Open Ended Approch and Open Ended Question (Ke-7) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

METODE PEMBELAJARAN PENDEKATAN “OPEN–ENDED APPROCH AND OPEN ENDED QUESTION” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Pembelajaran Matematika dengan Dosen Esti Ambar M,Pd.



Di susun Oleh : Fadillah Nurhidayah (1401125185) Enny Puspitasari (1401125050) Mahendro Santoso R(1401125090) Rihlah Farhatin (1401125123) Kelas 4A : Kelompok 8 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA 2015



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “metode pembelajaran pendekatan open-ended” Makalah ini berisikan tentang metode pembelajaran pendekatan openended. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.Amin.



Jakarta, 16 Maret 2016



PENYUSUN



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................. i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii BAB I ......................................................................................................1 A.



Latar Belakang .................................................................................. 1



B.



Rumusan Masalah ............................................................................. 3



C.



Tujuan ....................................//................................................. 3



BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 4 A.



Open Ended Approach ....................................................................... 4



B.



Open Ended Question ........................................................................ 8



BAB III PENUTUP.............................................................................. 12 A.



Simpulan .......................................................................................... 12



B.



Saran ................................................................................................ 14



DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 15



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendekatan Open-ended



merupakan



salah



satu



upaya



inovasi



pendidikan matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar duapuluh tahun yang lalu dari hasil penelitian yang dilakukan Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Munculnya pendekatan ini sebagai reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut dengan “issei jugyow” (frontal teaching); guru menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal. Seperti diketahui bahwa masalah rutin yang biasa diberikan pada siswa sebagai latihan atau tugas selalu berorientasi pada tujuan akhir, yakni jawaban yang benar. Akibatnya proses atau prosedur yang telah dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal tersebut kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian guru. Padahal perlu disadari bahwa proses penyelesaian masalah merupakan tujuan utama dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika. Gambaran tersebut sebagaimana dikemukakan Anthony (1996) yang mengemukakan bahwa pemberian tugas matematika rutin yang diberikan pada latihan atau tugas-tugas matematika selalu terfokus pada prosedur dan keakuratan, jarang sekali tugas matematika terintegrasi dengan konsep lain dan juga jarang memuat soal yang memerlukan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Akibatnya ketika siswa dihadapkan pada tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau jawabannya tidak langsung diperoleh, maka siswa cenderung malas mengerjakannya, akhirnya dia menegosiasikan tugas tersebut dengan gurunya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Rif’at (2001 : 25) yang menyatakan bahwa pembelajaran melalui tugas matematika rutin terkesan untung-untungan. Dugaan bahwa pembelajar ingat atau lupa akan suatu rumus tidak dapat dipertahankan. Siswa berkecenderungan berfikir pasif,



tidak dapat berfikir secara terstruktur, dan belajar menjadi tidak atau kurang bermakna. Weirtheimer (Rif’at, 2001 : 25) juga berpendapat bahwa pembelajaran yang prosedural, seperti penerapan rumus cenderung menghilangkan kemampuan manusia untuk melihat struktur masalah secara utuh. Padahal, pemahaman akan struktur masalah merupakan pemikiran produktif. Proses-proses yang dilakukan oleh siswa dalam memilih, mengatur dan mengintegrasikan pengetahuan baru, perilaku dan buah pikirannya akan mempengaruhi keadaan motivasi dan sikapnya dan pada akhirnya akan berhubungan dengan strategi belajarnya (Weinstein & Mayer dalam Anthony, 1996). Tugas dalam pembelajaran matematika diharapkan mampu membuat siswa berpartisipasi aktif, mendorong pengembangan intelektual siswa, mengembangkan



pemahaman



dan



ketrampilan



matematika,



dapat



menstimulasi siswa, menyusun hubungan dan mengembangkan tatakerja ide matematika, mendorong untuk memformulasi masalah, pemecahan masalah dan



