Pertentangan Jarh Wa Ta'Dil [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERTENTANGAN ANTARA JARH WA TA’DIL



MAKALAH Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Ilmu Jarh wa Ta’dil, Pada Jurusan Ilmu Hadis Reguler 2 Disusun Oleh; Kelompok 9 NURUL FAUZIAH (30700117066) DELFHIA PURNAMA DWI SYAHPUTRI (30700117094) IRWANDI (30700117079) MUH. AZWAN JOHANSYAH (30700117093)



Dosen : Dr. Hj. Fadlina Arif Wangsa Lc M. Ag



FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2019



KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala. yang telah memberi rahmat, taufik, hidayah dan segala kemudahan sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam dipersembahkan kepada Nabi Muhammad saw. Yang telah memberikan bimbingan kepada ummatnya. Makalah ini dibuat untuk pemenuhan tugas dari mata kuliah ‘‘Ilmu Jarh wa Ta’dil'' dengan judul makalah Pertentangan Antar Jarh wa Ta’dil. Kami menyadari masih banyaknya kekurangan dari penulisan hasil makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat membantu kami untuk mengurangi segala kekurangan tersebut kedepannya. Kami juga mengucapkan banyak terimah kasih semua pihak khususnya kepada dosen Dr. Hj. Fadlina Arif Wangsa Lc M. Ag. yang telah membimbing kami dalam pembelajaran. Dengan kerendahan hati, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri maupun bagi pembaca. Dan semoga makalah ini bisa menambah keilmuan bagi kita semua. Amin yaa robbal ’alamin



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Terbunuhnya Umar bin al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu kritik hadits. Namun terbunuhnya Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadits. Karena untuk memperoleh legitimasinya masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari hadits Nabi saw. Apabila hadits yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits palsu. Sejak saat itu para ulama kritikus hadits dalam menyeleksi hadits tidak hanya mengkritiknya dari segi matannya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat hadits tersebut. Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad. Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman bin Affan), apabila mendengar hadits mereka selalu menanyakan dari siapa hadits itu diperoleh. Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah, hadits itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, hadits itu ditolak. Maka sejak saat itu, para ulama hadits membuat persyaratanpersyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima haditsnya, di samping kriteria-kriteria teks hadits yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam.



Kajian masalah kualifikasi perawi hadits tumbuh dan berkembang menjadi suatu cabang ilmu hadits yang disebut ‘ilm jarh wa ta’dil, yakni suatu ilmu yang mempelajari perihal para periwayat hadits dari segi sifat jelek dan sifat baik (terpuji) yang dimilikinya untuk mengetahui apakah dengan demikian riwayatnya dapat diterima ataukah harus ditolak. Ilmu ini tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits itu sendiri, karena untuk dapat menyeleksi hadits yang dapat diterima atau ditolak, haruslah dengan mengetahui keadaan para periwayatnya, yakni dengan melakukan jarh wa ta’dil. Para sahabat, para tabiin, dan ulama hadits generasi berikutnya tidak mau begitu saja menerima hadits yang sampai kepada mereka, kecuali apabila yang menyampaikannya itu adalah orang yang mereka kenal dan dapat dipercaya.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pertentangan antara Jarh wa Ta'dil ?



C. Tujuan Untuk mengetahui pertentang antara Jarh wa Ta'dil



BAB II PEMBAHASAN



A. Pertentangan Antara Jarh dan Ta’dil Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang adil sekaligus dia dinilai sebagai orang yang mempunyai cacat. Oleh karena itu pertentangan penilaian ini harus dibahas untuk mengetahui kebenarannya. Dalam hal Perbedaan pendapat tersebut yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua, pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Apabila bertentangan Jarh dan Ta’dil maka terdapat beberapa pendapat Ulama: 1. Jarh itu didahulukan atas Ta’dil, secara mutlak walaupun yang menta’dilkan itu lebih banyak jumlahnya. Hal itu karena pen-tajrih melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh pen-ta’dil. Pen-tajrih penilaiannya sama dengan pen-ta’dil dari aspek pemberitaan lahir, tetapi pen-tajrih juga mengungkapkan aspek batin yang samar yang tidak diketahui oleh penta’dil. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar-Razi, Al-Amidi.1 Berikut ini alasannya: a)



Ulama yang mengemukakan celaan lebih mengetahui keadaan periwayat yang dikritiknya daripada ulama yang memuji periwayat tersebut;



b)



Yang dijadikan dasar oleh ulama untuk memuji periwayat hadis adalah persangkaan baik semata. Pendapat ini didukung oleh



1



Muhammad Ajaj Al-Khatib, Al-Mukhtashar Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Hadits, h. 107.



umumnya ulama hadis, fiqh dan ushul al-fiqh.2 Sementara itu, persangkaan baik ini dapat dikalahkan jika ada bukti tentang ketercelaan seseorang.



