Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting Pada Anak Di Kabupaten Langkat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting Pada Anak di Kabupaten Langkat



SKRIPSI



Oleh ADE IRMA SURYANI PANE 151101064



FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019



i



ii



iii



Prakata Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap resiko Stunting Pada Anak di Kabupaten Langkat kec Secanggang, desa Kota Lama” sebagai Tugas Ahir meraih Sarjana Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini tidak terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menghanturkan rasa terimakasih yang sebesar – besarnya kepada: 1. Bapak Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara 2. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 3.



Ibu Cholina T. Siregar, S.Kep, M.Kep, Sp.KMB selaku Wakil Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.



4. Ibu Dr. Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp. Mat selaku Wakil Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 5. Ibu Evi Karota, S.Kp, MNS selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Bapak DR. Dudut tanjung, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji 1, yang telah memberikan masukan perbaikan skripsi ini.



iv



7. dan Iwan Rusdi, S.Kep, MNS selaku Dosen Penguji 2 yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 8. Ibu Lufthiani S.Kep, Ns, M.Kes yang telah melakukan validasi instrumen yang di gunakan dalam penelitian ini. 9. Kepada Puskemas Secanggang, Desa Kota lama yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini. 10. Ayahanda Pardomuan Pane, Ibunda Rawati Harahap, Kakak Astria Ningsih Pane, Romaito Pane, Aidil Putra Pane, Intan Aulia pane, Syahril Saputra Pane, Nenek Rahmawati Siregar dan abang ipar Edison siagian yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada hentihentinya kepada penulis. 11. Adelina atika hutauruk, Depi lianti, Erida napitupulu, Zakiya nur hasanah, winda simatupang, Yolanda, Apri lestari yang telah memberikan dukungan, kawan berjuang, motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Medan, Agustus 2019



Penulis



v



DAFTAR ISI



BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................



1



1.1 Latar Belakang........................................................................



1



1.2 Rumusan Masalah ..................................................................



6



1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................



6



1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................



6



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................



8



2.1 Kesehatan Lingkungan ............................................................



8



2.1.1. Defenisi Kesehatan Lingkungan ...................................



8



2.1.2. Pemanfaatan Air bersih ................................................



11



2.1.3. Kepemilikan Jamban ....................................................



18



2.1.4. Infeksi ...................................................... ....................



23



2.2.Stunting .................................................................................



27



2.2.1. Defenisi Stunting ..........................................................



27



2.2.2. Dampak Stunting ..........................................................



28



2.2.3. Indikator penilaian Stunting .........................................



30



2.2.4. Faktor yang mempengaruhi Stunting ...........................



33



BAB 3. KERANGKA PENELITIAN .....................................................



35



3.1. Kerangka Konseptual..............................................................



35



3.2. Defenisi Operasional ..............................................................



36



3.3. Hipotesa ..................................................................................



38



BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN.................................................



39



4.1. Desain Penelitian ....................................................................



39



4.2. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling .................................



40



4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................



41



4.4. Pertimbangan Etik ..................................................................



41



4.5. Instrumen Penelitian ...............................................................



42



4.6. Validitas dan Reabilitas ..........................................................



44



4.7. Pengumpulan Data ..................................................................



45



4.8. Analisa Data............................................................................



46



vi



BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................



47



5.1. Hasil Penelitian .......................................................................



48



5.2. Karagteristik demografi ..........................................................



50



5.3. Kesehatan Lingkungan ...........................................................



52



5.4. Resiko Stunting.......................................................................



51



5.5. Pembahasan ............................................................................



52



5.6. Kesehatan Lingkungan ...........................................................



52



5.7. Resiko Stunting ......................................................................



55



5.8. Pengaruh Kesehatan Lingkungan ...........................................



56



BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................



59



6.1. Kesimpulan .............................................................................



59



6.2. Saran .......................................................................................



60



DAFTAR PUSTAKA Lampiran Inform Consent Lampiran Kuesioner Penelitian Lampiran Jadwal Tentatif Penelitian Lampiran Hasil Uji Reliabilitas Lampiran Hasil Normalitas Lampiran Hasil Penelitian Lampiran Master Data Lampiran Taksasi Dana Penelitian Lampiran Riwayat Hidup Lampiran Bukti Bimbingan Lampiran Surat penelitian



vii



Daftar Tabel Halaman Tabel 3.3



Defensi operasional.........................................................



39



Tabel 5.1



Kriteria penafsiran korelasi.............................................



51



Distribusi demografi ibu berdasarkan umur, agama, suku bangsa, status perrkawinan, pendidikan Tabel 5.2



Distrubusi demografi balita berdasarkan usia, jenis kelamin, dan nilai z score...................................................



52



Tabel 5.2



Kesehatan lingkungan di kabupaten langkat.....................



53



Tabel 5.4



Resiko stunting di kabupaten Langkat................................ 53



Tabel 5.5



Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting di kabupaten langkat............................................. 54



viii



Daftar Skema Halaman Skema 3.2



Kerangka Penelitian Pengaruh Kesehatan Lingkungan terhadap Resiko Stunting pada Anak di Kabupaten Langkat



ix



37



Judul



: Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting Pada Anak di Kabupaten Langkat



Nama



: Ade Irma Suryani Pane



NIM



: 151101064



Program



: S1 Keperawatan



Tahun Akademik



: 2018 / 2019



ABSTRAK Stunting merupakan keadaan kekurangan gizi pada anak Balita yang ditandai dengan pertumbuhan terlambat, tinggi badan tidak sesuai dengan umur, dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi, infeksi pencernaan, berat badan lahir rendah, dan kesehatan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko terjadinya stunting pada anak Balita di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 50 balita, instrumen penelitian berupa kuesioner kesehatan lingkungan. Analisa data dilakukan menggunakan uji kai kuadrat. Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kesehatan lingkungan terhadap resiko terjadinya stunting (p= 0,009). Kesehatan lingkungan yang buruk penyebab terjadinya resiko stunting pada Balita di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Perlu dilakukan upaya edukasi pemanfaatan sanitasi lingkungan bersih sebagai upaya pencegahan terjadinya resiko stunting pada Balita.