penalaran



matematika,



mamajukan



komunikasi



matematika,



menggambarkan matematika sebagai aktifitas manusia, serta mendorong dan mengembangkan keiinginan siswa mengerjakan matematika (NCTM, 1991; Silver, 1985). Masalah yang diambil untuk tugas matematika dapat diperoleh dari masalah yang konstektual (real world) dan masalah dalam matematika (Shimada & Becker 1997). Masalah konstekstual diambil dari masalahmasalah keseharian atau masalah-masalah yang dapat dipahami oleh pikiran siswa. Dengan masalah itu siswa akan dibawa kepada konsep matematika melalui re-invetion atau melalui discovery. Jika dilihat dari cara dan jawaban suatu masalah, maka ada dua tipe masalah, yakni tipe masalah yang diberikan mempunyai cara dan jawaban yang tunggal (close problem) atau tipe masalah yang mempunyai cara dan jawaban yang tidak tunggal (open problem) (Ruseffendi 1991 : 254). Jawaban pertanyaan terbuka dapat bermacam-macam; tidak terduga. Pertanyaan terbuka menyebabkan yang ditanya untuk membuat hipotesis, perkiraan, mengemukakan pendapat, menilai menunjukkan perasaannya, dan menarik kesimpulan (Ruseffendi, 1991 : 256), memberikan kesempatan



kepada siswa untuk memperoleh wawasan baru (new insight) dalam pengetahuan mereka (Hancock, 1995). Dengan adanya pertanyaan tipe terbuka guru berpeluang untuk membantu siswa dalam memahami dan mengelaborasi ide-ide matematika siswa sejauh dan sedalam mungkin (Nohda, 2000 : 41). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penjelasan tentang Open Ended Approch? 2. Bagaimana penjelasan tentang Open Ended Question? C. Tujuan Masalah 1. Menegetahui Tentang Open Ended Approch 2. Mengetahui Penjelasan Open Ended Question



BAB II PENJELASAN A. Open Ended Approach 1. Pengertian Open Ended Approach Pendekatan Open-ended berasal dari Jepang pada tahun 1970'an. Antara tahun 1971 dan 1976, Peneliti Jepang melaksanakan serangkaian proyek



penelitian



pengembangan



dalam



metode



mengevaluasi



keterampilan "berpikir tingkat tinggi" dalam pendidikan matematika dengan menggunakan masalah Open-ended pada tema tertentu (Becker dan Shigeru, 1997 dalam Maitree Inprasitha). Pendekatan ini dimulai dengan melibatkan siswa dalam masalah Open-ended yang mana didesain dengan berbagai jawaban benar " tidak lengkap" atau " Openended". Akihiko Takahashi (Shimada et.al.,1977, Becker & Shimada, 1997) berpendapat bahwa Traditional problems used in mathematics teaching in both elementary and secondary schools classroom have a common feature: that one and only one correct answer is predetermined. The problems are so well formulated that answers are either correct or incorrect and the correct one is unique. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa masalah tradisional atau dulu yang digunakan dalam pembelajaran matematika baik di sekolah dasar (SD) dan SMP mempunyai satu dan hanya satu jawaban benar yang sudah ditentukan. Suatu masalah juga dirumuskan dengan baik yang jawabannya adalah dua pilihan yaitu benar dan salah. Suatu masalah seperti itu sering disebut senagai masalah tertutup (closed problem). Pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended diawali dengan memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan membawa siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban (yang benar), sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Pendekatan Open-Ended menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada siswa untuk meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang



diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan Open-Ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Hal ini sesuai dengan pendapat Shimada (1997:1) pendekatan open-ended adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau penyelesaian yang benar lebih dari satu. Pendekatan open-ended dapat memberi kesempatan kepada



siswa



untuk



memperoleh



pengetahuan/



pengalaman



menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik. 2.



Masalah Terbuka Pada pendekatan open-ended masalah yang diberikan adalah masalah yang bersifat terbuka (open-ended problem) atau masalah tidak lengkap (incomplete problem) masalah sebelumnya (asli). Dasar keterbukaan masalah diklasifikasikan dalam tiga tipe, yakni: a. Prosesnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak cara penyelesaian yang benar, b. Hasil akhirnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak jawaban yang benar, dan c. Cara pengembangan lanjutannya terbuka, maksudnya ketika siswa telah menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru yaitu dengan cara mengubah kondisi masalah sebelumnya (asli).



3.



