Peledakan Dan Pemboran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III DASAR TEORI 3.1 Pemboran Pemboran merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum peledakan dilakukan. Pemboran dimaksudkan untuk membuat lubang bor yang nantinya akan diisi dengan bahan peledak. Kegiatan ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya peledakan untuk memberai material yang keras yang ada di tambang. Pemboran erat kaitannya dengan peledakan, sehingga dalam kegiatan pemboran harus memperhitungkan juga pola peledakan yang akan digunakan. Keberhasilan sebuah proses pemboran diukur dari kualitas lubang ledak yang dihasilkan, untuk itu diperlukan proses pemboran yang tepat dan efisien untuk menghasilkan pemboran yang optimal. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemboran lapisan overburden adalah: 1) Kondisi lapangan Metode tambang terbuka (surface mining) memungkinkan untuk digunakan alat bor yang berukuran besar karena pengoperasiannya mudah, dibandingkan dengan metode tambang bawah tanah (underground mining). 2) Jenis batuan yang akan dibor Jenis batuan ini akan menentukan pemilihan alat bor yang akan dipakai. Pada batuan keras lebih baik jika menggunakan alat bor yang menggabungkan gaya tumbukan (percussive) dengan gaya putar (rotary). Alat bor dengan prinsip rotary cutting baik digunakan pada batuan yang relatif lebih lunak. 3) Peraturan atau undang-undang yang berlaku Pemboran untuk peledakan harus disesuaikan dengan peraturan peledakan yang ada, sehingga hasil pemboran menjadi optimal untuk peledakan serta sesuai dengan aturanaturan yang berlaku seperti kedalaman lubang bor yang menentukan jumlah bahan peledak yang dipakai. Jumlah penggunaan bahan peledak dibatasi oleh peraturanperaturan. 4) Fragmentasi yang diharapkan Ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan menentukan produktivitas dari proses selanjutnya, sehingga proses pemboran yang optimal dan sesuai dengan peledakan harus dipenuhi untuk mencapai laju produksi yang direncanakan. 3.1.1. Pola Pemboran (Drill Pattern)



Pola pemboran adalah suatu susunan letak lubang ledak dimana pengaturannya disesuaikan dengan ukuran burden dan spacing dari geometri peledakan yang sudah direncanakan. Beberapa macam pola pemboran yang biasa diterapkan pada suatu tambang terbuka, yaitu: 1) Pola pemboran paralel Pola pemboran paralel ini dibagi menjadi dua jenis (Gambar 3.1), yaitu: a. Pola bujur sangkar (Square Pattern), yaitu jarak antara burden dan spacing sama. b. Pola persegi panjang (Rectangular Pattern), jarak spacing dalam satu baris lebih besar daripada jarak burden.



Gambar 3.1 Pola Pemboran Paralel



2) Pola pemboran selang-seling (Staggered Pattern) Bentuk pola pemboran staggered adalah letak baris pertama dan baris kedua tidak sejajar, akan tetapi selang-seling dan baris ketiga sejajar dengan baris pertama. Pola pemboran ini paling sering digunakan karena penyebaran energinya yang merata dan optial sehingga diharapkan dapat menghasilkan fragmentasi ukurannya lebih seragam (Gambar 3.2).



Gambar 3.2 Pola Pemboran Staggered Pola pengeboran sejajar merupakan pola yang lebih mudah diterapkan di lapangan tetapi perolehan fragmentasi batuannya kurang seragam. Sedangkan pola pengeboran selang-seling lebih sulit penanganannya di lapangan namun fragmentasi batuannya lebih baik dan seragam. Hal ini disebabkan karena distribusi energi peledakan yang dihasilkan lebih optimal bekerja di dalam batuan (Gambar 3.3).



Gambar 3.3 Perbandingan distribusi energi peledakan



3.1.2. Arah Pemboran (Drill Direction) Secara umum arah lubang ledak yang paling umum dipakai pada tambang terbuka adalah arah vertikal dan miring (Gambar 3.4). Penggunaan arah pemboran miring memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan arah pemboran tegak, antara lain: 1) Hasil tumpukan (muck pile shape) yang tidak terlalu tinggi, sehingga memudahkan proses penanganan berikutnya. 2) Mengurangi resiko timbulnya tonjolan pada lantai (toe) dan back break. 3) Menghasilkan jenjang yang lebih stabil.



4) Mengurangi terjadinya boulder.



Gambar 3.4 Arah Pemboran Pada saat peledakan, posisi lubang ledak miring akan membantu meningkatkan efisiensi reflektifitas gelombang kejut (shock wave) pada dasar lubang ledak, sehingga energi peledakan akan termanfaatkan seluruhnya untuk memecahkan batuan. Dengan menggunakan pemboran tegak, pada bagian atas jenjang akan kurang bagus karena terjadi back break. Pada lantai dasar juga dihasilkan fragmentasi yang jelek akibat pengaruh tidak tersalurnya daya ledak secara penuh. Namun penggunaan lubang ledak dengan arah miring juga menimbulkan beberapa masalah, yaitu: 1) Waktu pemboran lebih lama dibandingkan dengan pemboran vertikal. 2) Kesulitan dalam melakukan pemboran secara tepat khususnya apabila membor lebih dalam akibat adanya perubahan arah pemboran (alignment error). Dengan adanya perubahan arah ini akan memberikan pengaruh terhadap biaya pemboran dan peledakan yang cenderung akan tinggi. Akibat yang lain adalah jarak spacing atau burden akan berubah dari desain yang direncanakan. 3) Diperlukan pengawasan yang ketat agar kemiringan antar lubang sama. 4) Memerlukan operator dengan pengalaman khusus. Keuntungan pemboran lubang ledak dengan arah vertikal (tegak), yaitu:



1) Waktu pemboran lebih cepat, karena kedalaman lubang bor cenderung lebih pendek jika dibandingkan dengan arah pemboran miring untuk ketinggian jenjang yang sama. 2) Penempatan alat bor cenderung lebih mudah, sehingga dapat mempercepat waktu pemboran. 3) Pelemparan batuan (flyrock) lebih dekat. Penggunaan arah lubang ledak vertikal (tegak) juga memiliki kekurangan, yaitu: 1) Menghasilkan lebih banyak boulder jika dibandingkan dengan pola miring karena penyebaran energi yang tidak merata. 2) Menimbulkan tonjolan pada lantai jenjang, hal ini diakibatkan oleh gelombang tekan terlalu kuat pada lantai jenjang, juga karena energi yang dipantulkan sebagian menuju bidang bebas dan sebagian lagi menuju bawah lantai jenjang. 3) Lereng kurang stabil terhadap getaran, perlu analisis kestabilan lereng. 3.1.3. Produktivitas Pemboran Produktivitas alat bor sangat mempengaruhi besar kecilnya lapisan tanah penutup yang akan dibongkar dalam suatu tambang. Produktivitas alat bor ditentukan dengan menghitung kecepatan pemboran, efisiensi kerja alat dan volume setara. 1. Kecepatan Pemboran Kecepatan pemboran adalah kecepatan rata-rata pemboran termasuk adanya suatu hambatan yang terjadi selama dilakukannya pemboran. Dalam menentukan kecepatan pemboran harus diketahui waktu edar (cycle time) pemboran, yaitu waktu yang diperlukan untuk membuat sebuah lubang ledak dari permukaan sampai dengan kedalaman tertentu. Waktu edar pemboran dapat dihitung dengan cara menjumlahkan setiap bagian waktu dari setiap tahapan dalam pemboran lubang ledak, yaitu: Ct = Pt + Bt + St + Lt + Tt + Ht Dimana: Ct



