PRESKAS THT-Claudia & Regina - OSA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER



OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA



Disusun Oleh : Maria Claudia (01073200018) Regina Nathania (01073200021) Pembimbing : dr. Niken Ageng Rizki, SpTHT-KL



KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE OKTOBER - NOVEMBER 2021



BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien (1) Nama



: Tn. C



Jenis Kelamin



: Laki-Laki



Tempat, Tanggal Lahir : Jiangxi, 26 November 1972 Usia



: 48 tahun



No. Rekam Medis



: SHLV 01-06-47-16



Tanggal Masuk RS



: 22 Oktober 2021



Identitas Pasien (2) Nama



: Tn. E



Jenis Kelamin



: Laki-Laki



Tempat, Tanggal Lahir : 1 Januari 1997 Usia



: 24 tahun



No. Rekam Medis



: SHLV 01-06-47-16



Tanggal Masuk RS



: 8 November 2021



1.2 Anamnesis 1.2.1 Anamnesis Pasien (1) Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis dengan translator pasien di Siloam Ward, Rumah Sakit Siloam Lippo Village. Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan tidur mendengkur dan sakit kepala di pagi hari. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan tidur mendengkur dan sakit kepala saat bangun di pagi hari. Sakit kepala yang dirasakan seperti ditekan dan berdenyut dengan VAS 4/10. Pasien juga mengeluhkan adanya hidung tersumbat dan rasa mengganjal



pada tenggorokan serta merasakan sensasi banyak lendir yang tidak dapat dikeluarkan. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien diketahui memiliki riwayat hipertensi dan dislipidemia. Riwayat Pengobatan Pasien memiliki riwayat pengobatan hipertensi dengan Amlodipin 10 mg. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit / keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat Sosial, Kebiasaan, dan Pola Hidup Pasien memiliki riwayat kebiasaan minum kopi dan suka makan makanan pedas. Riwayat Operasi Pasien memiliki riwayat operasi apendektomi sekitar 15 tahun yang lalu. Riwayat Alergi Pasien tidak mengetahui dirinya memiliki alergi makanan ataupun obat. 1.2.2 Anamnesis Pasien (2) Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis dengan penunggu pasien di Rumah Sakit Siloam Lippo Village. Keluhan Utama



:



Pasien datang dengan keluhan sering terbangun di malam hari karena sulit bernapas.



Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sering terbangun pada malam hari karena sulit bernapas dan terasa seperti tercekik sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berulang dan sering berdehem dalam beberapa bulan terakhir ini karena seperti ada rasa mengganjal di tenggorokan. Pasien juga memiliki keluhan tidur mendengkur yang sudah ada sejak 4-5 tahun lalu. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien diketahui memiliki riwayat hipertensi dan adanya tonsil yang besar. Riwayat Pengobatan Pasien memiliki riwayat pengobatan hipertensi dengan Canderin 1 x 16 mg. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit / keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat Sosial, Kebiasaan, dan Pola Hidup Pasien memiliki riwayat kebiasaan suka berbaring setelah makan. Riwayat Operasi Pasien tidak memiliki riwayat operasi. Riwayat Alergi Pasien menyangkal adanya riwayat alergi obat ataupun makanan.



1.3 Pemeriksaan Fisik 1.3.1 Pemeriksaan Fisik Pasien (1) Keadaan Umum



: Tampak sakit sedang



Kesadaran



: Compos mentis



GCS



: E4 M6 V5



Berat Badan



: 68 kg



Tinggi Badan



: 170 cm



BMI



: 23.5 (Normal)



a. Tanda - Tanda Vital Tekanan Darah



: 135/79 mmHg



Nadi



: 74x/menit



Laju Napas



: 20x/menit



Suhu



: 36.2 oC



Saturasi O2



: 98 %



b. Status Generalis Kepala dan Leher Kepala



Normosefali, Tidak ada bekas luka, hematom Retrognatia (-), Mikrognatia (-)



Leher



Tidak tampak jejas Tidak tampak pembesaran KGB Lingkar leher dalam batas normal Telinga AD



AS



Inspeksi



Normotia, simetris, Tidak ada hematoma, Tidak ada laserasi kulit Tidak tampak hiperemis



Normotia, simetris, Tidak ada hematoma, Tidak ada laserasi kulit Tidak tampak hiperemis



Palpasi



Tidak teraba kalor dan tumor



Tidak teraba kalor dan tumor Tidak ada nyeri tarik telinga



Tidak ada nyeri tarik telinga Tidak ada nyeri tekan tragus Tidak ada nyeri tekan mastoid



Tidak ada nyeri tekan tragus Tidak ada nyeri tekan mastoid



Otoskopi



Liang telinga lapang, Tidak hiperemis, Tidak terdapat sekret Terdapat serumen, Membran timpani intak Refleks cahaya positif di jam 5



Liang telinga lapang, Tidak hiperemis Tidak terdapat sekret Terdapat serumen Membran timpani intaks Refleks cahaya positif di jam 7



Tes Pendengaran



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Hidung dan Sinus Paranasal KNDS Inspeksi



Bentuk hidung dalam batas normal, Tidak tampak adanya tumor, laserasi ataupun hiperemis.



Palpasi



Tidak ada krepitus Tidak ada nyeri tekan pada sinus paranasal



Rhinoskopi Anterior



Cavum nasi tampak sempit, Tampak eritema dan edema pada konka inferior, Tampak sekret serous Tidak tampak deviasi septum Tidak ada darah Meatus media tertutup



Rhinoskopi Posterior



Tidak dilakukan



Transiluminasi



Tidak dilakukan Mulut dan Tenggorok



Mulut



Bibir simetris, mukosa lembab



Tenggorok



Arkus faring simetris Uvula edema redundant Mallampati grade 4 Tonsil T1/T1 Terdapat refluks Tampak hiperemis pada dinding faring posterior



Terdapat post nasal drip



Thorax Inspeksi



Bentuk dada dalam batas normal Pengembangan dada simetris Iktus kordis tidak terlihat Tidak ada bekas luka, bekas operasi, hematoma ataupun spider naevi.



Palpasi



Pengembangan dada simetris Taktil vocal fremitus simetris Iktus kordis teraba di ICS 5 linea axillary anterior



Perkusi



Sonor pada seluruh lapang paru, Tidak ditemukan adanya pelebaran batas jantung



Auskultasi



Suara napas vesikuler di seluruh lapang paru Bunyi jantung S1, S2 reguler Abdomen



Inspeksi



Datar, supel, tampak bekas luka operasi, tidak tampak caput medusae, hematoma ataupun striae.



Auskultasi



Bising usus dalam batas normal



Perkusi



Timpani di seluruh lapang abdomen, Tidak ditemukan splenomegali ataupun hepatomegali.



Palpasi



Tidak teraba adanya massa ataupun pembesaran organ. Ekstremitas



Ekstremitas Atas



Teraba hangat, CRT < 2 detik, Motorik : 4 /5



Teraba hangat, CRT < 2 detik, Motorik : 5/5



Ekstremitas Bawah



Teraba hangat, CRT < 2 detik, Motorik : 4 /5



Teraba hangat, CRT < 2 detik, Motorik : 5 /5



1.3.2 Pemeriksaan Fisik Pasien (2) Keadaan Umum



: Tampak sakit sedang



Kesadaran



: Compos mentis



GCS



: E4 M6 V5



Berat Badan



: 82 kg



Tinggi Badan



: 162 cm



BMI



: 31.2 (Obesitas



Tanda - Tanda Vital Tekanan Darah



: 167/116 mmHg



Nadi



: 74x/menit



Laju Napas



: 20x/menit



Suhu



: 36.2 oC



Saturasi O2



: 98 %



c. Status Generalis Kepala dan Leher Kepala



Normosefali, Tidak ada bekas luka, hematom Retrognatia (-), Mikrognatia (-)



Leher



Tidak tampak jejas Tidak tampak pembesaran KGB Lingkar leher > 40 cm Telinga AD



Inspeksi



Normotia, Simetris,



AS Normotia, Simetris,



Tidak ada hematoma, Tidak ada laserasi kulit Tidak tampak hiperemis



Tidak ada hematoma, Tidak ada laserasi kulit Tidak tampak hiperemis



Palpasi



Tidak teraba kalor dan tumor Tidak ada nyeri tarik telinga Tidak ada nyeri tekan tragus Tidak ada nyeri tekan mastoid



Tidak teraba kalor dan tumor Tidak ada nyeri tarik telinga Tidak ada nyeri tekan tragus Tidak ada nyeri tekan mastoid



Otoskopi



Liang telinga lapang, Tidak hiperemis, Tidak terdapat sekret Terdapat serumen, Membran timpani intak Refleks cahaya positif di jam 5



Liang telinga lapang, Tidak hiperemis Tidak terdapat sekret Terdapat serumen Membran timpani intaks Refleks cahaya positif di jam 7



Tes Pendengaran



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Hidung dan Sinus Paranasal KNDS Inspeksi



Bentuk hidung dalam batas normal, Tidak tampak adanya tumor, laserasi ataupun hiperemis.



Palpasi



Tidak ada krepitus Tidak ada nyeri tekan pada sinus paranasal



Rhinoskopi Anterior



Cavum nasi lapang Deviasi septum (+) Konka inferior edema (-) Sekret (-), darah (-)



Rhinoskopi Posterior



Tidak dilakukan



Transiluminasi



Tidak dilakukan Mulut dan Tenggorok



Mulut



Bibir simetris, mukosa lembab



Tenggorok



Arkus faring simetris Uvula elongasi



Mallampati grade 3 Tonsil T3/T3



1.4 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium ( 22 / 10 / 21 ) Hasil



Unit



Referensi



Hemoglobin



13.10 (L)



g/dL



13.20 - 17.30



Hematokrit



39.00 (L)



%



40.00 - 52.00



RBC



4.27



106 /uL



4.40 - 5.90



8.60



103 /uL



3.80 - 10.60



Basofil



1



%



0-1



Eosinofil



5



%



1-3



Band Neutrophil



3



%



2-6



Segment Neutrophil



59



%



50-70



Lymphocyte



26



%



25-40



Monocyte



6



%



2-8



Platelet



314.00



103 /uL



150 - 440



ESR



26 (H)



mm/jam



0 -15



MCV



91.30



fL



80 - 100



MCH



30.70



pg



26 - 34



MCHC



33.60



g/dL



32 - 36



PT



9.80



detik



9.4 - 11.3



INR



0.94 detik



23.40 - 31.50



WBC



APTT



(L)



22.20 (L)



D-dimer



0.32 (H)



ug/mL



0 - 0.3



Ureum



24.0



mg/dL



< 50



Creatinine



0.86



mg/dL



0.5 - 1.3



e-GFR



102.5



mL/ min/1.37 m2



≥ 60



Uric Acid



5.90



mg/dL



3.5 - 7.2



SGOT (AST)



21



U/L



0 - 40



SGPT (ALT)



15



U/L



0 - 41



Random Blood Glucose



93.0



mg/dL



< 200



Sodium (Na)



140



mmol/L



137 - 145



Potassium (K)



3.8



mmol/L



3.6 - 5.0



Chloride (Cl)



104



mmol/L



98 - 107



Hasil



Unit



Referensi



Total Cholesterol



193



mg/dL



< 200 : Desirable 200 - 239 : Moderate ≥ 240 : High



HDL Chol



49.0



mg/dL



< 40 : Low ≥ 60 : High



LDL Chol



133 (H)



mg/dL



= 60



Sodium (Na)



139



mmol/L



137 - 145



Potassium (K)



4.2



mmol/L



3.6 - 5.0



Chloride (Cl)



104



mmol/L



98 - 107



Laboratorium ( 30 / 10 / 2021)



Ureum



(24/10/2021) Isothermal SARS CoV - 2 : Negative b. Pemeriksaan MRI Kepala Non Kontras Pasien (1) Pemeriksaan MRI Kepala Non-Kontras dilakukan pada 22 Oktober 2021. Didapatkan : -



Sinusitis ethmoid bilateral dan frontal kiri.



