah



swaprajayang



dalam



pengaturannya tetap mengindahkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat sebelumnya. Pemerintahan Orba menganggap UU No. 18 tahun 1965 bernuansa Komunis, mengingat UU. NO. 18 tahun 1965 dibuat dalam suasana menguatnya pengaruh PKI, yang mampu mengadakan perubahan radikal dalam pengaturan daerah dengan menghapuskan daerah-daerah swapraja, pada dasarnya diadopsi sepenuhnya oleh pemerintah orde baru, yang katanya anti PKI. Pelanggaran lainnya adalah Pemerintah Orde Baru telah melanggar TAP MPRS-RI NO. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-Luasnya Kepada Daerah. Dalam Tap yang berisi tujuh pasal ini, MPRS yang telah mengangkat Presiden Soeharto, malah lebih tegasnya lagi telah diisi dengan orang-orang orde baru yang sehaluan dengan rezim Soeharto, tegas menyatakan agar pemerintah bersama DPRGR secepatnya membuat UU Otonomi



Tap



MPRS



ini



sebenarnya



merupakan



penolakan



terhadap



sentralisasi yang dilakukan oleh UU. No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang diyakini bernuansa komunis tersebut. Tetapi anehnya pemerintah orde baru malah membuat UU yang bertentangan dengan Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966, tersebut di atas. Tap tersebut selanjutnya oleh MPRS ditndaklanjuti dengan nota pimpinan MPRS No : NOTA 3/PIMP/1968, tanggal 27 Maret 1968 yang ditujukan kepada Presiden dan Pimpinan DPRGR. Isi nota tersebut kembali mempertegas 55



penugasan MPRS kepada Presiden dan DPRGR agar segera membuat UU pemerintahan daerah yang memberikan oyonomi yang seluas-luasnya, malah dalam nota ini ditambahkan agar menyusun UU perimbangan keuanganantara pemerintah pusat dan daerah yang progresif dan realistis yang harus memungkinkan diadakannya pembangunan yang merata dan lebih sesuai dengan aspirasi, kemampuan, dan kesanggupan serta bertanggung jawab daerah masing-masing (Point 3 Nota MPRS). Setelah pemilihan umum 1971, yang telah memberikan kemenangan yang besar bagi Golongan karya sebagai partai politik rezim orde baru (walupun orba tetap tidak ingin menyebar Golkar sebagai parpol), maka ketetapan MPRS No. XXI/1966 tentang pemberian Otonomi yang seluas-luasnya dicabut dengan ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang peninjauan ProdukProdukyang berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia. Dengan alasan bahwa Muatan Tap No. XXI/MPRS/1966tentang Pemberian otonomi yang seluas-luasnya tersebut telah ditampung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian nampak kalau rezim orba berupaya agar daerah-daerah harus tunduk di bawah rezim orde baru tanpa syarat. Kenyataan tersebut memberikan gambaran yang sedikit jelas tentang awal perbedaan Abdul Haris Nasution, seorang Jenderal Senior di AD, yang merupakan konseptor Dwifungsi ABRI, dengan Soeharto, pengembam Supersemar yang tidak loyal di mata pemberi Supersemar yaitu Presiden Soekarno. Presiden. Soeharto tidak akan mau menolak dengan langsung pemikiran MPRS yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution untuk melaksanakan otonomi yang seluasluasnya akan tetapi untuk mematikan konsep tersebut, Soeharto tinggal menggantikan Abdul Haris Nasution, dari jabatan Ketua MPR, dengan Idham Chalid, Tokoh NU yang telah diplot untuk sejalan dengan pemerintah, dengan demikian yang bersangkutan adalah seirama dengan Pak Harto, dalam hal kebijakan pemerintahan daerah atau beliau adalah figur yang menmpatkan loyalitas tunggal pada Pak Harto. Kemungkinan besar rezim orde baru di bawah komando Pak Harto ini, ingin membangun pemerintahan Indonesia seperti pada zaman kejayaan Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung. Pada masa kepemimpinan Mesultanan Mataram, menganut asas Keagungbinataraan yang bermaksud bahwa 56