Tahapan Open-Ended Approach (OEA) Pembelajaran dengan pendekatan Open Ended dilaksanakan melalu i beberapa tahapan antara lain sebagai berikut : a. pendahuluan, b. guru memberikan masalah, c. siswa mengeksplorasi masalah tersebut, d. guru merekam semua respon siswa,



e. f. g. 4.



guru membahas respon siswa bersama sama dengan siswa, guru meringkas apa yang telah dipelajari, diakhir pembelajaran guru memberikan refleksi atau evaluasi.



Aspek-Aspek Open Ended Approch a. Mengingat pemecahan masalah open-ended memerlukan waktu untuk berpikir, maka konteks permasalahan yang disampaikan harus dikenal baik oleh siswa dan harus menarik perhatian serta membangkitkan semangat intelektual. b. Masalah yang disajikan harus memuat informasi yang lengkap sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan dapat menemukan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan memahami masalah dan memecahkannya apabila penjelasan masalah terlalu ringkas. Hal ini bisa terjadi karena guru bermaksud memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah. c. Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah Guru harus memperhitungkan waktu yang dibutuhkan siswa untuk



memahami



masalah,



mendiskusikan



kemungkinan



pemecahannya, dan merangkum apa yang telah dipelajari. d. Guru dapat membagi waktu dalam dua periode. Periode pertama, siswa bekerja secara individual atau kelompok dalam memecahkan masalah dan membuat rangkuman dari hasil pemecahan masalah. Peride kedua, digunakan untuk diskusi kelas mengenai strategi dan pemecahan serta penyimpulan dari guru. 5.



Tujuan Open EndedApproch a. Siswa diharapkan dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan pola pikir matematis. b. Siswa terlatih untuk melakukan investigasi berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah. c. Siswa akan memahami bahwa proses penyelesaian suatu masalah sama pentingnya dengan hasil akhir yang diperoleh.



6.



Keuntungan dari Pendekatan Terbuka Menurut Sawada (2007), keunggulan pendekatan open-ended adalah: a. Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mengungkapkan ide-ide mereka secara lebih sering



b. siswa mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan pengetahuan



dan



keterampilan



matematika



mereka



secara



menyeluruh, c. siswa dengan kemampuan rendah bisa memberikan respon terhadap masalah dengan beberapa cara mereka sendiri yang bermakna d. siswa secara instrinsik termotivasi untuk membuktikan sesuatu, dan e. siswa mempunyai pengalaman yang berharga dalam penemuan mereka dan memperoleh pengakuan atau persetujuan dari temannya. 7.



Kekurangan Open Ended Approch Selanjutnya, menurut Sawada (2007), kelemahan pendekatan openended adalah: a. suatu hal yang sulit untuk membuat atau menyiapkan situasi-situasi masalah matematika yang bermakna, b. suatu hal yang sulit bagi guru untuk mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalah yang diberikan c. siswa dalam kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka, dan d. mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.



B. Open Ended Question 1. Pengertian Open Ended Question Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan open-ended, digunakan soal-soal open-ended sebagai instrumen dalam pembelajaran. Soal open-ended adalah soal yang memiliki lebih dari satu penyelesaian dan cara penyelesaian yang benar. Dengan demikian ciri terpenting dari soal open-ended adalah tersedianya keleluasaan bagi siswa untuk memakai sejumlah metode yang dianggapnya paling sesuai dalam menyelesaikan soal itu. Jadi, pertanyaan terbuka memerlukan sejumlah jawaban atau beberapa kemungkinan jawaban benar yang lebih luas dan tidak terbatas seperti pada pertanyaan tertutup.Pertanyaan terbuka memerlukan pemikiran yang lebih kritis dan kreatif. Bentuk pertanyaan



dilihat dari cara pengajuan pertanyaan yang sesuai dengan kondisi siswa dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni: a. Bentuk pertanyaan Redirecting Bentuk pertanyaan ini sifatnya mengajak seluruh siswa untuk memikirkan jawaban atas suatu pertanyaan yang dilontarkan dikelas. b. Bentuk pertanyaan Divergen Beberapa pertanyaan diberikan secara beruntun kepada seorang siswa



dengan



tujuan



memperjelas



arah



jawaban



yang



diharapkan.Dalam mengembangkan keterampilan proses mental selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, sering melibatkan keterampilan bertanya. Ditinjau dari aspek keterampilan proses tersebut dapat dibedakan tujuh bentuk pertanyaan, yakni pertanyaan mengamati,



pertanyaan



mengkomunikasikan,



mengklasifikasi,



pertanyaan



menyimpulkan,



pertanyaan pertanyaan



hipotesis, pertanyaan eksperimental, dan pertanyaanpengukuran. 2.