Gambar 1. MRI Kepala Non Kontras Pasien (2) Tidak ada pemeriksaan radiologi lainnya c. Pemeriksaan Nasolaryngoscopy Pasien (1) : dilakukan pemeriksaan nasolaringoskopi 26/10/2021 Ditemukan : -



Kavum nasi sempit, sekret serous



-



Nasofaring reflux (+), hipertrofi, tonsil lingual grade 3, standing secretion pada sinus piriformis dan valekula, epiglottis U-shape, arytenoid edema, hipertrofi komisura posterior, edema laring (+), edema subglottic, thick (+).



-



Pergerakan pita suara simetris, rima glottis terbuka.



Dengan kesimpulan adanya: -



Laryngopharyngeal reflux (LPR)



-



Rhinosinusitis



Gambar 2. Nasolaryngoscopy Pasien 1



Reflux Finding Score (RFS) Subglottic Edema



2 : present 0 : absent



2



Ventricular Obliteration



2 : partial 4 : complete



2



Erythema / Hyperemia



2 : arytenoids only 4 : diffuse



2



Vocal Fold Edema



1 : mild 2 : moderate 3 : severe 4 : polypoid



1



Diffuse Laryngeal Edema



1 : mild 2 : moderate 3 : severe 4 : obstructing



1



Posterior Commissure Hypertrophy



1 : mild 2 : moderate 3 : severe 4 : obstructing



1



Granuloma / Granulation



2 : present 0 : absent



0



Thick Endolaryngeal Mucus



2 : present 0 : absent



2 TOTAL : 11



Pasien (2) : Dilakukan pemeriksaan nasolaringoskopi 8/11/2021 Ditemukan : -



Tampak septum deviasi sinistra, cavum nasi lapang, hipertrofi adenoid 10%



-



Hipertrofi tonsil lingual grade 3, standing secretion pada sinus piriformis dan valekula, aritenoid edema, hipertrofi komisura posterior, edema subglotis,



-



Pergerakan pita suara simetris, rima glotis terbuka.



-



Muller maneuver = laterolateral kolaps orofaring 70%



Dengan kesimpulan adanya : -



OSA Syndrome



-



Laryngopharyngeal reflux



-



Hipertrofi tonsil dan elongasi uvula



Gambar 3. Nasolaryngoscopy Pasien 2



d. Pemeriksaan Polysomnography (PSG) Pasien 1 : Dilakukan pemeriksaan polysomnography pada 24 Oktober 2021. Ditemukan : Apnea-Hypopnea Index (AHI)



: 15, 6 → Moderate sleep apnea



Respiratory Disturbance Index (RDI) Supine : 15, 8 RERA



:0



Flow limitation O2



: 0.2



Minimal SpO2



: 89%



Arousal Index



: 9,3 (60)



Pasien 2 : Dilakukan pemeriksaan polysomnography pada 24 Oktober 2021. Ditemukan : Apnea-Hypopnea Index (AHI) : 8 → Mild sleep apnea AHI Supine



: 4.5



AHI Left



: 1.1



RERA



:0



Flow limitation O2



: 14.1%



e. Kuesioner Epworth Sleepiness Scale (Pasien 1) Situasi



0*



1.



Duduk dan membaca



2.



Menonton TV



3.



Duduk, inaktif di ruang publik (menonton bioskop, ruang rapat)



4.



Sebagai penumpang di dalam mobil selama 1 jam tanpa istirahat



5.



Berbaring saat istirahat siang ketika keadaan memungkinkan



6.



Duduk dan berbicara dengan orang lain



7.



Duduk diam setelah makan siang tanpa alkohol



8.



Di dalam mobil, ketika berhenti beberapa menit dalam situasi macet.



1*



2*



3*



✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓



Total : 13 (Moderate Excessive Daytime Sleepiness)



(Pasien 2) Situasi 9.



0*



1*



Duduk dan membaca



2*



3*







10. Menonton TV







11. Duduk, inaktif di ruang publik (menonton bioskop, ruang rapat)







12. Sebagai penumpang di dalam mobil selama 1 jam tanpa istirahat







13. Berbaring saat istirahat siang ketika keadaan memungkinkan 14. Duduk dan berbicara dengan orang lain



✓ ✓



15. Duduk diam setelah makan siang tanpa alkohol







16. Di dalam mobil, ketika berhenti beberapa menit dalam situasi macet.







Total : 11 (Mild Excessive Daytime Sleepiness)



*Keterangan : 0 → Tidak pernah akan tertidur 1 → Kemungkinan kecil akan tertidur 2 → Kemungkinan sedang akan tertidur 3 → Kemungkinan besar akan tertidur



f. Kuesioner STOP Bang (Pasien 1) Yes 1. Snoring (Do you Snore Loudly (loud enough to be heard through closed doors or your bed-partner elbows you for snoring at night)?







2. Tired ? Do you often feel Tired, Fatigued, or Sleepy during the daytime (such as falling asleep during driving or talking to someone)?







3. Observed ? Has anyone Observed you Stop Breathing or Choking/Gasping during your sleep ? 4. Pressure ? Do you have or are being treated for High Blood Pressure?



No



✓ ✓



5. Body Mass Index more than 35 kg/m2?







6. Age older than 50 ?







7. Neck size large ? (Measured around Adams apple) Is your shirt collar 16 inches / 40cm or larger?







8. Gender = Male ?



✓ Total : 4 ( Risiko OSA sedang / moderate )



(Pasien 2) Yes 1. Snoring (Do you Snore Loudly (loud enough to be heard through closed doors or your bed-partner elbows you for snoring at night)?



No







2. Tired ? Do you often feel Tired, Fatigued, or Sleepy during the daytime (such as falling asleep during driving or talking to someone)?







3. Observed ? Has anyone Observed you Stop Breathing or







Choking/Gasping during your sleep ? 4. Pressure ? Do you have or are being treated for High Blood Pressure?







5. Body Mass Index more than 35 kg/m2?







6. Age older than 50 ?







7. Neck size large ? (Measured around Adams apple) Is your shirt collar 16 inches / 40cm or larger?







8. Gender = Male ?



✓ Total : 4 ( Risiko OSA sedang / moderate )



g. Kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) (Pasien 1) Tidak bermasalah (0)



Sedikit bermasalah (1)



Hidung tersumbat yang hilang timbul sesuai dengan perubahan posisi kepala, cuaca atau suhu Hidung tersumbat yang menetap terutama pada salah satu sisi hidung yang lebih dominan



Agak bermasalah (2)



Cukup bermasalah (3)



Sangat bermasalah (4)











Kesulitan bernapas lewat hidung







Kesulitan tidur







Kesulitan mendapat cukup udara melalui hidung ketika sedang berolahraga atau melakukan pekerjaan berat







TOTAL : 9 x 5 (45 = Sedang)



(Pasien 2) Tidak bermasalah (0)



Hidung tersumbat yang hilang timbul sesuai dengan perubahan posisi kepala, cuaca atau suhu







Hidung tersumbat yang menetap terutama pada salah satu sisi hidung yang lebih dominan







Sedikit bermasalah (1)



Kesulitan bernapas lewat hidung







Kesulitan tidur







Kesulitan mendapat cukup udara melalui hidung ketika sedang berolahraga atau melakukan pekerjaan berat



Agak bermasalah (2)



Cukup bermasalah (3)



Sangat bermasalah (4)







TOTAL : 2 x 5 (10 = Ringan)



h. Reflux Symptoms Index (RSI) / Indeks Gejala Refluks (IGR) (Pasien 1) Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menderita :



0 = tidak sama sekali , 5 = sangat berat 0



Suara Serak



1



2



3



4







Mendehem







Lendir di tenggorok Kesulitan menelan



✓ ✓



Batuk setelah makan / berbaring Kesulitan nafas / choking Batuk yang mengganggu



✓ ✓ ✓



Rasa mengganjal di tenggorok Heartburn, rasa nyeri dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam



5



✓ ✓ TOTAL : 19



(Pasien 2) Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menderita :



0 = tidak sama sekali , 5 = sangat berat 0



Suara Serak



1



2



5







Lendir di tenggorok



✓ ✓



Batuk setelah makan / berbaring







Kesulitan nafas / choking







Batuk yang mengganggu







Rasa mengganjal di tenggorok Heartburn, rasa nyeri dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam



4







Mendehem



Kesulitan menelan



3



✓ ✓ TOTAL :16



I. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) (Pasien 1) Selama sebulan yang lalu, 1.Kapan ( jam berapa ) biasanya anda tidur pada malam hari? Jam 11.00 2.Berapa lama ( dalam menit ) waktu yang anda perlukan untuk dapat tertidur tiap malam? > 60 menit 3.Kapan ( jam berapa ) biasanya anda bangun di pagi hari ? 07.00 4.Berapa jam lama tidur anda yang sebenarnya tiap malam ? ( hal ini berbeda dengan jumlah jam yang anda habiskan ditempat tidur ) 5 jam



Berikan tanda (✓) pada salah satu jawaban yang Bapak / Ibu anggap paling sesuai. No



Pertanyaan



5



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengalami tidak dapat :



Tidak Pernah



1 x seminggu



2 x seminggu



3 x seminggu ✓



a. Tidur di malam hari dalam waktu 30 menit b. Bangun tidur tengah malam atau dini hari







c. Harus bangun di malam hari untuk ke kamar mandi







d. Tidak dapat bernapas dengan nyaman saat tidur di malam hari







e. Batuk atau mendengkur keras saat tidur di malam hari







f. Merasa kedinginan atau menggigil demam saat tidur di malam hari







g. Merasa terlalu kepanasan saat tidur di malam hari







h. Mengalami mimpi buruk saat tidur di malam hari







i. Merasa kesakitan saat tidur di malam hari (misal : kram, pegal, nyeri)







j. Hal lain yang membuat tidur anda terganggu di malam hari, tolong jelaskan: Merasa tidak dapat bernapas







Berapa sering anda mengalami kesulitan tidur karena alasan tersebut 6



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengkonsumsi obat yang bisa menyebabkan rasa kantuk ? (diresepkan oleh dokter atau obat bebas)



7



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengalami kesulitan untuk tetap terjaga / segar / tidak merasa ngantuk ketika makan atau melakukan aktivitas lain ?



No



Pertanyaan



8



Seberapa antusias anda ingin menyelesaikan masalah yang anda hadapi ?



