Nenek Tercinta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“NENEK TERCINTA” karya : Arifin C Noer Para pelakon : NENEK LASTRI MUSTA DUKUN LAILA DARSI Di sebuah rumah yang cukup luas, yang hanya dihuni beberapa perempuan. 001. Nenek



: (berteriak dari dalam kamar) Dudung… ! Dudung ! Kembalikan kunci itu ! Dudung kemana engkau lari, Kunyuk kecil ! Dudung kembalikan kunci itu !



002. Lastri



: (jengkel) Ada apa ini ? Ada apa ribut-ribut tak tentu ujung pangkalnya. Ada apa ribut ?



003. Nenek



: Haa ?



004. Lastri



: Ada apa ribut-ribut ?



005. Nenek



: Siapa yang ribut ? Kaulah yang bikin ribut dirumah ini !



006. Lastri



: Tadi, saya mendengar ibu menjerit-jerit, sebab apa ?



007. Nenek



: Sebab apa ? Ha’ah !



008. Lastri



: Tadi saya mendengar ibu menjerit memanggil Dudung, ada apa ?



009. Nenek



: Peduli apa kau, aku menjerit di rumahku sendiri ? Ada apa-ada apa. Tanyalah yang pantas, seperti dulu kalau aku bertanya pada nenekmu.



010. Lastri



: Ya... ya, sebab apa Ibu menjerit ?



011. Nenek



: Sebab apa ? Siapa lagi kalau bukan si kunyuk kecil itu ?



012. Lastri



: Kunyuk kecil siapa ?



013. Nenek



: Ya, siapa lagi kalau bukan cucumu yang seperti perampok itu ? Sejak seminggu dia disini, selalu mengganggu aku saja kerjanya. Besuk, mesti segera kau kembalikan dia pada bapaknya di Jakarta, atau kau bawa ke rumahmu di Solo, kalau tidak, aku akan pergi ke rumah Kustiyah di Surabaya. Aku akan purik kesana, kau kemari hanya mengganggu aku saja. Hayo, ambilkan kunci itu !



014. Lastri



: (menahan jengkel) Kunci yang mana ?



015. Nenek



: Kunci yang aku punya, yang biasa aku simpan dibawah kasur di kamarku ! Beberapa hari yang lalu telah dihilangkan oleh cucumu, setelah dibuat mainan. Cepat, ambilkan Lastri, sebelum aku purik.



016. Lastri



: Dimana kunci itu, Bu ? Dimana ?



017. Nenek



: Dimana kunci itu, dimana kunci itu. Sejak kanak-kanak, kau memang paling tolol, sampai setua inipun tololmu juga belum hilang. Malah makin bertambah rupanya.



018. Lastri



: (jengkel) Bagaimana orang harus tahu tentang kunci itu. Dibawah kasur ?



019. Nenek



: Haa !



020. Lastri



: (lebih keras) Dibawah kasur ?



021. Nenek



: Dibawah kasur ?! Kalau kunci itu ada dibawah kasur, apa perlunya aku minta padamu ?



022. Lastri



: Lalu dimana kunci itu ? 1



023. Nenek



: Kunyuk kecil yang berandal itu, minggat sambil melarikan kunci itu. Atau memang kau yang menaruhnya agar kau bisa memilikinya, bukan ? Oh… setelah sawahku yang lebar itu dibagi-bagi dan kalian jual, masih pula mengharapkan sesuatu. Rupanya, kau ingin rumah ini juga. Rumah ini, kubangun sendiri dengan segenap keringatku yang sudah ludes kering. Jangan pula kau berani merubah bentuk rumah ini, kau kira mendiang bapakmu turut mencari uang ? Puh, Puh ! Dia hanya bisa nyeteti burung perkututnya dan mengisi kolam seperti Musta. Lastri, kau jangan diam saja ! Cepat kau tangkap pencuri kecil itu, sebelum ia menjual kunci-kunci itu pada tukang loak, seperti dulu mendiang bapakmu menjual lodong.



024. Lastri



: (kesamping) Gila ! Enak saja mengatakan tentang cucu kesayanganku dengan sebutan kunyuk kecil. (pada ibunya) Tidak Bu, Dudung pasti akan mengembalikan kunci itu, kalau benar dia yang mengambilnya.



025. Nenek



: Haa !



026. Lastri



: Tunggulah sampai Dudung pulang. Nanti pasti dikembalikan barang itu.



027. Nenek



: Barang ? Apakah telingamu sudah tuli, Lastri. Ketika aku seumurmu, telingaku masih seperti perawan. Kau dengar ! Bukan barang. Kunci !



028. Lastri



: Ya, kunci, kunci... kunci itu akan dikembalikan nanti kalau Dudung pulang.



029. Nenek



: Tidak mungkin, Dudung pasti tidak akan pulang, seperti mendiang bapakmu dulu, sekarang kau ambil kunci itu atau aku purik ?



030. Lastri



: Kalau sekarang saya ambil kunci itu, niscaya, Dudung pasti akan menangis.



031. Nenek



: Dan kau lebih suka aku menangis ? (menangis) Oh… percuma dulu kau kubesarkan. Oh… Rusdi… Rusdi anakku… Rusdi anak bungsuku…



032. Lastri



: Bu, Rusdi sudah tidak ada, tak baik menangisi yang tidak ada.



033. Nenek



: Ya. Ia memang sudah mati bersama isterinya dalam suatu kecelakaan, dan kau senang ya ? Di rumah ini hanya ada anaknya Rusdi, cucuku si Laila yang paling sayang padaku. Oh Laila… Laila… ! Biar, nanti akan kuadukan pada Laila, bahwa kunci-kunciku dicuri oleh Dudung. Oh… Laila ! ... Laila !



Dari luar masuk Musta adik ipar sambil mengacungkan jempol pada Lastri. 034. Lastri



: Bagaimana Musta, beres ?



035. Musta



: Mudah-mudahan cukup, katanya.



036. Lastri



: Kau berikan semuanya ?



037. Musta



: Kuberikan sejumlah apa yang mbakyu berikan padaku.



038. Lastri



: Tujuh juta rupiah ? Tidak kau pakai dulu uangnya bukan ?



039. Musta



: Dalam hal ini aku dapat dipercaya mbakyu, uang itu utuh kuserahkan padanya. Aku tidak usah mencari untung. Baju baru ini sudah cukup kok menyenangkan aku.