Menyusun Open Ended Question Ada dua teknik yang dapat dilakukan dalam menyusun pertanyaan Open-Ended, yaitu: a. Teknik bekerja secara terbalik (working backward). Teknik ini terdiri dari tiga langkah, yaitu: 1) mengidentifikasi topik 2) memikirkan pertanyaan dan menuliskan jawaban lebih dulu 3) membuat pertanyaan open-ended didasarkan pada jawaban yang telah dibuat. b. Teknik penggunaan pertanyaan standar (adapting a standard question). Teknik ini juga terdiri dari tiga langkah, yaitu: 1) mengidentifikasi topik 2) memikirkan pertanyaan standar 3) membuat pertanyaan open-ended yang baik berdasarkan pertanyaan standar yang telah dibuat.



3.



Aspek Open Ended Question Aspek keterbukaan dalam pertanyaan terbuka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu:



a. Terbuka proses penyelesaiannya, yakni soal itu memiliki beragam cara Penyelesaian. b. Terbuka hasil akhirnya, yakni soal itu memiliki banyak jawab yang benar. c. Terbuka pengembangan lanjutannya, yakni ketika siswa telah menyelesaikan suatu, selanjutnya mereka dapat mengembangkan soal baru dengan mengubah syarat atau kondisi pada soal yang telah diselesaikan. 4.



Kelebihan Open Ended Question a. Guru bertugas sebagai fasilisator dalam menyelesaikan soal. b. Siswa akan menjadi lebih aktif dalam mencari alternatif jawaban. c. Mempunyai potensi yang kaya untuk meningkatkan kualitas siswa. d. Siswa mempunyaikesempatan yang lebih untuk mengembangkan kemampuan penalaran pada siswa.



5.



Kelemahan Open Ended Question a. Guru kesulitan dalam proses penilaian terhadap jawaban siswa yang tidak tunggal, karena banyaknya jawaban siswa yang muncul. b. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengoreksi hasil evaluasi siswa. c. Berikut diberikan ilustrasi dua pertanyaan untuk membedakan antara pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Bagaimana kita dapat membedakan apakah pertanya tersebut adalah



pertanyaan terbuka atau pertanyaan tertutup? Soal 1 : Gedung bioskop Plaza 27 mencatat penjualan tiket film Laskar Pelangi selama tiga hari berturut-turut adalah 457 lembar, 446 lembar, dan 475 lembar. Hitung banyak tiket yang terjual selama tiga hari tersebut. Soal 2 : Susunlah sebuah data yang rata-ratanya lebih dari mediannya dan jangkauannya adalah 7. C. Keterangan Soal : Soal 1 : Merupakan pertanyaan tertutup dan bukan masalah terbuka karena prosedur yang digunakan untuk menentukan penyelesaiannya sudah tertentu yakni hanya menjumlahkan ketiga bilangan yang terdapat pada soal. Soal ini juga hanya memiliki satu jawaban yang benar. Sedangkan pertanyaan.