No



Pertanyaan



9



Pre-intervensi:











Tidak antusias



Kecil



Sedang



Besar







Sangat baik



Cukup baik



Buruk ✓



Sangat buruk



Bagaimana kualitas tidur anda selama 1 bulan yang lalu ? Post-intervensi :







Bagaimana kualitas tidur anda selama 1 minggu yang lalu ? (Pasien 2) Selama sebulan yang lalu, 1.Kapan ( jam berapa ) biasanya anda tidur pada malam hari? Jam 11.00 2.Berapa lama ( dalam menit ) waktu yang anda perlukan untuk dapat tertidur tiap malam? > 30 menit 3.Kapan ( jam berapa ) biasanya anda bangun di pagi hari ? 07.00 4.Berapa jam lama tidur anda yang sebenarnya tiap malam ? ( hal ini berbeda dengan jumlah jam yang anda habiskan ditempat tidur ) 6 jam. Berikan tanda (✓) pada salah satu jawaban yang Bapak / Ibu anggap paling sesuai. No



Pertanyaan



5



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengalami tidak dapat :



Tidak Pernah



1 x seminggu



2 x seminggu ✓



k. Tidur di malam hari dalam waktu 30 menit l. Bangun tidur tengah malam atau dini hari m.Harus bangun di malam hari untuk ke kamar mandi n. Tidak dapat bernapas dengan



✓ ✓







3 x seminggu



nyaman saat tidur di malam hari o. Batuk atau mendengkur keras saat tidur di malam hari







p. Merasa kedinginan atau menggigil demam saat tidur di malam hari







q. Merasa terlalu kepanasan saat tidur di malam hari







r. Mengalami mimpi buruk saat tidur di malam hari







s. Merasa kesakitan saat tidur di malam hari (misal : kram, pegal, nyeri)







t. Hal lain yang membuat tidur anda terganggu di malam hari, tolong jelaskan: Merasa tidak dapat bernapas







Berapa sering anda mengalami kesulitan tidur karena alasan tersebut 6



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengkonsumsi obat yang bisa menyebabkan rasa kantuk ? (diresepkan oleh dokter atau obat bebas)







7



Selama seminggu yang lalu, seberapa sering anda mengalami kesulitan untuk tetap terjaga / segar / tidak merasa ngantuk ketika makan atau melakukan aktivitas lain ?



No



Pertanyaan



8



Seberapa antusias anda ingin menyelesaikan masalah yang anda hadapi ?



No



Pertanyaan



9



Pre-intervensi:







Tidak antusias



Kecil



Sedang



Besar ✓



Sangat baik



Cukup baik



Buruk



Sangat buruk







Bagaimana kualitas tidur anda selama 1 bulan yang lalu ? Post-intervensi :







Bagaimana kualitas tidur anda selama 1 minggu yang lalu ? 1.5 Resume 1.5.1 Resume Pasien 1 Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang dengan CVDNH memiliki keluhan utama tidur mendengkur dan sering sakit kepala di pagi hari terutama saat bangun tidur. RSI > 13, ESS: 13 (Moderate EDS), STOP Bang: 4 (risiko OSA sedang), NOSE: 45 (obstruksi sedang), AHI moderate dan PSQI: 17. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dan indeks massa tubuh dalam batas normal. Pemeriksaan telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung



didapatkan kavum nasi dextra dan sinistra sempit, konka inferior eritema dan edema dengan sekret serosa. Pemeriksaan tenggorok didapatkan mallampati grade 4, tonsil dalam batas normal (T1/T1), terdapat refluks dan post nasal drip. Pada pemeriksaan penunjang MRI kepala non kontras didapatkan adanya sinusitis ethmoidalis dan frontalis. Pada pemeriksaan nasolaringoskopi didapatkan kesimpulan adanya laryngopharyngeal reflux / LPR dan rhinosinusitis. Pada pemeriksaan polisomnografi didapatkan hasil AHI sebesar 15,6 yang menunjukan adanya OSA derajat sedang dengan saturasi oksigen minimal sebesar 89 %. 1.5.2 Resume Pasien 2 Pasien laki-laki berusia 24 tahun datang dengan keluhan utama terbangun pada malam hari karena sulit bernapas dan terasa tercekik sejak 2 bulan. RSI > 13, ESS: 11 (Mild EDS), STOP Bang: 4 (risiko OSA sedang), NOSE: 20 (obstruksi ringan), AHI mild dan PSQI: 10. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital, indeks massa tubuh obesitas, lingkar leher > 40 cm. Pemeriksaan telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan kavum nasi dextra dan sinistra lapang, deviasi septum. Pemeriksaan tenggorok didapatkan uvula elongasi, tonsil T3/T3, mallampati grade 3. Pada pemeriksaan penunjang nasolaringoskopi didapatkan kesimpulan adanya obstructive sleep apnea (OSA), laryngopharyngeal reflux (LPR), hipertrofi tonsil dan elongasi uvula. Pada pemeriksaan polisomnografi didapatkan hasil AHI sebesar 8 yang menunjukkan adanya OSA derajat ringan. 1.6 Diagnosis a. Diagnosis Kerja Pasien 1 : -



Obstructive Sleep Apnea Moderate



-



Rhinosinusitis



-



Laryngopharyngeal Reflux (LPR)



b. Diagnosis Kerja Pasien 2 : -



Obstructive Sleep Apnea Mild



-



Hipertrofi tonsil dan elongasi uvula



-



LPR



-



Hipertensi sekunder



1.7 Tatalaksana Tatalaksana Pasien 1 : a. Non Medikamentosa -



Edukasi diet LPR



-



CPAP



b. Medikamentosa -



PPI 20 mg, tablet 2 x 1, PO



-



NaCl 0.9 % 3 x 30 ml (Cuci Hidung)



-



Fluticasone furoate nasal spray, 2 puff , 2x1



-



Desloratadine 5 mg, tablet 1x 1, PO



-



Chlorhexidine gluconate obat kumur 30 ml, 3x1



-



Erdosteine 300 mg, capsule 3x1, PO



Tatalaksana Pasien 2 : a. Non Medikamentosa -



Edukasi diet LPR



b. Medikamentosa -



PPI 20 mg, tablet 2 x 1, PO



-



NaCl 0.9 % 3 x 30 ml (Cuci Hidung)



c. Pembedahan -



Uvuloplatopharyngoplasty (UPPP)



1.8 Prognosis a. Ad Vitam



: dubia ad bonam



b. Ad Functionam : dubia ad bonam c. Ad Sanationam : dubia BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Saluran Napas Atas 2.1.1 Anatomi Hidung Hidung berasal dari ektoderm kranial dan terdiri dari kavitas nasal dan hidung bagian eksternal. Bagian eksternal merupakan suatu struktur piramidal pada bagian tengah wajah dengan penampangnya adalah tulang wajah. Kavitas nasal atau hidung bagian dalam terbagi menjadi kanan dan kiri yang dibatasi oleh septum nasi. Secara anatomis, hidung bagian dalam terbagi menjadi vestibulum nasi dan kavum nasi. Vestibulum adalah suatu bagian anterior inferior yang dindingnya adalah kulit dan mengandung banyak kelenjar sebasea, rambut kasar, dan folikel rambut. Batas atas dari vestibulum merupakan suatu katup nasal. Kavum nasi terdiri dari kanan dan kiri yang terbagi oleh septum nasi. Kavum ini terdiri atas epitel semu bersilia dan memiliki banyak sel goblet, selain itu juga dilapisi oleh kelenjar pada bagian lapisan submukosa yang menghasilkan banyak sekret mukus dan serosa. Pada bagian lateral hidung terdapat 3 konka yaitu konka inferior, konka media, dan konka superior. Pada beberapa orang terdapat tambahan konka suprema. Di antara setiap konka terdapat meatus yang merupakan jalan untuk aliran udara yang masuk. Selain itu, terdapat juga sinus paranasal sebanyak 4 pasang yaitu sinus maksilaris, sphenoidalis, frontalis, dan etmoidalis yang akan mengalirkan cairan sinus ke kavitas nasal.1,2



Gambar 4 : Anatomi Hidung



2.1.2 Anatomi Rongga Mulut



Rongga mulut terdiri atas mulut, palatum, gigi, dan lidah. Rongga mulut dibatasi oleh arkus alveolar pada maksila dan mandibula, gigi pada bagian depan, palatum halus dan kasar pada bagian superior, serta isthmus orofaring pada bagian posteriornya. Faring adalah suatu saluran yang berawal dari internal nares hingga ke bagian level kartilago krikoid. Faring memiliki posisi yang posterior terhadap kavum nasi dan rongga mulut, namun superior terhadap laring. Faring sendiri terbagi menjadi 3 daerah yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring berada pada bagian posterior dari kavum nasi. Orofaring berada pada bagian tengah dari faring di posterior dari rongga mulut yang memanjang hingga ke os hyoid. Laringofaring merupakan lanjutan dari os Hyoid hingga ke posterior esofagus dan anterior dari laring. Di antara orofaring dan laringofaring terdapat epiglotis yang memiliki fungsi untuk memisahkan kedua bagian ini agar tidak terjadi aspirasi saat seseorang sedang menelan. Dari laringofaring, akan terdapat laring yang menghubungkan struktur ini dengan trakea. letak laring adalah anterior dari esofagus dan merupakan suatu struktur yang fleksibel dan dinamik. Laring terdiri dari tulang rawan, otot, dan ligamen.2



Gambar 5 : Anatomi Rongga Mulut



2.2 Fisiologi Siklus Tidur



Rata-rata orang normal akan mengalami siklus tidur sebanyak 6 kali. Satu siklus tidur menghabiskan sekitar 90 menit, namun tidak semua orang memiliki durasi siklus tidur yang sama. Siklus tidur yang pertama cenderung memiliki durasi yang paling singkat yaitu 70 hingga 100 menit. Siklus tidur yang paling lama adalah siklus yang terakhir yaitu sekitar 90 hingga 120 menit. Siklus tidur terbagi menjadi 4 tahap:3 1. Tahap 1 (NREM): Merupakan tahap pertama siklus tidur yang berlangsung sekitar 1-5 menit. Seseorang akan mengalami penurunan kesadaran, mata akan tertutup, respon psikomotor akan menurun, namun masih mudah terbangun apabila dirangsang. 2. Tahap 2 (NREM) : Tahap 2 berlangsung sekitar 10-25 menit setelah tahap 1. Suhu tubuh akan mulai menurun, otot-otot akan lebih relaksasi, pernapasan dan nadi juga sudah mulai melambat. Pada saat ini, gelombang pada otak akan melambat, namun terdapat beberapa burst pada aktivitas otak yang membantu membuat seseorang untuk terbangun akibat stimulus eksternal. Pergerakan bola mata akan bergerak perlahan ke kiri dan kanan. Pada tahap ini pula seseorang akan mulai bermimpi. 3. Tahap 3 (NREM) : Tahap 3 disebut juga dengan deep sleep. Tahap ini merupakan kondisi dimana seseorang lebih sulit untuk dibangunkan. Tonus otot, nadi, laju pernapasan akan turun, dan tubuh akan lebih berelaksasi lagi. Pada tahap ini, terjadi



proses yang penting untuk pemulihan atau penyembuhan dan



pertumbuhan. Selain itu juga pada tahap ini akan ada proses pembentukan sistem kekebalan tubuh dan proses penting lainnya yang esensial dalam pertumbuhan seseorang. Meskipun pada tahap ini aktivitas otak melambat, namun tahap ini terbukti berkontribusi untuk meningkatkan kreativitas, pola berpikir, dan juga memori seseorang. Tahap ini berlangsung sekitar 20-40 menit. 4. Tahap 4 (REM) : Tahap REM merupakan suatu fase yang ditandai dengan adanya pergerakan bola mata yang cepat juga penurunan tonus otot pada seluruh tubuh, khususnya di ekstremitas. Pada tahap ini aktivitas otak lebih aktif dibandingkan



