Prosiding Semnas Xi - 2015 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEKNIK SIPIL XI- 2015



INOVASI TEKNIK SIPIL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN KEMARITIMAN MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN



PROGRAM STUDI PASCASARJANA JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA



i



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



SEMINAR NASIONAL TEKNIK SIPIL XI-2015 TEMA: INOVASI TEKNIK SIPIL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN KEMARITIMAN MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN



SURABAYA, 28 JANUARI 2015



ii



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



PROGRAM STUDI PASCASARJANA JURUSAN TEKNIK SIPIL FTSP-ITS SURABAYA Mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas dukungan yang diberikan pada penyelenggaraan Seminar Nasional Teknik Sipil XI-2015. 28 Januari 2014 Kepada:



PT. NINDYA KARYA PT. ASMIN ADISENTOSA ESSENCE OF DHARMAWANGSA PT. WIJAYA KARYA BETON PT. INTI TEKNIK SOLUSI CEMERLANG PT. ADHIMIX PRECAST PT. TEKNINDO GEOSISTEM UNGGUL PT. WASKITA TOLL ROAD PT. ITS KEMITRAAN



PROGRAM SARJANA ITS PROGRAM PASCASARJANA ITS PROGRAM STUDI LINTAS JALUR LABORATORIUM MEKANIKA TANAH DAN BATUAN TEKNIK SIPIL ITS LABORATORIUM STRUKTUR TEKNIK SIPIL ITS LABORATORIUM BETON DAN BAHAN BANGUNAN TEKNIK SIPIL ITS LABORATORIUM PERHUBUNGAN DAN BAHAN KONSTRUKSI JALAN LABORATORIUM KEAIRAN DAN TEKNIK PANTAI PARA PEMAKALAH DAN PESERTA YANG TELAH BERPARTISIPASI DALAM SEMINAR INI



iii



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



iv



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL TEKNIK SIPIL XI – 2015 PROGRAM STUDI PASCASARJANA TEKNIK SIPIL FTSP-ITS



Pelindung



: Dekan FTSP-ITS Ketua Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Sekjur Teknik Sipil FTSP-ITS Kaprodi PPs T. Sipil FTSP-ITS



Ketua



: Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, MSc.



Wakil Ketua



: Dr. Ir. Wasis Wardoyo, MSc.



Sekretaris



: Danayanti Azmi Dewi Nusantara, ST, MT A. A. Ngr. Satria Damar Negara, ST., MT.



Bendahara



: Endah Wahyuni, ST., MSc., PhD



Koord. Sie Dana



: Dr.techn. Umboro Lasminto, ST, MSc Ir. Bambang Sarwono, MSc Ir. Anggrahini, MSc Trijoko Wahyu Adi, ST, MT, PhD Ir. Ervina Ahyudanari, ME., PhD



Sie Editor



: Nastasia Festy Margini, ST, MT Yang Ratri Savitri, ST, MT Putu Tantri Kumalasari, ST, MT Cahyono Bintang Nur Cahyo, ST, MT Aniendhita Rizki Amalia, ST, MT



Sie Publikasi dan Dokumentasi



: Mohamad Bagus Ansori, ST, MT Istiar, ST., MT Dimas W. L. Pamungkas, S.Kom.



Sie Konsumsi



: Ir. Ervina Ahyudanari, ME., PhD Endang Trismiati, A.Md. Ria Wardani



Sie Acara



: Dr. Ir. Edijatno Yusronia Eka Putri, S.T. M.T.



v



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Sie Perlengkapan



: Dr.techn. Umboro Lasminto, ST, MSc Djunarko



Kesekretariatan dan Pembantu Umum



: Robin Achmad Fauzi Debby Lusy F. T. H., SE Wisang Adji Rasmana



Reviewer



: Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA Prof. Dr. Ir. Triwulan, DEA Prof. Dr.Ir. Nadjaji Anwar, MSc Prof. Ir. Noor Endah, MSc. PhD Dr. Ir. Ria AA Soemitro, M.Eng Budi Suswanto, ST. MT. PhD Trijoko Wahyu Adi, ST. MT. PhD Ir. Putu Artama W., MT., PhD Ir. Faimun, M.Sc., PhD Endah Wahyuni, ST., MSc., PhD Ir. Hera Widyastuti, MSc., PhD



vi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



KATA PENGANTAR Pemerintah pusat dan daerah sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk menyongsong ASEAN economic community ( Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA) yaitu kumpulan negara ASEAN yang bertekad mewujudkan kawasan ekonomi yang terintegrasi. Seminar Nasional Teknik Sipil XI yang bertema ―Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN‖ diharapkan mampu memfasilitasi kegiatan tukar menukar dan diseminasi informasi perihal pengelolaan sumber daya air dan kemaritiman, karena memberikan dampak yang signifikan terhadap kekuatan ekonomi. Seminar ini diadakan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan pada tanggal 28 Januari 2015. Pada Seminar ini terdapat 101 makalah, yang meliputi topik Keairan dan Teknik Pantai, Transportasi, Struktur, Manajemen Konstruksi, Geoteknik, dan Manajemen Aset Infrastruktur. Semua makalah telah mengalami proses review oleh tim penilai makalah yang kompeten dibidang masing-masing dengan mengikuti kaidah penulisan makalah bermutu. Makalah tersebut akan dipresentasikan serta didiskusikan secara terbuka. Selain tujuan tersebut diatas, seminar ini bertujuan untuk memberikan sarana bagi dosen, mahasiswa, maupun praktisi dari seluruh penjuru Indonesia menyampaikan konsep, hasil riset, dan pemikirannya. Atas semua bantuan dan dukungan dari semua pihak, panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan akhir kata semoga semua makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.



Surabaya, 28 Januari 2015



Ttd Panitia



vii



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



viii



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



SAMBUTAN KETUA PANITIA Assalamualaikum Wr.Wb. Para peserta seminar dan pembaca prosiding yang kami hormati. Pemerintah pusat dan daerah sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk mengikuti perkembangan adanya ASEAN Economic Community ( Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA) yaitu kumpulan negara ASEAN yang



bertekad



mewujudkan



kawasan



ekonomi



yang



terintegrasi.



Sebagai



konsekuensinya, setiap anggota MEA memberi peluang pada para profesional untuk bermigrasi dari satu negara ke negara lain. Persaingan yang terbuka ini berdampak pada tuntutan peningkatan profesionalitas pelaku ekonomi dan pelaku sektor pendukungnya, tidak terkecuali para profesional Indonesia. Sektor pendukung utama ekonomi Indonesia yang perlu dioptimalkan adalah sektor sumber daya air, sektor kemaritiman dan enerji alternatif. Pengelolaan sumberdaya air secara optimal akan membawa dampak signifikan terhadap kekuatan ekonomi. Penguatan ekonomi tersebut ditunjukkan dengan ketercukupan pangan. Ketercukupan pangan ini dapat dicapai dengan peningkatan produksi pertanian, kelancaran transportasi inter dan antar pulau, pengurangan bencana banjir dan bencana kekeringan maupun bencana yang terkait oleh pengelolaan sumber daya air yang kurang tepat. Hal yang dapat dipertimbangkan lagi sebagai langkah optimalisasi potensi sumber daya air adalah inovasi daya air sebagai enerji alternatif yang ramah lingkungan. Sampai saat ini, potensi laut Indonesia belum dikelola secara optimal. Kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan potensi laut adalah kurangnya sumber daya manusia, keterbatasan sarana/prasarana ekonomi kemaritiman serta lemahnya pengawasan wilayah laut. Ketiga hal ini sangat mempengaruhi konektivitas antar pulau dan rendahnya



peningkatan



potensi



laut.



Masterplan



Percepatan



dan



Perluasan



Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang dirancang oleh pemerintah Indonesia (20112024) diharapkan mampu mengatasi masalah ini.



Insan akademisi dapat berperan



memacu terealisasikannya MP3EI dalam pembangungan sumber daya manusia dan melakukan inovasi perancangan sarana/sarana kemaritiman serta dalam teknologi pengawasan wilayah. Akademisi dapat pula berperan serta dalam sektor sumber daya air pada perancangan sarana/prasarana pemanfaatan sumber daya berwawasan lingkungan secara optimal.



ix



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Seminar Nasional Teknik Sipil XI-2015 ini dilaksanakan untuk memfasilitasi para akademisi, peneliti, birokrat, dan masyarakat umum untuk berkontribusi menyumbangkan ide, bertukar pikiran, konsep, dan risetnya dalam rangka memperluas wawasan terkait pengembangan dan implementasi program MP3EI. Diharapkan para peserta mendapatkan manfaat untuk menjalin hubungan kerjasama dan kolaborasi riset lebih lanjut. Tak lupa ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kami haturkan kepada Bapak Menteri Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia dan Bapak Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia atau yang mewakili atas kesediaannya memberikan pengarahan sebagai pembicara utama serta kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini, baik dari ITS, sponsor, partisipan, dan panitia pelaksana. Semoga kegiatan ini berjalan dengan lancar dan membawa kemaslahatan bagi kita semua. Wassalamualaikum Wr. Wb.



Ketua Panitia



Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, MSc.



x



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



DAFTAR ISI SUSUNAN PANITIA ................................................................................................... IV KATA PENGANTAR ................................................................................................ VII SAMBUTAN KETUA PANITIA ................................................................................ IX DAFTAR ISI ................................................................................................................. XI BIDANG 1 - KEAIRAN DAN TEKNIK PANTAI OPTIMASI A LOKASI AIR IRIGASI DENGAN METODE PROGRAMA LINIER ............................................................................................................................ 1 Acep Hidayat STABILITAS SALURAN DI DAERAH RAWA PASANG SURUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKTIVITAS ................................................ 9 Achmad Syarifudin ANALISA HIDRAULIK ALIRAN PADA KOLAM OLAK BERPENAMPANG MAJEMUK ................................................................................................................... 17 Agustinus Haryanto Pattiraja, Umboro Lasminto, Edijatno ANALISIS MASA MANFAAT WADUK SAGULING DI JAWA BARAT .......... 27 Ana Nurganah Chaidar, Indratmo Soekarno, Agung Wiyono & Joko Nugroho REKAYASA PERCABANGAN SUNGAI BENGAWAN SOLO DENGAN MODEL NUMERIK DUA DIMENSI UNTUK OPTIMALISASI ALIRAN KE FLOODWAY PLANGWOT ......................................................................................... 37 Andi Patriadi, Umboro Lasminto, dan Wasis Wardoyo HYDRODYNAMICS CHANGE AT REJOSO ESTUARY DUE TO JETTY CONSTRUCTION ....................................................................................................... 45 Ardiansyah Fauzi, Sutat Weesakul, Umboro Lasminto PENGARUH LEBAR PUNCAK DAN KEDALAMAN AIR DI ATAS MERCU TERHADAP TRANSMISI DAN REFLEKSI GELOMBANG PADA PEMECAH GELOMBANG BAWAH AIR .................................................................................... 53 Bambang Surendro STATIC ARMOUR LAYER, CAN THEY BE PREDICTED ................................. 63 Cahyono Ikhsan, Mamok Suprapto , Siti Qomariyah, Solichin DISTRIBUSI KONSENTRASI SEDIMEN SUSPENSI ARAH TRANSVERSAL PADA SALURAN MENIKUNG (STUDI KASUS PADA SALURAN IRIGASI MATARAM) ................................................................................................................. 73 Chairul Muharis, B. Agus Kironoto, B.Yulistiyanto dan Istiarto



xi



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean PEMODELAN POLA ALIRAN AIRTANAH DI KECAMATAN BANTARAN KABUPATEN POBOLINGGO ...................................................................................81 Faradlillah Saves, Nadjadji Anwar, dan Mas Agus Mardyanto EVALUASI POMPA AIR PRAPEN TERHADAP MUKA AIR BANJIR DI SALURAN WONOREJO ............................................................................................93 Ismail Sa‘ud, S. Kamilia Aziz, Annisaa Fitri, dan Luqmanul H. OPTIMALISASI SISTEM JARINGAN DRAINASE JALAN RAYA SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MASALAH GENANGAN AIR .........................101 Liany A. Hendratta APLIKASI PROGRAM HEC-GEOHMS DAN HEC-HMS DALAM PERHITUNGAN HIDROGRAF BANJIR DANAU LIMBOTO DI GORONTALO .......................................................................................................................................113 Bambang Sarwono, Muhammad Abdul Rahman, Umboro Lasminto, Sutikno, Komang Arya Utama STUDI PENGARUH PERUBAHAN KAPASITAS TAMPUNG DANAU LIMBOTO TERHADAP ALIRAN SUNGAI LIMBOTO GORONTALO ..........123 Muhammad Abdul Rahman,Umboro Lasminto, Bambang Sarwono, dan Edijatno PERENCANAAN OCEAN THERMAL ENERGY CONVERSION SEBAGAI SUMBER ENERGI UTAMA PADA DESA SAWAI, KABUPATEN MALUKU TENGAH .....................................................................................................................133 Muhammad Rasyid Angkotasan ANALISA PENGARUH TAMPUNGAN TERHADAP PENGENDALIAN BANJIR DAN PENYEDIAAN AIR BAKU PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KEMUNING - SAMPANG ............................................................................139 Qariatullailiyah, Wasis Wardoyo, dan Umboro Lasminto STUDI OPTIMASI SISTEM DRAINASE PADA PENGEMBANGAN KAMPUS ITS SURABAYA .........................................................................................................151 Reza Febrivia Luciana, Wasis Wardoyo, dan Umboro Lasminto ANALISA KEBUTUHAN AIR IRIGASI DAN KETERSEDIAAN AIR PADA WADUK NIPAH .........................................................................................................161 Risky Novita Darmayanti, Nadjadji Anwar dan Theresia Sri Sidharti STUDI PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI KARANG MUMUS AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS TAMPUNGAN WADUK BENANGA SAMARINDA .......................................................................................................................................171 Riyan Benny Sukmara, Nadjadji Anwar dan Edijatno STUDI PENGARUH FUNGSI BENDALI PADA PENGURANGAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) AMPAL KOTA BALIKPAPAN ................181 Rossana Margaret Kadar Yanti, Umboro Lasminto, dan Edijatno



xii



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 PENCARIAN DIAMETER OPTIMUM PADA SISTIM JARINGAN PIPA TERBUKA DENGAN ALGORITMA GENETIK.................................................. 191 Sulianto PEMETAAN POTENSI AIRTANAH CEKUNGAN PALU UNTUK OPTIMALISASI JARINGAN IRIGASI DI PROPINSI SULAWESI TENGAH 205 Triyanti Anasiru, Sance Lipu dan Zeffitni PENGAMATAN AWAL GERAK MATERIAL LAHAR DI SUNGAI GENDOL ...................................................................................................................................... 213 Wasis Wardoyo STUDI PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP HIDROGRAF ALIRAN DAS WELANG HULU ................................................... 223 Windari Wahyu Ningsih, Edijatno, dan Nadjadji Anwar UJI KINERJA AERATOR DALAM MENGURANGI GEJALA KAVITASI DI DASAR SALURAN CURAM ................................................................................... 233 Yeri Sutopo, Budi S. Wignyosukarto, Istiarto, dan Sasmito S. EVALUASI HIDROGRAF BANJIR DENGAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK DALAM MENGANALISA HUJAN-ALIRAN DI SUNGAI-SUNGAI BESAR KABUPATEN BANYUWANGI ................................................................. 243 Zulis Erwanto, dan Yuni Ulfiyati BIDANG 2 - TRANSPORTASI ESTIMASI BIAYA MANFAAT PENGEMBANGAN JARINGAN JALAN PENDUKUNG KONEKTIVITAS LOKAL DI KOTA BAUBAU ........................ 253 Fadly Ibrahim, Fadhil Surur, Andi Alifuddin ANALISIS NILAI WAKTU KENDARAAN PRIBADI JENIS MOBIL PENUMPANG UNTUK PERJALANAN KOMUTER DI KOTA SURABAYA . 261 Feni Widiyawati, Hera Widyastuti dan Wahju Herijanto KAJIAN BENTUK STERN HULL KAPAL SHALLOW DRAFT UNTUK MENINGKATKAN PERFORMANCE KAPAL ..................................................... 271 Habibie Sid'qon dan Aries Sulisetyono KERUGIAN TRANSPORTASI AKIBAT PEMBANGUNAN BOX CULVERT PADA RUAS JALAN BANDA ACEH – MEDAN STA 269+730.......................... 281 Herman Fithra



xiii



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean ANALISIS PENGGUNAAN RECLAIMED ASPHALT PAVEMENT (RAP) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN ASPAL DINGIN BERGRADASI TERBUKA DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL EMULSI JENIS KATIONIK (STUDI KASUS MATERIAL RAP DARI JALAN IR. SOEKARNO, TABANAN) ..........291 I G. B. M. Permana, R. A. A. Soemitro dan H. Budianto OPTIMASI ARMADA KAPAL RORO DAN LCT TERHADAP TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN KETAPANG – GILIMANUK .......................................................................................................................................299 Imam Fahamsyah, Hera Widyastuti, dan Wahju Herijanto ANALISIS DESAIN STRUKTUR KAPAL POMPONG BERBAHAN DASAR PLASTIK HIGH DENSITY POLYETHYLENE DI PERAIRAN RIAU PESISIR .......................................................................................................................................307 Jamal dan Wasis Dwi Aryawan PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KABUPATEN BANYUWANGI .......................................................................................................................................317 Maria Carolina Lopulalan, Joni Hermana dan Rachmat Boedisantoso MODEL PERTUMBUHAN DAN PERBANDINGAN MODEL PREDIKSI PENDUDUK KOTA SURABAYA PERIODE TAHUN 1994 - 2013 .....................329 Muhammad Shofwan, Donny Cahyono dan Hitapriya Suprayitno ANALISIS DAMPAK PEMILIHAN RUTE TERHADAP TITIK PERSIMPANGAN MENUJU WILAYAH SELATAN PULAU BALI .................341 Ni Luh Gede Sukma Weshima, Hera Widyastuti dan Wahju Herijanto STUDI NUMERIK TENTANG PENGENDALIAN ALIRAN SEKUNDER PADA AIRFOIL NASA LS-0417 DENGAN VORTEX GENERATOR DI DEKAT ENDWALL ...................................................................................................................351 Radiaprima Kartika Wijaya dan Sutardi ANALIS TEKNIS PERBANDINGAN VARIASI BENTUK BADAN KAPAL JENIS PLANING HULL DAN AXE BOW PADA KAPAL TIPE HIGH SPEED CRAFT .........................................................................................................................359 Romadhoni, IK.A.P Utama ANALISA PENGGUNAAN RECLAIMED ASPHALT PAVEMENT (RAP) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN ASPAL DINGIN JENIS OGEMS DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL EMULSI MODIFIKASI (STUDI KASUS MATERIAL RAP JALAN KOLONEL H. BURLIAN PALEMBANG) ...............371 Rudi Juharni, Ria A. A. Soemitro, dan Herry Budianto HUBUNGAN ANTARA SIKAP PENGGUNA, PEMILIHAN MODA, AKTIVITAS DAN TINGKAT KEPUASAN PADA PENGGUNAAN MODA TRANSPORTASI (MENGGUNAKAN PENDEKATAN SEM-PLS) ...................379 Tampanatu P. F. Sompie, Syanne Pangemanan



xiv



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 PROBABILITAS PERPINDAHAN MODA DARI BUS KE KERETA API DALAM RENCANA RE-AKTIVASI JALUR KERETA API JEMBERPANARUKAN ............................................................................................................ 389 Willy Kriswardhana dan Hera Widyastuti ANALISA PENGGUNAAN RECLAIMED ASPHALT PAVEMENT (RAP) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN ASPAL DINGIN (COLDMIX) BERGRADASI SEMI PADAT DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL CAIR MC-800 (STUDI KASUS MATERIAL RUAS JALAN AMLAPURA - ANGENTELU) ................. 397 A.A.G Esa A. Sanjaya, Ria A. A. Soemitro dan Herry Budianto ANALISIS PERILAKU LALU LINTAS SEBELUM DAN SESUDAH RENCANA PEMBANGUNAN SIMPANG TAK SEBIDANG KENTUNGAN YOGYAKARTA ...................................................................................................................................... 409 Adhi Muhtadi dan Supani TARGET PENINGKATAN PELAYANAN TERMINAL PURWOSARI ........... 415 Agung Sedayu EVALUASI TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) PADA RUAS JALAN I GUSTI NGURAH RAI PALU .................................................................................. 427 Arief Setiawan, Herdiyanti Sarika dan Mashuri ANALYZING THE CORRELATION BETWEEN ASPHALT CONTENT WITH COEFFICIENT OF COHESION (C), SHEAR MODULUS (G), AND INTERNAL FRICTION ANGLE (Φ) USING MICROSOFT EXCEL 2013 SOFTWARE ..... 437 Christian Gerald Daniel, Firdaus Chairuddin PREFERENSI MASYARAKAT DESA SENGONAGUNG TERHADAP PENGEMBANGAN FASILITAS PEDESTRIAN (STUDI RUAS JL. PESANTREN NGALAH DESA SENGONAGUNG KABUPATEN PASURUAN) ...................................................................................................................................... 451 Khofifah MENGHIDUPKAN KEMBALI JALUR TRAM SEBAGAI PRASARANA ANGKUTAN MASSAL CEPAT KOTA SURABAYA .......................................... 461 Budi Rahardjo, Hera Widyastuti, Wahju Herijanto dan A.A. Gde Kartika



BIDANG 3 - STRUKTUR PENERAPAN SISTEM ISOLASI SEISMIK UNTUK JEMBATAN PENDEKAT PENGHUBUNG PULAU KALIMANTAN DAN PULAU LAUT ......................... 467 Budi Santoso dan Ary Pramudito MENGETAHUI POTENSI KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BAHAYA GEMPA DENGAN RAPID VISUAL SCREENING.............................. 477 Endah Wahyuni, Pujo Aji dan Fadilah Alfia Nuri



xv



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean PENERAPAN METODE SELF-ANCHORAGE PADA PERENCANAAN JEMBATAN DANAU SIPIN-JAMBI .......................................................................487 Indra Nata Budi Santoso dan Tri Widya KAJIAN EKSPERIMENTAL PENYERAPAN ENERGI PADA BETON BERSERAT POLYOLEFIN......................................................................................497 Indra Sidik Permadi, Setyo Hardono dan Rulli Ranastra Irawan POROS MARITIM DUNIA DAN BENCANA TSUNAMI : PENGEMBANGAN AIR INFLATED STRUCTURE SEBAGAI FASILITAS TANGGAP BENCANA507 M. Ikhsan Setiawan, Hery Budiyanto, Fredy Kurniawan, Sri Wiwoho M dan Ronny D. Nasihien ANALISIS MEKANIK PENGARUH LIMBAH KERTAS (SLUDGE PAPER) PADA PEMBUATAN PAVING BLOCK ..................................................................517 M. Shofi‘ul Amin, Enes Ariyanto S., Erlina A. STUDI EKSPERIMENTAL RETROFIT KOLOM BETON BERTULANG MENGGUNAKAN CARBON REINFORCED POLYMER (CFRP) JACKETING527 Parmo, Tavio, Agus Sulistiawan, dan Karmila Achmad PENGARUH PENAMBAHAN PIROPILIT TERHADAP KUAT TEKAN BATA BETON RINGAN PASCA BAKAR .........................................................................537 Retno Anggraini, Ir. Ristinah dan I Dewa Nyoman Yoga Prawira POTENSI STYROGRAVEL SEBAGAI CAMPURAN BETON RINGAN YANG RAMAH LINGKUNGAN ..........................................................................................549 Soerjandani PM, Utari Khatulistini dan Andaryati PERILAKU SAMBUNGAN GESER DENGAN LEM PADA ELEMEN TARIK BAJA RINGAN ...........................................................................................................561 Sumaidi, Priyo Suprobo dan Endah Wahyuni BANGUNAN SEDERHANA TAHAN GEMPA MENGGUNAKAN PELAT LAMINASI ..................................................................................................................571 Tony Hartono Bagio, Ronny Durrotun Nasihien, Faimun, Priyo Suprobo DISAIN PENULANGAN BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN MACRO EXCEL BERDASARKAN SNI 2847-2013 ..............................................581 Tony Hartono Bagio, Tavio PEMANFAATAN SERBUK KAYU LOKAL KALIMANTAN DAN PASIR MAHAKAM SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN BATAKO KOMPOSIT MORTAR SEMEN .....................................................................................................589 Yudi Pranoto dan Cysilia Octavia



xvi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 BIDANG 4 - MANAJEMEN KONSTRUKSI ANALISIS PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA GRAHA UTAMA A. YANI SURABAYA ......................... 599 Akhmad Hady Amrullah, I Putu Artama Wiguna dan Retno Indryani HAMBATAN OPERATOR ALAT BERAT DALAM MEMPEROLEH SERTIFIKAT KEAHLIAN ...................................................................................... 611 Anton Soekiman dan Edo Pradeto PEMODELAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK (STUDI KASUS: PROYEK INFRASTRUKSTUR JALAN DI JAWA TIMUR) ................................................ 621 Christy Gery Buyang, I Putu Artama Wiguna dan Erma Suryani BID/NO-BID DECISION MAKING DI PT SURVEYOR INDONESIA (PERSERO) CABANG SURABAYA ....................................................................... 629 Eko Nurcahyanto dan Nadjaji Anwar PEMODELAN HUBUNGAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (STUDI KASUS PROYEK INFRASTRUKTUR JALAN DI WILAYAH JAWA TIMUR) ........... 639 Eko Prihartanto dan I Putu Artama Wiguna PEMODELAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN MENGGUNAKAN GAME THEORY (STUDI KASUS : PROYEK INFRASTRUKTUR JALAN DI WILAYAH JAWA TIMUR) ............................. 645 Fallan Kurnia Andrianto dan I Putu Artama Wiguna dan Erwin Widodo PERAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG KEINSINYURAN DALAM MENGAWAL PROFESIONALITAS TENAGA AHLI KONSTRUKSI INDONESIA ........................................................................ 653 Irika Widiasanti PERBANDINGAN CONSTRUCTION GRANT DAN MINIMMUM REVENUE GUARANTEE (MRG) SEBAGAI DUKUNGAN KELAYAKAN UNTUK MENGATASI KETIDAKLAYAKAN JALAN TOL DI INDONESIA ................ 663 Iris Mahani dan Rizal Z Tamin IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN PENYEBAB KERENTANAN BANGUNAN DI DAERAH RAWAN GEMPA PROVINSI BENGKULU .......... 671 M. Heri Zulfiar, Rizal Z. Tamin, Krishna S. Pribadi, Iswandi Imran IDENTIFIKASI FAKTOR DAN INDIKATOR RISIKO PADA PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI PADA RUAS JALAN DI INDONESIA ................................................................... 683 Mona Foralisa Toyfur



xvii



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEKERJAAN TAMBAH KURANG PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG ........................................693 Bayu Purnomo, Nirmalawati, Ruslan Moh. Yunus PERSEPSI INSINYUR TEKNIK SIPIL MENGENAI KELAYAKAN INFRASTRUKTUR PROVINSI JAMBI DI KORIDOR SUMATERA ...............705 Peter F Kaming, Ferianto Raharjo, Benedictus Satrio Joko Pitoyo ANALISA STRATEGI PERSAINGAN PERNIAGAAN GAS BUMI (STUDI KASUS PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) TBK. SBU DISTRIBUSI WILAYAH II) .............................................................................................................717 Wahyu Wicaksono dan I Putu Artama Wiguna PENGGUNAAN METODE LEVEL OF EFFORT PADA PENGUKURAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA AKTUAL PADA PEKERJAAN PEMBESIAN ...............................................................................................................729 Yusroniya Eka Putri, Cahyono Bintang Nurcahyo, dan Christina Yolanda BIDANG 5 - GEOTEKNIK STUDI PENINGKATAN TEGANGAN GESER TANAH LUNAK PADA PELAKSANAAN VACUUM PRELOADING BERDASARKAN PEMODELAN LABORATORIUM.....................................................................................................741 Aan Fauzi, Indarto dan Ria A. A. Soemitro PENGARUH PEMBESARAN KEPALA KOLOM BENTUK T-SHAPE PADA SISTEM FONDASI JALAN RAYA TERHADAP DEFORMASI AKIBAT PENGEMBANGAN TANAH EKSPANSIF .............................................................749 Agus Setyo Muntohar dan Rahmadika Arizal Nugraha PEMODELAN DAN SIMULASI BUTIRAN HALUS MENJADI BUTIRAN KASAR BERGRADASI BAIK (WELL GRADED) .................................................757 Akhmad Maliki, Noor Endah Mochtar, Ali Altway DESAIN EKSPERIMENTAL MENGGUNAKAN METODE TAGUCHI PADA DAYA DUKUNG LERENG YANG DIPERKUAT TIANG BAMBU KOMPOSIT .......................................................................................................................................765 As‘ad Munawir PENGGUNAAN METODE GIBSON & LO UNTUK PREDIKSI PEMAMPATAN TANAH GAMBUT BERSERAT YANG MENGALAMI PENURUNAN KADAR AIR ...............................................................................................................................775 Faisal Estu Yulianto dan Noor Endah Mochtar PENGARUH HUJAN 2 HARIAN TERHADAP STABILITAS LERENG DI DAS TIRTOMOYO WONOGIRI......................................................................................785 Hawin Widyo Hutomo, Noegroho Djarwanti, dan Niken Silmi Surjandari



xviii



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 PENGARUH KEMIRINGAN BIDANG GELINCIR DAN INDEKS KECAIRAN TERHADAP PENENTUAN NILAI VISKOSITAS MENGGUNAKAN FLUME CHANNEL................................................................................................................... 793 Budijanto Widjaja dan Ignatius Tommy Pratama KARAKTERISTIK STATIK DAN DINAMIK AKIBAT PENGARUH SIKLUS PEMBASAHAN – PENGERINGAN DAN PENAMBAHAN BAHAN STABILISATOR (KAPUR DAN BIO-BAKTERI) PADA TANAH RESIDUAL DI MOJOKERTO ........................................................................................................... 803 Laily Endah F., Aqidah Agustiyanda Anwardina, Rosseno, Ria A A Soemitro, dan Dwa Desa Warnana ANALISA STABILITAS TIMBUNAN BATUBARA PERUSAHAAN A BERAU KALIMANTAN TIMUR ........................................................................................... 813 Musta‘in Arif dan Herman Wahyudi PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK BERDASARKAN PENGUKURAN MIKROTREMOR (STUDI KASUS DI KECAMATAN KALIWATES DAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER ............................................................... 825 Nur Ayu Diana Citra Dewi S.P , Rini Trisno Lestari, Ria Asih Aryani Soemitro dan Dwa Desa Warnana ANALISA PONDASI DAN KESTABILAN LERENG TERHADAP TIANG DAN JALUR TRANSMISI 500 KV : JALUR UNGARAN ............................................. 833 Oktalina Winda Jayanti, Ria Asih Aryani S, dan Dwa Desa Warnana , Prasetyo Adi Wibowo, dan Rasgianti ANALISA MIKROTREMOR DENGAN METODE HVSR (HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRAL RATIO) UNTUK PEMETAAN MIKROZONASI GEMPA BUMI ........................................................................................................................... 841 Rini Trisno Lestari, Nur Ayu Diana Citra Dewi S.P., Ria Asih Aryani Soemitro, dan Dwa Desa Warnana KARAKTERISTIK MEKANIK DAN DINAMIK CLAY SHALE KABUPATEN TUBAN TERHADAP PERUBAHAN KADAR AIR .............................................. 851 Rizka Adi A. , Ria A A Soemitro, Dwa Desa Warnana. EFEK PANJANG TANCAP DAN SPASI CERUCUK DALAM PENINGKATAN TAHANAN GESER TANAH LUNAK BERDASARKAN PEMODELAN DI LABORATORIUM .................................................................................................... 861 Rusdiansyah, Indrasurya B. Mochtar dan Noor Endah Mochtar APLIKASI FUZZY LOGIC UNTUK MEMPERKIRAKAN JUMLAH DAN KEDALAMAN PONDASI TIANG .......................................................................... 871 Suwarno



xix



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean BIDANG 6 - MANAJEMEN ASET INFRASTRUKTUR MODEL DASAR TINJAUAN ASPEK EKONOMI MANAJEMEN ASET INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM ............................................................889 Hitapriya Suprayitno & Ria Asih Aryani Soemitro SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SEBAGAI DUKUNGAN KAJIAN PENANGANAN JALAN NASIONAL DENGAN ANALISIS MULTIKRITERIA (STUDI KASUS JALAN NASIONAL LINTAS UTARA DI PROVINSI JAWA TIMUR) .......................................................................................................................899 Moch Riza, Ervina Ahyudanari, dan Soemino ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS PENGELOLAAN MASYARAKAT BERDASARKAN PERSEPSI PENGELOLA HIMPUNAN PENDUDUK PEMAKAI AIR MINUM (HIPPAM) DI KABUPATEN TULUNGAGUNG.......................................................................................................909 Moh. Imam Moklisin, Tri Joko Wahyu Adi, dan IDAA Warma Dewanthi ANALISIS PENINGKATAN KINERJA ASPEK OPERASIONAL PDAM DENGAN MENGGUNAKAN LEAN SIGMA (STUDI KASUS PDAM SURYA SEMBADA KOTA SURABAYA).....................919 Umi Syarifah, I Putu Artama Wiguna, Joni Hermana SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PEMELIHARAAN EMBUNG ( STUDI KASUS : BIDANG OPERASI DAN PEMELIHARAAN BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI BRANTAS ) ...........................................................................931 Wijaya Mudi Putra, Umboro Lasminto, Edijatno PENILAIAN RUAS JALAN MERR IIC STA.1+800 SAMPAI DENGAN STA.6+450 DENGAN METODE PENDEKATAN DEPRECIATE REPLACEMENT COST ...........................................................................................939 Agung Anca Wiguno, I Putu Artama Wiguna, dan Retno Indryani ANALISIS PREDIKSI KONDISI PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN HDM-4 (STUDI KASUS : RUAS JALAN NASIONAL BTS. KOTA GRESIK – SADANG) ....................................................................................................................951 Andi Gumonggom Hutauruk, I Putu Artama Wiguna, Soemino RANCANG BANGUN SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN (SPK) PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI ..............................................................963 Arif Budimansyah, Umboro Lasminto dan Pujo Aji ANALISA PRIORITAS PEMELIHARAAN DISTRIC METER AREA (DMA) (STUDI KASUS DMA PDAM KOTA MALANG) ..................................................973 Deddy Prawira Nugraha, Tri joko Wahyu Adi2 dan I.D.A.A Warmadhewanti EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA SECARA ONLINE DI KABUPATEN PAMEKASAN ............................................................981 Dedy Asmaroni, Khairil Anwar



xx



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 IDENTIFIKASI FAKTOR KETIDAKPASTIAN YANG MEMPENGARUHI KINERJA WAKTU PROYEK KONSTRUKSI...................................................... 991 Fahirah F dan Tri Joko Wahyu Adi



xxi



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



xxii



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



OPTIMASI A LOKASI AIR IRIGASI DENGAN METODE PROGRAMA LINIER Acep Hidayat1 1



Acep Hidayat, Universitas Mercu buana Jakarta, [email protected]



ABSTRAK Air irigasi merupakan sumber daya pertanian yang sangat strategis, peranan air irigasi ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Sumber daya ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka kebutuhan terhadap air irigasi untuk memproduksi pangan (padi) akan terus meningkat. Hal ini terkait dengan fakta bahwa Pengaturan dan pengelolaan air irigasi sangatlah penting dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian.. Oleh karena itu diperlukan suatu system pengaturan dan pengelolaan sumber daya air sehingga air irigasi dapat dimanfaatkan secara optimal, diantaranya pemberian air irigasi yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Pemberian air irigasi yang optimal adalah jumlah air irigasi yang diberikan dari sumbernya melalui saluran pembawa (primer dan sekunder), saluran tersier, sampai pada lahan persawahan sesuai dengan kebutuhan. Dalam penelitian ini, optimasi dilakukan dengan menggunakan Program Linier. Dari hasil program ini didapatkan nilai optimum dari kebutuhan air irigasi yang sesuai dengan kebutuhan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa optimasi yang dilakukan dengan bantuan program linier dapat terlihat cukup efisien bila dibandingkan dengan system manual yang dilakukan saat ini,kemudian selanjutnya penerapannya dilakukan secara mekanisasi. Selain itu efisiensi juga dilakukan dengan menerapkan pemeliharaan saluran dan sarana irigasi. Kata kunci : Optimasi, Air Irigasi, , Program linier



ABSTRACT Irrigation water is a resource that is very strategic agriculture, the role of irrigation water has a very large dimensions. These resources not only affects productivity but also affects the spectrum utilization of agricultural commodities. Along with population growth, the demand for irrigation water to produce food (rice) will continue to increase. This is related to the fact that the setting and management of irrigation water are critical to improving agricultural productivity .. Therefore we need a system of regulation and management of water resources so that irrigation water can be used optimally, including the provision of irrigation water that is tailored to their needs. The provision of optimal irrigation water is the amount of irrigation water supplied from the source through the channel carrier (primary and secondary), tertiary channels, until the rice fields as needed. In this study, the optimization is done by using a Linear Program. From the results of this program obtain the optimum value of irrigation water demand as needed. From this study it can be concluded that the optimization is done with the help of linear programming can be seen quite efficient when compared with manual systems is done today, then further application made by mechanization. In addition, the efficiency is also done by applying maintenance and irrigation channels. Keywords: Optimization, Water Irrigation, linear program



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 1



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



1. PENDAHULUAN Pemberian air irigasi secara tepat dan efisien dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran debit pada setiap saluran. Dalam melakukan hal tersebut diperlukan sarana bangunan ukur debit yang berfungsi untuk mengetahui debit air yang melalui saluran tersebut. Sehingga pemberian air ke petakan-petakan sawah dapat dipantau, dengan demikian diharapakan bahwa pemberian air tidak berlebihan ataupun kekurangan dan sesuai kebutuhan air tanaman yang ada dalam petakan sawah tersebut ( Direktorat Jendral Pertanian, 1986 ). Kebutuhan air tanaman merupakan jumlah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang hilang akibat evaporasi dan transpirasi. Kebutuhan air dilapangan merupakan jumlah air yang harus disediakan untuk keperluan pengolahan lahan ditambah kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tanaman merupakan syarat mutlak bagi adanya pertumbuhan dan produksi ( Doorenbos dan pruit, 1984 ). Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi yang sebenarnya terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang keluar dari pintu pengambilan (intake). Efisiensi irigasi merupakan faktor penentu utama dari wujud kerja suatu sistem jaringan irigasi. Efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi pengaliran yang pada umumnya terjadi di jaringan utama dan efisiensi di jaringan sekunder yaitu dari bangunan pembagi sampai petak sawah. Efisiensi irigasi didasarkan asumsi sebagian darijumlah air yang diambil akan hilang baik disaluran maupun dipetak sawah. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk operasi irigasi meliputi kehilangan air di tingkat tersier, sekunder, dan primer. Besarnya masing-masing kehilangan air tersebut dipengaruhi oleh panjang saluran, luas permukaan saluran, keliling basah saluran dan kedudukan air tanah ( Direktorat Jendaral Pengairan, 1986 ). Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya. Secara hirarki jaringan irigasi dibagi menjadi jaringan utama meliputi bangunan, saluran primer, dan saluran sekunder. Sedangkan jaringan tersier terdiri dari bangunan dan saluran yang berada dalam petak tersier. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari jaringan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi ( Direktorat Jendral Pengairan, 1986 ).



Gambar 1 : Kondisi bangunan air



2 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



2. KAJIAN PUSTAKA Penggunaan model matematik sebagai alat analisis dapat memanfaatkan sumber daya air secara optimal merupakan cara yang telah umum dipakai. Kini bahkan berbagai pendekatan alat dan metode kuantitatif tersedia untuk menganalisis proyek-proyek keairan secara ekonomi. Metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisi pengoperasian sebuah proyek atau membantu manajemen adalah metode-metode yang didasarkan pada pendekatan optimasi. Prinsip metode optimasi adalah dengan mengoptimumkan suatu fungsi tujuan ( objective function ) terhadap kendala-kendala ( constrain ) ( Jayadi, 2000 ). Program linier merupakan salah satu teknik optimasi yang tergabung dalam mathematical programming. Menurut jayadi ( 2000 ) bahwa prosedur umum penyelesaian mathematical programming diawali dengan mendefinisikan komponen persoalan berikut : a. Decision variable : sebagai besaran yang akan dicari nilainya. b. Parameters : ukuran-ukuran bernilai tetap dan dapat diterapkan dalam perhitungan seperti harga, biaya, benefit dan lain-lain. c. Constrain : sebagai faktor pembatas/ kendala yang perlu dirumuskan secara matematik. d. Objectif function : adalah pernyataan kuantitatif dari kasus optimasi. Program Linier merupakan suatu model matematis yang mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi tujuan dan fungsi kendala.pembatas. Program linear bertujuan untuk mencapai nilai maksimum atau minimum dari suatu tujuan. Persamaan yang dapat diselesaikan dengan menggunakan program linier untuk tujuan mengoptimalkan dengan keterbatasan sumber daya yang dinyatakan dalam persamaan (₌) atau pertidaksamaan (≥/≤). Apabila Xi adalah nilai kapasitas kebutuhan air dipetak sawah sedangkan Zi merupakan nilai keuntungan yang diperoleh tiap sawah, maka fungsi tujuan ( objective function ) untuk masalah ini adalah : Maksimum Z = ∑



(



)



................................................................ ……(1)



dengan : Z = fungsi tujuan maksimum keuntungan ( benefit ). Xi = kebutuhan air tiap petak tersier. n = jumlah petak tersier Zi = nilai keuntungan tiap sawah pada musim tanam i. Ci = Faktor bobot untuk variabel optimasi Dalam mengoptimasi keuntungan yang diperoleh pada musim tanam dan kebutuhan air pada tiap petak tersier ada beberapa kendala yang harus diperhatikan. Salah satu kendala yang harus diperhatikan adalah bahwa jumlah kebutuhan air irigasi untuk pada musim tanam tertentu dalam waktu tertentu pula harus lebih kecil atau sama dengan debit yang tersedia pada waktu itu dan evaporasi yang terjadi ditiap saluran ( mass balance) . Kendala tersebut dapat dituliskan : Qout = Q in ………..…………………………(2) dengan : Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 3



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Q out = kebutuhan air irigasi Q in = Debit yang tersedia di bendungan. Didalam penelitian ini kebutuhan air tanaman dibagi menjadi 2 yaitu : kebutuhan air untuk tanaman padi dan kebutuhan air untuk tanaman palawija. Untuk tanaman padi diperlukan perhitungan untuk kebutuhan air disaat penyiapan lahan, pertumbuhan dan pembesaran serta disaat panen. Adapun untuk tanaman palawija hanya diperlukan perhitungan kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman dan disaat panen Untuk membuat studi optimasi tentang kebutuhan air tanaman di petak tersier, dibutuhkan data-data penunjang. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang sudah siap pakai. Sumber data adalah Dinas Pengairan, Dinas Pertanian kabupaten Indramayu Jawa Barat dan Balai Penelitiaan Benih Padi Kabupaten Indramayu. Data yang dikumpulkan adalah:  Skema Daerah Irigasi Cipanas I ( 2855 Ha ) dan Jaringan Irigasi Sumur Watu ( 337 Ha ) , terlampir.  Kebutuhan air aktual di lapangan pada Jaringan Irigasi Sumur Watu.  Data Curah Hujan ( tahun 1996 – tahun 2009 ), terlampir.  Data Klimatologi ( suhu, temperatur, kecepatan angin, intensitas matahari ) tahun 2005 – tahun 2009, terlampir. Untuk klimatologi yang perlu diamati dalam rangka perhitungan kebutuhan air adalah curah hujan, kecepatan angin, evaporasi, temperature, kelembaban, radiasi, tekanan udara dan lamanya penyinaran matahari. Data klimatologi tersebut diperlukan dalam menentukkan besarnya evapotranspirasi potensial secara tidak langsung. Data yang digunakan adalah hasil pengamatan langsung di lapangan sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. ( data terlampir ).



3. METODE PENELITIAN Alur berpikir dalam melakukan penelitan ini adalah diawali dengan melakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam analisis,data yang diperlukan sebagai berikut:  Data klimatologi ( Balai Penelitian Benih Padi).  Data curah hujan pada 5 pos pencatat curah hujan .  Data debit sungai Bendung Sumur Watu  Data luas sawah pada jaringan irigasi Sumur Watu dan kebutuhan air.  Data Pengambilan kebutuhan air dari intake Bendung Sumur Watu. Membuat suatu rumusan kebutuhan air irigasi yang optimal antara ketersediaan air dan kebutuhan air disaat kondisi penyiapan lahan, pertumbuhan tanaman dan disaat kondisi tanaman berbuah untuk tanaman padi dan palawija. Selanjutnya rumusan tersebut dikembangkan dengan menggunakan metode Programa Linier untuk pengaturan kebutuhan air yang sesuai dengan yang diperlukan tanaman. Adapun bagan alur pemikiran penelitian sebagai berikut :



4 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



Mulai Pengumpulan Data Curah Hujan



Klimatolog i



Debit Bendung



Intensitas curah hujan



Evapotranspiras i



Programa Linear Optimasi



Tidak Ya



Kebutuhan Air



Selesai Gambar 2 : Bagan Alir Penelitian



4. ANALISA DAN PEMBAHASAN. Dari data yang sudah dikumpulkan selanjutnya dilakukan analisa perhitungan sebagai berikut: Perhitungan evapotranspirasi acuan (ET0) Evapotranspirasi merupakan suatu kebutuhan konsumtif tanaman yang merupakan jumlah air untuk evaporasi dari permukaan areal tanaman dengan air untuk transpirasi dari tubuh tanaman. Evapotranspirasi maksimum tanaman (Etc) merupakan besaran yang menunjukkan kebutuhan air tanaman yang terjadi pada saat ketersediaan air memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman. Etc = Kc.Eto ...........................................................................................(3) Dimana: Etc = Laju Evapotranspirasi Maksimum Tanaman (mm/hari) Eto = Evapotranspirasi acuan untuk kondisi iklim tertentu Kc = Koefisien tanaman yang tergantung pada sifat tanaman.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 5



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1 : Data Klimatologi rata-rata Bulan



Temperatur



Kelembaban



Penyinaran



Kec.Angin



Matahari Januari



25.82



89.38



0.47



18.94



Februari



25.1



91.5



0.42



19.08



Maret



26.16



89.6



0.49



15.19



April



26.66



89.1



0.49



17.78



Mei



28.04



85.42



0.50



20.16



Juni



26.72



83.62



0.46



20.45



Juli



26.06



81.48



0.54



20.02



Agustus



25.92



80.5



0.58



19.08



September



26.74



78.9



0.61



17.71



Oktober



27.48



80,18



0.60



18.00



Nopember



27.3



83.88



0.52



15.48



Desember



26.52



87.66



0.46



18.65



Perhitungan curah hujan efektif. Curah hujan merupakan besaran yang bersifat stokastik yaitu besaran yang tidk teratur dan besarnya sama sekali tidak dapat ditentukan. Unyuk perhitungan Curah Hujan efektif menggunakan Metode Gumbel. Tabel 2 : Perhitungan Curah Hujan Efektif Perhitungan Curah Hujan Metode Gumbell



No



Xi



Xi - Xr



(Xi - Xr)2



(Xi - Xr)3



(Xi - Xr)4



1



32.9



9.5



90.41



859.633



8173.7



2



43.6



20.2



409.05



8273.049



167322.4



3



3.5



-19.9



396.34



-7890.503



157086.8



4



22.6



-0.8



0.68



-0.562



0.5



5



34.2



10.8



117.54



1274.348



13816.1



6



20.0



-3.4



11.50



-39.016



132.3



7



35.4



12.0



145.00



1746.063



21025.5



8



6.4



-17.0



288.72



-4905.779



83357.4



9



16.6



-6.8



46.13



-313.277



2127.7



10



18.7 233.9



-4.7



22.17



-104.376



491.4



Jumlah



1527.54



-1100.420



453533.7



Perhitungan kebutuhan air irigasi. Perhitungan kebutuhan air irigasi bagi tanaman padi dibagi menjadi ; 1. Pada masa pengolahan lahan 2. Pada masa perumbuhan padi sampai dengan panen.



6 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Tabel 3 : Perhitungan Kebutuhan Air tanaman.



Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh aliran irigasi yag optimal pada Daerah Irigasi Cipanas I khususnya di wilayah Jaringan Irigas yang dilakukan dengan pendekatan linear. . Data kebutuhan air di petak tersier sebagai berikut : Tabel 4 : Tabel Kebutuhan Air PetakTersier Daerah 1 1.4 lt/det/Ha x 25 Ha 35 lt/det/Ha Daerah 2 Daerah 3 Daerah 4 Daerah 5 Daerah 6 Daerah 7 Daerah 8



1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x



40 636 118 51 1985 30 1882



Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha



56 890.4 165.2 71.4 2779 35 35



lt/.det/Ha lt/det/Ha lt/det/Ha lt/det/Ha t/det/Ha lt/det/Ha lt/det/Ha



Daerah 9 Daerah 10 Daerah 11 Daerah 12



1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x 1.4 lt/det/Ha x



73 26 12 25



Ha Ha Ha Ha



35 35 35 35



lt/det/Ha lt/det/Ha lt/det/Ha lt/det/Ha



Sumber: Hasil Perhitungan Selanjutnya dilakukan analisis usaha tani sebagai beikut: Tabel 5 : Tabel Usaha Tani NO URAIAN PRODUK SI PADI 1 Harga Produk (Rp/ton) Rp 2 5000 000,2 Rata-rata produksi sawah (ton/Ha) 5 3 Hasil Produksi (Rp/Ha) Rp 12 500 000,4 Biaya Produksi (Rp/Ha) Rp 6 441 800,5 Pendapatan (Rp/Ha) Rp 6 058 200,Sumber : Hasil Perhitungan Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 7



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Berdasarkan data diatas maka disusun pendektan linear sebagai berikut : Fungsi tujuan : Max Z = (0.02*X1 + 0.02*X2 + 0.06*X4 + 0.03*X5 + 0.3*X3 + 0.02*X7 + 1*X8 +0.01*X10 + 0.02*X12 + 0.006*X11)*Rp 6 058 200. .......................................(4) Fungsi Kendala : (X9-0.9) – ( 0.7*X12 ) – X14 ≥ 49 .....................................................................(5) ( X6-0.6 ) – (0.7*X7) ≥ 2634 .....................................................................(6) 3050 – X1 – (0.7*X2) – X4 – X5 ≥ 890 ............................................................ .....(7) Dari persamaan diatas nilai 0.02 ; 0.03 ; 0.06 ; 0.3 ; 0.006 dan 1.0 merupakan koefisien pembanding luasan dari petak tersier , sedangkan X1,X2,X3,X4,X5,X7,X8,X10,X11 dan X12 merupakan debit aliran menuju petak-petak tersier tersebut.



5. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan 1. Dari hasil yang didapat dengan optimasi yang dilakukan dengan program linear dapat disimpulkan pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman dapat tercukupi untuk sepanjang musim tanam. 2. Keuntungan menggunakan Program Linear adalah : - Program ini cukup sederhana sehingga mudah untuk dipahami. - Hasil yang didapat merupakan hasil yang pasti dan tepat. - Program Linear sangat efektif dalam merencanakan masalah pengoptimalan suatu tujuan. Saran 1. Optimalisasi yang dilakukan hanya sebagian kecil dari jaringan irigasi Sumur watu sehingga masih dapat dikembangkan. 2. Penelitian berikutnya dapat dilakukan pengoptimalan luasan pada jaringan irigasi tersebut. 3. Pengoptimalan dapat dilakukan dengan mengubah pola musim yang berbeda-beda. 4. Kajian lain dapat dilakukan dari sisi hubungan efisiensi penggunaan air irigasi dengan kondisi sarana dan prasarana bangunan air yang ada pada jarigan irigasi tersebut.



6. DAFTAR PUSTAKA 1.



James F. Smith III,Robert D.Rhyne III DC 2010, Optimal Allocation of Distribution Resources Using Fuzzy Logic and a Genetic Algorrithm, Naval Research Laboratory,Washington.



2.



Joko Luknanto,2003, Aplikasi Solver dalam Teknik Optimasi,MPSDA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



3.



Rahmat Jayadi,2000, Pengembangan Sumber daya Air (Optimasi dan Simulasi Pengembangan Sumber Daya Air), Jurusan teknik Sipil FT UGM,Yogyakarta.



4.



Sri Kusumadewi, Hari Purnomo, 2010, Aplikasi Logika Fuzzy,Yogyakarta.



8 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



STABILITAS SALURAN DI DAERAH RAWA PASANG SURUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKTIVITAS Achmad Syarifudin1 1



Universitas Bina Darma, Jl. Jend. A. Yani No. 12 Palembang, +62711 515582 e-mail: [email protected]



ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis saluran stabil yaitu dengan mengetahui pola serta besarnya erosi dan sedimentasi saluran serta dampaknya terhadap produktivitas di daerah rawa pasang surut. Lokasi penelitian adalah daerah reklamasi pasang surut delta Telang I Primer 8 yang mewakili tipologi lahan A/B dan survei dilakukan pada skema Sekunder 13 Selatan. Untuk mengkaji stabilitas saluran dan pengaruhnya terhadap produktivitas pertanian, telah dilakukan survei dan analisis stabilitas saluran dan survei terhadap petani di skema P8-13S Desa Telang Karya Kecamatan Telang Makmur Kabupaten Banyuasin. Berdasarkan analisis data survei tersebut, berturutturut disajikan hasil kajian mengenai saluran stabil dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap produktivitas. Hasil penelitian didapatkan hal-hal sebagai berikut: Pola erosi dan sedimentasi pada saluran SPD menunjukkan bahwa erosi yang terbesar terdapat pada awal saluran dan akhir saluran, sedangkan pada tengah saluran mengalami sedikit lebih kecil erosi yang terjadi. Sedimentasi pada saluran SPD mempunyai nilai sedimen relatif kecil pada awal saluran dan membentuk pola membesar ke arah akhir saluran. Erosi yang terjadi potongan melintang SPD di awal saluran sebesar 5001,5 m3. Di tengah saluran sebesar 3444 m3 dan di ujung saluran sebesar 3228 m3. Secara kumulatif, erosi yang terjadi pada saluran SPD adalah sebesar 126713,5 m3. Sedimentasi saluran yang terjadi di awal saluran SDU sebesar 582,2 m3, ditengah saluran adalah sebesar 915,5 m3 dan pada ujung saluran sebesar 1088,5 m3. Secara kumulatif, besarnya sedimentasi pada saluran SDU P8-13S adalah sebesar 34184,7 m3. Kestabilan saluran (variabel dummy) memiliki koefisien regresi sebesar 0,386. Ini menunjukkan bahwa saluran stabil berpotensi memberikan pendapatan usahatani padi sebesar Rp. 386.000,- lebih tinggi dari saluran tidak stabil. Perbedaan ini signifikan secara statistik sehingga membuktikan bahwa kestabilan saluran berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani. Kata kunci: pola erosi dan sedimentasi, saluran stabil



1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan potensial untuk pertanian seluas kurang lebih 162.4 juta ha, sebagian dari lahan potensial ini terdiri dari daerah rawa seluas 33.393 juta ha yang terbagi atas 20.097 juta ha rawa pasang surut dan 13.296 juta ha rawa lebak yang tersebar di pulau Sumatera seluas 9.37 juta ha, Kalimantan seluas 11.707 juta ha, Sulawesi seluas 1.793 juta ha dan Papua seluas 10.522 juta ha. Daerah rawa yang sudah di reklamasi oleh pemerintah sudah mencapai 1.8 juta ha oleh swasta dan masyarakat sekitar 2.1 juta ha sehingga totalnya 3.9 juta ha, namun produktivitas lahan yang dicapai masih rendah yaitu rata-rata 3 ton/ha. Hal ini disebabkan masih kurangnya perhatian pada kegiatan Operasi dan Pemeliharaan (OP) dimana kegiatan yang dilakukan saat ini



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 9



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean terbatas pada skala mikro yaitu pemeliharaan yang dilakukan atas inisiatif petani di saluran tersier tanpa ada bangunan pintu klep [11]. Studi inventarisasi data daerah rawa wilayah barat dan wilayah timur, diperoleh kesimpulan bahwa dari total luasan daerah rawa yang telah direklamasi 1,8 juta ha tersebut terdapat 0,8 juta ha lahan rawa yang terlantar atau lahan tidur. Lahan terlantar tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara lain jaringan tata air yang ada kurang optimal, karena sistem aliran yang ada belum sesuai. Di samping itu, kondisi saluran dan bangunan air juga sudah lama tidak direhabilitasi ditambah lagi belum optimalnya pemeliharaan saluran baik pada skala mikro maupun tata air makro [4]. Penelitian kestabilan saluran yang telah dilakukan dengan berbagai skenario model Operasi & Pemeliharaan (O&P) menghasilkan prototipe saluran stabil di daerah rawa pasang surut [12]. Kestabilan saluran diduga berdampak terhadap produktivitas pertanian. Karena itu, sesuai dengan tujuan penelitian pengaruh kestabilan saluran terhadap produksi padi, perlu dilakukan analisis untuk membuktikan apakah benar kestabilan saluran berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Kriteria stabil adalah tidak terjadi erosi maupun sedimentasi di saluran dengan kondisi saluran ekuilibrium. Walaupun terjadi erosi maupun sedimentasi tetapi hal tersebut hanya bersifat perpindahan material sesaat pada saluran dengan tidak mempengaruhi kondisi saluran secara umum. Untuk mengkaji pengaruh saluran terhadap produktivitas pertanian, telah dilakukan survei terhadap 50 petani yang berusahatani di skema P8-13S Desa Telang Karya Kecamatan Telang Makmur Kabupaten Banyuasin. Setiap petani responden diwawancarai secara langsung menggunakan kuesioner. Berdasarkan analisis data survei tersebut, berturut-turut disajikan hasil kajian mengenai penggunaan faktor produksi usahatani, produktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk pengaruh kestabilan saluran terhadap produktivitas.



2. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Delta Telang I yang merupakan daerah rawa di provinsi Sumatera Selatan, juga generasi kedua yang direklamasi mengikuti desain double-grid layout (Sistem Rib) bersama dengan Telang II, Delta Saleh dan Sugihan. ( Institut Pertanian Bogor, 1976 ). Desain berikutnya untuk sistem saluran terbuka tersebut disiapkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB). Sistem ini terdiri dari saluran utama (juga digunakan untuk navigasi), saluran sekunder dan saluran tersier.



10 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



ADMINISTRASI Kabupaten Banyuasin Prov. Sumatera Selatan U



Lokasi Penelitian



Gambar 1. Lokasi Penelitian [9]



Gambar 1 : Peta lokasi penelitian Secara Geografis, daerah Telang I terletak pada 020 29‘ sampai 020 48‘ LS dan 1040 30‘ sampai 1040 52‘ BT. Secara umum Telang I terletak di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Bangka, sebelah Selatan berbatasan dengan sungai Sebalik, sebelah Timur dengan sungai Musi dan sebelah Barat berbatasan dengan sungai Telang I (gambar 2). Secara hidrologis, daerah Telang I merupakan daerah pasang surut yang dikelilingi oleh sungai-sungai. Wilayah sebelah Timur berbatasan dengan sungai Musi, sebelah Barat berbatasan dengan sungai Telang, sebelah Selatan dengan selat Bangka dan sebelah Utara berbatasan dengan sungai Sebalik. Gambar 3. menunjukkan lay out kondisi hidro-topografi di daerah Telang I. Hidrologi dari blok ditentukan oleh kondisi saluran yang berbatasan, status air di masing-masing saluran, operasi dari pintu, pengaruh pasang surut, dan kondisi iklim seperti: curah hujan dan evapotranspirasi [5].



2.2. Alat Bahan Gambar 2 :dan Delta Musi,Penelitian Sumatera Selatan [7]



Gambar 3 : Kondisi Hidro-topografi di Daerah Telang I [7] Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 11



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti pada tabel 1. Tabel 1 : Daftar alat yang digunakan dalam penelitian No. Nama Alat Banyaknya Kegunaan 1 Meteran 1 unit Mengukur jarak secara manual 2 Waterpass (WP) 1 unit Mengukur Jarak arah vertikal maupun horizontal untuk survey saluran 3 Peil-Scale atau 2 buah Mengukur tinggi muka air di saluran Papan duga 4 Stop watch 2 buah Menghitung lama waktu aliran saat pasang dan surut 5 Alat Tulis 2 buah Alat bantu menulis hasil pencatatan data 6 Komputer 1 unit Melakukan pemodelan secara umum (RAM 2 GB) 7 Printer 1 unit Menampilkan tulisan dalam bentuk laporan 8 Laptop 1 buah Membantu dapat pembuatan laporan 9 Software 1 buah Untuk melakukan analisis dan program SPSS pengolahan data statistik versi 16.0



3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Pola Erosi dan Sedimentasi Saluran SPD Hasil dari survei dan pengukuran yang dilakukan sepanjang 3900 m, didapatkan pola erosi membentuk kurva semi logaritmik seperti terlihat pada Gambar 4. 6000



Erosi (m3)



5000 4000



3000 2000 1000



Gambar 4. Pola erosi di saluran SPD



0 0



5



10



15



20



Jarak (m)



25



30



35



40



45



dalam 102



Gambar 4 : Pola erosi di saluran SPD Dari gambar 4 di dapatkan nilai erosi minimum terjadi pada jarak 1750 m sebesar ± 2500 m3 dan nilai maksimum terjadi pada awal saluran serta akhir saluran. Nilai erosi maksimum terdapat di awal saluran sebesar ± 4000 m3 dan di saluran terakhir yaitu sebesar ± 5000 m3. Hal ini dapat diartikan bahwa erosi yang terjadi pada saluran SPD sampai pada jarak 1750 m dari awal saluran polanya mengecil dan kembali naik sampai pada jarak 3900 m saluran. Sedimentasi pada saluran SPD terlihat pada gambar 5.



12 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



1.2



Sedimentasi (m3)



1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0



10



20



30



40



Jarak (m)



50 dalam



102



Gambar 5 : Pola sedimentasi di saluran SPD Pada gambar 5 terlihat pola sedimentasi di saluran SPD pada awal saluran nilainya kecil kemudian mempunyai pola membesar ke arah hulu atau akhir saluran. Hal ini disebabkan karena saluran sekunder SPD terputus di akhir saluran, artinya saluran tidak tembus ke saluran di ujung salurannya. 3.5 Q Pola Erosi dan Sedimentasi saluran SDU Hasil survei dan pengukuran saluran SDU di dapatkan nilai erosi dan sedimentasi seperti terlihat pada gambar 6. 6000



Erosi (m3)



5000 4000



3000 2000 1000 0 0



5 10 Pola15erosi20 Gambar 6. pada 25 saluran30SDU35 Jarak (m) Gambar 6 : Pola erosi pada saluran SDU



40



45



dalam 102



Seperti telihat pada gambar 6 di atas, nilai erosi di saluran SDU mempunyai trend menurun dari titik awal saluran sampai dengan akhir saluran sepanjang 3900 m. nilai erosi pada awal saluran SDU mempunyai nilai yang besar karena karena pada saat air di petak sawah atau dari saluran tersier di keluarkan (drain) terjadi akumulasi aliran dari saluran SDU sendiri maupun aliran dari saluran tersier. Sedangkan pada jarak semakin ke hulu saluran SDU, aliran yang dari petak tersier sudah berkurang sehingga mengurangi kapasitas aliran dan kecepatannya juga mengecil. Untuk nilai sedimentasi



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 13



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Sedimentasi (m3)



saluran SDU mempunyai trend sebaliknya dari nilai erosi yang terjadi seperti terlihat pada gambar 7. 1200 1000 800 600 400 200 0 0



10



20



Jarak (m)



30



40 dalam 102



Gambar 7 : Pola sedimentasi di saluran SDU Pada gambar 7 menunjukkan bahwa trend nilai sedimentasi pada awal saluran mempunyai nilai sedimentasi yang rendah dan semakin ke hulu mempunyai nilai sedimentasi yang rendah. Hal ini dimungkinkan karena pada saat air di petak tersier di buang (drain), maka pada saluran tersier pada awal saluran SDU mempunyai aliran yang kecil di saluran yang terakhir dan semakin ke arah awal saluran kapasitas alirannya cukup besar karena masih terdapat aliran di petak tersier yang mendorong aliran di petak tersier awal tersebut. 3.2. Analisis Produktivitas Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi produktivitas lahan pasang surut di skema P8-13S adalah kestabilan saluran. Hasil analisis regresi pengaruh faktor kestabilan saluran disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 : Hasil analisis faktor kestabilan saluran Variabel Koefisien Uji t Sig Konstanta 13,200 2,826 0,007 Lahan 0,387 7,331 0,000a Benih -0,094 -0,415 0,680 Pupuk 0,113 1,019 0,314 Pestisida 0,088 0,922 0,362 Tenaga Kerja 0,068 0,237 0,814 Kestabilan Saluran 0,386 5.113 0,000a (Dummy)* 8 R2 0,806 9 F-test 29,783 0,000a Keterangan: * Variabel dummy kestabilan saluran : 1 = stabil; 0 = Tidak stabil a Nyata pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0,01) Sumber: Data primer, 2014 No 1 2 3 4 5 6 7



Tabel 4 menunjukkan bahwa kestabilan saluran (variabel dummy) memiliki koefisien regresi sebesar 0,386. Ini menunjukkan bahwa saluran stabil berpotensi memberikan pendapatan usahatani padi sebesar Rp. 386.000,- lebih tinggi dari saluran tidak stabil.



14 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Perbedaan ini signifikan secara statistik sehingga membuktikan bahwa kestabilan saluran berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani.



4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa : a. Pola erosi dan sedimentasi pada saluran SPD menunjukkan bahwa erosi yang terbesar terdapat pada awal saluran dan akhir saluran, sedangkan pada tengah saluran mengalami sedikit lebih kecil erosi yang terjadi. Sedimentasi pada saluran SPD mempunyai nilai sedimen relatif kecil pada awal saluran dan membentuk pola membesar ke arah akhir saluran. b. Erosi yang terjadi potongan melintang SPD di awal saluran sebesar 5001,5 m 3. Di tengah saluran sebesar 3444 m3 dan di ujung saluran sebesar 3228 m3. Secara kumulatif, erosi yang terjadi pada saluran SPD adalah sebesar 126713,5 m3. c. Sedimentasi saluran yang terjadi di awal saluran SDU sebesar 582,2 m3, ditengah saluran adalah sebesar 915,5 m3 dan pada ujung saluran sebesar 1088,5 m3. Secara kumulatif, besarnya sedimentasi pada saluran SDU P8-13S adalah sebesar 34184,7m3. d. Kestabilan saluran (variabel dummy) memiliki koefisien regresi sebesar 0,386. Ini menunjukkan bahwa saluran stabil berpotensi memberikan pendapatan usahatani padi sebesar Rp. 386.000,- lebih tinggi dari saluran tidak stabil. Perbedaan ini signifikan secara statistik sehingga membuktikan bahwa kestabilan saluran berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani.



DAFTAR PUSTAKA 1. AKNOP, 2011, Penyusunan Angka Kebutuhan Biaya Nyata Jaringan Irigasi Rawa Pasan Surut Provinsi Sumatera Selatan, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal SDA. 2. Ditjen Rawa dan Pantai, 2006, Studi inventarisasi rawa wilayah barat dan timur, Dirjen SDA, Dept. PU. 3. Gujarati N. D, 2003, Basic Econometrics, fourth edition McGraw-Hill, New York. 4. Hartoyo, Sumarjo, Susanto, RH, Schult, B and Suryadi, FX, 2006, Potential and constrains of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra. Case study in a pilot area Telang I. In proceedings of the 9th Inter-Regional Confrence on water environment. Enviro water, Concept for Water management and multifunctional land uses in lowlands, Delft, the Netherlands. 5. Hayde, L, 2007, Canal Designs, Lecture note, IHE. Delft, The Netherlands 6. Julien Y, P and Jayamurni Wargadalam, 1995, Alluvial Channel Geometry: Theory and Application, Journal of Hydarulic Engineering. 7. Kinori, B Z (1970); Manual of surface drainage engineering, Vol. I; Elsevier, Amsterdam. 8. Land and Water Management Tidal Lowlands (LWMTL) South Sumatera Province, Juni 2004. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Rikjkswaterstaat, UNESCO-IHE,ARCADIS-Euroconsult in Cooperation with Kimpraswil, Departemen Pertanian, Sriwijaya University and Local Government South Sumatera, Indonesia. 9. Simons, D and Senturk, F, 1992. Sediment Transport Technology. Water Resources Publications. Colorado, USA.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 15



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 10. Suryadi, F.X, 2004. Pengembangan Daerah Rawa Pasang Surut di Sumatera Selatan, Pengalaman Pengembangan Daerah Rawa dan O&P Telang I. Land and Water Management Tidal Lowlands. 11. Syarifudin, A et al, 2013, The 2nd International Conference on Informatics, Environment, Energy and Applications (IEEA 2013), Bali, Indonesia, March 16-17, 2013, JOCET (Journal of Clean Energy and Technology) journal ISSN: 1793-821X Vol. 2, No. 1, Januari 2014. 12. Yang, C.T et al, 1998, Non-Cohesive Sediment Transport, Erosion and Sedimentation Manual, Mc Graw-Hill, New York. 13. ______, 2004, Undang-Undang SDA, Penerbit PU, Jakarta 14. ______, 2010, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor: 05/PRT/M/2010 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut. Kementerian PU, Jakarta.



16 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



ANALISA HIDRAULIK ALIRAN PADA KOLAM OLAK BERPENAMPANG MAJEMUK Agustinus Haryanto Pattiraja1 Umboro Lasminto2 Edijatno3 1



Mahasiswa S2 MRSA Jurusan Tenik Sipil-FTSP-ITS Sukolilo Surabaya, email:[email protected] Dosen Jurusan Tenik Sipil-FTSP-ITS Sukolilo Surabaya 3 Dosen Jurusan Tenik Sipil-FTSP-ITS Sukolilo Surabaya 2



ABSTRAK Kolam olak merupakan bangunan peredam energi yang berbentuk kolam, yang prinsip peredaman energinya sebagian besar terjadi akibat proses pergesekan di antara molekul-molekul air, sehingga timbul olakan-olakan di dalam kolam tersebut. Tipe kolam olak yang paling sering digunakan adalah tipe USBR, namun pada beberapa kondisi alam tipe ini mengalami kendala dalam penerapannya. Seperti pada kasus pembangunan Bendung Watumloso dan Bendung Karangdoro di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, dimana kolam olak tipe USBR dimodifikasi karena struktur tanah pada daerah tersebut berbatu keras, yaitu dengan membuat elevasi lantai kolam olak yang tidak sama antara dasar tepi dan tengah kolam olak sehingga menjadi kolam olak berpenampang ganda atau majemuk. Model kolam olak tipe ini dianggap cukup efektif dalam melakukan peredaman energi karena air tidak hanya mengalir ke arah longitudinal (arah utama) saluran, tetapi terjadi juga aliran sekunder yang arahnya tranversal ke dalam kolam olak utama. Sehingga untuk mengetahui lebih dalam tentang pengaruh model kolam olak tipe majemuk terhadap proses peredaman energi maka perlu dilakukan analisa hidraulik aliran terhadap model tersebut. Analisa hidraulik aliran dilakukan dengan melakukan permodelan fisik dengan membuat beberapa skenario percobaan. Skenario percobaan yang dilakukan meliputi pembuatan model kolam olak dengan beberapa variasi yaitu dengan model tipe datar, model dengan ketinggian elevasi salah satu tepi yang dinaikkan setinggi 0,2 H, 0,4 H, dan 0,6 H (H adalah ketinggian pelimpah atau terjunan). Hasil dari pengamatan model menunjukan bahwa pengaruh pembuatan model kolam olak berpenampang majemuk atau semakin tinggi model sisi tepi kolam olak maka semakin tinggi muka air menyebabkan kecepatan aliran menjadi semakin berkurang yang berpengaruh pada penurunan besaran bilangan Froude, sedangkan untuk energi mengalami variasi. Hasil analisa dengan model fisik kemudian dijadikan dasar untuk membuat analisa lain dengan model matematika agar menadapatkan penjelasan yang lebih akurat tentang model kola olak majemuk. Kata kunci: kolam olak,kolam olak berpenampang majemuk, analisa hidraulik



1. PENDAHULUAN Peredam energi adalah suatu bangunan yang dibuat untuk meredusir energi yang terdapat dalam aliran dengan kecepatan tinggi, dimana aliran tersebut mampu menimbulkan gerusan. Sebelum aliran air yang telah melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi ke dalam sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi super-kritis tersebut harus diperlambat dan dirubah menjadi kondisi aliran subkritis. Peredam energi tipe kolam olak merupakan suatu bangunan peredam energi yang berbentuk kolam, dimana prinsip peredaman energinya yang sebagian besar terjadi akibat proses pergesekan di antara molekul-molekul air, sehingga timbul olakan-olakan didalam kolam tersebut. Kolam olak tipe ini merupakan kolam olak yang paling banyak digunakan dan sangat sederhana. Namun pada beberapa kasus pembangunan kolam olak USBR mengalami beberapa kendala seperti ruang olaknya yang menjadi sangat panjang



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 17



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean karena bentuk peredamnya yang datar dan kesulitan pada proses pembuatan ruang olaknya yang datar pada wilayah aliran sungai dengan struktur tanah dengan batu keras. Pada kasus pembangunan kolam olak USBR Bendung Watumloso dan Bendung Karangdoro di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur jenis kolam olak yang digunakan adalah kolam olak USBR. Namun pada perencanaan pembangunannya mengalami kendala yaitu perlu adanya penggalian pada wilayah dasar sungai sisi tepi kiri dan kanan agar dapat membuat bentuk kolam olak yang datar, sementara struktur tanah pada wilayah tersebut adalah struktur tanah dengan batu keras. Akibatnya biaya pembangunan menjadi sangat mahal dan memakan waktu yang lama karena proses penggalian. Maka untuk mengurangi pengeluaran biaya penggalian yang sangat mahal dan mempersingkat waktu pekerjaan pada lokasi tersebut, bentuk kolam olak yang ada dimodifikasi dengan membuat elevasi lantai kolam olak yang digunakan sebagai peredam energi tidak sama antara dasar tepi dan tengah kolam olak (Gambar 1).



(a)



(b)



Gambar 1: (a) Penampang Melintang Kolam Olak Tipe Datar, (b) Penampang Melintang Kolam Olak Tipe Majemuk. Model kolam olak majemuk dianggap cukup efektif dalam meredam energi air tidak hanya mengalir ke arah longitudinal (arah utama) saluran tetapi terjadi juga aliran sekunder yang arahnya tranversal ke dalam kolam olak utama. Namun referensi untuk model kolam olak jenis ini belum ada, sehingga dianggap perlu untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang model kolam tipe majemuk. Penelitian model kolam olak bertipe majemuk menggunakan model fisik yang dilakukan di laboratorium. Model fisik kolam olak yang dibuat di laboratorium merupakan model experimental. Penelitian akan dilakukan dengan menganalisa hidraulik aliran pada model kolam olak tipe datar dan model pengembangannya menjadi model majemuk dengan beberapa variasi, agar dapat mengetahui pengaruh perubahan penampang kolam olak terhadap prilaku hidraulik yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bentuk model terhadap hidraulik aliran berupa ketinggian muka air, kecepatan aliran, tinggi energi, dan angka Froude yang terjadi pada kolam olak.



2. DASAR TEORI Tipe Aliran Apabila yang dipertimbangkan adalah besarnya perbandingan antara gaya-gaya kelembaman den gaya-gaya gravitasi maka aliran dapat dibagi menjadi aliran subkritis, aliran kritis, dan aliran superkritis. Parameter tidak berdimensi yang membedakan tipe aliran tersebut adalah angka Froude ( ). Efek dari gaya gravitasi pada suatu aliran yang ditunjukkan dalam perbandingan atau rasio antara gaya inersia dan gaya gravitasi.



18 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4







...................................................................................................................... (1)



Dimana: = angka Froude V= kecepatan rata-rata aliran ( ft/s atau m/s ) L = panjang karakteristik ( ft atau m) g = gaya gravitas1, ( m/det² ) Debit Pada Saluran Terbuka Debit pada saluran terbuka berlaku Hukum Kontinuitas yaitu sebagai berikut: .................................................................................................................. (3) ...................................................................................................................... (2) Dimana : Q = debit aliran (m³/det) V = kecepatan aliran (m/det) A = luas penampang basah saluran (m²) B = lebar saluran (m) h = kedalaman aliran (m) Energi Pada Aliran Persamaan gerak untuk aliran dari cairan tidak berkekentalan dikenal dengan persamaan Euler. Integrasi dari persamaan Euler menghasilkan persamaan Bernoulli, suatu persamaan yang menghubungkan perubahan-perubahan tinggi kecepatan, tinggi tekanan, dan elevasi dari titik yang ditinjau di dalam aliran cairan tidak berkekentalan, atau cairan berkekentalan tetapi pengaruh kekentalan dapat diabaikan (Anggrahini, 1996). Prinsip energi adalah jumlah energi tiap satuan berat dari setiap aliran yang melalui suatu penampang saluran yang dapat dinyatakan sebagai jumlah tinggi energi (dalam meter) yang besarnya sama dengan jumlah tinggi letak, tinggi tekanan dan tinggi kecepatan, dihitung dari suatu datum tertentu (Anggrahini, 1996). Maka persamaan energi adalah sebagai berikut : ............................................................................................... (4) Dimana : H = tinggi energi total (total head) (m) = tinggi titik diatas bidang persamaan (m) = dalamnya titik A dibawah muka air diukur sepanjang saluran (m) = sudut kemiringan dasar saluran = tinggi kecepatan dari arus yang mengalir melalui titik A (m)



Kolam Olak Kolam olak adalah suatu konstruksi yang berfungsi sebagai peredam energi yang terkandung dalam aliran dengan memanfaatkan loncatan hidrolis dari suatu aliran yang Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 19



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean berkecepatan tinggi agar tidak menyebabkan terjadinya gerusan pada saluran/sungai di hilir. Tipe Kolam Olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan tergantung pada energi yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak. Kolam olak terdiri dari beberapa tipe yang paling sering digunakan, yaitu :  Ruang Olak Tipe Vlughter Ruang olak ini dipakai pada tanah aluvial dengan aliran sungai tidak membawa batuan besar. Bentuk hidrolis kolam ini akan dipengaruhi oleh tinggi energi di hulu di atas mercu dan perbedaan energi di hulu dengan muka air banjir hilir.  Ruang Olak Tipe Schoklitsch Peredam tipe ini mempunyai bentuk hidrolis yang sama sifatnya dengan peredam energi tipe Vlughter. Berdasarkan percobaan, bentuk hidrolis kolam peredam energi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor; tinggi energi di atas mercu dan perbedaan tinggi energi di hulu dengan muka air banjir di hilir.  Ruang Olak Tipe Bucket Kolam peredam energi ini terdiri dari tiga tipe, yaitu solid bucket, slotted rooler bucket atau dentated roller bucket, dan sky jump. Ketiga tipe ini mempunyai bentuk hampir sama dengan tipe Vlughter, namun perbedaanya sedikit pada ujung ruang olakan. Umumnya peredam ini digunakan bilamana sungai membawa batuan sebesar kelapa (boulder). Untuk menghindarkan kerusakan lantai belakang maka dibuat lantai yang melengkung sehingga bilamana ada batuan yang terbawa akan terhempas ke arah hilirnya.  Ruang Olak Tipe USBR Tipe ini biasanya dipakai untuk head drop yang lebih tinggi dari 10 meter. Ruang olakan ini memiliki berbagai variasi dan yang terpenting ada empat tipe yang dibedakan oleh rezim hidraulik aliran dan konstruksinya. Tipe-tipe tersebut, yaitu 1) USBR tipe I merupakan ruang olakan datar dimana peredaman terjadi akibat benturan langsung dari aliran dengan permukaan dasar kolam. 2) USBR tipe II merupakan ruang olakan yang memiliki blok-blok saluran tajam (gigi pemencar) di ujung hulu dan di dekat ujung hilir (end sill) dan tipe ini cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis lebih besar dari 60 m . 3) USBR tipe III merupakan ruang olakan yang memiliki gigi pemencar di ujung hulu, pada dasar ruang olak dibuat gigi penghadang aliran, di ujung hilir dibuat perata aliran, dan tipe ini cocok untuk mengalirkan air dengan tekanan hidrostatis rendah. 4) USBR VI merupakan ruang olakan yang dipasang gigi pemencar di ujung hulu, di ujung hilir dibuat perata aliran, cocok untuk mengalirkan air dengan tekanan hidrostatis rendah, dan angka Froude (Fr) antara 2,5 - 4,5.  Ruang Olak Tipe The SAF Stilling Basin (SAF = Saint Anthony Falls) Ruang olakan tipe ini memiliki bentuk trapesium yang berbeda dengan bentuk ruang olakan lain dimana ruang olakan lain berbentuk melebar. Bentuk hidrolis tipe ini mensyaratkan angka Froude (Fr) berkisar antara 1,7 sampai dengan 17. Pada pembuatan kolam ini dapat diperhatikan bahwa panjang kolam dan tinggi loncatan dapat di reduksi sekitar 80% dari seluruh perlengkapan. Kolam ini akan lebih pendek dan lebih ekonomis.



20 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



3. METODELOGI PENELITIAN Pada penelitian yang dilakukan, model kolam olak tipe majemuk yang dibuat yaitu dengan menaikkan salah satu sisi tepi ruang olak yang datar. Hal ini dilakukan karena dalam pembuatan model dengan menyesuaikan model yang telah ada sebelumnya (Gambar 1.a) mengalami kesulitan yaitu pada pembuatan sisi iring kolam olak (Gambar 2).



Gambar 2: Penampang Melintang Kolam Olak Tipe Majemuk Dengan Salah Satu Sisi Tepi Dinaikkan. Pengujian model fisik kolam olak dibuat dalam 4 skenario yaitu :  Skenario 1 : uji model fisik terhadap kolam olak model 1 yaitu model kolam olak tipe datar (Gambar 3.a).  Skenario 2 : uji model fisik terhadap kolam olak model 2 yaitu model variasi kolam olak tipe datar dengan menaikan salah satu sisi tepi atau bantaran kolam olak setinggi 0,2 Z maka ketinggian bantaran/ sisi tepi lantai menjadi 0,1 m (karena Z= ketinggian terjunan 0,5 m) (Gambar 3.b).  Skenario 3 : uji model fisik terhadap kolam olak model 3 yaitu model variasi kolam olak tipe datar dengan menaikan salah satu sisi tepi atau bantaran kolam olak setinggi 0,4 Z maka ketinggian bantaran/ sisi tepi lantai menjadi 0,2 m (Gambar 3.c).  Skenario 4 : uji model fisik terhadap kolam olak model 4 yaitu model variasi kolam olak tipe datar dengan menaikan salah satu sisi tepi atau bantaran kolam olak setinggi 0,6 Z maka ketinggian bantaran/ sisi tepi lantai menjadi 0,3 m (Gambar 3.d).



(a )



(b )



(c (d ) ) Gambar 3: Kolam olak tipe datar (a), kolam olak majemuk dengan sisi tepi 0,2 m (b), dengan sisi tepi 0,1 m (c) dan dengan sisi tepi 0,3 m (d). Setiap skenario dilaksanakan dalam 3 variasi sekat pada hilir kolam olak untuk dapat melihat perbedaan dari ketinggian muka air di kolam olak yaitu variasi tanpa sekat, denga sekat 5 cm, dan sekat 10 cm.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 21



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



4.



ANALISA DAN PEMBAHASAN



Pada saat proses pelaksaaan penelitian terjadi perbedaan debit antara model skenario 1 dan model ke 3 skenario lainnya. Pada model skenario 1 debit yang dihasilakn pompa adalah sebesar 0,008416 m³/detik atau 8,416 liter/detik, sedangkan untuk model skenario 2,3, dan 4 debit yang dihasilakn pompa adalah sebesar 0,00689 m³/detik atau 6,890 liter/detik. Maka proses analisa dibagi menjadi 2, yaitu model skenario 1 dan model skenario 2, 3, dan 4 (skenario majemuk). Hasil pengamatan dan perhitungan kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik agar mempermudah dalam proses analisa. Setiap grafik memiliki absis (X) yang sama yaitu titik tinjau, sedangkan ordinatnya (Y) menunjukan masing-masing variabel hidarulik aliran.  Skenario 1



Grafik 1: Ketinggian Muka Air Pada Skenario 1 Hasil pengamatan ketinggian muka air untuk skenario 1 (Kolam Olak Tipe Datar) dengan 3 macam variasi sekat ditunjukan dalam pada grafik 1.



(a)



(b)



(c) Grafik 2.(a) Grafik Kecepatan , (b) Grafik Tinggi Energi, dan (c) Grafik Bilangan Froude Pada Skenario 1 (Kolam Olak Tipe Datar)



22 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Pada grafik 2 (a,b,c) garis 1 (biru) adalah percobaan dengan variasi hilir kolam olak tanpa sekat, garis 2 (merah) menggunakan sekat 5 cm, dan garis 3 (hijau) menggunakan sekat 10 cm. Kecepatan aliran seperti pada grafik 2.a menunjukan penurunan yaitu pada titik tinjau awal kecepatan cukup besar dan makin kearah hilir menjadi lebih rendah atau berkurang. Tinggi energi dari grafik 2.b menunjukan untuk variasi tanpa sekat dengan warna garis berwarna biru menunjukan terjadinya penurunan energi mulai dari hulu kolam olak sampai pada hilir. Namun 2 variasi lainnya yaitu variasi dengan sekat 5 cm (garis merah) dan variasi dengan sekat 10 cm (garis hijau), dimana pada 2 variasi ini justru terjadi peningkatan tinggi energi. Bilangan Froude dari grafik 2.c menunjukan terjadinya penurunan mulai dari hulu kolam olak sampai pada hilir kolam olak.  Skenario 2, 3, dan 4 (Skenario Majemuk) Pada skenario ini untuk mempermudah melakukan analisa maka setiap grafik dibedakan berdasarkan variasi sekat pada hilir kolam olak.



Grafik 3: Grafik Ketinggian Muka Air Variasi Tanpa Sekat Untuk Skenario 2, 3, dan 4.



(a)



(b)



(c) Grafik 4.(a) Grafik Kecepatan , (b) Grafik Tinggi Energi, dan (c) Grafik Bilangan Froude Pada Skenario 2,3, dan 4 (Skenario Majemuk) Tanpa Sekat. Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 23



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Grafik 5: Grafik Ketinggian Muka Air Variasi Sekat 5 cm Untuk Skenario 2, 3, dan 4.



(a)



(b)



(c) Grafik 6.(a) Grafik Kecepatan , (b) Grafik Tinggi Energi, dan (c) Grafik Bilangan Froude Pada Skenario 2,3, dan 4 (Skenario Majemuk) Dengan Sekat 5 cm.



Grafik 7: Grafik Ketinggian Muka Air Variasi Sekat 10 cm Untuk Skenario 2, 3, dan 4.



24 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



(a)



(b)



(c) Grafik 8.(a) Grafik Kecepatan , (b) Grafik Tinggi Energi, dan (c) Grafik Bilangan Froude Pada Skenario 2,3, dan 4 (Skenario Majemuk) Dengan Sekat 10 cm. Hasil pengamatan berupa ketinggian muka air untuk setiap percobaan dengan varisi sekat ditunjukan dalam grafik 3 untuk variasi tanpa sekat, grafik 5 untuk varisi dengan sekat 5 cm, dan grafik 7 untuk variasi sekkat 10 cm. Sedangkan untuk variabel hidraulik aliran (kecepatan, tinggi energi, dan bilangan froude) ditunjukan dalam grafik 4 untuk varisi tanpa sekat, grafik 6 untuk variasi sekat 5 cm, dan grafik 8 untuk variasi sekat 10 cm. Setiap garis pada grafik-grafik tersebut menujukan skenario model. Kecepatan aliran seperti pada grafik 4.a, 6.a, dan 8.a menunjukan penurunan yaitu pada titik tinjau awal kecepatan cukup besar dan makin kearah hilir menjadi lebih rendah atau berkurang. Tinggi energi dari grafik 4.b, 6.b, dan 8.b menunjukan untuk variasi tanpa sekat dengan warna garis berwarna biru menunjukan terjadinya penurunan energi mulai dari hulu kolam olak sampai pada hilir. Namun 2 variasi lainnya yaitu variasi dengan sekat 5 cm (garis merah) dan variasi dengan sekat 10 cm (garis hijau), dimana pada 2 variasi ini justru terjadi peningkatan tinggi energi. Bilangan Froude dari grafik 4.c, 6.c, dan 8.c menunjukan terjadinya penurunan mulai dari hulu kolam olak sampai pada hilir kolam olak.



5. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa ketinggian sisi tepi dari model kolam majemuk yang dibuat sangat mempengaruhi hidraulik aliran yang terjadi pada kolam olak. Dimana semakin tinggi sisi tepi model kolam olak tipe majemuk maka akan berpengaruh pada semakin tinggi elevasi muka air pada ruang olak. Semakin tinggi sisi tepi maka semakin rendah kecepatan aliran pada ruang olak. Semakin tinggi sisi tepi maka semakin rendah nilai angka Froude yang terjadi. Sedangkan untuk tinggi energi mengalami variasi yaitu untuk percobaan variasi tanpa sekat semakin tinggi sisi tepi model kolam olak majemuk maka energi yang dihasilkan pada ruang olak akan semakin rendah, namun pada variasi dengan sekat 5 cm dan variasi dengan sekat 10 cm, dimana semakin tinggi sisi tepi model kolam olak majemuk maka energi yang dihasilkan juga semakin tinggi.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 25



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Hasil yang didapat kemudian akan dilanjukan dengan permodelan matematik dengan menggunakan bantuan software. Hasil penelitian dari model matematik kemudian digabungkan untuk mendapatkan pengaruh model yang lebih detail.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Anggrahini. (1996), Hidrolika Saluran Terbuka, CV Citra Media, Surabaya. 2. Bhowmik, N.G. (1975), ―Stilling basin design for low Froude number‖. J.Hydr. Engg.,ASCE, 101(7): 901-915. 3. Bradely, J. N. and Peterka, A. J. (1957), ―Hydraulic Design of Stilling Basins‖, Journal of Hydraulic Division, ASCE, 1401-1406. 4. Chow, V.T, (1959), Open Channel Hydraulic, McGraw-Hill book company, Inc.,New York. 5. Novak P, Čábelka J (1981), Models in Hydraulic Engineering,Pitman Publishing Limited, London. 6. Pillai N. Narayana, Goel Arun, and Dubey Ashoke Kumar (2009), ―Hydraulic Jump Type Stilling Basin For Low Froude Numbers‖, J. Hydraul. Eng.115:989-994. 7. Takeda , Kensaku dan Sasrodarsono, Suyono. (1981), Bendungan Type Urugan, PT Pradnya Paramita, Jakarta. 8. Trimoijin (2000), ―Studi Pengendalian Loncatan Hidrolik Dengan Variasi Sudut Endsill Pada Bangunan Peredam Energi‖, Tesis S2, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.s



26 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



ANALISIS MASA MANFAAT WADUK SAGULING DI JAWA BARAT Ana Nurganah Chaidar1, Indratmo Soekarno2 ,Agung Wiyono2 & Joko Nugroho2 1



Mahasiswa Program Doktor Jurusan Teknik Sipil FTSL ITB, [email protected] Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSL ITB, [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSL ITB, [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSL ITB , [email protected] 2



ABSTRAK Waduk Saguling merupakan salah satu waduk buatan dari tiga waduk yang membendung aliran sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Posisi waduk Saguling merupakan waduk pertama dari sistim waduk yang ada di Sungai Citarum sehingga menjadi penampung pertama sedimentasi yang terjadi dari erosi di hulu DAS Citarum yang sudah mengalami tingkat erosi yang sangat tinggi. Laju erosi DAS Citarum Hulu yang merupakan DAS untuk Waduk Saguling tiap tahun mengalami peningkatan, Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menganalisis masa manfaat Waduk Saguling karena adanya erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi di daerah tangkapan airnya dengan berbagai metode. Metoda yang digunakan untuk menentukan masa manfaat waduk adalah metoda statistic berdasarkan sedimentasi yang tejadi di waduk, sebagai pembanding digunakan metoda berdasarkan angkutan sedimen dari data pemeruman (echosounding) dan berdasarkan volume air yamg masuk dan keluar waduk. Hasil analisis adalah bahwa umur layanan waduk Saguling mengalami penurunan dari rencana semula yaitu 59 tahun. Tiap periode penurunan dapat terlihat besar penurunan yang terjadi sampai pada tahun 2013 umur manfaat waduk Saguling hanya 27 Tahun. Hal ini disebabkan karena sedimentasi yang terjadi sangat tinggi yaitu rata-rata 4,2 juta m3/tahun, melebihi batas laju sedimentasi rencana sebesar 4.0 juta m3/tahun sehingga menyebabkan pendangkalan berlangsung melebihi rencana. Kata kunci: Saguling, erosi,sedimentasi, masa manfaat



1. PENDAHULUAN Waduk Saguling merupakan salah satu waduk buatan dari tiga waduk yang membendung aliran sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Posisi waduk Saguling merupakan waduk pertama dari sistim waduk yang ada di Sungai Citarum sehingga menjadi penampung pertama sedimentasi yang terjadi dari erosi di hulu DAS Citarum yang sudah mengalami tingkat erosi yang sangat tinggi. Laju erosi DAS Citarum Hulu yang merupakan DAS untuk Waduk Saguling tiap tahun mengalami peningkatan. Penyebab kondisi tersebut adalah adanya kerusakan ekosistem di daerah tangkapan air Waduk Saguling akibat berkurangnya luas hutan di bagian hulu dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Proses perubahan penggunaan lahan, selain menghasilkan manfaat, juga memberikan resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi akan menyebabkan terjadinya proses pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik. Erosi dan banjir juga dapat menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam (Jamartin Sihite, 2001). Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning), yang hasilnya dapat Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 27



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya, serta tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat berfungsi secara lestari (FAO, 1976 dalam Arsyad, 1989). Erosi di lahan yang akan menyebabkan sedimen di sungai dan akhirnya akan mengendap di waduk sebenarnya merupakan suatu kejadian alami yang tidak mungkin dihindari sama sekali. Akibat yang ditimbulkan oleh erosi di bagian hulu waduk, mengganggu operasi Waduk dan akan memperpendek umur fungsi waduk. Untuk mempertahankan umur manfaat waduk maka perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi guna pengamanan terhadap waduk dari bahaya pendangkalan yang dipercepat akibat erosi di bagian hulu waduk tersebut. Lokasi Kajian Secara geografi, DAS Citarum bagian hulu berada pada 107o 15‘ 46.27‖ – 107o 57‘ 1.99‖ BT dan 6o 43‘ 8.65‖ - 7o 14‘ 32.09‖ LS dengan luas area ± 230,802 Ha. Wilayah bagian hulu DAS Citarum merupakan DTA waduk Saguling. DAS Citarum bagian hulu terbagi menjadi 8 sub DAS, yaitu Cihaur, Cikapundung-Cipamokolan, Cikeruh, Ciminyak, Cirasea, Cisangkuy, Citarik dan Ciwidey. Sub DAS yang paling luas adalah Cirasea (16.51 %) selanjutnya Sub DAS Cisangkuy dan Ciminyak. Sub DAS Cikeruh hanya sekitar 8.24 % dari wilayah DAS Citarum Bagian Hulu. Secara administratif, wilayah DAS Citarum bagian hulu masuk wilayah Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sumedang dan Sebagian kecil masuk wilayah Kab. Garut. Distribusi wilayah curah hujan di DAS Citarum bagian hulu tidak merata. Curah Hujan tahunan bervariasi antara 1,966 - 2,600 mm. Variasi curah hujan ini terjadi karena pengaruh topografi. Bulan terbasah mencapai 300 mm. Secara umum iklim DAS Citarum bagian hulu digolongkan sebagai iklim tipe C menurut klasifikasi Schmith dan Fergusson atau tipe Am menurut klasifikasi Koppen. Sedangkan menurut klasifikasi iklim Oldeman yang didasarkan pada jumlah curah hujan bulan basah (>200 mm) dan bulan kering ( H Q ).



Gambar 2 : Sketsa perjalanan gelombang (Yuwono, 1982) Pada tempat yang dangkal kehilangan tenaga gelombang akan lebih besar dibandingkan pada tempat yang dalam, hal ini disebabkan karena gerakan partikel air pada tempat yang dalam tidak begitu terasa di dasar laut, sehingga kehilangan tenaga akibat ―friction‖ kecil, lihat Gambar 3. Untuk menentukan perubahan tinggi gelombang karena adanya ―bottom friction‖ dilakukan secara empiris (Yuwono, 1982).



K H Q = f . H P ............................................................................................ dengan : H Q = tinggi gelombang di Q



(5)



H P = tinggi gelombang di P K f = koefisien ―bottom friction‖



Gambar 3 : Gerakan partikel air (Yuwono, 1982)



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 57



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Hidraulik Jurusan Teknik Sipil, Fakultas`Teknik, Universitas Tidar. 3.2. Alat penelitian Alat penelitian berupa saluran pembangkit gelombang yang dilengkapi dengan pengkukur gelombang (wave probe). Alat tersebut dibuat di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tidar Magelang, dengan spesifikasi alat sebagai berikut, lihat Gambar 4. bahan dinding : kaca tebal 8 mm lebar saluran : 0,30 meter panjang total : 19,00 meter tinggi saluran : 0,45 meter untuk lebih jelasnya lihat Gambar 5. Wave generator Pengatur periode gelombang 11 m S5



S4



S3



Wave probe



2m S2



S1



Model struktur



Peredam gelombang



S1 : sensor 1 S3 : sensor 3 S5 : sensor 5 S2 : sensor 2 S4 : sensor 4



Gambar 4 : Tata letak model struktur dalam saluran gelombang 3.3. Pembuatan Model Struktur 3.3.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan model struktur adalah seperti berikut : Model pemecah gelombang bawah air tumpukan batu dipakai batu batu pecah (split) dengan ukuran yang bervariasi, yaitu antara 1 cm sampai 2 cm, dengan porositas (n) sebesar 46.67 %. Dalam penelitian ini porositas tidak divariasi. 3.3.2. Skala model Mengingat ukuran saluran gelombang yang akan dipakai dalam penelitian, maka model pemecah gelombang ambang rendah dibuat dengan model skala kecil. Hubungan antara model dan prototip dinyatakan dengan besaran skala tanpa distorsi, yaitu skala pada arah horisontal dan arat vertikal sama, lihat Tabel 1.



58 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



No 1 2 3 4



Tabel 1 : Hubungan skala model dan prototip Besaran Notasi Skala Tinggi 58 nH Panjang 58 nL Kedalaman 58 nd Periode nT 58



3.3.3. Pemasangan Model dalam Saluran gelombang Pemasangan model dalam saluran gelombang dilakukan sebagaimana diperlihatkan Gambar 5. B Hi d



h 1:2



1:2 Pandangan Samping



30 cm



Pandangan Atas



Gambar 5 : Pemecah gelombang bawah air 3.3.4. Analisis Data Setelah data penelitian diperoleh yang meliputi tinggi gelombang Hi, Ht, Hr, periode gelombang (T), kedalaman air (h), tinggi struktur (d), dan lebar puncak pemecah gelombang (B), dapat ditentukan, maka untuk selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif dan analitis. Hubungan antara variabel yang berpengaruh dibuat bilangan tak berdimensi berdasarkan prinsip analisis dimensi dengan tetap berpedoman pada bentukbentuk hubungan secara teoritis. Hubungan antar variabel tak berdimensi dibuat dalam bentuk grafik hubungan antara gT²/B dengan Kt, Kr , Selanjutnya dengan menggunakan Stastistical Analysis System (SAS) dilakukan uji pengaruh masing-masing variabel tehadap Kt dan Kr, guna mendapatkan persamaan pendekatan untuk menghitung Kt dan Kr.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara Kt dengan gT²/B dan antara Kr dengan gT²/B d-h)/d tertentu, lihat Gambar 6, dan Gambar 7, yang selanjutnya dapat diketahui bahwa jika gelombang dengan periode gelombang tertentu yang menjalar di atas pemecah gelombang bawah air, nilai koefisien transmisi gelombang mengalami kenaikan apabila kedalaman air di atas mercu semakin besar, sedangkan nilai koefisien refleksi gelombangnya akan menurun, dan juga apabila lebar mercu semakin besar maka koefisien transmisi Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 59



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean gelombang mengalami penurunan, sedangkan mercu semakin besar, sedangkan nilai koefisien refleksi gelombangnya akan semakin naik. Selanjutnya dengan melakukan analisis statistik dalam hal ini menggunakan Statistical Analysis System (SAS) didapatkan persamaan pendekatan guna menghitung nilai koefisien transmisi gelombang (Kt) dan koefisien refleksi gelombang (Kr). Persamaan di bawah diturunkan melalalui Uji statistik t dengan menggunakan : 2 (dua) variabel bebas yaitu gT²/B, dan (d-h)/d, 2 (dua) variabel tak bebas yaitu Kt dan Kr. 1 Hr Hi



0.9 0.8



B Ht



h



d



d-h



0.7



Kt



0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90



100



gT^2/B



Gambar 6 : Hubungan antara Kt dengan gT2/B 1 Hr Hi



0.9 Ht



0.8



d



0.7 0.6 Kt



B



0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90



100



gT^2/B



Gambar 7 : Hubungan antara Kr dengan gT2/B



60 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



h



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 K t  0.634  0.218. ln( gT 2 / B)  1.185. ln( d  h) / d ................................ ............. (5) K r  1.898  0.270. ln( gT 2 / B)  1.052. ln( d  h) / d ................................. ............. (6)



Persamaan 5 dan Persamaan 6 berlaku untuk kondisi (d-h)/d ≤ 1,00 dengan : Kt : koefisien gelombang transmisi Kr : koefisien gelombang refleksi B : lebar puncak PGBAT g : percepatan gravitasi T : periode gelombang d : kedalaman air h : kedalaman air di atas puncak pemecah gelombang bawah air Bila dengan menggunakan salah satu data lapangan, kemudian nilai koefisien gelombang transmisi dihitung dengan persamaan hasil penelitian dan dihitung dengan persamaan yang disampaikan Nizam (1987), maka, maka perbandingannya sebagaimana Gambar 8.



5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis yang dilakukan maka Peneiliti dapat memberikan kesimpulan dan saran sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan a. Nilai koefisien gelombang transmisi gelombang ( K t ) dan koefisien refleksi gelombang ( K r ) dipengaruhi besarnya kedalaman air (d), kedalaman air di atas puncak pemecah gelombang bawah air (h), periode gelombang (T), dan lebar puncak pemecah gelombang (B), b. Apabila kedalaman air di atas mercu (h) semakin besar, maka nilai koefisien transmisi gelombang mengalami kenaikan, sedangkan nilai koefisien refleksi gelombangnya akan menurun, c. Apabila lebar mercu (B) semakin besar maka koefisien transmisi gelombang mengalami penurunan, sedangkan mercu semakin besar, sedangkan nilai koefisien refleksi gelombangnya akan semakin naik. 5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka penulis dapat memberikan saransaran sebagai berikut : a. Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan mamasukkan variable porositas, sehingga dapat diketahui pengaruh porositas terhadap Kt, dan Kr, b. Penelitian ini baru dilakukan dengan menggunakan gelombang regular, sehingga masih perlu diketahui atau dilajutkan lagi, dengan menggunakan gelombang irregular. c. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan memasukkan pengaruh nilai perban- dingan antara panjang gelombang (L) dengan lebar antara pucak pemecah gelombang bawah air (B) terhadap koefisien transmisi gelombang (Kt).



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 61



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Bruun, P., (1985), Design and Construction of Mounds for Breakwater and Coastal Protection.. Elsevier. 2. Dean R.G., and Dalrymple R.A., (1984), Water Waves Mechanics for Engineers and Scientist. Practice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 3. FT UGM; PAU UGM; dan NIPPON KOEI CO LTD., (1998), Tanah Lot Protection Works, Phisical Modeling Final Report, Goverment of Republic of Indonesia Mninistry of Public Works Directorate General of Water Resoursces Development. 4. Goda, Y., (1970), Estimation of The Rate of Irregular Wave Overtopping of Seawalls, Rept.Port and Harbour Res. Inst., 9, No. 4, 3-41. 5. Horikawa, K., (1978). Coastal Engineering. Univercity of Tokyo Press, Tokyo. 6. Mase H, Miyahira A., dan Hedges TS., (2003). Random Wave Runup On Seawalls Near Shorelines With And Without Artificial Reefs. Coastal Engineering Journal, Vol. 46, No. 3 (2004), World Scientific Publishing Company and Japan Society Of Civil Engneers. 7. Nizam., (1987). Refleksi dan Transmisi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Bawah Air. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 8. Pilarczyk W. Krystian., (2003). Alternative System For Coastal Protection an Overview. Journal, International Conference on Eastuaries and Coasts, Hangzhou, China 9. Silvester, R., (1974). Coastal Engineering. Departement of Civill Engineering University of Western Australia, Elsevier Scientific Publishing Company, AmterdamOxford-New Yorg. 10. Triatmodjo, B., Teori Gelombang I, Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.. 11. Yuwono, N.,(1990), Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume I, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. 12. Yuwono, N.,(1990), Model Hidrolik, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta.



62 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



STATIC ARMOUR LAYER, CAN THEY BE PREDICTED Cahyono Ikhsan1, Mamok Suprapto2 , Siti Qomariyah 3, Solichin4 1,2,3,4



Lecturer Sebelas Maret University of Civil Engineering Faculty Email: [email protected],



ABSTRAK Armouring is a recognized phenomenon in gravel bed rivers that have been subject to periods of extended low flows. Coarsening creates a bed surface where greater intergranular friction angles increase the surface stability and the stress necessary to entrain the bed. The study presents the analysis of bedload transport, changes in the structure armour layer and topography of the sediments during the degradation process. In the analysis of variations in channel slope and bedload composition of actively moving. Hydraulics Laboratorium studies using the main sediment-recirculating flume of plexiglass dimensionless width 0.60 m, length of 10.00 m, a depth of 0.45 m and a channel slope of 1% to 3%. The flume experiments created armoured beds testing 4 sediment mixtures with a composition of 70% gravel, 30% sand, and 4 flow rates constant discharge capacity of 25 l/s, 30 l/s, 40 l/s and 45 l/s. Running on low flow two phases which phase equilibrium and armour. The instruments used between digital currentmeter, point gauge meter, sediment feeder, trap sediment, and surfer software version 8.0. This structure forms a topography that increases the roughness of the bed. Particle groupings on the bed surface, are common features in surface bad topography. The influence and interaction of the sediment grains and channel flow hydraulics during the armoring process has yet to be fully defined. The results illustrate the change in the slope of the channel armouring impact on increasing shear stress. Conditions are shown armour layer structure changes and changes in surface topography. While the grain size profile armour layer more upright, this condition indicates that the formation of armour layer effect on the stability of the channel Keywords: Armour layer, stability, shear stress, bedload, flume



1. PENDAHULUAN Keberadaan struktur armour layer yang masih alami, terdapat di hulu sungai, dengan gradasi butir penyusunnya bervariasi. Pada kondisi tersebut, sedimen akan bergerak bila tegangan geser aliran melebihi tegangan geser kritis butiran dasarnya dan tidak terikat secara erat serta tidak terlindung oleh sedimen yang lebih besar. Sedangkan sedimen yang tidak bergerak (static) memiliki tegangan geser kritis lebih besar dari tegangan geser alirannya. Armour layer merupakan campuran gravel dan pasir yang tersortir secara alami melalui proses angkutan sedimen, dimana sedimen dengan ukuran diameter butir kecil ( < 4 mm) terus terangkut, sedangkan sedimen dengan ukuran diameter butir lebih besar ( > 4 mm) tetap tinggal, jadi armour layer merupakan jenis lapisan gravel bed yaitu sedimen kasar yang berkelompok membentuk formasi klaster dan berfungsi sebagai pelindungi sedimen di bawahnya.Pembentukan armour layer diawali dengan terjadinya degradasi pada permukaan dasar saluran yang menuju pada proses pengkasaran dan perkerasan lapisan permukaan sampai terbentuk stabilitas dasar dengan struktur lapisan bagian atas (gravel) lebih kasar dari lapisan yang berada di bawahnya. Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 63



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Proffitt (1980) menyebutkan bahwa lapisan armour melindungi lapisan di bawahnya (substrate), Parker et.al (1982) membahas karakteristik ukuran butir pada lapisan substrate dengan menganalisa besarnya sedimen yang terangkut pada satu ukuran butir (a single grain size), Shen dan Lu (1983) mengembangkan suatu metoda untuk memprediksi distribusi lapisan armour. Parker (1990) mengembangkan persamaan lapisan armour pada tiap fraksi butir dan diameter rata-rata lapisan. Wilcock (2001) menyebutkan bahwa pembentukan lapisan armour didasarkan pada perbedaan tegangan geser yang terjadi pada fraksi pasir dan gravel. Wilcock (2003) mengembangkan suatu hubungan antara bedload dengan lapisan armour serta substrate yang tergambar pada distribusi grain size secara keseluruhan, termasuk adanya butir pasir yang mengisi gravel pada saat terjadi angkutan sedimen. Curran dan Wilcock (2005) melakukan eksperimen flume dengan intensitas debit yang besar dan mengukur bedload yang terangkut dan tertinggal di dasar. Sistem sedimen di dasar sungai terdiri dari tiga lapisan komponen pembentuk, ketiga lapisan tersebut adalah lapisan surface, substrate dan bedload. Parker (1990a), Wilcock (2001), Wilcock and Crowe (2003) membahas tentang karakteristik ukuran butir pada lapisan permukaan (surface grain size characteristics). Persamaan yang dikemukakan oleh Parker-Klingeman-McLean (1982) tentang ukuran butir pada lapisan dasar permukaan (substrate grain sizes). Metode yang dikemukakan oleh Bakke (1999) adalah pada kedua lapisan (surface and substrate) tergantung pada prosentase campuran gravel dan pasir. Metode gabungan yaitu metode Wilcock (2001) dan Bakke (1982), pengukuran sedimen dasar yang hasilnya dapat dipakai untuk kalibrasi persamaan angkutan sedimen. Curran dan Tan (2010) meneliti tentang formasi klaster armouring. Struktur lapisan armour yang terbentuk merupakan campuran gravel dan pasir yang tersortir secara periodik.



2. LANDASAN TEORI 2.1 Rumus Tebal Static Armour Sedimen dasar yang terangkut merupakan jumlah dari fraksi butir yang lepas dari permukaan dasar dan bergerak. Jumlah sedimen dasar total yang terangkut persatuan lebar dirumuskan; N



q bT   q bi i 1



………………… ................................................. ……………………..(1) Sedangkan rasio sedimen yang terangkut merupakan perbandingan jumlah sedimen yang terangkut tiap fraksi butir dengan jumlah totalnya yang dirumuskan; q Pbi  bi qbT ……………… .............................................. ………………………….(2) Pada tegangan geser untuk non dimensional grainsize spesifik Shields number dirumuskan;



64 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



* 



b RgDi



dengan



 b  gRS atau  b  u*2



sehingga besarnya tegangan geser non dimensional dirumuskan; u*2 u2  i*   * RgDi RgDi ………………….............................................. ……………. (3) Sedimen dasar yang terangkut akan bergerak dengan cara sliding, rolling dan saltating. Besarnya q b diasumsikan akan senantiasa meningkat jika dibarengi dengan aliran yang kuat pada kedalaman rata-rata kecepatan aliran (U) atau pada tegangan geser batas (boundary shear stress)  b . Pada non dimensional Einstein bedload namber ( qbi* ) qbi qbi*  RgDi Di Fi untuk setiap fraksi butir dirumuskan , hubungan Einstein bedload namber (



qbi* ) non dimensional dengan grainsize spesifik



3



* * 2 Shield number dirumuskan qbi  ( ) . Jadi jumlah sedimen yang terangkut pada non dimensional dirumuskan;



W*



  



3 * 2 i * bi



q



3



 u*2  2   RgDi   * W  qbi RgDi Di Fi



u *3 Fi Rgqbi ............................................. ………………………………………… (4) pada persamaan tersebut dapat dicari besarnya diameter fraksi butir (Fi) armour dirumuskan



W* 



W * Rgqbi Fi  u *3



………………………………… ................................ ……………. (5) dengan W * merupakan bilangan non dimensional jumlah sedimen yang terangkut. Terbentuknya armour layer merupakan proses perubahan profil grain size lapisan dasar, yang terjadi secara linier pada perubahan kemiringan dasar saluran melalui proses Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 65



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean degradasi sampai dengan bedload yang terangkut dalam waktu tertentu semakin berkurang dan mendekati nol. Pada kondisi tersebut sedimen yang tertinggal di flume merupakan fraksi butir static armour (Fi), dengan tegangan geser meningkat linier terhadap armour layer.



3. KONDISI EKSPERIMEN Penelitian dilakukan dengan menggunakan jenis aliran steady uniform pada kondisi low flow debit konstan 25 l/s, 30 l/s, 40 l/s dan 45 l/s untuk setiap running dengan variasi kemiringan dasar (So=Sw=Sf) 1%, 1,4%, 1,8%, 2,2%, 2,6% untuk setiap jenis variasi material (M1, M2, M3, M4, M5) Gambar 1.



τo (N/m2)



Curve Q max 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0



Q=45 l/s Q=40 l/s Q=30 l/s Q=25 l/s Poly. (Q=50 l/s)



0,002



0,006



0,010



0,014



0,018



0,022



0,026



0,030



Sf



Gambar 1 : Setting eksperimen setiap running. Pada eksperimen ini tidak ada angkutan suspended load yang terangkut. Sedimen dasar (bedload) terdiri dari fraksi butir dengan ukuran bervariasi. Variasi pada setiap running ditunjukkan pada Tabel 1.



Material sedimen eksperimen di pisah dengan ukuran diameter butir yang berbeda dan masing-masing dicat dengan warna berbeda. Ukuran diameter butir tersebut yaitu D30, D50, D80 dan D95. Adapun warna yang dipakai adalah kuning, hijau, merah dan putih disesuakan dengan ukuran diameter butirnya. 5 profil material sedimen dasar dinyatakan dengan grafik grain size Gambar 2.



66 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



Grain size Material Experiment 100



90 80



finer (%)



70



material 1



60 50



material 2



40



material 3



30



material 4



20



material 5



10 0 100,00



10,00



1,00



0,10



0,01



Diameter (mm)



Gambar 2. 5 : jenis profil grainsize Nilai tegangan geser kritik setiap fraksi butir diambil dari kurva tegangan geser Shields. Besarnya tegangan geser yang terdapat pada butir sedimen dasar memberikan batasan tentang kondisi sedimen (terangkut atau diam). Bila fraksi butir terangkut, maka fraksi butir tersebut memiliki nilai tegangan geser lebih besar dari tegangan geser kritisnya, demikian juga sebaliknya maka faksi butir tersebut tetap diam (static) Tabel 2.



4. PROSEDUR EKSPERIMENT Metode flume pada percobaan sedimen dasar (bedload) di Laboratorium adalah suatu metoda yang dipakai untuk mengamati dan mengukur sedimen dasar yang terangkut dan tertinggal di atas dasar permukaan kasar (gravel) pada jenis aliran steady univorm flow (debit konstan) pada aliran rendah (low flow). Sedimen yang tertinggal di flume memiliki gradasi yang kasar (gravel) sebagai respon dari tegangan geser aliran tersebut. Penelitian menggunakan a small, tilting, sediment feed flume dengan dimensi panjang 10,0 m, tinggi 0,45 m, dan lebar flume 0,6 m. Kaca flume terbuat terbuat dari plexiglass yang jelas dan bersih, yang memungkinkan pengamatan langsung terhadap angkutan sedimen Gambar 3. Pada sistem sirkulasi air flume, dilakukan feeding sedimen dari arah hulu dan pada bagian hilir di beri kotak saringan sebagai tangkapan sedimen (sediment trap). Pada umumnya pengamatan melibatkan 3 orang selama running, pengamatan di hulu flume, di hilir flume dan di posisi sedimen trap. Tahapan running pada pelaksanaan penelitian, terdiri dari dua fasa yaitu degradasi dan equilibrium Gambar 4. Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 67



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 3 : Sediment feed flume Fase degradasi ditandai dengan pengangkutan sedimen secara besar-besaran sampai dicapai pengangkutan maksimal, selanjutnya akan berkurang sampai diperoleh keseimbangan dinamis (equilibrium) yaitu ketika jumlah sedimen inflow (feeding) di hulu pada selang waktu tertentu menyamai jumlah sedimen outflow yang tertangkap oleh sediment trap di hilir flum. Sedimen yang terangkut ditangkap di sediment trap setiap interval 2 menit, kemudian ditimbang dan dibuat grafik transport sedimen Gambar 5. Pengukuran terus dilakuakan sampai tercapai kondisi equilibrium yang ditandai dengan mulai terbentuknya armour layer. Matrial sedimen yang terangkut



Gambar 4 : Running



68 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



berat sedimen ( gr)



450



400 350 300 250 200 150 100 50 0



0



40



80



120



160



200



240



280



320



360



400



440



Waktu (menit)



Gambar 5 : transport sedimen Gambar 6. Permukaan dasar dan elevasi muka air diukur setiap 30 menit pada interval 1,5 m memanjang dari hulu ke hilir. Pengukuran elevasi muka air sebagai koreksi terhadap kemiringan dasar flume. Kecepatan aliran diukur dengan curentmeter pada posisi di tengah flume dan di atas permukaan dasar dengan ketinggian 0,2 h, 0,5 h dan 0,85 h, selanjutnya dirata-rata sebagai nilai kecepatan permukaan aliran. Nilai rata-rata kecepatan tersebut digunakan untuk menghitung debit aliran yang terjadi.



Gambar 6 : Armour layer Terbentuknya armour layer diawali dari kondisi equilibrium yang ditandai dengan semakin berkurang jumlah sedimen yang terangkut sampai mendekati nol. Pengukuran tiap fraksi butir armour dengan point gauge pada tiap-tiap butir penyusunnya Gambar 7. Material sedimen yang terangkut dikumpulkan untuk masingmasing fase yaitu degradasi dan equilibrium atau armour selanjutnya diukur, dikeringkan, ditimbang untuk dibuat grain size curve distribusi.



5.



HASIL PENELITIAN



Hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan pada tiap running disajikan pada tabel dan grafik grain size untuk tiap variasi material (M). Hasil running material M3 pada variasi debit dan kemiringan dasar disajikan pada Tabel 3. Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 69



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 3 : Hasil eksperimen pada M3



% Finer



Grafik grain size armour M3 (Q:25 l/s) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100.00



original material 3 Sf = 0,010 Sf = 0,014 Sf = 0,018 Sf = 0,022 10.00



1.00



0.10



0.01



Sf = 0,026



Diameter (mm)



Gambar 8 : Grain size armour M3 (Q:25 l/s) Grafik hubungan antara kemiringan dasar dengan armour layer untuk semua material.



70 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



La (mm)



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



90



M1(D50=65mm)



80



M2(D50=20mm)



70



M3(D50=30mm)



60



M4(D50=9mm)



50 M5(D50=47mm) 40 0.006



0.010



0.014



0.018



0.022



0.026



0.030



Sf Gambar 9 : Hubungan antara kemiringan dasar dengan armour layer Grafik hubungan antara tegangan geser terhadap armour layer untuk semua jenis material. 90 M1(D50=65mm)



80



La (mm)



M2(D50=20mm) 70 M3(D50=30mm) 60



M4(D50=9mm)



50



M5(D50=47mm)



40 0.0



4.0



8.0



τ



12.0



16.0



20.0



(N/m2)



Gambar 10 : Hubungan antara tegangan geser terhadap armour layer



6.



KESIMPULAN



Penelitian ini berhasil menggambarkan kondisi setiap material yang dipakai sebagai bahan pembentuk lapisan armour di permukaan dasar. Beberapa percobaan menunjukkan kondisi yang hampir sama setelah dilakukan pengamatan yaitu M2, M3, M4 serta M1 dengan M5. Walaupun demikian, setiap peristiwa angkutan sedimen yang terjadi secara alami akan berpengaruh terhadap karakteristik pembentukan lapisan armour.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 71



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Crowe, J.C. and Lu Tan, 2010, An Investigation of Bed Armoring Process And The Formation of Microclusters. Joint Federal Interagency Conference, Las Vegas. 2. Proffitt, G. T. (1980).Selective transport and armouring of non-uniform alluvial sediments, Res. Rept. 80-22, Dept. Civil Eng., University of Canterbury, NZ, 203pp. 3. Proffitt, G. T. and Sutherland, A. J. (1983).Transport of non -uniform sediments, J. Hydraul. Res., 21(1), 33-43. 4. Parker,G. (1990).Surface-based bedload transport gravel rivers. Journal of Hydraulic Research, 28, 417-436.



relation



for



5. Proffitt, G.T., and Sutherland, A.J. (1983). Transport of non-uniform sediment. Journal ofHydraulic Research, 21, 3343. 6. Proffitt, G. T. (1980). Selective transport and armouring of non-uniform alluvial sediments, Res. Rept. 80-22, Dept. Civil Eng., University of Canterbury, NZ, 203pp. 7. Parker, G., and Klingeman, P.C., 1982, On why gravel bed streams are paved, Water Resources Research, 18(5), 1409-1423. 8. Parker, G., Klingeman, P.C., and McLean, D.L., 1982, Bedload and size distribution in paved gravel bed streams, Journal of Hydraulics Division, ASCE, v. 108, p. 544-571. 9. Parker, G., 1990a, Surface-based bedload transport relation for gravel rivers, Journal of Hydraulic Research, v. 28, p. 417-436. 10. Sutherland, A.J. (1987)Static armour layers by selective erosion. Sediment Transport in Gravel-Bed Rivers, C.R. Thorne et al., Wiley, Chichester, 243-60. 11. Wilcock, P.R., 2001, Toward a practical method for estimating sediment-transport rates in gravel-bed rivers, Earth Surface Processes and Landforms, v. 26, p. 1395-1408. 12. Wilcock, P.R. and J.C. Crowe, 2003, Surface-based transport model for mixed size sediment, Journal of Hydraulic Engineering, v. 129, p. 120-128. 13. Wilcock, P.R. and J.C. Crowe, 2005, Effect of sand Supply on transport rates in a gravel bed channel. Journal of Hydraulic Engineering, v. 131, no.11 : 961-967.



72 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



DISTRIBUSI KONSENTRASI SEDIMEN SUSPENSI ARAH TRANSVERSAL PADA SALURAN MENIKUNG (STUDI KASUS PADA SALURAN IRIGASI MATARAM) Chairul Muharis1, B. Agus Kironoto 2, B.Yulistiyanto 2 dan Istiarto2 1



Mahasiswa Program Doktor Ilmu Teknik Sipil Universitas Gajah Mada Yogyakarta Email: [email protected] 2 Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Email: [email protected] 2 Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Email: [email protected] 2 Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Email: [email protected]



ABSTRAK Akibat adanya gaya sentrifugal di tikungan saluran maka kecepatan aliran arah transversal akan meningkat. Fenomena ini tentu akan mempengaruhi distribusi konsentrasi sedimen suspensi arah transversal. Perubahan kecepatan dan juga perubahan distribusi konsentrasi sedimen suspensi.hanya akan dapat diketahui dengan melakukan penelitian secara langsung pada alran menikung di lapangan Penelitian dilakukan di Saluran Irigasi Mataram Yogyakarta. Saluran yang diteliti berpenampang segi empat dengan kedalaman rata-rata 1.50 meter dan lebar 4.22 meter serta sudut tikungan 570. Terbuat dari pasangan batu, sedangkan dasar saluran terdiri dari tanah, pasir dan batuan..Pengukuran konsentrasi sedimen suspensi menggunakan Opcon Probe dan pengukuran kecepatan aliran menggunakan Propeller Currentmeter. Prediksi konsentrasi sedimen suspensi menggunakan persamaan Rouse. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat perubahan kecepatan aliran di tikungan maka distribusi konsentrasi sedimen suspensi juga mengalami perubahan arah transversal. Secara umum distribusi konsentrasi sedimen suspensi ke arah sisi luar tikungan mengalami pengurangan dan sebaliknya ke arah sisi dalam tikungan semakin meningkat. Persamaan Rouse masih dapat digunakan untuk memprediksi distribusi konsentrasi sedimen suspensi dengan baik. Kecepatan yang rendah di sisi dalam saluran menyebabkan butiran sedimen yang lebih besar mengendap dan berpotensi terjadi pendangkalan. Kata kunci: distribusi konsentrasi, sedimen suspensi dan arah transversal



1. PENDAHULUAN Pada pekerjaan-pekerjaan keteknikan dari berbagai aspek teknik hidro seperti misalnya pekerjaan perancangan bangunan-bangunan pengendalian sungai, pengendalian banjir, perencanaan saluran stabil, bangunan-bangunan sungai, informasi tentang angkutan sediman seringkali sangat dibutuhkan. Salah satu parameter aliran yang sering dikaitkan dengan proses angkutan sedimen adalah distribusi konsentrasi sedimen suspensi. Dengan diketahuinya distribusi konsentrasi sedimen suspensi pada suatu sungai, fenomena angkutan sedimen seperti misalnya awal gerak sedimen, proses erosi, pengendapan sedimen, dan lain-lain, akan lebih dapat dipahami. Banyak penelitian sebelumnya mengenai aliran sedimen suspensi yang dilakukan pada saluran terbuka yang lurus terutama hubungan antara konsentrasi sedimen suspensi dan profil kecepatannya. Diantaranya adalah Coleman [1] melakukan penelitian mengenai pengaruh sedimen suspensi terhadap distribusi kecepatan pada saluran terbuka, melaporkan bahwa ketebalan lapisan logaritmik dari profil kecepatan menurun dengan ditingkatkannya konsentrasi sedimen suspensi. Selanjutnya Kironoto [3],[4]dan [5], Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 73



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pada dasarnya melaporkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara distribusi konsentrasi sedimen suspensi dengan distribusi kecepatan. Berangkat dari hasil penelitian terdahulu tersebut maka dilakukan penelitian mengenai distribusi konsentrasi sedimen suspensi pada saluran menikung ini



2. LANDASAN TEORI Distribusi kecepatan Pada saluran terbuka, distribusi kecepatan pada aliran sering dibedakan pada daerah inner region dan daerah outer region. Daerah inner region adalah daerah dekat dinding dasar dimana distribusi kecepatan logaritmik masih berlaku, sedangkan daerah outer region, adalah daerah yang jauh dari dasar dimana profil kecepatan menyimpang secara jelas dan sistematik dari hukum distribusi kecepatan logaritmik. Distribusi kecepatan di daerah inner region, yang dibatasi oleh y/δ < 0.2 dapat dirumuskan dengan persamaan (Kironoto, 1993):



u 1  y  ln  u*   k S



   Br  . .................................................................................................. (1)



dimana u adalah kecepatan rata-rata titik pada jarak y dari titik referensi; u* , kecepatan geser; κ, konstanta universal Von-Karman (κ = 0.4); Br, konstanta integrasi dari persamaan distribusi kecepatan logaritmik, dan kS adalah kekasaran dasar equivalen dari Nikuradse. Prediksi distribusi konsentrasi sedimen suspensi Distribusi konsentrasi sedimen suspensi dapat diprediksi dengan beberapa persamaan, diantaranya adalah persamaan Rouse [7] yang dikembangkan untuk aliran seragam, didasarkan pada distribusi kecepatan logaritmik dan asumsi bahwa koefisien difusi sedimen mempunyai nilai yang sama dengan koefisien transfer momentum, dan dapat dituliskan sebagai berikut: z



C D y a    Ca  y D  a  ................................................................................................ (2) dimana C adalah konsentrasi sedimen suspensi pada suatu titik berjarak y dari titik referensi; Ca, konsentrasi referensi yang berjarak a dari titik referensi; D, kedalaman aliran, dan z adalah parameter Rouse. w z s u* ....................................................................................................................... (3) dimana ws, kecepatan endap partikel suspensi; u* , kecepatan gesek, dan κ konstanta von-Karman Kecepatan endap partikel sedimen suspensi Kecepatan endap sedimen suspensi dapat dihitung dengan persamaan [7] : 1  s   d s2 ws  g 18   .................................................................................................... (4)



74 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 dimana ds = diameter partikel suspensi representatif (cm) ; ws = kecepatan endap partikel sedimen suspensi (cm/dt),  s dan  = berat jenis sedimen dan air (kg/m3), =viskositas kinematik (mm2/dt) dan g = percepatan gravitasi (m/dt2).



3.



METODOLOGI PENELITIAN



Metode yang diterapkan pada penelitian ini adalah eksperimen lapangan, yakni seluruh kegiatan pengukuran maupun pengambilan data dilaksanakan di lapangan. Lokasi penelitian di laksanakan pada 5 (lima) titik saluran irigasi Mataram. Titik-titik pengukuran kecepatan dan pengambilan sampel sedimen suspensi untuk setiap saluran menikung ditetapkan pada 5 (lima) cross section berada dalam busur saluran menikung (1 2,3,4 dan 5), seperti terlihat pada Gambar 1.



.



Gambar 1 : Lokasi Pengukuran Cross Sections Setiap masing-masing cross section dilakukan dibagi sebanyak 5 (lima) titik arah transversal atau tegak lurus arah aliran. Seperti terlihat pada Gambar 2. B



1/6B



1/6B



1/6B



1/6B



1/6B



1/6B



y/D > 0,2



y y/D < 0,2



Gambar 2 : Titik-titik pengukuran arah transversal dan vertikal Setiap lima titik tersebut dibagi lagi untuk beberapa titik kedalaman untuk jumlah yang relatif cukup. Titik-titik tersebut adalah pada y/D ≤ 0,2 untuk data di dekat dasar (inner Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 75



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean region,), dan y/D  0,2 untuk data di outer region. Selanjutnya untuk setiap data yang diperoleh diberi notasi agar memudahkan dalam mengidentifikasnya. Jumlah titik-titik pengukuran dan pengambilan sampel pada kedalaman vertikal sewaktu waktu bisa berkurang atau bertambah sesuai situasi dan kondisi lapangan pada saat itu. Selama pelaksanaan pengukuran di lapangan ketinggian muka air perlu selalu dikontrol yakni dengan cara menempatkan peil schaal dikedua sisi penampang saluran, kemudian diberi tanda. Selanjutnya setiap perubahan ketinggian muka air dicatat dengan seksama. Hal ini dilakukan karena perubahan tinggi muka air akan berpengaruh terhadap besarnya debit aliran dan nilai aspek rasio dari penampang saluran tersebut.



4. DATA UNTUK ANALISIS Data pengukuran diberi notasi/kode L, S dan R, yang merupakan singkatan dari location, L, cross section, S, dan radius (titik arah transversal), R, diikuti dengan angkaangka yang menginformasikan urutan lokasi penelitian, potongan melintang dari hulu ke hilir saluran dan posisi pengukuran arah transversal dari outer bank ke inner bank. Misalnya, nama kode data pengukuran L1S3R1 yang mempunyai makna bahwa data pengukuran diperoleh di lokasi pertama, pada cross section ke tiga atau di tengah tikungan, dan pada posisi pertama dari outer bank ke inner bank atau posisi pertama arah transversal. Berdasarkan data hasil pengukuran kecepatan dan pengukuran konsentrasi sedimen suspensi setelah dianalisa dibagi dalam lima kelompok yakni untuk penampang masuk dan keluar tikungan ada dua dan di dalam tikungan ada tiga, sebagaimana diberikan pada tabel berikut: Tabel 1 : Variabel pengukuran dan hitungan aliran menikung RUN



Q (m3/dt)



L1SIR1 L1SIR2 L1SIR3



B/D



0,72



5,86



1,64 x 10-3



0,219



0,075



6,393



5,78



1,64 x 10



-3



0,218



0,119



6,204



1,64 x 10



-3



0,215



0,148



5,961



1,64 x 10



-3



0,212



0,131



5,923



-3



0,211



0,144



5,850



0,73 1,817



L1SIR4



0,75 0,77



5,63 5,48



wS (cm/dt)



U C (m/dt) (gr/ltr)



0,582



6,066



Fr



u*



D (m)



C



(m/dt) (gr/ltr)



L1SIR5



0,78



5,41



1,64 x 10



L1S2R1



0,75



5,63



1,64 x 10-3



0,215



0,140



6,273



5,55



1,64 x 10



-3



0,213



0,163



6,109



1,64 x 10



-3



0,207



0,183



5,879



1,64 x 10



-3



0,201



0,188



5,807



-3



0,201



0,185



5,719



L1S2R2 L1S2R3



0,76 1,927



L1S2R4



0,80 0,85



5,25 4,94



0,579



5,957



L1S2R5



0,85



4,94



1,64 x 10



L1S3R1



0,70



6,00



1,64 x 10-3



0,214



0,117



6,172



0,78



5,38



1,64 x 10



-3



0,203



0,107



5,998



0,80



5,25



1,64 x 10-3



0,200



0,123



5,818



-3



0,197



0,117



5,756



0,194



0,106



5,643



L1S3R2 L1S3R3



1,850



L1S3R4



0,83



5,06



1,64 x 10



L1S3R5



0,85



4,94



1,64 x 10-3



76 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



0,561



5,877



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



L1S4R1



0,64



L1S4R2 L1S4R3



0,73 1,716



L1S4R4



0,82



L1S4R5



0,84



L1S5R1



0,65



L1S5R2 L1S5R3 L1S5R4



0,77



1,723



6,56



1,64 x 10-3



0,215



0,131



6,040



5,75



1,64 x 10



-3



0,201



0,135



5,903



1,64 x 10



-3



0,196



0,132



5,718



1,64 x 10



-3



0,190



0,136



5,667



1,64 x 10



-3



0,187



0,146



5,518



1,64 x 10



-3



0,217



0,081



5,870



-3



0,209



0,085



5,784



0,202



0,117



5,608



0,196



0,101



5,538



5,45 5,12 5,00 6,46



0,70



6,00



1,64 x 10



0,75



5,60



1,64 x 10-3



5,25



-3



0,80



1,64 x 10



0,537



0,548



5,769



5,638



L1S5R5 0,84 5,00 1,64 x 10-3 0,191 0,108 5,389 Keterangan Q = debit aliran terukur ; D = kedalaman aliran ; B/D = aspect ratio ; B = lebar saluran (2.42 m) ; wS = kecepatan endap ; U = kecepatan rata-rata tampang ; u* = kecepatan gesek ; C = konsentrasi rata-rata tampang tampang (vertikal) aliran.



(transversal); Fr = U/(gD)0.5 ;



C = konsentrasi



rata-rata



5. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran konsentrasi sedimen suspensi secara umum di lokasi pengukuran 1 menunjukkan nilai konsentrasi masih mengikuti persamaan transpor konveksi diffusi dengan nilai konsentrasi sedimen suspensi maksimum terjadi di dekat dasar dan semakin berkurang sampai permukaan aliran. Seperti terlihat pada gambar 3. berikut ini:



Gambar 3 : Distribusi konsentrasi arah transversal pada saluran menikung Sedangkan untuk trend distribusi konsentrasi sedimen suspensi C arah transversal adalah seperti gambar 4 berikut ini.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 77



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 4 : Konsentrasi sedimen suspensi arah transversal untuk lokasi1 Berdasarkan Gambar 4 terlihat trend nilai konsentrasi sedimen suspensi untuk arah transversal adalah cenderung mengecil dari inner bank ke outer bank. Kecepatan aliran pada aliran menikung pada outer bank mengalami percepatan atau menjadi lebih cepat karena adanya pengaruh gaya sentrifugal terhadap aliran ke arah outer bank. Perubahan kecepatan juga berpengaruh secara signifikan terhadap konsentrasi sedimen suspensi, yakni apabila kecepatan aliran meningkat maka akan menurunkan konsentrasi sedimen suspensi pada aliran. Selanjutnya adalah perbandingan distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil pengukuran langsung dilapangan dengan distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil prediksi menggunakan persamaan Rouse, seperti terlihat pada Gambar 5 berikut ini. L1S1R3



L1S1R1 Pengukuran Rouse



1



L1S1R5



y/D 1.2



y/D 1.2



y/D 1.2 Pengukuran Rouse



1



0.8



0.8



0.8



0.6



0.6



0.6



0.4



0.4



0.4



0.2



0.2



0.2



0



0 0.40



0.80 C/Ca



1.20



Pengukuran Rouse)



1



0 0.70



0.90 C/Ca



1.10



0.60



0.80 1.00 C/Ca



Gambar 5 : Perbandingan distribusi konsentrasi hasil pengukuran dan Rouse Apabila dibandingkan distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil pengukuran langsung dilapangan dengan distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil prediksi menggunakan persamaan Rouse terlihat bahwa untuk lokasi inner bank nilainya lebih besar dari Rouse dan untuk outer bank nilainya lebih kecil dari Rouse. Nilai distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil pengukuran mendekati sama dengan distribusi konsentrasi sedimen suspensi hasil prediksi menggunakan persamaan Rouse pada posisi tengah saluran dan pada arah transversal sebelum masuk tikungan. Hasil analisis



78 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 memperlihatkan bahwa persamaan rousse masih dapat berlaku dengan baik atau masih valid untuk posisi ditengah saluran sedangkan untuk posisi yang lain tidak berlaku lagi karena aliran sudah banyak mengalami perubahan.



6. KESIMPULAN Konsentrasi sedimen suspensi secara umum di semua lokasi pengukuran menunjukkan nilai masih mengikuti persamaan transpor konveksi diffusi dengan nilai konsentrasi sedimen suspensi maksimum terjadi di dekat dasar dan semakin berkurang sampai permukaan aliran. Trend nilai konsentrasi sedimen suspensi rata-rata tampang untuk arah transversal, nilainya mengalami penurunan dari innerbank ke arah outerbank. Persamaan rousse masih dapat berlaku dengan baik atau masih valid untuk posisi ditengah saluran sedangkan untuk posisi yang lain tidak berlaku lagi karena aliran sudah banyak mengalami perubahan.



7. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Sungai Serayu-Opak yang memberi ijin melakukan penelitian di Saluran Irigasi Mataram, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada, yang telah memberikan support dana penelitian Pascasarjana Tahun Anggaran 2012, selanjutnya kepada rekan mahasiswa S2 Teknik Sipil banyak membantu sehingga tulisan ini dapat terwujud.



8. DAFTAR PUSTAKA 1. Coleman, N. L., 1981, Velocity Profiles With Suspended Sediment., J. Hydr. Res., 19(3), 211–229. 2. Garde, R. J., and Ranga Raju, K. G., 1977, Mechanics of Sediment Transportation and Alluvial Streams Problems, Wiley Eastern Limited, New Delhi. 3. Kironoto, B.A., Andoyono, T., Yustiana, F, dan Muharis, C., 2004, ―Kajian Metode Pengambilan Sampel Sedimen Suspensi Sebagai Dasar Penentuan Debit Sedimen Pada Saluran Terbuka‖, Penelitian Hibah Bersaing XII/1-Th. Anggaran 2004, Lembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 4. Kironoto, B.A,dkk 2007, ―Karakteristik Aliran Tidak Seragam dengan Sedimen Suspensi pada Saluran Terbuka‖, Dinamika TEKNIK SIPIL, Volume 7, Nomor 2, Juli 2007 : 154 – 162 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 5. Kironoto, B.A, Yulistiyanto, B., 2009, ―The Validity of Rouse Equation For Predicting Suspended Sediment Concentration Profiles in Transversal Direction of Uniform Open Channel Flow‖, International Conference on Sustainable Development for Water and Waste Water Treatment,Yogyakarta 6. Nezu, I. and Rodi, W. 1986. "Open channel flow measurements with a laser Doppler anemometer." J. Hydr. Engrg., ASCE, 112(5), 335–355. 7. Yang, C T, 1996, Sediment Transport Theory and Practice, The McGraw-Hill Companies, Inc.,New York.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 79



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



80 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



PEMODELAN POLA ALIRAN AIRTANAH DI KECAMATAN BANTARAN KABUPATEN POBOLINGGO Faradlillah Saves1, Nadjadji Anwar2, dan Mas Agus Mardyanto3 1



Mahasiswi S2, MRSA Jurusan Teknik Sipil-FTSP-ITS Sukolilo Surabaya, email : [email protected] 2 Dosen, Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected] 3 Dosen, Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected]



ABSTRAK Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu daerah yang telah memanfaatkan airtanah untuk pemenuhan air irigasi. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat kebutuhan air bersih di daerah tersebut. Namun, dampak yang akan terjadi apabila airtanah mengalami eksploitasi berlebihan, akibatnya daerah tersebut akan mengalami kekeringan sehingga berakibat menurunnya potensi airtanah. Sejalan dengan semakin pentingnya peran airtanah, maka diperlukan upaya nyata dalam pengembangan sumber daya airtanah yang berwawasan lingkungan di wilayah Probolinggo. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengetahui potensi airtanah melalui pergerakan atau pola aliran airtanah. Metode dalam penentuan aliran airtanah ini dengan melakukan analisis sifat hidraulik akuifer pada lokasi studi dengan menggunakan metode Cooper Jacob I. Selanjutnya pola aliran airtanah dimodelkan dengan menggunakan bantuan program komputer Visual Modflow berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan. Berdasarkan pola aliran airtanah tersebut nantinya akan dilakukan beberapa skenario pemompaan untuk beberapa sumur yang selanjutnya akan diketahui pengaruh terhadap kondisi sumur yang lainnya sehingga akan tercapai tujuan penelitian yaitu pengembangan sumber daya airtanah yang berwawasan lingkungan. Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode Cooper Jacob I diperoleh nilai transmisivitas pada daerah studi berkisar antara 855,87 m2/hari - 4414,02 m2/hari, dan nilai konduktivitas berkisar antara 8,53 m/hari – 23,72 m/hari. Selanjutnya dengan menggunakan program komputer Visual Modflow diperoleh hasil pemodelan pola aliran airtanah di Kecamatan Bantaran bergerak dari arah selatan ke arah utara. Berdasarkan hasil pemodelan dapat diketahui bahwa sumur produksi didaerah penelitian mempengaruhi 3 kecamatan di sekitarnya, yaitu Kecamatan Wonomerto, Kecamatan Leces dan Kecamatan Kuripan. Kata kunci: pemodelan pola aliran airtanah, metode Cooper Jacob I, Visual Modflow.



1. PENDAHULUAN Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu kecamatan yang memanfaatkan sumber daya airtanah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi. Hal ini dikarenakan sumber daya air permukaan tidak mencukupi seluruh kebutuhan air bersih penduduk setempat. Namun, dampak yang akan terjadi apabila airtanah mengalami Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 81



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean eksploitasi berlebihan, akibatnya daerah tersebut akan mengalami kekeringan sehingga berakibat menurunnya potensi airtanah. Sejalan dengan semakin pentingnya peran airtanah dalam memenuhi kebutuhan, maka diperlukan upaya nyata dalam pengembangan sumber daya airtanah di Kecamatan Bantaran. Salah satu upaya dalam pengembangan sumber daya airtanah di daerah tersebut adalah dengan mengetahui potensi airtanah melalui sifat hidraulik akuifer dan pola aliran airtanah. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji tentang sifat hidraulik serta pemodelan pola aliran airtanah di lokasi penelitian. Tujuan dari studi ini adalah mengetahui potensi airtanah di kecamatan Bantaran, mengetahui pola aliran airtanah. Pada gambar 1 dapat terlihat lokasi studi dalam Cekungan Air Tanah Probolinggo beserta sumur produksi yang terdapat pada lokasi penelitan.



Gambar 1 : Lokasi penelitan



2. DASAR TEORI Cekungan Air Tanah Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451K/10/MEM/2000, Cekungan Air Tanah diartikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan airtanah berlangsung. Dengan demikian, setiap Cekungan Air Tanah memiliki ciri-ciri hidrogeologi tersendiri, yang secara hidraulika dapat berhubungan dengan Cekungan Air Tanah lainnya atau bahkan tidak sama sekali. Transmisivitas (T) Transmisivitas adalah (Diktat Teknik Remediasi Lingkungan Tercemar Program Magister Teknik Lingkungan FTSP – ITS) laju perpindahan air melalui suatu satuan lebar aquifer/aquitard di bawah suatu unit gradient hidraulik satuan, yang dinyatakan dalam (m2/hari), (ft2/hari), (gal/hari/ft). Dengan jalan menganalisis data pengamatan, persamaan yang digunakan untuk memperoleh nilai Transmisivitas adalah (Bisri, 2008:113):



82 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 83



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean T = K . D ………………………………………………………………… (1) Dengan: T = Transmisivitas Akuifer (m2/hari) K = Harga Kelulusan Air (m/hari) D = Tebal akuifer (m) Koefisien kelulusan air (K) Koefisien kelulusan air adalah (Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451K / 10 / MEM /2000) angka yang menunjukkan kemampuan meluluskan air di dalam rongga-rongga batuan tanpa mengubah sifat-sifat airnya, dengan dimensi (panjang/waktu), misal (m/hari) Metode Cooper-Jacob Metode ini umumnya dikenal dengan nama Metode Jacob. Metode Jacob merupakan penurunan dari rumus Theis, tetapi cara ini lebih konsisten dan lebih murah, karena hanya dibutuhkan satu sumur pengamatan. Metode Jacob juga digunakan untuk aliran tidak tunak. Transmisivitas akuifer diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:



2.30 Q ' 1 ……………………………………………………………… (2) 2  S Dengan: Q = Debit pemompaan (m3/hari) S = Nilai penurunan muka air per siklus log (m) T = Transmisivitas (m2/hari) T=



Pemilihan persamaan matematika Pemilihan persamaan matematika ini bertujuan untuk menyederhanakan persamaan pengatur (differences parcial) kedalam bentuk metode numerik. Dalam penelitian ini metode numerik yang digunakan adalah metode numerik beda hingga (finite differences). Berikut merupakan persamaan differences parcial pada akuifer homogen dan isotropis:



  h    h    h  h ………………… (3)  K XX    K yy    K zz  W  SS x  x  y  y  z  z  t dimana: Kxx, Kyy, Kzz = konduktifitas hidraulik arah X, Y dan Z h = tinggi muka air tanah W = pengisian / pemompaan per satuan luas Ss = koefisien tampungan Pengembangan persamaan aliran airtanah kedalam persamaan beda hingga mengikuti hukum kontinuitas, yaitu jumlah aliran yang masuk dan yang keluar dari sel harus sama dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam simpanan antar sel.



84 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Model aliran airtanah Model aliran airtanah merupakan alat yang dirancang untuk menggambarkan bentuk sederhana dari suatu kejadian dalam sistem aliran airtanah. Dari model aliran airtanah, diharapkan mampu memprediksi suatu variabel yang tidak diketahui nilainya. Pembuatan model aliran airtanah adalah membuat model konsep, menterjemahkan model konsep tersebut kedalam bentuk persamaan matematika. Proses pembuatan model aliran airtanah secara rinci menurut Anderson dan Woessner (1992) dalam Rahardjo (2002) adalah sebagai berikut: 1. Menentukan kegunaan model 2. Membuat model konsep 3. Pemilihan persamaan matematika 4. Perancangan model (pemilihan rancangan grid, kondisi awal dan batas, serta membuat estimasi parameter-parameter model). 5. Kalibrasi model dengan tujuan agar model yang dibuat dapat menghasilkan nilai yang mendekati data lapangan. 6. Pemeriksaan terhadap model yang telah dirancang dan dikalibrasi 7. Menampilkan rancangan model dan hasilnya Kegunaan model Menurut Rahardjo (2002) Hasil pemodelan aliran airtanah, dapat digunakan untuk: 1. Pengujian suatu hipotesa, atau meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan sistim akuifer 2. Memahami proses fisika, kimia maupun biologi 3. Merancang usaha-usaha perbaikan 4. Memprediksi kondisi yang akan dating atau akibat dari suatu aksi yang dialami oleh sistim akuifer 5. Managemen sumber daya Model konsep Model konsep adalah gambaran sederhana dari sebuah system aliran air tanah berdasarkan kondisi eksisting di daerah model. Model konsep ini bertujuan untuk menyederhanakan masalah lapangan sehingga lebih mudah untuk dibuat pemodelannya. Pada umumnya model konsep ini disajikan dalam bentuk grafik ataupun diagram. Pembuatan model konsep terkadang juga memerlukan input berupa persamaan matematika, kondisi batas dan kondisi awal. Visual modflow Visual Modflow adalah model aliran airtanah yang berbasis pada persamaan beda hingga yang mampu melakukan simulasi untuk semua jenis akuifer, seperti akuifer tertekan, akuifer tidak tertekan, akuifer semi tertekan maupun akuifer campuran. Modflow mampu memodelkan jenis akuifer dengan ketebalan dan karakteristik transmisivitas yang berbeda. Selain itu, program komputer ini mampu memodelkan secara 3 dimensi, yaitu arah sumbu X, sumbu Y dan sumbu Z.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 85



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi eksisting aliran airtanah di lokasi studi Kecamatan Bantaran memiliki 7 sumur dalam yang tersebar dalam beberapa titik. Untuk mengetahui kondisi eksisting aliran airtanah di Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo diperlukan overlay beberapa peta, yaitu Peta Cekungan Air Tanah Probolinggo, Peta Wilayah Kabupaten Probolinggo dan Peta Hidrogeologi Sheet X Kediri (Jawa) dan Sheet XI Jember (Jawa). Selain itu juga dibutuhkan hasil plotting 7 sumur sesuai dengan titik dilapangan. Berdasarkan hasil overlay peta maka dapat diinterpretasikan bahwa kondisi eksisting aliran airtanah di daerah tersebut tergolong dalam satu kelompok akuifer yang sama, yaitu kelompok akuifer yang ditunjukkan dengan simbol warna hijau sedang sesuai dengan Peta Hidrogeologi seperti pada gambar 2.



Gambar 2 : Kondisi eksisting aliran airtanah pada peta hidrogeologi Pada kelompok akuifer ini dapat terlihat bahwa kondisi eksisting aliran airtanah di kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo ini mempunyai produksi akuifer tinggi sampai sedang. Hal ini tentu berpengaruh pada tingkat produktivitas airtanah di daerah tersebut. Selain itu berdasarkan susunan lapisan geologi yang terdapat pada daerah penelitan, dapat terlihat bahwa daerah tersebut tergolong pada jenis akuifer terkekang (confined aquifer). Sedangkan berdasarkan hasil pumping test dapat diketahui bahwa kondisi aliran airtanahnya tergolong aliran tidak tunak (unsteady flow) Pembuatan model konsep Dalam pembuatan model konsep diperlukan data log litologi untuk mengetahui kondisi akuifer di lokasi penelitan. Berdasarkan hasil penggambaran potongan melintang akuifer pada 7 sumur di lokasi penelitian, maka akuifer dapat digolongkan sebagai akuifer tertekan (confined aquifer). Dalam pembuatan model konsep ini, 7 sumur tersebut memiliki 7 lapisan akuifer sesuai dengan data litologi masing-masing sumur. Lapisan 1 dan lapisan 7 merupakan lapisan lempung, dalam pembuatan model konsep lapisan ini ditandai dengan warna biru tua. Lapisan 2 merupakan lapisan tufa yang ditandai dengan warna hijau kekuningan, lapisan 3 merupakan lapisan lempung berpasir



86 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 (pasir gunung) yang ditandai dengan warna hijau, lapisan 4 merupakan lapisan breksi (tufa, kerikil kasar) ditandai dengan warna ungu, untuk lapisan 5 merupakan lapisan pasir halus ditandai dengan warna merah dan untuk lapisan 6 merupakan lapisan breksi bercampur kerikil menengah yang ditandai dengan warna biru muda. Model konsep ini ditunjukkan pada gambar 3 fence diagram.



Gambar 3 : Fence diagram lapisan akuifer Selain kondisi eksisting akuifer pada lokasi penelitan tersebut, dalam model konsep juga ditentukan bentuk kenampakan hidrogeologi akuifer. Kenampakan hidrogeologi ini ditunjukkan dengan sifat-sifat hidraulik akuifer. Analisis sifat hidraulik akuifer Analisis sifat hidraulik dilakukan pada 7 sumur yang terdapat pada lokasi studi. Analisis dilakukan menggunakan metode Cooper – Jacob I. Salah satu alasan pemilihan metode ini karena metode ini merupakan metode Standart Nasional Indonesia. Berikut merupakan perhitungan sifat hidraulik akuifer pada sumur SDPB 121. Data uji pemompaan ditunjukkan pada tabel 1.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 87



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1 : Data uji pemompaan SDPB 121 No



t (menit)



S (m)



No



t (menit)



S (m)



No



t (menit)



S (m)



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 14 16 18 20 25 30 35 40 45 50 55 60 70



14.42 15.15 15.34 15.38 15.42 15.45 15.48 15.51 15.55 15.6 15.64 15.68 15.73 15.78 15.83 15.9 16.04 16.08 16.11 16.14 16.18 16.2 16.23 16.26



25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48



80 90 100 110 120 135 150 165 180 200 220 240 270 300 360 420 480 540 600 660 720 840 960 1080



16.28 16.3 16.32 16.34 16.36 16.37 16.38 16.4 16.41 16.42 16.44 16.45 16.47 16.48 16.5 16.54 16.59 16.63 16.66 16.69 16.7 16.72 16.73 16.75



49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71



1200 1320 1440 1560 1680 1800 1920 2040 2160 2280 2400 2520 2640 2760 2880 3060 3240 3420 3600 3780 3960 4140 4320



16.77 16.78 16.8 16.81 16.81 16.82 16.82 16.83 16.83 16.84 16.84 16.84 16.85 16.85 16.86 16.86 16.86 16.87 16.87 16.87 16.88 16.88 16.88



Grafik hubungan antara t dan S berdasarkan data uji pemompaan menerus SDPB 121 pada tabel 1 ditunjukkan pada gambar 4



Gambar 4 : Grafik Hubungan t dan S Metode Cooper Jacob SDPB 121 Berdasarkan grafik hubungan antara t dan s Metode Cooper Jacob diambil nilai t1 = 10 menit dengan S1 = 15,65 m dan t2 = 100 menit dengan S2 = 16,18 m maka diperoleh penurunan muka air per siklus log ∆S = 0,53 m. Maka: 1. Transmisifitas akuifer (T) Q = 3889,73 m3/hari



88 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



2,30 Q ' 1 2  S T = 2693,46 m2/hari 2. Konduktivitas Hidraulik (K) D = 118,47 m T K = D K = 22,74 m/hari Untuk analisis sifat hidraulik akuifer pada 6 sumur selanjutnya dilakukan menggunakan cara yang sama. Berikut merupakan hasil rekapitulasi hasil analisis sifat hidraulik akuifer ditunjukkan pada table 2. T



=



Tabel 2 : Hasil rekapitulasi analisis sifat hidraulik akuifer No



Nama Sumur



Koordinat



1



SDPB 121



070 49'35,9'' LS ; 1130 11'45,7'' BT



2



SDPB 122



070 50'37,9'' LS ; 1130 11'17,3'' BT



3



SDPB 090



070 50'28,3'' LS ; 1130 10'42,3'' BT



4



SDPB 212



070 51'17,8'' LS ; 1130 10'55,5'' BT



5



SDPB 211



070 51'20,9' LS ; 1130 11'09,1'' BT



6



SDPB 206



070 51'25,9'' LS ; 1130 11'39,3'' BT



7



SDPB 210



070 51'50,4'' LS ; 1130 12'12,9'' BT



Jenis Akuifer



Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer) Terkekang (Confined Aquifer)



Q



D



T



K



(m3 /hari)



(m)



(m2 /hari)



(m/hari)



3889,73



118,47



2693,46



22,74



4320,86



124



4414,02



35,6



2616,19



100,37



855,87



8,53



1470,53



103,7



918,69



8,86



1550,02



96,25



2282,78



23,72



2174,69



88,05



856,19



9,72



1342,66



52



1146,93



22,06



Berdasarkan hasil analisis sifat hidraulik akuifer yang telah dilakukan pada 7 sumur produksi yang ada di lokasi penelitian, maka dapat diketahui bahwa: 1. Ketebalan akuifer (D) tidak merata 2. Nilai konduktivitas hidrauliknya bervariasi dari 8,53 m/hari hingga 35,60 m/hari 3. Nilai transmisivitasnya bervariasi dari 855,87 m2/hari hingga 4414,02 m2/hari 4. Jenis akuifer adalah tertekan, karena dibatasi lapisan kedap air di bagian atas dan lapisan kedap air di bagian bawah yaitu tanah lempung. Lapisan tanahnya bervariasi, yaitu terdiri dari lanau, tufa, pasir gunung api, breksi, batuan lempung dan pasir. Perancangan model Rancangan grid yang digunakan dalam perancangan model ini berukuran 65000 meter x 65000 meter dengan jumlah sel sebanyak 50 x 50. Hal ini dikarenakan daerah penelitian termasuk dataran yang cukup luas. Diskritasi daerah model dibuat bentuk jaring-jaring bujur sangkar. Selanjutnya diperlukan penentuan kondisi batas dalam pemodelan. Kondisi batas ini disesuaikan dengan kondisi batas fisik. Dalam hal ini kondisi batas terbagi menjadi 4 kondisi, yaitu: Kondisi batas utara : constan head Kondisi batas timur : lapisan kedap air Kondisi batas selatan : recharge melalui sungai Kondisi batas barat : lapisan kedap air Selain kondisi tersebut tentu diperlukan data masukan pada setiap sel sesuai dengan karakteristik masing-masing sumur.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 89



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pemodelan pola aliran airtanah Berdasarkan perancangan model tersebut diatas maka gambaran perancangan model ditunjukkan pada gambar 5. Sehingga dapat diperoleh hasil pemodelan pola aliran airtanah eksisting di daerah penelitian bergerak dari arah selatan menuju kearah utara seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. Hal ini menunjukkan bahwa aliaran airtanah bergerak menuju kearah laut. Berdasarkan hasil pemodelan yang dilakukan, dapat terlihat bahwa sumur produksi yang ada di daerah penelitan mempengaruhi kondisi airtanah di sekitar lokasi. Hal ini ditunjukkan dengan warna kemerahan di daerah studi. Selain itu, dengan adanya sumur produksi tersebut ternyata juga mempengaruhi tidak hanya pada titik sumur produksi dibangun, tetapi juga mempengaruhi daerah disekitar sumur produksi. Daerah yang terpengaruhi akibat sumur produksi tersebut adalah 3 kecamatan yaitu, kecamatan Leces, kecamatan Wonomerto dan kecamatan Kuripan.



Gambar 5 : Perancangan model aliran airtanah di Kecamatan Bantaran



Gambar 6 : Hasil pemodelan pola aliran airtanah di Kecamatan Bantaran



90 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Berdasarkan hasil pemodelan tersebut nantinya akan dilakukan skenario pemompaan untuk beberapa sumur, sehingga dapat meminimalisir pengaruh terhadap daerah sekitar yang nantinya akan tercapai tujuan penelitian yaitu pengembangan sumber daya airtanah yang berwawasan lingkungan.



4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Analisis sifat hidraulik akuifer menggunakan metode Cooper Jacob I diperoleh nilai transmisivitas pada daerah studi berkisar antara 855,87 m2/hari - 4414,02 m2/hari, dan nilai konduktivitas berkisar antara 8,53 m/hari – 23,72 m/hari. 2. Pemodelan pola aliran airtanah di Kecamatan Bantaran bergerak dari arah selatan ke arah utara. Berdasarkan hasil pemodelan dapat diketahui bahwa sumur produksi didaerah penelitian mempengaruhi 3 kecamatan di sekitarnya, yaitu Kecamatan Wonomerto, Kecamatan Leces dan Kecamatan Kuripan.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Bisri, M. (2008), Airtanah, Tirta Media, Malang. 2. Bisri, M. (1991), Aliran Air tanah, Universitas Brawijaya, Malang. 3. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2003), Batas Horisontal Cekungan Air Tanah di Pulau Jawa dan Pulau Madura, ESDM, Jakarta. 4. Kodoatie, R.J. (1996), Pengantar Hidrogeologi, Andi, Yogyakarta. 5. Kodoatie, R.J. (2012), Tata Ruang Air Tanah, Andi, Yogyakarta. 6. Prawati, E. (2011), Studi dan Pemodelan Air Tanah Akibat Pengaruh Pemompaan, Research, Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung. 7. Putranto, T.T. (2011), Aplikasi Pemodelan Aliran Airtanah Dalam Konsep Pengelolaan Airtanah Berbasis Cekungan, Research, Institute of Hydrogeology, Aachen. 8. Rahardjo, P. (2002), Analisis Sistim Akuifer dan Pemodelan Aliran Airtanah, Tesis Magister., Universitas Diponegoro, Semarang. 9. Setiadi, H., M. Burhanul A., A. Sukrisna., Edi Murtianto., & Sjaiful Ruchijat. (2003), Penjelasan Peta Cekungan Air Tanah P. Jawa dan P. Madura Skala 1:250.000 Sebagai Basis Pengelolaan Sumber Daya Air Tanah, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung. 10. Siswoyo, H., Lily Montarcih L., & Sumiadi, (2002), Studi Potensi dan Karakteristik Akuifer di Wilayah Kabupaten Jombang dengan Berbagai Pendekatan Model Uji Akuifer, Research, Universitas Brawijaya, Malang. 11. Suharyadi. (1984), Geohidrologi, Lecture handout: Geohidrologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 12. Todd, D.K. (1980), Groundwater Hydrologi, John Wiley & Sons, New York. 13. Waspodo, R.S.B. (2002), ―Permodelan Aliran Airtanah Pada Akuifer Tertekan dengan Menggunakan Metoda Beda Hingga‖, Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol. 16, No.2.



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 91



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



92 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



EVALUASI POMPA AIR PRAPEN TERHADAP MUKA AIR BANJIR DI SALURAN WONOREJO Ismail Sa’ud, S. Kamilia Aziz2, Annisaa Fitri3, dan Luqmanul H.4 1



Diploma Sipil FTSP-ITS, email:[email protected] Diploma Sipil FTSP-ITS, email:[email protected]



2



ABSTRAK Saluran Wonorejo pada perlintasan dengan saluran Prapen dan saluran Jemursari memiliki dimensi yang semakin mengecil ke arah hilir, sehingga sering terjadi genangan di wilayah tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi pembangunan pompa air Prapen, dengan tujuan menarik debit dari saluran Prapen ke arah saluran Wonokromo, sehingga mengurangi beban saluran Wonorejo hilir. Pembangunan pompa air Prapen ini ternyata cukup membantu menurunkan elevasi banjir namun genangan masih tetap terjadi baik di jalan raya maupun di perumahan penduduk. Oleh karena itu perlu di evaluasi apa penyebab genangan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung berapa besar debit banjir yang melimpas pada saluran dan berapa kapasitas eksisting saluran serta kemampuan operasional pompa. Dari hasil analisa didapatkan bahwa debit rencana 10 tahunan pada kawasan tersebut adalah 30,322 m3/dt. Untuk menghindari terjadinya banjir di saluran Wonorejo hilir diatur bahwa debit yang mengalir ke saluran Wonorejo hilir tidak boleh lebih besar dari 16,87 m3/dt, untuk mengaturnya perlu dibangun pintu air. Sisa debit yang tidak mengalir ke saluran Wonorejo hilir diarahkan ke saluran Prapen yang kemudian dipompa menuju saluran Wonokromo. Dari hasil analisa supaya tidak terjadi genangan maka perlu peningkatan kapasitas pompa yang semula 3 m3/dt menjadi 4 m3/dt yang ditunjang dengan perubahan tebing saluran yang masih berbentuk trapesium menjadi tegak untuk menambah kapasitas tampungan saluran Prapen karena saluran ini difungsikan sebagai long storage. Kata kunci: genangan, Wonorejo, Prapen, pompa, pintu



A. PENDAHULUAN Berdasarkan peta genangan tahun 2010, kawasan Sistem Drainase Wonorejo yang berada pada wilayah Surabaya Selatan dan Surabaya Timur merupakan salah satu kawasan yang masih rawan banjir. Saluran Wonorejo mempunyai panjang kurang lebih 15,725 km, mengalir dari ujung hulunya di daerah Jambangan ke arah timur dan bermuara di Selat Madura. Perbedaan elevasi permukaan air antara ujung hulu dan ujung hilir yang kecil menyebabkan kemiringan yang sangat landai. Kemiringan yang sangat landai ini mengakibatkan kecilnya kecepatan aliran sehingga terjadi kenaikan elevasi permukaan air pada saat terjadi banjir [1]. Kawasan banjir yang menjadi perhatian adalah kawasan Prapen, karena daerah tersebut merupakan kawasan dengan lalu lintas yang cukup ramai sehingga keberadaan banjir sangat meresahkan para pengguna jalan pada khususnya dan penduduk sekitar pada umumnya. Untuk menanggulangi banjir di kawasan tersebut pemerintah kota telah membangun pompa air Prapen. Pompa air Prapen ini terletak di Jalan Raya Prapen tepatnya berada di lampu lalu lintas dekat dengan jembatan Kali Jagir. Pompa air Prapen ini difungsikan untuk membantu mengurangi debit banjir dari daerah Margorejo, Jemursari, dan Wonorejo hulu yang kemudian dibuang ke Kali Wonokromo. Rumah pompa ini memiliki empat buah pompa dengan kapasitas pompa banjir 3 m3/dt dan pompa sedimentasi 0,5 m3/dt. Keempat buah pompa tersebut, terdiri atas dua Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 93



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean macam spesifikasi yaitu dua buah pompa banjir dengan kapasitas sebesar 1,5 m3/det dan head sebesar 7,5 m, dan dua pompa penguras sedimentasi (sludge) dengan kapasitas sebesar 0,25 m3/det dan head sebesar 12 m. Keberadaan pompa Prapen ini ternyata belum cukup mengatasi banjir. Genangan masih tetap terjadi meskipun pompa air Prapen ini sudah di operasikan. Oleh karena itu perlu di evaluasi sejauh mana pengaruh operasional pompa Prapen terhadap penurunan muka air banjir di saluran Wonorejo.



B. METODOLOGI Untuk mengetahui pengaruh operasional pompa Prapen penurunan muka air banjir di saluran Wonorejo, maka terlebih dahulu harus dihitung berapa debit banjir yang akan lewat pada saluran tersebut. Sistem drainase Wonorejo dapat dilihat pada gambar 1, sedangkan pembagian daerah pengaliran pada kawasan studi dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 3 merupakan ilustrasi titik-titik outlet yang akan dihitung berapa besar debit yang mengalir. Pada titik-titik tersebut juga akan dihitung berapa kapasitas eksisting saluran. Dengan demikian dapat dihitung berapa debit yang tidak dapat ditampung oleh saluran. Perhitungan debit menggunakan rumus Nakayasu yang akan di hitung untuk kala ulang 10 tahunan. Setelah diketahui berapa besar debit rencana yang akan lewat, maka di evaluasi berapa besar debit yang tidak mampu di tampung oleh saluran sehingga menjadi genangan. Untuk daerah yang cenderung datar seperti di kawasan studi ini maka konsep pengendalian banjir dengan cara menampung air sementara di kolam tampungan dan kombinasi dengan dibangunnya rumah pompa merupakan solusi yang paling memungkinkan [1,2,3]. Persoalan yang mendasar adalah adalah penyempitan saluran pada titik 5, sehingga tidak semua debit dari titik 1, 2, 3, dan 4 dapat mengalir ke titik 5. Jika dipaksakan semua debit mengalir ke titik 5 maka banjir tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu debit yang mengalir ke titik 5 harus diatur sedemikian rupa sehingga saluran masih aman. Kelebihan debit ini kemudian diarahkan ke saluran Prapen untuk di pompa ke Saluran Wonokromo. Karena kapasitas pompa yang kecil maka diupayakan agar saluran Prapen difungsikan sebagai long storage sebagai tempat menunggu air sementara sebelum kemudian di pompa ke saluran Wonokromo.



C. HASIL DAN ANALISA Luas daerah pematusan saluran Wonorejo Hulu (blok warna kuning pada gambar 1) sebesar 3,38 km2, Jemursari (blok warna hijau) sebesar 0,42 km2, dan Prapen (blok warna biru) sebesar 1,38 km2. Sehingga total luas daerah pematusan kawasan studi sebesar 5,18 km2. Luas daerah pematusan ini merupakan komponen untuk menghitung debit rencana. Hasil perhitungan debit banjir rencana pada seluruh luas daerah pematusan untuk periode ulang 10 tahunan dapat dilihat pada tabel 1, didapatkan debit puncak sebesar 30,322 m3/dt. Hasil perhitungan kapasitas eksisting saluran sesuai titik kontrol pada gambar 3 dapat dilihat pada tabel 2. Dari hasil perhitungan kapasitas eksisting tersebut, dapat disimpulkan bahwa saluran Wonorejo hilir hanya mampu mengalirkan debit sebesar 16,87 m3/dt. Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan agar debit yang mengalir ke hilir tidak lebih besar dari 16,87 m3/dt. Untuk mengatur debit yang boleh mengalir ke saluran Wonoroje hilir (titik 5) maka direkomendasikan untuk



94 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 membangun 4 buah pintu air dengan dengan lebar masing-masing 0,9 m dengan tinggi bukaan maksimal 0,32 m. Sisa debit air yaitu sekitar 13,453 m3/dt secara otomatis dialirkan ke saluran Prapen. Panjang saluran Prapen sekitar 699 m, dari tabel 2 dapat dilihat bahwa dimensi pada saluran Prapen tidak sama. Dimensi saluran pada sepanjang titik 3 lebih besar besar jika dibandingkan dengan dimensi pada sepanjang saluran titik 2. Jadi volume tampungan pada sepanjang titik 2 dan 3 saluran Prapen dapat dihitung dengan meratarata lebar saluran dikalikan tinggi saluran rata-rata dari hulu ke hilir kemudian dikalikan panjang saluran. Sehingga didapatkan volume tampungan pada saluran Prapen sebesar 10.799 m3. Dari gambar 4 terlihat bahwa debit sebesar 16,87 m3/dt dialirkan ke saluran Wonorejo hilir, pompa Prapen memompa air sebesar 3 m3/dt, dan sisa debitnya harus ditampung sementara di saluran Prapen. Dari gambar 4, volume yang harus dikendalikan/di tampung sementara dapat dihitung: (



[ [



) ( (



)



) (



] )



]



V = 13.568,256 m3 Volume yang harus dikendalikan tampungan saluran Prapen sebesar 13.568 m3, padahal volume tampungan saluran Prapen sebesar 10.799 m3. Masih ada selisih volume sebesar 2.769 m3 yang tidak mampu di tampung oleh saluran Prapen sehingga jika tidak dikendalikan akan tergenang di jalan dan perumahan penduduk. Alternatif pertama untuk mengendalikan kelebihan volume tersebut adalah dengan menambah kapasitas pompa sebesar 1 m3/dt. Volume yang harus dikendalikan/ditampung sementara oleh saluran Prapen terlihat pada gambar 5. Setelah ditambah 1 pompa maka volume yang harus ditampung sementara oleh saluran Prapen dapat dihitung: ) ( ) V 0 ( 1 [



(



) (



)



]



V = 11.093,614 m3 Volume yang harus di tampung sementara di saluran Prapen sebesar 11.093 m3. Artinya masih ada selisih debit sebesar 294 m3 yang tidak mampu di tampung oleh saluran Prapen. Untuk mengatasinya bisa dengan cara merubah penampang saluran sepanjang titik 2 yang semula trapesium menjadi tegak atau persegi. Dengan demikian volume tampungan saluran Prapen akan bertambah besar.



D. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan dan analisa dapat disimpulkan bahwa keberadaan pompa air Prapen cukup membantu untuk meurunkan elevasi muka air banjir pada saluran Wonorejo terutama untuk debit banjir 10 tahunan. Untuk mencegah banjir di bagian hilir saluran Wonorejo maka debit yang mengalir dibatasi tidak boleh lebih besar dari 16,87 m3/dt, untuk mengaturnya perlu dibangun pintu air. Keberadaan rumah pompa akan lebih efektif lagi jika kapasitasnya ditambah 1 m3/dt yaitu yang semula 3 m3/dt menjadi 4 m3/dt. Ditambah dengan normalisasi tebing saluran sepanjang titik 2 yang semula trapesium menjadi tegak atau persegi sehingga akan menambah volume Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 95



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean tampungan saluran Prapen, karena saluran ini difungsikan sebagai tampungan sementara (long storage) untuk mencegah terjadinya genangan.