2. Ta’dil didahulukan atas Jarh apabila jumlah pen-ta’dil lebih banyak. Hal itu karena dengan banyaknya pen-ta’dil dapat memperkuat posisinya dan minimnya pen-tajrih dapat memperlemah. Padahal jumlah tidak menjadi sebuah syarat diterimanya pujian. Sekalipun banyak yang memberi pujian, lalu muncul seorang kritikus hadis yang menilai tercela dan menjelaskan ketercelaannya, pujian yang banyak itu menjadi gugur. Alasan lain, karena sifat asal periwayat adalah terpuji. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh al-Nasa'i (w. 303 H/915 M),3 Sedangkan sifat tercela adalah sifat yang datang kemudian. Al-Khatib mengatakan bahwa pendapat ini tertolak karena sekalipun banyak jumlah pen-ta’dilnya, tetapi mereka tidak mengetahui apa yang diucapkan pen-tajrih. 3. Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebabsebabnya. Atau dengan kata lain, kritik yang berisi celaan terhadap periwayat didahulukan terhadap kritik yang berisi pujian dengan syaratsyarat tertentu. Sayarat-syarat ini adalah:



2



M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 77-78; Ibn Salah, 'Ulum al-Hadis, h. 99; Fakhr al-Din Muhammad bin 'Umar al-Husain al-Razi, al-Mashul fi 'Ilm al-Ushul (Saudi Arabia: Jami'ah al-Imam Muhammad bin Sa'ud al-Islamiyyah, 1400 H/1980 M), Juz II, h. 588. 3



M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 77-78.



a)



Ulama yang mengemukakan celaan telah dikenal benar-benar mengetahui pribadi periwayat yang dikritiknya;



b)



Celaan yang dikemukakan haruslah didasarkan pada argumenargumen yang kuat, yakni dijelaskan sebab-sebab yang menjadikan periwayat yang bersangkutan tercela kualitasnya.4



Al-Iraqy dalam Syarh Alfiyah dan As-Sayuti dalam kitab At-Tadrib berkata, “Jika bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadaklah menjadi kuat salah satunya tanpa ada yang menguatkan”. Menurut As-Sayuti diterangkan apabila terdapat pertentangan antara celaan yang dijelaskan sebab-sebabnya daripada pujian maka didahulukan celaan.5 Selanjutnya, menurut Syuhudi pemilihan didasarkan pada pendapat yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih obyektif terhadap para periwayat hadis yang dinilai. Penggunan pendapat itu adalah dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit dihasilkan.6 Namun, Syuhudi memandang pendapat yang ketiga lebih kuat daripada pendapat yang lain. Pernyataan ini tidak harus diartikan bahwa bila syarat-syarat dari pendapat ketiga tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pendapat pertama yang harus diterapkan. Sebab bagaimana pun juga, argumen-argumen yang dikemukakan oleh pendapat kedua tidak dapat diabaikan begitu saja.7 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa



Syuhudi, Kaedah Kesahihan, h. 182 dan Metodologi Penelitian, h. 78-79; ‘Ali al-Qiri, Syarh Nukhbah al-Fikr, h. 240; al-‘Asqalani, Nurzhah al-Nazhar, h. 69. Taj al-Din ‘Abd alWahhab bin ‘Ali al-Subki, Qiidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil wa Qiidah fi al-Muarrikhin, Cet. V (Beirut: Maktabah al-Nahdah, 1404 H/1984M), h. 51. 5 Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib alNawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H/1996 M), h. 204. 6 Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 81. 7 Syuhudi, Kaedah Kesahihan, h. 182. 4



dalam hal ini Syuhudi cenderung bersikap ta’dil atau tawassut (moderat), obyektif dan transparan.



.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Pendapat Pertama, jumhur ulama yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar-Razi, Al-Amidi mengatakan bahwa Jarh itu didahulukan atas Ta’dil, secara mutlak walaupun yang men-ta’dilkan itu lebih banyak jumlahnya. Pendapat Kedua, Ta’dil didahulukan atas Jarh apabila jumlah penta’dil



lebih banyak. Hal itu karena dengan banyaknya pen-ta’dil dapat



memperkuat posisinya dan minimnya pen-tajrih dapat memperlemah. Pendapat ketiga, Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya. Dari ketiga pendapat di atas, dapat dipandang bahwa al-tajrih tetap dapat didahulukan atas al-ta'dil sejauh mujarrih-nya (kritikus memperjelas rincian dan sebab-sebab pentajrihannya). Selama hal tersebut tidak dilakukan maka penilaian al-ta'dil lebih didahulukan dari al-tajrih.



B. Implikasi Demikian makalah yang kami dapat sajikan sesuai dengan batas kemampuan kami, dengan harapan mudah-mudahan apa yang kami sajikan ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca dan bagi diri pribadi kami khususnya. Kamipun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan sehingga kami mengharapkan adanya kritikan,



saran dan ide-ide yang bersifat membangun guna memperbaiki untuk menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis.



DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Arifuddin, Qawaid Al-Tahdis, Makassar: Alauddin University Press, 2013.



Al-Qiri, ‘Ali Sultan al-Harawi, Syarh Nukhbah al-Fikr, Beirut: Dar al-Kutub al-



Ilmiyah, 1978. Al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad bin 'Umar al-Husain, al-Mashul fi 'Ilm al-Ushul Saudi Arabia: Jami'ah al-Imam Muhammad bin Sa'ud al-Islamiyyah, 1400 H/1980 M Al-Subki, Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab bin ‘Ali, Qiidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil wa Qiidah fi al-Muarrikhin, Cet. V, Beirut: Maktabah al-Nahdah, 1404 H/1984M Al-Suyuti, Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abu Bakr, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib alNawawi, Jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H/1996 M Asse Ambo, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi SAW, Makassar: Dar alHikmah wa al-’Ulum, 2014. Ibn Salah, 'Ulum al-Hadis, naskah diteliti oleh Nurud-Din ’Itr, Madinah al-



Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1392 H/1972 M. Khon, Abdul Majid, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta: Amzah, 2014. Syuhudi, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. ............., Studi Hadits Maudhu’(Suatu Kajian Metodologi Holistik), Makassar: Alauddin University Press, 2013.