kekuasaan harus terpusat pada satu tangan, dan tidak boleh ada yang menyaingi. Kalau ada saingan, maka saingan tersebut harus diperangi, atau dibunuh agar kekuasaan tetap tunggal adanya. Maka kita lihat, betapa jelas rezim orde baru melemahkan semua LembagaTinggi Negara. DPR, DPA, BPK, dan MA adalah perpanjangan tangan Presiden malah MPR yang seharusnya pemegang kedaulatan tertinggi di negara RI malah dijadikan tukang stempel kebijakan orde baru. Pemerintah orde baru memandang daerah-daerah juga sama seperti kerajaanMataram, yang harus mengantarkan upeti tiap tahun, sebagai bukti takluknya daerah tersebut. Untung Ibu Tiern Soeharto, mendesak agar ada PP No. 11 yang melarang para penyelenggara negara kawin dua, kalau tidak, mungkin setiap wanita cantik di daerrah-daerah juga harus disetor ke pusat. Selain itu pemerintah orde baru dalam melaksanakan pembangunan juga mengutamakan Wilayah Indonesia Barat utamanya Pulau Jawa dan terutama DKI jakarta, yang merupakan wilayah/Ibukota Negara. Inipun sejalan dengan konsep kerajaan Mataram yang membagi daerah-daerah sebagaimana terdapat dalam Moedjanto ; 1987 : 112, sebagai berikut : 1. Kutagara atau kutanegara, Negara atau Siti Narawita, dengan Kraton Raja sebagai titik pusat ; jadi boleh disebut kraton merupakan pusat sedangkan kutagara atau negara adalah lingkaran wilayah yang pertama. 2. Negara Agung ; Daerah di sekitar Kutagara, yang masih termasuk inti kerajaan, karena di daerah inilah terdapat daerah tanah lungguh (jabatan) dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Kutagegara. 3. Mancanagara, daerah luar nagara agung : a. Mancanagara Wetan ; mulai Panaraga ke timur b. Mancanagara Kulon ; mulai Purwareja ke Barat 4. Daerah Pesisiran : a. Pesisiran Kulon ; Demak ke Barat b. Pesisiran Wetan ; Demak ke Timur Pembagian pembangunan



daerah orde



tersebut



baru,



yang



dapat secara



disamakan prktek



selalu



denagn



konsep



mengutamakan



pembangunan Jakarta, kemudian daerah-daerah penyangga, tentunya wilayah di sekitar Pulau Jawa, yang kalau pada zaman Mataram di sebut Nagara 57



Agung karena merupakan tempat tanah para pejabat Istana, maka pada masa orde baru Kawasan Pulau Jawa adalah tempat tinggal para pejabat orde baru.Sehingga jalan-jalanya harus mulus dan pembangunan fasilitas harus diperhatikan. Setelah itu baru menoleh ke Indonesia bagian Timur sebagai wiolayah mancanagara, yang akan diperhatikan kalau wilayah Barat telah berhasil sehingga pembangunan Indonesia Timur harus berkiblat pada pembangunan di pulau Jawa. Kalau Aceh da Papua adalah daerah pesisiran, yang dalam pemerintahan Mataram hjarus diawasi karena kerajaan mataram yang berpola agraris, tidak suka melihat pada pikir dan kehidupan orang-orang pesisir yang cenderung bebas karena berada di pinggir laut, jadi pengawasan harus