E. DAFTAR PUSTAKA 1. S. Kamilia Aziz, Anggrahini, dan Umboro Lasminto (2008) Studi Pengembangan SubSistem Drainase Wonorejo Rungkut untuk menentukan Sistem Pengaliran Banjir yang Efektif. Seminar Pascasarjana Teknik Sipil , 13 Pebruari 2008, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2. Xinyuan Lin, Shenglian Guo, Pan Liu, Lu Chen, and Xiang Li (2010) Deriving Optimal Refill Rules for Multi-Purpose Reservoir Operation. Springer Science+Business Media B.V. 25:431-448. 3. Muh Aris Marfai and Lorenz King (2007) Coastal Flood Management in Semarang, Indonesia. Springer-Verlag. 55:1507-1518



S



WONOCOLO



BAP Sura



KARANGPILANG



Mott MacDo



JAMBANGAN



In association with :



PT



Judul



Kondisi



Sistem P



TENGGILIS MEJOYO



= Saluran Primer = Saluran Sekunder Sumber: Surabaya Drainage Master Plan 2000



Gambar 1 : Sistem Drainase Wonorejo



96 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



= Saluran Tersier



Wonorejo File : No. Sistem :



S1 - S2



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



Gambar 2 : DAS saluran primer Wonorejo (kuning), saluran sekunder Jemursari (hijau) dan saluran sekunder Prapen (biru)



Sal. Sek. Prapen



Titik 3



UTARA Titik 2



Titik 1



Sal. Prim. Wonorejo



Sal. Prim. Wonorejo



Titik 5



Sal. Sek. Jemursari



Titik 4



Gambar 3 : Ilustrasi pada pertemuan Saluran Wonorejo, Jemursari dan Prapen



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 97



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1: Hidrograf Banjir (Nakayasu) wilayah Wonorejo hulu, Jemursari, dan Prapen t (jam) 0 1 1,080 2 2,429 3 4 4,453 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24



Q10 (m3/det) 0,000 20,043 30,332 15,272 11,464 8,797 4,853 3,706 2,904 1,859 1,190 0,762 0,488 0,312 0,200 0,128 0,082 0,052 0,034 0,021 0,014 0,009 0,006 0,004 0,002 0,001 0,001 0,001



(Sumber :Hasil Perhitungan) Tabel 2 : Perhitungan Fullbank Capacity dengan lokasi seperti pada gambar 3 B h A P R V No. Lokasi m n I 2 m (m) (m) (m ) (m) (m) ( /det) 1 Titik 1 5,10 2,38 1 0,013 17,80 13,94 1,50 0,000472 2,20 2 Titik 2 3,80 2,21 1 0,013 13,28 11,62 1,32 0,000160 1,17 3 Titik 3 6,20 3,90 0 0,013 24,18 14,00 1,73 0,000160 1,40 4 Titik 4 4,10 2,16 1 0,013 13,52 11,91 1,32 0,000299 1,60 5 Titik 5 5,60 1,79 1 0,013 13,23 12,98 1,24 0,000206 1,28 Sumber :Hasil Perhitungan)



98 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Q (m3/det) 39,08 15,57 33,89 21,69 16,87



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



35 30



Volume yang dikendalikan oleh saluran Prapen



Debit (m3/det)



25



Q10



20



Qwonorejo hilir Pompa



15 10 5 0 0



5



10



15



20



25



t (Jam)



Gambar 4 : Volume air yang harus dikendalikan oleh saluran Prapen tanpa penambahan pompa baru



35



Volume yang dikendalikan saluran Prapen



30



Debit (m3/det)



25



Q10 20 Qwonorejo hilir Pompa



15 10 5 0



0



5



10



15



t (Jam)



20



25



Gambar 5 : Volume air yang harus dikendalikan oleh saluran Prapen dengan penambahan pompa baru sebesar 1 m3/dt



Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 99



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



100 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



OPTIMALISASI SISTEM JARINGAN DRAINASE JALAN RAYA SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MASALAH GENANGAN AIR Liany A. Hendratta 1



Liany A. Hendratta, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, email:[email protected]



ABSTRAK Perkembangan pembangunan Kota Manado yang pesat memicu terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terkendali sehingga banjir dan genangan air sering terjadi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi jalan, aktivitas lalu lintas serta kehidupan masyarakat sekitarnya. Penelitian ini dilakukan berdasarkan kondisi aktual melalui observasi lapangan serta pengumpulan data yang terdiri dari data curah hujan, peta lokasi dan peta jaringan jalan. Metode analisis meliputi analisis hidrologi berupa analisis curah hujan dan analisis hidrolika untuk perencanaan drainase dan bangunan pelengkapnya. Suatu rekomendasi sebagai alternatif penyelesaian masalah genangan air dihasilkan dalam penelitian ini, terutama menyangkut kerangka sistem jaringan drainase dengan maksud optimalisasi terhadap sistem jaringan drainase eksisting dan penambahan kapasitas saluran serta gorong-gorong dengan tetap memperhatikan faktor efektivitas dan faktor ekonomis dalam menyelesaikan persoalan genangan air dan aliran permukaan. Kata kunci: drainase jalan raya, genangan air, analisis hidrologi, analisis hidrolika



1. PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk suatu kota serta meningkatnya tuntutan lingkungan hidup yang lebih baik membutuhkan peningkatan fasilitas sarana dan prasarana pelayanan umum. Kota Manado yang memiliki 9 Kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Tuminting merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Tuminting terdiri dari 10 Kelurahan dengan luas keseluruhan kurang lebih 488,29 Ha memiliki luas wilayah terbangun ± 275 Ha. Dari kesepuluh kelurahan diatas, lokasi penelitian terletak di Kelurahan Bitung Karangria dan sebagian di Kelurahan Tuminting. Ketinggian tanah di lokasi penelitian bervariasi mulai dari titik 0 (nol) diatas permukaan laut hingga ketinggian 650 meter diatas permukaan laut. Garis kontur terendah berada disepanjang pesisir Pantai Tuminting sedangkan garis kontur tertinggi berada pada bagian utara wilayah Kecamatan Tuminting. Jalan Hasanudin merupakan jalan utama yang terletak di Kecamatan Tuminting, menghubungkan pusat Kota Manado dengan beberapa desa wisata yang berada di bagian utara Kota Manado seperti Desa Molas, Desa Wori dan Desa Meras. Sistem drainase Jalan Hasanudin, khususnya di kawasan kompleks Kantor Kecamatan Tuminting sering menjadi permasalahan yang serius terutama pada musim penghujan dimana sering terjadi genangan air bahkan banjir yang dapat memberikan dampak negatif bagi pengguna jalan, masyarakat sekitar serta kondisi jalan itu sendiri seperti kerusakan jalan dan terputusnya arus lalulintas. Daerah genangan yang terjadi di kawasan ini pada umumnya menyebar pada lokasi tertentu terutama pada daerahdaerah cekungan dan datar. Jenis penggunaan lahan yang rawan terkena banjir adalah pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi. Dari hasil survei serta wawancara dengan penduduk setempat ketinggian genangan sampai mencapai 1,5 meter Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 101



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean sehingga diperlukan kajian terhadap permasalahan drainase jalan raya untuk mengetahui penyebab terjadinya genangan air bahkan banjir.



2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu studi kasus yang berisikan tinjauan kondisi nyata melalui observasi lapangan disertai analisis berdasarkan metode atau formula yang ada. Desain penelitian meliputi survei lokasi, pengambilan data primer dan sekunder, analisis data serta desain dimensi saluran drainase jalan raya dan gorong-gorong berdasarkan analisis hidrologi dan hidrolika. Penulisan ini berisikan alternatif pemecahan masalah drainase khususnya pada ruas Jalan Hasanudin sekitar Kantor Kecamatan Tuminting. Perencanaan sistem jaringan saluran drainase, dimensi saluran serta bangunan pelengkap yang baru dapat menjadi salah satu bagian dalam penanganan masalah genangan air yang terjadi.



3. KAJIAN LITERATUR Analisis hidrologi dan hidrolika diperlukan dalam perencanaan berbagai macam bangunan air, seperti bendungan, bangunan pengendali banjir, bangunan irigasi, bangunan jalan raya, lapangan terbang, dan bangunan lainnya. Kegagalan dalam perhitungan drainase jalan raya dapat berakibat terjadi kerusakan dini jalan raya, demikian juga pada lapangan terbang, lapangan olah raga, dan lain-lain. Analisis hidrologi dan hidrolika diperlukan untuk perencanaan drainase, culvert, maupun jembatan yang melintas sungai atau saluran. Prinsip yang digunakan dalam penetapan sistem jaringan drainase adalah dengan terlebih dahulu mencari daerah tinggi (puncak bukit) kemudian daerah pembuangan berupa sungai atau pantai. Arah aliran pada saluran ditentukan dengan menggunakan peta topografi dengan memperhatikan kondisi daerah/lokasi yang akan dilalui saluran tersebut. Adapun sistem pembuangan air dari saluran drainase sangat dipengaruhi oleh keadaan di bagian hilir saluran dan kondisi lokasi pembuangan air [8]. Analisis Hidrologi Data hidrologi yang diperoleh dari stasiun penakar hujan kemungkinan mengandung kesalahan pengukuran atau pencatatan sehingga dalam analisis hidrologi dapat menghasilkan output data yang mempunyai kesalahan. Agar tidak menghasilkan suatu perencanaan drainase yang jauh menyimpang maka diperlukan analisis kualitas data pengamatan dengan parameter-parameter yang sudah ditentukan. Uji data outlier adalah langkah awal pengujian data curah hujan, dalam hal ini akan dilihat apakah ada data yang terlampau besar atau kecil dengan menentukan batas teratas dan batas terbawah . Data outlier (nilai ekstrim atas, ekstrim bawah, atau keduaduanya) dapat diketahui dengan menelaah nilai koefisien skewness (Cs) data pengamatan dengan nilai koefisien skewness syarat uji outlier. Apabila didapati data outlier maka data tersebut tidak dapat dipergunakan untuk perhitungan selanjutnya. Data outlier harus dikoreksi terlebih dahulu sesuai dengan batas teratas dan batas terbawah dari sebaran data yang ada dan selanjutnya data-data tersebut dapat digunakan untuk perhitungan parameter statistik dan analisis hidrologi lainnya. Persamaan uji outlier tinggi dan outlier rendah masing-masing adalah:



102 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4



_____



log Xh  l ogX  kn.Slog



................................................................................................... (1)



_____



log Xl  l ogX  kn.Slog



.................................................................................................... (2) 2



S log 



_______ 1 n    log X i  log X  i  1 n   .............................................................................................(3)



3



___   n   log Xi  log X  i 1    n  1n  2S 3 ..............................................................................................(4) n



CS log



dengan : ____ L ogX = nilai rerata data pengamatan (dalam log) CSlog = koefisien Skewness (dalam log) Slog = standart deviasi (dalam log) Xh = outlier tinggi (dalam log) XI = outlier rendah (dalam log) Kn = konstanta uji Outlier (tabel K value test) Parameter Statistik Data hidrologi merupakan kumpulan fenomena hidrologi yang memiliki sifat pendekatan terhadap suatu kenyataan. Kumpulan data hidrologi disusun dalam tabel sehingga dapat digambarkan dalam bentuk statistik. Sembarangan nilai yang dapat menunjukkan ciri dari suatu susunan disebut dengan parameter dan parameter yang digunakan dalam hal ini disebut dengan parameter statistik. Beberapa parameter statistik adalah mean (rata-rata), standar deviasi (S), koefisien variasi (Cv), koefisien skewness (Cs) dan pengukuran kurtosis (Ck). Analisis Distribusi Peluang Analisa hidrologi terhadap data curah hujan yang ada harus sesuai dengan tipe distribusi datanya. Dari sekian banyak metode distribusi yang ada umumnya digunakan adalah : a. Tipe distribusi normal __



X TR  X  S .K



................................................................................................................ (5)



b. Tipe distribusi Log normal __



log X TR  log X  S log .K



.......................................................................................................... (6) c. Tipe distribusi Gumbel __   1  X TR  X  S.KTR ; K TR  0.78 ln  ln 1    0,45    TR  ......................................................... (7)



d. Tipe distribusi Pearson III ___



X TR  X  S .K TR ,Cs



............................................................................................................ (8)



e. Tipe Distribusi Log Pearson Tipe III Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 103



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean __



LogX TR  log X  S log .K TR,Cs



.................................................................................................. (9)



dengan : __ = curah hujan rata-rata (mm) X X TR = nilai curah hujan pada periode ulang (Tr) = standart deviasi S K = faktor frekuensi untuk distribusi normal, tergantung pada Tr (tabel dist. normal) K TR = faktor frekuensi Gumbel K TR,Cs = faktor Frekuensi Pearson yang dapat dilihat dari tabel pearson sesuai nilai Cs LogXTR =



curah hujan sesuai TR dalam log.



Analisis hidrologi dari data curah hujan harus sesuai dengan salah satu tipe distribusi yang memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus di uji kesesuaiannya dengan sifat masing-masing tipe distribusi tersebut. Tipe distribusi yang sesuai dapat diketahui berdasarkan parameter-parameter statistik data pengamatan dengan melakukan tinjauan terhadap syarat batas parameter statistik tiap distribusi dengan parameter data pengamatan (CS, CV dan CK). Kriteria pemilihan untuk tiap tipe distribusi berdasarkan parameter statistik adalah: tipe distribusi Normal bila CS ≈ 0 atau kecil sekali; tipe distribusi log-Normal CS ≈ 3 CV, tipe distribusi Gumbel CS ≈ 1,14 ; CS ≈ 5,40. Bila Kriteria ketiga sebaran diatas tidak memenuhi, kemungkinan tipe sebaran yang cocok adalah tipe distribusi Pearson III atau tipe distribusi log-Pearson tipe III. Apabila parameter-parameter statistik data pengamatan tidak memenuhi syarat-syarat batas pada masing-masing tipe distribusi diatas, maka tinjauan kesesuaian suatu tipe distribusi dilakukan secara grafis kemudian dilakukan uji kecocokan (the goodness of fit test) untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat[7]. Penentuan tipe distribusi secara grafis dilakukan dengan melihat kesesuaian distribusi data pengamatan terhadap kurva persamaan distribusi analitis dengan menggunakan kertas peluang yang sesuai dengan tipe distribusi yang digunakan. Kesesuaian tipe distribusi terhadap data pengamatan ditentukan berdasarkan hasil uji kecocokan (uji chi kuadrat /chi-squre test ; uji Smirnov Kolmogorov). Uji chi kuadrat hanya efektif digunakan untuk data dengan pengamatan yang besar karena sebelum dilakukan pengujian, data pengamatan harus dikelompokan terlebih dahulu yang mengakibatkan akurasi hasilnya berkurang, sedangkan pengujian Smirnov Kolmogorov dilaksanakan dengan cara menggambarkan distribusi empiris maupun distribusi teoritis di kertas probabilitas sesuai dengan distribusi probabilitas teoritisnya. Kemudian dicari perbedaan maksimum antara distribusi empiris dan teoritisnya. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov) ditentukan harga Do. Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima dan sebaliknya.



Intensitas Hujan Rencana Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung lamanya hujan atau frekuensi kejadiannya. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitas hujan cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.



104 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris dari data hujan yang pernah terjadi. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi. Berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut, lengkung IDF dapat dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan[8]. a. Rumus Talbot I 



a t b



;



a



I .t I 2   I 2 .t I  N I 2   I I  ;



b



I .t I   N I 2 .t  N I 2   I I  ............................................... (10)



b. Rumus Sherman I 



a tn



log a 



log I log t 2   log t. log I log t  ; n  log I log t   N log t. log I  2 N (log t ) 2   log I log I  ................ (11) N log t    log t log t 



c. Rumus Ishiguro I



a t b



;



a



I . t I   I 2



2







. t I 



   I I 



N I



2



;



b 



I I .











t  N I 2. t N I 2  I I 



 



 ............................ (12)



dengan : I = intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan (jam) a dan b = konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS Analisis Hidrolika Saluran Analisis hidrolika dimaksudkan untuk mendapatkan dimensi hidrolis dari saluran drainase dan bangunan pelengkapnya. Dalam menentukan besarnya dimensi saluran perlu memperhitungkan kriteria perencanaan berdasarkan kaidah-kaidah hidrolika. Tahapan awal perencanaan dapat diasumsikan bahwa yang terjadi adalah aliran seragam sehingga perencanaan saluran menggunakan rumus Manning. Kecepatan pengaliran harus memenuhi persyaratan lebih besar dari kecepatan minimum ijin ≈ 0,4 – 0,9 m/detik [1] dan tidak melebihi kecepatan maksimum ijin ≈ 1,0 – 3,0 m/detik [3] sesuai dengan tipe dan bahan material saluran guna mencegah terjadi proses sedimentasi atau erosi pada saluran. Kemiringan memanjang saluran disesuaikan dengan keadaan topografi yang dikorelasikan dengan kemiringan memanjang saluran eksisting dan tinggi energi yang diperlukan untuk mengalirkan air, sedangkan kemiringan dinding saluran tergantung pada berbagai jenis bahan pembentuk saluran. Untuk tujuan ekonomis sedapat mungkin saluran dapat direncanakan dengan kriteria penampang hidrolis terbaik. Jagaan merupakan jarak vertical puncak saluran ke permukaan air pada kondisi perancangan. Jarak ini untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ketepi saluran. Tinggi jagaan yang dipakai dalam perancangan berkisar 5% - 30% kedalaman aliran [2]. Merencanakan suatu rencana sistem jaringan baru yang mengacu pada sistem jaringan yang sudah ada diperlukan tinjauan terhadap kapasitas dan dimensi bangunan drainase eksisting. Secara umum, perhitungan terbagi atas 2 bagian yaitu perhitungan kapasitas Bidang Keairan dan Teknik Pantai - 105



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean saluran eksisting dan perhitungan saluran baru. Prinsip perhitungan saluran eksisting dan saluran baru didasarkan pada asumsi kapasitas debit saluran eksisting (QExist) sama atau lebih besar dari debit hasil perhitungan (QRencana) untuk masing-masing saluran sebagai dasar penyusunan rekomendasi penanganan teknis pada saluran eksisting dan penentuan dimensi saluran baru. Untuk kapasitas saluran eksisting tidak memenuhi syarat (QExist ≤ QRencana ), rekomendasi penanganan teknis berupa penambahan kapasitas dengan penambahan tinggi saluran selama hal tersebut masih memungkinkan sampai syarat kapasitas terpenuhi, apabila tidak memungkinkan maka harus dibangun saluran baru sesuai dengan dimensi hasil perhitungan.



4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Data curah hujan diperoleh dari Stasiun BMG Kayuwatu Paniki dengan panjang pengamatan 10 tahun (Tahun 2004-2013). Uji data outlier dilakukan untuk menganalisa apakah ada pencatatan data dari stasiun pengamatan hujan yang menyimpang. Pengujian dilakukan untuk semua durasi hujan dengan menghitung nilai rata-rata, standart deviasi serta koefisien skewness data dalam nilai log. Hasil Pengujian data outlier menunjukan data hujan yang ada tidak terdapat data outlier tinggi maupun data outlier rendah. Selanjutnya, data pengamatan berupa kedalaman hujan jangka pendek yang diperoleh dari stasiun penakar hujan diubah menjadi besarnya curah hujan/intensitas hujan dan dilanjutkan dengan perhitungan parameter-parameter statistik yaitu mean, standar deviasi (S dan Slog), koefisien variasi (Cv) , koefisien skewness(Cs dan Cslog) dan koefisien kurtosis (Ck). Besar curah hujan yang mungkin terjadi untuk kala ulang tertentu merupakan bagian dari analisa hidrologi yang akurasi hasil analisisnya tergantung seberapa besar suatu kurva frekuensi peluang tipe distribusi tertentu dapat mewakili suatu distribusi data pengamatan. Kesesuaian tipe sebaran berdasarkan parameter statistik dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil tinjauan kesesuaian tipe sebaran maka sebaran yang digunakan adalah sebaran normal, log normal, dan log pearson tipe III untuk seluruh durasi hujan. Untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang lebih akurat dari beberapa sebaran yang dipilih maka dilakukan tinjauan secara grafis pada ketiga tipe distribusi peluang ini dan selanjutnya untuk mengetahui derajat kesesuaian masing-masing tipe distribusi dilakukan uji kecocokan (the goodness of fit test). Pemilihan tipe distribusi yang sesuai dengan distribusi data intensitas hujan dilakukan dengan membuat garis kurva frekuensi berdasarkan persamaan matematis masing-masing tipe distribusi. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya kurva frekuensi berdasarkan referensi titik-titik nilai teoritis dengan menggunakan persamaan matematis kurva frekuensi tiap tipe distribusi yang dapat mewakili distribusi data intensitas hujan berdasarkan hasil uji kecocokan. Penggambaran data intensitas hujan dilakukan pada kertas peluang yang sesuai untuk tiap tipe distribusi. Peluang untuk masing-masing data intensitas hujan dihitung dengan metode Weibull. Penggambaran kurva frekuensi dilakukan dengan menghubungkan nilai-nilai teoritis yang diperoleh dari persamaan matematis masingmasing tipe distribusi dan penentuan tipe distribusi yang paling sesuai dilakukan berdasarkan hasil uji kecocokan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Smirnov – Kolmogorov. Pengujian dengan menggunakan metode ini dilakukan dengan melihat penyimpangan peluang terbesar antara data pengamatan dan data teoritis. Perhitungan selisih dilakukan dengan cara grafis untuk tiap tipe distribusi. Dengan selisih tersebut dapat diketahui sejauh mana persamaan teoritis distribusi



106 – Bidang Keairan dan Teknik Pantai



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 –602 – 72056 –0 –4 tersebut dapat mewakili distribusi data pengamatan berdasarkan syarat-syarat uji Smirnov Kolmogorov (nilai kritis Do). Do < 0.41 untuk n = 10 dengan derajat kepercayaan 5%. Hasil pengukuran selisih peluang untuk tiap tipe–tipe distribusi dapat dilihat pada Tabel 2, menunjukkan nilai Dmax untuk tiap durasi tidak lebih besar dari Dijin (D095



Selisih Maks. 0,2 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 12 Maks. 40 Min. 50 Min. 95



Nilai Pengujian



Persyaratan



2,596 2,474 1,059 0,802 4,50 23,402 66,85 > 95



Selisih Maks. 0,2 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 12 Maks. 40 Min. 50 Min. 95



Sumber: Hasil Pengujian Tabel 12: Hasil Pengujian Agregat RAP No. Uraian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Berat Jenis agregat kasar Berat Jenis agregat halus Penyerapan agregat kasar(%) Penyerapan agregat halus (%) Kekekalan bentuk terhadap Na2SO4 (%) Abrasi (%) Pengujian setara pasir Kelekatan Aspal (%)



Sumber: Hasil Pengujian B. Aspal baru memenuhi persyaratan sesuai dengan Tabel 3, sedangkan aspal yang terkandung dalam RAP mempunyai nilai penetrasi dan daktilitas yang berada di bawah persyaratan sesuai Tabel 4 di bawah ini. Tabel 13: Hasil Pengujian Aspal Baru No. Uraian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Aspal Emulsi CMS-2



Persyaratan



52,637 0,35 Positif 0,00 66,05 119,17 >100



50-450 Maks. 1 Positif Maks. 0,10 Min. 65 100-250 Min. 40



Kekentalan (Viskositas) Penyimpanan 1 hari (%) Muatan listrik Analisa saringan Penyulingan (Kadar residu) % Penetrasi 25o 100 gr. 5 detik Daktilitas (cm)



Sumber: Hasil Pengujian Tabel 14: Hasil Pengujian Aspal RAP No. Uraian



RAP



Persyaratan



Kadar aspal dalam campuran (%) Penetrasi pada 25 oC (mm) Titik Lembek (oC) Daktilitas pada 25 oC (cm)



5,84 30 64 10,5



60-70 ≥ 48 ≥ 100



1. 2. 3. 4.



Bidang Transportasi - 295



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Sumber: Hasil Pengujian C. Agregat yang terkandung dalam RAP tidak masuk dalam amplop gradasi yang dipersyaratkan sesuai Gambar 1, sedangkan gradasi dari campuran agregat baru dan RAP dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.



Gambar 16: Gradasi Agregat RAP



Gambar 17: Gradasi Campuran Agregat RAP Jl. Ir. Soekarno, Tabanan 25% dan Agregat Baru 75% Berdasarkan gradasi RAP yang telah didapat maka diperlukan penambahan agregat baru. Dengan komposisi 25% agregat RAP, penambahan yang diperlukan 75% agregat kasar 1-2.



296 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Hasil pengujian Marshall terhadap benda uji tersebut adalah sebagai berikut: A. Hasil Pengujian Kadar Air Penyelimutan Optimum Dari hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan kadar air optimum pada variasi kadar air terkecil yang memberikan penyelimutan terbaik yang diobservasi secara visual sebesar 2%. B. Pada pengujian terhadap benda uji dengan kadar RAP Jl. Ir Soekarno, Tabanan 25% dengan ditambahkan agregat baru dapat memenuhi semua persyaratan sehingga didapatkan Kadar Aspal Optimum campuran yaitu 6,7% yang dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini. 5,7%



6,2%



Kadar Aspal, % 6,7%



7,2%



7,7%



Stabilitas Stabilitas Sisa Tebal Film Aspal



Gambar 18: Hasil Pengujian Benda Uji dengan Kadar RAP 25%



5. KESIMPULAN Hasil pengujian terhadap material baru (Agregat dan Aspal) dan agregat hasil ekstraksi RAP memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan campuran aspal dingin. Agregat yang ditambahkan dalam campuran aspal dingin bergradasi terbuka merupakan agregat kasar, hal ini dikarenakan hasil gradasi agregat RAP Jl. Ir. Soekarno, Tabanan cenderung bergradasi halus akibat dari pengerukan aspal pada lapisan AC-WC yang memiliki gradasi halus. Penggunaan RAP dari Jl. Ir. Soekarno sebesar 25% dan agregat baru sebesar 75% untuk campuran aspal dingin bergradasi terbuka memenuhi persyaratan serta menghasilkan nilai Kadar Aspal Optimum sebesar 6,7%.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (1992), Tata Cara Pelapisan Ulang Dengan Campuran Aspal Emulsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 2. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (2006), Pemanfaatan Asbuton Buku 5 Campuran Beraspal Dingin dengan Asbuton Butir Peremaja Emulsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 3. Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (2010), Spesifikasi Umum Edisi 2010, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta. 4. Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), Manual Perkerasan Campuran Beraspal Panas, Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta.



Bidang Transportasi - 297



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 5. National Asphalt Pavement Association (1996), Hot Mix Asphalt Materials, Mixture Design, and Construction, NAPA Education Foundation, Maryland. 6. Saodang, Hamirhan (2005), Konstruksi Jalan Raya, Buku 2 Perancangan Perkerasan Jalan Raya, NOVA, Bandung. 7. Sukirman, Silvia (2003), Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta.



298 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



OPTIMASI ARMADA KAPAL RORO DAN LCT TERHADAP TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN KETAPANG – GILIMANUK Imam Fahamsyah, Hera Widyastuti2, dan Wahju Herijanto3 1



Mahasiswa Program Magister Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya, email: [email protected] Program Studi Magister Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya, email: [email protected] 3 Program Studi Magister Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya,, email: [email protected] 2



ABSTRAK Pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk termasuk salah satu pelabuhan yang sangat ramai. Pelabuhan penyeberangan ini melayani kapal ferry Roro sebanyak 29 unit dan Landing Craft Tank (LCT) sebanyak 14 unit. Terdapat 2 dermaga Movable Bridge dan 1 dermaga Ponton yang melayani kapal ferry Roro dan 3 dermaga beaching yang melayani LCT. Banyaknya kapal yang ada pada sistem penyeberangan ini mengakibatkan pendeknya waktu sandar dan lamanya waktu berlayar sehingga mengakibatkan tidak optimalnya pelayanan yang ada. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui waktu dan fasilitas sandar ideal yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan optimal pada lintas penyeberangan Ketapang – Gilimanuk dengan menggunakan metode analisis lintasan tunggal. Hasil yang didapat dengan 36 menit waktu berlabuh maka kapasitas muat KMP dan LCT dapat ditingkatkan hingga 100%. dan diperlukan 7 dermaga untuk melayani 29 KMP dan 14 LCT sehingga didapatkan pelayanan yang optimal pada lintas Ketapang – Gilimanuk. Kata kunci: dermaga, kapal, optimal, waktu berlabuh



1. PENDAHULUAN Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. Begitu pula dengan lintas penyeberangan Ketapang – Gilimanuk yang merupakan pintu gerbang penghubung darat antara Pulau Jawa dan Pulau Bali. Pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk termasuk salah satu pelabuhan yang sangat ramai. Pelabuhan penyeberangan ini dilayani oleh kapal Ferry RoRo dan Landing Craft Tank (LCT) yang berjumlah 43 unit. Selat Bali yang memisahkan pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk ini mempunyai jarak sekitar 3,00 mil dan ditempuh dalam waktu sekitar 55 menit, dengan demikian termasuk penyeberangan jarak dekat. Pada setiap harinya rata-rata sistem penyeberangan ini dapat melayani penumpang sampai 35.890 orang, kendaraan roda-4 sekitar 6.354 unit, sepeda motor sekitar 3.530 unit (PT.ASDP, 2013). Sistem penyeberangan ini memiliki Sarana yang terdiri dari kapal Ferry Ro-Ro dan LCT serta prasarananya adalah 1 dermaga Ponton dan 2 dermaga MB serta 3 dermaga LCT (Beaching). Rencana operasi angkutan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk dituangkan dalam jadual (scheduling), yang ditentukan berdasarkan hubungan antar kebutuhan dan fasilitas yang saling terkait dalam proses angkutan penyeberangan. Banyaknya kapal yang ada pada sistem penyeberangan ini mengakibatkan waktu berlayar semakin lama dan waktu bongkar muat di dermaga menjadi sedikit sehingga dalam satu kali perjalanan kendaraan yang dapat dimuat hanya mencapai 90% dari kapasitas kapal yang ada. Tingkat penggunaan sistem pelayanan penyeberangan akan optimal, apabila faktor-



Bidang Transportasi - 299



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean faktor yang mempengaruhi dapat berfungsi dengan maksimal. Dalam hal ini maka perlu dilakukan penelitian dengan judul: ―Optimasi Armada Kapal Ro-Ro Dan LCT Terhadap Tingkat Pelayanan Angkutan Penyeberangan Ketapang – Gilimanuk‖ agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui waktu dan fasilitas sandar ideal yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan optimal pada lintas penyeberangan Ketapang – Gilimanuk.



2. KAJIAN PUSTAKA Waktu Operasi Berdasarkan kapasitas dan fasilitas sistem penyeberangan yang ada dilakukan analisis berdasarkan hubungan antara kapasitas kapal rencana, kedatangan kendaraan roda-4 dan roda-2 serta tingkat pelayanan kapal. Waktu siklus operasi kapal dapat diilustrasikan seperti Gambar 1. Tp



Tm



Tp Sailing Time



T m



Headway



Headway



Cycle Time Gambar 1: Waktu Siklus Operasi Kapal Keterangan: Tp = Port Time (Waktu Berlabuh) Tm = Manuver Time (Waktu Manuver) Ts = Sailing Time (Sailing Time) Hw = Headway (waktu antar dermaga) Penerapan jadwal keberangkatan kapal pada salah satu dermaga dapat ditentukan seperti pada Gambar 2. Nama Kapal Waktu Berangkat Kapal 1 Kapal 2 Kapal 3 Kapal 4 Kapal 5 headway hw hw hw kapal Headway Dermaga Hw



Syarat : Hw > ( Tm + Tp ) Gambar 2: Jadwal Keberangkatan Kapal Tp = ∑ di mana: Hw







.............................................................................. (1)



= headway minimum dermaga (menit)



300 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tp tb tm qi



= waktu sandar kapal yang terdiri dari waktu bongkar (tb) dan waktu muat (tm) kendaraan dalam satuan (menit) = rata-rata waktu menurunkan kendaraan (menit / kendaraan) = rata-rata waktu menaikkan kendaraan (menit / kendaraan) = tingkat occupancy kapal (unit kendaraan)



Operasi Sistem Penyeberangan Hubungan yang mendasar dalam menentukan ukuran operasi sistem penyeberangan adalah kapasitas prasarana, rencana operasi, karakteristik kapal, karakteristik kendaraan roda-4 dan roda-2. Pada analisis lintasan garis tunggal semua kapal harus dioperasikan dari satu ujung ke ujung lainnya dan kemudian kembali, kapal bergerak bolak balik diantara dua terminal ujung. Kapal akan beroperasi dengan headway waktu keberangkatan yang merata, dan semua kapal mempunyai kapasitas yang relatif sama. Dalam kondisi ini hubungan antara kapasitas total, headway keberangkatan kapal, jumlah keberangkatan dan kapasitas kapal dalam satu arah adalah: ................................................................................................... (2) di mana : Qc Qk hw Jk



= kapasitas total dalam satu hari, unit kendaraan = kapasitas kapal rencana, unit kendaraan = headway waktu keberangkatan kapal (menit) = jumlah keberangkatan kapal



Konsep diatas dapat dihubungkan secara langsung dengan kebutuhan kapal, dengan menganggap bahwa semua kapal membutuhkan waktu yang relatif sama untuk melakukan pelayaran, maka hubungannya adalah sebagai berikut: .......................................................................................... (3) *



di mana : N JD Tc Hw hw



+



..................................................................................................... (4)



= jumlah kapal = Jumlah Dermaga = waktu siklus kapal = 2 {Ts + Tm + Tp} = headway dermaga = headway antar dermaga/ headway keberangkatan kapal



3. DATA PENYEBERANGAN KETAPANG - GILIMANUK Kebutuhan Angkutan Penyeberangan Pada setiap harinya rata-rata sistem penyeberangan ini dapat melayani penumpang sampai 35.890 orang, kendaraan roda-4 sekitar 6.354 unit, sepeda motor sekitar 3.530 unit (PT.ASDP, 2013). Dalam perjalanannya kebutuhan pelayanan terhadap angkutan penyeberangan lintas Ketapang – Gilimanuk ini meningkat setiap tahunnya, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di



Bidang Transportasi - 301



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pulau Jawa dan Bali. Pertumbuhan kebutuhan angkutan penyeberangan dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada gambar 3. Grafik Produksi Angkutan Penyeberangan Lintas Ketapang Gilimanuk (PP) Tahun 2009 - 2013 14,000,000



Data Produksi



12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000



4,000,000 2,000,000 Rit PNPG Roda 4 Roda 2



TH.2009 117,806 7,347,201 1,676,368 854,114



TH.2010 125,964 9,585,682 1,699,225 1,005,321



TH.2011 118,175 8,224,631 1,549,082 932,497



TH.2012 154,211 11,231,368 2,086,590 1,271,385



TH.2013 167,552 11,982,106 2,214,453 1,435,509



Sumber: PT. ASDP Ketapang (2013)



Gambar 3: Grafik Produksi Angkutan Penyeberangan Ketapang – Gilimanuk Sarana dan Prasarana yang tersedia Sarana angkutan penyeberangan terdiri dari 29 KMP Ferry Ro-Ro dan 14 Kapal LCT dengan prasarana 1 dermaga Ponton dan 2 dermaga Movable Bridge serta 3 dermaga LCM (Beaching). Kegiatan Penyeberangan Kegiatan penyeberangan lintas Ketapang – Gilimanuk terdiri dari jumlah kapal yang beroperasi, waktu bongkar muat, waktu manuver, headway kapal, headway antar dermaga dan jumlah kendaraan bongkar muat. Jumlah kapal yang beroperasi pada dermaga movable bridge dan pontoon adalah 18 unit kapal, sedangkan pada dermaga LCM adalah 15 unit kapal. Untuk waktu manuver yang dibutuhkan pada dermaga movable bridge dan pontton adalah 7 – 9 menit sedangkan di LCM adalah 6-8 menit. Headway yang dibutuhkan pada dermaga movable bridge dan LCM adalah 12 menit dengan waktu berlayar 55-60 menit. Detail waktu bongkar muat dan jumlah kendaraan dapat dilihat pada table 2 dan 3 dibawah ini.



302 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2. Data Bongkar Kapal Pada Lintas Ketapang – Gilimanuk BONGKAR DATA BONGKAR Dermaga Movable Bridge Dermaga Pontoon Dermaga LCM



Waktu (menit)



Jumlah Kend R-2 (unit)



Jumlah Kend R-4 (unit)



Waktu R-2 (dtk/kend)



Waktu R-4 (dtk/kend)



8 9 6



9 29 -



15 19 17



10 10 -



32 28 22



Tabel 3. Data Muat Kapal Pada Lintas Ketapang – Gilimanuk MUAT DATA MUAT Dermaga Movable Bridge Dermaga Pontoon Dermaga LCM



Waktu (menit)



Jumlah Kend R-2 (unit)



Jumlah Kend R-4 (unit)



Waktu R-2 (dtk/kend)



Waktu R-4 (dtk/kend)



14 14,5 22



22 21 -



22 19 18



15 15 -



32 45 73



Analisa Sistem Penyeberangan Proses pelayanan dimulai pada saat kendaraan antri masuk kapal selama headway waktu keberangkatan kapal. Tingkat pengisian kapal (occupancy) sangat dipengaruhi oleh laju kedatangan kendaraan. Proses pelayanan terhenti pada saat kapal bersandar di dermaga untuk menurunkan kendaraan dan proses menurunkan kendaraan tidak dipengaruhi oleh laju kedatangan kendaraan. Apabila tingkat kedatangan kendaraan tidak dapat diimbangi oleh tingkat pelayanan sistem penyeberangan, maka akan terjadi antrian/ tundaan yang berpengaruh tehadap waktu tunggu kendaraan. Simulasi Dermaga Movable Bridge (MB) Simulasi dilakukan pada dermaga movable bridge untuk mendapatkan kondisi optimum kinerja operasional dermaga penyebrangan di lintas penyeberangan Ketapang Gilimanuk. Simulasi dilakukan dengan memodifikasi jumlah dermaga, jumlah kapal yang beroperasi dan headway dermaga. Tiap skenario terdiri dari 3 (tiga) waktu headway dan waktu siklus yang berbeda dimana hal ini akan berpengaruh pada kapasitas kendaraan yang bongkar dan muat pada dermaga movable bridge. Pada pembahasan ini terdapat 9 skenario simulasi yang dilakukan. Detail skenario dapat dilihat pada tabel 4. Dari hasil analisa beberapa skenario maka dipilih skenario 8 pada dermaga MB dan Pontoon, dari hasil perhitungan skenario tersebut d headway antar kapal 9 menit dan headway antar dermaga 36 menit dengan waktu bongkar 10,5 menit, waktu muat 16,5 menit, waktu manuver 9 menit dan waktu berlayar 36 menit sehingga dalam satu hari didapatkan waktu siklus 144 menit dan 160 kali keberangkatan kapal. Dari hasil perhitungan tersebut maka diperoleh kapasitas angkut dalam satu hari adalah 10.560 kendaraan roda 2 dan 4.640 kendaraan roda 4 atau lebih.



Bidang Transportasi - 303



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 4. Skenario Simulasi Dermaga Movable Bridge(MB) dan Pontoon. Jumlah (unit) Skenario



Dermaga



I



3



II



3



III



3



IV



4



V



4



VI



4



VII



4



VIII



4



IX



4



Headway (menit) Dermaga Kapal Hw hw 40 13,33 36 12,00 30 10,00 45 15,00 40 13,33 36 12,00 45 15,00 40 13,33 36 12,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00 45 11,25 40 10,00 36 9,00



Kapal 18 18 18 15 15 15 12 12 12 24 24 24 22 22 22 20 20 20 18 18 18 16 16 16 14 14 14



Waktu Siklus (menit) 240 216 180 225 200 180 180 160 144 270 240 216 247,5 220 198 225 200 180 202,5 180 162 180 160 144 157,5 140 126



Kapasitas Sistem (unit kend) R-4 R-2 3.132 8.208 3.713 7.920 3.510 7.488 2.784 8.448 3.132 8.208 3.480 7.920 2.784 8.448 3.132 8.208 3.480 7.920 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560 3.712 11.264 4.176 10.944 4.640 10.560



Jumlah Operasi 108,00 120,00 144,00 96,00 108,00 120,00 96,00 108,00 120,00 128,00 144,00 160,00 128,00 144,00 160,00 128,00 144,00 160,00 128,00 144,00 160,00 128,00 144,00 160,00 128,00 144,00 160,00



Simulasi Dermaga Landing Craft Machine (LCM) Simulasi dilakukan pada dermaga LCM untuk mendapatkan kondisi optimum kinerja operasional kapal LCT pada lintas penyeberangan Ketapang - Gilimanuk. Simulasi dilakukan dengan memodifikasi jumlah dermaga, jumlah kapal yang beroperasi dan headway dermaga. Tiap skenario terdiri dari 3 (tiga) waktu headway dan waktu siklus yang berbeda dimana hal ini akan berpengaruh pada kapasitas kendaraan yang bongkar dan muat pada dermaga LCM. Pada pembahasan ini terdapat 3 skenario simulasi yang dilakukan. Detail skenario dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Skenario Simulasi Dermaga Landing Craft Machine (LCM) Jumlah (unit) Skenario



Dermaga



I



3



II



3



III



3



Kapal 18 18 18 15 15 15 12 12 12



304 – Bidang Transportasi



Headway (menit) Dermaga Kapal Hw hw 45 15,00 36 12,00 30 10,00 45 15,00 36 12,00 30 10,00 45 15,00 36 12,00 30 10,00



Waktu Siklus (menit) 270 216 180 225 180 150 180 144 120



Jumlah Operasi 96,00 120,00 144,00 96,00 120,00 144,00 96,00 120,00 144,00



Kapasitas Sistem (unit kend) 1.728 2.160 2.098 1.728 2.160 2.098 1.728 2.160 2.098



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Dari hasil analisa beberapa skenario maka dipilih skenario 3 untuk dermaga LCM , dari hasil perhitungan skenario tersebut diperoleh headway antar kapal 12 menit dan headway antar dermaga 36 dengan waktu bongkar 9 menit, waktu muat 21 menit, waktu manuver 6 menit dan waktu berlayar 36 menit sehingga dalam satu hari didapatkan waktu siklus 144 menit dan 120 kali keberangkatan kapal. Dari hasil perhitungan tersebut maka diperoleh kapasitas angkut dalam satu hari adalah 2.160 kendaraan berat.



4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penulisan ini adalah dengan 36 menit waktu berlabuh maka kapasitas muat KMP dan LCT dapat ditingkatkan hingga 100% dan diperlukan 7 dermaga untuk melayani 29 KMP dan 14 LCT sehingga didapatkan pelayanan yang optimal pada lintas Ketapang – Gilimanuk.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Abubakar, Iskandar. (2010) ―Transportasi Penyeberangan 2010 Suatu Pengantar‖ Jakarta. 2. Morlok, Edward K.. (1978) Introduction to Transportation Engineering and Planning. 3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 32 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan 4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Penyeberangan 5. PT. ASDP Indonesia Ferry (2013)



Bidang Transportasi - 305



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



306 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS DESAIN STRUKTUR KAPAL POMPONG BERBAHAN DASAR PLASTIK HIGH DENSITY POLYETHYLENE DI PERAIRAN RIAU PESISIR Jamal1 dan Wasis Dwi Aryawan2 1 2



Jamal, ITS Surabaya, [email protected] Wasis Dwi Aryawan, ITS Surabaya, [email protected]



ABSTRAK Riau Pesisir merupakan sebagian wilayah di propinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Karena wilayahnya di pesisir atau di pinggiran pantai yang membentuk pulau-pulau kecil dan memiliki perairan tenang sehingga kebutuhan kapal pompong untuk alat tranportasi antar pulau dan kapal pompong nelayan sangat dibutuhkan. Namun, jumlah kapal pompong tradisional di perairan riau pesisir mulai berkurang yang disebabkan oleh sulitnya mencari kayu sebagai bahan utama kapal. Polietilena berdensitas tinggi (High density polyethylene, HDPE) dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pembuatan kapal karena bahan tersebut memiliki kekuatan material yang sebanding dengan fibreglass, lebih tahan, tahan korosif dan tahan terhadap penuaan. Akan tetapi bahan ini belum memiliki standar perhitungan dan model kontruksinya yang baku sehingga perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini yaitu menentukan karakteristik, spesifikasi dan bentuk desaian kapal pompong menggunakan bahan dasar plastic HDPE yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 3 tahapan pengerjaan yang dilakukan yaitu survey lokasi, desain perhitungan struktur dan desain gambar kontruksi kapal. Dari survey yang dilakukan ternyata jenis kapal pompong nelayan 3GT dengan LOA 10,2 m merupakan kapal yang dipilih karena sesuai kreteria dan dan kebutuhan market, langkah selanjutnya menggambar lines plan dan General Arrangement menggunakan Maxsurf pro11.12 sesuai bentuk sebenarnya. Perhitungan desain struktur Sesuai dengan kreteria kekuatan kontruksi yang diatur dalam Biro klasifikasi Indonesia (BKI) walaupun BKI sendiri belum mengatur tentang material plastik HDPE ini untuk dijadikan bahan dasar pembuatan kapal. Membuat gambar desain kontruksi digunakan AutoCAD 2007 sesuai dengan pehitungan sebelumnya. Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini yaitu bahwa material plastik HDPE dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kapal, dalam desain strukturnya berbeda dengan struktur kapal fibreglass. Namun pada penelitian ini hanya sebatas desain awal sehingga untuk lebih membuktikan kebenarannya perlunya adanya pengujian bahan dan analisa kekuatan desain struktur. Kata kunci: Riau Pesisir, Pompong, High density polyethylene.



1. PENDAHULUAN Latar Belakang Riau pesisir merupakan daerah kepulauan sehingga membutuhkan alat tranportasi antar pulau, alat-alat tranportasi yang digunakan secara umum adalah kapal pompong. Kapal Pompong adalah kata istilah untuk kapal mesin (KM) atau kapal kecil yang yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard motor) [1]. Kata istilah ini dikenal oleh rakyat di sekitar perairan selat Melaka khususnya di perairan riau pesisir. Kapal pompong di sekitar perairan riau pesisir pada umumnya digunakan untuk kapal barang, kapal penumpang dan kapal nelayan. Kebutuhan kapal pompong tiap tahun mengalami peningkatan dan memiliki kebutuhan yang sangat besar. Sesuai dengan data dinas perikanan kabupaten bengkalis pada tahun 2014 kebutuhan kapal pompong penangkap ikan saja mencapai 1,839 unit khusus di kabupaten Bengkalis [2], belum termasuk kebutuhan kapal pompong lainnya.



Bidang Transportasi - 307



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Namun, jumlah kapal pompong tradisional di perairan riau pesisir mulai berkurang yang disebabkan oleh sulitnya mencari kayu sebagai bahan utama kapal. Sehingga beberapa galangan kapal pompong tradisional sudah banyak yang tutup, di Kabupaten: Meranti, Siak, Bagansiapi-api, Indragiri Hulu dan Hilir, Kepulauan Riau dan juga di sejumlah daerah lainya di pesisir perairan pulau Sumatera [3]. Seiring dengan sulitnya mencari bahan utama kapal kayu itu, beberapa galangan besar di Batam dan Tanjung Pinang seperti PAN-United dan Marina Shipyard sudah membuat kapal dengan mengunakan bahan fiberglass dalam pembuatan kapal tugboat yang sebelumnya menggunakan bahan kayu [3]. Fiberglass adalah campuran beberapa bahan yang diperkuat dengan serat membentuk plastik (Fiberglass Reinforced Plastic/FRP). Sifat bahan ini selain relatif tahan terhadap cuaca, juga lebih kuat dari baja dan lebih ringan dibandingkan dengan aluminum [3]. Kelemahannya adalah tidak tahan terhadap benturan, tidak bisa di daur ulang, pencemaran lingkungan. Sebagai Pengusaha Pemilik kapal tentunya menginginkan Kapalnya dapat dioprasikan secara tangguh dalam kondisi apapun dan terjamin keselamatannya sehingga kegiatan pelayaran perdagangan atau pencarian ikan tersebut dapat terus terlaksana. Untuk itu perlu adanya terobosan baru untuk membuat kapal yang berbahan alternatif baru. Polietilena berdensitas tinggi (High density polyethylene, HDPE) dapat di jadikan sebagai bahan alternatif sebagai dasar pembuatan kapal karena banyak sekali keunggulan yang ada pada bahan ini untuk pembuatan kapal Adapun keunggulan dari bahan plastik HDPE sebagai bahan dasar pembuatan kapal menurut Boat Indonesia (2014) adalah: Pertama, plastik HDPE sangat tahan lama terhadap penuaan material dan korosi (minimum tahan 50 tahun). Kedua, daya tahan keretakan baik sehingga dampak kerusakan sedikit. Ketiga, HDPE fleksibel dan tahan lama, tahan terhadap kondisi cuaca terburuk, Keempat, dapat di daur ulang dan masih banyak lagi keunggulannya [4]. Dari berbagai macam keunggulan yang ada pada bahan plastik HDPE tersebut peneliti mencoba menganalisa dan mendesain struktur sebuah kapal yang diaplikasikan ke kapal pompong di perairan Riau pesisir. Pada makalah ini peneliti memberi judul yaitu: ―Analisis Desain Struktur Kapal Pompong Berbahan Dasar Plastik High Density Polyethylene Di Perairan Riau Pesisir‖. Sehingga dari makalah ini nanti diharapkan mampu di terapkan sebagai bahan pertimbangan pembuatan kapal di perairan Riau pesisir Maksud dan Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk Menganalisis Desain Struktur Kapal Pompong Berbahan Dasar Plastik High Density Polyethylene Di Perairan Riau Pesisir. Selain itu, thesis ini juga memiliki tujuan khusus sebagai berikut: a. Melakukan survey lapangan untuk mencari karakteristik kapal pompong yang ada di perairan riau pesisir b. Menentukan spesifikasi kapal pompong untuk didesain menggunakan bahan dasar plastik HDPE yang baik c. Merancang dan menghitung struktur kapal pompong berbahan dasar HDPE yang baik.



308 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Batasan Masalah Batasan masalah pada makalah ini adalah: a. Kapal yang di teliti berlokasi di pulau Bengkalis b. Radius pelayaran berada di selat malaka, selat bengkalis dan sungai-sungai di kabupaten Bengkalis c. Ruang lingkup pekerjaan dibatasi pada analisa desain kontruksi kapal Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yaitu bahwa plastik high density polyethylene (HDPE) layak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kapal karena bahan tersebut memiliki kekuatan material yang sebanding dengan Fibreglass, selain itu bahan ini lebih tahan dari material lainya karena tahan korosif dan tahan terhadap penuaan.



2. KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Potensi Market Kapal Pompong di Kepulauan Bengkalis Pada tahun 2004, di Kabupaten Bengkalis terdapat sekitar 4.466 armada penangkapan ikan yang terdiri dZari perahu tanpa motor, motor tempel maupun kapal motor atau kapal pompong. Pada tahun tersebut jumlah ikan yang didaratkan di Kabupaten Bengkalis [1]. Pada gambar 1 diperlihatkan salah satu bentuk kapal pompong nelayan yang ada di perairan pulau bengkalis.



Gambar 1. Kapal pompong Nelayan [1]. Tabel 1. Jumlah dan jenis Armada penangkapan ikan di kabupaten Bengkalis periode tahun 2000 s/d 2004 Jumlah (Unit) No Jenis Armada 2000 2001 2002 2003 2004 1 Perahu Tanpa Motor (PTM) 1.808 1.599 2.502 1.612 1.865 2 Motor Tempel (MT) 119 620 649 315 3 Kapal Motor (KM) / Pompong 1.414 2.222 1.787 2.241 2.284 Sumber: Zarkasyi (2006) dari table 1 diperliahatkan jumlah dan jenis armada penangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis periode tahun 2000 s/d 2004 memiliki jumlah yang cukup besar. Sehingga ini menunjukkan bahwa kebutuhan amada kapal pompong untuk daerah Riau pesisir sangat banyak sekali khususnya di kabupaten Bengkalis. Menciptakana Kapal Boat Seluruhnya dari Plastik High Density Polyethylene Terdapat dua jenis material utama yang dapat dijadikan boat atau kapal yaitu material plastik HDPE berbentuk pelat dan berbentuk serbuk atau pellet. Keberhasilan ide menjadi bisnis contohnya adalah Negara Turki yang menjadi salah satu Negara pembuat



Bidang Transportasi - 309



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Boat dengan material seluruhnya HDPE. inovatif produk untuk membangun kapal yang seluruhnya terbuat dari plastik ( HDPE ) telah dibuat selama lima tahun terakhir [5]. Pada gambar 2 terlihat contoh gambar kapal HDPE yang telah dibangun dan telah beroprasi di laut.



Gambar 2. HDPE Work Boat [5]. Adapun keuntungan dari HDPE dalam pembuatan Kapal antara lain adalah sebagai berikut [5]: a. Karena HDPE sangat tahan lama terhadap penuaan material dan korosi (minimum tahan 50 tahun). b. Daya tahan keretakan baik sehingga dampak kerusakan sedikit. c. HDPE fleksibel dan tahan lama, tahan terhadap kondisi cuaca terburuk d. Hal ini lebih mudah untuk merakit HDPE daripada material baja, kayu, aluminium atau bahan komposit lainnya. e. Tahan terhadap ultra violet, Stabil, Tahan api dan perawatan murah f. 100% dapat di daur ulang. Selain 9 keuntungan diatas, bahan plastik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan Fibreglass dan Aluminium. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 2 di bawah ini: Tabel 2. Perbandingan karakteristik bahan HDPE Fibreglass Application RHIB Impact Resistance Poor Repair ability Good Mass Good General Abuse Resistance Poor UV Resistance Poor Operator Skill Level Skilled Maintenance Requirements High Sandy Beach Landings Good Rocky Beach Landings Poor Punture Resistance Poor Sumber: Rhino Marine, 2006



310 – Bidang Transportasi



antara fiberglass, aluminium dan plastik HDPE Aluminium Rhino 590 Good Excellent Good Excellent Excellent Poor Poor Excellent Excellent Excellent OK Unskilled High Low Good Good Poor Excellent Good Excellent



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. METODOLOGI PENELITIAN Flow Chart Penelitian Metodologi penelitian pada makalah ini dapat dilihat pada flow chart gambar 3. MULAI



A



ATURAN CLASS



IDENTIFIKASI MASALAH



MENGHITUNG STRUKTUR KAPAL STUDI LITERATUR



PENGUMPULAN DATA



UKURAN STRUKTUR KAPAL TYPE KAPAL & DATA PERAIRAN



MENGGAMBAR STRUKTUR KAPAL MENENTUKAN UKURAN & BENTUK KAPAL



ANALISA KEKUATAN STRUKTUR KAPAL



UKURAN UTAMA KAPAL



LINES PLAN



TIDAK



YA



GA



PENULISAN LAPORAN A



SELESAI



Gambar 3. Flow Chart Penelitian



4. KARAKTERISTIK DAN PERENCANAAN KAPAL POMPONG DI PERAIRAN RIAU PESISIR Bentuk Umum Kapal pompong yang ada di perairan Riau pesisir sangat komplek. Sangat komplek disini maksudnya yaitu memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan kegunaan dan memiliki ukuran utama kapal yang bermacam-macam. Dari berbagai macam bentuk tersebut memiliki beberapa bentuk yang ideal dan cocok digunakan di perairan tersebut yang memiliki kekuatan yang cukup guna menunjang keselamatan pelayaran pada saat pengoprasian kapal. Terdapat 3 jenis tipe kapal pompong yang biasa digunakan di perairan riau pesisir. Tipe kapal dibedakan berdasarkan muatan yang dibawa. Adapun tiga jenis tipe kapal tersebut adalah: a. Kapal pompong Nelayan b. Kapal pompong barang c. Kapal pompong Penumpang Kapal pompong nelayan adalah pompong yang digunakan nelayan sebagai kapal penangkap ikan. Secara umum tipe kapal pompong nelayan yang ada di perairan riau pesisir memiliki bentuk yang sama, kapal tersebut dilengkapi dengan palkah yang berisi jaring dan dilengkapi dengan box tempat ikan tangkapan. Untuk mengetahui secara jelas bentuk kapal pompong yang ada di perairan riau pesisir dapat dilihat pada gambar 4, kapal tersebut merupakan salah satu bentuk kapal pompong nelayan 3 GT di perairan pulau Bengkalis.



Bidang Transportasi - 311



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 4: Kapal pompong nelayan di perairan pulau bengkalis Kapal pompong barang di riau pesisir pada umumnya digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari dan barang-barang hasil bumi. Barang-barang kebutuhan sehari-hari di bawa dari kota besar menuju kota-kota kecil atau pulau-pulau kecil dan sebaliknya, selain digunakan untuk kegiatan angkutan domestik juga di gunakan sebagai alat angkutan kegiatan export-import Indonesia-Malaysia.



Gambar 5: Kapal pompong barang / muatan bahan pokok



Gambar 6: Kapal pompong barang / muatan pasir Gambar 5 merupakan salah satu kapal barang antar pulau yang membawa barangbarang makanan pokok dan hasil bumi. Sedangkan gambar 6 merupakan kapal barang pengangkut barang bahan bangunan seperti pasir, granit dan juga semen.



5. JUMLAH ARMADA KAPAL POMPONG Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dan berdasarkan data dari dinas kelautan dan perikanan kabupaten bengkalis tahun 2014 di ketahui jumlah kebutuhan kapal pompong di perairan pulau bengkalis yang merupakan bahagian dari daerah riau pesisir Pada tabel 3 yang merupakan ketersediaan armada kapal pompong di perairan riau pesisir memperlihatkan bahwa kapal pompong nelayan merupakan jumlah yang dominan di daerah perairan pulau bangkalis yang di ikuti dengan kapal pompong barang



312 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dan kapal pompong penumpang. Kapal pompong nelayan pada daerah tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan kapal-kapal pompong barang yaitu kebanyakan di bawah dari 10 GT, berbeda dengan kapal-kapal pompong barang yang pada umumya memilikiukuran lebih besar dari 10 GT. Tabel 3: Ketersediaan armada kapal pompong di perairan pulau Bengkalis th 2014 Ketersediaan Kapal Pompong No



Tipe kapal



1 2



3



6-10GT (Unit)



11-30GT (Unit)



>30G T (Unit)



1 GT (Unit)



2 GT (Unit)



3 GT (Unit)



4 GT (Unit)



5 GT (Unit)



Kapal pompong Nelayan



246



259



270



150



141



Kapal Pompong Barang



-



-



-



-



-



9



76



17



Kapal Pompong Penumpang



-



-



6



-



4



-



-



-



53



Sumber: Data dinas kelautan dan perikanan pemerintah kabupaten Bengkalis, 2014 Setelah dilakukan analisa ternyata kebanyakan penduduk di pulau bengkalis sebahagian besar berpropesi sebagai nelayan tradisional sehingga armada kapal pompong nelayan yang dimilikinya masih tergolong kecil dan memiliki daerah tangkapan yang disekitar pantai saja yaitu radius kurang dari 6 mill dari pinggiran pantai. Oleh sebab itu sesuai data pada tabel 4.1 yang didapatkan, kapal pompong nelayan 3 GT merupakan kapal terbanyak yang dimiliki oleh pengusaha di perairan pulau bengkalis tersebut.



6. SPESIFIKASI KAPAL POMPONG BERBAHAN PLASTIK HDPE DI PERAIRAN RIAU PESISIR



DASAR



Spesifikasi sebuah kapal merupakan bagian yang sangat penting saat ingin melakukan sebuah perancangan kapal. Spesifikasi dijadikan sebagai dasar data permintaan dalam sebuah proses perancangan kapal. Untuk menentukan spesifikasi kapal pompong yang akan di desain menggunakan bahan dasar plastik HDPE tersebut peneliti menggunakan 2 ketentuan dasar sebagai sarat mendapatkan spesifikasi yang cocok untuk di gunakan di perairan riau pesisir. Adapun 2 ketentuan tersebut adalah: a. Mengikuti spesifikasi kekuatan dari bahan plastik HDPE Berdasarkan Boat Indonesia dan sumber literatur lainnya yang ada kapal berbahan plastik HDPE ini cocok di gunakan kapal kecil. Adapun spesifikasi antara lain [5]: o Untuk kapal kecil dengan panjang kurang dari 24 m o Untuk kapal-kapal cepat, kapal patroli dan kapal penolong o Untuk semua jenis perairan o Dapat menggunakan mesin penggerak dalam atau menggunakan mesin tempel b. Mengikuti spesifikasi kapal yang memiliki market yang luas dan kapal tersebut sangat dibutuhkan masyarakat di perairan riau pesisir



Bidang Transportasi - 313



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Spesifikasi kapal pompong yang akan didesain menggunakan bahan dasar plastik HDPE ini sesuai dengan sarat-sarat spesifikasi kekeuatan bahan dan dicocokkan dengan kebutuhan dilapangan. Berikut ini kreteria spesifikasi yang didapatkan antara lain: o Kapal kecil dengan panjang di bawah 24 m o Kapal pompong yang dipilih yaitu kapal pompong nelayan 3 GT karena kapal tersebut paling banyak dan sangat dibutuhkan di perairan riau pesisir khususnya di pulau bengkalis o Kapal monohull dengan mesin penggerak dalam atau menggunakan diesel o Untuk dioprasikan di sungai, selat melaka dan selat bengkalis o Radius pelayaran kurang dari 12 mill Ukuran utama kapal pompong neleyan 3 GT di perairan riau pesisir memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda di karenakan pembuatan kapal berdasarkan pengalaman dan tidak memiliki perancangan dan perhitungan secara tertulis melainkan hanya menggunakan kebiasaan mereka masing-masing. Untuk itu gambar lines plan dan gambar rencana umumnya tidak ada. Dengan melihat dan mengukur beberapa contoh kapal pompong nelayan 3GT di perairan pulau bengkalis maka penulis memilih ukuran dan bentuk kapal secara acak dan didapatkan satu ukuran dan gambar bentuknya dari hasil pemotretan yang nantinya dapat dijadikan dalam membuat disain baru dengan menggunakan sofware maxsurf. Adapun ukuran utama kapal pompong nelayan yang dipilih dapat dilihat pada tabel 3 yang merupakan ukuran utama kapal pompong yang ada di perairan pulau bengkalis. Sedangkan gambar bentuk dari kapal tersebut dapat dilihat pada gambar 8 atau gambar rencana umumnya pada gambar 7 yang merupakan gambar pompong nelayan 3 GT di perairan pulau bengkalis bagian dari Riau pesisir.



PRINCIPAL DIMENSION



T



LOA



:



LWL



:



9,65 meter



BREADTH



:



2,20 meter



DRAFT



:



0,70 meter



HEIGHT



:



0,87 meter



ENGINE



:



1 x 5 HP



MATRIAL



:



HDPE



ABK



:



3 Orang



10,2 meter



T



T



FRONT VIEW



BACK VIEW



FISH STORAGE



T



STORAGE



PALKA JARING



FR.1



FR.2



FR.3



FR.4



FR.5



FR.6



FR.7



FR.8



FR.9



FR.10



FR.11



FR.12



FR.13



FR.14



FR.15



FR.16



FR.17



FR.18



FR.19



FR.20



FR.21



FR.22



FR.12



FR.13



FR.14



FR.15



FR.16



FR.17



FR.18



FR.19



FR.20



FR.21



FR.22



Frame Spacing : 500 mm



SIDE VIEW



ST GEAR



FISH STORAGE CREW ROOM



PANTRY



FR.1



FR.2



FR.3



FR.4



FR.5



FR.6



FR.7



FR.8



FR.9



FR.10



FR.11



Frame Spacing : 500 mm



MAIN DECK



Gambar 8: Rencana Umum Kapal Pompong



314 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 3: Ukuran Utama Kapal Type : Kapal Nelayan Kapasitas : 3 GT LOA : 10,2 meter LWL : 9,65 meter Breadth : 2,20 meter Draft : 0,70 meter Height : 1,87 meter Engine : 1 x 5 HP Radius : 12 mill Jumlah ABK : 3 orang



7. DESAIN KONTRUKSI PLASTIK HDPE



Gambar 8: Bentuk Kapal



KAPAL



POMPONG



BERBAHAN



Merancang Kontruksi Kapal Sesuai Desain Awal Kapal Pompong di Perairan Riau Pesisir Untuk menentukan struktur kapal pompong berbahan dasar plastik HDPE sesuai dengan desain yang ada di perairan Riau pesisir yaitu dengan menghitung beban beban yang bekerja pada kapal kemudian di cari modulus kekuatan kontruksinya yang digunakan untuk menetapkan ukuran struktur kapal tersebut. Perhitungan dilakukan sesui kreteria yang diberikan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Pada gambar 9 diperlihatkan gambaran struktur kapal yang di desain berdasarkan desain kapal pompong asli. CL 300



300



CL



300



300



600



300



300



FB 60x10 FB 50x10 seluruh dk girder dan tranver dk serupa



FB 50x10 seluruh dk girder dan tranver dk serupa



FB 50x10 seluruh frame dan long. btm girder serupa



FB 50x10 seluruh frame dan long. btm girder serupa



300



300



300



Frame 11 ukuran struktur main frame dan web frame serupa



300



300



300



Frame 13 ukuran struktur pada palkah



Gambar 9: Struktur melintang kapal pompong sesuai desain awal Namun pada kenyataan pembangunan menggunakan plastic HDPE memerlukan cetakan untuk pengecoran sehingga jika badan kapal memiliki bentuk yang rumit maka tidak akan mudah dalam pembuatan cetakannya. Merancang Kontruksi Kapal Sesuai Dengan Bentuk Yang Lebih Mudah Pada Saat Produksi Berbeda dengan bentuk aslinya, desain ini dibuat agar pembangunanya lebih mudah karena tidak memiliki bentuk yang serumit aslinya. Untuk perhitungan dan bentuk kontruksinya di desain sama dengan desain awal hanya saja bentuk lambungnya yang berbeda. Pada desain ini dianggap lebih efesian dari segi pembangunan dan bentuk strukturnya.



Bidang Transportasi - 315



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



CL 300



300



CL



300



300



600



300



300



FB 60x10 FB 50x10 seluruh dk girder dan tranver dk serupa



FB 50x10 seluruh dk girder dan tranver dk serupa



FB 50x10 seluruh frame dan long. btm girder serupa



FB 50x10 seluruh frame dan long. btm girder serupa 150



150



300



300



Frame 11 ukuran struktur main frame dan web frame serupa



300



300



Frame 13 ukuran struktur pada palkah



Gambar 10: Struktur melintang kapal pompong desain baru Pada gambar 10 di atas terlihat bahwa bentuk struktur kapal dibuat hamper sama dengan bentuk lambung kapal menggunakana fibreglass tetapi memiliki bentuk kontruksi yang berbeda.



8. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini yaitu: a. Material plastik HDPE dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kapal. b. Desain kapal pompong berbahan dasar plastik HDPE dibuat berbeda dengan kapal berbahan dasar fibreglass dari segi bentuk kontruksinya. c. Perhitungan kontrusi kapal belum diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia, tetapi harus tetap sesuai dengan kreteria-kreteria yang diberikan untuk perhitungan pada kapal fibreglass. d. Penelitian ini hanya sebatas desain awal sehingga untuk lebih membuktikan kebenarannya perlunya adanya pengujian bahan dan analisa kekuatan desain struktur.



9. DAFTAR PUSTAKA 1. Zarkasyi, I (2006) Pengaruh Keberadaan Tangkahan Terhadap Pengoperasian Pangkalan Pendaratan Ikan Bengkalis. Institut Pertanian Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 2. Nasoha, M (2014) Data Prasarana Penangkapan Ikan Kabupaten Bengkalis Tahun 2014. Pemerintah Kabupaten Bengkalis: Dinas Kelautan dan Perikanan 3. Nasution, P (2012) Analisis Konstruksi Kapal Perikanan Kurau di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Universitas Riau: Lembaga Penelitian Universitas Riau 4. Boat Indonesia (26/02/2014) Menciptakan Kapal Boat Seluruhnya Dari Plastik High Density Polyethylene (HDPE). Boatindonesia.com 5. Boat Indonesia (02/03/2014) Mengapa HDPE Boat Mempunyai Prospek Yang Bagus. Boatindonesia.com



316 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KABUPATEN BANYUWANGI Maria Carolina Lopulalan 1, Joni Hermana 2 dan Rachmat Boedisantoso 3 Mahasiswa Program Magister Teknik Lingkungan1 Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember1 [email protected] Dosen Jurusan Teknik Lingkungan2,3 Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember1 [email protected]



ABSTRAK Permasalahan terkait emisi GRK (Gas Rumah Kaca) terutama akibat gas karbon dioksida (CO2) menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi GRK sebesar 26% sampai tahun 2020. Hal ini diwujudkan dengan inventarisasi GRK yang dilakukan di Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi merupakan wilayah maritim di Jawa Timur dengan potensi perikanan terbesar sehingga digunakan sebagai acuan untuk wilayah perikanan. Salah satu sektor yang memiliki kontribusi GRK terbesar yaitu transportasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan nilai FES (Faktor Emisi Spesifik). Penentuan FES digunakan sebagai dasar untuk perhitungan emisi wilayah perikanan sejenis lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu survei dan perhitungan. Dasar perhitungan dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Perhitungan emisi menggunakan pendekatan dari konsumsi bahan bakar. Hasil dari perhitungan menunjukkan emisi yang dihasilkan dari sektor transportasi sebesar 545.718,19 ton CO2 pada tahun 2012. Nilai FES untuk transportasi yaitu 2,24 ton CO2/SMP kendaraan bensin, 8,55 ton CO2/SMP kendaraan solar, dan 3,18 ton CO2/SMP kendaraan. Hasil pemetaan emisi total menunjukkan emisi tertinggi berada di Kecamatan Muncar dan Banyuwangi. Untuk wilayah dengan emisi terendah yaitu Kecamatan Licin. Untuk mengurangi emisi tersebut diperlukan upaya mitigasi yang didukung berbagai pihak. Kata kunci: Banyuwangi, CO2, FES, GRK, Industri, Transportasi



1. PENDAHULUAN Permasalahan terkait peningkatan konsumsi energi, kendaraan bermotor, serta perubahan konstruksi kota berdampak pada degradasi kualitas lingkungan [1]. Aktivitas penggunaan energi oleh manusia menyumbang 67% emisi CO2 dan memperburuk kualitas udara [2,3]. Dampak dari emisi CO2 menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak dari pemanasan global yaitu terjadinya kenaikan muka air laut, perubahan garis pantai, penggenangan lahan, perubahan bentuk jalan dan peningkatan abrasi. Sedangkan efek dari perubahan iklim yaitu adanya badai, peningkatan curah hujan dan evapotranspirasi [4,5,6]. Dua sektor yang merupakan emitter (penghasil emisi) terbesar yaitu sektor transportasi dan industri. Sektor transportasi merupakan emitter terbesar yang didominasi oleh kendaraan darat sebesar 23% [7]. Peningkatan jumlah transportasi di Indonesia terlihat pada jumlah kendaraan bermotor mencapai 94.373.324. Jumlah tersebut terdiri atas mobil penumpang, bis, truk, dan sepeda motor [8]. Jumlah yang signifikan ini merupakan salah satu kontributor dalam pencemaran udara karena mengemisikan gas karbon dioksida (CO2), emisi VOC (Volatile Organic Compounds), NOx dan SO2 [9].



Bidang Transportasi - 317



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Indonesia mendukung dalam upaya untuk mengurangi pemanasan global dengan mengusulkan untuk mengurangi GRK. Komitmen ini diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Selain itu, diterbitkan pula Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Penurunan GRK direncanakan turun sampai 26% sampai tahun 2020 dan bisa mencapai 41% apabila mendapat bantuan dana dari luar [10]. Langkah pertama yang diambil yaitu inventarisasi, untuk mengetahui sumber - sumber emisi dan potensi emisi dari masing-masing wilayah di Indonesia. Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu wilayah perikanan terbesar di Indonesia Hal ini dikarenakan letak geografis, Kabupaten Banyuwangi memiliki garis pantai terpanjang yang membujur dari Selat Bali hingga Samudera Indonesia sebesar 175 km. Selain itu, potensi perikanan terlihat dari banyaknya industri perikanan yang ada [11,12]. Pendekatan untuk menentukan emisi CO2 berdasarkan berdasarkan panduan dari IPCC. Panduan tersebut menunjukkan bahwa untuk menghitung beban emisi yaitu dengan mengalikan faktor emisi dengan level aktivitas. Faktor emisi menyatakan emisi untuk masing-masing unit berdasarkan pada bahan bakar. Setelah dilakukan inventarisasi, maka dapat dilakukan estimasi tapak karbon. Tapak karbon merupakan ukuran yang menyatakan jumlah total CO2 yang disebabkan oleh aktivitas manusia baik emisi langsung maupun tidak langsung [13]. Sedangkan FES merupakan faktor emisi yang spesifik merujuk pada besarnya CO2 per satu unit tertentu. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai FES yang digunakan sebagai acuan bagi daerah dengan wilayah sejenis untuk menghitung jumlah emisi CO2. Dengan diketahui emisi CO2 di masingmasing daerah memudahkan untuk melakukan RAN penurunan GRK nasional dan penulisan BUR (Biennial Update Report) yang diserahkan kepada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) untuk mendapatkan dana bantuan dari negara maju.



2. METODE PENELITIAN Kebutuhan Data Pengambilan data dilakukan dibeberapa dinas Kabupaten Banyuwangi yaitu: 1. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika 2. Badan Pusat Statistik (BPS) 3. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Data sekunder dari sektor transportasi berupa jumlah kendaraan bermotor dan jumlah konsumsi bahan bakar. Data primer didapatkan dengan melakukan verifikasi data konsumsi bahan bakar ke SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Perhitungan Emisi Perhitungan emisi CO2 mengacu pada panduan yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Panduan tersebut mengadopsi dari IPCC [10]. Metode pengukuran emisi dari IPCC lebih fleksibel dibanding metode perhitungan emisi yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan data, jenis teknologi kendaraan, dan jenis kendaraan khusus pada sektor transportasi [14].



318 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Emisi GRK = KE x FE x Nilai Kalor ........................................................................ (1) Dimana : KE = Konsumsi Energi (TJ/th) FE = Faktor Emisi (kg/TJ) NK = Nilai Kalor (TJ/sat.fisik) Nilai kalor bahan bakar di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Sehingga untuk memasukkan data konsumsi energi harus disesuaikan dengan nilai kalor yang ada sesuai [10] pada Tabel 1 berikut: Tabel 1: Nilai Kalor Bahan Bakar Indonesia Bahan Bakar Nilai Kalor Premium 33 x 10-6 TJ/liter Solar (HSD, ADO) 36 x 10-6 TJ/liter Minyak diesel (IDO) 38 x 10-6 TJ/liter MFO 40 x 10-6 TJ/liter 4,04 x 10-2 TJ/ton Gas Bumi 1,055 x 10-6 TJ/SCF 38,5 x 10-6 TJ/Nm3 LPG 47,3 x 10-6 TJ/kg Batubara 18,9 x 10-3 TJ/ton Dalam perhitungan emisi terdapat tingkatan berdasarkan ketelitiannya yang disebut Tier [15]. Ada 3 Tier yang berurutan berdasarkan ketelitiannya. Tier 1 menggunakan faktor emisi default yang berasal dari IPCC. Tier 2 menggunakan data aktivitas yang lebih akurat dan faktor emisi default. Sedangkan Tier 3 merupakan metode yang komprehensif dari IPCC dengan data aktivitas melalui pengukuran langsung dan faktor emisi dari referensi. Untuk Tier 1, faktor emisi yang digunakan seperti ditunjukkan pada Tabel 2 [10] : Tabel 2 : Faktor Emisi CO2 default IPCC Tipe Bahan Bakar Default (kg/TJ) Premium 69.300 Gas/Diesel Oil 74.100 LPG 63.100 Kerosene 71.900 Compressed Natural Gas 56.100 LNG 56.100 Penentuan FES sektor transportasi didasarkan pada konsumsi bahan bakar dan jumlah kendaraan. Data jumlah kendaraan dikonversi dalam bentuk satuan mobil penumpang (SMP) [16]. Hal ini akan mempermudah dalam penentuan FES dikarenakan data konsumsi bahan bakar tiap jenis kendaraan tidak tersedia. Persamaan tersebut yaitu: n = m x FK ................................................................................................................ (2) dimana: n = jumlah kendaraan (SMP/jam atau SMP/jenis jalan) m = jumlah kendaraan (kendaraan/jam atau kendaraan/jenis jalan)



Bidang Transportasi - 319



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean FK = Faktor Konversi (SMP/kendaraan) Tabel 3 : Nilai Konversi Jenis Kendaraan Kendaraan ringan Kendaraan berat Sepeda Motor



SMP 1,00 1,2 0,25



Dari pendekatan bahan bakar diperlukan data konsumsi bahan bakar dan jumlah kendaraan. Data konsumsi bahan bakar ini digunakan untuk menentukan emisi CO2. Data jumlah kendaraan digunakan sebagai pembagi untuk mengetahui berapa besar emisi yang dihasilkan dari tiap jenis kendaraan. FES =



............................................................................................. (2)



Dimana: Emisi CO2 Jumlah kendaraan



= emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar = jumlah kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar



Estimasi Tapak Karbon Penentuan estimasi tapak karbon menggunakan hasil perhitungan emisi tiap kecamatan. Hasil perhitungan emisi tersebut digambarkan dalam bentuk peta dengan range warna yang menunjukkan nilai emisi. Pemetaan tapak karbon menggunakan program AutoCAD. Pemetaan ini menggambarkan emisi berdasarkan konsumsi bahan bakar dan jumlah kendaraan tiap kecamatan. Perhitungan range menggunakan persamaan sebagai berikut: Range = ........................................................................................ (3) Dimana : Nilai maksimal = nilai emisi tertinggi Nilai minimal = nilai emisi terendah n = jumlah range warna yang diinginkan



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Bakar Konsumsi bahan bakar dari penggunaan sektor transportasi ditunjukkan pada Tabel 4 sebagai berikut : Tabel 4 : Konsumsi Bahan Bakar Konsumsi Total Konsumsi Bahan Bakar (Liter/tahun) (Liter/tahun) Premium Subsidi 142.920.000 143.304.000 Pertamax 384.000 Solar subsidi 81.720.000 81.720.000 Dari data diatas dilakukan perhitungan emisi CO2 sesuai Persamaan (3) dengan dua bahan bakar yang berbeda. Berikut perhitungan yang dimaksud yaitu:



320 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 a. Emisi CO2 bahan bakar bensin (kg/th) = KE x FE x NK



Emisi CO2 = 143.304.000 liter/tahun x (33 x 10-6 TJ/liter) x 69.300 (kg CO2/TJ) = 327.721.917,6 kg CO2/tahun = 327.721,92 ton CO2/tahun b. Emisi CO2 bahan bakar solar (kg/th) = KE x FE x NK Emisi CO2 = 81.720.000 liter/tahun x (36 x 10-6 TJ/liter) x 74.100 (kg CO2/TJ) = 217.996.272 kg CO2/tahun = 217.996,272 ton CO2/tahun c. Emisi Total = Emisi dari bensin + emisi dari solar = 327.721,92 + 217.996,27 ton CO2 = 545.718,19 ton CO2 Dari hasil perhitungan didapatkan total emisi dari kegiatan transportasi ditinjau dari konsumsi bahan bakar sebesar 545.718,19 ton CO2. Nilai emisi tersebut terjadi pada tahun 2012 di Kabupaten Banyuwangi. Data konsumsi bahan bakar diambil dari TBBM Tanjung Wangi yang disesuaikan dengan data jumlah kendaraan yang tersedia pada tahun 2012. Jumlah Kendaraan Kegiatan transportasi di kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatan tiap tahunnya. Kendaraan didominasi oleh sepeda motor dan station wagon. Kendaraan tersebut merupakan kendaraan pribadi. Tabel 5 menunjukkan bahwa kecenderungan jumlah kendaraan meningkat setiap tahunnya. Jumlah sepeda motor meningkat secara signifikan 457.944 menjadi 587.396 dari tahun 2011 sampai 2013. Peningkatan selama tiga tahun terakhir senilai 28,3%. Tabel 5: Jumlah Kendaraan Berdasarkan Bahan Bakar Bahan Jenis Kendaraan Bakar Sepeda Motor Roda tiga Bensin Mobil Penumpang Umum Mobil Penumpang Pribadi Bus Besar Umum Bus Besar Pribadi Solar Bus Kecil Umum Bus Kecil Pribadi Mobil Penumpang Pribadi Alat berat Solar Truk Besar Truk Kecil



2011



2012



2013



457.944 526.290 587.396 1.477 1.477 1.477 150 134 173 13.373 14.260 16.660 206 225 267 22 24 28 38 42 44 5 6 8 6.130 6.661 7.138 15 15 21 6.954 9.816 7.318 6.360 6.698 7.112



Tahun data untuk perhitungan konversi kendaraan adalah tahun 2012 disesuaikan dengan tahun data konsumsi bahan bakar. Perhitungan dilakukan dengan mengalikan jumlah kendaraan dengan faktor konversi pada Tabel 3.



Bidang Transportasi - 321



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 6 : Perhitungan Konversi Kendaraan Bahan Jumlah Jenis Kendaraan Bakar Kendaraan Sepeda Motor 526.290 Roda tiga 1.477 Bensin 134 Mobil Penumpang Umum Mobil Penumpang Pribadi 14.260 225 Bus Besar Umum 24 Bus Besar Pribadi Solar 42 Bus Kecil Umum 6 Bus Kecil Pribadi Mobil Penumpang Pribadi 6.661 15 Alat berat Solar 9.816 Truk Besar 6.698 Truk Kecil



Konversi SMP SMP 0,25 131572,5 0,25 369,25 1 134 1 14260 1,2 270 1,2 28,8 1 42 1 6 1 6661 1,2 18 1,2 11779,2 1 6698



Dari hasil perhitungan didapatkan nilai SMP kendaraan solar dan bensin. Penggunaan kendaraan bensin sebesar 146.335,8 SMP dan solar 25.503 SMP. Nilai kendaraan solar sedikit karena penggunaan kendaraan solar untuk kendaraan besar seperti bus dan truk. Nilai total SMP baik kendaraan solar dan bensin sebesar 171.838,8 SMP. Perhitungan Emisi dan FES Dari Sektor Transportasi Dari hasil emisi bahan bakar dan konversi kendaraan dilakukan perhitungan FES sebagai berikut: a. Nilai FES bahan bakar bensin = emisi CO2  nilai SMP kendaraan = 327.721,9176  146.335,8 = 2,24 ton CO2/SMP kendaraan bensin b. Nilai FES bahan bakar solar = emisi CO2  nilai SMP kendaraan = 217.996,27  25.503 = 8,55 ton CO2/SMP kendaraan solar c. Nilai FES tanpa pertimbangan bahan bakar = emisi CO2 total  total SMP = 545718,1896  171.838,8 = 3,18 ton CO2/SMP kendaraan Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai FES 2,24 ton CO2/SMP kendaraan bensin, 8,55 ton CO2/SMP kendaraan solar dan 3,18 ton CO2/SMP kendaraan. Estimasi Tapak Karbon Tapak karbon pada penelitian ini merupakan tapak karbon primer. Tapak karbon primer merupakan jejak karbon yang dihasilkan secara langsung oleh suatu aktivitas. Aktivitas tersebut antara lain pembakaran bahan bakar fosil, proses pembakaran dan degradasi material. Penelitian ini melakukan estimasi tapak karbon berdasarkan aktivitas penggunaan bahan bakar fosil. Dari hasil perhitungan dengan langkah yang sama pada



322 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 sub bab 3.1 sampai 3.3 didapatkan hasil emisi tiap kecamatan pada Tabel 7 sebagai berikut: Tabel 7: Emisi Tiap Kecamatan Emisi (ton Emisi (ton No Kecamatan No Kecamatan CO2) CO2) 1 Licin 6.903,9 13 Gambiran 15.955,0 2 Giri 9.046,2 14 Cluring 16.088,6 3 Tegalsari 10.222,6 15 Purwoharjo 17.229,9 4 Glagah 10.834,7 16 Kalibaru 17.269,0 5 Pesanggaran 11.693,9 17 Sempu 18.156,1 6 Siliragung 12.797,9 18 Genteng 21.792,0 7 Singojuruh 12.990,0 19 Wongsorejo 24.536,1 8 Songgon 13.026,9 20 Rogojampi 27.185,3 9 Glenmore 14.839,2 21 Kalipuro 28.083,9 10 Bangorejo 15.450,5 22 Srono 28.720,0 11 Kabat 15.507,5 23 Banyuwangi 42.931,8 12 Tegaldlimo 15.952,0 24 Muncar 48.600,3 Dari Tabel 7 dapat diketahui emisi tertinggi sebesar 48.600,3 ton CO2 dan terendah 6.903,9 ton CO2. Nilai emisi tertinggi dan terbesar dijadikan acuan untuk perhitungan range emisi sesuai Persamaan 3. Hasil perhitungan menunjukkan range peta sebesar 8339,29 ton CO2 untuk masing – masing batas. Range untuk pemetaan berdasarkan hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 8 sebagai berikut: Tabel 8 : Range Peta Sektor Transportasi Range 1 8339,296 16679,593 25019,889 33360,186 > 41700



Warna 8339,296 16678,59 25018,89 33359,19 41699,48



Hasil range di atas disesuaikan dengan jumlah emisi di masing-masing kecamatan dan digambarkan sesuai Gambar 1 sebagai berikut :



Bidang Transportasi - 323



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 1: Peta Emisi CO2 Berdasarkan pemetaan yang dilakukan menunjukkan hasil Kecamatan Muncar dan Banyuwangi memiliki emisi tertinggi di wilayah transportasi. Hal ini dikarenakan 2 kecamatan tersebut merupakan pusat kota dan industri. Oleh karena itu, jumlah kendaraannya meningkat. Selain itu, kedua kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat. Karakteristik kedua wilayah tersebut menyerap banyak tenaga kerja. Aplikasi FES Nilai FES yang sudah didapatkan dapat diaplikasikan untuk melihat emisi CO2 berdasarkan jumlah kendaraan. Berdasarkan Tabel 5, data jumlah kendaraan dihitung menggunakan FES dan didapatkan jumlah total emisi selama 3 tahun terakhir pada Tabel 9 sebagai berikut: Tabel 9 : Tabel Hasil Perhitungan Emisi Tahun Total Emisi (ton CO2/tahun) 2011 468.459 2012 545.718,2 2013 567.953,1 Peningkatan selama 3 tahun terakhir senilai 17,5%. Peningkatan jumlah kendaraan ini didominasi oleh kendaraan roda dua dan mobil penumpang. Berdasarkan Gambar 2 dihasilkan nilai R mendekati 1 sehingga dapat disimpulkan model menggambarkan hasil yang bagus atau valid. Dari data diatas didapatkan bahwa variabel tahun mampu menjelaskan variabilitas emisi sebesar 95%.



324 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



700,000 600,000



y = 49747x - 1E+08 R² = 0.9075



Emisi



500,000 400,000 300,000



Total Emisi (ton CO2/tahun)



200,000



Linear (Total Emisi (ton CO2/tahun))



100,000 0 2010.5 2011 2011.5 2012 2012.5 2013 2013.5 Tahun



Gambar 2: Emisi CO2 Tahun 2011 – 2013 Upaya Mitigasi Mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi emisi atau meningkatkan serapan emisi untuk membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Ada tiga langkah untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi yaitu : 1. Menghindari Membatasi perjalanan dengan kendaraan bermotor pribadi. Karena kendaraan pribadi yang meningkat diperlukan manajemen parkir yang baik untuk menekan peningkatan jumlah kendaraan pribadi. Untuk rute dekat, Pemerintah mengupayakan untuk membangun pedestrian dan jalur sepeda. Selain itu, upaya untuk pengadaan sistem BRT (Bus Rapid Transit) di seluruh wilayah, namun untuk pilot project baru diadakan di kota besar. 2. Mengganti Mengganti dengan bahan bakar ramah lingkungan. Indonesia sedang melakukan konversi bahan bakar minyak (BBM) menuju bahan bakar gas (BBG). Untuk perubahan ini pertama diutamakan untuk kendaraan dengan bahan bakar solar. 3. Meningkatkan Meningkatkan efisiensi energi dari sektor transpotasi dan teknologi kendaraan bermotor sehingga emisi yang dihasilkan lebih rendah. Pembahasan Dari hasil perhitungan didapatkan 3 nilai FES dengan berdasarkan bahan bakar dan tanpa pertimbangan bahan bakar. Nilai FES kendaraan bahan bakar solar memiliki perbedaan yang jauh dengan FES kendaraan bensin dan FES untuk kendaraan tanpa pertimbangan bahan bakar. Nilai FES solar jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan jumlah kendaran solar lebih sedikit dibanding konumsi total solar. Berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Banyuwangi berupa wilayah pesisir dan perikanan maka terdapat konsumsi solar untuk perahu dan kapal nelayan. Konsumsi solar untuk kapal di Kabupaten Banyuwangi tidak dibedakan oleh TBBM Pertamina Tanjung Wangi. Oleh karena itu, nilai konsumsi solar tinggi.



Bidang Transportasi - 325



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Berdasarkan penelitian Kusuma et al (2011), emisi sepeda motor merupakan emitter karbon terbanyak. Di Kabupaten Banyuwangi, jumlah kendaraan roda dua dan pribadi merupakan kendaraan terbanyak. Emisi total yang dihasilkan mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir dikarenakan peningkatan jumlah kendaraan. Berdasarkan penelitian Yusratika et al (2011), Jakarta menunjukkan tren yang sama bahwa kendaraan yang didominasi kendaraan pribadi. Sehingga dapat diketahui bahwa kategori kota sedang seperti Banyuwangi juga memiliki pola hidup masyarakat yang sama. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk menekan jumlah kendaraan pribadi yang semakin meningkat.



4. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu : 1. Nilai FES Alternatif 1 yaitu 2,24 ton CO2/SMP kendaraan bensin, 8,55 ton CO2/SMP kendaraan solar dan 3,18 ton CO2/SMP. 2. Hasil pemetaan tapak karbon menunjukkan Kecamatan Muncar dan Banyuwangi merupakan dua kecamatan dengan emisi tertinggi. Sedangkan emisi terendah berada di Kecamatan Licin. 3. Karakteristik wilayah pesisir dan perikanan di Kabupaten Banyuwangi mempengaruhi jumlah konsumsi solar karena untuk memenuhi kebutuhan perahu dan kapal nelayan.



5. PENGHARGAAN Penulis menyampaikan terimakasih kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Perguruan Tinggi melalui Program Beasiswa Freshgraduate dan LPPM ITS yang sudah mendanai penelitian PUPT 2014.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Chen, Bingheng., Chuanjie Hong, dan Haidong Kan.2004. Exposures And Health Outcomes From Outdoor Air Pollutants In China. Toxicology 198 (2004) 291–300 2. Schulz, N.B.2010.Delving Into The Carbon Footprints Of Singapore—Comparing Direct And Indirect Greenhouse Gas Emissions Of A Small And Open Economic System. Energi Policy 38 (2010) 4848–4855 3. Satterthwaite, D., 2008. Cities‘ Contribution To Global Warming: Notes On The Allocation Of Greenhouse Gas Emissions. Environment and Urbanization 20 (2), 539–549. 4. Clement, Ami C, Andrew C.Baker, dan Julie Leloup. 2010. Climate Change : Patterns of Tropical Warming. Nature Geoscience, 3(2010) page 8-9. 5. Darwin, Roy. 2004. Effects of Greenhouse Gas Emissions on World Agriculture, Food Consumption, and Economic Welfare. Journal of Climate Change , 66(2004) page 191-238. 6. Yanto, S.2011.Kajian Tapak Karbon Sekunder dari Kegiatan Akademik di ITS Surabaya. Surabaya : ITS 7. Youngguk, S., Kim S.2013. Estimation of greenhouse gas emissions from road traffic: A case study in Korea. Renewable and Sustainable Energi Reviews 28 (2013) 777–787.



326 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 8. Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17¬ab=12 diunduh tanggal 5 Juni 2014 pukul 16.18 9. Kusminingrum, N., & G. Gunawan. 2008. Polusi Udara Akibat Aktivitas Kendaraan Bermotor di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali. Pusat Litbang Jalan dan Jembatan 10. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH).2012a. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum. Jakarta: KLH. 11. Badan Lingkungan Hidup (BLH).2014. Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banyuwangi. 12. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Banyuwangi.2012.RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Banyuwangi 2012-2032. Banyuwangi : Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi. 13. Dong, H., Yong G., Fengming X., Tsuyoshi F. 2013. Carbon Footprint Evaluation At Industrial Park Level: A Hybrid Life Cycle Assessment Approach. Energi Policy 57 (2013) 298–307 14. Dharmowijoyo, D., Tamin, O.2010. Pemilihan Metode Perhitungan Pengurangan Emisi Karbon Dioksida di Sektor Transportasi. Jurnal Transportasi Vol. 10 No. 3 Desember 2010: 245-252 15. Shen, L., Tianming G., Jianan Zhao., Limao W., Lan W., Litao L., Fengnan C., Jingjing X.2014. Factory Level Measurements on CO2 Emission Factors Of Cement Production in China. Renewable And Sustainable Energi Reviews 34 (2014) 337 – 349 16. Sihotang, S., Abdu F.2010. Pemetaan Distribusi Konsentrasi Karbon Dioksida (CO2) Dari Kontribusi Kendaraan bermotor di Kampus ITS Surabaya. Surabaya : ITS



Bidang Transportasi - 327



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



328 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



MODEL PERTUMBUHAN DAN PERBANDINGAN MODEL PREDIKSI PENDUDUK KOTA SURABAYA PERIODE TAHUN 1994 - 2013 Muhammad Shofwan Donny Cahyono1 dan Hitapriya Suprayitno2 1



Muhammad Shofwan Donny Cahyono, Alumni, Jurusan Teknik Sipil ITS, [email protected] Hitapriya Suprayitno, Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil ITS, [email protected]



2



ABSTRAK Perencanaan transportasi, sebagai perencanaan kebutuhan prasarana dan layanan transportasi untuk keberadaan suatu wilayah merupakan faktor penting dalam keberlangsungan dan pertumbuhan wilayah. Perencanaan transportasi wilayah membutuhkan perhitungan prediksi jumlah penduduk pada tahun perencanaan. Model yang biasa digunakan untuk keperluan prediksi ini adalah model regresi, dengan data serial yang cukup pendek. Maka perlu dievaluasi apakah hasil prediksi sesuai dengan data nyata. Model pertumbuhan dan perbandingan model prediksi penduduk kota Surabaya ini disusun untuk mencari bentuk model pertumbuhan pola perkembangan populasi Kota Surabaya yang paling tepat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data serial 20 tahun dari tahun 1994 sampai tahun 2013. Empat buah model : linier, eksponensial, pangkat dan polinomial kuadrat telah dicoba. Hasil Keempat model tersebut untuk prediksi perbandingan rumusan regresi linier dengan nilai R 2 0,930 sangat tepat untuk prediksi pertumbuhan populasi jangka pendek 5 tahun sedangkan rumusan regresi eksponensial dengan nilai R2 0,928 sangat tepat untuk prediksi jangka panjang 10 tahun sampai 20 tahun. Kata Kunci : model pertumbuhan, prediksi jumlah penduduk, Kota Surabaya.



1. PENDAHULUAN Perencanaan transportasi wilayah sangat penting bagi kehidupan perkembangan wilayah. Perencanaan transportasi selalu membutuhkan prediksi populasi, dalam banyak kasus prediksi perkembangan wilayah dihitung berdasarkan perkembangan data serial jumlah penduduk dan data serial PDRB. Sebagai kasus dalam penelitian ini Kota Surabaya sebagai kota perdagangan dan jasa perkembangan populasi semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya pertumbuhan penduduk. Perencanaan transportasi sebagai prasarana jaringan dasar dari keberadaan suatu kota atau wilayah merupakan faktor penting dalam keberlangsungan dan pertumbuhan kota atau wilayah. Sebagian besar memperhitungkan prediksi peningkatan pertumbuhan penduduk, yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, biasa dilakukan dengan menggunakan model regresi. Model regresi biasa disusun berdasarkan suatu data serial jumlah populasi dengan data sangat terbatas terdiri dari 5 tahun terakhir. Model ini dipakai untuk memprediksi jumlah penduduk 10 sampai 20 tahun kedepan. Dengan memprediksi berdasar data yang terbatas, kemungkinan besar tidak tepat dalam memprediksi pola perkembangan jumlah penduduk. Dengan regresi R2 yang baik tidak menutup kemungkinan hasil nilai selisih data analisis dengan data real prosentase kecil. Bentuk pola perkembangan populasi 5 tahun bisa sangat berbeda dengan pola bentuk data populasi 15 sampai 25 tahun. Dengan demikian kemungkinan bentuk model yang kurang tepat menjadi cukup besar. Pemilihan model pertumbuhan prediksi seharusnya disesuaikan dengan bentuk pola matematis perkembangan jangka panjang populasi yang



Bidang Transportasi - 329



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean ditinjau. Bentuk pola perkembangan penduduk dalam jangka panjang bisa dipastikan maka penetapan bentuk model prediksi menjadi lebih mudah. Penelitian ini ditunjukan untuk mencari bentuk model pertumbuhan pola perkembangan populasi Kota Surabaya yang paling tepat, Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian terdahulu ―Model Matematis Perkembangan Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Timur kurun waktu tahun 1985 - 2003‖.



2. KAJIAN PUSTAKA Pengertian Prediksi Prediksi adalah suatu proses memperkirakan secara sistematis tentang sesuatu yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan informasi masa lalu dan sekarang dimiliki, agar kesalahan selisih antara sesuatu yang terjadi dengan hasil perkiraan dapat diperkecil. Dalam perencanaan transportasi, prakiraan yang diperlukan adalah prakiraan nilai jumlah penduduk dan niai PDRB. Kedua data ini bersifat sebagai data serial. Data tipe serial, berdasarkan bentuk variasi nilainya secara serial, secara umum dikasifikasikan kedalam empat golongan besar data. Keempat tipe tersebut adalah data berpola horizontal, data berpola tren, data berpola musiman dan data berpola siklik. Prediksi Populasi Perencanaan transportasi dilakukan untuk jamgka waktu perencanaan yang cukup panjang 10 tahun sampai 20 tahun. Trasnportasi direncanakan dan dirancang untuk bisa berfungsi sesuai dengan beban fungsi yang harus diterima selama tahun perencanaan. Beban fungsi ini terkait dengan jumlah populasi wilayah layaanan transportasi. Oleh karena itu didalam perencaanaan transportasi mengandung unsure prakiraan populasi untuk tahun perencanaan. Model Prediksi Populasi Model matematis untuk prediksi populasi wilayah dengan menggunakan model regresi linier, model regresi eksponensial, model regresi pangkat, model regresi polinomial pangkat dua. Keempat model dibandingkan model yang terbaik sebagai model terpilih.



3. DATA PERKEMBANGAN POPULASI KOTA SURABAYA Jangka waktu Data Jumlah Penduduk Data yang bisa dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data populasi jumlah penduduk dari tahun 1994 – tahun 2013. Dengan demikian rentang pengamatan adalah 20 tahun. Rentang waktu ini bisa dikatakan sudah cukup panjang. Data Jumlah Penduduk Data jumlah penduduk pengamatan didapatkan dari Badan Pusat Statistik. Kota Surabaya. Data yang bisa didapatkan disampaikan pada Tabel 1. Data perkembangan jumlah penduduk Kota Surabaya sebagai berikut :



330 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Tabel 1 : Data Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Surabaya Jumlah Penduduk Jiwa 1 1994 2,306,474 2 1995 2,339,335 3 1996 2,344,520 4 1997 2,356,486 5 1998 2,373,282 6 1999 2,405,946 7 2000 2,444,976 8 2001 2,568,352 9 2002 2,529,468 10 2003 2,659,566 Sumber : BPS Kota Surabaya No



Tahun



No



Tahun



11 12 13 14 15 16 17 18 19 20



2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013



Jumlah Penduduk Jiwa 2,691,666 2,740,490 2,784,196 2,829,552 2,902,507 2,938,225 2,929,528 3,024,319 3,125,576 3,200,454



Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Surabaya Data Jumlah Penduduk kemudian diplot dalam bentuk grafik, untuk melihat bentuk pola perkembangan yang terjadi. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk menunjukkan pola kenaikan yang konsisten. Jumlah pertambahan penduduk pertahun tidak sesalu sama. Grafik Perkembangan jumlah penduduk disampaikan pada gambar 1. – Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Surabaya.



Gambar 1. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Surabaya



4. MODEL PREDIKSI POPULASI Tipe Model Prediksi Pada penelitian akan dicoba beberapa model prediksi regresi. Model dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat keakuratan model, kesesuaian dengan wacana bentuk model yang



Bidang Transportasi - 331



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean beredar, serta tingkat keseringan dalam pemakaian model dalam perhitungan prediksi populasi. Peenelitian ini melakukan percobaan terhadap empat model : menggunakan model regresi linier, model regresi eksponensial, model regresi pangkat, model regresi polynomial pangkat dua. Model Regresi Linier Model pertama yang dicoba dalam penelitian ini adalah model regresi linier. Model ini dipilih dalam penelitian karena bnyak sekali digunakan sebagai model perdiksi umlah populasi suatu wilayah. Model pertama ini merupakan sebuah model yang sederhana dan hasil analisa statistik menempatkan sebagai model yang cukup tepat. Hasil analisa dengan model regresi linier dengan rumusan persamaan: Y = 47457x -9E+07 dengan R2 = 0,975 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X= Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi linear dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 2. Grafik Regresi Linier



Gambar 2. Grafik Regresi Linier Model Regresi Eksponensial Model kedua yang dicoba dalam penelitian ini adalah model regresi eksponensial. Model eksponesial adalah model yang paling tepat untuk mempresentasikan pola perkembangan jumlah penduduk disuatu wilayah. Hasil analisa dengan model regresi eksponensial dengan rumusan persamaan : Y = 1E-09e0.017x dengan R2 = 0,981 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi eksponensial dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 3. Grafik Regresi eksponensial



332 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 3. Grafik Regresi Eksponensial Model Regresi Pangkat Model ketiga yang dicoba dalam penelitian ini adalah model regresi pangkat yang mempunyai kemiripan bentuk dengan model eksponensial. Hasil analisa dengan model regresi pangkat/power dengan rumusan persamaan: Y = 3E-11x15.41 dengan R2 = 0,981 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi pangkat dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 4. Grafik Regresi pangkat



Gambar 4. Grafik Regresi Pangkat



Bidang Transportasi - 333



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Model Regresi Polinomial Pangkat Dua Model keempat yang dicoba dalam penelitian ini adalah model regresi polynomial pangkat dua. Model ini kadang – kadang ditemui dalam usaha – usaha prediksi jumlah penduduk Hasil analisa dengan model regresi polinomial dengan rumusan persamaan: Y = 1019x2 – 4E+06x + 4E+09 dengan R2 = 0,987 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi polynomial dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 5. Grafik Regresi Polinomial Pangkat Dua



Gambar 5. Grafik Regresi Polinomial Pangkat Dua Tabel 2 : Perbandingan Model Regresi Fungsi Linier, Eksponensial, Pangkat dan Polinomial Fungsi Linear



Exponential



Pangkat



Polynomial Pangkat Dua



Persamaan



Y = 47457x - 9E+07



Y= 1E-09e0.017x



Y = 3E-11x35.41



Y = 1019.x2 - 4E+06x + 4E+09



R2



0.975



0.981



0.981



0.981



5. ANALISA PREDIKSI PERKEMBANGAN Data jumlah penduduk di ambil 5 tahun untuk prediksi didapatkan dari Badan Pusat Statistik. Kota Surabaya. Data yang bisa didapatkan disampaikan pada Tabel 3. Data perkembangan jumlah penduduk Kota Surabaya 5 tahun sebagai berikut :



334 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 3 : Data Populasi 5 Tahun Jumlah Penduduk No Tahun Jiwa 1 1994 2,306,474 2 1995 2,339,335 3 1996 2,344,520 4 1997 2,356,486 5 1998 2,373,282 Sumber : BPS Kota Surabaya Data Jumlah Penduduk kemudian diplot dalam bentuk grafik, untuk melihat bentuk pola perkembangan yang terjadi. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk menunjukkan pola kenaikan yang konsisten. Jumlah pertambahan penduduk pertahun tidak sesalu sama. Grafik Perkembangan jumlah penduduk disampaikan pada gambar 6. – Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Surabaya 5 Tahun.



Gambar 6. Model Regresi Linier Hasil analisa dengan model regresi linier dengan rumusan persamaan : Y = 15077x -3E+07 dengan R2 = 0,930 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi linear dalam bentuk grafis di sampaikanpada gambar 7. Grafik Regresi Linier.



Bidang Transportasi - 335



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 7. Grafik Fungsi Linier Model Regresi Eksponensial Hasil analisa dengan model regresi eksponensial dengan rumusan persamaan : Y = 6.11406e0.00644x dengan R2 = 0,928 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi eksponensial dalam bentuk grafis dsampaikan pada gambar 8. Grafik Regresi eksponensial Gambar 6. Grafik Populasi Penduduk Kota Surabaya 5 Tahun



Gambar 8. Grafik Regresi Eksponensial Model Regresi Pangkat Hasil analisa dengan model regresi pangkat dengan rumusan persamaan: Y = 9E-37x12.87 dengan R2 = 0,928 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi pangkat dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 9. Grafik Regresi pangkat



336 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 9. Grafik Regresi Pangkat Model Regresi Polinomial Pangkat Dua Hasil analisa dengan model regresi polinomial pangkat dua dengan rumusan persamaan: Y = -1810x2 – 7E+06x - 7E+09 dengan R2 = 0,949 Dimana : Y = Populasi pada tahun ke x X = Tahun prediksi Hasil perhitungan rumusan persamaan regresi polynomial dalam bentuk grafis di sampaikan pada gambar 10. Grafik Regresi Polinomial



Gambar 10. Grafik Regresi Polinomial Pangkat Dua



6. HASIL ANALISA Rangkuman hasil analisa pemodelan prediksi bahwa keempat model yang disusun mempunyai nilai ketepatan yang sangat tinggi. Hasil rumusan seluruh model kemudian dibandingkan selisih angka dan selisih prosentase dengan data populasi nyata sebagai berikut:



Bidang Transportasi - 337



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 4: Perbandingan Model Regresi Fungsi Linier, Eksponensial, Pangkat dan Polinomial Fungsi Linier



Eksponensial



Pangkat



Persamaan



Y = 15077x - 3E+07



Y = 6.11406e0.00644x



Y = 9E-37x12.85



R2



0.930



0.928



0.928



Linier Eksponensial Pangkat Polinomial Data Populasi



Tahun Ke-5 2003 2,449,556 2,445,869 2,403,492 2,375,908 2,659,566



Tahun Ke-10 2008 2,524,940 2,525,907 2,481,739 2,279,337 2,902,507



Tahun Ke-15 2013 2,600,323 2,608,565 2,562,330 2,092,235 3,200,454



Selisih Angka Linier Eksponensial Pangkat Polinomial



Tahun Ke-5 210,010 213,697 256,074 283,658



Tahun Ke-10 377,567 376,600 420,768 623,170



Tahun Ke-15 600,131 591,889 638,124 1,108,219



Selisih Prosentase Linier Eksponensial Pangkat Polinomial



Tahun Ke-5 7.90% 8.04% 9.63% 10.67%



Tahun Ke-10 13.01% 12.97% 14.50% 21.47%



Tahun Ke-15 18.75% 18.49% 19.94% 34.63%



Polinomial Y = -1810.x2 + 7E+06x - 7E+09 0.949



7. KESIMPULAN Kesimpulan dari model pertumbuhan dan perbandingan model prediksi penduduk kota surabaya periode tahun 1994 – 2013 sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk Kota Surabaya selama periode tahun 1994 - 2013 mengalami peningkatan. 2. Model rumusan model pertumbuhan dipakai data 5 tahun untuk prediksi jangka 5 tahun persamaan regresi linear yang terbaik. 3. Model rumusan model pertumbuhan dipakai data 5 tahun untuk prediksi jangka panjang 10 tahun sampai 15 tahun persamaan regresi eksponensial yang terbaik. 4. Model Persamaan regresi eksponensial mempunyai ketepatan yang sangat tinggi sedangkan model regresi linier mempunyai ketepatan yang terendah untuk prediksi jangka panjang.



338 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



8. PENGEMBANGAN PENELITIAN Penelitian ini dapat dikembangkan model pertumbuhan populasi di wilayah kabupaten/kota tertinggal, wilayah kabupaten/kota menengah dan wilayah kecamatan.



9. DAFTAR PUSTAKA 1. Suprayitno, Hitapriya & Purwantiningsih Indriana (2006) Model Matematis Perkembangan Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Timur kurun waktu tahun 1985-2003. Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sipil TORSI. Institut Teknologi Sepuluh Nopember : Surabaya. 2. Badan Pusat Statistik (1998) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 3. Badan Pusat Statistik (1999) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 4. Badan Pusat Statistik (2000) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 5. Badan Pusat Statistik (2001) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 6. Badan Pusat Statistik (2002) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 7. Badan Pusat Statistik (2003) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 8. Badan Pusat Statistik (2004) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 9. Badan Pusat Statistik (2005) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 10. Badan Pusat Statistik (2006) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 11. Badan Pusat Statistik (2007) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 12. Badan Pusat Statistik (2008) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 13. Badan Pusat Statistik (2009) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 14. Badan Pusat Statistik (2010) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 15. Badan Pusat Statistik (2011) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 16. Badan Pusat Statistik (2012) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 17. Badan Pusat Statistik (2013) Surabaya Dalam Angka. Surabaya 18. Badan Pusat Statistik (2014) Surabaya Dalam Angka. Surabaya



Bidang Transportasi - 339



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



340 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS DAMPAK PEMILIHAN RUTE TERHADAP TITIK PERSIMPANGAN MENUJU WILAYAH SELATAN PULAU BALI Ni Luh Gede Sukma Weshima Hera Widyastuti2 dan Wahju Herijanto3 1



Mahasiswa Program Pasca Sarjana Teknik Sipil ITS, email : [email protected] Dosen Program Pascasarjana Teknik Sipil ITS, email : [email protected] 3 Dosen Program Pascasarjana Teknik Sipil ITS, email : [email protected] 2



ABSTRAK Pemilihan rute terhadap titik persimpangan menuju wilayah selatan pulau Bali, antara dua alternatif pilihan rute dengan akses ruas jalan tol Bali Mandara dan akses ruas jalan arteri bypass Ngurah Rai memberikan dampak perilaku pemilihan rute pada titik simpang terhadap nilai waktu tempuh total. Analisis waktu tempuh merupakan nilai waktu tempuh pada bagian menjalin simpang tak sebidang underpass Dewa Ruci, nilai waktu terhadap tundaan pada simpang empat bersinyal pesanggaran, nilai waktu terhadap tundaan bundaran Tugu Ngurah Rai, nilai waktu terhadap biaya perjalanan, nilai waktu terhadap tundaan akibat antrian pelayanan gardu tol, serta konversi nilai waktu terhadap tarif tol. Diversi lalu lintas dengan model I JICA, model II JICA, model logit-binomial, model regresi-pengali, dianalisis terhadap golongan kendaraan mobil pribadi dan sepeda motor. Analisis model dengan perbandingan proporsi volume lalu lintas ruas jalan tol dan jalan arteri terhadap selisih waktu tempuh total, perbandingan tarif tol dengan biaya perjalanan yang dihemat, perbandingan rasio nilai tarif tol terhadap biaya perjalanan yang dihemat, dan perbandingan rasio nilai waktu tempuh total. Hasil analisis pemodelan perilaku lalu lintas untuk memilih rute antara dua alternatif rute menunjukkan hasil yang sama dengan garis kurva yang cembung, semakin tinggi tingkat perbandingan selisih yang mampu dihemat atau yang ditawarkan oleh fasilitas jalan baru maka akan semakin tinggi tingkat perilaku pemilihan rute yang ditunjukkan oleh tingkat proporsi volume lalu lintas. Namun hasil kalibrasi model menunjukkan nilai 0 ≤ R² ≤ 1 yang tidak memenuhi, mengingat hasil kalibrasi model hanya diperoleh dari perbandingan sembilan jam perilaku arus lalu lintas. Kata kunci: pemilihan rute, nilai waktu, kurva diversi



1. PENDAHULUAN Model pemilihan rute merupakan suatu model yang dapat memberikan gambaran pilihan antara alternatif pilihan rute yang bersaing dengan memberikan fasilitas pelayanan perjalanan. Wilayah Bali Selatan merupakan wilayah yang memiliki zona attraction pergerakan perjalanan seperti kawasan pariwisata Kuta, Nusa Dua, dan sistem transportasi intermoda dengan fasilitas pelayanan terminal Bandara Internasional Ngurah Rai. Jalan Bypass Ngurah Rai merupakan ruas jalan arteri utama yang menghubungkan antar kawasan di wilayah selatan dengan wilayah utara Pulau Bali. Simpang pesanggaran merupakan titik zona asal yang menghubungkan antar kawasan dengan dua alternatif pemilihan rute ruas jalan. Sebagai ruas jalan yang dapat melayani pergerakan dengan fasilitas pelayanan melebihi ruas jalan arteri, akses ruas jalan tol Bali Mandara diharapkan mampu menjadi rute ruas jalan alternatif yang dapat dipilih pengendara. Dengan perbandingan jarak tempuh untuk rute I 6, 419 KM, dan rute II 6, 046 KM, beban biaya perjalanan Rp.10.000,00 untuk golongan kendaraan mobil pribadi dan Rp.4.000,00 untuk golongan kendaraan sepeda motor, dan jalur khusus untuk kendaraan sepeda motor. Kurva diversi adalah model kurva yang digunakan untuk memperkirakan arus lalu lintas yang tertarik ke jalan baru atau jalan dengan fasilitas baru. Keputusan pengendara untuk



Bidang Transportasi - 341



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean memilih dua alternatif rute ruas jalan didasarkan atas perbandingan atau perbedaan waktu tempuh jika melalui atau tidak melalui salah satu ruas jalan yang dipilih. Kurva diversi dibentuk berdasarkan selisih waktu tempuh, komulatif biaya perjalana dan tarif. Waktu tempuh pergerakan dalam dua pilihan rute pada titik simpang dan ruas jalan, simpang, bundaran serta bagian menjalin yang dilalui jika memilih rute I dihitung dengan menggunakan tabel MKJI. Nilai waktu terhadap tundaan menjadi pengaruh terhadap waktu tempuh total pada analisis simpang, dan bundaran. Sedangkan pada rute II waktu tempuh total dipengaruhi oleh masing – masing segmen ruas akses jalan tol, tundaan simpang dan bundaran, nilai waktu terhadap biaya perjalanan, serta waktu tunggu terhadap tundaan akibat peluang antrian pelayanan gerbang tol. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian, menunjukkan proporsi pemilihan dua alternatif rute dari zona asal, sehingga pelaku perjalanan dari zona asal dapat mengetahui dampak pemilihan rute terhadap nilai waktu dari dua alternatif pemilihan rute. Lokasi Penelitian



Gambar 1. Rute Pergerakan Arus Lalu Lintas (Sumber : Hasil survei, 2014)



2. STUDI PUSTAKA Studi Pustaka merupakan rangkuman teori yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan perumusan analisis data. Teori yang diperoleh bersumber dari buku transportasi, wawasan perkuliahan, dan penelitian yang berhubungan dengan Trip Assignment yang telah dilakukan sebelumnya. Teori yang ditinjau yaitu, metode pemilihan rute (Trip Assignment), Tundaan (delay), Kinerja Antrian, Manual kapasitas jalan Indonesia (MKJI), Model Kurva Diversi. Metode pemilihan rute (Trip Assignment) Perkembangan pembanguan pada wilayah baru, yang membentuk suatu pusat kota baru menyebabkan terjadinya pertubuhan kegiatan perekonomian yang menyebabkan terjadinya pergerakan. Keinginan untuk melakukan pergerakan akan meningkat seiring dengan terjadinya peluang kegiatan perekonomian pada suatu wilayah. Perkembangan teknologi seperti tersedianya kendaraan dan keinginan untuk memiliki kendaraan akan mengikuti sebagai dampak dari keinginan untuk tercapainya pergerakan yang efektif



342 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dan efisien. Pertumbuhan pergerakan, menyebabkan timbulnya pilihan rute jalan baru untuk memenuhi kebutuhan pergerakan asal tujuan. Beberapa metode pemilihan rute sudah dikembangkan, dengan memperhatikan klasifikasi model yang sesuai dengan asumsi yang melatar belakanginya.Klasifikasi model pemilihan rute oleh Ortuzar dan Willumsen (1994, 2001) (Dikutip dalam Tamin, 2008) Tabel 1. Tabel Model Pemilihan Rute Kriteria Tidak Efek batasan kapasitas dipertimbangkan? Ya



Efek stokastik dipertimbangkan? Tidak Ya All - or nothing Stokastik murni ( Dial, Burrel ) Keseimbangan wardrop



Keseimbangan stokastik ( KPS )



pengguna



-



Sumber : Tamin, 2008. Pengelompokan oleh Robillard,1975 (Dikutip dalam Tamin, 2008), yaitu metode proposional dan metode tidak proposional. 1. Metode proposional, all – or – nothing dan metode stokastik 2. Metode tidak proposional, metode batasan kapasitas dan metode keseimbangan Tundaan (delay) Manual kapasitas jalan Indonesia (MKJI, 1997) sebagai parameter untuk memperoleh nilai waktu tunggu (tundaan) dan waktu tempuh yang terjadi akibat adanya pembebanan arus lalu lintas pada titik simpang, bundaran, bagian jalinan dan ruas jalan. nilai waktu dirumuskan sebagai berikut Simpang Bersinyal Nilai waktu pada pada simpang bersinyal merupakan merupakan nilai waktu akibat tundaan lalu lintas rata- rata.Tundaan rata – rata untuk suatu pendekat j dihitung dengan persamaan sebagai berikut, Dimana : : Tundaan rata – rata untuk pendekat j (det/smp) : Tundaan lalu lintas rata – rata untuk pendekat (det/smp) : Tundaan geometri rata – rata untuk pendekat (det/smp) Bundaran Tundaan lalu lintas pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva dari hubungan empiris antara tundaan geometrik dan derajat kejenuhan, Untuk DS ≤ 0,6 ; DT=2+2,68982xDSx(1-DS)x2 Untuk DS ≥ 0,6 ; DT=1/(0,59186-0,52525xDS)-(1-DS)x2



Bidang Transportasi - 343



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Jalinan Waktu Tempuh bagian jalinan tunggal (TT) dihitung sebagai berikut,



Dimana : V



: Panjang jalinan : Kecepatan tempuh



Ruas Jalan Waktu tempuh rata – rata pada segmen ruas jalan yang ditinjau dihitung dengan persamaan sebagai berikut, TT = L/V Dimana : TT L V



: Waktu tempuh rata – rata : Panjang segmen ruas jalan(km) : Kecepatan (km/jam)



Analisis Antrian Waktu Pelayanan Gerbang Tol Nilai waktu tunggu dihitung dengan menggunakan teori antrian sebagai berikut, ̅



(



)



̅



Dimana : : Tingkat kedatangan : Tingkat pelayanan ̅ : Waktu kendaraan atau orang dalam sistem (satuan waktu) ̅ : Waktu kendaraan atau orang dalam antrian Analisis Konversi Nilai Waktu Nilai waktu terhadap beban tarif tol akan dikonversikan terhadap nilai waktu berdasarkan rata – rata penghasilan penduduk atau pemilik kendaraan. Dimana asumsi persamaan untuk menghitung nilai waktu adalah sebagai berikut, Nilai waktu terhadap biaya perjalanan = Penghasilah / Jam kerja Konversi nilai waktu = Tarif / Nilai waktu Model Kurva Diversi Kurva diversi memperlihatkan seberapa besar proporsi pengendara yang akan pindah menggunakan rute atau jalan lain. Bruton dalam Tamin, 2008 menyatakan tiga kurva diversi yang sering digunakan dewasa ini, yaitu kurva dengan nisbah waktu, waktu tempuh dan jarak yang dapat dihemat, dan nisbah kecepatan. Kurva nisbah waktu tempuh menyatakan perbandingan antara waktu tempuh yang menggunkan jalan tol dibandingkan dengan rute alternatif lainnya.



344 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 2. Kurva diversi nisbah waktu tempuh (Sumber :Tamin, 2008)



Gambar 3. Kurva diversi penghematan waktu tempuh dan selisih jarak via jalan tol (Sumber :Tamin, 2008) Gambar 2 memperlihatkan contoh kurva diversi nisbah waktu tempuh. Gambar 3 memperlihatkan kurva diversi waktu tempuh dan jarak yang dapat dihemat telah dikembangkan oleh divisi Jalan Raya California. Kurva yang dihasilkan berbentuk hiperbola. Asumsi dasar penurunan kurva tersebut adalah, - Faktor selain waktu dan jarak tidak dapat diukur secara eksplisit, apalagi diramalkan, sehingga diabaikan. - Makin besar waktu tempuh dan jarak yang dapat dihemat, makin tinggi proporsi penggunaan. - Jika penghematan waktu dan jarak kecil, hanya sedikit orang yang akan menggunakan jalan bebas hamabatan, sedangkan yang lain tetap menggunakan rute alternatif. Di Indonesia pendekatan model kurva diversi yang digunakan yaitu sebagai berikut, JICA Pendekatan model oleh JICA (1990). Terdapat dua model dengan menggunakan selisih waktu tempuh sebagai peubah tidak bebas dan perbandingan tarif tol dengan nilai waktu tempuh. kedua model tersebut adalah sebagai berikut,



Bidang Transportasi - 345



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Dimana : P ΔT a, b



: Tingkat diversi ke tol (%) : Selisih waktu tempuh : parameter yang harus ditaksir



. / Dimana : P T S a, b, c



: Tingkat diversi ke tol (%) : Nisbah tarif tol/ selisih waktu tempuh (rupiah/menit) : Faktor pergeseran (nisbah PDRB per kapita/pendapatan tahunan) : parameter yang harus ditaksir



Model Logit – Binomial (



( (



) (



)



Dengan : P : Tingkat diversi BPH : Biaya perjalanan yang dihemat dalam rupiah a dan b : Parameter yang harus dikalibrasi 3) Model Regresi-Pengali



( ) Dimana : P : Tingkat diversi NBP : Nisbah biaya perjalanan a dan b : Parameter yang harus dikalibrasi



3. METODELOGI PENELITIAN Dalam analisis penelitian diperlukan beberapa data pendukung, dimana proses pengumpulan data dilakukan secara bertahap. Dengan melalui tahapan teknik survei yang berhubungan dengan kondisi eksisting di lapangan, dan data – data yang diperoleh dari instansi – instansi terkait. Adapun jenis data yang diperlukan adalah sebagai berikut, 1. Kondisi geometrik 2. Rekaman video arus lalu lintas 3. Waktu siklus simpang 4. Arus masuk ruas jalan tol Beberapa data seperti kondisi geometrik rute I dan rute II, rekaman video simpang untuk lengan selatan Bundaran Tugu Ngurah Rai, rekaman video on-ramp Bundaran Tugu Ngurah Rai, arus masuk jalur tol arah Pelabuhan Benoa – Bandara Ngurah Rai, diperoleh dari Dinas PU wilayah III, DISHUB Provinsi Bali, dan Management JLJ Tol



346 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Bali Mandara. Data jumlah penduduk dan data pendapatan daerah regional bruto (PDRB) diperoleh dari badan pusat statistik (BPS) Provinsi Bali. Tahapan penelitian hingga memperoleh hasil dan kesimpulan dirangkum dalam diagram alir sebagai berikut, Mulai



A



Studi Literatur



Analisis Pemilihan Rute Pengumpulan Data : - Kondisi Geometrik - Rekaman Video Arus Lalu Lintas - Waktu Siklus Simpang - Arus Masuk Kendaraan ke Tol



Model Pemilihan Rute Kurva Diversi



Pengolahan Data :



1.1) Model I JICA 1.2) Model II JICA 1.3) Model Logit-Binomial 1.4) Model Regresi Pegali



Counting Video - Tabel Arus Lalu Lintas Per Jam



Analisis Waktu Tempuh



Analisis Regresi linier Analisa MKJI - Tundaan Simpang - Tundaan Bundaran - Waktu Tempuh ruas jalan - Waktu Tempuh Jalinan



Analisa Konversi Nilai Waktu - Nilai Waktu Terhadap rata – rata penghasilan penduduk



Analisa Antrian - Waktu Tunggu Antrian Transaksi Gerbang Tol



Proporsi Pemilihan Rute



Volume dan Waktu tempuh total Rute I dan Rute II



Analisis Hasil



A



Kesimpulan Dan Hasil



Gambar 1.3 Diagram Alir Penelitian



4. PEMBAHASAN Arus lalu lintas yang membebani simpang pesanggaran, merupakan besar volume kendaraan yang telah mencapai titik zona asal untuk memilih dua rute alternatif ruas jalan. Tabel 1.2 Volume kendaraan yang akan pindah dan selisih waktu tempuh Periode



1 Pagi



Siang



Sore



Jam



07.00 08.00 09.00 11.00 12.00 13.00 15.00 16.00 17.00



2 - 08.00 - 09.00 - 10.00 - 12.00 - 13.00 - 14.00 - 16.00 - 17.00 - 18.00



AC



Persentase volume kendaraan mobil pribadi Arus lalu % volume Waktu tempuh total Arus lalu lintas Zona Asal Arus lalu lintas kendaraan lintas Tol DC DB AB Rute I Rute II Arteri yang akan



kend



kend



kend



kend



kend



kend



%



3



4



5



6



7



8



9



3153 3234 2075 1939 1966 2323 1968 2156 2180



2226 2123 1892 1412 1517 1765 1241 1218 1204



1682 877 868 508 636 730 1079 492 486



103 120 177 398 404 288 248 258 341



359 522 524 544 473 528 556 611 636



5379 5357 3967 3351 3483 4088 3209 3374 3384



menit 75% 84% 79% 79% 77% 80% 71% 82% 80%



5 13,33 14,51 12,62 13,40 13,51 14,27 13,56 13,69 12,76



menit 6 8,40 7,84 7,80 7,80 7,78 7,92 7,89 7,86 7,90



Tabel 1.3 Volume kendaraan yang akan pindah dan selisih waktu tempuh



Bidang Transportasi - 347



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Persentase volume kendaraan sepeda motor Arus lalu lintas Zona Asal Periode



AC 1 Pagi



07.00 08.00 09.00 11.00 12.00 13.00 15.00 16.00 17.00



Siang



Sore



Arus lalu lintas Tol



Jam DC



kend 3 3153 3234 2075 1939 1966 2323 1968 2156 2180



2 - 08.00 - 09.00 - 10.00 - 12.00 - 13.00 - 14.00 - 16.00 - 17.00 - 18.00



DB



kend 4 2226 2123 1892 1412 1517 1765 1241 1218 1204



AB



kend 5 1682 877 868 508 636 730 1079 492 486



kend 6 103 120 177 398 404 288 248 258 341



kend 7 586 785 562 497 441 473 385 370 421



% volume Arus lalu kendaraan Waktu tempuh total lintas yang akan Rute I Rute II Arteri pindah (P) kend % menit menit 8 9 5 6 5379 75% 13,33 8,77 5357 84% 14,51 8,22 3967 79% 12,62 8,05 3351 79% 13,40 8,01 3483 77% 13,51 8,02 4088 80% 14,27 8,13 3209 71% 13,56 8,04 3374 82% 13,69 7,95 3384 80% 12,76 7,97



Tabel 1.4 Konversi nilai waktu tempuh terhadap tarif tol Konversi nilai waktu tempuh terhadap tarif tol Periode



1 Pagi



07.00 08.00 09.00 11.00 12.00 13.00 15.00 16.00 17.00



Siang



Sore



Nilai waktu terhadap biaya perjalanan



Tarif tol



Jam



2 - 08.00 - 09.00 - 10.00 - 12.00 - 13.00 - 14.00 - 16.00 - 17.00 - 18.00



Konversi nilai waktu tempuh terhadap tarif tol



Mobil pribadi Sepeda motor TV mobil TV motor TT mobil TT motor Rp. Rp. (Rp/menit) (Rp/menit) menit/Rp menit/Rp 3 4 5 6 7=3/5 8=4/6 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09 Rp 10.000 Rp 4.000 1550 199 6,45 20,09



5. ANALISIS HASIL Kurva diversi perilaku pemilihan dua alternatif rute dengan pendekatan model I, II JICA, model logit binomial, model regresi pengali, dengan kalibrasi model menggunakan metode regresi linier menunjukkan tingkat kesesuaian model 0 ≤ R² ≤ 1. Tabel 1.5 Kalibrasi model, R-sq Model



Golongan Kendaraan



1



2



Model I JICA ΔT



a 3



Kalibrasi model b 4



R-sq 5



Mobil pribadi Sepeda motor



-0,110 0,407



-0,010 -0,439



3,7% 13,8%



Mobil pribadi Sepeda motor



-1,33 -0,94



0,7480 0,5580



15,8% 19,8%



Mobil pribadi Sepeda motor Mobil pribadi Sepeda motor selisih waktu tempuh total Mobil pribadi Sepeda motor Model Regresi-Pengali Rasio BPH Mobil pribadi Sepeda motor Rasio NBP Mobil pribadi Sepeda motor Rasio Tarif Mobil pribadi Sepeda motor



0,48 0,50 0,48 0,50 1,44 3,52



0,00010 0,0008 0,149 0,151 0,149 0,151



18,0% 17,7% 18,0% 17,7% 17,7% 17,6%



-0,12 -0,16 -0,62 -1,01 -0,623 -1,18



1,94 1,86 0,784 0,765 1,95 -1,91



19,4% 17,6% 15,8% 15,9% 16,5% 14,0%



Model II JICA ΔT Model Logit-Binomial BPH



selisih waktu tempuh



Kurva diversi dari hasil model dengan nilai R-sq terbaik ditunjukkan sebagai berikut,



348 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 1.6 Kurva diversi perilaku arus lalu lintas Model Logit-Binomial



Gambar 1.7 Kurva diversi perilaku arus lalu lintas Model JICA I Proporsi kendaraan yang akan pindah untuk masing – masing golongan kendaraan adalah sebagai berikut, Tabel 1.6 Proporsi arus lalu lintas tol golongan kendaraan mobil pribadi Pe riode



Jam



1



2



Pagi



Siang



Sore



07.00 08.00 09.00 11.00 12.00 13.00 15.00 16.00 17.00



-



08.00 09.00 10.00 12.00 13.00 14.00 16.00 17.00 18.00



Panalisis Pe ksisting



SSE



Periode



1 3 1625,67 #NUM! 1139,92 947,65 1001,13 1051,92 1006,3 907,687 956,872



4 359 522 524 544 473 528 556 611 636



5 1604445,2 #NUM! 379362,35 162932,97 278926,35 274491,11 202765,78 88023,071 102958,79 2.714.543



Pagi



Siang



Sore



Jam



2 07.00 - 08.00 08.00 - 09.00 09.00 - 10.00 11.00 - 12.00 12.00 - 13.00 13.00 - 14.00 15.00 - 16.00 16.00 - 17.00 17.00 - 18.00



Panalisis



Peksisting



3



4 1642 1184 1163 903 945 990 953 850 972



359 522 524 544 473 528 556 611 636



SSE



5 1646040 438629 408547 128990 222516 213033 157637 57233 113101 3.385.726



Tabel 1.7 Proporsi arus lalu lintas tol golongan kendaraan sepeda motor Pe riode



Jam



1 Pagi



Siang



Sore



07.00 08.00 09.00 11.00 12.00 13.00 15.00 16.00 17.00



2 - 08.00 - 09.00 - 10.00 - 12.00 - 13.00 - 14.00 - 16.00 - 17.00 - 18.00



Panalisis Pe ksisting



3 1677,62 1229,4 1173,03 917,902 965,204 1007,08 964,151 854,098 965,012



4 586 785 562 497 441 473 385 370 421



SSE



5 1191625,4 197488,28 373362,06 177158,19 274790,11 285243,61 335415,57 234350,56 295948,67 3.365.382



Periode



1 Pagi



Siang



Sore



Jam



2 07.00 - 08.00 08.00 - 09.00 09.00 - 10.00 11.00 - 12.00 12.00 - 13.00 13.00 - 14.00 15.00 - 16.00 16.00 - 17.00 17.00 - 18.00



Panalisis



Peksisting



3



4 1690 1221 1181 912 958 999 957 846 967



586 785 562 497 441 473 385 370 421



SSE



5 1217778 189754 383414 171951 267107 276270 326623 226882 298249 3.358.028



Bidang Transportasi - 349



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. KESIMPULAN Model kurva diversi sebagai hasil analisis pemodelan perilaku lalu lintas untuk memilih rute antara dua alternatif rute menunjukkan hasil yang sama dengan garis kurva yang cembung, semakin tinggi tingkat perbandingan selisih yang mampu dihemat atau yang ditawarkan oleh salah satu alternatif rute maka akan semakin tinggi tingkat perilaku pemilihan rute yang ditunjukkan oleh tingkat proporsi volume lalu lintas. Namun hasil kalibrasi model menunjukkan nilai 0 ≤ R² ≤ 1 yang tidak memenuhi, mengingat hasil kalibrasi model hanya diperoleh dari perbandingan sembilan jam perilaku arus lalu lintas.



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Asril Kurniadi, Hitapriya Suprayitno, Wahju Herijanto. Studi Pemilihan Metoda Trip Assignment Untuk Pemodelan Kebutuhan Transportasi Kotamadya Surabaya. Simposium III FSTPT, ISBN No. 979 - 96241 - 0 - X.. 2. Direktorat Jendral Bina Marga (1997) Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). Bandung, Indonesia. 3. Sembiring, R. K. (2003) Analisis Regresi (Edisi kedua). Bandung: Penerbit, ITB. 4. Tamin, O. Z. (1996). The Analysis OF Route Choice Between Toll And Alternative Road Using Diversion Curve Model : A Case Study In Jakarta (Indonesia). IRF Asia - Pasific Regional Meeting, 18 - 21 November 1996, Taipeh, Taiwan. 5. Tamin, O. Z. (2008) Perencanaan, Pemodelan, & Rekayasa Transportasi Teori, Contoh Soal, & Aplikasi. Bandung: Penerbit ITB.



350 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



STUDI NUMERIK TENTANG PENGENDALIAN ALIRAN SEKUNDER PADA AIRFOIL NASA LS-0417 DENGAN VORTEX GENERATOR DI DEKAT ENDWALL Radiaprima Kartika Wijaya dan Sutardi2 1



Radiaprima Kartika Wijaya, Teknik Mesin FTI-ITS, email: [email protected] dan Sutardi, Teknik Mesin FTI-ITS, email: [email protected]



2



ABSTRAK Sarana transportasi yang ramah lingkungan serta mempunyai efisiensi yang tinggi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat cadangan bahan bakar fosil yang terus menurun. Banyak aspek yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan unjuk kerja dari sarana transportasi. Salah satunya adalah upaya pereduksian aliran sekunder yang terjadi di antara sayap pesawat dan bodi, spoiler mobil, dan blade turbin gas pada pesawat. Kasus-kasus tersebut dapat dimodelkan dengan aliran fliuda yang melintasi airfoil di dekat endwall yang dimodifikasi dengan penambahan vortex generator. Vortex generator berfungsi untuk mengarahkan aliran ke dekat endwall serta meningkatkan intensitas turbulensi aliran, sehingga aliran mempunyai momentum yang lebih tinggi yang dapat mereduksi aliran sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan simulasi numerik mengunakan software Gambit 2.4 dan Fluent 6.3.26 dengan model turbulen k-ε standard. Kecepatan aliran freestream yang digunakan sebesar 18 m/s (Re = 1.14x105) dengan sudut serang (α) = 100 dan 130. Model benda uji berupa airfoil NASA LS-0417 dengan dan tanpa vortex generator yang terpasang pada endwall yang berbentuk pelat datar. Modifikasi airfoil menggunakan vortex generator dapat mereduksi aliran sekunder yang diindikasikan dengan penyempitan blockage effect. Hal ini dapat meningkatkan koefisien lift sebesar 1.692 % dan dapat mereduksi koefisien drag sebesar 1.059 % untuk sudut serang 100 serta pada sudut serang 130 koefisien lift meningkatkan sebesar 3.803 % dan dapat mereduksi koefisien drag sebesar 2.409 % pada airfoil. Kata kunci: airfoil, vortex generator, aliran sekunder, koefisien lift, dan koefisien drag



1. PENDAHULUAN Aliran fluida ketika melintasi suatu airfoil dengan endwall akan terjadi separasi terutama pada sudut serang yang besar. Separasi ini terjadi secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Separasi dua dimensi terjadi karena momentum aliran tidak dapat melawan adverse pressure gradient dan tegangan gesar yang terjadi pada airfoil, hal ini terjadi di daerah mid span. Separasi tiga dimensi terjadi karena adanya interaksi boundary layer pada dua bodi yang berdekatan, hal ini terjadi di daerah dekat endwall. Terjadinya separasi ini menyebabkan kenaikkan gaya drag pada airfoil. Berbagai modifikasi telah dilakukan untuk mengendalikan separasi pada airfoil, antara lain: penambahan kekasaran permukaan, penambahan riblet, penambahan vortex generator, dan masih banyak yang lain. Analisa dua dimensi sudah sejak lama dipakai untuk mendeskripsikan fenomena aliran dan cukup memuaskan untuk keadaan-keadaan yang sederhana. Belakangan ini diketahui bahwa fenomena aliran melalui benda jauh lebih kompleks dari yang semula diketahui, analisa dua dimensi tidak lagi cukup untuk memberikan karakteristiknya. Fenomena aliran tiga dimensi pada aliran melalui benda terjadi bila aliran fluida banyak menerima gangguan. Separasi aliran tiga dimensi (aliran sekunder) terjadi ketika suatu aliran melewati dua permukaan benda yang berdekatan. Aliran sekunder adalah bentuk aliran yang mengandung unsur aliran dengan arah tegak lurus terhadap arah aliran utama. Beberapa aliran sekunder dapat dijumpai pada interaksi antara sayap dengan



Bidang Transportasi - 351



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean bodi pesawat terbang, blade kompresor dengan hub, dan atap mobil dengan bagian sisi mobil. Kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya aliran sekunder tersebut meliputi secondary loss, blockage effect, dan turning angle deflection sepanjang span. Oleh karena itu aliran ini harus diatasi agar mendapatkan nilai efisiensi kerja yang besar. Beberapa penelitian tentang aliran pada airfoil di sekitar endwall telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian tentang pengkontrolan aliran sekunder pada blade kompresor [4]. Penelitian dilakukan secara ekperimen yang menggunakan airfoil dengan tipe NACA 65 K48. Single vortex generator dipasang pada airfoil di dekat endwall yang dimaksudkan untuk mengarahkan aliran ke dekat endwall. Aliran dekat endwall yang mempunyai momentum yang lebih besar dapat mengurangi potensi terjadinya separasi tiga dimensi yang terjadi. Dari penelitian terlihat bahwa dengan penambahan vortex generator dapat memperkecil daerah separasi tiga dimensi yang terjadi di dekat endwall. Hal ini mengakibatkan kenaikkan koefisien lift (CL) pada airfoil. Penelitian pada airfoil tipe NASA LS-0417 juga pernah dilakukan [2]. Penelitian mengkaji tentang separasi laminar pada airfoil dengan bilangan Reynolds yang rendah menggunakan particle image velocimetry (PIV) dengan resolusi tinggi. Dari penelitian terlihat terjadi laminar bubble separation didekat leading edge pada suction side. Panjang dari laminar bubble separation hampir tidak berubah seiring dengan penambahan sudut serang dan terjadi stall pada sudut serang 12°. Koefisien lift airfoil meningkat secara linear seiring dengan peningkatan sudut serang sampai 11°, sementara koefisien drag airfoil yang terjadi sangat kecil. Penelitian lain tentang penambahan bluff rectangular turbulator (BRT) di depan leading edge pada airfoil NACA 0015 [7]. Karakteristik aliran yang melintasi BRT akan menimbulkan bubble separation tepat setelah melintasi BRT. Aliran tersebut berpusar di dekat dinding yang menimbulkan efek akselerasi di dekat endwall. Efek yang demikian ini yang menyebabkan penambahan momentum aliran di dekat dinding yang dapat mereduksi separasi 3D. Studi numerik tentang penambahan bluff rectangular turbulator (BRT) di depan leading edge pada airfoil Bristish 9C7/32.5C50 juga pernah dilakukan [5]. Penggunaan turbulator menghasilkan aliran yang memiliki momentum dan intensitas turbulensi yang lebih besar sehingga dapat mereduksi separasi 3D. Pada penelitian ini akan digunakan airfoil tipe NASA LS-0417 dengan endwall yang diberi single vortex generator pada upper side airfoil di dekat endwall. Untuk melihat dengan detail seberapa besar pengaruh penambahan vortex generator terhadap reduksi blockage effect yang terjadi dengan berbagai sudut serang



2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan secara numerik menggunakan software GAMBIT 2.4 dan Fluent 6.3.26. Model airfoil juga dimodifikasi dengan vortex generator di dekat endwall dengan sudut serang (α) = 100 dan 130. Kecepatan aliran udara bebas (freestream) yang akan digunakan sebesar 18 m/s, berkaitan dengan bilangan Reynolds 1.14 x 105 berdasarkan chord. Dalam hal ini panjang chord yang digunakan sebesar 10 cm. Gambar 1 merupakan domain simulasi serta kondisi batas yang digunakan dalam simulasi.



352 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 1. Domain Simulasi Model benda uji berupa airfoil jenis NASA LS-0417 dengan dan tanpa vortex generator yang terpasang pada endwall yang berbentuk pelat datar seperti Gambar 2. Benda uji digambar dengan menggunakan software Solidwork yang selanjutnya diekspor ke software GAMBIT 2.4 untuk tahap selanjutnya. Dimensi dari benda uji mengacu pada penelitian [4], yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. dimensi airfoil dan vortex generator.



Gambar 2. benda uji.



Bidang Transportasi - 353



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Jenis dan properties dari material dimasukkan sesuai dengan kondisi dari lingkungan, yaitu pada temperatur 30°C dan tekanan 1 atm. Permodelan ini menggunakan udara sebagai fluida kerja dengan (ρ) = 1,17 kg/m3, viskositas (μ) = 1,86 x 10-5 N.s/m2. Intensitas turbulen pada pemodelan numerik ini 0,8% [6] dan length scale di sisi inlet 0,024 m. Permodelan turbulensi yang digunakan adalah viscous turbulent k-epsilon standart. Solusi menggunakan second order untuk pressure, momentum turbulent kinetic energy, dan turbulent dissipation rate. Kriteria konvergensi ditetapkan sebesar 10-5, artinya proses iterasi dinyatakan telah konvergen setelah residualnya mencapai harga lebih kecil dari 10-5.



3. HASIL DAN DISKUSI Ketika suatu aliran melewati airfoil di dekat endwall akan terjadi separasi aliran tiga dimensi (aliran sekunder). Aliran sekunder adalah bentuk aliran yang mengandung komponen aliran dengan arah orthogonal terhadap arah aliran utama. Terjadinya aliran sekunder ini karena adanya intervensi boundary layer pada airfoil dan endwall yang berdekatan. Kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya aliran sekunder tersebut salah satunya adalah adanya blockage effect. Akibat bentuk profile body dari airfoil terjadi adverse pressure gradient pada daerah downstream. Hal ini mengakibatkan terjadinya separasi aliran tiga dimensi. Separasi aliran tiga dimensi menyebabkan pusaran yang disebut dengan vortex. Pusaran aliran tersebut sering disebut sebagai corner wake. Pada aliran terjadi corner wake merupakan penyebab terjadi penyumbatan aliran (blockage effect). Gambar 3 merupakan streamline aliran pada upper side airfoil untuk sudut serang 10° dan 13° dengan Re = 1.14 x 105 baik dengan maupun tanpa vortex generator. Dari Gambar 3 terlihat bahwa semakin besar sudut serang semakin besar pula corner wake yang terbentuk di upper side airfoil dekat trailing edge. Hal ini terjadi pada airfoil dengan vortex generator maupun tanpa vortex generator. Corner wake yang terbentuk pada airfoil dengan vortex generator lebih kecil daripada corner wake yang terbentuk pada airfoil tanpa vortex generator. Reduksi dari corner wake ini diakibatkan karena adanya vortex generator yang dipasang di dekat endwall. Vortex generator ini berfungsi untuk menambah momentum aliran di dekat endwall serta meningkatkan intensitas turbulensi. Vortex generator sangat efektif dalam rangka pereduksian corner wake. Gambar 3(a) dan 3(b) merupakan corner wake pada sudut serang 10°, terlihat jelas corner wake yang terbentuk semakin mengecil dengan adanya vortex generator. Hal ini juga terjadi pada Gambar 3(c) dan 3(d) corner wake pada sudut serang 13°. Besarnya presentase reduksi corner wake antara sudut serang 10° dan 13° tidak dapat diketahui secara langsung dengan hanya melihat struktur dari corner wake. Besarnya reduksi dari corner wake berimbas terhadap koefisien lift, koefisien drag, dan kerugian energi yang terjadi. Dari Tabel 1 dapat dilihat besarnya koefisien lift (CL), koefisien drag (CD), dan axial iso total pressure losses coefficient (ζAXIAL) serta besarnya perubahan setelah diberi vortex generator. Dari Tabel 2 terlihat pada sudut serang 13° terjadi penurunan CD yang lebih besar daripada sudut serang 10° setelah diberi vortex generator. Hal ini juga terjadi pada kenaikan CL serta penurunan ζAXIAL yang lebih besar terjadi pada sudut serang 13°.



354 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



(b)



(a)



(d)



(c)



Gambar 3 streamline aliran di upper side airfoil pada Re = 1.14x105, (a) tanpa vortex generator α = 10°, (b) dengan vortex generator α = 10°, (c) tanpa vortex generator α = 13°, (d) dengan vortex generator α = 13°. Tabel 2. Data CD,CL, dan ζAXIAL. PENURUNA α VG CD N CD Tanpa 0.06 0% VG 6 10 ° Dengan 0.06 1.059 % VG 5 Tanpa 0.09 0% VG 1 13 ° Dengan 0.08 2.409 % VG 9



CL 0.59 1 0.60 1 0.63 1 0.65 5



KENAIKA N CL



δAXIAL



PENURUNA N δAXIAL



0%



0.095



0%



1.692 %



0.092



3.053 %



0% 3.803 %



0.092 0.085



0% 7.283 %



Bidang Transportasi - 355



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Gambar 4 merupakan hubungan antara koefisien tekanan (CP) sebagai fungsi dari x/c untuk sudut serang 13° pada Re = 1.14 x 105. Koefisien tekanan diambil pada upper side airfoil baik dengan vortex generator maupun tanpa vortex generator serta pada lower side mid span. Grafik CP pada lower side mid span dan lower side endwall, mempunyai tren yang sama bahkan hampir berhimpit. Nilai CP = 1 untuk sudut serang 13° terjadi pada lower side mid span airfoil dekat leading edge. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi stagnasi tidak tepat pada leading edge, namun bergeser lebih ke bawah. Pada lower side endwall nilai CP kurang dari 1. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh boundary layer yang berkembang sepanjang endwall yang menyebabkan berkurangnya energi dari fluida yang melalui daerah di dekat endwall. 1 0.5 0 -0.5 CP -1 endwall tanpa VG



-1.5



endwall dengan VG



-2



lower mid span upper mid span



-2.5



lower endwall



-3 0



0.1



0.2



0.3



0.4



0.5 x/c



0.6



0.7



0.8



0.9



1



Gambar 4. CP fungsi x/c pada sudut serang 13° di upper side dan lower side airfoil dengan dan tanpa vortex generator untuk Re = 1.14 x 105. Akibat favorable pressure gradient yang kuat pada x/c = 0 sampai x/c = 0.03 aliran mengalami percepatan, baik pada upper side maupun lower side airfoil. Pada upper side aliran mengalami perlambatan karena adanya adverse pressure gradient yang signifikan pada x/c = 0.03 sampai x/c = 0.2. Hal ini terjadi pada mid span dan endwall tanpa vortex generator. Lain halnya dengan endwall dengan vortex generator nilai CP naik secara perlahan pada x/c = 0.2 sampai x/c = 0.5. Hal ini berimbas aliran mempunyai momentum yang lebih besar di daerah dekat endwall. Pada x/c = 0.5 sampai x/c = 1 nilai CP pada mid span, endwall tanpa vortex generator, dan endwall dengan vortex generator cenderung konstan dan mempunyai nilai yang hampir sama. Gambar 5 merupakan distribusi koefisien tekanan pada endwall pada sudut serang 10° dan 13° dengan Re = 1.14 x 105, baik tanpa maupun dengan vortex generator. Dari Gambar 5 terlihat pada sudut serang 10° daerah upper side mempunyai tekanan yang lebih tinggi daripada upper side sudut serang 13°. Begitu juga sebaliknya pada sudut serang 10° daerah lower side mempunyai tekanan yang lebih rendah daripada lower side sudut serang 13°. Hal ini menyebabkan gaya angkat yang terjadi lebih besar pada sudut serang 13° daripada sudut serang 10°. Pada sudut serang 13° terlihat jelas daerah trailing



356 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 edge mempunyai daerah bertekanan rendah lebih besar daripada sudut serang 10°, walaupun pada daerah leading edge distribusi tekanannya hampir sama. Hal ini berakibat gaya drag yang timbul lebih besar pada sudut serang 13° baik tanpa maupun dengan vortex generator.



(a)



(c)



(b)



(d)



Gambar 5. distribusi kofisien tekanan pada Re = 1.14x105, (a) α = 10° tanpa vortex generator, (b) α = 10° dengan vortex generator, (c) α = 13° tanpa vortex generator, (d) α = 13° dengan vortex generator. Dari Gambar 5 juga terlihat pada sudut serang 10° distribusi koefisien tekanan antara airfoil dengan vortex generator dan airfoil tanpa vortex generator mempunyai pola serta distribusi warna yang hampir sama. Hal ini menyebabkan koefisien lift dan koefisien drag tidak mengalami perubahan yang besar ketika airfoil diberi vortex generator. Hal berbeda pada sudut serang 13°, terlihat pada upper side airfoil dengan vortex generator memiliki distribusi tekanan yang lebih rendah daripada tanpa vortex generator, sedangkan pada lower side airfoil dengan vortex generator memilik tekanan yang lebih besar. Hal ini berimbas naiknya koefisien lift dengan penambahan vortex generator. Demikian juga pada sudut serang 13° daerah trailing edge airfoil dengan vortex generator mempunyai tekanan yang lebih rendah. Hal ini berdampak turunnya koefisien drag dengan penambahan vortex generator.



4. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memperihatkan bahwa penggunaan vortex generator dapat memperkuat momentum aliran serta meningkatkan intensitas turbulensi di dekat endwall. Hal ini menyebabkan aliran lebih tangguh menghadapi tegangan gesar dan adverse pressure gradient. Dari kajian numerik didapatkan bahwa penggunaan vortex generator dapat menghasilkan beberapa karakteristik aliran, yaitu: 1. Penggunaan vortex generator dapat mereduksi corner wake yang terjadi pada upper side airfoil dekat trailing edge.



Bidang Transportasi - 357



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Penggunaan vortex generator dapat menurunkan CD total. Penurunan terbesar terjadi pada sudut serang 13°. 3. Penggunaan vortex generator dapat meningkatkan CL. Peningkatan terbesar terjadi pada sudut serang 13°. 4. Penggunaan vortex generator dapat meruduksi kerugian energi pada airfoil. 5. Penggunaan vortex generator dapat menunda separasi yang terjadi di dekat endwall.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. [1] Fox, Robert W. and Alan, T. McDonald. 2010. Introduction to Fluid Mechanics 7th edition. John Willey and Son, Inc. 2. [2] Hui, Hu and Yang, Zifeng. 2008. An Experimental Study of the Laminar Flow Separation on a Low-Reynolds-Number Airfoil. Department of Aerospace Engineering, Iowa State University, Ames. 3. [3] McGhee, R. J. and Beasley W. D. 1973. Low Speed Aerodynamic Charasteristics of A 17-Percent-Thick Airfoil Section Designed for General Aviation Application. Hampton: NASA Langley Research Center 4. [4] Meyer, R. 2003. Secondary flow control on compressor blades to improve the performance of axial turbomachines. German Aerospace Center (DLR), Institute of Propulsion Technology, Department of Turbulence Research, Germany. 5. [5] Mirmanto, Heru. Sutrisno. and Sasongko, Herman. 2012. Studi Numerik Reduksi Separasi Aliran 3-D Melalui Penambahan Bluff Rectangular Turbulator (BRT) di Depan Leading Edge (Studi Kasus di Daerah Junction Asymmetry Airfoil 9c7/32.5c50). Prosiding Seminar Fisika Terapan III Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga, Surabaya. 6. [6] Pudjanarsa, Astu and Sasongko, Herman. 2012. Oli Streak Visualization of Fluid Flow over Single D-Type Cylinder. World Journal of Mechanics, Vol. 2, PP. 197-202. 7. [7] Sasongko, Herman. Mirmanto, Heru. and Sutrisno. 2012. Studi Numerik Penambahan Momentum Aliran Melalui Penggunaan Bluff Rectangular Turbulator (BRT) di Depan Leading Edge (Studi Kasus Di Daerah Junction Simetris Airfoil NACA 0015). Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XI (SNTTM XI) & Thermofluid IV, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.



358 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALIS TEKNIS PERBANDINGAN VARIASI BENTUK BADAN KAPAL JENIS PLANING HULL DAN AXE BOW PADA KAPAL TIPE HIGH SPEED CRAFT Romadhoni 1, IK.A.P Utama2 1



Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Teknologi Kelautan, ITS-Surabaya. E-mail : [email protected], 2 Dosen Teknik Perkapalan, ITS - Surabaya. kutama_na.its.ac.id



ABSTRAK Penggunaan kapal cepat khusunya jenis lambung tunggal (mono hull) belakangan ini mulai marak digunakan di Indonesia. Banyak instansi baik pemerintah maupun swasta yang menggunakan kapal cepat untuk berbagai tujuan. Pada umumnya desain kapal high speed craft (HSC) pada umum mengunakan lambung jenis rounded hull, planing hull atau hard chine planing sehingga diperlukan suatu analisa dan studi baru terhadap bentuk lambung ini, salah satunya dengan melakukan analisa teknis pengunaan bentuk lambung AXE Bow. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan basah (water surface area) karena munculnya turbulensi di bawah lambung, dan akan menambah kekuatan untuk tekan kapal (gaya angkat), sehingga yang dengan sendirinya akan mengurangi hambatan dan peningkatan efisiensi maka akan menghasilkan daya yang beda, kecepatan mesin lebih kecil dan kebutuhan bahan bakar menjadi berkurang, Pada penelitian dilakukan dengan modelkan di pada kapal Crew boat 38 M dengan bentuk lambung kapal yang ada yaitu planing hull dan dilakukan variasi lambung dengan model AXE Bow dengan ukuran dan displasmen kapal yang sama. Hasil penelitian menghasilkan perhitungan numerik dan visual, dari kedua variasi model lambung kapal menunjukkan bahwa kapal AXE Bow memiliki hambatan kapal 205.01 kN lebih kecil dari pada lambung kapal Planing hull 215,35 kN. Hasil dari simulasi Ansys menunjukkan pada model HPC dan AXE Bow pada kecepatan 24 knot memiliki tekanan paling besar yaitu sebesar 54723 pa Pa dan 36343,4Pa, sedang kan menyatakan tekanan terendah yaitu -11194 Pa dan -1461 Pa. Key word: high speed craft, axe bow, planing hull, crew boats.



1. PENDAHULUAN Dalam operasional kapal high speed craft biasanya digunakan untuk 5000-6000 jam per tahun, dengan berlayar dengan berbagai kondisi laut. Kecepatan kapal yang dapat dicapai dalam cuaca ekstrim menjadi hal yang sangat penting dalam desain. Faktor pembatas dalam hal ini tidak ditentukan oleh propulsi atau karakteristik resistensi, tetapi kondisi kapal yang melewati pada gelombang terlalu tinggi tingkat percepatan vertikal akan menghambat pekerjaan dan operasional di kapal, hal ini dapat menyebabkan kecelakaan laut, kelelehan crew dan akhirnya akan merusak struktur kapal. (Gelling, 2006). Kapal high speed craft memerlukan kajian khusus dalam tahapan desain dan perencaan, selain aspek powering, aspek seakeeping perlu dikaji secara seksama. Dalam bidang seakeeping terdapat 4 subjek yang perlu diperhatikan yaitu ride quality, speed dan powering, sea load, serta extreme effect. Ride quality atau kwalitas selama perjalanan, merupakan idikasi dari kenyamanan dan selematan sebuah kendaraan atau transportasi. Ride quality berkaitan dengan gerak dan kecepatan sehingga jelas bahwa gerak dan yang besar menyebabkan kondisi tidak nyaman bagi awak kapal (mabuk atau terpental) saat kapal melakukan aktifitas diatas kapal dan kondisi tidak nyaman bagi awak kapal sendiri. Hal ini akan membatas kemampuan dan lama waktu operasi kapal dilaut, khusus bila terjadi gelombang yang cukup besar.



Bidang Transportasi - 359



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pada umumnya desain kapal high speed craft (HSC) pada umum mengunakan lambung jenis rounded hull, planing hull atau hard chine planing sehingga diperlukan suatu analisa dan studi baru terhadap bentuk lambung ini, salah satunya dengan melakukan analisa teknis pengunaan bentuk lambung AXE Bow. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan basah (water surface area) karena munculnya turbulensi di bawah lambung, dan akan menambah kekuatan untuk tekan kapal (gaya angkat), sehingga yang dengan sendirinya akan mengurangi hambatan dan peningkatan efisiensi maka akan menghasilkan daya yang beda, kecepatan mesin lebih kecil dan kebutuhan bahan bakar menjadi berkurang, Tujuan penelitian ini adalah untuk memeperoleh desain kapal HSC dengan bentuk AXE Bow, mengetahui pengaruh bentuk lambung kapal HSC planing hull dan AXE Bow ditinjau dari nilai hambatan serta dapat mengetahui kateristik aliran fluida disekitar lambung hull planing dan AXE Bow.



2. TINJAUAN PUSTAKA Kapal high Speed Craft Crew boat adalah alat transportasi laut yang digunakan untuk membawa crew atau tenaga kerja yang biasanya bekerja dilepas pantai, atau dipengeboran. Kapal ini beroperasi sama seperti halnya kapal – kapal penumpang pada umumnya. Kapal jenis ini terlalu besar dan tidak terlalu banyak membawa penumpang atau pekerja, karena kapal jenis ini mengutamakan kenyamanan.



Gambar 1. Tipe lambung High Speed Craft (PNA:1998) Menurut (IMO IS CODE : 2008) high speed craft merupakan kapal cepat yang mampu berlayar dengan kecepatan maksimum, dalam meter per detik (m/s), sama dengan atau melebihi : 3.7 . 0.1677 .................................................................................................................. (1) Dengan,  adalah Displasmen sesuai dengan desain garis air (m³) AXE Bow adalah jenis lambung yang menusuk gelombang pada haluan kapal, ditandai dengan batang vertikal dan entri yang relatif panjang dan sempit (hull depan) atau berbentuk seperti kapak. Kaki depan dalam dan freeboard yang relatif tinggi, dengan sedikit menonjol kebawah, sehingga profil busur menyerupai kapak.



360 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 2. Kapal Axe Bow Perhitungan Resistance Dalama perhitungan tahanan dalam penelitian ini mengunakan metodel hull speed dengan metode savitsky dan perhitungan tahanan secara. Koefisien kecepatan planingg hull menurut Daniel Savitsky dinyatakan dengan: √



................................................................................................................... (2)



Dimana: Cv = Koefisien Kecepatan V = Kecepatan Kapal (m/s) g = Percepatan Grafitasi (9,81 m/s2) b = Maximum Beam Over Chine (m) Pada Gambar 2, ditunjukkan letak dari sudut deadrise ( β ) suatu kapal cepat.



Gambar 2. Letak Sudut Deadrise (β) pada suatu kapal cepat. Ketika terjadi kondisi sudut deadrise yang terbentuk sama dengan nol, (β = 0), maka koefisien angkat dinyatakan dengan Persamaan (3): Clb 



 ............................................................................................. (3) 0,5    V 2  B 2



Dimana : Clb ρ V Bpx ∆



= Koefisien Angkat (Lift Coeficient) = Massa Jenis Air Laut (Slug/Cu.Ft) = Kecepatan Kapal (ft/sec) = Maximum Chine Beam (ft) = Displasemen (lb)



Bidang Transportasi - 361



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 3. Grafik sudut deadrise menurut daniel Savitsky Sedangkan displasemen Volume dapat dihitung dengan menggunakan rumus (4): ∇ = L. B.T. Cb ......................................................................................................... (4) Dimana : L =Panjang Kapal (Lwl , m) B = Lebar Kapal (m) T = Tinggi Sarat (m) Cb = Koefisien Blok ∇ = Displasemen Volume (m3) Nilai λ yang merupakan nilai rata rata perbandingan antara panjang dan lebar pada area basah kapal. Savitsky mengambil asumsi bentuk lambung yang prismatis (prismatic hull form). Asumsi ini membawa konsekwensi berupa nilai sudut dead rise merupakan angka yang konstan sepanjang lambung kapal. Sehingga Penggunaan Grafik Equilibrum planning digunakan untuk mengetahui besarnya sudut trim (η) yang bekerja pada kapal.



Gambar 4. Grafik Equilibrium Planning Condition untuk β = 0 derajat



362 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Lebih lanjut Savitsky melakukan pendekatan untuk mengetahui nilai Bilangan Reynold dengan persamaan (5) ................................................................................................................... (5) Dimana : Rn λ b V1 υ



= Bilangan Reynold = Nilai rata rata perbandingan antara panjang dan lebar pada area basah kapal = Maximum Chine Beam (m) = Kecepatan Kapal (m/s) = Viskositas Air laut (m2/s)



Kemudian penentuan koefisien tahanan gesek Savitsky menggunakan metode Schoenherr. Schoenherr memperkirakan bahwa koefisien tahanan gesek dinyatakan dengan (6) : ................................................................................................. (6) ( ) Dimana : Cf = Koefisien tahanan gesek Tahanan Total hitung dengan (7) ........................................................................................ (7) Dimana : RT = Tahanan Total (KN) Analisis Aliran Fluida CFD Analisa masalah aliran yang berupa kecepatan, tekanan atau temperatur didefinisikan sebagai suatu daerah yang berupa simpul-simpul tiap cell. Jumlah cell dalam grid (mesh) menentukan akurasi penyelesaian CFD. Pada umumnya semakin banyak cell semakin akurat penyelesaianya. 1. Solver Manager Solver dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu finite difference, finite element dan finite volume. Boundary Condition Inlet Boundary Condition Inlet adalah input aliran fluida pada kondisi normal tanpa adanya fenomena yang terjadi. - Massa dan Momentum Momentum yang terjadi pada aliran fluida yang dipengaruhi oleh massa dan kecepaan dengan vector kecepatan U, V dan W. arah yang diambil dalam perlakuan terhadap boundary adalah arah normal terhadap domain. Komponen kecepatan aliran (Cartisien Velocity Vector) adalah dengan resultan : U inlet = U specj + V speci + W speck ............................................................... (8) -



Tekanan Total Tekanan total, Ptot, untuk fluida didefinisikan sebagai Ptot = Pstat ......................................................................................................... (9)



Bidang Transportasi - 363



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



-



Kecepatan Laju Aliran Massa Batas laju aliran massa, ditentukan sepanjang arah komponen, dimana influx massa dihitung menggunakan rumus : ρU = m/∫sdA...................................................................................................... (10)



Boundary Condition Outlet Kecepatan Outlet Komponen kecepatan outlet boundary adalah komponen a. Cartisien velocity. U outlet = U speci + V specj + W speck ........................................................ (11) b. Tekanan Outlet Fluida Tekanan outlet fluida adalah tekanan static inlet ditambah perubahan tekanan yang terjadi PTot = Pstat + ½ ρU2 .................................................................................................................................. (12) Boundary Condition Wall a. Tekanan Statis Rata-Rata Wall Relative Static Pressure adalah : Pav = PdA A ∫ PdA ............................................................................................. (14) b. Mass Flow Rate Out Distribusi massa di daerah wall ditentukan oleh aliran berat massa. c. Heat Transfer Perpindahan panas ditentukan adiabatic pada Wall boundary kapal karena pengaruh energi panas yang begitu kecil terhadap nilai lift sehingga : Qwall = 0 ............................................................................................................. (15) d. Post Processor Pada step ini akan ditampilkan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada tahap sebelumya. Hasil perhitungan dapat dilihat berupa data numerik dan data visualisasi aliran fluida pada model.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Peembuatan Model Kapal Kapal crew boat PRIMER 7 dibangun oleh PT.VISTA MARITIM INDONESIA Batam pada tahun 2013, berklasifikasi American Bureau of Shipping (ABS), kapal ini mengangkut 10 Crew dan 90 penumpang, memiliki 3 mesin utama dan 2 mesin bantu.



364 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



FP



19 18



17



DESIGN DRAFT



16



15



14 13 12



WL1.5 WL1



FP



1



WL0.25 BL4



BL2



BL3



WL1.5



WL0.5 WL0.25



FP BL5



98



WL1



AP



WL0.5



BL6



DESIGN DRAFT 1110



BL1



BL1



BL2



BL3



BL4



BL5



BL6



Gambar 5. Kapal Crew boat Tabel 1. Demensi Utama Kapal Crew Boat Parameter Symbol Overall Lenght Length Between Perpendicular Length Water line Breadth Molded Height Molded Draft/Drougt Displasmen Coofesien Prismantik Coofesien Block Coofesien Midsip Water Surface Area Sudut Deadrise



Satuan



LOA LBP



m m



LWL Bmld Hmld T ∆ Cp Cb Cm WSA (β)



m m m m Ton m M2 m m o



HPC



HPCAB



38 34.68



38 36.44



38 7.6 3.65 1.85 251.485 0.708 0.398 0.774 271.574 27



38 7.6 3.65 1.89 251.889 0.676 0.273 0.702 289.975 27



Gambar 6. lambung model Hull Planing Chine (HPC) dan AXE Bow Analisa Tahanan Analisa tahanan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan membandingkan perhitungan manual dengan metode perhitungan softwate maxsurf 13. Perhitungan



Bidang Transportasi - 365



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean tahanan secara manual dilakukan dengan menggunakan metode savitsky. Dengan memberikan batasan bahwa kapal telah mengalami mode planning. Dengan parameter yang ada maka perhitungan tahanan dapat dilakukan.



Gambar 7. Analisa Tahanan Kapal Hull Planing Chine di Maxsurf



Gambar 8. Analisa Tahanan Kapal Hull Planing Chine AXE Bow di Maxsurf Tabel 3. Hasil Perhitungan Tahanan kapal Crew boat jenis HPC dan HPCAB Speed(Knott) 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30



MANUAL HPC HPCAB 0 0 191.06 184.72 196.93 190.58 210.68 197.13 215.35 205.01 230.27 214.49 235.50 223.41 239.35 231.68 243.65 243.10 248.67 248.11 252.56 251.98



366 – Bidang Transportasi



HUL SPEED HPC HPCAB 0 0 194.8 188.11 201.987 195.167 209.373 202.443 216.96 209.89 224.77 217.577 232.757 225.423 240.91 233.43 249.24 241.607 257.693 249.913 266.25 258.32



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 9 . Grafik tahanan Kapal HPC dan HPCAB Pada gambar 9. dapat diamati korelasi antara Resistance terhadap Speed yang menunjukkan kenaikan resistance pada tiap kenaikan kecepatan kapal. Kenaikan resistance tersebut terjadi pada model HPC dan HPCAB, dimana kapal HPC AXE Bow meiliki tahanan yang lebih kecil, pada kecepatan Kapal 24 Knot tahana Kapal Hull Planing Chine (HPC) adalah 215,35 kN, sedangkan kapal Hull Planing ChineAXE Bow adalah 205,01 kN. Pada grafik diatas terlihat bahwa adanya hubungan yang berbanding lurus antara kecepatan kapal dengan sudut trim kapal, semakin besar kecepatan kapal maka sudut trim kapal juga semakin besar. Analisa Aliran Fluida Sebelum melakukan tahap analisis kecepatan, dilakukannyatahap validasi yaitu grid independence pada kapal 38 meter dan trim tab bertujuan untuk mengurangiterjadinya kesalahan perhitungan pada model yang akan dianalisis dan mempunyai ketentuan yaitu tidak boleh lebih dari 2% dapat dilihat pada Gambar 4 dan validasi kedua dilakukannya konvergensi, yang tujuannya adalah untuk mengurangi tingkat kesalahan dan meningkatkan tingkat keakurasian pada perhitungan, yang pada percobaan initingkat errornya ialah 10-4, nilai ini merupakan nilai konvergensi terbaik dan telah banyak digunakan pada berbagai perhitungan aplikasi teknik dapat dilihat pada Tabel 3 dan gambar 10. Tabel 3. Grid independence model kapal HPC dan HPCAB Hambatan Total HPC Hambatan Total HPCAB Simulasi ke1 2 3 4 5 Jumlah Element 64705 Jumlah elemen 58974 126854 233464 455657 924105 Hambatan Force (N) 305789.3 Hambatan Viskos 286.345 240.63 234.283 228.111 223.908 Hambatan Force (kN) 305.7893 %RT 15.96501 2.637659 2.634421 1.842524 %RT -



125820 230877 235866 222020 235.866 222.02 22.8665 5.870282



457522 966911 214335 210335 214.335 210.335 3.4614 1.866237



Gambar 10. Grid Independence dan batas konvergensi kapal HPC dan HPCAB 10-4



Bidang Transportasi - 367



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Penggambaran desain geometri dilakukan di acad (autocad) atau dapat dilakukan di maxsurf yang disave as sebagai file IGES, kemudian diexport geometry di ICEM CFD ansys. Setelah melakukan edit gometry kemudian repair dan meshing. Tahap selanjutnya file icem cfx sebagai inputan untuk ansys pre, solver dan post. Pada simulasi ini metode yang digunakan adalah metode free surface sehingga terdapat dua jenis fluida yang masuk kedalam simulasi yaitu air laut dan udara.



Gambar 11. Meshing Kapal Crew boat Pada analisa ini kapal dibuat penuh tertutup surface sampai deck, kapal diletakan pada sebuah kotak dengan ukuran depan 2 x panjang kapal, belakang 4 x panjang kapal sisi 1.5 panjang kapal dan bawah tergantung kedalaman perairan, P x L x T = 228 x 57 x 20. Setelah itu memberi boundary condition pada tiap-tiap bagian domain. Inlet boundary pada simulasi ini metode yang digunakan adalah metode free surface sehingga terdapat dua jenis fluida yang masuk kedalam simulasi yaitu air laut dan udara.



Gambar 12. Kontur Tekanan pada Kapal HPC dan HPCAB Gambar 14 menunjukkan adanya perbedaan pressure yang terjadi disekitar lambung kapal HPC dan AXE bow yang di running pada kecepatan 24 Knot, warna merah pada ujung haluan kapal ini berarti tekanan yang terjadi paling besar yaitu sebesar 54723 pa Pa dan 36343,4Pa, sedang kan warna biru menyatakan tekanan terendah yaitu -11194 Pa kapal HPC dan -1461 Pa untuk kapal HPCAB, akan tetapi luas tekenan lebih banyak terjadi pada badan kapal adalah pada kapal lambung HPC dibandingkan kapal AXE Bow.



Gambar 13. Bentuk aliran fluida yang ditimbulkan Kapal HPC dan HPCAB



368 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 14. Bentuk aliran fluida dan pola gelombang yang ditimbulkan Kapal HPC dan HPCAB Pada gambar 14 terlihat bahwa ternyata aliran yang dibentuk pada permukaan lambung kapal dominan memiliki Velocity yang sama, dan memiliki bentuk aliran air lurus dan menyebar. Akan tetapi jika dilihat dari warna yang terlihat di lambungnya terdapat juga tempat tempat yang cendrung memiliki velocity yang lebih tingggi terutama bagian depan dan bawah permukan kedua model kapal.