Kata Kunci : Kesehatan Lingkungan, Stunting, Balita



x



xi



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stunting merupakan bentuk suatu proses pertumbuhan yang terlambat, dan merupakan salah satu masalah gizi yang perlu diperhatikan (Picauly, 2013). Masalah pendek pada anak akan menghambat perkembangan, dampak negatif ini akan belanjut dalam kehidupan setelahnya. Hal ini sekitar 70% pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berumur dua tahun. Jika otak mengalami gangguan pertumbuhan maka jumlah sel otak, serabut sel dan penghubung sel otak akan berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan intelegensi (Depkes, 2012). Stunting merupakan indikator keberhasilan, kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat (Depkes, 2013). Faktor asupan makanan, pola asuh dan kesehatan yang di peroleh ibu dan anak anaknya memiliki dampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka dimasa mendatang (Bappenas, 2013). Stunting memiliki dampak yang sangat luas mulai dari sisi ekonomi, kecerdasan, dan kualitas yang berpengaruh terhadap masa depan anak. Studi yang telah di lakukan menunjukkan bahwa anak yang pendek sangat erat hubungannya dengan prestasi di sekolah yang buruk. Anak – anak yang pendek memiliki resiko yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa yang kurang berpendidikan lebih rentan mengalami penyakit menular (Unicef Indonesia, 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada masa balita mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah, prestasi belajar dan



1



2



psikososial buruk (achadi, 2010). Anak yang mengalami stunting di dua tahun pertama kehidupannya



memiliki hubungan



sangat kuat terhadap



keterlambatan kognitif di masa kanak kanak nantinya dan berdampak jangka panjang terhadap mutu sumberdaya (Brinkman, 2010). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013) Prevalensi stunting Nasional mencapai 37,2 persen. Meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Hal tersebut menunjukkan sekitar 8 jutaan anak Indonesia mengalami pertumbuhan tidak maksimal. Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Berdasarkan Survei tahun (2017) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara melporkan bahwa angka Stunting pada anak dibawah usia 5 tahun mencapai 28,5%, dan angka terbanyak ada di 4 Kabupaten/Kota yaitu: Langkat, Padang Lawas, Gunung Sitoli, dan Nias Utara. WHO (2013) menargetkan penurunan prevalensi Stunting mencapai 40% pada tahun 2025, sementara itu dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi Stunting mencapai 28% pada tahun 2019. Untuk itu pemerintah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya. Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya stunting yaitu berat badan bayi lahir rendah (BBLR), wilayah tempat tinggal, dan status ekonomi (Fitri.k, 2012). Studi lain menjelaskan ada beberapa faktor yang berhubungan terhadap kejadian stunting



yaitu pendapatan, jumlah anggota rumah tangga,



tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, dan pemberian ASI ekslusif (Wagdah, 2012). Selain itu, faktor hormon genetik dan rendahnya sanitasi lingkungan, rendahnya



3



aksebilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin, rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penangan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Raharjo, 2015). Selain itu Faktor lingkungan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi proses tumbuh kembang balita dan memberikan resiko terhadap terjadinya stunting. Buruknya sanitasi lingkungan



berdampak secara tidak langsung



terhadap kesehatan balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizinya. Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik, maka kondisi kesehatan orang yang ada di dalamnya akan ikut baik, demikian juga sebaliknya. Selama kebersihan sumur dan sumber air terjaga dengan baik maka resiko untuk penyebaran penyakit menular akan semakin kecil. Kepemilikan Jamban yang baik juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan cacingan (Riyadi, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Maya adiyanti (2014) menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna kesehatan lingkungan seperti jenis jamban, yang digunakan, sumber air yang terlindungi terhadap stunting. Sanitasi air berkaitan dengan penyakit infeksi, perhatian harus difokuskan Penyediaan air bersih, kepemilikan jamban keluarga (sab’atmaja, 2010). Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung berkembangnya penyakit menular (Hidayat, 2011). Prevalensi kesehatan lingkungan yang mempengaruhi terjadinya stunting pada tahun 2017, (72,04%) rumah tangga yang memiliki akses air bersih dan kabupaten yang terendah yaitu bengkulu (43, 83%),



4



dan fasilitas sanitas jamban (67,89%) dan Kabupaten yang terendah yaitu papua (33,06%). Pada beberapa Anak yang sering mengalami infeksi pencernaan diare akibat sanitasi air yang buruk meningkatkan keberadaan penyakit diare pada anak yang



menyebabkan malabsorbsi makanan di waktu yang sama akibat diare,



biasanya anak menjadi susah makan sehingga makin memperparah kondisi gizi balita. Sebaliknya kekurangan gizi dapat menyebabkan anak rentang terserang penyakit diare karena akibat kurang gizi, daya tahan tubuh anak menjadi berkurang. Kejadian diare ini kemungkin ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: beberapa keluarga memamfaatkan sungai yang ada berada di dekat rumah sebagai air minum, dan tidak ada fasilitas jamban. Mathew (2009), mengemukakan bahwa penggunaan air dari sumber yang terbuka (sungai) meningkatkan resiko pemberian makanan balita yang tidak higienes yang ahirnya meningkatkan resiko diare pada balita. Selain itu kebersihan pribadi juga berkontribusi terhadap kejadian diare. Faktor higiene dan sanitasi juga dapat memepengaruhi status imunitas, higiene dan sanitasi yang kurang memenuhi syarat baik dari segi penyediaan air bersih maupun penggunakan jamban (Ruchaeni, 2016). Beberapa faktor lingkungan yang beresiko terhadap terjadinya resiko stunting pada anak adalah balita yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah dari anak anak yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki fasilitas air bersih dan kepemilikan