= Waktu edar pemboran (mnt)



Pt



= Waktu mengambil posisi (mnt)



Bt



= Waktu bor dari permukaan sampai kedalaman tertentu (mnt)



St



= Waktu untuk menambah batang bor (mnt)



Lt



= Waktu untuk mengangkat dan melepas batang bor (mnt)



Ht



= Waktu untuk mengatasi hambatan (mnt)



Kecepatan pemboran untuk berbagai kedalaman lubang ledak dapat dihitung dengan persamaan berikut: Vt=H ×



60 Ct



Dimana: Vt



= Kecepatan pemboran nyata pada kedalaman tertentu (m/mnt)



H



= Kedalaman lubang ledak (m)



Ct



= Waktu edar pemboran (mnt)



Dalam pembuatan lubang ledak terdapat beberapa hambatan, yaitu: a.



Hambatan tak terduga seperti terjepitnya batang bor, kerusakan pada alat bor, kompresor



b.



atau kerusakan pada sambungan selang udara. Hambatan yang bisa dihindari seperti lokasi pemboran yang belum dipersiapkan serta pengisian pelumas dan solar pada mesin bor atau kompresor dengan waktu yang sudah teratur. Cepat atau lambatnya laju pemboran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:



a.



Faktor yang berhubungan dengan alat bor dan pemberian tekanan udara dari kompresor, yaitu: 1) Tekanan udara yang diberikan 2) Konsumsi udara yang diberikan 3) Berat alat bor, dimana alat bor yang mempunyai konstruksi lebih berat akan memberikan kecepatan pemboran yang lebih besar jika dibandingkan dengan alat bor yang mempunyai konstrusi ringan. 4) Berkurangnya efisiensi alat bor, misalkan karena umur alat sudah tua (depresiasi) atau berkurangnya ketajaman mata bor (bit).



b.



Faktor yang berhubungan dengan lubang ledak, yaitu: 1) Kemiringan lubang ledak. 2) Ukuran dan diameter lubang ledak.



3) Kedalaman lubang ledak. c.



Faktor yang berhubungan dengan struktur batuan, yaitu: 1) Adanya rekahan pada batuan. 2) Kemiringan dari struktur batuan. 3) Kemampuan batuan untuk menggerus mata bor akibat adanya suatu kecepatan penembusan sehingga mata bor semakin tumpul. 4) Mudah tidaknya batuan untuk ditembus alat bor. d.



Faktor yang berhubungan dengan operasi kerja, yaitu: 1) Ketinggian lokasi kerja 2) Keterampilan operator dalam mengoperasikan alat bor. 3) Penempatan alat bor. 2. Volume Setara Volume setara merupakan angka yang menyatakan setiap satuan panjang kedalaman lubang ledak setara dengan sejumlah volume batuan atau berat batuan yang diledakkan. Volume setara mempunyai kegunaan untuk memperkirakan kemampuan alat bor yang digunakan untuk membuat lubang ledak. Harga volume setara sangat tergantung pada pola peledakan yang dipakai. Dalam penentuan volume setara dapat digunakan persamaan berikut: W Veq= × H n Dimana : Veq



= Volume setara (m3/m atau ton/m)



W



= Volume batuan yang diledakkan (m3)



n



= Jumlah lubang ledak



H



= Kedalaman lubang ledak (m)



Dalam menghitung volume batuan yang diledakkan (W) dapat digunakan persamaan berikut: W= A× L Dimana: A



= Luas daerah yang diledakkan (m2)



L



= Tinggi jenjang (m)



Harga volume setara sangat tergantung pada ukuran burden, spacing dan pola peledakan yang dipakai serta metode peledakannya.



3. Efisiensi Pemboran Efisiensi pemboran merupakan perbandingan antara kedalaman lubang ledak yang dapat dicapai secara nyata dalam waktu kerja yang tersedia terhadap kedalaman lubang ledak yang seharusnya dapat diperoleh dalam waktu kerja yang dinyatakan dalam persen. Untuk menghitung efisiensi pemboran dapat menggunakan persamaan berikut: ℘ E= ×100 Wt Dimana: E



= Efisiensi pemboran (%)



Wp



= Waktu produktif



Wt



= Waktu tersedia



4. Kemampuan Produksi Alat Bor Selain menghitung efisiensi pemboran, kemampuan produksi alat bor juga harus dihitung sehingga perencanaan tambang dapat berjalan dengan baik. Penentuan kemampuan produksi suatu alat bor dapat diketahui melalui parameter efisiensi alat bor, kecepatan pemboran, dan volume setara. Kemampuan produksi alat bor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: P=Vt ×Veq × E ×60



Dimana: P



= Produksi alat bor (m3/mnt)



Vt



= Kecepatan pemboran (m/mnt)



Veq



= Volume setara (ton/m atau m3/m)



E



= Efisiensi alat bor (%)



3.2 Peledakan Peledakan merupakan proses yang bertujuan untuk memecah material (batuan) yang keras dengan menggunakan bahan peledak agar dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Keberhasilan suatu peledakan sangat ditentukan oleh karakteristik batuan yang diledakkan dan jenis bahan peledak yang digunakan serta metode peledakan yang diterapkan sesuai dari tujuan peledakan tersebut. Proses peledakan biasanya diawali dengan pembuatan lubang ledak dan pengisian bahan peledak yang sesuai dengan geometri peledakan yang telah direncanakan. 3.2.1. Proses Kegiatan Peledakan Jenis bahan peledak yang digunakan dalam proses peledakan ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi batuan di lokasi peledakan, serta keadaan



lingkungan lokasi



peledakan seperti: 1) Keterdapatan air di dalam lubang ledak. 2) Perbedaan kekuatan lapisan batuan. 3) Adanya unsur kimia yang reaktif terhadap bahan peledak di dalam lubang ledak atau adanya temperatur yang diperkirakan dapat memicu bahan peledak. 4) Jarak aman lemparan fragmentasi hasil peledakan. Selain jenis bahan peledak, jumlah bahan peledak yang akan digunakan juga harus diperhitungkan agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan energi ledak yang berdampak buruk terhadap hasil peledakan. Adapun jenis pekerjaan persiapan peledakan meliputi: 1) Peramuan amonium nitrat dengan fuel oil (solar). 2) Penyambungan leg wire detonator listrik apabila diperlukan di lokasi tersendiri. 3) Pembuatan primer sesuai dengan metode yang akan digunakan dan dilakukan dekat dengan lubang ledak. 4) Pengisian (charging) bahan peledak ke dalam lubang ledak. 5) Penutupan lubang ledak dengan stemming dan perangkaian peledakan.