4. KESIMPULAN Setelah melakukan semua perhitungan dan simulasi model yang direncakan, dan berdasarkan hasil analisa serta pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari grafik perbandingan nilai tahanan model kapal planing hull dan AXE Bow pada gambar 9 menunjukkan nilai tahanan kapal Axe Bow lebih kecil 205,01 kN, lebih kecil dibandingkan kapal Planing Hull yaitu 205, 35 kN, hal ini sangat berpengaruh terhadap power engine yang dibutuhkan kapal. 2. Hasil simulasi Ansys menunjukkan pada model HPC dan AXE Bow pada kecepatan 24 knot memiliki tekanan paling besar yaitu sebesar 54723 pa Pa dan 36343,4Pa, sedang kan menyatakan tekanan terendah yaitu -11194 Pa dan -1461 Pa.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Budiarto, G. (2011), Testing Position Step Hull at the National Corvette Battleship the Size of 90 meters With CFD Analysis Approach, Tesis, Department Of Marine Engineering, Ocean Engineering Faculty, ITS, Surabaya. 2. Endro, W.D. (2014), High Speed Ship Total Resistance Calculation (An Empirical Study), Jurnal Kapal V11, No 1. 3. Harvald, S.V. (1988). Tahanan dan Propulsi Kapal. Terjemahan oleh Jusuf Sutomo, Ir. M.sc. 1992. Surabaya: Airlangga University Press. 4. Keuning, J.A., Pinker, J., & Walree, F.V. (2011), Investigation In To The Hydrodynamic Performance of the AXE Bow Concept. 5. Oortmerssen, G. (1971), A Power Prediction Method and its Application to Small Ships, International Shipbuilding Progress, Vol 18, No.207. 6. Watson, D.G.M. (1998), Practical Ship Design, Volume I. Oxford, UK, Elsevier Science Ltd.



Bidang Transportasi - 369



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Halaman ini sengaja dikosongkan



370 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA PENGGUNAAN RECLAIMED ASPHALT PAVEMENT (RAP) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN ASPAL DINGIN JENIS OGEMS DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL EMULSI MODIFIKASI (STUDI KASUS MATERIAL RAP JALAN KOLONEL H. BURLIAN PALEMBANG) Rudi Juharni, Ria A. A. Soemitro2, dan Herry Budianto3 1



Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Aset Infrastruktur – FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya , [email protected]: 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya,Telp. 031-5939925: 3 Dosen Jurusan Manajemen Aset Infrastruktur FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Telp.031-5939925;



ABSTRAK Potensi Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) hasil Cold Milling Machine untuk penanganan jalan nasional di Propinsi Sumatera Selatan cukup besar, namun penggunaan kembali RAP ini masih sangat kecil. Padahal di dalam RAP ini masih terdapat agregat, baik kasar maupun halus, dan aspal yang bisa digunakan kembali. Adanya tuntutan peningkatan kualitas campuran akibat peningkatan beban lalu lintas serta pengaruh iklim dan cuaca menyebabkan penggunaan aspal modifikasi merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan keandalan struktur jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan penggunaan RAP dalam perkerasan campuran aspal dingin jenis Open Graded Emulsion Mixtures (OGEMs) yang menggunakan bahan pengikat aspal emulsi modifikasi jenis CSS-1h modif. Penelitian ini membuat campuran beraspal dingin dengan proporsi 15% RAP dan 85% material baru. Komposisi campuran harus memenuhi amplop gradasi agregat. Campuran kemudian diuji dengan pengujian Marshall untuk meninjau sifat-sifat campuran yang sesuai dengan ketentuan Spesifikasi Bina Marga. Penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dan RAP yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Jl. Kol. H. Burlian Palembang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai stabilitas dan stabilitas sisa komposisi 15% RAP Jl. Kol. H. Burlian Palembang dan 85% material baru pada rentang kadar aspal 3,3% - 5,3% memenuhi ketentuan Spesifikasi Bina Marga. Kata kunci: Reclaimed Asphalt Pavement (RAP), aspal emulsi modifikasi, Jl. Kol. H. Burlian Palembang



1. PENDAHULUAN Dalam rangka penyelenggaraan jalan berbagai metode pemeliharaan jalan dilaksanakan antara lain dengan melapisi kembali lapisan permukaan dengan perkerasan lentur atau mengupas/mengeruk lapisan permukaan perkerasan tersebut terlebih dahulu, baik untuk perbaikan jenis-jenis kerusakan permukaan aspal seperti retak, gelombang, alur, dan lainnya, maupun untuk pelapisan ulang perkerasan lentur. Hasil galian atau pengerukan perkerasan beraspal inilah yang disebut dengan Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) {4}. Penggunaan Material RAP ini sangat potensial untuk diterapkan pada pemeliharaan perkerasan jalan seperti untuk kegiatan patching (tambal sulam), perbaikan bentuk permukaan, dan pelapisan kembali jalan dengan volume lalu lintas rendah. Penelitian yang telah dilakukan selama ini banyak menggunakan aspal panas dalam upaya pemanfaatan kembali hasil RAP. Untuk itu dirasa perlu untuk melakukan



Bidang Transportasi - 371



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean penelitian dengan menggunakan bahan campuran aspal dingin sebagai alternatif penerapan pemakaian bahan RAP. Dalam upaya untuk mengoptimalkan potensi RAP di Sumatera Selatan, maka dilakukan penelitian ini yaitu penggunaan RAP sebagai bahan coldmix (Campuran Aspal Dingin) menggunakan aspal emulsi modifikasi.



2. KAJIAN PUSTAKA Aspal Aspal minyak dapat dikelompokkan menjadi : 1. Aspal Keras (Asphalt Cement/AC) 2. Aspal Cair (Cut Back Asphalt) 3. Aspal Emulsi (Emulsion Asphalt) Agar aspal dapat digunakan sebagai bahan campuran aspal perlu diuji sifat-sifat teknisnya {3}, antara lain: 1. Durabilitas 2. Pengerasan dan Penuaan 3. Kepekaan terhadap Temperatur 4. Adhesi dan Kohesi Campuran Aspal Dingin Agregat Pemeriksaan antara lain meliputi: 1. Ukuran Butir 2. Gradasi 3. Kebersihan 4. Daya Tahan Agregat 5. Kelekatan terhadap Aspal Klasifikasi agregat berdasarkan ukuran butiran : a. Agregat Kasar b. Agregat Halus c. Bahan Pengisi/filler Aspal Emulsi Aspal emulsi terdiri dari butir-butir aspal halus dalam air yang diberikan muatan listrik, sehingga butir-butir aspal tersebut tidak bersatu dan tetap berada pada jarak yang sama. Karena adanya perbedaan muatan listrik yang diberikan, maka aspal emulsi dapat digolongkan menjadi 3 kategori {3} yaitu : 1) Aspal emulsi anionik 2) Aspal emulsi kationik 3) Aspal emulsi nonionik Secara umum aspal emulsi direncanakan untuk penggunaan spesifik {2}, seperti : a. Aspal emulsi mantap cepat (Rapid Setting/RS) b. Aspal emulsi mantap sedang (Medium Setting/MS) c. Aspal emulsi mantap lambat (Slow Setting/SS)



372 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Aspal Modifikasi Aspal modifikasi adalah aspal minyak yang ditambah dengan beberapa aditif dengan maksud untuk meningkatkan kinerjanya. Berbagai cara dan jenis aditif dicoba untuk ditemukan agar titik lembek aspal yang ada di pasar dapat dinaikkan dari 48°C menjadi paling tidak 55°C atau bahkan lebih tinggi untuk mengatisipasi permukaan beton aspal yang menderita panas permukaan tinggi untuk mengantisipasi permukaan beton aspal yang menderita panas permukaan tinggi, beban as berat, kendaraan berjalan lambat, dan alur ban bergerak seperti berjalan di atas rel kereta api (kanalisasi) {5}. Aspal modifikasi diharapkan akan memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada aspal biasa, menambah kemampuan aspal agar tidak terlalu benyak terpengaruh oleh temperatur (dengan meningkatkan titik lembek atau mendorong Indek Penetrasi ke arah positif) dan menambah kelengketan bila aspal yang ada memang kurang daya lengketnya. Aspal emulsi modifikasi yang akan dipakai pada penelitian ini adalah jenis CSS-1h dengan tambahan bahan lateks. Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) Bahan campuran beraspal yang mengandung RAP harus memenuhi spesifikasi sebagaimana campuran aspal yang terbuat dari material baru. Untuk itu di dalam perencanaan campuran aspal yang mengandung RAP, gradasi dan agregat terkandung dalam RAP harus diketahui terlebih dahulu. Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan dengan melakukan ekstraksi RAP dengan pelarut tertentu untuk memisahkan agregat aspal dan aspal yang terkandung di dalamnya. Agregat yang diperoleh kemudian diayak untuk mengetahui gradasinya {4}. RAP biasanya mengandung agregat dengan ukuran banyak yang lebih kecil sehingga perlu dilakukan penambahan agregat baru yang ukuran dan jumlahnya tertentu agar memenuhi spesifikasi gradasi yang berlaku. Setelah gradasi gabungan dan jumlah RAP ditentukan maka dilanjutkan dengan penentuan aspal baru untuk mencapai sifat-sifat aspal yang diinginkan dalam campuran {4}. Selain dipergunakan untuk bahan campuran beraspal, RAP dipergunakan sebagai base pada bahu jalan atau ditimbun {4}. Pengujian Campuran Dalam perencanaan campuran aspal dingin diperlukan pengujian bahan yang digunakan meliputi analisa ayakan, berat jenis, dan semua jenis pengujian lainnya sebagaimana yang disyaratkan untuk semua agregat yang digunakan, serta pengujian bahan aspal. Selanjutnya untuk mendapatkan nilai dari parameter-parameter sifat-sifat campuran beraspal dingin sesuai dengan persyaratan campuran aspal dingin dilakukan pengujian Marshall. Kemudian juga dilakukan uji perendaman Marshall. Uji perendaman Marshall merupakan uji lanjutan dengan maksud mengukur ketahanan daya ikat/adhesi campuran beraspal terhadap pengaruh air dan suhu. Tingkat durabilitas campuran dapat dilihat dari nilai Stabilitas Sisa rendaman Marshall yang merupakan hasil bagi nilai stabilitas Marshall setelah perendaman selama 4 x 24 jam pada temperatur ruang atau divacum selama 60 menit di dalam desicator pada 100 mm Hg dan direndam dalam air selama 60 menit pada temperatur ruang dengan nilai stabilitas Marshall kondisi standar. Semakin besar nilai stabilitas sisa semakin besar durabilitas campuran tersebut {1}.



Bidang Transportasi - 373



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODA PENELITIAN Kegiatan penelitian ini secara garis besar dibagi dalam dua tahapan, yaitu : A. Tahapan penelitian material (RAP, agregat baru, dan aspal emulsi modifikasi) B. Tahapan penelitian campuran aspal dingin dengan aspal emulsi modifikasi dan RAP dengan tujuan akhir untuk mengetahui komposisi campuran yang optimal dari RAP, aspal emulsi modifikasi, dan agregat baru. Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini terdiri atas : A. RAP yang digunakan berasal dari hasil kupasan Cold Milling Machine pada Jalan Kolonel H. Burlian Palembang. Lapisan permukaan jalan Kolonel H. Burlian merupakan Asphaltic Concrete yang di overlay pada tahun 2010. B. Agregat yang digunakan terdiri dari agregat kasar dan agregat halus dari Soekarno Hatta Palembang. C. Aspal yang digunakan untuk campuran adalah aspal emulsi modifikasi jenis CSS1h Modif.



4. HASIL Pengujian material meliputi pengujian agregat dan pengujian aspal. Hasil pengujian tersebut adalah sebagai berikut: A. Agregat yang terkandung dalam RAP dan agregat baru memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini. Tabel 15. Hasil Pengujian Agregat RAP No Pengujian RAP Persyaratan 1. Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan 5,6% Maks. 12% magnesium sulfat 26% Maks. 40% 2. Abrasi dengan mesin Los Angeles pada 500 putaran >95% Min. 95% 3. Kelekatan agregat terhadap aspal Sumber : Hasil Pengujian Tabel 16. Hasil Pengujian Agregat Baru No. URAIAN 1. Kekekalan bentuk terhadap larutan natrium atau magnesium sulfat (%) 2. Abrasi dengan mesin Los Angeles pada 500 putaran (%) 3. Kelekatan agregat terhadap aspal (%) 4. Berat Jenis (gr/cm³) Sumber : Hasil Pengujian



NILAI 5,1



PERSYARATAN Maks. 12



24,32



Maks. 40



> 95 2,594



Min. 95 -



B. Hasil pengujian aspal emulsi modifikasi memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan



374 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 17. Hasil Pengujian Aspal Emulsi Modifikasi No. JENIS PENGUJIAN METODE SNI 03-6829-2002 1. Kadar Residu SNI 06-2456-1991 2. Penetrasi 25°C 100 gr, 5 detik SNI 06-2432-1991 3. Daktilitas (Ductility) SNI 06-2468-1991 4. Kelarutan dalam Trichlor Etylen SNI 03-6721-2002 5. Viscositas SNI 03-3643-1994 6. Tertahan Saringan No. 20 SNI 03-6828-1994 7. Pengendapan 1 Hari 8. Pengendapan 5 Hari 9. Hasil uji campuran semen SK SNI M 09-1994(%) 03 SNI 03-3644-1994 10. Muatan Partikel Listrik Sumber : PT. Triasindomix



HASIL UJI 57,17 88,33



SYARAT Min. 57% 40 – 90



70,00 97,729



Min. 40 -



25,057 0,00 0,70 4,52 -



20 – 100 Maks. 0,10 Maks. 1 Maks. 5 Max. 20



Positif



Positif



C. Agregat yang terkandung dalam RAP tidak masuk dalam amplop gradasi yang dipersyaratkan sesuai gambar 1, dan menunjukkan bahwa gradasi agregat RAP mengandung fraksi halus lebih banyak dibandingkan fraksi halus yang diperlukan dalam OGEMs. Sedangkan komposisi dari agregat campuran dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini. 100 90 80



Persen Lolos



70 60 50 40 30 20 10 0 # 200



#8



Ukuran Saringan RAP



max



3/8



3/4 1



min



Gambar 19. Gradasi Agregat RAP



Bidang Transportasi - 375



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 100 90



Persen Lolos



80 70 60 50 40 30 20



10 0 # 200



#8



Ukuran Saringan Gradasi Campuran



Batas Atas



3/8



3/4 1



Batas Bawah



Gambar 20. Gradasi Agregat Campuran RAP Jl. Kol. H. Burlian Palembang 15% dengan Agregat Baru 85% Berdasarkan gradasi RAP yang telah didapat maka diperlukan penambahan agregat baru. Dengan komposisi 15% agregat RAP penambahan yang diperlukan 80% agregat Split 1-2, serta 5% agregat screen 1-1. Hasil pengujian Marshall terhadap benda uji tersebut adalah sebagai berikut : A. Hasil pengamatan secara visual untuk tes penyelimutan dapat dilihat padaTabel 4. Tabel 18. Pengujian Kadar Air Penyelimutan No. Kadar Air (%) Penyelimutan 1. 1 35 2. 2 55 3. 3 70 4. 4 80 5. 5 80 Sumber : Hasil Pengujian B. Pengujian terhadap benda uji dengan kadar RAP Jl. Kol. H. Burlian Palembang 15% memenuhi semua persyaratan sehingga didapatkan Kadar Aspal Optimum dalam campuran yaitu 4,3% yang dapat dilihat pada gambar 3



376 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Stabilitas



Stabilitas Sisa



TFA



3



3.5



4



4.5



5



5.5



Kadar Aspal (%)



Gambar 21. Hasil Pengujian Benda Uji dengan Kadar RAP 15%



5. KESIMPULAN Hasil gradasi terhadap agregat RAP menunjukkan bahwa agregat RAP cenderung bergradasi halus, karena pengerukan yang dilakukan pada ruas Jl. Kol. H. Burlian Palembang umumnya pada lapisan AC-WC bergradasi halus. Apabila digunakan untuk OGEMs harus ditambah agregat baru, terutama agregat kasar. Hasil pengujian karakteristik agregat menghasilkan nilai kekekalan bentuk agregat 5,6%, abrasi 26%, dan kelekatan agregat terhadap aspal >95%. Hasil pengujian terhadap material baru yang ditambahkan (aspal maupun agregat baru) memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sehingga bisa digunakan sebagai bahan campuran aspal dingin Penggunaan 15% RAP Jl. Kol. H. Burlian Palembang dan agregat baru 85% untuk OGEMs memenuhi persyaratan serta dapat menghasilkan nilai Kadar Aspal Optimum dalam campuran sebesar 4,3%.



Bidang Transportasi - 377



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (2006), Pemanfaatan Asbuton Buku 5 Campuran Beraspal Dingin dengan Asbuton Butir Peremaja Emulsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 2. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (1992), Tata Cara Pelapisan Ulang Dengan Campuran Aspal Emulsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 3. Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (2010), Spesifikasi Umum Edisi 2010, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta. 4. National Asphalt Pavement Association (1996), Hot Mix Asphalt Materials, Mixture Design, and Construction, NAPA Education Foundation, Maryland. 5. Soehartono (2010), Teknologi Aspal Dan Penggunaannya Dalam Konstruksi Perkerasan Jalan, PT. Medisa, Jakarta. 6. Sukirman, Silvia (1992), Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Jalan, NOVA, Bandung.



378 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



HUBUNGAN ANTARA SIKAP PENGGUNA, PEMILIHAN MODA, AKTIVITAS DAN TINGKAT KEPUASAN PADA PENGGUNAAN MODA TRANSPORTASI (MENGGUNAKAN PENDEKATAN SEM-PLS) Tampanatu P. F. Sompie1, Syanne Pangemanan1 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431-815288, email: tpf_sompie @yahoo.com



ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki populasi penduduk terpadat di dunia. Sebagai negara berkembang dengan tingkat mobilitas yang tinggi, transportasi merupakan salah satu faktor penting sekaligus menjadi perhatian utama pemerintah dalam beberapa dekade terakhir. Buruknya sarana dan prasarana transportasi menyebabkan banyak pengguna transportasi menggunakaan kendaraan pribadi. Dengan demikian, transportasi umum yang nyaman, cepat dan aman bagi penggunanya dibutuhkan untuk meredam tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, peningkatan kualitas transportasi diharapkan bisa mengurangi permasalahan kemacetan dan pemborosan bahan bakar. Penelitian ini mengambil subjek pengguna transportasi di Kota Manado melalui kuesioner yang disebar kepada 209 responden. Isi kuesioner sendiri digunakan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik perjalanan pada hari kerja, termasuk pendapat umum dan sikap yang berkaitan dengan moda yang digunakan; pertanyaan sikap terkait dengan pentingnya atribut perjalanan seperti biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan; tingkat kepuasan mengenai moda transportasi yang digunakan; karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, ukuran keluarga; dan karakteristik sosial ekonomi responden meliputi penghasilan keluarga dan jumlah kepemilikan kendaraan. Analisa menggunakan Structural Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sikap berpengaruh terhadap penggunaan moda transportasi, semakin tinggi kepentingan terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan maka akan semakin tinggi juga kecenderungan untuk menggunakan moda transportasi mobil pribadi. Untuk pemilihan moda transportasi dengan aktivitas, semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan beraktivitas (jarak dan waktu). Sebaliknya, semakin rendah pemilihan moda (memilih kendaraan umum) maka kecenderungan untuk beraktivitas dalam konteks waktu dan jarak di jalan semakin rendah. Sedangkan, hubungan antara pemilihan moda dan kepuasan pengguna, semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan tingkat kepuasan pengguna. Sebaliknya, semakin rendah pemilihan moda (memilih kendaraan umum) maka kepuasan responden juga semakin rendah. Sementara itu, pengaruh aktivitas pengguna terhadap kepuasan menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas (jarak dan waktu) maka akan menyebabkan semakin rendahnya kepuasan pengguna. Sebaliknya, semakin rendah aktivitas (jarak dan waktu) maka kepuasan pengguna akan semakin tinggi. Kata Kunci: Sikap, Pemilihan Moda, Aktivitas, Kepuasan Pengguna, SEM-PLS



1. PENDAHULUAN Peneliti bidang perilaku perjalanan selama beberapa dekade telah berusaha untuk memberikan gambaran yang lebih baik untuk menjelaskan kompleksitas pada pemilihan moda transportasi dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor sosial ekonomi di satu sisi dan atribut alternatif transportasi di sisi lain merupakan dua elemen kunci yang banyak digunakan sebagai praktik untuk membuat model dalam kegiatan perencanaan moda transportasi. Dari sisi teoritis, berbagai riset telah menempatkan lebih luas berbagai



Bidang Transportasi - 379



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean informasi yang berkaitan dengan individu, termasuk sikap, preferensi dan niat, persepsi dan opini, keadaan emosional dan motivasi, norma subyektif dan ciri kepribadian, tanggung jawab yang dirasakan dan kontrol, kebiasaan, gaya hidup, variabel situasional seperti kondisi kesehatan dan berbagai faktor lainnya yang menjadi determinan pilihan transportasi. Pergerakan secara cepat, aman, mudah serta nyaman merupakan kemauan setiap individu. Akan tetapi, pada saat bersamaan terdapat sejumlah orang yang bergerak dari dan ke tempat tujuan yang sama. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mendasari seperti faktor manusia, ekonomi, sarana dan prasarana, administrasi, dan lain sebagainya. Permasalahan di bidang transportasi mempunyai keterkaitan dengan hal-hal seperti tata guna lahan, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi. Tata guna lahan mempunyai keterkaitan dengan jumlah bangkitan perjalanan, sehingga dalam rangka mempelajari bangkitan perjalanan, tata guna lahan yang menjadi lokasi penelitian harus diketahui terlebih dahulu. Tata guna lahan menunjukkan kegiatan yang ada dan menempati petak lokasi, dimana setiap petak dapat mencirikan tiga ukuran dasar yaitu: jenis kegiatan yang terjadi, intensitas penggunaan, serta hubungan antar guna lahan. Sementara dalam setiap lingkup perencanaan, penduduk merupakan faktor yang harus diperhitungkan dan tidak dapat diabaikan. Penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi masalah transportasi. Pelaku utama pergerakan di jalan adalah manusia, oleh karenanya pengetahuan mengenai tingkah laku serta perkembangan penduduk merupakan bagian penting dalam proses perencanaan transportasi. Sedangkan, keadaan sosial ekonomi seringkali berpengaruh terhadap aktivitas manusia, sehingga pergerakan manusia juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi manusia tersebut. Pekerjaan, penghasilan, serta kepemilikan kendaraan seseorang akan berpengaruh terhadap jumlah perjalanan yang dilakukan, jalur perjalanan yang digunakan, waktu perjalanan, serta jenis kendaraan yang digunakan. PEMBATASAN MASALAH Sarana transportasi dibutuhkan oleh setiap individu untuk sampai ke tempat yang dituju untuk melakukan aktivitas kesehariannya. Terdapat berbagai macam faktor yang berpengaruh dalam penggunaan moda transportasi untuk beraktivitas. Dalam makalah ini permasalahannya yang ditinjau dibatasi untuk mengetahui Pengaruh faktor biografis (usia dan pendidikan), faktor status sosial, dan ukuran keluarga terhadap sikap pengguna moda; Pengaruh terhadap pemilihan moda transportasi; Pengaruh pemilihan moda terhadap aktivitas perjalanan; Pengaruh pemilihan moda dan aktivitas perjalanan terhadap kepuasan pengguna.



2. TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Moda Warpani (1990) mengelompokkan faktor – faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan moda menjadi: 1. Ciri pengguna jalan. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi pemilihan moda: Ketersediaan atau pemilikan kendaraan pribadi; semakin tinggi pemilikan kendaraan pribadiakan semakin kecil pula ketergantungan pada angkutan umum; Pemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM); Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak, pensiun, bujangan, dan lain-lain); Pendapatan; semakin tinggi pendapatan akan semakin besar peluang menggunakan kendaraan pribadi; faktor



380 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 lain misalnya keharusan menggunakan mobil ke tempat bekerja dan keperluan mengantar anak sekolah. 2. Ciri Pergerakan. - Tujuan pergerakan, contohnya pergerakan ke tempat kerja di negara maju biasanya lebih mudah dengan menggunakan angkutan umum karena ketepatan waktu dan tingkat pelayanannya sangat baik dan ongkosnya relative lebih murah dibandingkan dengan angkutan pribadi (mobil). Akan tetapi hal sebaliknya terjadi di negara sedang berkembang, orang masih tetap menggunakan mobil pribadi ke tempat kerja, meskipun lebih mahal, karena ketepatan waktu, kenyamanan, dan lain-lain yang tidak dapat dipenuhi oleh angkutan umum. - Waktu terjadinya pergerakan, kalau bepergian pada tengah malam maka pasti membutuhkan kendaraan pribadi karena pada saat itu angkutan umu tidak atau jarang beroperasi - Jarak perjalanan, semakin jauh perjalanan, maka cenderung memilih angkutan umum dibandingkan dengan angkutan pribadi. 3. Ciri fasilitas moda transportasi; dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, - Pertama, Faktor Kuantitatif: Waktu perjalanan (waktu menunggu di tempat pemberhentian bus, waktu berjalan kaki ke tempat pemberhentian bus, waktu selama bergerak, dan lain-lain); Biaya transportasi (tarif, biaya bahan bakar, dan lain-lain); Ketersediaan ruang dan tarif parkir - Kedua, Faktor Bersifat Kualitatif, yang cukup sukar menghitungnya, meliputi kenyamanan dan keamanan, keandalan dan keteraturan, dan lain-lain. 4. Ciri kota atau zona. Beberapa ciri yang dapat mempengaruhi pemilihan moda adalah jarak dari pusat kota dan kepadatan penduduk. Memilih moda angkutan di daerah perkotaan bukanlah proses acak, melainkan dipengaruhi oleh faktor kecepatan, jarak perjalanan, kenyamanan, kesenangan, biaya, keandalan, ketersediaan moda, ukuran kota, serta usia, komposisi dan status sosial ekonomi pelaku perjalanan. Semua faktor ini dapat berdiri sendiri-sendiri atau saling bergantung (Warpani, 1990). Beberapa faktor yang tidak dapat dikuantifikasikan cenderung diabaikan dalam analisa pilihan moda, dengan pengertian pengaruhnya kecil atau dapat diwakili oleh beberapa peubah lain yang dapat dikuantifikasikan. Teori Pelaku Pemilihan Moda Sebuah pilihan terhadap suatu moda dapat dipandang sebagai hasil dari proses pemilihan yang berurut melalui tahapan-tahapan pendefinisian masalah pilihan, alternatif-alternatif yang tersedia, evaluasi terhadap atribut dari alternatif-alternatif, pilihan, dan pelaksanaan terhadap pilihan (Kanafani, 1983). Sebagai contoh seorang yang memilih moda transportasi ke tempat kerja. Moda-moda pilihan yang tersedia merupakan alternatif yang harus dipilih. Misalkan ada tiga moda, yakni angkutan umum, mobil, dan sepeda motor. Dari ketiga moda itu masing-masing memiliki atribut yang berbeda dalam hal waktu tempuh, biaya, dan kenyamanan. Setiap individu akan memilih moda dengan bantuan informasi atribut yang ada pada setiap moda dan memutuskan pilihan pilihan moda sesuai dengan aturan pemilihan apakah menghendaki waktu tempuh cepat, biaya murah, atau kenyamanan yang menjanjikan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam teori pemilihan terdapat elemen-elemen yang saling berkait, yakni pengambil keputusan, alternatif pilihan, atribut dari alternatif, dan aturan pemilihan.



Bidang Transportasi - 381



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Roorda, M. J, et al (2009) menganalisis pemilihan moda ke sekolah dan hasilnya menunjukkan bahwa indikator-indikator seperti waktu tempuh, lingkungan buatan / lingkungan yang dibangun dan sosial ekonomi semua berpengaruh secara signifikan terhadap moda yang dipergunakan ke sekolah. Diana and Mokhtarian (2009) mempertimbangkan peran dimana tingkat pengetahuannya dengan moda transportasi yang berbeda bisa mempengaruhi pemilihan moda. Perspektif kita adalah yang berhubungan dengan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan peran dari kebiasaan pada pemilihan moda, namun perbedaan konseptual terdeteksi. Kebiasaan dapat dilihat sebagai mekanisme perilaku yang bertentangan dengan proses pengambilan keputusan rasional seperti yang digambarkan dalam teori mikro-ekonomi standar. Eboli, L, et al (2012) menyatakan bahwa distribusi aktivitas manusia dalam ruang membutuhkan interaksi spasial trip dalam sistem transportasi untuk mengatasi jarak antar lokasi kegiatan. Distribusi infrastruktur dalam sistem transportasi menciptakan peluang untuk interaksi spasial dan dapat diukur sebagai aksesibilitas. Distribusi Aksesibilitas dalam ruang menentukan keputusan lokasi dan hasil dalam perubahan sistem penggunaan lahan. Aksesibilitas dapat diukur sebagai fungsi dari variabel yang muncul dari daya tarik daerah target (misalnya, jumlah pekerjaan adalah alasan untuk perjalanan antara rumah dan tempat kerja) dan variabel biaya yang berkaitan dengan sistem transportasi (seperti waktu perjalanan atau jarak perjalanan untuk pindah dari daerah asal ke tujuan). de Abreu e Silva, J, et al (2011) menjelaskan bahwa variabel sosial ekonomi yang dipertimbangkan dalam model berbasis pola aktivitas termasuk jenis kelamin, usia (meskipun di akhir-akhir ini umur tidak mempengaruhi variabel dependen), total pendapatan rumah tangga, ukuran rumah tangga, usia rata-rata rumah tangga, usia ratarata orang dewasa di dalam rumah tangga, rumah tangga dengan hanya satu anggota rumah tangga dan dengan hanya dua anggota (untuk mengontrol efek non linier ukuran rumah tangga), rumah tangga dengan hanya remaja dan orang dewasa, jadwal kerja tetap dan jumlah orang yang bekerja dalam rumah tangga. Menurut Kusumastuti et al (2010), data kuantitatif dapat menjawab pertanyaanpertanyaan seperti apa, kapan, di mana, siapa (atau dengan siapa) rencana kegiatanperjalanan yang dieksekusi, tetapi pendekatan ini tidak cukup dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana seseorang datang pada suatu keputusan tertentu. Metode kualitatif di sisi lain, termasuk kelompok fokus, wawancara mendalam dan teknik peserta-pengamat, bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pendekatan kuantitatif sejak metode ini memungkinkan untuk diintegrasikan dengan informasi proses perencanaan perilaku ke dalam data yang digunakan untuk mengembangkan model berbasis pola aktivitas. Pendekatan ini adalah alat penting untuk mengekstrak/menggali keyakinan individu dan proses pengambilan keputusan yang menggaris-bawahi fenomena perilaku dari perspektif agen/perantara. Dengan cara ini, metode kualitatif dapat juga menunjukan dengan baik alasan mengapa dan bagaimana keputusan tertentu tersebut dibuat. Kusumastuti et al (2010) juga menambahkan bahwa kompleksitas keputusan tersebut terjadi tidak hanya karena orang mempertimbangkan berbagai aspek selama proses pemilihan untuk melakukan perjalanan, tetapi juga karena ada perbedaan keputusan yang saling terkait yang terlibat dalam pembuatan perjalanan, seperti kapan akan pergi, ke mana akan pergi dan bagaimana cara menuju ke sana. Hal ini dapat diamati seperti dalam keputusan perjalanan berbelanja konsumen (keputusan konsumen saat melakukan



382 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 perjalanan untuk berbelanja), ketika orang-orang secara bersamaan mempertimbangkan waktu untuk melaksanakan perjalanan, tujuan dan moda transportasi yang akan dipergunakan. Li et al (2010) menegaskan bahwa suatu kerangka terpadu semacam itu dapat mengatasi lebih banyak dimensi pilihan, seperti waktu keberangkatan, rute perjalanan, lokasi kegiatan dan durasi aktivitas, dan dengan demikian memperluas kemampuan pemodelan. Menurut Miro (2005), untuk mendapatkan hasil perhitungan jumlah pelaku perjalanan yang menggunakan dua atau lebih moda transportasi yang proporsional dilakukan beberapa tahapan analisis, yaitu: Tahap pertama, mengindentifikasi beberapa faktor (variabel) yang diasumsikan berpengaruh secara berarti terhadap prilaku pelaku perjalanan dalam menjatuhkan pilihan alternatif alat angkutan yang dipakai untuk bepergian; Kemudian memodelkan nilai kepuasan sipelaku perjalanan untuk beberapa pilihan alternatif alat angkut yang dipakai melalui model analisis regresi linier buat mendapatkan angka kepuasan menggunakan masing-masing moda transportasi; Selanjutnya memodelkan peluang masing-masing alternatif pilihan moda transportasi seperti, logit model dan rasio model, dengan cara mengeksponenkan nilai kepuasan masing-masing moda transportasi yang sudah kita dapatkan pada tahap kedua; Yang terakhir, didapati angka proporsi (dalam %) peluang atau pangsa pasar masing-masing moda transportasi untuk dipilih dari sejumlah calon pengguna moda tertentu sebagai perkiraan serta angkanya.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran kuisioner dalam penelitian ini melibatkan 209 responden. Adapun informasi yang diperoleh berupa karakteristik perjalanan pada hari kerja, sikap yang berkaitan dengan moda yang digunakan; atribut perjalanan seperti biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan; dan tingkat kepuasan mengenai moda transportasi yang digunakan, serta karakteristik sosial ekonomi. Hasil dari pengolahan serta analisa data sebagai berikut:



4. EVALUASI MODEL STRUKTURAL (INNER MODEL) Evaluasi Goodness of Fit Goodness of Fit Model diukur menggunakan R2 variabel laten dependen dengan interpretasi yang sama dengan regresi. Q2 predictive relevance untuk model struktural mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Formula untuk pengujian Q2 Predictive relevance adalah sebagai berikut: Q2 = 1 – ( 1 – R21 ) ( 1 – R22 ).



Bidang Transportasi - 383



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 1. Model struktural Tabel 1. Perhitungan Q2



Model



R



2



1 0.230



Sub Struktural 2 3 0.550 0.052



4 0.058



Q2 0.691



Model pengaruh karakteristik biografis, status ekonomi dan ukuran keluarga terhadap sikap memiliki nilai R Square sebesar 0.230 yang mengindikasikan 23% variasi sikap pengguna mampu dijelaskan oleh karakteristik biografis, status ekonomi dan ukuran keluarga. Selanjutnya nilai R Square pada variabel endogen pemilihan moda diperoleh sebesar 0.550. Hal ini mengindikasikan variasi pemilihan moda mampu dijelaskan oleh sikap sebesar 55%. Pada sub structural ke-3 yaitu aktivitas menunjukkan nilai R Square sebesar 0.052. Dengan demikian dapat dinyatakan variasi aktivitas hanya mampu dijelaskan oleh pemilihan moda sebesar 5.2%. Substruktural ke 4 menempatkan kepuasan sebagai endogen diperoleh nilai koefisien R square sebesar 0.058. Dapat dinyatakan bahwa variasi kepuasan hanya mampu dijelaskan oleh sikap dan aktivitas sebesar 5.8%. Dengan demikian, Q2 predictive relevance untuk model struktural dapat dihitung sebagai berikut : Q2 = 1 – ( 1 – 0.230) ( 1 – 0.550) (1 – 0.052) (1 – 0.058) Q2 = 1 – ( 0.770) (0.450) (0.948) (0.942) Q2 = 0.691 Prediction relevance (Q square) atau dikenal dengan Stone-Geisser's. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kapabilitas prediksi dengan prosedur blinfolding. Apabila nilai yang didapatkan 0.02 (kecil), 0.15 (sedang) dan 0.35 (besar). Hasil perhitungan menunjukkan nilai predictive relevance sebesar 0.691 atau dapat dinyatakan nilai prediksi relevan model yang diperoleh adalah sebesar 69.10%. Selanjutnya, model struktural yang dievaluasi dalam penelitian ini terdiri dari 7 (tujuh) koefisien parameter jalur hubungan antara eksogen terhadap endogen seperti ditampilkan tabel berikut ini :



384 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2. Pengujian Hipotesis Model Hipotesis H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7



Jalur Hubungan BIO->SIKAP STATUS->SIKAP FAMSIZE->SIKAP SIKAP->MODA MODA->AKTIV MODA->PUAS AKTIV->PUAS



Koefisien 0.194 0.457 -0.121 0.741 0.227 0.183 -0.205



t statistik 3.248 7.727 -2.634 31.315 3.628 2.744 -2.915



Pengujian Hipotesis Hubungan variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sikap (attitude) merupakan pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Perbedaan biografis (karakteristik biografis) merupakan karakteristik perseorangan seperti usia, gender, ras dan masa jabatan yang diperoleh secara mudah dan objektif dari arsip pribadi seseorang. Karakteristik lainnya meliputi status pernikahan, ukuran keluarga, tingkat pendidikan, dan jabatan sekarang. Dalam penelitian ini, 3 karakteristik personal yang diteliti sebagai faktor yang mempengaruhi sikap adalah biografis (usia dan pendidikan), status ekonomi (penghasilan dan kepemilikan kendaraan) serta ukuran keluarga. Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel Karakteristik Biografis (BIO) dengan Sikap sebesar 0.194 dengan nilai T-statistik 3.248 > 2.56 pada taraf signifikansi = 0,01 (1%) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan karakteristik biografis terhadap sikap pengguna moda transportasi. Nilai positif pada koefisien parameter artinya adalah semakin tinggi karakteristik biografis (usia dan pendidikan) maka sikap pengguna juga akan semakin tinggi (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) moda transportasi yang dipilih. Sebaliknya, semakin rendah usia dan pendidikan, maka semakin rendah juga kepentingan responden terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan. 2. Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel Status Ekonomi (STATUS) dengan Sikap sebesar 0.457 dengan nilai T-statistik 7.727 > 2.56 pada taraf signifikansi = 0,01 (1%) yang dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara status ekonomi terhadap sikap pengguna moda transportasi. Nilai positif pada koefisien parameter artinya adalah semakin tinggi status ekonomi (pendapatan dan jumlah kepemilikan kendaraan) maka sikap pengguna juga akan semakin tinggi (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) moda transportasi yang dipilih. Sebaliknya, semakin rendah status ekonomi, maka semakin rendah juga kepentingan responden terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan. Melalui analisis chi-square ditemukan bahwa tingkat pendidikan seseorang tidak mempengaruhi sikap pengguna baik dari aspek biaya, akses, keamanan dan kenyamanan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan



Bidang Transportasi - 385



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3.



4.



5.



6.



kepentingan responden pada empat aspek moda transportasi berdasarkan tingkat pendidikan (SMP, SMA, Diploma-Sarjana dan Pascasarjana). Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel Ukuran Keluarga (FAMSIZE) dengan Sikap sebesar -0.121 dengan nilai T-statistik – 2.634 (berada diluar wilayah penerimaan Ho yaitu -2.56 s/d + 2.56) pada taraf signifikansi = 0,01 (1%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara ukuran keluarga terhadap sikap pengguna moda transportasi. Nilai negative pada koefisien parameter artinya adalah semakin besar ukuran keluarga maka sikap pengguna juga akan semakin rendah (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) moda transportasi yang dipilih. Sebaliknya, semakin kecil ukuran keluarga maka kepentingan responden terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan akan semakin tinggi. Berdasarkan analisis chi-square yang digunakan untuk memprediksi apakah ada perbedaan sikap berdasarkan ukuran keluarga ditemukan bahwa tidak ada perbedaan sikap responden terhadap biaya, akses, keamanan dan kenyamanan berdasarkan 5 (lima) kelompok responden. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sikap responden dalam menanggapi kepentingan atas biaya, akses, keamanan dan kenyamanan tidak berbeda antara responden yang memiliki ukuran keluarga 1 sampai dengan responden yang memiliki ukuran keluarga di atas 5 orang. Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel Sikap dengan pemilihan moda transportasi (MODA) sebesar 0.741 dengan nilai T-statistik 31.315 > 2.56 pada taraf signifikansi = 0,01 (1%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara sikap pengguna terhadap pemilihan moda transportasi. Nilai positif pada koefisien parameter artinya adalah semakin tinggi tingkat kepentingan responden pada biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan maka akan semakin tinggi juga kencenderungan untuk menggunakan moda transportasi mobil pribadi. Sebaliknya, semakin rendah sikap pengguna terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan maka akan semakin rendah pola kecenderungan untuk menggunakan mobil pribadi (memilih sepeda motor atau kendaraan umum) Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel pemilihan moda (MODA) dengan aktivitas adalah sebesar 0.227 dengan nilai T-statistik 3.268 > 2.56 pada taraf signifikansi = 0,01 (1%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pemilian moda terhadap aktivitas yang dijalankan (jarak dan waktu). Nilai positif pada koefisien parameter artinya adalah semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan beraktivitas (jarak dan waktu). Sebaliknya, semakin rendah pemilihan moda (memilih kendaraan umum) maka kecenderungan untuk beraktivitas dalam konteks waktu dan jarak di jalan semakin rendah. Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel pemilihan moda (MODA) dengan kepuasan pengguna (PUAS) adalah sebesar 0.183 dengan nilai Tstatistik 2.744 > 2.56 pada taraf signifikansi = 0,01 (1%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pemilihan moda terhadap kepuasan pengguna moda transportasi. Nilai positif pada koefisien parameter artinya adalah semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan tingkat kepuasan pengguna. Sebaliknya,



386 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



7.



semakin rendah pemilihan moda (memilih kendaraan umum) maka kepuasan responden juga semakin rendah. Koefisien jalur yang diperoleh dari hubungan antara variabel aktivitas pengguna moda transportasi (AKTIV) dengan kepuasan (PUAS) sebesar -0.205 dengan nilai T-statistik – 2.915 (berada diluar wilayah penerimaan Ho yaitu -2.56 s/d + 2.56) pada taraf signifikansi = 0,01 (1%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara aktivitas (jarak dan waktu) terhadap kepuasan pengguna moda transportasi. Nilai negative pada koefisien parameter artinya adalah tinggi aktivitas (jarak dan waktu) maka akan menyebabkan semakin rendahnya kepuasan pengguna. Sebaliknya, semakin rendah aktivitas (jarak dan waktu) maka kepuasan pengguna akan semakin tinggi.



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dijelaskan diatas, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : Karakteristik biografis berpengaruh terhadap sikap pengguna transportasi dimana semakin tinggi karakteristik biografis (usia dan pendidikan) maka sikap pengguna juga akan semakin tinggi (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) moda transportasi yang dipilih. Status ekonomi berpengaruh terhadap sikap pengguna transportasi, dimana semakin tinggi status ekonomi (pendapatan dan jumlah kepemilikan kendaraan) maka sikap pengguna juga akan semakin tinggi (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) moda transportasi yang dipilih. Ukuran keluarga berpengaruh terhadap sikap pengguna, dimana nilai negatif yang terdapat pada koefisien parameter menunjukkan semakin besar ukuran keluarga maka sikap pengguna akan semakin rendah (sikap terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan) terhadap moda transportasi yang dipilih. Sikap pengguna berpengaruh terhadap pemilihan moda transportasi dimana semakin tinggi tingkat kepentingan responden pada biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan maka akan semakin tinggi juga kencenderungan untuk menggunakan moda transportasi mobil pribadi. Sebaliknya, semakin rendah sikap pengguna terhadap biaya, aksesibilitas, keamanan dan kenyamanan maka akan semakin rendah pola kecenderungan untuk menggunakan mobil pribadi (memilih sepeda motor atau kendaraan umum). Untuk pemilihan moda transportasi dengan aktivitas menunjukkan semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan beraktivitas (jarak dan waktu). Sementara untuk pemilihan moda dan kepuasan pengguna menunjukkan semakin tinggi pemilihan moda (mobil pribadi) maka akan semakin tinggi juga kencenderungan tingkat kepuasan pengguna, sebaliknya, semakin rendah pemilihan moda (memilih kendaraan umum) maka kepuasan responden juga semakin rendah. Untuk aktivitas pengguna berpengaruh terhadap kepuasan, terdapat nilai negatif pada koefisien parameter artinya bahwa tinggi aktivitas (jarak dan waktu) maka akan menyebabkan semakin rendahnya kepuasan pengguna, sebaliknya semakin rendah aktivitas (jarak dan waktu) maka kepuasan pengguna akan semakin tinggi



6. DAFTAR PUSTAKA 1. de Abreu e Silva, Goulias, K. G and Dalal, P., (2011). A Structural Wquation Model of Land Use Pattern, Location Choice, and Travel Behavior in Souther California, 91st Transportation Research Board 28 Annual Meeting, Washington D.C. and publication in the Transportation Research 29 Record



Bidang Transportasi - 387



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Diana, M, & Mokhtarian, P., (2009). Grouping Travelers on the Basis of Their Different Car and Transit Levels of Use, Transportation, 36, 4, pp. 455-467 3. Eboli, L., Forciniti, C., Mazzulla, G., (2012). Exploring Land Use and Transport Interaction throughStructural Equation Modelling. Compendium of Papers, International Scientific Conference, 15th Edition of The Euro Working Group on Transportation, 10-13 September 2012, Paris 4. Golob, T. F., (2003). Structural Equation Modeling For Travel Behavior Research. Transportation Research Part B : Methodological, 37 : 1 – 25 5. Hair, J F., Sarstedt, M., Ringle, C M., Mena, Jeannette A., (2012). An Assessment of the Use of Partial Least Squares Structural Equation Modeling in Marketing Research. Academy of Marketing Science. Journal40.3: 414-433. 6. Kanafani, A., (1983), Transportation Demand Analysis, McGraw-Hill Inc, New York 7. Kusumastuti, D., Hannes, E., Janssens, D., Wets, G., & Dellaert, B., (2010). Scrutinizing Individuals‘ Leisure-Shopping Travel Decisions to Appraise Activity-Based Models of Travel Demand, Transportation, 37, 4, pp. 647-661 8. Li, Z., Lam, W., Wong, S., & Sumalee, A., (2010). An activity-based approach for scheduling multimodal transit services, Transportation, 37, 5, pp. 751-774 9. Miro, F., (2005). Perencanaan Transportasi Untuk Mahasiswa, Perencana, dan Praktisi, Erlangga, Jakarta 10. Roorda, M., Passmore, D., & Miller, E., (2009). Including Minor Modes of Transport in a Tour-Based Mode Choice Model with Household Interactions, Journal of Transportation Engineering, 135, 12, pp. 935-945 11. Warpani, S., (1990). Merencanakan Sistem Perangkutan, Penerbit ITB, Bandung



388 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PROBABILITAS PERPINDAHAN MODA DARI BUS KE KERETA API DALAM RENCANA RE-AKTIVASI JALUR KERETA API JEMBER-PANARUKAN Willy Kriswardhana1 dan Hera Widyastuti2 1



Mahasiswa Program Pascasarjana Teknik Sipil ITS, email: [email protected] Dosen Program Pascasarjana Teknik Sipil ITS, email: [email protected]



2



ABSTRAK Saat ini perjalanan antar kota dari Jember menuju daerah utara yaitu Bondowoso, Situbondo, dan sekitarnya hanya dilayani oleh bus. Bus antar kota yang melayani rute Jember-Bondowoso-Situbondo adalah bus kelas ekonomi. Penumpang tidak mempunyai alternatif menggunakan moda angkutan umum lain meskipun bus ini selalu berjalan lambat dan berhenti untuk mendapatkan penumpang. Perjalanan Jember-Situbondo menggunakan kendaraan pribadi ditempuh dalam waktu 1,5 jam, namun bila menggunakan moda bus dapat ditempuh kurang lebih 2,5 hingga 3 jam. Menurut Humas PT KAI Daerah Operasional IX Jember, pengoperasian kereta api Jember-Situbondo sudah mendapat tinjauan Kementerian Perhubungan sekitar tahun 2010 lalu. Studi ini akan memperkirakan probabilitas penumpang bus untuk beralih ke moda kereta api sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pengoperasian kembali rute tersebut. Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data primer yang didapatkan dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dengan menggunakan teknik stated preference. Data primer kemudian diolah menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan nilai probabilitas. Probabilitas terbesar pengguna bus untuk beralih ke kereta api adalah pada skenario tarif Rp 4000,- dan waktu 90 menit menunjukkan probabilitas terbesar, yaitu 90,34% bersedia berpindah dari bus ke kereta api Kata kunci: probabilitas, kereta api, bus



1. PENDAHULUAN Saat ini perjalanan antar kota dari Jember menuju daerah utara yaitu Bondowoso, Situbondo, dan sekitarnya hanya dilayani oleh bus. Bus antar kota yang melayani rute Jember-Bondowoso-Situbondo adalah bus kelas ekonomi. Penumpang tidak mempunyai alternatif menggunakan moda angkutan umum lain meskipun bus ini selalu berjalan lambat dan sering berhenti untuk mendapatkan penumpang. Perjalanan JemberSitubondo menggunakan kendaraan pribadi ditempuh dalam waktu 1,5 jam, namun bila menggunakan moda bus dapat ditempuh kurang lebih 2,5 hingga 3 jam. Dari segi waktu tentunya hal ini sangat tidak efisien. PT KAI mempunyai rencana untuk mengaktifkan kembali jalur kereta api Jember-Panarukan. Permasalahan 1 Bagaimana karakteristik penumpang bus rute Jember-Bondowoso-Situbondo? 2 Berapa besar probabilitas pengguna bus yang bersedia beralih menggunakan moda kereta api?



Bidang Transportasi - 389



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



2. TINJAUAN PUSTAKA Pemilihan Moda dan Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan moda (modal split) didefinisikan sebagai pembagian secara seimbang/proporsional jumlah seluruh pelaku perjalanan ke dalam berbagai metode perjalanan atau moda transportasi. Pemilihan moda transportasi oleh masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik pergerakan, karakteristik pelaku perjalanan, dan karakteristik sistem perangkutan (Bruton, 1985). Dalam pemilihan moda angkutan, masyarakat akan menilai atribut pelayanan moda yang ditawarkan namun tetap sesuai dengan kondisi ekonominya. Pemilihan moda angkutan juga dipengaruhi oleh dorongan yang bersifat situasional dan bersifat pribadi. Dorongan yang bersifat situsional adalah faktor lingkungan pada saat pelayanan transportasi diberikan. Dorongan yang bersifat pribadi dipengaruhi oleh gaya hidup maupun status sosial masyarakat yang sulit dikuantitatifkan (Manheim, 1979). Pemilihan moda juga mempertimbangkan pergerakan yang menggunakan lebih dari satu moda dalam perjalanan (multimoda). Jenis pergerakan ini sanat banyak dijumpai di Indonesia karena kondisi geografisnya yang terdiri banyak pulau (Tamin, 2000). Stated Preference Teknik stated preference merupakan teknik pengumpulan data yang mengacu pada pendekatan terhadap pendapat responden dalam menghadapi berbagai pilihan alternatif. Teknik ini menggunakan desain eksperimental untuk membuat sejumlah alternatif situasi imajiner (Pearce, 2002). Teknik stated preference memberikan tekanan untuk memperoleh informasi yang menentukan suatu perilaku masyarakat dalam pemilihan situasi perjalanan terhadap suatu moda transportasi tertentu. Desain eksperimental stated preference harus disusun sedemikian rupa sehingga kombinasi tingkatan semua faktor yang tercakup dalam eksperimen tersebut berkorelasi terhadap berbagai alternatifnya. Regresi Logistik Regresi logistik digunakan untuk memprediksi suatu probabilitas dari suatu kejadian dengan data fungsi logit dari kurva logistik. Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan ketika dependent variable merupakan variabel dikotomik. Variabel dikotomi biasanya hanya terdiri dari dua nilai yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1. Regresi logistik juga menghasilkan rasio peluang (odd ratio) terkait dengan nilai setiap prediktor. Peluang dari suatu kejadian diartikan sebagai probabilitas hasil yang muncul yang dibagi dengan probabilitas suatu kejadian tidak terjadi. Secara umum, rasio peluang merupakan sekumpulan peluang yang dibagi oleh peluang lainnya. Berdasarkan data bivariat (X,Y) dimana X adalah variabel numerik atau variabel satu-nol dan Y adalah variabel respon satu-nol, model regresi logistik mempunyai bentuk umum sebagai berikut (Tamin, 2000): ()



...................................................................................................... (1)



dan ()



...................................................................................................... (2)



390 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. METODA PENELITIAN Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah penumpang bus rute Jember-BondowosoSitubondo. Responden dipilih menggunakan random number yang di-generate menggunakan Ms Excel. Dalam arti, responden yang naik bis ke-i adalah yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini Lokasi Wawancara Lokasi wawancara dalam rangka mendapatkan data dari responden adalah Terminal Arjasa Jember dan di dalam bus rute Jember-Bondowoso-Situbondo. Tahapan Penelitian a. Latar Belakang Penelitian dimulai dengan mengetahui permasalahan pada rencana beroperasinya kembali kereta api rute Jember-Bondowoso-Situbondo b. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut didapatkan beberapa permasalahan yang akan menjadi topik studi ini, yaitu karakteristik pengguna layanan bus rute Jember-BondowosoSitubondo, probabilitas pengguna layanan bus untuk beralih menggunakan moda kereta api. c. Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini ditinjau dari lokasi studi dan analisis yang digunakan dalam penelitian. Penelitian dilakukan di Terminal Arjasa Kabupaten Jember dan di dalam bus rute Jember-Bondowoso-Situbondo, dengan dengan objek penelitian pengguna bus rute Jember-Bondowoso-Situbondo dan analisis menggunakan stated preference. d. Studi Literatur Penelitian dilanjutkan dengan mengumpulkan berbagai literatur mengenai rumus – rumus dan dasar teori yang menunjang tujuan dari penelitian. Sebagai acuan dan pembanding, diberikan pula ringkasan studi terdahulu. e. Pengumpulan Data Data primer didapatkan dari hasil survei di lokasi studi. f. Analisis Data Data dianalisis menggunakan metode – metode yang telah dijabarkan dalam studi literatur. g. Pembahasan Pembahasan meliputi hasil analisis data menggunakan stated preference dan regresi logit biner. h. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan didapatkan dari ringkasan hasil analisis data dan pembahasan. Saran meliputi rekomendasi kepada peneliti selanjutnya dan praktisi.



Bidang Transportasi - 391



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Responden Pekerjaan Pekerjaan responden untuk pengguna bus dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan Prosentase PNS/TNI/POLRI 11% Pegawai swasta 31% Wiraswasta 12% Ibu rumahtangga 17% Pelajar/mahasiswa 29% Lainnya 1% Pendapatan Pendapatan responden untuk pengguna bus dapat dilihat pada Tabel 4.2 Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Pendapatan Prosentase 3juta 7% Waktu Tempuh Menggunakan Bus Rata – rata waktu perjalanan menggunakan bus responden dapat dilihat pada Tabel 4.3 Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Rata – Rata Waktu Perjalanan Menggunakan Bus Waktu Tempuh Menggunakan Bus Prosentase 2jam 37% Biaya Transportasi Menggunakan Bus Biaya transportasi menggunakan bus responden dapat dilihat pada Tabel 4.4 Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Biaya Transportasi Menggunakan Bus Biaya Menggunakan Bus Prosentase Rp 15000 35%



392 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Pilihan Perjalanan Beberapa skenario pilihan perjalanan diberikan kepada responden, disinilah metode stated preference mulai berjalan. Hal ini mengingat kereta api rute Jember-Panarukan belum beroperasi pada waktu responden diberikan pertanyaan tentang tarif dan waktu tempuh. Sebagai gambaran umum kepada responden, direncanakan kereta api rute Jember-Panarukan akan beroperasi. Kereta api direncanakan beroperasi dengan jadwal yang teratur, menggunakan pendingin udara (AC), bersih, aman, dan nyaman. Berikut ini ditampilkan tabel beberapa pertanyaan kepada responden terkait pemilihan moda kereta api dari responden pengguna bus. Penentuan pilihan tarif kereta api Jember-Panarukan dengan jarak tempuh 70 km menggunakan perbandingan tarif kereta api jarak dekat Kereta Pandanwangi rute Jember-Banyuwangi sebesar Rp 4000,- dengan jarak tempuh 113km. Sebagai pembanding, tarif bus untuk rute Jember – Situbondo sebesar Rp 13.000,Penentuan pilihan waktu tempuh berdasarkan waktu tempuh minimal menggunakan kendaraan pribadi yaitu 90 menit yang dibandingkan dengan waktu tempuh menggunakan bus yaitu 150 menit Responden tinggal memilih jawaban ya atau tidak dengan cara mencentang beberapa pilihan tarif dan waktu tempuh kereta api. Hasil dari pilihan responden itulah yang akan diolah untuk mendapatkan persamaan regresi logistik pemilihan moda transportasi kereta api rute Jember-Panarukan. Beberapa skenario pilihan perjalanan ditampilkan pada Tabel 4.5 Tabel 4.5 Pilihan Perjalanan Menggunakan Kereta Api Berdasarkan Waktu Tempuh dan Tarif Kereta Api Skenario



1 2 3 4 5 6 7 8 9



Jember-Bondowoso-Situbondo-Panarukan Waktu Tempuh (menit) 150 90 120 120 150 90 120 90 150



Ya



Tidak



Tarif (Rp) 4000 6000 4000 5000 6000 4000 6000 5000 5000



Hasil Interpretasi Regresi Logistik Hasil dari pemilihan perjalanan responden kemudian diuji menggunakan regresi logistik biner. Regresi logistik biner digunakan untuk mendapatkan model pemilihan perjalanan oleh masyarakat yang melakukan perjalanan di rute Jember – Bondowoso – Situbondo. Hasil dari regresi logistik biner pemilihan perjalanan responden dapat dilihat pada Tabel 4.6.



Bidang Transportasi - 393



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Tabel 4.6 Hasil Regresi Logistik Biner Untuk Skenario Waktu Tempuh dan Tarif Kereta Api Variables in the Equation B Step 1



a



WAKTU



.043



S.E. .003



Wald 241.132



TARIF



.445



.078



-7.886



.565



Constant



df 1



Sig. .000



Exp(B) 1.044



32.554



1



.000



1.561



194.817



1



.000



.000



a. Variable(s) entered on step 1: WAKTU, TARIF.



Sehingga persamaan probabilitas untuk variabel waktu tempuh dan tarif adalah: ( ) ( ) ............................................................................ (3) dan (



) (



( )



) (



)



........................................................................... (4)



Untuk mempermudah interpretasi hasil tabel dan persamaan regresi logistik, persamaan yang sudah didapat akan dimasukkan ke dalam beberapa skenario pertanyaan yang diajukan kepada responden pengguna bus yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.7. Sehingga didapatkan probabilitas pemilihan kereta api dari jawaban responden pengguna bus. Tabel 4.7 Probabilitas Memilih Kereta Api Berdasarkan Waktu Tempuh dan Tarif Travel (menit) 90 90 90 120 120 120 150 150 150



time Tarif (ribu rupiah) 4 5 6 4 5 6 4 5 6



Probabilitas 90.34% 85.70% 79.35% 72.03% 62.27% 51.40% 41.48% 31.24% 22.55%



Tabel 4.7 menunjukkan bahwa probabilitas terbesar masyarakat untuk menggunakan moda kereta api rute Jember-Panarukan adalah pada waktu tempuh 90 menit dan tarif Rp 4000,- yaitu sebesar 90,34%. Sedangkan probabilitas terendah pada waktu tempuh 150 menit dan tarif Rp 6000,- yaitu sebesar 22,55%.



394 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Model regresi logistik dari pemilihan moda kereta api berdasarkan tarif dan waktu tempuh adalah (



)



(



)



dan (



) (



( )



) (



)



2. Probabilitas terbesar masyarakat untuk menggunakan moda kereta api rute Jember-Panarukan adalah pada waktu tempuh 90 menit dan tarif Rp 4000,- yaitu sebesar 90,34%. Sedangkan probabilitas terendah pada waktu tempuh 150 menit dan tarif Rp 6000,- yaitu sebesar 22,55%. Setelah melihat hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Pada saat penyebaran kuesioner, peneliti harus mengerti benar keadaan masyarakat yang akan diteliti agar peneliti dapat menggunakan metode dan trik yang tepat untuk mendapatkan jawaban yang valid dari responden. 2. Penelitian selanjutnya dari re-aktivasi jalur kereta api diharapkan dapat menganalisis potensi penggunaan kereta api untuk transportasi barang, dimana potensi ini juga dapat dimaksimalkan untuk mengurangi beban lalu lintas di jalan raya. Untuk jalur Jember-Panarukan sendiri mempunyai potensi transportasi barang menggunakan kereta api mengingat Pelabuhan Panarukan sudah mulai beroperasi.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Bruton, Michael J. (1985). Introduction To Transportation Planning 3rd Edition. London: Hutchison. 2. Manheim, Marvin, L. (1979), Fundamental of Transportation System Analysis,. NewYork : The MIT Press. Volume 1: Base Concept 3. Pearce, David and Ozdemiroglu, Ece. (2002). Economic Valution with Stated Preference Technique, Summary Guide. Department for Transport, Local Government and The Region. March 2002. 4. Tamin, Ofyar Z. (2000). Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB. 5. Washington, SP, Karlaftis, MG., Mannering, FL. (2003). Statistical and Econometric Methods for Transportation Data Analysis. USA: Chapman & Hall.



Bidang Transportasi - 395



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



396 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA PENGGUNAAN RECLAIMED ASPHALT PAVEMENT (RAP) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN ASPAL DINGIN (COLDMIX) BERGRADASI SEMI PADAT DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL CAIR MC-800 (STUDI KASUS MATERIAL RUAS JALAN AMLAPURA ANGENTELU) A.A.G Esa A. Sanjaya1, Ria A. A. Soemitro2 dan Herry Budianto3 1



Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia, email:[email protected] 2 Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 3 BBPJN V, Kementerian Pekerjaan Umum, Surabaya, Indonesia



ABSTRAK Potensi Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) hasil Cold Milling Machine sebagai substitusi aspal dan agregat baru dalam perkerasan jalan dan bahu jalan masih belum optimal penggunaannya. Pengggunaan RAP dalam campuran beraspal dapat menghemat sumber daya alam, mengurangi konsumsi BBM dan memperlambat laju kerusakan alam akibat penambangan. Pembuatan campuran beraspal dingin (Cold Mix Asphalt) yang lebih sederhana dan bisa dilaksanakan secara manual memungkinkan untuk digunakan dalam kegiatan pemeliharaan rutin berupa penambalan lubang dan perkerasan untuk bahu jalan. Dengan adanya potensi pemanfaatan RAP dalam campuran beraspal dingin maka dilaksanakan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan penggunaan RAP dalam perkerasan campuran aspal dingin bergradasi semi padat dengan bahan pengikat aspal cair MC-800 sehingga material RAP dapat dimanfaatkan lebih optimal. Penelitian ini diawali dengan meneliti karakteristik RAP yang diambil dari hasil bongkaran perkerasan di Ruas Jalan Nasional Amlapura – Angentelu, dan material baru ditinjau dari Spesifikasi Umum Bina Marga. Persentase penambahan agregat baru dalam campuran yang akan diuji bergantung pada gradasi RAP. Komposisi campuran harus memenuhi amplop gradasi agregat. Campuran kemudian diuji dengan pengujian Marshall sehingga dapat menentukan komposisi campuran yang memenuhi ketentuan Spesifikasi Umum Bina Marga. Variasi komposisi campuran dalam pengujian bergantung dari hasil pemeriksaan sifat – sifat fisik dari campuran awal. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa komposisi 60% RAP Jalan Amlapura - Angentelu dan 40% material baru memenuhi persyaratan Spesifikasi Umum Bina Marga Tahun 2010. .



Kata kunci: RAP, campuran aspal dingin, aspal cair MC-800, penambalan lubang, perkerasan untuk bahu jalan



1. PENDAHULUAN Jalan berperan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa dalam kaitannya pemerataan pertumbuhan perekonomian daerah juga berperan dalam memperkokoh kesatuan wilayah nasional. Mengingat pentingnya peranan jalan, Pemerintah sebagai penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Dalam pelaksanaan pemeliharaan badan jalan terdapat pekerjaan pengupasan/pengerukan perkerasan aspal lama untuk kemudian dilapis kembali dengan perkerasan aspal baru. Pengupasan lapis perkerasan aspal lama ini dilaksanakan dengan cold milling machine, Hasil pengupasan aspal lama ini disebut dengan RAP (Reclaimed Asphalt Pavement). Material RAP dapat dimanfaatkan untuk



Bidang Transportasi - 397



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean keperluan sederhana seperti material bahu jalan, material penambalan lubang badan jalan, material lapis pondasi bawah aspal maupun keperluan yang membutuhkan spesifikasi teknis yang lebih tinggi seperti material campuran aspal panas maupun dingin [1]. Pemanfaatan RAP dalam campuran beraspal dingin untuk material penambalan lubang di badan jalan dan perkerasan bahu jalan merupakan salah satu upaya dalam pengurangan eksploitasi sumber daya alam. Campuran aspal dingin dapat dibuat salah satunya dengan menggunakan aspal cair MC-800. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi material RAP sebagai material dalam campuran aspal dingin untuk pekerjaan pemeliharaan jalan maka perlu dilakukan penelitian penggunaan RAP sebagai bahan campuran beraspal dingin, dalam penelitian ini digunakan material RAP dari Jalan Amlapura – Angentelu, dengan menggunakan aspal cair MC-800 sesuai dengan Pedoman Konstruksi Bangunan Nomor 001 – 05/BM/2006 sehingga hasil pencampurannya dapat memenuhi persyaratan dalam Spesifikasi Umum Bina Marga 2010.



2. TINJAUAN PUSTAKA Agregat Klasifikasi agregat berdasarkan ukuran butiran dapat dibedakan menjadi agregat kasar, halus dan bahan pengisi/filler. Butiran agregat ini kemudian terdistribusi partikelnya secara menerus dan rapat, disebut dengan gradasi. Gradasi agregat terdiri dari: - Gradasi seragam (uniform/open graded) : gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama, mengandung agregat halus yang sedikit sehingga terdapat banyak rongga/ruang kosong antar agregat. - Gradasi rapat (dense graded): campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang berimbang. - Gradasi senjang : campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau jenis fraksi yang digunakan sedikit. Pemeriksaan agregat antara lain meliputi: - Ukuran butir - Gradasi - Kebersihan - Daya tahan agregat - Kelekatan terhadap aspal Aspal Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair [4]. Berdasarkan sumbernya, terdapat dua jenis aspal yaitu aspal yang di peroleh dari turunan proses penyulingan minyak bumi yang disebut aspal minyak, dan aspal yang terdapat di alam secara alamiah yang disebut aspal alam. [8]. Aspal minyak dikelompokkan menjadi : - Aspal keras (Asphalt Cement/AC) : Aspal yang berbentuk solid pada suhu ruang dan menjadi cair bila dipanaskan, maka didalam penggunaannya perlu dipanaskan terlebih dahulu. - Aspal cair (Cut Back Asphalt) : Aspal yang berbentuk solid pada suhu ruang dan menjadi cair bila dipanaskan, maka didalam penggunaannya perlu dipanaskan terlebih dahulu.



398 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 -



Aspal emulsi (Emulsion Asphalt) : Aspal yang dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal. Pada proses ini, partikel-partikel aspal keras dipisahkan dan didispersikan dalam air yang mengandung emulsifier. Pengujian aspal antara lain meliputi: - Durabilitas - Pengerasan dan penuaan - Kepekaan terhadap temperatur - Adhesi dan kohesi Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) adalah material hasil pengupasan atau pemrosesan ulang perkerasan yang berisi aspal dan agregat. Material ini timbul jika perkerasan aspal dikupas untuk direkonstruksi, pelapisan ulang atau untuk mengakses jaringan utilitas yang tertanam di bawahnya. Jika dikupas dan disaring dengan baik, RAP mengandung agregat yang bermutu tinggi dan bergradasi baik [7]. Dalam perencanaan campuran aspal yang mengandung RAP, gradasi dan sifat-sifat fisik agregat dan aspal yang terkandung dalam RAP harus diketahui terlebih dahulu dengan melakukan ekstraksi RAP dengan pelarut tertentu untuk memisahkan agregat aspal dan aspal yang terkandung di dalamnya. Larutan aspal tersebut kemudian didestilasi atau direcovery untuk memisahkan aspal dari pelarutnya. Agregat yang diperoleh kemudian diayak untuk mengetahui gradasinya dan aspalnya diuji sifat-sifat fisiknya [7]. RAP biasanya mengandung agregat dengan ukuran banyak yang lebih kecil sehingga perlu dilakukan penambahan agregat baru yang ukuran dan jumlahnya tertentu agar memenuhi spesifikasi gradasi yang berlaku. Setelah gradasi gabungan dan jumlah RAP ditentukan maka dilanjutkan dengan penentuan aspal baru untuk mencapai sifat-sifat aspal yang diinginkan dalam campuran [7]. Campuran Aspal Dingin Campuran aspal dingin merupakan campuran agregat dengan aspal emulsi atau aspal cair yang dicampur dengan perbandingan tertentu menggunakan Unit Pencampur Aspal (UPCA/AMP) atau unit pan mixer atau paddle mixer atau alat pencampur beton semen dengan putaran dalam. Campuran aspal dingin dihampar dan dipadatkan dalam keadaan dingin [5]. Campuran aspal dingin juga digunakan dalam pemeliharaan jalan dan perbaikan jalan yaitu untuk penambalan (patching), perbaikan bentuk permukaan, pelebaran tepi jalan untuk jalan dengan volume lalu lintas rendah dan sedang. Bahan aspal yang digunakan untuk campuran aspal dingin dapat berupa aspal cair atau aspal emulsi yang memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam Tabel 1. Tabel 19: Bahan Aspal Untuk Campuran Dingin Rancangan Standar Jenis Aspal Cair atau Campuran Rujukan Emulsi C E Aspal Cair SNI 03-4799- MC 250 1998 MC 800 Aspal Emulsi SNI 03-4798- CMS2 1998 CMS2-h CSS1 Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2010



Bidang Transportasi - 399



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Aspal cair dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: - Aspal Cair Mantap Cepat (RC, Rapid Curing), yaitu aspal cair yang diperoleh dengan cara melarutkan aspal dengan pelarut jenis gasoline (bensin) yang mempunyai daya menguap cepat. - Aspal Cair Mantap Sedang (MC, Medium Curing), yaitu aspal cair yang diperoleh dengan cara melarutkan aspal dengan minyak bumi jenis minyak tanah yang mempunyai daya menguap sedang. - Aspal Cair Mantap Lambat (SC, Slow Curing), yaitu aspal cair yang diperoleh dengan cara melarutkan aspal dengan pelarut jenis solar yang mempunyai daya uap lambat. Berdasarkan Buku Pedoman Teknik No: 023/T/BM/1999 tentang Pelaksanaan Campuran Beraspal Dingin Untuk Pemeliharaan dilampirkan komposisi tipikal campuran aspal cair dalam persentase berat seperti dalam Tabel 2. Tabel 20: Komposisi Tipikal Campuran Aspal Cair Dalam Persentase Berat Komposisi Jenis Aspal Kelas Minyak Tanah Cair AC (%) (%) 30 64 36 70 72 28 MC 250 80 20 800 85 15 3000 90 10 Sumber: Pedoman Teknik No: 023/T/BM/1999 Campuran aspal dingin dibedakan menjadi kelas C dan kelas E. Campuran kelas C adalah campuran yang bergradasi semi padat dengan menggunakan aspal cair (cutback). Campuran kelas E adalah campuran bergradasi terbuka dengan menggunakan aspal emulsi. Campuran aspal dingin harus memenuhi resep yang diberikan dalam Tabel 3.



400 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 21 : Ketentuan Campuran Dingin, Komposisi Dan Sifat Campuran Kelas Campuran Uraian C/10 C/20 E/10 E/20 - Ukuran butiran nominal maksimum 9,5 19 9,5 19 (mm) Semi Semi Terbuk Terbuk - Jenis Gradasi padat padat a a - Ketebalan lapisan nominal 20 40 20 40 minimum (mm) Gradasi ASTM (mm) % Berat Yang Lolos 1‖ 25 100 100 95 – ¾‖ 19 100 95 – 100 100 100 85 – 3/8‖ 9,5 85 – 100 60 – 75 20 – 55 100 N0. 8 2,36 15 – 25 15 – 25 0 – 10 0 -10 No. 200 0,075 3–5 3–5 0–2 0–2 Resep Campuran Kadar aspal residu minimum (% 5,6 5,3 4,8 4,2 terhadap berat total campuran) Campuran Rancangan - Batas kadar bitumen residual (% 3,9 – 3,3 – ≥ 5,5 ≥ 5,5 terhadap berat total campuran) 6,2 5,5 - Kadar efektif bitumen minimum ≥ 5,0 ≥ 4,5 (*) (*) (% terhadap berat total campuran) - Ketebalan efektif film bitumen 10 10 20 20 minimum Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Rumusan campuran rancangan (Design Mix Formula) yang dibuat harus memenuhi semua sifat-sifat campuran beraspal dingin sesuai dengan Tabel 4. Tabel 22 : Persayaratan Campuran Beraspal Dingin Sifat Campuran Persyaratan Jumlah Tumbukan 2 x 50 Stabilitas Marshall pada 22ºC, (kg) Min. 450 Stabilitas sisa setelah perendaman 4 x 24 Min. 60 jam (%) Tebal film aspal, mikron Min. 8 Penyelimutan agregat kasar (%) Min. 75 Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan No: 001-05/BM/2006



Bidang Transportasi - 401



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini secara garis besar dibagi dalam dua tahapan, yaitu: A. Tahapan penelitian material (RAP, agregat baru, dan aspal cair MC-800) B. Tahapan penelitian campuran aspal dingin dengan aspal cair MC-800 dan RAP dengan tujuan akhir untuk mengetahui komposisi campuran yang optimal dari RAP, aspal cair MC-800, dan agregat baru. Bahan untuk penelitian ini terdiri atas: A. RAP, berasal dari hasil kupasan Cold Milling Machine pada Ruas Jalan Amlapura – Angentelu, Bali. B. Agregat yang digunakan terdiri dari agregat kasar dan agregat halus yang diambil dari quarry di Desa Bantas, Tabanan. C. Aspal yang digunakan untuk campuran adalah aspal cair MC-800.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Material Agregat Baru Hasil pengujian agregat baru dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 23: Karakteristik Agregat Baru No. Uraian 1. Abrasi (%) 2. Kelekatan Aspal (%) 3. Berat Jenis Agregat Kasar (%) 4. Berat Jenis Agregat Halus (%) 5. Penyerapan Agregat Kasar (%) 6. Penyerapan Agregat Halus(%) 7. Pengujian Setara Pasir 8. Kekekalan Bentuk Terhadap Na2SO4 (%) Sumber : Hasil Pengujian



Nilai Pengujian 20,11 >95



Persyaratan Maks. 40 Min. 95



2,669 Selisih Maks. 0,2 2,705 1,108



Maks. 3



0.472



Maks. 3



82,79



Min. 50



4,95



Maks. 12



Dari hasil pengujian terhadap material agregat baru dapat diketahui bahwa telah memenuhi seluruh persyaratan Spesifikasi Bina Marga Tahun 2010 sehingga dapat dipergunakan sebagai campuran beraspal dingin. Gradasi dari agregat baru yang akan ditambahkan dengan RAP dari Ruas Jalan Amlapura – Angentelu dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 1.



402 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 24: Perhitungan Gradasi Agregat Baru Uraian Ukuran Saringan Inch 1" 3/4" 3/8" mm 25.00 19.00 9.50 Data Gradasi Agregat - Agregat Kasar (10-20) 100.00 100.00 15.46 - Agregat Sedang (5- 100.00 100.00 97.11 10) - Agregat Halus (0100.00 100.00 100.00 5) Titik Kontrol Max 100.0 100.0 75.0 Min 100.0 95.0 60.0 Gradasi Ideal 100.0 97.5 67.5



#8 2.36



# 200 0.075



0.33 1.45



0.33 1.29



73.47 6.42



25.0 15.0 20.0



5.0 3.0 4.0



Gambar 22: Gradasi Agregat Baru (Hasil Perhitungan, 2014) Dari Tabel 6 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa masing-masing fraksi agregat berada di luar amplop gradasi semi padat untuk kelas campuran C20. Aspal Baru Hasil pengujian aspal baru, yaitu aspal cair MC-800 dapat dilihat pada Tabel 7.



Bidang Transportasi - 403



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 25 : Karakteristik Aspal Cair MC-800 Aspal Cair No. Uraian MC-800 1 Viskositas 1502 2 Kelekatan 90 3 Titik Nyala 67 4 Daktilitas 115 5 Penetrasi 129,90 6 Kadar Air (%) 0,17 Sumber : Hasil Pengujian



Persyaratan 800 - 1600 Cst. Min. 80 Min. 66 Min. 100 120 - 250 Maks. 0,2



Hasil pengujian terhadap aspal baru telah memenuhi persyaratan aspal cair MC-800 untuk campuran aspal dingin sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga Tahun 2010. Agregat RAP Amlapura – Angentelu Agregat RAP Amlapura – Angentelu didapatkan dengan cara diekstraksi. Hasil pengujian terhadap agregat RAP dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 26 : Karakteristik Agregat RAP Jalan Amlapura – Angentelu No. Uraian Nilai Pengujian Persyaratan 1. Abrasi (%) 25,68 Maks. 40 2. Kelekatan Aspal (%) >95 Min. 95 3. Berat Jenis Agregat Kasar (%) 2,575 Selisih Maks. 0,2 4. Berat Jenis Agregat Halus (%) 2,621 5. Penyerapan Agregat Kasar (%) 0,559 Maks. 3 6. Penyerapan Agregat Halus(%) 1,013 Maks. 3 7. Pengujian Setara Pasir 66,18 Min. 50 8. Kekekalan Bentuk Terhadap 4,60 Maks. 12 Na2SO4 (%) Sumber : Hasil Pengujian Dari hasil pengujian agregat yang dilakukan, didapatkan bahwa agregat dari material RAP memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Spesifikasi Umum Bina Marga Tahun 2010. Gradasi dari agregat RAP dari Jalan Amlapura – Angentelu yang telah diekstrak dapat dilihat pada Gambar 2, terlihat pada gambar bahwa gradasi agregat dari RAP berada di luar amplop gradasi dan umumnya berada di atas batas atas amlop gradasi.



404 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 23 : Gradasi Agregat RAP Jalan Amlapura – Angentelu Aspal RAP Amlapura – Angentelu Aspal yang didapat dari hasil ekstraksi RAP diuji dengan hasil seperti pada berikut. Tabel 27 : Karakteristik RAP Jl. Amlapura - Angentelu No. Uraian RAP Persyaratan 1. Kadar aspal dalam campuran (%) 4,75 o 2. Penetrasi pada 25 C (mm) 30,5 60-70 3. Titik Lembek (oC) 64,2 ≥ 48 o 4. Daktilitas pada 25 C (cm) 10 ≥ 100 Sumber : Hasil Pengujian Perencanaan Campuran Perencanaan Gradasi Campuran Kombinasi proporsi agregat RAP dan agregat baru dilakukan dengan cara mencobacoba besaran proporsi masing-masing berdasarkan data gradasi agregat RAP dan agregat baru sehingga didapat perbandingan komposisi yang memenuhi amplop gradasi. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan proporsi campuran yang memenuhi amplop gradasi yaitu 60% RAP dan 40% material baru. Perhitungan gradasi campuran dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut ini.



Bidang Transportasi - 405



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 28: Perhitungan Komposisi RAP 60% Dan Agregat Baru Uraian Ukuran Saringan Inch 1" 3/4" 3/8" #8 mm 25.00 19.00 9.50 2.36 Data Gradasi Agregat - Agregat RAP Setelah Ekstraksi 100.00 100.00 86.35 39.89 - Agregat Kasar (10-20) 100.00 100.00 15.46 0.33 - Agregat Sedang (5-10) 100.00 100.00 97.11 1.45 - Agregat Halus (05) 100.00 100.00 100.00 73.47 Kombinasi Agregat - Agregat RAP 60.0% 60.00 60.00 51.81 23.93 - Agregat Kasar (1020) 20.0% 20.00 20.00 3.09 0.07 - Agregat Sedang (510) 20.0% 20.00 20.00 19.42 0.29 - Agregat Halus (05) 0.0% 0.00 0.00 0.00 0.00 Total Campuran 100.0% 100.00 100.00 74.32 24.29 Titik Kontrol Max 100.0 100.0 75.0 25.0 Min 100.0 95.0 60.0 15.0 Gradasi Ideal 100.0 97.5 67.5 20.0 Sumber : Hasil Perhitungan 100.0



# 200 0.075



7.23 0.33 1.29 6.42 4.34 0.07 0.26 0.00 4.66 5.0 3.0 4.0



25.00 19.00



90.0



Persen lewat (%)



80.0 70.0 60.0 9.50



50.0 40.0 30.0



20.0 2.36



10.0 0.0



0.075



0.01



0.10



1.00



10.00



Ukuran saringan (mm) Batas Atas



Batas Bawah



Ideal



Gradasi Campuran RAP Setelah Ekstraksi



Gambar 24 : Gradasi Campuran 60% RAP Dan Agregat Baru (Hasil Perhitungan, 2014)



406 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kadar Aspal Empiris Penentuan kadar aspal empiris di dalam campuran (PA) dilakukan berdasarkan pada gradasi agregat campuran. Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut : ( Dimana: PA AK AH F



)



...............................................................(1)



: kadar aspal efektif perkiraan terhadap berat agregat : persentase agregat kasar tertahan saringan No. 8 : persentase agregat halus lolos saringan No. 8 tertahan No. 200 : persentase agregat lolos saringan No. 200



Detail perhitungannya adalah sebagai berikut: Kadar aspal campuran (PA) RAP Angentelu – Amlapura 60% dan agregat baru 40% berdasarkan diperoleh data sebagai berikut: AK = (100 – 24,29)% = 75,71 % AH = (24,29 – 4,66)% = 19,62 % F = 4,66 % PA = (0,05 AK + 0,1 AH + 0,5 F) x 0,7 = ((0,05 x 75,71) + (0,1 x 19,62) + (0,5 x 4,66))% x 0,7 = 5,7 % Berdasarkan perhitungan kadar aspal empiris, maka dapat dilakukan perhitungan kadar aspal rencana untuk pembuatan benda uji: PA – 1% = 5,7% - 1% = 4,7% PA – 0,5% = 5,7% - 0,5% = 5,2% PA = 5,7% PA + 0,5% = 5,7% + 0,5% = 6,2% PA + 1% = 5,7% + 1% = 6,7% Hasil Pengujian Hasil pengujian Marshall terhadap benda uji dengan kadar RAP Jalan Amlapura – Angentelu 60% memenuhi semua persyaratan sehingga didapatkan nilai kadar aspal campuran optimum sebesar 5,70% yang dapat dilihat pada Gambar 4.



4.70



5.20



Kadar Aspal, % 5.70



6.20



6.70



Stabilitas Kering Stabilitas Sisa Tebal Film Aspal



Gambar 4 : Grafik Penentuan Kadar Aspal Campuran Aspal Dingin Bergradasi Semi Padat Dengan 60% RAP Jalan Amlapura – Angentelu (Hasil Perhitungan, 2014)



Bidang Transportasi - 407



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5. KESIMPULAN Hasil pengujian terhadap agregat baru, aspal baru dan agregat RAP menunjukkan karakteristik masing-masing material memenuhi persyaratan spesifikasi sehingga dapat digunakan sebagai material campuran aspal dingin. Karakteristik dari benda uji yang dibuat dengan komposisi 60% material RAP Jalan Amlapura – Angentelu dan 40 % material baru apabila dibandingkan dengan spesifikasi yang ditetapkan maka dapat disimpulkan bahwa pada campuran tersebut pada seluruh kadar aspal yang direncanakan dari rentang 4,3% sampai 5,3% memenuhi semua persyaratan Spesifikasi Umum Bina Marga 2010. Sehingga nilai dari kadar aspal campuran yang optimum dapat diambil dari rentang kabar aspal rencana yang masuk ke dalam persyaratan spesifikasi yaitu sebesar 5,7%.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Budianto, Herry (2009), Menuju Jalan yang Andal, Cakra Daya Sakti, Surabaya. 2. Departemen Pekerjaan Umum (1999), Pedoman Pelaksanaan Campuran Beraspal Dingin Untuk Pemeliharaan, PT. Mediatama Saptakarya, Jakarta 3. Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (2010), Spesifikasi Umum Edisi 2010, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta. 4. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (1995), Manual Pemeliharaan Rutin Untuk Jalan Nasional Dan Jalan Propinsi Jilid II : Metode Perbaikan Standar, Direktorat Bina Teknik, Jakarta.



5. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (2006), Pemanfaatan Asbuton Buku 5 Campuran Beraspal Dingin dengan Asbuton Butir Peremaja Emulsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 6. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (2008), SNI 03-47992008 Spesifikasi Aspal Cair Tipe Penguapan Sedang, Pusjatan Balitbang PU, Bandung. 7. National Asphalt Pavement Association (1996), Hot Mix Asphalt Materials, Mixture Design, and Construction, NAPA Education Foundation, Maryland. 8. Sukirman, Silvia (1992), Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Jalan, NOVA, Bandung.



408 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS PERILAKU LALU LINTAS SEBELUM DAN SESUDAH RENCANA PEMBANGUNAN SIMPANG TAK SEBIDANG KENTUNGAN YOGYAKARTA Adhi Muhtadi1 dan Supani2 1



Universitas Narotama Surabaya, email: [email protected] Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email:[email protected]



2



ABSTRAK Derajat kejenuhan di Simpang Bersinyal Kentungan pada Tahun 2014 pada jam puncaknya mencapai 0.80 hingga 1,55 untuk keseluruhan pendekat. Hanya pendekat selatan (Jl. Kaliurang bag Selatan) saja yang masih dalam kondisi ideal. Oleh karena itu, Pemprov DIY berencana melakukan pembangunan simpang tak sebidang. Pembangunan simpang tak sebidang diasumsikan antara Tahun 2015 sd 2017. Pada awal operasional simpang tak sebidang tersebut, derajat kejenuhannya menuun drastis hingga 0,41 sd 0,79 untuk seluruh pendekat. Hal ini masih dalam kondisi ideal karena kurang dari 0,85 (MKJI 1997). Menurut Munawar (2013), pertumbuhan kendaraan bermotor di Yogyakarta adalah 9,7%/tahun. Sehingga setelah 10 tahun beroperasi (Tahun 2027), diperkirakan nilai derajat kejenuhan simpang tak sebidang tersebut pada jam puncak mencapai 0,99 hingga 2,00. Hal ini menunjukkan pembangunan simpang tidak sebidang tersebut diprediksi hanya mampu bertahan kurang lebih selama 10 tahun saja setelah beroperasi. Alangkah baiknya, apabila Pemprov mampu menekan pertumbuhan laju kendaraan bermotor dengan memprioritaskan pengembangan sarana dan prasarana transportasi yang mendukung integrasi beberapa moda angkutan umum massal seperti Trans Yogya yang sekarang telah beroperasi dan juga beberapa langkah yang bisa menghambat pertumbuhan laju kendaraan pribadi semisal penerapan pajak progresif yang lebih tinggi, penerapan ERP (electronic road pricing) dan pembatasan jumlah kendaraan pribadi dalam 1 keluarga. Kata kunci: perilaku, lalu lintas, simpang tak sebidang, derajat kejenuhan



1. PENDAHULUAN Kota Yogyakarta mempunyai pertumbuhan jumlah kendaraan yang cukup tinggi yakni 9,7%/tahun (Munawar, 2013). Hal ini menjadikan beberapa simpang di Yogyakarta mengalami tundaan dan antrian yang panjang. Salah satu simpang yang mempunyai antrian yang panjang adalah Simpang Bersinyal Kentungan Yogyakarta. Hal ini menjadikan Pemprov DIY dan instansi terkait mempunyai rencana untuk membangun simpang tak sebidang di Keuntungan tersebut. Oleh karena itu, penulis berencana melakukan studi perilaku lalu lintas di Simpang Bersinyal Kentungan Yogyakarta untuk sebelum dan sesudah adanya operasional simpang tak sebidang di daerah tersebut. Dari hasil prediksi derajat kejenuhan, dapat menjawab apakah simpang tak sebidang tersebut cukup efektif guna mengatasi permasalahan lamanya tundaan dan panjangnya antrian di Simpang Bersinyal Kentungan tersebut.



2. DASAR TEORI Penelitian ini menggunakan beberapa perumusan dari simpang bersinyal dan ruas jalan perkotaan yang bersumber dari MKJI 1997. Untuk derajat kejenuhan menggunakan rumus sbb: DS = Q/C, dimana DS = derajat kejenuhan; Q = volume kendaraan



Bidang Transportasi - 409



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (smp/jam) dan C adalah kapasitas (smp/jam). Sedangkan untuk perumusan panjang antrian (NQ1) adalah sbb:



........................................... (1) Dimana: NQ1 = jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya; DS = derajat kejenuhan; GR = rasio hijau; dan C = kapasitas (smp/jam). Perumusan untuk panjang antrian NQ2 adalah sbb:



.................................................................................... (2) Dimana: NQ1 = jumlah smp yang datang setelah fase merah; DS = derajat kejenuhan; GR = rasio hijau; c = siklus waktu; dan Q = arus lalu lintas pada tempat masuk di luar LTOR. Sehingga didapatkan jumlah kendaraan antri (NQ) = NQ1 + NQ2. Sedangkan panjang antrian didapatkan dengan rumus sbb: ......................................................................................................... (3) Dimana: QL = panjang antrian, NQMAX = jumlah kendaraan antri; WMASUK = lebar masuk; 20 = luas rata-rata yang digunakan 1 smp (20 m2). Perumusan Angka henti (NS) adalah sbb: .............................................................................................. (4) Dimana: NQ = jumlah kendaraan antri; Q = arus lalu lintas (smp/jam) dan c = waktu siklus (detik) Perumusan untuk jumlah kendaraan terhenti (NSV) adalah sbb: Perumusan untuk tundaan lalu lintas rata-rata (DT) adalah sbb: ........................................................................................... (5)



410 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Sedangkan rumus tundaan geometri rata-rata masing-masing pedekat (DG) adalah sbb: .................................................................... (6)



3. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan alur penelitian seperti pada simpang bersinyal dan ruas jalan perkotaan pada MKJI 1997. Survey volume lalu lintas dilakukan pada pada Hari Rabu dan Kamis tanggal 7 dan 8 Mei 2014 selama 2 x 24 jam. Survey dilakukan pada simpang bersinyal Kentungan Yogyakarta. Jam puncak terjadi pada Hari Kamis tanggal 8 Mei 2014 pada pukul 16.45 – 17.45 WIB. Total kendaraan pada jam puncak untuk seluruh pendekat adalah 5982 smp/jam. Data jumlah kendaraan pada keseluruhan pendekat adalah sbb: Tabel 1: Jumlah kendaraan (smp/jam) pada jam puncak untuk keseluruhan pendekat Utara Selatan Timur Barat Total 1140 1336 1628 1828 5982



4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada Tahun 2014 telah dilakukan perhitungan tentang perlaku lalu lintas di Simpang Bersinyal Kentungan dengan hasil sbb: Tabel 2: Perilaku Lalu Lintas di Simpang Bersinyal Kentungan pada Tahun 2014



Dari tabel 2 di atas, tampak bahwa hanya DS pada pendekat Selatan yang nilainya masih dibawah 0,85. Hal ini berarti dari 4 pendekat yang ada, hanya 1 pendekat yang masih dalam kondisi ideal. Asumsi pembangunan simpang tak sebidang dilaksanakan hingga Tahun 2017. Simpang tak sebidang akan dibangun pada ruas jalan ring road utara (timur – barat).



Bidang Transportasi - 411



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pada Tahun 2014, ruas jalan sisi timur – barat mempunyai masing-masing 4 lajur: 1 lajur untuk belok kanan, 1 lajur untuk belok kiri dan 2 lajur untuk arah menerus. Sedangkan pada Tahun 2017 (setelah terbangunnya simpang tak sebidang di sisi timur – barat, terjadi perubahan peruntukan lajur untuk kendaraan: 2 lajur khusus menghubungkan antara sisi timur – barat, 1 lajur untuk menerus dan belok kanan dan 1 lajur untuk belok kiri. Sehingga akan terjadi perubahan perilaku lalu lintas yang ada di Simpang Kentungan tersebut yakni seperti Tabel 3 berikut ini. Dari Tabel 3 diatas, tampak bahwa nilai derajat kejenuhan setelah simpang tak sebidang terbangun akan mengalami penurunan. Untuk keseluruhan pendekat nilainya dibawah 0,85 dan ini berarti untuk keseluruhan pendekat masih dalam kondisi ideal. Sementara itu apabila tidak ada upaya-upaya yang signifikan tentang kebijakan penggunaan angkutan umum, maka perkembangan jumlah kendaraan pribadi di Yogyakarta tentu juga akan semakin besar. Oleh karena itu, tim peneliti juga melakukan prediksi kondisi perilaku lalu lintas pada Tahun 2027 di Simpang Kentungan Yogyakarta. Meskipun telah memiliki simpang tak sebidang yang dioperasikan pada Tahun 2017, namun dikhawatirkan pada jam puncak akan terjadi penurunan kinerja perilaku lalu lintas. Berikut asumsi prediksi kinerja lalu lintas di Simpang Kentungan pada Tahun 2027. Tabel 3: Prediksi Perilaku Lalu Lintas Setelah Simpang Tak Sebidang Kentungan Terbangun



Tabel 4: Prediksi Perilaku Lalu Lintas pada Simpang Kentungan pada Tahun 2027



412 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Dari Tabel 4 tersebut di atas, nampak bahwa nilai derajat kejenuhan berkisar antara 0.99 hingga 2,00 untuk keseluruhan pendekat. Untuk keseluruhan pendekat nilainya sudah diatas 0,85. Sehingga derajat kejenuhannya sudah dalam kondisi yang tidak ideal. Hal ini dapat dilihat juga pada jumlah kendaraan antri yang mencapai 122 hingga 900 kendaraan pada tiap jam puncaknya. Panjang antrian juga mencapai 92 kendaraan hingga 140 meter. Jumlah kendaraan terhenti antara 2858 hingga 21128 smp/jam. Sedangkan tundaan rata-rata antara 85 hingga 1902 detik/smp. Dari hasil prediksi pada Tahun 2027 ini menunjukkan bahwa kinerja Simpang Kentungan meskipun telah dibangun simpang tak sebidang, akan semakin memburuk setelah beroperasi pada waktu 10 tahun dibandingkan dengan kinerja pada Tahun 2014. Jadi pembangunan simpang tak sebidang hanya efektif untuk melayani jam puncak sebatas dibawah 10 tahun.



5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Prediksi perilaku lalu lintas pada Tahun 2017 setelah dioperasikannya simpang tak sebidang Kentungan nilai derajat kejenuhannya dibawah 0,85 untuk keseluruhan pendekat. 2. Prediksi perilaku lalu lintas pada Tahun 2027 lebih buruk daripada Tahun 2014 (sebelum dilakukannya pembangunan simpang tak sebidang). Hal ini ditunjukkan oleh nilai derajat kejenuhan yang nilainya diatas 0,85 untuk keseluruhan pendekat, jumlah kendaraan antri yang mencapai 122 hingga 900 kendaraan pada tiap jam puncaknya. Panjang antrian juga mencapai 92 kendaraan hingga 140 meter. Jumlah kendaraan terhenti antara 2858 hingga 21128 smp/jam. Sedangkan tundaan rata-rata antara 85 hingga 1902 detik/smp. Saran Untuk meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi, maka diperlukan beberapa kebijakan yang memprioritaskan penggunaan angkutan umum. Beberapa kebijakan tersebut antara lain (Susilo, 2009): 1. Memperbanyak alternatif sarana transportasi, kuantitas dan rute angkutan umum hingga menyentuh sebagian besar wilayah Kota Yogyakarta. 2. Melakukan sinergi yang lebih baik dalam hal konektivitas antara angkutan umum dengan kendaraan pribadi. 3. Menerapkan sistem park and ride dan kiss and ride untuk memberikan fasilitas bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke angkutan umum. Menerapkan tiket parkir yang tinggi bagi pengguna kendaraan pribadi yang tidak beralih ke angkutan umum (parking meter). 4. Subsidi operasional diberikan kepada angkutan umum sehingga angkutan umum mampu bersaing dengan kendaraan pribadi. Tarif yang ditawarkan juga tidak memberatkan calon penumpang baik yang berasal dari pengguna kendaraan pribadi maupun penumpang angkutan umum yang merupakan captive user. 5. Sistem buy the service sebaiknya diterapkan sehingga para pengemudi tidak melakukan kerja dengan cara uber setoran seperti yang selama ini diterapkan. 6. Meningkatkan kualitas pelayanan yang terdiri dari kesesuaian jadwal keberangkatan, kedatangan, kenyamanan, kebersihan dan ketertiban operasional keseluruhan angkutan umum yang disediakan.



Bidang Transportasi - 413



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 7. Membatasi keleluasaan pengguna kendaraan pribadi dengan cara penerapan pajak progresif yang tinggi, menghapus program mobil LCGC yang memicu pembelian kendaraan bermotor, dan beberapa kebijakan lainnya yang mendukung pengutamaan penggunaan angkutan umum. 8. Menerapkan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) bagi pengguna kendaraan pribadi yang memasuki kawasan kota.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Dirjen PU Bina Marga, Bina Karya dan Sweroad (1997), Manual Kapasitas Jalan Indonesia,Jakarta: PU Bina Marga 2. Susilo, Djoko (2009), Implementasi Transportasi Makro Di Jabodetabek: Merancang Solusi Cerdas Di Tengah Keterbatasan, Jakarta: Polda Metro Jaya 3. UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 4. Nasution H.M.N (1996), Manajemen Transportasi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 5. Muhtadi, Adhi (2011), Rekayasa Lalu Lintas Berbasis Penelitian, Surabaya: Narotama University Press 6. Wells, G.R. (1993), Rekayasa Lalu Lintas, Cetakan ke-3, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara Niaga Media



414 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



TARGET PENINGKATAN PELAYANAN TERMINAL PURWOASRI Agung Sedayu1 1



Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Jln. Gajayana 50 Malang Jawa Timur 65144 Telp/Fax. (0341) 55893, Email : [email protected]



ABSTRAK Terminal Purwoasri merupakan salah satu terminal tipe B di kabupaten Kediri Propinsi Jawa Timur memiliki peranan penting dalam menunjang transportasi antar kota dalam propinsi di Jawa Timur. Dilihat dari posisi dan letaknya, terminal ini berada di jalan nasional atau negara yang menghubungkan kota-kota besar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Angkutan umum berupa bus yang memiliki trayek tersebut tidak masuk dan menggunakan pelayanan terminal Purwoasri, sebab tergolong tipe B yang melayani angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP). Kondisi penurunan pelayanan ini ditambah permasalahan dengan tidak masuknya angkutan umum lain yang sebenarnya termasuk angkutan AKDP ke terminal ini. Untuk saat ini saja terminal Purwoasri cenderung sepi, bahkan sama sekali tidak dimasuki angkutan umum. Dengan latar belakang demikian, maka diperlukan penelitian yang bertujuan untuk untuk melakukan evaluasi dalam menetapkan target peningkatan pelayanan terminal Purwoasri berdasarkan persepsi pengguna. Hasil evaluasi tersebut dianalisis sehingga diperoleh target peningkatan pelayanan sesuai dengan harapan pengguna. Metode yang digunakan adalah metode survei, wawancara, dan Quality Function Deployment (QFD). Responden sebagai pengguna yang menjadi target survei dan wawancara adalah penumpang angkutan umum. Survei yang dilakukan untuk menggali data kebutuhan pengguna, mencari indikator pelayanan, dokumentasi data instansi terminal, dan pengukuran fasilitas fisik terminal. Hasil penelitian memperoleh 20 respon teknis yang merupakan jawaban yang diberikan oleh pihak pengelola dari kebutuhan dan kepuasan pengguna. Dari 20 respon teknis yang diperoleh, respon teknis menunjang kebersihan terminal menjadi target paling tinggi dengan skor own performance yang tertinggi yaitu 401,079, sedangkan respon teknis menyediakan fasilitas telekomunikasi (wartel), warnet, atau TV menjadi target terendah sebab memiliki skor own performance yang paling kecil yaitu 375,286. Dua puluh target peningkatan pelayanan tersebut diklasifikasi ke dalam diagram affinitas dengan tiga klasifikasi utama yaitu Fasilitas, Kenyamanan, dan Pegawai atau Petugas. Kata kunci: Peningkatan, pelayanan, terminal Purwoasri



1. PENDAHULUAN Kabupaten Kediri berada dalam wilayah propinsi Jawa Timur didukung oleh tiga terminal angkutan jalan tipe B dan dua sub terminal (tipe C). Terminal tipe B yang dimaksud antara lain terminal Gumul di kecamatan Ngasem, Terminal Pare di kecamatan Pare, dan terminal Purwoasri di kecamatan Purwoasri. Sedangkan dua sub terminal yang dimiliki antara lain adalah sub terminal Pasar Pamenang di kecamatan Pare dan sub terminal Sambi di kecamatan Ringinrejo. Sesuai dengan fungsinya sebagai terminal tipe B, terminal Purwoasri memiliki lokasi dan posisi strategis untuk melayani angkutan kota dalam propinsi (AKDP) yang menghubungkan kota Surabaya dengan kota-kota wilayah barat Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi, bahkan kota-kota di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta (Sedayu, 2013). Saat ini, Terminal Purwoasri mengalami perubahan fungsi dipakai sebagai area parkir kendaraan angkutan barang. Hampir seluruh angkutan umum berupa bus, MPU, dan taxi sudah tidak melakukan aktivitas transit atau alih moda angkutan di terminal ini. Dengan tidak masuknya kendaraan umum ke dalam terminal menyebabkan sepinya pengunjung dan penumpang di terminal ini. Kondisi ini sudah berlangsung lama sejak didirikan pada tahun 2000 oleh



Bidang Transportasi - 415



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pemerintah daerah kabupaten Kediri. Untuk memecahkan permasalahan ini, diperlukan penelitian untuk melakukan evaluasi dalam menetapkan target peningkatan pelayanan terminal Purwoasri berdasarkan persepsi kepentingan dan kepuasan pengguna, yaitu penumpang angkutan umum yang melintas di dalam terminal. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penggalian informasi kebutuhan pengguna yang disebut suara pengguna (voice of user). Analisis yang diterapkan adalah Quality Function Deployment (QFD) yang mempertimbangkan target peningkatan suatu pelayanan berdasarkan kepentingan dan kepuasan pengguna. Gambar 1 menunjukkan alih fungsi terminal menjadi lahan parkir truk angkutan barang, sedangkan Gambar 2 menunjukkan kondisi fasilitas terminal yang rusak dan tidak digunakan.



Gambar 1. Area terminal digunakan sebagai lahan parkir truk (Sumber : Sedayu, 2013)



Gambar 2. Fasilitas terminal mengalami kerusakan (Sumber : Sedayu, 2013)



2. KAJIAN PUSTAKA Kerangka konsep penelitian terminal mengacu pada Performance Based Design of Buildings (PeBBu), Final Domain Report. CIBdf 2005. PeBBU memberikan konsep kualitas pelayanan suatu infrastruktur yang berbasis kinerja dengan mempertimbangkan keseimbangan antara aspek teknis terminal dengan kebutuhan pengguna, sehingga diharapkan ada kesesuaian antara aspek teknis dan aspek fungsi menurut pengguna. Gambar 3 merupakan konsep kinerja infrastruktur dari PeBBU. Bahasa Kinerja  Fasilitas atau produk  Kebutuhan fasilitas yang dipakai



Bahasa Pengguna  Dihubungkan dengan pengguna  Kenapa dibutuhkan  Apa yang dibutuhkan



Permintaan (Demand) Persediaan (Supply) Bahasa Teknis  Spesifikasi Teknis  Bagaimana kebutuhan tersebut didapatkan  Memahami supply yang disediakan



Kebutuhan Kebutuhan Fungsional Kinerja



Spesifikasi Spesifikasi Solusi Kinerja



Pengukuran Perhitungan Simulasi



Bandingkan dan Cocokkan



Bahasa Kinerja  Memprediksi dan mengukur solusi



Gambar 3. Bahasa Kinerja Diantara Dua Parameter Sumber: Spekkink, 2005



416 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Terminal Purwoasri Kabupaten Kediri termasuk terminal tipe B dimana menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 tahun 1995 memiliki definisi yaitu terminal yang berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP), angkutan kota, dan angkutan pedesaan. Tabel 1 mengemukakan variabelvariabel penelitian yang digunakan dalam penyusunan variabel dalam alat pengukuran survei di dalam penelitian ini. Tabel 1. Variabel-Variabel Penelitian Terdahulu No Peneliti Tahun Variabel Penelitian 1 Constantine 1999 Keamanan, informasi, ketersediaan fasilitas, dan keindahan 2 Dragu 2001 Keamanan, keandalan, frekuensi, ketercapaian, komoditas, informasi, kenyamanan, dan keindahan 3 Rauf 2002 Kelengkapan dan keadaan fasilitas, kenyamanan, dan keamanan 4 Harsanto 2007 Keandalan, daya tanggap, jaminan, dan tampilan fisik 5



Rini



2007



Keamanan, fasilitas, pelayanan petugas, penanganan parkir, pelayanan bus, tiketing, kebersihan dan kenyamanan, fasilitas penyeberangan, aksesibilitas, keselamatan, dan pelayanan operator. Kenyamanan, ketepatan waktu, kecepatan dan ketepatan pegawai dalam melayani penumpang, jumlah rute bus, fasilitas shelter, kerapatan bus, dan fasilitas penyandang cacat Fasilitas dan manajemen, aksesibilitas, tingkat pelayanan jalan, keamanan dan kenyamanan lingkungan.



6



Marliana



2008



7



Purba



2009



8



Weningtyas



2009



Keandalan, aspek fisik, dan ketanggapan.



9



Pati



2009



10



Saputra



2010



11



Sedayu



2013



12



Sedayu



2013



Waktu, fleksibitas tempat pembayaran tiket, dan keselamatan penumpang dan barang Waktu kedatangan dan keberangkatan, sistem informasi pelayanan, kondisi jalan, dan fasilitas Keandalan, ketersediaan, kemudahan, daya tahan, daya tanggap, kenyamanan, jaminan, frekuensi, kinerja, dan estetika Keandalan, ketersediaan, kemudahan, daya tahan, daya tanggap, kenyamanan, jaminan, frekuensi, kinerja, dan estetika



Metode Survei dan analisis faktor Survei dan simulasi Survei, IPA, QFD Survei dan QFD Survei dan Analisis faktor



Servqual dan QFD



Analytical Hierarchy Process (AHP) Servqual dan survei Survei dan regresi linier Survei, CSI, IPA, Survei dan IPA Survei, IPA, dan QFD



3. METODE Tahapan Penelitian Data yang akan dianalisis berasal dari persepsi pengguna sehingga metode untuk mengidentifikasi atribut-atribut pelayanan terminal yaitu dengan teknik survei kepada pengguna melalui suara pengguna (voice of user). Metode yang dikembangkan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.



Bidang Transportasi - 417



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 4. Metode penelitian yang dikembangkan Penentuan Variabel Pelayanan Terminal Tahapan awal berupa penggalian informasi dan penetapan atribut pelayanan terminal melalui survei pendahuluan (Lihat Gambar 4). Survei pendahuluan memerlukan kuisioner pendahuluan dengan menggabungkan beberapa variabel dari penelitian terdahulu (lihat Tabel 1). Data diperoleh dari survei dan wawancara dengan menggunakan angket yang telah disusun melalui tahapan penelaahan kajian terdahulu dan survei pendahuluan. Tahap awal adalah menyusun indikator kinerja yang kemudian disebarkan kepada responden melalui survei pendahuluan. Hasil studi kajian terdahulu dan survei pendahuluan disusun menjadi indikator kinerja utama yang siap disebarkan pada survei lanjutan. Responden yang menjadi sasaran survei dan wawancara adalah pengguna terminal Purabaya yaitu penumpang angkutan umum. Indikator kinerja terminal digolongkan atas lima bagian utama yaitu Tingkat Kepentingan (TK), Tingkat Kepuasan Pengguna yang dirasakan atau aktual (KPA), dan Tingkat Kepuasan Pengguna yang diharapkan atau harapan (KPH). Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Instrumen survei lanjutan ketiga variabel tersebut diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui kesahihan angket yang akan disebarkan kepada pihak yang menjadi sampel penelitian. Uji ini dilakukan terhadap 30 orang (Sugiyono, 2009). Alat pengumpul data yang digunakan adalah angket atau kuisioner dengan skala pengukuran sebagaimana tabel berikut : Tabel 2. Skala pengukuran instrumen penelitian Variabel



Skala Pengukuran



TK 1 = tidak penting 2 = kurang penting 3 = cukup penting 4 = penting 5 = sangat penting



KPA 1 = tidak memuaskan 2 = kurang memuaskan 3 = cukup memuaskan 4 = memuaskan 5 = sangat memuaskan



KPH 1 = tidak diharapkan 2 = kurang diharapkan 3 = cukup diharapkan 4 = diharapkan 5 = sangat diharapkan



Dalam penelitian ini, suatu instrumen dikatakan berkorelasi kuat apabila nilai korelasinya di atas angka 0,6 (Sugiyono, 2009). Untuk keperluan uji validitas, maka digunakan korelasi product moment dari Pearson, yaitu rumus yang akan menghitung koefisien korelasi masing-masing item dengan skor total. Adapun persamaannya menurut Pearson adalah : rxy 



N  X



N  XY  ( X )( Y ) 2



Dimana : rxy = X = Y = ΣX =



 ( X ) 2



 N  Y   ( Y )  ........................................................... (1) 2



2



Koefisien korelasi item yang dicari Skor responden untuk tiap item Total skor tiap responden dari seluruh item Jumlah skor dalam distribusi X



418 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 ΣY = ΣX2= ΣY2= N =



Jumlah skor dalam distribusi Y Jumlah kuadrat masing-masing skor X Jumlah kuadrat masing-masing skor Y Jumlah subyek



Uji reliabilitas dilakukan setelah dilakukan uji validitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah alat pengumpul data pada dasarnya menunjukkan tingkat ketepatan, keakuratan, kestabilan, atau konsistensi alat tersebut dalam mengungkapkan gejala tertentu dari sekelompok individu, walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Uji reliabilitas dilakukan terhadap pernyataan-pernyataan yang sudah berkorelasi kuat. Untuk menguji Internal Consistency dengan menggunakan koefisien konsistensi (Alpha Cronbach). Persamaan Alpha Cronbach yang digunakan dalam uji reliabilitas ini adalah: k  1   b 2  r1     2 k  1  .t  ............................................................................................. (2) Dimana : r1 = Konsistensi instrumen K = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal Σζb2= Jumlah varians butir ζb2 = Varians total Dengan ketentuan bahwa apabila nilai koefisien alpha (koefisien Alpha Cronbach) berada di atas 0,60 (Sugiyono, 2009). Penentuan sampel penelitian dicari dengan 2



persamaan Bernoulli :



 Z  p.q a , N   2 2 e



2 sehingga menjadi N  1,96  .0,95.0,05 2







(0,05)



N  72,99  73



Dimana, N = jumlah sampel minimum; Z = nilai distribusi normal; e = tingkat kesalahan; p = proporsi jumlah kuisioner yang dianggap benar; dan q = proporsi jumlah kuisioner yang dianggap salah. Nilai yang dianggap benar sebesar 95%, maka jumlah kuisioner yang dianggap salah adalah 5%. Untuk menghindari kekurangan data akibat kesalahan pengisian atau tidak kembalinya kuisioner diputuskan dipakai 75 orang responden. Quality Function Deployment (QFD) QFD Untuk mengetahui prioritas dan target peningkatan kualitas pelayanan terminal menurut pengguna perlu dibuat rumah kualitas (house of quality) yang merupakan bagian analisis QFD seperti ditunjukkan pada Gambar 5.



Bidang Transportasi - 419



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Bagian E Korelasi respon teknis Bagian C Karakteristik teknis Bagian D Bagian A Bagian B Hubungan (pengaruh Kebutuhan dan Matriks perencanaan (survei karakteristik teknis terhadap keinginan konsumen pasar dan rencana strategis) kebutuhan konsumen) Bagian F Matriks teknis (prioritas karakteristik teknis, perbandingan dengan pesaing target)



Gambar 3. Rumah kualitas dalam QFD Sumber : Rauf, 2002



Tahapan dalam analisis QFD meliputi : 1. Customer Satisfaction Performance: penilaian pengguna tentang seberapa baik pelayanan pihak pengelola atau pihak manajemen yang diberikan kepada pengguna. Rumusnya adalah: WAP =  PW =  (TP) x n …………………… (3) N



N



Dimana, WAP = Weight average performance PW = Performance weight TP = Skala tingkat kepuasan N = jumlah responden 2. User Expected Performance : bagian dari User Performance yang diharapkan, WAP =



 EPW =  (TH) x N ............................(4) N



N



Dimana,



EPW = expected performance weight TH = Skala tingkat kepuasan harapan N = Jumlah responden 3. Gap yang bernilai negatif menunjukkan permasalahan yang dihadapi oleh pihak pengelola sehingga perlu dilakukan tindakan perbaikan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan. 4. Goal : seberapa besar tingkat performansi kepuasan yang diharapkan dapat dicapai oleh pihak pengelola atau manajemen untuk memenuhi setiap keinginan pengguna. 5. Improvement Ratio (IR) : suatu ukuran seberapa besar yang harus dilakukan oleh pihak pengelola atau manajemen dalam usaha meningkatkan kualitas pelayanan. IR = Goal ................................................................................................................ (5) CSP



Dimana USP = User Satisfaction Performance 6. Sales Point ditentukan oleh pihak pengelola, nilai ini mencerminkan kemampuan



menjual jasa (pelayanan) dan produk-produk berdasarkan seberapa baik setiap keinginan pengguna atau pengguna dapat terpenuhi. Skala untuk Sales Point adalah : -1,0 menunjukkan tidak ada titik penjualan -1,2 menunjukkan titik penjualan menengah



420 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 -1,5 menunjukkan penjualan kuat 7. Raw Weight berisi nilai perhitungan dari data dan keputusan yang dibuat selama penyusunan matriks perencanaan. Nilai dari Raw Weight untuk setiap User Need adalah: Raw Weight = IU x IR x SP.....................(6) Dimana, RW = Raw Weight IU = importance to user IR = improvement ratio SP = Sales point 8. Normalized Raw Height (NRH) berisi nilai Raw Weight (RW) diskalakan pada rancangan antara 0 sampai 1 atau dinyatakan dalam presentase. NRH = RW ..........................................(7) RW Total



9. Respon Teknis adalah hasil diskusi peneliti dan pengelola yang harus dimiliki sebuah



terminal angkutan umum menurut masukan pengguna. 10. Matriks Hubungan menggambarkan pengaruh respon teknis terhadap kebutuhan



pengguna dan performansi kepuasan pengguna. Tabel 3. Simbol-simbol matriks hubungan Pengertian Tidak ada hubungan Terdapat hubungan



Simbol Kosong



Nilai Numerik 0 1



Hubungan Moderat



3



Hubungan Kuat



9



Sumber : Rauf, 2002 Nilai prioritas menggambarkan kontribusi dari respon teknis terhadap pemenuhan keinginan konsumen, Cont = ΣNRH x Nilai Numerik.............................. (8) Nilai kontribusi atau normalized contribution (NC) : prioritas dan respon teknis dalam skala 0 hingga 1 menunjukkan prosentase yang didapat dari: Cont NC = ................................(9) Total Cont



Dimana cont = contribution 11. Own Performance (OP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:  (CSP x nv)



OP =



Dimana,



 nv



CSP nv



............................(10)



= customer satisfaction performance = numerical value



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penggalian Suara Pengguna Tahapan survei pendahuluan mendapatkan suara pengguna (voice of user) yang terdiri atas sepuluh atribut pelayanan utama terminal. Berikut Tabel 2 yang menunjukkan suara pengguna dengan dan peringkat skor masing-masing atribut



Bidang Transportasi - 421



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 4. Suara Pengguna terminal Purwoasri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9



10



Atribut Pelayanan Terminal Jaminan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan ketersediaan moda angkutan Daya tanggap petugas dalam hal pemberian perhatian, tanggap terhadap permasalahan, sopan dan ramah, dan memiliki keterampilan yang memadai Kinerja fasilitas terminal meliputi pencahayaan, penghawaan, parkir, jalan, ruang tunggu, musholla, kios, koridor, kamar mandi, taman, dan persampahan Estetika ruang tunggu, koridor, gate kedatangan dan keberangkatan, taman, dan lansekap Kemudahan dalam hal lokasi, sirkulasi, mendapat tiket, harga, informasi, fasilitas, dan tidak ada biaya tambahan (pungutan liar) Keandalan (reliabilitas) dalam hal kedatangan dan keberangkatan, waktu tunggu, dan pelayanan tiket angkutan umum Daya tahan atau keawetan (durabilitas) pelayanan fasilitas dan angkutan umum Frekuensi dalam hal antrian penumpang, kepadatan pengunjung , dan tingkat kemacetan arus kendaraan di dalam terminal Kenyamanan dari asap rokok, asap kendaraan, bau tidak sedap, kebisingan, silau, view, kebersihan terminal, keteraturan dan ketertiban, dan tidak adanya calo-calo Ketersediaan fasilitas terminal



Skor Total 127



Rangking 2



110



8



122



3



117



5



112



7



143



1



105



9



104



10



114



6



119



4



Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen uji coba terhadap 30 orang diperoleh Tingkat Kepentingan Pengguna dengan nilai korelasi lebih besar dari 0,6, sedangkan koefisien alphanya sebesar 0,982 dan nilai alpha (Cronbach‘s Alpha) ini lebih besar dari 0,6, berarti seluruh item pertanyaan dalam instrumen Tingkat Kepentingan dinyatakan valid dan andal. Untuk instrumen Kepuasan Pengguna mempunyai nilai korelasi lebih besar dari 0,6. Sedangkan koefisien alphanya (Cronbach‘s Alpha) sebesar 0,924 (lebih besar dari 0,6). Dengan demikian berarti item pertanyaan dalam instrumen Kepuasan Pengguna dinyatakan valid dan andal. Tahapan QFD Langkah awal dalam analisis QFD adalah menentukan nilai beda (gap) antara kepuasan pengguna aktual (KPA) dan kepuasan pengguna harapan (KPH) seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai gap kepuasan pengguna aktual dan harapan di Terminal Purwoasri Notasi AP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16



Nilai Rata-Rata (mean) KPA KPH 3,707 3,693 3,947 3,987 3,893 3,920 3,880 3,933 3,947 4,013 3,867 3,907 4,067 3,880 3,773 3,733 3,827 3,800 3,960 4,093 3,613 3,560 4,040 4,147 3,853 3,880 3,787 3,893 4,053 4,160 3,880 3,800



422 – Bidang Transportasi



Gap 0,013 -0,040 -0,027 -0,053 -0,067 -0,040 0,187 0,040 0,027 -0,133 0,053 -0,107 -0,027 -0,107 -0,107 0,080



Notasi AP 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43



Nilai Rata-Rata (mean) KPA KPH 3,880 3,960 4,093 4,120 3,813 3,733 4,453 4,320 3,933 3,693 3,747 3,813 4,027 4,107 3,960 4,013 3,960 3,720 4,133 3,947 3,960 3,987 3,933 3,947 4,067 4,280 3,773 3,720 3,933 3,827 4,120 4,200



Gap -0,080 -0,027 0,080 0,133 0,240 -0,067 -0,080 -0,053 0,240 0,187 -0,027 -0,013 -0,213 0,053 0,107 -0,080



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27



4,107 3,773 3,787 3,947 3,613 3,693 3,627 3,947 3,973 4,107 3,867



4,227 3,827 3,733 3,920 3,600 3,747 3,600 3,773 4,160 4,120 3,747



-0,120 -0,053 0,053 0,027 0,013 -0,053 0,027 0,173 -0,187 -0,013 0,120



44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54



3,693 4,040 3,707 3,813 3,827 3,613 4,027 3,493 3,707 3,813 3,773



3,920 4,133 3,680 3,760 3,933 3,547 4,000 3,707 3,640 3,867 3,733



-0,227 -0,093 0,027 0,053 -0,107 0,067 0,027 -0,213 0,067 -0,053 0,040



Selanjutnya dapat dibuat respon teknis (karakteristik ) untuk menjawab prioritas utama tingkat kepentingan dari IPA dan Gap (Tabel 4.26) sebagai berikut, 1.Menambah fasilitas dan petugas kesehatan (R-1) 2.Meningkatkan pelayanan dan kinerja petugas (R-2) 3.Menambah dan menjamin kejelasan fasilitas informasi perjalanan (R-3) 4.Merawat fasilitas kamar mandi (R-4) 5.Memperbaiki fasilitas jalan (R-5) 6.Menambah fasilitas parkir (R-6) 7.Memperindah ruang tunggu dan koridor (R-7) 8.Memperindah taman dan lansekap (R-8) 9.Mempermudah pencapaian menuju terminal (R-9) 10. Menambah fasilitas informasi dan pengaduan (R-10) 11. Memberikan pelayanan tepat waktu (R-11) 12. Meningkatkan upaya perawatan fasilitas (R-12) 13. Meningkatkan kualitas pelayanan angkutan (R-13) 14. Memberikan kenyamanan luar dan dalam terminal (R-14) 15. Menunjang kebersihan terminal (R-15) 16. Menambah kapasitas ruang tunggu (R-16) 17. Menambah fasilitas kios dan retail (R-17) 18. Menyediakan kantin, restoran, toko makanan yang memadai (R-18) 19. Menambah jumlah dan kapasitas kamar mandi (R-19) 20. Menyediakan fasilitas telekomunikasi (wartel), warnet, atau TV (R-20)



Gambar 4. Rumah kualitas pelayanan terminal Purwoasri Kediri



Bidang Transportasi - 423



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 6. Hasil analisis QFD dengan rumah kualitas untuk terminal Purwoasri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Respon Teknis R-1 R-2 R-3 R-4 R-5 R-6 R-7 R-8 R-9 R-10



Own Performance 396,789 396,923 389,773 389,264 395,375 389,500 395,737 389,020 396,688 389,020



Target



No



5 4 14 15 9 16 8 17 6 17



11 12 13 14 15 16 17 18 19 20



Respon Teknis R-11 R-12 R-13 R-14 R-15 R-16 R-17 R-18 R-19 R-20



Own Performance 394,070 393,900 401,000 395,920 401,079 398,800 389,813 381,200 394,955 375,286



Target 11 12 2 7 1 3 13 18 10 19



Respon teknis menunjang kebersihan terminal (R-15) menjadi target paling tinggi dengan skor own performance yang tertinggi (401,079). Sedangkan respon teknis menyediakan fasilitas telekomunikasi (wartel), warnet, atau TV (R-20) menjadi target terendah sebab memiliki skor own performance yang paling kecil (375,286).



5. KESIMPULAN Penurunan pelayanan terminal TOW dapat disebabkan oleh lokasinya yang jauh dari simpul transportasi umum di Kabupaten Kediri, walaupun lokasi tersebut berdekatan dengan jalur transportas AKAP Surabaya-Madiun-Di. Yogyakarta. Disamping itu perlu adanya kajian yang mengevaluasi pelayanan fasilitas yang tersedia di terminal ini. Evaluasi pelayanan terminal TOW melalui tahapan survei dan wawancara dengan pengguna mendapatkan 10 atribut utama yaitu jaminan, daya tanggap, kinerja, estetika, kemudahan, keandalan, daya tahan atau keawetan, frekuensi, kesenangan dan kenyamanan, dan ketersediaan. Dari 10 atribut tersebut, keandalan memiliki skor tertinggi tingkat kebutuhan bagi pengguna. Penentuan target peningkatan kinerja terminal memperoleh 20 respon teknis pengelola terminal terhadap kepuasan harapan pengguna. Respon teknis menunjang kebersihan terminal menjadi target paling tinggi dengan skor own performance yang tertinggi yaitu 401,079, sedangkan respon teknis menyediakan fasilitas telekomunikasi (wartel), warnet, atau TV menjadi target terendah sebab memiliki skor own performance yang paling kecil yaitu 375,286. Dua puluh target peningkatan pelayanan tersebut diklasifikasi ke dalam diagram affinitas dengan tiga klasifikasi utama yaitu Fasilitas, Kenyamanan, dan Pegawai atau Petugas.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 Tentang Terminal Transportasi Jalan. Jakarta : Kementerian Perhubungan. 2. Constantine, KOH.1999. An Exploratory Study Into The Desired Amenities In Public Transport Terminals By Central Business District Workers. MMUTIS Tachnology Report, School of Urban and Regional Planning, University of The Philippines 3. Dragu , V., Rosca E., Rusca, F. 2001. Service Quality in The Terminal Joining Magistral and Urban Transport. Transportation faculty, Politehnica University of Bucharest, Rumania. 4. Ismail, Siddik. 2008. Optimalisasi Pengoperasian Terminal Penumpang Bandar Raya Payung Sekaki Kota Pekanbaru. Balitbang Propinsi Riau. 5. Harsanto, Budi. 2007. Aplikasi Quality Function Deployment pada Kereta Api Argo Wilis. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Magister Manajemen Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis Telkom Bandung.



424 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 6. Marliana, Sonya., dkk. 2008. Integrasi Servqual dan QFD Meningkatkan Kualitas Layanan Angkutan Massa Trans Jogja. Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi IST AKPRIND Yogyakarta. 7. Pati, Rhony., Radam, Iphan f., Arifin, Asrul. 2009. Persepsi Penumpang Terhadap Kualitas Pelayanan Angkutan Travel Rute Muara Teweh-Banjarmasin. Simposium XII FSTPT Universitas Kristen Petra Surabaya. 8. Purba, Djamahaen.2008. Analisis Prioritas Faktor-Faktor Yang Mempengatuhi Efektifitas Fungsi Terminal Sarantama (Studi Kasus Terminal Sarantama Kota Pematang Siantar. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. 9. Rauf, Nurhayati. 2002. Penerapan Quality Function Deployment Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Terminal Angkutan Umum : Studi Kasus Pada Terminal Angkutan Umum Sungguminasa – Gowa. Pascasarjana Teknik Industri ITS Surabaya 10. Rini, Indri Nurvia Puspita. 2007. Analisis Persepsi Penumpang Terhadap Tingkat Pelayanan Bus Way (Studi Kasus Bus Way Trans Jakarta Koridor I). Program Pascasarjana Program Magister teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang. 11. Saputra, M. Taufiq Yuda., Kartika, A. Agung Gde. 2010. Analisis Tingkat Kepuasan Pengguna Jasa Terhadap Kinerja Pelayanan Terminal Makassar Metro Kota Makassar. Pascasarjana Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya. 12. Sedayu, Agung. 2013. Evaluasi Kualitas Pelayanan Terminal Joyoboyo Kota Surabaya. Penelitian Hibah Institusi Batch-2 Universitas Brawijaya, Malang. 13. Sedayu, Agung. 2013. Pemodelan Pelayanan Terminal Penumpang Transportasi Jalan Berbasis Kepuasan Pengguna. Pascasarjana Teknik Sipil Universitas Brawijaya Malang. 14. Sedayu, Agung. 2013. Evaluasi Pelayanan Terminal Tipe B di Kabupaten Kediri. Laporan Penelitian Penguatan Program Studi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. 15. Spekkink, Dik. 2005. Performance Based Design of Buildings, Final Domain Report.. CIBdf. Netherland 16. Sugiyono, 2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: penerbit Alfabeta. 17. Weningtyas, Widyarini., Karsaman, Rudy Hermawan. 2009. Evaluasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk Prasarana Jalan Tol. Simposium XII FSTPT Universitas Kristen Petra Surabaya.



Bidang Transportasi - 425



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



426 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



EVALUASI TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) PADA RUAS JALAN I GUSTI NGURAH RAI PALU Arief Setiawan, Herdiyanti Sarika2 dan Mashuri3 1



Staf pengajar Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Tadulako, email: [email protected] Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Tadulako 3 Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tadulako 2



ABSTRAK Perkerasan jalan harus dipelihara agar terhindar dari kerusakan yang berarti sehingga mampu melayani arus lalulintas selama masa layan. Dinas Bina Marga Daerah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan peningkatan jalan dengan memberikan tebal lapis tambah setebal 5 cm. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai kondisi lapisan perkerasan jalan serta mengevaluasi apakah dengan ketebalan 5 cm mampu menerima beban lalulintas sesuai dengan umur yang direncanakan yaitu 5 tahun. Salah satu parameter untuk mengevaluasi tebal overlay dibutuhkan nilai kondisi jalan (kerusakan). Metode yang digunakan untuk menilai kondisi lapis permukaan perkerasan jalan adalah metode PCI (Pavement Condition Index). Metode PCI ini dilakukan dengan cara melakukan survei kerusakan jalan di lapangan, mengklasifikasi jenis dan tingkat kerusakan serta menentukan nilai kondisi perkerasan jalan (sempurna, sangat baik, baik, sedang, buruk, sangat buruk dan gagal). Untuk menghitung umur layan berdasarkan desain tebal perkerasan Metode Analisa Komponen, MAK (SNI 03-1732-1989). Nilai kondisi lapis permukaan jalan I Gusti Ngurah Rai sebesar 45,53% (sedang) di sepanjang ruas jalan I Gusti Ngurah Rai (2,4 Km) dengan ditemukan jenis kerusakan yaitu alur (rutting), sungkur (shoving), benjol dan turun (bumps and sags), retak buaya (alligator cracking), retak memanjang dan melintang (long and trans cracking), kegemukan (bleeding), butiran lepas dan pelapukan (weathering/ravelling), lubang (potholes), tambalan dan tambalan galian utilitas (patching and utility cut patch), dan retak pinggir (edge cracking). Nilai kondisi lapis pondasi atas 80% dan lapis pondasi bawah 90%. Hasil perhitungan dengan bantuan fasilitas goal seek Microsoft Excel 2010 dengan membagi ruas jalan dalam beberapa segmen CBR maka diperoleh masa layan 6,0 tahun (CBR segmen 9%); 6,5 tahun (CBR segmen 9,6%) dan 5,6 tahun (CBR segmen 8,6%). Dengan demikian maka tebal lapis tambah setebal 5 cm mencukupi untuk memenuhi umur rencana selama 5 tahun. Kata kunci: lapis-tambah (overlay), PCI (Pavement Condition Index), Metode-Analisa-Komponen.



1. PENDAHULUAN Ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu terletak di Kecamatan Palu Selatan, dengan panjang jalan 2.430 m dan lebar jalan 6-8 m. Ruas jalan ini padat kendaraan, dimana lebar jalan sangat sempit dan rumah serta tempat usaha yang berada di kiri kanan jalan dekat dengan garis sempadan jalan. Pada ruas ini sudah terlihat kerusakan pada permukaan jalan, seperti lubang (potholes), retak (cracking), terkelupas, tambalan dan lain-lain. Untuk menghindari kerusakan yang lebih serius pada jalan tersebut maka diperlukan penambahan tebal lapis tambah perkerasan (overlay). Dinas Bina Marga Daerah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan peningkatan jalan dengan memberikan tebal lapis tambah setebal 5 cm. Memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan tebal lapis tambah maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan tingkat kerusakan jalan yang terjadi pada ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu untuk menentukan nilai kondisi perkersana saat ini serta mengetahui apakah dengan ketebalan 5 cm mampu menerima beban lalulintas sesuai dengan umur yang direncanakan yaitu 5 tahun.



Bidang Transportasi - 427



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



2. LANDASAN TEORI Nilai Kondisi Perkerasan Nilai kondisi perkerasan berhubungan dengan penentuan ketebalan lapisan perkerasan saat ini. Persamaan yang dibangun adalah: ITPeksisting = NK1.al.D1 + NK2.a2.D2 + NK3.a3.D3 ...................................................... (1) ITP= indeks tebal perkerasan; NK= Nilai Kondisi Perkerasan Jalan; a= Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan; D= Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm); 1 = lapis permukaan, 2 = lapis pondasi atas, dan 3 = lapis pondasi bawah. Penelitian ini lebih ditekankan pada nilai kondisi lapis permukaan karena lapis permukaan lebih mudah diamati dan dinilai daripada lapisan yang ada dibawahnya serta pengujian untuk melakukan penilaian kondisi lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah bukanlah hal yang mudah dilakukan mengingat posisinya berada dibawah lapis permukaan kalaupun dilakukan pengujian maka cenderung bersifat destruktif (merusak). Desain tebal perkerasan Bina Marga dalam Metode Analisa Komponen (SNI 1737-1989F) [1] dan Pt 2002 B [2] memberikan petunjuk penilaian kondisi perkerasan untuk lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah. Namun demikian penilaian tersebut cenderung bersifat subyektif dan untuk lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah relatif sulit untuk dilaksanakan. Pavement Condition Index (PCI) Penilaian kondisi kerusakan perkerasan yang dikembangkan oleh US Army Corp of Engineer [5] dinyatakan dalam Indeks Kondisi Perkerasan (Pavement Condition Index, PCI). PCI memberikan informasi kondisi perkerasan hanya pada saat survei dilakukan, tetapi tidak dapat memberikan gambaran prediksi di masa depan. Namun demikian, dengan melakukan survei kondisi secara periodik, informasi kondisi perkerasan dapat berguna untuk prediksi kinerja di masa datang, selain juga dapat digunakan sebagai masukan pengukuran yang lebih detail. Metode PCI dipilih dalam penelitian ini dikarenakan bukan hanya tipe dan jenis kerusakan saja yang dinilai tetapi meliputi luasan kerusakan. Kategori tingkat kerusakan meliputi rendah (low), sedang (medium), dan tinggi (high). Dalam metode ini, nilai pengurang diperoleh dari kurva nilai pengurang (deduct value) untuk masing-masing jenis kerusakan berdasarkan kerapatan kerusakan yang diperoleh dari luasan kerusakan dan tingkat keparahan kerusakan. Metode PCI ini lebih detail dalam memperoleh nilai kondisi perkerasan. Karena untuk memperoleh nilai kondisi perkerasan tersebut, metode ini memiliki kurva nilai pengurang (deduct value) dan koreksi kurva untuk berbagai jenis kerusakan. Dalam metode PCI, tingkat keparahan kerusakan perkerasan merupakan fungsi dari 3 faktor utama, yaitu:  Tipe kerusakan  Tingkat keparahan kerusakan  Jumlah atau kerapatan kerusakan. Density atau kadar kerusakan adalah persentase luasan dari suatu jenis kerusakan terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam sq.ft atau m2 atau dalam feet atau



428 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 meter. Nilai density suatu jenis kerusakan dibedakan juga berdasarkan tingkat kerusakannya. ( ) .................................................................................... (2) atau ( )



......................................................................................(3)



Dengan pengertian: Ad = Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (sq.ft atau m2) Ld = Panjang total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m) As = Luas total unit segmen (sq.ft atau m2) Deduct Value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan atas tingkat kerusakan untuk tiap-tiap jenis kerusakan. Karena banyaknya kemungkinan kondisi perkerasan, untuk menghasilkan satu indeks yang memperhitungkan ke tiga faktor tersebut umumnya menjadi masalah. Untuk mengatasi hal ini, nilai pengurang dipakai sebagai tipe faktor pemberat yang mengindikasikan derajat pengaruh kombinasi tiap-tiap tipe kerusakan, tingkat keparahan kerusakan dan kerapatannnya. Untuk menentukan PCI dari bagian perkerasan tertentu, maka bagian tersebut dibagi-bagi ke dalam unit-unit inspeksi, yang disebut unit sampel. Kurva nilai pengurang (Deduct Value) terdiri atas 19 kurva untuk masing-masing kerusakan. Nilai pengurang total atau (Total Deduct Value ,TDV) adalah nilai total dari individual deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan tingkat kerusakan yang ada pada suatu unit penelitian. Nilai pengurang terkoreksi atau CDV diperoleh dari kurva hubungan antara nilai pengurang total (TDV) dan nilai pengurang (DV) dengan memilih kurva yang sesuai. Jika nilai CDV yang diperoleh lebih kecil dari nilai pengurang tertinggi (Highest Deduct Value, HDV), maka CDV yang digunakan adalah nilai pengurang individual yang tertinggi. Setelah CDV diperoleh, maka PCI untuk setiap unit sampel dihitung dengan menggunakan persamaan: PCIs = 100 – CDV .....................................................................................................(4) dengan PCIs = PCI untuk setiap unit sampel atau unit penelitian, dan CDV adalah CDV dari setiap unit sampel. Nilai PCI perkerasan secara keseluruhan pada ruas jalan tertentu adalah : ∑ ................................................................................................................(5) dengan : PCIf = Nilai PCI rata-rata dari seluruh area penelitian PCIs = Nilai PCI untuk setiap unit sampel N = jumlah unit sampel Dari nilai PCI untuk masing-masing unit penelitian dapat diketahui kualitas lapisan perkerasan unit segmen berdasarkan kondisi tertentu yaitu sempurna (excellent), sangat baik (very good), baik (good), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), dan gagal (failed).



Bidang Transportasi - 429



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 1. Hubungan Nilai PCI dan Kondisi Perkerasan Metode Analisa Komponen Perencanaan tebal perkerasan yang akan diuraikan adalah merupakan dasar dalam menentukan tebal perkerasan lentur yang dibutuhkan untuk suatu jalan raya. Yang dimaksud perkerasan lentur (flexible pavement) dalam perencanaan ini adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya. Persamaan umum yang digunakan adalah:  Ipo  Ipt  log  4,2  1,5   1   Log ( LERx3650 )  9,36 log( ITP  2,54)  3,9892   log   0,372 ( DDT  3) 138072  FR  0,4  ITP  2,54 5,19 .....(6)



Dimana : IPo = Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana IPt = Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana ITP = Indeks Tebal Perkerasan untuk keadaan lingkungan dan daya dukung tanah sesuai lokasi jalan dan Indeks Permukaan akhir umum rencana yang dipilih. DDT = Daya Dukung Tanah dasar yang besarnya merupakan nilai korelasi dengan nilai CBR. Hubungan CBR dan DDT adalah DDT= 1,7 + 4,3 log (CBR) FR = Faktor Regional yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana jalan tersebut berada. ITPoverlay = al x D1 ........................................................................(7) ITP = ITPoverlay + ITPeksisting .......................................................................(8) Umur Sisa Perkerasan Untuk dapat menentukan apakah ketebalan yang dilakukan memenuhi masa layannya atau tidak, dilakukan perhitungan sisa umur perkerasan dengan melakukan ketebalan overlay sebagai input. LEA = LEP ( 1 + i )UR ............................................................................................. (9) LET 



LEP  LEA 2 ...................................................................................................... (10)



LER = LET x (UR/10) .............................................................................................. (11) UR = (LER x 10)/LET .......................................................................................... (12)



430 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. METODE PENELITIAN Langkah-langkah yang akan dilakukan agar penelitian yang dilaksanakan terarah dan dapat mencapai tujuan dapat dilihat pada Gambar 2. Rumusan Masalah Data primer: Mengklasifikasikan jenis, mengukur luasan kerusakan dan tingkat kerusakan sesuai metode PCI, pengujian laboratorium untuk lapis



Data primer : 1. Geometrik Jalan 2. Tebal Lapisan Perkerasan Eksisting 3. Kelandaian Jalan



Data sekunder : 1. LHR 2. CBR dari DCP 3. Curah Hujan 4. Jumlah Penduduk 5. Jumlah dan jenis kendaraan 6. Pendapatan



Nilai Kondisi Perkerasan Jalan Tebal Overlay Lapangan



Perencanaan Overlay dengan MAK (SNI 03-17321989) Masa Layan Analisi s Kesimpulan dan Saran



Gambar 2. Bagan alir penelitian Langkah pertama yang dilakukan adalah survei kerusakan jalan sepanjang Jalan I Gusti Ngurah Rai yaitu identifikasi jenis, jumlah, kerapatan, dan tingkat keparahan kerusakan jalan tiap segmen. Pembagian segmen berdasarkan ketentuan PCI dan pada akhirnya akan diperoleh PCI ruas atau nilai kondisi perkerasan jalan I Gusti Ngurah Rai Palu. Langkah kedua mengumpulkan data primer meliputi geometrik jalan untuk menentukan jumlah lajur; tebal perkerasan eksisting untuk menentukan tebal lapis permukaan (D1), lapis pondasi atas (D2) dan lapis pondasi bawah (D3); kelandaian jalan sebagai salah parameter kondisi lingkungan. Data sekunder meliputi data Lalulintas Harian Rata-rata (LHR) 2014 yang diperoleh dari hasil survei Dinas Bina Marga Daerah untuk menentukan jenis, beban dan lalulintas harian masing-masing jenis kendaraan, data Dynamic Cone Penetrometer (DCP) untuk mendapatkan nilai California Bearing Ratio (CBR) yang akan dibagi dalam beberapa segmen. Data curah hujan dan persentase kendaraan berat sebagai bagian parameter lingkungan. Jumlah penduduk, jumlah dan jenis kendaraan, dan pendapatan perkapita diambil data 5 tahun terakhir untuk menentukan tingkat pertumbuhan lalulintas. Langkah ketiga, data langkah pertama dan langkah kedua digunakan untuk menyelesaikan persamaan 1 dan 6 sampai dengan 12 sehingga akan diperoleh umur



Bidang Transportasi - 431



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean layan jalan dengan menetapkan skenario CBR segmen dan ketebalan overlay sebagai input data.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Kondisi Nilai kondisi perkerasan eksisting perkerasan jalan meliputi:  Lapis permukaan Nilai kondisi untuk lapis permukaan diperoleh dari perhitungan metode PCI (Pavement Condition Index). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan jenis kerusakan dan tingkat kerusakan dengan meninjau ukuran kerusakan yang terjadi pada permukaan perkerasan jalan. Adapun indeks numerik yang dimaksud berkisar diantara 0 – 100. Dimana nilai 0 menunjukkan kondisi permukaan jalan yang buruk dan nilai 100 menunjukkan kondisi permukaan jalan yang sempurna. Untuk mengetahui nilai kondisi perkerasan dilakukan survei pengamatan kerusakan selama 1 hari dengan mengukur luasan dan mendokumentasikan kerusakan sepanjang 2,4 km yang dimulai dari Sta. 0+000 sampai dengan Sta. 2+400. Setelah dilakukan perhitungan maka diperoleh nilai PCI sepanjang 2,4 km sebesar 45,53 %, dengan nilai kondisi perkerasannya fair (sedang). Nilai kondisi tiap segmen yang ditinjau dapat dilihat pada Gambar 3.



85.2 81.5



90



83



50



38



40



54



39



32



8



9



8



1+000 - 1+100



27



0+900 - 1+000



Good Poor



30



52



PCIs = 45,93 %



7



42



Fair Very Good Failed



50



Excellent



64



70 62.5 60



10



74



72



Failed Excellent Very Good Fair Fair Poor Failed Failed Failed Poor Poor Failed Very Good Fair Very Good Excellent Failded Good



PCI (%)



80



20



97



95



100



8



6



0



2+300 - 2+400



2+200 - 2+300



2+100 - 2+200



2+000 - 2+100



1+900 - 2+000



1+800 - 1+900



1+700 - 1+800



1+600 - 1+700



1+500 - 1+600



1+400 - 1+500



1+300 - 1+400



1+200 - 1+300



1+100 - 1+200



0+800 - 0+900



0+700 - 0+800



0+600 - 0+700



0+500 - 0+600



0+400 - 0+500



0+300 - 0+400



0+200 - 0+300



0+100 - 0+200



0+000 - 0+100



0



STA



Gambar 3. Nilai PCI atau kondisi lapis permukaan perkerasan tiap segmen Pada Gambar 2 terlihat bahwa tiap segmen memiliki kondisi permukaan perkerasan yang berbeda-beda. Pada Sta 0+300-0+400, 1+700-1+800 dan 2+300-2+400 masih dalam kondisi sangat baik tetapi pada 7 (tujuh) segmen yang lain dalam kondisi gagal. Untuk menentukan nilai kondisi secara keseluruhan dapat digunakan rata-rata berbobot



432 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 yang dikenal dengan nilai PCI section. Nilai PCI section terhitung sebesar 45,53% artinya nilai kondisi permukaan jalan saat dilaksanakan survei sebesar nilai tersebut.  Lapis pondasi atas Untuk mendapatkan nilai kondisi lapis pondasi atas dilakukan pengujian Atterberg di laboratorium. Diambil sampel yang lolos saringan no. 60 sampai dengan no.200 untuk pengujian Atterberg. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui batas cair dan batas plastis serta indeks plastisitas bahan. Pada saat pengujian diketahui bahwa sampel dikategorikan non plastis karena jenis tanah berbutir sehingga pada saat di pilin sampel hancur. Maka disimpulkan bahwa nilai Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) untuk lapis pondasi atas ≤ 6 Berdasarkan petunjuk nilai kondisi pada MAK maka nilai kondisi terletak antara 80 % - 100 % , oleh karena itu dengan pertimbangan nilai terendah (tinjauan kondisi kritis) maka diambil NK2 = 80 %.  Lapis pondasi bawah Dilakukan pengujian yang sama seperti lapis pondasi atas untuk mengetahui nilai kondisi lapis pondasi bawah. Adapun hasil dari pengujian adalah sampel lapis pondasi bawah dikategorikan non plastis karena termasuk tanah berbutir. Maka disimpulkan nilai Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 dengan nilai kondisi berdasarkan MAK sebesar 90 % - 100 % , maka diambil nilai kritisnya yaitu NK3 = 90 %. Indek Tebal Perkerasan Tebal eksisting diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan karena tidak tersedianya data sekunder. Adanya penggalian untuk pelebaran pada ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai dimanfaatkan untuk mensurvei berapa tebal masing-masing lapisan perkerasan jalan (terlihat pada Gambar 4). Diperoleh tebal lapis permukaan setebal 10 cm, lapis pondasi atas setebal 15 cm dan lapis pondasi bawah dengan tebal 25 cm. Dengan diketahuinya tebal perkerasan eksisting maka ITPeksisiting dapat ditentukan sebagai berikut: ITPeksisting = NK1.al.D1 + NK2.a2.D2 + NK3.a3.D3 = (45,53%x0,4x10)+(80%x0,1098x15)+(90%x0,109x25) = 5,59 Lps. Permukaan = 10 cm



LPA = 15 cm



LPB = 25 cm



Gambar 4. Ketebalan eksisting lapisan perkerasan di lapangan Data tebal overlay pada ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu adalah 5 cm dan kekuatan relatif bahan overlay dengan diketahui nilai stabilitas rata-rata Laston AC-WC hasil pengujian Marshall adalah 1373,5 kg. Sehingga berdasarkan tabel pada metode MAK



Bidang Transportasi - 433



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean ditentukan nilai koefisien kekuatan relatifnya adalah sebesar 0,4. Rumus yang digunakan untuk penentuan ITPoverlay adalah: ITPoverlay = al.D1 = 0,4 x 5 = 2 Maka , nilai ITP adalah : ITP = ITPoverlay + ITPeksisting = 2 + 5,59 = 7,59 Lintas Ekivalen dan Faktor Pertumbuhan Lintas harian rata-rata diperoleh data pada tahun awal 2014 [4]. Tiap jenis kendaraan memiliki konfigurasi sumbu dan berat yang berbeda dan mempengaruhi distribusi pembebanan pada sumbu kendaraan. Untuk mendapatkan nilai Lintas Ekivalen Permukaan (LEP) = LHRi xEixCi. Maka diperoleh hasil perhitungan pada tabel berikut: Tabel 1: Lintas Ekivalen Permukaan (LEP) Tahun 2014 Jumlah Angka Koefisien Jenis Kendaraan Kendaraan Ekivalen (E) Distribusi Mobil Penumpang 7465 0,002 0,52 1.2 Bus 20 0,384 0,52 1.2 L Truck 792 0,278 0,52 1.2 H Truck 288 6,420 0,52 1.22 Truck 84 5,242 0,52 1.2 + 2.2 Trailer 8 5,887 0,52 1.2 - 2 Trailer 17 6,588 0,52 LEP dalam ESAL



LEP 9,131 3,915 114,413 960,298 230,035 24,546 56,644 1.398,983



Dengan faktor pertumbuhan untuk memprediksi selama masa layan diperoleh dari ratarata untuk pertumbuhan penduduk, kendaraan dan pertumbuhan perkapita sebesar 5,686 %. Penentuan CBR Segmen California Bearing Ratio (CBR) diperoleh dari pengujian Dynamic Cone Penetratometer (DCP) yang dilakukan oleh Dinas Bidang Bina Marga Daerah Provinsi Sulawesi Tengah [3]. Adapun hasil data CBR dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai CBR segmen dibuat dalam 2 (dua) skenario dengan tujuan untuk menghasilkan masa layan tersingkat (tinjauan kritis). Adapun skenario yang dimaksud adalah: skenario 1 yaitu jalan sepanjang 2,4 km dibuat dalam tinjauan satu segmen dengan nilai CBR sebesar 9%; skenario 2 ruas jalan dibagi dalam 2 (dua) segmen sehingga masingmasing diperoleh nilai CBR segmen 1 =9,6% dan segmen 2 =8,6% Koefisien Kekuatan Relatif (a) Berdasarkan kualitas material perkerasan maka dapat ditentukan seberapa besar nilai kekuatan relatifnya. Menurut tabel yang diberikan MAK maka nilai kekuatan realtif bahan yang digunakan pada ruas jalan I Gusti Ngurah Rai Palu untuk a 1 = 0,4; a2 = 0,1097 dan a3 = 0,109.



434 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



CBR = 9 % 14.7 14.2



14.3 11.9



10.8



9.7



10.2 10.2



0



11.6



10.2



8.2



Jembatan



CBR (%)



skenario 1 : CBR segmen hanya dalam satu segmen dengan nilai 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0



8.1



skenario 2 : CBR segmen dibagi dalam dua segmen CBR = 9,6%



CBR = 8,6%



0+0000+2000+4000+6000+8001+0001+2001+4001+6001+8002+0002+2002+400



STA



Gambar 5. CBR segmen ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu Lintas Ekivalen Rencana (LER)  Penentuan Indeks Permukaan Indeks Permukaan Awal Umur Rencana (IPo). Berdasarkan tabel Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP) diperoleh nilai IPo dengan Roughness ≤ 1000 mm/km yaitu sebesar = 4 untuk bahan lapis permukaan Laston dimana dalam perencanaan biasanya nilai IP = 4. Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IPt) Berdasarkan tabel Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IPt) dengan nilai LER = 1.398,983 kend/hari (> 1000), serta klasifikasi jalan arteri, dapat diperoleh nilai IPt = 2,5.  Penentuan Faktor Regional (FR) Dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2008 sampai dengan 2012 untuk kota palu diperoleh curah hujan rata-rata sebesar 761,4 mm/tahun. Dengan menggunakan alat Global Potitioning System (GPS) Garmin GPSMap 60CSx diperoleh kelandaian ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai sebesar 1,285 %. Komposisi kendaraan berat berdasarkan data LHR adalah 13,93 %. Data curah hujan, kelandaian, komposisi kendaraan berat maka diperoleh nilai faktor regional (FR) = 0,5. Masa Layan Perkerasan Perhitungan masa layan mengikuti persamaan 6 sampai dengan 12 dengan menggunakan skenario CBR dan fasilitas goal seek Microsoft Excel 2010 diperoleh umur layan sebagai berikut: Tabel 2: Hasil perhitungan masa layan Log CBR LER LEP (LERx3650)



LEA



LET



UR (Tahun)



9



6,561



996,173



1398,983



1944,128



1671,555



6,0



9,6



6,605



1104,510



1398,983



2004,173



1701,578



6,5



8,6



6,529



926,301



1398,983



1906,858



1652,920



5,6



Bidang Transportasi - 435



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Hasil skenario CBR segmen yang berbeda menghasilkan masa layan terpendek 5,6 tahun artinya umur rencana selama 5 tahun telah dilampaui meskipun dengan menggunakan CBR terendah. Dengan demikian dengan tebal overlay 5 cm mampu bertahan lebih dari 5 tahun.



5. KESIMPULAN 1. Nilai kondisi permukaan jalan beraspal pada ruas jalan I Gusti Ngurah Rai sepanjang 2,4 km sebesar 45,93 % dengan kondisi fair (sedang). Tindakan untuk melakukan overlay sudah seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas permukaan jalan tersebut sehingga memberikan kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan. 2. Berdasarkan pengujian laboratorium nilai kondisi lapis pondasi atas sebesar 80% dan lapis pondasi bawah sebesar 90%. 3. Overlay yang dilaksanakan di Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu dengan tebal 5 cm mampu memberikan layanan lalu lintas selama 5 tahun.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim (1987) Petunujk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen, Standar Konstruksi Bangunan Indonesia) SKBI-2.3.26.1987 UDC: 625.73 (02), SNI-1732-1989-F, Departemen Pekerjaan Umum, Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum (PU), Jakarta



2. Anonim (2002) Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Pt T 2002 B, Departemen Pekerjaan Umum.



3. Anonim, (2013) Data Dynamic Cone Penetrometer pada Ruas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu. Dinas Bina Marga Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.



4. Anonim (2014) Data Lalu Lintas Jalan I Gusti Ngurah Rai Palu Dinas Bina Marga Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Palu



5. Shahin. M.Y. (1994) Pavement Management for Airport, Road and Parking Lots, Chapman & Hall, New York.



436 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALYZING THE CORRELATION BETWEEN ASPHALT CONTENT WITH COEFFICIENT OF COHESION (C), SHEAR MODULUS (G), AND INTERNAL FRICTION ANGLE (Φ) USING MICROSOFT EXCEL 2013 SOFTWARE Christian Gerald Daniel1, Firdaus Chairuddin2 1



Assistant Researcher Atma Jaya Makassar University. Tanjung Alang Street No. 23 Telp. 0853 9789 1993. Email: [email protected] 2 Lecturer of Civil Engineering, From Atmajaya Makassar University. 0411-871038 Makassar. Email : [email protected]



ABSTRACT Asphalt is most well known as a road covering more technically termed asphalt concrete, but there are a few different forms in which the substance may appear. This substance is found in either liquid or semisolid form in nature and is characterized by its high viscosity and its sticky, black appearance. The major types used in construction are rolled and mastic. Asphalt is called a bituminous material because it contains bitumen, a hydrocarbon material soluble in carbon disulfate. The purposes of making the Indirect Tensile Strength Test and Unconfined Compressive Strength Test are to produce some values ,which are Shear Modulus (G), Internal Friction angle (θ), and Coefficient of Cohesion (C) (defining the physical characteristics of this material) and find the correlation between them and asphalt content, by analyzing data with Microsoft Excel 2013. The software will give the results in a table, and some graphics will be made based on it. Thus, some equations will be produced based on the graphics. Key words: Unconfined Compressive Strength ; Indirect Tensile Strength ; Shear Modulus ; Internal Friction Angle ; Coefficient of Cohesion



1. INTRODUCTION Roads are very important for land transportation infrastructure especially for distribution of goods and services, and supporting the economic growth. The safety, comfortable, robust and economic roads will make people easier in their movement. There are three types of pavement construction known today, such as flexible pavement, rigid pavement, and the combinations that known as composite pavement. Asphalt is called a bituminous material because it contains bitumen, a hydrocarbon material soluble in carbon disulfate. The tar obtained from the destructive distillation of soft coal also contains bitumen. Both petroleum asphalt and coal tar are referred to as bituminous materials. However, because their properties differ greatly, petroleum asphalt should not be confused with coal tar. Whereas petroleum asphalt is composed almost entirely of bitumen, the bitumen content in coal tar is relatively low. The two materials should be treated as separate entities. Many islands in Indonesia possess lime stones resources that can be used as coarse aggregate. Domato stone is a local name of lime stone (quartzite dolomite) that can be found in around of Banggai laut area, Indonesia. In order to produce permeable asphalt, Firdaus et.al (2014) employed Domato stone and BNA blend as coarse aggregate and



Bidang Transportasi - 437



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean bituminous material, respectively. The results of porosity test, permeability test, stability test, flow test, indirect tensile test and material loss test (Cantabro test) showed the bonding strength between BNA blend and domato stones can be established thus can enhanced the resistance of porous asphalt against raveling, rutting and shoving.



2. LITERATURE REVIEW The first asphalt road was constructed in the US about 100 years ago in New Jersey. There are currently about 2.2 million miles of roadway surfaced by asphalt concrete Pavements (Huang, 1993). Flexible pavements are made up of bituminous and granular Materials. A pavement construction is a construction of pavement put over the subgrade to serves the traffic loads. Based on the bonding materials, pavement construction can be divided to: a. Flexible Pavement b. Rigid Pavement c. Composite Pavement A typical flexible pavement section can be idealized as a multi-layered system Consisting of asphalt layers resting on soil layers having different material properties. Methods of designing flexible pavements can be classified into several categories : Empirical method with or without a soil test, limiting shear failure, and the mechanistic empirical method (Huang, 1993). Currently, the design of flexible pavements is largely empirical (Helwany et al, 1998; Huang, 1993). However, mechanistic design is becoming more prevalent, which requires the accurate evaluation of stresses and strains in pavements due to wheel and axle loads. Stress Force per unit area .......................................................................................................................... (1) while ζ = stress, P = load and A = area, Units : MPa, psi, ksi Strain Strain is the ratio of deformation caused by load to the original length of material : .......................................................................................................................... (2) while ε = strain, = change in length, l = original length Modulus of elasticity Modulus of elasticity, often called as Young Modulus is a comparison between stress axial strain in an elastic deformation, so that modulus of elasticity shows the trend to deform and be back to the original form when under loads (SNI 2826-2008). This is shown by equation: .......................................................................................................................... (3) while E = modulus of elasticity, ζ = stress and ε = strain



438 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Figure 1. Correlation between stress, strain and E



Figure 2. Stress vs. Strain of a Material in Compression Poisson Ratio (μ) Poisson Ratio (μ) is the values of comparison between horizontal strain (lateral strain) and vertical strain (axial strain) caused by loads that are parallel to axis and axial strain (Yoder, E.Y. and M.W Witczak.1975). This is shown by equation: μ=



..................................................................................................................... (4)



While : μ= poisson ratio, εh = lateral strain, εv = axial strain



Bidang Transportasi - 439



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Figure 3. Poisson Ratio Indirect tensile strength (IDT) The indirect tensile strength test (IDT) is used to determine the tensile properties of the bituminous mixture which can further be related to the cracking properties of the pavement. The value of IDT can be obtained from equation: .................................................................................................................. (5) Where P = maximum load, D = Diameter of sample, H = thickness of sample



Figure 4. Indirect Tensile Strength test Unconfined Compressive Strength (UCS) According to the ASTM standard, the unconfined compressive strength (qu) is defined as the compressive stress at which an unconfined cylindrical specimen of soil will fail in a simple compression test. It is generated by equation : ......................................................................................................................... (6) Where ζ = UCS, P = maximum load, and A = area Shear Modulus (G) The shear modulus is the initial, linear elastic slope of the stress-strain curve in shear. The shear modulus is related to the Young's modulus and Poisson's ratio for isotropic materials:



440 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



(



)



.............................................................................................................. (7)



G = Shear modulus, = Modulus of Elasticity, = Poisson Ratio Internal Friction angle (φ) Internal Friction angle (θ), is the measure of the shear strength of soils due to friction. |



0| Where



|



|



|



|



|



|



1 ........................................................................................... (8)



= unconfined compressive strength = indirect tension strength and = Internal Friction angle



Coefficient of Cohesion (C) Cohesion (C), is a measure of the forces that cement particles of soils (



( )) ( )



..................................................................................................... (9)



Responds of Pavements Flexible and rigid pavements respond to loads in very different ways. Consequently, different theoretical models have been developed for flexible and rigid pavements.



Figure 5. Pavement Responses Under Load Asphalt Asphalt is most well known as a road covering more technically termed asphalt concrete, but there are a few different forms in which the substance may appear. It is a naturally occurring material present in crude oil and in natural deposits, notably around certain bodies of water and in oil sands. This substance is found in either liquid or semisolid form in nature and is characterized by its high viscosity and its sticky, black appearance. It consists almost exclusively of bitumen, a substance composed of



Bidang Transportasi - 441



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). The major types used in construction are rolled and mastic. Asphalt is called a bituminous material because it contains bitumen, a hydrocarbon material soluble in carbon disulfate. The tar obtained from the destructive distillation of soft coal also contains bitumen. Both petroleum asphalt and coal tar are referred to as bituminous materials. However, because their properties differ greatly, petroleum asphalt should not be confused with coal tar. Whereas petroleum asphalt is composed almost entirely of bitumen, the bitumen content in coal tar is relatively low. The two materials should be treated as separate entities. One of the characteristics and advantages of asphalt as an engineering construction and maintenance material is its great versatility. Although a semi-solid at ordinary temperatures, asphalt may be liquified by applying heat, dissolving it in solvents, or emulsifying it. Asphalt is a strong cement that is readily adhesive and highly waterproof and durable, making it particularly useful in road building. It is also highly resistive to the actions of most acids, alkalis, and salts. Rolled asphalt is the variety with which most people are probably familiar, as it makes up about 80% of that used in the United States. It is made of aggregate, or solid materials such as sand, gravel, or recycled concrete, with an asphalt binder. This type is used to make roads and other surfaces, such as parking lots, by being applied in layers and compacted. Different types are distinguished according to the process used to bind the aggregate with the asphalt. Hot mix asphalt concrete (HMAC) is produced at 320°F (160°C). This high temperature serves to decrease viscosity and moisture during the manufacturing process, resulting in a very durable material. HMAC is most commonly used for high-traffic areas, such as busy highways and airports Rheological Properties of BNA Blend. According to the result of Firdaus Chairuddin‘s research (2013), BNA blend was slightly harder than the pure petroleum bitumen with 60/70 penetration grade. It can be inferred from the Table 1, which shows the rheological properties of BNA blend. Penetration value of 54 (unit: 0.1 mm). Table 1. Testing Methods For Rheological Properties Of Bna Liquid Properties Value Penetration at 25°C 54 Softening Point 57.25 Ductility 150 Flash Point 305 Density 1.0445 Loss on Heating TFOT 1.41 Penetration after loss on heating 79.3 Viscosity 135 Cst ( Temp. mixing) 1826 Source : Firdaus Chairudin et.al, 2013



Unit 0.1 mm °C Cm °C % wt % °C



Mixture of Porous Asphalt There were some trial mixes and the preliminary tests were conducted to gain the composition of porous asphalt (Firdaus et.all., 2013) . Contain of BNA liquid was



442 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 varied from 3% to 5% by weight of porous asphalt mixture, at 0.5% interval. Porous asphalt was designed with porosity of 17.25±2.5%. The composition of the coarse aggregate and fine aggregate are 90% and 10%, respectively. Where coarse aggregate consisting of crushed domato stone with diameter of 3/8 " and 1/2" are 50% and 50%, respectively. The standard Marshall mold with capacity of the 1,200 g sample was used to prepare the specimens. All specimens were compacted with a Marshall compactor using 2x50 blows.



Figure 6. Samples of Asphalt Briquette with various content



3. RESEARCH METHODS Methods that are used in the tests are laboratory experiment and analysis using software EverStressFE. The steps are : Unconfined Compressive Strength and Indirect Tensile Strength Tests The purpose is to determine the value of modulus of elasticity and Poisson Ratio of asphalt material. The processes of the tests are:  Prepare the test instruments, such as: set Universal Testing Machine (UTM), Data Logger, Computer, LVDT cables, Strain Gauge, and bearing plate.  Connect the data logger and computer that has been installed with software Visual Log.  Connect the LVDT cables to data logger  Put the testing material briquettess on UTM, and put the bearing plate upon the briquettes.  Install the LVDT cables around the briquettes as a sensor of deformation.  Start the test, as the loads done mechanically by the UTM, and the value of deformation recorded on computer.



Bidang Transportasi - 443



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Figure 7. Universal Testing Machine



Figure 8. Indirect Tensile Strength Test



Figure 9. Unconfined Compressive Strength Test Processing the test results The processing of the result of Unconfined Compressive Strength test is using software Microsoft Excel 2013, after copying the test results from software Visual Log. This process,using the equations that has been mentioned above (eq. 1-9), produces results tables. Thus, some graphics will be shown based on values in the table also some noteable equations between Asphalt content and other parameters based on graphics. The worksteps are :



444 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 1. 2. 3. 4. 5.



Copy the data from Visual Log to Microsoft Excel Input the equations to analyze the data Data will be achieved, then create a table which contains the data results Make some graphics based on the table From the graphics, show the equations using function equations.



Copy data from Visual log to Microsoft Excel



Creata a table containing data and analyze it to get the values which is been looking for



Bidang Transportasi - 445



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



From the table, create some graphics



Show equation from the graphics



4. RESULTS AND DISCUSSION The results of the laboratorium test and the further data-processing are shown below both in table and in graphs. Table 2. The Results of Data-processing based on test results Asphalt UCS IDT Shear θ c Content (Mpa) (Mpa) Modulus (%) (G) 1.895 0.388 46.400 17.769 0.691172 3.0% 1.930 0.344 44.638 26.441 0.597907 3.5% 2.056 0.412 47.804 19.319 0.728792 4.0% 1.386 0.408 25.125 25.365 0.708936 4.5% 1.245 0.344 19.228 13.827 0.624491 5.0% 1.683 0.399 23.432 5.671 0.762294 5.5%



446 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 60.000 Shear Modulus



Shear Modulus (MPa)



50.000



Poly. (Shear Modulus)



40.000 30.000 20.000 y = 802,996,297.308x4 - 125,121,155.315x3 + 7,109,665.645x2 - 175,550.557x + 1,641.575 R² = 0.931



10.000



0.000 3.0%



3.5%



4.0%



4.5%



5.0%



5.5%



Asphalt Content (%)



Figure 10. Graphs of correlation between asphalt content and shear modulus 0.9 0.8 0.7 0.6



c



0.5



0.4



Poly. (Coefficient of Cohesion) y = 22,057,656.267x4 - 3,731,361.230x3 + 233,166.794x2 6,372.897x + 64.907 R² = 0.986



0.3 0.2 0.1 0 3.0%



3.5%



4.0%



4.5%



5.0%



5.5%



Asphalt Content (%)



Figure 11. Graphs of correlation between asphalt content and coefficient of cohesion 30.000 25.000



Poly. (Internal Friction Angle)



φ



20.000 15.000 10.000 5.000 0.000 3.0%



y = -266,641,816.775x4 + 45,597,861.059x3 2,951,479.441x2 + 85,106.780x - 893.823 R² = 0.834



3.5%



4.0%



4.5%



5.0%



5.5%



Asphalt Content (%)



Figure 12. Graphs of correlation between asphalt content and internal friction angle



Bidang Transportasi - 447



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5. CONCLUSION From the graphics shown above it can be produced some equations e.g.: 1. Correlation between asphalt content and shear modulus (G) The graph above shows the correlation between asphalt content and shear modulus. It demonstrates a random trend, with the maximum value belongs to 4.0 percent of content, by 47.8 MPa, and the minimum goes to 5.0 percent with 20 MPa. Equation achieved from the graph is : y= 802,996,297.308x4 - 125,121,155.315x3 + 7,109,665.645x2 - 175,550.557x + 1,641.575 R² = 0.931 while y = shear modulus and x = asphalt content 2. Correlation between asphalt content and coefficient of cohesion © The graph above illustrates the correlation between asphalt content and coefficient of cohesion. It shows a random trend, with the maximum value belongs to 5.5 percent of content, with c = 0.76, and the minimum goes to 3.5 percent with c = 0.6. Equation achieved from the graph is : y = 22,057,656.267x4 - 3,731,361.230x3 + 233,166.794x2 - 6,372.897x + 64.907 R² = 0.986 while y = coefficient of cohesion and x = asphalt content 3. Correlation between asphalt content and internal friction angle (θ) The graph above illustrates the correlation between asphalt content and coefficient of cohesion. It shows a random trend, with the maximum value belongs to 3.5 percent of content, with φ = 26.4o, and the minimum goes to 5.5 percent with φ = 5.7o. Equation achieved from the graph is : y=-266,641,816.775x4 + 45,597,861.059x3 - 2,951,479.441x2 + 85,106.780x 893.823 R² = 0.834 while y = internal friction angle and x = asphalt content



6. REFERENCE 1. Alderon. A, John. B, John. O, John. R, 1997. ―Open Graded Asphalt Design Guide‖ Australian Asphalt Pavement Association. 2. ASTM D 2166 - Standard Test Method for Unconfined Compressive Strength of Cohesive Soil 3. Cabrera J.G. and Hamzah M.O., (1996), ‗Aggregate Grading Design for Porous Asphalt‘, In Performance and Durability of Bituminous Materials, E&FN Spon Publisher, London. 4. Daniel,C.G., Tungadi,R., et.al, (2014), The Comparison Of Deflection And Strain Values Between Everstressfe Software Analysis And Multilayer Laboratory Test Results, IOSR Journal of Engineering (IOSRJEN). 5. F. Chairuddin, M. W. Tjaronge, M. Ramli and J. Patanduk, Experimental Study on Permeable Asphalt Pavement Used Domato Stone (Quartzite Dolomite) as Course Agregate for Surface Layer of Road Pavement



448 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 6. FazleenHanim, Ahmad Kamar and Jazlina Nor Sarif, (2009), Design of porous asphalt mixture to performance related criteria, Proceedings of 13th Conference of the Road Engineering Association of Asia and Australasia (REAAA), 9-07. 7. S.Starodusbsky, I Blechman and M.Livneh, (1994), Stress-strain relationship for asphalt concrete in compression, Material and Structures, Vol.27 pp.474-482 8. Suryana. A,. (2003), Inventory on Solid Bitumen Sediment using 'Outcrop Drilling' in Southern Buton region, Buton Regency, Province Southeast Sulawesi, Colloquium on Results Activities of Mineral Resources Inventory - DIM, the TA. 2003 9. Yoder, E.Y. Witczak, M.W. 1975. Principles of Pavement Design. Wiley Interscience Publication. 10. Zaniewski, John P. and Srinivasan, G. (2004). Evaluation of Indirect Tensile Strength to Identify Asphalt Concrete Rutting Potential. Department of Civil and Environmental Engineering West Virginia University.



Bidang Transportasi - 449



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



450 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PREFERENSI MASYARAKAT DESA SENGONAGUNG TERHADAP PENGEMBANGAN FASILITAS PEDESTRIAN (STUDI RUAS JL. PESANTREN NGALAH DESA SENGONAGUNG KABUPATEN PASURUAN) Khofifah Institute Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Email : [email protected]



ABSTRAK Kawasan Jl. Pesantren Ngalah desa Sengonagung Kabupaten Pasuruan merupakan kawasan yang menjadi pusat kegiatan pendidikan terpadat disalah satu Kabupaten Pasuruan. Pada kawasan Jl. Pesantren Ngalah ini, setiap orang dari segala lapisan masyarakat dari berbagai sarana transportasi menuju ke jalan Pesantren Ngalah. Berbagai kegiatan masyarakat seperti berjalan, pergi sekolah, kuliah, bekerja, berdagang, serta pergi ke sawah. Sebagaian pedestrian digunakan untuk kegiatan selain pejalan kaki dan masih ada tersisa ruang untuk pejalan kaki. Namun Jl. Pesantren Ngalah terdapat kecenderungan pejalan kaki tidak menggunakan jalur pedestrian untuk sirkulasi dan masih berjalan di badan jalan di karenakan sempitnya jalan dengan bangunan-bangunan rumah yang terlalu mepet ke jalan, sehingga belum adanya jalur pedestrian. Adanya berbagai macam masalah tersebut sehingga aktivitas yang ada tidak berjalan seperti semestinya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisa karakteristik pejalan kaki dalam melakukan pergerakan di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung. Mengetahui preferensi masyarakat desa mengenai kebutuhan fasilitas pejalan kaki di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata pengadaan fasilitas jalur pedestrian di Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung Kabupaten Pasuruan dapat memberikan informasi kepada para pemberi kebijakan khususnya dalam pengembangan pelayanan fasilitas pejalan kaki di pedesaan. Kata Kunci: Pengembangan Fasilitas Pedestrian, Preferensi Masyarakat



1. PENDAHULUAN Pokok-pokok kebijakan pengembangan transportasi sebagaimana tertuang di dalam GBHN No. 11/MPR/1998, yakni mengembangkan dan meningkatkan prasarana dan sarana transportasi dari dan di pedesaan, daerah dan pulau terpencil, daerah transmigrasi dan daerah tertinggal dalam rangka menunjang pembangunan wilayah dan peningkatan serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya nampaknya sudah dilaksanakan. Masalah keterbelakangan karena rendahnya tingkat aksesbilitas (keterhubungan) antara pusat-pusat desa dengan daerah-daerah lain yang menjadi penyebab desa-desa tersebut kurang produktif dan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah nampaknya juga sudah mulai berkurang. Usaha perbaikan tingkat aksesbilitas pusat-pusat desa atau daerah terpencil biasanya dilakukan dengan cara menyediakan prasarana transportasi berupa sistem jaringan jalan kabupaten dan lokal agar dapat dilalui oleh kendaraan angkutan barang. Namun, trotoar sebagai salah satu dari jenis ruang publik yang memfasilitasi para pejalan kaki (pedestrian) agar memberikan kebebasan kenyamanan, keamanan serta kemudahan dalam mengakses tempat yang dituju, nampaknya masih belum diperhatikan dan diwujudkan sebagai suatu ruang publik yang memadai.