040. Lastri



: Kalau begitu, artinya telah beres semuanya.



041. Musta



: Beres dan hasilnyapun beres.



042. Nenek



: (nyela) Siapa bilang beres ! Kunci itu belum kau dapatkan kau bilang beres.



043. Lastri



: Musta, bagaimana selanjutnya kata Dukun itu ?



044. Musta



: Beres dan hasilnya pasti beres, mbakyu !



045. Nenek



: (nyela) Untuk mengambil kunci dari anak kecil musti pakai Dukun segala ?



046. Lastri



: Beres bagaimana ?



047. Musta



: Hari ini dia akan kemari. Dan akan beres semuanya.



048. Lastri



: Kau yakin betul padanya ? 2



049. Musta



: (menyakinkan) Dia itu Dukun nomer satu, mbakyu. Dia itu Dukun terkenal dan pandai. Pandai dalam segala hal. Pandai menolak penyakit dan pandai membuat sakit. Pandai menghidupkan orang dan juga pandai mematikan orang. Barang kali, seperti tukang sihir, tapi tunggu sajalah, kita lihat saja nanti hasilnya.



050. Nenek



: Lastri ! Lastri !



051. Lastri



: Apa ! Apa !



052. Nenek



: Mana hasilnya, kau kusuruh mengambil kunci ? Kau malah ngobrol. (jengkel) Sejak kecil kau memang tak pecus setiap kali aku menyuruhmu. Sekarang panggillah si Musta. Ia memang cuma menantuku, tapi ia anak yang baik dan lebih taklim daripada kau, carilah dia dibelakang !



053. Musta



: Saya Musta, Bu !



054. Nenek



: Musta siapa ?



055. Musta



: Musta… (berpikir sejenak) Musta menantu, Ibu.



056. Nenek



: Musta menantuku yang pemalas !



057. Musta



: Suaminya si Masiroh.



058. Nenek



: Suaminya Masiroh ? Kalau benar pasti kau tinggal dibelakang.



059. Musta



: Tidak salah, Bu.



060. Nenek



: (menyempitkan matanya supaya dapat melihat dengan jelas) Aaa… kau pakai baju baru ya ?



061. Musta



: Baju baru ?



062. Nenek



: Pantas. Aku jadi pangkling. Rupamu kelihatan gemuk sekarang. Lebih gemuk dari biasanya hehehe... (kesamping) Kau tahu Musta ?



063. Musta



: Apa itu, Bu ?



064. Nenek



: Dunia akan kiamat !



065. Musta



: Haa ?



066. Nenek



: Kau percaya kalau dunia akan kiamat ?



067. Musta



: Tentu saja aku percaya. Setiap pengajian KH. Ahmad Bukhori selalu menceritakannya.



068. Nenek



: Pastilah itu. (diam sejenak) Ada-ada saja kejadian dimuka bumi yang tua ini. Aneh-aneh dan jahat sifatnya. Anak kecil berani kepada orang tua, ilmu agama ditinggalkan, ilmu disalahgunakan, dan kau tahu ?



069. Musta



: Apa itu, Bu ?



070. Nenek



: Si Dudung jadi pencuri.



071. Musta



: Siapa ?



072. Nenek



: Dudung ! Dudung anak kemenakan kamu, si Jati, anaknya si Lastri yang di Jakarta, sekarang jadi pencuri !



073. Musta



: Jadi pencuri ?



074. Nenek



: Itulah, kenapa tadi kukatakan dunia akan kiamat.



075. Musta



: Dudung benar-benar mencuri ?



076. Nenek



: Mengambil barang orang tanpa ijin, apa itu namanya, kalau bukan pencuri, tolol !



077. Musta



: Mencuri apa ?



078. Nenek



: Kau memang betul-betul tolol dan pemalas, Musta. Rupanya kau malas juga untuk berpikir. Bukankah aku sudah menerangkannya, dan lagi Lastripun telah pula menceritakan padamu. 3



079. Musta



: Belum.



080. Nenek



: Belum ? Lalu apa saja yang kamu cakapkan baru saja ?



081. Musta



: Soal Dukun. Up ! (menutup mulutnya)



082. Nenek



: Soal Dukun ? Apa ada yang sakit ? Atau kau sendiri yang kesurupan ? (pada Lastri) Lastri, jadi kau belum menceritakannya padanya.



083. Lastri



: Cerita apa ?



084. Nenek



: Eee, kalian memang goblok atau kalian memang berkomplot pura-pura dungu, untuk merebut kunci-kunci itu ?



085. Musta



: Kunci ? Kunci ini. (menunjukan kunci)



086. Nenek



: Haa ? (heran takjub) Haa… (berprasangka) Betul kataku kalian memang berkomplot, kalian memang telah menaruh kunyuk kecil itu untuk mencuri kunci-kunci ku dibawah kasur.



087. Musta



: Kunci-kunci ini saya temukan didepan pintu luar.



088. Nenek



: Bohong !!! Berikan kunci itu !!



089. Musta



: (menyerahkan kunci) Barang kali kunci ini tercecer dibawa si Dudung.



090. Nenek



: Bohong !! Aku tidak percaya, kau memang suka bohong seperti mendiang suamiku. Sekarang sudah pasti. Rupanya kedatanganmu kemari untuk mencuri kunci ini, Lastri ! Dan kalian berdua pasti telah memesan Dukun untuk menenungku, yaa pasti, sering kulihat kalian berbisik-bisikkan dalam seminggu ini, hehehe… !! Kalian tidak akan mendapatkan kunci ini sekarang, saya jangan kalian kira terlampau bodoh, membiarkan kuncikunci ini. (berpikir sejenak) Aku harus mencari akal, akan kutaruh dimana ya ? Itu soalnya, hehehe… (pergi masuk ke kamar)



Keduanya saling melepaskan nafas. 091. Lastri



: Lihat ! Siapa orangnya yang tidak jengkel menghadapi orang tua serewel dan sejudes itu ?



092. Musta



: Memang, mbakyu.



093. Lastri



: Seluruh orang dimarahinya, seluruh orang dimakinya. Setiap saat dan dimana saja. Semua orang didakwa akan mencuri barang-barangnya. Kerjanya cuma marah-marah saja.