jamban. Pada penelitian ini, resiko anak stunting yang tinggal



dengan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibandingkan



5



dengan anak yang tinggal keluarga yang memiliki sanitasi air yang baik. Hal ini terjadi karena sebagian besar tempat tinggal anak belum memenuhi syarat rumah sehat, ventilasi dan pencahayaan yang kurang, tidak adanya tempat pembuangan sampah tertutup dan kedap air,tidak memiliki jamban keluarga,serta hal ini di dukung kondisi ekonomi keluarga yang relatif rendah (Wati, 2015). Kesehatan lingkungan berdampak pula untuk tumbuh kembang anak, karena anak di bawah lima tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. Paparan seorang anak yang terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat menyebabkan infeksi bakteri kronis, dimana infeksi tersebut dapat disebabkan oleh perilaku atau tindakan sanitasi air bersih dan lingkungan yang kurang baik sehingga membuat gizi kurang di serap oleh tubuh (Unicef Indonesia, 2012). Rendahnya sanitasi lingkungan pun memicu gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan



kepada perlawanan



menghadapi infeksi (Izzati, 2016). Sebuah riset menemukan bahwa semakin sering seorang anak menderita diare dan infeksi pencernaan lainnya maka semakin besar pula ancaman resiko stunting (Maya, 2016). Selain itu, saat anak sakit maka selera makan anak berkurang, sehingga asupan gizi semakin rendah. Maka pertumbuhan sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak akan menjadi terhambat. Dampaknya anak tersebut terancam menderita stunting, yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan maksimal. (Schmidt & Charles, 2014).



6



Tingginya persen angka penyakit infeksi dan penggunaan air bersih serta ketidakpemilikan jamban berpengaruh pada status gizi pada anak balita dengan rentang usia paling rawan terkena gizi buruk. Angka gizi buruk buruk di indonesia berdasarkan kategori sangat pendek 18%, dan pendek mencapai 19,2% (Riskesdas, 2013). Sanitasi dan perilaku yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat diare diseluruh dunia. Bagi anak anak yang bertahan hidup, serinnya menderita diare berkonribusi terhadap masalah gizi, sehinggaa menghalangi anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusi dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang ( Unicef united Nation’s children’s fund, 2012).



1.2 Rumusan masalah Uraian dalam Latar belakang masalah di atas menjadi dasar penelitian untuk mengetahui tentang apakah ada pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko terjadinya stunting pada Balita di Desa Kota lama Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat 1.3 Tujuan penelitian Untuk mengidentifikasi pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada anak di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat



7



1.4 Manfaat penelitian 1.4.1



Bagi Pelayanan Keperawatan



Hasil penelitian ini dapat di gunakan bagi perawat lainnya sebagai sumber informasi dalam meningkatkan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada anak. 1.4.2



Bagi Pendidikan Keperawatan



Hasil penelitian ini mampu menambah pengetahuan mengenai pentingnya kesehatan lingkungan sebagai upaya mengurangi terjadinya resiko stunting pada balita. 1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai hasil awal dari penelitian selanjutnya dalam melakukan penelitian khususnya mengenai jumlah anggota keluarga, pemeriksaan ANC terhadap terjadinya resiko stunting pada balita. 1.4.4 Bagi Pemerintah setempat Penelitian ini memberikan masukan kepada pemerintah setempat untuk memperhatikan sarana fasilitas lingkungan di masyarakat.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesehatan lingkungan 2..1.1 Defenisi Kesehatan lingkungan adalah pelayanan dinamika hubungan



bidang kesehatan yang menyangkut



interaktif antara sekelompok manusia atau



masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia yang disiuga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya (Sarudji, 2010). Menurut Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Kesehatan lingkungan



adalah



suatu



kondisi



lingkungan



yang



mampu



menopang



keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungan untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada diantara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia (Mudiantum dan Daryanto, 2015). Ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut WHO ada 17 yaitu, Penyediaan air bersih, pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, higiene makanan termasuk higiene susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja, pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukinan, aspek kesling dan



8



9



transportasi udara, perencanaan daerah dan perkotaan, pencegahan kecelakaan, rekreasi umum dan pariwisata, tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah bencana alam dan perpindahan penduduk, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan untuk menjamin lingkungan (Ghandi, 2010). Paradigma kesehatan lingkungan adalah, bahwa terjadinya derajat status kesehatan karena interaksi antara agen dan lingkungan: Ketahanan bakteri terhadap sinar matahari stabilitas vitamin, interaksi agen dan pejamu: Timbulnya gejala dan penyebab penyakit, dan interaksi penjamu dengan lingkungan: ketersediaan fasilitas kesehatan penyiapan makanan keadaan ruangan (panas, dingin) (Budiman, 2007). Dampak



lingkungan yang tidak sehat tidak hanya



berpengaruh pada manusia saja tapi berakibat pada tanaman dan sehat juga, tanah yang tercemar akan ikut juga mencemari tumbuhan dan sayur- sayuran yang digunakan oleh masyarakat sehingga berakibat juga untuk masyarakat yang menggunakannya untuk keperluan keluarga. Faktor kesehatan lingkungan memiliki potensi dan daya dukung untuk menciptakan masyarakat yang terbebas dari segala macam penyakit, yang mempengaruhi kesehatan lingkungan yaitu: Faktor fisik berupa biotik dan abiotik, dimana faktor tersebut berperan penting bagi masyarakat dalam memperhatikan dimana tempat tinggal mereka akan dibangun, Faktor sosial: faktor sosial berupa tingkah laku, kepandaian, adat istiadat, di mana faktor tersebut berperan dalam hubungan masyarakat dan lingkungan, Faktor ekonomi: Faktor ekonomi berupa pekerjaan,



pendapatan,



kemiskinan,



dimana



umumnya



di



lingkungan



10



tersebutdisusuki sebagai sebagian besar orang tidak mampu, maka secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan terhadap tempat tinggalnya (Setiyabudi, 2007). Penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan yang tidak sehat diantaranya yaitu: Kolera yaitu penyakit saluran cerna yang disalurkan lewat penggunaan air dalam kehidupan sehari hari, tipus perut yaitu penyakit saluran cerna yang ditularkan lewat penggunaan air sehari hari, pemakaian air yang tidak sesuai dengan syarat kesehatan bagi kepentingan rumah tangga dpat menyebabkan penyakit perut menular, diare, malaria dan DBD, TBC, cacar dan Influenza (WHO,



2008).



