Muqaranah Mazahib Fil Munakahat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUKUM NIKAH Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Muqarannah Al-madzahib Fi Al-munakahat



Dosen Pengampu: Dra. Azizah, M.A.



Disusun oleh: Kelompok 1 M. Zhilal Haq



11180440000002



Nurfadhilah Novianti



11180440000034



Anggit Nilam Cahya



11180440000051



Tasya Nabilah Herman 11180440000071 Fitriati Salamah



11180440000073



PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020



1



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puji Syukur atas limpahan rahmat dan karunianya kepada pemakalah sehingga tugas makalah “Hukum Nikah” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai uswatun khasanah, sosok teladan yang baik bagi manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Makalah ini telah saya susun dengan proses analisis dan diskusi yang maksimal dan juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak serta beberapa sumber terpercaya sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya mengucapkan



banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi



dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan, baik dalam segi kalimat, tata bahasa serta isi dari makalah. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari para pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini sehingga mendekati kata sempurna. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Jakarta, 09 September 2020



Penyusun



2



DAFTAR ISI Kata Pengantar



i



Daftar isi



ii



BAB I PENDAHULUAN



3



A. Latar Belakang



3



B. Rumusan Masalah



4



C. Tujuan



4



BAB II PEMBAHASAN



5



A. At-Tashawwur (Gambaran Umum)



5



B. Ra’yu Fuqaha (Pendapat Fuqaha)



5



C. Al-Adillah (Dalil-Dalil)



6



D. Sababul Khilaf (Sebab Perbedaan Pendapat)



8



E. Munaqasyah Al-Adillah (Pandangan-pandangan/Analisis Dalil)



9



F. Ra’yul mukhtar (Pendapat terpilih/kesimpulan)



11



BAB III PENUTUP



14



Kesimpulan



14



DAFTAR PUSTAKA



.15



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan Islam. Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Ketika seseorang akan melakukan pernikahan, banyak hal yang harus diperhatikan untuk menjadikan pernikahan tersebut benar-benar sah, begitu pun nantinya ketika menjalani kehidupan selanjutnya. Kedua pasangan harus sangat berhati-hati agar pernikahan yang dijalani justru tak menjadi bumerang bagi keduanya, agar selalu menjaga tali pernikahannya. Pernikahan mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan syariat islam. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui hukumnya menikah sehingga pernikahan kita kelak dapat dianggap sah dan dinilai ibadah oleh Alloh Swt. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana at-ta’rif dan at-tashawwur (gambaran masalah) dari pernikahan? 2. Bagaimana ra’yu (pandangan) dari fuqaha tentang hukum pernikahan? 3. Apa saja dalil-dalil tentang pernikahan? 4. Apa sebab perbedaan pendapat ulama tentang hukum nikah? 5. Bagaimana munaqasyah (analisis dalil) tentang nikah? 6. Apa ra’yul mukhtar (pendapat terpilih/kesimpulan) dari hukum pernikahan? 4



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui at-ta’rif dan at-tashawwur (gambaran masalah) dari pernikahan 2. Untuk mengetahui ra’yu (pandangan) dari fuqaha tentang hukum pernikahan 3. Untuk mengetahui dalil-dalil tentang pernikahan 4. Untuk mengetahui sebab perbedaan pendapat ulama tentang hukum nikah 5. Untuk mengetahui munaqasyah (analisis dalil) tentang nikah 6. Untuk mengetahui ra’yul mukhtar (pendapat terpilih/kesimpulan) dari hukum pernikahan



5



BAB II PEMBAHASAN A. Gambaran Umum (At-Tashawwur ) Secara bahasa kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.1 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping –secara majazi-diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti “pasangan” untuk makna diatas. Ini karena perikahan menjadikan seorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali. Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi SAW., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi SAW. (Q.S Al-Ahzab [33]: 50). Kata-kata ini mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikhan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian. Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:



1



Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Sunt. Arif Muhajir (Depok: Gema Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.7



6



ۡ ‫َو ِمن ُك ِّل َش ۡي ٍء َخلَ ۡقنَا‬ ٤٩ َ‫زَو َج ۡي ِن لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكرُون‬ 49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat [51]: 49).