Bidang Transportasi - 451



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Demikian pula yang terjadi di desa Sengonagung Kabupaten Pasuruan. Trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki juga belum tersedia dan kenyamanan para pejalan kaki mereka terganggu akibat PKL (Pedagang Kaki Lima), serta sempitnya lahan. Upaya penyediaan pelayanan fasilitas pejalan kaki memerlukan perencanaan yang mampu memenuhi kebutuhan yang sebenarnya bagi sirkulasi pejalan kaki dengan disertai penyediaan fasilitas penunjang yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan karakteristik pejalan kaki yang ada. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana karakteristik pejalan kaki dalam melakukan pergerakan di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung? b. Bagaimanakah preferensi masyarakat mengenai kebutuhan fasilitas pejalan kaki di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung? Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi dan menganalisa karakteristik pejalan kaki dalam melakukan pergerakan di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung. b. Mengetahui preferensi masyarakat desa mengenai kebutuhan fasilitas pejalan kaki di ruas Jl. Pesantren Ngalah Desa Sengonagung.



2. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pejalan Kaki Pedestrian atau pejalan kaki berasal dari bahasa Yunani, pedos, yang berarti kaki, sehingga kata pedestrian dapat diartikan dengan ― one who walks or journey on foot ― atau ― person walking in a street ― (The Advance Learner‘s Dictionary of Current English). Sebagai istilah aktif, pejalan kaki adalah orang yang bergerak atau berpindah dari satu tempat sebagai titik tolak ke tempat tujuannya tanpa menggunakan alat bantu yang bersifat mekanis (Hartanti, 1996). Pada hakikatnya manusia adalah pejalan kaki, meskipun manusia semakin tergantung pada alat transportasi (kendaraan), tetapi tetap saja melakukan kegiatan berjalan kaki dalam aktivitasnya sehari-hari. Karakteristik Pejalan Kaki Jenis-Jenis Pejalan Kaki Pejalan kaki berdasarkan sarana perjalanannya menurut Ibrahim Zaki, (2005) dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Pejalan kaki penuh, adalah mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda utama. b. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum, adalah pejalan kaki yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara. c. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi adalah mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadi menuju ke tempat kendaraan umum, dan dari tempat parkir kendaraan umum ke tempat tujuan akhir perjalanan.



452 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kecepatan dan Jarak Tempuh Karakteristik utama pejalan kaki adalah keterbatasannya dalam hal kecepatan dan jarak tempuh, namun justru dengan kecepatan yang rendah itulah yang menjadikan kegiatan pejalan kaki memiliki tingkat kebebasan yang tinggi. Demikian juga dengan energi yang dikeluarkan, sebab salah satu faktor energi pejalan kaki terletak pada kecepatan pejalan kaki itu sendiri Dengan berjalan kaki manusia bebas mengatur langkah, berhenti, berbelok, dan bebas mengatur kontak dengan lingkungan sekitarnya sehingga menjadikan berjalan kaki bukan sekedar moda transportasi, namun juga sebagai sarana interaksi dan komunikasi sosial masyarakat kota (Spreiregen, 1965). Kebutuhan Fasilitas Pejalan Kaki Fasilitas jalan kaki menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah trotoar, tempat penyeberangan yang dinyatakan dengan marka dan atau rambu lalu-lintas, jembatan penyeberangan dan terowongan penyeberangan. Secara garis besar fasilitas pejalan kaki dapat dikelompokkan sebagai berikut : (Ibrahim Zaki, 2005:32) 1. Fasilitas pejalan kaki utama, berupa jalur jalan untuk berjalan, yang dapat dibuat khusus sehingga terpisah dari jalur kendaraan. Dalam hal ini trotoar termasuk ke dalam jenis ini. 2. Fasilitas pejalan kaki penunjang. Fasilitas ini terdiri dari fasilitas pejalan kaki untuk pemberhentian atau beristirahat pejalan, dapat berupa bangku-bangku, halte beratap, papan informasi atau fasilitas lainnya. Kategori Jalur Pejalan Kaki Utermann (1984, dalam Hartanti, 1996) merinci tipe jalur pejalan kaki sebagai berikut: 1. Jalur Pejalan Kaki dalam Bangunan : a. Jalur horisontal : koridor / antarruang satu lantai b. Jalur vertikal : antarlantai, tangga 2. Jalur Pejalan Kaki di luar Bangunan : a. Menurut fungsinya terdiri dari : Trotoar / sidewalk : bagian dari jalan berupa jalan terpisah . Jalan setapak / foot path : jalur khusus pejalan kaki yang sangat sempit, lebarnya hanya cukup untuk satu orang pejalan kaki Penyeberangan : digunakan untuk penyeberangan bagi pejalan kaki agar aman. b. Menurut bentuknya : Selasar / arcade : jalur pejalan kaki beratap (coverediralle) tanpa dinding pembatas pada salah satu atau kedua sisinya. Gallery : semacam selasar lebar yang biasanya digunakan untuk suatu kegiatan tertentu Jalur Pejalan Kaki yang tidak terlindung/ tak beratap. Persyaratan Teknis Trotoar Mengacu pada Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan dari Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga Tahun 1997 menyebutkan persyaratan teknis trotoar sebagai berikut :  Trotoar dapat direncanakan pada ruas jalan yang terdapat volume pejalan kaki lebih dari 300 orang per 12 jam (jam 6.00 – jam 18.00) dan volume lalu lintas lebih dari 1.000 kendaraan per 12 jam (jam 6.00 – jam 18.00).



Bidang Transportasi - 453



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 







Ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 m dan kedalaman bebas tidak kurang dari 1 m dari permukaan trotoar. Kebebasan samping tidak kurang dari 0,3 m. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus memenuhi ruang bebas trotoar juga harus memenuhi ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utilitas. Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada.



Tabel 1. Lebar Trotoar Minimum Klasifikasi Jalan Kelas I Kelas II Kelas III



Standar Minimum (m) 3,0 3,0 1,5



Lebar Minimum (m) 1,5 1,5 1,0



Sumber : Dirjen Bina Marga/Jalan No.011/T/Bt/(1995) Dalam buku Petunjuk Perencanaan Trotoar Dirjen Bina Marga no. 007/BNKT/1990, lebar trotoar dapat ditentukan dengan membagi arus pejalan kaki dengan angka pembagi kemudian ditambah dengan lebar tambahan yang lebarnya menurut penggunaan lahan. Lebar trotoar dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :  f  W    N  35 



Keterangan: W = Lebar trotoar (m) f = Arus pejalan kaki (org/m/menit) N = Lebar tambahan (m) Tabel 2. Lebar Tambahan Lebar Tambahan (m) 1,5 1,0 0,5



Keadaan Jalan di daerah pasar Jalan di daerah perbelanjaan bukan pasar Jalan di daerah lain



Sumber : Dirjen Bina Marga No. 007/T/BNKT/(1990)



Tingkat pelayanan Menurut HCM 1985 tingkat pelayanan (level of service, LOS) adalah ukuran kualitatif yang menggambarkan kondisi operasional dalam aliran lalulintas (pejalan kaki). Parameter yang digunakan dalam penentuan nilai tingkat pelayanan adalah ruang yang diperlukan pejalan kaki (pedestrian space), tingkat arus (flow rate), dan kecepatan (speed). Pedestrian space adalah rata-rata ruang yang disediakan bagi pejalan kaki pada trotoir, jadi pedestrian space adalah kebalikan dari kepadatan (density). Kecepatan merupakan salah satu parameter tingkat pelayanan yang penting karena dengan mudah dapat diamati dan diukur, selain itu kecepatan adalah salah satu faktor yang secara langsung dirasakan oleh pejalan kaki.



454 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Pengesahan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, berimplikasi terhadap kuatnya dasar hukum yang berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pembangunan. Secara khusus dalam UU tersebut dinyatakan bahwa aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui suatu forum seperti yang tercantum dalam penjelasan pasal 92 UU No 22 tahun 1999. Pasal ini menyatakan bahwa : 1. Dalam menyelenggarakan pembangunan kawasan perkotaan Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta. 2. Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana ayat (1) merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan. Berdasarkan tujuan pemanfaatan peran serta masyarakat dalam pembangunan, secara umum para ahli terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu pertama, yang melihat peran serta sebagai tujuan proses pembangunan dan kedua, yang melihat peran serta ini sebagai cara yang baik dan adil untuk mencapai hasil pembangunan.



3. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran LATAR BELAKANG :  Berjalan sebagai bagian dari moda transportasi.  Belum terwujudnya fasilitas pejalan kaki yang memadai.  Penyediaan fasilitas pejalan kaki perlu mempertimbangkan : karakteristik pejalan kaki



Karakteristik pejalan kaki :  Psikis Pejalan Kaki  Pergerakan



Standar kebutuhan dan perencanaan:  Pelayanan Jalur Pejalan Kaki  Fasilitas Penunjang Pejalan Kaki



Kondisi eksisting fasilitas pejalan kaki



Kebutuhan penyediaan fasilitas pejalan kaki



Preferensi masyarakat Desa Sengonagung terhadap konsep pengembangan fasilitas bagi pejalan kaki



Kesimpulan dan Saran



Gambar 1. Kerangka Pemikiran



Bidang Transportasi - 455



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Metode Pengumpulan Data Data yang akan dipergunakan untuk analisis di wilayah studi terdiri atas dua macam, yaitu: Data Primer Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi/survei lapangan dan penyebaran kuisioner. Survei Lapangan Survai lapangan yang dilakukan pada lokasi studi adalah sebagai berikut Survei karakteristik jalan dan prasarana pejalan kaki Data karakteristik jalan dan prasarana pejalan kaki diperoleh dengan cara mengukur perkerasan , bahu jalan, trotoar dan penempatan rambu-rambu serta fasilitas lain yang ada di lapangan. Data yang diperoleh dari survei ini digunakan untuk memperlihatkan ketersediaan lahan bagi penyediaan fasilitas pejalan kaki dan peletakan fasilitas penunjang bagi pejalan kaki Survei volume lalu lintas Data volume lalu lintas diperoleh dengan mencatat semua jenis kendaraan yang melewati sepanjang ruas jalan Pesantren Ngalah Desa Sengonagung dengan klasifikasi kendaraan ringan/LV (pick up, mobil pribadi), kendaraan berat /HV (truk, bus), sepeda motor dan kendaraan tak bermotor (sepeda, dokar/andong, gerobak petani). Interval waktu yang digunakan adalah 15 menit. Survei volume pejalan kaki Survei ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah pejalan kaki yang berada di wilayah studi serta penghitungan terhadap penyeberang jalan. Penghitungan volume dilakukan dengan cara pedestrian counting pada 4 titik yang tersebar di lokasi studi . Secara umum pengambilan waktu untuk survei volume lalu lintas dan pejalan kaki didasarkan oleh : fluktuasi arus, karakteristik kegiatan di lokasi studi dan kondisi waktu (terutama dikaitkan dengan hari libur dan hari kerja). Survei dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: o Interval waktu survei dilakukan setiap 1 jam dengan waktu pelaksanaan survei selama 15 jam yang dimulai pada pukul 6 pagi hingga pukul 9 malam. o Survei dilakukan pada 7 hari pengamatan yaitu hari senin hingga hari minggu. o Pejalan kaki yang dihitung adalah pejalan kaki yang melintasi titik survei pada dua sisi jalan/dua arah. Survei jenis pejalan kaki Informasi yang diharapkan diperoleh dari survei jenis pejalan kaki adalah data atau informasi tentang jenis-jenis pejalan kaki. Informasi tersebut akan digunakan untuk melakukan klasifikasi terhadap pejalan kaki di lokasi studi. Tahap klasifikasi dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang jenis fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh pejalan kaki di lokasi studi sehingga dapat diupayakan pengembangannya. Survei kecepatan pejalan kaki Kecepatan rata-rata Kecepatan rata-rata adalah rata-rata jarak yang dapat ditempuh dalam satu satuan waktu. Untuk memudahkan pengukuran, perhitungan dilakukan dengan menempuh jarak 20 meter dalam satuan detik lalu dirubah menjadi satuan menit. Pelaksanaan survei kecepatan rata-rata akan dilakukan pada setiap titik survei selama tiga hari pengamatan pada waktu puncak pagi dan puncak malam. Survei kecepatan akan dilakukan dengan membedakan kelompok umur pejalan kaki menjadi tiga yaitu kelompok tua; adalah pejalan kaki yang berusia sekitar lebih dari 50 tahun, kelompok



456 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dewasa; yaitu pejalan kaki yang berusia sekitar 15 hingga 50 tahun, dan kelompok anakanak, yaitu pejalan kaki yang berusia sekitar kurang dari 15 tahun. Jumlah sampel yang akan diukur kecepatannya adalah 20 orang untuk setiap kelompok umur. Kecepatan bebas Kecepatan bebas merupakan kecepatan pejalan kaki pada kondisi tanpa hambatan dimana pejalan kaki dapat memilih kecepatan yang diinginkan. Pengukurannya dilakukan diluar jam puncak sehingga pejalan kaki tidak mengalami hambatan selama menempuh perjalanannya. Perhitungan dilakukan dengan menempuh jarak 20 meter dalam satuan waktu detik. Kemudian dilakukan perhitungan untuk merubah menjadi satuan menit. Pelaksanaan survei kecepatan bebas dilakukan dengan membedakan kelompok umur pejalan kaki menjadi tiga yaitu: kelompok tua, yaitu pejalan kaki yang berusia sekitar lebih dari 50 tahun, kelompok dewasa, yaitu pejalan kaki yang berusia sekitar 15 hingga 50 tahun, kelompok anak-anak, yaitu pejalan kaki yang berusia sekitar kurang dari 15 tahun. Kecepatan maksimum Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi pejalan kaki pada waktu puncak. Kecepatan maksimum diukur pada waktu puncak sehingga pejalan kaki menemui hambatan selama menempuh perjalanannya. Perhitungan dilakukan dengan menempuh jarak 20 meter dalam satuan waktu detik. Kemudian dilakukan perhitungan untuk merubah menjadi satuan menit. Survei kepadatan Kepadatan pejalan kaki adalah jumlah rata-rata pejalan kaki dalam satu luasan tertentu yang dinyatakan dalam pejalan kaki/m2. Kepadatan berhubungan dengan ketersediaan ruang sehingga dalam pelaksanaan survei akan ditentukan dengan membuat suatu luasan tertentu yaitu 2 m x 1 m (2 m2). Berapa banyak pejalan kaki yang dapat ditampung dalam luasan tersebut kemudian dihitung dalam setiap m2 dapat menampung berapa pejalan kaki sehingga diperoleh nilai kepadatan pejalan kaki dalam satuan pejalan kaki/m2. Ruang yang dipergunakan sebagai luasan berupa trotoar, sempadan jalan, atau sempadan bangunan yang ada. Survei guna lahan Survei dilakukan untuk mengetahui guna lahan di sepanjang lokasi studi sebagai bahan pertimbangan pengadaan prasarana pejalan kaki. Kuisioner Kuisioner yang akan dilakukan pada pengumpulan data ini adalah jenis kuisioner bersifat semi terstruktur campuran (bersifat tertutup dan terbuka) dimana terdapat pilihan ganda dan isian. Kuisioner dibuat 2 macam yakni yang akan dibagikan pada pejalan kaki dan masyarakat desa Sengonagung. Besarnya ukuran sampel untuk pejalan kaki, ditentukan menggunakan metode Quota Sampling yaitu metode penentuan sampel karena populasinya masih belum diketahui secara pasti mengenai banyaknya (ukuran populasi) maupun berbagai karakteristik (parameter) yang menjadikannya homogen, sehingga ditetapkan sejumlah individu yang dianggap mewakili yakni 100 orang hal ini sesuai dengan saran Fraenkel dan Wallen mengenai besar sampel minimal yakni sebanyak 100 responden (Sigit,2001). Responden kuisioner ini akan dilakukan dan dipilih secara acak. Sedangkan besarnya ukuran sampel kuisioner untuk masyarakat desa Sengonagung ditentukan berdasarkan pendapat Slovin yaitu:



Bidang Transportasi - 457



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



n =



N 1  Ne 2



Keterangan: n = jumlah sampel total N = jumlah populasi e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (10%). Berdasarkan data kependudukan desa Sengonagung diketahui bahwa populasi penduduk desa Sengonagung adalah sebesar 5.030 orang oleh karena itu berdasarkan pendapat Slovin diambil ukuran sampel sebesar 98 orang. Data Sekunder 1) Literatur mengenai prasarana jalan, peta. 2) Literatur mengenai wilayah studi yaitu data kependudukan dan pola penggunaan lahan. 3) Literatur mengenai pejalan kaki. Metode Analisis a. Analisis volume pejalan kaki. Analisis volume pejalan kaki dilakukan untuk mengetahui jumlah pejalan kaki v = PK / t Keterangan : v = Volume pejalan kaki, yang dinyatakan dalam pejalan kaki per menit PK = Pejalan kaki, yang dinyatakan dalam orang (pejalan kaki) t = Waktu, dinyatakan dalam menit b. Analisis kecepatan rata-rata pejalan kaki. S=



L t



Keterangan : S = kecepatan yang dinyatakan dalam meter/menit L = panjang jarak yang dinyatakan dalam meter t = waktu tempuh yang dinyatakan dalam menit c. Analisis kecepatan maksimum. Kecepatan maksimum diperlukan untuk melihat kecepatan tertinggi yang dapat ditempuh oleh pejalan kaki d. Analisis kepadatan pejalan kaki. Nilai kepadatan digunakan untuk menentukan besaran ruang pejalan kaki serta tingkat pelayanan pejalan kaki. Kepadatan memiliki hubungan berbanding terbalik dengan ruang, bila kepadatan rendah maka ruang besar dan bila kepadatan tinggi maka ruang kecil. e. Analisis arus pejalan kaki. Analisis arus pejalan kaki dilakukan untuk mengetahui jumlah pejalan kaki dalam satu menit untuk luasan satu meter. Rumus yang digunakan adalah: V=SxD



458 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Keterangan : V = Tingkat arus yang dinyatakan dalam pejalan kaki/m/menit S = Kecepatan yang dinyatakan dalam m/menit D = Kepadatan yang dinyatakan dalam org/m2 f. Analisis pola pergerakan. Jarak tempuh pejalan kaki tergantung pada tujuan, kondisi jalan, kenyamanan pergerakan, umur, sifat pergerakan. Dilakukan dengan survey origin-destination. g. Analisis tingkat pelayanan pejalan kaki. W=



f N 35



Keterangan : W = Lebar trotoar (m) F = Arus pejalan kaki (org/m/menit) N = Lebar tambahan (m) h. Analisis preferensi masyarakat desa terhadap pengembangan fasilitas pejalan kaki. Preferensi masyarakat desa dianalisis dengan metode statistik inferensial yakni uji analysis of variance (ANOVA).



4. KESIMPULAN Kesimpuan dalam penelitiaan ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik pejalan kaki di Desa Sengonagung terdiri dari pejalan kaki penuh yang berdomisili di desa, pejalan kaki umum yang naik kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi datang ke desa sengonagung untuk keperluan pekerjaan dan keperluan yang lainnya, 2. Masyarakat termotivasi dan referensi masyarakat sangat mendukung dalam pembangunan pengembangan pedestrian sebagai sistem transportasi untuk para pengguna pejalan kaki.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Abubakar, Iskandar, et al. 1995. Menuju Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang Tertib. Jakarta: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat 2. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian-Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 3. Anonim. 1990. Standar Spesifikasi Trotoar. Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum. 4. Hartanti, N.B. 1996. Fungsi Laten Jalur pejalan Kaki di Pusat Kota Yogyakarta, Studi Kasus Trotoar Jalan Malioboro, Tesis S-2 Program Studi Arsitektur, FT-UGM (tidak dipublikasikan). 5. Morlok., Edward K. 1991. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 6. Parikesit, D. 1996. Interdependence between Accessibility of Transport 7. Pignataro, Louis, J. 1976. Traffic Engineering. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.



Bidang Transportasi - 459



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 8. Rapoport, Amos, 1987. Dalam Moudon, Anne Vernez. 1987. Public Street For Public Use. New York:Van Nostrand Reinhold Company. 9. Rubenstein, Harvey M. 1992. Pedestrian Malls, Streetscapes and Urban Spaces. New Yrk: John Wilwy & Sons Inc. 10. Spreiregen, P.D., (1965), Urban Design : The Architecture of Towns and Cities, New York, McGrawhill Book, Co. 11. Transportation Research Board-National Research Council. 1985. Highway Capacity Manual;Special report 209. Washington DC. 12. Untermann, Richard K. 1984. Accomodating the Pedestrian: Adapting Towns & Neighbourhoods for Walking and Bicycling. New York: Van Nostrand Reinhold Company. 13. Warpani, Suwardjoko. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung: Penerbit ITB. 14. Peraturan Pelaksanaan UU Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan 1992, (1993), Pp No.43 Th.1993 Tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan, Sinar Grafika, Jakarta. 15. Undang-undang No.14, (1992), Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, Arkola, Surabaya.



460 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



MENGHIDUPKAN KEMBALI JALUR TRAM SEBAGAI PRASARANA ANGKUTAN MASSAL CEPAT KOTA SURABAYA Budi Rahardjo1, Hera Widyastuti2, Wahju Herijanto3 dan A.A. Gde Kartika4 1



Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya, [email protected] Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya, [email protected] 3 Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya, [email protected] 4 Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya, [email protected] 2



ABSTRAK Di kota Surabaya pada tahun 1950an telah ada prasarana transportasi massal umum yang berupa tram dengan berbagai jalur operasinya. Akan tetapi pada tahun 1970an prasarana transportasi massal ini telah dihentikan operasinya. Terkait dengan rencana Pemerintah Kota Surabaya untuk menyediakan Angkutan Massal Cepat (AMC) dimana salah satunya adalah menyediakan angkutan umum berupa tram maka perlu dilakukan kajian terhadap kemungkinan menghidupkan kembali jalur tram yang dahulu pernah ada tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dilakukan kajian ini adalah : 1). menginventarisasi dan mengidentifikasi jalur-jalur tram yang pernah ada di kota Surabaya, 2). Menganalisis kemungkinan penempatan jalur tram yang akan dibangun pada jalur tram di zaman dahulu. Proses inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan data-data jalur tram masa lalu yang berupa peta dan grounkaard yang pernah ada, sedangkan identifikasi dilakukan dengan cara meneliti keberadaan rel lama di lokasi jalur tram yang pernah ada. Dari hasil inventarisasi dan identifikasi didapatkan bahwa kepemilikan jalur tram lama ada pada PT. KAI dan sekarang dimanfaatkan untuk jalan raya sehingga apabila Pemerintah Kota Surabaya akan memanfaatkan jalur tram lama tersebut untuk dipergunakan kembali sebagai jalur tram pada rencana AMC masih sangat dimungkinkan. Kata kunci: Angkutan Massal Cepat (AMC), tram Surabaya



1. LATAR BELAKANG Pada zaman dahulu sekitar tahun 1920an salah satu moda angkutan massal yang ada dikota Surabaya adalah tram listrik dengan berbagai jalur operasi. Akan tetapi karena beberapa alasan yang ada maka pada tahun 1970an prasarana transportasi massal ini telah dihentikan operasinya. Di tahun 2012 Pemerintah Kota Surabaya mulai merencanakan untuk menyediakan Angkutan Massal Cepat (AMC) bagi masyarakat Surabaya dengan berbagai jalur operasi. Salah satu jalur AMC yang akan dibangun adalah jalur utara selatan yang dimulai dari daerah Perak dan berakhir di daerah Wonokromo dengan moda transportasi adalah tram. Dalam proses merencanakan jalur operasi AMC antara Wonokromo – Perak ini salah satu kemungkinan yang ada adalah memanfaatkan kembali jalur-jalur tram zaman dahulu yang pernah ada di kota Surabaya.



2. PERMASALAHAN Terkait dengan latar belakang yang ada, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimanakah kondisi jalur-jalur tram yang pernah ada sekarang ini khususnya pada koridor rencana jalur utara selatan ?



Bidang Transportasi - 461



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Bagaimanakah kelayakan penempatan jalur tram yang akan dibangun di jalur tram yang pernah ada ditinjau dari aspek ruang bebas dan kepemilikan lahan?



3. METODOLOGI Untuk menyelesaikan permasalahan yang ada metodologi yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan inventarisasi terhadap jalur tram yang pernah ada dikota Surabaya berdasarkan data yang ada pada PT. KAI. 2. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari proses inventarisasi kemudian dilakukan identifikasi di lokasi untuk melihat kondisi yang ada sekarang ini. Selain itu proses identifikasi ini perlu juga dikaji kepemilikan lahan yang ada tersebut. 3. Setelah semua data terkumpul, tahap selanjutnya adalah menganalisa kondisi lahan terhadap kesesuaian dengan persyaratan ruang bebas yang ada.



4. DASAR TEORI Dalam merencanakan jalur jalan rel salah satu aspek yang harus dipenuhi adalah ketersediaan ruang bebas untuk menjamin keselamatan operasional kereta api. Pada ruang bebas tersebut dinyatakan bentuk ruang yang harus ada serta dimensi dari ruang tersebut baik secara horisontal maupun vertikal. Bentuk dan dimensi ruang bebas dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2. [1]



Gambar 1. Ruang bebas untuk jalur tunggal



Gambar 2. Ruang bebas untuk jalur ganda



Untuk menempatkan jalur jalan rel pada suatu lokasi maka perlu diidentifikasi apakah pada lokasi tersebut memungkinkan untuk menempatkan ruang bebas pada rencana lokasi tersebut.



462 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. PENGUMPULAN DATA Setelah dilakukan penelusuran terhadap data-data lama yang ada maka pada proses inventarisasi ini didapatkan bahwa jalur tram (listrik) yang pernah beroperasi di kota Surabaya adalah seperti pada tabel 1 dan gambar 3. Tabel 1. Rute tram (listrik) di Surabaya [3] No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11



Rute Ujung – Benteng Benteng – Semut Semut – Simpang – Wonokromo Kota Wonokromo Kota – Karangpilang Karangpilang – Krian Semut – Pasarturi – Wonokromo Kota Tanjung Perak – Jembatan Merah - Tunjungan Tunjungan – Simpang Simpang - Wonokromo Kota Sawahan – Tunjungan Simpang – Gubeng Boulevard



Jarak (km) 3 3 10 7 7 7 8 1 4 3 2



Tahun Peresmian 1889 1890 1890 1890 1889 1916 1923 1923 1923 1923 1924



Gambar 3. Peta jalur tram kota Surabaya [3] Sedangkan dari proses identifikasi di jalur-jalur tram yang berada antara Wonokromo sampai Perak didapatkan hasil seperti pada tabel 2 sebagai berikut



Bidang Transportasi - 463



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 2. Hasil identifikasi pada jalur tram Wonokromo – Perak No. Nama Jalan Guna Lahan Kepemilikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16



Raya Darmo Urip Sumoharjo Basuki Rachmat Embong Malang Kebon rojo Indrapura Tanjung Perak Barat Tanjung Perak Timur Rajawali Jembatan Merah Veteran Pahlawan Gemblongan Tunjungan Gubernur suryo Panglima sudirman



Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya Jalan Raya



PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI PT. KAI



Syarat Ruang Bebas Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi



6. PEMBAHASAN Setelah semua data dapat dikumpulkan pada proses inventarisasi dan identifikasi maka tahap selanjutnya adalah dilakukan analisis terhadap data yang ada dan menghasilkan bebarapa hal sebagai berikut : 1. Hasil inventarisasi menunjukan bahwa pada jalur rencana AMC antara Wonokromo – Perak di zaman dahulu terdapat jalur tram (listrik) yaitu jalur tram Tanjung Perak – Jembatan Merah - Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang - Wonokromo Kota. 2. Untuk jalur tram zaman dahulu Tanjung Perak – Jembatan Merah - Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang - Wonokromo Kota, sekarang ini melewati jalan Raya Darmo, Urip Sumoharjo, Basuki Rachmat, Embong Malang, Blauran, Bubutan, Kebon Rojo, Indrapura, Tanjung Perak Barat, Tanjung Perak Timur, Rajawali, Jembatan Merah, Veteran, Pahlawan, Gemblongan, Tunjungan, Gubernur Suryo dan Panglima Sudirman. 3. Pada jalur tram lama Tanjung Perak – Jembatan Merah - Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang - Wonokromo Kota, sekarang berfungsi sebagai jalan raya dengan dimensi lebar jalan yang lebih dari 8 meter. 4. Kepemilikan lahan pada jalur tram lama Tanjung Perak – Jembatan Merah Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang - Wonokromo Kota sekarang ini dimiliki oleh PT. KAI. 5. Karena lebar jalan pada jalur tram lama Tanjung Perak – Jembatan Merah Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang - Wonokromo Kota sekarang ini lebih dari 8 meter maka apabila ruas jalan tersebut difungsikan sebagai jalur jalan rel untuk AMC dengan moda tram masih sangat mungkin untuk diterapkan. Untuk menentukan apakah rencana pembangunan jalur AMC dengan moda transportasi tram akan dibangun pada jalur tram zaman dahulu adalah aspek kepemilikan lahan dan persyaratan ruang bebas. Dalam hal aspek kepemilikan lahan, apabila kepemilikan lahan



464 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dimiliki oleh instansi pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) tentunya apabila akan dipergunakan untuk kebutuhan AMC ini akan lebih mudah dibandingkan apabila lahan yang akan dipergunakan untuk pembangunan AMC ini dimiliki oleh perseorangan. Berdasarkan data bahwa kepemilikan lahan pada jalur tram lama Tanjung Perak – Jembatan Merah - Tunjungan, Tunjungan – Simpang dan Simpang Wonokromo Kota masih dimiliki oleh PT. KAI yang merupakan BUMN maka akan lebih mudah untuk menggunakan lahan-lahan tersebut untuk difungsikan sebagai jalur AMC dengan moda tram. Dengan lebar jalan raya yang lebih dari 8 meter maka apabila jalan raya tersebut diubah fungsi sebagai jalan rel untuk memfasilitasi jalur AMC dengan moda tram masih memenuhi persyaratan ruang bebas yang ada.



7. KESIMPULAN Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada rencana jalur AMC antara Wonokromo – Tanjung Perak pada zaman dahulu terdapat jalur tram lama yang apabila dihidupkan kembali sebagai jalur tram baru sangat dimungkinkan ditinjau dari aspek kepemilikan lahan dan persyaratan ruang bebas. Setiap makalah diakhiri dengan kesimpulan, yang menjelaskan hasil dari penelitian.



8. DAFTAR PUSTAKA 1. Menteri Perhubungan Republik Indonesia (2012), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 tahun 2012, Jakarta. 2. Pemerintah Kota Surabaya (2014), Dari Rencana Menuju Implementasi Pengembangan Angkutan Publik Sebagai Moda Transportasi Utama di Kota Surabaya, Workshop Surabaya Integrated Mass Rapid Transit, Surabaya. 3. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) (2014), Rencana Reaktivasi & Pengembangan Angkutan Tram di Kota Surabaya, Workshop Surabaya Integrated Mass Rapid Transit, Surabaya.



Bidang Transportasi - 465



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



466 – Bidang Transportasi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENERAPAN SISTEM ISOLASI SEISMIK UNTUK JEMBATAN PENDEKAT PENGHUBUNG PULAU KALIMANTAN DAN PULAU LAUT Budi Santoso1 dan Ary Pramudito2 1



Budi Santoso, PT. Pratama Daya Cahya Manunggal (PDCM),[email protected]: Ary Pramudito, PT. Pratama Daya Cahya Manunggal (PDCM), [email protected].



2



ABSTRAK Indonesia merupakan negara yang sebagian wilayahnya memiliki potensi gaya gempa yang kuat. Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah untuk meminimalisir kerusakan akibat gempa tersebut, terutama pada infrastruktur penting. Salah satunya adalah dengan menggunakan Isolasi Seismik; juga dikenal dengan nama Base Isolator, yang mampu mengurangi gaya gempa rencana yang masuk kedalam struktur. Penggunaan Isolasi Seismik pada Jembatan sudah banyak digunakan pada negara lain, seperti Isolasi Seismik jenis Rubber Bearing, Lead Rubber Bearing (LRB) dan High Damping Rubber Bearing (HDRB). Jembatan Pendekat Penghubung Pulau Kalimantan dan Pulau Laut memiliki pilar yang tinggi sesuai dengan kebetuhan ruang bebasnya, yaitu 40 m. Oleh sebab itu dibutuhkan Isolasi Seismik yang diharapkan mampu mengurangi gaya gempa yang masuk pada struktur dan pondasi, dalam hal ini dicoba dengan menggunakan Isolasi Seismik dengan jenis High Damping Rubber Bearing. Hasil penggunaan dari bearing jenis HDRB ini mampu mengisolasi dan mereduksi gempa rencana ke pondasi dengan base shear 77% lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan tipe Pot Bearing dengan pengaku sendi di satu atau beberapa pilar. Kata kunci: Isolasi Seismik, High Damping Rubber Bearing



1. PENDAHULUAN Gempa bumi menyebabkan gaya yang sebanding dengan perkalian dari dari massa infrastruktur dan percepatan tanah. Dengan adanya peningkatan percepatan tanah (peak ground acceleration) sebagai dasar untuk menhitung Seperti percepatan tanah meningkat maka kekakuan inersia struktur lebih tinggi untuk melawan gaya rencana gempa, namun hal ini tidak praktis dan ekonomis. Base Isolator adalah salah satu teknik yang paling banyak diterima untuk melindungi struktur dan untuk mengurangi risiko kematian dan infrastruktur dari gempa bumi yang kuat (Chopra, 2001). Prinsip dasar dari Base Isolator adalah memisahkan struktur dari pergerakan tanah sehingga seolah-olah meletakkan struktur tersebut diatas bantalan bola, tanah dibawahnya bergerak tetapi struktur tetap diam (Chris Gannon, 2007). Konsep utama Base Isolator adalah bahwa gaya yang disebabkan pergerakan tanah akibat gaya gempa yang kuat diserap sebagian besar oleh Base Isolator, sehingga struktur hanya menerima gaya gempa sebagian kecil.



Bidang Struktur - 467



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 1. Tipe-tipe dari Base Isolator Ada dua tipe dasar dari sistem Base Isolator, yaitu Elastomeric Bearing dan Sliding System. Secara umum Base Isolator terdiri dari beberapa tipe yaitu Laminated Rubber Bearing (Elastomerik Bearing), Lead Rubber Bearing (LRB), High Damping Rubber Bearing (HDRB), dan Friction Pendulum System (FPS). Penggunaan Base Isolator penting untuk struktur Jembatan terutama Jembatan penting / sangat penting. Jembatan Penang 2 Malaysia dengan jembatan girder boks beton pendekat menggunakan sistem HDRB untuk membantu agar kapasitas pondasi dan dek mampu untuk desain performa gempa layan 475 tahun dan performa gempa ultimit 2500 tahun dengan kerusakan yang minimal (Kamarudin Ab-Malek, 2012). Base Isolator yang digunakan adalah jenis High Damping Natural Rubber, dalam hal ini disebut ‗Natural‘ karena menggunakan karet alam. High Damping Rubber Bearing merupakan bahan anti seismik yang dikembangkan dari karet alam yang mempunyai kekakuan horizontal yang relatif kecil dan dicampur dengan extra fine carbon block, oil atau resin, serta bahan isian lainnya sehingga meningkatkan damping antara 10% - 20% pada shear strain 100% dengan modulus geser ringan (G = 0,4 MPa) dan keras (G =1,4 MPa). Untuk dapat menahan beban vertikal yang cukup besar, maka karet diberi lempengan baja yang dilekatkan dengan sistem vulkanisir (Teruna, 2005).



Gambar 2. High Damping Rubber Bearing (Alga)



468 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 3. Bagian-bagian dari High Damping Rubber Bearing (Bridgestone) Prinsip utama cara kerja High Damping Rubber Bearing adalah dengan memperpanjang waktu getar alami struktur di luar frekuensi dominan gempa sampai 2,5 atau 3 kali dari waktu getar struktur tanpa isolator (fixed base structures), sehingga gaya gempa yang disalurkan ke struktur menjadi lebih kecil (Eurocode 8 - Part1). Jembatan Kota Baru adalah jembatan yang akan dibangun di Kalimantan Selatan, menghubungkan Kabupaten Tanah Bumbu (Kecamatan Batu Licin) dengan Kabupaten Kota Baru (Kecamatan Pulau Laut). Pada Jembatan ini, Base Isolator dengan Jenis High Damping Rubber Bearing (HDRB) akan digunakan pada jembatan pendekat.



Gambar 4. Lokasi Rencana Jembatan Kota Baru



Bidang Struktur - 469



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 5. Main Span Jembatan Kota Baru (atas), Jembatan Pendekat Kanan (tengah), Jembatan Pendekat Kiri (bawah) Penggunaan HDRB diharapkan mampu mengarbsopsi gaya gempa rencana, memperkecil gaya gempa rencana ke pondasi sehingga dapat mngurangi gempa rencana terhadap struktur bawah dan pondasi dibandingkan dengan perletakan konvensional seperti pot bearing atau rigid. Pada proses analisis penelitian ini, hasil base shear struktur bawah yang menggunakan Base Isolator tipe HDRB dengan menggunakan software jembatan praktis seperti MIDAS/Civil untuk dibandingkan dengan penggunaan landasan tipe pot bearing.



2. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa jurnal penelitan telah memberikan cara menganalisa penggunaan base isolator jenis karet dengan rheologi simplifikasi, bilinear umum, dan efek dari penggunaan dari base isolator ini pada jembatan.



470 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Penelitian HDRB yang berkembang menyebutkan bahwa HDRB merupakan salah satu jenis Isolasi Seismik yang umum digunakan dalam desain jembatan dan retrofit, menggabungkan kekakuan vertikal yang tinggi, kekakuan horizontal yang rendah dan energy disipasi yang besar dalam satu perangkat (Grant, 2004). Perilaku HDRB memiliki beberapa keuntungan untuk perlindungan gempa, karena dalam kondisi batas layan, seperti angin atau gempa bumi kecil, kekakuan bearing yang tinggi, dan gaya-gaya beserta deformasi dalam struktur diharapkan berada di kisaran elastis. Dalam peristiwa gempa kuat, bearing berubah bentuk, sehingga mengisolasi struktur dan menyediakan tambahan disipasi energi dalam sebuah beban gempa yang ekstrim, perilaku strain-stiffening dari elastomer membatasi deformasi lada bearing, dengan mengorbankan peningkatan gaya, yang membantu mengurangi risiko ketidakstabilan bearing. Penang 2 sebagai jembatan selat terpanjang di Malaysia menggunakan system HDRB dengan damping maksimal sebesar 12.5%. Adapun untuk kekuatan pegas vertikal adalah 2500 kN/mm, sedangkan kekuatan pegas geser adalah 12.8 kN/mm, kekuatan daktail pegas bilinear 3.9 kN/mm dan titik yield mulai dari 14.5 mm (Kamarudin AbMalek, 2012). Beberapa parameter untuk penelitan didapat dari penelitian dan penerapan yang digunakan pada Jembatan Penang 2 mengingat bentang sama yaitu 50m dan tipe yang digunakan juga box girder beton dengan lebar trafik yang mirip. Peraturan peraturan atau petunjuk yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang di Indonesia tentang bagaimana mengkalkulasi dan menganalisa sistem base isolator sangat sedikit, baik itu di peraturan pembebanan T02-2005 (BSN, 2005), peraturan gempa SNI 2833 tahun 2008 (BSN, 2008), dan peraturan terbaru yang mengatur penggunaan peta gempa Indonesia 2010 pada jembatan, RSNI 2833 2013 (BSN, 2013) yang berbasis pada performa (lendutan) / Kriteria Desain Seismik, dan revisinya RSNI1 2833 2013 (BSN 2013) yang berbasis pada kekakuan / Zona Seismik. Pada peraturan jembatan seperti AASHTO Guide Specification for LRFD Bridge Design (AASHTO, 2013) tidak mencantumkan secara detail mengenai sistem isolasi seismik, dan juga AASHTO Guide Specification for LRFD Seismic Bridge Design (AASHTO, 2009) yang sebagian termuat dalam RSNI 20883 2013. Base isolation diterangkan dengan rinci di AASHTO Guide Specifications for Seismic Isolation Design 2010, termasuk cara analisis base isolator pada jembatan, namun untuk perencanaan detail desain hanya menitik beratkan pada LRB dan Sistem Pendulum. Analisis pada petunjuk AASHTO Guide Specifications for Seismic Isolation Design 2010 menggunakan sistem iterasi pada model sederhana, dengan mengasumsikan kuat karakteristik dan kuat damping terlebih dahulu, untuk kemudian diiterasi dengan model FEM 3D sehingga didapatkan parameter desain base isolator. Analisis ini membutuhkan kekakuan pilar, massa dari struktur atas, dan lendutan longitudinal dan transversal maksimal masing-masing beban rencana.



Bidang Struktur - 471



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODOLOGI PENELITIAN Analisa perhitungan gempa menggunakan RSNI 2833:2013 berbasis kekakuan atau Zone Seismik. Jembatan Penghubung Pulau Kalimantan dan Pulau Laut yang berlokasi di Kabupaten Kota Baru dan Tanah Bumbu yang berada pada Provinsi Kalimantan Selatan. Jembatan ini dirancang dengan umur rencana Jembatan 100 tahun, Status Jembatan dinilai masuk kategori sangat penting, dan perdasarkan data tanah berupa Nspt untuk rata-rata N-spt sampai kedalaman 30m adalah 10. Peta gempa yang digunakan adalah Peta Gempa Indonesia 2010 dengan Probabilitas terlampaui 7% dalam 75 Tahun yang setara dengan periode ulang 1033 tahun. Dari data tanah dan mengacu tabel 2 SNI 2833 - 2013 Proyek Perencanaan Teknis Jembatan Pendekat dan Pra Desain Jembatan Bentang Utama Penghubung Pulau Kalimantan dan Pulau Laut masuk kedalam kategori Tanah Lunak. Proyek Perencanaan Teknis Jembatan Pendekat dan Pra Desain Jembatan Bentang Utama Penghubung Pulau Kalimantan dan Pulau Laut berada pada daerah potensi gempa lemah dengan Percepatan Puncak di batuan dasar (PGA) < 0,05 (digunakan 0,045), percepatan 0.2 detik 0,05 – 0,1 (digunakan 0,095), dan percepatan batuan dasar 1 detik < 0,05 (digunakan 0,045). Dari Perhitungan ini didapatkan Sd1 = 0.14 , dengan mengacu pada tabel 5 SNI 2833 – 2013 Proyek Perencanaan Teknis Jembatan Pendekat dan Pra Desain Jembatan Bentang Utama Penghubung Pulau Kalimantan dan Pulau Laut masuk kedalam Kategori Kinerja Seismik Zona Gempa 1, sebenarnya tidak perlu dianalisa secara dinamik, namun tetap dianalisa dengan respon spektrum modus jamak karena merupakan jembatan sangat penting.



Jembatan Kota Baru - RSNI 2013



Shear Coefficient (C)



0.25



0.2



0.15



0.1



0.05



0 0



0.5



1



1.5



2



2.5



Periode (T)



Gambar 6. Respons Spektrum Jembatan Kota Baru



472 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Pada Zone 1 khusus pada sambungan hubungan antar struktur harus menggunakan minimal 0.25 pada zona tanah bukan keras. Sedangkan untuk gaya gempa rencana pada pilar menggunakan daktilitas R sebesar 1.5 untuk jembatan penting dan R sebesar 1 untuk pondasi tiang pancang. Proses analisa 3D FEM menggunakan pemodelan dengan Midas/ Civil dimana sistem restraint base isolator menggunakan sistem hysterisis bilinear dengan parameter yang sama dengan yang digunakan pada Jembatan Penang 2. Sistem peletakan pot bearing dengan berbagai sistem landasan digunakan sebagai pembanding. Sistem pilar P1 sampai P7 menggunakan beton dengan mutu minimal K350, dengan bentuk persegi panjang, dengan ketinggian P1 26.6m, P2 28,1m, P3 29.6m, P4 31.1m, P5 32.6m, P6 34.1m, dan P7 35m. Adapun struktur atas merupakan box girder beton dengan bentang 50m menerus dan pemutusan tiap 6 bentang.



Gambar 7. Sistem Restraint Jembatan



Gambar 8. Sistem Pilar Jembatan



Bidang Struktur - 473



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari analisis 4 buah model dengan sistem HRDB dan pot bearing 3 model sistem restrain dibandingkan dengan acuan pembanding adalah base shear yang terjadi pada sistem multi pilar 3 dimensi asumsi pile cap kaku terjepit. 5000



Pot 1



4000



Pot 2



3000



Pot 3 HDRB Fis



2000 1000 0 P1



P2



P3



P4



P5



P6



P7



2000 Pot 1 1500



Pot 2



1000



Pot 3 HDRB Fis



500 0 P1



P2



P3



P4



P5



P6



P7



Gambar 9. Hasil Base Shear Longitudinal (kiri) dan Transversal (kanan) untuk Gempa 100% Transversal + 30% Longitudinal



1500



Pot 1 Pot 2



1000



Pot 3 HDRB Fis



500



0



P1



474 – Bidang Struktur



P2



P3



P4



P5



P6



P7



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



6000



Pot 2



5000



Pot 3



4000



HDRB Fis



3000



Pot 1



2000 1000 0



P1



P2



P3



P4



P5



P6



P7



Gambar 10. Hasil Base Shear Longitudinal (kiri) dan Transversal (kanan) untuk Gempa 100% Longitudinal + 30% Transversal Jika dibandingkan pada Pot 1 dimana terdapat titik sendi pada P4 P5 P6, terlihat base shear HDRB pada pile cap tersebut lebih menurun 59% - 77%, menandakan sistem HDRB terbukti mampu meratakan gaya rencana gempa, dan mereduksi gaya gempa rencana. Di posisi Pot 2 dimana hanya terdapat titik sendi di P4, terlihat gaya rencana longitudinal HDRB sampai 81%, dan mereduksi gaya transversal rencana gempa sampai 66% dibandingkan sistem Pot 2 Juga jika dibandingkan Pot 3 dimana titik sendi pada P3 dan P5, gaya rencana longitudinal gempa HDRB tereduksi sampai 81% dan gaya transverasal



5. KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan sistem HDRB pada jembatan sangat ekonomis karena mampu mengurangi gaya lateral gempa rencana pada jembatan. Kapasitas dek dan kapasitas pilar dan juga kapasitas pondasi terhadap gaya gempa rencana gempa menjadi lebih tinggi sehingg infrastruktur lebih ekonomis dan umur infrastruktur lebih panjang dengan kemampuan menahan probabilitas gaya gempa rencana lebih tinggi. HDRB mampu mereduksi gaya gempa rencana cukup tinggi sampai 77% gempa rencana pot bearing (Sistem Pot bearing 1) menjadikan sistem ini sangat tahan gempa dan ekonomis. HDRB dan base isolator lainnya menggunakan sistem damping dan lendutan horizontal dalam menahan gaya gempa rencana. Hal ini perlu diperhatikan juga dalam nendesain panjang lebar dudukan dan alat bantu restraint yang menjaga agar girder tidak lompat atau unseated jika gaya gempa melebihi probabilitas kondisi performa dapat diperbaiki dengan segera. Analisis perlu ditambahkan lagi dengan Sistem Interaksi pondasi baik dengan matrik kekakuan ataupun winkler spring pada pondasi pancang untuk melihat seberapa besar gaya gempa yang masuk langsung pada tiap taip pondasi pancang.



Bidang Struktur - 475



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1. AASHTO, Guide Specification for LRFD Bridge Design, 2013 2. AASHTO, Guide Specifications for Seismic Isolation Design, 2010 3. BSN, RSNI 2883:2013 Standar perencanaan ketahanan gempa untuk jembatan, 2013 4. Chopra, A.K (2011) Dynamics of Structures: Theory and Application to Earthquake Engineering (Second edition), Prentice Hall of India 5. Damian N. Grant et al (2004) Bridge Isolation With High Damping Rubber Bearings Analytical Modelling and System Response. 13th World Conference on Earthquake Engineering. Vancouver, B.C., Canada. August 1-6, 2004 6. Kamarudin Ab-Malek, et al (2011) High Damping Rubber Bearing Desain for Approach Bridge 7. Kamarudin Ab-Malek, et al (2012) Seismic Protection Of 2nd Penang Crossing Using High Damping Natural Rubber Isolator. 15 WCEE. LISBOA. 8. Teruna, D.R (2005) Analisis Respon Bangunan dengan Base Isolator Akibat Gaya Gempa. Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 4, Oktober.



476 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



MENGETAHUI POTENSI KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BAHAYA GEMPA DENGAN RAPID VISUAL SCREENING Endah Wahyuni1, Pujo Aji2 dan Fadilah Alfia Nuri3 1



Jurusan Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111, email:[email protected] 21 Jurusan Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111, email:[email protected] 31 Jurusan Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111



ABSTRAK Indonesia negara yang rawan gempa. Gempa bumi berdampak korban jiwa dan harta, serta kerusakan infrastruktur, baik retak-retak maupun ambruk dan hancur. Namun pada kenyataanya, belum semua gedung direncanakan kegempaannya dan tidak ada data kerentanan bangunan jika terjadi gempa untuk gedung-gedung di Indonesia. Rapid visual screening (RVS) merupakan metode penilaian kerentanan suatu bangunan terhadap potensi bahaya gempa berdasarkan observasi visual dari eksterior bangunan, dan interior bangunan jika memungkinkan, sehingga pelaksanaannya relatif cepat (ATC, 2002). Studi ini mengaplikasikan penggunaan RVS untuk memetakan kerentanan bangunan di Indonesia terhadap bahaya gempa berdasarkan FEMA 154. Pengaplikasian RVS tersebut dimaksudkan untuk melihat bagaimana sistem RVS pada FEMA 154 bisa diterapkan di Indonesia dengan studi kasus bangunan di ITS. Terdapat tahapan-tahapan untuk melaksanakan metode RVS ini, salah satunya adalah pelaksanaan survei di lapangan. Dalam mengisi formulir saat survei di lapangan harus memverifikasi data yang ada dengan yang di lapangan serta mengisi kolom-kolom yang ada di formulir RVS. Terdapat 15 jenis struktural dasar yang diklasifikasikan oleh FEMA 154 pada formulir RVS. Dari hasil pengisian formlir RVS pada studi kasus yaitu bangunan ITS, maka didapatkan bahwa skor akhir pada formulir RVS untuk kasus gedung ITS dan laporan perencaan gedungnya sesuai. Maka posedur RVS ini bisa digunakan untuk menilai kerentanan banguanan di Indonesia. Kata kunci: Rapid Visual Screening, FEMA 154, Kerentanan, Gempa



1. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang rawan gempa, karena merupakan daerah pertemuan dari 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Bisa dibuktikan dengan banyaknya kejadian gempa yang memakan korban jiwa, contohnya gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, gempa di Jogja pada 27 Mei 2006, serta gempa di Jayapura. Gempa bumi berdampak korban jiwa, harta, serta kerusakan infrastruktur. Namun di Indonesia belum semua gedung direncanakan kegempaannya dan tidak ada data kerentanan bangunan jika terjadi gempa untuk gedung-gedung tersebut. Maka diperlukan suatu panduan untuk menilai kerentanan bangunan yang mudah untuk dilakukan. Metode RVS bermula dari FEMA 154 yang terbit pada tahun 1988, Rapid visual screening of buildings for potential seismic hazards. Buku Pegangan ini memberikan "Sidewalk survey" pendekatan yang memungkinkan pengguna untuk mengklasifikasikan bangunan yang disurvei menjadi dua kategori: aman atau harus dievaluasi lebih rinci. Selama dekade berikutnya FEMA 154 edisi pertama, prosedur



Bidang Struktur - 477



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean RVS digunakan oleh organisasi sektor swasta dan lembaga pemerintah di Amerika Serikat untuk mengevaluasi lebih dari 70.000 bangunan nasional (ATC, 2002). Data dan informasi yang dikumpulkan selama dekade pertama tersebut digunakan untuk memperbarui metode RVS pada FEMA 154 edisi kedua. Revisi prosedur RVS mempertahankan kerangka yang sama dan pendekatan terhadap prosedur asli, tapi menggabungkan sistem penilaian yang direvisi kompatibel dengan kriteria gerakan tanah di FEMA 310, Handbook for Seismic Evaluation of Bulildings - A Prestandard (ASCE, 1998), dan data estimasi kerusakan yang dikembangkan oleh FEMA – Earthquake Loss Estimation Methodology HAZUS (NIBS, 1999). Rapid visual screening (RVS) merupakan metode penilaian kerentanan suatu bangunan terhadap potensi bahaya gempa berdasarkan observasi visual dari eksterior bangunan dan interior bangunan jika memungkinkan, sehingga pelaksanaannya relatif cepat (ATC, 2002). Studi ini pengaplikasian penggunaan RVS untuk bangunan di Indonesia dengan studi kasus bangunan di ITS. Pengaplikasian RVS tersebut dimaksudkan untuk melihat seberapa besar RVS pada FEMA 154 bisa diterapkan di Indonesia. Sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk pedoman mengenai sistem penilaian gedung terhadap kerentanan gempa yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada dan bisa di terapkan di Indonesia.



2. TUJUAN Tujuan dari studi ini adalah utuk memetakan kerentanan gempa di Indonesia dengan menggunakan RVS dengan studi kasus pada bangunan gedung di ITS. Dengan detail tujuan adalah sebagai berikut: 1. Didapat perencanaan dan manajemen RVS. 2. Didapat pengumpulan formulir data RVS. 3. Didapat penggunaan hasil dari RVS. 4. Didapat studi kasus RVS terhadap bangunan di ITS.



3. METODE DAN PENGGUNAAN RVS Dalam melakukan studi ini, beberapa langkah yang dilakukan adalah mempelajari tentang RVS, kemudian melakukan perencanaan dan pelaksanaan RVS dan terakhir adalah membuat kesimpulan dari Metode RVS yang diterapkan pada studi kasus beberapa gedung di ITS. Ada beberapa langkah yang diperlukan dalam merencanakan dan melaksanakan RVS pada bangunan berpotensi berbahaya gempa yang perlu diperhatikan. Urutan umum pelaksanaan prosedur RVS meliputi : 1. Perencanaan anggaran dan biaya perkiraan: Untuk pelaksanaan RVS secara menyeluruh akan diperlukan banyak tenaga, biaya, dan waktu. Namun dalam tugas akhir ini hanya memakai studi kasus bangunan di ITS, sehingga tidak memerlukan banyak biaya. 2. Perencanaan pralapangan: Dalam memutuskan prioritas urutan bangunan yang di survei bisa dikarenakan oleh anggaran, waktu, dan tingkat bahaya suatu kawasan (yang paling utama).



478 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 3. Pemilihan dan review formulir: Ada tiga jenis formulir yang masing-masing dibagi berdasarkan wilayah kegempaan seperti berikut: rendah (Low/L), sedang (Medium/M), dan tinggi (High/H). 4. Kualifikasi dan Pelatihan Screener: Pelatihan dilakukan oleh salah satu departemen yang paling berpengalaman. Dalam hal ini penulis akan melakukan survey sendiri. 5. Akuisisi dan review data pralapangan: Informasi tentang sistem struktur, usia atau hunian (yaitu kegunaan) mungkin tersedia dari sumber tambahan. Data ini harus ditinjau dan disusun sebelum memulai survei lapangan. Disarankan bahwa informasi ini ditambahan, bisa dengan ditulis langsung pada formulir yang akan dipakai. 6. Review dokumen konstruksi: Bila mungkin, dokumen desain dan konstruksi bangunan harus ditinjau sebelum melakukan survei lapangan untuk membantu screener mengidentifikasi jenis sistem struktural untuk masing-masing bangunan. 7. Pelaksanaan RVS di lapangan. 8. Memeriksa kualitas dan penerimaan data lapangan: Untuk memeriksa kualitas dari skrining, diperlukan orang yang ahli mengenai bangunan dan gempa. Data yang ada bisa dikoreksi seperlunya oleh para ahli. Setelah memilih formulir berdasarkan pada tingkat kegempaan daerah yang akan ditinjau, maka pengisian formulir untuk setiap bangunan yang ditinjau dilakukan melalui tahap pelaksanaan sebagai berikut: 1. Memeriksa dan memperbarui informasi bangunan: Ruang yang disediakan di bagian kanan pada formulir untuk catatan informasi identifikasi bangunan (yaitu, alamat, nama, jumlah lantai, tahun pembangunan, dan data lainnya). 2. Berjalan di sekitar gedung untuk mengidentifikasi ukuran dan bentuknya, serta membuat sketsa bangunan pada formulir: Pada sketsa seharusnya menunjukkan: Tinggi bangunan, lebar bangunan, dimensi-dimensi yang ada, dan menekankan fiturfitur khusus (retak atau konfigurasi masalah yang signifikan) 3. Menentukan dan mencatat kategori hunian. Pembagian kelas hunian dijelaskan di bawah ini (dengan indikasi umum beban hunian) :  Gedung pertemuan: beban hunian bervariasi yaitu sebanyak 1 orang per 10 sq.ft, tergantung pada kondisi duduk tetap atau bergerak.  Komersial: beban hunian bervariasi, yaitu 1 orang per 50 sampai 200 sq.ft.  Layanan darurat: beban hunian biasanya 1 orang per 100 sq ft.  Gedung pemerintahan : Beban hunian bervariasi , gunakan 1 orang per 100 200 sq ft.  Industrial : Biasanya, beban huniannya 1 orang per 200 persegi ft kecuali gudang, yang mungkin 1 orang per 500 sq ft  Perkantoran: menggunakan 1 orang per 100 sampai 200 sq ft).  Perumahan: Jumlah orang untuk hunian perumahan bervariasi dari sekitar 1 orang per 300 sq ft di tempat tinggal, untuk mungkin 1 orang per 200 sq ft di hotel dan apartemen, 1 per 100 sq ft di asrama).  Sekolah: Beban hunian bervariasi, gunakan 1 orang per 50 sampai 100sq. ft) 4. Menentukan jenis tanah, jika tidak diidentifikasi selama proses perencanaan pralapangan: Informasi data tanah harusnya dicari saat tahap perencanaan. Jika tidak ada, perlu diidentifikasi jenis tanahnya saat pelaksanan di lapangan. Jika tidak ada dasar untuk mengklasifikasikan jenis tanah, maka diasumsikan jenis tanah E. Namun, untuk satu lantai atau dua lantai/ bangunan dengan tinggi atap sama dengan atau



Bidang Struktur - 479



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5.



6.



7.



8.



kurang dari 25 kaki, dapat diasumsikan jenis tanah kelas D ketika kondisinya tidak diketahui. Mengidentifikasi potensi bahaya nonstruktural: Macam-macam pilihan bangunan nonstruktural yang bisa membahayakan adalah Unreinforced Chimneys, Parapets, dan Heavy Cladding. Mengidentifikasi seismic lateral-load resisting dan melingkari skor dasar pada formulir. Lima belas jenis bangunan yang digunakan dalam Prosedur RVS meliputi:  Rangka kayu- bangunan dengan luas 5.000 ft2 (W2)  Bangunan baja rangka pemikul momen (S1)  Bangunan rangka baja dengan bracing (S2)  Bangunan light metal (S3)  Bangunan rangka baja dengan shear wall beton cor di tempat (S4)  Bangunan rangka baja dengan dinding batu tanpa perkuatan (S5)  Bangunan beton dengan rangka pemikul momen (C1)  Bangunan beton dengan dinding geser (C2)  Bangunan beton dengan dinding pasangan bata tanpa perkuatan (C3)  Bangunan Tilt -up (PC1)  Bangunan rangka beton pracetak (PC2)  Bangunan batu diperkuat lantai fleksibel dan atap diafragma (RM1)  Bangunan batu diperkuat dengan lantai kaku dan atap diafragma(RM2)  Bangunan batu tanpa perkuatan dengan bearing - wall (URM) Mengidentifikasi dan melingkari sesuai kondisi bangunan pada masing-masing skor modifikasi. Faktor-foktoryang dinilai meliputi:  Mid-Rise Buildings: Jika bangunan memiliki lantai 4 sampai 7 .  High-Rise Bulidings: Jika bangunan memiliki banyak lantai 8 atau lebih.  Vertikal Irregularity: Jika bangunan berbentuk tidak teratur secara vertikal, atau jika beberapa dinding tidak vertikal..  Plan Irragularity: Jika bangunan bentuk denahnya tidak teratur dengan bentuk E, L, T, U, atau + .  Pre-Code: Skor modifikasi ini berlaku untuk bangunan di wilayah kegempaan moderat dan tinggi, dan berlaku jika bangunan yang ditinjau dirancang dan dibangun sebelum diterapkan kode seismik yang berlaku untuk jenis bangunan itu.  Post-Benchmark: Skor modifikasi ini berlaku jika bangunan yang ditinjau dirancang dan dibangun setelah kode seismik untuk jenis bangunan itu diberlakukan.  Soil Type C, D, or E: Skor modifikasi disediakan untuk Jenis Tanah C, D, dan E. Jika tidak tersedia data atau bimbingan yang memadai selama tahap perencanaan untuk mengklasifikasikan jenis tanah, harus diasumsikan jenis tanah E. Namun, untuk bangunan satu atau dua lantai dengan tinggi atap sama dengan atau kurang dari 25 meter, dapat diasumsikan jenis tanah kelas D. Menentukan skor akhir, dan memutuskan apakah evaluasi lebih rinci diperlukan: Berdasarkan hasil skor akhir, screener dapat memutuskan apakah bangunan tersebut aman atau memerlukan evaluasi lebih rinci yang kemudian dicatat pada lingkaran "YES" atau "NO" di kolom kanan bawah.



480 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 9. Memotret bangunan dan melampirkan foto: Foto bangunan yang jelas dan bisa menampakkan keseluruhan bangunan (bentuk bangunan dan elevasi). 10. Bagian Komentar: Kolom terakhir ini untuk komentar screener jika mungkin ingin memberi catatan mengenai bangunan yang diskrining, hunian, kondisi, kualitas data atau kondisi yang tidak biasa/ tidak ada dalam jenis yang tersedia. Dalam pelaksanaan RVS penafsiran Final Structural Score, S, Pemilihan keputusan skor RVS merupakan salah satu yang terpenting. Disini menjelaskan tentang pembacaan nilai skor akhir terhadap angka kemungkinan keruntuhan bangunan terhadap bahaya gempa. Pada dasarnya skor akhir adalah perkiraan probabilitas bangunan akan runtuh jika terjadi gerakan tanah atau gempa. Basic Struktural Hazard Score didefinisikan sebagai logaritma negatif (basis 10) dari probabilitas runtuhnya bangunan yang dapat dituliskan dengan BSH = -log10 (ATC, 2002b). Sebagai contoh, skor akhir S=3 berarti ada kesempatan 1 dari 103, Atau 1 dari 1000 kemungkinan bangunan itu akan runtuh jika terjadi gerakan tanah tersebut. Sebuah skor akhir S= 2 berarti ada kesempatan 1 dari 102, Atau 1 dari100, bahwa bangunan akan runtuh jika tanah tersebut terjadi gerakan. Penentuan aman atau tidaknya bangunan yang ditinjau berdasarkan skor akhir bangunan tersebut. Nominal angka skor yang membatasi menurut FEMA 154 adalah 2. Hal itu berdasarkan dari National Bureau of Standards (NBS, 1980).



4. STUDI KASUS Berdasarkan SNI 1726 tahun 2012, Kota Surabaya pada periode 0,2 detik percepatan respon gempanya adalah sebesar 0,5-0,6 g (Gambar 1.a) dan untuk peiode 1 detik sebesar 0,2-0,3 g (berada pada 2 warna, lihat Gambar 1.b). Dengan demikian, Kota Surabaya berada pada High Seismicity menurut pembagian zona gempa berdasarkan FEMA 154.



(a) Periode 0,2 detik



(b) Periode 1 detik



Gambar 1. Peta zona gempa Surabaya periode 0,2 detik dan 1 detik Setelah menentukan formulir RVS, yakni High Seismicity Form, maka bisa dilanjutkan untuk survei di lapangan. Untuk studi kasus pada tugas akhir ini dipakai bangunan gedung perpustakaan, teknik mesin, robotika, dan asrama mahasiswa. Sebagai contoh proses pengisian formulir RVS gedung perpustakaan pada saat survei bisa dilihat pada Tabel 1. Untuk formulir hasil survei gedung perpustakaan lihat Gambar 2, gedung teknik mesin lihat Gambar 3, gedung robotika lihat Gambar 4, dan asrama mahasiswa lihat Gambar 5. Tabel 1 Proses Pengisian Formulir Survei Gedung Perpustakaan



Bidang Struktur - 481



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean No No



Bagian Bagian



Informasi 1 Informasi 1 Bangunan Bangunan



Sketsa 22 Sketsa Bangunan Bangunan



3



44



55



6 6



7 7



8 8



9



9



10



10



Jenis Hunian



Analisa Analisa Untuk alamat, kode pos, jumlah lantai, luas area semua Untuk alamat, pos, jumlah luas area semua lantai, nama kode bangunan, dan lantai, penggunaan sudah lantai, nama bangunan, dan penggunaan sudah didapatkan pada saat perencanaan pra-lapangan, didapatkan pada saat perencanaan pra-lapangan, namun harus diverifikasi saat survei di lapangan. Dan namun harus diverifikasi saat survei di lapangan. Dan untuk tahun dibangun, nama screener , dan tanggal untuk tahun dibangun, nama screener , dan tanggal skrining bisadiisi saat survei. skrining bisadiisi saat survei. Untuk sketsa bisa dipakai denah gedung ini yang Untuk sketsa bisa dipakai denah gedung ini yang didapatkan didapatkan dari dari PIMPITS PIMPITS (Pusat (Pusat Implementasi Implementasi dan dan Perencanaan ITS), namun diverifikasi Perencanaan ITS), namun diverifikasi di di lapangan lapangan terlebih terlebih dahulu. dahulu.



Subbab Subbab 2.4.1 dan 2.4.1 dan 4.8.1 poin 4.8.1 poin 1 1 2.4.2 dan 2.4.2 dan 4.8.1 4.8.1 poin poin 22



2 Gedung Gedung perpustakaan perpustakaan ini ini kira-kira kira-kira seluas seluas 200m 200m2 setinggi 6 lantai. Gedung ini dimasukkan dalam setinggi 6 lantai. Gedung ini dimasukkan dalam 2.4.4 2.4.4 dan dan bangunan perkuliahan. Sesuai dengan sub bab 2.4.4 untuk bangunan sekolah beban huniannya adalah 1



orang/50-100 ft 2 , luas bangunan ini 2000x6 m2 = 12.000 4.8.1 poin m2 = 130.000 ft 2 maka beban huniannya adalah 4 130.000/100=1300 orang s/d 130.000/50 =2600 orang. Jadi, bisa dipilih beban hunian 1000+. 2.4.3 dan Jenis Tanah Tanah E E menurut menurut Laboratorium Laboratorium Mekanika Mekanika Tanah Tanah 2.4.3 dan Jenis Jenis Tanah Tanah 4.8.1 poin Jenis 4.8.1 poin Jurusan Teknik Teknik Sipil Sipil ITS ITS Jurusan 3 3 2.4.5 dan dan 2.4.5 Bahaya nonBahaya non- Tidak ada bangunan nonstruktural yang berbahaya 4.8.1 poin Tidak ada bangunan nonstruktural yang berbahaya 4.8.1 poin struktural struktural 55 Menurut dokumen konstruksi, gedung ini merupakan Menurut dokumen konstruksi, gedung ini merupakan jenis struktur beton. Dan seteleh dipastikan saat 2.4.6 dan jenis struktur beton. Dan seteleh dipastikan saat 2.4.6 dan Skor survei memang benar bangunan beton. Dari hasil Skor Struktural survei memang benar bangunan beton. Dari hasil Struktural survei menunjukkan bahwa gedung ini masuk dalam dasar survei menunjukkan bahwa gedung ini masuk dalam 4.8.1 poin jenis struktur C1, karena tidak ada shear wall dan 4.8.1 poin dasar jenis struktur C1, URM. karena tidak ada shear wall dan 6 dinding bukan dari 6 dinding bukan dari URM. Karena gedung ini setinggi 6 lantai, maka dipilih mid Karena gedungini ini dibangun setinggi 6 lantai, dipilih mid 2.4.7 dan rise. Gedung setelahmaka ditetapkannya Skor 2.4.7 dan rise. Gedung ini dibangun setelah ditetapkannya peraturan mengenai konstruksi beton, maka ditandai Skor Modifikasi peraturan mengenai konstruksi beton, maka ditandai Modifikasi untuk post benchmark. Jenis struktur tanahnya adalah 4.8.1 poin untuk post benchmark. tanah lunak (lempung). Jenis struktur tanahnya adalah 4.8.17poin tanah lunak (lempung). 7 Dan pada akhirnya didapatkan skor akhir 3,1 , maka 2.4.8 dan didapatkan skoruntuk akhir gedung 3,1 , maka 2.4.8 poin dan Skor Akhir Dan tidak pada perlu akhirnya identifikasi lebih lanjut ini 4.8.1 karenaperlu dirasa cukup aman (skor akhiruntuk >2). gedung ini Skor Akhir tidak identifikasi lebih lanjut 4.8.18poin karena dirasa cukup aman (skor akhir >2). Foto diambil bisa menggunakan kamera handphone 2.4.98dan Foto atau kamera Dan sesbisakamera mungkin foto bisa 2.4.9 dan Foto diambilyang bisalain. menggunakan handphone 4.8.1 poin menampakkan keseluruhan bangunan. Foto atau kamera yang lain. Dan sesbisa mungkin foto bisa 4.8.19poin menampakkan keseluruhan bangunan. 9 dan 2.4.10 Komentar Tidak ada komentar yang perlu ditambahkan. 2.4.10 dan 4.8.1 poin Komentar Tidak ada komentar yang perlu ditambahkan. 10 4.8.1 poin 10



482 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 2. Formulir RVS perpustakaan



Gambar 3. Formulir RVS gedung Teknik Mesin



Gambar 4. Formulir RVS gedung Robotika



Bidang Struktur - 483



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 5. Formulir RVS Asrama Mahasiswa Ada empat bangunan di ITS sebagai studi kasus untuk penggunaan metode RVS dalam penilaian kerentanan bangunan terhadap potensi bahaya gempa. Gedung yang pertama yaitu gedung perpustakaan dinyatakan aman karena mendapatkan skor akhir 3,1 hal ini sesuai dengan Laporan Perencanaan Strukur Gedung Perpustakaan (PIMPITS,1994), dimana gedung telah direncanakan tahan gempa. Gedung kedua yaitu gedung Teknik Mesin juga dinyatakan aman dengan skor akhir 3,1 hal ini sesuai dengan Laporan Perencanaan Strukur Gedung Teknik Mesin (PIMPITS, 1974) yang telah direncanakan kegempaannya. Gedung ketiga yakni gedung robotika dinyatakan aman pula karena mendapatkan skor akhir 2,7 hal ini sesuai dengan Laporan Perencanaan Strukur Pusat Kajian Robotika Nasional (PIMPITS, 2009) yang telah direncanakan tahan gempa. Gedung Asrama Mahasiswa dengan skor akhir 2,6 sehingga dinyatakan aman dan memang sesuai perencanaannya yang telah direncanakan tahan gempa sesuai dengan Laporan Perencanaan Struktur Asrama Mahasiswa (PIMPITS, 2007). Karena dari hasil keempat formulir RVS dan laporan perencaan struktur keempat gedung tersebut sesuai, maka prosedur RVS bisa diterapkan untuk menilai kerentanan bangunan terhadap bahaya gempa di Indonesia.



5. KESIMPULAN Rapid visual screening adalah melihat suatu metode cepat untuk melihat apakah suatu gedung berpotensi terkena gempa. Dengan beberapa langkah yang diperlukan dalam merencanakan dan melaksanakan RVS pada bangunan meliputi:  Perencanaan anggaran dan biaya perkiraan  Perencanaan pra-lapangan  Pemilihan dan review formulir  Kualifikasi dan Pelatihan Screener  Akuisisi dan review data pra lapangan  Review dokumen konstruksi  Pelaksanaan RVS di lapangan dengan mengisi formulir dari pemeriksaan di lapangan.  Memeriksa kualitas dan penerimaan data lapangan.



484 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Skor akhir adalah perkiraan probabilitas bangunan akan runtuh jika terjadi gerakan tanah atau gempa, dalam metode ini dengan rumus BSH = -log10. Penentuan aman atau tidaknya bangunan yang ditinjau bedasarkan skor akhir bangunan tersebut. Nominal angka skor yang membatasi menurut FEMA 154 adalah 2. Hal itu berdasarkan dari National Bureau of Standards (NBS, 1980). Bangunan ITS sebagai studi kasus untuk penggunaan metode RVS dalam penilaian kerentanan bangunan terhadap potensi bahaya gempa adalah gedung perpustakaan, gedung teknik mesin, gedung robotika, dan asrama mahasiswa. Dari hasil formulir RVS keempat gedung tersebut dirasa sesuai dengan laporan perencaan struktur dari masingmasing bangunan. Prosedur RVS bisa digunakan untuk memetakan kerentanan bangunan terhadap gempa di Indonesia berdasarkan studi kasus yang ditinjau. Hanya saja perlu penyesuaian untuk formulir yang dipakai sesuai dengan kondisi bangunan dan peraturan yang ada di Indonesia.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. ATC, (2002), Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards: Supporting Documentation (2nd edition), FEMA 155 Report, Federal Emergency Management Agency, Washington D.C. 2. ASCE, 1998, Handbook for the Seismic Evaluation of Buildings — A Pre-standard, FEMA 310 Report, Federal Emergency Management Agency, Washington D.C. 3. NIBS, 1999, Earthquake Loss Estimation Methodology HAZUS, Technical Manual, Vol. 1, prepared by the National Institute of Building Sciences for the Federal Emergency Management Agency, Washington, D.C. 4. P2T, 1994, Laporan Perencanaan Strukur Gedung Perpustakaan, Proyek Pengembangan Teknik ITS, Surabaya 5. P2T, 1974, Laporan Perencanaan Strukur Gedung Teknik Mesin, Proyek Pengembangan Teknik ITS, Surabaya 6. PIMPITS, 2009, Laporan Perencanaan Strukur Pusat Kajian Robotika Nasional, Pusat Implementasi dan Perencanaan ITS, Surabaya 7. PIMPITS, 2007, Laporan Perencanaan Struktur Asrama Mahasiswa, Pusat Implementasi dan Perencanaan ITS, Surabaya



Bidang Struktur - 485



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



486 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENERAPAN METODE SELF-ANCHORAGE PADA PERENCANAAN JEMBATAN DANAU SIPIN-JAMBI Indra Nata1 Budi Santoso2 dan Tri Widya3 1



Indra Nata, PT. Pratama Daya Cahya Manunggal (PDCM), email: [email protected]. Budi Santoso, PT. Pratama Daya Cahya Manunggal (PDCM), email: [email protected]: 3 Tri Widya Swastika, Politeknik Negeri Jakarta, email: [email protected] 2



ABSTRAK Jembatan sebagai salah satu infrastruktur utama dalam membantu mobilitas kegiatan manusia dimana perkembangannya tidak hanya menitik beratkan pada kehandalan tetapi juga mempertimbangkan keindahan atau estetika jembatan. Salah satu yang memenuhi kreteria tersebut adalah jembatan gantung, baik tipe cable stayed maupun suspension. Pada jembatan cable stayed, gaya yang paling dominan pada pondasi adalah gaya aksial, sedangkan pada jembatan suspension, gaya yang paling dominan pada pondasi adalah gaya horizontal. Penerapan jembatan suspension konvensional pada tanah yang memiliki daya dukung relatif kurang baik tidak disarankan karena akan memiliki kecenderungan untuk biaya struktur bawah yang jauh lebih mahal. Maka untuk mengantisipasi gaya horizontal pada perencanaan jembatan suspension konvensional tersebut metode self-anchorage dapat diterapkan. Metode self-anchorage adalah metode untuk meminimalisir gaya horizontal pada struktur bawah yang ditimbulkan oleh gaya kabel, sehingga penerapan ini dapat menghasilkan struktur pondasi yang optimal. Adapun penerapannya dengan cara memfungsikan gaya horizontal yang ditimbulkan dari kekakuan dek, akan tetapi metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pada saat konstruksi penggunaan shoring untuk mensupport lantai mutlak diperlukan, hal ini menyebabkan penerapan metode self-anchorage kurang sesuai pada jembatan dengan free board yang tinggi dan lalu lintas yang padat. Dari hasil perhitungan analisa menggunakan program bantu MIDAS Civil, dapat disimpulkan bahwa pada perencanaan Jembatan Pejalan Kaki Danau Sipin dengan metode self anchorage dapat mereduksi gaya horizontal sebesar 92%. Kata kunci: Jembatan suspension, self-anchorage



1. PENDAHULUAN Jembatan Danau Sipin terletak di Kota Jambi. Dengan panjang bentang utama 152 m, lebar total 5 m dan free board 4 m. Jembatan Danau Sipin ini direncanakan menggunakan tipe suspension dengan metode self-anchorage, dimana pembangunannya direncanakan sebagai akses untuk menyeberangi Danau Sipin menuju Pulau Pandan atau sebaliknya menjadi lebih mudah, serta memperindah pemandangan dikawasan wisata ini. Makalah ini membandingkan analisa gaya horizontal yang terjadi pada perencanaan jembatan Danau Sipin-Jambi antara menggunakan suspension konvensional dengan menggunakan suspension metode self-anchorage. Harapan kami dari penggunaan suspension metode self-anchorage ini adalah menghasilkan gaya horizontal yang jauh lebih kecil dari pada suspension konvensional sehingga menghasilkan struktur pondasi yang optimal.



Bidang Struktur - 487



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



2. TINJAUAN PUSTAKA Ide awal adanya jembatan suspension dengan metode self-anchorage dimulai dari abad ke 19. Pada waktu yang hampir bersamaan, para insinyur dari Austria dan Amaerika masing-masing telah mengembangkan idenya mengenai tipe jembatan dengan metode tersebut. Pada tahun 1859, seorang insinyur dari Austria yaitu Josef Langer, pertama kalinya memperkenalkan jembatan suspension dengan metode self-anchorage. Dia menggambarkannya dengan jembatan kaku yang menggunakan rantai dengan angkur vertikal (Dapat dilihat pada gambar dibawah ini). Ide tersebut membawanya sebagai penemu metode self-anchorage pada jembatan suspension (Ochsendorf, J.A., 1998).



Gambar 1. Design Josef lager untuk Wrsowicer Bridge Gambar tersebut menunjukkan stiffening girder dibuat truss kontinyu dengan tower hinged dan kabel utama yang langsing. End support menyediakan angkur vertikal sebagai kompensasi adanya komponen gaya-gaya vertikal pada kabel utama. Ide Josef Langer tersebut diaplikasikan untuk jembatan Wrsowier pada tahun 1870 (Mullins, H., 1936). Metode self-anchorage pada jembatan suspension semakin berkembang seiring dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan manusia, sekarang ini dapat dilihat diantaranya pada Jembatan Konohana di Jepang (selesai dibangun pada tahun 1990) dengan panjang bentang utama 300 m, Jembatan Yeongjong di Korea (1999) dan yang terbaru di tahun 2013 adalah Jembatan San Francisco-Oakland bay bridge sebagai jembatan suspension dengan metode self-anchorage tower tunggal terbesar didunia dengan bentang utama 385 m (Tanh, Man-Chun, R. Manzanarez, M. Ander, S. Abbas dan G. Baker, 2000).Prinsip jembatan suspension dengan metode self-anchorage adalah bahwa ia membawa komponen gaya horizontal dari kekuatan tarik kabel utama ke dek struktur jembatan. Hal ini menghasilkan gaya tekan di dek jembatan sehingga tahan terhadap risiko tekuk global pada jembatan. Hanya komponen vertikal dari gaya tarik kabel masih harus dilawan (David van Goolen, 2006).



(a) Kabel utama melekat pada tanah



(b) Kabel utama menyatu dengan ujung dek. Metode ini cocok untuk mengantisipasi gaya horizontal yang besar Gambar 2. Perbedaan (a) suspension konvensional dengan suspension dengan (b) metode self-anchorage



488 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Dek dari jembatan suspension dengan metode self-anchorage memiliki 2 fungsi utama; yaitu yang pertama adalah untuk menahan gaya horizontal dari kabel dan kedua adalah untuk meneruskan beban vertikal dari lalu lintas kemudian mendistribusikannya ke kabel suspension melalui sejumlah hangers (David van Goolen, 2006).



Gambar 3. Metode self-anchorage pada jembatan suspension (David van Goolen, 2006). Penerapan metode self-anchorage dalam jembatan suspension memiliki beberapa kelebihan dan beberapa kelemahan sebagai berikut. Kelebihan metode self-anchorage pada jembatan suspension adalah (David van Goolen, 2006):  Komponen gaya horizontal dari gaya pada kabel ditahan oleh dek jembatan, sehingga tidak membutuhkan external anchorage.  Sangat cocok untuk daerah dimana kondisi tanahnya buruk dan tidak banyak ruang untuk menempatkan external anchorage  Dari segi bentuk terlihat sama dengan jembatan suspension konvensional, kabel utama melengkung dan terlihat ramping sehingga dari segi estetika tetap menarik untuk dilihat. Sedangkan kelemahan dari metode self-anchorage pada jembatan suspension ini adalah (David van Goolen, 2006):  Metode konstruksi yang rumit dan lebih beresiko, bertolak belakang dengan jembatan suspension konvensional dimana metode konstruksinya sangat mudah. Pada metode self-anchorage, dek jembatan dipasang terlebih dahulu daripada kabel utama dan hanger nya. Sehingga penggunaan shoring untuk mensupport lantai mutlak diperlukan, hal ini menyebabkan penerapan metode self-anchorage kurang sesuai pada jembatan dengan free board yang tinggi dan lalu lintas yang padat.  Dengan rumitnya metode konstruksi, penggunaan mutlak shoring, semakin tinggi free board membuat biaya kontruksi jembatan bisa lebih mahal daripada metode konstruksi jembatan suspension konvensional.



Bidang Struktur - 489



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 4. Metode konstruksi jembatan suspension konvensional



Gambar 5. Metode konstruksi jembatan suspension metode self-anchorage 



Kelemahan lainnya adalah membutuhkan dek jembatan yang kaku. Karena angkur dari kabel utama menyatu dengan dek jembatan, berakibat pada besarnya gaya tekan yang terjadi pada girder. Girder harus didesain menahan global buckling penampangnya. Secara umum menghasilkan rasio kelangsingan longitudinal yang lebih kecil dibandingkan dengan jembatan suspension konvensional, karena tidak ada gaya tekan aksial besar yang bekerja pada girder tersebut.



490 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 1. Rasio kelangsingan pada girder (λ) Rasio kelangsingan (λ) Jenis Jembatan 1/150 sampai 1/350 Jembatan suspension konvensional 1/30 sampai 1/100 Jembatan suspension metode self-anchorage Dimana λ adalah perbandingan antara tinggi dari box girder (h) dengan panjang dari bentang utama (l) Bentang utama pada jembatan suspension dengan metode self-anchorage terbatas sekitar 300 m. Batasan bentang tersebut disebabkan oleh stabilitas tekuk dari gelagar dan rumitnya metode konstruksi jembatan.



3. METODOLOGI PENELITIAN Data Umum Jembatan Pejalan Kaki Danau Sipin adalah jembatan dengan tiga span dengan sistem jembatan suspensi menggunakan metode self-anchored. Panjang bentang utama 152 m dan panjang bentang sisi 38 m.



Gambar 6. Potongan Memanjang



Gambar 7. Potongan Melintang



Bentang Utama Bentang utama menggunakan sistem rangka baja dengan lebar 5 m, tinggi 2.5 m, dan jarak antar segmen 4 m dengan total 38 segmen. Rangka baja menggunakan sistem ikatan angin vertikal dan horizontal karena ingin dibuat sekaku mungkin hal ini dimaksudkan agar rangka dapat mengakomodir gaya geser horizontal yang terjadi. Pada lantai digunakan pelat beton pre-cast setebal 150 mm dengan lebar 3.5 m. Perletakan pada bentang utama adalah sendi dengan menumpu pada pile cap bentang sisi.



Bidang Struktur - 491



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 8. Konfigurasi Rangka Bentang Utama Tower dan Bentang Sisi Tower menggunakan sistem segi tiga dengan profil box baja 800x800 mm, sistem segitiga memberikan keuntungan karena lebih kaku dan stabil, untuk lantai menggunakan pelat beton dengan tebal 20 cm, dan antara kaki segitiga menggunakan balok beton 1200x750 mm. Pada kaki segitiga depan langsung menyatu dengan pile cap dan kaki segi tiga belakang menggunakan rol sebagai tumpuannya, hal ini dimaksudkan agar gaya horizontal dapat disalurkan ke balok dan pelat setra di teruskan ke kaki segi tiga depan.



Gambar 9. Konfigurasi Tower Kabel Suspensi dan Penggantung Kabel suspensi dan penggantung menggunakan locked coil low relaxation strand. Untuk kabel suspensi memliki konfigurasi rasio 1/6.8 untuk panjang dan tingginya. Pemodelan Jembatan Pemodelan jembatan ini menggunakan aplikasi MIDAS Civil, analisa menggunakan model struktur 3D dengan frame sebagai beam, dan kabel dimodelkan sebagai truss. Dalam pemodelan dimodelkan juga pembebanan baik beban mati dan beban hidup lalulintas pejalan kaki, dalam pemodelan struktur ini dilakukan analisa non-linear untuk material kabel dan eigen value untuk respons spectrum sebagai beban gempa. Analisis juga mempertimbangkan large-displacement untuk kabel suspensi dan smalldisplacement untuk kabel penggantung. Pondasi di modelkan sebagai jepit pada perletakannya.



492 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 10. Pemodelan Jembatan P1



P3



P2



Gambar 11. Permodelan Perletakan Jembatan



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Perletakan Metode Self Anchorage



Gambar 12. Reaksi Perletakan Metode Self Anchorage



Tabel 2. Reaksi Perletakan Metode Self Anchorage Pondasi



Node



Load



FX (kN)



FY (kN)



FZ (kN)



MX (kN·m)



MY (kN·m)



MZ (kN·m)



P1



1101



SERVIS(all)



0.0



13.1



403.4



0.0



0.0



0.0



1102



SERVIS(all)



0.0



-27.4



362.4



0.0



0.0



0.0



1103



SERVIS(all)



-2017.4



-7.5



2714.9



119.2



7651.2



-1294.3



1104



SERVIS(all)



-1968.2



21.4



2634.1



-106.1



7035.8



822.8



1105



SERVIS(all)



1893.2



25.6



0.0



0.0



0.0



0.0



1106



SERVIS(all)



1893.5



-25.5



0.0



0.0



0.0



0.0



1201



SERVIS(all)



0.0



13.3



401.3



0.0



0.0



0.0



1202



SERVIS(all)



0.0



-27.7



358.2



0.0



0.0



0.0



1203



SERVIS(all)



2017.7



-7.4



2708.4



121.4



-7652.8



1293.9



1204



SERVIS(all)



1968.3



21.2



2628.9



-105.1



-7039.0



-822.7



1205



SERVIS(all)



-1893.4



25.6



0.0



0.0



0.0



0.0



1206



SERVIS(all)



-1893.7



-25.5



0.0



0.0



0.0



0.0



P2



P4 P3



Bidang Struktur - 493



P4



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Reaksi Perletakan Metode Konvensional



Gambar 13. Reaksi Perletakan Metode Konvensional Tabel 3. Reaksi Perletakan Metode Konvensional Pondasi



Node



Load



FX (kN)



FY (kN)



FZ (kN)



MX (kN·m)



MY (kN·m)



MZ (kN·m)



P1



1101



SERVIS(all)



-551.2



12.3



481.7



116.1



-6587.9



842.8



1102



SERVIS(all)



-551.3



-11.6



421.2



-105.9



-6198.2



-538.6



1103



SERVIS(all)



-1321.4



26.5



2627.9



165.8



6216.7



-842.2



1104



SERVIS(all)



-1325.6



-27.2



2568.5



-156.9



5836.1



563.4



1201



SERVIS(all)



553.6



13.0



478.6



122.0



6587.8



-843.1



1202



SERVIS(all)



548.8



-12.3



418.2



-111.8



6198.0



538.9



1203



SERVIS(all)



-1323.7



26.0



2622.0



167.9



-6216.4



842.9



1204



SERVIS(all)



-1325.5



-26.8



2562.5



-159.2



-5835.8



-562.4



P2 P4 P3



Perbandingan Pondasi Metode Self Anchorage dengan Konvensional Pada perencanaan Jembatan Danau Sipin digunakan pondasi tiang pancang baja dengan diameter 600 mm dengan kedalaman 30 m. Dari analisa pondasi didapatkan daya dukung pondasi aksial sebesar 1288 kN dan daya dukung lateral sebesar 34 kN. Tabel 4. Kebutuhan Pondasi Metode Self Anchorage Pondasi FX (kN) FY (kN) FZ (kN) N. PONDASI P1 0 -14.3 765.8 1 P2 -198.9 13.9 5348.9 6 P3 198.8 13.9 5337.3 6 P4 0 -14.3 759.4 1 Tabel 5. Kebutuhan Pondasi Metode Konvensional Pondasi FX (kN) FY (kN) FZ (kN) N. PONDASI P1 -1102.5 0.715 902.91 33 P2 -2647 -0.715 5196.4 78 P3 -2649.2 -0.833 5184.4 78 P4 1102.4 0.689 896.7 33



494 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa pada perencanaan Jembatan Pejalan Kaki Danau Sipin dengan metode self anchorage dapat mereduksi gaya horizontal sebesar 92%.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. David van Goolen. Self-Anchored Suspension Bridges. MSc. Thesis 2006, Delft University of Technology, Faculty of Civil Engineering. 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Self-anchored_suspension_bridge 3. Mullins, H. The Self-Anchored Suspension Bridge. Engineering News-Record, Vol. 111 January 9, 1936, No.2, pp 45-49. 4. Ochsendorf, J.A. Self-Anchored Suspension Bridges. MSc. Thesis 1998, Princeton University, Department of Civil Engineering and Operation Research. 5. Tanh, Man-Chun, R. Manzanarez, M. Ander, S. Abbas and G. Baker. East Bay Bridge. September 2000 Civil Engineering Magazine.



Bidang Struktur - 495



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



496 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



KAJIAN EKSPERIMENTAL PENYERAPAN ENERGI PADA BETON BERSERAT POLYOLEFIN Indra Sidik Permadi1, Setyo Hardono2 dan Rulli Ranastra Irawan3 1



Indra Sidik Permadi,Puslitbang Jalan dan Jembatan, email:[email protected] Setyo Hardono,Puslitbang Jalan dan Jembatan, email:[email protected] 3 Rulli Ranastra Irawan,Puslitbang Jalan dan Jembatan, email:[email protected] 2



ABSTRAK Serat polyolefin digunakan sebagai bahan campuran pada beton telah populer beberapa tahun terakhir. Beton berserat dapat menghambat laju penyebaran retak yang lebih besar, memiliki daktilitas yang tinggi dan meningkatkan kapasitas lentur. Pada beton berserat terdapat kriteria lain dalam menentukan kualitas beton, salah satunya adalah mencari nilai daya tahan beton terhadap kinerja lentur (Flexural Toughness). Flexural Toughness adalah jumlah energi yang dapat diserap oleh beton dengan mencari luas area di bawah kurva beban-lendutan. Kajian dimulai dengan studi literatur tentang beton berserat. Pada kajian ini variasi jumlah serat polyolefin yang dicampurkan ke dalam beton yaitu 3, 6 dan 9 kg/m3. Kemudian dilakukan pengujian kuat lentur dengan dua titik pembebanan yang dilengkapi dengan alat pengukur lendutan, sehingga akan didapat kurva beban-lendutan. Dari kurva tersebut dianalisis menggunakan perangkat lunak khusus untuk mendapatkan luas area di bawah kurva,yang merupakan jumlah energi yang dapat diserap oleh beton. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa penambahan serat polyolefin sebanyak 3, 6 dan 9 kg/m3 pada beton dapat menambah kekuatan lentur beton hingga 13% dibandingkan dengan beton normal. Semakin tinggi penambahan serat polyolefin pada beton dapat meningkatkan lendutan serta meningkatkan jumlah energi yang dapat diserap oleh beton tersebut. Hasil pengujian kuat tekan beton, penambahan serat sebanyak 3 dan 6 kg/m3 mengalami kenaikan kuat tekan sampai 3%, akan tetapi penambahan serat 9 kg/m3 mengalami penurunan kuat tekan sampai 3%.



Kata kunci: Serat Polyolefin, Beton Berserat, Penyerapan Energi, Flexural Toughness



1. PENDAHULUAN Komponen-komponen penyerap energi telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada bidang transportasi baik itu transportasi darat, laut maupun udara, komponenkomponen penyerap energi merupakan hal yang penting untuk mengurangi tingkat resiko kecelakaan pada penumpang dan tingkat kerusakan pada kendaraan. Dalam dunia teknik sipil, komponen penyerap energi sudah diaplikasikan pada bangunan gedung, jalan maupun jembatan terutama di negara-negara maju. Pada jembatan misalnya, terdapat komponen pelat lantai dan balok girder yang menahan beban luar secara terus menerus selama masa layannya. Maka komponen pelat lantai dan gelagar merupakan komponen penyerap energi karena mampu merubah energi kinetik menjadi deformasi plastis. Beton merupakan salah satu bahan bangunan yang paling banyak digunakan di dunia karena biaya relatif murah, kemudahan dalam produksi dan berumur panjang. Beberapa tahun terakhir, serat digunakan sebagai bahan campuran pada beton dan cukup populer. Terbukti pada penelitian yang sudah dilakukan, penambahan serat pada campuran beton dapat meningkatkan kinerja beton.



Bidang Struktur - 497



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Beton serat atau Fiber Reinforced Concrete (FRC) adalah beton semen yang mengandung serat yang tersebar secara acak di dalam campuran beton. Serat yang digunakan pada campuran beton biasanya jenis serat logam, serat kaca, serat sintetik dan serat alami. Beton serat dapat menghambat laju penyebaran retak yang lebih besar, memiliki daktilitas yang tinggi dan meningkatkan kapasitas lentur. Penentuan kualitas beton umumnya dilihat pada hasil pengujian kuat tekan dan lenturnya. Namun, pada beton berserat terdapat kriteria lain dalam menentukan kualitas dari beton tersebut salah satunya adalah mencari nilai daya tahan beton terhadap lenturan (Flexural Toughness). Flexural Toughness adalah jumlah energi yang dapat diserap oleh beton dengan mencari luas area di bawah kurva beban-lendutan. Tujuannya yaitu untuk mengetahui ketahanan beton terhadap beban yang telah diterimanya dan diserap dalam bentuk energi. Tujuan Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kinerja beton berserat polyolefin ditinjau dari beberapa hal yaitu, kuat tekan, kuat lentur, residual strength, lendutan dan penyerapan energinya. Beton Berserat (Fiber Reinforced Concrete) Beton berserat atau FRC terdiri dari campuran beton yang diperkuat dengan serat-serat yang berfungsi sebagai tulangan mikro, yang berguna untuk mengurangi sifat getas dari beton. Kontribusi serat pada campuran beton dapat membentuk karakteristik beton berserat yang berbeda. Serat menjadi pengikat jika beton sudah mengeras, serat yang terikat tersebut mengkontribusi pelepasan energi melalui proses debonding dan tercabut.



a). Kontribusi serat tidak melebihi beban maksimun b). Kontribusi serat melebihi beban maksimum Gambar 25 Perilaku serat setelah terjadi retak awal saat pengujian lentur Setelah terjadi retak awal, ada kemungkinan perilaku serat akan terlihat pada Gambar 1. Jika volume serat lebih banyak dalam beton, sesudah beton retak, serat mulai memikul penambahan beban. Bila cukup banyak serat yang menjembatani retakan, beton akan



498 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 sanggup meneruskan memikul beban yang lebih besar dari beban pada retak awal atau sebaliknya. Beton berserat (FRC) umumnya diaplikasikan pada penampang yang tebal. Termasuk pelat, penambahan dimensi terhadap pelat eksisting dan aplikasi shotcrete untuk perlindungan beton. Spesifikasi yang disyaratkan untuk penggunaan FRC ini sangat bervariasi. Hal yang sangat menentukan dari FRC yaitu mutu beton, jenis serat dan jumlah serat. Serat-serat yang digunakan dalam beton berserat dapat diklasifikasikan sebagai serat metal (Metallic fibers), serat polimer (Polymeric fiber), serat mineral (Mineral fibers), dan Serat alami (naturally accruing fibers). Penyerapan Energi Penyerap energi adalah sebuah sistem yang merubah seluruh atau sebagian energi kinetik dalam bentuk lain. Pengkonversian energi tersebut dapat bersifat reversible, seperti energi tekanan pada fluida compressible dan energi regangan elastik pada material, atau irrevesible, seperti energi pada deformasi plastis. Aplikasi teknik yang banyak dibutuhkan untuk mengurangi efek dari beban impak adalah mekanisme penyerap energi yang bersifat irrevesible. Pembuatan struktur penyerap energi yang bersifat irrevesible dalam menyerap energi kinetik dari impak bertujuan untuk meminimalkan tingkat kecelakaan yang diderita manusia dan kerusakan yang dialami pada benda penyerap energi. Struktur penyerap energi pada umumnya menyerap energi dengan merubah energi kinetik menjadi deformasi plastis. Struktur tersebut dapat mengkontrol akselerasi dari masa pengimpak dengan cara mengatur karakteristik kurva beban-lendutan selama mengalami impak. Penyerapan energi di atas secara umum tergantung pada bagaimana cara dan seberapa besar beban yang diterima, bentuk deformasi dan perpindahan yang terjadi, dan sifat mekanis material dari struktur penyerap energi. Karena itu setiap struktur penyerap energi memiliki karakteristik yang unik dan spesial yang perlu dikenali dan dipelajari untuk memahami bagaimana responnya terhadap beban.



2. METODE KAJIAN Serat Polyolefin Pada kajian ini, kategori serat yang digunakan yaitu serat polimer dengan jenis polyolefin. Serat ini berbentuk batangan-batangan kecil dengan panjang yang bervariasi (lihat Gambar 2). Serat polyolefin dibuat dari bahan sintetik anti karat, terbentuk dari 20 persen nylon dan 60 persen polyolefin polymer. Pada kajian ini, serat polyolefin yang digunakan mempunyai panjang 60 mm, sedangkan jumlah serat yang dicampurkan ke dalam beton yaitu 3, 6 dan 9 kg/m3.



Bidang Struktur - 499



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 26 Serat polyoefin Analisis Mutu Beton Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode eksperimen. Mutu beton yang digunakan adalah mutu beton fc‘ 37 MPa. Pengujian yang dilakukan yaitu pengujian lentur sederhana dengan dua titik pembebanan yang mengacu pada ASTM C1609 tentang pengujian kuat lentur khusus untuk beton berserat dengan Closed-loop, Servocontrolled Testing System (Gambar 3).



Gambar 27 Pengujian lentur beton serat sesuai ASTM C1609 Adapun data benda uji yang disajikan pada kajian ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 29 Jumlah benda uji kubus untuk pengujian kuat tekan Kode Dimensi Benda Uji (cm) Volume Serat (kg/m3) Jumlah 15x15x15 0 8 B0 15x15x15 3 8 B3 15x15x15 6 8 B6 15x15x15 9 8 B9 Tabel 30 Jumlah benda uji balok untuk pengujian kuat lentur Kode Dimensi Benda Uji (cm) Volume Serat (kg/m3) Jumlah 60x15x15 0 4 B0 60x15x15 3 6 B3 60x15x15 6 6 B6 60x15x15 9 6 B9



500 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Analisis kuat tekan dan kuat lentur dihitung dengan persamaan berikut. ........................................................................................................................(1) Dimana: fc= Kuat tekan beton (MPa) P = Gaya tekan (N) A= Luas penampang (mm2) .....................................................................................................................(2) Dimana: f = Kuat Lentur (MPa) P = Beban Lentur (N) L = Panjang Bentang (mm) b = Lebar contoh uji (mm) d = Tinggi contoh uji (mm) Analisis Penyerapan Energi Analisis penyerapan energi dapat dilakukan secara eksperimental. Secara umum perhitungan energi dapat dilakukan dengan mencari persamaan kurva beban-lendutan dan untuk mendapatkan luas kurva tersebut dilakukan integrasi terhadap sumbu X (sumbu lendutan). Pada kajian ini, nilai penyerapan diperoleh dengan bantuan perangkat lunak khusus untuk analisis grafik.



3. HASIL KAJIAN Hasil Pengujian Tekan dan Lentur Beton Berserat Polyolefin Hasil pengujian tekan dan lentur beton berserat polyolefin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 31 Hasil pengujian kuat tekan beton No.



Umur (hari)



1 2 3 4



3 7 14 28



Kuat Tekan (MPa) B0 27.47 35.13 37.40 44.87



B3 28.23 35.54 39.07 45.09



B6 29.76 35.68 40.20 46.14



B9 28.30 35.00 37.80 43.35



Bidang Struktur - 501



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Kuat Tekan Rata-rata (MPa)



Grafik Kuat Tekan Beton Normal dengan Beton Berserat 50 45 40 Beton Normal



35



Serat 3 kg/m3 Serat 6 kg/m3



30



Serat 9 kg/m3



25 0



5



10



15 Umur (hari)



20



25



30



Gambar 28 Grafik kuat tekan beton normal dan beton berserat polyolefin Berdasarkan grafik dari Gambar 4, dengan komposisi campuran beton yang sama, nilai kuat tekan antara beton normal dengan beton berserat polyolefin pada umur 28 hari memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Penambahan serat sebanyak 3 dan 6 kg/m3, kekuatan tekan beton mengalami kenaikan sebesar 1% dan 3%. Sedangkan penambahan serat sebanyak 9 kg/m3 mengalami penurunan kekuatan tekan beton sebesar 3%. Hasil pengujian kuat lentur beton normal dan beton berserat polyolefin dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 32 Nilai Kuat lentur dan Residual Strength pada beton berserat polyolefin Residual Strength Kuat Lentur (MPa) Penambahan Lendutan (mm) (MPa) Serat Polyolefin 1st crack fcrack fpeak fL/600 fL/150 Beton Normal 3.84 3.84 0.053 Serat 3 kg/m3 4.11 4.11 1.63 1.38 0.059 Serat 6 kg/m3 4.50 4.50 3.16 3.26 0.063 Serat 9 kg/m3 5.10 5.10 3.75 3.88 Grafik Kuat Lentur 1st Crack dan Kuat Lentur Puncak



Kuat Lentur (MPa)



6 5



4 3



fcrack (MPa)



2



fpeak (MPa)



1



0 Beton Normal



Serat 3 kg/m3



Serat 6 kg/m3



Serat 9 kg/m3



Variasi Campuran



Gambar 29 Grafik kuat lentur beton berserat polyolefin



502 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Residual Strength (MPa)



Residual Strength Beton Berserat Polyolefin 5 4 3 2 1



0 Serat 3 kg/m3



Serat 6 kg/m3



Serat 9 kg/m3



Variasi Serat fL/600 (MPa)



fL/150 (MPa)



Gambar 30 Tegangan sisa pada beton berserat polyolefin Kuat lentur pada saat beton retak (fcrack) dan puncak (fpeak) memiliki nilai yang sama, jadi kontribusi serat polyolefin tidak melebihi beban maksimum. Pada Tabel 4, semakin banyak penambahan serat polyolefin pada beton, ternyata dapat menambah nilai kuat lentur beton. Dengan adanya kontribusi serat, beton masih mempunyai tegangan sisa (residual strength). Semakin banyak serat polyolefin yang ditambahkan, semakin besar pula tegangan sisa yang dimiliki beton tersebut. Selain dari kekuatan, lendutan yang terjadi pada beton berserat juga mengalami peningkatan, semakin banyak serat polyolefin ditambahkan ke dalam beton ternyata daktilitasnya semakin meningkat. Penyerapan Energi Beton Berserat Polyolefin Penyerapan energi yang dievaluasi yaitu penyerapan energi pada saat lendutan L/600 dan L/150. Dari semua pengujian kuat lentur yang mengacu pada ASTM C1609, diperoleh grafik beban-lendutan yang beban pada saat retak sama dengan beban puncaknya. Tetapi terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan sisanya (Residual Strength) antara serat yang ditambahkan sebanyak 3, 6 dan 9 kg/m3. Perbedaan kekuatan sisa tersebut dapat berpengaruh pada nilai penyerapan energi dari beton berserat karena adanya perbedaan luasan di bawah kurva beban-lendutan. Grafik bebanlendutan yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 7. Sedangkan penyerapan energi pada beton berserat dapat dilihat pada Tabel 5. Grafik Beban-Lendutan Beton Berserat Polyolefin Beban (ton) 4.5



Polyolefin 3 kg/m3 Polyolefin 6 kg/m3 Polyolefin 9 kg/m3



4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5



Lendutan (mm) 0.2



0.4



0.6



0.8



1



1.2



1.4



1.6



1.8



2



2.2



2.4



2.6



2.8



3



3.2



3.4



3.6



3.8



Gambar 31. Grafik beban-lendutan pada beton berserat polyolefin umur 28 hari



Bidang Struktur - 503



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 33. Penyerapan energi pada beton berserat polyolefin pada umur 28 hari Kode Umur Energi (Joule) (hari) L/600 L/150 28 10.24 32.41 Serat 3 kg/m3 28 15.95 70.95 Serat 6 kg/m3 28 19.13 83.27 Serat 9 kg/m3



Dari Gambar 8, semakin banyak polyolefin yang ditambahkan ke dalam beton maka semakin besar pula penyerapan energinya. Nilai Penyerapan Energi pada Beton Berserat Polyolefin Energi (Joule)



100



80 60 40 20 0 Polyolefin 3 kg/m3



Polyolefin 6 kg/m3



Polyolefin 9 kg/m3



Variasi Polyolefin EL/600 28 hr EL/150 28 hr



Gambar 32. Penyerapan energi pada beton berserat polyolefin umur 28 hari



4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian, beberapa hal dapat disimpulkan mengenai kinerja beton akibat penambahan serat polyolefin yaitu sebagai berikut: 1. Penambahan serat polyolefin pada beton, dapat meningkatkan kekuatan tekan beton sebesar 1% s/d 3% dari kekuatan tekan beton normal. Tetapi jika penambahan serat mencapai 9 kg/m3, kekuatan beton menurun 3% dari kuat tekan beton normal. Jadi, penambahan serat polyolefin yang optimum untuk kekuatan tekan yaitu antara 3 s/d 6 kg/m3. 2. Penambahan serat polyolefin pada beton dapat meningkatkan kekuatan lentur beton sebesar 7% s/d 13% dari beton normal. 3. Serat polyolefin dapat menghambat laju retak serta meningkatkan daktilitas pada beton. Hal tersebut dapat dibuktikan meningkatnya lendutan pada beton dengan kadar serat lebih tinggi daripada beton berserat rendah. 4. Semakin tinggi kadar serat polyolefin yang ditambahkan ke dalam beton, semakin tinggi pula energi yang dapat diserap oleh beton. 5. Penambahan serat polyolefin pada beton berpengaruh pada jumlah penyerapan energi sehingga beton memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan kekuatan setelah terjadi retak dibandingkan dengan beton normal.



504 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. DAFTAR PUSTAKA 1.



Burhan, Budimansyah. (2007) Kontribusi Polyolefin Fiber Terhadap Peningkatan Mutu dan Daktilitas Beton Kinerja Tinggi (High Performance Concrete). Bandung:Institut Teknologi Bandung.



2.



Colin D. Johnston. (2001) Fiber-reinforced cements and concretes. Amsterdam:Gordon and Breach Science Publishers.



3.



D.O. Al-Ghamdy. (1994) Flexural Toughness of Steel Fiber Reinforced Concrete. Riyadh:King Saud University.



4.



Guoxing Lu,Tongxi Yu. (2003) Energy absorption of structures and materials. North America:Woodhead Publishing.



5.



J.K. Wright and E. Tons. (1994) Flexural Toughness of Steel Fiber Reinforced Concrete. USA:University of Michigan.



6.



Mohamad Danijarsa & Aditya Dharma Andrya. (2005) Kajian Eksperimental Penyerapan Energi pada Struktur Kantilever Beton Bertulang Akibat Pembebanan Monotonik dan Siklik. Bandung:Institut Teknologi Bandung.



7.



Wibowo. Kapasitas Lentur, (2006) Toughness, dan Stiffness Balok Beton Berserat Polyethylene. Surakarta:Universitas Sebelas Maret.



8.



ASTM International. (2010) ASTM C1609M Standard Test Method for Flexural Performance of Fiber-Reinforced Concrete (Using Beam With Third-Point Loading). USA.



Bidang Struktur - 505



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Halaman ini sengaja dikosongkan



506 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



POROS MARITIM DUNIA DAN BENCANA TSUNAMI : PENGEMBANGAN AIR INFLATED STRUCTURE SEBAGAI FASILITAS TANGGAP BENCANA M. Ikhsan Setiawan1, Hery Budiyanto2, Fredy Kurniawan3, Sri Wiwoho M4 dan Ronny D. Nasihien5 1



Universitas Narotama, [email protected] Universitas Merdeka Malang, [email protected] 3 Universitas Narotama, [email protected] 4 Universitas Narotama, [email protected] 5 Universitas Narotama, [email protected] 2



ABSTRAK Visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia harus memperhatikan potensi bencana tsunami. Sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia dilanda 174 tsunami dimana 60 persen di kawasan Indonesia Timur. UNDP PBB menyatakan kesiapan menghadapi bencana akan meminimalisir dampak merugikan melalui pencegahan yang efektif, rehabilitasi dan pengiriman bantuan tepat waktu. Solusi tepat menyelesaikan problem penampungan korban bencana dalam waktu cepat, biaya murah dan dapat menampung dalam jumlah banyak adalah air inflated structure. Air inflated structure sebelum dan sesudah bencana disimpan dengan volume penyimpanan kecil, bahan struktur (0.55mm PVC Terpaulin) mudah dilipat dan cepat diangkut ke daerah bencana menggunakan truk/pickup. Tujuan Penelitian adalah merencanakan, membuat dan menguji protitipe tenda air inflated structure sebagai fasilitas tanggap bencana guna memenuhi aspek kekuatan, kecepatan, efektifitas dan kenyamanan penampungan korban bencana. Metode Penelitian menggunakan Metode Eksperimen, diawali dengan perancangan, pembuatan dan pengujian prototipe tenda meliputi (1) uji kekuatan dan ketahanan bahan terhadap cuaca (2) uji meterial yang paling efektif guna komponen struktur (3) uji kecepatan pembuatan, pengangkutan, perakitan, pemasangan, pembongkaran (4) uji kenyamanan korban bencana. Pengujian dilakukan di Lab Universitas Narotama dan Lab Universitas Merdeka Malang serta Uji Lapangan Kabupaten Blitar, terbukti memberikan hasil yang handal dan memuaskan meliputi kuat uji tarik hingga 218,3 kg, daya tahan bahan hingga >700C, kecepatan instalasi pemasangan dan pembongkaran menjadi lebih efektif dan efisien serta kenyamanan dalam ruangan suhu maksimum 350C. Air inflated structure diharapkan menjadi prototipe tenda korban bencana skala nasional, dapat juga berfungsi sebagai Rumah Sakit Darurat dan Sekolah Darurat. Kata Kunci : Bencana Tsunami, Mitigasi Bencana, Air Inflated Structure, Penampungan Korban Bencana



1. PENDAHULUAN Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan bencana alam di Indonesia selama ini lebih banyak terjadi dan terkonsentrasi di Jawa. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, lebih dari 50 persen bencana terjadi di Jawa. Pada tahun 2011, dari 2.066 kejadian bencana, sekitar 827 bencana (40%) terjadi di Jawa. Tahun 2012, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana melakukan press realease yang menyatakan beberapa lokasi di pulau Jawa sangat beresiko mengalami bencana alam, sehingga sangat patut mempersiapkan mitigasi bencana secara benar dan baik. Antara lain potensi gempa di Selat Sunda, Selatan Jawa Barat, serta gempa di sesar Cimandiri, sesar Lembang Jawa Barat dan Bali. Kemudian aktivitas Krakatau serta 23 gunung lain yang berstatus Waspada dan Siaga. Potensi banjir longsoran material erupsi Merapi mencapai 120 juta kubik. Bencana lumpur Porong Sidoarjo yang masih belum selesai, serta belum adanya kepastian penghitungan volume sumber lumpur yang masih terus keluar dari dalam bumi. Namun bencana pada tahun 2011 didominasi oleh aktivitas



Bidang Struktur - 507



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, puting beliung, dan gelombang pasang. BNPB mencatat setidaknya sepanjang 2011 telah terjadi 1.598 bencana, dan 1.598 di ataranya (75 persen) adalah hidrometeorologi dengan prosentase banjir (403 kejadian), kebakaran (355), dan puting beliung (284). Bencana itu telah menimbulkan korban meninggal dan hilang 834 orang, dan 325.361 orang lainnya dilaporkan menderita dan harus mengungsi. Selain merenggut nyawa ratusan orang, bencana yang terjadi selama 2011 itu juga menyebabkan kerugian material. Tercatat, 15.166 unit rumah penduduk rusak berat, 3.302 rusak sedang, dan 41.795 unit rusak ringan. Sedangkan bencana geologi seperti gempa bumi terjadi 11 kali atau 0,7 persen, tsunami (1 kali atau 0,7 persen) dan gunung meletus (4 kali atau 0,2 persen). Dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi 5 orang meninggal dan rumah rusak sebanyak 7.251 unit. Tingginya intensitas bencana tersebut khususnya di Jawa memerlukan mitigasi bencana secara benar, baik, cepat dan efektif. UNDP dalam Program Pelatihan ‖Kesiapan Tanggap Bencana‖ memberikan arahan bahwa kesiapan menghadapi bencana akan meminimalisir akibat-akibat yang merugikan melalui tindakan pencegahan yang efektif, rehabilitasi dan pemulihan serta pengiriman bantuan dan pertolongan secara tepat waktu. Bantuan dan pertolongan antara lain dimaksudkan agar korban bencana yang jumlahnya cukup banyak segera dapat ditampung dalam bangunan yang layak huni dan nyaman. Penampungan penduduk korban bencana dan penempatan fasilitas darurat banyak menggunakan tenda dan bangunan darurat yang dibangun menggunakan sistem struktur dan teknologi konvensional antara lain tenda dengan rangkan terbuat dari baja yang memerlukan waktu lama serta biaya yang besar. Salah satu solusi tepat untuk memecahkan masalah penampungan penduduk korban bencana yang dapat dibangun dengan waktu yang cepat (kurang dari 1 hari), biaya yang murah dan dapat menampung penduduk dengan jumlah banyak (50 orang) adalah bangunan air inflated structure. Bangunan air inflated structure sebelum dan sesudah bencana dapat disimpan pada gudang dengan volume penyimpanan yang kecil, karena bahan strukturnya (membran – kain) dapat dilipat dan sewaktu-waktu dapat diangkut ke daerah bencana menggunakan truk atau pickup. Bangunan air inflated structure ini diharapkan menjadi prototipe struktur yang dapat digunakan untuk penampungan penduduk korban bencana dalam skala nasional. Terdapat 5 aspek utama yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu: a. Perancangan dan desain air inflated structure. b. Pembuatan prototipe bangunan air inflated structure untuk penampungan korban bencana dilanjutkan uji material bangunan c. Kecepatan dan efektivitas dalam proses pengangkutan, perakitan, pemasangan serta pembongkaran bangunan air inflated structure. d. Tingkat kenyamanan termal dalam bangunan air inflated structure sebagai penampungan darurat di kawasan bencana. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut a. Bagaimana perancangan dan desain air inflated structure? b. Bagaimana pembuatan prototipe air inflated structure untuk penampungan korban bencana dilanjutkan uji material bangunan? c. Bagaimana kecepatan dan efektivitas dalam proses pengangkutan, perakitan, pemasangan serta pembongkaran air inflated structure? d. Bagaimana tingkat kenyamanan termal dalam air inflated structure sebagai penampungan darurat di kawasan bencana? Penelitian ini difokuskan pada beberapa kajian sebagai berikut: a. Perancangan serta pembuatan sistem dan komponen bangunan air inflated structure b. Pembuatan prototipe air inflated structure untuk penampungan korban bencana



508 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 c. Uji laboratorium dan ujicoba penerapan air inflated structure di lokasi rawan bencana d. Peningkatkan kecepatan dan efektivitas dalam pembuatan, pengangkutan, perakitan, pemasangan serta pembongkaran air inflated structure e. Peningkatkan tingkat kenyamanan termal dalam air inflated structure untuk berbagai fungsi darurat di kawasan bencana



2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimental berupa pembuatan prototipe struktur, melakukan aplikasi uji coba terhadap berbagai variabel, antara lain pengujian pengaruh bahan membran terhadap berbagai kondisi cuaca (variabel kekuatan bahan struktur terhadap sinar matahari, dan hujan), pengujian terhadap variabel berbagai jenis sambungan dan variabel kenyamanan termal bagi orang yang menempatinya. Pelaksanaan penelitian ini pada tahun 2103 telah melakukan melalui kajian literatur, dilanjutkan dengan pembuatan desain (bentuk struktur, pola dasar lembaran membran, komponen dan elemen struktur) yang dilaksanakan di Lab. Komputer. Selanjutnya dirancang dan dibuat prototipe struktur dengan skala dengan pilihan bahan dan sistem sambungan yang paling efisien. Prototipe ini diuji (selama 1 bulan) terutama aspek kenyamanan untuk berbagai fungsi darurat, antara lain dengan setting perabot tempat penampungan sementara dan kantor tim penanggulangan bencana yang dibangun di Lapangan. Penelitian dan pengujian terhadap sistem struktur pneumatik, antara lain dalam uji model struktur pneumatik pada tahun 1992 telah dilakukan dalam paper ―Kajian dan Perancangan Bangunan dengan Konsep Struktur Pneumatik yang Ditekankan pada Aspek Teknik dan Metoda Konstruksi, Kasus Studi: Struktur Atap Pneumatik Membran Tunggal yang Ditumpu Udara pada Gedung Olah Raga‖ (Budiyanto, 1992) Eksperimen model struktur diperlukan untuk mengetahui perilaku struktur sesungguhnya (prototipe) dengan menggunakan replika (model) struktur yang skalanya lebih kecil. Salah satu rekomendasi penelitian tersebut adalah struktur pneumatik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan struktur bangunan konvensional, yaitu : investasi awal lebih murah, kecepatan dan kemudahan pembangunan, pemeliharaan mudah, elemen struktur dapat dilipat (ringkas) sehingga dapat disimpan dalam gudang dengan ukuran 3x3 m2. Berdasarkan kelebihan tersebut sistem struktur ini dapat dikembangkan terutama untuk kegunaan sementara seperti penggunaan untuk menampung korban bencana. Eksperimen dilanjutkan dengan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI Tahun 2008-2010 yang menghasilkan prototipe struktur pneumatik yang ditumpu oleh udara. Prototipe ini dapat dibangun hanya dalam waktu 30 menit, bangunan seluas 150 m2 siap menampung 50 orang. Kelemahan dari prototipe ini adalah penggunaan pintu rigid yang harus kedap udara sehingga menyulitkan penduduk yang relative awam untuk membiasakan diri keluar masuk dari tenda gelembung. Hasil riset Purwanto yang dituangkan dalam tulisan berjudul ―Perkembangan Struktur Pneumatik Memperkaya Desain Arsitektur‖ (Purwanto, 2000) menyampaikan kemungkinan penerapan dan pengembangan struktur pneumatic di Indonesia, antara lain kondisi iklim di Indonesia, terutama masalah angin, bukanlah masalah yang berarti dan dapat diperhitungkan dengan perhitungan tekanan dalam struktur pneumatik. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan struktur pneumatik di Indonesia, antara lain perilaku, kondisi sosial masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan terutama dalam pemeliharaan bangunan. Aspek keisengan masyarakat dalam memandang dan memperlakukan bangunan/fasilitas umum sering menimbulkan kerusakan. Namun, masyarakat perlu dibiasakan dan dikenalkan dengan sistem struktur baru ini sehingga dapat belajar pada satu kondisi, bentuk, perilaku atau peradaban baru. Alain Chassagnoux dan kawan-kawan dalam ―Teaching of Morphology‖ (Chassagnoux et.al., 2002) menjelaskan bahwa untuk mempelajari bentuk-bentuk arsitektur kontemporer yang menggunakan struktur non-konvensional. Para dosen bisa mengajak mahasiswa untuk



Bidang Struktur - 509



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean melakukan eksperimen model sehingga mendapatkan pengalaman ―membentuk‖ bangunan menggunakan elemen/komponen yang dirancang sendiri oleh mahasiswa. Dengan studi bentuk bangunan melalui studi geometri dan sains akan memberikan pengalaman pembentukan struktur bangunan yang sulit dilakukan dan hiperhitungkan secara matematis. Penanganan terhadap penduduk yang menjadi korban bencama alam sangat diperlukan, antara lain dalam bentuk penampungan sementara sehingga penduduk dapat merasa aman dan nyaman berada. Selama ini penanganan penampungan penduduk dilakukan dengan menggunakan bangunan-bangunan umum (misalnya gedung pertemuan, sekolah, dan lain-lain) serta tenda-tenda daruratyang kemampuan tampungnya hanya sedikit jumlahnya (antara 10 hingga 15 orang). Pembangunan tenda dan bangunan darurat sering terhambat pelaksanaannya karena keterbatasan penyediaan dan keterbatasan jumlahnya sehingga tidak seluruh penduduk korban bencana segera dapat ditampung di tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu diperlukan sarana penampungan penduduk korban bencana yang dapat menampung sejumlah besar penduduk dan dapat dibangun dalam waktu yang singkat. Penggunaan bangunan air inflated structure merupakan salah satu solusi yang tepat mengingat sebuah tenda tiup berukuran 6m x 10m dapat menampung 50 orang penduduk dan perlengkapan darurat lainnya. Bangunan tenda darurat berupa air inflated structure ini diharapkan dapat mempermudah pemerintah dalam menangani masalah bencana dan akan menjadi model fasilitas penanggulangan bencana pada skala lokal (Surabaya), regional (Jawa Timur) maupun nasional bahkan pada taraf internasional yang hingga kini belum banyak dilakukan penyiapan fasilitas daurat serupa. Penyebarluasan teknologi dan perlengkapan tenda darurat menggunakan bangunan air inflated structure ini pada skala nasional akan sangat membantu pihak pemerintah dan masyarakat dimana sewaktu-waktu terjadi musibah bencana akan cepat dapat teratasi masalah penampungan penduduk korban bencana tersebut. Tabel 1. Tahapan, Luaran, dan Indikator Capaian Penelitian Tahapan Penelitian Luaran 2013 Perancangan, Pembuatan Prototipe Air dan Pengujian Air Inflated Inflated Structure Structure 2014 Pengujian dan Uji Lapangan dan Pengembangan Prototipe Pengembangan Air Inflated Structure di Prototipe Air wilayah rawan bencana Inflated Structure di Kab Blitar



510 – Bidang Struktur



Indikator Capaian 1 unit Prototipe Air Inflated Structure telah diuji Lab 1 unit Prototipe Air Inflated Structure yang telah diuji Lab dan diuji di Lapangan



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2. Variabel Dan Uji Penelitian Variabel Cara Pengujian Alat Uji a. Kekuatan dan Pemilihan jenis bahan membran yang Uji tarik >100 kg ketahanan bahan paling kuat dan tahan Uji bakar >70% membran struktur  uji kekuatan bahan  uji ketahanan terhadap cuaca b. Efisiensi Sistem Pemilihan terhadap berbagai katagori dan Komponen untuk mendapatkan yang paling efektif. Struktur  Komponen struktur  Jenis sambungan



Kualitatif: Memperhatikan kemudahan dan efisiensi dalam membuat dan memasang



c.



Kecepatan proses pengangkutan, perakitan, pemasangan, pembongkaran



Stopwatch



d.



Kondisi termal Kuantitatif:  Meneliti kondisi bangunan tenda bangunan dan Termometer sebelum dan selama dihuni: suhu dan kenyamanan termal kelembaban di dalam dan luar bangunan pengguna untuk fungsi bangunan  Meneliti aspek kenyamanan termal penghuni selama berada di dalam Penampungan bangunan Korban Bencana



    



Waktu dan sistem pembuatan Waktu dan sistem pengangkutan Waktu dan sistem perakitan Waktu dan sistem pemasangan Waktu dan sistem pembongkaran



3. HASIL PENELITIAN



Gambar 1. Uji Panas dan Uji Tarik terhadap Material Air Inflated Structure di Lab



Bidang Struktur - 511



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 2. Pabrikasi Tenda 21 Hari



Gambar 3. Instalasi 3menit & Pemasangan 3menit



Gambar 4. Bongkar 3menit & Packing 3menit



512 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 5. Grafik Suhu Ruangan Air Inflated Structure Desember 2013 Pengujian di Lab Teknik Sipil Univ Narotama Surabaya



Gambar 6. Grafik Suhu Ruangan Air Inflated Structure Juli 2014 Pengujian di Lab Bahan Univ Merdeka Malang



Gambar 7. Grafik Suhu Ruangan Air Inflated Structure Agustus 2014 Pengujian Lapangan di Area Kantor BUMD Kab Blitar



4. KESIMPULAN Bangunan air inflated structure di wilayah rawan bencana sangat sesuai, disebabkan kecepatan, kemudahan dan kenyamanan dalam menampung korban bencana. Terbukti dalam Uji Laboratorium dan Uji Lapangan didapatkan hasil yang handal meliputi kuat



Bidang Struktur - 513



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean uji tarik hingga 218,3 kg, daya tahan material >700C, instalasi 3menit, pemasangan 3menit dan pembongkaran 3menit serta suhu dalam ruangan 5%. Tetapi pasir dari Kec.Rogojampi ini tetap digunakan karena memanfaatkan material yang ada di Banyuwangi sekaligus mencari inovasi untuk mengembangkan material yang tidak masuk persyaratan. Tabel 2. Karakteristik Pasir Hasil N Jenis Pengujian Pengujia o n 1 Berat jenis 2,11 2 Penyerapan air 2,51% 3 Kadar lumpur 8,8%



Persyarata n 2,5-2,7 2% 13%. Adanya air yang terperangkap di dalam paving block paper sludge lambat laun akan terlepas secara bertahap sebagai fungsi waktu pada saat pengerasan. Pengaruh penambahan sludge menunjukkan besarnya nilai penyerapan air cenderung meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya reaksi eksotermal antara CaO dan SiO2, yang akan menimbulkan panas, serta gelembung-gelembung gas (CO2) maupun H2O yang terbentuk selama proses pencetakan dan pada saat pengerasannya justru akan terurai [4]. 4. Pengujian kuat tekan paving block Paving block diuji kuat tekan pada umur 7 hari, 14 hari, 21 hari dan 28 hari. Pengujian ini dilakukan berdasarkan SNI-03-0691-1996 tentang Bata Beton (Paving Block). Hasil pengujian kuat tekan paving block dengan campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% disajikan pada gambar 4.



Gambar 4. Kuat Tekan Paving Block Gambar 4 menunjukkan grafik hasil pengujian kuat tekan dari umur pengujian ke 7, 14, 21 dan 28 hari dengan variasi campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Dari kuat tekan paving block tersebut dapat diketahui untuk paving block tanpa limbah/0% paper sludge, 10% paper sludge dan 20% paper sludge mengalami kenaikan kuat tekan seiring dengan bertambahnya umur pengujian, dan paving block dengan campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, ini masuk kedalam mutu A pada pengujian ke 28 hari yang dapat digunakan untuk perkerasan jalan menurut SNI. Untuk paving block dengan campuran paper sludge 30% juga mengalami kenaikan kuat tekan seiring dengan bertambahnya umur pengujian, dan masuk mutu C pada pengujian ke 28 hari yang dapat digunakan untuk pejalan kaki menurut SNI. Sedangkan pada paving block dengan campuran paper sludge 40% mengalami fluktuasi kuat tekan dan termasuk



Bidang Struktur - 523



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dalam mutu D pada pengujian ke 28 hari yang dapat digunakan untuk taman kota menurut SNI, hal ini dikarenakan pada saat pencampuran bahan-bahan di tempat pengadukan campuran kurang homogen, karena paper sludge terlalu banyak sehingga sulit bercampur dengan material yang lain atau dapat terjadi karena pada saat proses penekanan paving block di pressing machine tidak sama antara satu palet pertama dan kedua, sehingga terjadi perbedaan baik kuat tekan ataupun dimensi dari kedua hasil pressing paving block tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kuat tekan yang dihasilkan dari paving block dengan bahan tambahan paper sludge 10% dan 20% memenuhi kuat tekan yang direncanakan, yaitu paving block dengan campuran paper sludge dapat mencapai kuat tekan 200 kg/cm² dan termasuk mutu B yang digunakan untuk tempat parkir mobil. Sedangkan untuk campuran 30% dan 40% tidak memenuhi rencana kuat tekan. Variasi masa curing/perawatan yang dilakukan pada umur 7, 14, 21 dan 28 hari, dapat mempengaruhi kuat tekan paving block. Perlakuan curing 28 hari, memiliki pengaruh terhadap kekuatan tekan yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan curing 7 hari. Hasil diatas juga menunjukkan adanya hubungan kuat kuat tekan dengan karakteristik bahan-bahan yang digunakan, Faktor yang menyebabkan berkurangnya kekuatan paving block seiring penambahan paper sludge tidak lepas dari proses hidrasi yang dialami oleh paving block hasil reaksi dari air, semen, dan paper sludge. Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa paper sludge banyak mengandung kapur (CaO) akan tetapi sedikit kandungan silika (SiO2), yang kedua unsur tersebut sangat berperan dalam proses pengerasan semen. Kekurangan atau kelebihan kedua unsur tersebut juga akan berdampak pada menurunnya kekuatan semen. Paper sludge memiliki kandungan kapur (CaO) hampir setara semen, sedangkan dalam semen kandungan kapur sudah seimbang. Jika akibat penambahan paper sludge kandungan kapur (CaO) dalam semen menjadi bertambah, maka hal itu akan menyebabkan naiknya panas hidrasi sehingga malah berakibat hancurnya pasta semen. Sedangkan jika kekurangan kandungan silika (SiO2) maka proses pengerasan semen akan terhambat. Seperti halnya dalam paper sludge, kandungan silikanya (SiO2) hanya 2,35% sangat jauh jika dibandingkan dengan semen. Sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan silika jika semen dikurangi [5]. 4. KESIMPULAN Penelitian ini dapat disimpulkan antara lain: 1. Berat volume paving block pada umur pengujian ke 28 hari untuk campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% sebesar 1,88 gr/cm³, 1,84 gr/cm³, 1,75 gr/cm³, 1,65 gr/cm³ dan 1,57 gr/cm³. Berat volume untuk setiap variasi campuran paper sludge mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur pengujian. 2. Berat jenis untuk setiap variasi campuran dites pada umur 28 hari. Untuk campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% didapatkan berat jenis sebesar 2,05 gr/cm³, 2,04 gr/cm³, 2,02 gr/cm³, 1,9 gr/cm³ dan 1,83 gr/cm³. 3. Penyerapan air dan porositas paving block, dilakukan pengujian pada umur 28 hari untuk setiap variasi campuran. Untuk campuran paper sludge 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% didapatkan penyerapan air sebesar 4,53%, 5,81%, 7,10%, 7,90% dan



524 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 9,63% dan memenuhi standart SNI-03-0691-1996 karena kurang dari 10%. Dan porositas paving block sebesar 8,46%, 10,45%, 1245%, 13,52% dan 15,60%. 4. Nilai kekuatan tekan paving block pada umur 28 hari, untuk campuran 0%, 10% dan 20% paper sludge mencapai 401,26 kg/cm², 400,30 kg/cm² dan 388,43 kg/cm², dan termasuk mutu A, campuran 30% mencapai 155,70 kg/cm² dan termasuk mutu C dan untuk campuran 40% mencapai 87,06 kg/cm² dan termasuk mutu D menurut SNI-03-0691-1996. Sifat karakteristik paving block dengan penambahan paper sludge yang didapatkan yaitu semakin besar campuran paper sludge maka akan menurunkan kuat tekan dari paving block. 5. Paving block dengan variasi campuran paper sludge sebanyak 30% dan 40% tidak masuk kedalam mutu awal yang direncanakan yaitu mutu B yang digunakan untuk tempat parkir mobil dengan kuat tekan rata-rata 200 kg/cm².



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Hardiani, Sugesty, 2009. Pemanfaatan Limbah Sludge Industri Kertas Sigaret Untuk Bahan Baku Bata Beton. Berita Selulosa, Vol.44, No.2, Desember Hal.86-98, Balai Besar Pulp dan Kertas, Bandung. 2. Husni, M.F. 2013. Pemanfaatan Limbah Sludge Pabrik Kertas Sebagai Bahan Pengganti Penggunaan Semen Dalam Uji Mortar, Skripsi, Fakultas Teknik Jurusan Studi Teknik Sipil, UNS, Semarang. 3. Khusna, H. 2013. Analisis Kandungan Kimia Dan Pemanfaatan Sludge Industri Kertas Sebagai Bahan Pembuatan Batako, Skripsi, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNS, Semarang. 4. Lianasari dan Paiding, (2013). Penggunaan Limbah Bubur Kertas Dan Fly Ash Pada Batako (202M). Prodising Konferensi Nasional, Teknik Sipil 7 (Kontes 7), UNY, Yogyakarta. 5. Sihombing, B 2009. Pembuatan Dan Karakterisasi Batako Ringan Yang Dibuat Dari Sludge (Limbah Padat) Industri Kertas–Semen. Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 6. SNI 03-0691-1996, Tentang Bata Beton (Paving Block). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.



Bidang Struktur - 525



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



526 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



STUDI EKSPERIMENTAL RETROFIT KOLOM BETON BERTULANG MENGGUNAKAN CARBON REINFORCED POLYMER (CFRP) JACKETING Parmo1; Tavio1; Agus Sulistiawan1; dan Karmila Achmad4 1



Dosen Teknik Sipil, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya, Jl. Ahmad Yani No. 117 Surabaya, Telp. 081230363478 email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 031-5927540, email:[email protected] 3 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Manokwari Selatan, Telp. 081222626178, email:[email protected] 4 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Balikpapan, Telp. 085247271867, email: [email protected]



ABSTRAK Sebagai negara yang menempati zona tektonik yang sangat aktif, Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam gempa bumi. Persoalan yang timbul pasca terjadinya gempa pada bangunan antara lain adalah layak atau tidaknya bangunan tersebut untuk dimanfaatkan kembali. Retrofit terhadap elemen struktur yang mengalami kerusakan ringan akibat gempa adalah salah satu cara yang bisa diambil sehingga kekuatan dan daktilitas dapat kembali ke kondisi awal saat direncanakan atau bahkan lebih baik. Berbagai metode retrofit dapat dijadikan solusi dalam rangka mengembalikan dan atau meningkatkan kekuatan dan daktilitas elemen struktur salah satunya adalah metode perkuatan dengan Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP). Penelitian eksperimental ini dilaksanakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kekuatan dan daktilitas kolom setelah diberi kerusakan kemudian dalakukan retrofit menggunakan CFRP. Dalam penelitian ini diuji 2 buah kolom masing-masing berpenampang persegi, dengan ukuran tinggi 350 mm, lebar 350 mm dan panjang 1100 mm. Kuat tekan beton rata-rata digunakan f‘c = 20,34 Mpa, tegangan leleh tulangan baja longitudinal fy = 549,94 Mpa, tegangan ultimate CFRP fu = 409,71 Mpa. Pengujian dilakukan dengan memberikan beban aksial konstan 748 kN dan beban lateral siklik metode displacemet control untuk mensimulasikan beban gempa.. Hasil penelitian eksperimental diperoleh penambahan kekuatan kolom setelah diretrofit sebesar 92,10%. Parameter daktilitas yang dipergunakan adalah daktilitas perpindahan (µΔ). Dari hasil ekperimen diperoleh nilai daktilitas perpindahan (µΔ) untuk C-1 sebesar 2,71 dan C-1RC sebesar 2,17 sehingga terjadi penurunan nilai µΔ sebesar 19,9%. Kerusakan kolom retrofit terjadi pada daerah sendi plastis yang didahului dengan debonding antara CFRP dan beton, robek pada CFRP, spalling pada beton dan selanjutnya kolom mengalami kerusakan pada kolom sisi tarik setelah beban lateral turun ± 20% dari Phmaks dan selanjutnya mengalami keruntuhan. Kata kunci: CFRP, kekuatan, daktilitas, kolom beton bertulang.



1. PENDAHULUAN Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana alam gempa bumi. Hal ini disebabkan wilayah indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut yang pada akhirnya menimbulkan gempa bumi baik dalam skala kecil, ringan ataupun besar 5. Persoalan yang sering timbul pasca terjadinya gempa bumi yang berkaitan dengan bangunan gedung atau jembatan adalah layak atau tidaknya bangunan tersebut setelah



Bidang Struktur - 527



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean mengalami kerusakan akibat gempa untuk dipergunakan kembali. Retrofit pasca gempa perlu dilakukan terhadap bangunan-bangunan dalam upaya mengembalikan kekuatan dan daktillitas bangunan-bangunan tersebut pada kondisi awal saat direncanakan atau bahkan lebih baik. Daktilitas merupakan salah satu persyaratan dasar pada struktur yang menahan pembebanan bolak-balik (siklik), seperti gempa bumi. Dimana pembebanan siklik merupakan representatif yang tepat untuk menggambarkan beban gempa pada struktur. Teknik perbaikan struktur dapat dilakukan misalnya dengan concrete jacketing dan steel plate bonding. Namun, dua alternatif metode perbaikan tersebut dirasa kurang efektif dan efisien dikarenakan antara lain: membutuhkan bekesting yang cukup besar, membutuhkan waktu yang lama, memerlukan alat-alat bantu seperti penyangga dengan ruang kerja yang cukup luas, bersifat destruktif, menimbulkan persoalan ikatan beton lama dengan beton baru, perbedaan tingkat penyusutan beton lama dengan beton baru, penambahan beban mati pada struktur, menimbulkan persoalan keselarasan desain akibat penambahan/penebalan beton, pelat baja harus didesain khusus, kesulitan saat pengangkatan dan pemasangan, pengeboran dan pembautan pada beton menimbulkan penambahan tegangan, ketahanan terhadap korosi yang kurang sehingga diperlukan lapisan pelindung tambahan dan kualitas hasil pekerjaan yang sulit dikontrol. Penggunaan material Fiber Reinforced Polymer (FRP) untuk retrofit struktur dapat digunakan sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan struktur seperti yang diuraikan diatas. Keunggulan dari perkuatan FRP ini yaitu bahan lebih ringan, kekuatan tarik tinggi, tidak terjadi korosi sehingga memiliki durabilitas (keawetan) yang baik, mudah dalam pemasangannya sehingga menghemat waktu serta bahannya mudah untuk dibentuk (fleksibel). Pada penelitian ini digunakan Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP) untuk perbaikan (retrofit) kekuatan dan daktilitas struktur. CFRP memiliki batas kekuatan tarik (ultimate tensile strength) lebih tinggi dibandingkan material FRP lainnya, sehingga material ini dapat dijadikan suatu alternatif dalam teknik retrofitting dan perbaikan struktur bangunan yang mengalami kerusakan baik akibat gempa maupun akibat kerusakan lainnya. Perbandingan performance dapat dilihat pada tabel 1 sedangkan perbandingan grafik kurva tegangan-regangan material GFRP, CFRP, AFRP dan baja dapat dilihat sesuai gambar 1 2. Material CFRP yang akan digunakan seperti ditampilkan pada gambar 2. Penelitian ini akan meninjau elemen struktur kolom karena kegagalan kolom akan berakibat pada keruntuhan elemen struktur lainnya. Dengan adanya kerusakan elemen struktur kolom maka resiko keruntuhan struktur bangunan secara keseluruhan akan semakin tinggi. Tabel 1. Perbandingan Performance FRP No 1 2 3 4 5 6 7



Performance Alkaline Resistant UV Resistant Electrical Conductivity Compressive vs Tensile Strength Elastic Modulus FRP vs Steel Titik Lebur (Melting Point) Creep Rupture



528 – Bidang Struktur



CFRP Baik Ya Ya Setara Setara 650oC Baik



Glass Buruk Ya Tidak Setara Lebih rendah 1000oC Buruk



Aramid Baik Tidak Tidak Lebih Rendah Lebih Rendah 200oC Sedang



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 1. Perbandingan kurva tegangan-regangan CFRP, GFRP, AFRP dan baja



Gambar 2. Tyfo SCH system (a) uni-directional carbon composite CFRP



(b)GFRP



Kapasitas aksial nominal maksimum kolom nonslender perkuatan FRP dengan pengekangan tied adalah: (



)



0







(



)



1 ............................................(1)



dimana Ag = luas bruto beton (mm2); Ast = luasan tulangan memanjang baja (mm2); f‘cc = kuat tekan beton terkekang (MPa); fy = tegangan leleh baja longitudinal (MPa); Pn = kapasitas aksial nominal (N) danf = faktor reduksi FRP. Daktilitas menjadi pertimbangan dalam mendesain struktur terutama ketika struktur menerima beban (c) AFRP gempa. Material ductile mampu menyerap sejumlah energi yang besar sebelum terjadi kegagalan dimana material ini mampu berdeformasi besar sebelum hancur dengan parameter daktilitas seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.



Bidang Struktur - 529



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



(a) (b) 3 Gambar 3. (a) Section ductility parameters dan (b) Member ductility parameters1 μ = u/y ............................................................................................................(2) μ =u/y ............................................................................................................(3) δ =u /L .............................................................................................................(4) dimana μ = curvature ductility factor; μ = displacement ductility factor; u = curvature ultimit (m-1); y = curvature leleh (m-1); u = displacement ultimit (m); y = displacement leleh (m) dan L = tinggi efektif kolom (m)



2. PROGRAM EKSPERIMENTAL Desain Benda Uji Spesimen yang diuji adalah kolom persegi dengan ukuran 350 x 350 mm dan tinggi 1100 mm. Pada bagian bawah kolom dijepit setinggi 500 mm. Asumsi yang digunakan adalah kolom pendek dengan tumpuan jepit-bebas. Pada bagian atas kolom dibiarkan bebas bergerak sesuai dengan beban yang bekerja. Mutu beton yang digunakan adalah f‘c = 20,34 MPa, mutu baja untuk tulangan longitudinal adalah fy = 549,94 MPa dengan jumlah tulangan longitudinal 8D19 dan mutu baja untuk tulangan transversal 386,52 Mpa berdiameter tulangan 10 mm dengan jarak antar tulangan 200 mm. Benda uji ditampilkan pada gambar 4 dan spesifikasi benda uji ditampilkan pada tabel 2. Jumlah spesimen ada 2 kolom yang masing-masing terdiri dari kolom original (C-1) yaitu kolom tanpa perkuatan fiber atau kolom original (C-1) dan kolom retrofit dengan perkuatan CFRP 1 lapis arah serat horisontal (C-1RC). Yang dimaksud dengan kolom retrofit disini adalah kolom uji yang telah diberi kerusakan awal kemudian diperbaiki baik dengan metode grouting dan injeksi.



530 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 .



(a)



(b) Gambar 4. (a). Benda uji C-1 dan (b). Benda Uji C-2RC



Tabel 2. Spesifikasi benda uji Ukuran Kolom



Tulangan



No Benda uji 1



Benda uji kolom C-1



Kuat tekan beton (Mpa) 20,34



B (mm) 350



H (mm) 350



L (mm) 1100



Long. 8D19



2



C-1RC



20,34



350



350



1100



8D19



CFRP Jacketing



Trans. Ø10 - 200



Fu, MPa -



Tebal / lapis (mm) -



Jumlah Lapisan -



Ø10 - 200



409,7



1.0



1



3. KARAKTERISTIK MATERIAL BENDA UJI Material Beton Beton yang direncanakan pada penelitian adalah beton normal dengan kuat tekan beton rencana 28 hari fc` = 20 MPa dengan deviasi standar 5 MPa serta memiliki nilai slump (12 ± 2) cm. Pada saat dilakukan pengecoran benda uji, dilakukan pengambilan sampel uji kontrol. Sampel uji kontrol tersebut berupa silinder yang memiliki diameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Pengujian kuat tekan beton dilakukan pada umur 7 hari, 28 hari, dan 47 hari. Hasil pengujian kuat tekan beton dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji kuat tekan beton Deskripsi Kuat Tekan Beton 7 hari Kuat Tekan Beton 28 hari Kuat Tekan Beton 47 hari



Benda Uji 1 12,11 18,44 22,29



Kuat Tekan Beton (Mpa) Benda Benda Benda Benda Uji 2 Uji 3 Uji 4 Uji 5 12,39 12,56 13,41 11,71 18,10 18,89 17,87 19,63 22,12 21,55 21,33 21,49



Benda Uji 6 12,73 19,35 20,65



Rata-rata (Mpa) 12,48 18,71 20,34



Bidang Struktur - 531



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Material Baja Baja tulangan yang dipakai untuk tulangan longitudinal adalah ulir (deform) D19 mm sedangkan tulangan transversal (sengkang) menggunakan tulangan baja polos 10 mm. Hasil pengujian tarik tulangan baja dapat dilihat pada tabel 4. . Tabel 4. Hasil uji tarik baja tulangan Material baja Tulangan ulir diameter 19 mm Tulangan polos diameter 10 mm



Kuat leleh (Mpa) 549,94 386,52



Kuat Ultimit (Mpa) 530,08 756,17



Material FRP Benda uji FRP berupa material carbon composite sebanyak 3(tiga) buah benda uji. Gambar pengujian dapat dilihat pada gambar 5 dan hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Hasil uji tarik Carbon Composite Material Carbon Composite Benda uji 1 Benda uji 2 Benda uji 3



tb (mm)



Lb (mm)



Pj (mm)



Pjs (mm)



3,10 3,25 2,70



26,10 25,87 24,90



246,55 247,70 245,50



412 410 413



W (gr) 63 60 58



P (N)



Fu (N/mm2)



30500 31000 32500



376,96 368,75 483,42



Fu ratarata (MPa) 409,71



Keterangan : Tb = Specimen Thickness Lb = Specimen Width Pj = Gauge Length Pjs = Gauge Length + Tab Length W = Weight



4. INSTRUMENTASI DAN TEST SETUP Instrumentasi Strain gauge dipasang uUntuk masing-masing spesimen, Strain gauge baja dipasang pada tulangan longitudinal sebanyak 4 buah, pada sengkang sebanyak 4 buah dan 2 buah strain gauge dipasang pada fiber pada sisi samping kiri dan kanan setinggi 500 mm dari dasar kolom. Khusus untuk kolom original dipasang 2 buah strain gauge untuk beton dengan posisi yang sama seperti penempatan strain gauge fiber. Pemasangan strain gauge dapat dilihat pada gambar 5a. LVDT dipasang untuk memonitor besarnya peralihan dan rotasi pada daerah yang ditinjau selama pengujian. Jumlah keseluruhan LVDT untuk pengujian adalah 18 buah dengan posisi masing-masing 8 buah diletakkan pada zona sendi plastis, 2 buah dibagian tengah tinggi efektif kolom, 2 buah diatas dan 6 buah dibawah sebagai kontrol alat bantu pelat baja bagian bawah. Pemasangan LVD pada benda uji dapat dilihat seperti pada gambar 5b.



532 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



(a)



(b)



Gambar 5. (a) Pemasangan Strain gauge dan (b) Setting Up LVDT Test Setup Pelaksanaan pengujian dilakukan dengan menempatkan bendauji kolom berdiri tegak pada 2 (dua) buah rangka baja ( loading frame) yang diletakkan diatas lantai kerja yang dikunci pada ujung-ujung balok tumpuan dengan baut. Untuk mendapatkan asumsi yangn diinginkan maka dalam penelitian ini dibuat alat bantu tambahan berupa pelat baja masing-masing diletakan pada dasar kolom, samping kolom dan pada kepala kolom. Peralatan utama yang digunakan dalam pengujian adalah loadcell, hydraulic jack, hydraulic actuator, pompa hidrolik, strain meter dan18 buah LVDT. Load cell yang digunakan sebanyak 3 buah yang masing-masing diletakan pada kepala kolom sebanyak 2 buah yang berfungsi sebagai pembaca beban aksial dan 1 buah load cell diletakan pada samping kolom yang berfungsi sebagai pembaca beban siklik. Test Setup pengujian ditunjukkan pada gambar 6.



Gambar 6. Test Setup



Bidang Struktur - 533



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pola Pembebanan Besar beban aksial yang bekerja adalah konstan sebesar 748 kN dan dilakukan variasi untuk beban lateral siklik dengan metode displacement control. Pola pembebanan mengacu pada ACI 374.1-05 4 dengan rasio drift /L (x102) : 0,2; 0,25; 0,35; 0,5; 0,75; 1,0; 1,4; 1,75; 2,20; 2,75; 3,5 dan seterusnya. Pola pembebanan dapat dilihat seperti gambar 7. Pengujian dihentikan saat terjadi kegagalan specimen (failure). Pada benda uji C-1RC, untuk memberi kerusakan pada benda uji pengujian dihentikan pada drift 2,2 % selanjutnya benda uji dilakukan retrofiting dengan cara grouting dan injeksi dan setelah umur memenuhi dilanjutkan lagi proses pengujian sampai benda uji hancur.



Gambar 7. Pola pembebanan



5. PEMBAHASAN HASIL PENGUJIAN Pada kolom C-1 retak awal terjadi pada beban lateral sebesar 226,4 kN di drift rasio 1,4%. Spalling kolom terjadi pada saat beban mencapai 250,1 kN drift rasio 2,75% yang menyebabkan tulangan longitudinal terlihat dengan jelas. Pmaks terjadi pada beban lateral 288,0 kN drift rasio 3,50%. Kerusakan kolom C-1 paling parah terjadi pada zona sendi plastis sampai ketinggian 600 mm di atas penjepit (pondasi) kolom. Kegagalan diakibatkan spalling beton dan hancurnya inti beton serta tekuk tulangan longitudinal. Selain di zona sendi plastis, kerusakan juga terjadi pada kolom bagian atas, meskipun tidak sebesar pada zona sendi plastis. Kegagalan yang terjadi pada C-1 seperti ditampilkan pada gambar 8.



. Gambar 8. Kerusakan lentur kolom C-1



534 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Pada kolom C-1RC retak awal terjadi di daerah sendi plastis diatas penjepit kolom pada step ke 686, siklus kedua, drift rasio 2,75% dan beban lateral 370 KN. Keretakan ini terlihat dalam bentuk sobekan pada permukaan lapisan CFRP sepanjang  7 Cm. Pada step ke 728 siklus pertama drift rasio 3,50% dan beban lateral 373,6 KN terlihat permukaan lapisan CFRP pada sisi kiri kolom (sisi yang berseberangan dengan aktuator) di daerah sendi plastis mulai menggelembung dan beberapa serat putus. Dan Pmaks terjadi pada step ke 810 siklus ketiga drift rasio 5,40% dan beban lateral 438,2 KN panjang gelembung pada permukaan CFRP sudah mencapai 10 Cm. Dan pada step ke 860 siklus pertama drift rasio 5,50% dan beban lateral 376,9 KN permukaan daerah sendi plastis bagian belakang kolom sudah tidak rata, terjadi sobekkan dan selanjutnya hancur seperti pada gambar 9. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan terjadi peningkatan kapasitas beban lateral C-1 terhadap C-1RC sebesar 92,10 %. Grafik hubungan beban lateral dan displacement dapat dilihat pada gambar 10.



Gambar 9. Kerusakan lentur kolom C-1RC



( a ) Kolom C-1 (b) Kolom C-1RC Gambar 10. Grafik hubungan P - 



Bidang Struktur - 535



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Dari hasil ekperimen diperoleh nilai daktilitas perpindahan (µΔ) untuk C-1 sebesar 2,71 dan C-1RC sebesar 2,17 sehingga terjadi penurunan nilai µΔ sebesar 19,9%. Grafik skeleton P- dapat dilihat pada gambar11.



Gambar 11. Grafik Skeleton hubungan P - 



6. KESIMPULAN Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa kerusakan kolom uji terjadi pada daerah sendi plastis yang dimulai dengan terjadinya retak, spalling, dan kemudian kolom hancur. Untuk kolom retrofit CFRP dimulai dengan adanya debonding material CFRP dengan beton yang ditandai dengan adanya gelembung, serat putus, robek pada CFRP dan kemudian kolom hancur. Terjadi peningkatan kapasitas lateral antara C-1 dengan C1RC sebesar 92,10 %. Namun untuk daktilitas perpindahan mengalami penurunan sebesar 19,9%. Pada penelitian kedepan untuk meningkatkan performance material CFRP perlu dibari penambahan jumlah layer.



7. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada FYFE Co. LLC Singapore dengan perwakilan di Indonesia PT. Master Solusi Indonesia (MSI) Surabaya atas bantuan dalam menyediakan material CFRP serta aplikasinya.



8. DAFTAR PUSTAKA 1. Sheikh, S. A,and Khoury, S. S. (1993) ―Confined Concrete Columns With Stubs‖ ACI Journal Title No. 90-S44. 2. Hartono, Santosa, (2003) ―Concrete Repair and Maintenance – Perkuatan Struktur dengan FRP‖, John Hi-Tech Idetama, hal 150-162, Jakarta. 3. Hosseini, A, Khaloo, A. R, dan Fadaee, S. (2005) ―SeismicPerformance of High Strength Concrete Square Columns Confined With Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRPs)‖ Canadian Journal of Civil Engineering, pp 569 4. Iacobucci, R., D., Sheikh, S., A., and Bayrak, O. (2003) ―Retrofit of Square Concrete Columns with Carbon Fiber-Reinforced Polymer for Sesmic Resistane‖ ACI Stuctural Journal. V.100, No. 6. 5. Tim Revisi Peta Gempa Indonesia (2010) ―Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010‖ Bandung.



536 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGARUH PENAMBAHAN PIROPILIT TERHADAP KUAT TEKAN BATA BETON RINGAN PASCA BAKAR Retno Anggraini1, Ir. Ristinah2 dan I Dewa Nyoman Yoga Prawira3 1



Universitas Brawijaya, Jl. MT.Haryono 167, Malang, [email protected] Universitas Brawijaya, Jl. MT.Haryono 167, Malang, [email protected] 3 Universitas Brawijaya, Jl. MT.Haryono 167, Malang, [email protected] 2



ABSTRAK Bata beton ringan merupakan material yang mulai banyak digunakan di pekerjaan teknik sipil diantaranya sebagai alternatif material penyusun bata beton ringan.sebagai Sedangkan Piropilit merupakan material alam dengan kandungan Silika yang cukup tinggi dan memiliki nilai konduktivitas tinggi dalam menahan suhu termal tinggi, yang terbukti dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari bahan konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku bata beton ringan dengan penambahan piropilit yang mengalami pembakaran dalam hal ini yaitu perilaku kuat tekan, Pengujian dilakukan dengan metode pengujian laboratorium dengan membuat benda uji bata beton dengan dimensi benda uji 60x20x10 cm, dan pembakaran pada burner dengan suhu 800 oC., serta penambahan piropilit dengan ukuran butiran lolos saringan no 200 sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%. Kemudian dilakukan pengujian kuat tekan pada bata beton dengan menganalogikan menyerupai pengujian batako SNI 03-0348-1989. B Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan jumlah piropilit yang berupa filler sebanyak 10-25% dari berat semen, akan meningkatkan kekuatan bata ringan pasca bakar pada suhu 800oC seiring dengan meningkatnya jumlah penambahan piropilit di dalamnya. Peningkatan kekuatan bata beton meningkat mencapai 200% jika dibandingkan dengan variasi 0% , pada variasi penambahan 25% piropilit. Dari data penelitian yang didapatkan bahwa jumlah persentase (%) piropilit maksimum belum dapat disimpulkan sebab nilai peningkatan kekuatan semakin tinggi dan semakin baik sifatnya seiring dengan peningkatan penambahan piropilit ke dalam komposisi bata ringan tersebut, sehingga belum ditunjukkan nilai yang optimum untuk penambahan piropilit. Kata kunci : Bata ringan,piropilit, pasca bakar, kuat tekan,



1. PENDAHULUAN Bata ringan merupakan salah satu solusi yang diperlukan bagi permasalahan konstruksi, sebab dapat mempermudah dalam pekerjaan konstruksi bangunan. Selain itu penggunaan bata ringan diharapkan mampu memberikan ketahanan suatu bangunan terhadap efek kebakaran.. Dalam mengatasi masalah ini bata ringan yang tahan temperatur tinggi pada umumnya masih didatangkan dari luar negeri, terutama bahan tahan temperatur tinggi jenis magnesit. Peningkatan kebutuhan bata ringan di masa mendatang memacu penulis untuk melakukan penelitian mengenai bata ringan yang tahan terhadap temperatur tinggi. Mineral piropilit merupakan bahan yang bersifat isolator atau dapat meredam panas. Piropilit adalah paduan dari alumunium silikat, yang mempunyai rumus kimia Al2O3.4SiO2H2O. Piropilit merupakan batuan jenis metamorf yang memiliki sifat dapat teraktifasi oleh pengaruh asam dan panas. Untuk provinsi Jawa Timur, Bahan ini



Bidang Struktur - 537



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean banyak terdapat di daerah Malang selatan tepatnya di kecamatan Sumbermanjing Kabupaten Malang. Melihat peluang potensi lokal ini maka batuan metamorf jenis piropilit ini dapat dilakukan pengembangan pengolahan bahan batuan lebih detail lagi terutama dapat dilakukan untuk bahan yang tahan temperatur tinggi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari bata ringan terhadap ketahanannya terhadap panas dari api. Dengan meneliti bagaimanakah pengaruh penambahan piropilit sebagai bahan campuran pembuatan beton ringan terhadap kekuatan tekan bata ringan khususnya yang mengalami temperatur tinggi.



2. KAJIAN PUSTAKA Bata Ringan Bata ringan adalah bata yang memiliki nilai bobot atau berat jenis yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan batu bata lainnya. Pada umumnya berat bata ringan berkisar antara 600-1600 kg/m3. Akibat dari bobot yang cukup ringan tersebut maka bata ringan ini banyak digunakan dalam pembangunan konstruksi yang tinggi, dan konstruksi bangunan tahan gempa sebab dalam perhitungan gempa menurut SNI-1726-2002 besarnya beban gempa antara lain tergantung dari berat bangunan, jenis tanah, dan lokasi bangunan. Tabel 1. Perbandingan Bata Merah dengan Bata ringan Variabel Bata Merah Ukuran 24x12x6 cm Bahan dasar Tanah liat atau Lempung Density 2,2-2,4 gr/cm3 Sumber : okezone.com/bata-merah-vs-bata-ringan.htm,



Bata ringan 60x20x10 Semen, Pasir dan bahan lainnya < 1,8 gr/cm3



Jenis dari bata ringan ada dua, yaitu bata ringan berpori (aerated concrete) dan bata ringan tidak berpori (non aerated concrete). Bata ringan berpori adalah bata yang dibuat agar strukturnya terdapat banyak pori. Bata semacam ini diproduksi dengan menggunakan agregat ringan, misalnya : batu apung (pumice), diatomite, scoria, volcanic cinders, dan dicampur dengan bahan baku dari campuran semen, pasir, gypsum, CaCO3 dan katalis aluminium. Dengan adanya katalis Al selama terjadi reaksi hidrasi semen akan menimbulkan panas sehingga timbul gelembung-gelembung gas H2O, CO2 dari reaksi tersebut. Akhirnya gelembung tersebut akan menimbulkan jejak pori dalam bata yang sudah mengeras. Semakin banyak gas yang dihasilkan akan semakin banyak pori yang terbentuk dan bata akan semakin ringan. Berbeda dengan bata non aerated, pada bata ini ditambahkan agregat ringan dalam pembuatannya seperti, serat sintesis dan alami, slag baja, perlite, dan lain-lain. Pembuatan bata ringan berpori jauh lebih mahal karena menggunakan bahan-bahan kimia tambahan dan mekanisme pengontrolan yang cukup sulit, (Zulhelmi, 2010). Bata ringan dalam pembuatannya dibedakan menjadi dua yakni bata ringan AAC (Autoclaved Aerated Concrete) dan CLC (Cellular Lightwight Concrete.



538 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Tabel 2. Perbandingan Bata ringan CLC dengan AAC CLC



AAC Autoclaved Aerated Concrete Semen, Kapur, Pasir, Compound Aerasi, flyash, Energi



Sl.No.



Parameter



Cellular LightweightConcrete



1.



Bahan Dasar



Flyash, Pasir, Semen Busa senyawa, air



2.



Proses Produksi & Set up



3.



Kepadatan Kering Kg / m3 Kekuatan tekan (28 hari) Kg / m 3



Dapat diproduksi di lokasi proyek dengan menggunakan biasa beton mixer dan generator busa 400-600, 800-1000, 1200-1800



Hanya diproduksi di pabrik yang mahal dilengkapi dengan ketel uap dan Autoclaves 650, 750



10-15, 25-35, 60-250



40



4.



Sumber : http://bataringanindonesia.blogspot.com/ Standart yang berlaku untuk perencanaan Lightweight Concrete Masonry Unit ( Bata ringan) adalah : Tabel 3. Persyaratan Pembuatan Bata ringan (Lightweight Concrete Masonry Unit) No. Variabel Nilai (Imperial) Nilai (Metric) 1. Berat Jenis 119,51 kg/cm2). Piropilit Piropilit berasal dari bahasa Yunani pyt yang berarti api dan phyllon yang berarti daun atau lembaran, sedangkan phyllit ditemukan setelah kata phyllon yang berarti lembaran retak-retak. Phiropilit terletak pada formasi andesit tua yang memiliki kontrol struktur dan intensitas ubahan hidrotermal kuat. Phiropilit terbentuk pada zona ubahan argilik lanjut (hipogen) seperti kaolin, namun terbentuk pada temperatur tinggi dan pH asam. Persebarannya di Indonesia adalah Pulau Sumatera, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Pulau Sulawesi. Untuk Provinsi Jawa Timur, salah satu tempat persebarannya adalah di Kecamatan Sumbermanjing Kabupaten Malang. Kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk pakan ternak, industri kertas sebagai pengganti talk, dan lain-lain (http://www.tekmira. esdm.go.id). Adapun sifat-sifat fisika dari phiropilit adalah sebagai berikut. - Grup mineral: silikat - Susunan kimia: Al2Si4O10(OH)2 - Sistem kristal: monoklin



Bidang Struktur - 539



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean -



Belahan: sempurna, belahan dalam satu arah Kekerasan: 1 sampai 1,5 Berat jenis: 2,84 g/cm3 Kilap: mutiara di atas permukaan belahan, lemak atau kusam Warna: putih, kuning pucat, coklat kemerahan Gores/cerat: putih



Mineral phiropilit Sumbermanjing Malang Selatan mempunyai komposisi kimiawi sebagai berikut: SiO2 (84,30%), Na2O (0,64%), Fe2O3 (1,56%). Kemungkinan yang 9,41% adalah komponen TiO2, juga pengotor lain seperti senyawa-senyawa Cu, Zn dan asam humat yang sering terdapat dalam mineral. Mineral ini bersifat padatan kristalin dengan kandungan kwarsa sebesar 25,5(7)% dan rutil sebesar 0,6(8)%. Mineral phiropilit tersebut mempunyai serapan-serapan karakteristik pada bilangan gelombang 950-1250 cm-1 untuk vibrasi ulur dari O-Si-O dan Al-O-Al, bilangan gelombang 400450 cm-1 untuk vibras itekuk dari O-Si-O dan Al-O-Al, bilangan gelombang 3478 cm-1 untuk gugus hidroksil dari air dan pada gelombang 3674,7 cm-1, merupakan spectra spesifik untuk gugus OH dari gibsit. Mineral phiropilit Sumbermanjing Malang Selatan mempunyai luas permukaan spesifik sebesar 6,362 m2/g, volume pori sebesar 0,008 cm3/g dan jari-jari pori sebesar 24,116 Å. Ini menunjukkan bahwa phiropilit tersebut termasuk dalam kelompok mineral mesopori (Mutrofin, dkk, 2005). Pengaktifan Mineral Piropilit Aktivasi mineral yang mempunyai kemampuan sebagai adsorben maupun penukar anion dan kation dapat dilakukan dengan kalsinasi (cara fisik) atau dengan menggunakan larutan asam atau basa (cara kimia). Aktivasi dengan larutan asam dimaksudkan untuk mengganti kation-kation yang ada dalam rongga mineral dengan ion H+. Menurut Keren, et al., 1994, gugus fungsi paling reaktif pada permukaan mineral clay adalah gugus hidroksil. Pada piropilit adanya gugus OH-, terhubung dengan 2 jenis situs yang berperan penting dalam kemampuannya untuk adsorbsi yaitu gugus OH-, yang terikat pada permukaan lapisan oktahedral (Al(III)) dan gugus OH- yang terikat pada lapisan tetrahedral (Si(IV)). Gugus-gugus OH-yang terikat pada situs Al(III) maupun situs Si(IV) merupakan gugus yang reaktif terhadap perubahan pH. Pada pH rendah OH-akan berubah menjadi situs asam Lewis sedang pada pH tinggi akan menjadi situs basa Lewis. Secara normal, sebenarnya struktur dari piropilit terdiri dari lapisan-lapisan tetrahedral-oktahedraltetrahedral yang netral, sehingga untuk meningkatkan perannya dalam mengadsorbsi anion atau kation pengaturan pH sangat menentukan (Keren, et al., 1994). Pengaktifan piropilit dengan kalsinasi diharapkan dapat mengeluarkan molekul-molekul H2O dan kemungkinan adanya pengotor yang masih tersisa pada saat aktivasi dengan HCl saja. Pemanasan piropilit pada suhu tinggi mengakibatkan terjadinya proses dehidroksilasi dan transformasi fasa (Wang, et al., 2003). Kalsinasi sendiri mengandung pengertian sebagai proses disosiasi, misalnya disosiasi padatan aluminium hidroksida menjadi padatan aluminium oksida dan uap air.



540 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kuat Tekan Bata Ringan Bata ringan mempunyai daya tahan terhadap gaya tekan yang cukup besar. Bata ringan disusun dari bahan – bahan utama semen portland, pasir, air dan bahan tambahan untuk memberi sifat yang menguntungkan bila hal itu diperlukan untuk perencanaan konstruksi. Faktor – faktor yang berpengaruh pada kekuatan bata ringan adalah : 1. Mutu seman Portland. 2. Perbandingan adukan campuran ( banyakya semen, pasir, dan air). 3. Kualitas agregat atau gradasi agregat. 4. Faktor air semen. 5. Cara pembuatan (prosses pembuatan serta pemadatannya). 6. Bahan Tambahan yang digunakan. Hipotesis Beberapa hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian disini adalah: 1. Penambahan piropilit pada bata ringan akan meningkatkan kuat tekan setelah proses pembakaran 2. Penambahan piropilit akan memberikan nilai opti,u, pada variasi 20%



3. METODOLOGI PENELITIAN Variabel Penelitian a. Variabel Bebas : Presentase campuran piropilit 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dari berat campuran bata ringan pasca bakar b. Variabel tak Bebas :  Karakteristik bahan piropilit dengan penyerapan sebesar 19,38 %  Penggunaan Foaming Agent sebesar 0,5% dari jumlah air total  Kuat tekan bata ringan setelah pembakaran.  Suhu pembakaran sebesar 800oC.  Nilai optimum piropilit sebagai bahan tambah dalam pembuatan bata ringan pasca bakar. Identifikasi Benda Uji Benda uji yang akan digunakan disini adalah bata ringan dengan dimensi 60 x 20 x 10 cm dengan jumlah benda uji sebanyak 3 benda uji untuk setiap setiap persentase penggunaan tambahan bahan piropilit, dan variasi jumlah semen sejumlah yang sama. Tabel 4. Jumlah Benda Uji untuk semen tipe A Pengujian Benda Uji Jumlah Benda Uji untuk Tiap Persentase Piropilit sebagai Additif pada semen tipe A 0% 5% 10% 15% 20% 25% Kuat Tekan Bata ringan 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah setelah pembakaran cm



Bidang Struktur - 541



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pembuatan Benda Uji Merupakan proses pencampuran bahan-bahan tersebut menjadi suatu adonan bahan pembuat bata ringan. Piropilit ditambahkan kedalam campuran setelah menakar dan menimbang persen piropilit terhadap berat total campuran untuk satu benda uji. Dengan perbandingan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Perbandingan Nilai Komposisi Bahan Tiap Variasi Penggunaan Jumlah FAS sebesar 0,415 No Bahan Jumlah Per m3 Satuan Normal 5% 10% 15% 20% 25% 1 Semen 225.00 225.00 225.00 225.00 225.00 225.00 kg 2 Pasir lumajang 562.50 562.50 562.50 562.50 562.50 562.50 kg 3 Piropilit 0.00 11.25 22.50 33.75 45.00 56.25 kg 4 Foaming Agent 0.80 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 liter 5 Air 159.88 162.06 164.24 166.42 168.60 170.78 kg Air Fas Normal 160 160 160 160 160 160 kg Air Pengaktifan 0.00 2.18 4.36 6.54 8.72 10.91 kg Piropilit



Pengujian Pembakaran dan Proses Pendinginan Berdasarkan penelitian sebelumnya dikatakan bahwa pembakaran piropilit memiliki nilai kemampuan adsorpsi optimum piropilit dicapai pada temperatur 500oC selama 5 jam sebesar 80,81% dengan nilai kemampuan adsorpsi sebesar 121,2 mg/g, mengalami kenaikan sebesar 4,71% (Rintasari & Hamudiana, 2011). Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan suhu pembakaran sebesar 800oC dengan peningkatan waktu secara bertahap untuk menghindari ledakan pada material (explosion), kemudian ketika telah mencapai suhu 800oC maka suhu ditahan selama satu jam pada suhu yang tetap. Tungku pembakar ruang pembakar terbuat dari bata tahan api yang dilapisi besi pada bagian luarnya dengan ukuran bersih 2 x 1,5 x 1,5 m3 dan dilengkapi dengan mesin pembakar (Burner Machine) yang mempunyai 4 sumber api yang terpasang di bagian bawah, dengan dua susunan di bagian depan dan 2 lagi di bagian belakang, Termokopel adalah sensor suhu yang banyak digunakan.



542 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



.