Soal 2 : Merupakan pertanyaan terbuka (open-ended problem). Soal ini juga dikategorikan sebagai soal non-rutin. Keterbukaan soal ini meliputi keterbukaan proses, keterbuka hasil akhir, dan keterbukaan pengembangan lanjutan. Soal ini dikategorikan sebagai soal non-rutin karena tidak memiliki prosedur tertentu untuk menjawabnya. D. Higher Order Thinking Skills (HOTS) Berpikir adalah aktifitas mencurahkan daya pikir untuk maksud tertentu. Berpikir adalah identitas yang memisahkan status kemanusiaan manusia dengan lainnya. Karenanya sejauhmana manusia pantas disebut manusia dapat dibedakan dengan sejauhmana pula ia menggunakan pikirannya. Al-Insan huwa al-Hayawanun Nathiq. Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hirarki Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan. Bloom mengkalisifikan ranah kognitif ke dalam enam tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Keenam tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan berpikir manusia. Berdasarkan tingkatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk mengetahui merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai. Merujuk definisi dalam Wikipedia Indonesia, berpikir tingkat tinggi adalah a concept of Education reform based on learning taxonomies such as Bloom’s Taxonomy. The idea is that some types of learning require more cognitive processing than others, but also have more generalized benefits. In Bloom’s taxonomy, for example, skills involving analysis, evaluation and synthesis (creation of new knowledge) are thought to be of a higher order, requiring different learning and teaching methods, than the learning of facts and concepts. Higher order thinking involves the learning of complex judgmental skills such as critical thinking and problem solving. Higher



order thinking is more difficult to learn or teach but also more valuable because such skills are more likely to be usable in novel situations (i.e., situations other than those in which the skill was learned). Dari definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa berpikir tingkat tinggi membutuhkan berbagai langkah-langkah pembelajaran dan pengajaran yang berbeda dengan hanya sekedar mempelajari fakta dan konsep semata. Dalam berpikir tingkat tinggi meliputi aktivitas pembelajaran terhadap keterampilan dalam memutuskan hal-hal yang bersifat kompleks semisal berpikir kritis dan berpikir dalam memecahkan masalah. Meski memang berpikir tingkat tinggi sulit untuk dipelajari dan diajarkan, namun kegunaannya sudah tidak diragukan lagi. Alice Thomas dan Glenda menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu diceritakan



kepada



kita.



Pada



saat



seseorang



menghafalkan



dan



menyampaikan kembali informasi tersebut tanpa harus memikirkannya, disebut memori hafalan (rote memory). Orang tersebut tak berbeda dengan robot, bahkan ia melakukan apapun yang diprogram dilakukannya, sehingga ia juga tidak dapat berpikir untuk dirinya sendiri. Berpikir tingkat tinggi secara singkat dapat dikatakan sebagai pencapaian berpikir kepada pemikiran tingkat tinggi dari sekedar pengulangan fakta-fakta. Berpikir tingkat tinggi mengharuskan kita melakukan sesuatu atas fakta-fakta. Kita harus memahamnya, menghubungkan satu sama lainnya, mengkategorikan, memanipulasi, menempatkannya bersama-sama dengan cara-cara baru, dan menerapkannya dalam mencari solusi baru terhadap persoalan-persoalan baru. Bagi sebagian orang berpikir tingkat tinggi dapat dilakukan dengan mudahnya, tetapi bagi oranglain belum tentu dapat dilakukan. Meski demikian bukan berarti berpikir tingkat tinggi tidak dapat dipelajari. Alison menyatakan bahwa seperti halnya keterampilan pada umumnya, berpikir tingkat tinggi dapat dipelajari oleh setiap orang. Lebih lanjut ia menyatakan



bahwa berpikir tingkat tinggi dalam praktiknya bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi baik pada anak-anak maupun orang dewasa dapat berkembang. Langkah paling awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengenal dan mempelajari apa “berpikir tingkat tinggi itu?” Berkenaan dengan berpikir tingkat tinggi, ada beberapa fakta singkat yang perlu ketahui sebagai berikut: 1.



Tidak ada seorang di dunia ini yang mampu berpikir sempurna sama seperti halnya taka da seorangpun yang memiliki kekuatan berpikir yang buruk sepanjang waktunya. Keterampilan seseorang dalam menggunakan daya pikir sangat dipengaruhi oleh berbagai factor dan kondisi. Dengan demikian orang yang dipandang pandai dan pinter mungkin saja dapat berpikir lebih buruk daripada orang yang paling bodoh tetapi berada pada tempat yang cocok. Fakta ini juga menunjukkan bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar paling pinter dan tidak ada orang yang bodoh sama sekali.



2.



Menghafal sesuatu tidak sama dengan memikirkan sesuatu. Menghapalkan merupakan aktifitas dalam merekam sesuatu apa adanya, tak kurang dan tak lebih. Sedangkan memikirkan sesuatu berarti mempergunakan daya pikirnya dalam rangka mengetahui, memahami, membandingkan, menerapkan dan menilai sesuatu tersebut. Dalam menghapal aktivitas pikir bersifat lebih sederhana dibandingkan dengan memikirkan. Mengingat pacar tentu berbeda dengan memikirkan pacar!