ُ ِ‫ا ِم َّما تُ ۢنب‬iiَ‫ق ٱَأۡل ۡز ٰ َو َج ُكلَّه‬ َ‫ون‬ii‫ ِهمۡ َو ِم َّما اَل يَ ۡعلَ ُم‬i ‫ت ٱَأۡل ۡرضُ َو ِم ۡن َأنفُ ِس‬ َ i َ‫ ۡب ٰ َحنَ ٱلَّ ِذي خَ ل‬i ‫ُس‬ ٣٦ 36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). 2 Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhuhbungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Dengan adanya kata “perempuan” maka tidak termasuk didalamnya laki-laki dan banci musykil. Demikian juga, dengan kalimat “yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat” maka tidak termasuk didalamnya perempuan pagan, mahram, jin perempuan, dan manusia air. Itu karena perbedaan jenis, sebab Allah SWT berfirman:



َ‫د َٗة َو َر َزقَ ُكم ِّمن‬iiَ‫ل لَ ُكم ِّم ۡن َأ ۡز ٰ َو ِج ُكم بَنِينَ َو َحف‬ii َ ‫ ا َو َج َع‬iiٗ‫ ُكمۡ َأ ۡز ٰ َوج‬ii‫ل لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِس‬ii َ ‫َوٱهَّلل ُ َج َع‬ ٧٢ َ‫ت ٱهَّلل ِ هُمۡ يَ ۡكفُرُون‬ ِ ‫ت َأفَبِ ۡٱل ٰبَ ِط ِل ي ُۡؤ ِمنُونَ َوبِنِ ۡع َم‬ ِ ۚ َ‫ٱلطَّيِّ ٰب‬ 2



M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan, 2004) h. 253



7



72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl [16]: 72). Ayat tersebut menjelaskan maksud dari firman Allah SWT:



ْ ‫وا فِي ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى فَٱن ِكح‬ ْ ُ‫َوِإ ۡن ِخ ۡفتُمۡ َأاَّل تُ ۡق ِسط‬ َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ۡثن َٰى َوثُ ٰل‬ ‫ث َو ُر ٰبَ ۖ َع فَِإ ۡن‬ َ َ‫ُوا َما ط‬ ْ ُ‫ك َأ ۡدن ٰ َٓى َأاَّل تَعُول‬ ْ ُ‫ِخ ۡفتُمۡ َأاَّل ت َۡع ِدل‬ ٣ ‫وا‬ َ ِ‫وا فَ ٰ َو ِح َدةً َأ ۡو َما َملَ َك ۡت َأ ۡي ٰ َمنُ ُكمۡۚ ٰ َذل‬ 3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa [04]: 3). Yaitu wanita dari kalangan manusia. Oleh karenanya tidak halal menikahi dari jenis yang lain tanpa dalil. Juga karena jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin berubah bentuk menjadi perempuan. Dan dengan kata “sengaja” maka tidak termasuk didalamnya kehalalan bersenangsenang dengan cara membeli budak untuk perseliran. Para ulama yang lain menggunakan kalimat “bi thariqi ashaalah” (dengan cara original) sebagaii ganti dari kata “sengaja”. Sebagian ulama Hanafiah juga mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan. Menurut para ahli ilmu ushul fiqh dan bahasa, kata nikah digunakan secara haqiqoh (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekiranya kata nikah tertera didalam Al-Quran dan sunnah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim, sebagaimana dalam firman Allah:



ۚ َ‫ُوا َما نَ َك َح َءابَٓاُؤ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما قَ ۡد َسل‬ ْ ‫َواَل تَن ِكح‬ ‫فَ ِإنَّهۥُ َكانَ ٰفَ ِح َش ٗة َو َم ۡق ٗتا َو َسٓا َء َسبِياًل‬