Upaya



penggulangan



kesehatan



lingkungan:



upaya



penanggulangan lingkungan hidup meliputi ekosistem darata, kawasan pesisir, dan ekosistem laut, upaya pengelolaan lingkungan buatan meliputi, pengendalian pencemaran yang berkaitan dengan perlindungan air, tanah, udara, dan pengelolaan



limbah,



upanya



penanganan



lingkungan



sosial



meliputi,



pembangunan kualitas hidup, dan pembangunan kualitas lingkungan, upaya pengembangan modal sosial meliputi, kearifan lingkungan, etika lingkungan, dan pembangunan jiwa sosial (Suparmin, 2001). Syarat lingkungan yang sehat: Keadaan air yang tidak berbau, tidak tercemar, dan dapat dilihat kejernihan, jika kebersihannya sudah tepenuhi air dimasak dengan suhu 100 derajat celcius, sehingga bakteri dalam air tersebut mati, keadaan udara yang sehat udara yang didalamnya terdapat oksigen yang tidak tercemar oleh zat zat yang merusak tubuh, keadaan tanah yang sehat tanah yang bik untuk penanaman suatu tumbuhan, dan tidak tercemar oleh zat zat logam



11



besi, suara kebisingan dimana suatu lingkungan yang kondisi tidak bising yang daapat mengganggu aktifitas atau kegiatan pendengaran manusia. Cara memelihara kesehtan lingkungan: tidak mencemari air dengan cara tidak membuang sampah disungai, mengurangi penggunaan pengendara bermotor, pengelolaan tanah dengan baik, menanam tumbuhan pada lahan yang kosong (WHO, 2008). Kebersihan lingkungan yang buruk berdampak bagi warga yang mendiami lingkungan tersebut, termasuk anak- anak. Sebab,



mereka bisa mengalami



enviromental enteropathy (EE). Karena EE menimbulkan kerusakan pada vili usus usus besar sehingga susah menyerap nutrisi. Kemudian rentan terjadi diare kronis pada anak anak sehingga nutrisi yang masuk kedalam tubuh anak anak tersebut dikeluarkan akibat diare yang dialami anak tersebut,sehingga nutrisi anak tersebut tidak terpenuhi. penyerapan gizi yang buruk dapat mengganggu berbagai fungsi tubuh dan membuat anak mengalami malnutrisi atau gangguan terhadap status gizinya. Infeksi yang terjadi pada anak balita sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif serta pencapaian (Sukmasari, 2016). Masalah – masalah kesehatan lingkungan di indonesia merupakan masalah kompleks yang untuk mengatasinya dibutuhkan kesadaran individu itu sendiri untuk selalu mencaga lingkungan disekitar rumahnya agar tetap bersih dan terjaga, masalah kesehatan lingkungan yaitu: Akses Air bersih



dimana masih banyak desa yang tidak



memiliki sumber air bersih untuk kebutuhan sehari hari, Pembungan kotoran atau tinja dimana anggota keluarga atau masyrakat sering buang air besar disungai atau



12



di sebarang tempat, sehingga banyak penyakit yang terjadi pada masyarakat, khususnya anak – anak yang sedang aktip pekarangan rumah (WHO, 2008). 2.1.2



Pemanfaatan air bersih Air bagi manusia adalah kebutuhan yang sangat mutlak, karena air



adalah zat pembentuk tubuh manusia yang terbesar 75% dari bagian tubuh manusia tanpa jaringan lemak. Seseorang akan mengalami situasi hidup yang gawat apabila tubuhnya kekurangan air sebesar 5% dari berat tubuhnya (Unicef, 2012). Kekurangan air pada tubuh manusia akan cepat terjadi jika seseorang terkena suatu penyakit yang berbahaya, seperti sakit muntah berak dan diare. Jika kekurangan air terjadi dan tidak dapat tertanggulangi maka akan menyebabkan kematian (Notoatmodjo, 2007). Air yang dibutuhkan manusia adalah air bersih dan sehat. Persedian air untuk keperluan rumah tangga harus cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. Air keperluan rumah tangga harus memenuhi 2 syarat utama, yaitu: Syarat Kuantitas, yang mana Persediaan air untuk keperluan rumah tangga diperkirakan sekitar 100 liter per kapita per hari dengan perincian berikut : 5 liter air untuk minum, 5 liter untuk masak, 15 liter untuk mencuci, 30 liet untuk mandi, dan 45 liter untuk menyirami kakus atau untuk keperluan rumah tangga lainnya.Jumlahnya 100 liter per hari per kapita (Sumantri, 2010). Air bersih adalah air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari – hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah di masak. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersedian air yang terjangkau dan