Gambar 1. Komponen-komponen tungku http://www.thecarbonyrust.co.uk/energy/pages/home.psp



Pengujian Kuat Tekan Pengujian bata ringan ini disamakan dengan metode pengujian kuat tekan untuk batako berdasarkan SNI 03-0348-1989-7. Bata ringan yang digunakan berada dalam keadaan kering udara Kecepatan penekanan dari mulai pemberian beban sampai benda uji hancur diatur tidak kurang dari satu menit dan tidak kurang dari dua menit. Kuat tekan dihitung dengan rumus: Kuat Tekan = P/A (kg/cm2) Dengan : A= Luas penampang benda uji yang akan ditekan P = Beban maksimum



(1)



4. ANALISA DAN PEMBAHASAN Pembakaran Benda Uji Setelah benda uji berumur 28 hari, kemudian benda uji dilakukan pengujian pembakaran di dalam tungku api sampai dengan suhu sebesar 800 oC.. Proses peningkatan suhu dilakukan secara bertahap dan kenaikan suhu konstan ±30o C setiap 10 menit. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar benda uji mengalami peningkatan suhu secara bertahap untuk menghindari ledakan di dalam tungku (Explosion). Dengan mengacu pada ASTM E 119 (Fire Test of Building Construction and Material) , diagram peningkatan suhu pembakaran disajikan sebagai berikut :



Bidang Struktur - 543



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 2. Grafik Pembakaran Pemeriksaan Fisik Benda Uji Semua bahan yang telah mengalami proses pembakaran akan mengalami perubahanperubahan baik secara kimiawi ataupun secara fisik, dalam penelitian ini perubahan secara kimia tidak dibahas. Perubahan fisik yang terjadi pada benda uji setelah proses pembakaran sangat jelas terlihat dan dapat disimpulkan sebagai berikut meliputi perubahan warna dan kerusakan-kerusakan yang terjadi. Tabel 6. Perubahan Warna dan Kerusakan Benda Uji Pasca Bakar Variasi Perubahan Warna Kerusakan yang terjadi Benda uji Warna tetap - Terjadi retak rambut pada normal berwarna abu-abu sisi benda uji keputihan tidak - Benda uji sangat rapuh mengalami dalam pengangkatan perubahan yang - Kondisi benda uji rapuh signifikan tetapi masih layak diuji - Adanya pengeroposan di beberapa bagian Benda uji dengan penambahan 5%Piropilit



Warna tetap - Terjadi retak rambut pada berwarna abu-abu sisi benda uji keputihan tidak - Benda uji sangat rapuh mengalami dalam pengangkatan perubahan yang - Kondisi benda uji rapuh signifikan tetapi masih layak diuji - Adanya pengeroposan di beberapa bagian



Benda uji dengan penambahan 10%Piropilit



Warna tetap - Retak rambut yang terjadi berwarna abu-abu mulai berkurang dari benda keputihan tidak uji sebelumnya mengalami - Benda uji masih utuh perubahan yang setelah proses pengangkutan signifikan



544 – Bidang Struktur



Gambar



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Benda uji dengan penambahan 15%Piropilit



Warna tetap - Benda uji mengalami retak berwarna abu-abu rambut cukup parah keputihan tidak - Benda uji cukup rapuh mengalami dalam pengangkutan, terbukti perubahan yang dengan pengeroposan di signifikan bagian pinggir



Benda uji dengan penambahan 20%Piropilit



Warna tetap berwarna putih tidak mengalami perubahan yang signifikan



Benda uji dengan penambahan 25%Piropilit



Warna tetap - Tidak ada kerusakan yang berwarna putih tidak berarti mengalami - Benda uji masih padat perubahan yang seperti sebelum dibakar signifikan



- Retak rambut yang terjadi mulai berkurang dari benda uji sebelumnya - Benda uji masih kuat setelah proses pengangkutan



Hasil Pengujian Kuat Tekan Bata Ringan Pada pengujian kuat tekan dilakukan hingga benda uji mengalami keretakan dan tidak mampu lagi menahan beban yang lebih besar. Benda uji yang digunakan adalah benda uji yang telah mengalami fase pembakaran dan pendinginan. Proses pembebanan dilakukan dengan alat uji tekan (Compression testing machine) dan pada benda uji diletakkan pelat yang dipasang pada bagian atas dan bawah.. Perhitungan kuat tekan mengunakan persamaan (1) berupa perhitungan tegangan dimana hasil dari kuat tekan dibagi dengan luas penampang bahan yang terkena beban. Hasil perhitungan kuat tekan benda uji dan diagram kuat tekan rata-rata disajikan sebagai berikut : Tabel 7. Kuat Tekan / Tegangan Benda uji (kg/cm2) Kuat Tekan (kg/cm2) Variasi Benda Uji 5% 10% 15% Normal Piropilit Piropilit Piropilit 1 1.00 1.33 3.33 2.33 2 1.67 1.33 3.00 2.00 3 1.67 1.00 2.67 2.67



20% Piropilit 2.33 2.67 2.67



25% Piropilit 4.33 4.67 4.33



Bidang Struktur - 545



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Tegangan (kg/cm2)



Tegangan Rata-Rata Bata Ringan dengan berbagai variasi piropilit 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0



0% 5% 10% 15% 20% 25% Series7



1



Gambar 3. Hasil Uji Tegangan Rata-Rata Benda Uji Setiap Variasi



Gambar 4. Hasil Uji Kuat Tekan Rata-Rata Benda Uji Setiap Variasi Hasil pengujian statistik menunjukan adanya peningkatan nilai antara bata ringan pasca bakar yang ditambahkan dengan batuan piropilit dengan yang tidak ditambahkan piropilit dimana nilai kuat tekan maksimum rata-rata untuk bata ringan normal pasca bakar adalah sebesar 8,7 KN sedangkan untuk benda uji yang ditambahkan piropilit dengan beberapa variasi menghasilkan peningkatan kekuatan yang cukup signifikan kecuali untuk variasi penambahan 5% piropilit sebagai bahan tambah ke dalam campuran benda uji mengalami penurunan kekuatan, dan untuk variasi yang lain penambahan 10% Piropilit, 15% Piropilit, 20% Piropilit, 25% Piropilit akan memiliki nilai kuat tekan maksimum rata-rata sebagai berikut 18 KN, 14 KN, 15,3 KN, dan 26,7 KN. . Berdasarkan hasil uji kuat tekan, dapat didapatkan bahwa semakin tinggi penambahan piropilit ke dalam bata ringan yang telah mengalami proses pembakaran akan meningkatkan kuat tekannya yang diakibatkan bahwa piropilit merupakan bahan yang termasuk ke dalam sifat bahan untuk isolasi yang memiliki suhu aman mencapai 1400oC. (http//www.energyefficiencyasia.org)



546 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Perbandingan Nilai Kekuatan Dari hasil pengujian didapatkan perbedaan nilai kuat tekan maupun tegangan antara nilai kuat tekan dan tegangan bata ringan normal dan bata ringan dengan tambahan piropilit. Berikut disajikan persen kenaikan kekuatan bata ringan pasca bakar pada suhu 800oC. Tabel 8. Persentase Perubahan Kekuatan Benda Uji Pasca Bakar Selisih Kuat Tekan Kekuatan Variasi % (KN) (KN) 0% 8.7 0 0 5% Piropilit 7.3 -1.3 -15.38 10% Piropilit 18.0 9.3 107.69 15% Piropilit 14.0 5.3 61.54 20% Piropilit 15.3 6.7 76.92 25% Piropilit 26.7 18.0 207.69



Ket Penurunan Peningkatan Kekuatan Peningkatan Kekuatan Peningkatan Kekuatan Peningkatan Kekuatan



Penambahan piropilit ke dalam benda uji bata ringan ternyata mampu untuk meningkatkan kekuatan benda uji setelah mengalami proses pembakaran, peningkatannyapun cukup signifikan yakni sampai 207,69% pada penambahan piropilit ke dalam benda uji. Hasil tampak menurun ketika ditambahkan 5% piropilit, penurunannya sampai 50%. Dari hasil ini belum dapat ditarik kesimpulan mengenai jumlah piropilit optimum yang digunakan dalam peningkatan kekuatan sebab dari grafik masih terus meningkat. .



Gambar 4. Grafik Perubahan Kekuatan Tekan Benda Uji pasca Bakar



5. KESIMPULAN Berdasarkan uji statistik dengan metode ANOVA satu arah didapatkan bahwa penambahan piropilit ke dalam bata ringan pasca bakar akan meningkatkan kuat tekan. Nilai kuat tekan benda uji setelah proses pembakaran pada suhu 800oCdengan beberapa



Bidang Struktur - 547



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean variasi yang berbeda yakni : variasi normal (tanpa penambahan piropilit), penabahan 5% piropilit, 10% piropilit, 15% piropilit, 20%piropilit, dan 25% Piropilit akan memeberikan kuat tekan maksimum sebagai berikut 8.7 KN, 7.3 KN, 18 KN, 14 KN, 15.3 KN,dan 26.7 KN. Peningkatan kekuatan mencapai 200% jika dibandingkan dengan variasi 0% , pada variasi penambahan 25% piropilit. Dari hasil penelitian yang didapat terlihat bahwa nilai optimum penambahan piropilit belum tercapai. Sehingga perlu di lanjutkan dengan variasi yang lainya.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Abdul Rahman, I, Abdul Rahman, M.Z.A & Ahmad Zaidi, A.M. (2008). Morphology and Physical Behaviour of foamed Concrete Under Uniaxial Compressive Load : Standart Unconfined Compression Test, UTHM Research Technical Report, pages 1-10 2. Keren, R., Grossl, P.R, & Sparks, D.L, (1994), Borate Adsorption –Desorption on Pyrophyillite, Soil Sci. Soc. Am. J,Vol 58 3. Mutrofin, dkk. (2005). Karakteristik Mineral Piropilit Sumbermanjing, Malang Selatan, Fakultas MIPA, Teknik Kimia, Universitas Brawijaya Malang 4. Powell, D, (1998). Phyrophyllite, http ://www.mii.org/minerals/phototalc.html, akses 21 januari 2013 5. Ray, N. (2005). WC Ratio pada Perubahan Perilaku Beton Mutu Normal pada Temperatur Tinggi Pasca Kebakaran. Surabaya : ITATS 6. Subari & Rachman, A. (2008). Pembuatan Bata Beton Ringan untuk Diterapkan di IKM Bahan Bangunan. Bandung : Balai Besar Keramik 7. Wang, L., Zhang, M., Redfern, S.A.T., (2003), Infrared Study of CO2 Incorporation into Pyrophyllite (Al2Si4O10(OH)2) during Dehydroxylation, Journal of The Clay Minerals Society, 50, 439-444. 8. Zulhelmi. (2010). Pembuatan dan Karakterisasi Bata Berpori dengan Agregat Batu Apung (Pumice) Sebagai Filter Gas Buang Kendaraan. Skripsi, Medan : Universitas Sumatra Utara. 9. ASTM C 140- Standart Test Methods Of Sampling and Testing Concrete Masonry Units and related Units 10. ASTM E 119-Fire Test of Building Construction and Material 11. ASTM C 33-90-Standart Spesification for Concrete Agregate 12. SK SNI 03-6861.1-2002-Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan Bangunan Bukan Logam)



548 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



POTENSI STYROGRAVEL SEBAGAI CAMPURAN BETON RINGAN YANG RAMAH LINGKUNGAN Soerjandani PM1, Utari Khatulistini2 dan Andaryati3 1



Soerjandani PM, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, [email protected] Utari Khatulistiani, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, [email protected] 3 Andaryati, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, [email protected] 2



ABSTRAK Limbah styrofoam merupakan salah satu limbah berbahaya yang sulit diuraikan oleh alam bahkan hingga mencapai 500 tahun berada didalam tanah (US.EPA) sehingga perlu dilakukan kebijakan 3R (Reuse, Recycle, Reduce). Styrofoam yang telah banyak dilakukan penelitian untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan seperti campuran beton dan lainnya mempunyai beberapa sifat antara lain ringan dan mudah bereaksi dengan senyawa alkana maupun metana, sehingga dapat dilakukan diversifikasi terhadap sifat fisiknya. Sedangkan kondisi saat ini dimana beton merupakan material komposit yang mempunyai kelemahan berupa berat jenis yang cukup besar akibat pengaruh kandungan aggregat yang mencapai 70 - 75%, maka untuk mencapai kondisi ideal perlu dilakukan inovasi guna memperoleh beton yang dapat mengurangi kelemahan beton terlebih dapat memanfaatkan bahan-bahan limbah (bahan pasca guna) berbahaya seperti styrofoam. Untuk menjawab permasalahan diatas, penulis melakukan penelitian terhadap potensi turunan styrofoam yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti kerikil dalam campuran beton sebagai bahan konstruksi masa depan. Dalam penelitian ini styrofoam akan didiservifikasi menjadi styrogravel (penulis), dan akan dijadikan sebagai variasi campuran hingga sebagai substitusi kerikil dengan komposisi 25%, 50%, 75% dan 100% (tanpa kerikil) melalui system pencampuran dengan menggunakan metode doe dan dilakukan pengujian mekanik pada umur 28 hari setelah melalui system perawatan. Hasil dari pengujian diperoleh bahwa styrogravel mempunyai beberapa potensi antara lain sifat fisik yang keras dan lebih ringan daripada kerikil serta lebih tahan aus. Sedangkan untuk beton yang mengandung campuran prosentase styrogravel mempunyai ketegaran lebih baik dan berat jenis yang lebih ringan dibandingkan beton konvensional, disamping itu mempunyai rasio kuat tarik terhadap kuat tekan yang lebih baik dibandingkan dengan beton konvesional , sedangkan beton konvensional yang mempunyai kinerja seperti kuat tekan hancur dan kuat tarik yang lebih baik dibandingkan dengan beton yang mengandung styrogravel. Kata kunci : styrogravel, beton ringan, kuat tekan, kuat tarik.



1. PENDAHULUAN Beton merupakan bahan komposit yang diperoleh dengan mencampurkan berbagai macam bahan dasar seperti aggregat halus (pasir), aggregat kasar (kerikil), air dan semen portland atau bahan pengikat hidraulis lainnya yang sejenis, dengan atau tanpa bahan tambahan lain. Di Indonesia, beton saat ini masih menjadi pilihan utama untuk material konstruksi sebagai bahan konstruksi yang murah dan material pembentuk beton masih relatif mudah diperoleh, mengingat sumber daya alam di negara kita masih cukup, mudah dibentuk sesuai keinginan pada saat beton masih segar, tahan terhadap temperatur tinggi (Hsuan and Grace,H,2012) serta mempunyai keunggulan yang sangat dibanggakan yaitu kekuatannya yang tinggi dalam menahan gaya-gaya yang bekerja. Akan tetapi beton mempunyai permasalahan yang cukup signifikan dalam mendukung kinerjanya yaitu berupa kelemahan yang sangat tidak dikehendaki seperti getas, berat jenis yang besar dan kuat tarik yang rendah, disamping permasalahan lain terkait



Bidang Struktur - 549



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dengan seluruh material pembentuknya melalui ekploitasi sumber daya alam sehingga lambat laun akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Sedangkan styrofoam yang merupakan nama lain dari polysterene merupakan salah satu polimer sintetik dan bahan yang sering dijumpai sebagai bahan pembungkus atau pengaman (packaging) sebuah produk karena mempunyai sifat yang mampu meredam getaran atau tumbukan dengan benda lainnya (absorber), ringan dan dapat melindungi dari pengaruh cuaca luar (isolator). Akan tetapi permasalahan utama adalah pasca penggunaannya dianggap sebagai limbah yang sulit diuraikan oleh alam dan berbahaya bagi alam bahkan menurut US Enviromental Protection Agency (US EPA) menyebutkan untuk menguraikannya tanah membutuhkan waktu 500 tahun untuk menguraikannya. Walaupun telah banyak para peneliti dan pengrajin yang memanfaatkannya, akan tetapi faktanya setiap hari produksi styrofoam kian bertambah akibat permintaan yang cukup besar dan sudah barang tentu sampah styrofoampun juga bertambah, baik yang ada di lingkungan sekitar kita maupun di tempat pembuangan sementara atau tempat pembuangan akhir. Data dari Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan, setiap individu rata-rata menghasilkan 0,8 kilogram sampah dalam satu hari di mana 15% adalah kemasan sekali pakai. Dengan asumsi pada 2005, ada sekitar 220 juta penduduk di Indonesia, maka sampah kemasan sekali pakai yang tertimbun mencapai 26.500 ton per hari, sedangkan jumlah timbunan sampah nasional diperkirakan mencapai 176.000 ton per hari. Padahal saat ini jumlah penduduk Indonesia sudah membengkak mencapai 237 juta. Sehingga sebagai solusi akhir untuk memusnahkanya masyarakat banyak menggunakan metode pembakaran yang tentunya akan membebani lingkungan. Untuk menjawab dua permasalahan yang cukup mendasar tersebut diatas yaitu kelemahan dari beton konvensional dan limbah Styrofoam , maka kelemahan-kelemahan yang merupakan pokok permasalahan diupayakan untuk dijadikan sebagai keunggulan guna menangkap peluang dalam meningkatkan kinerja beton dan mengurangi bahaya terhadap lingkungan, perlu dilakukan inovasi untuk memperkaya dunia teknologi beton, walaupun sebenarnya telah banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan styrofoam sebagai bahan campuran beton akan tetapi didalam penelitian ini peneliti akan mendiversifikasi styrofoam menjadi kerikil styro (penulis menyebutnya sebagai styrogravel) melalui reaksi kimia yang kemudian dijadikan sebagai pengganti kerikil alam untuk meningkatkan kinerja beton. Perumusan Masalah Didalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan berupa study eksperimental dan akan mengungkap beberapa permasalahan antara lain: 1. 2. 3.



Sifat-sifat fisik, organik ketahanan material termasuk styrogravel Hubungan antara prosentase styrogravel dengan kuat tekan, kuat tarik belah dan modulus elastisitas Potensi beton yang mengandung campuran styrogravel



Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui potensi yang ada pada beton yang mengandung styrogravel. 2. Upaya mereduksi kelemahan beton guna menangkap peluang dalam meningkatkan kinerjanya



550 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 3. Melaksanakan fungsi recycle yaitu merubah limbah styrofoam menjadi material yang bermanfaat bagi manusia melalui diversifikasi dan fungsi reduce yaitu mengurangi pengaruh negatif limbah styrofoam terhadap lingkungan.



2. TINJAUAN PUSTAKA Beton merupakan bahan komposit yang merupakan campuran dari semen portland atau semen hidraulis lainnya, aggregate halus, aggregate kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya (ACI 318-2002 2.1), dimana mortar terdiri dari fase pasta yang mempunyai kandungan semen sebesar 7% hingga 15% dari volume, air sebesar 14% hingga 21% dari volume (Zaniewski.J, 2011 ) dan 70 – 75 % adalah agregat kimia (Zaniewski.J, 2011). Untuk menghasilkan beton yang workable, kuat, tahan dan ekonomis diperlukan agregat yang berkualitas baik. Berdasarkan ukuran, agregat dapat didefinisikan bahwa agregat halus adalah semua butirannya lolos ayakan 9.5 mm (3/8 ―) dan hampir seluruhnya melewati saringan 4,75 mm dan sebagian besar tertahan di saringan no 200 (75 μm), sedangkan agregat kasar adalah butiran yang hampir semuanya tertahan di saringan no.4 ( 4,75 mm) (ASTM C125-2003) dimana bentuk dan ukuran aggregate sangat berpengaruh pada strength beton (Il-Seok OH, 2011). Styrofoam yang juga dikenal dengan "busa polistiren diekstrusi" (istilah generik) adalah salah satu jenis yang paling banyak digunakan saat ini, styrofoam juga dapat disebut vinlybenzene, ethenyl benzena, cinnamene, phenylethylene. Nama merek "Styrofoam" dimiliki oleh Dow Chemical. Sifat fisik Sytrofoam menurut Robert Mobley dari Fotolia.com adalah termoplastik, ringan dan reredam kejut, isolator, higroskopis (ehow.com), mudah bereaksi dengan senyawa alkana dan metana. Dari hasil penelitian sebelumnya bahwa styrofoam sebagai bahan campuran beton dapat mengurangi berat jenis beton sebesar 18,5% sampai dengan 26,96% walaupun kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 97,73% sampai dengan 99,14%, hal ini berdasarkan pemakaian styrofoam dengan dimensi 1 cm x 1 cm x 1 cm (Musana,Satyarno, Kardiyono,2004). Sedangkan campuran beton yang menggunakan styrofoam parut diperoleh berat volume beton sebesar 0.87 t/m3, 0.76 t/m3, 0.71 t/m3, kuat tekan beton sebesar 3 MPa, 2.3 MPa, dan 1.7 MPa, kuat tarik beton sebesar 0.30 MPa, 0.20 MPa, dan 0.12 MPa, kuat lentur sebesar 1.05 MPa, 0.97 MPa, dan 0.94 Mpa (Suciarsa,Yuliarsa,2010). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh I.B. Dharma Giri1, I Ketut Sudarsana1 dan N.L.P. Eka Agustiningsih, tahun 2008, menunjukkan penambahan styrofoam meningkatkan nilai slump. Sedangkan berat satuan dan kuat tarik belah beton menurun secara linier dimana setiap penambahan 10% butiran styrofoam maka akan menurunkan berat satuan dan kuat tarik belah beton berturut-turut 81,08 kg/m3 (4,01%) dan 0,34 MPa (12,19%). Setiap penambahan persentase styrofoam terjadi penurunan kuat tarik lentur dimana penambahan styrofoam 10% terjadi penurunan kuat tarik lentur sebesar 22,67% dan penambahan 20% butiran styrofoam terjadi penurunan kuat tarik lentur sebesar 29,62% terhadap beton tanpa penambahan styrofoam, tetapi pada saat penambahan 30% butiran styrofoam kuat tarik lentur meningkat 1,21% tehadap kuat tarik lentur dengan penambahan 20% butiran styrofoam. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yusuf M dan kawan-kawan (2007) Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Semen (S), Pasir (P), Kerikil (K), Gabus -(G). Dari hasil percobaan ini, belum dijumpai campuran yang memenuhi kriteria beton



Bidang Struktur - 551



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean ringan nonstruktural yaitu beton yang mempunyai kaat tekan 7 MPa dan berat < 800 kg/m3, aksn tetapi dijumpai campuran yang memenuhi kriteria beton ringan struktural yang mempunyai kuat tekan > 17 MPa dan berat < 1800 kg/m3. Jika ditinjau dari permeabilitas beton yang mengandung styrofoam untuk uji beton berbentuk silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm pada umur benda uji 28 hari dengan komposisi campuran yang digunakan adalah dalam perbandingan berat 1 : 2 : 3 (semen : pasir : kerikil) dan faktor air semen 0,5 sedangkan variasi penambahan styrofoam adalah 0%, 10%, 20%, 30%, dan 40% terhadap volume campuran, diperoleh hasil bahwa koefisien permeabilitas beton mengalami peningkatan akibat meningkatnya prosentase penambahan butiran styrofoam dalam campuran beton(I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana, 2009). Sedangkan styrogravel berdasarkan pengamatan Soerjandani dkk (2012) antara lain dapat dibentuk seperti kerikil sesuai dengan keinginan seperti bulat, pipih, lonjong, dan lainnya termasuk membentuk kontur permukaan berupa halus maupun kasar. Mempunyai ketahanan terhadap tekanan (beban) merata, tidak hancur dan tidak pecah seperti halnya kerikil akan tetapi hanya berubah bentuk, mempunyai sifat ulet terhadap pengaruh impact (gaya pukul), mempunyai ketahanan terhadap abrasi dan lingkungan aggresif dimana hal ini karena styrogravel berbahan dasar polisterene yang sulit diuraikan oleh alam, saat berbentuk jelly dan dapat berfungsi sebagai perekat (glue) sehingga dapat mengikat unsur lain seperti pasir dan melekat dipermukaan styrogravel hal ini dapat pula berfungsi sebagai media untuk dapat bereaksi dengan semen sehingga dapat menndukung lekatan antar permukaan dan dapat mengambang diatas air. Sedangkan sifat lainya styrogravel tidak mempunyai ketahanan terhadap panas tinggi.



Keriki l Styrograve l



Gambar 1. Kerikil dan styrogravel



Keriki l Styrograve l Gambar 2. Tingkat kehancuran



552 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. METODE PENELITIAN Sebagai langkah awal dilakukan pengadaan limbah styrofoam yang kemudian didiversifikasi menjadi kerikil styro melalui proses reaksi kimia dengan gasoline (peleburan) sehingga menjadi styrogell unntuk dilakukan proses lanjutan dengan pembentukan menjadi kerikil styro (peneliti menyebutnya dengan styrogravel) hingga mencapai kapasitas yang diperlukan disamping itu dilakukan pengadaan material pembentuk beton lainnya seperti kerikil dan pasir dengan kualitas baik serta semen portland type I sesuai dengan standar ASTM C 150-2002a. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap material-material tersebut sesuai dengan standar ASTM seperti pengujian gradasi, berat jenis, resapan dan keausan untuk mengetahui konstribusi awal terhadap kapabilitas beton. Hasil pengujian material tersebut digunakan untuk perancangan campuran dengan metode doe berdasarkan faktor air semen 0,5 dengan variasi campuran menggunakan 100% kerikil, campuran 75% kerikil dan 25% styrogravel, campuran 50% kerikil dan 50% styrogravel, campuran 25% kerikil dan 75% styrogravel hingga campuran menggunakan 100% styrogravel. Dengan menggunakan slump tetap 10 ± 2 cm dilakukan proses pencampuran melalui mesin pencampur hingga rata yang kemudian dilakukan pencetakan dengan menggunakan alat cetakan dan dilepas setelah 24 jam untuk dilakukan perawatan dengan sistem rendaman selama 28 hari. Selanjutnya dilakukan pengujian mekanik untuk mengetahui kuat tekan, kuat tarik belah, modulus elastisitas dengan mengggunakan mesin tekan hidraulik. Dari data yang diperoleh hasil pengujian tersebut dilakukan pembahasan untuk diperoleh simpulan dari permasalahan yang telah dirumuskan.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengujian terhadap material-material pembentuk bentuk diperoleh data bahwa untuk pasir memenuhi syarat seperti yang telah ditetapkan oleh ASTM C136-2001, dimana gradasi butiran cukup baik karena tidak ada yang tertahan lebih dari 45% seperti yang diisyaratkan oleh ASTM C 33-2003 dan lebih banyak tertahan di saringan nomor 50, hal ini menunjukkan bahwa butiran tersebut didominasi oleh butiran yang mempunyai ukuran rata-rata 0,3 mm. Apabila mengacu pada British Standart 882 (BS 882), pasir berada diantara zone 2 dan zone 3 dengan modulus kehalusan 3,3. Sedangkan sifat fisik lainnya seperti berat jenisnya sebesar 2,78, resapan sebesar 1,179 dan bersih terhadap kandungan organik. Untuk kerikil diperoleh data bahwa gradasi kerikil berada antara diameter 9,5 sampai dengan diameter 19,10 mm sesuai dengan ASTM C33-2003 maupun ASTM C136-2003 dan berada pada zone 1. Sedangkan berat jenis sebesar 2,83 dan keausannya mencapai 19,66% dan sesuai dengan persyaratan ASTM C128-2003. Untuk sifat fisik styrogravel mempunyai berat jenis 0,917 dan keausan sebesar 2,19%. Sedangkan hasil dari perancangan campuran diperoleh data seperti pada tabel 1 berikut . Tabel 1: Perbandingan komposisi campuran beton. Perbandingan 100% 75% 50% 25% 0% Semen* 304 304 340 340 340 Pasir* 459,56 459,56 459,56 459,56 459,56 Kerikil* 746,08 559,56 373,04 186,52 Styroravel* 186,52 373,04 559,56 746,08 Air* 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 (*) Satuan dalam lt



Bidang Struktur - 553



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Didalam proses pencampuran terutama yang menggunakan styrogravel sebagai subtitusi perlu diperhatikan prioritas atau urut-urutan pencampuran, hal ini sangat berpengaruh terhadap kepadatan campuran. Hal ini disebabkan bahwa styrogravel dengan berat jenisnya yang ringan akan mempengaruhi tingkat kematangan campuran. Untuk campuran normal karena pengaruh berat jenis kerikil yang besar dan pengaruh gravitasi maka campuran akan lebih sempurna dan matang, sedangkan untuk campuran yang menggunakan styrogravel akibat berat jenisnya yang ringan maka saat proses pencampuran mereka akan mengambang dan terdesak oleh material yang mempunyai berat jenis yang lebih besar. Perlu diperhatikan pula dalam pembuatan benda uji yang mengandung styrogravel faktor rojokan akan mempengaruhi prilaku styrogravel dalam campuran yang akan melepaskan diri (mengambang) dari campuran akibat dari berat jenisnya yang ringan sehingga perojokan diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi segregasi awal yaitu berkumpulnya styrogravel ke permukaan akibat berat jenisnya yang ringan. Berat Jenis Beton Dari hasil pengujian beton yang mempunyai campuran styrogravel maupun beton yang mengandung kerikil alam seperti pada tabel 2 berikut Tabel 2. Berat Jenis Beton dengan variasi campuran Prosentase kerikil 0 25 50 75 (%) Berat jenis (kg/m3)



100



1349,1 1600,1 2030,4 2238,9 2534,6



Dari hasil tersebut diperoleh bahwa beton dengan campuran 100% styrogravel mempunyai berat jenis yang lebih ringan dibandingkan dengan berat jenis beton normal sebesar 53,2% dari berat jenis beton normal (100% kerikil). Dari informasi berat jenis ini menunjukkan bahwa beton yang terbuat dari campuran styrogravel termasuk beton ringan (SNI 03-2847-2002, pasal 3.18).



Kuat Tekan Dari hasil pengamatan diperoleh hasil yang ditampilkan dalam bentuk grafik seperti gambar 1 dibawah ini.



554 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Tegangan (kg/cm2)



TEGANGAN HANCUR BETON 400.00 R² = 0.8254



300.00 200.00 100.00 0.00 0



25



50



75



100



Campuran Kerikil (%)



Gambar 1. Grafik tegangan hancur beton tiap variasi. Dengan menggunakan metode regresi linear dimana dari grafik pada gambar 1 diperoleh bahwa bertambahnya tegangan beton sebesar 82,54% dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara banyaknya campuran kerikil dalam beton dan tegangan dengan persamaan Y = 69,689X + 33.01. Dengan nilai R = 0,9085 terdapat korelasi posistif yang tinggi antara tegangan beton dan prosentase kerikil, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar prosentase kerikil dalam kandungan beton semakin besar pula tegangan beton atau dengan penambahan 25% kerikil terjadi peningkatan kekuatan rata-rata sebesar 17,42 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya tegangan beton atau kemampuan beton dalam menerima beban lebih banyak dipengaruhi oleh komposisi material pendukung yang cenderung mempunyai berat jenis yang besar yaitu kerikil, dengan kata lain bahwa besarnya tegangan beton atau beban yang diterima dipengaruhi oleh berat beton itu sendiri yang memberikan gaya perlawanan (normal) terhadap beban yang diterima atau kekuatan bahan tergantung dari berat bahan itu sendiri atau kekuatan suatu material tergantung nilai kekerasan (berat jenis)nya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kardyono Tjokrodimuljo (1991) menyatakan bahwa kekuatan, keawetan, dan sifat beton yang lain tergantung pada sifat – sifat bahan dasarnya, nilai perbandingan bahan – bahannya, cara pengadukan maupun cara pengerjaan selama penuangan beton, cara pemadatan dan cara perawatan selama proses pengerasan. Sedangkan untuk mengetahui berapa besar pengaruh berat beton terhadap beban hancur disajikan dalam gambar 2 dibawah.



Nilai Rasio



RASIO BEBAN HANCUR TERHADAP BERAT BETON 0.00600 0.00500 0.00400 0.00300 0.00200 0.00100 -



R² = 0.755



0



25



50



75



100



Campuran Kerikil (%)



Gambar 2. Grafik rasio beban hancur terhadap berat beton



Bidang Struktur - 555



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Dari gambar 2 menunjukkan bahwa sebesar 75,52% bertambahnya rasio beban hancur terhadap berat beton (Y) dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara banyaknya campuran kerikil dalam beton dan rasio beban hancur terhadap berat beton dengan persamaan Y = 0,0007x + 0,0006 dan terjadi korelasi yang cukup tinggi antara setiap penambahan prosentase kerikil dalam campuran beton dengan naiknya rasionya atau setiap penambahan 25% kerikil dalam campuran beton terjadi penambahan rasio sebesar 0,018% atau setiap penambahan styrogravel sebesar 25% dalam campuran beton terjadi pengurangan rasio sebesar 0,018%. .Selain itu dari fakta pengujian beban tekan diperoleh bahwa prilaku beton yang mengandung prosentase kerikil lebih besar saat melewati beban puncak (descending) dan pembebanan terus diberikan menunjukkan beton mengalami kegagalan getas. Akan tetapi untuk beton yang mengandung prosentase styrogravel lebih besar saat mendapatkan perlakukan yang sama menunjukkan bahwa beton tersebut lebih tahan (lebih tegar) atau masih memberikan reaksi terhadap pembebanan dan tidak mengalami kegetasan, hal ini sangant berhubungan dengan sifat dasar styrogravel itu sendiri. Tarik Belah Hasil dari pengujian kuat tarik belah beton dapat dijelaskan seperti dalam gambar 3 dibawah.



Tegangan hancur tarik (kg/cm2)



KUAT TARIK BETON 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00



R² = 0.8826



0



25



50



75



100



Campuran Kerikil (%)



Gambar 3. Grafik kuat tarik beton tiap variasi campuran. Dari gambar diatas menujukkan bahwa sebesar 88,26% kuat tarik beton dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara banyaknya campuran kerikil dalam beton dan tegangan hancur tarik beton dengan persamaan Y = 3,0258X + 6,4194. Hasil ini menunjukkan bahwa kuat tarik beton dipengaruhi oleh besarnya prosentase campuran kerikil, semakin bertambah prosentase campuran kerikil semakin bertambah kuat tarik beton, atau setiap penambahan 25% kerikil terjadi peningkatan kuat tarik belah sebesar 0,76 kg/cm2. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh berat beton terhadap kuat tariknya disajikan seperti dalam gambar 4 dibawah.



556 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Nilai Rasio



RASIO KUAT TARIK TERHADAP BERAT BETON 0.00140 0.00120 0.00100 0.00080 0.00060 0.00040 0.00020 -



R² = 0.5858



0



25



50



75



100



Campuran Kerikil (%)



Gambar 4. Grafik rasio kuta tarik terhadap berat beton. Dari gambar diatas menujukkan bahwa sebesar 58,58% rasio kuat tarik beton dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara banyaknya campuran kerikil dalam beton dan rasio dengan persamaan Y = 7E-05x + 0,0008. Hasil ini menunjukkan setiap penambahan 25% kerikil terjadi peningkatan rasio sebesar 0,00002, hal ini pula yang menunjukkan bahwa nilai kuat tarik setiap penambahan kerikil atau pengurangan styrogravel tidak terlalu signifikan. Dan untuk mengetahui rasio kuat tarik terhadap kuat tekan beton diberikan dalam gambar 5 dibawah.



Nilai Rasio



RASIO KUAT TARIK TERHADAP KUAT TEKAN 0.2 0.15 0.1 0.05 0



R² = 0.4466 0



25



50



75



100



Campuran Kerikil (%)



Gambar 5. Grafik rasio kuat tarik terhadap kuat tekan tiap variasi campuran beton. Sedangkan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh rasio kuat tarik beton terhadap kuat tekannya seperti Gambar 5, menjelaskan bahwa 44,66% menurunnya rasio kuat tarik beton terhadap kuat tekannya untuk setiap penambahan kerikil pada campuran beton dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara nilai rasio dengan banyaknya campuran kerikil dalam beton dengan persamaan Y = 0,2020x + 0,1709. Sehingga setiap penambahan styrogravel pada beton akan menaikkan rasio kuat tarik terhadap kuat tekannya sebesar 5,05% atau setiap penambahan prosentase kerikil pada beton akan menurunkan rasio kuat tarik terhadap kuat tekannya sebesar 5,05%. Kondisi menunjukkan bahwa beton yang mengadung styrogravel mempunyai kuat tarik yang lebih baik dibandingkan dengan beton yang mengandung kerikil alami. Modulus Elastisitas Untuk nilai modulus elstisitas dapat disajikan seperti pada gambar 6 dibawah ini.



Bidang Struktur - 557



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Modulus Elastisitas (kg/cm2)



NILAI MODULUS ELASTISITAS 400000 y = 79781x - 51937 R² = 0.9369



300000 200000 100000 0 0%



25%



50%



75%



100%



Campuran Kerikil (%)



Gambar 6. Grafik nilai modulus elastisitas tiap variasi campuran beton. Daari gambar diataas menunjukkan bahwa sebesar 93,69% peningkatan nilai modulus elastisitas pada setiap penambahan prosentase kerikil dapat dijelaskan oleh hubungan linier antara nilai modulus elastisitas dengan prosentase campuran kerikil melalui persamaan y = 7978x – 51937 dan mempunyai korelasi yang kuat antara nilai modulus dengan prosentase campuran kerikil, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar prosentase campuran kerikil semakin besar nilai modulus elastisitas beton. Dari data tersebut diperoleh bahwa setiap penambahan 25% kerikil terjadi peningkatan nilai modulus elastisitas sebesar 1994,5 kg/cm2.



5. KESIMPULAN Dari pembahasaan diatas dapat disimpulkan bahwa : 1.



2.



3.



Styrogravel mempunyai sifat lebih ringan, lebih tegar, lebih tahan aus dibandingkan dengan kerikil alam sedangkan kerikil alam mempunyai berat jenis yang lebih besar, dan lebih getas dibandingkan dengan styrogravel, sifat dasar ini akan mempengaruhi sifat beton yang akan dibentuk. Mempunyai korelasi yang tinggi antara prosentase campuran styrogravel terhadap penurunan kekuatan beton, sehingga setiap penambahan prosentase styrogravel pada campuran beton menunjukkan adanya penurunan kuat tekan, kuat tarik dan nilai modulus atau setiap penambahan prosentase kerikil pada campuran beton menunjukkan adanya peningkatan kuta tekan, kuat tarik dan nilai modulus elastisitas. Beton yang mengandung styrogravel mempunyai rasio kuat tarik yang lebih baik dibandingkan dengan beton yang mengandung kerikil dan mempunyai berat jenis lebih ringan dibandingkan dengan beton yang mengadung kerikil alam serta mempunyai ketegaran yang lebih baik.



6. DAFTAR PUSTAKA 1.



Anonim, [2003] American Standart for Testing Material, Cement; Lime; Gypsum , vol. 04.01., Annual Book of ASTM standart, America.



558 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 2.



Anonim, [2003] American Standart for Testing Material, Concrete and Aggregates, vol. 04.02., Annual Book of ASTM standart, America.



3.



Anonim, [2002], Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI 318-02) and Commentary (ACI 318R-02), ACI Committee 318, Michigan.



4.



Anonim, [2003], Cement and Con-crete, 2003 notes concrete.pdf, Inter-net (11/19/2003, 8.26 am).



5.



Anonim,______, Lab# 5 Properties of Hardened Portland Cement Concrete, Construction Materials Laboratory, Concrete test.pdf, Internet (7/29/2011, 3.40 pm)



6.



Anonim, _______, Memperkenalkan Produk Semen PT. Semen Gresik, PT. Semen Gresik.Tbk, Gresik.



7.



Anonim, [1971], Peraturan Beton Bertulang Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik ,Bandung



8.



Anonim, [2002], Tata Cara Peren-canaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, Badan Standa-risasi Nasional ,Jakarta.



9.



Anonim, [1998], Study Finds CFC Alternatives More Damaging Than Believed, The Washington Post, Internet (8/23/2011, 3.00 pm)



10. Callister William D,Jr, [1985], Materials Science and Engineering, John Wiley & Sons,Inc, New York. 11. eHow.com,



[2011],



How



to



Make



Lightweight



Concrete



Using



Styro-foam,



http://www.ehow.com. 12. Ginting Arusmalem, [2007], Kajian Balok Beton Styrofoam Ringan Dengan Tulangan Menyebar, Jurnal Teknik Sipil, Vol.3 No.2,2007. 13. Giri Dharma IB, Sudarsana IK, Agustiningsih Eka, [2008], Kuat Tarik Belah Beton Dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon), Jurnal Teknik Sipil, Vol.12 No.2, Fakultas Teknik,Universitas Udayana,Denpasar. 14. Kurties,K,_Aggregate,Agg.pdf, Inter-net,Georgia Institute of Technology, Atlanta, Georgia. 15. Musana, Satyarno, Kardiyono, [2008], Penambahan Limbah Styrofoam Sebagai Bahan Campuran Beton Ringan Dengan Semen PCC 250,300,350 kg.cm2, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Unversitas Gajah Mada,Jogjakarta 16. Montero,P,Aggregat for Concrete, Aggregates.pdf, Internet, The University of California, Berkley. 17. Sudipta IGK,Sudarsana K,[2009], Permeabilitas Beton dengan Penambahan Styrofoam, Jurnal Teknik Sipil,Vol.13,2009. Fakultas Teknik,Universitas Udayana,Denpasar. 18. Sutapa AAG,Suputra Oka IGN, Mataram Karnata, [2011], Pemulihan Kuat Tarik Belah Beton Dengan Variasi Durasi Perawatan Pasca Bakar, Jurnal Teknik Sipil, Vol.15.No.2,Fakultas Teknik,Universitas Udayana,Denpasar. 19. Timoshenko S, J.N,Goodier [1989], Dasar-Dasar Perhitungan Kekuatan Bahan, Restu Agung, Jakarta. 20. US.EPA, [2013], 10 Fast Fact on Recycling, Mid-AtlanticMunicipal Solid Waste, http://epa.gov, Distric of Columbia. 21. Wancik,A, Satyarno, Tjokrodimuldjo,K, [2008], batako Styrofoam Komposit Mortar Semen, Forum Teknik Sipil, Vol.XVIII, 2008



Bidang Struktur - 559



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 22.



Wang, C.K and Salmon, C.G, [1998], Reinforced Concrete Design, Addison-Wesley, California.



23.



Whittaker,A,________, Concrete, Lecture 03.pdf, Internet (1/20/2011, 3.00 pm)



24.



Yusuf,M, [2007], Studi Penggunaan Styrofoam Sebagai Bahan Campuran Untuk Pembuatan Beton Ringan Nonstruktural, Indonesian Science Technology,2007, Internet.



25.



Zaniewski,J,________,Concrete, Introconcrete.ppt,Internet (7/15/2011, 4.37 pm)



26.



Walker, A (1996) Project management in construction. 3ed. Oxford: Blackwell Science.



560 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PERILAKU SAMBUNGAN GESER DENGAN LEM PADA ELEMEN TARIK BAJA RINGAN Sumaidi1, Priyo Suprobo1 dan Endah Wahyuni1 1



Mahasiwa Pasca sarjana Teknik Sipil FTSP ITS, email: [email protected] Pengajar Pasca sarjana Teknik Sipil FTSP ITS 3 Pengajar Pasca sarjana Teknik Sipil FTSP ITS 2



ABSTRAK Material kayu yang dulu sering dipakai untuk struktur rangka atap dan rangka plafon, sekarang sudah bergeser dengan pemakaian baja ringan. Selain biaya bahannya yang relatif lebih murah dibanding kayu juga waktu pelaksanaannya juga lebih singkat. Sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada lebih minimnya ongkos pelakanaannya. Namun dalam kenyataannya, sering kita dengar banyak terjadi kegagalan pada konstruksi atap baja ringan. Berbagai media sering kali memberitakan ambruknya atap gedung sekolah dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku sambungan geser pada elemen tarik pada baja ringan dengan menggunakan sekrup dibandingkan dengan lem. Galvalum yang digunakan profil C75 akan dipotong menjadi 35 mm x 200 mm, dengan alat uji menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dengan kapasitas 5 ton. Potongan elemen profil C75 akan disambung dengan sekrup dan yang lainnya dengan lem, sikadur produksi SIKA, ditarik sampai putus. Dari hasil eksperimental, Galvalum adalah bahan dengan tegangan leleh dan putus yang melebihi baja. galvalum memiliki tegangan leleh, fy = + 580 mpa dan tegangan putus, fu = + 590 mpa. Membandingkan sifat sambungan geser dengan lem sikadur cf normal dengan sambungan 1 sekrup dengan luasan lap yang sama diperoleh hasil bahwa sambungan geser dengan lem sikadur lebih besar kapasitasnya ( lem putus saat beban 400 kg, sekrup 300 kg) namun lebih getas. Perpindahan sambungan sekrup lebih besar dari sambungan lem sikadur cf normal, sambungan dengan lem mencapai perpindahan 2 mm, sementara sekrup 6 mm. Kata Kunci: Self Drilling Screw (SDS), cold formed steel, sambungan tipe geser, fenomena curling



1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi ilmu bahan bangunan bergerak dengan cepatnya. Pelaksana pembangunan selalu berinovasi memperoleh sistem pelaksanan dengan semurah mungkin dan secepat mungkin. Material kayu yang dulunya sering dipakai untuk struktur kuda-kuda / rangka atap dan rangka plafon, sekarang sudah bergeser dengan pemakaian baja ringan. Selain biaya bahannya yang relatif lebih murah dibanding kayu juga waktu pelaksanaannya juga lebih singkat. Sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada lebih minimnya ongkos pelaksanaannya. Misalnya, untuk rangka atap kayu berbentuk pelana pada denah berukuran 4m x 8m, dibutuhkan 1 m3 kayu balok 8/12. Harga per meter kubiknya 3 juta, dibutuhkan kayu usuk 4/6 dan reng 3/4 yang total harganya sekitar 2 juta. Jadi untuk bahan saja, minimal membutuhkan 5 juta. Belum termasuk jasa tukang selama seminggu yang mungkin sekitar 1,5 juta. Dengan begitu, total biaya bisa mencapai sekitar 6,5 juta. Dengan baja ringan biaya per m2 adalah Rp.130 ribu, jadi total material dan ongkos pasang adalah Rp. 4.2 Juta ( 130.000 x 4 x 8).



Bidang Struktur - 561



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



2. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Baja Ringan Baja ringan yang dibentuk dari baja prilaku dingin (cold-formed steel) umum digunakan pada konstruksi bangunan, konstruksi jembatan, rak penyimpanan, fasilitas drainase, menara transmisi, badan mobil, rel dan sebagainya. Elemen struktur yang terbuat dari baja ringan biasanya mempunyai ketebalan 0.0149 in (0.378 mm) s/d ¼ in (6.35 mm) bahkan mencapai 1 in (25.4 mm). Kelebihan baja ringan dibandingkan material yang lain : ringan, mempunyai kekuatan yang tinggi dan kekakuan, kemudahan produksi, pemasangan cepat dan mudah serta ekonomis dalam pengadaannya. Saat ini, baja ringan banyak digunakan secara luas pada konstruksi perumahan, bangunan industri dan perkantoran. Definisi Lem (Adhesive) Adhesive adalah material berupa cairan (liquid) atau semi-liquid yang mengikat beberapa benda, khususnya material yang tipis. Adhesive berasal dari bahan alami ataupun sintetis. Adhesive mengeras oleh proses evaporasi pelarut atau reaksi kimia antara dua unsur atau lebih. Adhesive bisa terbuat dari bahan alami ataupun sintetis. Keuntungan dari penggunaan adhesive adalah mengurangi berat struktur dan menghasilkan sambungan elastis (a vibration-damping joint). Kekurangannya adalah, sebagian besar adhesive tidak bisa menghasilkan sambungan seketika seperti sambungan mekanis yang lain karena adhesive membutuhkan waktu curing. Adhesion adalah bidang kontak antara adhesive dan substrate. Pemodelan kerusakan lem Perlambatan retak setelah kerusakan awal (damage initiation) lebih dianggap sebagai respon stress-displacement, daripada respon stress-strain. Kerusakan pada suatu elemen ditandai oleh perpindahan plastis yang melebihi nilai kritisnya (titik c) seperti gambar berikut :  d‘



c b



a



d p



Gambar 1. Respon Stress-Plastic Displacement dari Pemodelan Kerusakan Lem ( Hua et.al, 2006) Respon lambat (c,d) diatur oleh hukum evolusi kerusakan tertentu seperti yang ditunjukkan dalam persamaan (1) sampai elemen gagal (titik d), ketika perpindahan plastis mencapai nilai kritis lain, yaitu ketika parameter kerusakan mencapai nilai maksimum sebesar 1. Kemudian, elemen-elemen yang mengalami kerusakan membentuk jalur yang sepenuhnya rusak pada model. Penerapan model ini ke dalam



562 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 analisis elemen hingga memerlukan definisi dari panjang karakteristik, yang dihitung dari ukuran elemen. Dengan demikian unsur-unsur yang memiliki aspek rasio mendekati satu yang disarankan sesuai dengan definisi kode dalam ABAQUS d = (1-D) , D = D(p),



0≤D≤1



(1)



Dalam persamaan ini ζd dan ζ adalah damage stresses dan undamaged stresses, dan δp adalah perpindahan plastis diperoleh sebagai produk dari regangan plastis ekivalen dan panjang karakteristik dari elemen hingga yang relevan.



3. METODOLOGI PENELITIAN



Gambar 2. Diagram Alur Penelitian



4. PEMBAHASAN Data Sambungan Geser Pemodelan sambungan sekrup dan baut pada baja ringan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dewobroto dan Besari 2009 telah melakukan uji



Bidang Struktur - 563



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean laboratorium dan memodelkan dengan Program bantu komputer. Fenomena curling pelat sambungan dan jumlah baut minimum. Dari Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mekanisme keruntuhan lap-joint baut tunggal pada pelat relatif tipis menghasilkan perilaku yang menyebabkan metode yang digunakan pada perencanaan, yaitu mekanisme tumpu tidak bekerja sempurna. Hal itu dapat dihindari jika dipakai jumlah baut majemuk (minimal dua baut) dengan konfigurasi tertentu. Pada penelitian ini dipelajari bagaimana perilaku sambungan tarik pada baja ringan, galvalum, baik dengan menggunakan sambungan sekrup maupun dengan lem sikadur cf normal. Adapun data material yang akan dites dapat dilihat pada Tabel 4.1 yaitu mengenai sifat mekanik lem sikadur cf normal dan tabel 4.2 mengenai Karakteristik Pelat dan sekrup.



5. PEMBAHASAN Hasil Uji Eksperimental Pengujian di laboratorium dilakukan untuk mengetahui hasil perilaku sambungan ( baik dengan sekrup maupun dengan lem sikadur ). Hasil pengujian laboratorium akan dibandingkan dengan hasil analisa numerik dengan bantuan program bantu Abaqus. Sebelum uji eksperimental, benda uji disiapkan terlebih dahulu benda uji tarik galvalum, benda uji sambungan geser dengan sekrup dan benda uji sambungan geser dengan lem sikadur. Untuk benda uji tarik galvalum mengikuti ketentuan benda uji dari ASTM. Untuk benda uji sambungan geser dengan sekrup digunakan sekrup diameter 4 mm, syarat ke tepi adalah 1.5 Diameter, terpasang 17.5 mm ( syarat > 1.5 D= 6 mm). benda uji tarik dengan satu buah sekrup dengan lem sikadur diberikan seluas overlap sambungan sekrup (35 x 35 mm). Pengujian Tarik Material Pengujian bertujuan mengetahui sifat mekanik dari material galvalum. Profil galvalum C75 dipotong sesuai ketentuan ASTM A 370-03a seperti pada gambar 4.1. sebagai berikut.



Gambar 3. Benda Uji Tarik Galvalum ( ASTM A 370 -03a) Adapun hasil pengetesan benda uji tarik galvalum dapat dilihat hasilnya pada grafik dibawah ini. Gambar 4.5 menunjukkan hasil pengujian benda uji tarik galvalum. Dari grafik tersebut diperlihatkan bahwa ketiga benda uji mengalami awal leleh pada beban sekitar 480 kg dan kapasitas ultimit nya sekitar pada beban 500 kg. Dari grafik tersebut diperoleh nilai tegangan leleh, fy dan tegangan ultimate, fu sebagai berikut. Table 4.2. memperlihatkan nilai gaya dan perpindahan saat tegangan leleh dan tegangan maksimal terjadi. Memperhatikan grafik hasil pengujian tarik benda uji tarik pada gambar 4.7 hasil titik leleh dari 3 benda uji ( galvalum A, galvalum 1 dan galvalum 3) diperoleh nilai rata-rata pada beban 495 kg dan mengalami putus pada beban maksimal 503 kg.



564 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Tabel 1. Beban Leleh dan Maksimal Benda Uji Tarik. Kode Beban Leleh Beban ultimit kg kg Benda uji 485,924 494,169 Galv A 503,518 509,655 Galv 1 495.500 509,889 Galv 2 495,915 505,405 Galv 3 Terlihat bahwa benda uji galvalum 2 ( galv 2) belum mencapai kapasitas putusnya, hal ini karena kapasitas alat uji UTM ( universal testing machine) yang digunakan adalah 500 kg (0.5 Ton). Namun dengan memperhatikan kapasitas putus benda uji yang lain dapat diperkirakan kapasitas putusnya sekitar 509 kg.



Gambar 4. Hasil Uji Tarik Benda Uji Galvalum Gabungan. Mengingat bahwa grafik pada gambar 4.7. adalah grafik antara beban dan perpindahan, perlu diolah sehingga diperoleh tegangan leleh dan tegangan ultimate galvalum yang dijadikan benda uji tersebut. ..................................................................................................................... (2) Dimana ζ = Tegangan, P = Beban A = luas penampang Jadi Fy atau ( ) = 586.81 Mpa



Bidang Struktur - 565



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 2. Tegangan Leleh dan Tegangan Ultimate Galvalum beban beban leleh ultimit luas kode tebal lebar panjang mm mm mm kg kg mm2 A 0.75 11.25 100.00 485.924 494.169 8.4375 1 0.75 11.45 100.00 503.518 509.655 8.5875 2 0.75 11.40 100.00 495.5 509.889 8.55 3 0.75 11.45 100.00 495.915 505.405 8.5875 rata2



Fy Mpa 575.91 596.76 587.26 587.75 586.92



Fu Mpa 585.68 604.04 604.31 599 598.26



Dari keempat benda uji diambil nilai rata – rata dari tegangan leleh dan putus benda uji. Diperoleh Fy = 587 mpa dan Fu = 598 mpa. Adapun modulus elatisitas adalah sebagai berikut. Secara manual kapasitas leleh dan putus dari benda dapat diprediksi. Galvalum specimen akan mengalami titik leleh saat tegangan leleh galvalum dikalikan dengan luas penampang benda uji. Dan begitu pula dengan titik putus atau beban maksimal yang dapat diterima oleh benda uji adalah saat luasan penampang benda uji dikalikan dengan tegangan ultimate galvalum ( menurut brosure galvalum). Dari perhitungan manual diperoleh bahwa benda uji akan mengalami leleh saat beban 468 kg dan putus saat beban 516 kg. adapun secara rinci perhitungan beban leleh dan putus adalah sebagai berikut. leleh penampang kotor Nn = Fy.Ag = 500 x 0.75 x 12.5 = 4687.5 N = 4.6 KN fraktur pada penampang netto Nn = Fu . Ae = 550 x 0.75 x 12.5 = 5156.25 N = 5.16 KN Untuk mengetahui kevalidan data hasil eksperimen dibandingkan dengan data perhitungan secara manual. Seperti yang terlihat pada tabel 3. dengan berdasarkan data pada brosur baja ringan bahwa tegangan leleh dan putus baja ringan adalah masingmasing 500 Mpa dan 550 Mpa,



566 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 3. Perbandingan nilai beban (leleh dan putus) rencana dengan hasil eksperimen Kode galv.



tebal



lebar



panjang



mm



mm



mm



fy fu data data mpa mpa



leleh rencana kg



Leleh eksp kg



Putus rencana kg



putus eksp kg



A



0.75



11.25



100



500



550



421.88



485.92



464.06



494.17



1



0.75



11.45



100



500



550



429.38



503.52



472.31



509.66



2



0.75



11.40



100



500



550



427.50



495.50



470.25



509.89



3



0.75



11.45



100



500



550



429.38



495.92



472.31



505.41



427.03



495.21



469.73



504.78



nilai rata - rata



Pengujian Sambungan Pengujian berikutnya adalah pengujian terhadap sambungan. Meliputi sambungan 1 buah sekrup yang akan dibandingkan dengan sambungan lem dengan luasan lap yang sama. Pengujian Sambungan dengan 1 buah Sekrup Pengujian berikutnya adalah pengujian benda uji sambungan geser dengan sekrup. Berdasarkan SNI 7971 2013 tentang Struktur Baja Canai dingin jarak antara sekrup ke sekrup atau sekrup ke tepi tidak boleh kurang dari 3 kali diameter sekrup. Jarak lap minimal yang diperlukan menjadi 2 x 3 x diameter sekrup. Dengan menggunakan sekrup dengan diameter 4.22 mm diperlukan luasan lap minimal 25.32 mm x 25.32 mm. sambungan dengan 1 sekrup ini penulis menggunakan menggunakan benda uji sambungan dengan luas lap 36 x 36 mm ( > luas lap minimal) Tabel 4. Kode Benda Uji No Kode Keterangan Benda Uji S1 Benda Uji 1 Buah Sekrup 1 L1 Benda Uji Lem 1 2 GALV Benda Uji Tarik Galvalum 3



Gambar 6. rencana benda uji sambungan 1 buah sekrup Untuk memprediksi kapasitas sambungan sekrup dan lem, dilakukan perhitungan manual. Pada sambungan sekrup dicek kapasitas sambungan baik kapasitas tumpu maupun kapasitas geser. Adapun pengecekan kapasitas sambungan secara manual dapat dilihat pada perhitungan berikut.



Bidang Struktur - 567



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Kapasitas tumpu Rn = 2.4 x 0.75 x d x tp x fu ...................................................................................... (3) = 2.4 x 0.75 x 4.22 x 0.75 x 550 =3133 N = 313 Kg Kapasitas geser Luas Penampang sekrup; (4) =¼ x 3.14 x 4.22^2 = 13.97 mm2 Rn



= 0.75 x r1 x fub x Ab = 0.75 x 0.4 x 550 x 2 x 13.97 = 4610 N = 461 Kg Kapasitas bahan = Fu x A = 550 x 36 x 0.75 = 14850 N



(5)



(6)



Dari kedua jenis kapasitas sambungan sekrup di atas, terlihat bahwa kapasitas geser yang lebih menentukan kegagalan sambungan tersebut. Jadi diperkirakan benda uji sambungan sekrup mengalami kegagalan pada saat beban sebesar 313kg. sedangkan untuk kapasitas bahan adalah 14850 N atau 1485 kg. Pengujian Sambungan dengan Lem Pengujian berikutnya adalah sambungan geser dengan sambungan lem. Model benda uji pada Pengujian sambungan lem sikadur cf normal ini mengikuti model benda uji pengujian sambungan sekrup dengan luasan lap sambungan yang sama yaitu 36 x 36 mm.



Gambar 7. rencana benda uji sambungan lem Adapun pengecekan kapasitas sambungan lem sikadur cf normal ini bisa diprediksi dengan menggunakan data kekuatan lem yang tertera pada brosur lem sikadur. Dengan mengalikan kapasitas lekat lem dengan luasan lap diperoleh kapasitas sambungan dengan lem sikadur cf normal sebagai berikut. Untuk kapasitas lekat diambil 6 N/mm2 karena sambungan dicuring selama 1 hari. = ζ . Aadh = 6 x 36 x 36 = 7350 N = 730 Kg Dimana



Nn



568 – Bidang Struktur



(7)



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Nn = Kapasitas lekatan lem sikadur ζ = tegangan lekatan lem Aadh = luas bidang kontak lekatan Dari perhitungan diatas terlihat bahwa benda uji dengan sambungan lem sikadur cf normal seperti di atas akan mengalami kegagalan saat beban sebesar 7.3 KN relatif lebih besar dari kapasitas putus sambungan sekrup (2.76 KN). Namun dari hasil eksperimen diperoleh hasil 4.04 KN (< hasil teori 7.3 KN). Hasil ini diperkirakan karena permukaan galvalum yang licin sehingga lekatan lem dengan bahan galvalum tidak maksimal.



Gambar 8. Grafik Gaya – Perpindahan Sambungan Sekrup dan Lem Sikadur Cf Normal



6. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari studi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Galvalum sebagai material baja ringan memiliki tegangan leleh, fy dan tegangan putus Fu lebih tinggi dari pada baja konvensional, yang meliki tegangan leleh fy = 250 mpa dan tegangan putus, fu = 410 mpa. Dari hasil eksperimen yang dilakukan diperoleh hasil rata – rata dari empat benda uji tarik bahwa teganan leleh, fy galvalum = 586.92 Mpa dan tegangan putus galvalum, fu = 598.26 Mpa. 2. Material galvalum apabila ditarik maka grafik maka hanya memiliki daerah elastic dan plastic saja tanpa daerah strain hardening. Hal ini berbeda dengan baja konvensional yang memiliki tiga daerah berbeda yaitu daerah elastic, daerah plastic dan daerah strain hardening. 3. Sambungan dengan lem sikadur cf normal memiliki kapasitas tarik yang lebih besar dari pada sambungan sekrup dengan luas daerah lap yang sama. Akan tetapi sambungan dengan lem sikadur cf normal lebih getas daripada sambungan sekrup, untuk benda uji sambungan geser. Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. 1. Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai jumlah sekrup yang digunakan dengan berbagai konfigurasi untuk dapat perbanding yang lebih akurat.



Bidang Struktur - 569



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai kapasitas lem sikadur dengan berbagai macam umur curing, misalnya 2 hari, 3 hari, 1 bulan dan sebagainya, serta pengaruhnya terhadap perubahan suhu.



7. DAFTAR PUSTAKA 1.



American Institute of Steel Construction. 1993. Load and Resistance Factor Design Specificationfor Structural Steel Buildings, Chicago, IL.



2.



Adams RD, 2000, Adhesive Bonding Science Technology and Aplications, CRC Press, Woodhead Publishing Limited



3.



Criteria for Metal Structures, 4th edition, John Wiley & Sons



4.



Lim JBP., Nethercot DA., 2011, Stiffness Prediction for Bolted Moment Connections between Cold-Formed Steel Members, Elsevier Journal of Constructional Steel Research, Vol. 60, p.85-107



5.



Liljedahl CDM, Crocombe AD., Wahab MA., Ashcroft IA., 2006, ―Damage Modelling Of Adhesively Bonded Joints, International Journal of Fracture, Vol. 141, p. 141-161



6.



Von Karman, T., Sechler, E.E., and Donnell, L.H. 1932. The Strength of Thin Plates in Compression, Trans. ASME, Vol. 54.



7.



Winter, G. 1947. Strength of Thin Steel Compression Flanges, Trans. ASCE, Vol. 112.



8.



Yu, W.W. ―Cold-Formed Steel Structures, Structural Engineering, CRC Press LLC, 1999



570 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



BANGUNAN SEDERHANA TAHAN GEMPA MENGGUNAKAN PELAT LAMINASI Tony Hartono Bagio 1), Ronny Durrotun Nasihien 2), Faimun3), Priyo Suprobo 4) 1)



Mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Dosen Fakultas Teknik Prodi Teknik Sipil Universitas Narotama Surabaya 3) Dosen Fakultas Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 4) Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2)



ABSTRAK Pelat laminasi merupakan bahan dasar sekaligus sebagai struktur utama, Struktur utama adalah yang dapat menahan momen, geser dan axial. Dengan ringannya material, sehingga memudahkan transportasi dan pemasangan. sehingga sangat cocok untuk membangun rumah sederhana untuk melindungi kita dari panas atau hujan. Komponen bangunan ini terbuat fiber glass yang merupakan bahan yang sangat ringan, semakin kecil massa bangunan, gaya gempa akibat massa bangunan dapat diabaikan , sehingga dapat dikatakan bangunan yang tahan gempa. Lapisan serat fiber sudut serat rata-rata < 10°, merupakan sudut yang paling optimal. Gabungan antara lapisan serat fiber dan sepon merupakan lapisan dinding yang sangat ringan. Kata kunci : pelat laminasi gempa diabaikan, serat fiber, dinding ringan, tahan gempa



1. PENDAHULUAN Fiber Glass ini relative sangat ringan, sehingga tidak memerlukan lagi pondasi untuk memikul dinding (seperti halnya dinding konvensional).. Pondasi hanya diperlukan pada kolom-kolom pertemuan saja. Sehingga mengurangi biaya dari pemasangan pondasi menerus. Dalam hal transportasi, dapat menggunakan transportai udara, dimana beban yang dibawa oleh pesawat dapat membawa dinding fiber glass dalam jumlah relative besar / banyak dibanding dengan dinding konvensional. Sehingga jumlah unit yang akan dipasang akan lebih banyak dalam waktu relative singkat. Dinding fiberglass selain relative ringan, juga dapat menahan Gaya Horizontal. Sehingga Kolom-kolom tidak memerlukan demensi yang besar. Gaya Horizontal lainnya, yang ditahan kolom (demensi kolom menjadi besar), akan berkurang karena Komponen ini juga dapat menerima beban Horizontal, sehingga demensi kolom menjadi lebih kecil. Disamping itu pengiriman material, dapat menggunakan transportasi udara, sehingga waktu dan jumlah material menjadi lebih singkat dan jumlah yang akan dipasang menjadi lebih banyak.



2. PERMASALAHAN Bangunan sederhana merupakan bangunan satu, dua atau tiga lantai, dan tahan Gempa adalah selain mampu menahan gaya Horizontal juga karena materialnya yang ringan mengakibatkan Massa Bangunan berkurang sehingga pengaruh Gaya Horizontal berkurang juga. Sehingga diperlukan material yang ringan, Fiber Glass dan Spons merupakan material yang ringan, sehingga cocok digunakan dalam penelitian ini.



Bidang Struktur - 571



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Karena menggunakan 2 material yang berlainan, maka kedua material ini digabung atau diistilahkan komposit. Material Komposit ini merupakan salah satu komponen dari Bahan Bangunan, a) kemampuan komponen bahan bangunan terhadap lentur akibat gaya angin. b) kemampuan komponen bahan bangunan terhadap axial akibat berat atap dan juga berat sendiri. c) kemampuan komponen bahan bangunan terhadap geser akibat gaya angin gempa. d) kondisi sambungan antar panel, pertemuan I, antara panel lurus panel dengan panel, pertemuan T, antara panel dengan panel juga tegak lurus panel, pertemuan L , antara panel dengan tegak lurus panel, juga pertemuan +, yakni antara panel dengan panel, juga tegak lurus dan tegak lurus panel. e) Selain kemampuan komponen bahan bangunan secara experimental, diperlukan juga formulasi perhitungan secara matematis (sebagai perbandingan antara experiment dengan analitis



3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui a) Physical properties dari masing-masing komponen komposit b) Material properties dari masing-masing komponen komposit c) Kemampuan komponen komposit terhadap Geser, Axial dan Lentur secara experimental d) Kemampuan komponen komposit terhadap Geser, Axial dan Lentur secara analysis. Sehingga dengan diketahuinya Physical properties dan Material Properties secara komposit dapat diketahui pula kemampuan komponen komposit secara analytis



4. LINGKUP PEMBAHASAN 1. 2. 3. 4. 5.



Material yang digunakan dengan 3 lapisan, dimana n adalah ganjil. Jumlah Material Lapisan (m) = n / 2 (dibulatkan keatas), Posisi Material adalah simetris (mulai sisi tepi ketengah, material sama) Material yang tersedia disesuaikan dengan kondisi pasar Tegangan Lem (perekat) antar lapisan material lebih besar dari tegangan masing-masing material.



5. LATAR BELAKANG TEORI FSDT (First-order Shear Deformation Theory) Menurut H.R. Ovesy (2011), First-order Shear Deformation Theory (FSDT) diaplikasikan pada rumusan analisa. Asumsi FSDT adalah ) ( ) ̅( ) ( ) ̅( ( ) ( ) ̅ dimana ̅ ̅ ̅ adalah komponen displacement pada general point, sedang adalah komponen sejenis pada tengah permukaan ( ), Menggunakan persamaan (1) pada ekspansi Green untuk regangan bidang nonlinear dan mengabaikan ordo rendah, regangan pada general point adalah ̅



572 – Bidang Struktur



(2a)



(1)



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



dimana : . / {



}



. / {



{



}



} {



{



}



{



}



̅ ̅ ̅ ̅ {̅ }







{



̅ ̅ ̅ ̅ ∫ ̅ ̅ ̅ {̅ }



}



̅ ̅



} (2b)



̅ ̅ ̅



̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ] {̅ } ̅ ̅



̅ ̅



(3)



(4)



Pada persamaan diatas, total ketebalan dari laminasi = 2h , normal/panjang, = tegangan geser/panjang dan dan torsi / panjang



= tegangan = tegangan lentur



Bidang Struktur - 573



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



574 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 PENGARUH KELANGSINGAN Efektifitas rasio kelangsingan, ̅ ,dievaluasi berdasarkan tegangan tarik , menurut (Luible and Crisinel 2004), dari (C. Amadio dan C. Bedon, 2011)



̅



√(



)



Dengan



(5)



= tegangan tekuk Euler (6)



Dimana :



λ



(7) √



Asumsi Tegangan tarik Glass = = 17 MPa (European Committee of Standardisation, 2000) = moment Inersia dari total cross section, dengan anggapan, A = adalah total luasan penampang dari LG (Laminated Glass), Rumus yang digunakan adalah



6. HASIL PENGUJIAN TYPE A - Sudut serat antara 0-14º



Gambar 1. Specimen Type A



Gambar 2. Hasil Testing Specimen Type A dengan Sudut serat antara 0-14º Rata-rata Max = Displacement =



40 1.2



kg mm



Bidang Struktur - 575



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 3. Hasil Testing Specimen Type A dengan Sudut serat antara 17-25º Rata-rata Max = Displacement =



26 1.2



kg mm



TYPE B



Gambar 4. Specimen Type B



Gambar 5. Hasil Testing Specimen Type B dengan Sudut serat antara 0-7º Rata-rata Max = Displacement =



576 – Bidang Struktur



173 3



kg mm



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



170



Gambar 6. Hasil Testing Specimen TYPE B Rata-rata Max = Displacement =



170 3



dengan Sudut serat antara 8-17º



kg mm



157



Gambar 7. Hasil Testing Specimen TYPE B dengan Sudut serat antara 18-27º Rata-rata Max = Displacement =



157 3



kg mm



Bidang Struktur - 577



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean TYPE C



Gambar 8. Specimen Type C



Gambar 9. Hasil Testing Specimen TYPE C Rata-rata Max = Displacement =



dengan Sudut serat antara 0-7º



48.29 kg 1 mm



Gambar 10. Hasil Testing Specimen TYPE C dengan Sudut serat antara 8-15º Rata-rata Max = Displacement =



578 – Bidang Struktur



33 1



kg mm



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 TYPE D



Gambar 11. Specimen Type D



33



Gambar 11. Hasil Testing Specimen TYPE D dengan Sudut serat antara 0-5º Rata-rata Max = Displacement =



33.17 kg 0.7 mm



7. KESIMPULAN Hasil penelitian yang ada memberikan kesimpulan sebagai berikut: TYPE A ( TYPE B ( TYPE B ( TYPE C ( TYPE C ( TYPE D (



= 0-14º). Average Max = 40 kg .Displacement = 1.2 mm = 0-17º ). Average Max = 170 kg. Displacement = 3 mm = 18-27º), Average Max = 157 kg . Displacement = 3 mm = 0-7º ), Average Max = 48.29 kg . Displacement = 1 mm = 8-15º ), Average Max = 33 kg . Displacement = 1 mm = 0-5º ) , Average Max = 33.17 kg . Displacement = 0.7 mm



8. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini di danai oleh Hibah Bersaing, Dirjen Dikti, 2014



Bidang Struktur - 579



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



9. REFERENSI 1.



Amadio, C. and C. Bedon (2011), "Buckling of Laminated Glass Elements in Compression", Journal of Structural Engineering ASCE. 803-810



2.



Daxu Zhang, Jianqiao Ye, and Dennis Lam, (2007) ―Free-Edge And Ply Cracking Effect In Angle-Ply Laminated Composites Subjected To In-Plane Loads‖, Journal of Engineering Mechanics ASCE. 1268-1277



3.



Ji, Wooseok and Anthony M. Waas (2008), ―Wrinkling and Edge Buckling in Orthotropic Sandwich Beams‖, Journal of Engineering Mechanics ASCE. 455-461



4.



Mohammadi, M., V. Akrami and R. Mohammadi-Ghazi (2011), "Methods to Improve Infilled Frame Ductility", Journal of Structural Engineering ASCE. 646-653



5.



Nanda, Namita and J. N. Bandyopadhyay (2008) "Nonlinear Transient Response of Laminated Composite Shells", Journal of Engineering Mechanics ASCE., 983-990



6.



Ovesy, H.M. and M. Kharazi (2011) , "Stability Analysis of Composite Plates with Through-the-Width Delamination", Journal of Engineering Mechanics, ASCE (87-100)



7.



Paolo Foraboschi (2007) , "Behavior and Failure Strength of Laminated Glass Beams", Journal of Engineering Mechanics, ASCE (1290-1301)



8.



Qiao, Pizhong , Luyang Shan, Fangliang Chen and Jialai Wang (2010), " Local Delamination Buckling of Laminated Composite Beams Using Novel Joint Deformation Models", Journal of Engineering Mechanics ASCE. 541-550



9.



Suprobo, Priyo (2011) ―Theory of Plates‖, 2nd Edition, ITS Press



10.



Composite Structural Insulated Panels for Exterior Wall Applications", Journal of Composite for Construction ASCE. 464-469



11.



Weaver, Paul M. and Michael P. Nemeth (2007),"Bounds on Flexural Properties and Buckling Response for Symmetrically Laminated Composite Plates", Journal of Engineering Mechanics ASCE. 1178-1191



580 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



DISAIN PENULANGAN BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN MACRO EXCEL BERDASARKAN SNI 2847-2013 Tony Hartono Bagio 1), Tavio 2) 1) Mahasiswa Program Doktoral Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2) Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya



ABSTRAK Dengan bantuan Macro Excel, dapat mendisain Balok untuk penulangan Tunggal, penulangan Rangkap, Balok T / Balok L, dengan input fc‘, fy, b, d, d‘, Mu dan untuk balok T/L ada tambahan input bf, hf akan di hasilkan As(tulangan tarik, mm²) dan As‘ (tulangan tekan, mm²), dapat juga menghitung jarak sengkang disebabkan Geser dan Torsi, juga penulangan memanjang akibat Torsi. Sedang untuk mendisain Kolom, data yang diperlukan adalah fc‘, fy, b, h, Pu, Mu, dimana ns adalah jumlah sisi (2 sisi atau 4 sisi) bila kolom persegi atau jumlah tulangan bila kolom bulat, akan di hasilkan Atotal(tulangan total kolom, mm²). Perhitungan disain menggunakan peraturan SNI 2847-2013, harga Ø akibat momen lentur selalu berubah 0.65 ≤ Ø ≤ 0.9 , sehingga bila mendisain penulangan rangkap menggunakan ρmax = 0.75 ρbalance, maka Ø ≤ 0.9, (bila fy = 400 MPa, maka Ø = 0.789). Kata Kunci : Desain penulangan, Beton Bertulang, Macro Excel



1. PENDAHULUAN Dalam mendesain Balok, baik balok persegi atau balok T/L variable utama yang diperlukan dalam mendesain adalah fc‘, fy, fys, b/bw, bf, d, d‘, ds, h, hf, Mu, Tu, sedang untuk Kolom dibutuhkan tambahan Nu (gaya axial ultimate, kN). Ada perbedaan mendasar antara Kolom Persegi dan Kolom Bulat, dimana b untuk kolom bulat di isi dengan angka 0, sedang h untuk kolom bulat adalah diameter dari kolom. Selain itu nb adalah jumlah baris (untuk kolom persegi), jumlah batang tulangan (untuk kolom bulat).



Gambar 1. n Kolom Persegi vs n Kolom Bulat Lentur merupakan variable utama dalam mendesain balok persegi atau balok T/L, selain itu pengaruh Geser dan Torsi juga merupakan variable utama, sedang gabungan Lentur dan Gaya Axial adalah variabel utama dalam mendesain Kolom. Fungsi Microsoft Excel merupakan tools yang sering dipergunakan dalam setiap melakukan aktifitas. Dengan kemudahan Excel ini dibuatlah fungsi khusus untuk



Bidang Struktur - 581



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean menghitung konstruksi beton dengan menggunakan Macro Excel, fungsi fungsi ini dapat menghitung PreB(preliminary desain untuk lebar balok), PremD(preliminary desain untuk tinggi effective balok), PremH(preliminary desain untuk tinggi total balok), As (tulangan Tarik balok, mm²), As‘ (tulangan Tekan Balok, mm²), SGeser (Jarak tulangan sengkang akibat geser, mm), STorsi (Jarak tulangan sengkang akibat geser dan torsi, mm), Amem (tulangan memanjang balok akibat torsi, mm²), AsBeamT (tulangan Tarik Balok T/L, mm²), AtCol (Atotal untuk kolom, mm²), PhiCol (Ø untuk kolom, unitless).



2. TEORI YANG DIGUNAKAN Penulangan Lentur pada Balok Persegi, terutama penulangan Rangkap, menggunakan rumus berikut: ( ). / ( ) Dimana : (



)



(1) (2)



Penulangan untuk balok T/L, hampir mirip dengan persamaan (1), menggunakan rumus berikut : ( ) . / ( ) Dimana :



(3) (4)



Untuk jarak penulangan Geser, digunakan rumus berikut ini: (5) Sedang jarak penulangan Torsi, adalah : (6) Penulangan Kolom, mempunyai dua variable yang dibutuhkan, (7) .



/



.



/



.



/



Persamaan (1) s/d (8) diambil dari referensi [1] dan [2].



3. APLIKASI FUNGSI EXCEL Balok Persegi PreB(mm) = TrialB(fc‘, fy, Mu) PreD(mm) = TrialD(fc‘, fy, Mu)



582 – Bidang Struktur



(8)



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 PreH(mm) = TrialH(fc‘, fy, Mu) As (mm²) = Astarik(fc', fy, b, d, d‘, Mu) As‘(mm²) = AsTekan(fc', fy, b, d, d‘, Mu) Balok T/L Asf (mm²) = AsBeamT(fc‘, fy, bf, bw, hf, d, Mu) Geser Jarak Sengkang = SGeser(fc‘, fy, b, d, ds, nk, Vu) Torsi Jarak Sengkang = STorsi(fc, fy, fys, b, h, bw, hf, ds, Vu, Tu) Amemanjang = Amem(fc, fy, fys, b, h, bw, hf, ds, Vu, Tu) Kolom Persegi/Bulat Atotal (mm²) = AtCol(fc‘, fy, b, h, d‘, nb, Nu, Mu) Ø = PhiCol(fc‘, fy, b, h, d‘, nb, Nu, Mu) Bila Kolom Persegi, b > 0, nb = jumlah baris Bila Kolom Bulat, b = 0, h = diameter, nb = jumlah batang



Gambar 2. Preliminary Dimensi Penampang (b, d, h)



Bidang Struktur - 583



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 3. Penulangan Rangkap Balok Persegi



Gambar 4. Penulangan Balok T/L



584 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 5. Penulangan Geser pada Balok



Gambar 6. Penulangan Torsi pada Balok



Bidang Struktur - 585



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 7. Penulangan As Total pada Kolom Persegi



Gambar 8. Penulangan As Total pada Kolom Bulat



586 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



4. KESIMPULAN Macro Excel dapat membuat fungsi beton pada Microsoft Excel, fungsi – fungsi beton tersebut adalah sebagai berikut : 1. TrialB(fc‘, fy, Mu) 2. TrialD(fc‘, fy, Mu) 3. TrialH(fc‘, fy, Mu) 4. AsTarik(fc', fy, b, d, d‘, Mu) 5. AsTekan(fc', fy, b, d, d‘, Mu) 6. AsBeamT(fc‘, fy, bf, bw, hf, d, Mu) 7. SGeser(fc‘, fy, b, d, ds, nk, Vu) 8. STorsi(fc, fy, fys, b, h, bw, hf, ds, Vu, Tu) 9. Amem(fc, fy, fys, b, h, bw, hf, ds, Vu, Tu) 10. AtCol(fc‘, fy, b, h, d‘, nb, Nu, Mu) 11. PhiCol(fc‘, fy, b, h, d‘, nb, Nu, Mu)



5. NOTASI b= bf bw d= d' = ds fc' fy fys h hf Mu nb nk Nu Tu Vu



lebar muka tekan komponen struktur, mm = lebar flange, mm = lebar badan (web), mm jarak dari serat tekan terjauh ke pusat tulangan tarik longitudinal, mm jarak dari serat tekan terjauh ke pusat tulangan tekan longitudinal, mm = diameter sengkang, mm = kekuatan tekan beton yang disyaratkan, MPa, = kekuatan leleh tulangan yang disyaratkan, MPa = kekuatan leleh tulangan transversal yang disyaratkan , MPa = tebal atau tinggi total komponen struktur, mm = tinggi flange, mm = momen terfaktor pada penampang, kN⋅m = jumlah baris (kolom persegi) / jumlah batang (kolom bulat), unitless = jumlah kaki sengkang ( 2, 3, 4), unitless = gaya aksial terfaktor tegak lurus terhadap penampang, kN, diambil sebagai positif untuk tekan dan negatif untuk tarik = momen torsi terfaktor pada penampang, kN⋅m = gaya geser terfaktor pada penampang, kN



6. REFERENSI 1.



ACI 318-99, "Building Code Requirements for Structural Concrete, with Design Applications", Portland Cement Association, 1999



2.



Edward G. Nawy, Tavio, Benny Kusuma, ‖Beton Bertulang Jilid I‖, ITS Press, 2010



3.



SNI 2847-2013, ―Persyaratan beton structural untuk bangunan Gedung‖, 2013



Bidang Struktur - 587



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



588 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMANFAATAN SERBUK KAYU LOKAL KALIMANTAN DAN PASIR MAHAKAM SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN BATAKO KOMPOSIT MORTAR SEMEN Yudi Pranoto1 dan Cysilia Octavia2 1



Staf Pengajar, Politeknik Negeri Samarinda, email: [email protected] Staf Pengajar, Politeknik Negeri Samarinda, email: [email protected]



2



ABSTRAK Serbuk kayu adalah limbah organik yang merupakan bahan sisa hasil penggergajian yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai daerah penghasil kayu tentunya kalimantan memiliki limbah kayu yang cukup besar. Apabila hal ini tidak dicarikan solusi penangannannya tentunya akan menyebabkan masalah lingkungan, karena limbah gergaji membutuhkan ruang untuk pembuangan. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai bahan bangunan dengan memanfaatkan serbuk kayu yang memberikan hasil semakin besarnya penggunaan serbuk kayu pada campuran menjadikan bahan bangunan semakin lebih ringan, akan tetapi kekuatannya semakin rendah. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kekuatan batako yaitu dengan memberikan komposit pada lapisan luar keliling batako. Proses pembuatan batako terdiri dari dua tahapan, tahapan pertama dengan meletakan campuran beton ringan serbuk kayu, kemudian dilanjutkan dengan tahapan yang kedua yaitu dengan memberikan lapisan mortar semen dengan variasi ketebalan 2 cm, 3 cm dan 4 cm. Hasil penelitian didapat kenaikan kuat tekan batako komposit mortar semen pada keliling batako dengan ketebalan mortar semen masing masing 2 cm, 3 cm dan 4 cm dihasilkan berturut-turut adalah 1,25 MPa, 1,56 MPa dan 1,94 MPa untuk batako serbuk kayu ulin, 0.91 Mpa, 1,26 Mpa dan 1,1 Mpa untuk batako serbuk kayu galam sedangkan untuk batako serbuk kayu kapur masing masing 0,42 Mpa, 0,78 Mpa, dan 0,93 Mpa. Berat jenis untuk untuk kayu ulin rata-rata adalah 362,6 kg, bataton kayu galam adalah 328,3 kg sedangkan untuk kayu kapur 308,7 kg. Kata kunci: serbuk kayu, batako, kuat tekan



1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, sehingga menjadikan Kalimantan Timur sebagai salah satu profinsi dengan kemajuan pembangunan yang cukup tinggi. Sejalan dengan makin pesatnya pembangunan di Kalimantan Timur, maka bahan-bahan bangunan yang digunakan seperti semen, pasir, batu bata, batako juga semakin banyak. Sedangkan bahan bahan tersebut di alam sangat terbatas jumlahnya. Bahkan sebagian bahan tersebut ( pasir dan batu pecah ) masih mengambil dari Sulawesi. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kita dapat menciptakan berbagai macam rekayasa dengan memanfaatkan bahan-bahan sisa hasil olahan yang ada di sekitar kita untuk terciptanya bahan bangunan tepat guna dan ramah lingkungan. Penggunaan bata dan batako sebagai bahan bangunan pembuat dinding sudah populer dan menjadi pilihan utama masyarakat di Indonesia sampai dengan saat ini, namun dari bahan-bahan bangunan ini mempunyai kelemahan tersendiri yaitu berat per meter kubiknya yang cukup besar sehingga berpengaruh terhadap besarnya beban mati yang bekerja pada struktur bangunan. Beban mati pada struktur bangunan dapat diminimalkan dengan pengurangan berat sendiri yaitu dengan menggunakan bahanbahan yang ringan. Berbagai macam cara ditempuh untuk mengantisipasi, yaitu



Bidang Struktur - 589



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean penggunaan bahan-bahan alternatif berupa penggunaan bahan limbah dari jenis bahan organik dan anorganik. Salah satu jenis bahan limbah yang belum termanfaatkan dengan baik adalah serbuk kayu. Kalimantan sebagai salah satu penghasil kayu tentunya akan menjadi pendukung dalam upaya menciptakan inovasi teknologi bahan bangunan yang lebih baik.



2. METODE PENELITIAN Bahan dan Benda Uji Benda uji yang yang dipergunakan dalam penelitian ini terbuat dari bahan-bahan serbuk gergaji sebagai bahan pengisi campuran bagian dalam, pasir sebagai bahan pengisi campuran lapisan luar, semen portland tipe I merek Semen Gresik 50 kg/kantong sebagai perekat, dan air. Benda uji batako berukuran panjang 20 mm, lebar 5 mm dan tinggi 10 mm. Jumlah dan Pengkodean benda uji dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4. Tabel 1 : Jumlah dan pengkodean/penomoran benda uji batako



Benda uji



No. benda uji



1. Batako non serbuk 2. Batako non komposit (batako serbuk kayu kapur) 3. Batako non komposit (batako serbuk galam) 4. Batako non komposit (batako serbuk ulin)



5. Batako serbuk ulin komposit 6. Batako serbuk galam komposit 7. Batako serbuk kayu kapur



Kode benda uji



Jumlah benda uji



1 sampai BNS 1-2 dengan 2 BNKP 11 sampai 2 dengan 2



2 2



BNKB 1 sampai 2 dengan 2 BNKU 1 sampai 2 dengan 2 1 sampai BSUK dengan 2 2 1 sampai BSBK dengan 2 2



2



2



1-



1-



1-



2



2



2



6



1-



2



2



2



6



2



2



2



6



1 sampai BSKP 1dengan 2 2 Jumlah keseluruhan benda uji batako



590 – Bidang Struktur



Jumlah variasi ketebalan (mm) 2 3 40 0 0



26



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2 : Jumlah dan pengkodean benda uji silinder beton serbuk fas Semen Serbuk No. benda Kode Benda uji rencana (kg) (kg) uji benda uji Silinder 0,40 250 113 1 sampai SSNS 1-2 beton non dengan 2 serbuk Silinder 0,40 250 113 1 sampai SSKP 1-2 beton serbuk dengan 2 kayu Kapur / kapur Silinder 0,40 250 113 1 sampai SBSB 1-2 beton serbuk dengan 2 kayu galam Silinder 0,40 250 113 1 sampai SBSU 1-2 beton serbuk dengan 2 kayu ulin Jumlah keseluruhan benda uji silinder beton



Tabel 3 : Jumlah dan pengkodean/penomoran benda uji mortar Variasi fas Kode Benda uji campuran No. benda uji benda Semen : Pasir uji Mortar 1 : 1,5 0,40 1 sampai dengan MVIS 1-3 3 Jumlah keseluruhan benda uji kubus mortar



Jumlah benda uji 2



2



2



2



8



Jumlah benda uji 3 3



Tabel 4 : Jumlah dan pengkodean/penomoran benda uji kayu Kode benda Jumlah benda Benda uji No. benda uji uji uji Kayu Ulin 1 sampai KU 1-3 3 dengan 3 Kayu Galam 1 sampai KB 1-3 3 dengan 3 Kayu kapur 1 sampai KP 1-3 3 dengan 3 Jumlah keseluruhan benda uji kayu 9



Bidang Struktur - 591



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Mortar semen



T



Batako serbuk kayu



T



5 cm



Batako serbuk kayu



5 cm



T



T



20 cm



20 cm



Tampak atas batako serbuk kayu komposit



Tampak atas batako serbuk kayu komposit



1 cm



2 cm



5 cm



Gambar 1 : Rencana pembuatan benda uji batako Sketsa rencana pembuatan benda uji dan ilustrasi batako serbuk kayu komposit mortar semen seperti terlihat pada Gambar 1. Keterangan: T = Tebal lapisan luar Proses Penelitian Berikut bagan alir penelitian (langkah langkah penelitian) yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini.



Gambar 2: Bagan alir penelitian



592 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian Bahan Dasar 1. Pasir (agregat halus) Tabel 5: Hasil pengujian pasir Sifat teknis agregat halus Data hasil uji Berat Jenis



Kering mutlak



2,62



SSD



2,69



Serapan Air (%) Berat Satuan (kg/m3)



2,65 1.580



Gradasi ukuran pasir Modulus Halus Butir



Daerah II 2,86



Kandungan Lumpur (%) Kandungan Zat Organis 2.



4,25 warna lebih muda



Standar teknis 2,5 – 2,7



1,200 – 1,600 2,50 – 3,80 Max 5 % Tidak gelap



Kategori Agregat normal Agregat normal



halus halus



Agregat halus normal Agak kasar Agregat halus normal Memenuhi syarat Memenuhi syarat



Serbuk kayu



Tabel 6: Hasil pengujian serbuk kayu Berat satuan Serbuk kayu (kg/m3) Serbuk Kayu Ulin 236 Serbuk Kayu Galam 194 Serbuk Kayu Kapur 127



Kadar air (%) 19,32 22,34 20,76



Perhitungan kebutuhan bahan berdasarkan nilai sebar Tabel 7 : Perancangan kebutuhan bahan beton serbuk kayu per m3 Jumlah fas Semen Serbuk Air Berat per m3 kebutuhan (kg) (kg) (lt) (kg) bahan per m3 0,6 250 113 150 513 Tabel 8 : Perancangan kebutuhan bahan lapisan luar per m3 fas Semen Pasir Air Berat per (kg) (kg) (ltr) m3 (kg) 0,40 666,99 1.266,21 266,80 2.200



Bidang Struktur - 593



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



4. HASIL PENGUJIAN Silinder beton Kuat tekan rerata beton serbuk kayu 0,425 MPa untuk kayu kapur, 0,708 Mpa untuk kayu galam dan 1,062 Mpa untuk kayu ulin yang diperoleh dapat diklasifikan sebagai beton dengan kuat tekan yang rendah (Gambar 3). Berdasarkan pemeriksaan berat beton yang diperoleh sebesar 799,72 kg/m3, dapat diklasifikan sebagai beton ringan dengan kuat tekan yang dipenuhi, menurut Dobrowolski (1998) kuat tekan antara 0,35 MPa sampai dengan 6,9 MPa, menurut Neville and Brooks (1987) kuat tekan antara 0,7 MPa sampai dengan 7 MPa, dan untuk struktur sangat ringan sebagai isolasi menurut SNI 033449-2002 GRAFIK UJI TEKAN SILINDER BETON



Kuat Tekan (Mpa)



10.000 8.000



6.000 4.000 2.000 0.000 Benda uji



SSNS 10.262



SSKP 0.425



SBSB 0.708



SBSU 1.062



Gambar 3: Grafik kuat tekan silinder Lapisan luar Berat jenis mortar dalam penelitian ini diperoleh sebesar 2.293,76 kg/m³ yang berarti mortar semen tersebut sangat padat (pori-porinya lebih sedikit/kecil), sehingga daya serap airnya menjadi kecil dan kuat tekannya tinggi sebesar 79,01 MPa. Nilai serapan air yang diperoleh dalam penelitian ini adalah rendah sebesar 2,01 % untuk perendaman selama 10 menit dan nilai serapan air rerata sebesar 7,06 % untuk perendaman selama 24 jam. Jika dibandingkan dengan SNI 03-0348-1989, nilai serapan air lebih kecil dari syarat penyerapan air maksimum 25 % untuk batako mutu I. Hal ini disebabkan karena berat jenisnya yang besar, dimana dapat diartikan bahwa mortar semen tersebut sangat padat (pori-porinya lebih sedikit/kecil), karena perbandingan volume antara bahan-bahan penyusun yang digunakan adalah 1 semen : 1,5 pasir dengan nilai fas 0,4 yang memperlihatkan kuat tekan dipengaruhi oleh dua hal yang saling berhubungan, yaitu perbandingan adukan dan faktor air semen yang digunakan. Besarnya kuat tekan ini pula lebih dipengaruhi oleh jumlah bahan ikat yang dipergunakan dalam adukan, dalam hal ini semakin banyak bahan ikat/semen yang digunakan, maka kuat tekannya juga semakin besar. Sesuai dengan pernyataan Tjokrodimuljo (1996) yang menyebutkan bahwa semakin rendah nilai faktor air semen, semakin tinggi kuat tekan beton/mortar, namun pada suatu nilai faktor air semen tertentu, semakin rendah nilai faktor air semen, kuat tekan beton/ mortar semakin rendah pula, hal ini disebabkan karena jika faktor air semen terlalu rendah, adukan beton/mortar sulit untuk dipadatkan, sehingga menghasilkan mortar yang tidak rapat/padat dan berpori banyak, padahal sebagaimana benda padat lainnya, kuat tekan beton/mortar sangat dipengaruhi oleh besarnya pori-pori tersebut.



594 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Batako a. Batako non komposit Pemeriksaan berat rerata perbiji batako non komposit (batako serbuk kayu) dalam penelitian, diperoleh sebesar 5,8 kg untuk benda uji BNKP 6,1 untuk benda uji BNKB dan 6,4 untuk benda uji BNKU. Dari dari hasil pengujian kuat tekan batako juga diperoleh rata irata kuat tekan untuk benda uji BNKP sebesar 0,556 Mpa, benda uji BNKB sebesar 0,667 Mpa dan benda uji BNKU sebesar 1,111 Mpa. Jika dibandingkan dengan hasil uji kuat tekan silinder beton serbuk kayu diatas, terdapat perbedaan hasil. Perbedaan hasil ini selain disebabkan oleh faktor pemadatan, juga disebabkan oleh faktor luas penampang yang berbeda dari benda uji. Namun demikian perbedaan yang muncul tidaklah terlalu besar. Tabel 9: Hasil Pengujian batako non komposit No. Kode Berat Beban Kuat Benda (kg) Maksimum Tekan Uji (kg) (kg/cm²) 1 BNS 1 12.6 23000 102.22 2 BNS 2 12.5 24000 106.67 3 BNKP 1 5.8 500 2.22 4 BNKP 2 5.8 2000 8.89 5 BNKB 1 6.1 1000 4.44 6 BNKB 2 6.1 2000 8.89 7 BNKU 1 6.4 2500 11.11 8 BNKU 2 6.4 2500 11.11



Kuat Tekan (Mpa) 10.22 10.67 0.22 0.89 0.44 0.89 1.11 1.11



Rata rata (Mpa) 10.444 0.556 0.667 1.111



Batako serbuk kayu komposit Hasil pengujian kuat tekan batako komposit mortar semen seperti terlihat pada tabel 10 dan gambar 4 dibawah ini. Tabel 10: Hasil Pengujian batako komposit mortar semen No. Kode Berat Beban Kuat Kuat Benda Uji (kg) Maksimum Tekan Tekan (kg) (kg/cm²) (Mpa) 1 BSUK 1 t = 20 mm 6.8 3000 12.49 1.25 t = 30 mm 7 4000 15.63 1.56 t = 40 mm 7.4 6000 22.04 2.20 2 BSUK 2 t = 20 mm 6.8 3000 12.49 1.25 t = 30 mm 7 4000 15.63 1.56 t = 40 mm 7.4 5000 18.37 1.84 3 BSBK 1 t = 20 mm 6.2 2000 8.32 0.83 t = 30 mm 6.4 2500 9.77 0.98 t = 40 mm 6.7 3000 11.02 1.10 4 BSBK 2 t = 20 mm 6.2 2500 10.41 1.04



Bidang Struktur - 595



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5



6



t = 30 mm t = 40 mm BSKP 1 t = 20 mm t = 30 mm t = 40 mm BSKP 2 t = 20 mm t = 30 mm t = 40 mm



6.4 6.7



2500 3000



9.77 11.02



0.98 1.10



6 6.1 6.3



1000 1500 2000



4.16 5.86 7.35



0.42 0.59 0.73



6 6.1 6.3



1000 2500 3000



4.16 9.77 11.02



0.42 0.98 1.10



Berat (kg)



GRAFIK BERAT BATAKO 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 tebal 20 mm 6.800



tebal 30 mm 7.000



tebal 40 mm 7.400



Kayu galam



6.200



6.400



6.700



kayu kapur



6.000



6.100



6.300



kayu ulin



Gambar 4: Grafik berat batako serbuk kayu



GRAFIK KUAT TEKAN BATAKO



BKuat tekan (Mpa)



2.250 1.750 1.250 0.750 0.250 -0.250 tebal 20 mm 1.249



tebal 30 mm 1.270



tebal 40 mm 2.020



Kayu galam



0.937



0.977



1.102



kayu kapur



0.416



0.781



0.918



kayu ulin



Gambar 5: Grafik kuat tekan batako serbuk kayu Dari tabel diatas Dari tabel dan grafik di atas terlihat bahwa semakin tebal lapis komposit maka nilai kuat tekan batako akan semakin besar begitu juga dengan semakin besar penambahan lapis komposit juga akan menambah berat satuan batako. Selain itu juga dari ketiga komposisi penggunaan serbuk kayu, serbuk kayu ulin yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu sebesar 2,020 Mpa dari ketiga lapis penambahan lapisann luar



596 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 batako, sedangkan kayu kapur atau kayu Kapur memiliki kuat tekan yang paling rendah terutama pada penambahan komposit 20 mm yaitu sebesar 0,416 Mpa. Selain itu juga dari gambar 5 apabila ditinjau menurut persyaratan kuat tekan minimum batako pejal (SNI-3-0349-1989) sebagai bahan bangunan dinding untuk kelas empat batas bawah kuat tekan batako pejal adalah 2 Mpa, sehingga untuk variasi tebal lapisan 20 mm dan 30 mm tidak memenuhi syarat kuat tekan minimum rerata maupun syarat kuat tekan masing-masing benda uji. Sedangkan untuk variasi tebal lapisan 40 mm hanya untuk batako serbuk kayu ulin memenuhi syarat kuat tekan minimum rerata dan syarat kuat tekan masing-masing benda uji untuk batako mutu IV sedangkan batako serbuk kayu kapur dan Galam tidak memenuhi syarat minimum. Kebutuhan Bahan dan Biaya dalam 1 m3 Batako Serbuk kayu Komposit Mortar Semen Perancangan campuran dan kebutuhan batako sekam per m3 digunakan jumlah semen 250 kg, serbuk 113 kg, dan air 150 lt dengan fas 0,60 hasil dari uji sebar. Sedangkan perancangan campuran dan kebutuhan bahan lapisan luar per m3 digunakan jumlah semen 666,99 kg, pasir 1.266,21 kg, air 266,80 lt, dengan fas 0,40. Total kebutuhan biaya bahan lapisan luar per m3 Rp. 1.150.930,-. Dengan asumsi harga satuan dibawah ini : Asumsi harga : a. Batako serbuk kayu Semen = Rp. 1400,-/kg x 250 = Rp 350.000,Serbuk kayu = Rp. 500,-/kg x 113 = Rp 56.500,Total b. Lapis luar Semen = Rp. 1400,-/kg x 667 Pasir = Rp. 400,- / kg x 1.266 Total Total a + b



= Rp 406.500,= Rp 933.800,= Rp 506.400,= Rp 1.440.200,= Rp 1.846.700,-



Harga batako komposit mortar semen per m2 dinding Untuk perhitungan harga per biji batako serbuk kayu komposit dihitung berdasarkan volume dari masing-masing batako yang dikalikan dengan harga per m3 bahan. Sedangkan untuk harga per m2 luas dinding dihitung berdasarkan harga per biji batako dikalikan jumlah batako untuk 1 m2 luas dinding. Perhitungan harga batako per biji dan per m2 luas dinding batako serbuk kayu adalah dengan mengalikan volume batako serbuk kayu sebesar 0,008 m3 dengan harga per m3 bahan, didapat harga batako per biji Rp. 14.773,- dan harga per m2 luas dinding Rp. 192.057,-.



Bidang Struktur - 597



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5. KESIMPULAN 1. Kuat tekan batako serbuk kayu komposit untuk variasi ketebalan 20 mm, 30 mm, dan 40 mm, berturut-turut adalah 1,25 MPa, 1,56 MPa, dan 1,94 Mpa untuk batako kayu ulin, 0,91 Mpa, 1,26 Mpa, 1,1 Mpa untuk batako kayu Galam, sedangkan untuk kayu Kapur masng masing 0,42 Mpa, 0,78 Mpa dan 0,93 Mpa. 2. Berat jenis per 100 cm2 untuk bataton serbuk kayu ulin komposit mortar semen 40 mm adalah 362,6 kg, bataton kayu galam komposit mortar semen 40 mm adalah 328,3 kg sedangkan untuk kayu kapur 308,7 kg. 3. Klasifikasi mutu dan kuat tekan minimum yang disyaratkan dari SNI 03-0348-1989, hanya batako serbuk kayu ulin 40 mm, yang memenuhi syarat batako mutu IV.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Gideon, K (1993). Pengaruh Material terhadap Kuat Tekan Beton, Bandung. 2. NSPM Kimpraswil. (2002). Metode, Spesifikasi dan Tata Cara (Bagian 3 : Beton, Semen, Perkerasan Beton Semen), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bandung. 3. Poengki et all (2008). Batako Serbuk kayu Jati Komposit Mortar Semen, Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 4. Prayitno T.A., Modul Kuliah Teknologi Kayu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 5. Rantri C. et all. (2008). ―Kusen Beton Menggunakan Substitusi Serbuk Gergaji‖, Tesis Universitas gadjah Mada Yogyakarta. 6. SNI 03-0348-1989, Metode Pengujian dan Spesifikasi Bata Beton, Balitbang Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 7. SNI 03-1974-1990, Metode Pengujian Kuat Tekan Beton, Balitbang Departemen Kimpraswil , Jakarta. 8. SNI 03-6433-2000, Metode Pengujian Serapan Air pada Beton, Balitbang Departemen Kimpraswil, Jakarta. 9. SNI 03-6825-2002, Metode Pengujian Kuat Tekan Mortar, Balitbang Departemen Kimpraswil , Jakarta. 10. SNI 03-6861.1-2002, Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan Bangunan Bukan Logam), Balitbang Departemen Kimpraswil , Jakarta 11. Sumaryanto et all. (2009), Batako Sekam Padi Komposit Mortar Semen, Forum Teknik Sipil Indonesia. 12. Tjokrodimuljo, K (2004), Teknologi Beton, Buku Ajar, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13. Yulianto, I (2005), Perilaku Mekanik Beton Ringan Sekam Padi dengan Kandungan Semen Portland 250 kg/m3, 300 kg kg/m3, dan 350 kg/m3, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



598 – Bidang Struktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA GRAHA UTAMA A. YANI SURABAYA Akhmad Hady Amrullah, I Putu Artama Wiguna2 dan Retno Indryani3 1



Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya.Telp: 031 – 5939925, email: [email protected] 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya.Telp: 031 – 5939925, email: [email protected]



ABSTRAK Rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Graha Utama A. Yani Surabaya merupakan rusunawa yang dikelola oleh pihak swasta. Implementasi pengelolaan dan pelayanan sewa menyewa hunian aset pemerintah oleh pihak swasta harus berjalan dengan profesional.Adapun tujuan peneliti dalam melakukan penelitian adalah untuk menentukan prioritas untuk mengatasi atribut kualitas pelayanan yang mendominasi masalah dengan mengacu pada konsep Six Sigma, melalui tahapan Define, Measure, Analyze dan Improve (DMAI) Dalam pelaksanaan penelitian, pada tahap Define ditentukan atribut karakteristik kualitas pelayanan. Terdapat 27 atribut yang dikategorikan ke dalam 5 dimensi yaitu Tangible (6 atribut), Reliability (4 atribut), Responsiveness (5 atribut), Assurance (7 atribut) dan Empathy (5 atribut). Hasil analisis tahap Measure menunjukkan bahwa seluruh atribut tidak memenuhi kepuasan penghuni. Sseluruhgappersepsiharapan tiap atribut bernilai negatif. Tahap Analyze menghasilkan urutan prioritas penanganan atribut kualitas yang bermasalah. Pada tahap Improve diusulkan fokus penanganan masalah yaitu pada atribut yang paling mendominasi masalah. Terdapat 5 atribut yang mendominasi masalah antara lain atribut Tangible 2, atribut Assurance 4, 6 dan 7, serta atribut Responsiveness 2. Kata kunci: kualitas pelayanan, rusunawa, Six Sigma, Servqual, Graha Utama A. Yani



1. PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, penyelenggaraan rusunawa tidak hanya terfokus untuk mengatasi pemukiman kumuh saja dan kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) saja, kebutuhan masyarakat akan hunian dengan harga terjangkau meningkat. Hal ini dikarenakan Surabaya adalah kota metropolitan dengan kondisi kepadatan penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya, sedangkan harga hunian permanen semakin jauh dari kemampuan masyarakat untuk memilikinya. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyediakan rusunawa komersial yang peruntukannya tidak hanya untuk MBR tetapi masyarakat umum juga dapat menghuninya. Rusunawa komersial yang ada di Surabaya dikelola oleh pihak swasta dan dalam pengelolaannya tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Penentuan tarif hunian tidak lagi ditentukan oleh pemerintah meskipun harus tetap memperhatikan kebijakan peraturan perundangan yang berlaku. Pengelola dapat menetapkan tarif sendiri secara profesional dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam hal pengelolaan dan sewa menyewa hunian, penghuni rusunawa tidak boleh ada yang merasa dirugikan. Dengan demikian pihak pengelola berkewajiban untuk seoptimal mungkin memberikan pelayanan dan fasilitas yang sempurna kepada penghuni sesuai dengan tarif yang dibayarkan. Upaya peningkatan kualitas pelayanan yang berkesinambungan juga harus



Bidang Manajemen Konstruksi- 599



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean selalu dilakukan. Pelayanan yang buruk akan berdampak negatif pada kepercayaan masyarakat untuk memutuskan tetap tinggal di rusunawa. Rusunawa komersial yang ada di Surabaya saat ini adalah rusunawa yang terletak di Kelurahan Siwalankerto yang saat ini dikenal sebagai Apartemen Sederhana (Aparna) Graha Utama A. Yani Surabaya. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang berkesinambungan pengelola rusunawa memerlukan strategi yang terstruktur agar memudahkan dalam pengaplikasiannya. Penghuni sebagai pihak pertama pengguna jasa dapat dijadikan umpan balik dalam merancang strategi peningkatan kualitas pelayanan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis peningkatan kualitas pelayanan aparna Grha A. Yani Surabaya dengan memakai prinsip dari konsep Six Sigma. Konsep Six Sigma adalah metode yang dapat digunakan untuk membantu perusahaan dalam meningkatkan kualitas barang / jasa dengan cara mereduksi kegagalan produksi / defect (cacat pada barang) atau nonconfermance (ketidakcocokan pada jasa) hingga pada level Sigma tertentu atau yang diharapkan. Untuk memudahkan dalam implementasi konsep Six Sigma dilaksanakan dengan 4 langkah yang biasa disebut DMAI (Define, Measure, Analyze, Improve). Pengukuran terhadap ketidakcocokan dari proses pelayanan akan dilakukan dengan mengembangkan opini penghuni mengenai persepsi kualitas pelayanan yang ada terhadap kualitas pelayanan yang diharapkan. Dari analisis tersebut diharapkan menghasilkan solusi yang terstruktur dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan selanjutnya.



2. DASAR TEORI 2.1 Pola pengelolaan rumah susun Pengelolaan rumah susun tergantung dari pola investasi yang diterapkan. Uraian secara singkat dari model pengelolaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Pola Unit PelaksanaTeknis (UPT), Investasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui APBD/APBN yang tidak mengharapkan pengembalian investasi, tanah bangunan serta fasilitas di atasnya dikelola oleh UPT. (2) Pola (Penyertaan Modal Negara/Pemerintah (PMN), Jenis investasi ini biasanya dilakukan bersama dengan BUMN/BUMD. Penyertaan modal pemerintah/ negara yang diharapkan pulih biaya untuk digulirkan ke lokasi lain tanpa memperhitungkan tingkat keuntungan dari nilai investasi tersebut. Penyertaan modal pemerintahkepada BUMN/BUMD sehingga BUMN/BUMD memiliki wewenang dapat mengelola aset tanah dan bangunan tersebut. (3) Pola Kemitraan, investasidilakukanolehusaha bersama dalam bentuk kerjasama pembiayaan dan pengelolaan rusunawa antara perorangan atau kelompok masyarakat berbadan hukum (koperasi, yayasan, asosiasi profesi, dll) 2.2 Kualitas pelayanan rumah susun Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti Citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan persepsi pihak penyedia jasa. Namun berdasarkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Keterbatasan kemampuan pelayanan rumah susun berbasis sewa dalam memenuhi kebutuhan penghuninya akan mempengaruhi kondisi kepuasan tinggal penghuninya, sehingga penghuni harus melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Hasil adaptasi



600 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dari perilaku penghuni tersebut akan membawa dampak terhadap kenyamanan lingkungan tinggal unit hunian baik dampak yang baik maupun dampak yang buruk. Menurut Kotler dalam Supranto (1997), agar suatu produk dapat memberikan kepuasan pelanggan dan mempertahankannya, maka pihak perusahaan harus mengetahui dan memahami perilaku konsumennya. Sebab, dengan dipahaminya perilaku konsumen, perusahaan dapat memberikan kepuasan secara lebih baik kepada konsumennya. Menurut Zeithaml dalam Husain (2002), lima dimensi dalam menentukan kualitas jasa yaitu reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurances (jaminan), empathy (Empati) dan tangibles (produk-produk fisik). Dalam menentukan kualitas pelayanan rusunawa dapat digunakan kelima dimensi di atas untuk mengkategorikan atribut-atribut pelayanannya. Pelaksanaan pengukuran kelima dimensi tersebut bergantung pada atribut-atribut yang ada di dalam dimensi. Penilaian tiap atribut pelayanan diukur dari voice of customer dari para penghuni dengan menilainya dari sisi harapan dan persepsi mereka. 2.3 Six Sigma Six sigma merupakan suatu filosofi pada intinya bekerja dengan lebih cerdas (smart) bukanlebih keras dengan membuat seminimum mungkin kesalahan yang mungkin muncul untuk memenuhipermintaan konsumen. Strategi bisnis Six sigma yang bertujuan untuk memberikan kepuasan yangtinggi kepada konsumen dengan meningkatkan kualitas produk dan menghasilkan produkAdapun beberapa definisi Six Sigma menurut beberapa pakar, yaitu: (1) Menurut Manggala, (2005), Six Sigma merupakan sebuah metodelogi terstruktur untuk memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk atau jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif. (2) Menurut Gaspersz, (2002) Six Sigma adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan atau jasa). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri yang berfokus pada pelanggan melaluipenekanan pada kemampuan proses (process capability) (Gaspersz, 2002). 2.4 Analisis Servqual Menurut Kotler (2003) kepuasan merupakan perasaan senang ataupun kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Apabila kinerja lebih kecil dari harapan konsumen akan merasakan tidak puas. Apabila kinerja sama dengan harapan konsumen akan merasakan puas, demikianlah kualitas kinerja produk maupun jasa. Dalam konteks pengukuran variabel kualitas pelayanan, Berry, dik. (1988) mengidentifikasikan lima dimensi ukuran kualitas layanan yaitu reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan/daya tanggap), assurance (jaminan), tangibles (bukti langsung), dan empathy (empati). Pengukuran semacam ini dikenal sebagai model servicequality (Servqual).



Bidang Manajemen Konstruksi- 601



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



PELAYANAN YANG DIHARAPKAN



GAP



PELAYANAN YANG DITERIMA



Gambar 33. Gap Analisis Dari Gambar1 dapat disimpulkan rumus penghitungan gap sebagai berikut ( ) ( ) ....................................... (1) Untuk penentuan prioritas penanganan atribut maka nilai gap masing-masing atribut nantinya dikalikan dengan bobotnya. 2.5 Analisis kuadran harapan-persepsi Pelaksanaan analisis kuadran dimulai dengan mencari nilai rata-rata masing-masing jawaban atribut baik mengenai persepsi maupun harapan. Setelah diketahui rata-rata dari masing-masing atribut kemudian menggambarkannya pada sebuah diagram dengan nilai atribut harapan pada sumbu Y dan atribut persepsi pada sumbu X



Gambar 34.Analisis kuadran Garis vertikal dan horizontal di tengah kuadran menunjukkan nilai tengah (median) dari keseluruhan nilai atribut. Berikut penjelasan tentang posisi atribut pada setiap kuadran: (1) Kuadran A diisi oleh atribut dengan nilai harapan tinggi tetapi nilai persepsinya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok atribut pada jendela A merupakan atribut prioritas utama. (2) Kuadran B diisi oleh atribut dengan nila harapan tinggi dan persepsi yang tinggi pula. Atribut pada kelompok ini merupakan atribut yang perlu dipertahankan kualitasnya. (3) Kuadran C diisi oleh atribut dengan nilai harapan rendah dan nilai persepsinya juga rendah. Atribut pada kelompok ini merupakan atribut prioritas rendah. (4) Kuadran D diisi oleh atribut dengan nilai harapan rendah namun nilai persepsinya tinggi. Atribut pada kelompok ini merupakan atribut yang kualitas pelayanannya berlebihan



3. METODE PENELITIAN Metode penelitian mengacu pada tahapan pelaksanaan metode Six Sigma yaitu DMAIC. Namun pada penelitian ini tahap control (C) tidak dilakukan karna terkendala waktu, dimana proses control memerlukan waktu yang lama. Tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada gambar 3.



602 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



1 Define (D)



   



2 Measure (M)



     



Menentukan atribut kualitas pelayanan Menentukan variabel dan indikator sebagai atribut dari kualitas pelayanan Menentukan metode pengukuran kualitas pelayanan Menentukan cara pengukuran variabel, dan cara memperoleh data



Perancangan kuesioner sebagai alat untuk memperoleh data primer. Menguji kelayakan kuesioner Melaksanakan pengambilan data voice of customers Menganalisis data dengan metode Servqual, mencari gap antara implementasi persepsi dan harapan penghuni untuk setiap atribut pelayanan. Mengidentifikasi atribut pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan Menganalisis data dengan diagram kuadran persepsi harapan



3 Analyze (A)



 



Menganalisis urutan prioritas atribut bermasalah Mengelompokkan atribut kedalam kategori dua kategori yaitu kelompok “Prioritas Utama” dan “Prioritas Rendah”



4 Improve (I)



 



Menentukan atribut yang mendominasi permasalahan Fokus peningkatan adalah pada atribut yang mendominasi permasalahan



Gambar 35. Tahapan penelitian 3.1 Variabel Variabel dalam penelitian ditentukan dengan studi pustaka terhadap literatur dan beberapa penelitian terdahulu. Pertimbangan penentuan variabel juga diperkuat dengan pelaksanaan survey pendahuluan. Adapun variabel dan indikator / atribut yang diukur dalam penelitian ditunjukkan oleh Tabel 1. 3.2 Pengukuran Teknik pengukuran dalam data kuesioner pada penelitian ini menggunakan skala penilaian dengan skala Likert 1 sampai dengan 5. Skala ini digunakan untuk mengukur pendapat dan persepsi responden terhadap variabel penelitian. Kriteria skala pengukuran yang digunakan dalam kuesioner pada penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Pengukuran harapan responden terhadap kualitas pelayanan rusunawa: a. Responden yang menjawab sangat tidak penting dengan nilai 1 b. Responden yang menjawab tidak penting dengan nilai 2. c. Responden yang menjawab agak penting dengan nilai 3. d. Responden yang menjawab penting dengan nilai 4. e. Responden yang menjawab sangat penting dengan nilai 5. (2) Pengukuran persepsi responden atas kualitas pelayanan yang selama ini diberikan: a. Responden yang menjawab sangat tidak puas dengan nilai 1 b. Responden yang menjawab tidak puas dengan nilai 2. c. Responden yang menjawab agak puas dengan nilai 3. d. Responden yang menjawab puas dengan nilai 4. e. Responden yang menjawab sangat puas dengan nilai 5.



Bidang Manajemen Konstruksi- 603



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27



Syarat penerimaan penghuni Pemberlakuan tata tertib dengan tegas Penyelesaian perselisihan antar penghuni Kedisiplinan pengelola datang tepat waktu



Rel1 Rel2 Rel3 Rel4



Kemampuan berkomunikasi dengan baik Kecepatan dalam mengatasi keluhan Pertemuan rutin dengan warga Kemampuan untuk membantu 24 jam Cepat & mudah dalam urusan administrasi



Res1 Res2 Res3 Res4 Res5



Ketersediaan informasi yang lengkap Kemanan dan kenyamanan tinggal di rusunawa Kesesuaian tarif sewa rusunawa Pengecekan berkala utilitas dalam dan luar gedung Pengecekan kondisi lingkungan Pengecekan kebersihan Pengecekan umur bangunan



Ass1 Ass2 Ass3 Ass4 Ass5 Ass6 Ass7



Keramahan pengelola terhadap penghuni Kelonggaran dalam pembayaran Penyusunan tata tertib bersama Komunikasi antar pengelola dan penghuni Perhatian secara individu kepada penghuni rusunawa



Emp1 Emp2 Emp3 Emp4 Emp5



Tangible Realibility



11 12 13 14 15



Kode Tan1 Tan2 Tan3 Tan4 Tan5 Tan6



Responsiveness



7 8 9 10



Atribut Kualitas Kondisi gedung Kondisi ruangan dalam hunian Ketersediaan air bersih dan sanitasi Ketersediaan fasilitas sosial Fasilitas keamanan Fasilitas kebersihan dan persampahan



Assurance



No 1 2 3 4 5 6



Empathy



Tabel34. Variabel dan indikator



Sumber: Diolah dari berbagai sumber



4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Tahap Define Tahap Define adalah tahap definisi yang dimulai dengan penentuan metode, penentuan variabel, penentuan cara pengukuran variabel dan seterusnya, sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya yaitu bab Metode penelitian. 4.1.1 Populasi dan sampel Populasi dari penghuni adalah sebesar total dari penghuni aktif rusunawa. Dari data pengelola diketahui bahwa hunian dalam kondisi tersewa terdapat 360 hunian. Sampel yang ditentukan adalah 100. Penentuan jumlah sampel tersebut mempertimbangkan keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian.



4.1.2 Pengumpulan data Tahap Define juga mencakup pelaksanaan pengumpulan data dan input data. Dari pelaksanaan pengambilan data, responden yang digunakan adalah 100 responden. Profil dari responden teridiri dari 49% wanita dan 51% Pria. Responden berusia antara 20 sampai dengan 60 tahun.



604 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 4.1.3 Validitas dan reliabilitas data Hal yang tak kalah pentingnya pada tahapan ini yaitu memastikan bahwa data yang didapat sudah valid dan reliabel. Dari hasil penghitungan analisis, perolehan data baik harapan maupun persepsi dinyatakan valid. Hal ini ditunjukkan dengan penghitungan r hitung dengan menggunakan program SPSS 17 yang menghasilkan r hitung pada masingmasing atribut diatas nilai r tabel (r tabel untuk n= 100 adalah 0,195) Analisis tingkat reliabilitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17 dan menghasilkan nilai Cronbach‘sAlpha untuk atribut harapan maupun persepsi dengan nilai yang sama yaitu sebesar 0,891. Tingkat alpha0,7 s.d 0,9 menunjukkan bahwa reliabilitas data adalah tinggi. 4.2 Tahap Measure 4.2.1 Analisis servqual Analisis Servqualdilakukan dengan cara melihat selisih antara nilai persepsi atribut dikurangi dengan harapan penghuni. Adapun hasil dari analisis Servqual dapat ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 35. Analisis Servqual No



Kode



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27



Tan1 Tan2 Tan3 Tan4 Tan5 Tan6 Rel1 Rel2 Rel3 Rel4 Res1 Res2 Res3 Res4 Res5 Ass1 Ass2 Ass3 Ass4 Ass5 Ass6 Ass7 Emp1 Emp2 Emp3 Emp4 Emp5



Atribut Kondisi gedung Kondisi ruangan dalam hunian Ketersediaan air bersih dan sanitasi Ketersediaan fasilitas sosial Fasilitas keamanan Fasilitas kebersihan dan persampahan Syarat penerimaan penghuni Pemberlakuan tata tertib dengan tegas Penyelesaian perselisihan antar penghuni Kedisiplinan pengelola datang tepat waktu Kemampuan berkomunikasi dengan baik Kecepatan dalam mengatasi keluhan Pertemuan rutin dengan warga Kemampuan untuk membantu 24 jam Cepat & mudah dalam urusan administrasi Ketersediaan informasi yang lengkap Kemanan dan kenyamanan tinggal di rusunawa Kesesuaian tarif sewa rusunawa Pengecekan berkala utilitas dalam dan luar gedung Pengecekan kondisi lingkungan Pengecekan kebersihan Pengecekan umur bangunan Keramahan pengelola terhadap penghuni Kelonggaran dalam pembayaran Penyusunan tata tertib bersama Komunikasi antar pengelola dan penghuni Perhatian secara individu kepada penghuni rusunawa



Persep -si 3,63 3,5 3,74 3,82 3,81 3,74 3,59 3,59 3,54 3,72 3,7 3,4 3,42 3,42 3,89 3,59 3,76 3,36 3,57 3,42 3,49 3,3 3,71 3,68 3,35 3,62 3,42



Harapan 4,41 4,46 4,65 4,33 4,59 4,56 4,39 4,35 4,26 4,47 4,29 4,41 4,05 4,25 4,29 4,41 4,57 4,39 4,49 4,39 4,42 4,45 4,36 4,34 4,17 4,29 3,96



Gap



Bobot



GxB



-0,78 -0,96 -0,91 -0,51 -0,78 -0,82 -0,8 -0,76 -0,72 -0,75 -0,59 -1,01 -0,63 -0,83 -0,4 -0,82 -0,81 -1,03 -0,92 -0,97 -0,93 -1,15 -0,65 -0,66 -0,82 -0,67 -0,54



0,036 0,046 0,086 0,039 0,069 0,047 0,051 0,036 0,026 0,072 0,03 0,046 0,015 0,02 0,03 0,026 0,058 0,019 0,041 0,019 0,041 0,041 0,034 0,026 0,015 0,02 0,011



-0,02808 -0,04416 -0,07826 -0,01989 -0,05382 -0,03854 -0,0408 -0,02736 -0,01872 -0,054 -0,0177 -0,04646 -0,00945 -0,0166 -0,012 -0,02132 -0,04698 -0,01957 -0,03772 -0,01843 -0,03813 -0,04715 -0,0221 -0,01716 -0,0123 -0,0134 -0,00594



Prioritas 12 7 1 16 3 9 8 13 18 2 20 6 26 22 25 15 5 17 11 19 10 4 14 21 24 23 27



Sumber: Analisis data primer Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh atribut mendapatkan nilai negatif. Hal ini mengartikan bahwa persepsi seluruh atribut kualitas pelayanan masih belum sesuai dengan harapan penghuni. Untuk menentukan prioritas penanganan terhadap atribut yang paling bermasalah maka nilai gap dikalikan dengan bobot terlebih dahulu (Kolom G x B). Bobot diperoleh dengan cara Analytic Hierarchy Process(AHP). Nilai G x B yang tertinggi merupakan atribut yang paling bermasalah dan perlu diprioritaskan untuk ditangani.



Bidang Manajemen Konstruksi- 605



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 4.2.2 Analisis kuadran persepsi harapan Analisis kuadran antara harapan dengan persepsi dilakukan dengan cara memetakan nilai mean atribut harapan dan nilai mean atribut persepsi dalam diagram kartesius. Nilai mean atribut harapan sebagai sumbu Y dan nilai mean atribut persepsi sebagai sumbu X. Pemetaan nilai atribut pada diagram ditunjukkan padaGambar4



Gambar 36. Analisis kuadran persepsi-harapan Dari hasil analisis di atas ditunjukkan bahwa ke-27 atribut dipisahkan oleh 4 kuadran yaitu kuadran A, B, C dan D. Adapun rekapitulasi pengelompokan atribut berdasarkan jendela kuadran dapat ditunjukkan olehTabel3 Tabel 36. Hasil analisis kuadran persepsi-harapan No.



Kode



Atribut



Jendela



Keterangan



22



Ass7



Pengecekanumurbangunan



A



PrioritasUtama



18



Ass3



Kesesuaiantarifsewa rusunawa



A



PrioritasUtama



12



Res2



Kecepatandalammengatasikeluhan



A



PrioritasUtama



20



Ass5



Pengecekankondisilingkungan



A



PrioritasUtama



2



Tan2



Kondisiruangandalamhunian



A



PrioritasUtama



21



Ass6



Pengecekankebersihan



A



PrioritasUtama



19



Ass4



Pengecekanberkalautilitasdalamdanluargedung



A



PrioritasUtama



25



Emp3



Penyusunantatatertibbersama



C



PrioritasRendah



15



Res5



Cepat&mudahdalamurusanadministrasi



C



PrioritasRendah



9



Rel3



Penyelesaianperselisihanantarpenghuni



C



PrioritasRendah



13



Res3



Pertemuanrutindenganwarga



C



PrioritasRendah



27



Emp5



Perhatiansecaraindividukepadapenghuni rusunawa



C



PrioritasRendah



5



Tan5



Fasilitaskeamanan



B



PertahankanKualitas



17



Ass2



Kemanandankenyamanantinggal di rusunawa



B



PertahankanKualitas



3



Tan3



Ketersediaan air bersihdansanitasi



B



PertahankanKualitas



6



Tan6



Fasilitaskebersihandanpersampahan



B



PertahankanKualitas



10



Rel4



Kedisiplinanpengeloladatangtepatwaktu



B



PertahankanKualitas



1



Tan1



Kondisigedung



B



PertahankanKualitas



606 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 16



Ass1



Ketersediaaninformasi yang lengkap



B



PertahankanKualitas



7



Rel1



Syaratpenerimaanpenghuni



B



PertahankanKualitas



8



Rel2



Pemberlakuantatatertibdengantegas



D



KualitasBerlebih



26



Emp4



Komunikasiantarpengeloladanpenghuni



D



KualitasBerlebih



24



Emp2



Kelonggarandalampembayaran



D



KualitasBerlebih



23



Emp1



Keramahanpengelolaterhadappenghuni



D



KualitasBerlebih



11



Res1



Kemampuanberkomunikasidenganbaik



D



KualitasBerlebih



4



Tan4



Ketersediaanfasilitassosial



D



KualitasBerlebih



15



Res5



Cepat&mudahdalamurusanadministrasi



D



KualitasBerlebih



Sumber: Analisis data primer 4.3 Tahap Analyze Tahap Analyze dilakukan dengan cara mengidentifikasi atribut bermasalah dengan membandingkan kedua hasil analisis pada tahap Measure. Atribut dengan peringkat prioritas penanganan yang telah dihitung dikelompokkan menjadi dua kategori. Penentuan dua kategori dengan menghitung nilai median pada kolom G x B. Atribut dengan nilai G x B diatas nilai median dimasukkan k dalam kategori Prioritas Utama dan sisanya dimasukkan dalam katogori Prioritas Rendah. Hasil pengelompokan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 37. Pengelompokan atribut sesuai kategori 4.2.1 No 3 10 5 22 17 12 2 7 6 21 19 1 8 23 16 4 18 9 20 11 24 14 26 25 15 13 27



Kode Tan3 Rel4 Tan5 Ass7 Ass2 Res2 Tan2 Rel1 Tan6 Ass6 Ass4 Tan1 Rel2 Emp1 Ass1 Tan4 Ass3 Rel3 Ass5 Res1 Emp2 Res4 Emp4 Emp3 Res5 Res3 Emp5



Atribut Ketersediaan air bersihdansanitasi Kedisiplinanpengeloladatangtepatwaktu Fasilitaskeamanan Pengecekanumurbangunan Kemanandankenyamanantinggal di rusunawa Kecepatandalammengatasikeluhan Kondisiruangandalamhunian Syaratpenerimaanpenghuni Fasilitaskebersihandanpersampahan Pengecekankebersihan Pengecekanberkalautilitasdalamdanluargedung Kondisigedung Pemberlakuantatatertibdengantegas Keramahanpengelolaterhadappenghuni Ketersediaaninformasi yang lengkap Ketersediaanfasilitassosial Kesesuaiantarifsewa rusunawa Penyelesaianperselisihanantarpenghuni Pengecekankondisilingkungan Kemampuanberkomunikasidenganbaik Kelonggarandalampembayaran Kemampuanuntukmembantu 24 jam Komunikasiantarpengeloladanpenghuni Penyusunantatatertibbersama Cepat&mudahdalamurusanadministrasi Pertemuanrutindenganwarga Perhatiansecaraindividukepadapenghuni rusunawa



GxB -0,078 -0,054 -0,054 -0,047 -0,047 -0,046 -0,044 -0,041 -0,039 -0,038 -0,038 -0,028 -0,027 -0,022 -0,021 -0,020 -0,020 -0,019 -0,018 -0,018 -0,017 -0,017 -0,013 -0,012 -0,012 -0,009 -0,006



Prioritas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27



Kategori PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasUtama PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah PrioritasRendah



Sumber: Analisis data primer Diperoleh 27 atribut yang dipisahkan menjadi dua kelompok dengan 13 atribut dengan Prioritas Utama dan 14 atribut dengan Prioritas Rendah. Sedangkan dari hasil analisis kuadran sebelumnya telah dihasilkan juga 7 atribut dengan kategori Prioritas Utama dan 5 atribut Prioritas Rendah seperti pada Tabel 5.



Bidang Manajemen Konstruksi- 607



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 38. Pengelompokan atribut sesuai kategori 4.2.1 No. 22 18 12 20 2 21 19 25 15 9 13 27



Kode Ass7 Ass3 Res2 Ass5 Tan2 Ass6 Ass4 Emp3 Res5 Rel3 Res3 Emp5



Atribut Jendela Keterangan Pengecekan umur bangunan A Prioritas Utama Kesesuaian tarif sewa rusunawa A Prioritas Utama Kecepatan dalam mengatasi keluhan A Prioritas Utama Pengecekan kondisi lingkungan A Prioritas Utama Kondisi ruangan dalam hunian A Prioritas Utama Pengecekan kebersihan A Prioritas Utama Pengecekan berkala utilitas dalam dan luar gedung A Prioritas Utama Penyusunan tata tertib bersama C Prioritas Rendah Cepat & mudah dalam urusan administrasi C Prioritas Rendah Penyelesaian perselisihan antar penghuni C Prioritas Rendah Pertemuan rutin dengan warga C Prioritas Rendah Perhatian secara individu kepada penghuni C Prioritas Rendah rusunawa



Sumber: Analisis data primer 4.4 Tahap Improve Tahap improve direalisasikan dengan menentukan fokus peningkatan kualitas. Fokus peningkatan kualitas ditujukan pad kualitas yang paling mendominasi masalah. Cara menentukan atribut yang mendominasi masalah adalah dengan melakukan komparasi terhadap hasil analisis pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dipilih atribut yang sama-sama merupakan atribut dengan kategori Prioritas Utama, seperti dijelaskan pada gambar berikut



Gambar 37. Diagram Venn prioritas utama antara tabel 4 dan 5 Diagram Venn diatas menunjukkan bahwa fokus permasalahan adalah dengan melakukan peningkatan dan penanganan permasalahan pada atribut no. 22, 12, 2, 21 dan 19. Tabel 39. Fokus improvisasi No. Kode AtributKualitasPelayanan 22 Ass7 Pengecekan umur bangunan 12 Res2 Kecepatan dalam mengatasi keluhan 2 Tan2 Kondisi ruangan dalam hunian 21 Ass6 Pengecekan kebersihan 19 Ass4 Pengecekan berkala utilitas dalam dan luar gedung Sumber: Analisis data primer



608 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. KESIMPULAN Keseluruhan proses analisis peningkatan kualitas pelayanan menghasilkan fokus improvisasi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan rusunawa. Dihasilkan 5 atribut yang mendominasi permasalahan. Peningkatan dapat dilakukan dengan membedah penyebab kegagalan dari kelima atribut tersebut. Analisis penyebab kegagalan dapat dilakukan dengan memetakan masing-masing atribut dalam Fishbone Diagram. Permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya kegagalan perlu dimitigasi dan ditingkatkan.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Arikunto, S, (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT. Rineka Cipta, Jakarta 2. Berry, L.L., Zeithaml, V.A. and Parasuraman, A. (1985), ―Quality counts in services too‖, Business Horizons, Vol. 28 No. 3, pp. 44-52 3. Catanese, J., Anthony dan Snyder, C., James, (1996), Perencanaan Kota, EdisiKedua, Penerbit Erlangga, Jakarta 4. Dabholkar, et al. (1996), "Consumer Evaluations of New Technology-Based SelfService Options: An Investigation of Alternative Models of Service Quality" International Journal of Reaserch in Marketing, Vol. 13, No. 1, hal. 29-51 5. Gaspersz, Vincent, (2002), Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi dengan ISO 9001 : 2000, MBNQ, HACCP, Gramedia Pustaka Utama, Jakarata. 6. Gaspersz, Vincent, (2007) Lean Six sigma for Manufacturing and Service Industries, PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta. 7. Husain, Umar, (2002), Metode Riset Bisnis, GramediaPustakaUtama, Jakarta 8. Hutagalung, ArieSukanti, (2002), Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 9. Kotler, Philip, (2003), Manajemen Pemasaran. edisi kesebelas, Indeks kelompok Gramedia, Jakarta 10. MenteriPerumahan Rakyat, (2007), Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 14 & 15 /PERMEN/M/2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sewa. Jakarta 11. PU, Departemen, JICA, (2007), Buku 4 – Pengelolaan Operasional Rumah Susun Sederhana Sewa, Direktorat Pengembangan Permukiman, Jakarta 12. PU, Kementerian, (2012), Rusunawa Komitmen Bersama Penanganan Permukiman Kumuh, Direktorat Pengembangan Permukiman, Jakarta 13. Republik Indonesia, (1988) Peraturan Pemerintah No. 4, tentang Rumah Susun. 14. Republik Indonesia, (2011) Undang – undang No. 20, tentang Rumah Susun 15. Supranto, (1997), Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta 16. Supranto, (2003), Metode Riset – Aplikasinya dalam Pemasaran, Edisi ke-7, PT. Rineka Cipta, Jakarta



Bidang Manajemen Konstruksi- 609



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



610 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



HAMBATAN OPERATOR ALAT BERAT DALAM MEMPEROLEH SERTIFIKAT KEAHLIAN Anton Soekiman dan Edo Pradeto2 1



Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung (40141), email: [email protected] 2 Alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung (40141).



ABSTRAK Meningkatnya pembangunan di berbagai kota diiringi dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja yang berkompeten dibidangnya dan salah satunya adalah operator alat berat. Kompetensi tenaga kerja yang berkualitas dinyatakan melalui kepemilikan sertifikat keahlian. Namun demikian tingkat kepemilikan sertifikat keahlian ini relatif masih sangat rendah, sehingga menimbulkan pertanyaan kendala apa yang menjadi hambatan dalam memperoleh sertifikat keahlian. Sementara itu, karena pengoperasian alat berat memiliki risiko cukup besar, maka perlu diketahui pula apakah kepemilikan sertifikat keahlian mempengaruhi tingkat kepatuhan operator alat berat. Dalam penelitian ini, kompetensi operator alat berat dielaborasi berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner terhadap 30 operator loader, 30 operator excavator dan 30 operator road roller yang bekerja di Kota Bandung dan sekitarnya. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 19. Berdasarkan hasil analisis persentase kepemilikan sertifikat keahlian dari 90 responden yang dipilih secara acak, hanya 38,89 % yang memiliki sertifikat keahlian. Kendala terbesar seorang operator tidak memiliki sertifikat keahlian adalah faktor biaya, diikuti faktor lain seperti kurangnya informasi dan sulitnya mendapatkan pelayanan untuk mengikuti pelatihan profesi. Hasil analisis, juga menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan operator alat berat yang memiliki sertifikat keahlian lebih tinggi dibandingkan operator yang tidak memiliki sertifikat keahlian. Kata kunci: Operator Alat Berat, Kompetensi Operator Alat Berat, Sertifikat Keahlian



1. PENDAHULUAN Pembangunan jasa konstruksi pada umumnya melibatkan banyak tenaga kerja dengan disiplin ilmu, keahlian, keterampilan serta pengalaman yang bervariasi. Salah satu tenaga kerja konstruksi tersebut adalah operator alat berat. Operator alat berat merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam pengoperasiannya. Pengoperasian peralatan alat berat di Indonesia umumnya dilakukan oleh operator perusahaan yang keterampilannya diperoleh pada saat perusahaan itu membeli unit alat berat dari perusahaan authorize merk tertentu sehingga kemampuan operator dalam mengoperasikan unit/machine menjadi terbatas dan bervariasi. Beberapa operator alat berat di Indonesia juga masih memperoleh keterampilan dalam pengoperasian alat berat hanya melalui pelatihan sederhana yang tidak memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Pelatihan ini pun tanpa memperoleh sertifikat yang merupakan bukti bahwa kemampuan operator tersebut memenuhi SKKNI yang merupakan acuan dalam pembinaan dan memenuhi persyaratan jabatan kerja yang berlaku secara nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER/09/MEN/VII/2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat dan Angkut tertulis bahwa Pengusaha atau pengurus dilarang mempekerjakan operator dan/atau petugas pesawat angkat dan angkut yang tidak memiliki Lisensi Keselamatan dan



Bidang Manajemen Konstruksi- 611



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Kesehatan Kerja (K3) dan buku kerja. Atas dasar tersebut diwajibkan bagi setiap operator memiliki sertifikat keahlian berupa Surat Ijin Operator (SIO) dan Lisensi K3 sesuai dengan kualifikasinya agar keahlian operator tersebut terjamin dan terhindar dari kesalahan pengoperasian demi keselamatan dan kesehatan kerja juga lancarnya pekerjaan konstruksi. Hal ini juga mencerminkan adanya tuntutan kualitas tenaga kerja yang betul-betul dapat diandalkan. Namun demikian, dalam pelaksanaan proyek-proyek di Indonesia masih terdapat operator alat berat yang tidak bersertifikat. Tanpa adanya sertifikat bagi seorang operator maka kualitas operator itu sendiri kurang terjamin, selain itu operator yang tidak bersertifikat sangat beresiko untuk melakukan kesalahan dalam pekerjaannya yang dapat mengakibatkan kegagalan dan kecelakaan dalam proyek. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui persentase kepemilikan sertifikat keahlian pada operator alat berat, mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala bagi operator alat berat dalam memperoleh sertifikat keahlian, dan mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan operator terhadap kompetensinya sebagai seorang operator alat berat berdasarkan kepemilikan sertifikat keahlian. Dalam penelitian ini terdapat beberapa pembatasan masalah antara lain: (1) operator alat berat yang dimaksud adalah operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan, diantaranya operator loader, operator excavator dan operator road roller, (2) operator alat berat tersebut adalah operator yang melakukan pekerjaan di Kota Bandung dan sekitarnya, dan (3) operator alat berat tersebut merupakan operator yang memiliki pengalaman di atas 10 tahun.



2. KAJIAN PUSTAKA Alat berat adalah peralatan/pesawat mekanis termasuk attachment & implement-nya baik yang bergerak dengan tenaga sendiri (self propelled) atau ditarik (towed-type) maupun yang diam ditempat (stationer) dan mempunyai daya lebih dari satu kilo-watt, yang dipakai untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Sementara profesi operator alat berat merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus untuk mengoperasikan berbagai jenis peralatan seperti bulldozer, excavator, wheel loader, dump truck, forklift dan jenis alat berat lainnya. Dalam pengoperasian alat berat banyak hal dan aspek yang harus diperhatikan, mulai dari keterampilan dan skill operator, prosedur pengoperasian alat, aspek K3 dan aspek perawatan dan trouble shooting. Karena begitu kompleks dan besarnya resiko dalam penggunaan dan pengoperasian alat berat, maka dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar menguasai berbagai aspek diatas sebagai seorang operator alat berat (Lucko dan Vorster, 2003). Keahlian operator dalam pengoperasian, perawatan, dan perbaikan unit alat berat dapat diperoleh dengan mengikuti pelatihan khusus profesi operator alat berat. Terdapat beberapa pusat atau lembaga pelatihan khusus yang menawarkan pelatihan di bidang alat berat. Dengan mengikuti pelatihan tersebut seorang operator alat berat akan memiliki keahlian dan keterampilan yang memenuhi SKKNI. Sementara itu, kompetensi merupakan suatu ungkapan kualitas SDM yang terbentuk dengan menyatunya tiga aspek spesifik yang terdiri atas: 1. Ranah pengetahuan (domain kognitif atau knowledge) yang berkaitan dengan keilmuan, pengetahuan dan kemampuan daya pikir.



612 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 2. Ranah keterampilan (domain psychomotorik atau skill) yang berkaitan dengan kemampuan menggerakkan anggota badan dengan menggunakan metode atau teknik dan alat bantu. 3. Ranah sikap perilaku (domain afektif atau attitude) yang berkaitan dengan sikap perilaku yang mengekspresikan kemauan dirinya. Secara definitif, pengertian kompetensi adalah penguasaan disiplin keilmuan dan pengetahuan serta keterampilan menerapkan metode dan teknik tertentu didukung sikap perilaku kerja yang tepat, guna mencapai dan/atau mewujudkan hasil tertentu secara mandiri dan/atau berkelompok dalam penyelenggaraan tugas pekerjaan. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standar kompetensi tersebut merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan sebagai tolok ukur untuk menentukan kompetensi tenaga kerja sesuai dengan jabatan kerja yang dimilikinya. Standar tersebut juga dijadikan sebagai acuan dan digunakan untuk menetapkan tingkat kemampuan yang efektif dalam pengoperasian unit/machine alat berat diberbagai bidang, diantaranya di industri tambang, konstruksi dan industri kayu (logging) serta pelabuhan. SKKNI yang telah disusun dan telah mendapatkan pengakuan oleh para pemangku kepentingan akan dirasa bermanfaat apabila telah terimplementasi secara konsisten. Standar kompetensi ini juga merupakan kerangka kerja yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak yang terkait yakni industri, pemerintah, lembaga diklat dan peserta pelatihan. Kegunaan lain dari standar kompetensi ini dapat dipergunakan sebagai dasar untuk: (1) Menyusun uraian pekerjaan, (2) Mengembangkan program pelatihan dan sumberdaya manusia, (3) Menilai unjuk kerja seseorang, dan (4) Akreditasi profesi ditempat kerja. Berdasarkan SKKNI, seorang operator alat berat harus memiliki kompetensi minimal sebagai berikut: (1) Mampu menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja selama pemeliharaan dan pengoperasian alat berat, (2) Mampu melaksanakan pemeliharaan harian alat berat sesuai petunjuk pemeliharaan, (3) Mampu melaksanakan pengoperasian alat berat sesuai dengan aplikasi dan teknik operasi yang benar untuk jenis pekerjaan konstruksi tertentu, dan (4) Mampu membuat laporan operasi. Program Pelatihan Operator Alat Berat dan Sertifikat Keahlian Program pelatihan khusus untuk para trainer atau instruktur operator alat berat sangat perlu untuk dilakukan. Dengan pelatihan ini diharapkan angka resiko kecelakaan di lingkungan kerja perusahaan dapat diminimalisir. Maksud dari program pelatihan khusus operator alat berat yang utama adalah melengkapi pengetahuan dan keterampilan secara terpadu bagi operator dalam mengoperasikan dan merawat alat angkut dan angkat sesuai standar dan peraturan yang berlaku, agar efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja lebih meningkat serta keselamatan kerja lebih terjamin (Curtain, 1993). Dengan mengikuti program pelatihan ini diharapkan operator alat berat memiliki keahlian, antara lain: (1) Mampu menjelaskan dan melaksanakan peraturan dan perundangan yang berlaku, (2) Mampu menjelaskan prinsip kerja, jenis, rancang bangun dan membaca daftar beban dengan akurat, (3) Mampu mengoperasikan alat angkut dan



Bidang Manajemen Konstruksi- 613



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean angkat sesuai dengan aturan keselamatan kerja, dan (4) Mampu melaksanakan perawatan, pemeriksaan keliling dan harian sesuai standar operasional perusahaan. Berdasarkan undang-undang No. 18 Tahun 1999, tentang: Jasa Konstruksi beserta peraturan pelaksanaannya tersurat dan tersirat bahwa tenaga kerja yang melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian dan/atau keterampilan. Keharusan memiliki sertifikat keahlian dan/atau keterampilan mencerminkan adanya tuntutan kualitas tenaga kerja yang betul-betul dapat diandalkan. Kondisi tersebut membutuhkan langkah nyata dalam mempersiapkan perangkat (standar baku) yang dibutuhkan untuk mengukur kualitas tenaga kerja jasa konstruksi. Sesuai dengan Keputusan Dewan Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) No. 71/KPYTS/D/VIII/2001: pasal 2 ayat (1), tujuan sertifikat adalah memberikan informasi objektif kepada para pengguna jasa bahwa kompetensi tenaga kerja yang bersangkutan memenuhi bakuan kompetensi yang ditetapkan untuk klasifikasi dan kualifikasinya. Sementara pada pasal 9 ayat (1), untuk setiap kualifikasi dalam suatu klasifikasi harus dibuat bakuan kompetensinya secara jelas termasuk tata cara mengukur. Selain itu undang-undang Nomor 13 tahun 2003, tentang: Ketenagakerjaan, terutama pasal 10 ayat (2), pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.



3. METODE PENELITIAN Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada 90 responden yang terdiri atas 30 operator loader, 30 operator excavator, dan 30 operator road roller. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai: (1) kepemilikan sertifikat keahlian, (2) kendala dalam memperoleh sertifikat keahlian, dan (3) tingkat kepatuhan operator terhadap kompetensinya sebagai seorang operator alat berat. Jawaban dari responden diukur dengan skala likert 1-5. Uji Normalitas, Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Uji nomalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov untuk mengecek apakah data terdistribusi normal atau tidak. Data yang terdistribusi normal merupakan data parametrik, sedangkan data yang tidak terdistribusi normal merupakan data nonparametrik. Sementara Uji validitas dilakukan untuk memastikan apakah data yang diperoleh valid. Sedangkan Uji reliabilitas dilakukan menggunakan metode Alpha Cronbach untuk memastikan apakah data yang diperoleh reliabel dan handal. Seluruh uji tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistical Poduct and Service Solutions (SPSS) versi 19. Analisis Data Data jawaban responden pada masing-masing nomor pertanyaan dihitung nilai rataratanya dengan menjumlahkan skor dari tiap jawaban responden dan dibagi dengan jumlah responden. Nilai rata-rata tersebut kemudian diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil. Pengurutan peringkat pada bagian pertanyaan mengenai faktor-faktor yang menjadi kendala bagi operator alat berat dalam memperoleh sertifikat keahlian akan menghasilkan peringkat faktor-faktor yang menjadi kendala yang paling kuat. Sementara pengurutan peringkat pada bagian pertanyaan mengenai tingkat kepatuhan operator terhadap kompetensinya sebagai operator alat berat akan menghasilkan



614 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 peringkat kompetensi yang dipatuhi dan tidak dipatuhi. Setelah melakukan pengurutan peringkat, penilaian klasifikasi tingkat kekuatan kendala dan tingkat kepatuhan dilakukan berdasarkan Tabel 1. Tabel 1: Klasifikasi Nilai Rata-rata Nilai Rata-Rata 1,00 – 1,80 1,81 – 2,60 2,61 – 3,40 3,41 – 4,20 4,21 – 5,00



Keterangan Klasifikasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi



4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Kepemilikan Sertifikat Keahlian Operator Alat Berat Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan kepada 90 operator alat berat di Kota Bandung dan sekitarnya, diperoleh persentase kepemilikan sertifikat keahlian oleh operator alat berat seperti ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2: Kepemilikan Sertifikat Keahlian Operator Alat Berat Operator Yang Operator Yang Tidak Keterangan Memiliki Sertifikat Memiliki Sertifikat Keahlian Keahlian Operator Loader 12 40.00% 18 60.00% Operator Excavator 14 46.67% 16 53.33% Operator Road roller 9 30.00% 21 70.00% Operator Keseluruhan 35 38.89% 55 61.11% Nampak bahwa hanya 38.89% dari operator alat berat yang menjadi responden yang memiliki sertifikat keahlian, sementara sisanya 61.11% dari operator alat berat yang menjadi responden tidak memiliki sertifikat keahlian. Kepemilikan sertifikat yang relatif rendah ini tentunya disebabkan oleh berbagai sebab atau kendala. Kendala-kendala dalam memperoleh sertifikat keahlian ini selanjutnya dielaborasi untuk mengetahui faktor penyebab utamanya. Kendala dalam Memperoleh Sertifikat Keahlian Operator Alat Berat Untuk mengelaborasi kendala-kendala dalam memperoleh sertifikat keahlian dilakukan wawancara kepada 55 operator alat berat yang tidak bersertifikat yang terdiri dari 18 operator loader, 16 operator excavator dan 21 operator road roller di Kota Bandung dan sekitarnya. Berdasarkan data yang diperoleh dihasilkan faktor-faktor yang menjadi kendala bagi seorang operator alat berat dalam memperoleh sertifikat keahlian seperti ditunjukan pada Tabel 3.



Bidang Manajemen Konstruksi- 615



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 3: Faktor Kendala dalam Memperoleh Sertifikat Keahlian Kendala Jumlah Persentase Biaya 39 70.91% Kurangnya informasi 9 16.36% Sulitnya mendapatkan pelayanan untuk 5 9.09% memperolehnya Merasa tidak perlu atau tidak ada keinginan 2 3.64% memiliki TOTAL 55 100% Nampak bahwa faktor kendala dalam memperoleh sertifikat terutama disebabkan oleh faktor biaya dengan persentase mencapai 70.91%. Faktor lainnya adalah kurangnya informasi sebesar 16.36% dan sulitnya mendapatkan pelayanan untuk memperoleh sertifikat sebesar 9.09%. Sementara hanya 3.64% yang merasa tidak perlu atau tidak memilki keinginan untuk memiliki sertifikat. Tingkat Kepatuhan Operator Alat Berat Terhadap Kompetensinya Hasil pengumpulan data terhadap 3 jenis operator alat berat, yakni operator Loader, operator Excavator, dan operator Road Roller, menunjukkan bahwa operator bersertifikat cenderung lebih patuh dibandingkan dengan operator yang tidak bersertifikat seperti ditunjukan pada Tabel 4. Tabel 4: Kepatuhan Operator Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat Skor Kepatuhan Skor Kepatuhan Operator Kompetensi Operator Bersertifikat Tidak Bersertifikat Operator Loader 4.079 3.468 Operator Excavator 3.780 3.465 Operator Road Roller 4.222 3.453 Nampak bahwa ke-3 jenis operator alat berat yang ditinjau, semua menunjukkan kecenderungan bahwa operator bersertifikat cenderung lebih patuh dibandingkan dengan operator yang tidak bersertifikat. Operator Loader Hasil analisis untuk operator loader bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh: (1) kompetensi dalam hal penerapan K3 selama pemeliharaan, (2) pengoperasian loader, dan (3) pelaksanaan pemeliharaan harian loader sesuai petunjuk pemeliharaan. Ke-3 kompetensi tersebut memiliki tingkat kepatuhan tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operator loader yang bersertifikat sangat mengutamakan kompetensi dalam hal K3 dan hal ini menunjukkan kesadaran akan K3 sebagai bagian yang sangat penting dalam pekerjaan sebagai operator alat berat. Selain itu, operator loader bersertifikat juga mengutamakan kompetensi dalam hal pemeliharaan alat, karena dengan alat yang terawat dengan baik maka kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kerusakan alat dapat dihindari dan produktivitas kerja dapat terjaga dengan baik. Untuk operator loader yang tidak bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh kompetensi dalam hal pelaksanaan pengoperasian loader dengan klasifikasi tingkat kepatuhan tinggi. Hal ini menunjukan operator yang tidak mengikuti pelatihan dalam memperoleh sertifikat juga mampu mematuhi kompetensi dalam hal pengoperasian dengan baik.



616 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kemampuan dalam pengoperasian alat tersebut dapat saja diperoleh dari pengalaman operator tersebut dalam mengoperasikan alat tanpa mengikuti pelatihan sertifikasi sebelumnya. Akan tetapi, terdapat kelemahan bagi operator loader yang tidak bersertifikat, yaitu kepatuhannya terhadap kompetensi yang berkaitan dengan penerapan K3 selama pemeliharaan dan pengoperasian loader dan pembuatan laporan operasi, seperti: menggunakan perlengkapan keselamatan kerja dan membuat laporan K3 menunjukkan tingkat kepatuhan rata-rata yang relatif rendah. Hal ini dapat disebabkan karena operator yang tidak mengikuti pelatihan sertifikasi kurang mendapat pengarahan akan pentingnya penggunaan perlengkapan K3 dan pembuatan laporan K3 sehingga operator tersebut memiliki perhatian dan kepedulian yang rendah terhadap kompetensi tersebut. Operator Excavator Hasil analisis untuk operator excavator bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh: (1) kompetensi dalam hal penerapan K3, (2) pemeliharaan harian excavator, dan (3) pelaksanaan pengoperasian excavator. Ke-3 kompetensi tersebut memiliki tingkat kepatuhan tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operator excavator bersertifikat memiliki kepedulian yang tinggi akan pentingnya K3 dalam suatu pekerjaan guna mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja. Dengan pelatihan sertifikasi, operator excavator bersertifikat juga mampu melakukan pemeliharaan alat dengan baik dengan tujuan menjaga keawetan alat juga menghindari kerusakan alat sedini mungkin. Selain itu, dengan ilmu yang diperoleh selama pelatihan dan pengalaman dalam mengoperasikan alat, operator excavator bersertifikat mampu mengoperasikan alat dengan baik sesuai aturan dan prosedur yang telah ditentukan. Untuk operator excavator tidak bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh kompetensi dalam hal pelaksanaan pengoperasian excavator dengan klasifikasi tingkat kepatuhan tinggi. Hal ini menunjukan operator yang tidak mengikuti pelatihan dalam memperoleh sertifikat juga mampu mematuhi kompetensi dalam hal pengoperasian dengan baik. Kemampuan dalam pengoperasian alat tersebut dapat diperoleh dari pengalaman operator tersebut dalam mengoperasikan alat tanpa mengikuti pelatihan sertifikasi sebelumnya. Akan tetapi, untuk operator excavator tidak bersertifikat terdapat kelemahan yang terlihat jelas yaitu dalam membuat laporan K3 karena kompetensi ini memiliki klasifikasi tingkat kepatuhan rendah. Hal ini dapat terjadi karena tanpa mengikuti pendidikan selama pelatihan, seorang operator kurang mengetahui pentingnya pembuatan laporan K3 yang dapat dijadikan sebagai alat evaluasi guna mengetahui hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dalam pekerjaan, akibatnya kompetensi ini menjadi sering dilalaikan bagi operator excavator yang tidak bersertifikat. Operator Road Roller Hasil analisis untuk operator road roller bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh: (1) kompetensi dalam hal penerapan K3, dan (2) pelaksanaan pemeliharaan harian road roller sesuai petunjuk pemeliharaan. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa operator road roller bersertifikat memiliki kepedulian atau perhatian sangat baik terhadap K3 dan pemeliharaan alat. Hal ini menunjukkan operator yang bersertifikat



Bidang Manajemen Konstruksi- 617



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya mengutamakan dalam hal pengoperasian dan produktivitas kerja saja, tetapi masalah keselamatan dalam pekerjaan dan kondisi alat yang baik menjadi prioritas utama karena dengan memperhatikan K3 dengan baik dan menggunakan alat yang terawat pekerjaan akan terlaksana dengan aman juga dengan hasil yang lebih baik. Untuk operator road roller tidak bersertifikat, memperlihatkan kompetensi utama yang mendapatkan peringkat teratas kepatuhan dalam pekerjaan didominasi oleh kompetensi dalam hal pelaksanaan pengoperasian road roller sesuai dengan aplikasi dan teknik operasi yang benar. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa operator road roller yang tidak bersertifikat mampu mengoperasikan alat dengan baik, karena seiring dengan meningkatnya pengalaman seorang operator maka akan meningkat pula keahlian seorang operator dalam mengoperasikan alat berat tersebut. Akan tetapi, pengalaman saja tidak cukup bagi operator road roller yang tidak bersertifikat karena terdapat kompetensi yang menjadi kelemahan bagi operator road roller tidak bersertifikat. Kompetensi tersebut yaitu membuat laporan operasi harian dan melakukan pemeliharaan setelah operasi sesuai prosedur. Hal ini dapat disebabkan operator yang tidak mengikuti pelatihan sertifikasi kurang mendapakan pengarahan akan pentingnya pembuatan laporan operasi harian yang dapat digunakan sebagai alat evaluasi untuk pekerjaan berikutnya. Selain itu, operator road roller yang tidak bersertifikasi tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam hal pemeliharaan alat setelah pengoperasian sehingga kompetensi tersebut juga kurang mendapatkan perhatian dan memiliki klasifikasi tingkat kepatuhan yang rendah.



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Operator alat berat di Kota Bandung sebagian besar tidak memiliki sertifikat keahlian. Berdasarkan responden dari tiap jenis operator, untuk operator loader hanya 40% operator memiliki sertifikat keahlian dan sisanya 60% tidak memiliki sertifikat, sementara untuk operator excavator, hanya 46,67% operator memiliki sertifikat keahlian dan sisanya 53,33% tidak memiliki sertifikat keahlian, dan untuk operator road roller, hanya 30% yang memiliki sertifikat keahlian dan sisanya 70% tidak memiliki sertifikat keahlian. Secara keseluruhan dari ke-3 jenis operator alat berat di Kota Bandung, hanya 38,89% operator yang memiliki sertifikat keahlian dan sisanya 61,11% tidak memiliki sertifikat keahlian. 2. Faktor dominan yang menjadi kendala bagi operator alat berat tidak memiliki sertifikat keahlian adalah masalah biaya sebanyak 70.91%. Selain itu, kurangnya informasi dan sulitnya mendapatkan pelayanan untuk mengikuti pelatihan dalam mendapatkan sertifikat keahlian juga menjadi kendala bagi operator alat berat dengan persentase sebesar 16.36% dan 9.09%. Sedangkan sisanya sebesar 3.64% menyatakan merasa tidak perlu atau tidak ada keinginan memiliki sertifikat keahlian. 3. Tingkat kepatuhan operator dalam menjalankan tugasnya menunjukkan bahwa ke-3 jenis operator alat berat yang ditinjau, semua menunjukkan kecenderungan bahwa operator bersertifikat lebih patuh dibandingkan dengan operator yang tidak bersertifikat. Khusus untuk kepatuhan terhadap kompetensi yang berkaitan dengan penerapan K3, operator bersertifikat jauh lebih patuh dibandingkan operator yang



618 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 tidak bersertifikat. Selain itu, pemeliharaan alat setelah pengoperasian juga kurang mendapatkan perhatian operator yang tidak bersertifikat.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Curtain, R. (1993). Implementing Competency-Based Training in the Workplace: A Case Study in Workforce Participation, Asia Pacific Journal of Human Resources, Vol. 32 (2), pp. 133-143.



17. Departemen Pekerjaan Umum (2005). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Operator Excavator. Jakarta: Dep. Pekerjaan Umum. 18. Departemen Pekerjaan Umum (2005). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Operator Loader. Jakarta: Dep. Pekerjaan Umum. 19. Departemen Pekerjaan Umum (2006). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Operator Road Roller. Jakarta: Dep. Pekerjaan Umum. 20. Keputusan Dewan Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) No. 71/KPYTS/D/VIII/2001. 21. Lucko, G., Vorster, M. C. (2003). Predicting the Residual Value of Heavy Construction Equipment. Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 132 (7), pp. 723-732. 22. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER/09/MEN/VII/2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat dan Angkut. 23. Purnamawati (2011). Peningkatan Kemampuan Melalui Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency-Based Training) Sebagai Suatu Proses Pengembangan Pendidikan Vokasi. Jurnal Media Edukasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (MEDTEK), Vol. 3 (2), pp. 113. 24. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, tentang: Ketenagakerjaan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 619



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



620 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMODELAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK (STUDI KASUS: PROYEK INFRASTRUKSTUR JALAN DI JAWA TIMUR) Christy Gery Buyang, I Putu Artama Wiguna2 dan Erma Suryani3 1



Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email: [email protected] 3 Dosen Jurusan Sistem Informasi FTIf, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email: [email protected]



ABSTRAK Performance Based Contract (PBC) atau kontrak berbasis kinerja adalah jenis kontrak yang mendasarkan pembayaran pada pemenuhan indikator kinerja minimum. PBC memiliki beberapa keuntungan potensial dibanding pendekatan tradisional seperti penghematan biaya dalam pengelolaan dan pemeliharaan aset jalan, kontraktor memiliki ruang untuk melakukan inovasi secara kompetitif dan bertanggung jawab, kepastian kebutuhan pembiayaan jangka panjan gserta peningkatan kepuasan pengguna jalan karena adanya jaminan tingkat pelayanan jalan selama masa kontrak. Kontrak ini terdiri dari tahap Design-Procurement-Build-Operation/Maintain. Pada tahap Design-Procurement-Build-Operation/Maintain, risiko akan ditanggung oleh kontraktor. Adanya risiko yang berbeda pada setiap tahap Performance Based Contract menghasilkan faktor dan variabel yang akan berpengaruh pada biaya siklus proyek. Kontraktor dituntut untuk meminimalisir atau mengalokasikan risiko tanpa mengurangi capaian mutu dari penerapan Performance Based Contractpada proyek infrastruktur jalan. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan risiko hubungan antara keempat tahap pada PBC yaitu tahap Design-Procurement-Build-Operation/Maintain. Metode yang akan digunakan untuk memodelkan dan manganalisis risiko performance based contract adalah system dynamics. Variabel risiko didapat dari literature review dan penelitian terdahulu. Variabel yang didapatkan akan dimodelkan dalam bentuk hubungansebab-akibat (causal loops) dan diagram alir (stock flow diagram). Penggunaan model simulasi ini dikarenakan System Dynamics memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode peramalan konvensionalyaitu, pemodelan System Dynamics dapat memberikan perkiraan yang lebih handal dari pada model statistik. Hasil dari pemodelan ini nantinya berupa rumusan pemodelan hubungan setiap risiko PBC tersebut. Sehingga memudahkan kontraktor untuk mengidentifikasi dan meminimalisir risiko pada penerapan kontrak PBC ini. KataKunci : InfrastrukturJalan, Pemodelan Risiko, Performance Based Contract, System Dynamics



1. PENDAHULUAN Pembangunan infrastuktur jalan yang dilakukan pemerintah terhambat beberapa kendala. Pertumbuhan kendaraaan bermotor yang sangat cepat tiap tahunnya menjadi hambatan utama pemerintah dalam pemenuhan infrastuktur jalan. Pengguna infrastruktur jalan yang tidak mematuhi setiap peraturan mengenai lalu-lintas angkutan di jalan raya juga menjadi hambatan pemerintah. Disamping itu, pihak penyedia jasa yang berbeda-beda mulai dari tahap desain sampai tahap pemeliharaaan juga menjadi kendala. Berbedanya penyedia jasa memicu kendala pada kontrak yang masih terdapat beberapa keterbatasan karena masih belum bisa meminimalisir risiko pasca konstruksi. Kontrak yang biasa dipakai adalah kontrak traditional yang risiko tentang mutu hasil



Bidang Manajemen Konstruksi- 621



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pekerjaannya sepenuhnya ditanggung oleh pemilik pekerjaan. Dalam kontrak ini juga setiap tahapan pekerjaannya dipisah mulai dari tahap perencanaan, konstruksi hingga tahap pemeliharaan. Hal ini cenderung menimbulkan risiko karena setiap tahapan biasanya dikerjakan olehp ihak yang berbeda. Performance Based Contract (PBC) atau kontrak berbasis kinerja merupakan salah satu solusi kontrak yang dapat diterapkan dalam pembangunan infrastruktur jalan. PBCadalah jenis kontrak yang mendasarkan pembayaran pada pemenuhan indikator kinerja minimum. PBC memiliki beberapa keuntungan potensial dibanding pendekatan tradisional seperti penghematan biaya dalam pengelolaan dan pemeliharaan asset jalan, kontraktor memiliki ruang untuk melakukan inovasi secara kompetitif dan bertanggung jawab, kepastian kebutuhan pembiayaan dan kepastian pembiayaan jangka panjang dan peningkatan kepuasan pengguna jalan karena adanya jaminan tercapainya tingkat pelayanan jalan selama masa kontrak. Kontak berbasis kinerja merupakan penerapan bentuk dari kontrak design-procurement-build-operation/maintain. Adanya risiko pada Performance Based Contract menghasilkan faktor dan variabel yang akan berpengaruh pada biaya siklus proyek. Kontraktor dituntut untuk meminimalisir atau mengalokasikan risiko tanpa mengurangi capaian mutu dari penerapan Performance Based Contractpada proyek infrastruktur jalan. Denganpemodelan risiko, dapat diketahui faktor apa yang memberi konstribusi besar terhadap resiko yang terjadi pada hubungan ini. Pemodelan risiko hubungan ini tools pemodelannya itu,System Dynamics. Penggunaan model simulasi sistem dinamik dikarenakan sistem dinamik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode peramalan konvensional Keberhasilan penerapan Performance Based Contract (PBC) dapat menguntungkan semua pihak. Pemerintah provinsi Jawa Timur dapat meningkatkan dan mempertahankan tingkat kenyamanan infrastruktur bagi pengguna jalan di tengah keterbatasan alokasi pendanaan untuk penanganan jaringan jalan. Karena tidak bisa dipungkiri, ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik suatu wilayah. Dalam penelitian makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja risiko pada Performance Based Contract dan memodelkan variabel risiko tersebut untuk memudahkan kontraktor mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan risiko. Batasan masalah membahas risiko PBC pada contoh proyek di wilayah Jawa Timur. Dengan risiko yang telah teridentifikasi dan terklasifikasi diharapkan kontraktor dapat meminimalisir risiko yang terjadi pada penerapan PBC.



2. TINJAUAN PUSTAKA Kontrak Konstruksi Dalam suatu kontrak tradisional, pemilik proyek (biasanya dibantu oleh suatu konsultan) mempersiapkan dokumen desain dan dokumen kontrak. Kontraktor kemudian dipilih melalui suatu proses seleksi dan kontraktor yang terpilih melakukan pekerjaan di bawab pengawasan konsultan pengawas. Konsultan pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap pemilik proyek. Pemerintah sebagai klien biasanya menetukan teknik, teknologi, bahan dan jumlah material yang akan digunakan, bersama dengan jangka waktu selama mana pekerjaan pemeliharaan harus dieksekusi. Pembayaran kepada kontraktor didasarkan pada jumlah input (misalnya, meter kubik beton, aspal, jumlah jam kerja).



622 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kontrak berbasis kinerja atau lebih dikenal dengan Performance Based Contract (PBC) sebagai alternatif penyelesaian proyek diharapkan dapat meningkatkan manajemen daya saing dan pemeliharaann infrastruktur. PBC adalah jenis kontrak dimana pembayaran untuk manajemen dan pemeliharaan asset jalan secara eksplisit terkait dengan kontraktor berhasil memenuhi atau melampaui indicator kinerja tertentu jelas minimum [1]. Variabel Risiko Dengan menggunakan variabel yang didapatkan pada penelitian Yuwana (2013) [2], maka akan ditinjau pola hubungan dan kemudian dilakukan pemodelan risiko. Variabelvariabel yang terdapat pada Tabel 1 nantinya akan diambil 5 variabel risiko yang paling berpengaruh pada proyek dan kemudian digunakan sebagai variabel untuk pemodelan risiko. Tabel 40.Variabel Risiko Pada Kontrak Berbasis Kinerja NO A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



VARIABEL RESIKO DESAIN DAN ENGINEERING Keakuratan scope pekerjaan Kualifikasi engineer Komunikasi engineering dengan procurement Pemakaian teknologi untuk metode kerja Anggaran proyek Jadwal pelaksanaan proyek Perubahan desain Spesifikasi yang tidak lengkap Gambar tidak lengkap Kurangnya keakuratan desain Disain dan rekayasa yang kurang canggih PROCUREMENT Harga penawaran vendor lebih tinggi dari estimasi Ketersediaan material alat dan sumber daya manusia Keterlambatan penyediaan material dan alat Identifikasi material dan peralatan Vendor Quality Control Kontrol document procurement Proses manufacturing Vendor Performance Garansi material Keterlambatan approval dari pemilik Perselisihan dari pihak ketiga Kurang pengalaman dalam inspeksi dan pengiriman



Bidang Manajemen Konstruksi- 623



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



NO C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 D 1 2 3 4 5 6 7 8



VARIABEL RESIKO KONSTRUKSI Kondisi site yang berbeda dengan asumsi perencanaan Pembatasan jam kerja Quality control dan ansurance Desain tidak bisa diterapkan di lapangan Penambahan waktu akibat rework Perubahan desain Supply material dari pihak ketiga tidak sesuai spesifikasi Force mature Keterlamabatan pengawas dalam mengambil keputusan Keterlambatan cashflow Gangguan dari lingkungan sekitar Perselisihan mengenai pemahaman spesifikasi dan dokumen kontrak Durasi dalam pelaksanaan proyek Perbedaaan ketersediaan anggaran dengan progres pekerjaan Kualitas pekerjaan tidak memenuhi pekerjaan Kondisi tanah yang tidak terduga Spesifikasi yang tidak memadai Tertundanya progres pembayaran termin Perijinan dan regulasi Ditundanya pemecahan perselisihan Perbedaaan pemahaman perhitungan kuantitas pekerjaan Kondisi cuaca yang tidak terduga Pemrmasalahan K3L Masalah teknik Terjadinya perbedaan antara sequence pekerjaan dan performance indicator pembayaran PEMELIHARAAN/ MAINTENANCE Kualitas konstruksi yang jelek Kondisi cuaca parah yang tidak terduga Fokus jangka pendek yang gagal untuk meminimalkan biaya jangka panjang Kesulitan dalam memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan Timbulnya permasalahan selama masa garansi Terjadi kerusakan akibat kecelakaan lalu lintas Denda akibat response pemeliharaan kurang cepat Umur desain tidak sesuai rencana



Sumber: Yuwana, P.P. (2013) Pemodelan Sistem Dinamik Model merupakan representasi dari sistem nyata, suatu model dikatakan baik bila perilaku model tersebut dapatmenyerupai sistem sebenarnya dengan syarat tidak melanggar prinsip-prinsip berfikir sistem.Dalam membangun suatu model sangat dipengaruhi oleh subjektivitas seseorang atau organisasi, maka perlu adanya penyempurnaan yang dilakukan secara terus-menerus dengan menggali informasi dan potensiyang relevan [3]. Empat keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem [4] yaitu: Pertama, Memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, Kedua, Dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu(memberikan perlakuan) tertentu terhadap sistem, Ketiga, Mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan Keempat, Dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Pembuatan model sistem dinamik umumnya dilakukandengan menggunakan software yang memang



624 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dirancang khusus.Sofware tersebut seperti Powersim, Vensim, Stella dan Dynamo.Dengan software tersebut model dibuat secara grafis dengan simbol-simbol atas variabel dan hubungannya.Yaitu meliputi dua hal yaitu struktur dan perilaku. Struktur merupakan suatu unsur pembentukfenomena. Pola yang mempengaruhi keterkaitan antar unsur tersebut pada gambar 2.