٢٢ 8



22. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S An-Nisa [04]: 22). Oleh karena itu, perempuan yang dizinahi oleh seorang ayah diharamkan dinikahi oleh seorang anak. Maksudnya semua keturunannya. Pengharaman atas semua keturunan ini telah ditetapkan oleh teks Al-Quran. Adapun pengharaman perempuan yang dinikahi dengan akad yang benar atas semua keturunan merupakan ijma’ para ulama. Seandainya dia berkata kepada istrinya “Jika aku menikahimu maka kamu aku ceraikan.” Syarat dalam kalimat tersebut berkaitan dengan hubungan intim. Demikian juga jika ia menalaq ba’in istrinya tersebut sebelum berhubungan intim, kemudian ia menikahinya lagi, maka si istri secara otomatis terceraikan setelah terjadi hubungan intim, bukan sekedar terjadinya akad nikah. Adapun nikah dengan perempuan asing maka yang dimaksud dengan kata “nikah” tersebut adalah akad nikah, karena berhubungan intim dengannya diharamkan secara syariat. Dengan demikian maka nikah disitu bukanlah hakikat, melainkan majaz. Kata “nikah” didalam bahsa Arab, menurut para ahli fiqih, dari para senior empat madzhab merupakan kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya) dalam mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim. Karena itu sudah masyhur didalam Al-Quran dan hadits. Az-Zamakhsyari dari kalangan ulama madzhab Hanafi berkata, “Didalam Al-Quran tidak ada kata nikah yang berarti hubungan intim, kecuali firman Allah SWT :



ۡ ‫َحتَّ ٰى تَن ِك َح‬ ُ‫زَوجًا غ َۡي َر ۗهۥ‬ 230. hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah [02]: 230) itu karena ada hadits sahih yang berbunyi:



ُ‫ َحتَّى تَ ُذوْ قِ ْي ُع َس ْيلَتَه‬. “Hingga kamu merasakan air spermanya”.



9



Maksudnya adalah akad nikah. Sedangkan makna hubungan intim diambil dari hadits diatas.3 Dalam UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.4 Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk yang lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab dan kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula.5



3



Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 20-21. Lihat pula Abdurrahman Al-Jazary, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), h.7-10. 4



Mahkamah Agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 01



5



Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar El-Hadith, 2009), jilid 2, h.5. Lihat pula Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit., h.10-11.



10



B. Pendapat Fuqaha (Ra’yul Fuqaha) a. 1.



Pendapat Ulama tentang Pengertian Nikah Bahasa Secara bahasa, kata an-nikah ( ‫ ) النكاح‬punya beberapa makna. Di antara makna kata tersebut secara etimologis atau secara bahasa adalah :6  Hubungan kelamin atau al-wath'u ( ‫ ) الوطء‬yang artinya hubungan seksual.  Akad, atau al-‘aqdu ( ‫) ال َعقد‬, maksudnya sebuah akad, atau bisa juga bermakna ikatan atau kesepakatan. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata an-nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an mengandung 2 arti tersebut. Kata an-nikah yang berarti hubungan kelamin merujuk pada QS. Al-Baqarah ayat 230. Adapun pengertian nikah dengan arti akad (perjanjian yang kokoh) merujuk pada Qs. An-Nisa ayat 22. Definisi lain menurut bahasa arti lafazh an-nikah adalah berkumpul atau menindas.7 Dan para ulama berbeda pendapat tentang makna yang manakah yang merupakan makna asli dari an-nikah dan mana yang makna kiasan? Apakah makna asli nikah itu hubungan seksual dan makna kiasannya akad ikatan dan kesepakatan? Ataukah sebaliknya, makna aslinya adalah ikatan atau akad, sedangkan hubungan seksual justru makna kiasannya? Dalam hal ini, para ulama terpecah menjadi tiga pendapat :8  Pendapat pertama : mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa makna asli dari nikah itu adalah hubungan seksual ( ‫وطء‬ii‫) ال‬, sedangkan akad adalah makna kiasan.



ِ ِ ِ ُ‫فَِإ ْن طَلَّ َق َها فَالَ حَت ُّل لَهُ م ْن َب ْع ُد َحىَّت َتْنك َح َز ْو ًجا َغْيَره‬ Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali) maka perempuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. QS. Al-Baqarah: 230



6



Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah, (Jakarta Selatan : DU Publishing, 2011), hlm. 23



7



Moh. Ali wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Tangerang Selatan : YASMI, 2018), hlm. 29



8



Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah,... hlm. 24



11



 Pendapat kedua : mazhab Al-Malikiyah dan Asy- Syafi'iyah berpendapat sebaliknya, makna asli nikah itu adalah akad ( ‫) العقد‬, sedangkan kalau dimaknai sebagai hubungan seksual, itu merupakan makna kiasan saja.