tahap lainnya. Tahap REM ini penting untuk fungsi kognitif seseorang seperti memori, pembelajaran, dan kreativitas. Biasanya pada tahap ini terjadi vivid dreams yang menandakan adanya peningkatan aktivitas otak yang signifikan. Dalam situasi normal, biasanya tahap ini dimulai 90 menit setelah seseorang tertidur dan dapat berakhir beberapa menit hingga beberapa jam. 2.3 Sleep Disordered Breathing 2.3.1 Definisi Sleep disordered breathing (SDB) merupakan suatu sindrom disfungsi saluran napas atas ketika tidur yang ditandai dengan mendengkur, terjadi peningkatan usaha respirasi akibat peningkatan resistensi saluran napas atas, dan kolaps pada faring. Sleep disordered breathing dapat dibagi menjadi primary snoring, upper airway resistance syndrome (UARS), obstructive sleep apnea (OSA), central sleep apnea (CSA), dan obesity hypoventilation syndrome (OHS).4, 5 2.3.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko Obstructive sleep apnea (OSA) adalah penyakit yang cukup jarang ditemui pada puluhan tahun yang lalu. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi OSA yang berkisar antara 0,1% hingga 13% dengan mayoritas penelitian menunjukkan frekuensi antara 1% hingga 4% dari total populasi. OSA derajat sedang hingga berat ditemukan pada 50% pria dan 25% wanita berusia paruh baya. Orang-orang obesitas yang semakin banyak menyebabkan peningkatan prevalensi OSA selama 30 tahun terakhir.5 Faktor predisposisi utama dari OSA adalah berat badan berlebih. Sekitar 58% kasus OSA derajat sedang hingga berat berhubungan dengan obesitas. Faktor risiko dari OSA dibedakan menjadi faktor struktural dan nonstruktural. Faktor struktural berhubungan dengan anatomi tulang kraniofasial pada pasien dengan OSA seperti retrognathia, mikrognatia, hipoplasia maxillo-mandibular, hipertrofi adenotonsilar, dan arkus palatum yang tinggi. Faktor non-struktural meliputi obesitas, distribusi lemak sentral, jenis kelamin laki-laki, pasca menopause, kebiasaan konsumsi alkohol, merokok, dan beberapa kondisi lain seperti hipotiroid, stroke, dan akromegali.5



2.3.3 Klasifikasi Berdasarkan International Classification of Sleeping Disorder 3 (ICSD-3), SDB diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu OSA, CSA, gangguan hipoventilasi yang berhubungan dengan tidur, dan gangguan hipoksemia yang berhubungan dengan tidur.6 2.3.3.1 Upper Airway Resistance Syndrome (UARS) UARS merupakan sindrom yang menyebabkan gangguan pada aliran udara di saluran napas bagian atas. Sindrom ini seringkali membuat pasien terbangun ketika tidur akibat adanya alterasi dari aliran udara. Kondisi ini dihubungkan dengan respiratory effort-related arousal (RERA) dimana pasien mengalami peningkatan usaha respirasi yang bersifat progresif. Sistem kardiovaskular juga mengalami peningkatan usaha akibat dari terpicunya aktivitas kortikal dan otonom. Pasien dengan UARS cenderung memiliki gejala insomnia, kadang disertai dengan keluhan mendengkur, namun jarang ditemukan adanya apnea. Gejala lain yang dimiliki pasien UARS adalah kelelahan pada siang hari, nyeri kepala, ekstremitas yang dingin, pingsan, dan tekanan darah yang cenderung rendah atau normal.7 2.3.3.2 Obstructive Sleep Apnea (OSA) OSA menyebabkan aliran udara berkurang atau berhenti ketika sedang bernapas akibat relaksasi dari otot faring. Sebagian besar orang dengan OSA akan mendengkur dengan keras, kemudian diikuti oleh periode berhenti bernapas akibat aliran udara berkurang hingga sepenuhnya terhenti. Sehingga, orang-orang dengan gejala ini akan merasakan choking, snorting, dan akan terdengar suara seperti kesulitan bernapas pada saat mereka berusaha untuk bernapas. OSA diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan gejalanya: 8 -



OSA derajat ringan adalah orang-orang dengan gejala sering mengantuk pada saat sedang beraktivitas ringan dan



tidak membutuhkan banyak konsentrasi seperti menonton dan membaca. -



OSA derajat sedang adalah orang-orang dengan gejala sering mengantuk saat sedang melakukan aktivitas yang membutuhkan cukup perhatian seperti ketika rapat dan presentasi.



-



OSA derajat berat adalah orang-orang dengan gejala sering mengantuk saat melakukan aktivitas yang membutuhkan perhatian lebih seperti ketika berbicara atau berkendara.



Penilaian risiko terjadinya OSA pada seseorang dapat dinilai dengan menggunakan screening tools berupa kuesioner STOP Bang. Dalam kuesioner tersebut faktor yang dinilai adalah sebagai berikut :



Gambar 6. Kuesioner STOP Bang



Setiap pertanyaan yang ada di kuesioner STOP Bang bernilai 1 untuk respon positif / ya. Skor akan dijumlahkan kemudian akan diinterpretasi besar kecilnya resiko terjadinya OSA. Bila didapatkan skor 0-2 maka beresiko rendah, 3-4 maka beresiko sedang dan ≥ 5 maka beresiko besar untuk mengalami OSA.9



2.3.3.3 Central Sleep Apnea (CSA) CSA merupakan hilangnya rangsangan untuk bernapas ketika tidur sehingga membuat ventilasi dan pertukaran gas tidak cukup atau bahkan tidak ada. Pada CSA, tidak terdapat usaha untuk melakukan respirasi. CSA berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti terbangun di malam hari, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, dan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular. CSA terbagi menjadi 2 jenis yaitu CSA hiperkapnik dan CSA non-hiperkapnik. CSA hiperkapnik adalah ketika pasien memiliki kerusakan pada ventilatory output saat sedang terbangun dan semakin memburuk saat sedang tidur. Kondisi yang terjadi adalah adanya hipoventilasi saat pasien sedang tidur. Hal ini biasanya disebabkan oleh tumor atau trauma pada struktur batang otak. Pada CSA non-hiperkapnik, seseorang dapat memiliki pola pernapasan yang tidak normal yaitu adanya variasi dari ventilasi antara apnea dan takipnea sebagai suatu usaha kompensasi. Pada umumnya, hal ini ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit jantung. CSA non-hiperkapnik juga dapat bersifat idiopatik. Hal ini ditandai dengan adanya gejala CSA namun pola ventilasi tidak bervariasi, pasien normokapnia, atau pasien hipokapnia saat sedang terjaga.10 2.3.4 Patofisiologi Pada kondisi normal, tonus otot akan menurun saat sedang tidur dan otot saluran napas atas akan relaksasi. Hal ini merupakan proses fisiologis yang terjadi selama seseorang sedang tidur. Pada penderita OSA, terjadi penyempitan saluran napas bagian atas sehingga akan terjadi turbulensi dari aliran udara yang masuk karena adanya obstruksi sebagian ataupun obstruksi komplit pada faring saat sedang tidur. Usaha untuk bernapas akan meningkat akibat saluran napas bagian atas kolaps sehingga terjadi apnea yang mengganggu proses tidur fisiologis. Selain itu, aktivitas neuromuskular pada saluran napas bagian atas pada keadaan normal ketika tidur akan mengalami penurunan refleks. Namun penurunan refleks ini akan lebih



prominen pada pasien dengan OSA dan mengakibatkan penurunan ventilasi ke otot saluran napas bagian atas. Hal inilah yang menyebabkan obstruksi. Efek Bernoulli berperan penting dalam patofisiologi OSA, dimana kecepatan aliran udara meningkat pada saluran napas yang menyempit sehingga tekanan udara pada dinding lateral akan menurun. Tekanan transmural yang merupakan perbedaan antara tekanan intraluminal dan jaringan sekitarnya juga akan menurun. Sehingga apabila terjadi penutupan tekanan transmural, jalan napas akan kolaps. Hal ini menjelaskan bagaimana seseorang dengan obesitas, khususnya dengan peningkatan lemak di leher kemungkinan besar menderita OSA.5 Keseimbangan antara tekanan negatif intralumen dan tonus dari otot dilator jalan napas memungkinkan terjadinya patensi jalan napas. Kompleksitas anatomi, fisiologi, serta dinamika kolapsibilitas dari faring merupakan bagian dari prinsip keseimbangan gaya jalan napas atas. Faktor-faktor yang mempengaruhi dilatasi jalan napas, yaitu tonus otot jalan napas, trauma mekanik dari jalan napas, maupun tekanan positif intralumen. Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi penyempitan jalan napas, berupa luas permukaan jaringan, tekanan permukaan adesif, dan tekanan negatif intralumen. Jalan napas dapat dilatasi (melebar) ataupun konstriksi (menyempit) yang dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyempitan diameter transversal faring dipengaruhi oleh tekanan negatif intratorakal ketika bernapas. Faktor yang berperan untuk kolaps dan faktor yang membuat patensi jalan napas membuat suatu keseimbangan yang mempertahankan permeabilitas jalan napas atas.21 Hal ini dapat dianalogikan dengan tanda adanya transmural forces (Ptm) meningkat, jalan napas akan mengalami dilatasi, sedangkan saat Ptm menurun maka jalan napas akan kolaps. Ptm merupakan hasil dari Pout (tekanan yang keluar) dikurangi Pin (tekanan yang masuk), atau Ptm = Pout - Pin.



Gambar 7. Balance of Force Model



Orofaring dapat dianalogikan seperti tabung yang dapat kolaps dan dibatasi oleh dua segmen kaku, berupa nasofaring pada bagian atas dan segmen trakea pada bagian bawah. Pendekatan Starling Resistor Model menjelaskan mengenai hubungan antara tekanan dan aliran dalam tabung yang mudah kolaps atau dapat kembang-kempis yang berada di dalam sebuah ruangan, dengan analogi orofaring sebagai tabung tersebut dan jaringan yang berada di leher sebagai ruangan yang mengelilingi orofaring. Orofaring dapat terbuka dengan baik, menutup atau terobstruksi sebagian, dan menutup atau terobstruksi total. Hal ini dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu tekanan yang berasal dari bagian proksimal yaitu hidung dan mulut; tekanan yang berada pada bagian distal seperti trakea dan struktur di bawah trakea, dan tekanan yang berada di orofaring itu sendiri yang dihasilkan oleh jaringan yang berada di sekitar orofaring. Tekanan



langsung



yang berasal



dari jaringan sekitar orofaring dapat



mempersempit saluran pernafasan bagian atas. Tekanan yang membesar yang berasal dari proksimal akan meredakan penyempitan yang terjadi pada orofaring. Karena saluran pernafasan bagian atas yang menyempit, seseorang akan memiliki usaha yang lebih untuk melakukan inspirasi, dan tekanan negatif berlebihan yang berasal dari di bawah pita suara (dihasilkan oleh diafragma) yang dihasilkan karena usaha inspirasi yang meningkat dapat mempersempit atau menyebabkan kolaps lebih lanjut pada orofaring. Pergerakan orofaring dapat mengembang dan mengempis menyesuaikan dengan perubahan tekanan, jika terjadinya sumbatan maka otot dilator faring (pharyngeal dilator muscle) akan berusaha mempertahankan keadaan orofaring menghindari terjadinya kolaps pada orofaring. Dalam keadaan tidur terutama pada fase Rapid Eye Movement (REM), selain



karena menurunnya kerja otot pada fase tidur tersebut, pasien OSA yang memiliki lingkar leher yang besar karena adanya jaringan atau jaringan lemak berlebih di sekitar orofaring dan nasofaring, mempersulit kerja dari otot dilator faring. Karena sumbatan yang terjadi, usaha respirasi akan semakin meningkat, tekanan negatif yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah dan diafragma meningkat, orofaring yang sudah sempit tersebut menjadi semakin sempit karena terjadinya kolaps akibat tekanan negatif berlebih, dan terjadilah episode apnea pada saat tidur.11