094. Musta



: Dan alangkah marahnya ia kalau makan tidak dengan lauk ayam.



095. Lastri



: Seperti anak kecil ! … Musta !



096. Musta



: Ya, mbakyu ?



097. Lastri



: Saya kira akan lebih baik kalau pekerjaan Pak Dukun itu lekas selesai. Lebih segera lebih baik, dan tentunya akan lebih segera mendapatkan kebebasan yang lama kita idam-idamkan, hehehe... Tidak percuma saya memberimu pakaian dua stel sekaligus.



098. Musta



: Tidak lama lagi pasti beres semuanya… Tidak lama lagi pasti akan kita dapatkan semuanya, hehehehe…



099. Lastri



: Tentu, rencana ini harus berhasil. Baru akan lega nanti setelah aku menguasai rumah ini dan perkutut-perkutut bapak. Karenanya tidak boleh tidak, rencana ini harus berhasil.



100. Musta



: Pasti, Dukun kita ini amat terkenal pandai dan manjur hampir diseluruh jawa.



101. Lastri



: Tapi… Musta… apakah syaratnya sudah beres betul ?



102. Musta



: Sudah beres mbakyu, tujuh kilo beras, tujuh kilo ketan, tujuh ekor ayam cemani, tujuh ragam kembang, tujuh gayung minyak kelapa, tapi... uang 4



yang tujuh kali tujuh juta rupiah belum mbakyu. Pada hari ini siang Jum’at Kliwon beliau akan kemari untuk melakukan tugasnya, barangkali sebentar lagi beliau datang dan beres, mbakyu… hehehe… (Lastri ikut tertawa) Nenek muncul dari dalam dan berterik, ia begitu gembira. 103. Nenek



: Musta ! Musta !



104. Musta



: Ya, Bu ?



105. Nenek



: Saya dapat akal, saya dapat akal, oh... saya dapat akal. Musta kau tahu ?



106. Musta



: Tidak.



107. Nenek



: Tentu ! Sebab itu dengarlah Musta, menantuku yang malas. Ketahuilah ! kunci-kunci tidak lagi saya taruh dibawah kasur seperti biasanya. Sebab semua orang sudah tahu. Sekarang kunci itu kumasukan kedalam kendi, dan kendi itu akan saya letakkan diantara lemari didalam kamar tahu ? (tiba-tiba teringat) Ha !!! Tolol ! Aku tolol, kenapa semuanya kuceritakan kepadamu ? Bukankah kau dan Lastri calon pencuri kunci itu ?? Tidak, oh tidak-tidak ! He kau tahu ? Kunci itu tak akan kutaruh didalam kendi, oh, tolol tolol terpaksa aku harus mencari tempat lain untuk menyembunyikan kunci itu, puh, puh... ! Musta !



108. Musta



: Ya, Bu ?



109. Nenek



: Kau tidak sepantasnya mendengarkan semua akalku tadi, tolol, pemalas. Aku terpaksa harus mencari akal lagi. Oh… (masuk ke dalam)



Kembali Lastri dan Musta melepas lelah. 110. Lastri



: Lihatlah kepala siapa yang tidak akan bejat mendengar semuanya. Ocehannya itu tidak termakan oleh ingatannya. Hartanya yang sudah hilang dan sirna itu, sekarang kunci-kunci yang dipikirkannya, untuk apa orang mencuri kunci yang tidak berguna itu ?



111. Musta



: Ya, mbakyu.



112. Lastri



: Semua orang dituduh mencuri barang-barangnya yang sudah tidak ada lagi.



113. Musta



: Iya mbakyu, didalam pikirannya, lumbung-lumbung, peti-peti dan lemarilemari tempat batiknya dulu masih ada hartanya, dia tidak ingat kalau semua hartanya itu sudah di bagi-bagikan pada anak-anaknya.



114. Lastri



: Dan sekarang dia malah ngoceh seakan-akan anak-anaknya telah merampas segala harta benda miliknya. Seperti orang gila ! … Musta !



115. Musta



: Ya, mbakyu ?



116. Lastri



: Saya kira akan lebih baik kalau Dukun itu segera kemari, kalau perlu susulah dia.



117. Musta



: Dia hanya tetangga kita, mbakyu. Dia tidak jauh dari sini, maksudku rumahnya tidak jauh dari sini, sebentar lagi tentu dia kemari.



118. Lastri



: (tiba-tiba ketakutan) Tapi…



119. Musta



: Ada apa mbakyu ?



120. Lastri



: Bagaimana menurut pendapatmu ? Apakah tak ada dosa dalam hal ini ?



121. Musta



: Dosa ? Seperti kata mbakyu kemarin, tidakkah orang bersyukur kalau ada seseorang yang mempercepat usianya, ketuaannya yang membuat capek, dan bukankah hal itu amat menyenangkan dan suatu kelegaan bagi yang bersangkutan ? Bukankah mbakyu berkali-kali berkata begitu ?



122. Lastri



: (kelihatan ragu-ragu) Ya… Ya… !



123. Musta



: Dan semuanya akan berjalan baik seperti kejadian yang baik dan lumrah. 5



124. Lastri



: Ya, ya !



125. Musta



: Rencana kita harus berhasil mbakyu, kalau tidak akan banyak racun yang harus kita telan setiap saat.



126. Lastri



: Ya, ya. Harus ! Harus ! Semua keluarga kecuali si Laila putri mendiang si Rusdi. Semua menyokong dan menyetujui rencana ini. Sudah lama juga dan sudah cukup lama kita berikhtiar. Segala Dukun dan doa-doa sudah saya coba. Semuanya kandas dan gagal.



127. Musta



: (ragu-ragu) Seandainya Dukun itu kemari… dan… ada yang tahu bagaimana, mbakyu ?



128. Lastri



: Maksudmu Ibu akan tahu ? Tidak Musta, Ibu dapat kita bohongi.



129. Musta



: Bukan, maksudku, bagaimana kalau si Laila tahu, mbakyu ??



130. Lastri



: Itu urusanku. Anak manja itu memang satu-satunya penghalang, tapi itu urusanku dan memang hanya dialah yang tidak mau tanda tangan dalam urusan ini. Tapi semuanya akan gampang dapat saya selesaikan.