ketat



demi



utuhnya



wilayah



kekuasaan,



dan



tegaknya



keagungbinataraan (kewibawaan) pemerintah pusat. Dengan demikian tidak mengherankan kalau Aceh dan Papua menjadi latihan perang-perangan bagi rezim orde baru. Bagaimanan dengan Timor-Timur, mengapa dia dari segi pembangunan dimanjakanoleh rezim orde baru. Hal tersebut apabila dibaca dari segi pandangan Kerajaan Mataram, maka doktrin keagungbinataraan salah satunya menurut Moedjanto adalah memiliki kekuasaan yang luas. Sehingga kalau Timor-timur tetap bertahan dalam wilayah RI, maka itu adalah prasasti kedigdayaan rezim orde baru, yang mampu menambah wilayah kekuasaan negara. Jadi dengan begitu Pak Harto dapat dipandang lebih dari pada Bung Karno hanya mampu memasukan kekuasaan RI atas Wilayah jajahan Hindia Belanda, sedangkan Soeharto mampu memasukan jajahan Portugis, jadi rezim orde baru lebih mampu mewujudkan mitos Majapahit yang memiliki kekuasaan samapi ke Kamboja. Untuk menampilkan diri sebagai penguasa yang murah hati sebagaimana tuntutan filsafat kepemimpinan Mataram, maka Soeharto menggelembungkan dana APBN untuk pos INPRES dan BANPRES, yang dialokasinya tergantung Presiden. Sehingga kalau zaman Mataram, Raja memberikan Triman (pemberian) kepada wialayh taklukan dengan seorang putri atau memberikan hadiah-hadiah lain, maka Soeharto memberikan hadiah berupa proyek INPRES dan BANPRES kepada daerah yang mampu menarik perhatian pemberian pusat baik melalui cari muka oleh para KDH atau melalui upaya memenangkan Golkar di daerah. Sehingga tidak heran kalau para Gubernur berlomba untuk mengumumkan kejuaraan Golkar dalam 58



pemilihan umum di daerah, yang kalau dinalar cara menghitungnya sangat ajaib, sebab pemilu pagi, sore menjelang malam telah ada Gubernur yang mengumumkan hasil perolehan Golkar yang mayoritas mutlak di antara partai lainnya, lengkap dengan persentasenya. Walaupun demikian, sebenarnya sebagian besar daerah-daerah yang tergolong devisit melaksanakan otonomi aerah, mereka sudah sangat senang dengan pola orde baru, hanya dengan tinggal pasang “tampang” yang manis dan mangut-mangut, uang akan mengalir. Dengan demikian neraka tidak perlu berpiir terlalu capek untuk meningkatkan PAD yang berarti harus berurusan dengan rakyat, apalagi dengan pola baru kepala daerah di pilih oleh DPRD secara independenapalagi kalau pemilihan kepala daerah



dilaksanakan



secara langsung, dengan demikian akan membuat mereka tidak populer di mata rakyat. Kalau Pemda Provinsi yang diwakili APPSI



lain lagi, mereka



nununtut sebaiknya otonomi dilaksanakan do Provinsi sebab dalam satu Provinsi, Kabupaten/Kota tidak memiliki resourcess yang memadai sehingga akan lebih baik kalau otonomi dilaksanakan di provinsi agar p[rovinsi dapat mengatur penyeimbangan kemampuan antar daerah. Alasan tersebut lumayan presentatif, tetapi sksesnya provinsi punya kekuatan cadangan, sesbab dengan otonomi diletakan di tingkat kabupaten/kota, maka Gubernur sudah tidak berkuasa penuh atas Bupati dan Walikota, sesuatu gejala sindrom power. 3.Otonomi Daerah Di Masa Reformasi Setelah tiga puluh dua tahun Presien Soeharto memegang tampuk kekuasaan, tuntutan perubahan yang ditandai dengan gerakan reformasi, yang menuntut perbaikan pada kehidupan politik dan demokratisasi, di samping kehidupan ekonomi yang baru saja terpuruk. Pada era ini, pemerintahan rezim orde baru yang pada awalnya baik, khususnya apabila dilihat dari segi peningkatan