Gambar 8. Starling Resistor Model



2.3.5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis OSA dapat dibagi menjadi gejala nokturnal dan gejala pada siang hari. Gejala nokturnal biasanya meliputi mendengkur keras, apnea saat tidur, tidur tidak nyenyak, dan bernapas lewat mulut. Gejala pada siang hari meliputi tidur yang tidak restoratif dimana pasien merasa masih lelah ketika bangun tidur, nyeri kepala pada pagi hari, tenggorokan terasa nyeri dan kering, excessive daytime sleepiness, kelelahan pada siang hari, defisit kognitif, gangguan memori, penurunan libido, dan disruptive snoring. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan indeks massa tubuh >30 kg/m, lingkar leher >43 cm pada pria dan >37 cm pada wanita, skor mallampati yang tinggi, tonsil membesar (3+ atau 4+), retrognatia, mikrognatia, macroglosia, arkus palatum yang tinggi, dan pada beberapa kasus pasien memiliki hipertensi.5



2.3.6 Diagnosis Diagnosis OSA dapat dilakukan dari penilaian timbulnya gejala pada pasien, pemeriksaan fisik dan dengan pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling sering ditemukan adalah mendengkur keras, tidur tidak nyenyak dan rasa mengantuk berlebih di siang hari (daytime hypersomnolence). Untuk menilai rasa mengantuk saat siang hari dapat digunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan bila hasilnya > 10, maka pasien dapat dicurigai memiliki OSA. Kuesioner ESS sendiri terdiri dari 8 pertanyaan dengan masing-masing jawaban berskala 0-3, sehingga total skor maksimal yang dapat diperoleh adalah 24. Berikut merupakan interpretasi dari hasil skor ESS: 12 -



< 10



: Normal



-



11 - 12 : Mild Excessive Daytime Sleepiness (EDS)



-



13-15 : Moderate Excessive Daytime Sleepiness



-



16-24



: Severe Excessive Daytime Sleepiness



Gambar 9. Epworth Sleepiness Scale Selain mengevaluasi gejala excessive daytime sleepiness (EDS), evaluasi mengenai ada atau tidaknya faktor lain yang dapat mengganggu pernapasan yang dapat menyebabkan gangguan tidur juga dapat dilakukan. Untuk mengevaluasi hal tersebut dapat digunakan skoring Nasal Obstruction Symptoms Evaluation (NOSE) yang digunakan untuk menilai faktor sumbatan hidung yang dapat mengganggu / memperberat gangguan tidur. Skoring NOSE ini terdiri dari 5 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan memiliki skor rentang dari 0-4. Untuk setiap pertanyaan skor akan di kali 5, sehingga skor maksimal yang dapat diperoleh adalah 100. Bila hasil total skor berada pada rentang 5 -25 tergolong sumbatan ringan, 30-50 sumbatan sedang, 55 - 75 sumbatan berat dan ≥ 80 sumbatan sangat berat. Berikut merupakan skoring NOSE :



Gambar 10. Skoring NOSE Namun perlu diingat bahwa beberapa kondisi medis lainnya juga dapat menimbulkan rasa kantuk / kelelahan oleh karena itu perlu hal ini dapat dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengan kemungkinan OSA. Adapun kondisi ini menyangkut adanya anemia berat, disfungsi endokrin seperti hipotiroid, chronic fatigue syndrome, penyakit paru-paru seperti asma, emfisema, penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung kongestif dan gagal jantung kiri, sedang menjalani kemoterapi, gangguan psikiatri seperti depresi, malnutrisi, infeksi kronis, efek samping obat dan gangguan neurologi seperti Parkinson’s disease dan multiple sclerosis. Pemeriksaan fisik pada pasien bertujuan untuk menunjang kemungkinan diagnosis OSA, misalnya dengan melakukan perhitungan indeks massa tubuh, pengukuran tekanan darah, pengukuran lingkar leher, karakteristik dari habitus tubuh, posisi dan ukuran mandibula dan maksila, karakteristik bentuk muka serta pemeriksaan jalan napas atas menyangkut hidung dan mulut. Pemeriksaan dengan fiberoptic nasofaringoskopi merupakan pemeriksaan yang cukup penting dalam mengidentifikasi tingkatan obstruksi pada pasien OSA. Pemeriksaan penunjang yang menjadi baku emas dalam mendiagnosis OSA adalah dengan pemeriksaan polisomnografi nokturnal. Pemeriksaan polisomnografi dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya OSA pada pasien serta dapat mengetahui tingkat keparahan dari OSA tersebut. Pemeriksaan polisomnografi (PSG) ini mencakup pemeriksaan



elektroensefalogram



(EEG),



electrooculogram



(EOG),



submental



electromyogram (sEMG), elektrokardiogram (ECG), aliran udara, thoracoabdominal effort / respiratory effort dan oksimetri. Dari hasil pemeriksaan PSG juga dapat dilihat



apnea-hypopnea index (AHI) untuk mengetahui tingkat keparahan OSA. Apnea-hypopnea index didapatkan dari jumlah total periode apnea dan hipopnea dibagi dengan total waktu tidur. Bila AHI 5-15 tergolong OSA derajat ringan, 15-30 tergolong OSA derajat sedang dan > 30 tergolong OSA derajat berat. 2.3.7 Tatalaksana Mengingat OSA merupakan kondisi yang kronik, maka tatalaksana yang dilakukan juga dalam jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Rencana perawatan yang diberikan juga harus individual tergantung dari gejala yang timbul, anatomi jalan napas, tingkat keparahan dan ada tidaknya komorbid lainnya. Rencana perawatan yang diberikan bukan bertujuan untuk menyembuhkan, namun lebih bertujuan kepada perbaikan gejala dan kualitas hidup pasien dan mengurangi risiko kardiovaskular dan risiko lainnya. 2.3.7.1 Non Medikamentosa a. Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi gaya hidup merupakan hal yang tidak boleh dilupakan pada pasien-pasien OSA, terutama pasien yang obesitas. Perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan antara lain adalah mengurangi berat badan, menghindari posisi terlentang saat tidur. Penurunan berat badan pada pasien dengan OSA bermanfaat untuk mengurangi obstruksi yang ada di sekeliling leher pasien yang dikarenakan adanya perubahan anatomis. Pada pasien obesitas, didapatkan deposisi lemak pada bagian leher yang



menyebabkan



penyempitan



saluran



napas



serta



menyebabkan faring menjadi kolaps. Ada penelitian yang menunjukan bahwa penurunan berat badan sebanyak 10 % dapat menurunkan AHI sekitar 26 %. 13, 14 Di samping menurunkan berat badan dan menghindari posisi terlentang, melakukan disiplin sleep hygiene juga penting. Sleep hygiene disini mencakup perilaku / kebiasaan saat ingin tidur agar dapat memiliki kualitas tidur yang baik. Adapun hal itu



dapat dilakukan dengan cara menghindari nikotin, alkohol ataupun kafein saat ingin tidur, pola tidur yang teratur, suasana kamar tidur yang nyaman dan tenang, menghindari tidur siang, merokok,



menghindari



penggunaan



gadget



/



handphone,



menonton, makan makanan berat ataupun beraktivitas berat sesaat sebelum tidur.15 b. Terapi Positive Airway Pressure Terdapat beberapa jenis terapi Positive Airway Pressure yaitu CPAP (Continuous Positive Airway Pressure / Fixed Pressure CPAP), BIPAP (Bilevel Positive Pressure), dan Autotitrating Continuous Positive Airway Pressure. Sistem Positive Airway Pressure ini akan mengalirkan oksigen ke saluran napas atas dan berperan sebagai pneumatic splint di sepanjang faring yang kolaps, sehingga patensi jalan napas dapat dipertahankan untuk mencapai pernapasan yang efektif. CPAP sendiri terdiri dari masker yang akan dipasang menutupi hidung dan mulut yang dilengkapi dengan nasal prongs yang akan disambung ke generator. Saat ini terapi CPAP merupakan terapi yang paling sering dipilih pada pasien dengan OSA, khususnya pada OSA derajat ringan hingga sedang. CPAP juga dapat menjadi alternatif bagi pasien yang tidak ingin melakukan tindak pembedahan untuk OSA. 14



c. Terapi Pembedahan Terapi pembedahan yang dapat dilakukan mencakup pembedahan hidung / nasal surgery atau pembedahan palatum / palatal surgery. Adapun yang termasuk dalam nasal surgery yaitu septoplasty, valvuloplasty dan turbinoplasty. Sedangkan palatal surgery



yang



dimaksud



adalah



Uvulopalatopharyngoplasty



(UPPP) yang dimana akan dilakukan eksisi pada tonsil, posterior



palatum mole dan uvula. Operasi UPPP ini bertujuan untuk mengurangi / mengeliminasi obstruksi di jalan napas atas. Selain UPPP, dapat juga dilakukan CAPSO / Cautery-assisted palatal stiffening operation dan lateral faringoplasti. 14



Gambar 11. Septoplasti



Gambar 12. Turbinoplasti



Gambar 13. UPPP



2.3.8 Komplikasi Komplikasi dari SDB sangat bervariasi dan dapat mempengaruhi berbagai sistem organ tubuh. SDB dapat menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskular, sistem serebrovaskular, dan juga sistem hormonal. Pada sistem kardiovaskular, SDB dapat menyebabkan hipertensi sistemik maupun hipertensi pulmonal. Tekanan intratoraks akan meningkat ketika mengalami obstruksi dan akan menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis meningkat. Apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, dinding atrium kanan akan mengalami penebalan dan dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Selain itu, OSA dapat menyebabkan hipoksemia akibat obstruksi jalan napas. Pasien kesulitan bernapas saat tidur dan hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam darah berkurang. Kondisi ini akan memicu pengeluaran radikal bebas yang dapat merusak fungsi endotel. Pada sistem serebrovaskular, OSA menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial saat kondisi seseorang sedang apnea. Hal ini terjadi akibat vasodilatasi pembuluh darah serebral yang disebabkan oleh kondisi hiperkapnia sehingga akan menyebabkan gejala nyeri kepala di pagi hari. Sindrom metabolik juga merupakan salah satu komplikasi yang banyak dijumpai pada penderita OSA. Hal ini disebabkan oleh karena OSA dan sindrom metabolik memiliki faktor risiko yang sama yaitu, obesitas. Terdapat penelitian yang



menunjukkan bahwa OSA juga memiliki hubungan dengan resistensi insulin dan metabolisme glukosa yang terganggu. Resistensi insulin disebabkan oleh meningkatnya sitokin-sitokin dan mediator proinflamasi akibat dari obesitas.16, 17, 18, 19 2.3.9 Prognosis SDB dapat sembuh dengan baik apabila diberikan terapi yang efektif dan sesuai. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya komplikasi yang buruk bahkan hingga kematian apabila tidak terdeteksi. SDB dapat menyebabkan gangguan kognitif maupun gangguan sistemik yang akan menyebabkan komplikasi buruk seperti gagal jantung. Gangguan kognitif yang cukup berat juga dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari yang membutuhkan perhatian penuh.20 2.4 Reflux Laringofaringeal 2.4.1 Definisi Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau reflux laringofaringeal adalah kondisi dimana terjadi aliran balik dari isi lambung menuju laring dan faring. Isi gaster naik melalui lower esophageal sphincter (LES), lalu melewati upper esophageal sphincter (UES), melewati esofagus, dan naik hingga menuju laring dan faring. Aliran balik dari isi lambung ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi pada dinding mukosa laring dan faring sehingga terjadi perubahan morfologi pada saluran napas atas. Pada individu sehat, terdapat 4 struktur yang mencegah terjadinya aliran balik yaitu lower esophageal sphincter (LES), upper esophageal sphincter (UES), peristaltik esofagus, dan faktor resistensi epitel. UES merupakan struktur terakhir untuk mencegah terjadinya reflux. Bagian distal faring dan sfingter esofagus proksimal hanya akan terbuka untuk kebutuhan fisiologis tertentu seperti menelan. Tonus pada area-area tersebut dapat melemah pada keadaan tidur, anestesi umum, dan kebiasaan merokok.21, 22, 23