13



berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal diperkotaan maupun di perdesaan (Mulia, 2005). Ada beberapa cara penyimpanan air bersih, dalam proses air bersih harus disimpan dalam beberapa tahap tergantung pada penggunaanya, diperlukan tempat penyimpanan dengan berbagai kapasitas. Air dapat disimpan (Lippsmeier, 1997): didalam tanah sebagai reservoir alamiah, didalam bak penampung sebelum diolah, didalam bak penampungan setempat (tangki atau menara air), didalam bak penampung untuk luas yang diperlukan untuk menyimpan air didapatkan dari perkiraan konsumsi per orang setiap hari dikaitkan dengan jumlah penduduk (Hidayati, 2010). Syarat kualitas, yang mana Air rumah tangga harus memenuhi syarat supaya layak di konsumsi seperti, Syarat fisik, yaitu air harus jernih, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, Syarat kimiawi, yaitu air tidak mengandung zat racun (toksin), tidak mengandung mineral,dan Zat organik yang lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan, Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh mengandung kuman penyakit menular, antara lain Cholera dan Paracholera Eltor: Typhus abdominalis dan paratyphus A, B, C : Dysenteri Bacillaris dan Dysentria Amoebica.Untuk kepentingan air minum, hendaknya air dimasak mendidih, agar semua bakteri parasit mati (MENKES, 2002). Karena bibit penyakit keluar bersama feses penderita, maka di syaratkan air rumah tangga tidak boleh di kotori feses manusia. Sebagai indikator bahwa air telah di kotori feses manusia, adalah adanya bakteri Escharia coli, karena bakteri ini selalu terdapat dalam feses manusia baik yang berasa dari orang sakit maupun orang sehat. Juga karena tidak



14



mungkin menyediakan air rumah tangga yang steril, maka air boleh mengandung bakteri tanah yang tidak patogen dalam batas batas tertentu. Air rumah tangga di katakan memenuhi syarat bakteriologis bila air tersebut Tidak mengandung sesuatu bibit penyakit, Tidak mengandung bakteri escherichia coli, dan Bakteri saprofit (tidak patogen) tidak lebih dari 100 per ml air. Untuk memperoleh air bersih dan murni, cara yang umum dilakukan adalah dengan cara penyaringan (Filtrasi), Pengumpulan (Koagulasi), Penyulingan (Destilasi) dan penambahan zat desinfektan (Sarudji, 2010). Penyakit yang dapat ditularkan melalui air menurut (Kusnoputranto, 2000), Water Borne Disiase adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air minum, dimana air minum tersebut mengandung kuman pathogen dan terminum oleh manusia maka dapat menimbulkan penyakit antara lain adalah penyakit cholera, Thypoid, Hepatitis infektiosa, Dysentri, Gastroentritis. Water Washed Disease penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air untuk pemeliharaan hygiene persseorangan dan air bagi kebersihan alat-alat terutama lat dapur daan alat makan. Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersediaanya air yang cukup maka penularan penyaakit penyakit teertentu pada manusia dapat dikurangi. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh cara penularan, diantaranya adalah penyakit infeksi saluran pencernaan. Salah satu penyakit infeksi pencernaan adalah diare, Water Based Disease adalah penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang sebagian besar ssiklus hidupnya di air seperti Schistosoiasis. Larva schistoma hidup dala keong air. Setelah waktunya larva ini akan mengubah bentuk menjadi carcaria dan menembus kulit kaki manusia yang berada didalam air tersebut.



15



Water Related Insec Vectors adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor yang hidup tergantung pada air misalnya malaria, demam berdarah, filariasis, yellow fever dan sebagainya ( WHO, 2017). Cara penyaringan dapat membersihkan air dari kotoran yang tidak larut. Air yang mengandung lumpur dapat dimurnikan dengan saringan pasir, tetapi cara ini tidak dapat memisahkan zat zat yang terlarut dalam air. Untuk memperoleh air yang murni yang bebas dari zat zat terlarut, dilakukan dengan cara penyulingan,yauitu degan mendidihkan air. Uap air yang terbentuk di embunkan kembali. Air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan dikenal dengan nama akuades tilata atau air suling,yang sering disingkat dengan akuades (Rochhmi, 2016). Air yang tidak sehat akan menyebabkan diare pada anak lebih meningkat dari sebelumnya dan menurunkan berat badan anak, selain itu, air minum juga harus dijaga agar tidak tercemar oleh bahan bahan berbahaya, dengan menangani masalah air minum (Depkes RI, 2011). Pada umumnya penduduk pedesaan menggunakan sumur sebagai sumber air utama untuk keperluan rumah tangga.syarat sehat sumur yang sehat, Dinding sumur bagian atas harus di buat tembok yang tidak tembus air. Pada umumnya bakteri tidak dapat hidup pada kedalaman tersebut. Dibuat tembok yang tidk tembus air agar perembesan air permukaan yang telah tercemar tidak terjadi. Dibagian tembok 3 meter itu, di buat pula dinding tembok yang tidak di lapisi semen. Tembok ini bertujuan agar dinding sumur tidak runtuh. Pada dasar sumur di beri kerikil agar tidak keruh. Kemudian kira kira 1 meter di atas tanah di buat dinding. Sebaiknya dilapisi dengan semen agar kuat. Dinding ini berungsi untuk



16



menjaga agar air disekitar nya tidak masuk kedalam sumur. Dinding ini juga berfungsi untuk keselamatan penggunanya. Tanah di sekeliling tembok sumur sebaaiknya disemen miring. Bagian tepinya di buat saluran. Lebar semen sekelilingnya tembok sumur kira kira 1,5 meter. Tujuannya agar air sekelilingnya tidak masuk ke dalam sumur. Sebaiknya sumur diberi atap agar para penggunanya tidak kepanasan di sinar matahari atau agar tidak kemasukan air hujan. Kedalaman sumur pada daerah dataran rendah kedalaman sumur berkisar antara 5-6 meter. Artinya, pada kedalaman tersebut air tanah telah keluar (Rochmi, 2016). Hal hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih seperti, Mengambil air dari sumber air yang bersih dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup, serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air, serta Memelihara atau menjaga sumber air dari pencernaan oleh binatang, anak anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan sumber pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah dan air limbah air limbah harus lebih dari 10 meter, selalu menggunakan air yang di rebus terlebih dahulu ketika ingin mengkonsumsi air, Mencuci semua peralatan masak, makanan dengan air yang bersih dan cukup air (Depkes RI, 2000) Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari hari, maka masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih menjadi air minum. Sumber sumber air minum tersebut seperti : Air hujan atau air penampung Air Hujan (PAH), Air hujan dapat di tampung kemudian di jadikan air minum, Tetapi air hujan ini tidak mengandung kalsium. Agar dapat di jadikan air minum yang