Gambar 2. Jenis Variabel Stock (Level) dan Flow (Rate), dalam merepresentasikan aktivitas dalam suatu lingkar umpan-balik, digunakan dua jenis variabel yang disebut sebagai stock (level) dan flow (rate). Level menyatakan kondisi sistem pada setiap saat. Level merupakan akumulasi di dalam sistem. Persamaan suatu variabel rate merupakan suatu struktur kebijaksanaan yang menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu keputusan dibuat berdasarkan kepada informasi yang tersedia di dalam sistem. Rate inilah satu-satunya variabel dalam model yang dapat mempengaruhi level. Auxiliary adalah beberapa hal yang dapat melengkapi variabel stock dan aliran, dalam memodelkan sistem dinamik. Source / sink adalah rangkaian komponen-komponen diluar batasan mode Sistem dinamik merupakan kerangka yang memfokuskan pada sistem berpikir dengan cara feed back loop dan mengambil beberapa langkah tambahan struktur serta mengujinya melalui model simulasi komputer [5].



Gambar 3. Proses dalam Pemodelan Sistem Dinamik Terdapat 5 tahapan dalam mengembangkan model sistem dinamik [6] yaitu dimulai dari pendefinisian permasalahan (Problem Articulation) yang akan diangkat dengan menggunakan sistem dinamik. Tahap kedua adalah pembuatan hipotesa awal (Dynamic Hypothesis) dengan berbekal permasalahan pada tahap pertama. Tahap ketiga formulasi masalah (Formulation). Tahap keempat adalah tahap pengujian dengan berbagai macam kombinasi atau skenario kebijakan (Testing). Tahap kelima atau tahap yang terakhir adalah pengambilan kebijakan terbaik dari tahap sebelumnya dan melakukan evaluasi. Kelima tahap tersebut ditunjukkan pada gambar 3. Keunggulan Sistem dinamik adalah memiliki umpan balik atau feedback structure yang saling berkaitan dan menuju ke arah keseimbangan [6].



Bidang Manajemen Konstruksi- 625



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODOLOGI PENELITIAN Sebuah metode diperlukan untukMetode diperlukan sebagai kerangka dan panduan proses pengerjaan makalah, sehingga rangkaian pengerjaan makalah dapat dilakukan secara terarah, teratur dan sistematis. Adapun gambaran yang akan dikerjakan dalam penelitian ini dapat dilihat ada flowchart yang sudah disesuaikan dengan kubutuhan untuk melakukan penelitian secara baik dan benar. Guna adanya flowchart yang akan dijelaskan di bawah ini adalah untuk mempermudah pembaca agar lebih memahami alur kegiatan yang dilakukan dalam proses penelitian tersebut.



LatarBelakang Adanya risiko pada Performance based Contract merupakan salah satu kendala penerapan PBC



A Studi Literatur



RumusanMasalah 1. Apa saja faktor-faktor risiko pada Performance Based Contract. 2. Bagaimana pemodelan risiko antar tiap hubungan pada Performance Based Contract.



Identifikasi



Pemodelan denganSystem Dynamic 1. Model Causal Loop Diagram 2. Model Stock Flow Diagram Tujuan Penelitian



1. Menentukan faktor-faktor risiko pada Performance Based Contract. 2. Mengetahui pemodelan risiko antar tiap hubungan pada Performance Based Contract.



Kesimpulan



A Gambar 1. Flowchart Makalah



4.



PENGEMBANGANMODEL



Dalam penelitian makalah ini, data yang digunakan adalah dari variabel risiko kontrak berbasis kinerja hasil penelitian dari Yuwana, 2013. Dipilih 5 variabel setiap tahap pada kontrak ini sebagai contoh variabel yang akan dimodelkan. Pada tabel 2 berikut adalah 5 variabel risiko dari masing-masing tahap yang digunakan untuk pemodelan.



626 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2.Variabel Risiko Untuk Pemodelan NO



VARIABEL RESIKO



NO



VARIABEL RESIKO



A 1 2 3 4 5 B 1 2



DESAIN DAN ENGINEERING Pemakaian teknologi untuk metode kerja Anggaran proyek Jadwal pelaksanaan proyek Perubahan desain Spesifikasi yang tidak lengkap PROCUREMENT Harga penawaran vendor lebih tinggi dari estimasi Keterlambatan penyediaan material dan alat



C 1 2 3 4 5 D 1 2



KONSTRUKSI Desain tidak bisa diterapkan di lapangan Perubahan desain Supply material tidak sesuai spesifikasi Keterlambatan cashflow Durasi dalam pelaksanaan proyek PEMELIHARAAN/ MAINTENANCE Kualitas konstruksi yang jelek Kondisi cuaca parah yang tidak terduga



3



Vendor Performance



3



Timbulnya permasalahan selama masa garansi



4



Keterlambatan approval dari pemilik



4



Terjadi kerusakan akibat kecelakaan lalu lintas



5



Kurang pengalaman dalam inspeksi dan pengiriman



5



Kerusakan akibat over dimension kendaraan



Model dan Simulasi Pemodelan dilakukan untuk mengetahui polaperilaku dan hubungan antar variabel risiko yang ada pada penerapan Performance Based Contractyang menentukan kesesuaian model dengan perilaku di lingkungan proyek. Implementasi dari pengembangan model menggunakan software bantu Ventana Simulation (Vensim) dan dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5 berikut ini.



Gambar 4. Causal Loop Diagram Dari gambar 4 dapat dilihat variabel risiko saling mempengaruhi satu sama lain. Sebagai contoh, bila pada variabel harga penawaran lebih tinggi dari estimasi terjadi peningkatan, maka variabel anggaran proyek juga akan meningkat. Diilustrasikan dengan anak panah yang memiliki tanda plus (+) pada ujungnya. Demikian juga bila terjadi penurunan pengaruh pada suatu variabel risiko, maka pada ujung anak panah akan diberi tanda minus (-). Selanjutnya pada pemodelan stock flow diagram, variabel keterlambatan cashflow dijadikan level karena ada variabel yang lain yang



Bidang Manajemen Konstruksi- 627



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean diakumulasikan pada variabel ini seperti keterlambatan approval pemilik. Selebihnya dapat dilihat pada gambar 5.



Gambar 5. Stock Flow Diagram



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang didapat dari makalah ini berikut adalah beberapa kesimpulan yang dapat diambil: 1. Pengidentifikasian risiko pada proyek dapat dilakukan jika kontraktor memiliki data historical atau data pembanding dari proyek yang sejenis. 2. Variabel risiko yang dimodelkan harus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan proyek tersebut. 3. Risiko pada proyek biasanya terjadi karena adanya keunikan proyek, Stakeholder yang berbeda-beda, para pekerja, perubahan pekerjaan dan keadaan lingkungan.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Stakenvich, N, et al. (2005), Performance-based Contracting for Prevention and Improvement of Roads Assets. Transport Note No. TN-27, The World Bank, Washington, DC 2. Yuwana, P.P. (2013). Analisa Risiko pada Proyek Infrastruktur Jalan dengan Sistem Performance Based Contract. Surabaya: ITS 3. Winardi. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Mandar Maju, Bandung, (1989). 4. Barlas, Yames. Multiple Test for Valdiation of Systems Dynamics Type of Simulation Model. Turkey, (1996). 5. Forrester, Jay W, 1994. ―System Dynamics, Systems Thinking, and Soft OR‖. System Dynamics Review Summer, Vol. 10, No. 2, Hal 3. 6. Sterman, John. 2000. ―Business Dynamics: System Thinking and Modeling For a ComplexWorld‖. Singapore: The McGraw Hill Companies, hal 3.



628 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



BID/NO-BID DECISION MAKING DI PT SURVEYOR INDONESIA (PERSERO) CABANG SURABAYA Eko Nurcahyanto dan Nadjaji Anwar2 1



Mahasiswa Program Magister Manajemen Teknologi (MMT) ITS, email: [email protected] Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, email: [email protected]



2



ABSTRAK Pengambilan keputusan pada keikutsertaan lelang merupakan sebuah keputusan yang memiliki konsekuensi tenaga, biaya dan waktu karena apabila keputusan yang diambil tidak tepat maka hanya akan membuang tenaga, biaya dan waktu. Proses pengambilan keputusan lelang (bid/no-bid decision making) di PT Surveyor Indonesia (Persero) cabang Surabaya saat ini belum memiliki model tertentu, hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi dari pengambil keputusan sehingga menimbulkan permasalahan yaitu banyaknya tenaga, biaya dan waktu yang terbuang akibat kalah lelang. Penelitian ini dilakukan untuk dapat merancang model pengambilan keputusan berdasarkan kriteria-kriteria yang berpengaruh dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan program bantu ―expert choice11‖. AHP dipilih sebagai metode untuk menentukan keputusan karena pengambilan keputusan di PT Surveyor Indonesia (Persero) cabang Surabaya berjalan sesuai hirarki jabatan dan dipengaruhi oleh kriteria yang bersifat persepsi, feeling dan judgement. Kriteria-kriteria diperoleh berdasarkan kajian pustaka dan diskusi dalam forum Focus Disscusion Group (FGD) dengan manajemen untuk menentukan kriteria dan sub kriteria, judgment terhadap perbandingan kepentingan kriteria dan sub kriteria yang selanjutnya didapat rancangan model AHP untuk pengambilan keputusan lelang. Untuk mendapatkan hasil bobot alternatif, pemilihan alternatif pada model AHP dilakukan dengan menjawab daftar pertanyaan untuk setiap lelang sebelum dilanjutkan ke tahap kualifikasi. Hasil dari penelitian ini mendapatkan 4 kriteria dan 17 sub kriteria pada model bid/no-bid decision making dengan batasan bobot minimal sebesar 0.656 untuk direkomendasikan mengikuti lelang. Sedangkan untuk bobot di bawah 0.656 dan di atas 0.421 tidak direkomendasikan ikut lelang, namun apabila tetap akan melanjutkan lelang maka yang perlu diperhatikan adalah persiapan dokumen teknis dan harga yang kompetitif karena tidak menutup kemungkinan dengan penyempurnaan teknis dan harga maka bobotnya akan naik dan layak untuk mengikuti lelang. Kemudian untuk bobot di bawah 0.421 tidak direkomendasikan untuk mengikuti lelang. Kata kunci: bid/no-bid decision making, lelang, pengambilan keputusan, analytic hierarchy process (AHP)



1. PENDAHULUAN PT Surveyor Indonesia (Persero), disingkat PTSI, merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang Konsultasi berbasis Survei dan Inspeksi, memiliki beberapa unit bisnis (UB) dan cabang di seluruh wilayah Indonesia dengan salah satu cabangnya adalah cabang Surabaya, disingkat SISUB, yang berkedudukan di Surabaya dengan wilayah kerja meliputi Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara. Dalam keikutsertaan lelang pada tahap prakualifikasi, Kepala Bagian Pemasaran SISUB berperan untuk memutuskan keikutsertaan lelang berdasarkan kesesuaian dokumen yang dipersyaratkan, apabila dokumen PTSI sesuai dengan persyaratan maka pendaftaran lelang dapat dilakukan. Langkah selanjutnya adalah menyusun dan memasukan dokumen prakualifikasi sesuai dengan persyaratan prakualifikasi dan menunggu hasil prakualifikasi. Apabila dinyatakan lolos maka langkah selanjutnya adalah mengambil dokumen RKS (Rencana Kerja dan Syarat), KAK (Kerangka Acuan Kerja) dan mengikuti rapat penjelasan (aanwijzing). Setelah mempelajari dokumen



Bidang Manajemen Konstruksi- 629



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean RKS, KAK dan penjelasannya selanjutnya Kepala Cabang akan memutuskan ikut tidaknya lelang tahap kualifikasi atau tahap pengadaan. Pada penelitian ini difokuskan kepada pengambilan keputusan pada tahap kualifikasi/pengadaan setelah dinyatakan lolos tahap prakualifikasi karena tahap tersebut membutuhkan effort yang cukup besar dalam hal biaya, tenaga dan waktu. Menurut penelitian [1], kebanyakan peserta lelang hanya membuang waktu dan uang, serta memasukan dokumen yang diperkirakan tidak bisa menang hanya untuk memenuhi permintaan proposal dapat merusak reputasi penyedia barang/jasa. Dengan demikian keputusan ikut lelang atau tidak harus dibuat berdasarkan konteks kerangka strategi organisasi yang ada [1]. Data biaya perkiraan penyusunan dokumen lelang pada SISUB mulai tahun 2011 sampai tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Biaya Penyusunan Dokumen Lelang No



Deskripsi



2011



1 2 3



Total biaya lelang yang diikuti Total biaya lelang yang menang Total biaya lelang yang gagal



2012



441.175.000 122.062.500 319.112.500



456.425.000 98.775.000 357.650.000



2013 604.800.000 164.625.000 440.175.000



Sumber: Data SISUB (diolah) Apabila dari jumlah total biaya lelang yang gagal dapat diminimalkan maka dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan seperti simulasi pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2: Simulasi Biaya Lelang Terhadap Kinerja No 1 2 3 4 5 6 7 8



Deskripsi Pendapatan Beban Jasa Beban PUA Laba Margin Laba Biaya lelang kalah Laba + Biaya lelang kalah Margin Selisih margin



2011



2012



2013



36.178.000.840 30.613.578.184 2.243.670.284 3.320.752.372 9.2% 319.112.500 3.639.864.872



40.510.732.581 33.269.148.286 3.388.521.437 3.853.062.858 9.5% 357.650.000 4.210.712.858



48.527.639.666 39.552.852.901 3.509.117.135 5.465.669.630 11.3% 440.175.000 5.905.844.630



10.1% 0.9%



10.5% 1%



12.3% 1%



Sumber: Data SISUB (diolah) Untuk memperbaiki cara pengambilan keputusan lelang di SISUB, perlu dirancang suatu metode pengambilan keputusan yang tepat untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Pemilihan metode dalam membuat model pengambilan keputusan lelang pada penelitian ini mempertimbangkan sistem hirarki yang ada di SISUB. Pada model pengambilan keputusan dengan metode analytic hierarchy process (AHP) yang menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki menjadikan model AHP dipilih menjadi metode pengambilan keputusan pada penelitian ini. Model AHP memerlukan input beberapa kriteria yang berpengaruh terhadap keputusan sehingga diharapkan outputnya dapat optimal. Penelitian ini penting untuk dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan model pengambilan keputusan keikutsertaan lelang yang dapat meningkatkan prosentase keberhasilan lelang terhadap keseluruhan lelang yang diikuti sehingga dapat memenuhi target manajemen.



630 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



2. METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian ini telah dirancang diagram alir yang akan digunakan sebagai acuan dalam tahapan penelitian seperti yang digambarkan dalam Gambar 1. Tahap perumusan masalah merupakan langkah awal penelitian yang didalamnya meliputi pemahaman tentang fakta empiris yang menimbukan masalah karena adanya gap empiris yang berupa tidak tercapainya target keberhasilan lelang akibat belum adanya model pengambilan keputusan, sehingga dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana merancang model pengambilan keputusan ikut atau tidak ikut lelang (bid/no-bid decision making) berdasarkan kriteria-kriteria yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di PT Surveyor Indonesia (Persero) cabang Surabaya. Sedang pada tahap konseptualisasi dilakukan studi literatur untuk memahami konsepkonsep pada penelitian terdahulu, sehingga dapat disintesa dan untuk mendapatkan variabel-variabel yang mempunyai korelasi dengan penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan penentuan narsumber terkait proses pengambilan keputusan lelang dalam hal ini adalah manajemen PT Surveyor Indonesia (Persero) cabang Surabaya, antara lain Kepala Cabang, Kabag Pemasaran, Kabag Operasi dan Kabag Dukungan Operasi. Selanjutnya pada tahap operasionalisasi adalah tahap mengolah kriteria berdasarkan studi literatur dan berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber untuk dapat dijelaskan dalam definisi operasional, hal tersebut untuk memudahkan pelaksanaan pengambilan data karena dalam definisi operasional telah ditetapkan definisi dari masing-masing indikator. Kemudian pada tahap pengolahan data dan analisa yang diolah dengan menggunakan software expert choice11 (umum digunakan dalam membantu metode AHP) adalah data hasil FGD kedua, yaitu berupa 4 kriteria dan 17 sub kriteria (Tabel 3). Hasil analisa tersebut memiliki bobot hasil keluaran/output tersebut bersifat tetap (tidak berubah). Sedangkan untuk pemilihan alternatif akan dilakukan survey dengan metode memberikan form daftar pertanyaan yang berisi 17 butir pertanyaan sesuai dengan 17 sub kriteria dengan alternatif jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖ kepada kepala bagian pemasaran atau wakil kepala bagian pemasaran untuk memberikan jawaban terhadap alternatif jawaban tersebut sesuai dengan setiap lelang yang akan diikuti. Model AHP yang diperoleh dari hasil FGD dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan pada tahap akhir terdapat diskusi hasil pemodelan dan melakukan revisi model apabila setelah melalui uji model ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan serta memberikan kesimpulan dan saran bagi pengembangan model selanjutnya.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kriteria dan sub kriteria telah ditetapkan pada forum FGD ke-2 yang menghasilkan 4 (empat) kriteria dan 17 sub kriteria seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Kemudian telah dilakukan perbandingan kepentingan antara kriteria dan sub-kriteria dengan mengadakan FGD ke-3 yang menghadirkan Kepala Cabang, Kepala Bagian Pemasaran, Kepala Bagian Operasi dan Kepala Bagian Dukungan Operasi dengan hasil sebagaimana terdapat dalam Tabel 4 dan 5. Selanjutnya penilaian bobot kepentingan tersebut dimasukkan (input) kedalam software expert choice11 untuk mengetahui bobot masing-masing kriteria dan sub-kriteria. Rekapitulasi dari hasil keluaran/output terhadap konsistensi dapat dilihat pada Tabel 6.



Bidang Manajemen Konstruksi- 631



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Latar Belakang Penelitian



Latar Belakang Empiris



Latar Belakang Theoretical



Identifikasi Permasalahan



Tujuan Penelitian



Tahap Perumusan Masalah



Studi Literatur/ Kajian Pustaka



Menetapkan metode yang akan digunakan dalam penelitian



Menetapkan narasumber yang akan menentukan kriteria dalam pengambilan keputusan



Survey Pendahuluan



Tahap Konseptualisasi



Menetapkan kriteria yang akan digunakan dalam merancang model keputusan



Menetapkan definisi operasional



Tahap Operasionalisasi



Pengumpulan data primer dan sekunder



Pengolahan data dan Analisa



Tahap Pengolahan Data & Analisa Diskusi hasil



Keterbatasan penelitian



Kesimpulan dan saran



Tahap Akhir



Gambar 1: Diagram Alir Rencana Penelitian Tabel 3: Kriteria dan Sub Kriteria (FGD ke-2) Kriteria Pokok



1. Beb an kerja



2. Kara teristik Klien 3. Kom petisi



Sub Kriteria



1.Ketersediaan personil yang kompeten 2.Beban kerja saat ini 3.Familier dan komunikasi dengan supplier/vendor 4.Waktu persiapan lelang 5.Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang 1.Hubungan dengan klien 2.Data historis tentang klien dan lelang sejenis sebelumnya 3.Keterlambatan Pembayaran 1.Pengalaman di proyek sejenis 2.Keuntungan yang diharapkan



632 – Bidang Manajemen Konstruksi



Narasumber



Referensi



[2] Kepala Bagian Dukungan Operasi



[3] [4] [4]



Kepala Cabang Kepala Bagian Pemasaran



[2] [5] [4] [2]



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kriteria Pokok



Narasumber



Sub Kriteria



3.Prospek pekerjaan yang akan datang 4.Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan 5.Daya saing kompetitor yang kuat 1.Ukuran proyek 2.Resiko yang diharapkan 3.Lingkup kerja / SOW 4.Kelengkapan dokumen lelang



4. Tinj auan Proyek



Referensi



Narasumber (FGD)



[2]



Kepala Bagian Operasi



[1] [4]



Tujuan: Bid/no Bid Decision



BEBAN KERJA



Sub kriteria 1.1



Sub kriteria 1.2



Sub kriteria 1.3



KLIEN



Sub kriteria 1.4



Sub kriteria 1.5



Sub kriteria 2.1



Sub kriteria 2.2



Sub kriteria 2.3



Sub kriteria 3.1



Sub kriteria 3.2



Sub kriteria 3.3



FGD (Kepala Cabang dan Kepala Bagian)



TINJAUAN PROYEK



KOMPETISI



Sub kriteria 3.4



Sub kriteria 3.5



Sub kriteria 4.1



Sub kriteria 4.2



Sub kriteria 4.3



Sub kriteria 4.4



Pejabat terkait



Kepala Bagian Pemasaran



Ikut Lelang



Tidak Ikut Lelang



Gambar 2: Rancangan Model AHP Tabel 4: Hasil Penilaian Bobot Kepentingan Antar Kriteria (FGD ke-3) Skala 5 1 5 3



Kriteria Beban Kerja Beban Kerja Beban Kerja Karateristik Klien Karateristik Klien Kompetisi



Kriteria Karateristik Klien Kompetisi Tinjauan Kontrak Kompetisi Tinjauan Kontrak Tinjauan Kontrak



Skala 3 2 1 -



Tabel 5: Hasil Penilaian Bobot Kepentingan Sub Kriteria Narasumber



Kriteria



Skala 3



Kabag Dukungan Operasi



Beban Kerja



3 -



Subkriteria



Subkriteria



Ketersediaan personil yang kompeten Ketersediaan personil yang kompeten Ketersediaan personil yang kompeten Ketersediaan personil yang kompeten Beban kerja saat ini



Beban kerja saat ini (pelaksanaan) Familier & komunikasi dengan vendor Waktu persiapan lelang Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang Familier & komunikasi



Skala 6 4 9



Bidang Manajemen Konstruksi- 633



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Narasumber



Kriteria



Skala



3 6



Kepala Cabang



Karateristik Klien



Waktu persiapan lelang



5



Hubungan dengan klien



3



Hubungan dengan klien



2 Kompetisi



Pengalaman di proyek sejenis Pengalaman di proyek sejenis Keuntungan yang diharapkan Keuntungan yang diharapkan



-



Keuntungan yang diharapkan



-



Prospek pekerjaan yang akan datang



3



Tinjauan Proyek



Data historis tentang klien dan lelang sejenis sebelumnya Pengalaman di proyek sejenis Pengalaman di proyek sejenis



-



2



Kabag Operasi



(pelaksanaan) Beban kerja saat ini (pelaksanaan) Beban kerja saat ini (pelaksanaan) Familier & komunikasi dengan vendor Familier & komunikasi dengan vendor



2



-



Kabag Pemasaran



Subkriteria



1 1 4



Prospek pekerjaan yang akan datang Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan Ukuran proyek Ukuran proyek Ukuran proyek Resiko yang diharapkan Resiko yang diharapkan Lingkup kerja/SOW



Subkriteria



Skala



dengan vendor Waktu persiapan lelang



5



Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang



4



Waktu persiapan lelang



-



Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang Data historis tentang klien dan lelang sejenis sebelumnya Keterlambatan pembayaran Keterlambatan pembayaran Keuntungan yang diharapkan Prospek pekerjaan yang akan datang Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan Daya saing kompetitor yang kuat Prospek pekerjaan yang akan datang Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan Daya saing kompetitor yang kuat Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan Daya saing kompetitor yang kuat



3 3 3 3 5 5 2 3 -



Daya saing kompetitor yang kuat



-



Resiko yang diharapkan Lingkup kerja/SOW Kelengkapan dokumen Lingkup kerja/SOW Kelengkapan dokumen Kelengkapan dokumen



2 5 2 1 1 -



Hasil keluaran/output menggunakan software expert choice11 untuk 14 lelang yang telah disurvey dapat dilihat pada Tabel 7. Dari tabel tersebut jumlah paket lelang yang menang sejumlah 5 paket dengan bobot yang paling kecil adalah 0.862, kalah harga sejumlah 5 paket dan kalah teknis sejumlah 4 paket. Dari hasil tersebut tentunya tidak



634 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 dapat langsung diterapkan bobot minimal 0.862 untuk paket-paket lelang selanjutnya karena apabila batasan minimal bobot terlalu tinggi dapat menyebabkan kehilangan kesempatan (lost opportunity) memenangkan lelang, akan tetapi perlu dilakukan analisa sensitivitas model untuk mendapatkan batasan bobot dalam keikutsertaan lelang. Analisa sensitivitas model dilakukan dengan membuat skenario kondisi jawaban pada pertanyaan sub kriteria menjadi pesimis, sehingga nantinya akan didapat batasan bobot dengan kondisi pesimis. Skenario yang direncanakan yaitu untuk masing-masing sub kriteria akan dipilih sub kriteria yang memiliki bobot kepentingan tertinggi pada tiap kriterianya. Skenario yang akan dilakukan yaitu: 1. Skenario 1, dengan merubah jawaban dari pertanyaan tentang familiar dan komunikasi dengan supplier/vendor menjadi ―tidak‖. 2. Skenario 2, dengan merubah jawaban dari pertanyaan tentang hubungan dengan klien menjadi ―tidak‖. 3. Skenario 3, dengan merubah jawaban dari pertanyaan tentang pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan menjadi ―tidak‖. 4. Skenario 4, dengan merubah jawaban dari pertanyaan tentang lingkup kerja menjadi ―tidak‖. Adapun hasil yang didapat dari hasil survey dan skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil rata-rata untuk lelang yang menang adalah 0.784, lelang kalah harga 0.604 dan lelang kalah teknis 0.540. Bobot rata-rata yang didapatkan dari perhitungan antara bobot hasil survey dan bobot hasil skenario belum dapat dijadikan batasan minimal bagi keikutsertaan lelang, karena pada kenyataannya didalam skenario 2 pada lelang no. 6 ―Penyusunan Standar Satuan Harga Th. 2014‖ mendapatkan bobot 0.656 yang masih berada dibawah rata-rata 0.784 akan tetapi hasil lelangnya menang. Berdasarkan kondisi tersebut, batasan minimal keikutsertaan lelang tidak mengacu kepada bobot rata-rata akan tetapi menggunakan batas bawah dan batas atas yang dapat dilihat pada Tabel 8 berdasarkan data pada Gambar 3 dan ditunjukkan dalam Gambar 4. Tabel 6: Bobot Kepentingan dan Konsistensi Hasil Pembobotan No



Kriteria / Bobot



1



Beban Kerja/ 0.204



2



Karateristik Klien/ 0.404



3



Kompetisi/ 0.321



4



Tinjauan Proyek/ 0.071



Sub Kriteria



Bobot Inconsistency Consistency



Ketersediaan personil yang kompeten Beban kerja saat ini (pelaksanaan pekerjaan) Familiar dan komunikasi dengan supplier/vendor Waktu persiapan lelang Beban kerja saat ini untuk persiapan lelang Hubungan dengan klien Data historis tentang klien dan lelang sejenisnya Keterlambatan pembayaran Pengalaman di proyek sejenis Keuntungan yang diharapkan Prospek pekerjaan yag akan datang Pentingnya proyek sebagai pengalaman perusahaan Daya saing kompetitor yang kuat Ukuran proyek Resiko yang diharapkan Lingkup kerja/SOW Kelengkapan dokumen lelang



0.120 0.038 0.521 0.232 0.090 0.637 0.105 0.258 0.096 0.062 0.250 0.431 0.160 0.098 0.262 0.461 0.180



0.09 < 0.1



Konsisten



0.04 < 0.1



Konsisten



0.05 < 0.1



Konsisten



0.07 < 0.1



Konsisten



Bidang Manajemen Konstruksi- 635



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 7: Konsistensi Hasil Pembobotan No



Paket Lelang



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Jasa Surveyor dan Analisa BBM Drilling Specialist Bathymetri Survey Verifikasi TKDN Provide Consultant of EBA of Mandala Block Penyusunan Standar Satuan Harga Th. 2014 NDT & Resertifikasi Boiler & PV Certification of Electric Winch Loan Appraisal Jasa Konsultan Pendamping Pengadaan Transportir BBM Due Dilligent Tambang Batubara Studi UKL UPL Star Incomer Studi UKL UPL Cheil Jedang Incomer General Services for Env. Manag. System (ISO 14000:2004) Implementation & Support



11 12 13 14



Perusahaan PT. Indonesia Power Kangean Energy Indonesia PT. Jaya Ancol Pemprov Jatim PT. BHM Mandala Energy Pemkab Pamekasan PT. YTL Jawa Timur PT. YTL Jawa Timur Oxford-PIP PT. PJB (Kantor Pusat) PT. PJB (Kantor Pusat) PT. PLN UIP VII PT. PLN UIP VII BP Berau



Output Expert Choice11 Ikut Tidak 0.874 0.126 0.531 0.469 0.634 0.366 0.900 0.100 0.650 0.350 0.862 0.138 0.653 0.347 0.653 0.347 0.650 0.350 0.865 0.135 0.549 0.575 0.575 0.875



0.451 0.425 0.425 0.125



Gambar 3: Bobot Keikutsertaan Lelang (Survey dan Skenario) Tabel 8: Range Bobot dan Penjelasannya Range Bobot



> 0.656 0.421 – 0.655



< 0.421



Penjelasan Direkomendasikan ikut lelang, berdasarkan data pada Gambar 3 yang menunjukkan bobot 0.656 adalah bobot terkecil dari lelang yang menang. Tidak direkomendasikan ikut lelang, tapi apabila akan tetap ikut lelang maka penawaran harga dan teknis harus ditinjau kembali agar lebih kompetitif dan dapat memenuhi persyaratan teknis. Tidak direkomendasikan ikut lelang, berdasarkan data pada Gambar 3 yang menunjukkan tidak ada bobot dibawah 0.421.



636 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 4: Batasan Bobot Keikutsertaan lelang



4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dihasilkan beberapa hal sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu diantaranya mendapatkan model pengambilan keputusan dengan menggunakan metode AHP seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Uji coba model telah dilakukan dengan menggunakan metode pengisian daftar pertanyaan untuk alternatif ikut atau tidak ikut lelang pada lelang bulan Oktober 2014 sampai dengan awal Desember 2014, dimana dari hasil pengujian model tersebut menghasilkan batasan bobot yang dapat digunakan sebagai acuan keikutsertaan lelang-lelang selanjutnya. Batasan bobot yang dimaksud adalah minimal bobot ―ikut‖ lebih besar atau sama dengan 0.656 direkomendasikan untuk mengikuti lelang, sedangkan untuk bobot dibawah 0.656 diatas 0.421 tidak direkomendasikan ikut lelang, namun apabila tetap akan melanjutkan lelang maka yang perlu diperhatikan adalah persiapan dokumen teknis dan harga yang kompetitif karena tidak menutup kemungkinan dengan penyempurnaan teknis dan harga maka bobotnya akan naik dan layak untuk mengikuti lelang. Untuk bobot dibawah 0.421 tidak direkomendasikan mengikuti lelang karena dari data yang ada, tidak ada bobot yang berada dibawah 0.421. Model penelitian ini dapat diterapkan untuk perusahaan sejenis akan tetapi disarankan untuk menggali lebih dalam kriteria-kriteria yang berpengaruh, karena setiap perusahaan memiliki karateristik yang berbeda-beda.



Bidang Manajemen Konstruksi- 637



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 5: Model AHP



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Lin, C.-T., & Chen, Y.-T. (2004). Bid/No-Bid Decision-Making - A Fuzzy Linguistic Approach. International Journal of Project Management, 585-593. 2. Min-Yuan, C., Hsiang, C.-C., Tsai, H.-C., & Do, H.-L. (2010). Enhancing Bid Decision Making in The Construction Industry: A New Multi-Criteria Prospect Model. International Symposium on Automation and Robotics in Construction, 410-419. 3. Khanzadi, M., Dabirian, S., & Heshmatnejad, H. (2008). Applying Delphi Method and Decision Support System for Bidding. First International Conference on Construction In Developing Countries (pp. 64-73). Karachi, Pakistan: ICCIDC-I. 4. Chua, D., & Li, D. (2000). Key Factors In Bid Reasoning Model. Journal of Cosntruction Engineering and Management, 126(5), 349-357.



638 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMODELAN HUBUNGAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (STUDI KASUS PROYEK INFRASTRUKTUR JALAN DI WILAYAH JAWA TIMUR) Eko Prihartanto1 dan I Putu Artama Wiguna2 1



Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Email: [email protected]



ABSTRAK Kontrak berbasis kinerja atau Performance Based Contract yang akan diberlakukan Pemerintah sebagai kontrak untuk menjaga kualitas dan bentuk efisiensi terhadap anggaran, dalam penyelenggaraan infrastruktur jalan di Indonesia. Sehingga kontraktor sebagai pelaksana mendapatkan pengalaman baru dalam menerapkan kontrak jenis ini, dimana berakibat kurang pahamnya jenis kontrak baru ini menimbulkan risiko dalam penerapan dilapangan, khususnya pada tiap tahap Performance Based Contract. Performance Based Contract merupakan jenis kontrak yang baru dengan tahap berdasarkan Design-Procurement-Build-Operation-Maintain. Dari beberapa penelitian diketahui adanya faktor dan variabel yang terjadi pada tiap tahap pada Performance Based Contract menyebabkan terjadinya risiko yang berbeda-beda yang dimiliki pada kontraktor. Penggunaan Interpretive Structural Modeling sebagai teknik analisis atau alat untuk identifikasi hubungan kompleks antar kelompok berdasarkan struktural pada suatu sistem, Pemilihan Interpretive Structural Modeling untuk mengetahui hubungan risiko yang terjadi pada tiap tahap Performance Based Contract sehingga dapat dimodelkan secara grafis dan kalimat dari tiap elemen dan sub elemen Performance Based Contract. Variabel dan faktor yang digunakan diperoleh dari kajian pustakadan penelitian terdahulu untuk kemudian dianalisis untuk didapatkan hasil dalam bentuk pemodelan risiko. Variabel dan faktor yang akan dimodelkan dengan Interpretive Structural Modeling dimulai dengan Matrik Hubungan Kontekstual (Tingkat Pengaruh/Penyebab) antar Sub-Elemen Kendala yang dihadapi dalam Performance based contract, dilanjutkan ke tahap SSIM (Structural Self- Interaction Matrix) untuk mengkonversi dari angka menjadi notasi huruf berdasarkan kendala saling memperngaruhi, dilanjutkan dengan RM (Reachability Matrix) untuk menjadikan ke notasi angka berdasarkan reflexive dan Transitive, dilanjutkan dengan pembagian ranking dan Matrik Drive Power-Dependence untuk mendapatkan grafik hubungan dari tahap Performance Based Contract sehingga dari grafik dapat dijelaskan pengaruh hubungan risiko. Hasil penggunaan Interpretive Structural Modeling memiliki kelebihan mengetahui hubungan dan keterkaitan tiap tahap mulai dari elemen hingga sub elemen yang tersusun dari pemodelan yang ada pada tahap Performance Based Contract. Kata kunci: Interpretive Structural Modeling, Performance Based Contract, Risiko, Infrastruktur jalan



1. PENDAHULUAN Pembangunan infrastruktur merupakan tujuan dari pembangunan, rehabilitasi, dan pemeliharaan jalan yang menghubungkan satu daerah ke daerah lain untuk menunjang aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah



Bidang Manajemen Konstruksi- 639



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel(Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006). Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan kerja konstruksi(Susanto & Makmur, 2013). Performance Based Contract (PBC) adalah bentuk kontrak baru yang akhir-akhir ini mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Kementrian Pekerjaan Umum. PBC merupakan kontrak berbasis kinerja yang berarti penilaian dilakukan atas dasar kinerja yang dihasilkan, bukan sekedar pekerjaan itu telah diselesaikan seperti dalam bentuk kontrak konvensional. Jadi selain dilakukan uji coba (Comissioning) setelah pekerjaan selesai juga akan dinilai kinerjanya (performance)(Yasin, 2014). Bentuk kontrak terintegrasi, yaitu perencanaan, pelaksanaan, uji coba dan pemeliharaan. Identifikasi risiko dilakukan mulai tahapan desain, pengadaan, konstruksi dan pemeliharaan yang terdiri dari beberapa indikator risiko. Level risiko dengan sistem kontrak berbasis kinerja, level tertinggi yaitu pada tahapan design kemudian pada tahapan construction, maintenance dan terakhir tahapan procurement (Yuwana, 2013). Untuk mengetahui hubungan risiko pada tahapPerformance Based Contract yang diidentifikasi risikonya terlebih dahulu akan diketahui variabel-variabel serta faktor yang akan dianalisis dengan Interpretive Structural Modeling yang akan mengolah data selanjutnya dimodelkan hubunganrisikonya terhadap kontraktor selaku pelaksana kegiatan di proyek. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah melihat kualitas kontrak berbasis kinerja atau Performance Based Contract yang diterbitkan pemerintah saat ini terhadap kinerja kontraktor penyedia barang/jasa yang telah menerapkan Performance Based Contract, dan merumuskan pemodelan risiko dari Performance Based Contract. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah memberikan model hubungan risiko dan keterkaitan antar variabel-variabel risiko dominan dari tahap Performance Based Contractoleh kontraktor yang telah menerapkan kontrak berbasis kinerja atau Performance Based Contract.



2. TINJAUAN PUSTAKA Kontrak Konstruksi Definisi kontrak secara umum menurut (Yasin, 2014) adalah suatu perjanjian yang dibuat atas dasar kemauan bersama antara dua pihak (pihak I dan pihak II), yang bernilai hukum. Sedangkan kontrak konstruksi adalah suatu perjanjian untuk membangun suatu bangunan dengan persyaratan tertentu, yang dibuat oleh pihak I sebagai pemilik bangunan, dengan pihak II sebagai pelaksana bangunan. Oleh karena itu, suatu surat perjanjian dinyatakan sah bila didasari oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Kebebasan kehendak (tidak ada yang dipaksa) 2. Kecakapan berbuat (untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan) 3. Adanya objek tertentu (bangunan) 4. Kausa yang halal (tidak dilarang oleh hukum yang berlaku) Kontrak konstruksi merupakan ―end product‖ dari kegiatan manajemen pemasaran dan sekaligus merupakan kegiatan awal dari manajemen produksi. Kontrak Berbasis Kinerja (Performance Based Contract)



640 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Menurut (Yasin, 2014) mendefinisikan Performance Based Contract (PBC) adalahjenis kontrak dengan sebuah tujuan dan indikator yang jelas yang mendasarkan pembayaran pada pemenuhan indikator kinerja minimum. Kritis unsur efektif PBC adalah pernyataan pekerjaan didefinisikan dengan baik dan jelas secara tertulis untuk mencapai standar kinerja. Jalan Peraturan pemerintah nomor 34 Tahun 2006 menjelaskan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Teknis Menurut (Wahyudi, 2009) dengan adanya kontrak berbasis kinerja ini terjadi perubahan lingkup kerja atau asumsi dalam perhitungan desain pekerjaan. Kinerja yang ingin dicapai harus jelas, kontraktor membuat desain beserta metodenya dan pihak pengelola jalan memeriksa dan menentukan kinerja yang harus dicapai oleh kontraktor.Dari hasil studi literatur terhadap paper-paper yang membahas tentang metode Kontrak Berbasis Kinerja, disusun suatu perbandingan antara metode Kontrak Tradisional dengan Kontrak Berbasis Kinerja berdasarkan beberapa kategori yang sama, yaitu siklus keberlangsungan proyek, antara lain : Tahap Perencanaan, Tahap Pengadaan, Tahap Pelaksanaan dan Tahap Pemeliharaan. Risiko Risiko merupakan variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi secara alami didalam suatu situasi (Asiyanto, Manajemen Risiko Untuk Kontraktor, 2009). Risiko adalah ancaman terhadap kehidupan, properti atau keuntungan finansial akibat bahaya yang terjadi. Secara umum risiko dikaitkan dengan kemungkinan (probabilitas) terjadinya peristiwa diluar yang diharapkan(Soeharto, 2001).



3. METODE PENELITIAN Konsep penelitian Konsep penelitian deskriptif ini untuk menghubungkan antar variabel-variabel risiko pada tahap Performance Based Contract pada proyek yang menerapkan PBC sehingga dapat dimodelkan berdasarkan pengolahan data dengan Interpretive Structural Modeling. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dari referensi-referensi penelitian yang terkait dengan subjek dan objek penelitian, dari referensi-referensi tersebut diantaranya jurnal, buku teks, thesis, seminar dan laporan penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan oleh peneliti dengan cara : 1. Wawancara 2. Kuisioner Responden Responden dalam penelitian ini adalah kontraktor yang menerapkan kontrak atau Performance Based Contract di wilayah Jawa Timur.



Bidang Manajemen Konstruksi- 641



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Identifikasi Variabel pada Tahap Performance Based Construction



Mulai



Transivitas



Pembentukan Reachability matriks untuk setiap variabel berpasangan



Penilaian Hubungan Kontekstual diantara Variabel



Structural self interaction matrix untuk setiap Variabel berpasangan



Tidak



Ya



Reachability matriks dipartisi dengan levelberbeda



Pengembangan Reachability matriks (menghilangkan transivitas)



Selesai



Mengganti variabel-variabel dengan hubungan pernyataan



Analisis Mic-Mac untuk diklasifikasi



Gambar 1 Diagram Alir Penelitian (Hasil olahan peneliti, 2014) mengadopsi (Indrawanto, 2009), (Satapathy, Patel, Biswas, & Mishra, 2013) Analisa Data Interpretive Structural Modelling Interpretive Structural Modeling adalah proses pembelajaran interaktif di mana satu set yang berbeda terkait dan elemen langsung terstruktur menjadi komprehensif Model sistematis. Model yang terbentuk, menggambarkan struktur masalah yang kompleks atau masalah, sistem atau lapangan studi, dalam Pola dirancang menyiratkan grafis serta kata-kata. ISM menggabungkan elemen diukur pada skala ordinal pengukuran dan menyediakan pendekatan pemodelan, yang memungkinkan faktor kualitatif untuk dipertahankan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari model (Debnath & Shankar, 2012)



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data dengan Interpretive Structural Modelingmenghasilkan model dan klasifikasi hubungan yang didapat dengan mengolah 5 variabel risiko dominan pada tiap tahap Performance Based Contract ditunjukkan 2 gambar berikut :



642 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kondisi Cuaca parah tak terduga



Pemakaian teknologi untuk metode kerja



Proses Manufakturing



Anggaran Proyek



Pembatasan jam kerja



Umur desain tak sesuai rencana



Harga penawaran vendor lebih mahal dari estimasi



konstruksi yang jelek



Desain tidak dapat diterapkan dilapangan



Identifikasi material dan peralatan



Keakuratan scope pekerjaan



Umur desain tak sesuai rencana



Perubahan desain



Timbulnya masalah dalam masa garansi



Kualitas konstruksi yang jelek



Penambahan waktu akibat rework



Gambar 2 Model Interpretive Structural Modeling Variabel Penambahan waktu pada rework menempati posisi terbawah pada model ISM hal ini didukung dengan analisa Mic-Mac yang mengklasifikasikan pada Dependence ke arah Strong serta Drive Power Weak sedangkan Variabel kondisi cuaca parah yang tak terduga menempati posisi teratas dengan klasifikasi dari analisa Mic-Macyang sama. Untuk analisa Mic-Mac dengan klasifikasi (Linkage) yaitu Dependence ke arah Strong dan Drive Power ke arah Strong dimiliki oleh variabel umur desain tidak sesuai rencana. STRONG Matrik Drive Power-Dependence



5,7 (INDEPENDENT) IV



9.8.14.4.3.1 (AUTONOMOUS) I



1



2



3



4



5



6



1 Keakuratan scope pekerjaan 2 Kualifikasi engineer 3 Pemakaian teknologi untuk metode kerja 4 Anggaran proyek 5 Harga penawaran vendor lebih mahal dari estimasi 6 Identifikasi material dan peralatan 7 Vendor quality control 8 Proses Manufacturing 9 Pembatasan jam kerja 10 Desain tidak dapat diterapkan dilapangan 11 Penambahan waktu akibat rework 12 Perubahan Desain 13 Kualitas konstruksi yang jelek 14 kondisi cuaca parah yang tak terduga 15 timbulnya masalah dalam masa garansi 16 umur desain tidak sesuai rencana



16 (LINKAGE) III



Drive Power



17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 WEAK 0



15.13.11 (DEPENDENT ) II



7



8



9 10 11 12 13 14



15



16 STRONG



Depedence



Gambar 3 Pembagian Klasifikasi berdasarkan analisa Mic-Mac dari model Interpretive Structural Modeling



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari data dengan menggunakan Interpretive Structural Modelingterdapat variabel dari tahap Performance Based Contract yang terbagi berdasarkan urutan dan dapat diklasifikasikan dengan analisa Mic-Mac untuk mengetahui hubungan dengan melihat Dependence dan Drive Power. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada tahap konstruksi dengan variabel penambahan waktu



Bidang Manajemen Konstruksi- 643



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean terhadap rework memiliki Dependence ke arah Weakdan Drive Power kearah weak terhadap variabel umur desain tak sesuai dengan rencana dan variabel kualitas konstruksi yang jelek pada tahap pemeliharaan.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Ammarapala, V. (2010). A Study Performance Based Contract (PBC) and the Highway Maintenance Management in Thailand. 2. Asiyanto. (2009). Manajemen Risiko Untuk Kontraktor. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 3. Asiyanto. (2010). Manajemen Produksi untuk Jasa Konstruksi. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 4. Debnath, R. M., & Shankar, R. (2012). Improving service quality in technical education: use of interpretive structural modeling. Quality assurance in education, 387-407. 5. Greenwood , & Henning. (2006). Introducing Performance Based Maintenance Contracts to Indonesia. 6. Indonesia, P. (2006). Peraturan Pemerintah. Pemerintah Indonesia. 7. Indrawanto, C. (2009). KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AKAR WANGI (Vetiveria zizanoides L.) MENGGUNAKAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING . Informatika pertanian, 1-18. 8. Kartam, N., & Kartam, S. (2001). Management Risk and its Management in the Kuwait Construction Industri : a Contractor's Perspective. International Journal of Project Management, (pp. 325-335). 9. Kerzner, H. (2001). Project Management 7th edition . New York: John Wiley & Sons. 10. Labombang, M. (2011). Manajemen Risiko Dalam Proyek Konstruksi. Jurnal Smartek, 3946. 11. Mathiyazhagan, K., Govindan, K., NoorulHaq, A., & Geng, Y. (2013). An ISM approach for the barrier analysis in implementing green supply chain management. Journal of cleaner production, 1-15. 12. Nurfarida, S. (2013). Alokasi Risiko Proyek Pembangunan Jalan dengan sistem Performance Based Contract (Studi kasus peningkatan Jalan Demak-Trungguli). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember . 13. Ozbek, M. E. (2004). Development of Performance Warranties for Performance Based Road Maintenance Contract. MS thesis. 14. PMI. (2008). A Guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK Guide). Project Management Institute. 15. Satapathy, S., Patel, S. K., Biswas, A., & Mishra, P. (2013). Interpretive structural modeling for E-electricity utility. Journal of Industrial Engineering International, 349-367. 16. Soeharto. (2001). Manajemen Proyek Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 17. Susanto, H., & Makmur, H. (2013). Auditing Proyek-Proyek Konstruksi . Yogyakarta: ANDI. 18. Wahyudi, S. (2009). Penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance Based Contract) untuk Meningkatkan Efektifitas Penanganan Jalan. Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia. 19. Walpole, R. E. (1989). Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 20. Yasin, N. (2014). Kontrak Konstruksi di Indonesia edisi kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 21. Yuwana, D. P. (2013). Analisa Risiko pada Proyek Infrastruktur jalan dengan system Performance Based Contract Studi kasus Proyek peningkatan jalan Demak-Trengguli. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember . 22. Z., T. R. (2011). Performance Based Contract Application Oppurtunity and Challenge in Indonesia National Roads. (pp. 851-858). Science Direct.



644 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMODELAN RISIKO PERFORMANCE BASED CONTRACT DENGAN MENGGUNAKAN GAME THEORY (STUDI KASUS : PROYEK INFRASTRUKTUR JALAN DI WILAYAH JAWA TIMUR) Fallan Kurnia Andrianto1 dan I Putu Artama Wiguna2 dan Erwin Widodo3 1



Mahasiswa Pascasarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email : [email protected] 2 Dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email: [email protected] 3 Dosen Jurusan Teknik Industri - FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email:[email protected]



ABSTRAK Sistem kontrak tradisional yang berjalan selama ini diduga belum mampu untuk menyelaraskan kepentingan bersama, baik dari pemerintah maupun penyedia jasa. Selama ini risiko-risiko yang berkaitan dengan mutu hasil pekerjaan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai umur rencana pemerintah melakukan banyak penambahan biaya agar infrastruktur jalan tetap terpelihara. Berbeda halnya dengan kepentingan penyedia jasa yang hanya bertujuan menyelesaikan kewajiban kontrak dengan pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya saja. Permasalahan inilah yang membutuhkan kontrak yang inovatif dengan skema pembagian resiko yang diterima secara adil dan proporsional, menjadi sebuah solusi yang nyata. Dengan adanya Performance Based Contract (PBC), dapat menjawab solusi akan kebutuhan tersebut. Pada kontrak tersebut risiko-risiko yang ditanggung oleh pemerintah sebagian besar dilimpahkan kepada pihak penyedia jasa dengan pemberian insentif maupun disinsentif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bobot pembagian risiko oleh pihak pemerintah maupun penyedia jasa terhadap penerapan Performance Based Contract. Variabel-variabel risiko didapat dari kajian pustaka dan penelitian terdahulu. Variable-variabel risiko tersebut adalah sebuah input yang diolah menjadi sebuah model matrik dengan menggunakan game theory. Didalam tools ini, game adalah suatu kondisi tertentu dimana timbul adanya konflik atau interaksi, player adalah pihak pemerintah dan penyedia jasa yang berkaitan dengan konflik tersebut, sedangkan strategi merupakan beberapa tindakan yang dibuat oleh masing-masing player untuk membagi bobot risiko yang diterima dan payoff adalah hasil dari setiap strategi yang telah dijalankan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat model game theory dari sebuah situasi pembagian risiko yang berprinsip win-win solution, baik dari pihak pemerintah maupun penyedia jasa didalam penerapan Performance Based Contract. Kata Kunci : Game Theory, Performance Based Contract, Risiko,



1. PENDAHULUAN Adanya sarana transportasi jalan yang baik menjadi salah satu kunci utama didalam kemajuan pertumbuhan perekonomian suatu daerah atau negara. Dengan tersedianya pembangunan infrasturktur jalan yang baik dan terawat oleh pihak pemerintah, merupakan bentuk pelayanan bagi masyarakat yang berkendara agar dapat lewat dengan cepat, aman dan nyaman hingga ke tujuan. Terkhususnya pada Provinsi Jawa Timur, yang merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk 38.088.166 jiwa pada tahun 2013 dan jumlah 1.353.471 unit kendaraan bermotor roda 4 serta 10.175.790 roda dua [3] tentunya merupakan sorotan bagi pemerintah untuk pengembangan infrastuktur jalan yang memadai.



Bidang Manajemen Konstruksi- 645



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Peningkatan pertumbuhan menggunakan moda transportasi jalan di Jawa Timur yang pesat akan berpengaruh pula terhadap pertambahan beban volume dan berat kendaraan tiap tahunnya, mengakibatkan tingginya dampak kerusakan jalan, antara lain : permasalahan overloading kendaraan, permasalahan yang berkaitan dengan pengendalian mutu jalan dan dampak lingkungan [4], menjadi sebuah permasalahan yang serius baik dari pihak pemerintah maupun pengguna jalan. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kerusakan jalan tersebut adalah mengubah sistem pengadaan yang selama ini dan membuat bentuk-bentuk pengadaan dan kontrak yang inovatif dengan skema pembagian risiko (risk sharing) yang adil dan proporsional. Dengan adanya sistem Performance Based Contract (PBC) atau sistem kontrak berbasis-kinerja dapat menjawab solusi akan permasalahan tersebut. Sistem kontrak berbasis-kinerja merupakan kontrak yang mendasarkan pembayaran untuk biaya manajemen dan pemeliharaan jalan secara langsung dihubungkan dengan kinerja kontraktor dalam memenuhi indikator kerja minimum yang diterapkan [7]. Dalam sistem kontrak tradisional selama ini, risiko-risiko yang berkaitan dengan mutu hasil pekerjaan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga untuk pekerjaan yang tidak sesuai umur rencana, pemerintah melakukan banyak penambahan biaya agar jalan tersebut tetap terpelihara [5]. Pada kontrak berbasis-kinerja sebagian besar risiko-risiko tersebut dialihkan kepada penyedia jasa. Penyedia jasa dapat menanggung risiko dengan syarat, risiko tersebut berkaitan dengan keahliannya dan insentif yang akan mereka terima sesuai dengan tingkat risiko yang diberikan. Pelaksanaan sistem kontrak berbasis-kinerja akan efektif bila bersifat kontrak jangka panjang / tahun jamak. Pengaturan proses persetujuan kontrak jangka panjang / tahun jamak perlu dilakukan secara efektif untuk memotong masa persiapan dan hal ini membutuhkan koordinasi, kesepakatan dengan pemangku kepentingan, seperti Departemen Keuangan dan pemerintah setempat [8]. Penelitian makalah ini bertujuan dapat mengetahui risiko apa yang memiliki tingkat tertinggi didalam penerapan PBC terkhususnya di provinsi Jawa Timur dan bagaimana memodelkan pembagian risiko secara adil antara pihak pemerintah dan penyedia jasa dari masing-masing strategi kedua belah pihak dengan game theory, sehingga dapat tercipta solusi yang berprinsip win-win solution didalam situasi konflik pembagian risiko tersebut.



2. METODE Metode diperlukan sebagai kerangka dan panduan proses pengerjaan makalah, sehingga rangkaian pengerjaan makalah dapat dilakukan secara terarah, teratur dan sistematis. Adapun gambaran yang akan dikerjakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.



646 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Latar Belakang Adanya pengalihan risiko dari pihak Pemerintah kepada penyedia jasa



X Studi Literatur



Rumusan Masalah 1.



2.



Risiko apakah yang memiliki tingkat tertinggi pada performance-based contract. Bagaimana bentuk pemodelan strategi pembobotan risiko yang diterima baik dari pemerintah maupun penyedia jasa.



Tujuan Penelitian



1. Mengetahui risiko yang memiliki tingkat tertinggi pada performance-based contract 2. Mengetahui pemodelan risiko strategi pembobotan risiko yang diterima baik dari pemerintah



Identifikasi Variabel Penelitian



Formulasi Model Game Theory



1. Penentuan komponen game theory 2. Model matrik payoff game theory



Interpretasi Data & Model



X



Kesimpulan



Gambar 1. Flowchart Makalah Pergeseran Kultur Kontrak Konstruksi Sebuah perubahan yang mendasari kontrak berbasis-kinerja dan kontrak tradisional jika dipandang dari aspek teknis adalah pihak kontraktor/penyedia jasa secara independen dapat menentukan sendiri mekanisme pemeliharaan jalan termasuk apa, bagaimana, dimana, dan kapan pekerjaan tersebut dilakukan guna mencapai kinerja yang telah disyaratkan sesuai dengan spesifikasi didalam kontrak [9],. Inisiatif kontraktor dalam penentuan metoda pelaksanaan pekerjaannya sendiri sangat diperlukan, maka diharapkan akan meningkatkan efisiensi penggunaan dana masyarakat, dan juga mendorong timbulnya inovasi teknologi dalam industri jasa konstruksi. Dengan demikian, terjadi sebuah perubahan peran pengelola jalan dalam penerapan kontrak berbasis kinerja [1]. Perbandingan peran pengelola jalan dalam metoda kontrak tradisional dan metoda kontrak berbasis kinerja dijelaskan pada Tabel 1. Dua hal yang tetap berada dalam kendali pihak pengelola jalan adalah aspek perencanaan (planning) dan aspek pengelolaan (management) operasional jalan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 647



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1 Pembagian Peran Dalam Aspek Pengelolaan jalan Aspek Pengelolaan Jalan Kontrak Tradisional Kontrak Berbasis Kinerja



Perencanaan (Planning)



Perancangan (Design)



Konstruksi (Build)



Pemeliharaan (Maintenance)



Pengelolaan (Management)



Pengelola Jalan (Owner) Pengelola Jalan (Owner)



Pengelola Jalan (Owner) Kontraktor



Kontraktor



Pengelola Jalan (Owner) Kontraktor



Pengelola (Owner) Pengelola (Owner)



Kontraktor



Jalan Jalan



(sumber : Abduh, 2003) Variabel Risiko Variabel risiko yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari penelitian sebelumnya oleh Yuwana [10]. Variabel-variabel risiko dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Variabel Risiko dan Level Risiko Pada Kontrak Berbasis-Kinerja KODE A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



VARIABEL RISIKO DESAIN DAN ENGINEERING Keakuratan scope pekerjaan Kualifikasi engineer Komunikasi engineering dengan procurement Pemakaian teknologi untuk metode kerja Anggaran proyek Jadwal pelaksanaan proyek Perubahan desain Spesifikasi yang tidak lengkap Gambar tidak lengkap Kurangnya keakuratan desain Rata - rata Level Risiko PROCUREMENT Harga penawaran vendor lebih tinggi dari estimasi Ketersediaan material alat dan sumber daya manusia Keterlambatan penyediaan material dan alat Identifikasi material dan peralatan Vendor Quality Control Kontrol document procurement Proses manufacturing Vendor Performance Garansi material Keterlambatan approval dari pemilik Perselisihan dari pihak ketiga Kurang pengalaman dalam inspeksi dan pengiriman Rata - rata Level Risiko



648 – Bidang Manajemen Konstruksi



RISK LEVEL 12 8 6 9 16 12 9 16 12 9 10.90 RISK LEVEL 9 9 9 6 4 4 6 9 6 16 4 4 7.17



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25



D 1 2 3 4 5 6 7 8



KONSTRUKSI Kondisi site yang berbeda dengan asumsi perencanaan Pembatasan jam kerja Quality control dan ansurance Desain tidak bisa diterapkan di lapangan Penambahan waktu akibat rework Perubahan desain Supply material dari pihak ketiga tidak sesuai spesifikasi Force mature Keterlamabatan pengawas dalam mengambil keputusan Keterlambatan cashflow Gangguan dari lingkungan sekitar Perselisihan mengenai pemahaman spesifikasi dan dokumen kontrak Durasi dalam pelaksanaan proyek Perbedaaan ketersediaan anggaran dengan progres pekerjaan Kualitas pekerjaan tidak memenuhi pekerjaan Kondisi tanah yang tidak terduga Spesifikasi yang tidak memadai Tertundanya progres pembayaran termin Perijinan dan regulasi Ditundanya pemecahan perselisihan Perbedaaan pemahaman perhitungan kuantitas pekerjaan Kondisi cuaca yang tidak terduga Pemrmasalahan K3L Masalah teknik Terjadinya perbedaan antara sequence pekerjaan dan performance indicator pembayaran Rata - rata Level Risiko



RISK LEVEL 9 9 12 12 9 12 6 12 12 9 9 12



PEMELIHARAAN/ MAINTENANCE Kualitas konstruksi yang jelek Kondisi cuaca parah yang tidak terduga Fokus jangka pendek yang gagal untuk meminimalkan biaya jangka panjang Kesulitan dalam memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan Timbulnya permasalahan selama masa garansi Terjadi kerusakan akibat kecelakaan lalu lintas Denda akibat response pemeliharaan kurang cepat Umur desain tidak sesuai rencana Rata - rata Level Risiko



RISK LEVEL 12 6 6



12 12 8 12 9 12 6 9 9 9 12 6 12 10.04



6 6 9 9 15 8.63



Game Theory Tools ini mempelajari interaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat disebuah situasi konflik [2]. Setiap pihak tentunya berusaha memilih strategi yang akan memaksimalkan keuntungan ataupun meminimalkan risiko yang diterimanya. Titik perhatian dalam melakukan analisis keputusan dengan menggunakan teori permainan ini adalah tingkah laku strategis pemain atau pengambil keputusan. Langkah strategis yang digunakan adalah berupa strategi dari tiap pemain untuk menjadi



Bidang Manajemen Konstruksi- 649



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pemenang dalam permainan. Jika seorang pemain menggunakan strategi A, maka pemain lainnya akan menentukan suatu strategi B untuk mengantisipasi strategi A dari pemain lawan. Hal tersebut akan berlaku sebaliknya atau terjadi timbal balik [6]. Keputusan yang dilakukan oleh satu pemain bisa disebabkan oleh keputusan yang dilakukan oleh pemain lawannya. Masalahnya, seorang pemain bisa merencanakan berbagai alternatif keputusan, sehingga pemain lawan pun akan menyediakan berbagai alternatif keputusan untuk mengantisipasi.



3. PENGEMBANGAN MODEL Dalam pembuatan model matrik game theory diperlukan sebuah komponen penyusun berupa : 1. Variabel Risiko Utama. Variabel risiko utama merupakan risiko yang memiliki rangking level tertinggi di dalam penerapan kontrak berbasis-kinerja. Risiko tersebut diterima oleh kedua pihak, baik pihak pemerintah maupun penyedia jasa. 2. Tujuan/game. Tujuan permainan adalah berusaha untuk meminimalisir risiko yang diterima oleh masing-masing pihak. 3. Pemain/players. Players adalah kelengkapan utama dalam sebuah permainan. Setiap players akan menjadi pengambil keputusan untuk dapat meminimalkan risiko yang diterima dengan strategi berbeda-beda. Players di dalam penelitian ini adalah pihak pemerintah dan penyedia jasa. 4. Strategi. Setiap players akan membuat suatu taktik/strategi sebagai cara untuk memenangkan sebuah situasi konflik ataupun meminimalkan risiko yang diterima. Setiap strategi dibuat untuk menghadapi strategi dari pemain lain. Strategi yang dimaksud berupa pembagian bobot risiko yang diterima oleh kedua belah pihak. 5. Hasil/payoff. Hasil dari setiap strategi yang digunakan oleh tiap pemain akan ditampilkan dalam bentuk matriks payoff. Satuan dari angka-angka yang muncul dari matriks bisa berupa apa saja secara kuantitatif tergantung pada tujuan dari permainan. Hasil/payoff yang dimaksud berupa biaya yang dikeluarkan kedua belah pihak untuk meminimalisir risiko. Sebuah model matrik payoff game theory dibuat untuk menggambarkan situasi pembagian risiko yang diterima oleh pihak pemerintah maupun penyedia jasa. Model matrik payoff game theory dapat dilihat pada Gambar 2.



650 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 2 Model matrik payoff antara Pemerintah dan Penyedia jasa Pihak penyedia jasa maupun pihak pemerintah masing-masing memiliki tiga kriteria bobot persentase untuk menerima risiko level tertinggi, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing pihak memiliki persentase bobot yang berbeda-beda, tergantung dari penelitian tentang alokasi risiko penerapan kontrak berbasis-kinerja di proyek. Dengan berbedanya bobot risiko yang diterima, berbeda pula payoff yang mereka keluarkan.



4. KESIMPULAN Hasil akhir model tersebut akan dibuat sebuah pengambilan keputusan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara kedua belah pihak di dalam penerapan kontrak berbasis-kinerja. Keputusan tersebut adalah sebuah titik equilibrium yang merupakan titik pertemuan baris dan kolom strategi matrik masing-masing pihak yang menghasilkan solusi yang paling optimum (win-win solution) berupa payoff yang harus mereka keluarkan untuk mengatasi risiko tersebut.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Abduh, R.D. (2003). Metoda Kontrak inovatif untuk Peningkatan Kualitas Jalan : Peluang dan Tantangan. Pola Manajemen Proyek untuk Kondisi Berjalan dan Masa Depan, Jakarta. 2. Azhar Kasim, ‖Teori Pembuatan Keputusan‖ 2003 3. Badan Pusat Statistik (2013), Jumlah Penduduk di Jawa Timur dan Laju Pertumbuhan Kendaraan Bermotor. 4. Balitbang PU (2004). Pengembangan Model Implementasi Performance Based Contract (PBC) untuk Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan Di Indonesia. 5. Greenwood, I dan Henning, T, (2006). Introducing Performance Based Maintenance Contract to Indonesia, Framework Document Opus International Consultants Limited in association with MWH NZ. The World Bank.



Bidang Manajemen Konstruksi- 651



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 6. Richard I. Levin et. al. ―Pengambilan Keputusan Secara Kuantitatif‖ Edisi Ketujuh, 2002 7. The World Bank (2002). ―Sample Bidding Document For Long-Term Performance-Based Management and Maintenance of Roads (Output-based Service Contract)‖, Washington, D.C. 8. Wahyudi, Soelaeman. (2009), Penerapan Kontrak Berbasis-Kinerja Untuk Meningkatkan Efektifitas Penangannan jalan. Jakarta : UI. 9. Zietlow, G.J.. (2007). Performance-Based Road Management And Maintenance Conctracts, International Seminar on Road Financing and Invesment Arusha, Tanzania. 10. Yuwana, P.P . (2013). Analisa Risiko Pada Proyek Infrastruktur Jalan dengan system Performance Based Contract. Surabaya : ITS.



652 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PERAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG KEINSINYURAN DALAM MENGAWAL PROFESIONALITAS TENAGA AHLI KONSTRUKSI INDONESIA Irika Widiasanti1 1



Mahasiswa Program Doktor Manajemen Rekayasa dan Konstruksi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Universitas Negeri Jakarta, Jl.Rawamangun Muka , Jakarta Timur Email: [email protected]



ABSTRAK Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hanya tinggal hitungan bulan. Kesiapan Indonesia sangat diperlukan menghadapi MEA, jika tidak, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya. Kesiapan Indonesia ini, diperlukan tidak hanya pada proteksi produk namun juga pada sisi dunia ketenagakerjaan. Saat MEA berlaku, ada 8 (delapan) profesi yang telah disepakati untuk dibuka, yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan. Profesi-profesi tersebut dituntut untuk meningkatkan profesionalitas. Untuk itu diperlukan peraturan perundangan yang mengatur profesionalitas. Khusus untuk profesi insinyur telah dikeluarkan Undang-undang 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran (UU Keinsinyuran) Tujuan studi ini adalah mengkaji peran UU Keinsinyuran dalam mengatur kegiatan keinsinyuran dengan menjalankan Standar Keinsinyuran yang didasarkan pada Kode Etik Keinsinyuran sehingga dihasilkan Insinyur yang profesional. Insinyur yang akan dibahas dalam studi ini adalah insinyur pada disiplin rekayasa sipil, yang selanjutnya disebut sebagai tenaga ahli konstruksi. Studi ini termasuk dalam penelitian deskriptif dan bersifat kualitatif, dilakukan dengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder yang mencakup sistem penjaminan kompetensi profesi, izin kerja profesi, sistem penjaminan kualifikasi profesi keinsinyuran. Data dianalisis mengacu pada best practices kegiatan tenaga ahli konstruksi yang berlaku di negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Studi ini menghasilkan bahwa UU Keinsinyuran mengatur kegiatan keinsinyuran meliputi sistem penjaminan kompetensi profesional bagi perolehan izin kerja, sistem penjaminan kualifikasi dasar untuk memasuki profesi keinsinyuran, dan sistem penjaminan mutu akademis untuk pendidikan tinggi teknik. Dapat disimpulkan bahwa UUKeinsinyuran ini merupakan sebuah bentuk validasi akan kemampuan seseorang untuk dapat menjadi Insinyur yang profesional. Kata kunci: profesionalitas, tenaga ahli konstruksi



1. PENDAHULUAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) segera berlaku pada Desember 2015.Jika tidak mempersiapkan diri, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya. Kesiapan ini, tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga pada dunia ketenagakerjaan. Bidang ketenagakerjaan yang disepakati dalam MEA ada 8 (delapan) profesi, yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan[1] Di sisi lain, dalam rangka memajukan perekonomian dalam negeri Indonesia, pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) yang berlangsung tahun 2011-2024. Pelaksanaan MP3El, dilakukan dengan membagi Indonesia ke dalam Enam koridor besar yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.Untuk mendukung MP3EI, dibutuhkan sekitar 91.963 insinyur.Jika dibagi menurut koridor MP3El, maka koridor Sumatera membutuhkan



Bidang Manajemen Konstruksi- 653



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 19.575 insinyur, koridor Jawa butuh 28.993 insinyur, koridor Kalimantan memerlukan 14.886 insinyur, koridor Sulawesi membutuhkan 11.218 insinyur, koridor Maluku 4.030 insinyur dan koridor Papua 13.261 insinyur. [2] Untuk itu diperlukan keseimbangan kualitas dan kuantitas insinyur dalam rangka mendukung pencapaian target MP3El dan menghadapai tantangan global termasuk MEA. Pembangunan perekonomian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umum, salah satunya dapat dicapai dengan tersedianya sumber daya manusia yang andal dan profesional yang mampu melakukan rekayasa teknik guna meningkatkan nilai tambah, daya saing, daya guna, efisiensi dan efektivitas anggaran, perlindungan publik, kemajuan ilmu dan teknoiogi, serta pencapaian kebudayaan dan peradaban bangsa yang tinggi. Insinyur adalah salah satu komponen utama dalam melakukan layanan jasa rekayasa teknik. Insinyur dituntut memiliki kompetensi untuk melakukan pekerjaan secara profesionaI sehingga kegiatan yang dilakukannya dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan dirinya. Produk yang dihasilkan oleh Insinyur harus dapat dipertanggungjawabkan, secara materiil, moril dan hukum. Sehingga layanan jasa di bidang keinsinyuran dilakukan secara profesional, bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika profesi.memiliki kepastian hukumdalam memberikan pelindungan bagi insinyur dan pengguna



2. DASAR TEORI Tenaga Ahli Ahli adalah seseorang yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan atau memiliki kemampuan serta mendalami dan menguasai penerapan pengetahuan, ilmu, teknologi, seni dan atau bidang-bidang tertentu. Dibidang jasa konstruksi tenaga ahli adalah tenaga dibidang jasa konstruksi yang memiliki sertifikat bagi perencana konstruksi, pengawas konstruksi dan pelaksana konstruksi sebagai bukti kompetensi dan kemampuan profesi keahlian kerja dibidang jasa konstruksi menurut disipli keilmuan dan/atau kefungsian dan/atau keahlian tertentu[3] Sertifikat Tenaga Ahli Salah satu upaya peningkatan kualitaskompetensi dan profesionalisme tenaga ahli adalah sertifikasi yang berfungsi sebagai sistem quality assurance.[4] Profesionalitas tenaga ahli Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran.[5].UU Keinsinyuran dibuat dengan tujuan untuk mencegah kesalahan dan kelalaian praktek keinsinyuran yang dapat merugikan masyarakat, mengatasi pekerjaan teknologi dan ahli teknologi, mengamankan investasi, dan anggaran pembangunan, mengembangkan keinsinyuran [6] Selain itu, UU Keinsinyuran juga akan mengatur tentang sertifikasi insinyur professional, penyelenggaraan lisensi kerja hingga standar pelayanan. Sertifikasi merupakan salah satu persyaratan yang harus dipunyai oleh tenaga kerja yang akan bekerja di dunia usaha jasa konstruksi secara profesional. Upaya asosiasi perusahaan dan profesi bekerja sama dengan lembaga pelatihan dalam menyertifikasi tenaga kerja, dalam upaya memenuhi tuntutan kualitas tenaga kerja yang profesional, yang sangat dibutuhkan oleh dunia usaha/industri lokal, nasional dan internasional. [7]. Pelaksanaan sertifikasi tenaga ahli jasa konstruksi yang memiliki ketegasan aturan mengenai standar kompetensi dapat menjamin kompetensi atau kualitas tenaga kerja konstruksi. [8]



654 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Perbedaan Karakteristik Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Setelah lebih dari 15 tahun diperjuangkan, tanggal 22 Maret 2014 UU Keinsinyuran Indonesia disahkan. UU ini memberi harapan besar; menjadi landasan yang kokoh pengembangan Insinyur Indonesia sebagai warga negara kehormatan dalam melaksanakan profesi untuk melayani kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara dalam bidang keteknikan[9].Indonesia menjadi negara kedelapan di ASEAN yang baru memiliki UU tentang keinsinyuran. Negara ASEAN yang lain (kecuali Laos dan Cambodia), mengatur Tenaga Ahli dan Tenaga Konstruksi dalam Undang-undang yang berbeda.Hal ini disebabkan karena terdapat karakteristik yang sangat berbeda antara Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1: Perbedaan Karakteristik Tenaga Ahli dan Tenaga Teranpil No Parameter Tenaga Ahli Tenaga Terampil 1 Output Kecendikiawanan Keterampilan 2



Proses Pembelajaran



3



Legal Liability



4



Bakuan Kompetensi



5



Uji Kompetensi



6



Organisasi



Pendidikan



Pelatihan



Liable



Tidak liable



Professional related



Job related



Peer to peer assessment



Uji Keterampilan



Asosiasi profesi



Serikat Kerja



Sumber: [10]



3. METODA Studi ini termasuk dalam penelitian deskriptif dan bersifat kualitatif, dilakukandengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder yang mencakupsistem penjaminan kompetensi profesi, izin kerja profesi, sistem penjaminan kualifikasi profesi keinsinyuran. Data dianalisis mengacu padabest practices kegiatan tenaga ahli konstruksi yang berlaku di negara Malaysia, Singapura dan Filipina.



4. HASIL DAN DISKUSI Struktur Legal Struktur legal UU Keinsinyuran terdiri atas 15 bab dan 56 pasal., dengan rincian seperti pada Tabel 2. Tabel 2: Struktur Legal UU Keinsinyuran Tentang BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI



KETENTUAN UMUM ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP CAKUPAN KEINSINYURAN STANDAR KEINSINYURAN PROGRAM PROFESI INSINYUR REGISTRASI INSINYUR



Jumlah pasal 1 3 1 1 3 8



pasal 1 2,3,4 5 6 7,8,9 10,11,12,13,14



Bidang Manajemen Konstruksi- 655



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 2: Struktur Legal UU Keinsinyuran Tentang



Jumlah pasal



pasal



BAB VII



INSINYUR ASING



5



,15,16,17 18,19,20,21,22



BAB VIII



1



23



BAB IX



PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN HAK DAN KEWAJIBAN



6



BAB X



DEWAN INSINYUR INDONESIA



6



24,25,26,27,28 , 29 30,31,32,33,34 ,35 36,37,38,39,40 ,41,42,43,44 45,46,47,48,49 50,51 52,53 54,55,56



BAB XI



PERSATUAN INSINYUR INDONESIA BAB XII PEMBINAAN KEINSINYURAN BAB XIII KETENTUAN PIDANA BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN BAB XV KETENTUAN PENUTUP Sumber : rangkuman penulis



9 5 2 2 3



Tujuan UU Keinsinyuran Tujuan yang hendak dicapai dengan diundangkannya undang-undang ini adalah perlindungan bagi kemaslahatan masyarakat melalui penjaminan atas mutu layanan profesi insinyur dan pemberdayaan profesi keinsinyuran melalui keabsahan hukumnya. [2] Lingkup Pengaturan UU Keinsinyuran Hal-hal yang diatur oleh UU Keinsinyuran meliputi : 1. Cakupan Keinsinyuran; 2. Standar Keinsinyuran; 3. Program Profesi Insinyur; 4. Hak dan kewajiban; 5. Registrasi Insinyur; 6. Insinyur Asing; 7. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan; 8. Kelembagaan Insinyur; 9. Organisasi Profesi Insinyur; dan 10. Pembinaan Keinsinyuran. Cakupan UU Keinsinyuran Cakupan UU Keinsinyuran diatur dalam Bab III pasal 5, meliputi tujuh disiplin teknik keinsinyuran dan tujuh bidang keinsinyuran, secara rinci terlihat pada Gambar 1.Cakupan disiplin tekniklinier dengan pendidikan sarjana akademik-nya yang berbasis pada disiplin (rumpun) keilmuan.Cakupan bidang/lapangan profesi yang berbasis pada karur sektor pelayanan kerja mempunyai ‗Menteri Penanggung-Jawab Sektor Pelayanan; Menteri yang membina bidang ke-Insinyur-an. Tenaga Ahli konstruksi berada pada posisi 2C.



656 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



berbasis karir KARIR sektor kerja



A



B



C



D



E



F



G



Dosen, Penelitian, Konstruksi Manajemen PertamPertanian Pemerintah, Pendidikan Pengem- , industri, bangan Perkebunan Pemda, bangan, Manufaktur dan Migas Kehutanan DPR Komersiali, sasi Termasuk Jasa Ikutan, Jaringan Kerja



1 kebumian dan energi; 2 rekayasa sipil dan lingkungan terbangun; 3 industri; konservasi dan 4 pengelolaan sumber daya alam; 5 pertanian dan hasil pertanian; 6 teknologi kelautan dan perkapalan; 7 aeronotika dan astronotika



berbasis disiplin



KEILMUAN (rumpun) keilmuan



Gambar 1. Cakupan UU Keinsinyuran Sumber :[11] Program Profesi Insinyur Untuk dapat melakukan praktik Keinsinyuran yang profesional, dapat ditempuh melalui 4 (empat) cara yaitu : 1. Lulusan Pendidikan Tinggi Teknik yang bergelar Sarjana Teknik (ST), mengikuti PPI 2. Pengalaman bekerja di Keinsinyuran, mengikuti PPI, langsung mengikuti Uji Profesi 3. Lulusan Pendidikan Tinggi non Teknik (non ST), bekerja di Keinsinyuran, mengikuti program Penyetaraan, mengikuti PPI 4. Rekognisi pembelajaran lampau , mengikuti PPI Keempat cara tersebut secara skematis dijelaskan pada Gambar 2.



Bidang Manajemen Konstruksi- 657



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Praktik memupuk kompetensi



Gelar Profesi



Pengalaman bekerja di Keinsinyuran



2



Penyelenggara PPI: Perti bekerja sama dengan kementerian terkait, PII, dan kalangan industri



DICATAT oleh PII



INSINYUR UJI PROFESI



Program Profesi Insinyur (PPI) 4 Rekognisi 1 pembelaST jaran (Gelar lampau Akademis)



Pendidikan Tinggi Teknik



Program PENYETARAAN



3 Pengalaman bekerja di Keinsinyuran NON ST



Pendidikan Tinggi Teknik non ST



Gambar 2.Program Profesi Insinyur Sumber :[11] Peta Jalan Membangun Profesionalisme Proses pembentukan seorang Insinyur menuju ke arah profesionalisme di bidang keinsinyuran, melalui beberapa tahap, secara rinci terlihat pada Gambar 3 :



Praktik Insinyur memikul tanggung jawab Keselamatan/ Keamanan Masyarakat



BAB VIII Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan:



Pembinaan Pemerintah



BAB VII SURAT TANDA REGISTRASI INSINYUR



UJI KOMPETENSI



Pengaturan insinyur asing



BAB VI Praktik memupuk kompetensi



BAB XII



INSINYUR



Pengalaman kerja di Keinsinyuran



UJI PROFESI



Program Profesi Insinyur



Pengalaman non ST kerja di Keinsinyuran



BAB V



Pendidikan Tinggi Teknik



Gambar 3.Peta Jalan Membangun Profesionalisme Sumber :[11]



658 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kelembagaan Keinsinyuran Institusi Utama Keinsinyuran di Indonesia, terdiri atas : 1. Pemerintah: [9] Pemerintah sebagai pembina yang dilakukan oleh Menteri bidang Pendidikan sebagai penanggung jawab dan Menteri terkait sesuai dengan disiplin teknik dan bidang pelayanan. 2. Dewan Insinyur: Merupakan badan semi pemerintah yang seharusnya melakukan sertifikasi dan registrasi; namun diposisikan sebagai perumus kebijakan dan pengawasan pelaksana praktik keinsinyuran oleh PII; 3. Persatuan Insinyur Indonesia, suatu organisasi profesi yang diberikan fungsipelaksanaan praktik keinsinyuran Tugas PII (pasal 38) di antaranya melaksanakan pelayanan keinsinyuran; melaksanakan Program Profesi lnsinyur bersama dengan perguruan tinggi; melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan; melakukan pengendalian dan pengawasan bagi terpenuhinya kewajiban insinyur; melaksanakan registrasi insinyur; menetapkan, menerapkan, dan menegakkan kode etik insinyur. Kerangka Institusi Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi Kerangka Institusi Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi menurut UU Keinsinyuran melibatkan Dewan Insinyur, PII, Perguruan tinggi sebagai penyelenggara Program Profesi Insinyur dan LSP sebagai penyelenggara Uji Kompetensi. [12] Pengaturannya hanya khusus untuk tenaga ahli. Hal ini berbeda dengan pengaturan sertifikasi tenaga ahli konstruksi di Indonesia berdasarkan UUJK 18/1999 yang mengatur sertifikasi tenaga ahli bersama dengan sertifikasi tenaga terampil.Kerangka Institusi berdasar UU Keinsinyuran sejalan dengan Kerangka Institusi yang berlaku di Negara Malaysia, Singapura, dan Filipina sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Pengaturan Sertifikasi dalam UU Keinsinyuran Tabel 3. Pasal-pasal dalam UU 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran terkait mekanisme Sertifikasi Tenaga Ahli Jasa Konstruksi No Pasal Tentang Uraian 6:1 standard Standar profesi Keinsinyuran yang terdiri atas: 1. a. standar layanan Insinyur; b. standar kompetensi Insinyur; dan c. standar Program Profesi Insinyur. 7:1 Program Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur, seseorang 2. Profesi harus lulus dari Program Profesi Insinyur Insinyur (PPI) 8:2 sertifikat Seseorang yang telah memenuhi standar Program 3. profesi Profesi Insinyur, baik melalui program profesi maupun Insinyur melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, serta lulus Program Profesi Insinyur berhak mendapatkan sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh PII. 10 : 1 registrasi Setiap Insinyur yang akan melakukan Praktik 4. Keinsinyuran di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur



Bidang Manajemen Konstruksi- 659



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 3. Pasal-pasal dalam UU 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran terkait mekanisme Sertifikasi Tenaga Ahli Jasa Konstruksi No Pasal Tentang Uraian 11 : 1 Sertifikat Untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi Insinyur 5. Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, seorang Insinyur Insinyur harus memiliki Sertifikat Kompetensi Insinyur. 18 :2 Insinyur Asing harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai 6. dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber : Rangkuman Penulis



INDONESIA



MALAYSIA



MINISTRY OF WORK



PEMERINTAH MENDIK



BEM



DEWAN INSINYUR



IHLs EAC



PII PTs LSP MASYARAKAT PROFESIONAL PT AP LSM



TA SINGAUPRA



PE



IHL



ECP



FILIPINA



MINISTRY OF WORK



MINISTRY OF WORK



PEB IES



PE



P



IEM



CP



BCE EAB



ACES EAP



PRC CHED



PE



PICE C&U PACUCOA



Keterangan Indonesia TA : Tenaga Ahli PII : Persatuan Insinyur Indonesia LSP : Lembaga Sertifikasi Profesi PTs : Perguruan Tinggi penyelenggara PPI AP : Asosiasi Profesi PT : Perguruan Tinggi LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat



Keterangan Malaysia BEM : Board of Engineer Malaysia EAC : Engineering Accreditation Council PE : Professional Engineering ECP : Engineering consultancy practice IHLs : Institution of Higher Learning - accreditad IHL : Institution of Higher Learning IEM : Institution of Engineers, Malaysia



Keterangan Singapura PEB : Professional Engineering Board IES : Institution of Engineer Singapore EAB : Engineering Accreditation Board PE : Professional Engineers, P : Practitioners CP : Corporations and Partnershi ACES: Association of Consulting Engineers, Singapore EAP : engineering academic programmes



Keterangan Filipina PRC : Professional Regulation Commission BCE : Board of Civil Engineer PICE : Philippine Institute of Civil Engineers CHED :Commission on Higher Education PRC : Professional Regulation PACUCOA : CommissionPhilippine Association of Colleges and Universities Commission on Acreditation C&U : Colleges and Universities



Gambar 4. Kerangka Institusi Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi Sumber :analisis penulis



660 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Implementasi UU Keinsinyuran Untuk menjamin kompetensi dan profesionalitas layanan profesi insinyur, pada UU ini dikembangkan 3 (tiga) standar profesi keinsinyuran yang terdiri atas 1) standar layanan lnsinyur, 2) standar kompetensi lnsinyur, dan 3) standar program profesi insinyur.(pasal 6 ayat 1). Dalam UUini pengaturan praktik keinsinyuranhanya dapat dilakukan oleh insinyur yang memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur yang dikeluarkan oleh Persatuan lnsinyur lndonesia (PII) dan berlaku selama 5 (lima) tahun(pasal 10). Bagi insinyur asing yang melakukan praktik keinsinyuran di lndonesia harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi ketentuan dalam UU ini.Dalam rangka meningkatkan profesionalitas profesi insinyur, diselenggarakan Continuing Professional Development (CPD) yang bertujuan untuk memelihara kompetensi dan profesionalitas insinyurdan mengembangkan tanggung jawab sosial insinyur pada lingkungan profesinya dan masyarakat di sekitarnya. Pada Ketentuan Penutup, ditentukan bahwa Peraturan Pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Sedangkan itu, Dewan Insinyur lndonesia harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung UU ini diundangkan. Peraturan pelaksanaan yang harus disiapkan adalah [2] Peraturan Pemerintah mengenai cakupan disiplin teknik keinsinyuran dan cakupan bidang keinsinyuran; Peraturan Pemerintah mengenai Program Profesi Insinyur; Peraturan Pemerintah mengenai Registrasi lnsinyur, lnsinyur Asing, dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif; serta Peraturan Pemerintah mengenai Pembinaan Keinsinyuran. Selain itu, harus disiapkan pula Peraturan Presiden mengenai Pembentukan, Struktur Organisasi, Rekrutmen dan Jumlah Anggota, serta pendanaan Dewan Insinyur lndonesla.



5. KESIMPULAN Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan mekanisme sertifikasi tenaga ahli yang diatur dalam UU Keinsinyuran : 1. Tenaga ahli setelah lulus Program Profesi Insinyur mendapatkan sertifikat profesi insinyur dan dicatat di PII (8:2) serta berhak memakai gelar ―Ir‖ (9:1). Tetapi belum dianggap kompeten (11:2) dan belum dapat melakukan Praktik Keinsinyuran (10:1) 2. Registrasi Insinyur sebagai syarat untuk melakukan Praktik Insinyur (10:1) dikeluarkan oleh PII (10:2) sedangkan PII adalah organisasi (36:1) 3. Uji kompetensi sebagai cara pembuktian tertulis kompetensi insinyur (11:2) dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi sesuai dengan ketentuan perundangundangan (11:3). Hal ini dapat diartikan bahwa lembaga yang menyelenggarakan uji kompetensi diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004TentangBadan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). BNSP mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. (PP 23/2004 pasal 3), lebih cenderung untuk kegiatan tenaga kerja trampil. 4. Disarankan, uji kompentensi dilakukan bersamaan dengan uji Program Profesi Insinyur.



Bidang Manajemen Konstruksi- 661



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1.



Prasetyo , Bagus (2014) Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi MEA Jurnal RechtsVinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, vol 3 nomor 2 Agustus 2014



2.



Husaini, Hediyanto W. ; Arifin, Doedoeng Z. KeinsinyuranKiprah, volume 62 th XIV , 2014, hlm 36-41



3.



Rachmanto, Djudjuk (2009) Analisa Tingkat Persepsi Dan Kepentingan Pelaksanaan Sertifikasi Tenaga Ahli Di Surabaya Studi Kasus Sertifikasi Tenaga Ahli Arsitek (IAI) Jawa TimurProceeding KonTeks 3



4.



Adi, Henny Pratiwi,( 2010). Strategi Peningkatan Essential dan Technical Skills Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia untuk Bekerja di Malaysia. Disertasi, Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang



5.



Nuh, Mohammah ,(2014) RUU Keinsinyuran Akhirnya Disahkan DPR. http://pii.or.id diakses 20 April 2014.



6.



Mulyono, Ignatius (2012) RUU Keinsinyuran Diharap Perbaiki Kompetensi Insinyur. http://www.dpr.go.id - diakses 20 April 2014.



7.



Kuncoro, Tri (2012) Kebutuhan Bahan Uji Sertifikasi Keahlian Bangunan Pada Model Regional Model Of Standard Competency (RMCS)Bangunan 19.1 (2012).



8.



Widiasanti , Irika (2013) Kajian Efektivitas Mekanisme Sertifikasi Tenaga Ahli Melalui Unit Sertifikasi Tenaga Kerja Lembaga Pengembangan Jasa KonstruksiSeminar Nasional Teknik Sipil III 2013, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta



9.



Tamin, Rizal Z (2014) Tantangan Implementasi UU 11, 2014 tentang Keinsinyuran Seminar Nasional Sosialisasi UU No. 11, 2014 tentang Keinsinyuran Keluarga Mahasiswa Islam Pasca Sarjana ITB



10.



Oerip, Istanto dalam Tamin, Rizal Z (2014) Tantangan Implementasi UU 11, 2014 tentang Keinsinyuran Seminar Nasional Sosialisasi UU No. 11, 2014 tentang KeinsinyuranKeluarga Mahasiswa Islam Pasca Sarjana ITB



11.



Safa, Faizal (2014) UU Keinsinyuran untuk Penguatan Industri NasionalSeminar Nasional Sosialisasi UU No. 11, 2014 tentang KeinsinyuranKeluarga Mahasiswa Islam Pasca Sarjana ITB



12.



Widiasanti, Irika (2015) Kajian Kerangka Institusi Penyelenggara Sertifikasi Tenaga Ahli KonstruksiJurnalMenara volume 10 no.1 - Januari 2015



662 – Bidang Manajemen Konstruksi



(2014)



Undang-undang



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PERBANDINGAN CONSTRUCTION GRANT DAN MINIMMUM REVENUE GUARANTEE (MRG) SEBAGAI DUKUNGAN KELAYAKAN UNTUK MENGATASI KETIDAKLAYAKAN JALAN TOL DI INDONESIA Iris Mahani dan Rizal Z Tamin2 1



Mahasiswa program Doktor T.Sipil – ITB, [email protected] Guru Besar T. Sipil – ITB, [email protected]



2



ABSTRAK Sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2013 Indonesia telah membangun dan mengoperasikan 784,06 km jalan tol yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Pertumbuhan jalan tol di Indonesia masih lambat. Lambatnya pertumbuhan jalan tol di Indonesia terjadi karena beberapa hal, salah satunya adalah terdapatnyabanyak ruas jalan tol yang masih memiliki tingkat pengembalian investasi rendah. Pemerintah terus mendorong pembangunan jalan tol melalui berbagai kebijakan, diantaranya yang baru dikeluarkan adalah pemberian dukungan kelayakan (Viability Gap Funding-VGF) atas sebagian biaya konstruksi (Peraturan Menteri Keuangan 223/2012). Beberapa ruas terbukti sudah diminati investor karena dukunganpembagunan sebagian konstruksi. Sedangkan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) ada yang lebih memilih Minimmum Revenue Guarantee(MRG). Kajianperludilakukanuntukmengetahui apakah penerapan construction grant sebagai dukungan kelayakan memang tepat untuk mengatasi ketidaklayakan finansial pada jalan tol di Indonesia jika dibandingkan dengan MRG. Kajian dilakukan berdasarkan identifikasi terhadap kebijakan yang ada di Indonesia, penelitian terdahulu, analisis kebutuhan dukungan serta wawancara kepada responden baik pemerintah maupun swasta.Selain itu dilakukan pula studi kasus pada beberapa ruas jalan tol untuk mengetahui kebutuhan dukungan kelayakan. Hasil dari kajian ini adalah dukungan kelayakanconstruction grant merupakan bentuk dukungan kelayakan (VGF) paling siap untuk dilakukan, baik dari sisi peraturan maupun kesiapan pemerintah dan swasta dan sesuai untuk mengatasi penyebab ketidaklayakan pada jalan tol. Keywords : Jalan tol, construction grant, MRG



1. PENDAHULUAN Sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2012 Indonesia telah membangun dan mengoperasikan 774,06 km yang tersebar di P. Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Sebagian besar ruas jalan tol tersebut berada di Jawa. Pertumbuhan jalan tol di luar jawa masih lambat. Lambatnya pertumbuhan jalan tol di Indonesia terjadi karena beberapa hal, salah satunya adalah adanya beberapa ruas jalan tol masih memiliki tingkat pengembalian investasi yang masih rendah dan sulitnya mencari sumber pendananan jangka panjang (Kementerian Pekerjaan Umum(PU),2014)[1]. Kondisi ini bisa dilihat sejak tahun 2006-2013 dimana masih ada ruas-ruas yang memang tidak diminati investor karena tingkat pengembalian yang rendah, sebagian ruas-ruas tersebut akhirnya dibangun oleh pemerintah dan sebagian besar lagi masih belum ada penyelesainnya.Ruas jalan tol yang layak ekonomi tetapi kurang layak finansial dapat diminati investor dengan adanya dukungan. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya 6(enam) ruas jalan tol dengan dukungan yang statusnya telah menjadi Penandatangan Perjanjian Jalan Tol (PPJT). Sedangkan ruas-ruas yang belum mendapatkan dukungan



Bidang Manajemen Konstruksi- 663



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean belum diminati oleh Badan Usaha Jalan Tol(BUJT). Kondisi jalan tol rencana pada tahun 2006-2013 bisa dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1. Kondisi Rencana Jalan Tol Di Indonesia periode 2006-2013 Sumber : Mahani,2014[2] Banyak ruas jalan tol yang masih belum layak finansial dan belum mendapatkan penanganan dari pemerintah. Ketidaklayakan jalan tol ini bisa disebabkan karena prediksi volume lalu lintas (LHR) yang rendah atau biaya investasi yang tinggi atau kombinasi keduanya. Pada Tabel 1. dapat dilihat ruas-ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi tidak layak finansial. Tabel 1. Ruas Jalan Tol Layak Ekonomi Tidak Layak Finansial 2006-2009 Medan-Kualanamu - Tebing Tinggi(60km) Akses Tanjung Priok(12km) Cileunyi-Sumedang-Dawuan(58,5km) Ngawi-Kertosono(87,02km) Solo-Ngawi(90,1 km) Serangan - Tanjung Benoa(7,5km) Balikpapan-Samarinda(99,4km) Bandara Juanda-Tanjung Perak(23 km) Cilegon - Bojonegara(15,69km) Gedebage - Majalaya(12,75km) Medan-Binjai(15,8 km) Menado Bitung (46km) Palembang-Indralaya(22km) Pandaan- Malang(37 km) Pasir Koja - Soreang(15km) Pekanbaru-Kandis-Dumai(135km) Probolinggo-Banyuwangi(170,36km) Semarang-Demak(25km) Sukabumi-Ciranjang(31km) Tegineneng - Babatan(51km) Ters Pasteur-Ujung Berung-Gede Bage(27,3km) Yogyakarta - Bawen (104 km)



JALAN TOL KONDISI LAYAK EKONOMI TETAPI TIDAK LAYAK FINANCIAL NILAI KELAYAKAN 2010-2013 EIRR 22,02%, FIRR 11,26% EIRR 16,67%; FIRR 5% EIRR 23,32%, FIRR 8,17% Pred LHR 2009 = 9320 kend/hr Pred LHR 2009= 14822 kend/hr FIRR 6,93% EIRR+19,19%, FIRR 8,9 % Balikpapan-Samarinda(99,4km) Pred LHR 2009 = 16267 kend/hr Bandara Juanda-Tanjung Perak(23 km) Pred LHR 2009 = 5068 kend EIRR Cilegon - Bojonegara(15,69km) 33,25% EIRR 27,97%,FIRR 15,98% EIRR 29,74%, FIRR 14,58% EIRR 33,04%; FIRR 14,14% EIRR 25,93%, FIRR 15,87% EIRR 21,12%, FIRR 11,88% Pred LHR 2010 = 16000 kend/hr Pred LHR 2009 = 4661 kend/hr Pred LHR 2009 =18153 kend/hr EIRR 19,65%, FIRR 13,08% EIRR 22,59%, FIRR 12,77% FIRR 5%



22 ruas(1155,42 km)



Gede Bage-Majalaya(12,75km) Medan-Binjai(15,8 km) Menado Bitung (46km) Palembang-Indralaya(22km) Pandaan- Malang(37 km) Pasir Koja - Soreang(15km) Pekanbaru-Kandis-Dumai(135km) Probolinggo-Banyuwangi(170,36km) Semarang-Demak(25km) Sukabumi-Ciranjang(31km) Tegineneng - Babatan(51km) Ters Pasteur-Ujung Berung-Gede Bage(27,3km) Yogyakarta - Bawen (104 km) Bakauheni-Terbanggi Besar(100km) Terbanggi Besar-Menggala-Pematang Panggang(100km) Batu Ampar - Muka Kuning-Bandara Hang Nadim(25km) Kisaran-Tebing Tinggi(60km) Bukit Tinggi -Padang Panjang-Lubuk AlungPadang(55km) 21 ruas(1180,3km)



NILAI KELAYAKAN



EIRR+19,19%, FIRR 8,9 % Pred LHR 2009 = 16267 kend/hr Pred LHR 2009 = 5068 kend EIRR 33,25% EIRR 27,97%,FIRR 15,98% EIRR 29,74%, FIRR 14,58% EIRR 33,04%; FIRR 14,14% EIRR 25,93%, FIRR 15,87% EIRR 21,12%, FIRR 11,88% Pred LHR 2010 = 16000 kend/hr Pred LHR 2009 = 4661 kend/hr Pred LHR 2009 =18153 kend/hr Pred LHR 2009 =18153 kend/hr EIRR 22,59%, FIRR 12,77% FIRR 5%



EIRR 21,04%; FIRR 5,56%



Sumber : Mahani,2014 Pemerintah sudah mengupayakan peningkatkan iklim investasi pembangunan jalan tol di Indonesia dengan berbagai cara, diantaranya melalui kebijakan, kelembagaan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung percepatan pembangunan infrastruktur termasuk



664 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 jalan tol. Salah satu yang terbaru adalah terbitnyaPMK No 223/PMK 011/2012 tentang Pemberian Dukungan Kelayakan Atas Sebagian Biaya Konstruksi Pada Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan Viability Gap Funding (VGF) / construction grant apakah bentuk dukungan tersebut memang tepat untuk mengatasi ketidaklayakan finansial pada jalan tol di Indonesia.



2. KAJIAN PUSTAKA Di dalam Undang-Undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan dijelaskan mengenai pengusahaan jalan tol oleh badan usaha meliputi: seluruh lingkup pengusahaan jalan tol yang layak secara ekonomi dan finansial; pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dibangun oleh pemerintah atau meneruskan bagian jalan tol yang dibangun pemerintah dan pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan jalan tol. Pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Bentuk pengusahaan jalan tol di Indonesia ada tiga kriteria sesuai dengan kondisi ruas yang akan dibangun. Kriteria tersebut terangkum padaTabel 2. Tabel 2.Bentuk pengusahaanjalantol di Indonesia KelayakanJalanTo



Konstruksi



l Ekonomi (+)



Operasidanpemeliharaa



BentukPendanaan



n Pemerintah



Badan Usaha



Hybrid financing



Ekonomi (+)



Pemerintah&Bada



Badan Usaha



KPSdengandukunganpemerinta



Finansial



n Usaha



Finansial (-)



h



(Marginal) Ekonomi (+)



Badan Usaha



Badan Usaha



RegulerKPS



Finansial (+)



Sumber : BPJT,2013[24] Berdasarkan Tabel 2 tersebut di atas KPS dengan dukungan pemerintah untuk pengusahaan jalan tol memang menjadi salah satu bentuk pengusahaan jalan tol yang mungkin dilaksanakan di Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 223/PMK/011/2012 mengatur tentang kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah pembiayaan pada ruas yang tidak layak finansial dalam bentuk VGF/construction grant.Diharapkan pemerintah bisa melakukan percepatan pembangunan jalan tol demi peningkatanperekonomian di Indonesia.VGF adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah untuk mengatasi pembangunan infrastruktur yang layak secara ekonomi tetapi tidak layak secara finansial.VGFdiadopsidari India yang telah menerapkan untuk percepatan pembangunan Infrastruktur khususnya jalan tol. VGF yang diterapkan di Indonesia adalah construction grant yaitu hibah sebagian konstruksi. Bila ditinjau dari skema arus kas, kondisi ini bisa dilihat pada Gambar2 berikut ini.



Bidang Manajemen Konstruksi- 665



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



CONSTRUCTION GRANT GRANT PEMERINTAH



BIAYA KONSTRUKSI



PEMASUKAN TOL TARIF, REST



BIAYA OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN



Gambar 2. Bentuk Dukungan Construction Grant (BKF, 2012 diolahlagi)[3] Dengan adanya Construction Grant diharapkan bisa mengurangi biaya investasi sehingga akan meningkatkan kelayakan finansial. Di India besar Construction Grantyang diberikan adalah 20%(Kementerian India,2009)[4], dan di Korea Selatan 25 – 30%, sedangkan di Indonesia diberikan batas tidak mendominasi, hal ini ditafsirkan 49%. Bentuk-bentuk dukungan kelayakan lain yang pernah dipraktekkan di dunia antara lain minimmumrevenue guarantee (MRG), operation grant, unitary payment dan tax holiday. Bentuk yang sudah populer adalah MRG. Jaminan minimum atas pendapatan (Minimum Revenue Guarantee/MRG) yaitu kompensasi yang diberikan dalam hal pendapatan actual dari proyek kerjasama lebih rendah dari proyeksi pendapatan yang disepakati. Apabilaterdapat surplus pendapatanmakapemerintahakanmemperolehbagian surplus pendapatan tersebut. Hal ini bisa dilihat pada Gambar3. MINIMUM REVENUE GUARANTEE



GRANT PEMERIN PENDAPATAN PEMERINTAH



PEMASUKAN TOL



BIAYA KONSTRUKSI



BIAYA OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN



Gambar3.Bentuk Dukungan Minimum Revenue Guarantee (BKF, 2012)[3] Jaminan pendapatan minimum (MRG) di Eropa diyakini lebih berhasil dalam mengurangi risiko dibandingkan subsidi pemerintah (Vajdic,2011)[5], MRG juga berfungsi mengurangi tingkat ketidakpastian yang tinggi pada proyek BOT



666 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 (Ashuri,2012[6],Doan,2010[7],&Jun,2008[8]), bentuk dukungan ini diyakini bisa menarik minat swasta (Querios,2013[9], Infrastructure Funding,2011[10] & Brandao,2008[11]). Kelebihan lain MRG adalah bisa meningkatkan NPV (Brandao,2012[12] & Cheah,2006[13]). Tetapi MRG juga mempunyai kelemahan karena bisa menimbulkan risiko fiskal yang significan (Chiara,2013[14], Infrstructure Funding,2014[10]&Huang,2006[15]). Negara-negara yang masih menggunakan MRG diantaranya Australia dan Malaysia, sedangkan Korea sudah tidak lagi menggunakan bentuk dukungan ini. 3. METODOLOGI Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Analisis dengan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menentukan besar VGF yang diperlukan dengan menggunakan metode Internal Rate Of Return (IRR) yang dilakukan secara deterministik. Analisis kualitatif dilakukan pada analisis kebijakan mengenai VGF dengan cara deskriptif. Adapun tahapan penelitian dilakukan seperti pada Gambar 4 berikut ini.



Gambar 4 Tahapan Penelitian 4. ANALISIS Analisis dilakukan melalui kajian literatur terhadap kebijakan yang ada, pengalaman di negara-negara lain dan penelitian-penelitian terdahulu, selain itu dilakukan juga wawancara kepada stakeholder. Hasil Wawancara Wawancara dilakukan untuk mengetahui pendapat dan sikap pada masing-masing stakeholders, dalam hal ini meliputi: - Pemerintah: Kementerian PU yang terdiri atas BPJT dan Bidang Fasilitasi Investasi serta Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Badan Kebijakan Fiskal(BKF); - BUJT: BUMN dalam hal ini PT Jasa Marga baik Pusat maupun cabang dan swasta; - Masyarakat yang diwakili oleh akademisi baik dari bidang teknik maupun hukum. Rekapitulasi hasil wawancara mengenai pandangan stakeholders terhadap kebijakan pemerintah mengenai dukungan kelayakan untuk investasi jalan tol dapat dilihat pada Tabel 3.



Bidang Manajemen Konstruksi- 667



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Tabel 3. Hasil Wawancara Responden Keterangan



Peraturan pendukung di Indonesia



Alasan pemerintah



VGF



MRG



PMK 223/2012 tentang Pemberian dukungan kelayakan atas sebagian biaya Konstruksi Pada Proyek Kerjasama Pemerintah Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur



PMK 38/2008 tentang Petunjuk pelaksanaan pengendalian dan pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur



Meningkatkan kelayakan financial sehingga bisa menarik minat investor, bentuk dukungan yang paling bisa cepat dipraktekkan, memberikan tingkat kontrol fiskal yang tinggi, mudah dikuantifikasi&diprediksi



Sulit pengaturan anggarannya, harus menyediakan institusi baru, PJPK belum siap



Pendapat BUJT



Sangat diharapkan bisa terealisasi untuk jalan tol



Pendapat Masyarakat



Secara hukum harus dicek terlebih dahulu dasar peraturannya



Hasil penelitian yang ada



Meningkatkan kelayakan financial proyek, Pemerintah bisa membagi anggarannya untuk pembangunan lain



Negara Yang telah mempraktekkan



India, Korea, Malaysia,Banglades, Mexico, Brasil, Jepang



Jika dukungan ini dapat dipraktekkan pada jalan tol akan dapat menarik minat BUJT karena BUJT mendapatkan kepastian pendaapatan Seharusnya pemerintah dapat mengatur pemberian dukungan MRG dengan cara menunda pembayaran jaminan pada tahun berikutnya sehingga dapat mudah mengatur APBN Mengurangi risiko yang tinggi, Dapat menarik minta swasta, meningkatkan NPV, Menimbulkan sudden shock pada fiskal pemerintah India, Malaysia, Australia



Pada umumnya badan usaha menerima bentuk dukungan apapun yang dapat meningkatkan pendapatan sehingga ruas-ruas jalan tol yang tidak layak finansial dapat menjadi layak. Sedangkan pemerintah memilih untuk memberikan dukungan berupa construction grant atau yang lebih dikenal saat ini dengan nama VGF dengan alasan dukungan tersebut paling mudah dilakukan. Dukungan serupa sebenarnya sudah pernah diberikan tetapi dalam bentuk dibangun sebagian oleh pemerintah, seperti ruas Cileunyi - Sumedang - Dawuan , Solo - Ngawi -Kertosono dan Medan - Kualanamu – Tebing Tinggi. Meskipun pemberian dukungan dalam bentuk dibangun pemerintah sebagian tersebut sudah dianggap membantu BUJT, tetapi dikuatirkan akan ada risiko lain yaitu risiko interface sehingga pemerintah lebih memilih pemberian dukungan dalam bentuk grant. Kebijakan dan Studi Kasus Studi kasus dilakukan pada ruas jalan tol yang kurang layak finansial, diawali dengan meninjau penyebab ketidaklayakan pada ruas-ruas tersebut. Selanjutnya diambil 2(dua) sample untuk dikaji lebih mendalam berapa kebutuhannya jika diberikan construction grant. Ruas tersebut adalah Manado-Bitung dan Cilegon – Bojonegara, selanjutnya hasil analisis digabung dengan penelitian sebelumnya yaitu Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), Mahani(2007)[16] . Analisis kebutuhan construction grant dilakukan berdasarkan IRR, dengan MARR 16% dan inflasi 7% sebagai berikut :



668 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 4 Kondisi Jalan Tol Yang Tidak Layak Finansial



Sumber: BPJT (2006-2013)[17][18][19][20][21][22][23][24], PPP books(20102013)[25][26][27][28] Berdasarkan data yang ada, hampir semua ruas memiliki prediksi LHR awal yang rendah (kurang dari 25000 kend/hari) dan hanya 6(enam) ruas yang mempunyai biaya investasi tinggi (diatas 150 Milyar Rp). Penelitian sebelumnya (Infrastructure funding, 2011) menunjukkan bahwa MRG tidak cocok untuk kondisi ruas tol yang prediksi LHR nya rendah karena pemerintah akan terlalu tinggi mengeluarkan subsidinya. Besaran MRG juga sulit untuk ditentukan sehingga akan sulit mengatur anggaran pemerintah yang harus dikeluarkan sedangkan di Indonesia setiap anggaran yang akan dikeluarkan harus sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat(DPR). Hasil studi kasus yang dilakukan pada jalan tol dihasilkan bahwa pada jalan tol Cileunyi Sumedang Dawuan membutuhkan dukungan biaya konstruksi sebesar 21,27% dari biaya investasi, Manado Bitung memerlukan 41,71% dan Cilegon Bojonegara memerlukan 12,46% agar menjadi layak finansial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan dukungan masih di bawah batas (tidak mendominasi), jadi dukungan kelayakan berupa dukungan sebagian biaya konstruksi dapat dilakukan sesuai peraturan yang ada. 4. PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa: - VGF memungkinkan untuk dipraktekkan pada investasi jalan tol di Indonesia karena BUJT, pemerintah dan peraturan pendukung sudah siap meskipun masih ada yang mempertanyakan status hukumnya. - MRG agak sulit dilakukan karena ketidaksiapan PJPK dan sulit dalam pengaturan anggaran bagi pemerintah, meskipun BUJT sangat berharap atas dukungan ini. B. Saran Dari kajian yang telah dilakukan masih diperlukan kajian mendetail terhadap analisis finansial yang diperlukan dalam pemberian masing-masing dukungan sehingga dapat dipilih yang paling sesuai dengan kemampuan pemerintah tetapi tetap diminati BUJT.



Bidang Manajemen Konstruksi- 669



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Kirmanto J,Mendorong Pertumbuhan Eonomi Melalui Percepatan Pembangunan Jalan Tol Dan Aneka Persoalan Yang Menghambatnya, Sambutan Diskusi, Kemetrian PU, 25 Maret 2014 2. Mahani I& Tamin R, Dukungan Kelaayakan Pada Pengembangan Jaringan Jalan Tol Di Indonesia, KRTJ ke-13 , HPJI, Makasar, November 2014 3. BKF, Government Fiscal & Financial Support on Infrastructure Project, Kementerian Keuangan ,2012 4. Ministry of Finance Department Of Economic Affairs Government of India,Scheme And Guidlines For Financial Support To PPP In Infrastructure, 2009 5. Vajdic Nevena,‖Risk Management in PPP Road Projects Using The Real Options Theory‖, International Symposium Engineering Management And Competitiveness,2011 June 24-25, Zrenjanin Serbia 6. Ashuridkk, ―Risk neutral pricing approach for evaluating BOT highway projects with government minimmum revenue guarantee options‖, 2012 7. Doan Phuong &Kanak Pate, Uncertainty of toll road investment, 2010 8. Jun Jae B,Valuation of Governmental Guarantee in BOT Project Finance With Real Option Analysis,2008 9. Queriozet al, PPP in roads and government support, 2013 10. National Funding of Road Infrastructure, The Law Library Of Conggress, March,2014 11. Brandaoet al, The option value of government guarantees in infrastructure projects, Construction Management & Economics Vol. No. 26, Issue 11, 2008 12. Brandaoet al,Government Support in PPP Contracts, Journal of Infrastructure System, Vol. 18, Issue 3, 2012 13. Cheah CY.J et al, Valueing government support in infrastructure projects as real options using montecarlo simulation, Construction Management & Economics, Vol. No 24, Issue 5, May 2006, 14. Chiara N, Kokkkaew,Alternative to Government Revenue Guarantees: Dynamic Revenue Insurance Contracts, Journal of Infrastructure System, Vol. No 19 Issue 3, 2013 15. Huang YL,Valuation of The MRG The Option Abandon In BOT Infrastructure Project,2006 16. Mahani, I ,KajianTerhadapAlternatifPembiayaanjalanTolCisumdawu, Universitas Katolik Parahyangan Bandung 2007 17. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2006 18. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2007 19. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2008 20. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2009 21. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2010 22. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2012 23. BPJT, ―PeluangInvestasiJalanTol Di Indonesia‖, 2013 24. Bappenas, ―PPP Books‖,2010 25. Bappenas, ―PPP Books‖,2011 26. Bappenas, ―PPP Books‖,2012 27. Bappenas, ―PPP Books‖,2013 28. Undang – Undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan 29. PMK No 223/PMK/2012 tentang Pemberian Dukungan Kelayakan Atas Sebagian Biaya Konstruksi Pada Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha



670 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN PENYEBAB KERENTANAN BANGUNAN DI DAERAH RAWAN GEMPA PROVINSI BENGKULU M. Heri Zulfiar1, Rizal Z. Tamin2, Krishna S. Pribadi3, Iswandi Imran4 1



Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil ITB &Pengajar T. Sipil UMY, Email: [email protected] Guru Besar & Pengajar KK-MRK, Program Doktor Teknik Sipil ITB, Email:[email protected] 3 Guru Besar & Staf Pengajar KK-MRK, Program Doktor Teknik Sipil ITB, Email:[email protected] 4 Guru Besar & Pengajar KK-RS, Program Doktor Teknik Sipil ITB, Email: [email protected] 2



ABSTRAK Bengkulu merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki risiko kegempaan yang tinggi. Data kebencanaan dalam dekade terakhir menunjukkan adanya kejadian gempa di Provinsi Bengkulu yang menimbulkan kerusakan bangunan dalam jumlah besar. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan di wilayah Bengkulu rentan terhadap gempa. Salah satu penyebab utama kerentanan bangunan adalah penyelenggaraan konstruksi yang tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, baik peraturan perundang-undangan yang belum sempurna, maupun pelaksanaan pembangunan yang tidak tepat. Praktek-praktek membangun yang salah, baik dari segi perencanaan dan perancangan, pelaksanaan dan pengawasannya, maupun dari segi pemanfaatan dan perawatannya, dapat menghasilkan bangunan dan infrastruktur yang rentan terhadap bencana. Bila terjadi suatu bencana, maka produk sektor konstruksi menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menyebabkan korban jiwa ketika bencana terjadi, atau menimbulkan kerugian yang besar, karena hancurnya bangunan atau infrastruktur lainnya. Upaya mitigasi bencana gempa bumi perlu dilakukan dengan melakukan penelitian kerentanan bangunan di Provinsi Bengkulu. Penelitian identifikasi faktor dominan kerentanan bangunan merupakan bagian dari penelitian disertasi dalam upaya pengurang kerentanan bangunan terhadap gempa. dengan melakukan: 1) analisis data skunder kerusakan bangunan akibat gempa 2) pengamatan karakteristik bangunan dan praktek-praktek membangun, 3) melakukan wawancara kepada beberapa ahli konstruksi dan kegempaan. Lokasi penelitian di daerah rawan bencana di Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Seluma dan Mukomuko dengan obyek penelitian pada bangunan confined dan un-confined masonry. Untuk mengetahui potensi penyebab kerentanan dilakukan diskusi mendalam dan analisis ishikawa diagram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 21,3 % bangunan yang berada pada kondisi kurang atau tidak terawat. Ditinjau dari bentuk bangunan, terdapat 14,5% yang kurang memenuhi syarat bangunan tahan gempa yaitu mempunyai keteraturan bentuk vertikal dan horizontal Berdasarkan karakteristik struktur bangunan terdapat 57,6% yang mempunyai sistem struktur rentan terhadap gempa yaitu menggunakan kolom dan balok praktis yang tidak sesuai ketentuan. Kata kunci: kerentanan bangunan, gempa, (un)confined masonry



1. KERENTANAN BANGUNAN Menurut Coburn dan Spence (1992), kerentanan didefinisikan ―as the degree of loss to a given element at risk resulting from a given level of hazard‖. Kerentanan bangunan merupakan fungsi kinerja struktur bangunan dalam merespon gempa, yaitu semakin tinggi level kegempaannya, maka semakin berat kinerja struktur untuk mengurangi dampak kerusakannya. Standar perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung (SNI 03-1726-2002), mensyaratkan kriteria kinerja struktur terhadap gempa: - Akibat gempa ringan, struktur bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada elemen strukturnya maupun pada elemen non struktural. - Akibat gempa sedang, elemen struktural bangunan tidak boleh rusak tetapi elemen non strukturnya boleh mengalami kerusakan ringan, namun struktur bangunan masih dapat dipergunakan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 671



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean -



Akibat gempa besar, baik elemen struktural maupun elemen nonstruktural akan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan tidak boleh runtuh. Untuk dapat memenuhi kriteria kinerja yang disyaratkan oleh SNI tersebut di atas, harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dalam perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan srtuktur bangunan bertulang tahan gempa (Imran, 2010). Adapun prinsipprinsip dasar tersebut adalah: 1. Prinsip Struktur: a. Sistem struktur yang digunakan harus sesuai dengan tingkat kerawanan derah tempat struktur bangunan tersebut berada. b. Aspek kontinuitas dan integrasi struktur bangunan perlu diperhatikan. Dalam pendetailan penulangan dan sambungan-sambungan, unsur struktur bangunan harus terikat secara efektif menjadi satu kesatuan untuk meningkatkan integritas struktur secara menyeluruh c. Konsistensi sistem struktur yang diasumsikan dalam disain dengan sistem struktur yang dilaksanakan harus terjaga d. Material beton dan baja tulangan yang digunakan harus memenuhi persyaratan material konstruksi untuk struktur bangunan tahan gempa e. Unsur-unsur arsitektural yang memiliki masa yang besar harus terikat dengan kuat pada sistem portal utama dan harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap sistem struktur f. Metode pelaksanaan, sistem quality control dan quality assurance dalam tahapan konstruksi harus dilaksanakan dengan baik dan harus sesuai dengan kaidah yang berlaku 2. Prinsip Arsitektur a. Bentuk denah bangunan yang terbaik untuk menahan gempa adalah bentuk yang sederhana, simetris, dan tidak terlalu panjang b. Masa bangunan sebaiknya dibuat seringan mungkin, untuk menghindari beban inersia yang timbul pada saat terjadi gempa. yaitu menghindari penggunaan unsur-unsur arsitektural memiliki massa yang besar.



2. ANALISIS PENYEBAB KERENTANAN Menemukan sebab-sebab potensial kerentanan bangunan terhadap gempa pada siklus proyek dan dipetakan dengan fishbone diagram (diagram tulang ikan).



Gambar 1. Penyebab Kerentanan Bangunan (Fishbone Diagram)



672 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Gambar 1 menjelaskan, kerentanan bangunan diinterpretasikan sebagai ―effect‖ dan sebab utama dari masalah sebagai ―cause‖. Menemukan sebab-sebab potensial dilakukan diskusi mendalam dengan mempertanyakan ―mengapa sebab itu muncul‖. Selanjutnya disepakati sebab-sebab yang paling mungkin. Kategori penyebab utama kerentanan dapat dikelompokkan (zulfiar, 2012): 1) Karakteristik Tanah - Topografi: bangunan di atas lahan miring menyebabkan perbedaan penurunan - Geologi dan kondisi tanah: karakteristik goncangan dipengaruhi oleh jenis lapisan tanah yang mendukung bangunan (faktor likuifaksi menyebabkan kehilangan kekuatan) 2) Material dan Bentuk Bangunan - Material: penggunaan bahan terlalu berat, memperberat kinerja struktur - Keteraturan vertikal dan horizontal: konfigurasi bangunan yang tidak beraturan dan tidak simetris menyebabkan torsi - Bukaan: ukuran bukaan cenderung memperlemah struktur 3) Konstruksi Bangunan - Mutu konstruksi: mutu bahan rendah dan pelaksanaan tidak sesuai dapat memperlemah konstruksi bangunan. - Prinsip struktur: taraf keamanan bangunan yang direncanakan terhadap gempa. • Kekuatan dan kesatuan bangunan (kemampuan struktur untuk menahan goncangan dan bergetar sebagai satu kesatuan). • Distribusi kekakuan (kemampuan struktur berdeformasi untuk menahan gaya yang bekerja) arah vertikal dan horizontal harus terdistribusi merata • Daktilitas (kemampuan struktur menahan lendutan besar tanpa mengalami keruntuhan) untuk bangunan tingkat banyak. - Sistem Struktur: kecocokan sistem struktur disesuaikan dengan tingkat kerawanan daerah setempat terhadap gempa. • Struktur atas : konstruksi dinding pemikul (unconfined masonry) tanpa rangka dan konstruksi dinding dengan rangka (confined masonry): rangka kayu, kolom balok praktis, struktur rangka beton pengisi dan rangka baja. • Struktur bawah: kerusakan bangunan struktur atas akibat kegagalan pondasi atau penurunan pondasi yang tidak merata. 4) Kondisi Bangunan - Pemanfaatan: merubah peruntukan bangunan (pembebaan struktur yang berlebihan tidak sesuai perencanaan awal). - Perawatan: minimnya perawatan mempertahankan dan memulihkan kinerja bangunan. - Usia pakai bangunan: berkurangnya kinerja struktur bangunan.



3. KEJADIAN GEMPA DI PROVINSI BENGKULU Berdasarkan data PVMBG tahun 1756 s/d 2007 terdapat 18 kejadian gempa merusak di Provinsi Bengkulu (Gambar 2). Dalam 1 dekade terakhir terjadi tiga kali gempa bumi merusak; tanggal 4 Juni 2000, 12 Sept 2007, dan 1 Februari 2012.



Bidang Manajemen Konstruksi- 673



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 2. Peta Pusat Gempa Bumi Merusak (Supartoyo dan Surono, 2008) Pada September 2007 terjadi dua gempa menyebabkan kerusakan di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatra Barat dan Kepulauan Mentawai. Menurut USGS (2014), gempa pertama Mw=8.4 terjadi pukul 18:10 WIB pada tanggal 12 September, lokasi pusat gempanya sekitar 130 km lepas pantai arah barat daya dari kota Bengkulu, pada kedalaman 30 km. Gempa kedua Mw 7.9 terjadi pukul 6:49 WIB pada tanggal 13 September, lokasi pusat gempanya 225 km arah barat laut dari lokasi gempa pertama, pada ujung sebelah utara zona gempa susulan.



Gambar 3. Kejadian Gempa Bumi Bengkulu 12 September 2007 Tabel 1. Dampak Kerusakan Akibat Gempa 12 September 2007 di Prov. Bengkulu Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu Utara Mukomuko Kaur Seluma Lebong Kepahiang Kota Bengkulu



Rumah Rumah Fasilitas Rusak Berat Rusak Ringan pendidikan



49 6043 0 104 8713



371 4369 0 322 6312



9 462 0 94 252 7 56 23



Fasilitas Sarana kesehatan Peribadatan Kantor 0 142 0 14 3 10 56 95 156 3 0 0 96 102 95 16 15 24



Kios



0 0 0 0 7



Sumber: BNPB, 2013



Berdasarkan interview, kerusakan bangunan rumah disebabkan karakteristik tanah (topografi dan daya dukung tanah), yaitu dampak pencairan/liquefaction (tanah menjadi bersifat cair/sangat lunak sementara waktu) di daerah Lempuing. Dampak tersebut meliputi penurunan tanah, retaknya pondasi, keretakan vertikal pada dinding pasangan bata, keretakan dan terangkatnya lantai interior, dan adanya air dan pasir yang merembes ke atas melalui retak-retak di lantai. Daerah ini berada pada tempat yang



674 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 rendah dengan permukaan air tanah yang tinggi, terdapat pasir bersih dengan ukuran butiran halus sampai sedang di dekat permukaan tanahnya. Bentuk bangunan yang tidak sesuai, yaitu banyak bukaan berukuran besar pada bagian depan rumah (teras), berdampak kurangnya kekakuan di bagian ini menyebabkan runtuhnya sebagian bangunan rumah. Mutu konstruksi rendah dan prinsip struktur tidak sesuai, yaitu kualitas pengerjaan dinding pasangan bata yang buruk, berdampak runtuhnya sebagian dinding rumah. Kurangnya kekuatan dan kesatuan bangunan sambungan di antara elemen-elemen pengikat kolom dan ring balok dari beton bertulang (besi tulangan diameternya kecil serta begel atau pengikat yang dipasang pada jarak yang lebar), berdampak kerusakan pada sambungan antara kolom praktis dengan ring balok, mengakibatkan kerusakan dinding (pasangan bata retak, tombak layar dan dinding runtuh total). Penggunaan ikatan dinding dengan beton bertulang untuk kolom praktis dan kayu untuk ring balok, tidak cukup untuk mencegah runtuhnya dinding, apalagi pasangan bata tanpa tulangan yang tidak memiliki ikatan.



Gambar 4. Kerusakan Bangunan Rumah Akibat Gempa Pada bangunan semi permanen dengan rangka kayu, jarang ada sambungan antara kolom dan pondasi, atau antara kolom dengan pasangan bata. Kerusakan rumah semi permenen yaitu keretakan atau roboh pada pasangan bata (tidak memiliki ikatan antara bata kolom dan balok) dan pergeseran/kerusakan rangka kayu. Rumah kayu dengan kolom kayu diletakkan secara langsung di atas tanah. Hal ini menyebabkan tiang kayu tersebut tenggelam dalam tanah pada tanah lunak dan mudah lapuk, karena kurangnya penyekatan terhadap air dari tanah dan rayap. Beberapa rumah dengan pondasi umpak dari beton atau batu mengalami pergeseran pada pondasinya dikarenakan komponen-komponen tidak terikat. Konstruksi kayu tidak dipelihara atau dirawat atau dicat menyebabkan lapuk.



Gambar 5. Kerusakan Bangunan Sekolah Akibat Gempa Kerusakan bangunan sekolah satu lantai, dinding belakang dan interior dari ikatan bata runtuh. Penyebabnya ring balok tidak mampu mengikat ruang kelas yang lebar. Ring balok memiliki dimensi sekitar 15 cm x 11 cm, menggunakan empat besi tulangan



Bidang Manajemen Konstruksi- 675



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean berdiameter 8 mm dengan besi begel berdiameter 4-5 mm yang dipasang pada jarak 20 sampai 30 cm. Sambungan antara kolom praktis dan ring balok tidak memadai. Penggunaan sirtu (pasir dan kerikil) digunakan dalam campuran beton menyebabkan beton mudah hancur saat diremas dengan tangan. Kompleks sekolah yang mengalami kerusakan dilaporkan terjadi di Kecamatan Lais. Sebuah gedung satu lantai dengan struktur ikatan bata runtuh. Bagian bawahnya dibuat dari pasangan batu sungai berbentuk bulat, tanpa ada sloof dimana kolom bisa diikatkan. Kerusakan pada sambungan kolom-ring balok, kemungkinan menjadi penyebab runtuhnya gedung ini. Kolom-kolomnya sendiri sebagian besar nampak masih utuh. Gedung satu lantai yang lebih baru, berdenah segi empat dengan teras tertutup pada satu sisi, mengalami retak-retak dan miringnya kolom-kolom yang ada di teras. Kerusakan lainnya adalah keretakan (terbelah) bangunan sekolah disebabkan bergeraknya merenggangnya tanah ke arah sungai.



Gambar 6. Kerusakan Bangunan Komersil Lantai 2 dan 3 Kerusakan struktural utama pada gedung berstruktur rangka beton bertulang, dilaporkan dua gedung rumah toko (ruko), terletak di lokasi perbukitan. Ruko dua lantai, lantai bawah mengalami penurunan sekitar satu meter karena adanya kerusakan pada pertemuan antara permukaan kolom dan plat lantai. Struktur tersebut miring ke belakang sekitar 4 derajat, dan kolom lantai pertama miring ke kiri sebesar 3 derajat. Besi ulir berdiameter 14 mm digunakan pada kolom dan ring balok, dengan begel berdiameter 6 mm berjarak 4 cm di dekat sambungan. Kerusakan pada ruko tiga lantai dengan dua bentang terjadi pada pertemuan antara kolom – ring balok lantai bawah, akibat kemiringan dan pergerakan tanah yang mengarah ke gedung tersebut. Kolom pada bangunan tersebut berukuran 32 cm x 32 cm dengan 8 buah besi tulangan polos berdiameter 15 mm.



4. GEOGRAFIS DAN PENGAMATAN KARAKTERISTIK BANGUNAN DI PROVINSI BENGKULU Provinsi Bengkulu berlokasi antara 2° 16‘ LU dan 3° 31‘ LS dan antara 101° 01' - 103° 41‘ BT. Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian administrasi pemerintahan Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota, terbagi 124 kecamatan dengan luas keseluruhan wilayah daratan 19.919,33 km².



676 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 7. Peta kepadatan penduduk di Provinsi Bengkulu (Sumber: BPS, 2010) Jumlah penduduk Bengkulu (BPS, 2010) adalah 1.715.518 jiwa (432.555 rumah tangga) dengan 30,95% berdomisili diperkotaan dan 69,05% dipedesaan. Kepadatan teritinggi terjadi ditengah Provinsi Bengkulu. Pengamatan karakteristik bangunan bertujuan untuk mengidentifikasi peruntukan dan karakteristik bangunan saat ini di lokasi rawan bencana. Pengamatan dilakukan mengacu kepada Kepmen PU no. 441/KPTS/1998 dan SNI-1726-2002. Karakteristik yang ditinjau meliputi : jumlah lantai, unsur material dinding, perkuatan (struktur atas), unsur penutup atap, lokasi (topografi), kondisi bangunan, bentuk (konfigurasi). Karakteristik bangunan berdasarkan jumlah lantai. Berdasarkan hasil survey dilakukan pengamatan awal (2014) terhadap 1440 bangunan gedung di 5 kabupaten/kota, dengan rincian terdiri dari: 701 bangunan rumah, 686 bangunan komersil, dan 53 fasum. Hasilnya dapat digambarkan pada tabel 2 dan gambar 8 berikut. Tabel 2. Hasil Pengamatan Gedung di Provinsi Komersil N Kabupaten/ Pemukiman Pabrik/ Pengina Perkant Warung/ Rumah Ruko o Kota Gudang pan oran bengkel 1 Kota Bengkulu 168 3 1 10 151 106 2 Kab Bengkulu 165 1 0 2 103 126 Utara 3 Kab Bengkulu 145 2 0 1 8 57 Selatan & Seluma Kab 4 223 1 0 1 20 90 Mukomuko Jumlah 701 7 1 14 282 379 Sumber : hasil Survey 2014 Pemerintah 1%



Mall/ Pasar 0%



Pendidikan 1% Peribadatan 1% Kesehatan 0%



Toko (Warung/ bengkel) 26%



80,0%



Perkantoran 1%



Pemeri Pendidi Kesehat ntah kan an



Periba datan



2 0



6 7



4 3



3 2



5 4



1



1



1



0



4



0



4



4



0



5



3



18



12



5



18



73,9%



70,0% 60,0% 50,0% 40,0%



Rumah 49%



30,0%



18,9%



20,0% Ruko 20%



Fasum (komplek) Mall/ Pasar



Penginapan 0% Pabrik/Gudan g 1%



5,7%



10,0%



1,5%



0,0%



4 Lantai



5 Lantai



0,0% 1 Lantai



2 Lantai



3 Lantai



Jumlah lantai



Gambar 8. Pengamatan Peruntukan Gedung dan Jumlah Lantai



Bidang Manajemen Konstruksi- 677



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Di daerah perkotaan (topografi datar), dijumpai gedung bertingkat berstruktur rangka beton bertulang dengan pasangan bata untuk fasilitas umum dan komersil. Di pedesaan umumnya bangunan lantai 1 dengan dinding pasangan bata, semipermanen, dan kayu. Sebagian bangunan didirikan di daerah perbukitan (rawan penurunan dan lonsor). Lokasi Bangunan (Topografi) Perbukitan/ Lereng



10,5%



Pekarangan (datar) (eks) Rawa/ persawahan



0,6%



Pinggir Sungai/Danau/Pantai



0,8% 0,0%



20,0% 40,0% 60,0% 80,0%



Gambar 9. Pengamatan Lokasi Bangunan (Topografi) Karakteristik bangunan umumnya berupa pondasi menerus dangkal yang terbuat dari pasangan batu sungai bulat dengan mortar semen. Atap terdiri dari kuda-kuda kayu dengan penutup rumbia, seng, asbes, atau genting. Atap pelana dan perisai merupakan jenis struktur atap yang umum dijumpai. Beberapa bangunan modern yang didirikan lima tahun terakhir menggunakan kuda-kuda baja ringan. Dinding tombak layar (gunungan) dari kayu lebih umum dijumpai dibanding tombak layar dari pasangan bata. Unsur material dinding Beton Diding bata Semi Permanen Asbes Kayu



Perkuatan (Struktur Atas)



0,0%



struktur baja 84,1%



4,9% 0,1% 10,9%



0,0%



20,0%



0,3%



Struktur rangka beton



26,4%



kolom/balok praktis



57,6%



Perkuatan kayu 40,0%



60,0%



80,0%



100,0%



15,7% 0,0%



20,0% 40,0% 60,0% 80,0% 100,0%



Unsur Penutup Atap Lainnya Plat beton bertulang Genteng Seng/ metal/asbes Rumbia



0,0%



18,2% 3,9% 77,7% 0,2%



0,0%



20,0%



40,0%



60,0%



80,0% 100,0%



Gambar 10. Pengamatan Karakteristik Bangunan Sistem dinding dari rumah-rumah yang meliputi jenis-jenis struktur sebagai berikut: (1) Dinding pasangan bata, jenis struktur ini dibangun di atas pondasi menerus dangkal dari pasangan batu sungai, dan mungkin memiliki sloof dari beton bertulang. Ada dua jenis dan ukuran batu bata yang umum dipakai. Pertama, bata yang dicetak dengan tangan secara tradisional dan dibakar dengan kayu dalam tungku, umumnya berukuran 9 x 19 x 4 cm. Kualitas dan kekuatan bata tersebut sangat bervariasi tergantung dari jenis tanah liat yang dipakai, lamanya pembakaran, dan penempatannya dalam tungku. Jenis kedua adalah bata berlubang yang dibakar, dicetak dan dicampur dengan bantuan mesin. Jenis ini lebih umum digunakan di sekitar dan di dalam kota Bengkulu. Batu bata ini ukurannya 9 x 19 x 9 cm. Rumah-rumah pada umumnya menggunakan pasangan setengah bata (13 cm dengan plester, 10-11 cm tanpa plester). Jenis ikatan pasangan bata antaralain; tidak diikat (tanpa tulangan), kolom praktis dan ring balok dari kayu, kolom praktis beton bertulang dengan ring balok dari kayu, serta kolom praktis dan ring balok dari beton bertulang. Untuk rumah ikatan bata, kolom umumnya dicor rata dengan dinding setelah batanya dipasang. Besi



678 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 tulangan polos umumnya berdiameter 6 atau 8 mm, beugel berdiameter berkisar 3 sampai 6 mm dan dipasang pada jarak 15 sampai 35 cm. (2) Bangunan semi permanen dengan rangka kayu (terdapat pasangan bata di bagian bawah dan anyaman bambu yang diplester atau kayu di bagian atasnya). Jenis rumah ini didukung oleh pondasi menerus dangkal dari pasangan batu, dengan dinding sebagian pasangan bata dan sebagian papan kayu. Umumnya diding pasangan bata tidak diikat (tanpa tulangan kolom praktis) antara kolom dengan pasangan bata dan antara kolom dan pondasi. (3) Bangunan rangka kayu: kolom kayu diletakkan secara langsung di atas tanah. Hal ini menyebabkan tiang tersebut tenggelam dalam tanah pada tanah lunak. Sistem pondasi ini menyebabkan lapuknya kayu tersebut karena kurangnya penyekatan terhadap air dari tanah. Beberapa rumah dengan kolom kayu diletakkan di atas pondasi umpak dari beton atau batu berpotensi mengalami pergeseran pada pondasinya. Komponen-komponen balok dan kolom dihubungkan dengan paku saja dan kayu tidak dipelihara atau dirawat; rumah yang lebih baru dengan kayu yang dipelihara atau dicat memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kayu yang lebih tua dan lapuk. Kondisi Bangunan Tidak terawat



1,7%



Kurang terawat



21,4%



terawat Sedang/baru dibangun



65,0% 11,8%



0,0%



20,0%



40,0%



60,0%



80,0%



Gambar 11. Pengamatan Kondisi Bangunan Kondisi bangunan di Provinsi Bengkulu, sebagian kecil bangunan tidak terawat, misalnya; bangunan dibiarkan tidak selesai pembangunan (misalnya dinding tidak diplester atau belum beratap) mengakibatkan pelapukan dan kerusakan, bangunan dibiarkan kosong (tidak berpenghuni) cukup lama yang mengakibatkan kerusakan. Bangunan kurang terawat, misalnya unsur bangunan dibiarkan rusak (tidak diganti baru), tidak dipelihara secara rutin misalnya dicat untuk mempertahankan kinerja bangunan lebih baik dan lama.



5. SINTESIS KERENTANAN BANGUNAN Untuk mengetahui penyebab kerentanan bangunan gedung di Bengkulu, dilakukan sintesis (penggabungan); data, pengamatan dan interview. Data kejadian bencana gempa dimaksudkan untuk mengetahui jumlah, klasifikasi dan karakteristik kerusakan bangunan akibat gempa. Hasil pengamatan untuk mengetahui karakteristik bangunan terkini. Pendapat ahli untuk menjelaskan faktor penyebab kerentanan ditinjau dari karakteristik, praktek-praktek membangun dan penggunaannya. Adapun hasil sintesis sebagai berikut: 1). Lokasi Bangunan 10,5 % bangunan didirikan di daerah perbukitan, berpotensi menyebabkan perbedaan penurunan. Berdasarkan interview ahli, pemilik bangunan minim pemahaman terhadap karakteristik pergerakan dan kekuatan tanah



Bidang Manajemen Konstruksi- 679



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2). Penggunaan Material Dan Bentuk Bangunan Penggunaan unsur penutup atap 18,2 % plat beton bertulang kurang sesuai (cukup berat) dan penggunaan unsur material dinding bata 84,1 % menggunakan 57,6 % perkuatan struktur kolom/balok praktis kurang memadai. Ditinjau dari segi bentuk bangunan; konfigurasi horizontal 6,0% kurang sesuai yaitu pemisahan sistem srtuktur untuk bangunan memanjang dan denah tidak beraturan, dan konfigurasi vertikal 1,7 % kurang sesuai. Berdasarkan wawancara dengan ahli, bangunan tidak direncanakan dikerjakan dengan tenaga ahli yang memadai 3). Kualitas Dan Sistem Konstruksi Bangunan Penggunaan tulangan, ukuran dan jarak serta bengkokan sudut sengkang yang tidak memadai, penggunaan material agregat kasar (gradasi dan permukaan) tidak memenuhi syarat, pembuatan campuran beton (proporsi campuran semen, agregat halus dan agregat kasar) tidak sesuai komposisi yang disyaratkan. Hal ini disebabkan tidak adanya tenaga ahli dan minimnya pengetahuan pekerja serta tidak adanya pengawasan terhadap praktek-praktek pembangunan 4). Kondisi Bangunan % bangunan tidak terawat dan 50,8 % bangunan kurang terawat, hal ini disebabkan minim anggaran untuk perawatan dan penggatian kerusakan



6. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan penting yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Kerentanan bangunan secara teknis umumnya terjadi disebabkan oleh: (1) lokasi geografis yang bepotensi menyebabkan perbedaan penurunan (2) penggunaan material dan bentuk bangunan kurang sesuai (3) kualitas dan sistem konstruksi bangunan yang digunakan kurang memadai dan tidak sesuai dengan tingkat kerawanan daerah setempat terhadap gempa, (4) kondisi bangunan kurang terawat. 2. Kurangnya kesadaran masyarakat bahwa mereka berada di daerah/kota rawan bencana gempa, dan pengetahuan terhadap unsur-unsur dan bangunan tahan gempa serta perawatannya sangat terbatas. 3. Kurangnya tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian teknik-teknik perencanaan dan pembangunan tahan gempa dan perawatannya. 4. Minimnya pengawasan terhadap praktek-praktek pembangunan dan pemanfaatannya yang berpotensi menyebabkan kerentanan bangunan.



7. DAFTAR PUSTAKA 1. .........., (2012) : Peraturan Kepala Nasional Penanggulangan Bencana No.02 Tahun 2012, Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, BNPB Jakarta 2. .........., (2008) : Peraturan Pemerintah RI No.21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Jakarta 3. .........., (2007) : Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta 4. .........., (2007) : Peraturan Menteri PU No 45 Tahun 2007, tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, Jakarta



680 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 5. .........., (2007) : Peraturan Menteri PU No 06 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tatabangunan dan Lingkungan, Jakarta 6. .........., (2002) : Undang-Undang RI No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta 7. ..........., (2012) : Tatacara perencanaan ketahahan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung (SNI 1726-2012), Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bandung 8. ..........., (2002) : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002), Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bandung 9. .........., (2002) : Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI 032847-2002), Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bandung 10. ..........., (2002) : Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2003), Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bandung 11. .........., (2014) : Data Kejadian Bencana Gempa Bumi di Sumatera, USGS America, diunduh dari : Earthquake.usgs.gov/earthquakes/search/ 12. .........., (2013) : Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB, Jakarta 13. .........., (2002) : Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazard, A Handbook, FEMA154 14. .........., (2002) : Second Edition, Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazard, Supporting Documentation, FEMA155 15. Boen,T., dkk. (2010) : Cara Memperbaiki Bangunan Sederhana yang Rusak Akibat Gempa Bumi, Word Seismic Safety Initiative, Jakarta. 16. Coburn, A. dan Spence, R. (1992) : Earthquake Protection, John Wiley & sons, England 17. Imran, I., dan Hendrik, F. (2010) : Perencanaan Struktur Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa, Penerbit ITB, Bandung. 18. Ishikawa, Kaoru (1990); (Translator: J. H. Loftus); Introduction to Quality Control; 448 p; 3A Corporation, Tokyo 19. Supartoyo dan Surono (2008) : Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun 1629 – 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung 20. Zulfiar, M.H, Tamin, R.Z., Pribadi, K.S, dan Imran, I., (2014): Identifikasi Kerentanan Bangunan Confined Dan Unconfined Masonry Di Daerah Rawan Gempa, Provinsi Aceh Konferensi Nasional Pasca Sarjana Teknik Sipil (KNPTS) 2012, Bandung 21. Zulfiar, M.H, Tamin, R.Z., Pribadi, K.S, dan Imran, I., (2013): Identifikasi Kerentanan Pada Praktek-Praktek Konstruksi Bangunan Gedung Menggunakan Teknik Delphi, Seminar Nasional ITS, Surabaya 22. Zulfiar, M.H, Tamin, R.Z., Pribadi, K.S, dan Imran, I., (2012): State Of The Art Siklus Proyek Dalam Mewujudkan Bangunan Yang Lebih Aman Terhadap Bencana, Konferensi Nasional Pasca Sarjana Teknik Sipil (KNPTS) 2012, Bandung 23. Zulfiar, M.H, Tamin, R.Z., Pribadi, K.S, dan Imran, I., (2012): Kebijakan Sektor Konstruksi Untuk Mengurangi Resiko Bencana Akbat Kegagalan Bangunan, Konferensi Nasional Teknik Sipil (Konteks) ke 6, Jakarta.



Bidang Manajemen Konstruksi- 681



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



682 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



IDENTIFIKASI FAKTOR DAN INDIKATOR RISIKO PADA PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI PADA RUAS JALAN DI INDONESIA Mona Foralisa Toyfur Program Studi Magister dan Doktor Teknik Sipil ITB, Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya, email: [email protected]



ABSTRAK Jalan merupakan asset infrastruktur penting yang mendukung kehidupan masyarakat untuk kepentingan pergerakan barang dan jasa. Kerusakan akibat bencana gempa bumi pada ruas jalan akan mengakibatkan kerugian langsung berupa biaya penggantian konstruksi akibat mengalami kerusakan agar dapat berfungsi baik seperti kondisi awal. Selain itu kerusakan pada jalan akan mengakibatkan gangguan pada pergerakan barang dan jasa sehingga akan mengganggu kegiatan ekonomi daerah. Selain itu, kegiatan untuk memberikan bantuan dan evakuasi pada daerah bencana akan mengalami hambatan. Untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana maka diperlukan manajemen risiko bencana. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Marga belum memiliki manajemen bencana untuk jalan dan jembatan. Dalam manajemen risiko bencana, tahap yang dilakukan adalah identifikasi risiko dan analisis risiko, pencegahan & mitigasi, kesiapsiagaan serta pemulihan. Pada saat belum terjadi bencana, dilakukan identifikasi dan penilaian risiko serta pencegahan & mitigasi.Untuk menyederhanakan penilaian risiko, salah satu cara adalah menggunakan model. Untuk mengembangkan model penilaian risiko bencana diperlukan analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada model. Metode pada penelitian ini adalah kajian pustaka terhadap model-model penilaian risiko yang sudah ada dan diterapkan di beberapa negara. Output yang diharapkan adalah faktor-faktor dan indikator yang signifikan berpengaruh terhadap nilai risiko dalam model. Kata kunci: bencana, gempa bumi, model, penilaian risiko, ruas jalan



1. PENDAHULUAN Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko bencana di Indonesia dapat disebabkan oleh faktor geologis (gempa, tsunami, letusan gunung berapi), hidrometeorologis (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), biologis (wabah penyakit, penyakit tanaman, penyakit ternak, hama tanaman), kegagalan teknologi (kecelakaan industri dan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia), dan faktor sosial politik (konflik horisontal, terorisme, ideologi, religi). Indonesia merupakan negara yang menghadapi banyak jenis bencana [1]. Bencana tsunami Aceh tahun 2004, gempa yang terjadi di Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 2006, tsunami Pangandaran tahun 2006, banjir di Jakarta tahun 2007, gempa di Sumatera Barat tahun 2009, banjir di Wasior tahun 2010. Jumlah kerugian yang diderita sangat besar. Bencana yang termasuk paling besar menimbulkan kerugian yaitu tsunami Aceh & Nias (4,5 milyar dollar AS), gempa Yogyakarta & Jawa Tengah (3,1 milyar dollar AS) serta gempa Sumatera Barat 2,8 milyar dollar AS (Bappenas, 2007). Estimasi nilai kerugian pada jalan dan jembatan akibat bencana alam dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar terlihat kerugian yang sangat besar dialami pada tahun 2004 karena adanya kejadian gempa dan tsunami Aceh. Diperkirakan kerugian yang dialami sebesar Rp 1 Trilyun.



Bidang Manajemen Konstruksi- 683



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 1. Nilai kerugian Bidang Jalan dan Jembatan (Sumber : BNPB & Kem.PU, 2011) Jalan merupakan faktor penting dalam pergerakan satu daerah. Dalam UU No 38/2004 peran jalan bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, jalan berperan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk dapat menjalankan perannya sebagai prasarana transportasi dan prasarana distribusi barang dan jasa, diperlukan jalan dengan kondisi baik dari kondisi maupun pelayanan. Jalan yang rusak akibat bencana akan menyebabkan gangguan pergerakan dari masyarakat, bahkan dapat membuat daerah terkena bencana menjadi daerah yang tidak dapat diakses baik untuk pemberian bantuan maupun untuk jalur evakuasi. Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum telah melakukan analisis risiko bencana pada ruas jalan nasional pada sebagian ruas jalan yang rawan bencana. Ditjen Bina Marga saat ini juga sedang membuat pedoman bagaimana melakukan analisis risiko bencana. Untuk menyederhanakan pelaksanaan penilaian risiko dibutuhkan model penilaian risiko bencana pada jalan yang membedakan dengan model penilaian yang selama ini digunakan untuk kawasan. Model penilaian risiko bencana yang digunakan pada penelitian ini adalah model indeks yang membandingkan risiko secara relatif. Model ini tepat untuk digunakan untuk membandingkan tingkat risiko antara ruas jalan satu dengan ruas jalan lainnya dengan pertimbangan prioritas penanganan. Pada penelitian ini yang menjadi rumusan permasalahan adalah bagaimana mengidentifikasi faktor dan indikator risiko pada model penilaian risiko bencana gempa bumi. Indikator ini akan digunakan dalam model sebagai parameter yang berpengaruh langsung terhadap nilai indeks risiko.



684 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



2. TINJAUAN PUSTAKA Secara umum, risiko bencana dapat dirumuskan sebagai berikut (Perka BNPB No. 02/12): Risiko bencana = Bahaya x Kerentanan / Kapasitas …………………… (1) Besarnya risiko bencana dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko yang terdiri dari besarnya ancaman bahaya yang disebut sebagai hazard, seberapa rentan wilayah atau suatu elemen tersebut terhadap ancaman bahaya yang disebut sebagai kerentanan (vulnerability) dan juga kapasitas dari wilayah atau satu elemen dalam menghadapi peristiwa ancaman, yang secara implisit merupakan bagian dari komponen kerentanan dan dapat mengurangi tingkat kerentanan. Secara spesifik yang dimaksud dengan Risiko Bencana (disaster risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Dalam konteks risiko bencana pada ruas jalan, maka yang dimaksud potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana alam yang berdampak pada jalan dan jembatan dalam kurun waktu tertentu yang berasal dari kerusakan jalan & jembatan dan kerugian yang ditimbulkan oleh terganggu atau terputusnya fungsi jalan dan jembatan. Sedangkan yang dimaksud dengan manajemen risiko bencana adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana. Secara umum, siklus manajemen risiko bencana menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) tahun 2004 diperlihatkan pada Gambar 2. Penilaian risiko bencana merupakan satu bagian dari penerapan upaya mitigasi bencana. Jalan yang mengalami kerusakan akibat bencana akan memengaruhi perkembangan wilayah yang diakibatkan gangguan transportasi, mulai dari terganggunya arus lalu lintas, kepentingan pemberian bantuan, proses evakuasi, hingga pelaksanaan perbaikan ruas jalan yang mengalami kerusakan. Kondisi ruas jalan harus dikembalikan pada kondisi semula sebelum mengalami kerusakan akibat bencana gempa bumi bahkan lebih baik daripada kondisi semula. Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian dan kerusakan pada ruas jalan, diperlukan manajemen risiko bencana pada jalan. Dalam melakukan manajemen risiko, tahap awal yang dilakukan adalah identifikasi risiko. Setelah dilakukan identifikasi risiko, maka tahap selanjutnya adalah analisis risiko. Analisis risiko adalah proses yang menggabungkan informasi mengenai besaranbesaran (termasuk probabilitas) dari suatu bahaya dengan informasi yang menggambarkan tingkat kerentanan berbagai elemen yang terancam. Hasil dari analisis risiko ini adalah berupa perkiraan tingkat kerugian yang dapat terjadi akibat suatu bencana, sekaligus gambaran mengenai tingkat probabilitas kejadiannya (tingkat risiko). Analisis risiko dilakukan dengan melakukan kajian terhadap hazard yang meliputi identifikasi dan analisis hazard serta melakukan kajian kerentanan yang meliputi identifikasi dan analisis kerentanan [2].



Bidang Manajemen Konstruksi- 685



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Identifikasi Risiko & Penilaian Risiko Hazard analysis Vulnerability analysis Penentuan risiko



Pemulihan Rehabilitasi Rekonstruksi



MANAJEMEN RISIKO BENCANA



Pencegahan & Mitigasi Struktural Struktural



&



Non



Bencana



Kesiapsiagaan Peringatan Dini Evakuasi Rencana Tanggap Darurat



Gambar 2. Siklus Manajemen Risiko Bencana & Elemennya (Sumber : UN/ISDR 2004) Analisis risiko dapat dilakukan secara kualitatif, semi-kuantitatif dan kuantitatif. Analisis risiko secara kualitatif atau semi kuantitatif biasanya dilakukan untuk kajian risiko cepat (rapid risk analysis). Analisis risiko secara kuantitatif dilakukan untuk analisis risiko yang mendalam (in-depth risk analysis). Analisis risiko kuantitatif dilakukan dengan analisis kajian bahaya, kerentanan dan risiko yang mendalam dengan penerapan ilmu dan teknologi yang memadai untuk dapat memberikan gambaran tingkat kerusakan dan kerugian yang bersifat kuantitatif sehingga dapat memberikan ukuran yang lebih representatif. Dalam konteks kerentanan akibat bahaya gempa bumi pada jalan, kerentanan didefinisikan sebagai berapa besar kecenderungan suatu elemen dari jaringan jalan mengalami kerusakan, dan keruntuhan akibat kejadian gempa bumi. Kerentanan terhadap gempa bumi adalah karakteristik yang menyertai setiap konstruksi yang tidak tergantung dari faktor eksternal. Untuk mendefinisikan kerentanan fisik dari segmen jalan harus dipertimbangkan dari berbagai komponen yaitu jembatan, embankment, terowongan, dan lain-lain dengan karakteristik vulnerability yang berbeda-beda dan tidak selalu dapat dibandingkan. Beberapa elemen dari komponen jaringan jalan di antaranya adalah jembatan yang dinilai kerentanannya adalah dengan menilai apakah kriteria desain mempertimbangkan beban gempa, jenis konstruksi menerus atau tidak menerus, kondisi tanah pondasi, kondisi pemeliharaan konstruksi, alinyemen, dan lainlain [3].



3. METODOLOGI Pada penelitian ini, dilakukan metodologi dengan kajian pustaka. Kajian pustaka dilakukan pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tentang model penilaian risiko bencana pada jalan dan jembatan. Kajian pustaka dilakukan pada penelitian yang berhubungan dengan model risiko yang sudah diterapkan di beberapa negara lain. Konsep pengembangan model dilakukan dengan menggunakan model indeks risiko dengan pertimbangan ketersediaan data dan pengguna model. Model indeks risiko digunakan karena model ini menggunakan



686 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 perbandingan relatif dan konsep yang sederhana sehingga memudahkan pengguna melakukan analisis dan memudahkan untuk pengambilan keputusan. Identifikasi Faktor Faktor yang digunakan menggunakan konsep model indeks risiko bencana gempa bumi yang dikenal dengan Earthquake Disaster Risk Index (EDRI) [4]. Pada model penilaian risiko bencana gempa bumi ini, faktor yang digunakan dalam model adalah faktor bahaya, keterpaparan, kerentanan, konteks eksternal dan kapasitas. Identifikasi Indikator Indikator yang digunakan pada model ini adalah gabungan dari beberapa indikator pada model-model penilaian risiko lain seperti SRA (seismic risk analysis) dan loss estimation. Model-model ini menggunakan data kuantitatif dan ekstentif sehingga tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Indikator yang diambil adalah indikator yang secara langsung berpengaruh terhadap nilai indeks risiko bencana. Pemilihan indikator juga berdasarkan pertimbangan kemungkinan ketersediaan data. Indikator diidentifikasi berdasarkan model EDRI yang kemudian dikembangkan untuk ruas jalan [5]. Selain itu pengembangan penilaian risiko bencana dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis [3], dan Werner, dkk (2004, 2008) mengembangkan SRA yang memanfaatkan database jaringan jalan untuk menilai risiko bencana gempa bumi [6] [7]. Sistem informasi geografis yang menggambarkan indeks kerusakan dan kerugian kemampuan jaringan jalan untuk berfungsi, rute asal-tujuan, faktor indirect exposure, dan evaluasi risiko dari jaringan. Yang dimaksud dengan exposure (keterpaparan), adalah jumlah pengguna jalan yang terganggu akibat adanya kejadian gempabumi. Direct exposure digambarkan sebagai jumlah pengguna infrastruktur transportasi. Ukuran exposure dapat dilihat dari expected vehicle density (jumlah kendaraan dalam setiap panjang jalan). Pada fase tanggap darurat, jaringan jalan bertugas memberi bantuan aksesibilitas terhadap daerah yang terkena bencana agar bantuan dapat cepat diberikan dan efisien. Pada beberapa gempa besar misalnya Kobe (1995) terjadi gangguan terhadap akses jaringan jalan sehingga mengakibatkan tindakan tanggap darurat terhadap daerah yang terkena bencana menjadi terganggu. Akibatnya kerusakan tidak langsung akibat kebakaran setelah gempa sebanding dengan kerusakan langsung akibat gempa. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka indirect exposure dapat didefinisikan sebagai jumlah orang yang mengalami keterlambatan dalam penanganan pada masa tanggap darurat akibat gangguan pada jaringan jalan.



4. MODEL INDEKS RISIKO BENCANA GEMPA BUMI Kajian model index risiko untuk bahaya gempa yang diterapkan untuk perbandingan risiko gempa beberapa kota di dunia [4]. Model indeks risiko berdasarkan faktor-faktor risiko yaitu Hazard (bahaya), Exposure (keterpaparan), Vulnerability (kerentanan), External context (konteks eksternal), Capacity (kapasitas untuk tanggap darurat). Untuk menilai setiap faktor risiko dikembangkan seperangkat indikator yang terdiri atas indikator langsung dan tidak langsung (proxy indicators). Konsep penilaian indeks risiko adalah penilaian dengan mengindikasikan skala ukuran atau peringkat tertentu pada risiko bencana. Setiap indikator diberikan deskripsi tertentu yang sudah ditentukan yang menggambarkan nilai indeks. Setiap nilai indeks indikator akan memberikan kontribusi terhadap nilai indeks risiko bencana. Konsep model indeks risiko bencana digambarkan pada Gambar 3.



Bidang Manajemen Konstruksi- 687



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Indikator 1.1.1 Komponen



Faktor 1



Faktor 1.1



Indikator 1.1.2 Indikator 1.2.1



Komponen Faktor 1.2



Risiko



Faktor 2



Komponen Faktor 2.1



Komponen Faktor 2.2



Indikator 1.2.2 Indikator 2.1.1 Indikator 2.1.2 Indikator 2.2.1 Indikator 2.2.2



Gambar 3. Konsep Model Indeks Risiko Bencana Secara matematis model indeks risiko yang digunakan dirumuskan sebagai berikut: R = wHH + wEEi+ wVV + wExEx + wCiCi .............................................. (2) R H E V Ex C W



= = = = = = =



Nilai indeks risiko bencana Nilai indikator bahaya Nilai indikator keterpaparan Nilai indikator kerentanan Nilai indikator konteks eksternal Nilai indikator kapasitas Bobot untuk masing-masing faktor indeks risiko



Masing-masing faktor risiko dinilai dengan nilai indeks indikator yang terdapat pada masing-masing faktor dan sub faktor. Masing-masing nilai indeks indikator berbanding lurus terhadap nilai indeks risiko, kecuali untuk kapasitas. Faktor risiko bahaya, keterpaparan, kerentanan, dan onteks eksternal berbanding lurus dengan nilai indeks risiko. Semakin tinggi nilai indeks indikator pada faktor-faktor tersebut akan meningkatkan nilai indeks risiko. Nilai indeks indikator kapasitas berbanding terbalik terhadap nilai indeks risiko. Pada model ini nilai indeks indikator pada faktor kapasitas diberikan dalam bentuk nilai indeks risiko yang berbanding terbalik terhadap nilai indeks risiko dan faktor-faktor risiko lainnya. Semakin baik nilai indeks indikator kapasitas, nilai indeks risiko akan lebih kecil memberikan kontribusi terhadap nilai indeks risiko. Setiap indikator akan dikalikan dengan satu nilai bobot. Nilai indeks risiko merupakan hasil penjumlahan semua nilai bobot yang dikalikan dengan nilai indeks indikator.



5. HASIL KAJIAN Setelah dilakukan kajian literatur, didapatkan hasil identifikasi faktor, komponen faktor dan indikator dalam model berdasarkan model-model penilaian dari penelitian terdahulu.



688 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Faktor, komponen faktor yang didapatkan dari hasil kajian literatur diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1: Faktor, Komponen Faktor dan Indikator pada Model KOMPONEN FAKTOR INDIKATOR FAKTOR Getaran Nilai Peak Ground Acceleration pada lokasi ruas Tanah jalan Persentase Panjang Jalan Dalam Zona Rawan Likuifaksi BAHAYA Bahaya Persentase panjang jalan yang berada pada daerah Ikutan rawan longsor Persentase panjang jalan yang berada pada daerah rawan tsunami Fisik KETERPAPARAN



Populasi (Pengguna) Ekonomi



KERENTANAN



Fisik



KONTEKS EKSTERNAL



Ekonomi Politik Perencanaan



KAPASITAS



Panjang Ruas Jalan Panjang total jembatan Volume Lalu Lintas



Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota/kabupaten pada ruas jalan Jumlah jembatan pada ruas jalan Persentase jembatan bentang panjang Kondisi eksisting jembatan Ketersediaan rute/ruas jalan alternatif Fungsi Kota Dalam Perkembangan Ekonomi



Fungsi Kota Dalam Politik/Pemerintahan Kesiapan kelembagaan untuk tanggap darurat dan pemulihan



Sumber daya



Ketersediaan / Kelengkapan Sumber daya PDRB Kota/Kabupaten pada ruas jalan



Akses & Mobilitas



Akses dan Mobilitas Sumber Daya



Faktor Bahaya Yang dimaksud dengan bahaya adalah ancaman bencana gempa bumi yang dapat mengakibatkan rusak atau terputusnya suatu ruas jalan dan/atau jembatan sehingga terganggu fungsinya. Bahaya gempa bumi ditinjau dari komponen-komponen faktor yang terdiri atas komponen faktor bahaya utama dan komponen faktor bahaya ikutan. Komponen faktor bahaya utama dinilai dari ground shaking (getaran tanah), dan komponen faktor bahaya ikutan dinilai dari persentase panjang ruas jalan yang berada pada zona rawan likuifaksi, zona rawan longsor, dan zona rawan tsunami. Faktor Keterpaparan Yang dimaksud dengan keterpaparan adalah berapa banyak /luas/ panjang ruas jalan dan jembatan dan pengguna jalan & jembatan yang kemungkinan atau berpotensi mengalami kerusakan/kerugian bila terjadi gempa bumi. Semakin besar nilai keterpaparan semakin besar risiko yang dihasilkan. Faktor keterpaparan terdiri atas komponen faktor keterpaparan fisik dengan indikator panjang ruas jalan dan panjang total jembatan pada ruas jalan, keterpaparan populasi dengan indikator volume lalu



Bidang Manajemen Konstruksi- 689



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean lintas, dan keterpaparan ekonomi dengan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota/kabupaten pada ruas jalan. Faktor Kerentanan Yang dimaksud dengan kerentanan adalah berapa besar kecenderungan elemen jalan & jembatan untuk mengalami kerusakan sebagai akibat dari suatu bencana gempa bumi. Faktor kerentanan terdiri atas komponen faktor kerentanan fisik dengan indikator jumlah jembatan, persentase jembatan bentang panjang, kondisi eksisting jembatan, dan ketersediaan rute alternatif. Faktor Konteks Eksternal Konteks eksternal merupakan segala aspek kegiatan ekonomi dan politik wilayah pada ruas jalan atau wilayah yang dihubungkan oleh ruas jalan yang dapat memengaruhi nilai risiko suatu ruas jalan dan jembatan terhadap bencana gempa bumi. Faktor konteks eksternal terdiri atas komponen faktor konteks eksternal ekonomi dan komponen faktor eksternal konteks politik. Komponen faktor ekonomi dinilai dari indikator fungsi wilayah pada ruas jalan atau yang dihubungkan oleh ruas jalan sebagai pusat kegiatan ekonomi, dan komponen faktor politik dinilai dari indikator fungsi wilayah pada ruas jalan atau yang dihubungkan oleh ruas jalan sebagai pusat kegiatan politik dan pemerintahan. Faktor Kapasitas Kapasitas diukur dari seberapa besarnya kemampuan penyelenggara jalan dan jembatan dalam memulihkan kembali secara cepat fungsi jalan dan jembatan yang terdampak oleh bencana, dalam hal ini kemampuan penyelenggara jalan dalam melakukan penanganan darurat dan/atau pemulihan pada ruas jalan dan jembatan yang rusak atau terputus akibat bencana gempa bumi. Faktor kapasitas terdiri atas komponen faktor perencanaan, sumber daya, serta akses dan mobilitas. Komponen faktor perencanaan dinilai dari indikator kesiapan perencanaan secara kelembagaan pada saat tanggap darurat. Komponen faktor sumber daya dinilai dari indikator ketersediaan/ kelengkapan sumber daya baik dalam jumlah, kondisi maupun kemampuan, dan indikator PDRB wilayah pada ruas jalan atau yang dihubungkan ruas jalan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alat DRU (Disaster Relief Unit), bahan dan dana (yang berasal dari APBN dan/atau dana on call). Sedangkan komponen faktor akses dan mobilitas dinilai dari indikator jarak lokasi dari ketersediaan sumber daya (alat, personil & bahan) serta kemudahan akses pada saat tanggap darurat. Pada tahap ini hanya dilakukan identifikasi faktor, komponen faktor dan indikator. Untuk pembobotan masing-masing faktor, komponen faktor dan indikator akan dilakukan pada penelitian tahap selanjutnya.



6. KESIMPULAN Faktor yang diidentifikasi berdasarkan model indeks risiko bencana yaitu faktor bahaya, keterpaparan, kerentanan, konteks eksternal dan kapasitas. Masing-masing faktor risiko dinilai dengan nilai indeks indikator yang terdapat pada masing-masing faktor dan sub faktor. Masing-masing nilai indeks indikator berbanding lurus terhadap nilai indeks risiko, kecuali untuk kapasitas. Nilai indeks indikator berbanding terbalik terhadap nilai indeks risiko. Pada model ini nilai indeks indikator pada faktor kapasitas diberikan dalam bentuk nilai indeks risiko yang berbanding terbalik dengan nilai indeks risiko



690 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 pada faktor-faktor lainnya. Semakin baik nilai indeks indikator kapasitas, nilai indeks risiko akan lebih kecil memberikan kontribusi terhadap nilai indeks risiko. Indikator yang diidentifikasi dari masing-masing faktor dan komponen faktor merupakan parameter yang berkontribusi langsung terhadap nilai indeks risiko.



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Triutomo, Sugeng. (2011) Indonesia : Improving Investment in Communities For Risk Reduction. Risk Returns. International Strategy for Disaster Reduction 2. Sengara, I Wayan dan Pribadi K.S (2009). Kajian Risiko untuk Pencegahan dan Mitigasi Becana Gempa di Indonesia. Mengelola Risiko Bencana di Negara Maritim Indonesia ; Upaya Mengurangi Risiko Bencana. Bandung:Institut Teknologi Bandung. 3. Cafiso, Salvatore (2010). Assessment of Seismic Risk and Reliability of Road Network. Diakses dari http://cdn.intechopen.com/pdfs/11745/InTechAssessment_of_seismic_risk_and_reliability_of_road_network.pdf. Tanggal 17 Desember 2012. 4. Davidson, Rachel A. (1997). An Urban Earthquake Disaster Risk Index. The John A. Blume Earthquake Engineering Centre. California : Stanford University. Report no. 121 5. Hosseini Mahmood dan Vayeghan, FY (2008). A Risk Management Model for Inter-City Road Systems. The 14th World Conference on Earthquake Engineering. Beijing, China 6. Werner, dkk. (2004). New Developments in Seismic Risk Analysis of Highway Systems. 13th World Conference on Earthquake Engineering. Paper No. 2189. August 1-6, 2004. Vancouver, B.C, Canada. 7. Werner, dkk. (2008). Analysis of Risk to Southern California Highway System. The ShakeOut Scenario, USGS Report 2008-1150. Oakland, CA.



Bidang Manajemen Konstruksi- 691



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



692 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEKERJAAN TAMBAH KURANG PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG DI KOTA PALU Bayu Purnomo1, Nirmalawati2, Ruslan Moh. Yunus3 1



Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tadulako, Email: [email protected] Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tadulako, Email:[email protected] 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tadulako, Email:[email protected] 2



ABSTRAK Pekerjaan tambah kurang sering terjadi pada pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi di kota Palu meskipun berbagai upaya dilakukan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, demikian pula terjadi pada beberapa pelaksanaan pekerjaan gedung yang ada di kota Palu. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya keterlambatan pekerjaan dan juga perselisihan antara penyedia jasa dan pengguna jasa. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pekerjaan tambah kurang pada konstruksi bangunan gedung di kota Palu. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif, deskriptif-korelasional. Populasi adalah perusahaan kontraktor sebanyak 23 perusahaan dan 12 konsultan pengawas yang melaksanakan pekerjaan gedung dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Pengumpulan data dengan pengamatan dan teknik penyebaran angket kepada direktur perusahaan atau staf Teknik`perusahaan dan teknik analisis data menggunakan skala likert dan Relative Rank Indeks (RRI), serta melakukan pengujian korelasi dengan menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pekerjaan tambah kurang adalah: (1) ketidaksesuaian perhitungan volume di lapangan dengan perencanaan (87,167%), (2) metode pelaksanaan disesuaikan dengan keterbatasan waktu (77,278%), (3) ketidaksesuaian lokasi dengan gambar rencana (75,722%), (4) penyesuaian cara pelaksanaan pekerjaan dengan kondisi yang ada (75,389%), (5) kesalahan estimasi dalam perencanaan (73,778%), (6) perubahan konsep desain konstruksi (65,778%), (7) kesalahan estimasi oleh owner (62,611%), (8) hasil pemetaan topografi tidak terlalu lengkap (60,389%), (9) terjadi kesalahan dalam perhitungan faktor dan koreksi data penelitian di lapangan (55,778%) dan(10) kondisi lapangan dan hasil penggambaran topografi tidak sesuai (55,778%). Berdasarkan temuan, disarankan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi dapat mengambil manfaat dari penelitian ini sebagai bahan acuan dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi. Sedangkan bagi para peminat penelitian untuk dapatnya melanjutkan penelitian dengan mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi pekerjaan tambah-kurang pada pekerjaan konstruksi gedung ataupun pada konstruksi pekerjaan jalan, jembatan, bangunan air, dermaga dan bangunan lainnya. Kata Kunci: pekerjaan tambah-kurang, gedung, Palu



1. PENDAHULUAN Pengembangan bangunan infrastruktur yang semakin pesat di kota Palu, baik sebagai bangunan-bangunan penunjang, konstruksi sipil maupun konstruksi gedung semakin dibutuhkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pendapatan daerah. Bangunan-bangunan tersebut antara lain pusat perbelanjaan, perkantoran, ruko dan perumahan rakyat. Dari hasil pantauan awal dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, banyak terjadi keterlambatan dalam pekerjaannya, dan salah satu faktor penyebabnya diakibatkan adanya pekerjaan tambah kurang pada pelaksanaan konstruksi tersebut.



Bidang Manajemen Konstruksi- 693



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Pekerjaan tambah kurang dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi adalah suatu pekerjaan yang tidak tercantum dalam kontrak konstruksi tetapi harus dilaksanakan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan suatu perubahan dalam kontrak kerja (Contract Change Order/CCO), dimana Contract Change Order (CCO) adalah perubahan secara tertulis antara PPK dan penyedia untuk mengubah kondisi dokumen kontrak awal, dengan menambah atau mengurangi pekerjaan (Murni, 2007). Pekerjaan tambah kurang dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti yang dinyatakan oleh Soeharto (2001) pekerjaan tambah kurang dilingkup proyek sering terjadi akibat adanya informasi baru mengenai spesifikasi atau kriteria desain engineering, permintaan pemilik proyek, kondisi lapangan yang berbeda dengan hasil penyelidikan yang telah dahulu dilakukan, pasal-pasal dalam kontrak yang tidak jelas dan adanya percepatan pekerjaan proyek oleh owner. Sedangkan Barrie & Paulson, 1992 dalam Murni (2007) menyatakan bahwa pekerjaan tambah-kurang disebabkan hal-hal seperti terlambat dalam menyetujui gambar dan desain kontrak dan klarifikasi, terlambat mengakses kelapangan, banyak perubahan desain dalam skala kecil, penambahan scope pekerjaan, pengurangan scope pekerjaan, perselisihan pemilik dan desain representitatif karena kesalahan presepsi, kontrak yang tidak jelas, kurangnya informasi, kesalahan memulai kerja, kesalahan menyuplai tenaga kerja, kinerja kontraktor yang jelek, kinerja subkontraktor yang jelek, rendahnya keahlian pekerja dan jadwal terlambat. Pendapat yang sama Istimawan (1997) menyatakan bahwa beberapa penyebab pekerjaan tambah/kurang adalah perubahan dalam perencanaan, perubahan dalam spesifikasi teknis kontrak, penyesuaian atau perubahan dalam fungsi dan kinerja bangunan, perencanaan yang tidak lengkap, perubahan pokok dalam metode kerja atau urutan pelaksanaan dan penyesuaian terhadap kondisi lapangan. Akan tetapi fakta di lapangan masih menunjukkan adanya permintaan perubahan kontrak akibat penambahan, pengurangan, ataupun keduanya sekaligus pada tahap pelaksanaan konstruksi pekerjaan bangunan gedung di kota Palu telah menjadi masalah yang pada akhirnya menyebabkan perselisihan hingga dapat menjadi masalah hukum diakhir kontrak dan pada akhirnya terjadinya keterlambatan pada pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Dari pengamatan awal dilapangan menunjukkan bahwa pekerjaan tambah kurang pada pelaksanaan pekerjaan konstruksi gedung di kota Palu dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebabnya, yaitu seperti kondisi lapangan tidak sesuai dengan perencanaan, pihak owner mengalami kesulitan dana dalam pekerjaan konstruksi gedung, gambar rencana yang selalu mengalami revisi, keinginan pemilik proyek untuk melaksanakan pekerjaan tambah maupun pekerjaan kurang pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi gedung sedang berlangsung serta adanya ketidakpastian atau perubahan pekerjaan selama berlangsungnya pekerjaan konstruksi, baik itu merupakan suatu penambahan atau pengurangan item maupun volume selama pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Karena hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengindentifikasi faktor-faktor yang sering menyebabkan pekerjaan tambah-kurang oleh pelaksana proyek (kontraktor) dan pengawas proyek (konsultan) dalam pekerjaan konstruksi gedung di kota Palu dan untuk mengetahui besarnya pengaruh perubahan pekerjaan baik pekerjaan tambah maupun pekerjaan kurang terhadap nilai kontrak.