Merujuk pada jenis pekerjaan persiapan peledakan tersebut, maka helper peledakan harus pula dibekali pengetahuan tentang peledakan pada pertambangan bahan galian. Dengan demikan setiap helper peledakan harus mempunyai sertifikat juru ledak atau Kartu Izin Meledakan (KIM).



Gambar 3.5 Contoh Kartu Izin Meledakan (KIM) Setelah jumlah bahan peledak utama ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan jenis dan jumlah perlengkapan serta peralatan yang akan digunakan. 1. Perlengkapan Peledakan a. Detonator listrik atau Nonel dengan waktu tunda tertentu dan jumlahnya disesuaikan dengan jumlah lubang ledak. b. Primer yang terbuat dari “Dodol (catridge)” dan jumlahnya sesuai perhitungan, biasanya antara 1% sampai 10% berat bahan peledak utama per lubang. Primer dapat pula terbuat dari satu buah Booster yang beratnya 250 gram sampai 400 gram dan pemilihannya disesuaikan dengan jenis bahan peledak utama serta batuan yang akan diledakkan. c. Kabel penghubung antar lubang (connecting wire) yang panjangnya diukur sesuai spasi, burden, dan jumlah lubang yang akan diledakkan. 2. Peralatan Peledakan a. Pemicu ledak (blasting machine) listrik yang kapasitasnya sesuai dengan detonator yang akan diledakkan. b. Blast Omh Meter (BOM) untuk mengukur tahanan kabel listrik peledakan. c. Pencampur ammonium nitrat dengan solar bila menggunakan bahan peledak ANFO yaitun Mobile Mixing Unit (MMU), dan bila menggunakan emulsi diperlukan Mobile Manufacturing Unit (MMU). d. Kabel utama (Lead wire) dengan minimum panjang 500m berfungsi sebagai penghubung kabel pada rangkaian peledakan dengan pemicu ledak. e. Kayu atau bambu yang cukup kuat untuk menekan bahan peledak dalam lubang



atau memampatkan material stemming. 3.2.2. Proses Pecahnya Batuan Akibat Peledakan Konsep yang di pakai di sini adalah proses pemecahan dan reaksi-reaksi mekanik dalam batuan homogen. Perlu ditekankan bahwa sifat mekanis dalam batuan yang homogen akan berbeda dengan sifat mekanis batuan yang mempunyai rekahan dan heterogen seperti yang sering di jumpai dalam pekerjaan peledakan. Proses pemecahan batuan akibat peledakan di bagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: 1) Proses pemecahan tingkat I (Dynamic Loading ) Pada saat bahan peledak meledak, terdapat tekanan sangat tinggi sehingga menghancurkan batuan di daerah sekitar lubang ledak. Gelombang kejut (shock wave) yang meningalkan lubang ledak merambat dengan kecepatan 3000–5000 m/det, akan mengakibatkan tegangan tangensial yang menimbulkan rekahan yang menjalar (radial crack) dari daerah lubang ledak. Rekah pertama menjalar terjadi dalam waktu 1- 2 ms.



Gambar 3.6. Pemecahan tingkat I 2) Proses pemecahan tingkat II (Quasi-static Loading) Tekanan sehubungan dengan gelombang kejut yang meningkatkan lubang ledak pada proses pemecahan tingkat I adalah positif. Apabila mencapai bidang bebas akan di pantulkan, tekanan akan turun dengan cepat, kemudian berubah menjadi negatif dan timbul gelombang tarik. Gelombang tarik (tensile wave) ini merambat kembali di dalam batuan. Oleh karena batuan lebih kecil ketahanannya terhadap tarikan dari pada tekanan, maka akan terjadi rekahan-rekahan primer (primary failure cracks) disebabkan karena tegangan tarik (tensile stress) dari gelombang yang dipantulkan. Apabila tegangan tarik cukup kuat akan menyebabkan slambing atau spalling pada



bidang bebas. Dalam proses pemecahan tingkat I dan tingkat II fungsi dari gelombang kejut adalah menyiapkan batuan dengan sejumlah rekahan-rekahan kecil. Secara teoritis energi gelombang kejut jumlahnya antara 5 – 15% dari energi total bahan peledak. Jadi gelombang kejut menyediakan kesiapan dasar untuk proses pemecahan tingkat akhir.



Gambar 3.7 Pemecahan tingkat II 3) Proses pemecahan tingkat III (Release of Loading) Dibawah pengaruh tekanan sangat tinggi dari gas - gas hasil peledakan maka rekahan radial utama (tahap II) akan diperbesar secara cepat oleh efek kombinasi dari tegangan tarik (tensile stress) yang disebabkan kompresi radial dan pembajian. Apabila massa batuan di depan lubang ledak gagal mempertahankan posisinya dan bergerak ke depan maka tegangan tekan (compressive stress) tinggi yang berada dalam batuan akan dilepaskan, seperti spiral kawat yang ditekan kemudian dilepaskan (Gambar 3.8). Akibat pelepasan tegangan tekan ini akan menimbulkan tegangan tarik yang besar di dalam massa batuan. Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan batuan yang sudah dimulai pada tahap II. Rekahan yang terjadi dalam proses pemecahan tahap II merupakan bidang - bidang lemah yang membantu menghasilkan fragmentasi utama pada proses