3.



Kita dapat mengingat sesuatu dengan tanpa memahaminya. Salah satu kelebihan manusia adalah kemampuan manusia dalam merekam apapun yang didengar, dilihat dan dirasakannya apalagi pada saat proses perekaman tersebut terdapat kesan yang memperkuat, meski kadang apa yang kita dengar, kita lihat dan kita rasakan itu tidak pernah kita mengerti. Misalnya ketika anak TK diwajibkan menghapalkan satu persatu butir-butir Pancasila, mereka mampu menghapalnya dengan fasih meski kadang tidak tahu artinya. Seperti mimpi, kita merasakan



apa yang terjadi dalam mimpi seolah-olah nyata meski kadang kita sendiri tiak pernah dapat memahaminya. 4.



Berpikir dilakukan dalam dua bentuk: kata dan gambar. Kata maupun gambar adalah simbol-simbol yang mendorong otak manusia untuk mengingat dan menyelami maknanya dalam kegiatan berpikir. Kata merupakan simbol dari apa yang kita dengar dan kita baca, sedangkan gambar merepresentasikan dari apa yang kita lihat dan kita bayangkan.



5.



Ada tiga jenis utama intelijen dan kemampuan berpikir: analitis, kreatif dan praktis. Berpikir analisis disebut juga berpikir kritis. Ciri khusus berpikir analisis adalah melibatkan proses berpikir logis dan penalaran termasuk keterampilan seperti perbandingan, klasifikasi, pengurutan, penyebab/efek, pola, anyaman, analogi, penalaran deduktif dan induktif, peramalan, perencanaan, hyphothesizing, dan critiquing. Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang melibatkan menciptakan sesuatu yang baru atau asli. Ini melibatkan keterampilan fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, brainstorming, modifikasi, citra, pemikiran asosiatif, atribut daftar, berpikir metaforis, membuat hubungan. Tujuan dari berpikir kreatif adalah merangsang rasa ingin tahu dan menampakkan perbedaan. Inti dari berpikir praktis, sebagaimana dikemukakan Edward De Bono adalah bagaimana pikiran itu bekerja, bukan bagaimana seorang filosof berpikir bahwa sesuatu itu dapat bekerja.



6.



Ketiga kecerdasan dan cara berpikir (analitic, kreatif dan praktis) berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya kita terpaku terhadap salah satu cara berpikir saja. Dalam kondisi dan keadaan tertentu, kita lebih banyak menggunakan cara berpikir analitis ketimbang lainnya. Dalam kondisi lainnya berpikir kreatif lebih dituntur oleh kita, sedangkan dalam kondisi tertentu pula kita lebih memilih untuk berpikir secara praktis.



7.



Kita dapat meningkatkan kemampuan berpikir dengan cara memahami proses-proses yang melibatkan kegiatan berpikir. Dengan



membiasakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang membutuhkan aktivitas berpikir, otak kita akan terdidik dan terbiasa untuk berpikir. Dengan



kebiasaan



ini,



maka



akan



menghasilkan



peningkatan



kemampuan kita dalam berpikir. Orang yang lebih cenderung menggunakan otot ketimbang otak, tentu peningkatan kemampuan berpikirnya akan lambat disbanding mereka yang kehidupan sehariharinya selalu membutuhkan proses berpikir. 8.



Berpikir metakognisi merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi. Metakognisi didefinisikan “cognition about cognition” atau “knowing about knowing”. Dalam kata lain, meta cognition dapat diartikan “learning about learning” (belajar tentang belajar). Metakognisi dapat terdiri dari banyak bentuk, tetapi juga mencakup pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakan strategi-strategi khusus untuk belajar atau untuk pemecahan masalah. Selain metakognisi terdapat istilah lain yang hamper sama, yaitu metamemory yang didefinisikan sebagai “knowing about memory” dan “memoric strategy”, ia merupakan bentuk penting dari metakognisi. Menurut Krulik dan Rudnick (1999), di dalam artikel Idris Harta



(2010), untuk mengembangkan berpikir kritis dan kreatif, diperlukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif siswa dalam bentuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inovatif, yaitu: Adakah Cara lain? (What’s another way?), Bagaimana jika? (What if?), Manakah yang salah? (What’s wrong?), dan Apakah yang akan dilakukan (What would you do?). 1.