17



sehat perlu di tambhakan kalsium di dalamnya. Air sungai dan air danau ini juga dari air hujan yang mengalir melalui saluran saluran ke dalam sungai atau danau. Kedua sumber air ini sering disebut air permukaan. Mata air yaitu Air yang keluar dari mata air in i biasanya berasal dari air tanah yang muncul secara alamiah. Air dari mata air ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat di jadikan air minum langsung. Air dangkal yaitu Air ini keluar dari dalam tanah, maka juga di sebut air tanah. Dalamnya lapisan air ini dari permukaan tanah dari tempat yang satu ke tempat yang lain berbeda beda. Biasanya berkisar antara 5 sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah. Air sumur dalam yaitu Air ini berasal dari lapisan air ke dua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan tanah biasanya di atas 15 meter (Notoatmodjo, 2007). Data lain menunjukkan rendahnya akses masyarakat terhadap akses air bersih dan sanitasi dasar dapat meningkatkan kejadian diare pada anak balita. Selain itu air minum juga harus dijaga agar tidak mudah tercemar oleh bahan bahan berbahaya, sehingga bila air minum diragukan keamanannya sebaiknya direbus sampai mendidih. Dengan menangani akar masalah penyebab tentunya air minum dan sanitasi dapat mengurangi permasalahan penyakit secara global akibat lingkungan. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit dengan sumber penularan melalui air (water borne diseases), dan penyakit diare yang terjadi pada anak balita pada umumnya disertai muntah dan menceret. Kurangnya akses masyarakat terhadap air bersih atau air minum serta buruknya sanitasi dan perilaku higiene berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang pertahun karena diare (Sumantri, 2010).



18



Pencemaran air juga sering terjadi terutama sungai sungai yang ada di Indonesia, dimana tercemarnya air tersebut disebabkan oleh adanya makhluk hidup, atau komponen lain karena ulah manusia sendiri, seperti membuang sampah ke dalam sungai, sehingga air tidak dapat berpungsi atau tidak dapaat digunakan masyarakat lagi (PP RI, 2001). Kondisi pencemaran disebagian sungai perlu diperhatikan, mengingat bnyaknya sungai yang digunakan sumber air baku untuk keperluan air minum. Bahkan ditemukan bahwa minimal 1,8 milyar penduduk minum air dri sumber yang terkontaminasi feses (WHO, 2016). Hal itu memberikan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya. Ada banyak penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran air daan resiko terbesar menjangkit mereka yng memilii sistem imun yang lemah seperti bayi, wanita hamil, dan lansia. Bahwkan WHO (2015) menyebutkan bahwa dari 133 penyakit, diperhitungkan terdapat 101 yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan lingkungan, diantaranya berkaitan dengan air yang tidak aman (WHO, 2015). Persyaratan air bersih menunjukkan mutu dan dan kondisi yang dikaitkan dengan keperluannya, namun ada beberapa yang termasuk air bersih menurut kebutuhannya yaitu: air bersih, air minum, air kolam renang, ataupun air pemandian umum memiliki indikator kualitas yang berbeda (Wendyartaka, 2016).



19



2.1.3. Kepemilikan jamban Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan mengumpulkan kotoran atau najis manusia, biasanya disebut kakus/wc. Sehingga kotoran tersebut akan tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebaran penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. (Depkes RI, 2003). Pembuangan tinja adalah terkumpulnya kotoran manusia disuatu tempat untuk menghindari penyakit yang dapat disebabkan oleh kotoran



manusia



tersebut,



sehingga



jamban



berguna



untuk



mencegah



berkembangnya penyakit. (soemarjo, 1999) Masih banyak keluarga yang belum mempunyai tempat pembuangan feses sendiri, mereka menggunakan selokan atau sungai sebagai jamban. Cara demikian adalah tidak sehat dan hal itu akan menimbulkan masalah bagi mereka yang hidup di hilir sungai. Kotoran kotoran akan tertimbun di suatu tempat yang akibatnya lebih buruk dari timbunan sampah. Bau busuk yang menusuk hidung juga menjadi sarang lalat, sehingga wabah penyakit mudah berjangkit. Apalagi bagi mereka yang menggunakan air sungai tersebut untuk mandi dan untuk minum air. Pembuangan kotoran manusia merupakan salah satu masalah pokok, sehingga perlu untuk diatasi sedini mungkin karena kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit. Penyebaran penyakit yang bersumber dari kotoran manusia dapat melalui berbagai cara seperti melalui air, tangan, serangga dan tanah. Upaya perbaikan sanitasi lingkungan melalui penggunaan jamban yang memenuhi syarat kesehatan dapat menurunkan kejadian diare (Azizah 2013).



20



Penyediaaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama sumber air bersih. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh tinja manusia antara lain; Thypus, disentri, kolera, dan kecacingan (notoatmodjo, 2003). Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Pembuangan kotoran harus sesuai tempat tertentu atau jamban yang sehat, jamban tersebut harus memenuhi persyaratan – persyaratan sebagai berikut; Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban, tidak mengotori air permukaan disekitrnya, tidak mengotori air tanah disekitarnya, tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatanng lainnya, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, desainnya sederhana (Depkes RI, 2004). Penggunaan septik tank, yaitu dengan cara membuat lubang besar berbentuk persegi panjang. Dasar dinding di beton supaya tidak mudah di resapi air dan lubang tersebut di bangun menjadi tiga bagian. Bagian atas di tutup rapat untuk mencegah bau dan lalat, sementara kotoran mengalir perlahan lahan melalui ketiga lubang itu. Bakteri pembusuk yang berada dalam tank akan mengadakan perubahan kimiawi pada kotoran manusia dan ahirnya dapat menghilangkan bahaya infeksi. Air yang keluar dari septi tank seharusnya jernih dan tidak berbau, tetapi masih mungkin masih ada kuman kuman yang tertinggal. Septik tank dan dinding resapan harus jauh dari sumber air (Abdullah, 2010)