peledakan. Gambar 3.8 Pemecahan tingkat III



3.2.3. Karakteristik Massa Batuan Batuan adalah material yang sifatnya sangat bervariasi. Kekuatan tarik, tekan, dan geseknya berbeda - beda untuk bermacam jenis batuan. Batuan akan pecah apabila kekuatannya dilampaui. Karakteristik penting yang mempengaruhi kemampuboran dan kemampugalian suatu massa batuan pada dasarnya dikelompokkan atas dua kategori, yaitu batuan utuh dan massa batuan. 1. Sifat - sifat Batuan Utuh a. Sifat Fisik Batuan Beberapa sifat fisik batuan yang berpengaruh terhadap peledakan antara lain bobot isi, porositas, dan kandungan air. Sifat yang paling berpengaruh adalah sifat bobot isi dari batuan tersebut. Semakin kecil bobot isi suatu batuan maka semakin mudah batuan tersebut untuk diledakkan dan relatif memerlukan energi peledakan yang kecil. Banyaknya jumlah pori dalam suatu batuan disebut dengan porositas. Batuan dengan porositas tinggi akan meningkatkan jumlah retakan batuan dan mengurangi tekanan gas dalam retakan itu. Contohnya pada batuan yang berkekar, energi yang ditimbulkan oleh bahan peledak akan tidak optimal karena energi tersebut akan menghilang melalui retakan tersebut. Air yang terdapat di dalam rongga batuan akan menyerap energi yang digunakan untuk menghancurkan batuan sehingga energinya akan berkurang. b. Sifat Mekanik Batuan Salah satu sifat mekanik batuan yang mempengaruhi proses peledakan adalah Uniaxial Compressive Strength (UCS). UCS suatu batuan merupakan ukuran kemampuan batuan untuk menahan beban atau gaya yang bekerja pada arah



uniaksial. Klasifikasi kuat tekan uniaksial batuan utuh dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3.1) :



Tabel 3.1 Klasifikasi umum jenis penggalian massa batuan berdasarkan ucs Metode



UCS (MPa)



Alat



Free digging



1 – 10



Shovel, loader, BWE



Ripping



10 – 25



Ripper



Rock cutting



10 – 50



Rock cutter



Blasting



> 25



Pengeboran dan peledakan



Dari tabel tersebut terlihat bahwa batuan yang memerlukan proses pengeboran dan peledakan dalam pemberaian adalah batuan dengan UCS > 25 MPa. Kekerasan dapat dipakai dalam menyatakan besarnya tegangan yang diperlukan untuk menyebabkan kerusakan pada batuan. Tabel 3.2 menunjukkan derajat kekerasan sebagai fungsi dari skala Mohs dan kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive strength, Protodyakonov classification). Tabel 3.2 Hubungan antara ucs dengan kekerasan batuan Kekerasan



Mohs



UCS (MPa)



Very strong



>7



> 200



Strong



6-7



120 – 200



Moderately strong



4,5 - 6



60 – 120



Moderately weak



3 - 4,5



30 – 60



Weak



2-3



10 – 30



Very weak



1-2



< 10



2. Sifat - sifat Massa Batuan a. Rock Quality Designation (RQD) RQD merupakan parameter yang digunakan untuk menunjukkan kualitas massa batuan dengan menggunakan data yang diperoleh dari pengeboran inti. RQD dihitung dari persentase bor inti yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm ditunjukkan oleh persamaan berikut : RQD 



Σ Panjang potongan core  10cm  100% total panjang core run



RQD dapat dihitung secara tidak langsung melalui pengukuran orientasi dan jarak antar kekar pada singkapan batuan (scanline). Nilai RQD dapat ditentukan melalui persamaan Priest & Hudson (1976).



RQD  100 e -0,1 (0,1  1) Dengan λ adalah frekuensi bidang lemah per meter. Hubungan antara RQD dan frekuensi bidang lemah juga ditunjukkan oleh Hobbs (1975) sebagai berikut (Tabel 3.3) : Tabel 3.3 Hubungan antara rqd dengan frekuensi Bidang lemah per meter Deskripsi RQD (%) Frekuensi bidang lemah (m-1) Sangat buruk



0 – 25



> 15



Buruk



25 – 50



15 – 8



Sedang



50 – 75



8–5



Baik



75 – 90



5–1



Sangat baik



90 - 100



2000 mm), batuan dapat dikatakan memiliki perlapisan yang sangat tebal. Sedangkan bila jarak antar bidang lemah kecil (< 20 mm), maka batuan dapat dikatakan terdiri dari laminasi tipis (sedimentasi).



Deskripsi



Tabel 3.4 Klasifikasi Jarak Antar Bidang Lemah Struktur Bidang Lemah Jarak (mm)



Spasi sangat lebar



Perlapisan sangat tebal



> 2000



Spasi lebar



Perlapisan tebal



600 – 2000



Spasi moderat lebar



Perlapisan tebal



200 – 600



Spasi dekat



Perlapisan tipis



60 – 200



Spasi sangat dekat



Perlapisan sangat tipis



20 – 60



Laminasi tipis



< 20



Spasi ekstrim dekat



(Sedimentasi)



c. Orientasi Bidang Lemah (Joint Plane Orientation) Dalam kegiatan peledakan, orientasi bidang lemah utama pada massa batuan dapat mengakibatkan hal - hal berikut : 1. Untuk orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah kedalam pit, blok batuan pada crest berpotensi mengakibatkan ketidakmantapan lereng (Gambar 3.9a). 2. Orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah ke dalam massa batuan (Gambar 3.9b), kegiatan peledakan berpotensi meninggalkan toe yang



tidak hancur serta batuan menggantung pada crest. Batuan yang menggantung tersebut dapat membahayakan keselamatan pekerja tambang dan alat gali - muat. 3. Kedudukan bidang lemah utama yang sejajar dengan bidang bebas atau tegak lurus arah peledakan (Gambar 3.9c), akan menghasilkan lereng yang mantap setelah peledakan dan arah lemparan dapat terkontrol. 4. Dan untuk orientasi bidang lemah utama yang membentuk sudut terhadap bidang bebas (Gambar 3.9d), hasil pemberaian akan mengakibatkan muka jenjang berblok - blok dan hancuran yang berlebih.



Gambar 3.9 Pengaruh kekar pada kegiatan peledakan



3.2.4. Bahan Peledak Bahan peledak adalah suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk padat, cair, gas atau campurannya yang apabila dikenai suatu aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat yang hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara kimia lebih stabil. Tabel 3.6. Klasifikasi Bahan Peledak Menurut Anon (1997) Jenis Bahan



Reaksi



Contoh



Peledak Low Explosives



Deflagrate (terbakar)



Black Powder



High Explosives



Detonate (meledak)



Nitroglycerin, Dinamit



Blasting Agent



Detonate (meledak)