2.4.2 Epidemiologi Data mengenai prevalensi reflux laringofaringeal sangat terbatas. Banyak pasien tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit ini karena gejalanya yang kurang spesifik dan tidak ada pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis laryngopharyngeal reflux. Hal ini menyebabkan tidak ada data epidemiologi yang membahas mengenai reflux laringofaringeal. Suatu studi menunjukkan bahwa 86% dari 105 orang dewasa sehat yang menjadi responden penelitian memiliki temuan laringoskopi yang terkait dengan reflux. Studi lain juga mengatakan bahwa sekitar 10% pasien yang mengunjungi klinik rawat jalan THT memiliki gejala yang mengarah pada reflux laringofaringeal.22, 24 2.4.3 Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya LPR. Faktor risiko yang pertama adalah usia di atas 40 tahun. Mukosa laring pada orang berusia di atas 40 tahun mengalami perubahan di bagian superfisial dari lamina propria, dimana terjadi edema di area sana. Produksi kelenjar di area laring pada orang berusia di atas 40 tahun juga mulai berkurang, menjadikan laring pada orang-orang ini lebih kering dibandingkan dengan orang-orang yang berusia lebih muda. Otot-otot di sekitar laring juga mengalami atrofi. Selain perubahan pada laring, mukosa epitel plika vokalis juga mengalami perubahan dimana mukosa menjadi lebih tipis. Otot-otot sfingter yang terdapat di esofagus juga melemah sehingga kemungkinan terjadinya refluks pada orang usia lanjut semakin tinggi.25 Selain usia, gaya hidup juga sangat berkaitan dengan LPR. Sebuah studi meneliti mengenai perubahan skor Reflux Symptoms Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS) pada responden sebelum berhenti merokok dan sesudah berhenti merokok. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai skor yang signifikan. Penggunaan rokok dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan terjadinya iritasi laring bersifat kronis yang disebabkan oleh edema dari pita suara serta hipertrofi dari posterior commissure. Hal ini mempermudah konten refluks untuk kontak dengan posterior commissure. Zat-zat berbahaya rokok juga



membuat tonus LES dan UES menurun sehingga meningkatkan risiko terjadinya LPR.26 Orang-orang yang obesitas juga lebih rentan untuk mengalami refluks laringofaringeal dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki indeks massa tubuh normal. Hal ini disebabkan oleh karena tekanan intra abdominal dari orang-orang dengan obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Tekanan intra abdominal yang tinggi pada orang-orang obesitas ini menyebabkan refluks konten gaster yang bersifat langsung mengiritasi ke mukosa laring dan faring yang tidak memiliki mekanisme protektif seperti mukosa pada esofagus. Selain obesitas, peningkatan tekanan intra abdominal juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan sesaat sebelum tidur. Makan membuat tekanan intra abdominal meningkat, kemudian ditambah dengan posisi berbaring ketika tidur yang membuat tonus sfingter melemah.27, 28 2.4.4 Patofisiologi LPR terjadi akibat 2 mekanisme iritasi yaitu iritasi langsung dan iritasi tidak langsung. Iritasi langsung dari struktur laringofaring disebabkan oleh karena adanya refluks langsung dari cairan-cairan digestif yang menyebabkan terjadinya kerusakan langsung pada struktur laringofaring. Cairan-cairan digestif yang dapat menyebabkan kerusakan secara langsung ini adalah asam lambung, garam empedu, pepsin,



tripsin



dan



beberapa



protein-protein



lain



yang



berasal



dari



gastroduodenum. Mikrotrauma yang terjadi dapat menyebabkan berkurangnya resistensi epitelium yang kemudian menyebabkan adanya lesi-lesi destruktif pada pita suara, ditambah lagi dengan gejala berdehem dan sensasi globus (sensasi mengganjal) yang menyebabkan eksaserbasi dari mikrotrauma vokal. Kejadian yang berulang ini menyebabkan terjadinya inflamasi, kemerahan dari pita suara, terdapat sebagian dari pita suara yang menjadi avaskular dan berwarna putih sehingga menyebabkan perubahan dari suara pasien menjadi serak. Apabila iritasi dan inflamasi ini terus-menerus terjadi, maka dapat terjadi perubahan morfologis dari pita suara yaitu adanya keratosis, displasia, metaplasia, penebalan, ulserasi bahkan granuloma. Hasil dari inflamasi kronik yang terjadi merupakan kerusakan



pada struktur mikro, yaitu epitel pelapis pita suara yang menjadi pertahanan terhadap refluks semakin lemah sehingga kejadian refluks laringofaringeal semakin sering terjadi secara berulang. Mekanisme kedua terjadinya LPR adalah iritasi tidak langsung. Mekanisme ini berhubungan dengan kelainan pada nervus vagus (nervus kranialis X). Nervus vagus menginervasi traktus aerodigestif, termasuk pada saluran pernapasan atas, saluran pernapasan bawah, dan saluran pencernaan. Adanya kerusakan pada nervus vagus menyebabkan gangguan dari fungsi organ yang dipersarafi. Perubahan-perubahan pada saluran aerodigestif yang terjadi pada pasien yang mengalami gangguan pada nervus vagus adalah perubahan refleks laringeal, digestive reflex arch, motilitas dan gerakan peristaltik pada esofagus terganggu. Gangguan motilitas dan peristaltik ini menyebabkan terhambatnya pengosongan lambung sehingga lebih rentan untuk terjadinya refluks. Nervus vagus juga membantu sekresi dari lambung dan cairan empedu serta menstimulasi terbukanya sfingter Oddi. Laring merupakan struktur yang sangat banyak inervasi dan refluks akan langsung terdeteksi, sehingga menyebabkan adanya mekanisme protektif yaitu batuk. Pada pasien refluks laringofaringeal, terdapat penurunan refleks dari aduktor laring, sehingga dapat menyebabkan terjadinya cedera akibat stasis dari laring.29, 30 2.4.5 Manifestasi Klinis Keluhan yang sering dialami pasien penderita LPR adalah batuk persisten, berdehem, globus faringeus (sensasi mengganjal), dan suara serak. LPR tidak hanya menyebabkan gejala pada tenggorokan, namun juga dapat menyebabkan gejala pada hidung seperti post-nasal drip, alergi, dan kelainan penghidu. Gejala non-spesifik lainnya yang dapat ditemukan adalah bau mulut dan kelainan indra perasa. Studi juga mengatakan bahwa terdapat gejala telinga yang berhubungan dengan LPR yaitu masalah pada telinga tengah dan telinga bagian dalam. Mekanisme penyebab terjadinya masalah pada telinga bagian tengah dan bagian dalam ini dipercaya karena adanya reflux yang masuk melalui tuba eustachius



yang dapat masuk hingga ke telinga bagian tengah maupun dalam sehingga mengganggu struktur tulang di dalam telinga.31 2.4.6 Diagnosis Diagnosis LPR dilakukan dari gejala klinis, pemeriksaan laringoskopi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat anamnesis dilakukan, klinisi harus mengidentifikasi gejala dari LPR, kebiasaan pasien dan faktor risiko medis lainnya pada pasien yang dapat mengarah kepada diagnosis LPR. Dari anamnesis dapat digunakan screening tools berupa skoring Reflux Symptoms Index (RSI). Pada skoring RSI ini terdapat 9 pertanyaan mengenai gejala LPR dengan masing-masing skor bernilai dari 0 hingga 5. Total maksimal yang dapat diperoleh adalah sebesar 45. Bila total skor > 13 maka dapat dipertimbangkan pasien mengalami LPR dan berikut merupakan skoring RSI:



Gambar 7. Reflux Symptom Index Pemeriksaan laringoskopi pada LPR dapat ditemukan adanya edema laring seperti pada pasien dengan laringitis kronik. Pemeriksaan lain yang sering dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis LPR adalah endoskopi laring. Seiring dengan pemeriksaan endoskopi laring, dapat juga dilakukan penilaian dengan skoring Reflux Finding Score (RFS). Pada skoring RFS terdapat 8 temuan yang dapat dikaji saat melakukan endoskopi. Total skor maksimal yang dapat



diperoleh adalah 26 dan bila skor ≥ 11 umumnya dianggap sebagai indikasi LPR. Berikut merupakan skoring RFS:



Gambar 8. Reflux Finding Score



Keterangan : 1 : coated tongue, edema pillar anterior 2 : edema pillar anterior 3 : eritema laring difus ( ventricular fold / false cord , area retrocrioid, komisura posterior ) 4 : mukus ( pooling di sinus piriformis sinistra) 5 : hipertrofi berat pada tonsil lingua 6 : hipertrofi ringan-sedang pada tonsil lingua 7 : eritema epiglottis 8 : komisura posterior 9 : edema retrocricoid dan granulasi pada komisura posterior



Gambar 9. Temuan laringoskopi pada LPR32 Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah dengan pemantauan pH secara berkelanjutan (continuous pH monitoring). Pada pemeriksaan ini pH probe akan dipasang sekitar 5 cm dari sfingter esofagus bawah / LES. Probe pH yang terpasang dapat mendeteksi perubahan pH di esofagus, faring dan hipofaring tergantung dari lokasi pemasangannya. Oleh karena itu pemasangan pH probe ini diyakini sebagai baku emas untuk mendiagnosis GERD ataupun EER (Extraesophageal reflux).33 2.4.7 Tatalaksana 2.4.7.1 Non-medikamentosa Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk dilakukan oleh pasien penderita LPR mengingat bahwa gaya hidup sangat berkaitan dengan penyakit ini. Pasien dengan LPR disarankan untuk mengatasi kelebihan berat badan dengan cara melakukan olahraga rutin dan mengurangi asupan kalori harian. Hal-hal lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan konsumsi sayur serta buah, mengurangi konsumsi makanan asam, pedas, berlemak, dan juga minuman berkafein, menghindari konsumsi alkohol serta rokok, makan terakhir minimal 3 jam sebelum tidur, dan menaikkan bantal ketika tidur sekitar 30 derajat.28