Adakah Cara lain? Contoh soal: Pada sebuah kandang ada 30 ekor kambing dan ayam. Jika 8 kambing dan 22 ayam jumlah kakinya ada 76, maka berapakah jumlah kambing dan jumlah ayam pada kandang tersebut? Jawaban 1: misal: jumlah kaki kambing=x jumlah kaki ayam=y



x+y=30 4x+2y=76 Dengan berbagai cara akan diperoleh jumlah kambing adalah 8 ekor, dan jumlah ayam adalah 22 ekor. Selanjutnya ajukan pertanyaan kemungkinan cara lain untuk mendapatkan jawaban yang sama. 2.



Bagaimana jika? Contoh soal: Budi mengambil lima kartu bilangan bernilai 18, 20, 7, 9, dan 15. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan tersebut? Dengan proses penjumlahan sederhana, diperoleh jawaban 70. Bagaimana jika Budi mengambil lima kartu dengan total nilai 70? kartu manakah yang diambilnya? Tentunya jawaban dari pertanyaan terakhir ini memiliki banyak jawaban, yang memerlukan analisa, bukan sekadar latihan penjumlahan.



3.



Manakah yang salah? Contoh Soal: Pak Muslim membeli sekeping tripleks seharga Rp 125.000. Karena dia minta tripleks tersebut dipotong menjadi 3 bagian yang sama, dia dikenakan biaya Rp 3500 sekali potong. Selanjutnya Pak Muslim harus membayar biaya pengecatan sebesar 30 % dari seluruh biaya setelah pemotongan. Toko memberikan tanda pembayaran sebagai berikut: 1 lembar tripleks = Rp 125000 Rp 125.000 3xpemotongan



= 3500



Rp 10.500 +



Subtotal



Rp 135.000



Pengecatan



Rp 40.650



Total Rp 176.150 Pak Musllim mengatakan biaya tersebut salah. Manakah yang salah? Jawaban siswa 1: Kesalahan terletak pada biaya pemotongan. Diperlukan hanya 2x pemotongan untuk mendapat 3 bagian yang sama.



Sehingga biaya pemotongan hanya Rp 7000. Total biaya kelebihan Rp 3500. Sehingga biaya total seharusnya 176.150-3500=172.650. Jawaban siswa 2: Siswa lain menunjuk kesalahan lainnya. Karena biaya pengecatan tergantung pada subtotal yang tergantung pada harga triplex dan ongkos pemotongan, maka biaya total akan lebih kecil daripada



Rp



menggunakan



172.650.



Dengan



keterampilan



kritis



demikian tetapi



siswa



tidak



hanya



juga



menggunakan



keterampilan kreatifnya. 4.



Apakah yang akan dilakukan? Pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis. Setelah menjawab pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan ini dapat didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa. Akan tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut. Penjelasan ini dapat dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi kesempatan pada siswa untuk berlatih keterampilan komunikasinya.



BAB III PENUTUP A. Simpulan Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, munculnya pendekatan open-ended berawal dari pandangan bagaimana menilai kemampuan siswa secara objektif kemampuan berfikir tingkat tinggi matematika. Seperti diketahui bahwa dalam pembelajaran matematika, rangkaian pengetahuan, ketrampilan, konsep-konsep, prinsip-prinsip atau aturan-aturan biasanya diberikan kepada siswa dalam langkah sistematis. Tentu saja rangkaian tersebut tidak diajarkan secara langsung terpisah-pisah atau masing-masing, namun harus disadari sebagai rangkaian yang terintegrasi dengan kemampuan dan sikap setiap siswa. Dengan demikian akan terbentuk suatu keteraturan atau pengorganisasian intelektual yang optimal. Untuk mengetsahui kemampuan tingkat tinggi matematika siswa, kita harus menelaah bagaimana siswa menggunakan segala sesuatu yang telah dipelajari, dapat digunakan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Dangan kata lain, kreatifitas dan pola pikir matematis siswa akan muncul secara simultan. Namun alam tes tertulis, biasanya guru menggunakan close-problem, hal tersebut tidak akan muncul. Karena siswa cenderung hanya menggunakan sebagian kecil dari pola pikir matematikanya. Akibatnya, muncul suatu pertanyaan, dapatkah tes tertulis dalam bentuk soal rutin tersebut mempunyai probabilitas tinggi untuk dapat mengukur secara objektif kemampuan tingkat tinggi anak ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : 1.