ِ ‫والَ َتْن ِكحوا ما نَ َكح ءاباُؤ ُكم ِمن الن‬ ‫ف‬ َ َ‫ِّساء ِإالَّ َما قَ ْد َسل‬ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُْ



Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu. QS. Al-Nisa: 22.



 Pendapat ketiga : ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa nikah itu memang punya makna asli kedua-duanya, hubungan seksual dan akad itu sendiri. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan bahwa nikah secara bahasa adalah :9



ْ ‫لو‬ َّ ‫ط ُء َوال‬ ‫ض ُّم‬ َ ‫َوهُ َو ْا‬ “Bersenggama atau campur” Makna ushuli atau makna menurut syar’i, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. 2. Istilah Sedangkan secara istilah fiqih, para ulama dari masing-masing 4 mazhab, memberikan definisi yang berbeda di antara mereka. Dalam arti terminologis, dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam titik pandangan.10 



Mazhab al-Hanafiyah11



i‫النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا‬ “Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja” Abdurrohman al-Jaziri. al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah, Jilid 4, Darul Kutub Al-Ilmiyah, (Beirut – Lebanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hlm. 7 9



10



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Kencana 2009), hlm. 37.



11



Abdurrohman al-Jaziri. al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah, hlm. 8.



12



Disebutkannya kata menikmati kesenangan sebagai pasal (differentium) pertama mengandung arti yang sama dengan ungkapan membolehkan hubungan kelamin dalam definisi golongan Syafi’iyyah tersebut, karena sebelum terjadinya akad nikah maka seorang laki-laki tidak dapat menikmati kesenangan dengan seorang perempuan. Diakhirinya definisi ini dengan ungkapan secara sengaja sebagai pasal kedua dalam definisi yang arti lughawi-nya adalah secara sengaja mengandung arti menurut yang dituju atau disengaja oleh Allah; karena perkawinan menurut pandangan Islam adalah kehendak Allah dan menurut aturan Allah. Bolehnya hubungan laki-laki dan perempuan sesudah akad nikah itu telah sesuai dengan kehendak Allah tersebut.12 



Mazhab Malikiyah13



‫ص ْي َغ ٍة‬ ِ ِ‫َع ْق ٌد لِ ِح ِل تَ َمتُّ ِع بِا ُ ْنثَى َغي ِْر َمحْ َر ٍم َو َمحُوْ ِسيَّ ٍة َوَأ َّم ٍة ِكتَا بِيَّ ٍة ب‬ Sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah" 



Mazhab Syafi’iyah14



ْ ‫ْج‬ َ َ‫ض َّمنُ ِإب‬ َ َ‫َع ْق ٌد يَت‬ ِ ‫اح َأ ِو التَّ ْز ِوي‬ ِ ‫اح ِة ْال َوط ِء بِلَ ْف ِظ ْاِإل ْن َك‬ Akad atau perjanjian yang mengandung maksud memboleh hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja" Ulama golongan Syafi’iyyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan belum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.15 Definisi tersebut mrngandung maksud sebagai berikut : 12



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 39.



13



Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah,... hlm. 25



14



Moh. Ali wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia,... hlm. 30.



15



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 37.



13



1.



Penggunaan lafaz akad, untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan.



2.



Penggunaan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan



itu



adalah



membolehkannya



secara



terlarang, hukum



kecuali syara’.



ada



hal-hal



Diantara



hal



yang yang



membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. 3.



Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau zawa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin natara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara lakilaki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.16







Mazhab Hanabilah17



‫ْج َعلَى َم ْنفَ َع ِة اِاَّل ْستِ ْمتَاع‬ ِ ‫َع ْق ٌد بِلَّ ْف ِظ نَ َكا َح اَوْ ت َْز ِوي‬ “Akad dengan menggunakan lafazh nikah atau tazwij untuk mengambil manfaat kenikmatan (kesenangan) terhadap wanita.” b. Pendapat Ulama tentang Hukum Nikah Al MALIKIYAH :18 Menurutnya, hukum nikah ialah : 1. Wajib, yakni bagi orang yang punya hasrat untuk menikah, dan takut dirinya akan terjeremus ke dalam perzinaan, selain itu ia belum mampu menahan dirinya daripada hal-hal haram dengan berpuasa. Juga tidak mampu membeli budak perempuan yang dapat mencukupinya. Maka dalam kondisi seperti ini, puasa wajib. 16



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 38.