kesejahteraan



rakyat,



yang



ditandai



dengan



peningkatan



pertumbuhan ekonomi pada dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Akhirnya mengalami krisis moneter yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997. Namun keberhasilan pemeruntahan orde baru dalam bidang ekonomi, banyak dipuji oleh dunia internasional, dan disebut sebagai suatu keajaiban (miracle) Indonesia disebut sebagai satu di antara lima Macan Asia, yang terdiri atas RRC, Korsel, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Keberhasilan ekonomi ini tidak urung menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang 59



mendapatkan tempat yang terhormat dalam pergaulan bangsa-bangsa. Penghargaan dari negara-negara lain tersebut diakui oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, sebagai mana yang dilansir Kompas pada edisi Senin 26 Oktober 2001. Pengakuan tersebut disampaikan oleh Megawati Soekarno Putri pada saat memberikan penghargaan kepada jajaran Diplomat Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut : “Dari dekat saya juga menyimak dengan penuh keprihatinanbetapa menurunnya pandangan dan citra negaradan bangsa kita di luar negeri...... Kita Merasakan betapa telah tiadanya lagi rasa kagum dan berkurangnya sikap hormat yang pernah hinggap ketika Indonesia disebut sebagai satu di antara beberapa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan selama dasawarsa 80-an dan awal 90-an.” Krisis moneter yang melanda Asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintahan orde baru telah gagal menciptakan sistem politik dan kehidupan bernegara yang demokratis. Kegagalan tersebut ditandai dengan pemanfaatan militer dan birokrasi untuk memanipulasi setiap pelaksana pemilihan umum. Manipulasi tersebut ditujukan dengan keberhasilan Golkar pada setiap pemilihan umum, yang berpuncak pada pemilihan umum pada tahun 1997, yaitu sebesar 74,52% kemudian pimpinan Golkar yang diwakili oleh kekuatan tiga jalur Golkar yaitu jalur A (ABRI) yang saat itu diwakili oleh Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, jalur B (birokrasi) yang diwakili Mendagri yang saat itu adalah Yogie S. Memet, sedengakan jalur C (Golkar) diwakili oleh Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar. Kehadiran ketiga pimpinan tersebut bermaksud meminta kesediaan Jenderal (Purn). Soeharto untuk dipilih kembali sebagai Presiden Periode 1997/2002, untuk yang ke tujuh kalinya. Pada saat itu Soeharto sebenarnya telah mempertanyakan apakah rakyat masih menghendakinya. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab Harmoko, bahwa setelah mengadakan perjalanan ke daerah-daerah, ternyata rakyat masih menghendaki dan mengharapkan Pak Harto untuk menjadi Presiden kembali. Ironis, sebab baru dalam hitungan bulan tepatnya pada bulan Mei 1998 Harmoko sebagai ketua DPR/MPR-RI, meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri sebagai Presiden. Dengan demikian Pemilu 1997 dan kemenangan Golkar tersebut 60