Dari dalam keluar Nenek dengan menyangga piring kecil dan kunci-kunci yang menggantung dilehernya. Dia sedang makan dan sengit bergelut dengan sayap ayam itu. 131. Nenek



: Musta, sayap ayamku hilang satu. Musta sayap ayam ini tinggal satu. Yang satu lagi tentu dimakan Dudung atau kau sendiri yang mengambilnya. (pergi sambil makan)



132. Lastri



: Dia lupa kalau sayapnya yang satu telah ditelannya tadi pagi.



Dari luar terdengar suara Permisiii… Kulanuwuuun…. 133. Koor



: Manggaaa…



134. Musta



: Mungkin mbah Dukun yang datang, mbakyu. (menuju kepintu lalu buruburu membukanya, terlihat seorang wanita tua dengan potongan aneh, suatu tanda dari pekerjaannya bagi seorang Dukun, dia sangat tua sehingga memerlukan tongkat penyangga dan jelas kelihatan ia sudah jemu dengan kekuatannya seperti ada yang memburu dalam dirinya) Oh, mbah Dukun, silahkan masuk, mbah !



135. Dukun



: Terima kasih.



136. Lastri



: Silahkan, mbah. (pada Musta) Musta ambil dupanya cepat !



Dukun melihat suasana dalam rumah, Musta masuk ke dalam dan muncul lagi telah membawa anglo kecil dan berpara-para dengan asap yang mengandung kemenyan. 137. Musta



: Silahkan duduk mbah… !



138. Lastri



: Silahkan duduk mbah.



139. Dukun



: Terima kasih, terima kasih, biarlah saya berdiri saja. Hari ini mudahmudahan hari baik, semoga hari yang baik ini meskipun diluar hari hampir tak berdaya menghadapi mendung. Tapi mendung itu ada dua. Mendung baik dan mendung buruk, mendung rugi dan mendung untung alias mendung mujur. Keduanya selalu mengajak kita berteka-teki, tetapi gusti pangeran telah memberi kurnia kepada saya kepala yang baik untuk menebak segala teka-tekinya. (diam sejenak, mulai semadi, tapi urung) Tapi saudara…



140. Musta



: Ada apa, mbah Dukun ?



141. Dukun



: (mengelak) Oh tidak, tidak apa-apa. (mulai semadi. Lama hanya diam menengadahkan kedua tangannya, matanya terpejam) hari ini… hari apa…



142. Musta



: (menyela) Jum’at Kliwon, mbah… 6



143. Dukun



: (merubah sikap) Maafkan, saya tidak bertanya pada saudara. Biarkan saya bicara sendiri, meskipun sebenarnya tidak. (mulai bersemadi lagi) Hari ini… hari apa… ? Demikianlah… demikianlah langit telah menciptakan berbagai-bagai hari yang sebenarnya cuma ada dua, yaitu hari naas dan hari untung. Dan hari ini adalah hari baik… Langit luas telah menerima semuanya… Oh ya… mumpung semua genap tujuh… kecuali kertas yang tujuh kali tujuh belum…



144. Musta



: (menyela) Tidak mbah Dukun ! Yang tujuh kali tujuh itu akan segera kami genapi, mbah.



145. Lastri



: Ya, betul mbah Dukun.



146. Dukun



: (membuka matanya) Seperti kata saya tadi biarkan saya bicara sendiri.



147. Musta



: Oh… Maafkan kalau begitu, mbah.



148. Lastri



: Iya, maafkan kalau begitu.



149. Dukun



: Saya sungguh tidak mengerti.



150. Musta



: Kenapa, mbah ?



151. Dukun



: Saya belum dapat memusatkan pikiran.



152. Musta



: Apakah karena syaratnya tidak genap, mbah ?



153. Lastri



: Betul, sangat betul.



154. Dukun



: Kenapa, nyonya menginginkan sekali ibu nyonya mati ? (Lastri hanya mengangkat bahunya) Maafkan kalau saya bertanya seperti itu, sebab terus terang saja pekerjaan ini baru bagi saya dan paling sukar, saya tentu saja akan berikhtiar untuk nyonya, meskipun Tuhan juga yang menentukan.



Sekonyong-konyong Nenek berteriak minta tolong dan muncul keluar kamar. 155. Nenek



: Pencuri ! Pencuri !! Tolong ada pencuri !!! (menangis dan menjerit)



156. Musta



: (dengan paniknya) Pencuri ? Pencuri apa ?



157. Nenek



: Kunyuk kecil itu mencuri lagi, sayap ayamku ! (pada Lastri) sekarang juga kau mesti menukarnya. Aku mengidamkan tidak mau tanpa ikan ayam. Sejak muda dulu aku mengidamkan hidup enak tuaku, dengan makan berlaukkan ayam, ayo Lastri… kau menukarnya !!!



158. Lastri



: Ya… ya tapi tak usah ribut, lagi ada tamu.



159. Nenek



: Peduli apa aku dengan tamu itu, ayamku mesti kembali !



160. Lastri



: Musta pergilah kau beli sayap ayam !



161. Musta



: Dimana kita bisa beli ikan ayam siang-siang begini, mbakyu ?



162. Lastri



: Di warung dekat kelurahan.



163. Musta



: Warung itu tidak jual goreng ikan ayam. Disini hanya ada kalau pagi hari sebelum Pak Subur menjajakan jualannya ke segenap kota.



164. Lastri



: Bu, besuk saja kita beli lagi, sekarang tak ada orang menjual goreng ikan ayam itu.



165. Nenek



: Peduli !! Sayap ikan ayamku mesti mendapatkan gantinya.



166. Lastri



: Pasti mendapatkan gantinya besuk.



167. Nenek



: Sekarang !



168. Lastri



: Besuk.



169. Nenek



: Sekarang !!



170. Lastri



: (tak sabar lagi, sedikit membentak) Besuk !! Besuk !!!



Lastri, makan di hari harus



7



171. Nenek



: Oh… kau kejam Lastri !! (menangis) Kau bentak-bentak aku… bapakmu pasti marah. Oh, aku harus purik… ! Aku harus purik. (pada Musta) Musta, kau mesti mengantarkan aku ke Surabaya besuk atau pergi ke Bandung. Akan kuadukan semua ini pada si Kus atau si Sri. Aku Aku harus purik ! Bapakmu pasti marah. Berdosa kamu… Aku harus purik ! (pergi masuk)



Sesaat mereka tidak melakukan apa-apa. 172. Lastri



: Maafkan mbah Dukun pekerjaan itu agak terganggu.