2.4.7.2 Medikamentosa Obat pilihan yang diberikan kepada pasien-pasien dengan LPR adalah proton-pump inhibitor (PPI), H2 reseptor antagonis, dan neuromodulator. Dalam pengobatan LPR, PPI dipercaya sebagai obat yang dapat mengurangi gejala-gejala dari penyakit ini. Pemberian PPI dapat diberikan selama 12 minggu. Namun penggunaan PPI sendiri tanpa adanya modifikasi gaya hidup dari pasien bersifat sia-sia, karena banyak sekali studi yang membuktikan bahwa penggunaan PPI sendiri tidak berbeda hasilnya dengan pemberian plasebo. Oleh sebab itu manajemen utama yang terbaik bagi pasien dengan LPR adalah pemberian PPI diikuti dengan modifikasi gaya hidup dari penderita. H2 reseptor antagonis dapat diberikan sebagai obat tambahan yang diberikan bersamaan dengan PPI. Pemberian H2 reseptor antagonis dengan PPI dikatakan dapat mengurangi gejala nokturnal yang dialami oleh pasien di malam hari, sehingga H2 reseptor antagonis paling baik diminum pada malam hari. Obat ini bekerja dengan cara mengurangi sekresi oleh lambung, terutama berguna bagi pasien yang sering merasakan gejala-gejala refluks dari asam di malam hari. Sebuah studi menemukan bahwa pemberian kombinasi terapi antara PPI dengan H2 reseptor antagonis menunjukkan bahwa terdapat perbaikan gejala dan penurunan dari skoring RFS dan RSI pada pasien. Pada studi ini, yang digunakan adalah Omeprazole 40 mg yang dikonsumsi pada pagi hari sebelum sarapan pagi diikuti dengan pemberian Ranitidine sebanyak 300 mg sebagai H2 reseptor antagonis yang dikonsumsi malam hari sebelum tidur. Penurunan gejala serta skoring RFS serta RSI yang ditemukan pada kombinasi obat-obatan dalam studi ini ditemukan dalam waktu 4 bulan setelah pengobatan kombinasi dimulai. Obat lain yang dapat digunakan adalah agen neuromodulator. Agen neuromodulator dapat diberikan jika pemberian PPI yang sudah dikombinasi dengan H2 reseptor antagonis tidak memiliki efek yang diharapkan dalam mengurangi gejala LPR. Agen neuromodulator dapat



digunakan untuk mengurangi gejala batuk pada pasien yang menderita LPR.34, 35, 36 2.4.8 Prognosis Mengubah gaya hidup dan pengobatan untuk menangani gejala yang ada membutuhkan waktu dan juga kepatuhan serta kesadaran diri pasien. Namun, apabila dilakukan dengan konsisten, maka gejala akan membaik. Modifikasi pola makan serta olahraga rutin dapat menurunkan faktor risiko LPR, ditambah dengan medikamentosa menggunakan PPI, LPR memiliki prognosis yang baik.37 2.5 Rhinosinusitis 2.5.1 Definisi Berdasarkan EPOS 2020, rhinosinusitis pada dewasa dapat didefinisikan sebagai



inflamasi



yang terjadi pada hidung dan sinus paranasal yang



dikarakteristikan dengan 2 gejala atau lebih, dimana salah satunya adalah hidung tersumbat atau adanya cairan yang keluar dari hidung (anterior / post nasal drip). Selain itu, dapat dijumpai gejala lain seperti adanya nyeri wajah dan pengurangan atau hilangnya penghidu. Pada pemeriksaan endoskopi dapat ditemukan adanya nasal polip dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus media dan atau edema / obstruksi mukosa pada meatus media. Pada pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal dapat ditemukan adanya perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal (KOM) dan atau sinus. Rhinosinusitis juga dapat dibedakan menjadi akut dan kronik berdasarkan waktunya. Apabila gejala rhinosinusitis terjadi < 12 minggu dikatakan sebagai rhinosinusitis akut sedangkan bila terjadi ≥ 12 minggu. Rhinosinusitis akut yang terjadi ≥ 4 episode per tahun dengan resolusi gejala yang komplit di antara tiap episodenya disebut recurrent acute rhinosinusitis (RARS) atau rhinosinusitis akut berulang.38



2.5.2 Etiologi dan Faktor Risiko Rhinosinusitis dapat disebabkan oleh bakteri, viral ataupun fungal. Pada rhinosinusitis akut umumnya disebabkan karena infeksi viral, namun tidak menutup kemungkinan juga disebabkan dari bakteri atau yang dikenal dengan nama acute bacterial rhinosinusitis (ABRS). Pada rhinosinusitis akut (acute rhinosinusitis / ARS) virus penyebabnya adalah virus-virus yang juga menyebabkan infeksi saluran napas atas, sedangkan pada kasus ABRS bakteri penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella



catarrhalis atau



Staphylococcus



aureus. Rhinosinusitis yang



disebabkan oleh fungal umumnya terjadi pada pasien yang immunocompromised dan infeksinya dapat mengancam nyawa, dimana organisme penyebabnya yang umum adalah Mucormycosis dan Aspergillus. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam perkembangan rhinosinusitis, diantaranya adalah faktor host dan faktor lingkungan. Faktor host diantaranya adalah genetik ( immotile cilia syndrome, cystic fibrosis), variasi anatomi (konka bulosa, konka paradoks, septal spur), riwayat alergi dan gangguan imun, neoplasma. Adapun faktor lingkungan yang berperan antara lain adanya infeksi bakteri, virus ataupun fungal ataupun inflamasi sekunder yang diakibatkan adanya kolonisasi bakteri atau fungal, trauma, paparan asap rokok, paparan bahan iritan secara akut maupun kronik. Adapun faktor lainya yaitu faktor iatrogenik yang dimana hal ini mencakup karena adanya tindakan pembedahan, nasal packing dan akibat penggunaan pipa nasogastrik.33



2.5.3 Patofisiologi Terjadinya rhinosinusitis umumnya diawali karena adanya infeksi saluran napas atas, baik itu karena bakteri ataupun viral. Saat terjadi infeksi saluran napas atas mukosa nasal menjadi edema dan mengalami inflamasi, terjadi gangguan pembersihan siliar dan memproduksi mukus kental yang dapat mengobstruksi sinus paranasal. Adanya obstruksi inilah yang memfasilitasi pertumbuhan bakteri dengan cepat. Allergen juga dapat menjadi salah satu penyebab rhinosinusitis. Adanya reaksi antigen-antibodi menyebabkan terjadinya pelepasan histamin dan mediator



inflamasi



lainnya.



Mediator



inflamasi



yang



dilepaskan



akan



menyebabkan perubahan pada permeabilitas vaskular, destabilisasi membran lisosom dan reaksi lainnya yang dapat menghasilkan inflamasi, pembengkakan mukosa dan obstruksi ostia sinus.33, 39 2.5.4 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada rhinosinusitis dapat dibagi menjadi gejala / tanda mayor dan minor. Adapun yang termasuk gejala / tanda mayor diantaranya adalah nyeri pada wajah, bengkak pada wajah (facial fullness), hidung tersumbat, keluarnya sekret hidung yang terkadang purulen, hiposmia / anosmia, ditemukan sekret purulen saat pemeriksaan hidung serta dapat disertai demam. Sedangkan gejala lainnya yang dapat muncul / gejala minor yaitu sakit kepala, halitosis, batuk, otalgia / telinga terasa penuh, sakit gigi dan demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan pada wajah, eritema dan edema terutama pada daerah periorbital, adenopati servikal, post nasal drainage. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan adanya edema mukosa, pengerasan mukosa (mucous crusting), sekret purulen, bahkan dapat ditemukannya polip ataupun kelainan anatomi lainnya. Pada pemeriksaan palpasi sinus paranasal dapat ditemukan adanya rasa nyeri pada sinus paranasal yang dipalpasi.33, 39



2.5.5 Diagnosis Diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakan berdasarkan klinis sesuai dengan definisinya. Pemeriksaan penunjang lain seperti CT Scan kepala dengan potongan corona dapat mendukung. Umumnya hasil CT Scan yang didapatkan berupa opasifikasi sinus, air-fluid levels, pergeseran dinding sinus dan penebalan mukosa. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah kultur dan biopsi untuk mengetahui penyebabnya terutama pada kasus rhinosinusitis kronik karena bakteri atau fungal. 2.5.6 Tatalaksana Tatalaksana yang diberikan dapat berupa non medikamentosa dan medikamentosa. Tatalaksana non medikamentosa pada pasien rhinosinusitis dapat dilakukan cuci hidung untuk membantu mengeluarkan sekret. Tatalaksana medikamentosa harus disesuaikan oleh patogen penyebab. Apabila rhinosinusitis disebabkan karena viral, tidak dianjurkan memberikan antibiotik dan dianjurkan bila diduga kuat disebabkan oleh bakteri. Antibiotik digunakan secara empiris dan berdasarkan pola resistensi di lingkungan sekitarnya. Antibiotik yang umumnya dipakai adalah amoxicillin atau amoxicillin-klavulanat selama 10 -14 hari. Bila gejala tidak kunjung membaik dalam 7 hari setelah pemberian obat, maka perlu dipertimbangkan penggunaan antibiotik yang memiliki spektrum lebih luas lagi. Pemberian metronidazole dapat untuk meningkatkan cakupan terhadap bakteri anaerob. Obat lainnya yang dapat digunakan adalah kortikosteroid nasal, oral / nasal dekongestan. Kortikosteroid nasal dapat membantu meredakan edema mukosa nasal terutama pada rhinosinusitis kronik atau karena adanya alergi.39 2.5.7 Komplikasi dan Prognosis Adapun komplikasi yang dapat timbul dari rhinosinusitis dapat dikategorikan menjadi lokal dan sistemik. Komplikasi lokal sebagian besar disebabkan oleh letak anatomis sinus dengan struktur sekitarnya, yaitu orbita dan basis cranii. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah penyebaran infeksi ke area tersebut karena letaknya yang berdekatan dengan sinus paranasal. Infeksi dapat menyebar melalui lamina papyracea hingga ke bagian orbita. Lamina papyracea



sendiri merupakan lapisan tulang tipis yang memisahkan sinus ethmoidalis dengan orbita. Selain dari sinus ethmoid, penyebaran ke orbita juga dapat berasal dari sinus frontalis, oleh karena dasar dari sinus frontalis merupakan bagian atap dari orbita. Komplikasi lokal yang dapat terjadi diantaranya adalah mucocele, selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, subdural empyema hingga trombosis vena.40 Umumnya kasus rhinosinusitis dapat diobati dan memiliki prognosis yang baik, namun pada kasus fungal rhinosinusitis cenderung memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.39