hanya kamuflase. Soeharto sendiri setelah berhenti dari jabatan Presiden, menghadapi Pemilihan Umum Reformasi 1999, mengatakan kepada wartawan majalah jepang bahwa pemilu 1999tidak akan demokratis. Sebab untuk menghasilkan pemilu yang demokratis perlu kesiapan yang memadai. Jadi jelaslah pemilu era baru adalah akal-akalan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, rezim orde baru dinilai tidak adil oleh daerah-daerah yang memiliki nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang melimpah. Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan daerah yang sentralistis, berdasarkan UU No. T Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. UU no. 5 Tahun 1974 sibuat dengan asumsi bahwa dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya, daerah akan menjadi tidak respek terhadap pemerintah pusat yang pada akhirnya akan memyebabkan disintegrasi. Sebagian besar daerah pada masa orde baru tidak bergolak, karena pemerintah orde baru mengandalkan uang untuk membungkam kekecewaan daerah terhadap campur tangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, seperti dalam pemilihan kepala daerah, atau dalam membungkam rakyat dalam pembebasan tanah dengan label pembangunan. Caranya macam-macam, mulai dari yang halus, sampai intimidasi dengan menggunakan militer dan birokrasi. Politik uang tersebut dalam bidang pemerintahan dapat dilihat betapa besarnya dana APBN yang dialokasikan untuk Inpres dan Banpres, yang alokasinya tergantung Presiden. Untuik sementara rakyat tidak bisa menolak, dan kedongkolan hanya disimpan dalam hati. Bukankah barang-barang masih relatif rendah harganya, senbako masih terjangkau oleh masyarakat walaupun demikian dendam dan kekecewaan yang ada di dada sebagian rakyat, dikebiri hak-hak politinya, telah menjadi bara dalam sekam yang akan meledak bila telah menemukan momentumnya. Krisis moneter menjadi momentum melemahnya rezim Soeharto, para intelektual politik dan mahasiswa kemudian menuntut perbaikan ekonomi. Tuntutan akhirnya mengkristal menjadi perlawanan terhadap rezim orde baru, rakyat yang selama tiga puluh dua tahun terpasang hak-hak politiknya, kemudian menuntut turunya Presiden Soeharto. ABRI yang selama ini menjadi andalan rezim orde baru, tidak bisa berbuat banyak untuk melidungi kekuasaan orde baru. Polri malah dimusuhi oleh massa rakyat, pos-pos Polisi banyak yang 61



dihancurkan massa. Hanya Marinir yang mendapatkan penerimaan simpatik dari massa. Lemahnya pemerintahan reszim orde baru, kemudian diakui oleh gejolak di daerah-daerah. Riau menuntut merdeka. Kalimantan, Makasar juga tidak ketinggalan menuntut negara IndonesiaTimur malah Sulawesi merdeka. Papua dan Aceh telah lebih dulu bergolak dan telah menjadi pekerjaan rutin militer untuk memadamkannya, sementara di Kaluku dan Kalimantan Barat kemudian meluas ke Poso Sulawesi Tengah, terjadi kerusuhan yang melibatkan SARA. Tuntutan daerah-daerah surplus untuk memperoleh otonomi yang luas, bahwa wacana federalisme telah disuarakan oelh Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh Prof. Amien Rais, pakar politik, yang juga mantan ketua PP Muhammadiyah, yang selanjutnya banyak diakui sebagai lokomotif reformasi. Walaupun demikian wacana federalisme yang disampaikan oleh PAN rupanya belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia, kalangan kampus terbelah, pakar pemerintahan yang kemudian membidani kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Prof. Dr. Ryas Rasyid mengatakan “Negara kita ini bisa bangkrut, kalian semua akan sengsara. Percaya samam saya” (Siregar ; 2001 : 111). Para politisi apalagi banyak yanmg alergi dengan issu federalisme. Megawati Soekarno Putri sendiri yang merupakan Ketua Umum PDIP, yang kemudian memenangkan Pemulihan Umum tahun 1999, juga menolak sistem federalisme. Wacana federal disamakan dengan federalismenya Van Mook, ketika memecah belah Indonesia diawal kemerdekaan, walaupun model Van Mook telah banyak dikatakan tidak sejalan dengan semangat federalisme itu sendiri. Sebab Van Mook dalam membangun wacana federalisme didasarkan pada kepentingan ingin menjajah kembali Indonesia, tetapi kelompok politisi utamanya yang berhaluan nasionalis dan didukung oleh sebagian kalangan kampus



berhasil



mematikan



wacana



federalisme



dan



malah



issu



federalismekemudian menjadi momok untuk mendiskreditkan PAN, sebagai paratai yang tidak nasionalisdengan mengambarkan federalisme sebagai bentuk pemisah-misahan daerah di Indonesia. Sehingga seorang warga Indonesia yang tinggal di pulau Jawa bila ingin ke Sumatera harus pakai paspor. Stigma yang demikian itu tidak urung membuat PAN yang sebelumnya