173. Dukun



: Tidak apa-apa, orang tua memang lumrah. Dari kecil kembali ke kecil.



174. Lastri



: Musta tolong mbah Dukun buatkan minuman ! Silahkan mulai, mbah !



175. Dukun



: Baik. (diam sejenak) Jadi semua ini benar-benar kehendak nyonya ?



176. Lastri



: Dan seluruh keluarga.



177. Dukun



: Ya… artinya Nyonya dan semua keluarga menghendaki ibu nyonya mati. Baik, tolong biarkan suasana di ruangan rumah ini sepi. (Dukun mulai menutup matanya lalu membaca mantra komat-kamit mulutnya. Lastri memperhatikan dengan berdebar, ia merasa tidak enak dan asing … menghela napas dalam-dalam) Malam diatas malam hitam. Dimana mentari silau, disitulah segalanya terbenam. Burung hantu melayang dilangit yang curam dan berkata dengan nyanyian sumbang, tentang korban setiap kehidupan. Berkahilah… ! Berkailah ! (mendengar sesuatu dan mengiyakan) Ya… Ya… Okey… Ya… (setelah agak lama lalu membuka mata) Jum’at Kliwon permulaan bulan ketiga jam sepuluh !



178. Lastri



: (gemetar) Maksudnya, mbah ?



179. Dukun



: Ibu nyonya meninggal tepat pukul sepuluh pada hari Jum’at Kliwong bulan ketiga.



180. Lastri



: Haa ? (berseru) Musta ! Musta ! (dari dalam Musta menyahut “sebentar !” tak lama Musta keluar dengan membawa susu panas) Semua akan terlaksana Musta. Eh… coba diulangi mbah Dukun !



181. Dukun



: Tepat akan meninggal pada pukul sepuluh hari Jum’at Kliwon permulaan bulan ketiga.



182. Musta



: Haa ! (memandang heran Lastri dan Dukun) Jum’at Kliwon permulaan bulan ketiga pukul sepuluh. (kaget) Lho… bukankah harinya hari ini ?



183. Lastri



: Haa ? Oh… ya.



184. Musta



: Jam berapa sekarang ?



185. Lastri



: (melihat jam tangannya) Haa ! Sekarang jauh lewat jam sepuluh, sekarang malah hampir pukul dua belas.



186. Musta



: Apa tak salah, mbah ?



187. Lastri



: Ya, barang kali salah dengar, mbah ?



188. Dukun



: Saya kira tidak, tapi… (berpikir) mungkin juga, sebentar… (memejamkan mata sebentar) Benar saya keliru, saya salah dengar, memang agak tuli telinga saya sekarang. Aduh, Gusti Jung Mangsawuh kalau sampai marahmarah entah apa jadinya. (makin gugup) Ya… memang bukan pukul sepuluh tapi pukul dua belas, katanya.



189. Musta



: Haa ! Kalau begitu sebentar lagi artinya. Pukul berapa sekarang, mbakyu ?



190. Lastri



: (melihat arlojinya) Kurang sepuluh menit pukul dua belas.



191. Musta



: (cemas) Kita tunggu saja, mbakyu !



192. Lastri



: Dimana Ibu, Musta ?



193. Musta



: Paling masih tidur dikamar, barangkali sedang menunggu waktu. Bukan begitu mbah Dukun ? 8



194. Dukun



: (mengangguk) Ya, ya.



195. Lastri



: Silahkan diminum susunya mbah Dukun !



196. Dukun



: Terima kasih. (mencicipi)



197. Musta



: Habiskan saja mbah !



198. Dukun



: Saya harus bersemadi, sekiranya kalau hari ini yang ditentukan. (Dukun mulai bersemadi, Lastri dan Musta saling berpandangan ketika Dukun mulai membaca mantra)



199. Lastri



: (agak berbisik) Musta.



200. Musta



: Ya mbakyu ?



201. Lastri



: Kau tengoklah kedalam sedang apa ibu sekarang. Jangan sampai ketahuan kau mengintipnya !



202. Musta



: Baik (masuk ke kamar Nenek)



Sepi mengisi ruangan itu, mbah Dukun masih bersemadi. Lastri begitu gelisah dan gemetar sekujur tubuhnya. Ingin bertanya pada mbah Dukun tapi tak berani. 203. Dukun



: (komat kamit baca mantra) Macam kumbang mengaum dalam hutan, mencari dan membaui jejak mangsanya. Di langit terbang elang dengan mengunyam anak ayam, sementara mendung melibatkan dirinya. Bergumpal-gumpal kabut berisi air mata, yang ditimba dari duka manusia, sebab usia yang panjang hanya berisi derita, yang dilahirkan oleh tangan serakahnya. Dan… dan sekarang berbarislah para syetan, menyanyikan lagu kemenangan.



Tatkala Dukun meneruskan dengan komat-kamitnya, muncul Musta dari dalam. 204. Lastri



: Sedang apa Ibu ?



205. Musta



: (membuat isyarat tidur dengan kepala)



206. Lastri



: Haa !



207. Musta



: Tidur, Ibu sedang tidur mbakyu !



208. Lastri



: Tidur ?



209. Musta



: Barangkali sedang menunggu waktu.



210. Lastri



: Barangkali iya.



211. Musta



: Pukul berapa sekarang mbakyu ? (gelisah)



212. Lastri



: Pukul dua belas kurang lima menit. (makin gelisah Musta) Apa yang kau rasakan, Musta ?



213. Musta



: Tidak tahu. Tidak mengerti, kosong mbakyu.



214. Lastri



: (gelisah) Musta.



215. Musta



: Ya, mbakyu ?



216. Lastri



: Bagaimana menurutmu kalau ibu benar-benar meninggal ?



217. Musta



: Bagaimana ya, aku tidak tahu, mbakyu ! Aku tidak mengerti. Menurut mbakyu, bagaimana ?



218. Lastri



: Aduh. Aku ini bertanya sama kamu, lha kok malah balik bertanya ! Kau tidak merasa apa-apa ?



219. Musta



: Kosong, hampa mbakyu.