17



Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, hlm. 288. 18



Abdur Rahman al-Jaziri, al=Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, IV.(Kairo : Dar al-Quds 2014) hlm 8.



14



2. Haram, bagi orang yang tidak takut terhadap zina ditambah ia tidak mampu untuk menafkahi perempuan dengan pekerjaan halal, atau ia tidak mampu dalam mwnggauli isterinya (memiliki penyakit). Namun,



jika



perempuan



tersebut



udah



tahu



tentang



ketidakmampuannya untuk menggauli wanita, dan ia rela, maka boleh. Begitupun ketika ia juga sudah tahu lelaki tersebut tak punya pekerjan yang halal (akan tetapi berbeda halnya ketika pekerjaan lelakinya haram. 3. Sunnah, ketika orang tersebut tidak memiliki keinginan untuk menikah tetapi ingin punya keturunan, dengan syarat ia mampu untuk memenuhi kewajibannya untuk mencari pekejaan halal dan mampu menggauli, dan jika keduanya tidak terpenuhi maka nikah menjadi haram. 4. Makruh, jika nikahnya dilambatkan untuk mengerjakan yang sunnah. (tidak menikah karena ingin melakukan yang sunnah seperti puasa). Akan tetapi kondisinya jika ia ingin menikah, tetapi ia tidak takut zina, maka disunnahkan untuk nikah. Dan perempuan dalam hal diatas sama seperti laki-laki, jika tidak punya keinginan untuk menikah, maka pernikahan mejadi sunnah. Jika ia tidak memiliki keinginan, tetapi ia tidak mampu memenuhi hak suami maka menjadi makruh atau haram. Adapun jika sudah ada keinginan, tetapi ia tidak takut zina, dan mampu menafkahi dirinya, dan sudah mandiri, maka pernikahan sunnah baginya. Mau ia berkeinginan punya anak atau tidak. Tetapi jika ia takut zina, atau ia sama sekali tidak punya pendapatan terhadap diri sendiri, dan menutup aurat sangat tergantung pada ‘nikahnya’ maka nikah wajib baginya. AL HANAFIYAH : 19 Hanafi berkata, bahwa hukum nikah : 1. Wajib dengan 4 syarat : 1) orang tersebut harus yakin bahwa dirinya dapat terjeremus zina, kalau tidak menikah. 2) tidak memiliki kemampuan untuk puasa. 3) keadaanya tidak mampu membeli 19



Ibid, hlm. 9.



15



budak perempuan. 4) ketika ia mampu membeli mahar dan menafkahi dengan pekerjaan yang halal. Menurutnya nikah menjadi wajib bukan fardhu (hanafiyah membedakan wajib {sesuatu yang dihukumi harus tapi dalilnya dzanni} dengan fardhu {sesuatu yang dihukumi harus tapi dalilnya Qath’i}. 2. Sunnah muakkad ketika seseorang memliki keinginan, tetapi dalam kadar biasa-biasa saja. Maka jika ia meninggalkan nikkah dalam keadaan ini, maka ia berdosa tetapi dalam kadar kecil (lebih kecil daripada meninggalkan wajib). 3. Haram, jika ia yakin akan terjerumus pada pekerjaan yang haram dan mendzalimi manusia. Karena nikah dijadikan syariat untuk maslahat melindungi nafsu dan mendapat pahala, maka jika menikah ia malah mendzalimi dan terjerumus pada yang haram maka hilang lah kemaslahatannya. 4. Makruh tahrim (makruh yang menuju haram), jika ia takut akan mendzalimi dan bermaksiat. 5. Mubah (boleh), jika ia sudah ingin menikah tetapi ia sama sekali tidak takut dalam perzinaan, dan tidak yakin terjerumus dalam zina akan tetapi ia menikah karena tututan syahwat saja. Adapun jika ia berniat mencegah nafsunya daripada zina dan ia berniat untuk memiliki keturunan, maka menjadi sunnah atau mubah tergantung pada niat. AS-SYAFIIYYAH : 20 Menurut syafiiyah, nikah itu: 1. Asalnya mubah, dengan tujuan mendapat taladzum dan kenikmatan. Tetapi jika niatnya iffah (kesucian) atau niattnya ingin punya anak, maka sunnah. 2. Wajib nikah jika memang dilakukan tuntuk mencegah keharaman. 3. Makruh hukumnya, jika orang tersebut takut tidak dapat memenuhi hak-hak pasangan suami isteri. Jika kemudian seorang laki-laki tidak memiliki keinginan untuk menikah, dan laki-laki tersebut tidak 20



Ibid, hlm. 10.