62



banyak diprediksikan akan menjadi partai besar tersebut, harus puas di urutan ke lima, dengan jarak perolehan suara yang jauh dari PDIP dan Golkar. Lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1999, kemudian diikuti dengan tampilnya Prof. Dr. B.J. Habibie, sebagai Presiden, juga banyak diperdebatkan, tetapi aturan yang tertulis dalam pasal 7 UUD 1945, jelas menegaskan bahwa bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka ia digantikan oleh Wakil Presiensampai habis waktunya. Kehadiran Habibie yang juga Ketua Harian Dewan Pembina Golkar ini, mewarisi keterpurukan ekonomi yang mencapai puncaknya, yang ditandai dengan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang melewati Rp. 17.000 per Dollar AS. Habibie berupaya meningkatkan nilai tukar Rupiah, dan berhasil bertahan pada level Rp. 6.000 per Dollar AS. Penolakan terhadap berbagai manipulasi politik orde baru tersebut mendapatkan momentumnya pada saat krisis moneter melanda Asia. Krisis moneter kemudian berubah menjadi krisis multidimensi yang kemudian merontokan mitos Indonesia sebagai negarayang mempunyai julukan ajaib. Indonesia pasca orde baru adalah negara yang beru menata demokrasi dan mengalami keterpurukan ekonomi. Dalam



bidang



pemerintahan



daerah,



Habibie



menjawab



tuntutan



daerahkaya, dengan mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut secara substansial sangat berbada dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam beberapa hal, UU No. 22 Tahun 1999 dianggap telah menganut asasasas federalisme, seiring dengan semakin sedikitnya kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat di daerah. Dalam Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999, yang Menegaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat di daerah hanya meliputi : 1. Bidang pertahanan 2. Bidang Moneter dan Fiskal 3. Bidang Politik Luar Negeri 4. Bidang Peradilan 5. Agama.



63



Meskipun pada akhienya ditambahkan dengan kalimat “dan kewenangan bidang lain”, kata-kata ini dikhawatirkan akan menjadi gelang karet bagi kepentinmgan pemerintah pusat. Tetapi satu hal yang sangat substansial adalah pasal 45 UU No. 22 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa kepala daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran, serta wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai persoalan tertentu yang dianggap penting oleh DPRD ditegaskan bahwa DPRD memiliki kewenangan dalam memilih, mengangkat dan juga memberhentikan kepala daerah. Walaupun dalam pasal-pasal tersebut masih ada kewenangan pusat dalam hal pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, tetapi dalam banyak hal intervensi pemerintah pusat dibuat dengan sangat minimal. Prof. Dr. Ichlasul Amal, dalam suatu kesempatan seminar yang diadakan oleh MAPUGM tanggal 22 2001 menyatakan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 telah menganut asas parlementer, karena kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD. Berakhirnya



kekuasaan



Habibie



sebagai



akibat kebijakannya yang



kontroversi dengan mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum, yang kemudian menyebabkan lepasnya Tim-Tim dari Indonesia. Persoalan tersebut menjadi sandungan utama Habibie untuk masa jabatan kedua pasca Pemilu 1999, sebab pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR-RI. Walaupun secara realitis kebijakan-kebijakan Habibie sebenarnya logis, tetapi realitas politik menyatakan bahwa Habibie harus turun dari kursi kepresidenan. Turunnya Habibie dari jabatan Presiden, menjadi momentum melemahnya semangat UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Era Abdurahman Wahid yang terpilih sebagai alternatif yang diharapkan mampu menjembatani konflik massa akar rumput antara pendukung Habibie dan Megawati Soekarnoputri, akhirnya harus lengser karena berbagai statmen kontroversial yang sering dikeluarkan Gus Dur, yang berpuncak pada dekrit pembubaran DPR/MPR-RI. Issu otonomi pada era kepemimpinan Abdulrahman Wahid, masih tetap terdengar, disamping karena issu otonomi telah menjadi amanat MPR juga duduknya Prof. Dr. Ryas Rasyid sebagai Menneg Otda, dalam Kabinet Persatuan Nasional, diyakini sebagai wujud kesungguhan pemerintahan Abdulrahman