694 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



2. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan penelitian kuantitatif, rancangan penelitian deskriptif-korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan kontraktor kualifikasi diatas Grade 4 sebanyak 23 perusahaan dan 12 perusahaan konsultan pengawas yang melaksanakan pekerjaan gedung dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Pengumpulan data dilakukan menggunakan satu jenis instrumen, yaitu kuesioner dan juga melalui pengamatan kepada direktur perusahaan atau staf teknik perusahaan dan teknik analisis data menggunakan skala likert dan Relative Rank Indeks (RRI), RRI digunakan untuk menentukan faktor dominan yang sering terjadi atau melakukan rangking terhadap faktor yntuk mencapai hasil penelitian yang diinginkan. Dimana faktor yang akan dianalisa merupakan faktor yang independen atau tidak berhubungan. Perangkingan dilakukan untuk mengetahui faktor yang merupakan penyebab paling sering dalam pekerjaan tambah-kurang oleh kontraktor dan konsultan. Korelasi Spearman‘s Rank digunakan untuk melakukan pengujian terhadap signifikasi hipotesis asosiatif bila setiap variabel yang dihubungkan bersifat ordinal dan sumber data dari variabel tidak harus mempunyai nilai sama. Keseluruhan pengujian korelasi dengan menggunakan software SPSS versi 16.0. Instrumen yang digunakan dibuat berdasarkan teori-teori dari berbagai pendapat para ahli, yaitu yang dapat disimpulkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pekerjaan tambah kurang, yaitu sebagai berikut: (1) pemindahan lokasi proyek, (2) perubahan spesifikasi, (3) perubahan kebutuhan owner, (4) perubahan gambar, (5) perubahan metode pekerjaan, (6) kesalahan perhitungan struktur, (7) kesalahan penyelidikan tanah, (8) kesalahan pengukuran topografi, dan (9) kelangkaan material.



3. HASIL Deskripsi data penelitian tentang karakteristik perusahaan yang sering mengerjakan paket pekerjaan non-kecil yang berdomisili di kota palu didominasi perusahaan grade 5 sebanyak 35%. Sedangkan pengalaman kerja lebih dari 15 tahun dibidang konstruksi sebanyak 40%, 30% memiliki pengalaman kurang dari 5 tahun. Untuk perusahaan yang mempunyai kualifikasi non-kecil umumnya telah mempunyai pengalaman kerja di bidang konstruksi lebih dari 10 tahun. Jenis kontrak yang sering dilakukan adalah menggunakan kontrak gabungan Lump Sum dan Unit Price sebesar 62%. Sedangkan kontrak Unit price sebesar 21% dan kontrak lump Sum sebesar 17%. Dari hasil pemahaman tentang pekerjaan tambah-kurang sebesar 72% responden telah paham dan 28% sangat paham. Responden sebanyak 59% menyatakan pekerjaan tambah-kurang sering dibahas dalam kontrak konstruksi. Dari 17% responden menyatakan bahwa mereka memiliki nilai pekerjaan tambah kurang lebih dari 10%. Faktor-faktor penyebab pekerjaan tambah/kurang dalam pekerjaan konstruksi gedung di kota palu Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Analisis Relative Rank Indeks (RRI) ditinjau dari pihak kontraktor, konsultan dan secara keseluruhan, dihasilkan faktor-faktor yang menyebabkan pekerjaan tambah-kurang dalam pelaksanaan konstruksi gedung di kota Palu, besarnya dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2.



Bidang Manajemen Konstruksi- 695



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 100% 80% 60% 40% 20% 0%



P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9



P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9



Persentase 67%49%36%46%56%42%67%56%73%79%81%72%63%44%58%63%56%59%56%



Gambar1. Faktor penyebab pekerjaan tambah-kurang dari pihak kontraktor 100 80 60 40 20 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9



P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9



Persentase 40 27 29 42 56 33 84 76 78 76 93 76 62 27 47 58 56 47 47



Gambar 2. Faktor penyebab pekerjaan tambah-kurang dari pihak konsultan Jenis Pekerjaan Tambah dan Pekerjaan Kurang Pekerjaan tambah yaitu melakukan penambahan scope pekerjaan maupun penambahan volume pekerjaan. Sedangkan pekerjaan kurang adalah melakukan pengurangan volume maupun scope pekerjaan dalam pelaksanaan konstruksi gedung. Pekerjaan tambah dan kurang dilakukan juga analisa keandalan terhadap jawaban responden. Ditinjau dari pihak kontraktor, konsultan, dan ditinjau perbandingan kontraktor dan konsultan pada pekerjaan tambah dengan menggunakan analisa skala likert dan IRR , hasilnya seperti yang tertera pada gambar di bawah ini. 80% 60% 40%



64%



62%



59%



44%



53%



66%



67%



44%



20% 0% Persentase



At1



At2



At3



At4



At5



At6



At7



At8



44%



64%



62%



59%



53%



44%



66%



67%



Gambar 3. Hasil analisa skala likert dan RRI pekerjaan tambah (pihak kontraktor) 84.44%



100% 50% 0%



73.33%



75.56%



At6



At7



At8



53.33%



73.33%



75.56%



68.89%



68.89%



60.00%



53.33%



At2



At3



At4



At5



84.44%



68.89%



68.89%



60.00%



15.56% At1



Persentase 15.56%



Gambar 4. Hasil analisa skala likert dan RRI pekerjaan tambah (pihak konsultan)



696 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 100% 80% 60% 40% 20% 0%



Ak1



Ak2



Ak3



Ak4



Ak5



Ak6



Ak7



Ak8



Kontraktor



44%



64%



62%



59%



53%



44%



66%



67%



Konsultan



15.56%



84.44%



68.89%



68.89%



60.00%



53.33%



73.33%



75.56%



Gambar 5. Perbandingan pendapat terhadap pekerjaan tambah



Tabel 2. Nilai perbandingan hasil pengujian IRR dan skala likert pekerjan tambah



1 2 3 4



At1 At2 At3 At4



Kontraktor Skala IRR Likert 0,440 44% 0,640 64% 0,620 62% 0,590 59%



5



At5



0,530



53%



0,600



60,000%



0,565



56,500%



6



6



N o



Ket



Konsultan Skala IRR Likert 0,156 15,556% 0,844 84,444% 0,689 68,889% 0,689 68,889%



Rata-rata Skala IRR Likert 0,298 29,778% 0,742 74,222% 0,655 65,445% 0,640 63,945%



8 1 4 5



Rank



At6



0,440



44%



0,533



53,333%



0,487



48,667%



7



7



At7



0,660



66%



0,733



73,333%



0,697



69,667%



3



8



At8



0,670



67%



0,756



75,556%



0,713



71,278%



2



80% 60%



60%



56%



Ak6



Ak7



Ak8



49%



60%



56%



53%



54%



54%



49%



49%



Ak1



Ak2



Ak3



Ak4



Ak5



43%



53%



54%



54%



49%



43%



40% 20% 0% Persentase



Gambar 6. Hasil analisa skala likert dan RRI pekerjaan kurang (pihak kontraktor) 80%



62.22%



57.78%



60%



44.44%



44.44%



44.44%



42.22%



46.67%



Ak2



Ak3



Ak4



Ak5



Ak6



Ak7



Ak8



57.78%



44.44%



44.44%



44.44%



42.22%



46.67%



62.22%



40% 20% 0%



15.56%



Ak1



Persentase 15.56%



Gambar 7. Hasil analisa skala likert dan RRI pekerjaan kurang (pihak konsultan)



Bidang Manajemen Konstruksi- 697



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Ditinjau Perbandingan Kontraktor dan Konsultan pada Pekerjaan Kurang Tabel 3 Nilai perbandingan hasil pengujian IRR dan skala likert pekerjaan kurang



1 2 3 4



Ak1 Ak2 Ak3 Ak4



Kontraktor Skala IRR Likert 0,430 43% 0,530 53% 0,540 54% 0,540 54%



5



Ak5



0,490



49%



0,444



44,444%



0,467



46,722%



6



6



Ak6



0,490



49%



0,422



42,222%



0,456



45,611%



7



7



Ak7



0,600



60%



0,467



46,667%



0,533



53,333%



3



8



Ak8



0,560



56%



0,622



62,222%



0,591



59,111%



1



N o



Ket



Konsultan Skala IRR Likert 0,156 15,556% 0,578 57,778% 0,444 44,444% 0,444 44,444%



Rata-rata Skala IRR Likert 0,293 29,278% 0,554 55,389% 0,492 49,222% 0,492 49,222%



Rank 8 2 4 5



4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil perangkingan faktor-faktor yang mempengaruhi pekerjaan tambah- kurang secara keseluruhan dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Faktor penyebab pekerjaan tambah-kurang konstruksi gedung di kota Palu No



Ket IRR



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



F6/P11 F5/P10 F4/P7 F5/P9 F6/P12 F4/P8 F7/P13 F8/P16 F3/P5 F9/P17



0,81 0,79 0,67 0,73 0,72 0,56 0,63 0,63 0,56 0,56



Kontraktor Skala Likert 81% 79% 67% 73% 72% 56% 63% 63% 56% 56%



Konsultan Skala Likert 0,933 93% 0,756 76% 0,844 84% 0,778 78% 0,756 76% 0,756 76% 0,622 62% 0,578 58% 0,556 56% 0,556 56% IRR



IRR 0,872 0,773 0,757 0,754 0,738 0,658 0,626 0,604 0,558 0,558



Gabungan Skala Likert 87,167% 77,278% 75,722% 75,389% 73,778% 65,778% 62,611% 60,389% 55,778% 55,778%



Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9,5 9,5



Tabel 5 Faktor terjadinya pekerjaan tambah-kurang secara keseluruhan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Ket P11 P10 P7 P9 P12 P8 P13 P16 P15 P17



Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9,5 9,5



Keterangan Ketidaksesuaian perhitungan volume di lapangan dengan perencanaan Metode pelaksanaan disesuaikan dengan keterbatasan waktu Terdapat ketidaksesuaian lokasi dengan gambar rencana Dilakukan penyesuaian cara pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar Kesalahan estimasi dilakukan oleh Konsultan perencana Terjadi perubahan konsep desain dalam pekerjaan konstruksi Terdapat kesalahan estimasi oleh owner Hasil pemetaan topografi tidak terlaludetail Terjadi kesalahan dalam perhitungan faktor dan koreksi data penelitian di lapangan Kondisi lapangan dan hasil penggambaran topografi tidak sesuai



698 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 6. Nilai hasil pengujian untuk jawaban antara kontraktor dan konsultan No



Korelasi Variabel



1



P16 P17 P11 P12 P9 P10 P12 P13 P7 P8 P13 P17 P13 P16 P7 P11 P5 P7 P12 P16 P12 P17 P11 P13



2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Pemetaan topografi tidak terlalu detail Kondisi lapangan dan topografi tidak sesuai Ketidaksesuaian perhitungan volume Kesalahan estimasi oleh konsultan perencana Metode pelaksanaan sesuai lingkungan sekitar Metode pelaksanaan sesuai keterbatasan waktu Kesalahan estimasi oleh konsultan perencana Kesalahan estimasi oleh owner Pemotongan anggaran oleh owner Perubahan konsep desain dalam pekerjaan Kesalahan estimasi oleh owner Kondisi lapangan dan topografi tidak sesuai Kesalahan estimasi oleh owner Pemetaan topografi tidak terlalu detail Pemotongan anggaran oleh owner Ketidaksesuaian perhitungan volume Perubahan penampang struktural dari gedung Pemotongan anggaran oleh owner Kesalahan estimasi oleh konsultan perencana Pemetaan topografi tidak terlalu detail Kesalahan estimasi oleh konsultan perencana Kondisi lapangan dan topografi tidak sesuai Ketidaksesuaian perhitungan volume Kesalahan estimasi oleh owner



Nilai Korelasi 0,750



Signifikan Korelasi 0,01



0,648



0,01



0,600



0,01



0,562



0,01



0,561



0,01



0,541



0,01



0,496



0,01



0,464



0,05



0,447



0,05



0,420



0,05



0,397



0,05



0,375



0,05



Berdasarkan hasil Analisis Relative Indeks (IRR) secara keseluruhan diperoleh 12 korelasi antar faktor dimana tujuh diantaranya mempunyai korelasi signifikan 0,01 dan sisanya dengan korelasi signifikan 0,05. Untuk korelasi signifikan 0,01 seperti untuk faktor ketidaksesuaian lokasi perencanaan dengan lapangan karena adanya perubahan konsep desain (P7 – P8) dengan nilai korelasi 0,561 dengan adanya perubahan desain menyebabkan gambar rencana pada saat tender mengalami perubahan dan harus dilakukan pekerjaan tambah-kurang untuk mengubah gambar kerja agar sesuai dengan desain yang baru yang telah disepakati. Untuk menyesuaikan metode pekerjaan dengan kondisi lingkungan dengan keterbatasan waktu (P9 – P10) nilai korelasi 0,600, yaitu dengan melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan secara tidak langsung sudah tidak sesuai dengan schedule yang telah ditetapkan sehingga mempengaruhi waktu pelaksanaan. Selain itu kesalahan estimasi oleh konsultan perencana dapat juga disebabkan oleh kondisi lapangan dan penggambaran topografi yang tidak sesuai dengan nilai korelasi 0,541. Hal ini disebabkan konsultan perencana yang lebih banyak melakukan perencanaan dengan berpatokan pada gambar topografi dan hasil penyelidikan tanah dan kurang meninjau untuk kondisi lapangan yang sebenarnya. Korelasi yang paling besar yaitu ketidaksesuaian perhitungan volume di lapangan dengan perencanaan karena kesalahan estimasi yang dilakukan konsultan perencana sebesar 0,648, hal ini sering terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan konstruksi sehingga perlu dilakukan perhitungan ulang volume pada gambar dengan melihat kondisi di lapangan khususnya pada pekerjaan konstruksi bawah yang perhitungannya banyak tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu perhitungan volume pada BOQ mengalami kesalahan, menyebabkan adanya selisih dana dari anggaran disediakan dengan anggaran yang digunakan di lapangan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 699



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Untuk penggambaran topografi yang kurang detail dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan menjadi penyebab dengan nilai korelasi tertinggi yaitu 0,750. Hal ini menunjukkan pada tahap perencanaan penggambaran topografi tidak detail menyebabkan gambar dihasilkan tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan dan dapat mempengaruhi perhitungan elevasi dalam perencanaan pekerjaan konstruksi. Untuk faktor yang mempunyai nilai korelasi dengan hubungan signifikan pada level 0,05 adalah ketidaksesuaian lokasi dengan gambar rencana terhadap ketidaksesuaian perhitungan volume di lapangan dengan perencanaan memiliki nilai korelasi sebesar 0,464. Hal ini menunjukkan jika lokasi pekerjaan sangat berpengaruh dengan perencanaan, yaitu ketidaksesuaian lokasi di lapangan dengan yang direncanakan akan mengalami banyak perubahan khususnya pada pekerjaan tanah dan pondasi dan menimbulkan selisih perhitungan volume galian dan timbunan serta kedalaman pondasi yang akan digunakan. Evaluasi jenis pekerjaan yang mempengaruhi pekerjaan tambah-kurang. Jenis pekerjaan yang menimbulkan pekerjaan tambah dan kurang dapat dibagi berdasarkan item pekerjaan yaitu: (1) pekerjaan persiapan (A1); (b) pekerjaan tanah dan pondasi (A2); (c) pekerjaan kolom (A3); pekerjaan balok (A4), pekerjaan plat (A5), pekerjaan tangga (A6), pekerjaan arsitektural (A7), pekerjaan mekanikal and elektrikal (A8). 80% 60% 40% 20% 0% Kontraktor



Ak1



Ak2



Ak3



Ak4



Ak5



Ak6



Ak7



Ak8



43%



53%



54%



54%



49%



49%



60%



56%



Konsultan 15.56% 57.78% 44.44% 44.44% 44.44% 42.22% 46.67% 62.22%



Gambar 8. Hasil analisa skala likert dan RRI pekerjaan kurang 80% 60% 40% 20% 0%



Ak1



Ak2



Ak3



Ak4



Ak5



Ak6



Ak7



Ak8



Pekerjaan Tambah 29.78% 74.22% 65.45% 63.95% 56.50% 48.67% 69.67% 71.28% Pekerjaan Kurang 29.28% 55.39% 49.22% 49.22% 46.72% 45.61% 53.33% 59.11%



Gambar 9. Hasil analisa pekerjaan tambah/kurang Pekerjaan tambah Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tambah yang sering dilakukan dari pihak kontraktor adalah pekerjaan mekanikal dan elektrikal, pekerjaan arsitektur, pekerjaan tanah dan pondasi, dan pekerjaan kolom. Contohnya dalam pekerjaan mekanikal adalah dalam penafsiran pemasangan jumlah AC yang dibutuhkan kurang, sehingga perlu ditambahkan agar sesuai dengan kebutuhan yang semestinya. Juga



700 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 pendapat dari konsultan pengawas pekerjaan tambah yang paling sering dilakukan adalah pekerjaan tanah dan pondasi. Pekerjaan kurang Berdasarkan nilai rata-rata pekerjaan kurang dalam pelaksanaan konstruksi gedung didapatkan hasil pekerjaan kurang jarang dilaksanakan dalam pekerjaan konstruksi gedung di kota palu. Dari tabel gambar 8 diketahui ada perbedaan pendapat dari pihak kontraktor dan konsultan terhadap pelaksanaan pekerjaan kurang di kota palu dimana pihak kontraktor jarang melakukan sedangkan pihak konsultan sering melakukan pekerjaan kurang untuk pekerjaan mekanikal dan elektrikal, dari hasil perolehan nilai skala likert pada item ini sebesar 62,22%. Demikian juga dari gambar 9 terlihat pelaksanaan konstruksi gedung di kota Palu sendiri lebih sering melakukan penambahan volume dalam scope pekerjaan pekerjaan tanah dan pondasi. Tetapi dalam pekerjaan kurang hal ini relatif jarang dilakukan, hal ini dapat dilihat dari hasil pendapat responden kurang dari 60%. Sedangkan item pekerjaan yang paling jarang dilakukan pekerjaan tambah/kurang adalah pada pekerjaan persiapan.



5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (a) faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya pekerjaan tambah kurang pada pekerjaan konstruksi gedung di kota Palu adalah sebagai berikut:(1) faktor kesalahan perhitungan struktur, yaitu ketidaksesuaian perhitungan volume di lapangan dengan perencanaan (87,167%); (2) faktor perubahan metode pekerjaan, yaitu metode pelaksanaan disesuaikan dengan keterbatasan waktu (77,278%); (3) faktor perubahan gambar, yaitu ketidaksesuaian lokasi dengan gambar rencana (75,722%); (4) faktor perubahan metode pekerjaan, yaitu penyesuaian cara pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar (75,389%); (5) faktor kesalahan perhitungan struktur, yaitu kesalahan estimasi dilakukan oleh konsultan perencana (73,778%); (6) faktor perubahan gambar, yaitu perubahan konsep desain dalam pekerjaan konstruksi (65,778%); (7) faktor kesalahan penyelidikan tanah, yaitu kesalahan estimasi oleh owner (62,611%); (8) faktor kesalahan pengukuran topografi, yaitu hasil pemetaan topografi tidak terlalu detail (60,389%); (9) faktor kesalahan penyelidikan tanah, yaitu terjadi kesalahan dalam perhitungan faktor dan koreksi data penelitian di lapangan (9,5/55,778%) dan (10) faktor kesalahan pengukuran topgrafi, yaitu kondisi lapangan dan hasil penggambaran topografi tidak sesuai (9,5/55,778%), (b) besarnya pengaruh perubahan pekerjaan baik pekerjaan tambah maupun pekerjaan kurang terhadap nilai kontrak pada proyek konstruksi Gedung di kota Palu adalah masih di bawah batas maksimal 10% dari nilai kontrak. Saran Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, kepada para pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi diharapkan dapat mengambil manfaat dari penelitian ini sebagai acuan untuk mensinkronisasikan dokumen perencanaan dengan kondisi lapangan serta melakukan penyesuaian antara dokumen kontrak dengan kondisi lapangan secara dini sebelum permasalahan menjadi lebih kompleks pada akhir waktu kontrak.



Bidang Manajemen Konstruksi- 701



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Para peminat atau peneliti untuk dapatnya melanjutkan penelitian dengan mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi pekerjaan tambah-kurang pada pekerjaan konstruksi gedung ataupun pada konstruksi pekerjaan jalan, jembatan, bangunan air, dermaga dan bangunan lainnya.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmad, E, (2014). Kajian profil kontraktor berdasarkan sertifikasi badan usaha (studi kasus kabupaten Sigi), Unpublished Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tadulako. 2. Barrie, Donald S, and Paulson, Boyd C Jr. (1992). Professional construction management, third edition. Singapore: Mc Graw-Hill. 3. Dinariana, Dwi. (2001). Pengaruh Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Tahap Pelaksanaan Terhadap Kinerja Biaya Proyek Konstruksi diLingkungan Bank BNI. Depok: Master Tesis Manajemen Proyek UniversitasIndonesia. 4. Dipohusodo, Istimawan. (1997). Manajemen Proyek dan Konstruksi, Jilid satu & dua. Yogyakarta: Kanisius 5. Ervianto, Wulfram. (2004). Teori-aplikasi Manajemen Proyek Konstruksi. Yogyakarta: Andi 6. FIDIC. 1999. Condition of Contract for Construction For Building andEngineering Work. FIDIC. 7. Fisk, Edward R, and Reynolds Wayne D. (2006). Construction Project Administration, eighth edition. New Jersey: Prentice Hall. 8. Gilberth, Robert D. (1992). Managing construction contract operational control for commercial risk, second edition. John Wiley & Sons.Inc. 9. Husen, Abrar. (2009). Manajemen Proyek Perencanaan, Penjadwalan dan Pengendalian Proyek. Yogyakarta: Andi. 10. Hsieh, Ting-Ya., Lu, Shih-Tong., and Wu, Chao-Hui. (2004). Statistical analysis of causes for change order in metropolitan public work. International Journal of Project Management, 22, p.679-686. 11. Hanna, Award S. (2002). Statiscal-Fuzzy approach to quantify cumulative impact of change order, Journal of Construction Engineering and Management, ASCE.Vol.116. p. 253. 12. Murni, I.M.(2007). Faktor Penyebab, Akibat dan Proses Pengolahan ChangeOrder pada Proyek Rumah Tinggal di Surabaya, Tesis Teknik SipilUniversitas Kristen Petra, Surabaya. 13. Sidney M. Levy. (2002). Project management in construction, fourth edition: New York: Mc Graw-Hill. 14. Soeharto, Iman. (2001). Manajemen proyek (dari konseptual sampai operasional) jilid 2. Jakarta: Erlangga 15. Sapuletta, Willem. (2009). Analisa Penyebab Dan Pengaruh Change Order Pada Proyek Infrastruktur dan Bangunan Gedung. Ambon 16. Schaufelberger, John E. and Holm, Len. (2002). Management of construction project constructor‘s perspective. New Jersey: Prentice Hall. 17. Tamsil, Rastuti. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi berdasarkan persepsi konsultan pengawas. Palu: Univresitas Tadulako



702 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 18. Wahyoni, Dian. (2009). Identifikasi Dan Analisis Penyebab Dan Akibat Contract Change Order Terhadap Biaya Dan Waktu Pada Proyek Konstruksi Di Kota Padang. 19. Widiasanti, Irika and Lenggogeni. (2013). Manajemen Konstruksi. Bandung: Remaja Rosdakarya 20. Wahyuni, Nurhadiyati. (2010). Pengendalian Change Order. Jakarta: Universitas Indonesia 21. Yasin, Nazarkhan. (2013). Kontrak konstruksi di Indonesia edisi kedua. Jakarta: Kompas gramedia 22. Yunita, Venny (2014). Identifikasi faktor-faktor penyebab rework pada pekerjaan konstruksi gedung di Kota Palu. Palu; Universitas Tadulako



Bidang Manajemen Konstruksi- 703



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Halaman ini sengaja dikosongkan



704 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PERSEPSI INSINYUR TEKNIK SIPIL MENGENAI KELAYAKAN INFRASTRUKTUR PROVINSI JAMBI DI KORIDOR SUMATERA Peter F Kaming1, Ferianto Raharjo2, Benedictus Satrio Joko Pitoyo3 1,2



Lecturers, 3 Alumni, University of Atma Jaya Yogyakarta, Department of Civil Engineering, Corresponding address: email: [email protected]



ABSTRACT In order to review the performance of the Province Jambi‘s infrastructure over the last decades the Civil Engineers prepared a study of infrastructure adequacy at the regional level on started in June 2014. The study with 30 civil engineers working in various backgrounds and professions as participants and it released the most recent grades for various infrastructures in Jambi, the Sumatera Corridor, including the regional‘s roads and bridges, transits, railways, clean water systems, energy, tourism, dam and irrigations, and other critical facilities. A cumulative grade of anaverage of ―D‖. A grade D means that the infrastructure in the system or network is in not adequate condition; it shows general signs of deterioration and requires attention. Some elements exhibit significant deficiencies in conditions and functionality, with increasing vulnerability to risk. Raising the grade on the infrastructure will require a wide range of solutions in every category, including technical advances, funding, and regulatory changes in public behavior and support. Thus this study provides a great deal of information on the impact of failing infrastructure, and also focuses on ways the Jambi Province can begin addressing these critical deficiencies. Most importantly, Government of Jambi Province is expected to utilized the Civil Engineers in Jambi Infrastructure Study to explain one of the reasons the economic stimulus bill should be enacted by Local Parliament (DPRD). Key words: Cost, Jambi, Infrastructure, Sumatera Corridor.



1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Amerika Serikat, sejak 1998, ASCE telah mempublikasikan tiga laporan infrastruktur dan sejumlah lapioran status yang dimuktahirkan datanya sehingga berpotensi untuk memberi solusi dan peningkatan infrasturktur pada masa mendatang. Laporan infrastruktur tersebut telah disitasi oleh berbagai tulisan dan studi akademik, dan para pejabat pemerintah dan politisipun memanfaatkan laporan tersebut untuk pengambilan kebijakan.Demikian juga sudah terjadi di Australia sejak 2001. Mereka mulai menggunakan model Amerika Serikat untuk membuat penilaian infrastruktur di Australia [1] [2] [3]. Di Indonesia, studi dengaan topik dirintis sejak 2013 di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.[8] [9](Lihat Kaming &Raharjo 2014a,b). Sekalipun sejak Pemerintah SBY sudah membentuk MP3AI untuk pengembangan daerah tertinggal, kebutuhan infrastruktur tidak diketahui secara pasti bagaimana prakiraan kebutuhan dan pembiayaannya.Maka timbul masalah, misalnya di Papua sudah dibuatkan jalan, namun jarang sekali jalan itu digunakan karena masih sepi dan sumber daya tidak dikelola secara baik di daerah tersebut.



Bidang Manajemen Konstruksi- 705



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 1.2 Tujuan dan Lingkup Studi Tujuan studi ini adalah menilai sampai sejauh mana kelayakan infrastruktur menurut para insinyur teknik sipil, dapat mendukung kegiatan sosial dan ekonomi di Jambi pada Koridor Sumatera. Infrastruktur yang akan dimasukkan dalam laporan ini meliputi: Pelabuhan Udara, Pelabuhan laut.Terminal, Jembatan dan Jalan (Nasional dan Provinsi, Kabupaten), Dam dan Irigasi, Air minum, Buangan air kotor, Buangan sampah, Energi, Obyek Parawisata, Buangan limbah industri Sekolah, dan telekomunikasi.



2. TINJAUAN PUSTAKA Infrastruktur fisik dan sosial adalah dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Lihat Sullivan dan Sheffrin [5] dan Oxford Dictionary [4]. Istilah ini umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa jalan, kereta api, air bersih, bandara, kanal, waduk, tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi, pelabuhan secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi akan tetapi dapat pula mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, distribusi aliran produksibarang dan jasa sebagai contoh bahwa jalan dapat melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat. dalam beberapa pengertian, istilah infrastruktur termasuk pula infrastruktur sosial kebutuhan dasar seperti antara lain termasuk sekolah dan rumah sakit. (lihat American Heritage Dictionary) [6]. Dalam konteks militer, istilah ini dapat pula merujuk kepada bangunan permanen dan instalasi yang diperlukan untuk mendukung operasi dan pemindahan. Lihat Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms[7] . Menurut Erlangga Djumena, dilangsir oleh Didik Purwanto, Rabu, 5 Desember 2012, dari JAKARTA, KOMPAS.com, kualitas infrastruktur Indonesia dinilai terendah seAsia. "Di antara negara-negara se-Asia, kualitas infrastruktur di Indonesia menjadi terendah kedua; hanya lebih baik dari Filipina," kata ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (5/12/2012).Mengutip laporan World Economic Forum mengenai kualitas infrastruktur pada 2012-2013, kualitas infrastruktur Indonesia hanya memperoleh nilai peringkat 92. Nilai itu dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur berupa kondisi jalan, rel kereta api, pelabuhan, bandara, dan listrik. Dari skor tertinggi 7 poin, Indonesia hanya memperoleh nilai 3,4 untuk jalan; 3,2, untuk rel kereta api; pelabuhan (3,6), bandara (4,2), dan listrik (3,9). Rata-rata nilai tersebut hanya 3,7. "Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dengan ranking 98," tambahnya.Di atas Indonesia, kualitas infrastruktur India, China, Thailand, Malaysia, dan Singapura memiliki peringkat yang tinggi.India memiliki peringkat ke-87, China ke-69, Thailand ke-49, Malaysia ke-29, dan Singapura ke-2. Dibanding laporan pada 2011-2012, peringkat kualitas infrastruktur Indonesia cenderung menurun.Sebelumnya, Indonesia masih di peringkat ke-82, sementara Filipina masih di peringkat ke-113, India ke-86, China ke-69, Thailand ke-47, Malaysia ke-23, dan Singapura tetap di peringkat ke-2.Rasio anggaran Infrastruktur terhadap seluruh anggaran belanja untuk Indonesia adalah 2.1 (dalam %).Hal ini berkaitan dengan nilai rendah dari infrastruktur Indonesia.



706 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Untuk koridor Sumatera meliputi, Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, Pelabuhan Tanjung Sauh (Batam), Kerata Api Medan-Kualanamu, Jalan tol MedanKualanamu, Jalan tol Kualanamu-Tebing Tinggi, Jalan tol Medan-Binjai, dan Jalan tol Palembang-Indralaya, Jalan tol Pekanbaru-Kandis-Dumai, Jalan tol BakauheniTerbanggi Besar, Jalan tol Tebing Tinggi-Kisaran-Rantau Prapat, Jalan tol Lubuk Pakam-Tebing Tinggi, dan PLTU Pangkalan Susu.Selanjutnya untuk koridor Sulawesi proyek infrastruktur tersebut yakni Pelabuhan Hub. Internasional Bitung-Makassar New Port, Kereta Api Makassar-Pare-Pare, Jalan Palu-Parigi, Jalan Tol Manado-Bitung, PLTA Karama, dan PLTU Takalar. Sementara untuk koridor Kalimantan proyek infrastruktur dimaksud adalah Pelabuhan Maloy, Pembangunan Jalur Kereta Api Purukcahu-Bangkuang-Mangkatip, Jembatan Pulau Balang, Jalan tol BalikpapanSamarinda, dan PLTU Asam-Asam. Untuk koridor Bali-Nusa Tenggara adalah SPAM Bali Selatan, Pelabuhan Teluk Lembar, dan Dam Kolhua-Raknamo.Sedangkan untuk koridor Papua-Kepulauan Maluku proyek infrastruktur pada koridor tersebut adalah Pelabuhan Sorong di Seget, dan Jalan Enarotali-Tiom.Selain itu, ada 1 proyek nasional yakni proyek Palapa Ring (pembangunan Broadband fiber optik di koridor PapuaMaluku, Sumatera, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara).(Keasdepan Bidang Industri, UKM, Perdagangan, dan Ketenagakerjaan, Deputi Bidang Perekonomian)[10]



3. METODOLOGI Penilaian Infrastruktur Penilaian yang diberikan oleh responden merupakan penilaian secara umum (bukan ditempat kerja responden saja) berdasarkan pengalaman masing – masing responden. Ada 9 infrastruktur yang dinilai oleh responden yaitu pelabuhan udara, pelabuhan laut, terminal, jembatan dan jalan (antar provinsi), jembatan dan jalan (kota dan kabupaten), air minum, sekolah, universitas, telekomunikasi, dan listrik. Tabel berikut menjelaskan skala rating yang digunakan responden dalam memberikan nilai. Tabel 3.1 Skala Rating Kehandalan Infrastruktur [1][3] HURUF GRADASI



% RATING



ISTILAH



A



90-100



Baik Sekali



B



80-89



Baik



C



70-79



Cukup



D



51-69



Buruk



E



< 50



Buruk Sekali



DEFINISI Infrastruktur memenuhi tujuan dan kebutuhan saat ini dan mengantisipasi mendatang. Kebutuhan kecil dibutuhkan agar infrastruktur memenuhi tujuan dan saat ini dan mengantisipasi mendatang. Perubahan besar dibutuhkan agar infrastruktur memenuhi tujuan dan mengantisipasi mendatang. Perubahan mendasar dibutuhkan agar infrastruktur memenuhi tujuan saat ini dan mengantisipasi mendatang. Infrastruktur tidak memadai untuk memenuhi tujuan dan kebutuhan saat ini.



Responden Pada penelitian ini, kuesioner diberikan kepada 30 responden.Kuesioner diberikan kepada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi, perusahaan konsultan dan kontraktor.Kuesioner ini diberikan langsung kepada para responden, tujuannya mempermudah responden dengan dalam mengisi kuesioner jika menemui hal yang kurang jelas dengan menanyakannya langsung kepada peneliti.



Bidang Manajemen Konstruksi- 707



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



4. HASIL ANALISIS DAN DISKUSI 4.1 DataUmum Responden Dalam penelitian ini, responden memilih pekerjaan utama yang sedang dijalani saat ini. Dari 6 klasifikasi pekerjaan, ada 4 pekerjaan utama yang dijalani saat ini. Data klasifikasi pekerjaan responden. Dari total 30 responden terdapat 4 responden dengan pekerjaan sebagai kontraktor, 9 responden dengan pekerjaan sebagai konsultan, 2 respoden bekerja sebagai pengembang, dan 15 responden dengan pekerjaan sebagai pemerintah Dinas Pekerjaan Umum. Pendidikan formal yang pernah dijalani responden pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: responden dengan pendidikan terakhir sampai dengan Sarjana berjumlah 26 orang dan sisanya adalah responden dengan pendidikan terakhir Magister. Pengalaman kerja responden di industri konstruksi dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu ada 1 orang responden dengan pengalaman kerja ≤ 5 tahun, 10 orang responden memiliki pengalaman kerja 5-10 tahun, 12 orang memiliki pengalaman kerja 10-15 tahun, 3 orang responden memiliki pengalaman kerja 15-20 tahun, 4 orang responden memiliki pengalaman kerja ≥ 20 tahun. Bisa dilihat bahwa responden memiliki pengalaman yang cukup banyak di industri konstruksi [10]. 4.2 Klasifikasi Keahlian Pada kuesioner yang diberikan kepada responden terdapat 8 klasifikasi keahlian, yaitu : Ahli MK= 5 , Ahli Transportasi 16, Ahli Struktur 14, Ahli Pariwisata 1, Ahli Bangunan Air 14, Ahli Teknik Penyehatan Tanah, Ahli TIK 4, dan Arsitektur 2. Ahli lainnya yang tidak tercantum dalam kuesioner.Dari jumlah keahlian 30 responden. Total keahlian lebih besar dari jumlah responden yaitu 56, hal ini dikarenakan adanya responden yang memiliki keahlian lebih dari 1. Dengan skala rating diatas, responden memberikan nilai dalam bentuk huruf sesuai dengan keadaan infrastruktur yang tercantum pada kolom definisi. Untuk mendapatkan nilai akhir dari penilaian diatas, digunakan metode mean (rata-rata) dan standar deviasi berdasarkan data yang telah diberikan oleh 30 responden tersebut.Nilai yang diberikan responden pada tiap infrastruktur sesuai dengan petunjuk yang sudah ditulis pada skala kehandalan infrastruktur dari ASCE tahun 2009. Dari tabel diatas, data nilai diolah untuk mencari rata-rata (mean), standar deviasi, dan nilai akhir.Nilai dalam bentuk huruf diperoleh dengan melihat rating dari masing-masing infrastruktur [10]. Tabel 4.1 Analisis Kehandalan Infrastruktur[10] Infrastruktur



Mean



Std. Deviasi



Rating %



Nilai (Huruf)



Pelabuhan Udara Pelabuhan Laut Terminal Jembatan dan Jalan ( antar provinsi) Jembatan dan Jalan (kota dan kabupaten) Air Bersih Sekolah/Universitas Telekomunikasi Listrik



3,40 3,23 3,17 3,47 3,50 3,10 3,20 3,33 3,13



0,675 0,504 0,648 0,571 0,630 0,759 0,663 0,606 0,900



68 64,67 63,33 69,3 70 62 64 66,67 62,67



D D D D C D D D D



708 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



4. 3 Review Infrastruktur Selain memberikan nilai kepada setiap infrastruktur, responden juga memberikan review dari infrastruktur yang diteliti guna memberikan gambaran keadaan infrastruktur tersebut pada saat ini.Responden diminta untuk mengisi 6 point review. Berikut adalah point to point review yang diajukan kepada responden: a) ases infrastruktur dengan menggunakan nilai yang telah dilaporkan b) identifikasi jumlah data yang telah dibelanjakan saat ini dan kebutuhan dana untuk menggantikan infrastruktur yang ada saat ini; c) identifikasi jumlah yang dibutuhkan untuk memutakhirkan infrastruktur demi memenuhi kebutuhan masa mendatang; d) identifikasi persentase kemampuan menghadapi masalah; e) identifikasi kuantitas infrastruktur, jumlah jembatan, panjang jalan, pipa, dst; f) asas akibat bila tidak melakukan apa-apa.‖ Berdasarkan persepsi responden, peneliti kemudian membuat rangkuman setiap infrastruktur yang diteliti guna memberikan laporan mengenai keadaan dan nilai infrastruktur tersebut. Selain berdasarkan pendapat responden, review infrastruktur juga dapat diambil dari berbagai sumber, internet, jurnal, dan surat kabar, sehingga dapat melengkapi rangkuman yang dibuat[9] [10] (lihat Kaming & Raharjo, 2014, Pitoyo 2014). 4.3.1 Pelabuhan Udara Pelabuhan udara Sultan Thaha adalah pelabuhan udara utama di Provinsi Jambi di samping Pelabuhan Udara Muaro Bungo.Pelabuhan Udara Sultan Thaha saat ini berada pada rating 68% dengan nilai ―D‖.Hal ini dinilai dari perubahan yang dibutuhkan infrastruktur tersebut cukup besar, mengingat pelabuhan udara ini cukup sibuk terutama ada jadwal keberangkatan jemaah haji.Pada tahun ini sudah diadakan pengembangan pelabuhan udara ini menjadi pelabuhan udara internasional untuk mempermudah penerbangan ke luar negeri seperti ke Singapura dan Malaysia, juga mempersingkat penerbangan bagi jemaah haji menuju Mekkah. Menurut narasumber, rencana pengembangan pelabuhan udara ini diperkirakan menelan biaya kurang lebih 200 miliar rupiah, menurut tempo.co pada tanggal 26 Oktober 2012 lalu, pengembangan bandara terdiri dari pembangunan terminal keberangkatan domestik 2 lantai dengan luas 1.268 m2 dan memperpanjang landasan pacu dari 2.220 m menjadi 2.400 m. [10] 4.3.2 Pelabuhan Laut Provinsi Jambi memiliki 3 pelabuhan laut yang melayani kebutuhan transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya. Berikut adalah pelabuhan yang ada di Provinsi Jambi seperti tercantum pada website resmi Provinsi Jambi (jambiprov.go.id): 1. Pelabuhan Talang Dukuberjarak 20 km dari Kota Jambi, berada di kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi.Pelabuhan ini dapat disandari kapal berkapasitas hingga 750 dwt (Dead Weights Tonnage).Pelabuhan ini melayani ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Korea dan Jepang. Komoditi yang diekspor antara lain karet, kayu lapis, dan moulding (cetakan). 2. Pelabuhan Kuala Tungkalberada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, berjarak 110 km darikota Jambi. Dermaga ini memiliki kapasitas sandar hingga 800 dwt, setiap harinya melayani transportasi speed boat yang menghubungkan Kuala Tungkal dan



Bidang Manajemen Konstruksi- 709



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3.



Batam, Tanjung Pinang dan kepulauan Riau lainnya. Selain itu, dermaga ini menjadi tempat berlabuhnya para nelayan. Pelabuhan Muara Sabak adalah pelabuhan terbesar di Provinsi Jambi.Terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, berjarak 100 km arah timur dari Kota Jambi. Pelabuhan Muaro Sabak saat ini dapat disandari kapal dengan kapasitas hingga 14.000 GT (Gross Tonnage) (tanjabtimkab.go.id). Dilangsir dari publik.bumn.go.id pada Sambutan Menteri BUMN Pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Terminal CPO di Pelabuhan Muaro Sabak, 30 Januari 2004 silam, pelabuhan yang berhadapan dengan Selat Berhala dan terhubung langsung dengan Selat Malaka ini dikembangkan pada tahun 2004 dan menelan biaya biaya 2,5 triliun rupiah.



Secara keseluruhan, pelabuhan di Provinsi Jambi memiliki rating 64,67 % dengan nilai ―D‖ karena masih membutuhkan pengembangan yang cukup besar untuk menghadapi masalah pada masa depan. Menurut narasumber, ases infrastruktur saat ini masih pada kondisi balance, dan hasil pengembangan pelabuhan sudah memenuhi standar dan efisien, infrastruktur pendukung seperti jembatan dan jalan sudah baik hanya saja perlu pembenahan pada sistem transportasi lautnya. Selain itu, jumlah buruh di pelabuhan di Provinsi Jambi masih tercukupi untuk melayani kegiatan sehari-hari seperti kegiatan ekspor dan transportasi. Kemampuan menghadapi masalah pada pelabuhan ini masih kurang, berada pada 50% saja, hal ini dikarenakan pengaruh pendangkalan sulit ditangani mengingat jarak tempuh yang jauh pada pelabuhan Talang Duku, hal ini akan mengakibatkan pembengkakan biaya pengerukan hingga mencapai Rp. 200. Miliar.. Jumlah pelabuhan di Provinsi Jambi saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan kegiatan ekspor, yang diperlukan untuk kedepannya hanya pengembangan yang lebih besar terutama infrastruktur pendukung seperti jalan dan jembatan, seperti Jembatan Batang Hari II, sebagai akses utama menuju pelabuhan sehingga bisa mempersingkat waktu dan memperpendek jarak tempuh. Perhatian yang cukup besar juga harus diberikan Pemerintah Provinsi Jambi pada pelabuhan–pelabuhan tersebut mengingat peranan pelabuhan yang cukuppenting dalam mendukung perekonomian di Provinsi Jambi. [10] 4.3.3 Terminal Berdasarkan hasil analisis data, terminal di Provinsi Jambi memiliki rating63,33% dengan nilai ―D‖. Berdasarka keterangan yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber, rating yang rendah ini dikarenakan adanya beberapa terminal yang sudah tidak layak fungsinya keadaan yang kotor dan kurang terawat serta kurang tepat sasaran peruntukannya menjadi masalah yang cukup signifikan terutama pada terminal angkutan kota Rawasari dan terminal bis Alam Berajo yang terletak di kota Jambi. Terminal Rawasari diperuntukkan bagi pengguna jasa angkutan kota, namun keadaannya sekarang sudah tidak layak dan keberadaannya juga sudah tidak efektif karena angkutan yang ada sudah jarang menggunakan terminal ini sebagai tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Para pengemudi angkutan kota lebih memilih menaikkan dan menunggu penumpang di bahu jalan. Sedangkan pada terminal bis Alam Berajo sepi kegiatan, hal ini disebabkan karena masyarakat kota Jambi lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi atau menggunakan jasa travel.Pada saat ini, anggaran yang ada hanya ditujukan untuk perbaikan jalan di dalam terminal saja sedangkan yang dibutuhkan adalah revitalisasi terminal dan perencanaan terminal induk guna



710 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 mengembalikan fungsi terminal itu sendiri mengingat saat ini keadaan terminal tidak terpantau oleh dinas terkait [10]. 4.3.4 Jembatan Dan Jalan (Antar Provinsi) Jembatan dan jalan antar provinsi di provinsi Jambi berada pada nilai ―D‖ dengan rating 69,33%. Menurut narasumber, panjang keseluruhan jalan provinsi yang ada di Provinsi Jambi saat ini adalah 1.500 km dengan keadaan jalan lebih dari 80% pada kondisi baik dan 20% dalam tahap pengembangan. Pengembangan infrastruktur ini akan terus dilakukan mengingat jalan dan jembatan merupakan infrastruktur yang memegang peranan penting untuk menunjang kegiatan dan perekonomian masyarakat. Untuk saat ini panjang jalan dan jumlah jembatan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat namun tetap membutuhkan perubahan dan perawatan yang cukup signifikan untuk mengantisipasi masalah mendatang. Adapun kemampuan infrastruktur dalam menghadapi masalah berkisar pada angka 80%. Jumlah dana yang dibelanjakan untuk menggantikan dan memutakhirkan infrastruktur jembatan dan jalan yang sudah ada yaitu Rp. 300.000.000,- yang diambil dari APBD dan Rp. 680.000.000,- dari APBN [10]. 4.3.5 Jembatan dan Jalan (Kota dan Kabupaten) Jembatan dan jalan di kota serta kabupaten di Provinsi Jambi masih berada dalam kondisi cukup dengan persentase 90% untuk jalan di dalam kota dan 80% untuk jalan di kabupaten dengan total jalan, menurut Data dari Depertemen Perhubungan Provinsi Jambi, sepanjang 7,139 km. Jembatan dan jalan kota dan kabupaten memiliki nilai ―C‖ dan rating 70% dimana perubahan besar dibutuhkan untuk menghadapi masalah mendatang. Menurut narasumber, perubahan yang dimaksud termasuk dengan kebutuhan akan adanya pelebaran jalan yang mencapai 70%, serta meningkatkan kemampuan menghadapi masalah yang pada saat ini masih berada pada angka 60%. Sampai saat ini, Pemerintah Provinsi sudah mengeluarkan dana ± Rp. 100 Miliar /tahun untuk jalan di dalam kota dan kabupaten. Sedangkan untuk memutakhirkan infrastruktur, membutuhkan dana± Rp. 50 Miliar/tahun.Kuantitas infrastruktur jalan dan jembatan kota dan kabupaten saat ini sudah cukup dan dalam kondisi yang bisa dikatakan baik namun tetap harus diadakan pengawasan dan pengecekan dengan menggunakan database yang ada. Jikalau hal ini dilewatkan oleh pemerintah setempat, maka infrastruktur tersebut akan menjadi rusak dan menghambat perekonomian masyarakat [10]. 4.3.6 Air Bersih Ketersediaan air bersih di Provinsi Jambi masih berada dalam kategori cukup, hal ini dilihat dari dinas terkait yang memprioritaskan kondisi jaringan maupun supply air bersih yang masih berada dalam jangkauan pelayanannya. Namun pengembangan jaringan masih harus dilakukan karena masih terdapat lokasi yang belum memperoleh layanan air bersih yang mencapai angka 35% untuk kota Jambi. Pengembangan dan perawatan jaringan air bersih membutuhkan dana yang cukup besar diperkirakan melebihi anggaran APBD. Anggaran yang ada saat ini hanya dipergunakan untuk melakukan perawatan jaringan berkala, sehingga diperlukan dana tambahan untuk membuka jaringan distribusi batu.Selain membuka jaringan distribusi baru, dinas penyedia air bersih juga harus meningkatkan pelayanannya, terutama pada penanggulangan kehilangan air karena masih banyak pelanggan yang mengeluhkan lambannya dinas terkait dalam menangani kehilangan air mengingat mayoritas masyarakat menggunakan layanan air bersih. hal ini harus memperoleh perhatian penting dari dinas terkait karena ketersediaan dan kelancaran distribusi air bersih



Bidang Manajemen Konstruksi- 711



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean memegang peranan penting dalam menunjang kebutuhan sehari-hari, baik itu kebutuhan rumah tangga maupun industri. Dilihat dari kondisi diatas, dengan besarnya perubahan, pengambangan yang diperlukan, dan cepat tanggap dalam penanggulangan kehilangan air, serta banyaknya dana yang harus dikeluarkan, hasil analisis infrastruktur air bersih saat ini memperoleh rating 62% dengan nilai ―D‖ [10]. 4.3.7 Sekolah/Universitas Sekolah dan universitas di Jambi memperoleh nilai ―D‖ dengan rating 64%. Dari keterangan narasumber, untuk sekolah, terutama SD, keadaan bangunannya tidak begitu baik, sebagian besar gedung sekolah SD masih merupakan gedung lama bahkan sebagian sudah tidak layak pakai dan membutuhkan renovasi yang cukup besar untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Sedangkan gedung SMP, SMA, dan SMK, masih dalam kondisi baik, bahkan beberapa sekolah memiliki gedung baru. Pengembangan sekolah dilakukan atas kerja sama antara DIKNAS dan komite sekolah itu sendiri. Keadaan gedung di Universitas di Jambi juga dalam kondisi yang baik, namun tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan yang lebih besar mengingat banyakya pelajar dari berbagai kabupaten di Provinsi Jambi melanjutkan jenjang pendidikan yang baru, dan juga penambahan gedung baru sebagai gedung program studi baru. Demikian juga kondisi infrastruktur pendukung pada setiap universitas, seperti jalan, lahan parkir, toilet, jaringan air bersih, dan jaringan listrik masih dalam kondisi yang baik [10]. 4.3.8 Telekomunikasi Kondisi jaringan telekomunikasi di Provinsi Jambi masih dalam kategori cukup, mengingat berbagai provider memiliki sinyal yang cukup kuat di dalam kota, namun masih harus diadakan pengembangan yang cukup besar karena masyarakat di daerah yang cukup jauh dari kota (daerah pedalaman) masih kesulitan mendapatkan jaringan telekomunikasi. Penambahan BTS sangat diperlukan untuk menunjang kelancaran komunikasi, termasuk penambahan jaringan internet. Pada saat ini, infrastruktur telekomunikasi masih berada di nilai ―D‖ dengan rating 66,67% [10]. 4.3.9 Listrik Kelistrikan di Provinsi Jambi memperoleh nilai ―D‖ dengan rating 62,67%, hal ini dipengaruhi oleh masih adanya pemadaman bergilir 2 kali seminggu dengan durasi yang cukup lama, mencapai 6 jam. Hal ini sangat mengganggu mengingat pemadaman listrik dapat menggangu kegiatan masyarakat.Jumlah beban puncak di Provinsi Jambi saat ini sebesar 231 MW dan dipasok dari jaringan Sumbagselteng melalui saluran transmisi 150 KV dengan 5 GI yaitu GI Aur Duri, GI Payo Selincah, GI Muaro Bungo, GI Muaro Bulian, dan GI Bangko (RUPTL PLN 2013-2022). Untuk menghadapi masalah yang akan datang, perlu adanya pengambangan lebih lanjut, yaitu dengan pembangunan sarana pembangkit, transmisi dan distribusi.Menurut data dari RUPTL PLN 2013-2022, kebutuhan pembangkit listrik di Provinsi Jambi sampai tahun 2022 direncanakan akan dipenuhi dengan mengembangkan pembangkit di Jambi dan di daerah lain pada sistem interkoneksi Sematera. Adapun pembangkit yang akan dan gardu induk (GI), sampai dengan tahun 2022, memerlukan pengembangan GI 150kV, extension GI existing sebesar 1.100 MVA, dan GITET sebesar 2.500 MVA. Selain itu, pengembangan juga dilakukan pada jaringan distribusi yaitu dengan pembangunan JTM 1.053 kms, JTR sekitar 1.328 kms, dan penambahan kapasitas travo distribusi sekitar 413 MVA, hal ini sesuai dengan proyeksi kebutuhan tenaga listrik yang dibutuhkan setelah penambahan pelanggan sebanyak 309.000 sambungan [10].



712 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



4.4 Analisis Akhir Infrastruktur Dengan diperolehnya mean dan rating dari setiap infrastruktur yang diteliti, dapat dihitung nilai akhir infrastruktur di Provinsi Jambi. Nilai akhir ini merupakan nilai total dari semua infrastruktur yang diteliti.Nilai mean akhir dari 9 infrastruktur infrastruktur yang sudah dianalisis keseluruhan infrastrukturnya, yaitu 65,63%. Berdasarkan Skala Rating Kehandalan Infrastruktur, dengan 65,63%, maka ratinginfrastruktur di Provinsi Jambi adalah ―D‖[9][10].



5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan data dan review yang diperoleh dari 30 responden yang bergerak pada bidang teknik sipil ( Pemerintah DPU, Konsultan, Pengembang, Kontraktor), rating keseluruhan infrastruktur yang diteliti di Provinsi Jambi adalah 65,63% dan memperoleh nilai ―D‖ untuk nilai akhirnya. Berikut ini disimpulkan hasil dari analisis tiap infrastruktur yang ada di Provinsi Jambi: 1. Infrastruktur Pelabuhan Udara berada pada rating 68% dan memperoleh nilai ―D‖. Saat ini Pelabuhan Udara Sultan Thaha sedang dikembangkan menjadi pelabuhan udara internasional dengan adanya penambahan terminal keberangkatan dan kedatangan dan pengembangan landasan pacu. 2. Provinsi Jambi memiliki 3 Pelabuhan Laut yaitu Pelabuhan Talang Duku, Pelabuhan Kuala Tungkal, dan Pelabuhan Muaro Sabak yang secara keseluruhan berada pada rating64,67% dan memperoleh nilai ―D‖. Belum ada pengembangan lebih lanjut pada Pelabuhan Talang Duku dan Pelabuhan Kuala Tungkal. Pengembangan baru ada pada Pelabuhan Muaro Sabak, yaitu penambahan Terminal CPO pada tahun 2004 silam. Pembangunan infrastruktur penunjang diperlukan untuk mempermudah akses dan mempersingkat menuju pelabuhan seperti jalan dan jembatan. 3. Terminal di Provinsi Jambi berada pada rating 63,33% dengan nilai ―D‖. Hal ini dikarenakan terminal sudah tidak layak fungsi, tidak terawat dan sudah tidak tepat peruntukannya. Terminal Rawasari contohnya, yang memiliki fungsi menaikkan penumpang angkutan kota kini tidak lagi ramai penumpang karena kebanyakan supir angkutan kota yang menaikkan atau menunggu penumpang dipinggir jalan. Sedangkan pada terminal bis Alam Berajo sepi penumpang karena masyarakat memilih menggunakan jasa travel atau kendaraan pribadi. 4. Jembatan dan jalan antar provinsi memiliki nilai rating 69,33% dengan nilai ―D‖. Panjang keseluruhan jalan provinsi yang ada di Provinsi Jambi saat ini adalah 1.500 km dengan keadaan jalan lebih dari 80% pada kondisi baik dan 20% dalam tahap pengembangan. Jumlah dana yang dibelanjakan untuk menggantikan dan memutakhirkan infrastruktur jembatan dan jalan yang sudah ada yaitu Rp. 300.000.000,- yang diambil dari APBD dan Rp. 680.000.000,- dari APBN. 5. Infrastruktur jembatan dan jalan kota dan kabupaten memperoleh rating 70% dengan nilai ―C‖. Panjang keseluruhan jalan kota dan kabupaten mencapai 7.139 km dengan keadaan yang baik, hanya saja membutuhkan pelabaran serta pengecekan berkala menggunakan database yang ada mengingat peranan jalan sangat penting demi menunjang perekonomian masyarakat.



Bidang Manajemen Konstruksi- 713



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 6.



7.



8.



9.



Infrastruktur penyedia air bersih memperoleh rating 62% dengan nilai ―D‖. Diperlukan pengembangan jaringan air bersih baru mengingat masih ada 35% masyarakat yang belum memperoleh air bersih. perhatian khusus juga diberikan pada layanan penanggulangan kehilangan air karena masyarakat mengeluhkan lambannya kinerja dinas terkait dalam menangani kehilangan air. Sekolah dan universitas di Provinsi Jambi memiliki rating 64% dengan nilai ―D‖. Untuk infrastruktur sekolah, rating ini diperoleh dikarenakan banyak bangunan lama yang masih berfungsi dan kurangnya kesadaran DIKNAS dan Komite sekolah untuk melakukan perbaikan dan pengembangan sekolah. Sedangkan infrastruktur universitas masih dalam kondisi baik karena kondisi gedung masih baru dan selalu diperbaiki, selain itu, mahasiswa yang menjalani studi masih dalam lingkup Provinsi Jambi saja. Infrastruktur telekomunikasi memperoleh rating 66,67% dengan nilai ―D‖ mengingat jangkauan sinyal provider yang tidak sampai ke daerah pedalaman. Diperlukan penambahan jaringan komunikasi untuk menjangkau setiap daerah di Provinsi Jambi sehingga setiap masyarakat dapat menikmati layanan komunikasi yang cepat dan lancar. Jaringan listrik di Provinsi Jambi berada terhubung dengan jaringan listrik Sumbagselteng yang melewati saluran transmisi 150 KV. Di Provinsi Jambi masih diberlakukan kebijakan pemadaman listrik berkala karena kurangnya listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seluruhnya. Pada RUPTL PLN tahun 20132022 akan diadakan penambahan infrastruktur listrik untuk menambah daya.



5.2 Saran Setelah melakukan penelitian, ada beberapa hal yang disarankan untuk dipertimbangkan sebagai masukan untuk masa mendatang. 1. Pemerintah Provinsi Jambi dapat menjadikan studi ini sebagai salah satu acuan untuk mengontrol keadaan dan kelayakan serta mengembangkan infrastruktur di Provinsi Jambi. 2. Agar nilai infrastruktur lebih lengkap dan pengembangannya lebih merata, penambahan infrastruktur yang belum ada dalam penelitian ini sangat diperlukan terutama infrastruktur yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat provinsi Jambi. 3. Penilaian insinyur sipil sebagai nara sumber bagi penyediaan infrastruktur sangat penting untuk mengontrol kondisi infrastruktur sehingga memperoleh informasi akurat dan dapat digunakan untuk mengembangkan infrastruktur lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA 1. Australia Engineers(2010) Repord Card 2010 Infrastructure Australia, TRANSPORT ENERGY WATER TELECOMUNICATIONS, www.engineersaustralia.org.au/irc 2. ASCE, (2012) INFRASTRUCTURE REPORT CARD 2012 for the Colorado, Springs Area, Colorado. 3. ASCE, (2009) Report Card for America‘s Infrastructure,ASCE. 4. Infrastructure, Online Compact Oxford English Dictionary, http://www.askoxford.com/conciseod/infrastructure. 5. Sulivan, A&: Sheffrin,S.M. ( 2003 ).Economics:Principles in Action. Upper Saddle River, New Jersey 07458 Pearson Prentice Hall. P. 474.ISBN 0-13-063085-3



714 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 6. Infrastructure, American Heritage Dictionary of The English Languange,http://eduation.yahoo.com/reference/dictionary/entry/infrastructure. 7. Infrastructure, JP1-02, Department of Defense Dictionary of Military andAsociated terms, p. 260,12 April 2001. //www.dtic.mil/cgibin/GetRDoc?AD=ADA439918&Location=U2&Doc=.pdf. 8. Kaming,P.F. & Raharjo, F. (2014) Perception of Civil Engineers Regarding Adequacy of Infrastructure in Yogyakarta Speical Province. E Journal, Procedia, Elsevier. 9. Kaming,P.F. & Raharjo, F. (2014) Persepsi Insinyur Teknik Sipil dalam Menilai Kelayakan Infrastruktur di Koridor Sumatera, Laporan Penelitian, UAJY. 10. Pitoyo, B.S.J. (2014) Persepsi Insinyur Teknik Sipil untuk Menilai Kelayakan Infrastruktur Provinsi Jambi, Tugas Akhir Sarjana,. Teknik Sipil UAJY.



Bidang Manajemen Konstruksi- 715



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



716 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA STRATEGI PERSAINGAN PERNIAGAAN GAS BUMI (STUDI KASUS PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) TBK. SBU DISTRIBUSI WILAYAH II) Wahyu Wicaksono1 dan I Putu Artama Wiguna2 1



Wahyu Wicaksono, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected] I Putu Artama Wiguna, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected]



2



ABSTRAK Berdasarkan PGN AnnualReport 2013-2014 yang dirilis ke publik, pendapatan perusahaan pada tahun 2013 hanya sebesar 87,82 % dari target awal yang ditetapkan. Ini disebabkan pasokan gas lebih rendah dari target awal, serta berkurangnya konsumsi gas di PGN SBU II seiring munculnya trader dan pengalihan dari gas ke energi lain. Untuk menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat, penelitian ini mengusulkan suatu metode perencanaan strategis bagi PGN SBU II. Tujuan penelitian adalah mengetahui posisi PGN SBU II dalam industri perniagaan gas bumi di Indonesia serta menentukan strategi terbaik yang dapat diaplikasikan untuk memenangkan persaingan. Tahap input perencanaan strategis dilakukan dengan mengumpulkan data faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan melalui wawancara kepada para decisionmaker PGN SBU II. Penyebaran kuisioner dilakukan untuk menentukan rating dan pembobotan faktor-faktor tersebut. Pada pencocokan menggunakan matrik InternalExternal (IE), PGN SBU II saat ini berada dalam posisi ―menjaga dan mempertahankan‖. Dari matrik Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats (SWOT) didapatkan 4 alternatif strategi utama sebagai masukan pada tahap analisa keputusan memilih strategi terbaik menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Alternatif strategi yang mendapatkan nilai daya tarik tertinggi (2,876) pada QSPM adalah ―semakin mematangkan strategi pengembangan jaringan pipa dan penetrasi pasar yaitu dengan membuat basis marketingresearch yang kuat, sehingga merupakan strategi paling menarik bagi PGN SBU II saat ini. Kata kunci: PGN SBU II, gas bumi, strategi persaingan, Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats (SWOT), Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)



1. PENDAHULUAN Sumber daya minyak bumi yang semakin menipis, mendorong diversifikasi energi serta mendukung penggunaan energi yang lebih bersih seperti gas bumi. Diversifikasi BBM ke bahan bakar gas juga bertujuan meminimalkan penyalahgunaan BBM bersubsidi dan efisiensi anggaran pemerintah serta mengurangi beban biaya bahan bakar pemilik kendaraan. Pada intinya, konversi BBM ke bahan bakar gas dilakukan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, baik jangka pendek maupun jangka panjang [19]. PT PGN (Persero) Tbk sebagai BUMN milik Indonesia yang bertugas mendistribusikan dan meniagakan gas bumi, perlu melihat potensi ini sebagai kesempatan untuk menjadi pemimpin pasar dalam industri tersebut. Disamping itu, sebagai salah satu badan usaha negara yang menjadi pilar perekonomian bangsa maka PGN memiliki kepentingan untuk meningkatkan profit usahanya. Dalam perkembangannya, PGN kini bukan lagi pemain tunggal di bidang distribusi dan perniagaan gas bumi. Kebijakan pemerintah terkait dengan pemanfaatan gas bumi dan peningkatan kebutuhan gas bumi dalam negeri, memunculkan perusahaan-perusahaan baru yang bersaing dalam industri gas bumi di Indonesia. Berdasarkan PGN AnnualReport 2013-2014 [16] yang dirilis kepada publik, pendapatan perusahaan pada tahun 2013 hanya sebesar 87,82 % dari target awal yang ditetapkan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 717



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Hal ini disebabkan pasokan gas yang diperoleh lebih rendah dari target awal, serta berkurangnya konsumsi gas di PGN SBU II seiring munculnya trader dan pengalihan dari gas ke energi lain. Meskipun laba operasi perusahaan masih sebesar 111,38 % dari target awal, EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization) perusahaan pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2012. Maka untuk menghadapi dinamika persaingan bisnis yang semakin kompetitif di bidang distribusi dan perniagaan gas bumi, PGN SBU II perlu menyiapkan strategi bersaing yang tepat dan efektif untuk memenangkan persaingan bisnis di industri distribusi dan perniagaan gas bumi.



2. TINJAUAN PUSTAKA Pipeline (jaringan pipa) adalah metode paling aman dan paling efisien untuk menyalurkan gas bumi dalam jumlah yang besar dalam suatu waktu. Sebagai perusahaan yang kekuatan utamanya adalah infrastruktur jaringan pipa gas [24], PGN SBU II perlu untuk merumuskan manajemen strategi yang tepat dan sesuai dengan kondisi terkini perusahaan sebagai bagian dari manajemen konstruksi jaringan pipa gas dan elemen pendukungnya. Lingkungan usaha akanterus mengalami perubahan. Perubahan ini membuat pengelolaan usaha menjadi semakin kompleks. Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan tentunya tidak akan mampu menghasilkan kinerja yang handal dan berakibat memudarnya daya saing dan reputasi perusahaan tersebut. PGN sebagai perusahaan BUMN yang sebelum terbitnya UU Migas Tahun 2001 adalah pemain tunggal dalam usaha distribusi gas bumi, kini menghadapi kondisi persaingan bebas dengan ancaman pesaing yang menggerus penguasaan pasar yang telah lama dikuasai.Maka diperlukan strategi yang tepat untuk mempertahankan keunggulan bersaing perusahaan [10]. Dalam penelitian-penelitian terdahulu mengenai manajemen strategi pada PGN, metode analisis yang digunakan adalah analisa kualitatif.Dalam penelitian ini diusulkan penentuan strategi terbaik untuk PGN SBU II dengan menggunakan metode analisa kuantitatif.Diharapkan analisa kuantitatif dengan menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif strategi terbaik yang dapat dilaksanakan oleh PGN SBU II. Perencanaan strategis untuk PGN SBU II dilakukan dengan memadukan faktor-faktor internal dengan faktor-faktor eksternal perusahaan. Setelah itu membandingkannya dengan Matrik Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats (SWOT) dan Matrik InternalExternal (IE). Kemudian melakukan analisa manajemen strategi dengan menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), untuk memilih strategi terbaik yang dapat dilakukan oleh PGN SBU II sesuai dengan kondisi terkini.



3. METODOLOGI PENELITIAN Secara skematis, tahapan penelitian dilakukan dengan bagan alir penelitian sebagai berikut :



718 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 LATAR BELAKANG



PERUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN



STUDI LITERATUR DAN IDENTIFIKASI VARIABEL



PENGUMPULAN DATA PRIMER DAN SEKUNDER



TAHAP 1 INPUT



INTERNAL FACTOR EVALUATION



EXTERNAL FACTOR EVALUATION



TAHAP 2 PENCOCOKAN



SWOT MATRIX



IE MATRIX



TAHAP 3 KEPUTUSAN



QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX



BEST STRATEGY



KESIMPULAN DAN SARAN



Gambar 1: Bagan Alir Penelitian



4. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Pengumpulan Data Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti. Data ini diperoleh melalui wawancara, diskusi dan kuisioner. Sedangkan data sekunder antara lain disajikan dalam bentuk data-data, tabel-tabel dan diagram-diagram mengenai topik penelitian. Penetapan Narasumber Narasumber yang dinilai berkompeten dalam penelitian ini adalah pihak yang berkaitan langsung dalam penyusunan strategi perusahaan yang selama ini dilakukan oleh PGN SBU II.



Bidang Manajemen Konstruksi- 719



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1 :Profil Responden No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Jabatan Kepala Departemen Integritas Jaringan dan K3PL Kepala Departemen Penjualan dan Layanan Kepala Departemen Operasi dan Pemeliharaan Kepala Departemen Keuangan dan SDM Kepala Dinas Integritas Jaringan Executive Officer Pengendalian Program Infrastruktur ExecutiveOfficer Pengendalian dan Monitoring Aset SeniorSpecialistOfficer Pengendalian Kinerja Bidang teknik



Usia (Tahun )



Pendidika n



Masa Kerja (Tahun)



40 - 50



Sarjana



15 - 20



40 - 50



Diploma



> 20



40 - 50



Sarjana



10 - 15



40 - 50 40 - 50



Sarjana Sarjana



> 20 > 20



40 - 50



Diploma



15 - 20



40 - 50



Diploma



> 20



40 - 50



Sarjana



15 - 20



Tahap Input Pada tahap input dibutuhkan informasi-informasi dan masukan-masukan untuk melakukan penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kondisi perusahaan, serta membutuhkan intuitive-judgement untuk pembobotan secara secara subyektif dalam proses penentuan tingkat kepentingan antar faktornya. Metode yang dilakukan dalam proses identifikasi faktor internal dan eksternal adalah dengan caramemunculkan variabel-variabel internal dan eksternal PGN yang berasal dari penelitian terdahulu. Selanjutnya melakukan wawancara semiterstruktur (semistructureinterview) dengan pihak-pihak yang kompeten untuk memutuskan faktorfaktor eksternal dan internal apa saja yang mempengaruhi PGN SBU II. Setelah diperoleh faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap PGN SBU II, penentuan peringkat dan bobot dilakukan untuk mengetahui seberapa penting suatu variabel bagi perusahaan menurut masing-masing responden. Penilaian untuk menentukan peringkat ini dilakukan dengan menggunakan metode kuisioner. Setelah mengetahui nilai peringkat dan bobot, langkah selanjutnya adalah perhitungan skor (bobot x peringkat) pada masing-masing IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation) untuk mengetahui posisi strategi PGN SBU II dalam kuadran strategi Matrik InternalExternal (IE Matrix) pada tahap pencocokan.



720 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2 : Matrik IFE Untuk PGN SBU II Faktor Strategis Internal



Bobot Peringkat



Kekuatan Reputasi dan pengalaman perusahaan yang cukup 1. 0,058 terkenal Ketersediaan angkatan kerja di bidang gas bumi 2. 0,044 mencukupi Modal yang kuat karena telah bertransformasi 3. 0,053 menjadi perusahaan terbuka 4. Kualitas sesuai dengan keinginan konsumen 0,049 Memiliki jaringan distribusi yang luas dan saling 5. 0,057 terkoneksi 6. Networking perusahaan yang luas 0,050 Pengembangan SDM yang baik dan strategis 7. 0,050 (pelatihan, studi banding) 8. Budaya perusahaan yang baik (ProCISE) 0,052 9. Standar K3 dan wawasan lingkungan yang baik 0,047 Ketersediaan peralatan dan fasilitas yang 10. 0,047 memadai Pembinaan hubungan baik antara perusahaan dan 11. 0,046 masyarakat Strategi ―Beyond Pipeline‖ dengan variasi produk 12. 0,044 seperti CNG dan LNG Kelemahan Harga pokok gas yang lebih tinggi dibandingkan 1. 0,046 pesaing Manuver perusahaan dibatasi aturan Good 2. Corporate Goverment, fungsi pelayanan BUMN 0,049 dan efisiensi 3. Umur sebagian besar jaringan pipa gas sudah tua 0,045 Fungsi marketing research (Research and 4. 0,043 Development) belum efektif Kualitas standar pelayanan terhadap konsumen 5. 0,044 belum maksimal 6. Rantai birokrasi masih panjang dan lama 0,042 Corporate Social Responsibility belum stabil dan 7. 0,043 berkelanjutan Komunikasi manajemen terhadap karyawan 8. 0,045 belum berjalan dengan baik Kualitas antara SDM senior dan junior yang 9. 0,044 belum merata 1,000 TOTAL



Bobot x Peringkat



4



0,232



3



0,132



4



0,212



3



0,147



4



0,228



3



0,150



3



0,150



4 4



0,208 0,188



4



0,188



2



0,092



3



0,132



2



0,092



2



0,098



2



0,090



2



0,086



4



0,176



2



0,084



2



0,086



2



0,090



2



0,088 2,949



Dengan total skor pembobotan faktor internal sebesar 2,949 (lebih besar dari 2,5) menunjukkan bahwa kekuatan PGN SBU II lebih dominan daripada kelemahan yang dimilikinya.



Bidang Manajemen Konstruksi- 721



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Tabel 3 : Matrik EFE Untuk PGN SBU II Faktor Strategis Eksternal



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Bobot Peringkat



Peluang Jumlah industri di Indonesia yang besar (pangsa 0,069 pasar cukup besar) Perkembangan perekonomian stabil 0,063 Daya beli konsumen yang meningkat 0,062 Pasokan bahan baku (gas bumi) yang stabil 0,066 Keilmuan dan teknologi di bidang gas bumi yang 0,047 semakin berkembang Gas bumi semakin mudah didistribusikan 0,062 Pola perilaku masyarakat untuk menggunakan 0,055 energi alternatif (gas bumi) Ancaman Tingkat persaingan dengan kompetitor (trader) 0,065 lain yang semakin ketat Suplai gas tidak terserap secara maksimal 0,060 Ketersediaan jaringan pipa belum menjangkau 0,063 lokasi strategis Peraturan Pemerintah yang kurang mendukung 0,059 strategi pengembangan jaringan pipa gas Ketergantungan pada pemasok bahan baku masih 0,067 cukup tinggi Manajemen storage gas kurang maksimal 0,051 Pengaruh penggunaan gas bumi terhadap 0,049 lingkungan Struktur organisasi belum efektif 0,053 Sistem pengalokasian dana pada setiap unit dan 0,052 pengawasannya Kebijakan Pemerintah belum mendukung strategi perusahaan (alokasi gas kepada daerah penghasil 0,057 gas) 1,000 TOTAL



Bobot x Peringkat



4



0,276



3 3 3



0,189 0,186 0,198



4



0,188



4



0,248



4



0,220



1



0,065



2



0,120



3



0,189



2



0,118



1



0,067



2



0,102



3



0,147



2



0,106



3



0,156



2



0,114 2,689



Dengan total skor pembobotan faktor eksternal sebesar 2,689 (lebih besar dari 2,5) menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan PGN SBU II dalam merespon peluang dan ancaman sudah cukup optimal. Akan tetapi dengan nilai pembobotan yang mendekati 2,5 maka diperlukan strategi yang lebih baik lagi untuk merespon peluang dan ancaman di masa mendatang. Tahap Pencocokan Skor pembobotan faktor internal dan eksternal dari data input, digunakan sebagai data awal pada tahap pencocokan dengan menggunakan metode Matriks Faktor Internal Eksternal dan Matriks SWOT (Strength-Weak-Opportunity-Threat).



722 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Matrik IE (Internal External) Untuk menentukan posisi PGN SBU II dalam bisnis perniagaan gas bumi di Indonesia, digunakan matrik Internal-External (IE). 1. Total nilai IFE PGN SBU II sebesar 2,949 2. Total nilai EFE PGN SBU II sebesar 2,689 Kedua nilai evaluasi faktor ini diplot pada kuadran matrik IE untuk mengetahui tipe strategi yang tepat untuk dilaksanakan perusahaan secara garis besar. Tabel 4 : Matriks IE Total Nilai EFE Yang Diberi Bobot



Total Nilai IFE Yang Diberi Bobot Kuat 3-4



Sedang 2 – 2,99



Lemah 1 – 1,99



Tinggi 3-4



I Tumbuh dan kembangkan



II Tumbuh dan kembangkan



III Jaga dan pertahankan



Sedang 2 – 2,99



IV Tumbuh dan kembangkan



V Jaga dan pertahankan



VI Panen atau divestasi



Rendah 1 – 1,99



VII Jaga dan pertahankan



VIII Panen atau divestasi



IX Panen atau divestasi



Hasil pencocokan menggunakan matrik IE menunjukkan bahwa PGN SBU II saat ini berada di kuadran V (lima), jadi strategi umum yang tepat untuk dilakukan oleh PGN SBU II adalah menjaga dan mempertahankan. Berdasarkan PGN Annual Report 2013-2014 [16], EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization) perusahaan pada tahun 2013 adalah sebesar USD 1.120.741.534. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan EBITDA pada tahun 2012 sebesar USD 1.209.088.023.Dari indikasi tersebut, maka PGN perlu untuk melakukan strategi dalam rangka menjaga dan mempertahankan kinerja perusahaan agar tetap menjadi market leader dalam persaingan industri gas bumi. PGN telah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pesaingnya di bidang perniagaan gas bumi, antara lain : 1. Luasnya jaringan pipa yang dimiliki perusahaan saat ini, yang telah terpasang pada daerah sentra-sentra industri memiliki entrybarier yang tinggi[24]. Keunggulan ini perlu untuk terus dipertahankan dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur jaringan pipa yang berkesinambungan dan menjangkau lokasi-lokasi strategis. 2. Para pegawai yang sudah berpengalaman dalam distribusi gas[9]. PGN perlu mempertahankankeunggulan kompetensi SDM-nya dibidang distribusi dan teknik utilisasi gas. Hal ini diharapkan akan menjadi kompetensi atau kapabilitas yang khas bagi perusahaan sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing perusahaan dimasa mendatang.



Bidang Manajemen Konstruksi- 723



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 3. Memaksimalkan penggunaan teknologi terkini untuk memberikan nilai pelayanan lebih dalam rangka menghadapi persaingan dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan[20]. Selain faktor-faktor di atas, terdapat beberapa faktor yang perlu untuk diperhatikan dalam rangka menjaga dan mempertahankan keunggulan bersaing PGN khususnya pada PGN SBU Distribusi Wilayah II, antara lain : a. PGN SBU II belum memiliki basis marketingresearch yang baik. Keputusan investasi jaringan pipa selama ini hanya berdasarkan pertimbangan untung rugi (sumber : wawancara narasumber). b. PGN SBU II beresiko kehilangan momentum dan potensi pendapatan, karena dibatasi oleh birokrasi yang panjang. Fleksibilitas perusahaan tergolong rendah jika dibandingkan dengan pesaing (sumber : wawancara narasumber). c. Pelaksanaan dan pengawasan pembangunan jaringan pipa gas masih perlu diperbaiki. Pada masa operasional dan pemeliharaan jaringan pipa, banyak terdapat permasalahan teknis pada saat pembangunan (sumber : observasi lapangan). A. Matriks SWOT (Strength-Weak-Opportunity-Threat) Setelah diketahui tipe strategi yang tepat untuk diaplikasikan oleh PGN SBU II, yaitu menjaga dan mempertahankan, maka selanjutnya perlu dilakukan analisa menggunakan Matriks SWOT untuk menemukan alternatif-alternatif strategi yang dapat dilaksanakan sesuai dengan faktor-faktor tersebut. Untuk merumuskan strategi yang tepat sasaran dan memungkinkan untuk dilaksanakan, maka dilakukan focus group discussion (FGD) dengan para narasumber yang telah berpengalaman dalam penentuan strategi perniagaan gas bumi. Dari matrik SWOT di atas, didapatkan beberapa alternatif strategi yang dapat diimplementasikan pada PGN SBU II yaitu : A. Strategi SO (Strength – Opportunity) 1. Penetrasi pasar secara berkesinambungan dengan membangun jaringan pipa baru di lokasi strategis yang telah dianalisa kelayakannya.(S3, S10, O1, O2, 07) 2. Memperkuat branding PGN melalui inovasi dan aplikasi teknologi terkini. (S2, S3, O5, 07) B. Strategi WO (Weakness – Opportunity) 1. Meningkatkan daya saing SDM melalui penguasaan teknologi baru. (W9, O5, O6) 2. Menyederhanakan birokrasi dan memudahkan pemeliharaan jaringan dengan terus mengembangkan sistem informasi. (W3, W6, O3, O5) C. Strategi ST (Strength – Threat) 1. Menjaga kehandalan jaringan dan mempertahankan kepercayaan konsumen dengan cara meningkatkan kualitas pengawasan pekerjaan jaringan pipa dan fasilitasnya. (S1, S7, S9, T1) 2. Mengamankan pasokan gas bumi dengan menambah kepemilikan sumber gas. (S3, S12, T5, T6) D. Strategi WO (Weakness – Opportunity)



724 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 1. Semakin mematangkan strategi pengembangan jaringan pipa dan penetrasi pasar, yaitu dengan membuat basis marketing research yang kuat. (W4, T2, T3) 2. Meningkatkan kompetensi SDM melalui pelatihan yang berkesinambungan sesuai jabatan dan fungsinya. (W9, T1) Tahap Keputusan Menggunakan QSPM Dari berbagai alternatif strategi yang diusulkan dalam matrik SWOT, diambil 4 strategi utama yang paling dominan, memungkinkan serta disarankan untuk dievaluasi lebih lanjut menggunakan QSPM. Alternatif strategi yang memiliki total nilai daya tarik tertinggi adalah semakin mematangkan strategi pengembangan jaringan pipa dan penetrasi pasar, yaitu dengan membuat basis marketing research yang kuatmerupakan strategi paling menarik bagi PGN SBU II saat ini. Berdasarkan urutan peringkat daya tariknya, alternatif strategi yang dapat diimplementasikan oleh PGN SBU II adalah : 1. Semakin mematangkan strategi pengembangan jaringan pipa dan penetrasi pasar, yaitu dengan membuat basis marketing research yang kuat. 2. Penetrasi pasar secara berkesinambungan dengan membangun jaringan pipa baru di lokasi strategis yang telah dianalisa kelayakannya. 3. Menyederhanakan birokrasi dan memudahkan pemeliharaan jaringan dengan terus mengembangkan sistem informasi. 4. Menjaga kehandalan jaringan pipa dan mempertahankan kepercayaan konsumen salah satunya dengan cara meningkatkan kualitas pengawasan pekerjaan jaringan pipa dan fasilitasnya.



5. KESIMPULAN Berdasarkan analisa menggunakan Matrik Internal Eksternal, PGN SBU II berada dalam posisi ―menjaga dan mempertahankan‖ dalam industri perniagaan gas bumi di Indonesia. Ini artinya PGN SBU II mempunyai posisi yang strategis dan mampu mendominasi pasar.Perluasan jaringan pipa, pengembangan kompetensi SDM dan inovasi teknologi perlu terus dilakukan untuk mempertahankan posisi tersebut. Setelah melalui tiga tahap perencanaan manajemen strategi yang menggunakan QSPM sebagai alat pemilihan alternatif strategi utama, maka didapatkan strategi utama yang paling menarik untuk dilaksanakan oleh PGN SBU II saat ini yaitu semakin mematangkan strategi pengembangan jaringan pipa dan penetrasi pasar dengan membuat basis marketing research yang kuat. Beberapa hal yang direkomendasikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya adalah : 1. Membandingkan metode QSPM dengan metode manajemen strategi kualitatif lainnya untuk mendapatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang dapat dijadikan pertimbangan dalam aplikasinya di lapangan. 2. Mengkombinasikan QSPM dengan tool manajemen strategi lain untuk mengurangi subyektifitas input data yang digunakan. 3. Mengembangkan 3 tahap manajemen strategi ini ke dalam bentuk program komputer yang aplikatif, sehingga dapat memudahkan para pengambil keputusan untuk mendapatkan masukan untuk merumuskan alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi terkini perusahaan.



Bidang Manajemen Konstruksi- 725



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.



3.



4. 5. 6.



7. 8. 9. 10. 11. 12.



13. 14.



15. 16. 17. 18. 19.



20.



21.



22.



Adi, Soeseno (2002)Analisis Manajemen Strategik PT Perusahaan Gas Negara (Persero). Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Agustianto, Dwika(2008) Analisis Strategi Persaingan Bisnis Distribusi Gas Bumi : Studi Pada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk – SBU I. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alfin, Yaumul (2011)Perbaikan Kualitas Layanan Dengan Pendekatan Terintegrasi Servqual, Lean dan Six Sigma. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Biro Riset Lembaga Manajemen FEUI (2014), Analisis Industri Minyak dan Gas Di Indonesia : Masukan Bagi Pengelola BUMN.www.lmfeui.com, Jakarta. David, Fred R (2006)Manajemen Strategis, Edisi Sepuluh. Salemba Empat, Jakarta. Farihah, Tutik (2003) Perencanaan Strategi Pengembangan Industri Besar dan Menengah Dengan Model Manajemen Strategis Quantitative Strategic Planning Matrix. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Guyana, Jeslyn dan Mustamu, Ronny H (2013) Perumusan Strategi Bersaing Perusahaan Yang Bergerak Dalam Industri Pelayaran. Tesis, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Hadiwido, R. Belanto (2000)Strategi Pemanfaatan Gas Bumi Sebagai Bahan Alternatif Pengganti BBM. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Hartati, Tuti (2001) Strategi Pemasaran PT. Perusahaan Gas Negara Dalam Mengelola Gas Bumi. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Hidayat (2013)Evaluasi Strategi Keunggulan Bersaing PGN Di Bidang Usaha Hilir Gas Bumi.Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Juswanto, Joki Eko (1998) Strategi Segmentasi, Targeting, Positioning PT PGN (Persero) Untuk Subsitusi BBM. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Nurharijanto (2006) Perancangan Strategi Bisnis Bahan Peledak Komersial PT PINDAD (Persero) Dengan Model Strategi David. Tesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Nyquist, Scott S. and Rosenfeld, Jaeson (2009)Why Energy Demand Will Rebound. McKinsey Global Institute. Pasaribu, Jefryanto (2011) Analisa Strategi Perusahaan Dalam Persaingan – Studi Kasus di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (November, 2012)Investor Summit Presentation. PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (2014)Annual Report 2013-2014. Pusat Data dan Informasi Energi Sumber Daya Mineral (2010)Indonesia Energy Outlook 2010. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rangkuty, Freddy (1997)Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Cetakan Kedua. Penerbit PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Restiyani, Dian (2013) Analisis Strategi Kompetitif PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Dalam Kegiatan Usaha Hilir Migas Di Indonesia. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saragih, Jomaren Tuah (2012)Strategi Bersaing Perusahaan Gas Di Indonesia : Kasus Penelitian PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk SBU Distribusi Wilayah I. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sinulingga, Bahri (1998)Strategi Pengembangan Perusahaan Melalui Aliansi Stratejik (Studi Kasus di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk). Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Sugiyono (2008) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.



726 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 23.



24.



Wiweka, Ratih (2008) Usulan Formulasi Strategi PT PGN (Persero) Tbk Untuk Meningkatkan Keunggulan Daya Saing Yang Lestari.Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Zamzami, M. Abdurrochman (1998) Analisis Strategi dan Keunggulan Bersaing Perusahaan Studi Kasus di PT Perusahaan Gas Negara (Persero). Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta.



Bidang Manajemen Konstruksi- 727



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



728 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGGUNAAN METODE LEVEL OF EFFORT PADA PENGUKURAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA AKTUAL PADA PEKERJAAN PEMBESIAN Yusroniya Eka Putri1, Cahyono Bintang Nurcahyo1, dan Christina Yolanda2 1



Dosen, Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, email: [email protected] Mahasiswa Program Sarjana S1, Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember



2



ABSTRAK Perhitungan produktivitas tenaga kerja pada pekerjaan pembesian harus memperhatikan seluruh tahapan pekerjaan, dapat mengakomodasi berbagai macam ukuran besi, mempertimbangkan berbagai macam ukuran besi yang dipakai di lapangan, dan metode perakitan besi tulangan yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung produktivitas tenaga kerja pada pekerjaan pembesian dengan memperhatikan seluruh tahapan-tahapan pekerjaan dan membandingkannya dengan peraturan yang berlaku. Tahapan pekerjaan pembesian yaitu pemotongan (cutting), pembengkokan (bending), pengangkutan, pemasangan dan penyetelan (fixing). Metode penelitian yang digunakan untuk mengukur produktivitas aktual adalah metode level of effort. Metode level of effort adalah metode pengukuran kuantitatif (volume) yang menggunakan rules of credit yang telah ditentukan sebelumnya pada sub-sub pekerjaan, sehingga didapat produktivitas harian. Pekerjaan pembesian diamati mulai dari proses pemotongan, pembengkokan, pengangkutan dari tempat pemasangan sampai ke tempat penyetelan, dan proses pemasangan pada Proyek Pembangunan Condotel de Vasa di Surabaya. Setelah melakukan pengamatan di lapangan, kemudian dilakukan pengolahan data untuk mencari model koefisiennya dengan regresi multivarian untuk mendapatkan rules of credit (bobot tiap sub-pekerjaan). Metode Level of Effort menghasilkan 4 (empat) analisa yaitu, produktivitas harian, produktivitas baseline, produktivitas kumulatif, dan produktivitas direct work. Rata-rata untuk produktivitas harian, produktivitas baseline, produktivitas kumulatif, dan produktivitas direct work adalah 40,198 kg/jam, 43,744 kg/jam 40,111 kg/jam, dan 28,144 kg/jam. Kata kunci: pembesian, Level of effort, regresi multivarian, rules of credit, produktivitas harian, produktivitas baseline, produktivitas kumulatif, produktivitas direct work



1. PENDAHULUAN Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, baik itu yang berhubungan dengan tenaga kerja itu sendiri maupun faktor lingkungan pekerjaannya. Faktor tersebut antara lain, pendidikan, ketrampilan, disiplin kerja, etika kerja, motivasi, kesehatan, penghasilan, jaminan sosial, lingkungan kerja, kemajuan teknologi, sarana produksi, manajemen, dan kesempatan berprestasi [1]. Seringkali beberapa faktor tersebut tidak dapat diukur karena adanya perbedaan setiap individu. Hal itu membuat produktivitas tenaga kerja sulit diukur dengan angka. Dalam dunia konstruksi, produktivitas pekerja sangat menentukan lamanya suatu pekerjaan dan biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu produktivitas tenaga kerja perlu diukur secara benar. Pada pekerjaan pembesian, peraturan yang pada umumnya digunakan di Indonesia saat ini terdapat dalam SNI 7394:2008 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. Akan tetapi untuk pekerjaan pembesian, SNI 7394:2008 mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, sub-sub pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan output (undirect work) tidak dirinci per sub-pekerjaannya. Kedua, SNI 7394:2008 menyamakan besar kecilnya diameter penampang tulangan yang digunakan. Ketiga, SNI 7394:2008 masih



Bidang Manajemen Konstruksi- 729



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean menggunakan metode pembesian konvensional yang tidak mengikuti kemajuan metode di dunia konstruksi. Pekerjaan pembesian mempunyai cukup banyak sub pekerjaan di dalamnya. Sub-sub pekerjaan pembesian yaitu pemotongan (cutting), pembengkokan (bending), pengangkutan, dan pemasangan / penyetelan (fixing). Menurut asumsi SNI 7394:2008 [2] koefisien pekerjaan yang dihitung adalah perkerjaan yang langsung menghasilkan output (direct work). Sedangkan sub pekerjaan pengangkutan, cutting, dan bending, karena tidak langsung menghasilkan output (indirect work), tidak dimasukkan dalam perhitungan. Hal itu menyebabkan adanya perbedaan dengan kondisi aktual di lapangan. Pada koefisien pekerjaan pembesian SNI 7394:2008 diameter tulangan diasumsikan sama. Sedangkan di lapangan terdapat perbedaan produktivitas apabila diameter tulangan yang digunakan berbeda. Tulangan dengan diameter lebih kecil membutuhkan usaha yang kecil sehingga produktivitasnya tinggi. Tulangan dengan diameter lebih besar tentu membutuhkan usaha yang lebih besar pula, sehingga produktivitas yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Majunya dunia konstruksi di Indonesia juga membuat munculnya banyak metode pekerjaan yang baru dan juga peralatan yang lebih modern. Pekerjaan pembesian juga mempunyai beberapa metode baru yang lebih efektif dari metode konvensional yang ada. Beberapa proyek konstruksi sudah mulai meninggalkan pekerjaan pembesian metode konvensional. Sedangkan SNI 7394:2008 masih menggunakan metode pembesian secara konvensional. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan produktivitas tenaga kerja aktual (produktivitas harian, produktivitas baseline, produktivitas kumulatif, dan produktivitas direct work) pekerjaan pembesian di lapangan dengan menggunakan metode Level of Effort?



2. METODOLOGI 2.1. Pengumpulan Data 2.1.1. Menentukan Sub-Sub Pekerjaan Pembesian Untuk mendapat hasil yang tepat, setiap sub pekerjaan pembesian harus dibagi supaya dapat ditentukan bobotnya. Hal itu dilakukan supaya keseluruhan pekerjaan dapat diukur tanpa mengorbankan detilnya, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sub-sub pekerjaan pembesian terdiri dari: 1. Pemotongan tulangan (cutting) 2. Pembengkokan tulangan (bending) 3. Pemasangan serta penyetelan tulangan (fixing) 4. Pengangkutan vertikal dan horizontal 2.1.2. Menghitung Total Volume dan Jam Kerja Pekerjaan Pembesian Data yang didapat dari pengamatan di lapangan kemudian diolah untuk mendapatkan volume pembesian selama 1 (satu) hari pengamatan. Perhitungan volume didapatkan dengan rumus sebagai berikut: (



)



dimana: d = ø tulangan (m) L = panjang besi tulangan yang digunakan (m) n = jumlah besi tulangan yang digunakan (buah)



730 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 data perhitungan volume tersebut dikelompokkan per hari dan menghitung total jam kerja yang merupakan perkalian antara jumlah tenaga kerja dan jam kerja per hari.



cutting



bending



fixing



lifting



Gambar 1 : Pembagian Sub-sub Pekerjaan Pembesian di Lapangan 2.2. Analisa Perhitungan Produktivitas Aktual dengan Menggunakan Metode Level of Effort Suatu sistem pengukuran yang membutuhkan pengukuran secara fisik dari berbagai jenis pekerjaan akan memberatkan. Untuk menyederhanakan proses pengukuran tersebut adalah dengan menentukan presentase dari setiap sub pekerjaan yang bervariasi terlebih dahulu. Presentase setiap sub pekerjaan tersebut digunakan sebagai dasar dari penyelesaian. Besarnya usaha yang dibutuhkan atau bobot dari pekerjaan tersebut disebut rules of credit. Suatu unit pengukuran yang unik ini ditentukan untuk masing-masing sub pekerjaan dari total pekerjaan. Sebagai catatan, jumlah dari rules of credit untuk semua sub pekerjaan adalah 1 (satu) dan besarnya presentase dari rules of credit tidak akan diberikan hingga sub pekerjaan terselesaikan. Secara umum, sub perkerjaan yang ditentukan harus tidak lebih dari tiga sampai lima sub pekerjaan. Walaupun suatu rumusan rules of credit ini telah selesai, rumusannya akan tetap dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang lain tanpa mengalami perubahan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa level of effort adalah metode pengukuran kuantitas (volume) pekerjaan yang menggunakan rules of credit yang telah ditentukan sebelumnya pada sub-sub pekerjaan yang datanya dapat diperbarui sehingga dapat diperoleh produktivitas harian [3]. Metode level of effort cocok digunakan pada pekerjaan yang terdapat jenis pekerjaan yang mirip dalam jumlah (volume) besar dan kemungkinan dalam perkembangannya membutuhkan waktu yang lama. Setelah diperoleh data dari lapangan, maka digunakan multiple regression analyses untuk mengolah data tersebut. Keuntungan utama dari penggunaan multiple regression analyses adalah hasil analisa dapat diperbarui sewaktu-waktu selama proses penambahan data.



Bidang Manajemen Konstruksi- 731



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Conversion factor (factor konversi) digunakan untuk mengkonversikan berbagai macam ukuran besi ke satu ukuran sehingga bisa didapat kg pembesian dalam satu hari.Conversion factor yang digunakan dalam perhitungan ini berasal dari Estimating for Building and Civil Engineering Works, Eight Edition[4]. Tabel conversion factor ditunjukkan pada tabel dibawah ini : Tabel 1 : Fixing Bar Reinforcement cutting, bending, fixing



19 mm



Tulangan polos-lurus beam, floor, roof, wall



32



22



16



12



braces, coloumn, sloping roof, battered wall



64



46



32



20



beam, floor, roof, wall



42



32



26



22



braces, coloumn, sloping roof, battered wall



74



56



42



30



beam, floor, roof, wall



36



24



18



14



braces, coloumn, sloping roof, battered wall



68



48



34



22



beam, floor, roof, wall



48



36



30



26



braces, coloumn, sloping roof, battered wall



80



60



46



34



Tulangan polos-dibengkokkan



Tulangan spiral-lurus



Tulangan spiral-dibengkokkan



Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan dengan metode level of effort [3] adalah sebagai berikut : Menghitung Model Koefisien (Model Coefficient) untuk Masing-Masing Sub Pekerjaan Pembesian dengan Metode Regresi Setelah didapatkan total volume cutting, bending, fixing, dan pengangkutan selama pengamatan di lapangan. Total volume tersebut lalu diolah dengan metode regresi (multiple regression analyses) sehingga didapatkan koefisien untuk masing-masing sub pekerjaan pembesian. Persamaan linear yang digunakan adalah sebagai berikut: dimana: y= total jam kerja (jam) x1= total sub pekerjaan cutting (kg) x2= total sub pekerjaan bending (kg) x3= total sub pekerjaan fixing (kg) x4= total sub pengangkutan (kg) a1= koefisien cutting a2= koefisien bending a3= koefisien fixing a4= koefisien pengangkutan Menghitung Bobot dari Sub-Sub Pekerjaan Pembesian (Rules of Credit)



732 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Model koefisien yang didapat dari metode regresi kemudian digunakan untuk menghitung rules of credit yang dapat dijelaskan pada tabel berikut : Tabel 2 :Rules of Credit untuk Sub Pekerjaan Pembesian Sub Pekerjaan



Koefisien (a)



Jumlah Aktual (x) kg



Waktu Pengerjaan (2) x (3)



Bobot (5) / (A)



(2)



(3)



(5)



(6)



(A)



(B)



(1) Cutting Bending Fixing Pengangkutan



Total



Menghitung Produktivitas Aktual Menghitung Produktivitas Cutting, Bending, Fixing, dan Pengangkutan Produktivitas cutting, bending, fixing, dan pengangkutan dapat dihitung tanpa menggunakan bobot rules of credit. Produktivitas cutting, bending, fixing, danpengangkutan dihitung dengan membagi masing-masing output dengan total jam kerja untuk masing-masing pekerjaan tersebut. Contoh perhitungan dapat dilihat dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 : Tabel Produktivitas Cutting Hari (1)



Grup Cutting



Waktu Kerja



Waktu Cutting



Cutting Output



Cutting Prod.



(org)



(jam)



(jam)



(kg)



(kg/jam)



(2)



(3)



(4)



(5)



(6)



(A)



(B)



Total



Keterangan: Rata-rata (C) (D) 1. Kolom (2) adalah banyaknya tenaga kerja pekerjaan cutting per hari. 2. Kolom (3) adalah lama kerja pekerjaan cutting dalam 1 (satu) hari. 3. Kolom (4) adalah total jam kerja dalam 1 (satu) hari. Didapatkan dengan cara mengalikan kolom (2) dan kolom (3). 4. Kolom (6) adalah pembagian antara kolom (5) dan kolom (4). Menghitung Produktivitas Harian (Daily Productivity) Produktivitas harian (Daily Productivity) dapat dihitung dengan adanya bobot rules of credit. Contoh perhitungan produktivitas harian dapat dilihat dalam Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 : Tabel Perhitungan Produktivitas Harian Hari (1)



Cutting



Bending



Fixing



Pengangkutan



Total output



Prod. Harian



(kg)



(kg)



(kg)



(kg)



(kg)



kg/jam



(2)



(3)



(4)



(5)



(6)



(7)



Bidang Manajemen Konstruksi- 733



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Keterangan: 1. Kolom (6) didapatkan dari rumus = ( ( ) ( ) ( ) 2. Kolom (7) adalah pembagian antara kolom (6) dan total jam kerja per hari.



)



Menentukan Produktivitas Baseline (Baseline Productivity) Baseline productivity (Produktivitas Baseline) dihitung dengan terlebih dahulu menghitung besarnya produktivitas harian [3]: 1. Menentukan banyaknya hari pengamatan yang merupakan 10% dari total hari kerja. 2. Bila banyaknya hari pengamatan tidak dapat memenuhi 10% dari total hari kerja, maka diambil minimal 5 (lima) hari pengamatan. 3. Dari keseluruhan hasil pengamatan itu, diambil output volume harian yang terbesar. 4. Nilai produktivitas tersebut kemudian diurutkan mulai yang terbesar ke yang terkecil. Nilai tengah dari 5 (lima) produktivitas harian tersebut merupakan baseline productivity. Menghitung Poduktivitas Kumulatif (Cumulative Productivity) Cumulative productivity (produktivitas kumulatif) didapat dengan membagi kumulatif output pembesian (cutting, bending, dan fixing) dengan kumulatif total jam kerja. Contoh perhitungannya dapat dilihat dari Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 : Tabel Perhitungan Produktivitas Kumulatif Hari ke(1)



(kg)



Kum. Total Output (kg)



Total tenaga kerja (org)



(jam)



Total Jam Kerja (jam)



(3)



(4)



(5)



(6)



(7=5x6)



Total output



Tgl.



(2)



Jam kerja



Waktu Kumulatif



Prod. Kumulatif



(jam)



(kg/jam)



(8)



(9=4/8)



Keterangan: 1. Kolom (4) adalah penjumlahan per hari dari total output pada kolom (3). 2. Kolom (8) adalah penjumlahan per hari dari total jam kerja pada kolom (7). Menghitung Produktivitas Direct Work (Direct Work Productivity) Yang termasuk direct work productivity (produktivitas direct work) pada pekerjaan pembesian hanyalah sub pekerjaan fixing saja, sedangkan sub pekerjaan cutting dan bending termasuk indirect work. Oleh karena itu, perhitungan produktivitas direct work didapat dengan membagi output pekerjaan fixing dengan total jam kerja. Contoh perhitungan direct work productivity dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel 6 : Tabel Produktivitas Direct Work Hari ke-



Tgl.



Total Tenaga Kerja (org)



(1)



(2)



(3)



Jam Kerja (jam)



Total Jam Kerja (jam)



Direct Work Output (kg)



Direct Work Prod. (kg/jam)



(4)



(5)



(6)



(7=6/5)



Total Rata-Rata



(A) (B)



734 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. ANALISA DATA Proyek Condotel de Vasa terbagi menjadi 2 bagian bangunan yaitu Podium (lantai 1 – lantai 6) dan Tower (lantai 7- lantai19).Pengamatan dilakukan pada sebagian lantai Podium dan Tower dimulai dari tanggal 22 April 2014 sampai 3 Mei 2014. Pada awal pengamatan, pekerjaan proyek sudah sampai tahap pembangunan lantai 11 zone A, lantai 5 podium depan, dan penggalian podium belakang. 3.1.Pengumpulan Data Volume dan Jam Kerja 3.1.1. Mencatat Data Lapangan untuk Mendapatkan Data Pembesian yang Digunakan Tiap Harinya Setelah sub-sub pekerjaan ditentukan, volume pembesian dan jam kerja dapat dicatat setiap harinya. Pengamatan lapangan dilakukan selama 13 (tiga belas) hari. Contoh perhitungan adalah sebagai berikut : 1.Faktor Konversi= 0,778 dengan ketentuan tulangan spiral-lurus dimensi 25 mm, tulangan balok. 2.Perhitungan n cutting (kg): (



)



3.1.2. Mengelompokkan Data Lapangan Harian Data volume harian ditotal sehingga didapat volume pembesian tiap sub-pekerjaan setiap harinya.Lalu masing-masing data harian disatukan dalam satu tabel sehingga diketahui keseluruhan volume pembesian selama pengamatan. Data pengamatan harian tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung produktivitas. Tabel 7 : Volume Pembesian Selama Pengamatan



1



Jml. Tenaga Kerja 35



7



Total Jam Kerja 245



2



10438.706



4356.525



10427.797



8415.678



35



7



245



8851.738



1887.939



12572.148



8582.296



3



29



7



203



9923.779



5899.017



5912.701



13042.511



4



35



7



245



9640.388



3323.139



12216.266



5615.251



5



26



7



182



6



34



7



238



7842.084 9497.995



4459.884 4420.172



6705.340 9537.707



6372.595 7980.829



7



35



7



245



11698.272



3728.289



12390.156



6620.119



8



30



7



210



7014.533



1358.790



9370.538



9370.538



9



24



7



168



7459.021



5083.260



3734.551



12578.023



10



32



7



224



8494.224



2443.819



11133.665



7241.639



11



33



7



231



12529.978



6793.385



8295.384



12137.262



12



38



7



266



12593.426



4758.018



14629.108



7719.478



2702



115984.145



48512.237



116925.361



105676.218



Hari ke-



Jam Kerja



TOTAL



Cutting (kg)



Bending (kg)



Fixing (kg)



Pengangkutan (kg)



Bidang Manajemen Konstruksi- 735



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 3.2. Analisa Perhitungan dengan Menggunakan Metode Level of Effort 3.2.1. Menghitung Model Koefisien Dari Tabel diatas dari pengamatan lapangan diolah dengan metode regresi multivarian.Program yang digunakan untuk regresi adalah SPSS, dengan hasil output pemodelan adalah sebagai berikut :



Gambar 2 : ANOVA dari SPSS Dari Gambar diatas didapatkan Signifikansi untuk keseluruhan pekerjaan kurang dari 5%, artinya keseluruhan pekerjaan berpengaruh pada total jam kerja (variable y).Sedangkan dari gambar dibawah ini, diketahui masing-masing sub pekerjaan tidak mempengaruhi keseluruhan jam kerja. Hasil koefisien tiap sub-pekerjaan dari regresi tersebut adalah :



Gambar 3 : Koefisien Regresi dari SPSS Dari hasil tersebut didapatkan positif untuk semua sub-pekerjaan . Artinya, semua subpekerjaan menambahkan jam kerja untuk pekerjaan pembesian. 3.2.2. Menghitung Bobot dari Tiap Sub-Pekerjaan Pembesian Model koefisien yang telah didapat dari metode regresi kemudian digunakan untuk menghitung bobot tiap sub-pekerjaan (rules of credit). Tabel 8 : Bobot Sub-Pekerjaan Pembesian Sub Pekerjaan



Koefisien



Satuan



Volume Aktual (kg)



Volume Efektif (kg)



Bobot



Cutting



0.002



kg



115984.145



231.968



0.132



Bending



0.003



kg



48512.237



145.537



0.083



Fixing



0.01



kg



116925.361



1169.254



0.665



Pengangkutan



0.002



kg



105676.218



211.352



0.120



Total



1758.111



1



736 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Keterangan 1. Kolom Koefisien didapat dari model koefisien regresi 2. Kolom Volume Aktual : total sub-pekerjaan pembesian selama pengamatan 3. Kolom Volume Efektif : koefisien x Volume Aktual. 4. Kolom Bobot : Volume Efektif / Total Volume Efektif. 3.2.3. MenghitungProduktivitas Aktual Tabel 9 : Produktifitas Sub-Pekerjaan Pembesian Sub Pekerjaan



Total Fixing Output (kg)



Rata-rata Fixing Output (kg)



Total Fixing Prod. (kg/jam)



Rata-rata Fixing Prod. (kg/jam)



Cutting



115984.145



9665.345



3109.789



259.149



Bending



48512.237



4042.686



1256.376



104.698



Fixing



116925.361



9743.780



881.368



73.447



Pengangkutan



105676.218



8806.351



5025.750



418.813



Menghitung Produktivitas Harian (Daily Productivity) Produktivitas harian (daily productivity) yang dihitung dengan menggunakan bobot subpekerjaan, hasilnya dapat dilihat dalam Tabel 10 berikut. Tabel 10 : Produktivitas Harian Hari



Cutting



Bending



Fixing



(kg)



(kg)



(kg)



Pengangkuta n (kg)



Total output



Prod. Harian



(kg)



kg/jam



1



10438.706



4356.525



10427.797



8415.678



9684.768



39.530



2



8851.738



1887.939



12572.148



8582.296



10717.188



43.744



3



9923.779



5899.017



5912.701



13042.511



7297.911



35.950



4



9640.388



3323.139



12216.266



5615.251



10346.680



42.231



5



7842.084



4459.884



6705.340



6372.595



6629.444



36.426



6



9497.995



4420.172



9537.707



7980.829



8921.676



37.486



7



11698.272



3728.289



12390.156



6620.119



10888.188



44.442



8



7014.533



1358.790



9370.538



9370.538



8396.469



39.983



9



7459.021



5083.260



3734.551



12578.023



5400.734



32.147



10



8494.224



2443.819



11133.665



7241.639



9598.183



42.849



11



12529.978



6793.385



8295.384



12137.262



9191.622



39.791



12



12593.426



4758.018



14629.108



7719.478



12712.740



47.792



Rata-rata



40.198



Keterangan: 1. Kolom Total Output didapat dari: ( ) ( ) ( ) Contoh Perhitungan Pada hari ke-1: ( ) ( ) (



)



(



(



) )=



Bidang Manajemen Konstruksi- 737



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Kolom Produktivitas Harian didapat dari: Contoh perhitungan pada hari ke-1:



Menentukan Produktivitas Baseline (Baseline Productivity) Dari tabel diatas, 5 nilai volume pembesian yang terbesar terdapat pada hari ke 12, 7, 2, 4, dan 1. Dari 5 volume pembesian tersebut, didapat produktivitas harian dari yang terbesar ke yang terkecil, yaitu: 47,792 kg/jam; 44,744 kg/jam; 43,744 kg/jam; 42,231 kg/jam; dan 39,530 kg/jam. Median dari 5 nilai tersebut adalah 43,744 kg/jam.Maka nilai dari produktivitas baseline adalah 43,744 kg/jam. Menghitung Produktivitas Kumulatif (Cumulative Productivity) Tabel 11 : Produktivitas Kumulatif Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Total output (kg) 9684.768 10717.188 7297.911 10346.680 6629.444 8921.676 10888.188 8396.469 5400.734 9598.183 9191.622 12712.740



Kum. Total Output (kg) 9684.768 20401.955 27699.867 38046.547 44675.990 53597.666 64485.854 72882.323 78283.058 87881.241 97072.863 109785.603



Total Jam Kerja (jam) 245 245 203 245 182 238 245 210 168 224 231 266



Waktu Kumulatif (jam) 245 490 693 938 1120 1358 1603 1813 1981 2205 2436 2702 Rata-rata



Prod. Kumulatif (kg/jam) 39.530 41.637 39.971 40.561 39.889 39.468 40.228 40.200 39.517 39.855 39.849 40.631 40.111



Menghitung Produktivitas Direct Work (Direct Work Productivity) Tabel 4.12 Perhitungan Produktivitas Direct Work Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Total Tng. Kerja (org) 35 35 29 35 26 34 35 30 24 32 33 38



Jam Kerja (jam) 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7



738 – Bidang Manajemen Konstruksi



Total Jam Kerja (jam) 245 245 203 245 182 238 245 210 168 224 231 266



Direct Work Output (kg) 6935.136 8361.264 3932.315 8124.579 4459.470 6343.171 8240.227 6231.993 2483.710 7404.582 5516.949 9729.270 Rata-Rata



Direct Work Prod. (kg/jam) 28.307 34.128 19.371 33.162 24.503 26.652 33.634 29.676 14.784 33.056 23.883 36.576 28.144



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. KESIMPULAN Dari hasil pengamatan di lapangan dan pengolahan data dengan metode level of effort, produktivitas yang melibatkan semua sub pekerjaan hasilnya tidak jauh berbeda. Ratarata untuk produktivitas harian dan produktivitas kumulatif adalah 40,198 kg/jam dan 40,111 kg/jam. Produktivitas baseline sebesar 43,744 kg/jam hasilnya lebih besar karena berasal dari median 5 nilai produktivitas yang terbesar. Sedangkan produktivitas direct work yang hanya melibatkan pekerjaan pemasangan saja hasinya lebih kecil, yaitu 28,144 kg/jam.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Ravianto, S. 1995. Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Jakarta: Group Gramedia. 2. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2008. Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk Bangunan Gedung dan Perumahan SNI 7394-2008. 3. Thomas, H. R. 2000. Principles of Construction Labor Productivity Measurement and Processing. 4. Smith, G. C. 1985. Estimating for Building and Civil Engineering Works (8th Edision).



Bidang Manajemen Konstruksi- 739



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



740 – Bidang Manajemen Konstruksi



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



STUDI PENINGKATAN TEGANGAN GESER TANAH LUNAK PADA PELAKSANAAN VACUUM PRELOADING BERDASARKAN PEMODELAN LABORATORIUM Aan Fauzi1, Indarto2 dan Ria A. A. Soemitro3 1



Mahasiswa jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected] 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected]



ABSTRAK Vacuum preloading adalah teknik perbaikan tanah dengan menerapkan tekanan hisap (vacuum) untuk tanah lunak yang akan membuat tekanan air pori negatif sehingga menghasilkan suction dalam massa tanah. Suction kemudian akan menyebabkan perubahan volume, peningkatan kepadatan, peningkatan kekuatan geser dan stabilitas massa tanah dari area yang ditreatment. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efek vacuum preloading pada kekuatan geser tanah. Untuk memperoleh data tersebut maka dilakukan penelitian skala laboratorium yang dibuat mendekati kondisi di lapangan. Sebuah model dibuat di laboratorium untuk mempelajari peningkatan kuat geser tanah akibat proses vacuum preloading. Model uji skala laboratorium dibuat mendekati kondisi sebenarnya dilapangan. Pemodelan dilakukan dengan membuat alat uji tabung sehingga vertical drain dapat ditanam pada sampel tanah didalam tabung. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lunak remolded yang dikondosikan kadar air (Wc) 97.35% sama dengan 1,2 kali batas cair (LL). Pengujian kuat geser dilakukan dengan alat uji geser baling – baling (vane shear) untuk kondisi tanah sebelum dan sesudah diberikan tekanan vacuum 90 kPa pada kedalam uji 10cm, 20cm, 30cm. Hasil penelitian penerapan vacuum selama 24 jam menunjukkan nilai kuat geser mengalami peningkatan dari kondisi inisial 0 kPa menjadi sebesar 1.75 kPa pada kedalaman uji 10 cm dan 1.5 kPa pada kedalaman 20cm sedangkan pada kedalaman 30cm sebesar 1 kPa. Kadar air mengalami penurunan sebesar 17.61% dan mengalami penurunan sebesar 8.87 mm. Hasil menunjukan bahwa setelah dilakukan vacuum preloading pada tanah lunak tegangan geser bisa ditingkatkan. Studi ini memberikan dasar untuk mempelajari metode yang lebih efektif untuk perbaikan tanah lunak. Kata kunci: Vacuum preloading, kuat geser tanah, model laboratorium



1. PENDAHULUAN Teknik perbaikan tanah adalah penerapan metode mekanis atau hidrolik atau fisik atau kimia untuk meningkatkan kekuatan tanah lunak. Berbagai metode perbaikan tanah saat ini tersedia. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah metode prapembebanan (preloading) dengan menempatkan beban tambahan di lapangan untuk mengurangi setiap kemungkinan potensi penurunan (settlement) yang besar di masa depan pada lapisan lempung lunak di bawah beban kerja. Metode prapembebanan dapat diterapkan dalam berbagai cara tergantung pada pertimbangan ekonomi dan lingkungan untuk proyek tersebut. Metode ini biasanya digunakan dalam hubungannya dengan drainase vertikal (vertical drain) untuk mempercepat konsolidasi tanah. Karena beberapa keterbatasan praktis seperti kekurangan bahan timbunan untuk beban tambahan, metode lain seperti pemebebanan vakum (vacuum preloading) dapat diadopsi sebagai alternatif untuk pengganti beban tambahan.



Bidang Geoteknik- 741



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Metode pemebebanan vakum bisa dibilang pertama kali diperkenalkan di Swedia oleh Kjellman (1952). Sejak saat itu, telah digunakan secara luas untuk mempercepat konsolidasi tanah lunak di seluruh dunia, misalnya di Bandara Internasional Philadelphia, Amerika Serikat; pelabuhan Tianjin, Cina, North South Expressway, Malaysia; Reklamasi di Singapura dan Hong Kong, Cina; Suvarnabhumi Bandara Internasional Kedua Bangkok, Thailand; Balina Bypass New South Wales dan Pelabuhan Brisbane, Queensland di Australia, di antara banyak proyek lain (Holtan 1965; Choa 1990, Jacob et al 1994;. Bergado et al, 2002;. Chu et al, 2000.; Yan dan Chu 2003). Dari sejumlah studi kasus yang sudah berhasil dilaksanakan, dapat ditetapkan bahwa metode pembebanan vakum lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan metode prapembebanan biasa dalam mempercepat konsolidasi tanah. Dalam konsolidasi vakum, tekanan negatif maksimum dapat diterapkan pada tahap awal sekaligus, tetapi beban tambahan hanya bisa diterapkan secara bertahap. Pembebanan vakum menciptakan gerakan tanah ke dalam sementara metode prapembebanan biasa mengembangkan gerakan tanah ke luar. Penggunaan pembebanan vakum terbukti mampu meningkatkan kuat geser tanah, Uji lapangan dengan menggunakan alat uji geser baling-baling (vane shear) dan penetrometer setelah pembebanan vakum menunjukkan bahwa kekuatan geser tanah meningkat 2 - 3 kali dan kadar air tanah menurun jauh (Chu et al 2000). Banyak studi kasus telah dilaporkan dalam literatur yang berkaitan untuk memperoleh kekuatan geser di lapangan setelah pembebanan vakum. Namun studi laboratorium masih sangat kurang dilakukan untuk memperoleh prediksi kekuatan geser setelah pemebebanan vakum. Pada penelitian ini menyajikan serangkaian tes laboratorium yang dilakukan untuk menentukan perubahan kekuatan geser setelah pemebebanan vakum.



2. SAMPLE TANAH Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah lempung lunak. Lokasi pengambilan sample didaerah Sukolilo Kec. Keputih Kota Surabaya. Sampel tanah diambil pada kedalaman 0 s/d 1 m dan ditaruh dalam kotak penyimpanan yang tertutup. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara penggalian biasa karena dalam penelitian ini sample tanah dipakai dalam kondisi disturbed. Tabel 1 menunjukan hasil uji sifat fisik contoh tanah Sukolilo. Tabel 1. Hasil uji sifat fisik tanah Jenis Pengujian Gravimetri dan Volumetri 1. Berat Spesifik, Gs 2. Kadar Air, Wc (%) 3. Berat Volume Tanah, γt (gr/cm3) 4. Berat Volume Kering, γd (gr/cm3) 5. Angka Pori, e 6. Derajat Kejenuhan, Sr (%) Analisa Saringan dan Hidrometer 1. Fraksi Kerikil (gravel) (%) 2. Fraksi Pasir (sand) (%) 3. Fraksi Lanau (silt) (%) 4. Fraksi Lempung (clay) (%)



742 – Bidang Geoteknik



Hasil Uji 2.657 70.69 1.430 0.838 2.71 86.5 0.18 8.43 44.92 46.48



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Konsistensi 1. Batas Cair (LL) (%) 2. Batas Plastis (PL) (%) 3. Indeks Plastis (PI) (%) Sumber : Hasil Penelitian Laboratorium



81.20 30.35 50.86



Penelitian ini dilakukan pada benda uji tanah lempung yang dibentuk ulang (remolded) Sampel tanah yang sudah disimpan dalam kotak tertutup dibersihkan dari sampah atau kotoran dengan hati-hati untuk mencegah pengaruhnya terhadap hasil tes. Benda uji dibuat dalam kondisi tanah lempung jenuh (Saturated) dengan kadar air (w) yang digunakan sama dengan 1,2 kali nilai batas cair (LL), penambahan kadar air dengan menggunakan persamaan w = Ww/Ws, dimana Ww adalah berat air dan WS adalah berat butiran solid, maka dapat ditentukan besarnya berat air yang dicampurkan pada masing-masing benda uji. Untuk menghindari perbedaan antara bagian yang berbeda dari sampel, tanah harus dicampur dengan hati-hati untuk memastikan bahwa kadar air sama untuk seluruh sampel. Setelah pembuatan benda uji tanah, kemudian tanah dimasukan kedalam tabung pemodelan untuk dilakukan pengujian pembebanan vakum. Dalam rangka untuk mengurangi gesekan antara tanah dan permukaan dalam tabung pengujian maka permukaan bagian dalam dari silinder dilumasi dengan oli.



3. TES LABORATORIUM



0° 12



3-PVD Tes 1



Model uji pembebanan vakum di laboratorium mengacu pada model – model penelitian sebelumnya. Pengujian vakum yang digunakan dalam penelitian ini, seperti diperlihatkan pada Gambar 1, direferensikan dari peralatan pengujian yang dikembangkan oleh D. T. Bergado et al. Model peralatan pengujian vakum dengan skala 1:2 dari referensi peralatan pengujian berbentuk silinder tinggi 50 cm dengan tinggi benda uji tanah lempung 35 cm dan diameter dalam 22.5 cm. Pada pemodelan ini menggunakan vertikal drain (PVD) berbentuk persegi panjang (a = 50 mm, b = 4.5 mm) dengan panjang 35 cm dipasang pada tengah silinder. Dial gauge



2-PVD Tes 1



Flexibel airtigh cover



Vacuum line valve



Vacuum pump



Sample



7,5



1-PVD



35



PVD



Tes 1



ngan melintang



2 25



Water collector



Gambar 1. Model tes pembebanan vakum laboratorium Uji kuat geser pada penelitian ini digunakan vane shear laboratorium tipe Pocket Vane 16-T0174 (CONTROLS-Wykeham Farrance).



Bidang Geoteknik- 743



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 2. Alat uji vane shear Pocket Vane 16-T0174 (CONTROLS-Wykeham Farrance) Rasio tinggi dan diameter adalah 2 untuk semua baling-baling. Ukuran baling-baling dirancang sedemikian rupa sehingga :  Untuk ukuran baling-baling medium (20x40 mm) nilai kuat geser undrained langsung dibaca dari skala.  Untuk ukuran baling-baling besar (25.4x50.8 mm) pembacaan baling-baling pada skala ini, harus dibagi 2 untuk mendapatkan nilai kuat geser undrained.  Untuk ukuran baling-baling kecil (16x32 mm) pembacaan baling-baling pada skala ini, harus dikali 2 untuk mendapatkan nilai kuat geser undrained. Rumus klasik untuk mendapatkan nilai Cu dari putaran baling-baling (T) ,



(



……………………………………………………………(1)



)-



Untuk rasio h/d = 2 (tinggi / diameter dari baling-baling) ,



(



……………………………………………………………(2)



)-



dengan: Su = Cu = kohesi / kuat geser undrained T = puntiran pada saat kegagalan d = lebar seluruh kipas h = tinggi kipas



4. PENGUJIAN VAKUM DENGAN PVD Setelah tanah ditempatkan ke dalam tabung pengujian dilakukan pemasangan untuk variasi jumlah PVD. dimasukan sesuai dengan model uji Gambar 1. permukaan atas sampel tanah ditutupi oleh membran karet untuk memastikan kehampaan dari sampel tanah selama tes. Setelah ditempatkan ke dalam wadah, sampel tanah dibiarkan untuk satu atau dua hari untuk mengkondisikan tanah terkonsolidasi oleh beban sendiri dan kemudian diberi tekanan vakum. Pengujian pembebanan vakum pada benda uji dengan besaran beban vakum sebesar 90 kPa selama 24 jam.



744 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



4.1 Kadar air Hasil pengujian menunjukan setelah dilakukan pemebebanan vakum sebesar 90 kPa selama 24 jam kadar air mengalami penurunan sebesar 17,61 % Tabel 2. Kadar air Kadar air Sebelum (Initial) Sesudah



% 97,35 80,21



4.2 Penurunan (Settlement) Selama proses pembebanan vakum dilakukan pengamatan untuk penurunan benda uji, dari hasil pengujian seperti pada tabel 3 menunjukan akibat beban vakum terjadi penurunan total sebesar 8.87 mm. Tabel 3. Penurunan terhadap waktu Penurunan t (menit) mm 0.00 0 0.10 0.05 0.25 0.10 0.50 0.15 1 0.17 2 0.19 4 0.25 8 0.34 16 0.45 30 0.55 60 0.80 120 1.60 240 3.00 480 4.60 960 6.58 1440 8.87



Bidang Geoteknik- 745



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Grafik Penurunan vs Waktu 0



200



400



600



t (menit) 800



1000



1200



1400



1600



0 1



Penurunan (mm)



2 3 4 5 6 7 8 9 10



Penurunan



Gambar 3. Grafik penurunan terhadap waktu.



4.3 Kuat Geser Pengujian kuat geser dilakukan untuk kondisi sebelum pemebebanan (Initial) dan setelah pembebanan vakum. Pengujian dilakukan untuk interval kedalaman 10 cm. Dari hasil pengujian kuat geser didapatkan adanya peningkatan kuat geser setelah dilakukan pembebanan vakum. Tabel 3 menunjukan variasi peningkatan kuat geser. Tabel 3. Hasil pengujian vane shear Kedalaman Vane Strength Sebelum Vacuum = 24 jam 2 ton/m ton/m2 cm 0 0.175 10 0 0.15 20 0 0.1 30



746 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Grafik Vane Strength vs Depth Vane Strength (ton/m2) 0



0.02



0.04



0.06



0.08



0.1



0.12



0.14



0.16



0.18



0.2



0 5



Depth (cm)



10



0.175



15 20



0.15



25 30 35



0.1 Vacuum 90 kPa = 24 jam



Initial



Gambar 4. Grafik hasil pengujian vane shear terhadap variasi kedalaman.



5. KESIMPULAN Hasil penelitian penerapan vacuum selama 24 jam menunjukkan nilai kuat geser mengalami peningkatan dari kondisi inisial 0 kPa menjadi sebesar 1.75 kPa pada kedalaman uji 10 cm dan 1.5 kPa pada kedalaman 20cm sedangkan pada kedalaman 30cm sebesar 1 kPa. Kadar air mengalami penurunan sebesar 17.10% dan mengalami penurunan (settlement) sebesar 8.87 mm.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Indraratna, B. (2010). Recent Advances In The Application Of Vertical drains And Preloading In Soft Soil Stabilisation. Australian Geomechanics Journal, 1-43. 2. Indraratna, B., Rujikiatkamjorn, C., & Geng, X. (2012). Performance and prediction of surcharge and vacuum consolidation via prefabricated vertical drains with special reference to highways, railways and ports. International Symposium on Ground Improvement, pp. II145-II-168. 3. Leong, E. C., Soemitro, R. A., & Rahardjo, H. (2000). Soil improvement by surcharge and vacuum preloadings. Geotechnique, No. 5, 601-605. 4. Mesri , G., & Khan, A. Q. (2011). Increase in shear strength due to vacuum preloading. Pan-Am CGS Geotecnical Conference. 5. Shu-wang, Y., Li-qiang, S., & Kun-bio, W. (2011). Model tests on vacuum preloading technology of super-soft soil. Chinese Journal of Geotechnical Engineering, Vol. 33 No.33:341-347. 6. Sridhar, G., & Robinson, R. G. (2010). Strength and Compressibility of Soft Clay after Vacuum Preloading. Indian Geotecnical Conference, GEOtrendz.



Bidang Geoteknik- 747



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



748 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGARUH PEMBESARAN KEPALA KOLOM BENTUK T-SHAPE PADA SISTEM FONDASI JALAN RAYA TERHADAP DEFORMASI AKIBAT PENGEMBANGAN TANAH EKSPANSIF Agus Setyo Muntohar1 dan Rahmadika Arizal Nugraha1 1



Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. email: [email protected]



ABSTRAK Metode perbaikan tanah dengan teknik kolom kapur atau semen atau bahan pozzolan merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh tekanan pengembangan pada tanah ekspansif. Teknik kolom tersebut juga dapat berfungsi sebagai fondasi perkerasan jalan. Pada naskah ini disajikan hasil pemodelan numerik terhadap model kolom SiCC yang digunakan sebagai sistem fondasi perkerasan lentur jalan. Teknik kolom yang digunakan dalam penelitian memiliki pembesaran pada ujung atas kolom sehingga berbentuk T (T-shape). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh dimensi pembesarn kepala kolom terhadap deformasi sistem fondasi perkerasan lentur jalan. Model kolom-kolom yang menopang lapisan perkerasan lentur jalan dimodelkan sebagai plane strain dalam PLAXIS ver. 8. Diameter kolom (Dc) yang digunakan adalah 0,15 m dengan panjang 1 m. Diameter kepala kolom (Dch) divariasikan 2Dc, 3Dc, dan 4Dc. Jarak antar kolom ke kolom atau spasi (s) diatur 4Dc 5Dc, 6Dc dan 8Dc. Penampang badan jalan yang dimodelkan berukuran 15 m panjang dan kedalaman 10 m, dengan struktur perkerasan jalan setebal 0,2 m untuk lapis fondasi dan 0,2 m subbase serta lapis aspal setebal 0,1 m. Lapisan tanah lempung setebal 4,5 m berada di atas lapisan pasir jenuh air setebal 5 m. Material tanah dan lapisan perkerasan jalan dimodelkan sebagai Mohr-Coulomb model (MC). Pengembangan tanah dimodelkan dengan memberikan volumetric strain sebesar 1% pada material tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum deformasi vertikal tanah akibat tekanan pengembangan berkurang dengan bertambahnya dimensi kepala kolom dan berkurangnya spasi kolom. Perbesaran ukuran kepala kolom hingga 2 kali diameter kolom (Dch = 2Dc atau Dch/Dc = 2) tidak terlalu menyebabkan pengurangan deformasi akibat pengembangan yaitu sebesar 3%. Selanjutnya, perbesaran kepala kolom hingga mencapai 4 kali diameter kolom menghasilkan pengurangan deformasi hingga mencapai 10% jika dibandingkan deformasi tanpa perkuatan kolom. Dengan demikian, semakin besar ukuran kepala kolom cenderung menghasilkan deformasi yang semakin kecil. Kata kunci: teknik kolom, perkerasan lentur, tanah ekspansif, pengembangan



1. PENDAHULUAN Banyak daerah di Indonesia yang memiliki jenis tanah lempung ekspansif, diantaranya ditemukan di Pulau Jawa yang meliputi Cikampek, Cikarang, Serang, Ngawi, Caruban, Solo, Sragen, Wates Yogyakarta, Semarang, Purwodadi, Kudus, Cepu dan Gresik. Sifat kembang dan susut pada tanah lempung ekspansif telah menjadi perhatian untuk ditangani apabila di atasnya akan dibangun jalan raya. Kerusakan jalan raya pada tanah ekspansif disebabkan oleh tidak mempunyai sistem fondasi perkerasan lentur jalan untuk menahan tekanan pengembangan dari tanah ekspansif. Dengan meningkatkan kualitas tanah baik secara fisik, kimiawi, maupun mekanis kita dapat mengatasi fluktuasi muka air yang cukup tinggi sebagai akibat dari pergantian musim. Metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas tanah lempung ekspansif antara lain dengan cara penggantian material atau mencampur tanah, pemakaian cerucuk bambu, pengubahan sifat kimiawi, dan penggunaan geosintesik. Metode perbaikan tanah dengan teknik kolom kapur atau semen atau bahan pozzolan merupakan salah satu teknik yang



Bidang Geoteknik- 749



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh tekanan pengembangan pada tanah ekspansif. Kajian tentang penggunaan kolom-kapur atau kolom kapur/semen untuk memperkuat tanah ekspansif telah diteliti oleh Swamy [1] (2000), Tonoz dkk. [2] (2003), Rao dan Thyagaraj [3] (2003). Hewayde dkk. [4] (2005) menjelaskan bahwa teknik kolom ini dapat juga dianggap seperti fondasi tiang mini (mini pile) yang berfungsi untuk mengendalikan gaya angkat dan deformasi. Muntohar [5] (2014) melakukan simulasi numerik terhadap penggunanan teknik kolom untuk sistem fondasi perkerasan lentur pada tanah ekspansif. Hasil kajiannya menyebutkan bahwa penggunaan teknik kolom dengan pembesaran di bagian kepala kolom dapat mengurangi deformasi vertikal akibat pengembangan, juga mampu mengurangi ―arching effect‖ pada sistem tanah yang didukung oleh kolom-kolom atau tiang-tiang. Pada naskah ini disajikan hasil kajian parametrik terhadap deformasi vertikal sistem perkerasan lentur yang diperkuat dengan kolom-kolom pada tanah ekspansif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jarak spasi kolom (s) dan ukuran kepala kolom (Dch) terhadap deformasi vertikal akibat pengembangan volumetrik tanah ekspansif. Sifat-sifat tanah ekspansif pada naskah ini telah dikaji terlebih dahulu oleh Muntohar [6]. Kolom-kolom yang digunakan berbahan campuran mikro-kalsium dan mikro-silika sebagaimana telah dikaji oleh Muntohar dkk. [7].



2. METODE PENELITIAN Pemodelan Numerik dan Parameter Material Analisis numerik dilakukan dengan memodelkan perkerasan lentur jalan pada lapisan tanah ekspansif sebagai plane strain dalam PLAXIS ver. 8.5. Penampang badan jalan yang dimodelkan berukuran 15 m panjang dan kedalaman 10 m, dengan struktur perkerasan jalan setebal 0,2 m untuk lapis fondasi dan 0,2 m subbase serta lapis aspal setebal 0,1 m. Lapisan tanah lempung setebal 4,5 m berada di atas lapisan pasir jenuh air setebal 5 m (Gambar 1). Model kolom-kolom yang memperkuat perkerasan lentur seperti disajikan pada Gambar 2a. Jarak antar kolom ke kolom atau spasi (s) diatur 4xDc dan 5xDcol. Bentuk kolom yang digunakan seperti digambarkan pada Gambar 2b. Diameter kolom (Dcol) yang digunakan adalah 0,15 m dengan panjang (Lcol) 1 m. Diameter kepala kolom (Dch) divariasikan 2xDcol, 3xDcol, dan 4xDcol serta panjang kepala kolom (Lch) adalah 0,15 m. Material tanah dan lapisan perkerasan jalan dimodelkan sebagai Mohr-Coulomb model (MC). Pengembangan tanah dimodelkan dengan memberikan volumetric strain sebesar 1% (0,65m3/m) pada material tanah lempung. Parameter material yang digunakan untuk simulasi numerik diberikan pada Tabel 1. Leena dan Rainer [8] menjelaskan bahwa pemilihan model keruntuhan bahan menggunakan model MC merupakan kriteria keruntuhan yang sering diadopsi untuk material-material geoteknik dan perkerasan jalan. Tahapan Simulasi Numerik Jumlah elemen (mesh) yang digunakan dalam pemodelan adalah sebanyak 364 elemen berbentuk segitiga. Kondisi awal tekanan air pori diberikan dengan tekanan hidrostatis. Sedangkan, tegangan awal (initial stress) diberikan dengan prosedur Ko. Pada tahap pertama, pengembangan tanah diberikan dengan sebesar 1% (0,63 m 3/m) dengan mengaktifkan volumetric strain pada material tanah lempung ekspansif. Tahap berikutnya adalah pembebanan dengan memberikan distributed load sebesar 1000 kPa dan 450 kPa sesuai dengan tekanan roda kendaraan seperti pada Gambar 1. Deformasi



750 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 yang ditinjau adalah pada permukaan lapisan aspal dan pada potongan I-I, II-II, dan IIIIII. Tabel 41 Parameter material yang digunakan dalam pemodelan PLAXIS Parameter



Tanah Lempung



Pasir



Kolom



Subbase course



Base course



17



20



17



22



21



20 3,0



22 6,0



20 550



24 200



23 400



25 4000



0,495 30 10 -



0,3 0,01 30 5



0,2 43 46 -



0,2 20 40 10



0,2



0,2



30 40 10



30 40 -



MC



MC



Non-Porous



MC



MC



Elastic



Undrained



Drained



Non-Porous



Drained



Drained



Non-Porous



γunsat (kN/m3) γsat (kN/m3) E ref (MPa)



u c' (kPa) ’ (degree)  (degree) Model Kondisi



Aspal 25



Keterangan: E = Young’s modulus of elastisitas; u = the Poisson’s ratio; c’ = kohesi; ’ = sudut gesek internal tanah; ’ = sudut dilatansi; unsat = berat volume tanah kering; sat = berat volume tanah jenuh air ref



5m



0,1 m



1000 kPa



5m 450 kPa



450 kPa



Aspal



0,2 m



4,5 m



0,2 m



Base Subbase



Tanah lempung



Pasir



5m I-I



II-II



III-III



Gambar 38 Pemodelan lapisan tanah dan perkerasan lentur jalan.



Bidang Geoteknik- 751



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Subbase Base Aspal



0,1 m 0,2 m



Kolom



4,5 m



0,2 m



Tanah lempung



5m



Pasir



(a) Dch



Lcol



Lch



S



Dcol



(b) Gambar 39 (a) Pemodelan lapisan tanah dan perkerasan lentur jalan yang diperkuat dengan kolom-kolom, (b) bentuk dan ukuran kolom yang digunakan.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Deformasi Akibat Pengembangan dan Beban Roda Kendaraan Pada Gambar 3a ditunjukkan diagram deformasi vertikal (Uy) terhadap kedalaman tanah akibat pengembangan atau perubahan volume sebesar 1%. Deformasi vertikal terbesar terjadi merata di permukaan perkerasan jalan yaitu sebesar 44 mm. Deformasi vertikal berangsur-angsur berkurang secara linier hingga mencapai lapisan tanah pasir. Akibat pembebanan dari tekanan roda kendaraan, perilaku deformasi vertikal pada permukaan perkerasan jalan seperti disajikan pada Gambar 4. Selama pengembangan, tanah lempung dalam kondisi undrained yang menyebabkan terjadinya tekanan air pori berlebih (excess pore water pressure) sebesar 16 kPa seperti ditunjukkan pada Gambar 3b. Tekanan air pori berlebih menjadi meningkat hingga mencapai 60 kPa ketika lapisan jalan menerima beban roda kendaraan. Kondisi ini menyebabkan tanah dalam kondisi lunak, maka ketika menerima beban roda kendaraan mengalami penurunan hingga -10 mm. Pada kondisi ini terjadi perbedaan penurunan (differential settlement) d sebesar 50 mm pada lapisan perkerasan yang tidak diperkuat kolom-kolom.



752 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tekanan Air Pori, uw (kPa)



Deformasi Vertikal, Uy (mm) 0



40



-40 -20



60



-1



-1



Lempung



Kedalaman, z (m)



0



-2



Kedalaman, z (m)



20



-3 -4 -5 -6 -7



Pa sir



-8



0



Lempung



-20 0



-2 -3 -4



20



40



60



80



Heaving & Loading Heaving



-5 -6 -7



Pasir



-8



-9



-9



-10



-10



Gambar 40 (a) Diagram deformasi vertikal akibat pengembangan, (b) Distribusi tekanan air pori 1000 kPa



450 kPa



450 kPa



Deformasi vertikal (mm)



50 Tahap Pengembangan (swelling)



40 30 20



Tahap Pembebanan (loading)



d



10 0



d = perbedaan penurunan



-10



(differential settlement)



-20 0



5



10



15



Jarak (m)



Gambar 41 Perilaku deformasi vertikal akibat pengembangan dan tekanan roda kendaraan Pemasangan kolom-kolom pada tanah lempung untuk menopang lapisan perkerasan lentur jalan mampu mengurangi perbedaan penurunan seperti ditunjukkan pada profil deformasi dalam Gambar 5. Perbedaan penurunan yang terjadi mencapai 34 mm (Gambar 5a) dan 38 mm (Gambar 5b) masing-masing untuk spasi kolom 4Dc dan 5Dc. Pengurangan nilai perbedaan penurunan lapisan perkerasan lentur tanpa dan dengan perkuatan kolom-kolom tersebut adalah relatif kecil yaitu berkisar 10 mm hingga 16 mm. Hal ini dapat disebabkan oleh kolom-kolom yang masih berada di zona aktif pengembangan (active zone). Kolom-kolom tersebut seperti floating piles yang mana antara tanah dan kolom hanya berupa hubungan mekanis (mechanically improved), sehingga hanya diharapkan agar permukaan tanah mampu mengalami penurunan seragam (uniformly settlement) atau memperkecil differential settlement. Pada kondisi floating piles, maka beban yang ada di atas tiang-tiang atau kolom-kolom akan dilawan oleh gesekan (friction) yang terjadi antara kolom dan tanah lempung. Kondisi serupa juga terjadi untuk tiang-tiang atau kolom-kolom yang digunakan untuk memperkuat struktur timbunan pada tanah lunak sebagaimana dikaji oleh Satibi [9], Ng dan Tan [10].



Bidang Geoteknik- 753



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Perbesaran kepala kolom telah meningkatkan daya atau kemampuan kolom (column efficacy) dalam menerima dan meneruskan beban ke tanah di sekitarnya. Liu dkk. [11] menyebutkan daya kolom merupakan perbandingan konsentrasi tegangan yang terjadi pada kepala tiang dan tegangan pada permukaan tanah dasar. Penggunaan kolom dengan perbesaran di bagian permukaan menghasilkan bidang kontak yang lebih besar, sehingga beban yang bekerja di permukaan jalan akan lebih besar yang diteruskan ke kepala kolom. 1000 kPa



Deformasi, Uy (mm)



450 kPa



450 kPa



50 40 30



20



d



10



Dch = 2Dc Dch = 3Dc



0



Dch = 4Dc



-10



Tanpa Kolom



-20 0



5



10



15



Jarak (m)



(a) 1000 kPa



Deformasi, Uy (mm)



450 kPa



450 kPa



50



40 30



20



d



10



Dch = 2Dc Dch = 3Dc



0



Dch = 4Dc



-10



Tanpa Kolom



-20 0



5



10



15



Jarak (m)



(b) Gambar 42 Tipikal deformasi vertikal perkerasan lentur yang diperkuat kolomkolom akibat pengembangan dan tekanan roda kendaraan (a) spasi = 4Dc , (b) spasi = 5Dc Pengaruh Spasi Kolom dan Pembesaran Ukuran Kepala Kolom Terhadap Deformasi Vertikal Akibat Pengembangan Hubungan antara spasi kolom dan deformasi vertikal lapisan di pemukaan perkerasan jalan akibat pengembangan seperti disajikan pada Gambar 6a. Dari hubungan tersebut dapat diketahui bahwa deformasi vertikal berkurang dengan berkurangnya spasi kolom. Sebaliknya, deformasi vertikal cenderung bertambah dengan bertambahnya spasi



754 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 kolom. Untuk kolom-kolom yang dipasang dengan spasi kolom lebih dari 6Dc terjadi perubahan deformasi yang relatif kecil hingga cenderung tidak mengalami perubahan deformasi. Semakin besar spasi kolom maka menghasilkan luasan bidang cakupan beban yang diterima oleh kolom (load transfer area) menjadi lebih besar dan menyebabkan deformasi yang lebih besar. Pada spasi kolom yang sama, ukuran kepala kolom yang semakin besar mampu mengurangi deformasi vertikal akibat pengembangan. Dalam studi ini, perbesaran ukuran kepala kolom hingga 4 kali ukuran diameter kolom (4Dc) menghasilkan deformasi yang paling kecil. Pada grafik hubungan deformasi dan rasio ukuran kepala kolom dan kolom (Dch/Dc) pada Gambar 6b dapat diketahui bahwa perbesaran ukuran kepala kolom hingga 2 kali diameter kolom (Dch = 2Dc atau Dch/Dc = 2) tidak terlalu menyebabkan pengurangan deformasi akibat pengembangan yaitu sebesar 3%. Selanjutnya, perbesaran kepala kolom hingga mencapai 4 kali diameter kolom menghasilkan pengurangan deformasi hingga mencapai 10% jika dibandingkan deformasi tanpa perkuatan kolom. Dengan demikian, semakin besar ukuran kepala kolom cenderung menghasilkan deformasi yang semakin kecil. Pada simulasi ini belum dapat diketahui ukuran kepala kolom yang optimal. Namun demikian, dapat disebutkan bahwa ukuran kepala kolom dibatasi oleh spasi kolom. Perbesaran kepala kolom akan memperbesar kekakuan (stiffness) kolom dan load transfer area sehingga dapat mengurangi deformasi. Caravajal dkk. [12] juga menyebutkan bahwa penggunaan kekakuan kolom dengan modulus deformasi (E50) lebih besar dari 1000 MPa mampu mengurangi differential settlement tanah dasar. 45



44



Dch = Dc



43



Deformasi, Uy (mm)



Deformasi, Uy (mm)



45



Dch = 2Dc



42 Dch = 3Dc 41



44 S = 8Dc 43 42



41



Dch = 4Dc



40



40 3



4



5 6 7 Spasi, S = n x Dc



8



0



1



2 3 Rasio Dch/Dc



4



(a) (b) Gambar 43 (a) Hubungan spasi kolom dan deformasi vertikal, (b) Hubungan rasio diameter kepala kolom dan diameter kolom (Dch/Dc) dan deformasi vertikal di permukaan perkerasan jalan,



4. KESIMPULAN Simulasi numerik penggunaan kolom-kolom untuk menopang perkerasan lentur jalan telah dilakukan untuk mengkaji pengaruhnya terhadap deformasi akibat pengembangan tanah ekspansif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pemasangan kolom-kolom pada tanah lempung untuk menopang lapisan perkerasan lentur jalan mampu mengurangi perbedaan penurunan. Perbesaran ukuran kepala kolom hingga 2 kali diameter kolom (Dch = 2Dc atau Dch/Dc = 2) tidak terlalu menyebabkan pengurangan deformasi akibat pengembangan yaitu sebesar 3%. Selanjutnya, perbesaran kepala



Bidang Geoteknik- 755



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean kolom hingga mencapai 4 kali diameter kolom menghasilkan pengurangan deformasi hingga mencapai 10% jika dibandingkan deformasi tanpa perkuatan kolom. Dengan demikian, semakin besar ukuran kepala kolom cenderung menghasilkan deformasi yang semakin kecil.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Swamy, V.B., (2000). Stabilisation of Black Cotton Soil By Lime Piles. M.Sc.(Eng.) Thesis, Indian Institute of Science (unpublished). 2. Tonoz M.C., Gokceoglu, C, and Ulusay, R. (2003). A laboratory -scale experimental investigation on the performance of lime columns in expansive Ankara (Turkey) Clay. Bulletin of Engineering Geology and Environment 62:91–106 3. Rao, S.M., and Thyagaraj, T. (2003). Lime slurry stabilisation of an expansive soil. Proceedings ICE - Geotechnical Engineering 156: 139–146 4. Hewayde, E, El Naggar, H., and Khorshid, N. (2005). Reinforced lime columns: a new technique for heave control. Proceedings of the ICE - Ground Improvement 9(2): 79 –87 5. Muntohar, A.S., (2014), Improvement of Expansive Subgrade Using Column Technique of Carbide Lime and Rice Husk Ash Mixtures, Southeast Asia Conference on Soft Soils Engineering and Ground Improvement (SOFT SOILS 2014), Bandung, Indonesia, 20–23 Oktober 2014, pp. I4-1 - I4-6. 6. Muntohar, A.S., (2006). The Swelling Of Expansive Subgrade At Wates-Purworejo Roadway, STA. 8+127. Dimensi Teknik Sipil 8(2): 106 – 110. 7. Muntohar, A.S., Rosyidi, S.A.P., Diana, W., and Iswanto (2014). Pengembangan Fondasi Perkerasan Lentur Jalan Dengan Kolom Eco Si-CC Pada Tanah Ekspansif. Laporan Peelitian Tahun I ―Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi‖, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta (unpublished) 8. Leena, K-T. and Rainer, L. (2004), Modeling of the stress state and deformations of APT tests. Proceeding of the 2nd International Conference on Accelerated Pavement Testing, September 26–29, 2004, Minneapolis, Minnesot, USA. (CD ROM) 9. Satibi, S. (2009) Numerical analysis and Design criteria of embankment on floating piles. Mitteilung 62, des Instituts für Geotechnik, Universität Stuttgart. 10. Ng, K.S. and Tan, S.A. (2014) Design and analyses of floating stone columns, Soils and Foundations 54 (3): 478–487 11. Liu S-Y., Du Y-J., Yi Y-L., and Puppala A.J., (2012) Field Investigations on Performance of T-Shaped Deep Mixed Soil Cement Column–Supported Embankments over Soft Ground. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering 138(6) : 718–727 12. Carvajal, E., Vukotić, G., Sagaseta, C., Wehr W. (2013) Column Supported Embankments for Transportation Infrastructures: Influence of Column Stiffness, Consolidation Effects and Cyclic Loading. Proceedings of the 18th International Conference on Soil Mechanics and Geotechnical Engineering, 2-6 September 2013, Paris, France Vol 2: 2441-2444



756 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMODELAN DAN SIMULASI BUTIRAN HALUS MENJADI BUTIRAN KASAR BERGRADASI BAIK (WELL GRADED) Akhmad Maliki 1, Noor Endah Mochtar 2, Ali Altway3 1



Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email : [email protected] 2 Guru Besar Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email : [email protected] ; [email protected] 3 Guru Besar Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email : [email protected]



ABSTRAK Pertumbuhan penduduk yang pesat selalu disertai dengan pembangunan infrastruktur, yang berarti diperlukan tambahan lahan. Mengingat lahan yang semakin sempit maka tindakan reklamasi yang dilakukan dengan cara mengurug lahan yang rendah sering dilakukan. Material urugan tanah untuk reklamasi yang berupa tanah sirtu biasanya diambil dari quarry (galian C); hanya saja tindakan ini sangat merusak lingkungan di lokasi quarry seperti terjadinya genangan air atau kelongsoran tebing. Di sisi lain, banyak tersedia tanah endapan lempung hasil pengerukan sungai yang sering dibiarkan menumpuk disepanjang tepi sungai; bahkan endapan lumpur Lusi (Lumpur Sidoarjo) yang volumenya jutaan ton sangat perlu untuk dimanfaatkan dengan cepat. Oleh sebab itu apabila tanah lempung tersebut dapat dirubah menjadi tanah sirtu maka tanah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tanah urug untuk reklamasi. Dengan dasar pemikiran tersebut maka dilakukan kajian ini untuk merubah tanah berbutir halus menjadi tanah berbutir kasar. Pembesaran butiran lempung dapat dilakukan melalui proses granulasi dengan menggunakan drum granulator berputar. Distribusi ukuran butiran yang dihasilkan oleh tabung granulator dipengaruhi oleh diameter drum, panjang drum, kecepatan putar drum, kemiringan drum, banyaknya air yang disemprotkan pada kecepatan tertentu, dan waktu tinggal drum. Untuk memudahkan pelaksanaan proses granulasi maka dibuat model matematis dan simulasi dari parameter tabung granulator dengan menggunakan program Matlab. Dengan simulasi tersebut dapat diketahui variasi dari kecepatan putar drum, kemiringan drum, banyaknya air yang disemprotkan pada kecepatan tertentu, dan waktu tinggal drum agar diperoleh distribusi ukuran butiran yang bergradasi baik / well graded (ukuran butiran yang bila dipadatkan dapat memberikan kekuatan mendukung beban maksimum). Dalam kajian ini, panjang dan diameter drum granulator sudah tertentu yaitu masing-masing sebesar 2,0 meter dan 0,4 meter. Kata kunci: granulator, model matematis, tanah berbutir halus, tanah well graded.



1. PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk yang pesat selalu disertai dengan pembangunan infrastruktur, yang berarti diperlukan tambahan lahan. Mengingat lahan yang semakin sempit maka tindakan reklamasi yang dilakukan dengan cara mengurug lahan yang rendah yang berupa persawahan, rawa, atau pantai sering dilakukan. Material urug untuk reklamasi yang berupa tanah sirtu biasanya diambil dari quarry (galian C); hanya saja tindakan ini sangat merusak lingkungan di lokasi quarry seperti terjadinya genangan air atau kelongsoran tebing. Di sisi lain, banyak tersedia tanah endapan lempung hasil pengerukan sungai yang sering dibiarkan menumpuk disepanjang tepi sungai; bahkan endapan lumpur Lusi (Lumpur Sidoarjo) yang volumenya jutaan ton sangat perlu untuk dimanfaatkan dengan cepat dan dalam volume yang besar.



Bidang Geoteknik- 757



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Apabila tanah lempung/tanah berbutir halus tersebut dapat dirubah menjadi tanah berbutir kasar, maka tanah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tanah urug untuk reklamasi. Pembesaran butiran halus menjadi butiran kasar disebut sebagai proses granulasi dimana proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan drum granulator berputar. Distribusi ukuran butiran yang dihasilkan oleh tabung granulator dipengaruhi oleh diameter drum, panjang drum, kecepatan putar drum, kemiringan drum, banyaknya air yang disemprotkan pada kecepatan tertentu dan waktu tinggal dalam drum. Untuk memudahkan pelaksanaan proses granulasi maka dibuat suatu model matematis dan simulasi dari parameter tabung granulator dengan menggunakan program Matlab [1] untuk memperoleh parameter yang sangat diperlukan untuk mendapatkan distribusi ukuran butiran yang diperlukan. Dalam makalah ini akan dijelaskan cara mengembangkan model matematis dalam rangka menentukan parameter dari tabung granulator yang meliputi kecepatan putar drum, kemiringan drum, volume air yang disemprotkan, dan waktu tinggal dalam drum agar dapat dihasilkan butiran yang bergradasi baik (well graded). Dalam penelitian ini, diameter dan panjang drum sudah ditentukan.



2. GRANULASI Granulasi didefinisikan sebagai proses dimana butiran kecil yang dikumpulkan menjadi lebih besar tetapi dengan massa yang tetap; sehingga butiran – butiran asli masih dapat diidentifikasi [2]. Metode granulasi dapat dibagi menjadi dua jenis utama yaitu : metode basah yang memanfaatkan cairan untuk mengikat partikel dasar dan metode granulasi kering yang tidak memanfaatkan cairan apapun. Kapur and Fuerstenau [3] mengusulkan tentang mekanisme dasar pembesaran butiran yang dikenal sebagai mekanisme coalescence, balling, dan pellet wetting; Mekanisme tersebut kemudian dikembangkan menjadi mekanisme coalescence acak, coalescence non-acak, layering dan abration transfer. Mekanisme yang digunakan dalam kajian ini adalah mekanisme coalescence. Skema dari mekanisme proses pembesaran butiran tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 1. Pertumbuhan Granulasi Nucleation



jp1- Pi ------> Pi+ Pj -----> Pi+j



Coalescence ------>



Pi+ jP1 -----> Pi+j



Layering



------>



Abration Transfer -----> atau



----->



Pi+ Pj



-----> ----->



Pi+1+ Pj-1 Pi-1+ Pj+1



Gambar 1. Skema pertumbuhan pembesaran butiran/granulasi [4]



758 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. MEKANISME COALESCENCE Kapur dan Runkana [5] mencoba membandingkan model coalescence acak dan model coalescence non acak/koordinasi. Dari hasil kajiannya ternyata model coalescence acak memberikan hasil yang lebih memuaskan untuk proses granulasi; selain itu coalescence acak lebih mudah perhitungannya dan penerapanya. Model coalescence acak yang diperkenalkan oleh Kapur dan Fuerstenau [6] dan Kapur [7] menunjukan bahwa laju kogulasi antar partikel dengan dua ukuran i dan j berbanding lurus dengan hasil kali konsentrasi jumlahnya, ni x nj; dengan menggunakan populasi neraca, proses granulasi bisa dinyatakan sebagai berikut: ( )



( )



( )







( )



.....................................................................(1)



i = 1, 2, 3...... persamaan (1) dapat diselesaikan secara analitik yaitu, ( )



( )(



)



.



0







1



/



,



-...................................................(2)



4. DRUM GRANULATOR BERPUTAR Salah satu peralatan untuk proses granulasi adalah menggunakan drum granulor berputar. Variabel dari drum granulator terdiri dari diameter (Di) dan panjang (L) yang berkaitan dengan kecepatan putar granulator (N) dan kemiringan granulator (S). Proses yang menentukan kinerja drum granulator adalah waktu tinggal (). Perancangan drum granulator dapat berkorelasi dengan cara persamaan empiris yaitu persamaan waktu tinggal dalam drum granulator () dalam menit [8] sebagai berikut :



̅



(



)



..........................................................................................................(3)



dimana : L adalah panjang granulator (m), Di adalah diameter granulator (m), N adalah kecepatan putar granulator (rpm) dan S adalah kemiringan granulator ()



5. DISTRIBUSI BUTIRAN BERGRADASI BAIK/WELL GRADED Kinerja suatu peralatan granulator yang baik adalah distribusi ukuran produk butiran yang dihasilkanya; hasil dari distribusi ukuran tersebut dinyatakan dalam kurva distribusi ukuran. Kriteria distribusi ukuran butiran bergantung pada kegunaan butiran yang dihasilkannya. Apabila digunakan sebagai tanah urug reklamasi, distribusi ukuran butiran yang digunakan harus bergradasi baik/well graded. Suatu tanah dikatakan bergradasi baik/well graded apabila distribusi ukuran butirannya memenuhi syarat klasifikasi menurut USCS (United State Classification System) yaitu: koefisien keseragaman (Cu) ≥ 4 untuk kerikil ≥ 6 untuk pasir, dan koefisen gradasi 1 ≤ (Cc) ≤ 3 [9]. Untuk mendapatkan harga Cu dan Cc tersebut dapat digunakan persamaan berikut :



Bidang Geoteknik- 759



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean  Koefisien keseragaman (Cu) dinyatakan sebagai : Cu =



..................................................................................................................(4)



dimana : Cu = Koefisien keseragaman D60 = diameter yang bersesuaian dengan 60% lolos ayakan yang ditentukan dari kurva distribusi ukuran butiran.  Koefisien gradasi (Cc) dinyatakan sebagai : Cc =



...........................................................................................................(5)



dimana : Cc = Koefisien gradasi D30 = Diameter bersesuaian dengan 30% lolos ayakan



6. METODOLOGI Dalam rangka mengembangkan model matematis untuk menentukan parameter dari drum granulator, tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2. Mulai



Penentuan distribusi ukuran butiran tanah lempung dengan pengujian Ayakan dan Hidrometer



Pembuatan program : Algoritma pemodelan (Gambar 2)



Simulasi program



1. 2. 3.



Input variabel bebas : Kecepatan putar granulator Kemiringan granulator Rate feed (laju alir) umpan



Output : Kurva distribusi ukuran butiran yang bervariasi



Tidak



Bentuk kurva butiran bergradasi baik (Well Graded) Ya Kesimpulan



Selesai



Gambar 2. Bagan alir pembuatan model dan simulasi untuk merubah tanah berbutir halus menjadi tanah berbutir kasar



760 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Mulai



Pembuatan program dengan Matlab



Variabel bebas : 1. Kecepatan putar granulator (N) (5 – 10 rpm) 2. Kemiringan sudut granulator (S) (2 – 7 derajat) 3. Rate feed (laju alir) umpan (kg/menit)



Variabel tetap : 1. Distribusi ukuran butiran 2. Diameter drum granulator (Di) 3. Panjang drum granulator (L) 4. Densitas butiran lempung (1300 kg/m3) 5. Harga ―k‖ (konstanta kecepatan granulasi)



Proses granulasi dengan mekanisme coalescence : a). Waktu tinggal drum granulator : =



𝐿 𝑆𝑁



𝐷𝑖



b). Jumlah butiran dengan ukuran i pada saat t = 0 : 𝑁( )



( (



𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑒𝑒𝑑 u n n u u n u n



) un )



c). Neraca populasi proses granulasi : 𝑛𝑖 (𝑡)



𝑁( )(



)𝑖



.



0



𝑘



1



/



𝑖



, 𝑘 -



Output: Kurva distribusi ukuran butiran



Selesai



Gambar 3. Algoritma pemodelan untuk pembuatan kurva distribusi ukuran butiran



7. DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN LEMPUNG YANG DI KAJI Dalam kajian ini tanah lempung yang digunakan untuk input distribusi ukuran butiran adalah Lumpur Sidoarjo (LuSi) yang diambil pada kedalaman 50 cm dari permukaan. Pengujian analisa Ayakan dan Hidrometer [10] dilakukan untuk memperoleh distribusi ukuran butiran lempung yang dikaji dan hasilnya diberikan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa persentase butiran pasir-halus sebesar 5,02 % dan sisanya merupakan butiran lanau lempung yaitu sebesar 94,98 % yang berarti bahwa tanah tersebut sebagian besar merupakan butiran halus. Dalam kajian ini tanah berbutir halus tersebut akan dirubah menjadi tanah berbutir kasar/granular.



Bidang Geoteknik- 761



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 4. Kurva distribusi ukuran butiran tanah lempung



8. PEMODELAN DAN SIMULASI PROSES GRANULASI Proses granulasi yang digunakan pada kajian ini adalah mekanisme coalescence, karena mekanisme ini lebih cocok pada ukuran butiran input yang hampir sama. Pemodelan matematis proses granulasi butiran tanah lempung menggunakan Persamaan (2). Penyelesaian persamaan tersebut diperlukan untuk mengestimasi waktu tinggal dalam drum granulator yang terdapat pada Persamaan (3). Simulasi dilakukan dengan membuat variasi parameter variabel bebas seperti: kecepatan putar drum granulator (N), kemiringan sudut drum granulator (S) dan rate feed umpan yang terdapat pada Gambar 3. Dari hasil simulasi proses granulasi didapatkan kurva distribusi ukuran butiran yang bervariasi; harga parameter variabel bebas yang menghasilkan kurva distribusi ukuran butiran yang mempunyai bentuk mendekati well graded yaitu kecepatan putar drum granulator (N) = 10 rpm, sudut kemiringan drum granulator (S) = 6 derajat dan rate feed umpan = 1,35 kg/menit. Tabel 1 memperlihatkan perbandingan distribusi ukuran butiran kondisi initial dengan distribusi ukuran butiran dari hasil simulasi proses granulasi. Tabel 1 menunjukkan bahwa pembesaran ukuran butiran didominasi oleh butiran pasirsedang dan pasir-halus sebesar 71,13 %, sedangkan lanau lempung sebesar 28,70%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil simulasi proses granulasi mengalami pembesaran ukuran butiran dimana sebelumnya yaitu kondisi initial ukuran butiran didominasi oleh tanah lempung/butiran halus sebesar 94,98 %. Hasil simulasi proses granulasi distribusi ukuran butiran tersebut diplot seperti ditunjukkan pada Gambar 5.



762 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 1. Perbandingan Distribusi Ukuran Butiran Kondisi Initial dan Hasil Simulasi Proses Granulasi Distribusi Ukuran Distribusi Ukuran Butiran Kondisi Butiran Hasil Initial Simulasi No Persentase Persentase Diameter lolos Diameter lolos lebih (mm) ayakan (mm) kecil dari (%) 0,42500 99,63 1,0928 100,00 1 0,25000 99,19 0,6300 65,09 2 0,15000 98,26 0,3700 45,87 3 0,07500 94,98 0,1808 34,70 4 0,04557 94,87 0,1072 30,94 5 0,03271 92,94 0,0750 28,70 6 0,02493 79,44 0,0554 26,50 7 0,01807 75,58 0,0389 23,93 8 0,01316 69,80 0,0274 21,38 9 64,98 0,0196 18,83 10 0,00980 0,00721 56,30 0,0138 16,14 11 50,52 0,0093 13,45 12 0,00511 43,77 0,0065 11,10 13 0,00380 35,86 0,0051 8,78 14 0,00318 0,00280 31,24 0,0041 5,65 15 22,17 0,0015 1,03 16 0,00118 11,57 0,00086 0,37 17 0,00086



0,54



0,092



0,006



Gambar 5. Kurva distribusi ukuran butiran dari hasil simulasi proses granulasi Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa diameter dimana butiran yang lolos ayakan 60 %, 30%, dan 10% adalah masing-masing sebesar 0,54 mm, 0,092 mm, dan 0,006 mm.



Bidang Geoteknik- 763



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tanah yang begradasi baik harus memenuhi parameter koefisien keseragaman (Cu) yang ditentukan dengan menggunakan persamaan (5) dan koefisien gradasi (Cc) yang dihitung dengan menggunakan persamaan (6). Dari perhitungan diperoleh bahwa harga Cu = 90 dan harga Cc = 2,61. Berdasarkan sistim klasifikasi USCS, syarat ukuran butiran bergradasi baik/well graded yaitu harga Cu ≥ 4 untuk kerikil dan Cu ≥ 6 untuk pasir, dan harga 1 ≤ (Cc) ≤ 3 [8]. Oleh sebab itu, tanah hasil simulasi dari proses granulasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai tanah pasir bergradasi baik/well graded. Hanya saja, untuk dipakai sebagai tanah urug, hasil simulasi tersebut masih kurang memuaskan karena tanah granular yang dihasilkan tidak mengandung kerikil dan pasir kasar.



9. KESIMPULAN Dari uraian yang diberikan di atas dapat disimpulkan bahwa simulasi proses granulasi dari model yang dikembangkan dalam kajian ini dapat menghasilkan kurva dari tanah pasir yang bergradasi baik apabila: 1. Kemiringan drum granulator sebesar 6 derajat. 2. Kecepatan drum granulator sebesar 10 rpm. 3. Harga k (konstanta kecepatan granulasi) sebesar 0,45. Dalam kajian ini, diameter dan panjang drum granulator adalah tetap yaitu masingmasing sebesar 0,4 meter dan 2 meter.



10. DAFTAR PUSTAKA Irawan, F. A., (2012), ―Buku Pintar Pemograman Matlab‖. MediaKom. Yogyakarta. 2. Ennis B.J., and Litser J.D., ―Particle enlargement‖. In: Perry R.H., Greens D., eds. (1997), ―Perry‘s Chemical Engineer‘s Handbook‖. 7th ed. New York, McGraw Hill, 20-56-20-89. 3. Kapur, P. C. and Feurstenau, D. W., (1964), ―Kinetics of Green Pelletisation. Transaction of AIME 229, 348 – 355. 4. Sastry K. Feurstenau D. In: Sastry K., (1997), ―ed. Agglomeration 77‖. New York: AIME, 381. 5. Kapur, P. C. and Runkana, V., (2003), ―Balling and Granulation Kinetics Revisitied‖. International Journal Miner Process, 72 (2003) 417 – 427. 6. Kapur, P. C. and Feurstenau, D. W., (1969),―A coalescence model for granulation. Industrial & Engineering Chemistry Process Design and Development‖. 8, 56– 62. 7. Kapur, P. C., (1978), ―Balling and granulation‖ in: Drew T.B., et al., (Eds.), Advances in Chemical Engineering, vol. 10. Academic Press, New York, pp. 55 – 123. 8. Perry dan Chilton, (1973) In: Yliniemi, L. (1999), ―Advanced Control of A Rotary Dryer‖. Oulu University Library, University of Oulu Finland. 9. Das, B. M., (1985), Alih bahasa : Noor Endah dan Indrasurya B. (1988), ―Mekanika Tanah (Prinsip – prinsip Rekayasa Geoteknis)‖, Jilid I, Erlangga Jakarta. 10. Mochtar, I.B., Khoiri, M., Lastiasih Y., (2012), ―Petunjuk Pengujian Tanah di Laboratorium dan Praktikum Mekanikah Tanah‖, ITS Press, Suarbaya. 1.



764 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



DESAIN EKSPERIMENTAL MENGGUNAKAN METODE TAGUCHI PADA DAYA DUKUNG LERENG YANG DIPERKUAT TIANG BAMBU KOMPOSIT As’ad Munawir1 1



Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, [email protected]



ABSTRAK Efek pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi menyebabkan meningkatnya pembangunan konstruksi dan menurunnya lahan yang tersedia. Penggunaan rekayasa perkuatan tanah pada lahan yang kurang menguntungkan dan terbatas seperti lereng menjadi sangat penting. Salah satu cara mencegah dan mengatasi adalah memberi perkuatan pada lereng. Perkuatan ini dapat mengatasi daya dukung (bearing capacity) sekaligus meningkatkan faktor keamanan (factor of safety/FS) terhadap stabiltas longsor lereng (slope stability). Sistem perkuatan lereng yang digunakan adalah pemancangan tiang bambu komposit dengan variasi parameter diameter tiang, panjang tiang, jarak antar tiang, dan lokasi tiang sebagai variabel bebas. Dalam penelitian ini digunakan pasir bergradasi halus dan dilakukan di dalam bak uji berukuran panjang 1,50 m; lebar 1,0 m; dan tinggi 1,0 m. Beban dimodelkan dengan pondasi menerus yang menyalurkan beban dari load cell. Penambahan beban dilakukan secara bertahap hingga mencapai beban runtuh. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan variable bebas yang paling mempengaruhi kinerja daya dukung(qu) serta peningkatan daya dukung (BCI) yang optimal pada lereng yang diperkuat tiang. Untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap kinerja qu dan BCI digunakan rancangan eksperimen Fractional Factorial Taguchi empat faktor dan tiga level (34) menggunakan matriks orthogonal Taguchi L27-313 dengan 27 pengujian. Untuk mendapatkan kontribusi masing masing variabel bebas dan variabel yang paling optimum digunakan analisis varian (ANOVA) Taguchi. Model matematik regresi multi arah Taguchi diguanakan untuk mendapatkan model regresi dari qu dan BCI terhadap variabel bebas rasio diameter tiang (D/B), rasio jarak antar perkuatan tiang (D1/B), rasio lokasi perkuatan tiang (Lx/L), rasio panjang tiang (H/B). Hasil model matematik qu dan BCI diverifikasi dengan program Minitab 16. Hasil analisis menunjukkan variable diameter tiang dan jarak antar tiang memberikan kontribusi yang paling menentukan kinerja qu dan BCI. Kata kunci: daya dukung ANOVA,TAGUCHI



(qu), peningkatan daya dukung (BCI), tiang bambu komposit,



1. PENDAHULUAN Pembangunan konstruksi menggunakan pondasi dangkal pada lereng alami maupun buatan menyebabkan lemahnya daya dukung dan tingginya potensi longsor secara signifikan oleh pergerakan massa tanah. Salah satu cara mencegah dan menanggulangi nya adalah melakukan perkuatan pada lereng. Perkuatan ini dapat mengatasi masalah penurunan (settlement), daya dukung (bearing capacity) sekaligus meningkatkan faktor keamanan (factor of safety/FS) terhadap stabiltas longsor lereng (slope stability) . Perkuatan tanah pada lereng akhir-akhir ini sedang dikembangkan adalah dengan cara memancangkan tiang dalam baris pada puncak lereng atau pada lerengnya. Perkuatan tiang dalam baris sebagai elemen perkuatan lereng mereduksi tekanan tanah lateral melalui transfer gaya kepada penahan tiang-tiang pada jarak tertentu pada lereng. Dengan kemampuan mereduksi tekanan tanah lateral, penurunan yang terjadi dapat direduksi, daya dukung dan stabilitas lereng akan meningkat. Pembahasan perkuatan lereng menggunakan tiang dalam baris sebagai inovasi dan solusi yang efisien untuk



Bidang Geoteknik- 765



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean meningkatkan daya dukung pondasi, meningkatkan faktor keamanan lereng dan tiang dapat dipancang atau dibor tanpa mengganggu keseimbangan statisnya ( Ito T Matsui, 1975; Ito T Matsui dan Hong WR, 1981-1982; Poulos, 1995; Chen dan Poulos, 1997; Ausilio et al., 2001; Cai dan Ugai, 2003; Jeong, 2005; Eng Chew Ang, 2005; M.Yamin, 2007; W.B. Wei dan Y.M Cheng, 2009, Wassel Al Badour, 2010). Problematika tekanan tanah yang bekerja pada tiang dalam baris pada lereng adalah problem interaksi tanah-struktur yang komplek dan tergantung pada besarnya perpindahan plastis tanah (Mehmet Rifat et al.; 2009, W.B. Wei dan Y.M Cheng; 2009). Perpindahan plastis tanah pada lereng yang diperkuat tiang dalam baris dipengaruhi oleh jarak antar tiang , diameter tiang, panjang tiang, posisi tiang pada lereng, deformasi tiang dan perpindahan relatif sistim tiang-tanah (Hassiotis et al., 1997; Chen et al.,1997 ; Chai F dan Ugai K, 2000; Ausilio et al ., 2001; Won et al., 2005; Eng Chew Ang, 2005; Abdelrahman G.E et al.,2005; Lee dan Wang, 2006; Wei dan Cheng, 2009; Mehmet Rifat et al., 2009; Ren-Ping Li, 2009, Seyhan Firat, 2009).