16



mampu atas nafkah dan mahar, maka ia diharamkan untuk menikah. Akan tetapi jika ia mampu untuk memberikan mahar pernikahan, dan ia tidak memiliki penyakit untuk menggauli isterinya, maka harus dipertimbangkan. Jika ia seorang yang ahli ibadah, maka lebih baik untuk tidak menikah, agar pernikahan tidak memutus ibadah yang sudah ia lakukan sejak lama (sudah menjadi rutinitasnya). Kalau dia bukan ahli ibadah, maka nikah saja (karena dikhawatirkan sewaktu-waktu syahwatnya mendorong pada keharaman apabila ia tidak menikah). 4. Adapun jika ia memiliki keinginan untuk nikah, dan ia mampu untuk mahar maka sunnah AL-HANABILAH 21 Berpendapat bahwa, Nikah hukumnya: 1. Wajib, bagi orang yang takut zina dan menduga akan terjeremus pada perbuatan tersebut. Dan kondisi ini baik ia mampu memberi nafkah atau tidak. Maka kapanpun ia mampu menikah agar menjaga nafsunya maka ia wajib mnikah. Dan ia wajib untuk menempuh pekerjaan yang halal. 2. Haram di daerah peperangan (daerah musuh), kecuali keadaan darurat. Sekalipun ia tawanan, maka ia tidak boleh menikah dalamkeadaan apapun. 3. Dan menjadi sunnah ketika ia memiliki keinginan untuk nikah, dan ia takut terjerumus zina. menikah dalam keadaan yang seperti ini lebih baik dibanding mengerjakan salat-salat sunnah. Karena dalam nikah itu menjaga nafsu, serta mendapatkan anak yang mana umat menjadi banyak, karena keluarga sejatinya adalah salah satu struktur sosial yang dapat membangun masyarakat. 4. Dan menjadi mubah bagi seseorang yang tidak memiliki keinginan untuk nikah seperti orang yang sudah tua dan tidak memiliki syahwat. Dengan syarat pernikahannya tidak membahayakan



21



Ibid, hlm. 11.



17



pasangannya, dengan syarat tidak merusak akhlaknya, jika tidak maka hukumnya haram karena faktor tersebut. C. Dalil-dalil yang Digunakan (al-Adillah) 1.



Al-Qur’an Al-Karim



‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬ َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬ “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi” (QS. An- Nisa' : 3)



‫ اَاْل َيَّا َمى‬i‫َواَ ْن ِكحُوا‬ “ Dan nikahilah wanita-wanita yang sendirian di antara kalian” (QS. AnNur : 32)



ُ‫ َغ ْي َره‬i‫فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَالَ تَ ِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّى تَ ْن ِك َح ز َْو ًجا‬ “Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali) maka perempuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain.”(QS. Al-Baqarah : 230)



َ‫َوالَ تَ ْن ِكحُوْ ا َما نَ َك َح َءابَاُؤ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء ِإالَّ َما قَ ْد َسلَف‬ “Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu.”(QS. An-Nisaa : 22) 2.



Hadits Nabawi



Baihaqy meriwayatkan hadits dari Abu Umamah bahwa Nabi saw. Bersabda:



‫صا َرى‬ َ َّ‫ نُوا َك َر هُبَا نِيَّ ِة الن‬i‫تَزَ َّوجُوا فَِأنّى ُم َكا ثِ ٌر بِ ُك ُم ااْل ُ َم َم َواَل تَ ُكوْ نُوا‬ “kawinlah kalian. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani.”