21



Kakus yang baik adalah kakus yang mempunyai saluran yang berbentuk huruf S. Pada lekukannya selalu ada air bersih yang memisahkan kotoran dalam tangki dengan udara luar. Hal ini penting agar lalat atau lipas tidak hinggap di sana, bertelu serta bau dari kotoran tidak menyebar kemana mana. Membuat kakus di luar rumah yaitu dengan membuat lubang sedalam 2,5 meter sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dinding dibuat dari bata agar tidak mudah ambruk dan jarak anatara sumber air sumur dengan kakus tidak boleh kurang dari 10 meter (Notoatmodjo, 2003) Oleh sebab itu, Alangkah baiknya apabila setiap keluarga mempunyai kakus sendiri. Untuk meningkatkan kehidupan yang sehat tersebut masyarakat harus melakukan higiene dan sanitasi lingkungan. Ada beberapa macam yang tergolong dalam jenis pembuangan tinja: Kakus sederhana (simple letrine atau pit privacy) adalah Jenis ini sering di sebut dengan kakus cemplung. Kontruksinya terdiri atas lubang galian semacam sumuran tetapi dindingnya tidak perlu kedap air. Dinding bisa terbuat dari anyaman bambu, pasangan batu merah atau bahan lain untuk memperkuat. Beberapa keuntungan dari jenis ini adalah murah dalam dalam pembuatannya, dan mudah pemeliharaannya, sehingga di daerah perdesaan setiap keluarga mampu membuatnya sendiri. Bila sudah penuh lubang galian cukup di timbun dan di biarkan 3 bulan untuk mengubah kotoran kakus menjadi humus. Sekalian demikian pemanfaatan pupuk ini harus hati-hati karena kemungkinan masih terdapat telur cacing geleng. Kakus kolong (vacult privacy) Yaitu tempat pembungan tinja yang terdiri atas bak berdinding lapis semen kedap air. Ditanam di dalam tanah (kolong) tetapi tidak berfungsi sebagai bak pembusuk



22



(septic tank), melainkan hanya untuk melindungi bahaya kontaminasi terhadap tanah di sekitarnya. Kakus pengurai (septic privacy) yaitu dengan Metode pembuangan tinja ini menggunakan bak pengurai (septic tank) yang kedap air, hanya saja tidak menggunakan air pengelontor tetapi dalam pengoperasiannya perlu penambah air untuk mengisi agar dalam bak tersebut tidak kekurangan air yang dimanfaatkan sebagai media pengurai. Keuntungannya adalah tidak memerlukan air yang banyak, dapat di bangun di rumah dengan lahan yang sempit, dan tidak perlu jauh dari sumur (bila tidak menggunakan pipa resapan) (Entjang, 2000). Kakus kimia (chemicl toilet) yaitu Jenis ini mahal dalam pengoperasiannya, kapitasnya terbatas, dan perlu perhatian khusus terutama bila sudah penuh karena biasanya



yang



menjadi



masalah



adalah



cara



pengosongannya.



Dalam



pengoperasiannya menggunakan coustic soda untuk membunuh bakteri dan menghancurkan padatan fekal, sehingga memiliki keuntungan seperti terhindarnya pencemaran tanah atau air tanah dan tidak berbau. Kakus parit (trench latrine) merupakan jenis yang sudah jarang di jumpai, di samping tidak di anjurkan lagi. Biasanya di pakai di daerah pertaniaan, yaitu dengan menggali parit panjang, pada parit tersebut kemudiaan di gunakan untuk membuang kotoran dan setelah selesai berhajat, kotoran di timbun dengan tanah yang diperoleh dari sekitar parit. Sepanjang tanah tersebut kering maka tidak akan terjadi pencemaran terhadap tanah atau air tanah oleh bakteri. Humus yang terbentuk sekaligus untuk pupuk pada tanah tersebut. Khususnya pembuangan kotoran ke badan air/sungai sebaiknya tidak dilakukan karena untuk perlindungan badan air yang mungkin



23



airnya digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga pada bagian hilirnya. Untuk menghindari bau, melindungi tinja dari jangkauan serangga dan peletakan bagian untuk berhajat sesuai dengan keinginan pemakaiannya, pembuangan tinja tanpa air bisa dilengkapi atau kombinasi dengan menambah leher angsa apabila cukup tersedia air penggelontor. Penyakit yang ditularkan oleh pencemaran tinja yang mengkontaminasi tanah seperti penyakit Typhus abdominalis, para typhus, dysentery, dan penyakit cacingan. Infeksi disebabkan karana adanya penyebab yang mengkontaminasi tanah bersama tinja. Penyakit cacing tambang dapat menular setelah larva kontak dengan kulit manusia, biasanya kaki telanjang. Typhoid, para ryphoid dan dysentery adalah contoh penyakit yang ditularkan melalui sayuran yang dipupuk dengan kotoran manusia atau disiram dengan air yang terkontaminasi tinja. Selama masyarakat mengambil air dari sumur dan membuang kotoran di sekitarnya, maka pemamfaatan air dapat dipertimbangkan (Chayatin, 2009). Akses untuk fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang meiliki akses terhadap fasilitas saniatsi improved adalah rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angga atau plengsengan, dan tempat pembungan ahir tinja jenis tangki septik. Berdasarkan karateristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri diperkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan dipedesaan (67,3%) . Menurut Dedi (2013) pemeliharaan jamban yang baik dengan cara yaitu: lantai jamban hendaknya selalu kering dan bersih, Tidak ada sampah berserakan