ANFO, Slurry



Karena pertimbangan keamanan, ekonomi, kemudahan penanganan dan sebagainya, maka saat ini diberbagai kegiatan pertambangan sering digunakan blasting agent jenis ANFO. ANFO merupakan singkatan dari Ammonium Nitrat Fuel Oil atau istilah sehari-hari ANFO adalah campuran urea dan solar. Sedangkan blasting agent adalah bahan peledak yang di buat dari campuran bahan-bahan yang sifat dasarnya bukan bahan peledak (seperti urea dan solar pada campuran ANFO). 1) Komposisi Kimia Bahan Peledak Dalam menentukan komposisi kimia dari bahan peledak, maka perlu diperhatikan Oxygen Balance atau neraca oksigen. Campuran bahan peledak sedapat mungkin mencapai Zero Oxygen Balance, yaitu kondisi dimana reaksi dari campuran menghasilkan energi yang maksimun dan panas (heat of explosion) yang setinggi mungkin. Artinya kondisi Zero Oxygen Balance dicapai jika reaksi berlangsung sempurna. Berikut salah satu reaksi kesetimbangan untuk ANFO:  94,5% AN + 5,5% FO 3 NH4NO3 + CH2 = 7H2O + CO2 + 3N2 + 930 Kcal/kg Perbandingan Amonium dan Fuel Oil (94,5 : 5,5) ini sering di jadikan pedoman dalam mencampur ANFO, karena memberikan energi terbesar dan tidak menghasilkan unsur beracun seperti gas CO dan NO. 2) Sifat Bahan Peledak Sifat-sifat bahan peledak yang mempengaruhi hasil peledakan yaitu: a. Kekuatan (Strength) Kekuatan suatu bahan peledak adalah ukuran yang dipergunakan untuk mengukur energi yang terkandung pada bahan peledak dan kerja yang dapat dilakukan oleh bahan peledak tersebut. Pada umumnya semakin besar bobot isi dan kecepatan detonasi suatu bahan peledak maka kekuatannya juga semakin besar.



b. Kecepatan Detonasi Kecepatan detonasi (Velocity of Detonation = VOD) adalah kecepatan gelombang detonasi yang melalui sepanjang kolom isian bahan peledak, yang dinyatakan dalam meter/detik. Hal ini tergantung pada beberapa faktor yaitu bobot isi bahan peledak, diameter bahan peledak, derajat pengurungan, ukuran partikel dari bahan penyusunnya dan bahan-bahan yang terkandung dalam bahan peledak. c. Kepekaan (Sensitivity) Kepekaan adalah ukuran besarnya impuls yang diperlukan oleh suatu bahan peledak untuk memulai beraksi dan menyebarkan reaksi peledakan ke seluruh isian. Kepekaan bahan peledak tergantung pada komposisi kimia, ukuran butir, bobot isi, pengaruh kandungan air, dan temperatur. d. Bobot Isi Bahan Peledak Bobot isi bahan peledak adalah perbandingan antara berat dan volume bahan peledak, dinyatakan dalam gr/cm3. Bobot isi biasanya juga dinyatakan dengan istilah Spesific Gravity (SG), Stick Count (SC), ataupun loading density (de). e. Tekanan Detonasi Tekanan detonasi adalah penyebaran tekanan gelombang ledakan dalam kolom isian bahan peledak, dinyatakan dengan kilobar (kb). Tekanan akibat ledakan di sekitar dinding lubang ledak intensitasnya tergantung pada jenis bahan peledak (kekuatan, bobot isi, VOD), derajat pengurungan, jumlah, dan temperatur gas hasil ledakan. f. Ketahanan Terhadap Air (Water Resistance) Ketahanan terhadap air suatu bahan peledak adalah kemampuan bahan peledak itu dalam menahan rembesan air dalam waktu tertentu tanpa merusak, mengurangi, merubah kepekaannya. Sifat ini sangat penting, sebab untuk sebagian besar jenis bahan peledak, adanya air dalam lubang ledak mengakibatkan ketidakseimbangan kimia dan memperlambat reaksi pemanasan. g. Sifat Gas Beracun (Fumes) Bahan peledak yang meledak menghasilkan dua kemungkinan jenis gas, yaitu smoke atau fumes. Smoke tidak berbahaya karena hanya mengandung uap air (H2O) dan asap berwarna putih (CO2). Sedangkan fumes bewarna kuning dan



berbahaya karena sifatnya beracun, yang terdiri dari karbon monoksida (CO) dan oksida nitrogen (NOx). Fumes terjadi karena tidak terjadi kesimbangan oksigen dalam pembakaran, hal ini dikarenakan bahan peledak tersebut dalam keadaan rusak. 3.2.5. Geometri Peledakan Geometri peledakan sangat berpengaruh dalam mengontrol hasil peledakan, karena jika geometri peledakannya baik akan menghasilkan fragmentasi batuan yang sesuai dengan ukuran alat gali-muat, tanpa terdapat adanya bongkah, kondisi jenjang yang lebih stabil, serta keamanan alat-alat mekanis dan keselamatan para pekerja yang bekerja lebih terjamin. Ada tujuh standar dasar geometri peledakan yaitu: burden, spacing, stemming, subdrilling, kedalaman lubang ledak, panjang kolom isian dan tinggi jenjang. Dan beberapa teori tentang geometri peledakan adalah dengan “Geometri Peledakan Rules of Thumb” (Dyno Nobel) dan “Geometri Peledakan R.L. Ash”. Dasar dari penggunaan Teori “Rules of Thumb” adalah dari percobaan para engineer di lapangan maupun dari produsen bahan peledak yang tujuannya untuk mempermudah dalam menentukan geometri peledakan karena penggunaan Teori “Rules of Thumb” dilapangan lebih sederhana saat akan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Adapun cara yang diterapkan untuk menentukan geometri peledakan dengan metode yang dikemukakan RL. Ash (gambar 3.10) adalah sebagai berikut: 1)



Burden (B) Burden merupakan jarak tegak lurus terpendek antara lubang tembak yang diisi bahan peledak dengan bidang bebas atau ke arah mana batuan hasil peledakan akan terlempar.



Gambar 3.10 Geometri Peledakan Jarak burden yang baik adalah jarak dimana energi ledakan bisa menekan batuan secara maksimal sehingga pecahnya batuan dapat sesuai dengan fragmentasi batuan yang direncanakan dengan mengupayakan sekecil mungkin terjadinya batu terbang, bongkah, dan retaknya batuan pada batas akhir jenjang (Gambar 3.11).