‫ْس ِمنَّي‬ َ ‫ فَلَي‬i‫النِّ َكا ُح ِم ْن ُسنَّتِى فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َملْ بِ ُسنَّتِى‬ “Menikah itu bagian dari sunnahku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukankah ia dari golonganku.” (HR. Ibnu Majah)



ْ ‫ َعلَى ع ُْث َمانَ ب ِْن َم‬: ‫ َر َّد رسُوْ ُل هلّلا ِ رصلعم‬: ‫ص‬ ‫وْ اَ ِذ‬iiَ‫ظعُوْ ٍن التَّبَتَّ َل َول‬ َ َ‫َوق‬ ٍ ‫ال َس َع ُد بْنُ اَبِى َوقَا‬ ‫ص ْينَا‬ َ َ‫نَ لَه اَل ْخت‬ 18



“Rasulullah saw menolak Utsman bin Madz’un untuk membujang “andaika dia dibolehkan membujang, tentu kami (para sahabat) akan berkebiri saja” (HR. Bukhari) 4. Penyebab Perbedaan Pendapat (Sabab al-Ikhtilaf) a.



Dalam memahami Pengertian Nikah



Dalam arti terminologis, dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam titik pandangan.22 Dikalangan ulama Syafi’iyyah rumusan yang biasa dipakai adalah : “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.” (al-Mahalliy, 206) Ulama golongan Syafi’iyyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan belum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.23 Definisi tersebut mengandung maksud sebagai berikut : 1. Penggunaan lafaz akad, untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihakpihak yang terlibat dalam perkawinan. 2. Penggunaan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara hukum syara’. Diantara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya.



22



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta : Kencana 2009), Hlm. 37.



23



Ibid, hlm. 37.



19



3. Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau



za-wa-ja



mengandung



maksud



bahwa



akad



yang



membolehkan hubungan kelamin natara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.24 Definisi yang berdekatan dengan ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah : “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja.” (Ibnu al-Humam, III, 185)25 Disebutkannya kata menikmati kesenangan sebagai pasal (differentium) pertama mengandung arti yang sama dengan ungkapan membolehkan hubungan kelamin dalam definisi golongan Syafi’iyyah tersebut, karena sebelum terjadinya akad nikah maka seorang laki-laki tidak dapat menikmati kesenangan dengan seorang perempuan. Diakhirinya definisi ini dengan ungkapan secara sengaja sebagai pasal kedua dalam definisi yang arti lughawi-nya adalah secara sengaja mengandung arti menurut yang dituju atau disengaja oleh Allah; karena perkawinan menurut pandangan Islam adalah kehendak Allah dan menurut aturan Allah. Bolehnya hubungan laki-laki dan perempuan sesudah akad nikah itu telah sesuai dengan kehendak Allah tersebut.26



b. Dalam Pandangan Hukum Nikah



24



Ibid, hlm. 38.



25



Ibid, hlm. 38.



26



Ibid, hlm. 39.



20



Adapun mengenai jenis atau sifat pernikahan syar’i dari segi diminta dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli fiqih bergantung pada keadaan masing-masing orang.27 5. Munaqasyah 6. Pendapat yang Terpilih (ra’yul mukhtar) Dalam hal menetapkan hukum asal suatu perkawinan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah begitu banyaknya suruhan Allah dalam AlQur’an dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan perkawinan. Namun suruhan dalam Al-Qur’an dan sunnah tersebut tidak mengandung arti wajib. Tidak wajibnya perkawinan itu karena tidak ditemukan dalam ayat Al-Qur’an atau sunnah Nabi yang secara tegas memberikan ancaman kepada orang yang menolak perkawinan. Meskipun ada sabda Nabi yang mengatakan:”siapa yang tidak mengikuti sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku” namun yang demikian tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib.28 BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari penjelasan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa: 1. Apa 2. Apa 3. Apa 4. Apa 5. Apa



27



Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Terj. Jilid.9 (Darul Fikir), hlm. 41.



28



Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta : Kencana 2009), Hlm. 44-45.



21



DAFTAR PUSTAKA Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta : Rajawali Press, 2009), 342. M.Abdul Ghoffar E.M, Fikih Wanita Edisi Lengkap (Jakarta : Al-Kautsar, 2008), 446. Ahmad Sunarto, Terjemah Fathul Qarib, (Surabaya : Al-Hidayah), 95. Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta : Lentera, 2007), 471. Samsul Arifin dan Wismar Ain Marzuki, “Ihdad bagi Perempuan Dalam Kompilasi Hukum Islam (sebuah analisis gender),” Lex Jurnalica 12:3 (Desember 2015), 215. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 343.



22