BAB III ANALISIS KASUS Tn. C memiliki mallampati grade 4, LPR, dan rhinosinusitis yang dapat menjadi faktor risiko OSA. Dipikirkan adanya OSA, riwayat merokok, dan riwayat hipertensi dapat menjadi faktor risiko CVDNH yang dialami oleh pasien. Faktor risiko OSA untuk Tn. E adalah obesitas, deviasi septum, tonsil T3/T3, uvula elongasi, mallampati grade 3, dan LPR. Mallampati dan kelainan anatomi merupakan faktor risiko struktural dari OSA. Kelainan anatomi ini membuat obstruksi jalan napas atas. Pada OSA terjadi peningkatan tekanan intratorakal dan intraabdomen karena peningkatan usaha bernapas. Tekanan intraabdominal naik menyebabkan reflux dan merusak mukosa, membuat inflamasi serta edema. Hal ini menyebabkan obstruksi jalan napas dan memperparah OSA. Rhinosinusitis yang menjadi faktor risiko OSA pada Tn. C menyebabkan edema di kompleks osteomeatal yang membuat mukosa saling berhimpitan. Kerja cilia menjadi terganggu sehingga clearance mukus terganggu dan ada gangguan ventilasi (airflow) karena obstruksi. CVDNH yang dimiliki Tn. C juga dipikirkan berhubungan dengan OSA karena menurut penelitian, OSA dan CVDNH memiliki korelasi karena pada OSA terjadi apnea/hipopnea yang menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang terjadi pada otak dapat meningkatkan risiko CVDNH. Pada orang obesitas seperti Tn. E juga dapat terjadi penumpukan lemak di area leher yang menyebabkan saluran napas menyempit dimana hal ini berhubungan dengan patofisiologi OSA. Berdasarkan pemeriksaan penunjang polisomnografi, didapatkan AHI Tn. C Moderate dan AHI Tn. E Mild. Bila dinilai skoring NOSE dari Tn. C hasilnya lebih besar daripada Tn. E, dimana hal ini dimungkinkan karena Tn. C memiliki rhinosinusitis yang dapat memperberat obstruksi jalan napas. Tatalaksana yang diberikan pada pasien dibagi menjadi tatalaksana non-medikamentosa dan tatalaksana medikamentosa. Mengedukasi pasien untuk melakukan diet LPR sangat penting untuk dilakukan, mengingat gaya hidup berkaitan erat dengan LPR. Pasien dengan LPR disarankan untuk mengatasi kelebihan berat badan dengan cara melakukan olahraga rutin dan mengurangi asupan kalori harian. Namun pasien pada kasus ini memiliki IMT normal, sehingga pasien harus diedukasi untuk menjaga berat badannya. Hal-hal lain yang perlu dilakukan untuk mengurangi gejala adalah meningkatkan konsumsi sayur serta buah, mengurangi konsumsi



makanan asam, pedas, berlemak, dan juga minuman berkafein, menghindari konsumsi alkohol serta rokok, makan terakhir minimal 3 jam sebelum tidur, dan menaikkan bantal ketika tidur sekitar 30 derajat. Tatalaksana non-medikamentosa lain selain modifikasi gaya hidup adalah pemakaian CPAP sebagai terapi untuk OSA yang dimiliki pasien Tn. C. Terapi Positive Airway Pressure ini akan mengalirkan oksigen ke saluran napas atas dan berperan sebagai pneumatic splint di sepanjang faring yang kolaps, sehingga patensi jalan napas dapat dipertahankan untuk mencapai pernapasan yang efektif. Hingga saat ini, CPAP merupakan terapi yang paling sering dipilih untuk pasien dengan OSA, khususnya pada OSA derajat ringan hingga sedang. CPAP juga dapat menjadi alternatif bagi pasien yang tidak ingin melakukan tindakan pembedahan untuk OSA atau memiliki kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Tn. C memiliki CVDNH yang menjadi kontraindikasi pembedahan akibat konsumsi obat-obatan antikoagulan. Untuk melakukan pembedahan, obat-obatan antikoagulan harus diberhentikan. Namun hal ini tidak memungkinkan oleh karena pasien sedang dalam kondisi CVDNH akut. Pada pasien Tn. E, dipilih terapi pembedahan UPPP karena pasien memiliki kelainan anatomis yang lebih banyak dibandingkan dengan Tn. C. Kelainan anatomis yang dimiliki oleh Tn. E adalah hipertrofi tonsil dan elongasi uvula. Tn. C juga tidak memiliki kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Tatalaksana medikamentosa yang diberikan pada pasien adalah terapi simtomatik untuk mengurangi gejala. Proton-pump inhibitor (PPI) merupakan obat pilihan yang digunakan untuk terapi LPR karena mekanisme kerjanya yang menghambat sekresi asam lambung. NaCl 0.9% untuk cuci hidung, fluticasone furoate nasal spray, dan desloratadine diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat rhinosinusitis. LPR dan rhinosinusitis yang dimiliki pasien harus diterapi agar tidak memperparah OSA akibat peradangan dan edema yang disebabkan oleh kedua penyakit tersebut. Pasien Tn. C juga mengeluhkan banyaknya dahak yang sulit keluar sehingga dapat diberikan erdosteine yang merupakan agen mukolitik.



DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo E. Ilmu THT-KL. 1st ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2019. 2. Mete A, Akbudak İH. Functional Anatomy and Physiology of Airway. In: Tracheal Intubation. InTech; 2018. 3. Vyas N. Stages of Sleep - Sleep Foundation. Sleep Foundation. 2020. 4. Ioachimescu OC, Collop NA. Sleep-Disordered Breathing. Vol. 30, Neurologic Clinics. Neurol Clin; 2012. p. 1095–136. 5. Memon J, Manganaro SN. Obstructive Sleep-disordered Breathing - StatPearls - NCBI Bookshelf. 2020. 6. Sateia MJ. International classification of sleep disorders-third edition highlights and modifications. Chest. 2014 Nov 1;146(5):1387–94. 7. Palombini L, Lopes MC. Most important clinical aspects of UARS compared to OSAS. Researchgate. 2011. Available from: 8. Arnold J, Sunilkumar M, Krishna V, Yoganand S, Kumar M, Shanmugapriyan D. Obstructive sleep apnea. Vol. 9, Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences. Medknow Publications; 2017. p. S26–8. 9. Toronto Western Hospital, University Health Network. University of Toronto. STOP Bang Questionnaire. Canada; 2012 10. Eckert DJ, Jordan AS, Merchia P, Malhotra A. Central sleep apnea: Pathophysiology and treatment. Chest. 2007 ;131(2):595–607. 11. Stalford CB. The Starling resistor: a model for explaining and treating obstructive sleep apnea. Vol. 72, AANA Journal Course. 2003: 133–8 12. Johns MW. About the ESS. The Epworth Sleepiness Scale. 13. Slowik JM, Collen JF. Obstructive Sleep Apnea. StatPearls. StatPearls Publishing; 2021. 14. Johnson J, Rosen C, editors. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th edition. Philadelphia: Lippincot; 2014. p. 509–14. 15. Yazdi Z, Loukzadeh Z, Moghaddam P, Jalilolghadr S. Sleep Hygiene Practices and Their Relation to Sleep Quality in Medical Students of Qazvin University of Medical Sciences. J Caring Sci. 2016 Jun 1;5(2):153–60.



16. Greene MG, Carroll JL. Consequences of sleep-disordered breathing in childhood. Curr Opin Pulm Med. 1997 ;3(6):456– 63. 17. Sawatari H, Chishaki A, Nishizaka M, Tokunou T, Adachi S, Yoshimura C, et al. Cumulative hypoxemia during sleep predicts vascular endothelial dysfunction in patients with sleep-disordered breathing. Am J Hypertens. 2016 Apr 1 ;29(4):458–63. 18. Parish JM, Adam T, Facchiano L. Relationship of metabolic syndrome and obstructive sleep apnea. J Clin Sleep Med. 2007 Aug 15 ;3(5):467–72. 19. Castaneda A, Jauregui-Maldonado E, Ratnani I, Varon J, Surani S. Correlation between metabolic syndrome and sleep apnea. World J Diabetes. 2018 Apr 15 ;9(4):66–71. 20. Kingman P. Strohl. Obstructive Sleep Apnea - Pulmonary Disorders - MSD Manual Professional Edition. 2020. 21. Salihefendic N, Zildzic M, Cabric E. Laryngopharyngeal Reflux Disease - LPRD. Med Arch (Sarajevo, Bosnia Herzegovina). 2017 Jun 1;71(3):215–8. 22. Lechien JR, Saussez S, Muls V, Barillari MR, Chiesa-Estomba CM, Hans S, et al. Laryngopharyngeal Reflux: A State-of-the-Art Algorithm Management for Primary Care Physicians. J Clin Med. 2020. 23. Brown J, Shermetaro C. Laryngopharyngeal Reflux. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021. 24. Hicks D, Ours T, Abelson T, Vaezi M, Richter J. The Prevalence of Hypopharynx Findings Associated with Gastroesophageal Reflux in Normal Volunteers. Journal of Voice. 2002;16(4):564-579. 25. Widiantari IAA, Sucipta IW. Karakteristik penderita laryngopharyngeal reflux yang di diagnosis berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding score di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Tahun 2015-2017. 2019; 26. Kayalı Dinc AS, Cayonu M, Sengezer T, Sahin MM. Smoking Cessation Improves the Symptoms and the Findings of Laryngeal Irritation. Ear, Nose Throat J. 2020 Feb 1;99(2):124–7. 27. Young Jung S, Choon Park D, Hoon Kim S, Geun Yeo S. Role of Obesity in Otorhinolaryngologic Diseases. 2019. 28. Bortoli N, Martinucci I, Bellini M, Marchi S, Savarino E, Nacci A, et al. Optimal treatment of laryngopharyngeal reflux disease. Ther Adv Chronic Dis. 2013;4(6):287–301.



29. Lechien JR, Schindler A, Robotti C, Lejeune L, Finck C. Laryngopharyngeal reflux disease in singers: Pathophysiology, clinical findings and perspectives of a new patient-reported outcome instrument. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2019 Jun 1;136(3):S39–43. 30. Benninger MS, Campagnolo A. Chronic laryngopharyngeal vagal neuropathy [Internet]. Vol. 84, Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. Elsevier Editora Ltda; 2018. p. 401–3. 31. Kuo C-L. Laryngopharyngeal Reflux: An Update. Arch Otorhinolaryngology Neck Surgery. 2019 Jan 9 ;3(1). 32. Lechien JR, Bobin F, Muls V, Mouawad F, Dapri G, Dequanter D, et al. Changes of laryngeal and extralaryngeal symptoms and findings in laryngopharyngeal reflux patients. The Laryngoscope. 2020;131(6):1332–42. 33. Flint WP, Haughey BH, Lund VJ, Nirpako JK, Richardson MA, Robbins KT, Thomas JR, Cumming Otolaryngology Head & Neck Surgery. 7th ed. Vol 1: 2020 34. Singh Nanda M. Role of Adjuvant Lifestyle Modifications in Patients with Laryngopharyngeal Reflux Disease in Hilly Areas. Int J Sci Study. 2016 ;(10). 35. Hussain RT, Makhdoomi2 O, Showkat2 SA. Combination drug therapy for laryngopharyngeal reflux. Int J Otorhinolaryngology Head Neck Surg. 2020. 36. Patel D, Vaezi M. Laryngopharyngeal Reflux and Functional Laryngeal Disorder: Perspective and Common Practice of the General Gastroenterologist – Gastroenterology & Hepatology. Gastroenterology & Hepatology. 2018. 37. Campagnolo AM, Priston J, Thoen RH, Medeiros T, Assunção AR. Laryngopharyngeal reflux: Diagnosis, treatment, and latest research. Vol. 18, International Archives of Otorhinolaryngology. Fundacao Otorrinolaringologia; 2014. p. 184–91. 38. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, et.al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020 Rhinology.2020 Suppl. 29:1-464 39. Battisti A, Modi P, Pangia J. Sinusitis. Statpearls. 2021. 40. Erdem D, Arıcıgil M, Chua D. Complications of Rhinosinusitis. All Around the Nose. 2019;:221-228.