Gambar 3.11 Pengaruh Burden Terhadap Hasil Peledakan Batuan standard mempunyai bobot isi 160 lb/ft 3, bahan peledak standard memiliki berat jenis 1,2, kecepatan detonasi 12000 fps, dan Kb standard (burden ratio) yaitu 30. Jika batuan dan bahan peledak yang akan diledakkan tidak sama dengan ukuran



standard maka harga Kb standard itu harus dikoreksi menggunakan faktor penyesuaian (adjustment factor). B ( Burden ) =



Kb × De 12



Burden dihitung berdasarkan diameter lubang ledak dengan mempertimbangkan konstanta KB yang tergantung pada jenis atau grup batuan dan bahan peledak. Persamaan untuk menghitung KB, AF1, AF2:



AF 1=



AF 2=



√( 3



SG . Ve 2 S Gstd .Ve std



2



)



(√ DDstd ) 3



Kb=Kb . std × AF 1 × AF 2 Dimana: B



= Burden (ft)



Kb



= Burden ratio



De



= Diameter lubang tembak (inchi)



AF1



= Faktor yang disesuaikan untuk batuan yang akan diledakkan



SG



= Berat jenis bahan peledak yang dipakai (ANFO = 0,85)



SGstd



= Berat jenis bahan peledak standard (1,20)



Ve



= VOD bahan peledak yang dipakai (ANFO = 11.803 fps)



Vestd



= VOD bahan peledak standard (12.000 fps)



AF2



= Faktor yang disesuaikan untuk bahan peledak yang dipakai



D



= Bobot isi batuan yang diledakkan (lb/ft3)



Dstd



= Bobot isi batuan standard (160 lb/ft3)



Kbstd



= Burden ratio standard (30)



Tabel 3.7. Burden standar (KB.std) menurut R.L. Ash



Type of explosives



Soft



Low density (0,8 -0,9 g/cc) and low strength Medium density (1,0 – 1,2 g/cc) and medium strength High density (1,3 – 1,6 g/cc) and high strength



(< 2 t/m3) 30 35 40



2)



Rock Group Medium (2-2,5t/m3) 25 30 35



Hard (>2,5 t/m3) 20 25 30



Spasi (S) Spasi adalah jarak terdekat antara dua lubang tembak yang berdekatan di dalam satu baris (row) dan diukur sejajar terhadap pit wall. Apabila jarak spasi terlalu kecil akan menyebabkan batuan hancur menjadi halus, tetapi bila spasi lebih besar daripada ketentuan akan menyebabkan banyak terjadi bongkah (boulder) dan tonjolan (stump) diantara dua lubang ledak setelah diledakkan. S=Ks × B



Dimana: S



= Spasi (meter)



Ks



= Spacing ratio (1.00 – 2.00)



B



= Burden (meter)



Berdasarkan cara urutan peledakannya, pedoman penentuan spasi adalah sebagai berikut: a. b. c. d.



Peledakan serentak, S = 2B. Peledakan beruntun dengan delay interval lama (second delay) S = B. Peledakan dengan millisecond delay, S antara 1B hingga 2B. Peledakan terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, S antara 1.2B hingga



1.8B. e. Peledakan dengan pola equilateral dan beruntun tiap lubang ledak dalam baris yang sama, S = 1.15B 3)



Stemming (T) Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor, yang letaknya di atas kolom isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah supaya terjadi keseimbangan tekanan dalam lubang tembak dan mengurung gas-gas hasil ledakan sehingga dapat menekan batuan dengan energi yang maksimal. Panjang pendeknya serta padat atau



tidaknya stemming sangat mempengaruhi hasil dari peledakan, hal ini dilihat dari segi ground vibration, flying rock, air blast, dan hasil fragmentasi batuannya. a. Apabila stemming terlalu panjang, akan menyebabkan: 



Ground vibration tinggi. 



Flying rock kurang, artinya lemparan batuannya tidak banyak terjadi. 



Air blast (suara) yang dihasilkan tidak keras. 



Fragmentasi daerah hasil peledakan kurang bagus atau jelek.



b. Sedangkan apabila stemming terlalu pendek, maka: 



Kemungkinan terjadinya flying rock. 



Air blast (suara/noise) yang dihasilkan besar. 



Fragmentasi di daerah bawah hasil peledakan kurang bagus. 



Ground vibration rendah. Rumus yang digunakan adalah: T =Kt × B



Dimana:



4)



T



= stemming (meter)



Kt



= stemming ratio (0.75 – 1.00)



B



= burden (meter)



Sub Drilling (J) Subdrilling merupakan bagian dari panjang lubang tembak yang terletak lebih rendah dari lantai jenjang. Subdrilling diperlukan agar batuan dapat meledak secara keseluruhan dan terbongkar tepat pada batas lantai jenjang, sehingga tonjolantonjolan pada lantai jenjang (toe) dapat dihindari. Tujuan dari sub drilling adalah supaya batuan bisa meledak secara full face sebagaimana yang diharapkan, selain itu tujuan dibuatnya sub drilling agar tidak terjadi tonjolan pada lantai dasar bench. Rumusan yang digunakan adalah: J =Kj × B



Dimana:



5)



J



= Subdrilling (meter)



Kj



= Subdrilling ratio (0.2 – 0.3)



B



= Burden (meter)



Kedalaman Lubang Tembak (H) Kedalaman lubang ledak merupakan jumlah total antara tinggi jenjang dengan besarnya subdrilling. Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik, baik dari ketinggian bench, burden, maupun arah pemborannya. Rumus yang digunakan adalah: H=Kh × B Dimana:



6)



H



= Kedalaman lubang tembak (meter)



Kh



= Hole depth ratio (1.5 - 4.0)



B



= Burden (meter)



Panjang Kolom Isian (PC) Panjang kolom isian merupakan panjang kolom lubang tembak yang akan diisi bahan peledak. Panjang kolom ini merupakan kedalaman lubang tembak dikurangi panjang stemming yang digunakan. PC=H −T Dimana:



7)



PC



= Panjang kolom isian (meter)



H



= Kedalaman lubang tembak (meter)



T



= Stemming (meter)



Tinggi Jenjang (L) Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil peledakan seperti fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang, dan getaran tanah. Berdasarkan perbandingan ketinggian jenjang dengan jarak burden yang diterapkan (Stiffness



Ratio), maka akan diketahui hasil dari peledakan tersebut. Penentuan ukuran tinggi jenjang berdasarkan Stiffness Ratio digunakan rumus sebagai berikut: L=5 × De Dimana: L



= Tinggi jenjang minimum (ft)



De



= Diameter lubang tembak (inchi)



Sedangkan perhitungan geometri peledakan sesuai Teori “Rules of Thumb” adalah sebagai berikut: 1) Burden (B) Burden = (25 – 40) x Blast Hole Diameter 2) Spacing (S) Spasi = 1,15 x Burden 3) Blast Hole Diameter (De) Blast hole diameter ≤ 15 x Bench Height (m) 4) Sub Drilling (J) Sub drilling



= ( 3 – 15 ) x Blast hole diameter = ( 3 – 15 ) x 171,45 mm



5) Stemming (T) Untuk mencari stemming, dapat dihitung dengan dua cara, yaitu: a. Stemming ≥ 20 x Blast Hole diameter, b. Stemming ≥ (0,7 – 1,2) x Burden 6) Blast Hole Dept (H) Blast Hole Depth = Bench Height + Subdrilling 7) Bench Height (L) Bench Height ≥ Blast Hole Diameter / 15