220. Lastri



: (melihat arlojinya, gemetar tubuhnya) Sudah sampai waktunya.



221. Musta



: (juga gemetar) Agaknya aku seperti kedinginan.



222. Dukun



: (membaca mantra) Kegelapan demi kegelapan, Berlapis-lapis kegelapan, akan menarik dan membuat dirinya, mempertontonkan segala rahasia, dan 9



takkala sampai saatnya, bergetarlah pohon-pohon dalam hutan disibak cakar para harimau, yang marah mencari jejak mangsanya yang kini jadi bangkai. 223. Lastri



: (pada Musta) Coba, kau tengoklah lagi sekarang !



224. Musta



: (memeriksa tubuhnya sendiri) Aneh.



225. Lastri



: Apa yang aneh ?



226. Musta



: Aku jadi gemetar.



227. Lastri



: Aku juga. Tapi segeralah kau ke dalam.



228. Musta



: Aku takut, mbakyu…



229. Lastri



: (gemetar tubuhnya) Musta…



230. Musta



: Ya, mbakyu…



Lonceng berdentang dua belas kali. Dengan irama yang penuh ragam memenuhi udara yang telah penuh ketakutan, Dukun masih tetap bersemadi sambil berdiri. Lastri dan Musta semakin ketakutan. 231. Lastri



: (nafasnya kacau) Musta, kau tengoklah ibu Musta, segera Musta !



232. Musta



: (panik) Baik, mbakyu…



Dengan gemetar Musta melangkahkan kakinya masuk kedalam. Sepi beberapa detik, tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh teriakan Nenek. 233. Nenek



: (hanya suara) Ayo ! Ayo ! Mau mencuri kunci, ya ? Mau curi, ya ?



234. Musta



: (dengan berlari kecil Musta keluar) Beliau masih hidup !



235. Lastri



: Ha ? (masuk ke kamar, lalu keluar lagi tampak jengkel pada tampilan wajahnya) Dia masih hidup.



236. Dukun



: (masih membaca mantra) Yang berkuasa akhirnya, yang berkuasa akhirnya yang membuat cerita, tuhan pencipta alam semesta. (sekonyongkonyong terkulai lehernya)



237. Musta



: Tegar… Ampuh seperti pohon beringin…



238. Lastri



: Tegak, seperti pohon kelapa… berapa kali sudah ikhtiar dijalakan ?



239. Musta



: Beberapa kali sudah ikhtiar dijalankan, semuanya gagal !



240. Lastri



: Gagal sama sekali. Dan kali inipun juga gagal. Dan ini berarti selama ini kita telah tertipu. (pada Dukun) Mbah ! Mbah Dukun !



241. Dukun



: (menundukan kepalanya) Ya, nyonya.



242. Lastri



: Dia masih hidup.



243. Dukun



: Memang begitu kenyataannya.



244. Lastri



: Memang ? Jadi mbah Dukun telah menipu saya !



245. Dukun



: Saya kira tidak.



246. Lastri



: Saya kira tidak ? Tujuh kilo beras, tujuh kilo ketan, tujuh ekor ayam dan tujuh juta rupiah amblas tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Semestinya mbah Dukun dapat bekerja lebih baik. Dan sekarang apalagi yang saya dapat katakan selain bahwa dia masih hidup ? Apakah saya tak bisa menyatakan bahwa itu berarti saya telah kena tipu dan mbah Dukunlah penipunya ?



247. Dukun



: Saya kan cuma mengikhtiarkan.



248. Lastri



: (geram) Cuma mengikhtiarkan !



249. Dukun



: Seperti saya katakan tadi bahwasanya saya akan mengikhtiarkan segala kehendak nyonya meskipun Tuhan punya ketentuan. Dan saya sudah 10



mengikhtiarkan segalanya dengan cara dan kemampuan saya. Semua telah saya coba. Sekarang apakah nyonya akan menyalahkan saya ? 250. Lastri



: Ya ! Ya ! Katakan apa saja yang patut mbah Dukun katakan ! Yang jelas, saya tak pernah membeli lotre. Saya membayar mbah Dukun untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan saya. Dengar, sekarang dia masih hidup !



251. Dukun



: Begitulah, nyonya.



252. Lastri



: Begitulah, tapi kenapa mbah Dukun mengatakan bahwa semuanya akan pasti berhasil. (pada Musta) Ya kan, Musta ?



253. Musta



: (diam tidak menjawab)



254. Dukun



: Barangkali begitu kata nak Musta, tapi saya tak pernah mengatakannya. Seorang Dukun yang baik tak pernah mau berbuat ceroboh dengan mengucapkan kata-kata serupa itu.



255. Lastri



: (pada Musta) Kalau begitu kau yang telah menipu saya, Musta ?!



256. Musta



: Jika demikian halnya berarti saya telah kena tipu masyarakat. Setiap orang dari seluruh daerah inilah yang telah membuat saya yakin dan percaya kepada keajaiban dari mbah Dukun ini. Apa-apa yang diucapkannya semuanya bersumber dari segala orang disini. Dan itu berarti saya juga telah kena tipu orang banyak.



257. Lastri



: Setan ! Setan semuanya… (geram) Setelah begitu kejadiannya kalian mau lepas tangan. Saya kena tipu. Tidak, dan sekarang apakah saya harus menyalahkan semua orang di kota ini dan saya harus menyatakan bahwa semua orang telah menipu saya, begitu maumu ?



258. Dukun



: Tidak. Sekarang tolong dengarkan saya ! Sekarang ini saya merasa bersyukur. Kenapa saya merasa bersyukur padahal semua pekerjaan saya gagal ? Orang tua nyonya masih hidup dan kalaupun ia mati hari ini ? Sayapun tidak bisa berbangga sebab pastilah bukan karena saya. Bukan karena mantra-mantra yang menjadi penyebab kematiannya. Saya telah berbuat dan semuanya berakhir dengan hampa seperti hakekat mantramantra saya selama ini. Hampa. Dan isi mantra itu hanya kesombongan belaka. Berpuluh-puluh tahun setiap selesai saya melakukan pekerjaanku, setiap menjelang tidur selalu saya berpikir dan bertanya apakah orang terlampau bodoh sehingga mau percaya terhadap apa yang kukerjakan ? Apakah demikian putus asanya ia sehingga percaya terhadap kebodohan ? Lucu khan, nyonya ?