24



dan tersedia alat pembersih, tidak ada genangan air dilantai, jika ada bagian jamban yang rusak segera diperbaiki, hindari pemasuka sampah padat yang sulit diuraikan (kain bekas, pembalut, logam, gelas) serta bahan kimia beracun bagi bakteri kedalam lubang jamban (Dedi, 2013). Upaya pemanfaatan jamban yang dilakukan oleh keluarga akan berdampak besar pada penurunan penyakit, karena setiap anggota keluarga sudah buang air besar dijamban, maka perlu diperhatikan oleh kepala keluarga dan setiap anggota keluarga: jamban keluarga layak digunakan oleh setiap anggota keluarga, membiasakan diri untuk menyiram menggunakan air bersih setelah menggunakan jamban, membersihkan jamban dengan alat pembersih minimal 2-3 kali seminggu (Tarigan, 2008). Pemanfaatan jamban disertai partisipasi keluarga akan lebih baik, jika didukung oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu tersebut (faktor internal) antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap, tindakan, kebiasaan, umur. Kemudian faktor dari luar individual (faktor ekternal) seperti kondisi jamban, sarana air bersih, pengaruh lingkungan (Depkes, 2005). Sanitasi serta pemanfaatan jamban yang buruk sangat erat kaitan dengan penyakit yang disebabkan oleh kotoran tinja akibat dari perilaku seseorang yang tidak memanfaatkan jamban. Penyakit Cholera, hepatitis a, polio adalah suatu dari antara penyakit menular yang dapat menyebar apabila mikroba penyebab dapat masuk kedalam sumber air yang digunakan setiap keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari hari. Tinja yang tidak tertampung dapat mengakibatkan penyakit menular (Notoatmodjo, 2010).



25



2.1.4. Infeksi Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri, dan protoa. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler yang disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh protozoa dikenal sebagai disentri amuba. Adapun yang dimaksud dengan penyakit infeksi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare adalah buang air besar dengan tinja yang berbentuk cair dan lunak dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Anorital, 2011). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak balita umumnya adalah diare, thypus, kecacingan terjadi pada anak balita karena sistem pertahanan tubuh anak rendah (WHO, 2015). Penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare cacingan dan thypus. Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah. Diare adalah salah satu penyakit paling umum akibat bakteri dan parasit yang berada di air tercemar. Diare menyebabkan feses encer atau cair yang menyebabkan penderita mengalami dehidrasi, bahkan kematian pada anak dan balita. Sejumlah 842 ribu penduduk diperkirakan meninggal setiap tahunnya karena diare akibat konsumsi air minum yang tidak aman (WHO, 2016).



26



Menurut WHO, diare adalah suatu keadaan buang air besar dengan konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare akut berlangsung selama 3-7 hari. Sedangkan diare persisten terjadi selama ->14 hari. Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok infeksi yaitu infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan makanan, imunodefisiensi dan penyebab lain seperti gangguan fungsional dan malnutrisi. Penelitian lain juga menyatakan anak yang menderita diare dalam 2 bulan terakhir memiliki resiko menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dalam 2 bulan terakhir (WHO, 2017). Diare juga dapat menimbulkan terjadinya gizi kurang begitu juga sebaliknya. Infeksi mempengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorbsi makanan diusus, meningkatkan katabolisme, dan sintesis jaringan dan pertubuhan. Disamping itu, gizi kurang bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh manusia (Depkes, 2011). Salah satu penyebab stunting adalah penyakit diare. Penyakit infeksi yang disertai diare dan muntah dapat menyebabkan anak kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi. Seorang anak yang mengalami diare akan terjadi malabsorbsi zat gizi dan hilangnya zat gizi bila tidak segera ditindak lanjuti dan diimbangi dengan asupan yang sesuai maka terjadi gagal tumbuh (Suresh, 2016)



27



Infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri golongan nematoda usu. Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasi buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan berbagai golongan usia (WHO, 2011). Faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi kecacingan antara lain umur, jenis kelamin, imunitas, pembungan tinja, serta faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi meliputi pekerjaan pendidikan, dan penghasilan (WHO, 2011). Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat



mempengaruhi



mengakibatkan



kualitas



menurunnya



hidup



kondisi



penderitanya. kesehatan,



gizi,



Kecacingan kecerdasan,



dapat dan



produktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian yang pada ahirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Infeksi cacing pada manusia dapat dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tepat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan ( Wintoko, 2014). Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutri dan gangguan pertumbuhan dan perkebangan pada anak anak (Satari, 2010). Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% dibawah normal. Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisaf darah. Seekor cacing tambang mampu menghisaf darah 0,2 ml per hari.



28



Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Margono, 2008). Disentri basiler merupakan penyakit infeksi usus yang diakibatka oleh beberapa jenis gra negatif dan genus shigella. Masa inkubasi bakteri shigella dysentriase ini 1-7 hari. Gejala adalah demam sampai 39-40 derajat celcius, nyeri perut, tenesmus serta diare beserta lendir dan ,demam, muntah, sakit perut (Tjay, 2013). Faktor faktr yang berhubungan denganresiko epidemic shygella seperti malnutrisi, dan peningkatan penduduk (Sukandar, 2013). Thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa atau salmonella paratyphi A,B,C. Selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau Thypus, tetapi dalam dunia kedokteran tersebut Thypiod fever atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam pereut (Widoyono, 2002). Typhoid disebabkan jenis bakteri bacillus thypus yang masuk melalui mulut dan menjangkit pada struktur lympha pada bagian bawah usus halus, kemudian masuk kealiran darah dan terbawa keorgan – organ intenal sehingga gejala muncul pada seluruh tubuh. Penularan dapat terjadi karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ada didalam tinja penderita melalui air minum, makanan, atau kontak langsung (Sudoyo, 2009).



29



2.2 Resiko Stunting 2.2.1 Defenisi Stunting Stunting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi yang terjadi pada saat periode kristis dari proses tumbuh dan kembang mulai janin. Untuk indonesia, saat ini diperkirakan ada 37,2% dari anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak dengan kondisi stunting. Yang berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun (Depkes, 2012) Stunting didefenisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, dimana tinggi badan menurut umur berada dibawah minus 2 Standar Deviasi (