Bench Height ≥ 171.45 mm / 15 Bench Height ≥ 11.43 mm 8) Charge Length (PC) Charge Length ≥ 20 x Blast Hole Diameter Charge Length ≥ 20 x 171.45 mm Charge Length ≥ 3429 mm Dalam penggunaanya baik teori RL. Ash maupun “Rules of Thumbs” sangat ditentukan oleh keterbatasan dan ketersediaan alat bor, yaitu ukuran bit yang mampu dibuat oleh alat bor tersebut. 3.2.6. Pola Peledakan Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang bor yang satu dengan yang lainnya, baik dalam satu baris/kolom ataupun berlainan. Pola peledakan ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan serta arah runtuhan material yang diharapkan. Agar peledakan berjalan dengan baik, maka perlu perencanaan yang teliti dalam menentukan pola peledakan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan pola peledakan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)



Kuat tekan batuan yang akan diledakkan. Fragmentasi hasil peledakan yang diinginkan. Bidang bebas yang ada serta arah jatuhnya batuan. Jenis bahan peledak yang akan digunakan. Jumlah baris yang didasarkan pada lebar daerah yang akan diledakkan sesuai untuk kebutuhan produksi.



Ada dua macam pola peledakan yang dibagi berdasarkan arah runtuhan batuan (hasil peledakan) dan waktu peledakan. Pola peledakan yang berdasarkan arah runtuhan batuan dibagi menjadi tiga pola (Gambar 3.12): 1) Box Cut, adalah pola peledakan yang dimulai dari bagian tengah suatu jenjang dan mempunyai dua bidang bebas. Arah runtuhan peledakan pola box cut adalah kedepan dan membentuk kotak. 2) V Cut, adalah pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan membentuk huruf ”V”.



3) Corner Cut, adalah pola peledakan yang dimulai dari sudut suatu jenjang dan mempunyai tiga bidang bebas. Dengan adanya tiga bidang bebas ini maka diharapkan proses peledakan berlangsung sempurna. Arah runtuhan peledakan pola corner cut adalah kesalah satu sudut dari bidang bebasnya. Berdasarkan urutan waktu peledakan, maka pola peledakan diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Pola peledakan serentak, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan secara serentak untuk semua lubang tembak. 2) Pola peledakan beruntun, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan dengan waktu tunda antara baris yang satu dengan baris lainnya.



Gambar 3.12 Pola Peledakan Berdasarkan Arah Runtuhan Setiap lubang ledak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang cukup kearah bidang bebas terdekat agar energi terkonsentrasi secara maksimal sehingga lubang tembak akan terdesak, mengembang, dan pecah. 3.2.7. Arah Peledakan Arah peledakan merupakan suatu penunjukan arah dimana terjadi pemindahan (displacement) batuan ataupun runtuhan batuan hasil peledakan yang kemudian membentuk tumpukan. Arah peledakan dipengaruhi oleh struktur batuan, posisi alat-alat dan jalan tambang serta posisi bangunan-bangunan maupun lingkungan sekitar. Dari segi kekar batuan, maka arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi batuan yang seragam digunakan arah



peledakannya menuju sudut tumpul perpotongan antara arah umum kedua kekar utama. Apabila arah peledakannya menuju sudut runcing, maka akan terjadi penerobosan energi peledakan melalui rekahan yang ada. Hal ini mengakibatkan pengurangan energi ledakan untuk menghancurkan batuan, sehingga terbentuk fragmentasi batuan yang tidak seragam dan cenderung menghasilkan banyak overbreak (Gambar 3.13). Sedangkan dari segi perlapisan batuan, untuk mendapatkan fragmentasi batuan yang baik, diterapkan arah lubang tembak yang berlawanan arah dengan bidang perlapisan batuan karena energi ledakan akan menekan batuan secara maksimal. Secara teoritis, bila lubang tembak arahnya berlawanan dengan arah pelapisan batuan, maka kemungkinan terjadinya backbreak akan lebih rendah, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi hasil peledakan akan lebih seragam dan akan membentuk tumpukan material (muckpile) yang lebih tinggi dengan lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedang jika arah lubang tembak searah dengan arah kemiringan bidang perlapisan, maka kemungkinan yang terjadi adalah timbul backbreak lebih besar, fragmentasi batuan tidak seragam dan tumpukan material hasil peledakan (muckpile) akan lebih rendah dengan terlemparnya batuan akan lebih jauh, serta kemungkinan terhadap terjadinya longsoran akan lebih besar, namun akan menghasilkan lantai jenjang yang lebih rata.



Gambar 3.13 Arah peledakan keluar sudut tumpul perpotongan kekar 3.2.8. Pengisian Bahan Peledak Jumlah pemakaian bahan peledak sangat mempengaruhi hasil peledakan, terutama tingkat fragmentasi yang dihasilkan. Hal yang berpengaruh dalam pengisian bahan peledak dalam lubang tembak yaitu:



1) Konsentrasi Isian (loading density) Konsentrasi isian merupakan jumlah isian bahan peledak yang digunakan dalam kolom isian (PC) lubang tembak. Untuk menghitung lubang tembak maka harus ditentukan dulu jumlah isian bahan peledak tiap meter panjang kolom isian (loading density). Untuk menghitung loading density dapat digunakan rumusan sebagai berikut: de=0.508 De 2 ( SG ) Dimana: de = loading density (kg/m) De = diameter lubang tembak (inchi) SG = specific gravity bahan peledak yang digunakan Sehingga jumlah bahan peledak yang digunakan dalam satu lubang tembak dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut: E=de × PC



Dimana: E = jumlah bahan peledak tiap lubang ledak (kg) de = loading density dari handak yang digunakan (kg/m) PC = panjang kolom isian (m) 2) Powder Factor (Pf) Powder factor atau specific charge merupakan perbandingan antara jumlah bahan peledak yang digunakan terhadap jumlah batuan yang diledakkan. E Pf = V Dimana: Pf = powder factor (kg / ton) V = berat batuan yang diledakkan (ton) E = berat bahan peledak yang digunakan (kg) Dalam menentukan powder factor ada 2 macam satuan yang dapat digunakan, yaitu: a.



Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan (kg/m3).



b. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan (kg/ton). Nilai powder factor dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, struktur geologi, dan karakteristik massa batuan itu sendiri. Pada tabel 3.3 dapat



diketahui hubungan antar densitas batuan dengan nilai powder factor, dan pada tabel 3.4 diketahui hubungan powder factor dengan beberapa jenis batuan. Bila pengisian bahan peledak terlalu banyak akan mengakibatkan jarak stemming menjadi kecil sehingga menyebabkan terjadinya batuan terbang (flyrock) dan ledakan tekanan udara (airblast). Sedangkan bila pengisian terlalu kecil maka jarak stemming menjadi besar sehingga menimbulkan bongkah dan backbreak di sekitar dinding jenjang. Tabel 3.8 Hubungan Nilai Powder Factor dengan Tipe Batuan Types Of Rock



Powder Factor (kg / m3)



Massive high strength rocks



0,60 – 1,50



Medium strength rocks



0,30 – 0,60



Highly fissured rocks, weathered or soft



0,10 – 0,30



Tabel 3.9 Hubungan Nilai Powder Factor dengan Densitas Batuan. Powder Factor 3



Class Limit (kg/m )



3



Average Value (kg/m )



Rock Density (ton/m3)



0.12 – 0.18



0.150



1.40 – 1.80



0.18 – 0.27



0.225



1.75 – 2.35



0.27 – 0.38



0.320



2.25 – 2.55



0.38 – 0.52



0.450



2.50 – 2.80



0.52 – 0.68



0.600



2.75 – 2.90



0.68 – 0.88



0.780



2.85 – 3.00



0.88 – 1.10



0.990



2.95 – 3.20



1.10 – 1.37



1.235



3.15 – 3.40



1.37 – 1.68



1.525



3.35 – 3.60



1.68 – 2.03



1.855



>3.35



3.2.9. Waktu Tunda Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan untuk peledakan antara baris yang depan dengan baris di belakangnya dengan menggunakan delay detonator. Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda ialah: a. b. c. d. e. f. g.



Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik. Mengurangi timbulnya getaran tanah dan flyrock. Mengurangi jumlah muatan yang meledak secara bersamaan. Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya. Arah lemparan dapat diatur. Mengurangi airblast. Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu tinggi.



Penentuan waktu tunda peledakan dapat digunakan rumusan sebagai berikut: Tr=T R × B Dimana: Tr TR B



= Waktu tunda (ms). = Konstanta waktu antar baris. = Burden (m).



Konstanta waktu tunda didasarkan pada hasil peledakan yang diinginkan. Nilai konstanta waktu tunda dapat dilihat pada tabel 3.5. Tabel 3.10. Waktu tunda antar row Konstanta TR (ms/m)



Hasil



6,5



Violet, air blast yang berlebihan, backbreak.



8,0



Tumpukan tinggi dekat face, air blast sedang, backbreak.



11,5



Rata-rata tumpukan tinggu, dan rata-rata adanya air blast & backbreak.



16,5



Tumpukan berserak dengan backbreak yang minimum.



3.3 Energi Peledakan Setiap



peledakan



akan



menghasilkan



energi



yang



menyebabkan terjadinya



berbagai jenis gelombang yang merambat di dalam bumi, dipermukaan bumi maupun di udara. Salah satu penyebab pecahnya batuan dari bergetarnya adalah



adanya



rambatan



gelombang tersebut.



Reaksi



bumi



karena



peledakan



peledakan tidak



saja



menghasilkan gelombang energi yang mampu menghancurkan massa batuan padat, tetapi masih ada tersisa energy yang



menghasilkan



gelombang



dan



terus



merambat



dengan



kecepatan yang kian melemah seiring dengan semakin jauh jarak rambatannya dari pusat ledakan. Tetapi dalam kasus yang khusus semakin jauh ternyata getaran yang ditimbulkan lebih besar. Energi peledakan akan membentuk gelombang tekan yang menghasilkan deformasi plastis terhadap batuan, sehingga batuan akan pecah atau hancur. Sebagian dari gelombang tersebut terus merambat menembus bumi atau batuan membentuk gelombang tegangan-regangan di dalam batas zona elastis batuan. Gelombang



yang



menjalar



di



dalam



batas



zona



elastis batuan disebut pula gelombang seismik yang tidak akan memecahkan batuan tetapi



hanya menggetarkannya.Dari



peledakan



dapat dikategorikan



ke



uraian



di



dalam



dua



atas,



maka



bagian,



energi



yang



yaitu energi



dihasilkan



terpakai (work



energy) dari energi sisa (waste energy). Energi terpakai adalah energi yang menghasilkan tenaga atau daya yang betul-betul digunakan untuk menghancurkan batuan.Energi ini terdiri dari 2 jenis, yaitu energi kejut dan energi gas 3.3.1 Work Energy Pada peledakan suatu media padat akan timbul tekanan detonasi (detonation pressure) dan tekanan peledakan (explosion pressure)yang merupakan efek dari



shock energy



dan gas energy hasil dari perubahan kimia bahan peledak. Untuk bahan peledak dari jenis high explosive, pertama kali akan terjadi tekanan detonasiyang kemudian diikuti tekanan peledakan, sedangkan untk bahan peledak Low explosive hanya terjadi tekanan peledakan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaankecepatan penjalaran reaksi kimia dalam kolom bahan peledak.Bahan peledak high explosive mempunyai kecepatan penjalaran reaksi yang lebih besar



dari kecepatan penjalaran suara dalam bahan peledak, yang dikenal sebagaikecepatan detonasi. Kecepatan detonasi ini menyebabkan timbulnya gelombangkejut ( shock wave) atau gelombang detonasi (detonation wave) yang terletak didepan daerah reaksi utama (primary reaction zone) dalam kolom bahan peledak.Gelombang kejut ini yang menyebabkan timbulnya tekanan detonasi. Tekanandetonasi ini dinyatakan sebagai fungsi dari bobot isi bahan peledak kali kuadratdari kecepatan detonasi bahan peledak (Calvin J. Konya, et. al). Pd = 2.5 x ρ x VOD2



Dimana : Pd = Tekanan detonasi (MPa) ρ= Bobot isi bahan peledak (Kg/m3) VOD = Kecepatan detonasi (m/detik)



3.3.2 Waste Energy Bahan peledak melepaskan energi dan menghasilkan rock fracturing , plasticdeformation, dan elastic deformationpada batuan. Energi peledakan yangmenyebabkan terjadinyaelastic deformation dapat menghasilkan stress waves(body wave) yang merambat melalui massa batuan.Energi peledakan membutuhkan sejumlah energi yang cukup sehingga melebihiatau melampaui kekuatan batuan atau melampaui batas elastik batuan untuk memecahkan suatu batuan. Proses pemecahan batuan ini akan berlangsung terushingga energi yang dihasilkan oleh bahan peledak makin lama makin berkurangdan menjadi lebih kecil dari kekuatan batuan, sehingga proses pemecahan batuan berhenti. Energi yang tersisa ( seismic energy) akan menjalar melalui batuan,mengakibatkan deformasi dalam batuan tetapi tidak memecahkan batuan, karenamasih



di



dalam



batas



elastiknya.



Hal



ini



akan



menghasilkan



gelombang



seismik.Gelombang ini pada batas tinggi tertentu dapat menyebabkan kerusakan padastruktur bangunan dan juga dapat sangat mengganggu manusia. Gelombangseismik ini dirasakan oleh manusia sebagai getaran.