Tiba-tiba Laila muncul dari luar. 259. Laila



: Sangat lucu ! Sangat lucu sekali, mbah Dukun. Saya harap dan saya minta supaya pekeraan ini disudahi saja ! Kalau tidak, akan aku laporkan pada yang berwajib, dengan tuduhan mbah Dukun akan melakukan rencana pembunuhan. (pada Lastri) Luar biasa, seorang anak dan bahkan seluruh anak-anak beramai-ramai berdoa untuk mempercepat kematian ibunya. Sudah saatnya Bude bertanya pada diri sendiri sekarang, apakah tidak lucu mengharapkan orang tuanya yang tak berdaya dan yang telah melahirkannya supaya mati ? Ya Allah ! Seharusnya kita bersyukur mempunyai Nenek yang dipanjangkan umurnya oleh Allah. Barangkali tak seorangpun di Indonesia ini yang mempunyai usia setua Nenek kita.



260. Lastri



: Lancang benar mulutmu, Laila.



261. Laila



: Saya kira Bude cukup tahu apa yang saya rasakan.



262. Lastri



: Kau tidak merasakan apa-apa, Laila. Kau hanya pura-pura merasakan kasihan sama Nenekmu, sebab itu diam lebih baik bagimu. 11



263. Laila



: Saya kira saya tidak pura-pura, Bude. Bukan saja saya merasa kasihan sama Nenek, lalu menghalangi perbuatan ini, dan lagi perbuatan saya adalah wajar dilakukan sebagai cucu terhadap Neneknya. Ini bukan persoalan rasa kasihan saja, Bude. Tapi menyangkut pikiran waras. Sekali lagi pikiran waras !



264. Lastri



: Jadi kau menganggap perbuatanku ini tidak waras ?



265. Laila



: Saya yakin kalau saya boleh menyebutnya demikian ! Apakah pekerjaan waras, kalau seluruh anak beramai-ramai hendak membunuh orang tuanya sendiri. Tidak ! Janganlah saya dibiarkan mempunyai Bude yang kejam.



266. Lastri



: Lidahmu terlalu lincah memutarkan kata-kata kosong, kau tidak mengerti dorongan yang mendorong segala peristiwa ini, kau tidak mengerti duduk persoalannya, kau tidak mengerti sebab musababnya, karena kau tidak mengerti apa-apa. Sebab itu kau hanya melontarkan kata-kata yang tak pada tempatnya. Sebelum kau menyelami masalah ini kau takkan mendapatkan pengertian apa-apa, kau hanya merasa kasihan. Dan kukira sudah bijaksana seandainya kau bisa diam.



267. Laila



: Kalau menurut Bude diam itu lebih bijaksana, pasti akan saya lakukan. Tapi saya adalah cucunya. Apakah saya harus diam, sementara orang hendak berami-ramai membunuh Nenek saya. Saya harus melakukan sesuatu dalam hal ini, paling tidak saya harus mengingatkan bahwa Bude hampir terjerumus kedalam pertimbangan yang pandir. Ingat bude, saya adalah cucunya.



268. Lastri



: Kau kira aku ini siapa ? Aku adalah anaknya.



269. Laila



: Justru Bude anaknya maka Bude berpendapat wajar dan waras hendak membunuh ibunya sendiri.



270. Lastri



: Tutup mulutmu ! Kau telah mengatakan apa-apa yang tidak layak. Kau katakan aku hendak membunuhnya ? Kau sebagai geberasi baru dikeluarga ini hanya tahu dan mengerti kasihan. Kau belum tahu ragam warna dalam hidup ini. Apalagi kau mau mengerti apa artinya “Berguna dan Tidak Berguna.” Laila, dalam hidup ini tidak cukup hanya rasa kasihan.



271. Laila



: Ya Allah ! Jadi sudah sedemikian hitamnya niat Bude. Keji !! Berguna dan Tidak Berguna ! Maksud Bude, sekarang Nenek tidak berguna maka sudah sepantasnya kalau Nenek meninggal. Bude menganggap bahwa Nenek telah menjadi abu karena tidak menguntungkan dan tak memberi apa-apa. Tidak berguna bagi Bude dan bahkan bagi keluarga lain, maka Bude menganggap sudah sampai saatnya memojokkan dan membinasakannya, orang tua yang tidak berdaya dan yang telah melahirkan Bude dan semua keluarga.



272. Lastri



: Sekali lagi jaga mulutmu, Laila ! Tak ada orang tahu, dan tak akan ada orang yang tahu, kecuali kau latah ! Dengarlah baik-baik ! Nenekmu bukan saja tidak berguna bagi kita tapi juga bagi dirinya sendiri. Untuk apa dia hidup kalau tersiksa oleh ketuaan yang panjang yang tak pernah usai, yang tak pernah putus dan hanya berisikan kepikunan yang mecapekan ? Sebab itu pekerjaan kita adalah pekerjaan yang membantu dirinya, melenyap sirnakan sangsi badani, derita badan yang diidamkan oleh semua orang tua. Maaf, kalau pemikiran kami belum terjangkau oleh pikiran pendekmu.



273. Laila



: Maafkan, apakah Bude tidak percaya pada Allah ? Sebagaimana Allah sendiri, kebenaran cuma satu, dan itu miliknya. Apakah kebenaran itu akan dianut oleh banyak orang atau tidak, sama saja. Baiklah saya tidak akan berdalih apa-apa. Toh tidak akan ada artinya buat Bude. Lakukan semuanya yang Bude kehendaki. Tapi saya yakin “semuanya akan gagal.” 12



Dan saya kira mbah Dukun itupun merasakan apa yang kurasakan sebab pasti iapun merasa bahwa ia sudah sangat tua. Astagfirullah… Semua dikejutkan datang Nenek sambil berteriak-teriak. 274. Nenek



: Lastri !! Lastri !! (muncul) Lastri, pasti kau yang mencuri kunci itu.



275. Lastri



: (bingung) Kunci ?



276. Nenek



: Kalau tidak pasti kau punya duplikatnya. Ayo mana kunci itu ? Mana, ambilkan kunci itu sebelum aku purik. Ayo, kunci itu tidak ada lagi dibawah kasur ! Ayo carikan ! Carikan !!