Apa contoh perilaku siswa yang dapat dipertimbangkan untuk mengukur kemampuan tingkat tinggi siswa secara objektif ? Walaupun



ini sukar untuk dievaluasi secara langsung bagaimana kemampuan tingkat tinggi selama proses belajar mengajar, muncul pertanyaan, perilaku apa yang dapat diukur dari mereka ? atau pola perilaku apa yang siswa tunjukkan? 2.



Bagaimana mengkaji perilaku siswa sehingga dipandang dapat mengukur kemampuan tingkat tinggi? Dengan kata lain, dapatkah kita harapkan bahwa siswa yang mempunyai penampilan yang baik pada tes rutin juga mencerminkan atau menggambarkan perilaku yang dimaksud? dan apakah peningkatan yang telah diukur dengan tes rutin disertai juga dengan peningkatan perilaku yang dikehendaki?



3.



Serangkaian



pengetahuan,



ketrampilan



dan



cara-cara



berfikir



merupakan komponen-komponen yang penting dari berfikir tingkat tingi, tetapi dapatkah komponen-komponen ini dikembangkan lebih lanjut dengan menambah pengajaran ? Karena kita mengetahui bahwa telah mempunyai kriteria yang tidak objektif pola perilaku siswa yang ditunjukkan melalui tes rutin, maka haruslah disusun situasi masalah yang dapat mematematikakan aktivitasi siswa. Dengan kata lain, dalam melakukan analisis masalah, siswa akan berjalan pada aspek penting, yakni dari masalah ke dalam cara-cara berfikir mereka



dengan



memobilisasi



kemampuan



matematika



yang



telah



dipelajarinya. Untuk menjawab pertanyaan kedua di atas, diperlukan suatu pandangan bagaimana menyiapkan situasi permasalahan sedemikian hingga dapat memobilisasi kemampuan matematika siswa. Hal inilah yang diadopsi sebagai Open-ended problems. Alasannya adalah ketika siswa menganalisis masalah yang menghasilkan solusi tunggal, ada dua kemungkin yang terjadi, yaitu: 1.



Situasi yang serta merta; karena siswa telah mempelajarinya.



2.



kecil kemungkinan mendapatkan cara berfikir yang disukai mereka. Sedangkan untuk pertanyaan ketiga, ditemukan bahwa ada kesukaran



dalam mendesain pembelajaran seperti itu. Akan tetapi, kesimpulan yang



diperoleh dari hasilo penelitiannya adalah kemampuan berfikir tingkat tinggi akan muncul melalui proses pembelajaran open-ended. B. Saran Kami menyadari bahwa dalam



penulisan makalah ini terdapat



kekurangan. Oleh karena itu, kami menyarankan pembaca dapat memberi kritik ataupun saran yang membangun, agar kami dapat memperbaiki dimana letak kesalahan dan kekurangan dalam menyusun makalah, demi tercapainya kesempurnaan penyusuna makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA Sumber : Erman



Suherman,



Kontemporer.



dkk.(2001).



Strategi



Pembelajaran



Matematika



Bandung:JICA.UPI.



Maitree Inprasitha. Center for Research in Mathematics Education. Faculty of Education, Khon Kaen University, 40002, Thailand Nohda, N. (2000). A Study of “Open-Approach” Method in School Mathematics Teaching. Paper presented at the 10th ICME, Makuhari, Japan. Sawada, Toshio. 2007. Developing Lesson Plans. In Becker, Jerry P. and Shimada, Shigeru (editor). The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Seventh printing (page 23). The National Council of Theachers of Mathematics, Inc., Reston, Virginia.