Wahid



dalam



mengimplementasikan



otonomi



daerah 64



berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999. Tetapi Abdulrahman Wahid rupanya tidak terlalu konsen dengan program otonomi daerah, yang akhirnya menimbulkan konflik internal antara Depdagri, dibawah Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah. Lambannya penanganan implementasi otonomi daerah ini, membuat Ryass Rasyid yang saat itu menjadi Menneg PAN mengundurkan diri dari kabinet Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid yang semakin banyak dipersoalkan oleh kalangan politisi senayan, akhirnya harus turun dari kursi kepresidenan seiring dengan hasil temuan pansus Bulogate/Brunei Gate yang memberikan kesimpulan patut diduga



kalau



Abdurrahman



Wahid



terlibat



kasus



Bulogate/Brunaigate



Abdurrahman Wahid akhirnya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden



RI.



Megawati



Soekarnoputri



yang



nasionalis



diprediksikan sebelumnya, bahwa pemerintahannya tidak



telah



banyak



akan sungguh-



sungguh menangani pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Dalam banyak hal kedua UU tersebut mengandung banyak persoalan. Di era Megawati Soekarnoputri dengan Mendagrinya Hari Sabarno, timbul upaya-upaya untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999, padahal UU tersebut sepenuhnya dijalankan, berhubung masih banyaknya aturan pelaksanaan kedua UU tersebut yang belum dikeluarkan oleh pemerintah. Pro-kontra terhadap perlu tidaknya merevisi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tetap hangat, mengingat revisi terhadap kedua UU tersebut ditolak oleh APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), demikian pula Asosiasi DPRD Kab/Kota menolak untuk mengadakan revisi. Tetapi di lain pihak APPSI (Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia) mendukung, bahkan gencar mengpampanyekan perlunya perubahan UU No. 22 Tahun 1999, mengingat tidak semua kabupaten/kota memiliki kemampuan yang sama, sehingga agar ada pemerataan yang adil sebaiknya otonomi dilaksanakan di propinsi. Alasan tersebut sekilas adil dan realistis,



karena



kabupaten/kota,



kewenanganpropinsi sehingga



gubernur



menjadi sudah



sangat sulit



kecil



terhadap



meminta



loyalitas



bupati/walikota. Apapun alasanya sebaiknua biarlah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 berlaku untuk jangka waktu tertentu, apabila dikemudian hati menimbulkan ekses yang tidak berkenan di hati rakyat dalam propinsi itu, baru 65



diadakan musyawarah bila perlu mengadakan referendum terbatas di propinsi itu, apakah otonomi di propinsi atau di kabupaten kota. Akan lebih baik lagi kiranya bila ide Prof. Dr. Ichlasul Amal yang sering disampaikan pada mahasiswanya di MAP UGM, dilaksanakan, yaitu biarkan daerah memiliki UU Otonomi sendiri-sendiri, dalam satu propinsi misalnya, dan untuk satu kabupaten. Dengan demikian hak masing-masing kabupaten dan kota dalam satu propinsi dapat dirundingkan bersama, agar terdapat satu kesepahaman diantara masyarakat dalam satu propinsi, sehingga tidak ada subsidi silang yang dipaksakan oleh satu kekuasaan dan gubernur tetap pada posisi sekarang, yang diperlukan adalah konsensus di antara para tokoh masyarakat, dari tiap-tiap kabupaten/kota dalam satu provinsi, tentang bagaimana seharusnya mereka saling mendukung dan menghidupi. Demikian pula antara kecamatan dalam satu kabupaten, dan desa dalam satu kecamatan. Musyawarah harus diutamakan, tangan besi sudah kehilangan tuahnya, sebab seiring peningkatan kecerdasan masyarakat, masyarakat dewasa ini sudah jarang yang akan memperlakukan biorkrat dan aparat seperti ponggawa, sebab mereka bisa jadi jauh lebih intelek dan sang penjahat.



66