Semua orang mencari kunci itu, sementara Nenek terus berteriak-teriak, akhirnya Laila menangkap suatu benda yang tergantung dileher Nenek. 277. Laila



: Nek, ini apa ? Kunci kan ?



278. Nenek



: (mulutnya menganga sambil memegang kunci yang tergantung dilehernya) Haa, kunci… kunci nakal… oh (menangis) Oh saya sudah pikun. Saya pikun. Pikun itu gila… pikun itu sudah tua… pikun dan tua sama juga dengan gila… oh… setelah… setelah kujalani hidup yang panjang dan keras ini. Akhirnya ketemu lagi kekosongan-kekosongan seperti anak kecil, kekosongan seorang anak kecil kesepian, seorang bayi, kesepian dan kehampaan yang sebenarnya adalah kedunguan manusia, kehinaan… rusak… rusak ! Laila, kau pasti juga pernah berpikir dan bertanya kenapa aku masih hidup saja ? Padahal aku sudah sangat tua ? Oh Laila… pikun dan tua itu menyiksa. Kau tahu ? (tersenyum) Baru aku tidur tadi dan bermimpi sangat gembira, sebab seluruh anak cucuku dan canggahku yang tersebar itu berkumpul dan bersama-sama berdoa dan menghadap Allah agar aku lekas mati. Aku sangat gembira ! Kau tahu Laila, aku sudah rindu dan kangen sama mbahmu sama bapakmu. Mbahmu adalah laki-laki pemalas tapi diam-diam aku mencintainya. Sedangkan bapakmu, dia anak yang pemberani, baik, cerdas dan sangat patuh sama orang tua. Karenanya aku begitu gembira mendengarkan do’a-do’a itu… Tapi lalu mbahmu datang dan marah-marah. Dia berkata… Kalian gila ! Kalian gila ! Dia marah-marah, dikatakan aku juga sudah gila, tapi kemudian dengan suara yang merdu sekali dia berkata padaku “Manis, kalau Allah memberi sesuatu padamu berarti ada suatu makna, kau telah dipanjangkan usia oleh Allah, maka bersyukurlah, Embahmu tersenyum, engkau harus menjaga anak-anakmu, jagalah Laila, jagalah Dudung dan lain-lainnya. Jagalah semuanya. Embahmu kembali tersenyum, lalu aku terbangun. Aku terbangun tepat ketika terdengar suara adzan. Sekarang hari Jum’at kan ? Aku lalu bangun dan termenung, lalu aku bilang pada diri sendiri. Manis kau harus sholat. Ya. Laila setelah sholat orang selalu mendapatkan kembali tenaganya dan penuh kepercayaan untuk menghiasi hidup ini (dia termenung jauh, jauh sekali) Ayo, kita sholat bersamasama, Laila !



279. Laila



: Mari Nek… (menggandeng tangan Neneknya diajak masuk)



Tiba-tiba semua dikejutkan adanya berita Dudung terjatuh dari pohon. 280. Darsi



: (dari luar) Mas… Mas Musta… Mas… (napasnya tersengal-sengal)



281. Musta



: Ada apa, dik Darsi… ada apa ? Tolong di atur dulu napasnya, jangan gugup. Yang tenang kalau bicara ! (Darsi sudah agak tenang napasnya) Nah, sekarang bicaralah pelan-pelan. Ada apa ?



282. Darsi



: (gugup) Dudung Mas… Dudung kemenakanmu…



283. Musta



: Iya, Dudung kenapa ?



284. Lastri



: (gelisah) Kenapa dengan, Dudung ? 13



285. Nenek



: (nyela) Haa ! Kenapa dengan Kunyuk kecil itu, mencuri lagi ya ? Apa yang dicurinya darimu ?



286. Laila



: (menenangkan Neneknya) Tolong Nenek diam dulu, biar mbak Darsi yang menjelaskan. Silahkan mbak Darsi !



287. Nenek



: Haa !



288. Darsi



: Dudung tadi main perang-perangan sama temen-temennya di halaman rumahku, setelah selesi main perang-perangan, Dudung dan temantemannya memanjat pohon mangga kepunyaanku. Saya sudah berusaha memperingatkan mereka, tapi omogan saya tak dihiraukan, malah saya dilempari mangga sama si Dudung dari atas pohon. Bersamaan dengan suara adzan, tiba-tiba… Buukkk… Dudung jatuh dari pohon mangga, dan… dan…



289. Musta



: Dan kenapa dik Darsi ?



290. Lastri



: Apa yang terjadi pada Dudung cucu saya ?



291. Darsi



: Kepalanya mengeluarkan darah karena terbentur batu. Sekarang si Dudung dibawa ke rumah sakit sama suami saya.



292. Koor



: Astagfirullah…



293. Dukun



: (menundukan kepala) Yang berkuasa akhirnya.., yang berkuasa akhirnya yang membuat cerita, Tuhan pencipta alam semesta…



294. Lastri



: Ya Allah… dosa apa yang telah saya perbuat hingga engkau memberi cobaan dengan merenggut cucuku yang paling aku sayangi… bagaimana aku harus menjelaskan pada si Jati anakku… ampunilah saya ya Allah… (menangis, mendekati Nenek) Bu… ampunilah saya. Maafkan saya Bu…



295. Laila



: Bude, lebih baik kita sekarang ke rumah sakit, ayo Bude, kasihan si Dudung nanti !



296. Musta



: Iya mbakyu, segera kita ke rumah sakit. Cepat mbakyu…



Lastri, Musta, Darsi, dan Laila bergegas ke rumah sakit… tinggal Dukun dan Nenek dirumah. Suasana sepi sejenak. 297. Dukun



: Karena tugas saya sudah selesai, saya mohon diri nyonya… (mau melangkah keluar namun tidak jadi, mengadahkan kepala ke atas) Yang berkuasa akhirnya.., yang berkuasa akhirnya yang membuat cerita, Tuhan pencipta alam semesta…



298. Nenek



: Ya… ya… ya… kau benar mbah Dukun… Yang berkuasa yang membuat cerita ! Dialah dalang dari segala dalang !



Lampu lambat laun meredup lalu mati… selesai…



Kepribadian seseorang akan tercermin dari cara anda merawat naskah ini. Matursuwun…



14