2. PROSEDUR PENGUJIAN 2.1. Model Boks Elemen utama yang digunakan antara lain boks, terbuat dari fiber glass dengan ukuran panjang 1,50 m, lebar 1,0 m dan tinggi boks 1,0 m. Dasar boks menggunakan pelat baja tebal 1,2 cm sedangkan sisi samping, belakang boks menggunakan baja dengan tebal 4 mm, sedangkan sisi depan boks menggunakan fiberglass dengan tebal 10 mm. Pelat pengaku dipasang pada sudut-sudut boks menggunakan pelat strip baja siku 40.40.4. Boks dibuat cukup kaku dengan harapan agar dapat mempertahankan kondisi regangan bidang. Penggunaan fiberglass diharapkan agar dapat diamati dan dilihat saat persiapan. Sisi dalam boks fiberglass dihaluskan supaya dapat mereduksi gesekan dengan bahan pasir. Gambar boks dan denah boks ditunjukkan pada Gambar 2.1



Gambar 2.1 Boks percobaan/eksperimen 2.2. Model Lereng Tanah yang akan digunakan sebagai model lereng diayak terlebih dahulu dengan saringan No.4 dan tanah yang lolos saringan tersebut digunakan sebagai tanah bentukan lereng. Tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam boks uji dengan volume 700000 cm3 yang dibagi dalam 7 lapisan dengan tinggi masing-masing lapisan 10 cm. Kemudian dipadatkan dengan menggunakan alat penumbuk Standart Compaction dengan spesifikasi berat 5,5 lb dan tinggi jatuh 1 ft. Jumlah tumbukan yang dilakukan sebanyak 150 kali untuk Rc 74% dan sebanyak 660 kali untuk Rc 88% per lapisan.



766 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Setiap lapisan yang telah dipadatkan diuji kadar air dan kepadatan sebagai kontrol. Selanjutnya, tanah siap untuk dibentuk lereng dengan kemiringan 50o. Selain itu, strain gauge yang terpasang pada tiang dihubungkan dengan alat strain meter agar nilai regangan dapat diukur serta dipasang alat LVDT (Linear Variable Differential Transformer) pada salah satu ujung tiang untuk mengetahui perpindahan tiang. Pembebanan berupa beban merata menggunakan dongkrak hidrolik dan dibaca dengan load cell. Variabel terukur dalam eksperimen adalah penurunan pada pondasi. 2.3 Variabel Penelitian 2.3.1 Variabel bebas/ faktor dan level : D1= jarak antar tiang (1.9cm; 2.54 cm; 3.175 cm) D = diameter tiang (7.5 cm; 10 cm; 12.5 cm) Lx = lokasi tiang (0.45 L;0.70 L; 0.90 L) H = panjang tiang (35 cm; 40 cm; 45 cm) L = jarak mendatar dari kemirinagn lereng 2.3.2 Respon : qu = daya dukung batas BCI= peningkatan daya dukung (bearing capacity improvement) 2.3.3 Variabel Terkendali: 1. Rc = pemadatan relatif 2. B = lebar pondasi 3. Jarak pondasi ke tepi lereng 4. sudut kemiringan lereng 50o Bentuk model lereng dapat ditunjukkan pada Gambar 2.2 sebagai berikut.



D D1



100



H



B



DETAIL PILE



Lx B



L



TAMPAK ATAS KETERANGAN B D D1 Lx L



= Lebar pondasi menerus = Diameter tiang = Jarak antar tiang dalam baris = Jarak tiang terhadap posisi bawah lereng = Jarak tepi lereng terhadap posisi bawah lereng



Gambar 2.2 Tampak Model Penampang Lereng



Bidang Geoteknik- 767



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. MODEL RANCANGAN EKSPERIMEN Bertujuan melihat pengaruh penambahan tiang terhadap peningkatan daya dukung batas pondasi (qu), dan peningkatan faktor keamanan lereng (FS). Eksperimen dengan variable bebas(faktor): (D1/B) = rasio jarak antar tiang terhadap lebar pondasi (D/B) = rasio diameter tiang terhadap lebar pondasi (Lx/L) = rasio lokasi tiang terhadap jarak datar bidang kemiringan lereng (H/B) = rasio panjang tiang terhadap lebar pondasi Rancangan eksperimen dengan variable bebas di atas dilakukan dengan skema faktorialTaguchi dengan empat faktor dan tiga level (34) menggunakan rancangan fraksional matriks ortogonal (orthogonal array) Taguchi L27-313 dengan interaksi, menggunakan 27 pengujian. Rancangan penelitian dibuat 27 pengujian dengan masingmasing Rc =74% dan Rc=88%. Dari rancangan eksperimen diharapkan diperoleh model regresi tentang pengaruh semua variable terhadap daya dukung pondasi (qu) dan BCI (Bearing Capacity Improvement). Bentuk matriks rancangan empat faktor dan tiga level Taguchi L27-313 ditunjukkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Respon empat faktor dan tiga level dariTaguchi L27-313



768 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 3.2 Rancangan faktorial empat faktor dan tiga level Disain Eksperimen Empat Faktor dan Tiga Level Fraksional Faktorial (w= 12% dan Rc=74%) (D/B)1 = 0,1905



w = 12% Rc = 74% (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)1 = (H/B)2 = 4,0 0,9 (H/B)3 = 4,5 (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)2 = (H/B)2 = 4,0 0,7 (H/B)3 = 4,5 (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)3 = (H/B)2 = 4,0 0,45 (H/B)3 = 4,5



(D/B)2 = 0,254



(D/B)3 = 0,3175



(D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = (D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = (D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = 0,75 1,00 1,25 0,75 1,00 1,25 0,75 1,00 1,25



y1



y22 y10



y16



y4



y25



y19



y13



y7



y20



y14



y8



y2



y23



y17



y11



y5



y26



y12



y6



y27



y21



y15



y3



y9 y24



y18



Disain Eksperimen Empat Faktor dan Tiga Level Fraksional Faktorial (w= 15% dan Rc=88%) (D/B)1 = 0,1905 (D/B)2 = 0,254 (D/B)3 = 0,3175 w = 15% (D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = (D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = (D1/B)1 = (D1/B)2 = (D1/B)3 = Rc = 88% w = 15% 0,75 1,00 1,25 0,75 1,00 1,25 0,75 1,00 1,25 Rc = 88% y1 y22 y16 (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)1 = y10 y4 y25 (H/B)2 = 4,0 0,9 y19 y13 y7 (H/B)3 = 4,5 (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)2 = (H/B)2 = 4,0 0,7 (H/B)3 = 4,5 (H/B)1 = 3,5 (Lx/L)3 = (H/B)2 = 4,0 0,45 (H/B)3 = 4,5



y20



y14



y2



y8 y23



y17



y11



y5



y26



y12



y6



y27



y21 y3



y15



y9 y24



y18



Keterangan variable respon : (D1/B) = rasio jarak antar tiang terhadap lebar pondasi (D/B) = rasio diameter tiang terhadap lebar pondasi (Lx/L) = rasio lokasi tiang terhadap jarak datar bidang kemiringan lereng (H/B) = rasio panjang tiang terhadap lebar pondasi



4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Eksperimen qu dengan Rasio Penurunan (s/B) Uji eksperimen dalam skala model berbasis data rancangan Taguchi menghasilkan kurva hubungan antara daya dukung pondasi (qu) dengan penurunan (s), rasio dan penurunan (s/B) ditunjukkan pada Gambar 4.1 untuk Rc=74% dan Gambar 4.2 untuk Rc=88%.



Bidang Geoteknik- 769



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean qu (kN/m2); Rc=74%



10



20



30



40



50



0



0



2



2



4



4



6



6



8



8



10



s/B (%)



s (mm)



0



10 y7



12



y16



y25



tanpa pile



12



Gambar 4.1 Hubungan qu dengan rasio penurunan(s/B) untuk Rc=74% qu (kN/m2); Rc=88%



0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4



20



y7



y16



40



y25



60



tanpa pile



80 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4



s/B (%)



s (mm)



0



Gambar 4.2 Hubungan qu dengan rasio penurunan(s/B) untuk Rc=88% Keterangan : y7(D/B=0.3175; D1/B=0.75; H/B=4.5; Lx/L=0.90) y16(D/B=0.3175; D1/B=1.0; H/B=3.5; Lx/L=0.90) y25(D/B=0.3175; D1/B=1.25; H/B=4; Lx/L=0.90)



4.2 HASIL ANALISIS ANOVA TAGUCHI Untuk melihat pengaruh dari berbagai variasi dilakukan analisis ragam. Analisis ragam bertujuan untuk menguji faktor yang dominan dengan pendekatan faktorial Taguchi. Dengan metode statistik ini dapat dilihat faktor yang menghasilkan daya dukung yang optimal seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3



770 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 4.1 Analisis varian rasio S/N untuk qu; Rc=74% PROGRAM ANALISIS VARIAN RASIO S/N FRACTIONAL FACTORIAL METODE TAGUCHI DENGAN POOLING UP Developed By:"As'ad Munawir" INPUT



OUTPUT



DATA



Parameter



DF



SS



MS



SS'



ρ (%)



y1 =



25,04



y10=



23,85



y19=



26,24



(D1/B)



2



11,488



5,744



11,384



27,18



y2 =



28,62



y11=



29,81



y20=



23,85



(D/B)



2



17,792



8,896



17,688



42,23



y3 =



28,62



y12=



21,47



y21=



22,66



(D1/B)x((D/B)1)



4



0,549



0,137



0,342



0,816



y4 =



31,01



y13=



31,01



y22=



23,85



(D1/B)x((D/B)2)



4



0,000



0,000



0,000



0



y5=



38,16



y14=



28,62



y23=



26,24



(Lx/L)



2



6,101



3,050



5,997



14,32



y6=



26,24



y15=



26,24



y24=



26,24



(D1/B)x((Lx/L)1)



4



0,000



0,000



0,000



0



y7=



38,16



y16=



28,62



y25=



28,62



(D1/B)x((Lx/L)2)



4



0,132



0,033



0,000



0



y8=



35,78



y17=



33,39



y26=



33,39



(H/B)



2



11,195



5,597



11,091



26,48



y9=



33,39



y18=



33,39



y27=



25,05



Error



14



0,727



0,052



-



FAKTOR



4



LEVEL



3



N



27



Total



26



41,883



-



-



-



qu , Rc=74%



Tabel 4.2 Kombinasi level, faktor jumlah kuadrat yang optimum untuk qu; Rc=74% KOMBINASI LEVEL , FAKTOR OPTIMUM RASIO S/N (D1/B)



(D/B)



(D1/B)x((D/B)1)



(D1/B)x((D/B)2)



(Lx/L)



(D1/B)x((Lx/L)1)



(D1/B)x((Lx/L)2)



(H/B)



level 1



29,918



28,105



28,958



29,018



29,001



29,036



29,110



28,378



level 2



29,010



29,055



29,011



29,217



29,704



29,090



29,154



28,939



level 3



28,325



30,093



29,284



29,018



28,548



29,127



28,989



29,935



selisih



1,593



1,988



0,325



0,199



1,155



0,091



0,165



1,557



ranking



2



1



5



6



4



8



7



3



87,253



87,253



Σ



87,253



87,253



87,253



87,253



87,253



87,253



Bidang Geoteknik- 771



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 4.3 analisis varian rasio F untuk qu; Rc=74% Parameter



DF



SS



MS



F-ratio



(D1/B)



2



11.488



5.744



117.543



(D/B)



2



17.792



8.896



182.047



(D1/B)x((D/B)1)



4



0.549



0.137



2.811



(D1/B)x((D/B)2)



4



0.000



0.000



0.000



(Lx/L)



2



6.101



3.050



62.423



(D1/B)x((Lx/L)1)



4



0.000



0.000



0.000



(D1/B)x((Lx/L)2)



4



0.132



0.033



0.675



(H/B)



2



11.195



5.597



114.541



Error



14



0.727



0.052



-



Total



26



41.883



-



-



4.3 MODEL MATEMATIK REGRESI MULTI ARAH Dari analisis faktor diatas dapat disusun model regresi linier berganda dan model regresi non linier berganda Taguchi diselesaikan menggunakan MINITAB 16 untuk Rc=74% dan Rc=88% yaitu: Regresi linier berganda untuk Rc=74%, ditulis dalam Persamaan 4.1 qu (kN/m2) = 3.19-10.86 ( ) + 52.17( ) + 5.17 ( ) + 3.73 ( ) (4.1) Regresi linier berganda untuk Rc=88%, diltulis dalam Persamaan 4.2 qu (kN/m2) = 35.02 – 11.65 ( ) + 56.33( ) + 4.9 ( ) 1.54 ( ) (4.2) Regresi non linier berganda untuk Rc=74%, ditulis dalam Persamaan 4.3 ln qu (kN/m2) = 3.02–0.36 ln( ) + 0.45ln( ) + 0.71 ln( ) + 0.1 ln( ) (4.3) Regresi non linier bergandauntuk Rc=88%, ditulis dalam Persamaan 4.4 ln qu (kN/m2) =3.47–0.39 ln( ) +0.45 ln( ) +0.59 ln( ) - 0.05 ln( ) (4.4) Hasil uji eksperimen berbasis data rancangan Taguchi, menghasilkan hubungan antara BCIu dengan rasio penurunan (s/B) dinyatakan dalam Persamaan 4.5 BCIu = (4.6) = daya dukung dengan perkuatan tiang = daya dukung tanpa perkuatan tiang BCIu = peningkatan daya dukung batas



772 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Dari cara analisis yang sama dengan analisis ragam Taguchi pada qu, diatas dapat disusun model regresi linier berganda dan model regresi non linier berganda Taguchi diselesaikan menggunakan MINITAB 16 untuk Rc=74% dan Rc=88% yaitu : Regresi linier berganda untuk Rc=74%, ditulis dalam Persamaan (4.6) BCIu = 0.17–0.57 ( ) + 2.73( ) + 0.27 ( ) +0.2 ( ) (4.6) Regresi linier berganda untuk Rc=88%,ditulis dalam Persamaan (4.7) BCIu = 0.98 – 0.33 ( ) + 1.57( ) + 0.14 ( ) -0.04 ( ) (4.7) Regresi non linier berganda untuk Rc=74%,ditulis dalam Persamaan (4.8) ln BCIu = 0.08 – 0.36 ln ( ) + 0.45 ln ( ) + 0.71 ln ( ) + 0.1 ln( ) (4.8) Regresi non linier berganda untuk Rc=88%,ditulis dalam Persamaan (4.9) ln BCIu = 0.31– 0.2 ln ( ) + 0.26 ln ( ) + 0.36 ln ( ) - 0.01 ln ( ) (4.9)



5. KESIMPULAN 1. Variabel bebas diameter tiang (D), jarak antar tiang (D1), lokasi tiang (Lx) dan panjang tiang (H) mempengaruhi secara nyata dalam meningkatkan kinerja daya dukung pondasi (qu) dan factor keamanan (FS) lereng. 2. Variabel diameter (D) dan jarak antar pile (D1) merupakan variabel yang paling mempengaruhi kinerja lereng yang diperkuat tiang. Kontribusi diameter (D) pada qu dan BCIu sekitar 42% sampai 43% untuk Rc=74% dan Rc=88% sedangkan kontribusi jarak antar tiang (D1) pada qu dan BCIu sekitar 26% sampai 27% untuk Rc=74% dan Rc=88%. 3. Kinerja qu dan BCIu pada lereng yang diperkuat tiang meningkat pada diameter terbesar(level 3) dan pada jarak antar paling kecil (level 1).



6. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.



5. 6. 7. 8. 9.



Ana Veronica M., et al. (2010) Application of Taguchi Method for Cutting Force In Turning High Density Polyethylene. Academic Journal of Manufacturing Engineering. Ang, Eng-Chew. (2005) Numerical Investigation of Load Transfer Mechanism in Slopes Reinforced with Piles. University of Missouri-Columbia. Ausilio S., E. Conte, G. Dente. (2001) Stability Analysis of Slope Reinforced with Pile. Computer and Geotechnics Journal: Vol. 28. Azzam, W.R. and A. Farouk. (2010) Experimental and Numerical Studies of Sand Slopes Loaded with Skirted Strip Footing. Egypt. Soil Mechanics and Foundation Engineering, Faculty of Engineering, Tanta University. EJGE. Cai F. dan K. Ugai. (2000) Numerical Analysis of the Stability of a Slope Reinforced With Piles. Soil and Foundations Journal: Vol. 40. Cai F. dan K. Ugai. (2002) Response of Flexible Piles Under Laterally Linear Movement of the Sliding Layer in Landslides. Geotechnical Journal. NRC Canada. Chang Y. L. dan Huang T.K. (2005) Slope Stability Analysis Using Strength Reduction Technique. Journal of the Chinese Institute of Engineering: Vol. 28. Chen, C. Y. (2001) Numerical Analysis of Slope Stabilization Concepts Using Piles. Disertation. Faculty of the Graduate School University of Southern California. Chen, C. Y. D, dan Martin G.R. (2005) Respone of Piles Due to Lateral Slope Movement. Computers and Structure: Vol. 85.



Bidang Geoteknik- 773



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 10. 11.



12.



13.



14. 15.



16. 17. 18.



19. 20. 21. 22. 23. 24.



25.



26.



27.



D.V. Griffiths dan P.A. Lane. (1999) Slope Stability Analysis by Finite Elements. Colorado School of Mines, Golden, Colorado, U.S.A. El Sawwaf, Mustafa. (2009) Experimental and Numerical Study of Eccentrically Loaded Strip Footings Resting on Reinforced Sand. Journal of Geotechnical and Geoenviromental Engineering. ASCE. Eng Chew Ang. (2005) Numerical Investigation of Load Transfer Mechanism in Slopes Reinforced With Piles. Dissertation. Faculty of the Graduate School University of Missouri-Columbia. Hassiotis S., J. Chameau dan M. Gunaratne. (1997) Design Method for Stabilization of Slope with Pile. Journal of geotechnical and Geoenvironmental Engineering. Al and Material Hong P.W. et al. (2002) The Use of Piles to Stabilize a Cut Slope in Soft Ground. Japan. Proceeding of the Twelfth International Offshore and Polar Engineering Conference. Huang, Ching-Chuan, et al. (1994) Failure Mechanisms of Reinforced Sand Slopes Loaded with A Footing. Japanese Society of Soil Mechanics and Foundation Engineering. Hull, T., Lee C.Y. dan Poulos H.G. (1995) Simplefied Pile-Slope Stability Analysis. Computers and Geotechnics: Vol. 17. Hull, T. dan Poulos. (1999) Design Method for Stabilization of Slopes With Piles. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering. ASCE: Vol. 125. Ismar Alagic. (2008 Design of Experiment and Taguchi Method Application in Analysis of Gear Oil Pump Flow Capacity. International Conference 6th Workshop on European Scientific and Industrial Collaboration on Promoting Advanced Technologies in Manufacturing, Budapest, Romania. Ito T. dan T. Matsui. (1975) Methods to Estimate Lateral Force Acting on Stabilizing Piles. Soils and Foundations: Vol. 15. Ito T. dan T. Matsui dan WP. Hong. (1979) Design Method for The Stability Analysis of the Slope With Landing Pier. Soil and Foundation: Vol. 19. Ito T. dan T. Matsui dan WP. Hong. (1981) Design Method for for Stabilizing Piles Jeong S. et al. (2003) Uncoupled Analysis of Stabilizing Piles in Weathered Slopes. Computers and Geotechnics: Vol. 30. Kumar, S.V. Anil and K. Ilamparuthi. (2009) Response of Footing on Sand Slopes. Indian Geotechnical Society Chennai Chapter. M.H.I. Ibrahim et al. (2010) Optimation of Micro Metal Injection Molding for Highest Green Strength by Using Taguchi method. International Journal of Mechanical and Materials Engineering, Vol.5. Pai Dayanand et al. (2012) Application of Taguchi and Response Surface Methodologies for Metal Removal rate and Surface Roughness in grinding of Drac‘s. International Journal of Engneering and Management Sciences. Vol.3(1). S.T. Aruna. et al. (2011) Optimization of The Properties of Electrodeposited Ni-YSZ Composites Using Taguchi Method and Regression Analysis. Portugaliae Elrctrochimica Acta. 29(1). Swapnil A. Patil et al. Statistical Methods to estimate natural Frequency of Air Conditioner Piping. (2012) International Journal of Mechanical and Industrial Engineering. Vol-2.



774 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGGUNAAN METODE GIBSON & LO UNTUK PREDIKSI PEMAMPATAN TANAH GAMBUT BERSERAT YANG MENGALAMI PENURUNAN KADAR AIR Faisal Estu Yulianto1 dan Noor Endah Mochtar2 1



Dosen Teknik Sipil Universitas Madura/Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil FTSP-ITS, email:[email protected] 2 Guru Besar Teknik Sipil FTSP_ITS Surabaya, email: [email protected]; [email protected]



ABSTRAK Tanah gambut meruapakan tanah yang terbentuk dari proses dekomposisi tumbuhan seperti rumput, paku pakuan dan tumbuhan rawa lainnya; karena proses terbentuknya dalam lahan basah serta dalam kondisi anaerob maka proses pelapukannya tidak berjalan dengan baik sehingga serat tumbuhan masih terlihat jelas. Akibat kondisi serat tersebut maka tanah gambut mempunyai perilaku pemampatan yang berbeda dengan tanah lempung. Oleh sebab itu, metode Gibson dan Lo diadopsi sebagai ganti metode Terzaghi untuk memprediksi pemampatan tanah gambut; hasilnya selama ini sangat memuaskan. Dalam paper ini akan dibahas apabila metode Gibson dan Lo dipakai untuk memprediksi perilaku pemampatan tanah gambut yang mengalami penurunan kadar air mengingat pada kenyataannya lahan gambut di lapangan sering mengalami peristiwa penurunan muka air tanah akibat ―dewatering‖. Studi ini dilakukan dalam skala laboratorium dengan cara membiarkan gambut berinteraksi dengan udara ruangan tanpa pengaruh sinar matahari sampai mencapai kadar air yang ditentukan. Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku pemampatan tanah gambut masih seperti tanah gambut initial bilamana kondisi tanah gambut tidak sampai kering (Wc ≤ 20%Wc-initial); begitu juga kecepatan pemampatan sekundernya. Parameter Gibson dan Lo yaitu parameter pemampatan primer (a) dan parameter pemampatan sekunder (b) semakin kecil dengan semakin rendahnya kadar air tanah gambut. Metode Gibson dan Lo tidak dapat di pakai untuk memprediksi pemampatan tanah gambut yang kering (Wc ≤ 20% Wc-initial). Kata kunci: Gambut berserat, Gibson & Lo, penurunan kadar air



1. PENDAHULUAN Tanah gambut merupakan tanah yang terbentuk dari pelapukan berbagai macam jenis rumput, paku-pakuan, bakau, pandan, pinang, serta tumbuhan rawa lainnya [1]. Tanah gambut ini biasanya terbentuk di daerah rawa rawa dan dataran rendah atau pada daerah dengan kecepatan perubahan iklim yang rendah. Karena tempat tumbuh dan tertimbunnya sisa tumbuhan selalu lembab dan tergenang air serta sirkulasi oksigen yang kurang bagus, maka proses humifikasi oleh bakteri tidak berjalan dengan sempurna. Sebagai akibatnya sebagian serat-serat tumbuhan masih terlihat jelas dan sangat mempengaruhi perilaku dari tanah gambut. MacFarlane dan Radfort [2] membagi tanah gambut dalam 2 jenis berdasarkan kandungan seratnya, yaitu gambut berserat apabila kandungan seratnya  20% dan gambut tidak berserat dengan kandungan serat < 20%. Perilaku gambut berserat sangat berbeda dengan gambut tidak berserat, hal ini disebabkan gambut berserat mempunyai 2 pori yaitu makro pori yang terletak antar serat gambut dan mikropori yang berada dalam serat gambut. Sebagai akibat dari kondisi pori tanah gambut yang khas tersebut maka perilaku tanah gambut sangat berbeda dengan tanah lempung terutama perilaku



Bidang Geoteknik- 775



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pemampatannya sehingga teori Terzaghi [3] tidak dapat digunakan untuk memprediksi perilaku pemampatan tanah gambut [4]. Gibson & Lo [5] memperkenalkan test konsolidasi dengan metode pembebanan 1 tahap untuk memprediksi perilaku pemampatan gambut berserat, yang kemudian dikembangkan oleh Edil dan Dhowian [6]. Metode ini kemudian diaplikasikan untuk gambut berserat di Indonesia oleh Mochtar, N.E [7]; hasilnya sangat memuaskan yang berarti bahwa metode Gibson dan Lo [5] dapat diaplikasikan pada gambut berserat Indonesia. Hanya saja belum diketahui apakah metode tersebut dapat diterapkan pada gambut berserat yang mengalami penurunan kadar air [8]. Untuk itu, makalah ini akan menyajikan hasil penelitian skala laboratorium tentang perilaku pemampatan gambut berserat Palangkaraya yang mengalami penurunan kadar air.



2. GAMBUT INITIAL Sampel tanah gambut diambil dari desa Bareng Bengkel, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sampel tanah gambut diambil dalam kondisi terganggu dan tidak terganggu dari kedalalaman 0.5 – 1.5 meter. Pengujian parameter fisik gambut dilakukan di lokasi pengambilan sampel yaitu uji vane shear, keasaman, dan berat volume, dan di laboratorium yaitu kadar air, berat jenis, kadar organik, kadar abu, dan kandungan serat. Pengujian tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang dijelaskan pada Peat Testing Manual [9]. Hasil pengujian sifat fisik gambut yang diberikan dalam Tabel 1 adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Faisal, F.E & Mochtar, N.E [10]. Tabel 1. Sifat Fisik Gambut Palangkaraya Parameter Tanah Gambut



Unit



Gambut yang diteliti



Parameter gambut dari peneliti lainnya



Berat Jenis



-



1.49



1.4-1.7



Angka Pori



-



9.7



6.89-11.09



t/m3



1,044



0.9-1.25



Keasaman



-



3.1



3-7



Kadar Air



%



649.78



450-1500



Kadar Organik



%



97.0



62.5 - 98



Kadar Abu



%



3.0



2 – 37.5



Kadar Serat [10]



%



52.1



39.5-61.3



Berat Volume



Dari data tersebut dapat diketahui bahwa parameter gambut Palangkaraya masih dalam rentang nilai hasil penguji lainnya. Menurut MacFarlane & Radfort [2] gambut Palangkaraya dapat dikatagorikan sebagai tanah gambut berserat (kandungan serat ≥ 20%). Selain itu, menurut Standard Classification of Peat Samples by laboratory Testing ASTM D4427-84 Reapproved 1992 [11], gambut Palangkaraya dapat



776 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 diklasifikasikan sebagai ―tanah gambut (Hemic) dengan kandungan abu rendah dan keasaman tinggi‖ atau ―peat soil (hemic) with low ash content and high acidity‖. Untuk melihat struktur micro dari tanah gambut yang distudi, dilakukan uji Scaning Electron Microscope (SEM). Hasil foto SEM dengan variasi pembesaran yang berbeda ditunjukkan dalam Gambar 1; dari foto tersebut terlihat jelas adanya mikro pori dan makro pori dalam tanah gambut berserat. Adanya dua jenis pori tersebut menyebabkan proses keluarnya air pori dari gambut berserat memiliki dua tahapan yaitu air yang keluar dari makro pori dan air yang keluar dari mikro pori menuju makro pori.



(a) (b) Gambar 1. Foto SEM gambut berserat Palangkaraya yang menunjukkan: serat gambut dan makro pori, (b) mikro pori Karena struktur mikro yang berbeda dengan tanah lempung, maka perilaku pemampatan tanah gambut berserat berbeda dengan tanah lempung. Yulianto, F.E dan Mochtar, N.E [10] menjelaskan bahwa kurva konsolidasi tanah gambut berserat terdiri atas 4 komponen yaitu, pemampatan segera (immediate compression/si), pemampatan primer (primary compression/sp), pemampaan sekunder (secondary compression/ss) dan pemampatan tersier (tertiary compression/st) seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Untuk tanah gambu berserat, pemampatan sekunder merupakan pemampatan yang paling dominan.



3. METODE GIBSON DAN LO Gibson & Lo [5] memperkenalkan model rheologi untuk memprediksi pemampatan pada tanah gambut (Gambar 3). Model tersebut terdiri atas sebuah model Hooke yang disambung secara seri dengan sebuah model Newton berupa elemen tunggal peredam dan dashpot yang menunjukkan efek non linier yang bergantung pada fungsi waktu. Besar regangan yang terjadi pada gambut berserat pada waktu t, adalah :



Bidang Geoteknik- 777



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 17.0



si Pemampatan Vertikal (mm)



16.5



16.0



sp Gambut Berserat Initial



15.5



ss 15.0



st 14.5



14.0



0.1



1



10



100



1000



10000



100000



Waktu (Menit)



Gambar 2. Kurva konsolidasi tanah gambu berserat metode beban satu tahap ( = 50 kPa)



Gambar 3. Model rheologi Gibson & Lo [5]



( )



,



(



. /



)- ……………………………………………………. 1



Bozuzuk [12] menyatakan bahwa untuk menentukan parameter pemampatan primer (a), parameter pemampatan sekunder (b) dan faktor kecepatan pemampatan sekunder ( ) dapat diperoleh dari kurva hubungan antara log kecepatan regangan (log d/dt) dengan waktu (t). Garis regresi yang dibuat dari kurva tersebut diperpanjang sampai memotong sumbu ordinat = log (‘. ); kemiringan dari garis regresi tersebut adalah - 0,434 ( /b). Sebagai contoh cara perhitungannya, Mochtar, N.E [7] menunjukkan kurva hubungan log kecepatan regangan (log d/dt) vs waktu (t) pada Gambar 4. Dari harga titik potong



778 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 pada sumbu ordinat dan kemiringan dari garis regresi tersebut, diperoleh faktor pemampatan primer (a) = 3.85E-03, faktor pemampatan sekunder (b) = 8.70E-04, faktor kecepatan untuk pemampatan sekunder (λ/b)= 8.00E-08. 0



2000



4000



6000



8000



10000



12000



14000



0 -1



Log (dε/dt)



-2 -3 -4 -5 -6



y = -4E-05x - 5.2989



-7



Waktu



Gambar 4. Kurva Log d/dt dengan t untuk tanah gambut initial



4. PEMAMPATAN TANAH GAMBUT BERSERAT YANG MENGALAMI PENURUNAN KADAR AIR Yulianto, F.E., dkk [13] menyatakan bahwa penurunan kadar air tanah gambut berserat berdampak pada sifat fisik dan sifat teknisnya. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa total pemampatan semakin kecil dengan semakin rendahnya kadar air; hal ini disebabkan penurunan kadar air selalu disertai dengan penyusutan serat yang ada dalam gambut yang berarti pori-pori yang ada juga ikut mengecil. Selain itu, kurva pemampatan untuk tanah gambut dengan nilai Wc = 40%Wc-initial sampai dengan 100% Wc-initial memiliki empat komponen pemampatan seperti diuraikan diatas, kecuali kurva pemampatan tanah gambut dengan nilai Wc ≤ 20%Wc-initial memiliki bentuk kurva yang hampir lurus. Hal ini menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut sudah hampir tidak mengalami proses pemampatan yang disebabkan oleh keluarnya air dari dalam pori; dengan kata lain, pemampatan yang terjadi disebabkan oleh rusaknya serat atau dekomposisi dari tanah gambut yang bersangkutan. Pada Gambar 5 juga terlihat bentuk kurva pemampatan yang berbeda untuk tanah gambut initial, dimana total pemampatan seolah lebih kecil dari pada tanah gambut yang kadar airnya lebih rendah. Kenyataan sebenarnya tidak seperti itu karena gambut initial memiliki angka pori yang sangat besar (e = 9.7) sehingga pemampatan segera yang terjadi (immediate compression) sangat besar dan waktunya sangat pendek. Sebagai akibatnya, pemampatan primer yang terjadi seolah merupakan sisa dari pemampatan segera. Kurva yang ada pada Gambar 5 juga menunjukkan bahwa proses terjadinya pemampatan primer semakin panjang dengan semakin berkurangnya kadar air. Hal ini



Bidang Geoteknik- 779



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 5. Kurva konsolidasi tanah gambut dengan kadar air yang bervariasi disebabkan penurunan kadar air akan disertai dengan mengecilnya makropori yang berarti proses keluarnya air dari makropori juga menjadi terhambat (semakin lamban). Kurva pemampatan sekunder dalam Gambar 5 juga terlihat saling sejajar satu sama lain; hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pemampatan sekunder tidak terlalu dipengaruhi oleh penurunan kadar air dari tanah gambut yangbersangkutan. Berbeda dengan pemampatan tersier yang hanya terlihat jelas pada kurva untuk sampel gambut initial; kurva pemampatan tersier semakin tidak jelas untuk gambut yang mengalami penurunan kadar air. Kondisi ini mungkin akan berubah apabila test konsolidasi dilakukan dalam waktu yang lebih lama karena semakin berkurang kadar air maka semakin lamban proses keluarnya air dari mikropori ke makropori. Keadaan ini menyebabkan proses dekomposisi yang terjadi juga semakin tertunda atau membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada yang terjadi pada tanah gambut initial.



5. PREDIKSI PEMAMPATAN DENGAN METODE GIBSON & LO Dengan cara seperti yang diuraikan diatas, parameter pemampatan (a), (b), dan (λ/b) dari tanah gambut yang mengalami penurunan kadar air kemudian dihitung, dan hasilnya seperti yang diberikan dalam Tabel 2. Parameter pemampatan (a) yang di plot pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air, semakin kecil harga parameter (a). Hal ini bersesuaian dengan perilaku kurva pemampatan yang diberikan pada Gambar 5 dimana penurunan kadar air akan disertai dengan mengecilnya pori-pori tanah gambut. Keadaan yang berbeda juga ditunjukkan oleh harga parameter (a) untuk tanah gambut initial; hal ini juga semakin memperkuat alasan mengapa bentuk kurva dari gambut initial berbeda dengan kurva dari gambut yang kadar airnya semakin rendah (Gambar 5). Perilaku pemampatan sekunder (b) yang ditunjukkan Gambar 7



780 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 juga memiliki perilaku yang bersesuaian dengan parameter (a) dimana semakin kecil air dalam pori tanah gambut maka nilai parameter (b) juga semakin kecil. No



Jenis Gambut



Kadar Air (%)



1 2 3 4 5



Gambut Initial Gambut 80%_Wcinitial Gambut 60%_Wcinitial Gambut 40%_Wcinitial Gambut 20%_Wcinitial



649.78 514.23 365.05 287.91 129.87



Parameter Pemampatan a b (λ/b) 3.85E-03 8.70E-04 -9.20E-05 5.98E-03 3.38E-04 -1.77E-04 4.57E-03 2.88E-04 -2.00E-04 2.87E-03 2.25E-04 -1.30E-04 8.51E-04 2.54E-04 2.00E-04



Gambar 6. Perilaku parameter pemampatan primer (a) terhadap perubahan kadar air tanah gambut



Gambar 7. Perilaku parameter pemampatan sekunder (b) terhadap perubahan kadar air tanah gambut



Bidang Geoteknik- 781



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 8 merupakan kurva regangan hasil prediksi dan hasil pengamatan laboratorium untuk pembebanan satu tahap dengan beban 50 kPa. Kurva prediksi dan kurva hasil pengamatan laboratorium tanah gambut untuk nilai Wc = 40%Wc-initial sampai dengan 100% Wc-initial saling berdekatan satu sama lain, tetapi hasil prediksi sedikit lebih besar dari pada hasil pengamatan laboratorium. Keadaan berbeda untuk tanah gambut dengan nilai Wc ≤ 20%Wc-initial dimana hasil prediksi jauh lebih kecil dari pada hasil pengamatan. Hal ini semakin memperkuat argumentasi bahwa pemampatan pada tanah gambut kering terjadi akibat oleh rusaknya serat atau proses dekomposisi dari tanah gambut yang bersangkutan, jadi bukan karena proses keluarnya air dari dalam pori. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode Gibson dan Lo [5] tidak dapat di pakai untuk memprediksi pemampatan tanah gambut yang kering (Wc ≤ 20%Wc-initial). 0.00 Gambut Initial Gambut Initial_Prediksi



0.05



80%_wc_Initial



0.10



ε (strain)



80%_wc_Initial _Prediksi



0.15



60%_Wc_Initial



0.20



60%_Wc_Initial _Prediksi



40%_Wc_Initial



0.25



40%_Wc_Initial _Prediksi 20%_wc_Initial



0.30



20%_Wc_Initial _Prediksi



0.35 0



2000



4000



6000



8000



10000



12000



14000



Waktu (Menit)



Gambar 8. Kurva regangan data laboratorium dan hasil prediksi.



6. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang diberikan diatas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1. Pemampatan tanah gambut dengan nilai Wc = 40%Wc-initial sampai dengan 100% Wc-initial memiliki 4 komponen pemampatan (pemampatan segera, pemampatan primer, pemampaan sekunder, dan pemampatan tersier. 2. Pemampatan tanah gambut dengan nilai Wc ≤ 20%Wc-initial disebabkan oleh proses dekomposisi atau rusaknya serat dari tanah gambut dan bukan karena keluarnya air dari dalam pori sehingga bentuk kurva pemampatannya hampir menyerupai garis lurus. 3. Mengecilnya makropori akibat penurunan kadar air menyebabkan proses berlangsungnya pemampatan primer semakin panjang atau lamban. 4. Kecepatan pemampatan sekunder tidak terlalu dipengaruhi oleh penurunan kadar air dari tanah gambut, kecuali untuk tanah gambut kering (Wc ≤ 20%Wc-initial). 5. Kurva pemampatan tersier hanya terlihat jelas untuk sampel gambut initial.



782 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 6. 7.



8.



Parameter pemampatan primer (a) dan parameter pemampatan sekunder (b) semakin kecil dengan semakin rendahnya kadar air tanah gambut. Kurva regangan hasil prediksi dan hasil pengamatan laboratorium untuk nilai Wc = 40%Wc-initial sampai dengan 100% Wc-initial saling berdekatan satu sama lain, tetapi hasil prediksi untuk tanah gambut dengan nilai Wc ≤ 20%Wc-initial jauh lebih kecil dari pada hasil pengamatan. Metode Gibson dan Lo [5] tidak dapat di pakai untuk memprediksi pemampatan tanah gambut yang kering (Wc ≤ 20%Wc-initial).



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Van De Meene (1984), ‖Geological Aspects of Peat Formation in The Indonesian-Malyasin Lowlands‖, Bulletin Geological Research and Development Centre, 9, 20-31. 2. MacFarlane, I.C. dan Radforth, N.W. (1965). ‖A Study of Physical Behaviour of Peat Derivatives Under Compression. Proceeding of The Tenth Muskeg Research Conference, National Research Council of Canada, Technical Memorandun No 85. 3. Terzaghi, K. (1925). ―Principles of Soil Mechanics‖. Engr. News Record, Vol. 95, pp. 832836. 4. Lea and Brawner, 1959, in, MacFarlane, I.C., 1959, Muskeg Engineering Handbook, National Research Council of Canada, Toronto: University of Toronto Press. 5. Gibson, R.W., Lo, K.Y (1961).‖A Theory of Consolidation of Soils Exhibiting Secondary Compression‖, Acta Polytecnica Scandinavia. 6. Dhowian, A,W and T.B. Edil (1980). ‖ Consolidation Behaviour of Peat‖. Geatechnical Testing Journal, Vol.3. No. 3. pp 105-144. 7. Mochtar, NE. et al. (1999), ―Aplikasi Model Gibson & Lo untuk Tanah Gambut Berserat di Indonesia‖, Jurnal Teknik Sipil, ITB, Vol. 6 N0. 1. 8. Wardani, M.K & Mochtar, N.E. (2012). Experiment on Fibrous Peat Subjected to Reduction of Water Content. Proceeding of 8th International Symposium on Lowland Technology. 9. Canada National Research Council (CNRC) 1979, Muskeg Subcommittee 1979; Peat Testing Manual; Technical memorandum 125, 193p. 10. Yulianto, F.E. and Mochtar, N.E. (2010), ―Mixing of Rice Husk Ash (RHA) and Lime For Peat Stabilization ―. Proceedings of the First Makassar International Conference on Civil Engineering (MICCE2010), March 9-10, 2010). 11. ASTM Annual Book (1992). ‖Standard Classification of Peat Samples by Laboratory Testing (D4427-92)‖. ASTM, Section 4, Volume 04.08 Soil and Rock, Philadelphia. 12. Lo, K.Y., Bozozuk, M., and Law, K.T., (1976), ‖Settlement Analysis of The Gloucester Test Fill‖, Canadian Geotechnical Journal, Vol. 13. 13. Yulianto, F.E., Harwadi., Kusuma W.M., (2014), ―The Effect of Water Content Reduction to Fibrous Peat Absorbent Capacity and Its Behaviour‖ Proceedings of 9th International Symposium on Lowland Technology September 29-October 1, 2014, Saga, Japan.



Bidang Geoteknik- 783



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



784 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGARUH HUJAN 2 HARIAN TERHADAP STABILITAS LERENG DI DAS TIRTOMOYO WONOGIRI (Studi Kasus Desa Sendang Mulyo, Tirtomoyo, Wonogiri) Hawin Widyo Hutomo1, Noegroho Djarwanti2, dan Niken Silmi Surjandari3 1



Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Alamat: Perum. Griya Sanggrahan Indah B no. 3 Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo 57161. Email:[email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Email:[email protected] 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Email:[email protected]



ABSTRAK DAS Tirtomoyo Wonogiri mempunyai morfologi berbukit dan bergunung sehingga rawan terjadi longsor. Daerah dengan tingkat kerawanan longsor akan semakin meningkat pada musim penghujan karena massa tanah akan semakin berat. Selain dari faktor alam, aktivitas manusia dalam penggunaan lahan juga mempengaruhi terjadinya longsor. Melihat besarnya peran curah hujan dan penggunaan lahan terhadap kelongsoran maka penelitian ini penting dilakukan untuk keperluan mitigasi bencana. Data hujan yang dihitung sebagai beban lereng diamati pada bulan basah yaitu hujan 2 harian yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Nopember, dan Desember selama periode lima tahun antara 2007 – 2011. Hujan 2 harian adalah hujan yang terjadi selama dua hari berturut-turut. Tanah pada lokasi penelitian adalah pasir berbutir halus. Stabilitas lereng dihitung menggunakan metode Fellenius dengan variasi kemiringan yaitu 30°, 45°, dan 60°. Metode CN (SCS) digunakan untuk menghitung kapasitas infiltrasi air hujan yang terjadi sesuai tata guna lahan dan luasan masing-masing tata guna lahan tersebut. Tata guna lahan menggunakan dua kondisi yang berbeda yaitu kondisi tutupan lahan eksisting (Hutan 66,98%, Tegalan 20,51%, dan Rumput 12,51%) dan kondisi tutupan lahan hutan (Hutan 100%). Hasil analisis menunjukkan bahwa lereng dengan kemiringan 30° pada dua kondisi tutupan lahan di semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di atas SF kritis (1,07). Lereng dengan kemiringan 45° di bulan Maret tahun 2008 dan Maret tahun 2011 pada kondisi tutupan lahan eksisting mempunyai nilai SF di bawah SF kritis sedangkan pada kondisi tutupan lahan hutan mempunyai nilai SF di atas SF kritis. Lereng dengan kemiringan 60° semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di bawah SF kritis. Jika dibandingkan nilai SF sebelum terjadi hujan maka pada kondisi tutupan lahan hutan cenderung mengalami penurunan nilai SF yang lebih kecil daripada kondisi tutupan lahan eksisting. Kata kunci: DAS Wonogiri, hujan 2 harian, infiltrasi, stabilitas lereng



1. PENDAHULUAN Longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi dan penyebarannya relatif merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hujan sering menjadi pemicu tanah longsor karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zakaria, 1991). DAS Kecamatan Tirtomoyo mempunyai morfologi berbukit dan bergunung, sehingga rawan terjadi longsor. Daerah dengan tingkat kerawanan longsor akan semakin meningkat pada musim hujan, karena massa tanah akan semakin berat. Longsor dapat mengakibatkan kerugian dan dampak yang sangat besar. Kerugian material berupa rusaknya rumah, jalan, fasilitas umum, dan lahan pertanian. Selain dari faktor alam, aktivitas manusia merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya longsor,



Bidang Geoteknik- 785



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean aktivitas manusia yang mempengaruhi terjadinya longsor berupa aktivitas dalam penggunaan lahan. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat risiko pada daerah rawan longsor. (Surastuti, Yunita. 2014) Melihat besarnya peran curah hujan dan pemanfaatan lahan terhadap kelongsoran, maka penelitian ini penting dilakukan untuk keperluan mitigasi bencana. Data hujan yang dipakai dalam penelitian ini adalah data hujan dua harian karena memperhitungkan kejadian longsor yang terjadi setelah hujan lebat yang cukup lama (> 6 jam). Selanjutnya menghitung faktor keamanan sebelum dan sesudah akibat pengaruh hujan dua harian dengan variasi kemiringan lereng dan tutupan lahan menggunakan metode Fellenius.



2. LOKASI PENELITIAN DAS Tirtomoyo Wonogiri memiliki luas sebesar 244 km2 dengan panjang sungai utama Tirtomoyo sepanjang 55 km. Lokasi penelitian terletak di Dusun Sumbersari, Desa Sendang Mulyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah dengan koordinat S07° 55‘ 58,1‘‘ dan E111° 01‘48,1‘‘. DAS Tirtomoyo Wonogiri disajikan pada Gambar 1.



Gambar 1: Daerah Aliran Sungai (DAS) Tirtomoyo Wonogiri



3. METODE PENELITIAN Metodologi dalam penelitian ini terdiri atas pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data tanah, perhitungan hujan wilayah, analisis volume infiltrasi menggunakan metode CN (SCS), perhitungan tebal tanah jenuh, dan analisis stabilitas lereng menggunakan metode Fellenius. Data primer diperoleh dari pengambilan sampel



786 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 tanah langsung di lapangan menggunakan bor tangan. Data sekunder berupa data hujan, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) DAS Tirtomoyo, dan data tata guna lahan. Data hujan yang digunakan dari tahun 2007 - 2011 di stasiun Balong, Ngancar, dan Watugede yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Wonogiri. Peta RBI diperoleh dari Dinas Pengairan Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Wonogiri. Data tata guna lahan diperoleh dari laporan Proyek Bendung Brangkal Stasiun Karangpandan. Pengolahan data tanah Melakukan pengujian di laboratorium Mekanika Tanah Universitas Sebelas Maret untuk mendapatkan data parameter tanah. Kriteria dan hasil pengujian sampel tanah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1: Kriteria dan hasil pengujian sampel Pengujian Water content Bulk density Specific gravity Shieve analysis



Direct test



shear



Standar pengujian ASTM D 2216-90 ASTM D 4321-91 ASTM D 854-91 ASTM D 422-63



ASTM D 3080-90



Parameter



Satuan



Hasil



w γb Gs Gravel Sand Silt Clay c θ



% kN/m3 % % % % kN/m2 °



19,38 17,81 2,66 13,42 50,48 9,46 26,64 0 37,47



Perhitungan hujan wilayah Penelitian ini menggunakan data curah hujan dari tahun 2007 – 2011 dari stasiun Balong, Ngancar, dan Watugede. Poligon Thiessen digunakan untuk mengubah data hujan harian dari ketigas stasiun hujan menjadi hujan wilayah. Poligon Thiessen dibuat dengan menentukan batas DAS Tirtomoyo kemudian setelah menentukan batas DAS, Plot ketiga stasiun hujan tersebut dan membuat polygon Thiessen menggunakan aplikasi AutoCAD Seperti pada Gambar 2.



Gambar 2: Poligon Thiessen DAS Tirtomoyo di titik stasiun debit Sulingi Setelah menggambar poligon Thiessen, kemudian Menentukan koefisien Thiessen untuk masing-masing stasiun hujan seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.



Bidang Geoteknik- 787



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 2: Koefisien Thiessen untuk stasiun Balong, Ngancar, dan Watugede No



Stasiun Hujan



1 2 3



Stasiun Balong Stasiun Ngancar Stasiun Watugede Jumlah



Polygon Thiessen Factor Luas (km2) Presentase (%) 56,43 34 12.74 8 98,21 58 167,38 100



Metode CN (SCS) Metode CN (SCS) digunakan untuk menghitung kapasitas infiltrasi yang meresap ke dalam tanah tanah. Metode CN didasarkan atas hubungan infiltrasi pada setiap jenis tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada setiap kali hujan. Total curah yang jatuh pada setiap hujan (P) di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk menahan air (S) tertentu, akan terbagi menjadi tiga komponen yaitu Air larian (Q), Infiltrasi (F), dan Abstraksi awal (Ia) dengan hubungan: (P - Ia)2 …………………………………………………………………...…… (1) Q= (P - Ia) + S Menurut hasil pengalaman empiris di banyak tempat (AS) diperoleh: Ia = 0,2 S …..…………………………………………………………………...…… (2) Dan dari hubungan di atas maka nilai Q bisa diperoleh dengan memasukkan nilai P berdasarkan persamaan: (P - 0,2S)2 ...…………………………………………………………………...… (3) Q= (P + 0,8S) Penetapan nilai S dilakukan melalui nilai runoff Curve Number (CN) dengan CN sesuai koefisien tata guna lahan yang dirumuskan sebagai berikut: 25400 S= - 254 ..………………...………………………………………………...… (4) CN Apabila P dan Q sudah diketahui maka S dapat diketahui sehingga Ia dan F dapat dihitung melalui: F = (P - Ia) - Q ..…………………...……………………………………………...… (5) Dengan A sebagai luas lereng, maka volume infiltrasi (Vi) bisa dihitung dengan: = F A ……..…………………...……………………………………………...… (6) Perhitungan tebal tanah jenuh Tebal tanah jenuh adalah tinggi kedalaman air hujan yang membuat tanah menjadi jenuh. Perhitungan tanah jenuh didasarkan pada Mekanika Tanah 1 (Hary Christady, 2010). Pada perhitungan tebal tanah jenuh parameter γw adalah 9,81 kN/m3 sedangkan parameter γb, Gs, dan w didapat dari hasil pengolahan data tanah kemudian digunakan untuk menghitung air pori (e) dan γsat: Gs γw (1+w) ...…………………...………………………………………...… (7) e= -1 γb (Gs +e)γ ..…………………...…………………………………………… (8) -1 1+e Untuk mendapatkan berat air (Ww) yang harus ditambahkan per m3 : γsat =



788 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Ww = γsat - γb



……...…………………...…………………………………………… (9)



Untuk membuat tanah menjadi jenuh per m3, harus ditambahkan air (Vw) sebesar : Ww ………...…………………...…………………………………………… (10) Vw = γw Sehingga tebal tanah jenuh (h tanah jenuh) bisa dihitung dengan : ( ) ....…………...……………………………………………(11) h tanah jenuh = A Analisis stabilitas lereng Pemodelan lereng digunakan seperti pada kondisi asli di lapangan. Variabel yang berubah adalah sudut kemiringan dan kedalaman tanah jenuh. Sudut kemiringan menggunakan variasi 30 , 45°, dan 60°. Tinggi lereng (H) sebesar 10 m. Pemodelan lereng disajikan pada Gambar 3.



Gambar 3: Pemodelan lereng (Syahbana, A.J. 2006) Metode stabilitas lereng cara Fellenius (1927) menganggap gaya-gaya yang bekerja pada sisi kanan-kiri dari sembarang irisan mempunyai resultan nol pada arah tegak lurus bidang longsor. Perhitungan faktor aman pada metode Fellenius dihitung dengan persamaan: ∑( ) ……..…………………...…………………… (12) ∑ n Dimana: c = kohesi tanah (kN/m2) θ = sudut gesek dalam tanah (derajat) ai = panjang lengkung lingkaran pada irisan ke-i (m) wi = berat isi tanah ke- i (kN) өi = sudut dari pusat irisan ke titik berat (°)



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kondisi lereng sebelum terjadi hujan diperoleh nilai SF berturut-turut pada kemiringan 30 , 45°, dan 60° adalah 1,576, 1,201, dan 0,898. Menurut Bowles (1989) lereng pada kemiringan 60° lereng dinyatakan sebagai lereng labil (longsor sering



Bidang Geoteknik- 789



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



SF



terjadi) karena SF < 1,07. Pada kondisi lereng setelah terjadi hujan, dengan mengurutkan intensitas hujan yang terjadi maka akan didapatkan hubungan SF dengan intensitas hujan pada dua kondisi tutupan lahan di masing-masing kemiringan seperti yang disajikan pada Gambar 4 sampai dengan Gambar 6. 1.65 1.60 1.55 1.50 1.45 1.40 1.35 1.30 1.25 1.20 1.15 1.10 1.05



Tutupan lahan eksisting Tutupan lahan hutan SF kritis = 1,07



0



10



20



30



40



50



60



70



80



90 100 110 120 130 140 150



Intensitas Hujan (mm)



Gambar 4: Grafik hubungan antara intensitas hujan dengan SF pada lereng kemiringan 30° Gambar 4 menunjukkan hubungan intensitas hujan dengan SF pada lereng kemiringan 30°. Pada intensitas hujan sebesar 20 mm menyebabkan penurunan sedikit nilai SF pada kondisi tutupan lahan eksisting dan tutupan lahan hutan. Kemudian terjadi hujan terus menerus pada intensitas sebesar 38 – 111 mm menyebabkan penurunan nilai SF yang lebih kecil pada kondisi tutupan lahan hutan dibandingkan kondisi tutupan lahan eksisting. Namun pada intensitas hujan sebesar 125 – 132 mm, penurunan nilai SF yang lebih kecil terjadi pada kondisi tutupan lahan eksisting. Meskipun demikian, nilai SF masih berada di atas SF kritis sehingga lereng dengan kemiringan 30° masih aman terhadap longsor pada musim penghujan. 1.30 1.25



Tutupan lahan eksisting



1.20



SF



1.15



Tutupan lahan hutan



1.10 1.05



SF kritis = 1,07



1.00 0.95 0.90 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90 100 110 120 130 140 150



Intensitas Hujan (mm)



Gambar 5: Grafik hubungan antara intensitas hujan dengan SF pada lereng kemiringan 45° Lereng dengan kemiringan 45° adalah lereng yang mulai perlu diwaspadai. Intensitas hujan sebesar 20 – 79 mm mengindikasikan bahwa lereng mempunyai nilai SF di atas SF kritis pada kondisi tutupan lahan eksisting dan tutupan lahan hutan. Namun pada hujan dengan intensitas sebesar 82 mm, lereng pada kondisi tutupan lahan eksisting mempunyai nilai SF di bawah SF kritis sedangkan lereng pada kondisi tutupan lahan



790 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



SF



hutan masih mempunyai nilai SF di atas SF kritis. Kemudian pada intensitas hujan di atas 90 mm, lereng sudah mengalami longsor pada dua kondisi tutupan lahan. Hal tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi hujan dengan intensitas 80 mm pada kondisi tutupan lahan hutan bisa meminimalisir terjadinya longsor. 1.10 1.05 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50



Tutupan lahan eksisting Tutupan lahan hutan SF kritis = 1,07



0



10



20



30



40



50



60



70



80



90 100 110 120 130 140 150



Intensitas Hujan (mm)



Gambar 6: Grafik hubungan antara intensitas hujan dengan SF pada lereng kemiringan 60° Seperti yang diketahui sebelumnya pada lereng dengan kemiringan 60° sebelum hujan mempunyai nilai SF sebesar 0,898 dimana nilai tersebut sudah berada di bawah SF kritis sehingga berapapun penambahan intensitas hujan yang terjadi maka lereng pada kondisi tutupan lahan eksisting atau tutupan lahan hutan tetap berada di kondisi longsor. Lereng dengan kemiringan 60° pada kondisi tanah seperti pada lokasi penelitian disarankan untuk dilakukan perkuatan lereng.



5. KESIMPULAN Stabilitas lereng di Desa Sendang Mulyo, Tirtomoyo, Wonogiri yang mempunyai karakteristik tanah berupa pasir berbutir halus mengalami penurunan karena pengaruh hujan 2 harian. Hujan 2 harian berturut-turut menyebabkan adanya infiltrasi air hujan yang membuat lapisan tanah bagian atas menjadi jenuh kemudian berat tanah bertambah sehingga lereng menjadi longsor. Hubungan SF dengan tahun analisis menunjukkan bahwa lereng dengan kemiringan 30° pada kondisi tutupan lahan eksisting dan tutupan lahan hutan semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di atas SF kritis. Lereng dengan kemiringan 45° di bulan Maret tahun 2008 dan Maret tahun 2011 pada kondisi tutupan lahan eksisting mempunyai nilai SF di bawah SF kritis sedangkan pada kondisi tutupan lahan hutan mempunyai nilai SF di atas SF kritis. Kemudian pada lereng dengan kemiringan 60° semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di bawah SF kritis. Penurunan nilai SF tidak selalu bergantung pada penambahan intensitas hujan dan kemiringan lereng. Perubahan tata guna lahan juga berpengaruh pada penurunan nilai SF, pada kondisi tutupan lahan hutan cenderung mengalami penurunan nilai SF yang lebih kecil dibandingkan kondisi tutupan lahan eksisting.



Bidang Geoteknik- 791



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Adistira, Egar (2014) Debit DAS Tirtomoyo di Titik Stasiun Debit Sulingi Berdasarkan Hujan 15-Harian Menggunakan HYDROCAD. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret. 2. Andi, Iswiditya (2013) Pengaruh Perubahan Penutup Lahan terhadap Pertambahan Total Suspended Solid (TSS) di DAS Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah menggunakan Citra Satelit Penginderaan Jauh. Universitas Gadjah Mada. 3. Djuwansah, M. Rahman (2012) Simulasi Ketersediaan Air Bulanan dengan Basis Data Spasial Faktor-faktor Sumber Daya Air: Kasus Sub-DAS Hulu Citarum. LIPI, Bandung. 4. Hardiyatmo, C. H (2010) Mekanika Tanah I. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 5. Hardiyatmo, C. H. (2010) Mekanika Tanah II. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 6. Nindyantika, Ernha (2012) Simulasi Stabilitas Lereng dengan Perkuatan Geotekstil Menggunakan Plaxis 2D V8.2. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret. 7. Mayangsari, Helin (2012) Simulasi Longsor yang Dipengaruhi Curah Hujan Menggunakan Model TRIGRS (Studi Kasus Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi). Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. 8. Pangemanan, V. G. M (2014) Analisis Kestabilan Lereng dengan Metode Fellenius (Studi Kasus Kawasan Citraland). Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sam Ratulangi Manado. 9. Surastuti, Yunita (2014) Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kecamatan Tirtomoyo Wonogiri. Universitas Gadjah Mada. 10. Widayatno, Janu (2014) Analisis Stabilitas Lereng di DAS Tirtomoyo Wonogiri akibat Hujan 2 Harian Berurutan: Studi Kasus Desa Pagah, Hargantoro, Wonogiri. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret. 11. Zakaria, Zufialdi (2009) Analisis Kestabilan Lereng Tanah. Fakultas Teknik Geologi Program Studi Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran.



792 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENGARUH KEMIRINGAN BIDANG GELINCIR DAN INDEKS KECAIRAN TERHADAP PENENTUAN NILAI VISKOSITAS MENGGUNAKAN FLUME CHANNEL Budijanto Widjaja1 dan Ignatius Tommy Pratama2 1



Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Email: [email protected] 2 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Email: [email protected]



ABSTRAK Mudflow sebagai salah satu tipe pergerakan tanah dengan material yang umumnya merupakan tanah berbutir halus, memiliki kecepatan transportasi yang tinggi. Perilaku pergerakan mudflow ditentukan oleh dua parameter reologi yaitu parameter viskositas dan kuat geser tak terdrainase dalam menahan tegangan geser yang bekerja akibat gravitasi. Guna memahami perilaku mudflow dalam dunia geoteknik, kebutuhan akan parameter viskositas dan kuat geser tak terdrainase menjadi penting sebab peranannya dalam memberikan tahanan terhadap pergerakan aliran yang terjadi, terutama parameter viskositas. Salah satu peneliti yang telah mengembangkan metode penentuan viskositas adalah Vallejo dan Scovazzo (2003) dengan memodelkan mudflow menggunakan flume channel. Viskositas ditentukan berdasarkan perbedaan kecepatan aliran massa tanah yang bergerak di dalam flume channel yang terekam selama pergerakan terjadi. Besarnya pergerakan menggunakan catatan gerakan kabel vertikal pada waktu tertentu sehingga kecepatan material tanah dapat diperoleh. Material pembentuk mudflow berperilaku sebagai material plastis Bingham. Penelitian ini mengaplikasikan metode Vallejo dan Scovazzo (2003) untuk menentukan viskositas tanah serta menggunakan sampel kaolin dan Parakan Muncang. Adapun klasifikasi sampel kaolin dan Parakan Muncang masing-masing adalah lanau dan lempung berplastisitas tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa seiring dengan meningkatnya indek kecairan dan kemiringan bidang gelincir mengakibatkan reduksi kuat geser tak terdrainase dan viskositas. Selain itu, ditunjukkan bahwa peningkatan kadar lempung menyebabkan peningkatan viskositas. Rentang nilai viskositas relatif lebih rendah daripada nilai viskositas yang diuji oleh Vallejo dan Scovazzo. Kata kunci: Mudflow, viskositas, indeks kecairan, lempung



1. PENDAHULUAN Mudflow sebagai salah satu tipe pergerakan massa tanah dengan material yang umumnya merupakan tanah berbutir halus, memiliki kecepatan transportasi yang tinggi. Kecepatan aliran mudflow dapat melebih 5 cm/s dengan klasifikasi sangat cepat [2]. Beberapa penyebab mudflow adalah intensitas hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang curam (200-450) [2]. Hujan dengan intensitas tinggi akan meningkatkan kadar air pada tanah akibat penambahan air hujan. Keberadaan air pada celah antar partikel tanah mengakibatkan sebagian (pada kondisi plastis) atau seluruh (pada kondisi cairan kental/viscous liquid state) kekuatan geser terpikul oleh air, sedangkan air tidak mampu menahan geser oleh sebab modulus gesernya adalah nol. Sehingga, ketika tanah pada tubuh lereng telah jenuh air dan berada pada lereng curam, tanah tidak mampu menahan tegangan geser yang bekerja padanya akibat gravitasi. Ketidakmampuan tanah pada tubuh lereng dalam menahan tegangan geser yang bekerja mengakibatkan mudflow terjadi.



Bidang Geoteknik- 793



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Mekanisme pergerakan mudflow melibatkan dua parameter reologi yaitu viskositas dan kuat geser tak terdrainase dalam memberikan tahanan terhadap tegangan geser yang bekerja akibat gravitasi. Secara matematis terformulasikan dalam relasi:  dv    c u   .  ..............................................................................................................(1)  dy  dengan τ adalah tegangan geser, cu adalah kuat geser tak terdrainase, ε adalah viskositas, dan dv/dy merupakan turunan kecepatan terhadap kedalaman sampel uji. Sehingga, guna memahami mekanisme pergerakan mudflow dalam dunia geoteknik, kebutuhan akan parameter viskositas dan kuat geser tak terdrainase menjadi penting. Pada penelitian ini mengaplikasikan metode Vallejo dan Scovazzo (2003) untuk menentukan viskositas tanah serta menggunakan sampel kaolin dan Parakan Muncang dengan klasifikasi masing-masing adalah lanau dan lempung berplastisitas tinggi. Nilai viskositas menurut Vallejo dan Scovazzo (2003) berdasarkan asumsi bahwa ketika mudflow terjadi material berperilaku sebagai material plastis Bingham, mengikuti persamaan:  f .h 2 . sin   cu .h  ....................................................................................................(2) 2.(Vt  Vb ) Dengan ε adalah viskositas (Pa•s), γf adalah berat isi lumpur (kg/cm3), β adalah kemiringan bidang gelincir (0), cu adalah kuat geser tak terdrainase (kg/cm2), h adalah tinggi sampel (cm), Vt adalah kecepatan pada permukaan (cm/s), dan Vb adalah kecepatan pada dasar bidang kontak (cm/s). Tujuan penelitan adalah untuk mengetahui pengaruh kadar air dan bidang gelincir terhadap nilai viskositas dengan kondisi material mendekati material mudflow, lebih dari sama dengan batas cairnya.



2. METODE PENELITIAN Sampel uji dan metode pengujian Parameter sampel uji seperti pada tabel 1 menunjukan bahwa sampel kaolin merupakan lanau berplastisitas tinggi dengan batas plastis (PL) 38, batas cair (LL) 68, indeks plastisitas (IP), dan berat jenis (Gs) 2.61. Sedangkan sampel Parakan Muncang merupakan tanah lempung berplastisitas tinggi dengan batas plastis (PL) 29.28, batas cair (LL) 66.64, indeks plastisitas (IP) 37.36, dan berat jenis (Gs) 2.60. Pada tabel 2 menujukan persentase partikel yang terkandung pada sampel uji berdasarkan uji saringan dan hidrometer. Besar persentase partikel lempung/clay menjadi aspek tinjauan penting sebab sampel dengan persentase lempung lebih tinggi memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi. Tabel 1. Parameter Sampe Uji Sampel PL Kaolin 38 Parakan Muncang 29.28



794 – Bidang Geoteknik



LL 68 66.64



IP 30 37.36



Gs 2.61 2.60



Jenis Tanah MH CH



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 2. Persentase Partikel Sampel Uji Sampel Kaolin Material Clay 53.82 Silt 21.72 Fine Sand 22.21 Coarse to Medium Sand 2.26 Gravel 0.00



Parakan Muncang %Finer 57.38 28.35 13.81 0.45 0.00



Proses pengujian sampel untuk mendapatkan nilai viskositas dimulai dari kadar air dan kemiringan bidang gelincir/kemiringan flume channel dimana sampel tepat akan mengalir. Pengujian menggunakan instrumen berupa flume channel berbahan acrylic dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 20 cm, dan tinggi total 20 cm seperti pada gambar 1. Berdasarkan persamaan (2), untuk memperoleh nilai kecepatan aliran pada permukaan dan dasar pada pemodelan mudflow maka menggunakan kabel elastis dengan interval antar kabel adalah 5 cm yang ditempatkan pada kedua sisi flume channel guna memperoleh nilai perpindahan selama aliran terjadi. Sampel uji yang telah terkondisi pada kadar air tertentu ditempatkan dalam flume channel dengan cara mengoleskan dan meratakan sampel setiap 1 cm hingga 3 cm lapisan. Proses pengolesan dan perataan dilakukan dengan keadaan flume channel berada pada posisi horisontal dan sekat dalam posisi terpasang. Setelah ketinggian sampel telah mencapai 15 cm dari dasar, kemudian memberikan kemiringan tertentu pada flume channel dan sekat dibuka agar lumpur dapat mengalir. Proses pengujian sampel kaolin dilakukan pada kadar air 1.0LL, 1.1LL, 1.2LL, dan 1.3LL dengan variasi kemiringan bidang gelincir untuk kadar 1.0LL mulai dari 250 hingga 400, untuk kadar air 1.1LL dan 1.2LL mulai dari 150 hingga 250, dan untuk kadar air 1.3LL pada kemiringan bidang gelincir 150 dan 200. Sedangkan untuk sampel Parakan Muncang dilakukan pada kadar air 1.3LL, 1.4LL, 1.5LL, dan 1.6LL dengan variasi kemiringan bidang gelincir untuk kadar air 1.3LL pada kemiringan 400, untuk kadar air 1.4LL mulai dari 300 hingga 400, dan untuk kadar air 1.5LL dan 1.6LL mulai dari 250 hingga 400. Variasi kadar air dan kemiringan bidang gelincir bertujuan untuk memperoleh variasi nilai tegangan geser terhadap laju regangan yang kemudian dianalisis menggunakan model material plastis Bingham. Pintu/Sekat Kabel Pembaca



5 cm



15 cm



5 cm 5 cm 5 cm



Sampel Uji



40 cm



40 cm Arah Aliran



Gambar 1. Konfigurasi Flume Channel



Bidang Geoteknik- 795



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Model material plastis Bingham Berdasarkan mekanisme pergerakannya yang melibatkan parameter reologi tegangan geser, tegangan leleh, laju regangan, dan viskositas, mudflow tergolong sebagai fluida non-Newtonian. Guna mempermudah pemahaman mekanisme pergerakannya maka memerlukan pemodelan material mudflow sebagai fluida non-Newtonian. Salah satu pemodelan material yang banyak diaplikasikan adalah model material plastis Bingham. Material plastis Bingham merupakan material viskoplastis yang berperilaku sebagai benda tegar ketika tegangan yang bekerja lebih kecil dari tegangan lelehnya dan berperilaku sebagai cairan kental dan mengalir ketika tegangan yang bekerja melampaui tegangan lelehnya [6]. Laju aliran yang terjadi akan meningkat secara linier terhadap pertambahan tegangan geser serta mengasumsikan bahwa aliran yang terjadi adalah aliran laminar. Pemodelan material plastis Bingham memadahi untuk tanah dengan persentase butir halus lebih dari 50% [2] dan dengan tegangan leleh yang terukur [1]. Kuat geser tak terdrainase Penentuan nilai kuat geser tak terdrainase untuk sampel tanah teremas menggunakan data perolehan nilai kuat geser tak terdrainase untuk tanah teremas oleh Dwifitri (2014) dan Setiabudi (2014) dengan nilai tidak lebih dari 4 kg/cm2 yang menggunakan jenis sampel sama, sampel kaolin dan Parakan Muncang, dengan korelasi teori oleh Koumoto dan Houlsby (2001) seperti pada gambar 2.



Gambar 2. Kurva Hubungan Kuat Geser Tak Terdrainase Terhadap Kadar Air Viskositas Viskositas merupakan suatu besaran yang menyatakan besar tahanan suatu fluida untuk mengalir dan menempuh jarak tertentu per satu unit kecepatan. Penentuan nilai viskositas menggunakan metode Vallejo dan Scovazzo (2003) memerlukan koreksi pada persamaan (2). Dalam penurunan hubungan matematis mekanisme pergerakan mudflow berdasarkan persamaan (1) dapat dinyatakan dalam persamaan (3) dengan



796 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 penambahan tanda negatif pada bagian dv/dy sebagai bentuk gradien penurunan nilai kecepatan terhadap kedalaman. dv   cu ................................................................................................................. (3)   dy  Dengan τ merupakan tegangan geser yang terjadi pada bidang gelincir akibat gravitasi    f .y. sin  ................................................................................................................ (4) Mensubtitusi persamaan (4) ke dalam persamaan (3) dv  f .h. sin   cu ................................................................................................... (5)   dy  Mengintegrasi dan menyelesaikan persamaan (5) Vt 0  f .h. sin   cu dy ........................................................................................... (6)   dv   Vb



h







Hasil penyelesaian integrasi persamaan (6) seperti tertera pada persamaan (7).  f .h 2 . sin   2.cu .h (Vt  Vb )  ....................................................................................... (7) 2. Maka relasi untuk memperoleh nilai viskositas sampel kaolin dan Parakan Muncang pada penelitian ini seperti tertera pada persamaan (8) dengan ε adalah viskositas (Pa•s), γf adalah berat isi lumpur (kg/cm3), β adalah kemiringan bidang gelincir (0), cu adalah kuat geser tak terdrainase (kg/cm2), h adalah tinggi sampel (cm), g adalah gravitasi (cm/s2), Vt adalah kecepatan pada permukaan (cm/s), dan Vb adalah kecepatan pada dasar bidang kontak (cm/s). Penambahan g sebagai gravitasi merupakan faktor konversi satuan kg.s.cm-2 kedalam Pa•s.  f .h 2 . sin   2.cu .h   g. ............................................................................................ (8) 2.(Vt  Vb )



3. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI Dengan melakukan variasi terhadap kadar air dan kemiringan bidang gelincir, maka diperoleh variasi tegangan geser terhadap laju rengangan yang kemudian menganalisisnya menggunakan material plastis Bingham. Berdasarkan analisis pemodelan material plastis bingham, nilai viskositas merupakan gradien dari garis linear seperti pada gambar 3 dan 4 dan tegangan leleh material merupakan perpotongan antara garis linear dengan sumbu Y ketika nilai laju regangan sama dengan nol.



Bidang Geoteknik- 797



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 3. Analisis Material Plastis Bingham Sampel Kaolin



Gambar 4. Analisis Material Plastis Bingham Sampel Parakan Muncang Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan hasil analisis material plastis Bingham untuk memperoleh nilai viskositas seperti tertera pada gambar 5, menunjukan bahwa pada indeks kecairan sama, nilai viskositas sampel menurun seiring dengan peningkatan kemiringan bidang gelincir. Namun tidak berati bahwa nilai viskositas suatu material yang berada kondisi viscous liquid state berubah-ubah berdasarkan kondisi kemiringan bidang gelincir eksisting. Nilai viskositas berubah bergantung pada kandungan air/kadar air pada tanah dan suatu sampel tanah hanya memiliki satu nilai viskositas pada satu nilai kadar air. Perubahan kemiringan bidang gelincir bertujuan untuk mendapatkan



798 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 variasi tegangan geser yang bekerja pada tanah untuk kemudian menganalisisnya menggunakan pemodelan material plastis Bingham. Meninjau pada penelitian oleh Vallejo dan Scovazzo (2003) yang hanya menggunakan satu kemiringan bidang gelincir, β = 390, maka hanya terdapat satu nilai tegangan geser terhadap laju regangan sehingga tidak dapat melakukan back analysis pemodelan material plastis Bingham untuk mendapatkan nilai viskositas eksisting sampel akibat tidak dapat membentuk kurva tegangan geser terhadap laju regangan. Perbandingan hasil pengujian dan analisis terhadap data terpublikasi seperti pada gambar 6, menunjukan bahwa hasil pengujian dan analisis lebih rendah dibandingkan hasil pengujian oleh Vallejo dan Scovazzo (2003). Hal terkait memungkinan akibat penelitian oleh Vallajo dan Scovazzo (2003) hanya dilakukan pada satu kemiringan bidang gelincir dengan variasi kadar air sehingga hanya terdapat nilai tegangan geser tunggal dengan laju regangan yang berbeda. Meninjau pada analisis menggunakan pemodelan material plastis Bingham yang menunjukan bahwa perubahan tegangan geser terhadap laju regangan tidak linear dan pengujian hanya pada satu kemiringan bidang gelincir, memungkinkan bila nilai tegangan geser terhadap laju regangan oleh Vallejo dan Scovazzo (2003) berada pada titik immediate elastic response atau delayed elastic response sehingga memiliki nilai viskositas yang tinggi. Untuk memperoleh nilai viskositas eksisting sampel menggunakan pemodelan material plastis Bingham, titik analisis berada pada titik steady state viscous response di mana kurva tegangan geser terhadap laju regangan tidak mengalami perubahan gradien yang signifikan atau bergerak secara linear.



Gambar 5. Hasil Pengujian dan Hasil Analisis Material Plastis Bingham Selain dalam analisis hasil pengujian, penggunaan metode Vallejo dan Scavazzo (2003) untuk memperoleh nilai viskositas memiliki keterbatasan pada penggunaan persamaan (8). Apabila sampel uji memiliki berat isi yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai kuat geser tak terdrainasenya, maka kondisi bahwa peningkatan indeks kecairan akan menurunkan nilai viskositas pada kemiringan bidang gelincir yang sama tidak berlaku



Bidang Geoteknik- 799



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dan nilai viskositas dapat bernilai negatif. Penggunaan persamaan (8) untuk menentukan nilai viskositas oleh Vallejo dan Scovazzo (2003) hanya ketika berat isi lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat geser tak terdrainasenya. Penentuan nilai viskositas menggunakan metode Vallejo dan Scovazzo (2003) dapat digunakan dengan melakukan variasi kemiringan bidang gelincir untuk setiap kadar air dan melakukan back analysis pemodelan material plastis Bingham untuk setiap nilai tegangan geser yang bekerja dan laju regangan yang terjadi pada saat pengujian.



Gambar 6. Perbandingan Hasil Eksperimen Dengan Data Terpublikasi



4. KESIMPULAN Nilai viskositas berubah bergantung pada kandungan air/kadar air pada tanah dan suatu sampel tanah hanya memiliki satu nilai viskositas pada satu nilai kadar air. Perubahan kemiringan bidang gelincir bertujuan untuk mendapatkan variasi tegangan geser yang bekerja pada tanah untuk kemudian menganalisisnya menggunakan pemodelan material plastis Bingham. Untuk memperoleh nilai viskositas eksisting sampel menggunakan pemodelan material plastis Bingham, titik analisis berada pada titik steady state viscous response di mana kurva tegangan geser terhadap laju regangan tidak mengalami perubahan gradien yang signifikan atau bergerak secara linear. Penentuan nilai viskositas menggunakan metode Vallejo dan Scovazzo (2003) dapat digunakan dengan melakukan variasi kemiringan bidang gelincir untuk setiap kadar air dan melakukan back analysis pemodelan material plastis Bingham untuk setiap nilai tegangan geser yang bekerja dan laju regangan yang terjadi pada saat pengujian guna mengurangi segala keterbatasan yang ada pada metode dan persamaan Vallejo dan Scovazzo (2003).



800 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



5. DAFTAR NOTASI PL LL LI IP Gs PM τ: ε: ̇: cu γf : β:



: Batas plastis/Plastic limit : Batas cair/Liquid limit : Indeks kecairan/Liquidity index : Indeks plastisitas : Berat jenis : Parakan Muncang Tegangan geser/shear stress Viskositas Laju rengangan/strain rate : Kuat geser tak terdrainase Berat isi lumpur Kemiringan bidang gelincir



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Chen, C.L., 1988. General solutions for viscoplastic debris flow. Journal of Hydraulic Engineering 114 (3), 259–282. 2. Hungr, O.,Evans, S.G., Bovis,M.J.,Hutchinson, J.N., 2001. A Review of the Classification of Landslides of the Flow Type. Environmental and Engineering Geoscience VII3, 221–238. 3. Koumoto T and Houlsby GT. 2001. Theory and practice of the fall cone test. Ge´otechnique 51(8): 701–712. 4. Mahajan, S.P.. Budhu, Muniram. 2006. Viscous Effects on Penetrationg Shafts in Clays. Research Paper. Acta Geotechnica (2006) 1:157-165. 5. Mahajan, S.P.. Budhu, Muniram. 2008. Shear Viscosity of Clays to Compute Viscous Resistance. The 12th International Conference of International Assosiciation for Computer Methods and Advances in Geomechanics (IACMAG). India. 6. Rashaida. Ali A. 2005, ―Flow of a Non-Newtonian Bingham Plastic Fluid Over a Rotating Disk‖, PhD. Thesis, University of Saskatchewan, Saskatoon, Saskatchewan. 7. Setiabudi, David W. 2014. Penentuan Nilai Kuat Geser dan Viskositas Pada Kaolin dan Tanah Longsor Parakan Muncang Dengan Uji Geser Baling-Baling di Laboratorium. Skripsi Strata-1. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung. 8. Vallejo, Luis E. Scovazzo, Vincent A. 2003. Determination of The Shear Strength Parameters Associated with Mudflows. Vol 43, No.2, 129-133. Japanese Geotechnical Society. 9. Varnes, D.J. 1978. Slope movement types and processes, Landslides: Analysis and Control, Transp. Research Board, Washington D.C., USA. 10. Widjaja, Budijanto. Dwifitri, Aglentia. 2014. Kuat Geser Tak Teralir Tanah Teremas Menggunakan Fall Cone Penetrometer. ISSN 1412-9612. Simposium Nasional RAPI XIII – 2014 FT UMS.



Bidang Geoteknik- 801



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Halaman ini sengaja dikosongkan



802 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



KARAKTERISTIK STATIK DAN DINAMIK AKIBAT PENGARUH SIKLUS PEMBASAHAN – PENGERINGAN DAN PENAMBAHAN BAHAN STABILISATOR (KAPUR DAN BIO-BAKTERI) PADA TANAH RESIDUAL DI MOJOKERTO Laily Endah F.1, Aqidah Agustiyanda Anwardina2, Rosseno3, Ria A A Soemitro4, dan Dwa Desa Warnana5. 1



Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email: [email protected] 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email : [email protected] 3 Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email : [email protected] 4 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:[email protected] 5 Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email : [email protected]



ABSTRAK Pembangunan di Indonesia sudah merambah ke daerah bergelombang dan pegunungan, sehingga menyebabkan terjadinya pembukaan lereng, hal tersebut menyebabkan tanah yang semula berada di dalam berubah menjadi tanah permukaan dan seiring waktu tanah akan mengalami siklus pembasahanpengeringan akibat pergantian musim. Pada tanah penyusun lereng yang memiliki kondisi tanah buruk dan kurang memenuhi kestabilan lereng, perlu dilakukan perbaikan tanah dimana dalam hal ini dilakukan stabilisasi pada tanah residual. Penelitian ini berlokasi di Desa Manting, Mojokerto guna mengetahui karakteristik tanah pada daerah tersebut. Siklus musim hujan dan kemarau dimodelkan dengan siklus pengeringan-pembasahan dengan memodelkan prosentase kadar air pada perubahan tiap 10% dari kondisi initial. Dilakukan identifikasi guna mengetahui perbedaan karakteristik statik dan dinamik antara tanah initial dan tanah yang telah ditambahkan bahan stabilisasi (kapur dan bio-bakteri) akibat pengaruh siklus pembasahan dan pengeringan. Hasil dari identifikasi tanah menunjukkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah residual dimana setelah dilakukan pengujian atterberg limit pada tanah undisturbed, diketahui bahwa nilai batas plastis tanah tersebut cukup tinggi yakni 28,956% sedangkan untuk indeks plastisitas adalah 28,044%. Nilai kadar air pada tanah initial terganggu, adalah sebesar 30,482%, nilai derajat kejenuhan sebesar 73,613%, dan nilai angka pori sebesar 1,093. Hasil perubahan nilai parameter tanah dari kondisi initial dengan initial+8% kapur, nilai kadar air (c) mengalami penurunan rata-rata 5,52%, sehingga menyebabkan angka pori (-UW) menurun dan akibatnya tegangan air pori negatif naik hingga 87,78%. Sama halnya dengan derajat kejenuhan (Sr) mengalami penurunan rata-rata 25,037%. Pada proses pembasahan dan pengeringan mengakibatkan modulus geser meningkat sebesar 39,127% dan untuk nilai kohesi (cu) meningkat rata-rata 62,72%. Untuk hasil perubahan nilai parameter tanah dari kondisi initial dengan initial + 7% bio-bakteri, nilai kadar air (c) mengalami penurunan rata-rata 4,08%, sehingga menyebabkan angka pori menurun dan akibatnya tegangan air pori negatif (-UW) naik hingga 90,83%. Sama halnya dengan derajat kejenuhan (Sr) mengalami penurunan rata-rata 11,65%. Pada proses pembasahan dan pengeringan mengakibatkan modulus geser (Gmaks) meningkat sebesar 39,737%, begitu juga nilai kohesi (cu) meningkat rata-rata sebesar 64,51%.



Bidang Geoteknik- 803



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Kata kunci: Tanah residual, Siklus pembasahan-pengeringan, Stabilisasi kapur dan bio-bakteri, Mojokerto.



1. PENDAHULUAN Permasalahan tanah longsor sering dijumpai pada area yang bertopografi terjal dan mempunyai curah hujan yang relatif tinggi [1]. Gerakan tanah disebabkan oleh rendahnya kuat geser tanah pembentuk lereng, akibat peningkatan kandungan air oleh infiltrasi air hujan [2]. Dari hasil analisis karakter curah hujan pemicu gerakan tanah diketahui bahwa hujan yang meresap kedalam tanah dapat menimbulkan peningkatan tekanan air pori, sehingga terjadi ganggungan pada kestabilan lereng [3]. Perubahan fungsi lahan akibat aktifitas pembangunan menyebabkan banyak terjadinya pembukaan lereng. Pembukaan lereng menyebabkan tanah yang semula berada pada kedalaman berubah menjadi tanah permukaan dan seiring waktu tanah akan menagalami siklus pembasahan-pengeringan akibat perubahan musim [4]. Perubahan sifat fisik tanah akan terjadi jika terjadi perubahan kadar air didalam tanah akibat proses pembasahan dan pengeringan dimana proses ini sering terjadi pada daerah tropis [5]. Tanah yang berada di Desa Manting, Mojokerto telah mengalami perubahan karakteristik. Penyebabnya adalah perubahan musim hujan dan kemarau yang mengakibatkan perubahan kadar air yang signifikan. Tanah penyusun lereng merupakan tanah yang buruk dan kurang memenuhi kestabilan lereng. Karena itu perlu dilakukan perbaikan tanah. Usaha untuk perbaikan karakter fisik, mekanik dan dinamik tanah dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satu diantaranya yaitu stabilisasi tanah. Cara stabilisasi yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu dengan menambahkan bahan tambahan tertentu (stabilisator) agar kualitas tanah dapat ditingkatkan. Bahan yang digunakan sebagai bahan stabilisasi yaitu kapur dan bio bakteri. Penelitian ini menitikberatkan hubungan antara karakteristik fisik, mekanik dan dinamik tanah berdasarkan tanah asli dan tanah yang ditambahkan bahan stabilisasi akibat pengaruh proses pembasahan dan pengeringan



2. TINJAUAN PUSTAKA Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpatikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-patikel padat tersebut. (Das, Braja M. 1988). Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butir dan plastisitas. Stabilisasi tanah merupakan cara alternatif yang dapat diambil untuk memperbaiki sifat-sifat tanah yang ada. Tujuan dari stabilisasi tanah adalah untuk meningkatkan kuat dukung tanah dengan peningkatan kohesi tanah dan kepadatan tanah. Stabilitas tanah dengan menggunakan kapur mengakibatkan suatu peningkatan kapasitas kekuatan geser dan daya dukung tanah, pengurangan kerentanan terhadap pembengkakan dan penyusutan, penurunan kadar air dan pemadatan karakteristik. Penggunaan fly ash sebenarnya tidak memiliki kemampuan mengikat, tetapi dengan adanya air dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh fly ash akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat. Penggunaan



804 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 biobakteri sebagai bahan tambah untuk stabilisasi tanah masih sangat baru. Bahkan penelitian mengenai biobakteri ini masih sangat sedikit sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang sifat dari bahan ini. biobakteri digunakan sebagai inovasi untuk memperbaiki tanah asli yang mempunyai daya dukung kurang.



3. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Desa Manting, Kabupaten Mojokerto (Gambar 3.1) dimana dipilih lokasi ini karena termasuk daerah yang rawan longsor serta memiliki karakteristik tanah residual didalamnya.



Gambar 3.1. Peta Wilayah Desa Manting, Kabupaten Mojokerto. Penelitian Laboratorium Penelitian yang dilakukan di laboratorium, meliputi pengujian fisik, mekanik, dinamik, tegangan air pori negatif (suction), serta pengujian resistivitas tanah. Pengujian dilakukan untuk mengidentifikasi tanah asli (initial) residual Desa Manting Mojokerto dan tanah residual yang distabilisasi (campuran antara tanah asli + bahan stabilisasi (Kapur dan Bio Bakteri). Proses Siklus Pembasahan dan Pengeringan Pada proses siklus pembasahan dan pengeringan dilakukan dengan cara mengurangi kadar air dari kondisi awal ke kondisi kering 100% kemudian ditambahkan air sampai ke kondisi kadar air jenuh 100%. Kondisi ini dihitung sebagai 1x siklus. Perlakuan tersebut juga diterapkan untuk pengujian sifat fisik, mekanik, dinamik (elemen bender), pengukuran tegangan air pori negatif, serta pengujian resistivitas tanah. Skema siklus pembasahan dan pengeringan dalam satu kali siklus dapat dilihat pada Gambar 3.2. `



Bidang Geoteknik- 805



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Gambar 3.2. Skema Siklus Pengeringan dan Pembasahan dalam Satu Siklus (Sumber : Penelitian)



4. ANALISA HASIL Pengujian Atterberg Limit Untuk mengetahui jenis tanah yang terdapat pada tanah di Desa Manting, Mojokerto maka dilakukan pengujian atterberg limit dimana pengujian batas atterberg ini meliputi batas cair, batas plastis dan indeks plastis. Hasil pengujian dilakukan dengan tanah tidak terganggu (Undisturbed soils) guna mengetahui jenis tanah tersebut.Hasil pengujian batas atterberg dapat dilihat pada Gambar 4.1. berikut :



Gambar 4.1 Grafik pengujian atterberg limit pada tanah natural. (Sumber : Hasil Penelitian). Dari grafik diatas dapat dilihat kadar air tanah natural saat kondisi LL (jumlah pukulan sebanyak 25) sebesar 57%, dan berdasarkan hasil pengujian didapat nilai kadar air saat kondisi PL sebesar 28,956%. Maka dapat disimpulkan bahwa nilai PI (plastis indeks) sebesar PI = LL – PL = 57 – 28,956 = 28,044%. Pengujian Analisis Ukuran Butir Hasil pengujian analisis ukuran butiran dan analisa hidrometer adalah prosentase fraksi lempung ≤ 0,002 mm, yang digunakan untuk melakukan klasifikasi jenis benda uji.



Gambar 4.2 Hasil pengujian analisa butir pada tanah natural. (Sumber : Hasil Penelitian).



806 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Dari grafik di atas dapat dilihat fraksi butiran tanah natural. Dapat dilihat bahwa pada fraksi kerikil yaitu 0%. Sedangkan fraksi pasir sebesar 5,12%, fraksi lanau sebesar 37,479% dan fraksi lempung sebesar 57,401%.



Bidang Geoteknik- 807



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Analisa Hasil Pengujian Pemadatan Proktor Standar Hasil pengujian pemadatan proctor standar yang dihubungan antara kadar air, angka pori, derajat kejenuhan, kepadatan kering dan tegangan air pori negatif hasil pengujian proctor standar pada tanah natural.



Gambar 4.3. Hubungan antara kadar air, angka pori, derajat kejenuhan, kepadatan kering dan tegangan air pori negatif hasil pengujian proctor standar pada tanah natural. (Sumber: Hasil Penelitian) Nilai Parameter Tanah Hasil Pengujian Proses Pengeringan – Pembasahan Setiap tahap pengeringan – pembasahan dilakukan uji gravimetri-volumetri (ωc, e, Sr, γd, γt), uji tegangan air pori negatif (UW), uji unconfined compression stress (Cu), dan elemen bender (Gmax). Pada pengujian kadar air (ωc) dan angka pori (e) dari kondisi natural mengalami penurunan setelah ditambahkan stabilisator. Pada pengkondisian tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah turun lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 : Nilai angka pori pada tanah natural dan tanah yang telah distabilisasi pada kondisi yang sama. Parameter tanah Jenis Tanah e c (%) 32,534 1,101 Natural 27,010 1,015 Nat + 8 % Kapur 31,207 1,022 Nat + 7% Bio bakteri (Sumber: Hasil Penelitian)



808 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Pada pengujian angka pori (e) dan tegangan air pori negatif (-Uw) dari kondisi natural mengalami peningkatan setelah ditambahkan stabilisator. Pada kondisi tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah meningkat lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur.Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 : Nilai angka pori dan tegangan air pori negatif pada tanah natural dan tanah yang telah distabilisasi pada kondisi yang sama. Parameter tanah Jenis Tanah -Uw (kPa) e Natural 11.000 1,101 Nat + 8 % Kapur 90.000 1,015 Nat + 7% Bio bakteri 120.000 1,022 (Sumber: Hasil Penelitian) Pada pengujian kadar air (ωc) dan modulus geser (Gmax) dari kondisi natural mengalami peningkatan setelah ditambahkan stabilisator. Pada kondisi tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah meningkat lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur.. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 : Nilai kadar air dan modulus geser pada tanah natural dan tanah yang telah distabilisasi pada kondisi yang sama. Jenis Tanah Natural Nat + 8 % Kapur Nat + 7% Bio bakteri



Parameter tanah ωc (%) Gmax (kPa) 32,534 843,1169 27,010 1.385,0565 31,207 1.399,0665



(Sumber: Hasil Penelitian) Pada pengujian kadar air (ωc) dan modulus geser (Gmax) dari kondisi natural mengalami peningkatan setelah ditambahkan stabilisator. Pada kondisi tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah meningkat lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur.. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.4 : Nilai tegangan air negatif dan modulus geser pada tanah natural dan tanah yang telah distabilisasi pada kondisi yang sama. Jenis Tanah Natural Nat + 8 % Kapur Nat + 7% Bio bakteri



Parameter tanah -Uw (kPa) Gmax (kPa) 11.000 843,1169 90.000 1.385,0565 120.000 1.399,0665



(Sumber: Hasil Penelitian) Pada pengujian kadar air (ωc) dan derajat kejenuhan (%) dari kondisi natural mengalami peningkatan setelah ditambahkan stabilisator. Pada pengkondisian tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah meningkat lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.



Bidang Geoteknik- 809



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 4.4 : Nilai kadar air dan derajat kejenuhan pada tanah natural dan tanah yang telah di stabilisasi pada kondisi yang sama. Parameter tanah Jenis Tanah Sr (%) c (%) Natural 32,534 77,620 Nat + 8 % Kapur 27,010 58,186 Nat + 7 % Bio bakteri 31,207 68,576 (Sumber: Hasil Penelitian) Pada pengujian kohesi (c) dan derajat kejenuhan (Sr) dari kondisi natural mengalami peningkatan setelah ditambahkan stabilisator. Pada pengkondisian tanah natural+7% bio bakteri nilai parameter tanah meningkat lebih besar dibandingkan dengan saat tanah natural+8% kapur. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.5 Nilai kohesi dan derajat kejenuhan pada tanah natural dan tanah yang telah di stabilisasi pada kondisi yang sama. Jenis Tanah Natural Nat + 8 % Kapur Nat + 7 % Bio bakteri



Parameter tanah c (kg/cm2) Sr (%) 0,737 77,620 1,977 58,186 2,077 68,576



(Sumber: Hasil Penelitian) Dari penelitian karakteristik tanah residual di Desa Manting, Mojokerto, perlu dilakukan pengujian selanjutnya mengenai mineral lempung pada kondisi tanah natural dan tanah setelah ditambahkan bahan stabilisator serta perlu dilakukan penelitian mengenai resistivitas guna mengetahui resistivitas akibat perubahan kadar air yang terjadi pada ketiga kondisi tanah tersebut.



5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium pengaruh perubahan musim hujan-kemarau (yang dimodelkan dengan perubahan air), siklus pembasahan dan pengeringan) terhadap karakteristik tanah dengan tambahan bahan stabilisisasi adalah bahan stabilisasi dapat memperbaiki karakteristik fisik, mekanik, dan dinamik tanah. Dalam pengujian kali ini tanah Desa Manting Mojokerto termasuk dalam jenis tanah residual lempung berlanau, oleh karena itu diantara stabilisator yang dipakai, bahwa penambahan 7% Bio bakteri merupakan metode yang paling baik untuk perbaikan tanah lereng Desa Manting Mojokerto.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Syahbana, A. J., Adrin, T., Eko, S., Dwi, S., dan Khori, S. (2013), ‖ Desain Cut Slope Chart untuk Evaluasi Kestabilan Lereng di Atas Badan Jalan. Studi Kasus: Cinona, Cisalak dan Cijengkol, Kabupaten Bandung Barat , Jawa Barat‖, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 33 – 47. 2. Wibowo, Y. S.(2011), ‖ Perilaku Sifat Fisik dan Keteknikan Tanah Residual Batuan Volkanik Kuarter di Daerah Cikijing, Majalengka, Jawa Barat‖, Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 21 No.2 (2011), 131-139.



810 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 3. Sudarsono. U., dan G. Hasibuan, (2011), ―Karakteristik Geologi Teknik Tanah Residu Batuan Sedimen Kuarter Bawah Daerah Kertajati, Majalengka, Jawa Barat‖, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 3 September 2011: 177-189. 4. Muntaha, M. (2012),Karakteristik Statik dan Dinamik Tanah Residual Tidak Terganggu (Undisturbed Residual Soils) Akibat Pengaruh Siklus Pembasahan-Pengeringan, Disertasi, Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 5. Asmaranto, R., Ria, A. A. S.,Nadjadji, A., (2012) ―Penentuan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah Tidak Jenuh menggunakan Uji Resistivitas di Laboratorium‖. Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 1, Mei 2012, hlm 81–86.



Bidang Geoteknik- 811



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



812 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA STABILITAS TIMBUNAN BATUBARA PERUSAHAAN A BERAU KALIMANTAN TIMUR Musta’in Arif1 dan Herman Wahyudi2 1



Musta‘in Arif, Jurusan Teknik Sipil, FTSP-ITS, email: [email protected] Herman Wahyudi, Jurusan Teknik Sipil, FTSP-ITS, email: [email protected]



2



ABSTRAK Diarea timbunan batubara Perusahaan A Berau Kalimantan Timur, terdapat timbunan batubara termasuk fasilitas operasionalnya seperti conveyor. Dari aspek produktifitas, diinginkan timbunan batubara setinggi mungkin. Permasalahan dan tujuan diperlukannya analisa stabilitas timbunan batubara : Berapa tinggi maksimum batubara yang diijinkan agar tidak terjadi longsor atau sliding. Pengaruh variasi tinggi timbunan batubara terhadap posisi dan pondasi conveyor, termasuk pengaruhnya terhadap exsisting bangunan. Untuk merealisir tujuan tersebut, alternatif simulasi kasus, dengan bantuan software Plaxis yang berbasis finite element. Yaitu : Kontrol stabilitas timbunan tanah ramp 7 m. Pengaruh variasi tinggi timbunan batubara (H = 3 m, H = 7 m & H = 13 m) terhadap sliding, perhitungan tinggi timbunan batubara maximum yang diijinkan. Pengaruh variasi tinggi timbunan batubara (H = 3 m, 7 m & 8,5 m) terhadap posisi pondasi conveyor atau fasilitas penunjang lainnya, untuk pondasi dangkal maupun tiang-tiang pondasi, dari aspek stabilitas dan safety factornya. Korelasi hasil analisa teoritis Plaxis dengan hasil monitoring inclinometer di lapangan. Dari hasil analisa stabilitas timbunan batubara serta pengaruhnya terhadap posisi dan pondasi, dapat disimpulkan : Timbunan tanah setinggi 7 m zone ramp stockpile belum runtuh, SF = 1,0320 (kritis longsor). Tinggi timbunan batubara maximum yang diijinkan adalah 8,5 m, slope 350. Disarankan slope timbunan bertangga < 350. Slope timbunan 1 : 2 adalah ideal. Pengaruh posisi pondasi dangkal maupun pondasi dalam terhadap timbunan batubara setinggi 7,00 m s/d 8,50 m adalah sebagai berikut : Horizontal displacement (H) apabila pondasi dangkal 7 m diluar kaki timbunan, tepat dikaki timbunan dan 7 m kearah dalam dari kaki timbunan, secara berurutan adalah 13 cm, 13,4 cm dan 16,2 cm. Apabila timbunan batubara menjadi 3 m, maka H menjadi lebih kecil yaitu masing-masing 4,1 cm, 4,3 cm dan 4,4 cm. Tiang pondasi beton  35 cm dan L = 37 m, pada posisi 7 m diluar kaki timbunan, yang tepat dikaki timbunan maupun yang 7 m kedalam dari tepi timbunan, semuanya aman. Terdapat kemiripan hasil perhitungan teoritis (plaxis) dengan hasil observasi inclinometer dalam hal besaran horizontal displacement. Hasil inclinometer cenderung lebih kecil sekitar 0,77 cm hingga 0,96 cm terhadap hasil perhitungan. Kata kunci: stabilitas, timbunan batubara, plaxis



1. PENDAHULUAN Diarea timbunan batubara milik Perusahaan A Berau Kalimantan Timur, rencananya dan juga sudah sebagian terealisir, adanya timbunan-timbunan batubara termasuk beberapa fasilitas operasionalnya seperti conveyor. Ditinjau dari aspek produktifitas, diinginkan timbunan batubara tersebut setinggi mungkin. Permasalahan dan tujuan diperlukannya analisa stabilitas timbunan batubara :  Berapa tinggi maksimum batubara yang diijinkan agar tidak terjadi longsor atau sliding.  Seberapa besar pengaruh variasi tinggi timbunan batubara tersebut terhadap posisi dan pondasi conveyor, termasuk pengaruhnya terhadap exsisting bangunan yang ada disekitarnya.



Bidang Geoteknik- 813



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Akan dilakukan beberapa alternatif simulasi kasus, dengan bantuan software plaxis yang berbasis finite element. Beberapa model kasus yang dilakukan adalah sebagai berikut :  Kontrol stabilitas timbunan tanah ramp 7 m.  Pengaruh variasi tinggi timbunan batubara (H = 3 m, H = 7 m & H = 13 m) terhadap sliding, termasuk perhitungan tinggi timbunan batubara maximum yang diijinkan.  Pengaruh variasi tinggi timbunan batubara (H = 3 m, 7 m & 8,5 m) terhadap posisi pondasi conveyor atau fasilitas penunjang lainnya, baik untuk pondasi dangkal maupun tiang-tiang pondasi, ditinjau dari aspek stabilitas dan safety factornya.  Korelasi antara hasil analisa teoritis Plaxis dengan hasil monitoring inclinometer di lapangan. 2. DATA TANAH DAN TIMBUNAN Perhitungan stabilitas timbunan batubara yang ada dilokasi, dipakai hasil penyelidikan tanah titik-titik bor-1 s/d bor-6. Boring dan Standard Penetration Test (SPT) dilakukan hingga kedalaman – 50.00 meter dari original ground level. Layout posisi titik bor dan SPT serta resume gabungan hasil soil test yang berupa data–data : NSPT dalam fungsi kedalaman dan jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 1. Data-data parameter tanah berdasarkan hasil soil test bor-1 s/d bor-6 dan karakteristik material timbunan untuk perhitungan stabilitas timbunan, dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa parameter tanah tersebut :  sat, d, ‘ = saturated, dry & effective unit weight of soil.  ,WL = internal angle friction & liquid limit.  Cu, C‘ = undrained & effective cohesion.  Cc, Cv = compression index & vertical consolidation coefficient.  , E = Poisson coefficient & Elastic modulus NSPT 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90



0 2



Timbunan/Tanah urug + 2 m



4 6 8



SANDY SILT, very soft



10 12 14 16



Depth (m)



18 20 22 24 26 28 30 32 34



bor-4



36 38



CLAYEY SILT, medium



40 42



44



bor-5



bor-6



46 48 50



bor-3



bor-1



CLAYEY SILT, hard bor-2



Gambar 1. Layout Boring & SPT titik bor-1 s/d bor-6 & Hubungan NSPT vs Depth (m) untuk bor 1s/d bor 6. (2011)



814 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 1. Parameter Tanah Dasar, data tanah timbunan & batubara (2011) Depth m



-2 s/d -38,0 -38,0 s/d -50,0



Thickness NSPT Jenis Tanah



36 12



 sat 3



m



t/m



 dry



'



t/m



3



t/m



o



cu



3



2







c' 2



t/m



t/m



E



Cc



WL



Cv



%



cm /s



2



t/m



e



2



3



Sandy silt, very soft



1,71



1,13



0,71



5



0,94



0,6



0,2



242 0,332 51,7 6,29E-04 1,42



60



Clayey silt, hard



2



1,59



1



20



15



10,0



0,2



1500



Material Hamparan tanah urug Timbunan tanah Timbunan Batubara



-



26,1



-



0,71



 sat (t/m3)



d (t/m3)



' (o)



c (t/m2)



E (t/m2)



Height (m)



1.8



1.27



30



2.20



2000



2



1.8



1.27



30



0



2000



variable



-



1.30



30



2



1000



variable



Tampak bahwa (Gambar 1) dari permukaan tanah asli setempat hingga kedalaman – 30 m, jenis tanah didominasi lanau berpasir (sandy silt) dengan kondisi lapisan very soft (NSPT 1 s/d 4). Dibawahnya setebal 6 m (s/d - 38 m) merupakan soft sandy silt, dan dilanjutkan dengan medium clayey silt. Dari kedalaman – 38 m merupakan hard dan very hard clayey silt dengan nilai NSPT > 60. Compressible layer tersebut dapat menimbulkan problem sliding dan settlement apabila dibebani oleh timbunan batubara. Namun hal positif yang perlu diketahui disini, fakta dilapangan diseluruh area telah dihampar lapisan tanah urug berpasir setebal + 2 m, diatas lapisan tanah dasar. Kondisi inilah yang dapat memperkecil kemungkinan sliding apabila dibebani timbunan batubara.



3. STABILITAS TIMBUNAN TANAH DAN BATUBARA Geometrik Timbunan Tanah dan Batubara Design geometrik timbunan tanah urug setinggi 7 m pada area ramp dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk timbunan batubara dilokasi proyek data-data geometrik dapat dilihat pada Gambar 3.



Gambar 2. Simplifikasi model untuk data geometrik dan geoteknik timbunan tanah pada area ramp.



Gambar 3. Simplifikasi model untuk data geometrik dan geoteknik timbunan batubara



Bidang Geoteknik- 815



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Hasil Perhitungan Stabilitas Timbunan Tanah Urug 7 m Dengan bantuan program bantu plaxis (metode elemen hingga), dapat diperoleh angka keamanan dan bidang gelincir sebagai berikut (Gambar 4 & 5) :



Gambar 4. hasil plaxis pada kondisi tinggi timbunan tanah urug ramp (H) = 7 m dengan slope 450, safety factor = 1,0320 (kritis).



Gambar 5. Bidang gelincir hasil plaxis pada kondisi tinggi timbunan tanah urug ramp (H) = 7 m dengan slope 450, safety factor = 1,0320 (kritis).



Untuk timbunan tanah urug setinggi 7 m di zone ramp, tampak nilai keamanan terhadap keruntuhan (longsor) adalah 1,03 (belum runtuh, tapi kritis). Total displacement maximum yang terjadi tepat pada dan dibawah timbunan sebesar 47 cm. Hasil Perhitungan Stabilitas Timbunan Batubara Hasil perhitungan stabilitas timbunan batubara terhadap keruntuhan dengan ketinggian bervariasi dari 3 m s/d 13 m dapat dilihat pada Gambar 9. SF 3



2



Slope 35 1



0 0



1



2



3



4



5



6



7



8



8,50 9



10 11 12 13 14



H (m)



Gambar 9. Hubungan antara safety factor dan tinggi timbunan batubara, untuk slope 35o. Hasil menunjukkan bahwa sampai dengan tinggi timbunan batubara 7 m, kondisi timbunan dan tanah dasar belum runtuh, dengan safety factor 1,31 (aman). Apabila batubara tersebut diteruskan ketinggian penimbunannya hingga mencapai 13 m, maka



816 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 terjadi keruntuhan (longsor) dari timbunan dan tanah dasarnya, dengan safety factor 0,85 (runtuh). Tinggi kritis sebagaimana tampak pada Gambar 9 untuk timbunan material batubara dengan slope 350 adalah 8,5 m. Besarnya total displacement maximum yang terjadi akibat variasi tinggi timbunan batubara adalah :  untuk H timbunan 3 m,  = 10 cm.  untuk H timbunan 7 m,  = 23 cm.  untuk H timbunan 13 m, kondisi runtuh.



4. PENGARUH TIMBUNAN TERHADAP PONDASI DISEKITARNYA Kondisi Kasus 1 Pengaruh timbunan batubara terhadap posisi pondasi Pengaruh timbunan batubara terhadap pondasi-pondasi yang ada disekitarnya. Untuk kasus pertama dilihat pengaruhnya terhadap pondasi dangkal dan pengaruhnya terhadap pondasi dalam (tiang pancang). Konfigurasi timbunan dan pondasi sebagai input data geometrik, dapat dilihat pada Gambar 10 s/d 12. Tinggi timbunan batubara (H) dibuat bervariasi yaitu 3 m, 7 m dan 8,5 m. Tinggi timbunan lebih dari 8,5 m tidak dilakukan observasi, karena timbunan itu sendiri sudah runtuh. Untuk pondasi dangkal, beban yang bekerja dibuat bervariasi yaitu : 1 t/m2, 2 t/m2 dan 3 t/m2. Adapun karakteristik tiang pondasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Properties Material concrete pile diameter 35 cm NO. 1



PILE WALL PILE O.D THICKNESS (mm) (mm)



350



65



T



Zf (titik jepit) (m)



Allowable Axial (Ton)



W(Modulus Mmax of Section) Hu (ton) (ton-m) (cm3)



2,3021 4,1438 85,84205576 3552,15674 5,32824 2,57166



Gambar 10. Skematis pengaruh timbunan terhadap type pondasi disekitarnya (kasus 1A), pondasi dangkal pada jarak 7 m dari kaki timbunan.



Deflection at head (Fixedheaded pile) (m)



0,023154



Gambar 11. Skematis pengaruh timbunan terhadap type pondasi disekitarnya (kasus 1B), pondasi dangkal pada kaki timbunan.



Bidang Geoteknik- 817



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 12. Skematis pengaruh timbunan terhadap type pondasi disekitarnya (kasus 1C), pondasi berada didalam timbunan



Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3 s/d 5 untuk pondasi dangkal, dan Tabel 6 untuk pondasi tiang. Tabel 3. Displacement yang terjadi, untuk pondasi dangkal pada jarak 7 m dari kaki timbunan. H (tinggi Variasi beban Total Horizontal Vertical timbunan pada pondasi displacement Displacement displacement batubara (m) dangkal (t/m2) (cm) (cm) (cm) 1 10,0 4,1 10,0 3,0 2 10,0 4,2 10,0 3 10,0 4,0 10,0 1 23,0 9,5 23,0 7,0 2 22,0 9,5 22,0 3 22,0 9,5 22,0 1 31,0 13,0 31,0 8,5 2 30,5 13,0 30,5 3 30,0 13,0 30,0 Tabel 4. Displacement yang terjadi, untuk pondasi dangkal pada kaki timbunan. H (tinggi Variasi beban pada Total Horizontal Vertical timbunan pondasi dangkal displacement Displacement displacement batubara (m) (t/m2) (cm) (cm) (cm) 1 10,6 4,1 10,6 3,0 2 10,6 4,3 10,6 3 10,7 4,5 10,7 1 23,0 9,6 23,0 7,0 2 23,1 9,7 23,1 3 23,13 9,85 23,13 1 31,3 13,3 31,3 8,5 2 31,2 13,4 31,4 3 31,1 13,5 31,4



818 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 5. Displacement yang terjadi, untuk pondasi dangkal didalam timbunan. H (tinggi Variasi beban pada Total Horizontal Vertical timbunan pondasi dangkal displacement Displacement displacement batubara (m) (t/m2) (cm) (cm) (cm) 1 11,6 4,1 11,6 3,0 2 12,3 4,35 12,3 3 13,0 4,6 13,0 1 25,0 10,2 25,0 7,0 2 26,5 10,8 26,5 3 28,5 11,5 28,5 1 34,3 14,1 34,3 8,5 2 37,1 16,1 37,0 3 42,7 18,5 42,3 Tabel 6. Moment, displacement & SF (sliding) yang terjadi, untuk pondasi tiang pancang. Posisi tiang H (tinggi Bending Horizontal SF pancang timbunan moment Displacement (sliding) batubara (m) (t/m2) (cm) 3,0 0,005 4,20 2,36 Kaki timbunan 7,0 0,017 10,50 1,23 3,0 0,69 3,30 2,40 di dalam timbunan 7,0 0,90 7,80 1,28 Kondisi Kasus 2 Pengaruh Timbunan Ganda Pada kasus 2 ini akan dipelajari pengaruh 2 (dua) buah timbunan batubara yang berdekatan (jarak 30 m), dengan tinggi timbunan masing-masing 7 m dan 3 m. Dari sini terukur displacement partikel tanah yang terjadi diantara kedua timbunan tersebut (Gambar 13).



Gambar 13. Konfigurasi dua buah timbunan batubara (kasus 2)



Gambar 14. Bidang Isodensity hasil plaxis pada kondisi tinggi dua buah timbunan batubara yang berdekatan (jarak 30 m), dengan tinggi timbunan masing-masing 3 m dan 7 m.



Bidang Geoteknik- 819



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 14, hasil displacement tanah pada zona lapisan antara 2 (dua) buah timbunan batubara yang berbeda tingginya (H = 3 m & H = 7 m). Displacement yang terjadi, dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 : Variasi displacement tanah diantara dua timbunan cross section A B C Displacement 9,0 10,0 11,5 Total displacement (cm) 6,0 8,0 10,5 Horisontal displacement (cm) 8,0 5,5 3,0 Vertikal displacement (cm)



D 6,3 5,0 4,1



5. HORIZONTAL DISPLACEMENT HASIL PLAXIS DAN INCLINOMETER Pergerakan tanah arah horizontal (H) akibat beban timbunan tanah atau batubara, dihitung secara teoritis dengan metode elemen hingga (plaxis), dan dimonitor dengan instrument inclinometer. Hasil pembacaan inclinometer (PT. TGU, 2011) dalam bentuk kurva korelasi antara H dan depth, pada Gambar 15 s/d 18. Perbandingan hasil antara keduanya Tabel 8. Tabel 8 : Horizontal displacement maximum hasil Plaxis dan inclinometer No.



ZONA OBSERVASI



1.



Ram Stockpile



2.



Timbunan batubara tunggal Timbunan batubara ganda



3. 4.



Dermaga



Hasil Plaxis H max (cm) 1,32 (-12,70 m) 9,46 (- 9,00 m) 8,77 (- 12,44 m) -



H max hasil inclinometer (cm) IN.01 IN.02 IN.03 IN.04 1,70 (- 16,00 m) -



8,00 (- 4,00 m)



2,50 (- 8,00 m)



-



-



-



-



1,00 (-1,00 m)



Hasil perhitungan teoritis (Plaxis) dan hasil observasi inclinometer terdapat kemiripan. Selanjutnya, hasil observasi dengan inclinometer dapat dipakai sebagai acuan yang valid dalam mempelajari pergerakan massa tanah akibat suatu timbunan tanah atau batubara.



820 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 15 : Horizontal displacement pada inclinometer 01 (dizone ram stock pile).



Gambar 16 : Horizontal displacement pada inclinometer 02 (dizone timbunan batubara). (PT. TGU, 2011)



Gambar 17 : Horizontal displacement pada inclinometer 03 (dizone timbunan batubara). (PT. TGU, 2011)



Bidang Geoteknik- 821



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 18 : Horizontal displacement pada inclinometer 04 (dizone jetty). (PT. TGU, 2011).



6. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan dan analisa stabilitas untuk kasus timbunan batubara serta pengaruhnya terhadap posisi dan pondasi, dapat disimpulkan : 1. Timbunan tanah setinggi 7 m pada zone ramp stockpile terbukti belum runtuh dengan safety factor SF = 1,0320 (mendekati batas kritis longsor). Fakta dilapangan juga terbukti tidak runtuh. 2. Tinggi timbunan batubara maximum yang diijinkan adalah 8,5 m untuk slope 350. Disarankan slope timbunan tanpa terasering (bertangga) tidak lebih terjal dari 350. Slope timbunan 1 : 2 adalah ideal. 3. Pengaruh posisi pondasi dangkal maupun pondasi dalam terhadap keberadaan timbunan batubara setinggi 7,00 m s/d 8,50 m adalah sebagai berikut : a. Horizontal displacement (H) yang terjadi apabila posisi-posisi pondasi dangkal berada 7 m diluar kaki timbunan, tepat dikaki timbunan dan 7 m kearah dalam dari kaki timbunan, secara berurutan adalah 13 cm, 13,4 cm dan 16,2 cm. Apabila tinggi timbunan batubara direndahkan menjadi 3 m misalnya, maka besarnya H menjadi lebih kecil yaitu masing-masing 4,1 cm, 4,3 cm dan 4,4 cm. b. Pengaruh variasi beban yang bekerja diatas pondasi dangkal (1 t/m2, 2 t/m2 & 3 t/m2) tidak terlalu significant merubah besaran displacement tanah yang terjadi didasar pondasi. c. Apabila dipakai tiang pondasi beton  35 cm dan L = 37 m, baik yang posisinya 7 m diluar kaki timbunan, yang tepat dikaki timbunan maupun yang 7 m kedalam dari tepi timbunan, semuanya aman (tidak runtuh), karena momentmoment yang terjadi (M = 0,005 ton-m s/d 0,9 ton-m) masih lebih kecil dari moment ijin tiang pondasi beton (M = 5,30 ton-m). Permasalahannya apabila menggunakan tiang pondasi beton  35 cm dan L = 37 m adalah displacement horizontal yang terjadi masih 10,5 cm (untuk kasus posisi tiang pondasi dikaki timbunan tinggi 7 m). Justru apabila tiang pondasi tersebut berada didalam timbunan itu sendiri, maka H mengecil menjadi 7,8 cm.



822 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Nilai H tersebut relatif masih kurang baik apabila dikaitkan dengan conveyor yang sedang beroperasi mengalirkan batubara. 4. Apabila ada timbunan ganda masing-masing setinggi 7 m dan 3 m dengan jarak 30 m, maka horizontal displacement maximum yang terjadi diarea lapisan tanah dasar antara kedua timbunan, adalah 10,5 cm 5. Terdapat kemiripan antara hasil perhitungan teoritis (plaxis) dengan hasil observasi inclinometer dalam hal besaran horizontal displacement. Hasil inclinometer cenderung lebih kecil sekitar 0,77 cm hingga 0,96 cm terhadap hasil perhitungan.



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, (2011). Laporan Pekerjaan Soil Investigation & Topografi Di Lokasi Timbunan Batubara di Kalimantan Timmur. 2. Brinkgreve & Vermeer, (1998), Plaxis: Finite Element Code for Soil and Rock Analyses, A. Balkema, Rotterdam. 3. Liu C., Evett B.J, (1981), Soil and Foundations, Printice Hall, New Jersey.



Bidang Geoteknik- 823



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



824 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK BERDASARKAN PENGUKURAN MIKROTREMOR (STUDI KASUS DI KECAMATAN KALIWATES DAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER Nur Ayu Diana Citra Dewi S.P1 , Rini Trisno Lestari2, Ria Asih Aryani Soemitro3 dan Dwa Desa Warnana4 1



Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Email: [email protected] 2 Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Email: [email protected] 3 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Email:[email protected] 4 Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Email: [email protected]



ABSTRAK Kondisi daerah Jember sangat rawan terhadap kerusakan akibat gempa. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi resiko bencana terhadap bahaya gempa bumi di Jember. Tahap dasar untuk memperkirakan bahaya seismik yang mungkin terjadi adalah mikrozonasi daerah setempat, yang memberikan analisis dasar bahaya seismik dari daerah setempat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperhitungkan ketebalan sendimen dengan membandingkan degan peta geologi wilayah Jember. Analisis dilakukan pada 61 data titik akusisi mikrotremor tanah yang tersebar di Kecamatan Kaliwates dan Kecamatan Sumbersari, Jember dengan grid satu km x satu km. Pengukuran dilakukan menggunakan program bantu geopsy untuk mendapatkan data frekuensi natural (fo) dan amplifikasi (Am), dari data tersebut dianalisis menggunakan metode HVSR (Horizontal to vertical Spectral Ratio) sehingga menghasilkan nilai frekuensi natural (fo) antara 0,53-9,13 Hz, amplifikasi (Am) antara 1,59-9,13, dan ketebalan sedimen (h) antara 3,49-288,10 m. Data tanah yang telah diperoleh sebelumnya, digunakan untuk pemetaan stabilitas bangunan. Beberapa daerah di Kecamatan Kaliwates dan Kecamatan Sumbersari memiliki nilai frekuensi natural yang rendah, amplifikasi tinggi dan didapat lapisan sedimen yang sangat tebal, sehingga bisa dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang rentan terhadap kerusakan akibat gempa. Kata kunci: HVSR, Jember, Ketebalan sendimen , Mikrozonasi, Mikrotremor



1. PENDAHULUAN Pulau Jawa terletak pada zona subduksi lempeng sehingga memiliki seismisitas yang tinggi. Bahaya yang dihasilkan dari gempa bumi dikategorikan menjadi tiga yaitu efek yang dihasilkan langsung dari getaran tanah, efek pada permukaan tanah yang disebabkan oleh patahan atau deformasi, dan efek yang dipicu oleh getaran seperti terjadinya tsunami atau tanah longsor. Kabupaten Jember merupakan daerah di Jawa timur yang rawan bencana longsor baik akibat aktivitas hujan maupun kegempaan, walaupun tiap tahun dilaporkan bencana longsor akibat hujan yang deras. Aktivitas kegempaan yang signifikan dirasakan di Jember sejak tahun 1981 hingga tahun 2014. Kondisi peta geologi yang dipusatkan pada Kecamatan Kaliwates dan Sumbersari, Jember. Terlihat bahwa kondisi geografis Jember memiliki Gunung Argopuro disebelah



Bidang Geoteknik- 825



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean utara, Gunung Raung di sebelah timur laut, sedangkan di sebelah selatan terdapat Pegunungan Tenggara yang membentang dari timur ke barat. Seismic microzonasi merupakan proses membagi suatu zona menjadi zona-zona kecil berdasarkan tanggapan geologi setempat terhadap gempa bumi. Tanggapan ini, tergantung pada struktur bawah permukaan. Mikrozonasi kegempaan merupakan proses membagi suatu zona menjadi zona-zona kecil berdasarkan tanggapan (response) geologi setempat terhadap gempa bumi. Karakteristik dan value dari tanggapan ini sangat ditentukan oleh kondisi tanah dan batuan pada struktur bawah permukaan. Upaya mikrozonasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akurasi dan presisi pendugaan karakteristik kegempaan wilayah tersebut. Mikrozonasi dilakukan dengan menggunakan analisis data mikrotremor. Mikrotremor merupakan getaran tanah dengan amplitudo beberapa mikrometer yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa alam maupun buatan, misal angin, gelombang laut, getaran kendaraan. Alat deteksi mikrotremor mempunyai tiga komponen sensor; dua sensor horizontal dan satu sensor vertikal. Beberapa kerusakan gempa bumi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya kekuatan gempa bumi dari pusat gempa bumi, namun juga dapat dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal atau efek tapak lokal (local site effect). Beberapa kejadian gempa bumi yang terjadi pada suatu daerah sangat rentan untuk terjadinya peristiwa likuifaksi [1]. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan antara lain ukuran butir, muka air tanah, dan percepatan getaran tanah maksimum [2]. Untuk mengetahui potensi bahaya efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi suatu wilayah, perlu kajian efek tapak lokal melalui kegiatan survei pengukuran mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal [3]. Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan, sehingga pemetaan daerah rawan bencana dapat dengan cepat dibuat [1]. Survei dapat dilakukan di daerah-daerah yang belum terkena gempa bumi maupun daerah yang baru mengalami gempa bumi. Survei dilakukan untuk melihat karakteristik lapisan sedimen tanah sehingga efek geologi dan topografi dapat dikurangi ketika bencana terjadi [4]. Studi mikrotremor ini telah digunakan untuk menganalisa karakteristik tanah, yaitu frekuensi natural (fo), Faktor amplifikasi (Am), dan Ketebalan sedimen (h), [5] ; [6] ; [7] ; [8].



2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini digunakan seperangkat alat mikrotremor portable yang terdiri dari alat Portable Digital Seismograph 3 komponen (2 komponen horizontal: EW-NS dan 1 komponen vertikal) periode pendek merk Taurus (Canada) dengan jenis sensor Feedback Short Period Seismometer tipe DS-4A serta dilengkapi digitizer (Data logger). Pengukuran mikrotremor dilakukan menyebar di Kecamatan Kaliwates dan Sumbersari, Jember sebanyak 61 titik. Alur penelitian ini secara lebih lengkap bisa dilihat pada Gambar 1



826 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



MULAI



Persiapan : 1. Lokasi Penelitian 2. Peralatan 3. Pengelompokan Peta Geologi



Pengumpulan Data



Data Sekunder



 Data tanah (sondir dan boring)



 



Data Primer Desain Pengukuran Mikrotremor



Peta Geologi Peta Topografi



Akuisisi Data (Pengukuran) Mikrotremor Pengolahan Data HVSR



Karakteristik Tanah



Frekuensi Natural (fo)



Faktor Amplifikasi (Am)



Indeks kerentanan tanah Ketebalan sedimen (kg)



Analisis Hasil



Pemetaan ketebalan Pemetaan Indeks Kerentanan Sedimen Tanah Kesimpulan SELESAI



Gambar 1. Diagram alir



Gambar 2. Titik lokasi penelitian mikrotremor



Bidang Geoteknik- 827



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. PENGOLAHAN DATA Dari hasil akuisisi data mikrotremor berupa file seed, diolah menggunakan software geopsy. Pengolahan data menggunakan metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) yakni rasio amplitude spektrum horizontal dan vertikal dengan persamaan 1 berikut: ( )







( )



( ) ( )



..............................................................................................( 1 )



Dengan: R(T) = spektrum rasio vertikal terhadap horizontal (H/ V) FNS, FEW dan FZ secara berturut-turut Spektrum Fourier di NS, EW dan Z (vertikal). Data mikrotremor tanah (gambar 4) pada software Geopsy dilakukan pemilihan window stasioner antara 20-50 detik non overlapping. Tampak pada gambar 5, data mikrotremor tanah hasil pemilihan windows. Analisis spektrum Fourier dilakukan untuk mengubah data awal akusisi yang berupa domain waktu menjadi domain frekuensi. Hasil FFT dilakukan smoothing Konno Ohmachi dengan koefisien bandwith 40 [3, 9]. Pengolahan dilanjutkan dengan analisis HVSR untuk memperoleh nilai HVSR yang ditunjukkan dengan puncak tertinggi kurva HVSR (Gambar 6) dianggap sebagai frekuensi natural tanah.



Gambar 3 Diagaram alir analisis kurva HVSR pada pengolahan data mikrotremor tanah



828 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 4 Ketentuan Pemilihan Kurva H/V (SESAME European research project WP12 – Deliverable D23.12.[10])



Gambar 5 Grafik titik pengukuran



4. ANALISIS HASIL Analisa dilakukan dengan melihat hubungan antara frekuensi natural, amplifikasi, dan indeks kerentanan tanah, dari hasil pengolahan data mikrotremor, karakteristik tanah, serta peta geologi dan topografi dimana semua parameter tersebut dapat digunakan untuk pemetaan mikrozonasi Kecamatan Kaliwates dan Sumbersari, Jember.



Bidang Geoteknik- 829



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 6 Peta sebaran frekuensi natural (fo) Gambar 7 Peta sebaran amplifikasi Tanah (Am) Dari hasil frekuensi natural yang didapat pada setiap titik, maka dapat diketahui tinggi lapisan sedimen pada setiap lokasi penelitian, dengan rumusan: h = 108 f (-1,551) ...................................................................................................( 2 )



Gambar 8 Peta ketebalan lapisan kerentanan tanah Dari persebaran peta ketebalan lapisan kerentanan tanah diatas sesuai jika dibandingkan dengan peta geologi Jember. Secara umum sedimentasi dan ditemukan beberapa cekungan, dataran dan perbukitan. Material sedimentasi pada daerah utara sampai barat, yaitu breksi Argopuro dimana berasal dari breksi gunung api andesit yang bersisipan lava, untuk wilayah timur sampai selatan terdiri dari tuf Argopuro yang terdiri dari tuf, tuf sela, tuf abu dan tuf lava. Dari peta ketebalan diatas terlihat bahwa wilayah yang dicirikan dengan warna biru hingga hijau muda merupakan wilayah dengan lapisan



830 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 sedimen yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah yang dicirikan dengan warnahijau kekuningan hingga merah.



5. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari peta frekuensi natural, peta amplifikasi dan ketebalan sendimen yang diperoleh menunjukan bahwa nilai frekuensi natural (fo) antara 0,53-9,13 Hz, amplifikasi (Am) antara 1,59-9,13, dan ketebalan sedimen (h) antara 3,49-288,10 m. Dari perbandian hasil ketebalan lapisan tanah dari hasil mikrotremor sesuai dengan peta geologi wilayah Jember dimana terdapat cekungan, dataran dan perbukitan dengan material sendimentasi breksi Argopuro dan tuf Argopuro. Beberapa daerah di Kecamatan Kaliwates dan Kecamatan Sumbersari memiliki nilai frekuensi natural yang rendah, amplifikasi tinggi dan didapat lapisan sedimen yang sangat tebal, sehingga bisa dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang rentan terhadap kerusakan akibat gempa.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Beroya, M. A. A., & Aydin, A. (2010). A new approach to liquefaction hazard zonation. 2. Seed,H.B., and Idriss, I.M.(1971). ―Simplified procedure for Evaluating Soil Liquection Potential‖. Journal of the Soil Mechanics and Foundation Divison. 1971. 3. Nakamura, Y. (1989). A method for dynamic characteristics estimation of subsurface using microtremor on the ground surface. Quarterly Report of Railway Technical Research Inst. (RTRI) 30, 25–33. 4. Irjan dan A. Bukhori (2011). ―Pemetaan Wilayah Bencana Berdasarkan Data Ikroseismik Menggunakan TDS (Time Digital Seismograph)‖. Jurnal Tugas Akhir. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. 5. Bodin, P., and S.Horton, 1999, Broadband microtremor observation of basin resonance in the Mississippi Embayment, Central U. S.: Geophysical Research Letters, 26, 903 – 906. 6. Huang, H. C., and Y. Tseng, 2002, Characteristics of soil liquefaction using HVSR of microtremors in Yan-Lin area, Taiwan: Terrestrial, Atmospheric,and Oceanic Sciences, 13, 325 – 338 7. Woolery, E., R. Street, and P. Hart, 2009, Evaluation of linear site-response methods for estimating higher-frequency 2Hz ground motions in the LowerWabash river valley of the centralUnited States: Seismological Research Letters, 80, 525 – 538. 8. Y. Zaslavsky, et al.‖Site Response from Ambient Vibrations in the Towns of Lod and Ramle (Israel) and Earthquake Hazard‖. Journal of Bulletin of Earthquake Engineering – bull earth eng, vol. 3, no. 3, pp. 355-381, 2005. 9. Konno, Katsuaki. Ohmachi, Tatsuo. 1998. Ground-Motion Characteristics Estimated from Spectral Ratio between Horizontal and Vertical Components of Microtremor. Bulletin or the Seismological Society of America, Vol. 88, No.1, pp. 228-241, February 1998 10. SESAME,. 2004. Guidelines fr the Implementation of the H/V Spectral Ratio Technique on Ambient Vibrations: Measurements, Processing and Interpretation. http://sesame.fp5.obs.ujf%1Egrenoble.fr/Delivrables/Del%1ED23%1EHV_user_guidelines. pdf, , 62 pp.



Bidang Geoteknik- 831



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



832 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA PONDASI DAN KESTABILAN LERENG TERHADAP TIANG DAN JALUR TRANSMISI 500 KV : JALUR UNGARAN Oktalina Winda Jayanti1, Ria Asih Aryani S2, dan Dwa Desa Warnana3 , Prasetyo Adi Wibowo4 , dan Rasgianti5. 1



Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email: [email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil, FTSP. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email: [email protected] 3 Jurusan Teknik Geofisika, FTSP. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, email: [email protected] 4 PLN PUSLITBANG, email: [email protected] 5 Rasgianti, PLN PUSLITBANG, email: [email protected]



ABSTRAK Sehubungan dengan kebutuhan tenaga listrik yang semakin hari semakin meningkat yang didukung oleh keandalan sistem terpadu, maka pihak PLN merencanakan pembangunan tower transmisi 500 kV Overhead Line T12 (Ungaran). Pada penelitian ini bertujuan untuk memetakan kondisi tanah, menentukan jenis atau tipe pondasi, kedalaman efektif, serta menentukan stabilitas tanah tower PLN yang berdiri di atas sebuah lereng, bukit kecil, dan terhadap kemungkinan runtuh. Lokasi tower berada di Ungaran, Semarang Jawa Tengah dengan studi kasus di tower 12. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama survey lapangan yakni pengambilan contoh tanah tidak terganggu dengan cara pengeboran serta pengujian sondir, pengujian SPT, pengujian seismik, dan pengujian geolistrik. Kedua pengujian laboratorium yang hasilnya akan dikombinasi dengan pengujian lapangan, digunakan untuk menentukan desain pondasi dan pembebanan. Untuk pembebanan tower penyelesaiannya dibantu dengan menggunakan SAP2000 kemudian dilanjutkan untuk menentukan stabilitas pondasi pada lereng dan penurunannya dibantu dengan Plaxis 2D. Dari pengujian lapangan didapatkan data N SPT untuk tower 12 pada kedalaman 8.5 meter nilai SPTnya sudah mencapai tanah keras >50. Pengujian laboratorium berupa atteberg limits didapatkan parameter tanah dari tower 12 termasuk formasi batu endapan lama. Hasil pengujian seismik didapatkan lapisan pertama 400 m/s (tanah lunak) dan lapisan kedua 2000 m/s (tanah keras). Sedangkan dari uji geolistrik nilai tahanan jenis rata-rata >50 Ωm jenis batuannya lempung berpasir. Untuk tipe pondasi lebih efektif menggunakan pondasi dalam yakni pondasi tiang bor dengan kedalaman efektif 7 meter SF (safety factor) rencana 3 ,dengan modul tiang bor 2x2 diameter 40 cm didapatkan maximal displacement vertical 0.0524 dan SF (safety factor) dari hasil plaxis 2.313. Kata kunci: Tower, Stabilitas Lereng, Pondasi



1. PENDAHULUAN Pembangunan suatu konstruksi, yang pertama dilaksanakan dan dikerjakan dilapangan adalah pekerjaan pondasi (struktur bawah) baru kemudian melaksanakan pekerjaan struktur atas. Pondasi merupakan dasar bangunan yang kuat dan kokoh, hal ini disebabkan pondasi sebagai dasar bangunan harus mampu memikul seluruh beban bangunan dan beban lainnya untuk diteruskan sampai kelapisan tanah pada kedalaman tertentu. Bangunan teknik sipil secara umum meliputi dua bagian utama yaitu struktur bawah (sub structure) dan struktur atas (upper structure). (Arifin, 2007).



Bidang Geoteknik- 833



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Sehubungan dengan kebutuhan tenaga listrik yang semakin hari semakin meningkat yang didukung oleh keandalan sistem terpadu, maka PT PLN (PERSERO) Unit Induk Pembangunan V akan merencanakan pembangunan 500 kV jalur Ungaran T.012. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan terpadu guna menentukan langkah dan tindakan yang harus dilaksanakan agar dapat memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan data yang lengkap dan tepat baik data jalur maupun mengenai kondisi daerah yang akan dilalui oleh jaringan transmisi tesebut. (Litbang PLN, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa hasil penyelidikan lapangan dari pengujian seismik, pengujian geolistrik, pengujian sondir, dan hasil penyelidikan lapangan dari SPT dan hasil penyelidikan laboratorium berupa parameter geser tanah dalam menghitung daya dukung pondasi, dari hasil perhitungan ketiga jenis alat uji tersebut akan dibandingkan, sehingga akan diperoleh perbedaannya dan juga diharapkan akan diperoleh daya dukung pondasi yang paling aman serta menguntungkan dari masing-masing penyelidikan lapangan tersebut sehingga dapat diperoleh daya dukung yang baik dimana hasilnya dipakai untuk mendesain pondasi yang aman dan ekonomis. Secara umum Pondasi merupakan suatu bangunan untuk membuat suatu tower dapat didirikan. Pada pondasi harus dibuat kuat karena kalau tidak kuat tower tersebut akan roboh. Gaya yang bekerja pada pondasi adalah : 1. Gaya angin merupakan gaya transversal karena tiupan angin. 2. Gaya berat merupakan gaya vertikal yang disebabkan oleh berat konduktor, fitting dan beratnya tower itu sendiri. Fitting adalah seluruh material yang dipergunakan untuk mengikat atau memegang sepanjang penghantar yang berhubungan dengan penyaluran tenaga listrik. 3. Gaya tarik konduktor yang dirasakan sepanjang konduktor. Pondasi adalah bagian paling bawah dari suatu bangunan yang meneruskan beban bangunan bagian atas kelapisan tanah atau batuan yang berada dibawahnya. Bentuk pondasi ini bermacam – macam, biasanya dipilih sesuai dengan jenis bangunan dan jenis tanahnya (Braja Das, 2003). Untuk klasifikasi pondasi ada 2 (dua) diantaranya pondasi dangkal dan pondasi dalam Untuk perumusan daya dukung pondasi dangkal menggunakan analisa keseimbangan terzaghi dengan rumus: ……………………….…………………….…(1) Dimana: C



= Kohesi = Berat volume tanah



q



= . = Faktor daya dukung menurut Terzaghi



B



= Lebar pondasi



Untuk perumusan daya dukung pondasi dalam menggunakan rumus: ……………….………………………….………....…(2) Dimana :



kapasitas daya dukung tiang pancang maksimum = kapasitas daya dukung ujung yang didapat dari tanah di bawah ujung pondasi.



834 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 = kapasitas daya dukung yang didapat dari gaya gesekan atau gaya adhesi antara tiang pancang dengan tanahnya. Lokasi penelitian secara umum berada di Jawa Tengah, khususnya jalur transmisi listrik 500 kV di Ungaran. Lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 1, lokasi tersebut tergolong memiliki tingkat kerentanan tinggi.



Gambar 1. Lokasi Studi; Ungaran (Updated RUPTL,Draft 15 Agustus 2011)



2. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini yakni survey lapangan dan leboratorium. Survey lapangan yang pertama adalah pemetaan geologi tanah dan kerentanan tanah, kemudian yang kedua pengambilan data lapangan berupa pengujian boring, sondir, seismik dan geolistrik. Pengujian boring dilakukan 2 titik pada tower 12 karena pada titik pertama untuk pengeboran tidak mencapai target kedalaman 30 meter, sedangkan untuk titik yang kedua juga tidak sesuai. Mengingat dari peta geologi termasuk formasi batu endapan lama. Dari hasil pengujian bor didapatkan tanah tidak terganggu dan tanah terganggu yang selanjutnya akan digunakan untuk pengujian laboratorium. Hasil pengujian laboratorium digunakan untuk mendapatkan parameter tanah. Kemudian data bor dan data laboratorium dikorelasikan dengan hasil pengujian seismik dan geolistrik tujuannya untuk memastikan data bor itu benar berdasarkan kedalaman pada lapisan tanah. Untuk analisa pondasi menggunakan program bantu SAP2000 yang digunakan untuk desain gaya-gaya yang bekerja pada tower dan pada pondasi kemudian untuk analisa kestabilan lereng menggunakan program bantu plaxis 2D yang hasilnya berupa nilai SF (safety factor) dan deformasi vertikal.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil morfologi atau berdasarkan peta geologi tower 12 berada pada jalur pemetaan kerentanan tinggi, dimana rawan terhadap pergeseran tanah. Dengan kemiringan lereng 15° -30°, sehingga untuk analisa desain pondasi dan kestabilannya perlu diperhatikan.



Bidang Geoteknik- 835



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Selain itu dari data gempa wilayah ungaran berada pada faktor respon gempa sebesar 0,25 tahun 2014 kemudian untuk percepatan angin 120 km/jam. Dan beban unit tower 40 ton dengan ketinggian 73.30 meter sebagai suspension. Untuk hasil pengujian lapangan dan laboratorium (berdasarkan analisa ukuran butiran) dikorelasikan menjadi sebuah grafik hubungan kedalaman dengan nilai SPT dapat dilihat pada Gambar 2.



Gambar 2. Korelasi nilai SPT dengan kedalaman tower 12 Perhitungan analisa pertama kali adalah menghitung gaya vertikal akibat berat pada tiap kaki sebesar 40 ton dibagi 4 menjadi perkaki bekerja gaya vertikal sebesar 10 ton. Kemudian momen guling yang bekerja pada pondasi dilihat paling besar antara momen guling akibat beban gempa atau akibat beban angin. Dalam perhitungan beban angin yang paling berpengaruh dan nilainya lebih besar dari beban gempa. Beban angin sebesar 965.295 ton.m dan beban gempa 130.893 ton.m, sehingga untuk nilai gaya vertikal akibat momen guling angin tiap kaki tower sebesar 26.814 ton. Dari nilai gaya vertikal akibat momen guling dijumlahkan dengan gaya vertikal akibat beban kemudian didapatkan gaya tarik sebesar -16.814 ton kemudian gaya tekan 36.814 ton. Setelah itu dilanjutkan menghitung nilai Qmax untuk pondasi dangkal dan Pmax untuk pondasi dalam. Setelah didapatkan nilai Qmax tarik dan tekan dengan variasi lebar sama dengan panjang pondasi(2 m, 2.5 m dan 3 m) serta variasi kedalaman dari 1.5 m, 2 m, 2.5 m dan 3.5 m (lihat tabel 1) dan rekapitulasi antara Qmax dengan Qijin. (lihat tabel 2).



836 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 1. Hasil analisa Qmax pondasi dangkal Wpoer



Ptekan



(ton)



(ton)



Ptarik(ton)



Qmaxtekan(ton/m)



Qmaxtarik(ton/m)



8.35



14.4



61.81



8.18



31.82



18.42



2.25



8.35



22.5



69.91



16.28



19.57



10.99



2.25



8.35



32.4



79.81



26.18



13.72



7.76



Wped(ton)



Wtiebeam(ton)



Wpoer



Ptekan



4.94



2.68



4.94 4.94



Wped(ton)



Wtiebeam(ton)



4.94



2.25



6.3



4.94



9



4.94



H



2



A 4



2.5



6.3



H



D



B



L



A



H



1.5



2



2



4



1.5



2.5



2.5



1.5



3



3



D 2



B



L



2



2



2.5



(ton)



(ton)



8.35



14.4



62.24



Ptarik(ton) 8.62



Qmaxtekan(ton/m) 35.08



Qmaxtarik(ton/m) 21.67



2.68



8.35



22.5



70.34



16.72



21.25



12.67



2.68



8.35



32.4



80.24



26.62



14.70



8.74



Wped(ton)



Wtiebeam(ton)



Wpoer



Ptekan



2



3



3



9



D 2.5



B



L



2



2



A 4



4.94



3.11



2.5



2.5



2.5



6.3



4.94



2.5



3



3



9



4.94



D 3.5



B



L



H



2



2



A 4



3.5



2.5



2.5



6.3



3.5



3



3



9



(ton)



(ton)



8.35



14.4



62.68



Ptarik(ton) 9.05



Qmaxtekan(ton/m) 38.34



Qmaxtarik(ton/m) 24.93



3.11



8.35



22.5



70.78



17.15



22.93



14.35



3.11



8.35



32.4



80.68



27.05



15.68



9.72



Wped(ton)



Wtiebeam(ton)



Wpoer



Ptekan



(ton)



(ton)



4.94



3.97



8.35



14.4



63.54



Ptarik(ton) 9.91



Qmaxtekan(ton/m) 44.85



Qmaxtarik(ton/m) 31.44



4.94



3.11



8.35



22.5



70.78



17.15



26.15



17.57



4.94



3.11



8.35



32.4



80.68



27.05



17.55



11.59



Tabel 2. Tabel rekapitulasi Qmax dengan Qijin B (meter)



L (meter)



2



2



2.5



2.5



3



3



Tower 12 D Qijin (meter) (t/m2) 1.5 12.594 2 12.931 2.5 13.269 3.5 13.943 1.5 12.603 2 12.940 2.5 13.277 3.5 13.952 1.5 12.611 2 12.948 2.5 13.286 3.5 13.960



Qmax



Keterangan



(t/m2)



31.824 35.08 38.337 44.849 19.568 21.249 22.93 26.154 13.719 14.7 15.68 17.546



NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok NOT Ok



Hasil analisa desain pondasi dangkal tidak memenuhi disebabkan Qijin kurang dari Qmax, karena syarat memenuhi Qijin harus > (lebih dari) Qmax, kemudian dicoba menggunakan desain pondasi dalam. Lihat tabel 3 dan tabel 4.



Bidang Geoteknik- 837



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 3. Hasil analisa Pmax pondasi dalam Modu l 2x2



H n (ton) 4.939 4



Modu l 2x3 Modu l 3x3



Wped(to



Wtiebeam(to



Wpoer



Ptekan(to



Ptarik(ton



Pmax



Pmax tarik



n)



n)



(ton)



n)



)



tekan(ton)



(ton)



0.9504



8.352



20.736



66.852



13.225



20.561



7.154



H n (ton) 4.939 6



Wped(to



Wtiebeam(to



Wpoer



Ptekan(to



Ptarik(ton



Pmax



Pmax tarik



n)



n)



(ton)



n)



)



tekan(ton)



(ton)



0.950



8.352



31.104



77.220



23.593



15.058



6.120



H n (ton) 4.939 9



Wped(to



Wtiebeam(to



Wpoer



Ptekan(to



Ptarik(ton



Pmax



Pmax tarik



n)



n)



(ton)



n)



)



tekan(ton)



(ton)



0.950



8.352



46.656



92.772



39.145



11.591



5.632



Tabel 4. Rekapitulasi pondasi tiang bor



Modul poer



Φ



2x2 2x3 3x3



0.4 0.4 0.4



Tower 12 Kedalaman (meter) SPT SONDIR 7 5 6 5 6 4



Qijin (t/m2)



Qmax (t/m2)



25.43 19.3 19.3



20.56 15.05 11.59



Dari analisa pondasi didapatkan hasil analisa bahwa tower 12 cocok untuk pondasi dalam tiang bor diameter tiang 40 cm dengan kedalaman efektif 7 meter dengan modul tiang bor 2x2 , modul tiang bor 2x3 sebesar 6 m dan modul 3x3 sebesar 6 m. dengan nilai Qijin lebih dari nilai Qmax. Setelah didapatkan tipe pondasinya dan kedalaman efektif selanjutnya ketiga modul dijadikan pemodelan plaxis untuk mendapatkan nilai SF (safety factor) dan deformasi vertikal. Ketiga pemodelan dicoba-coba sehingga didapatkan rekapan hasil analisa menggunakan plaxis. (lihat tabel 5). Tabel 5. Analisa plaxis Tipe Tower



Modul Pondasi



Diameter pondasi (m)



T.012



2x2 2x3 3x3



0.4 0.4 0.4



Kedalaman Maximum vertikal (m) displacement (m) 7 6 6



0.0524 0.0575 0.086



SF (safety factor) 2.313 1.957 1.568



Dari tabel diatas jika nilai SF rencana untuk analisa pondasi adalah 3 , maka untuk hasil pemodelan plaxis nilai SF hitung paling besar pada pemodelan 2x2 dengan SF 2.313 dan diambil kedalaman yang paling besar. untuk gambar pemodelan lihat gambar 3.



838 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 3 Analisa deformasi shading tower 12



Gambar 4 Analisa kestabilan lereng tower 12



4. KESIMPULAN 1. Hasil pemetaan didapatkan jenis tanah termasuk formasi batu endapan lama dimana tower 12 terletak pada daerah kerentanan tinggi dengan kemiringan lereng 15°-30° dimana rentan juga terhadap pergerakan tanah. 2. Untuk hasil desain pondasi yang cocok pada tower 12 menggunakan desain pondasi dalam tiang bor dengan kedalaman efektif 7 meter sudah mencapai lapisan tanah keras, dan diameter tiang bor 40 cm dengan nilai daya dukung ijin (Qijin) 25.43 t/m2 lebih dari daya dukung ultimate (Qull) 20.56 t/m2 menggunakan modul 2x2. Artinya 1 kaki pondasi tower menggunakan modul 2x2 sama halnya 4 tiang bor untuk 1 (satu) kaki pondasi tower. Berarti totalnya adalah 16 tiang bor. 3. Dari 3 (tiga) modul pondasi tiang bor kemudian dilakukan pemodelan plaxis didapatkan modul yang cocok dengan SF rencana 3 adalah modul 2x2 kemudian



Bidang Geoteknik- 839



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean output dari modul 2x2 SF diperoleh 2.313 (output plaxis) dengan deformasi vertikal maksimum 0.0524 m.



5. DAFTAR PUSTAKA 1. Arifin, zainul., 2007, Komparasi Daya Dukung Aksial Tiang Tunggal Dihitung dengan Beberapa Metode Analisis. Tesis, Teknik Sipil Universitas Diponegoro. 2. Litbang PLN, 2013. ― 500 kV Overhead Line t12 (Ungaran – Pedan) – Mandirancan section I (T.1 –T.321). Jakarta. 3. Das, M. B., 1989, Principles of Foundation Engineering Fourth Edition, Library of Congress Cataloging in Publication Data.



840 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA MIKROTREMOR DENGAN METODE HVSR (HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRAL RATIO) UNTUK PEMETAAN MIKROZONASI GEMPA BUMI (STUDI KASUS: KECAMATAN SUMBERSARI DAN KECAMATAN KALIWATES, JEMBER) Rini Trisno Lestari1, Nur Ayu Diana Citra Dewi S.P.2, Ria Asih Aryani Soemitro3, dan Dwa Desa Warnana4 1



Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email: [email protected] 2 Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email: [email protected] 3 Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Email: [email protected] 4 Staf Pengajar, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Email: [email protected]



ABSTRAK Penelitian ini dilakukan karena dilatarbelakangi oleh fakta bahwa gempa bumi merupakan aspek bencana alam yang dapat menimbulkan kerusakan struktural dan kerugian yang cukup besar dan biasanya meliputi area yang cukup luas. Fenomena alam ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi waktu terjadinya. Saat terjadi gempa bumi efek lapisan tanah permukaan lokal memberikan peranan memperbesar tingkat kerusakan. Penelitian ini bertujuan mengkaji efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi serta menentukan zonifikasi gempa suatu wilayah melalui kegiatan survei pengukuran mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal. Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan. Studi mikrotremor ini dilakukan di dua Kecamatan Jember yaitu Kaliwates dan Sumbersari dengan persebaran 61 titik penelitian dengan grid satu km. Hasil dari mikrotremor dianalisa dengan menggunakan software geopsy sehingga dihasilkan kurva HVSR, kurva tersebut menghasilkan nilai frekuensi natural (fo), faktor amplifikasi (Am), dan indeks kerentanan tanah (kg). Nilai dari ketiga parameter tersebut dapat dipetakan dengan menggunakan software surfer, sehingga dihasilkan penampang peta pesebaran frekuensi, amplifikasi dan kerentanan tanahnya. Hasil mikrotremor di Kecamatan Kaliwates untuk nilai frekuensi natural (fo) adalah berkisar antara 0,53 sampai 8,860 Hz dan memiliki nilai puncak atau amplifikasi (Am) antara 1,539 sampai 4,108 sedangkan nilai indeks kerentanan tanah (kg) adalah antara 0,290 sampai 18,911. Sedangkan pada Kecamatan Sumbersari untuk nilai frekuensi natural (fo) adalah berkisar antara 0,531 sampai 9,132 Hz dan memiliki nilai puncak atau amplifikasi (Am) antara 1,594 sampai 8,199 sedangkan nilai indeks kerentanan tanah (k g) adalah antara 0,494 sampai 105,544. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates termasuk wilayah yang rentan terhadap gempa. Kata kunci: Gempa Bumi, HVSR, Jember, Mikrotremor, Mikrozonasi



1. PENDAHULUAN Gempa bumi merupakan salah satu aspek bencana alam yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar dan biasanya meliputi area yang cukup luas. Fenomena alam ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi waktu terjadinya. gempa bumi menyebabkan terjadinya kerusakan struktur, sarana infrastruktur, pemukiman penduduk dan bangunan sipil yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat.



Bidang Geoteknik- 841



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Bahaya gempa bumi dalam skala lokal tidak saja dipengaruhi oleh magnitudo, jarak pusat gempa bumi dan periode ulangnya (Tohwata, 2008). Saat terjadi gempa bumi efek lapisan tanah permukaan lokal memberikan peranan memperbesar tingkat kerusakan. Beberapa gempa bumi merusak di dunia menunjukkan bahwa kerusakan lebih parah terjadi pada dataran aluvial dibandingkan dengan daerah perbukitan (Nakamura et al., 2000). Gempa bumi Michogan 1985 telah menghancurkan Meksiko City yang dibangun di atas dataran aluvial bekas rawa (Tuladhar et al., 2004). Untuk mengetahui potensi bahaya efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi serta menentukan zonifikasi gempa suatu wilayah, perlu kajian efek tapak lokal melalui kegiatan survei pengukuran mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal (Nakamura, 1989). Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan, sehingga pemetaan daerah rawan bencana dapat dengan cepat dibuat (Beroya dan Aydin, Hardesty, dkk, 2010). Studi mikrotremor ini telah digunakan untuk menganalisa karakteristik tanah, yaitu frekuensi natural (fo), Faktor amplifikasi (Am), Ketebalan sedimen (h), dan Indek kerentanan tanah (kg) (Lermo dan Chaves – Gracia 1993; Komno dan Ohmachi, 1998; Bodin dan Horton, 1999; Smith, 2000; Huang dan Tseng, 2002; Woolery et al, 2009; Y. Zaslavsky, et al. 2005). Penelitian ini dilakukan di dua kecamatan Jember yaitu Sumbersari dan Kaliwates dengan melakukan survei sebanyak 61 titik dengan grid satu km. Hasil dari data mikrotremor diolah dengan menggunakan software geopsy dengan metode HVSR (Horizontal Vertikal Spectral Ratio), yang kemudian dipetakan dengan program bantu surfer. Perhitungan Horizontal to vertical spectral ratio (HVSR), frekuensi natural, amplifikasi dan indek kerentanan tanah (kg) yang dihasilkan oleh mikrotremor digunakan untuk mikrozonasi efek lokal sehingga dapat dilihat peta persebaran dan potensi gempa bumi yang terjadi.



2. KAJIAN PUSTAKA Seismitas dan seismotektonik wilayah Indonesia Seismisitas adalah sistem data yang serasi dan dapat memberikan gambaran atau informasi secara sistematis tentang karakteristik dan aktivitas gempa bumi di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Informasi itu dapat berupa suatu bentuk persamaan empiris, peta, grafik dan tabel. Konsep tentang seismisitas ini tidak lepas dari akurasi data yang dianalisis serta jangkauan waktu yang ditentukan. Jangkauan waktu yang singkat sulit dipakai pedoman untuk menentukan aktivitas gempa bumi di suatu daerah dengan baik. Namun bila dalam waktu yang singkat tersebut dapat memberikan info data gempa yang banyak, maka penentuan seismisitas itu dianggap cukup akurat (Pepen, 2008).



842 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 1. Peta Zona Seismotektonik di Indonesia (Sumber:Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 2003) Efek tapak lokal terhadap gempa bumi Pengaruh efek tapak lokal terhadap gempa, (Seed dan Schnabel, 1972) menunjukkan bahwa kerusakan struktur bangunan akibat gempa dan intensitas goncangan tanah selama gempa bumi secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi geologi dan kondisi tanah setempat. Batuan sedimen yang lunak diketahui memperkuat gerakan tanah selama gempa dan karena itu rata-rata kerusakan yang diakibatkan lebih parah dari pada lapisan keras (Tuladhar, 2002). Daerah yang dibangun di atas batuan sedimen lunak akan mudah mengalami kerusakan akibat amplifikasi gelombang gempa. Hal ini karena batuan sedimen lunak merupakan faktor amplifikasi amplitudo gelombang gempa.



bedrock



Gambar 2. Amplifikasi gelombang seismik, dicirikan oleh adanya batuan sedimen yang berada di atas basement dengan perbedaan densitas ρ dan kecepatan Vs dan Vo yang mencolok Analisa HVSR pada mikrotremor Nakamura et al (1989, 2000, 2008) mengembangkan metode HVSR pada data mikrotremor untuk karakteristik suatu tempat. Pengembangan Nakamura iet al (2000) didukung oleh Tuladhar (2002) yang berhasil memaparkan bahwa spektrum Fourier komponen horizontal atau vertikal data mikrotremor diketahui berhubungan dengan sumber eksitasi, tidak stabil dan ttidak merepresentasikan kondisi kondisi setempat.



Bidang Geoteknik- 843



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tetapi, rasio spektrum Fourier vertikal terhadap horizontal diketahui stabil dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh sumber getaran. Hal ini sesuai dengan Nakamura (1989) yang memperlihatkan bahwa efek sumber bisa diminimalisir dengan normalisasi amplitudo spektrum horizontal dengan amplitudo spektrum vertikal. Diasumsikan bahwa gelombang geser dominan pada mikrotremor, Nakamura (1989) mengidentifikasikan bahwa rasio spektrum horizontal terhadap vertikal (HVSR) data mikrotremor suatu tempat sama dengan fungsi transfer gelombang geser yang bergetar antara permukaan dan batuan dasar di suatu tempat. Komponen vertikal pada tanah lunak(Hv) Komponen horisontal pada tanah lunak(Hs) Batuan singkapan permukaan tanah padat



Batuan Gambar 3. Proses Perekaman Data Mikrotremor pada Sebuah Stasiun (Sumber : Nakamura, 1989) Proses perekaman data mikrotremor dilakukan diatas permukaan tanah padat (Soft sediment deposits) kemudian mikrotremor akan melakukan perekaman data horizontal dan vertikal. Mikrotremor akan membaca suatu lapisan sedimen tanah hingga mencapai batuan dasar (rock base) tertentu. Pada metode analisis HVSR, komponen horizontal dan vertikal mikrotremor diukur dengan menggunakan satu buah stasiun. Metode ini tidak memerlukan referensi pengukuran suatu tempat, yang mengurangi waktu pengukuran dan hasil pengukurannya lebih akurat. Penggambaran spectrum HVSR didapatkan dari perhitungan rasio spektrum Fourier komponen vertikal terhadap komponen horisontal. Spektrum HVSR pengukuran mikrotremor didapatkan dari persamaan (1). Skema sederhana dari metode HVSR ini dapat dilihat pada Gambar 4. Spektrum H/V =



844 – Bidang Geoteknik



(



)



(



)



..................................... (1)



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 4. Diagram Alir Analisis Kurva HVSR (Sumber : Nakamura, 1989) Kerentanan tanah dan shear strain Faktor amplifikasi komponen horizontal gempa dapat di estimasi dari nilai maksimum rasio spektrum vertikal terhadap horizontal mikrotremor yang diukur di permukaan dan puncak periode rasio spektrum juga merepresentasikan periode alami titik tersebut. Indeks kerentanan (vulnerability index) tanah atau yang biasa dinotasikan Kg yang memfokuskan diri pada strain telah didefinisikan oleh Nakamura (1997). Nilai Kg dalam 10-6/ (cm/s2) didefinisikan untuk mengestimasi strain dalam satuan 10-6. Menurut Nakamura (1997; 2007), Kg untuk menjelaskan kerusakan bangunan dihubungkan dengan shear strain γ. Pada umumnya, pada permukaan tanah memiliki karakteristik nonlinear dan struktur bangunan akan terjadi deformasi yang besar dan runtuh. Nilai Kg dipertimbangkan sebagai indeks untuk identifikasi paling mudah dari titik lokasi saat pengukuran, dan didapatkan persamaan: .



/ .............................................................................................................. (2)



Bidang Geoteknik- 845



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODE PENELITIAN Pengukuran mikrotremor Pengukuran mikrotremor berdasarkan peta geologi dan hasil survey pendahuluan digunakan untuk menentukan tiik-titik lokasi yang dapat mewakili penggambaran geologi setempat. Penelitian ini dilakukan pada 61 titik dengan peta pesebaran sebagai berikut:



Gambar 5. Peta Lokasi Pengukuran Pengolahan data mikrotremor Hasil dari mikrotremor dilakukan akuisisi, hasil data akuisisi tersebut berupa file seed yang kemudian diolah menggunakan program Geopsy. Pengolahan data menggunakan metode HVSR untuk mengetahui nilai frekuensi natural dan nilai amlifikasi sehingga dapat dihitung nilai kerentanan tanah. Hasil dari mikrotremor dilakukan akuisisi, hasil data akuisisi tersebut berupa file seed yang kemudian diolah menggunakan program Geopsy. Pengolahan data menggunakan metode HVSR untuk mengetahui nilai frekuensi natural dan nilai amlifikasi sehingga dapat dihitung nilai kerentanan tanah. Sesame (2004) menganjurkan dalam analisis HVSR digunakan minimal 10 windows stasioner antara 20-50 detik non-overlapping. Kemudian setiap windows dilakukan analisis spektrum Fourier yang berfungsi mengubah data mikrotremor awal berupa domain waktu (time series) menjadi domain frekuensi. Alogaritma Fast Fourier Transform (FFT) digunakan dalam analisis spektrum Fourier karena data awal akusisi dalam bentuk diskrit. (Wahyu, 2014) Analisa mikrotremor menggunakan software geopsy untuk menganalisa HVSR, dalam pengelolaan data menggunakan peraturan SESAME European research project WP12 Deliverable D23.12. Dalam pemilihan window pada saat smoothing data untuk kurva H/V menggunakan syarat-syarat dari persamaan seperti gambar 6 berikut ini:



846 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 6. Ketentuan Pemilihan Kurva H/V (SESAME European research project WP12 – Deliverable D23.12.)



4. ANALISA MIKROTREMOR Pengolahan data Dari hasil akuisisi data mikrotremor berupa file seed, diolah menggunakan software geopsy. Pengolahan data menggunakan metode HVSR (Horizontal to Vertical Sppectral Raio) untuk mengetahui nilai frekuensi natural dan nilai amplifikasi sehingga dapat dihitung nilai kerentanan tanahnya.



Gambar 7. Pengolahan data titik pengukuran B17



Bidang Geoteknik- 847



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 8. Grafik spektrum titik B17 Analisa hasil Hasil data yang sudah diolah kemudian dilakukan pemetaan dengan bantuan software surfer. Analisa dilakukan dengan melihat hubungan antara frekuensi natural (fo), amplifikasi (Am) dan indeks kerentanan tanahnya (kg). Berdasarkan data tersebut dapat dihasilkan pemetaan mikrozonasi ditampilkan pada gambar berikut:



Gambar 9. Peta Sebaran Amplifikasi (Am) Gambar 9 merupakan hasil dari pemetaan amplifikasi (Am) dengan nilai minimum 1,594 dan nilai maksimum 8,199.



848 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 10. Peta sebaran frekuensi natural (Fo) Gambar 10 merupakan hasil dari pemetaan frekuensi natural (Fo) dengan nilai minimum 0,531 Hz dan nilai maksimum 9,132 Hz



Gambar 11. Peta sebaran amplifikasi tanah (Kg)



Bidang Geoteknik- 849



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Gambar 11 merupakan hasil dari pemetaan amplifikasi (Kg) dengan nilai minimum 0,290 dan nilai maksimum 105,544.



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data mikrotremor pada Kecamatan Kaliwates didapatkan nilai frekuensi natural (fo) adalah berkisar antara 0,53 sampai 8,860 Hz dan memiliki nilai puncak atau amplifikasi (Am) antara 1,539 sampai 4,108 sedangkan nilai indeks kerentanan tanah (kg) adalah antara 0,290 sampai 18,911. Sedangkan pada Kecamatan Sumbersari untuk nilai frekuensi natural (fo) adalah berkisar antara 0,531 sampai 9,132 Hz dan memiliki nilai puncak atau amplifikasi (Am) antara 1,594 sampai 8,199 sedangkan nilai indeks kerentanan tanah (kg) adalah antara 0,494 sampai 105,544. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates termasuk wilayah berpotensi gempa.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Bodin, P., and S.Horton, 1999, Broadband microtremor observation of basin resonance in the Mississippi Embayment, Central U. S.: Geophysical Research Letters, 26, 903 – 906. 2. Beroya, M. A. A., & Aydin, A. (2010). A new approach to liquefaction hazard zonation. 3. Dal Moro, G.(2010). Some Thorny Aspects about Surface Wave and HVSR Analyses: an Overview. Bollettino di Geofisica Teorica e Applicata, special issue, submitted 4. Gosar, A. 2007.Microtremor HVSR study for assessing site effects in the Bovec basin (NW Slovenia) related to 1998 Mw5.6 and 2004 Mw5.2 earthquakes, Eng. Geol., 91, 178–193, 2007. 5. M. Herak (2011),Overview of recent ambient noise measurements in Croatia in free field and in buildings, Geofisika, vol.28. 6. Nakamura, Y., Seismic Vulnerability Indices For Ground and Structures Using Microtremor, World Congress on Railway Research in Florence, Italy, November, 1997. 7. Nakamura, Y. (1989). A method for dynamic characteristics estimation of subsurface using microtremor on the ground surface. Quarterly Report of Railway Technical Research Inst. (RTRI) 30, 25 - 33. 8. Seed,H.B., and Idriss, I.M.(1971). ―Simplified procedure for Evaluating Soil Liquection Potential‖. Journal of the Soil Mechanics and Foundation Divison. 1971. 9. SESAME European research project .,2004. Guidelines for the implementation of the h/v spectral ratio technique on ambient vibrations measurements, processing and interpretation. 10. Towhata (2008).Geotechnical Earthquake Engineering.2008



850 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



KARAKTERISTIK MEKANIK DAN DINAMIK CLAY SHALE KABUPATEN TUBAN TERHADAP PERUBAHAN KADAR AIR Rizka Adi A. 1 , Ria A A Soemitro 2, Dwa Desa Warnana. 3 1



Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email : [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email : [email protected] 3 Dosen Jurusan Fisika / FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email : [email protected]



ABSTRAK Beberapa masalah terjadi pada konstruksi di atas lapisan clay shale yang diakibatkan oleh investigasi tanah awal pada kekuatan clay shale yang kurang tepat. Parameter yang dipakai dalam perencanaan tidak memperhitungkan perubahan karakteristik akibat penggalian dan pelapukan yang terjadi pada clay shale. Tujuan penelitian ini mempelajari pengaruh perubahan kadar air terhadap karakteristik clay shale yaitu fisik, mekanik dan dinamik dengan proses pembasahan dan pengeringan. Clay shale diambil dari area penambangan PT. Semen Indonesia di Desa Meliwang, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Penelitian yang dilakukan meliputi uji pengaruh kadar air terhadap karakteristik fisis, mekanis, dan dinamis clay shale (pengujian volumetri gravimetri, batas-batas Atterberg, analisa ayakan, tes suction, tes bender elemen, tes Point Load, dan uji keausan) tiap perubahan kadar air. Presentase penambahan air ditentukan per 20% dari selisih antara kadar air jenuh dengan kadar air kering (wsat – wd). Analisa kandungan kimia juga dilakukan pada clay shale di lokasi studi dengan diffraksi sinar X. Hasil analisa kimia ini dapat digunakan sebagai gambaran awal karakteristik batuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lempung dalam clay shale sangat mempengaruhi karakteristik fisik, mekanik, dan dinamik tanah. Fraksi lempung pada clay shale mengisi rongga diantara partikel pasir dan lanau sehingga semakin tinggi kadar lempung maka angka porinya semakin kecil dan plastisitas menjadi lebih tinggi. Jenis mineral lempung pada clay shale menyebabkan perbedaan karakteristik penyerapan air dan berat spesifik. Mineral lempung illite pada clay shale mempunyai sifat penyerapan air lebih tinggi dibandingkan mineral kaolinite. Pada saat pembasahan dari kondisi kering ke kondisi jenuh terjadi peningkatan angka pori sebesar 43,10%. Ini menunjukkan bahwa benda uji mengalami pengembangan yang cukup tinggi dengan bertambahnya kadar air. Setelah mengalami pembasahan dan pengeringan 1x, angka pori turun sebesar 0,55 % dari kondisi inisial. Nilai USC (qu) clay shale Tuban juga mengalami penurunan sebesar 24,16% dari kondisi inisial setelah mengalami pengeringan pembasahan. Besarnya nilai qu tertinggi diperoleh pada kondisi kering yaitu sebesar 27,10 kg/cm2. Penurunan kekuatan clay shale disebabkan oleh rekahan yang terjadi dan peralihan parameter dari batuan menjadi tanah akibat pelapukan. Perubahan kadar air dari kondisi kering sampai kondisi jenuh clay shale mempunyai rentang perubahan nilai parameter mencapai 8 kali. Kata kunci: clay shale, kadar air, parameter fisik, mekanik dan dinamik, kab. tuban



1. PENDAHULUAN Latar Belakang Klasifikasi dan sifat-sifat indeks dari batuan dan tanah sangat dibutuhkan dalam merencanakan konstruksi bangunan. Parameter fisik dan mekanik digunakan untuk mengetahui seberapa jauh batuan dan tanah tersebut berperilaku dalam menerima beban konstruksi diatasnya. Adanya air dan pelapukan pada massa dan material batuan akan mempengaruhi parameter fisik, mekanik dan dinamisnya.



Bidang Geoteknik- 851



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Kabupaten Tuban ditinjau dari letak geografisnya, terlihat bahwa wilayah ini dekat dengan pesisir pantai dan pegunungan. Daerah Tuban khususnya di Kecamatan Kerek termasuk dalam formasi tuban yang memiliki susunan batuan berlapis clay shale. Banyak permasalahan terjadi pada konstruksi sipil di atas lapisan clay shale. Hal ini diakibatkan oleh investigasi tanah awal pada kekuatan clay shale yang kurang tepat. Shale merupakan salah satu material geologi yang paling kompleks, dan bermasalah. Shale memiliki rentang variasi sifat teknis yang luas, terutama dalam kecenderungan untuk mengembang dan melemah dalam waktu yang relatif singkat. Karakteristik shale yang umumnya terdiri dari lapisan tipis berlapis dengan fraksi yang tidak beraturan, sangat licin, dan mudah dipisahkan sepanjang bidang lapisan. Penelitian pada tesis ini meliputi uji karakteristik fisis, mekanis, dan dinamis terhadap variasi kadar air pada clay shale . Analisa kandungan kimia juga dilakukan pada semua batuan di lokasi studi, hasil analisa kimia ini dapat digunakan sebagai gambaran awal kekuatan clay shale. Semua hasil penelitian menunjukkan karakteristik clay shale khususnya pada formasi batuan di daerah Kabupaten Tuban. Kurva hubungan antar parameter lapangan dan laboratorium diharapkan dapat membantu para perencana dalam memperkirakan parameter tanah (practical engineering design) secara praktis dan teliti untuk konstruksi pada lapisan clay shale. Perumusan Dan Batasan Masalah Perumasan Masalah Permasalahan di dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik mineralogi clay shale Kabupaten Tuban, 2. Bagaimana pengaruh perubahan kadar air terhadap perubahan parameter sifat fisik, mekanis, dan dinamis clay shale pada kondisi kadar air awal (inisial) lapangan. Batasan Masalah Pembahasan dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut: 1. Benda uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah clay shale yang diambil di area penambangan PT Semen Indonesia, Desa Meliwang, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, 2. Benda uji dikondisikan kadar airnya dengan proses pengeringan dan pembasahan. Proses pembasahan dilakukan dengan menambah kadar air benda uji mulai dari kondisi inisial (wi), 20% hingga kondisi jenuh, 3. Siklus pembasahan dan pengeringan dilakukan dengan 1 siklus. Tujuan Dari hasil perumusan masalah di atas, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mineralogi clay shale dan pengaruh pembasahan dan pengeringan terhadap parameter sifat fisik, mekanik dan dinamik clay shale pada kondisi kadar air awal (inisial) lapangan. Relevansi Penelitian Apabila tujuan tersebut dapat terjawab dengan baik maka hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif terhadap karakteristik statik dan dinamik clay shale. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk dapat diaplikasikan dalam melakukan monitoring dan evaluasi parameter tanah dan batuan yang selama ini dilaksanakan pada area tanah berlapis clay shale.



852 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



2. TINJAUAN PUSTAKA Batuan Dari sudut geologi, yang disebut dengan batuan adalah semua susunan mineral dan bahan organis yang bersatu membentuk kerak bumi. Sedangkan dari segi geoteknik, batuan adalah suatu formasi material yang keras dan solid dari kerak bumi dan memiliki kekuatan hancur dengan tes kuat tekan (unconfined test) lebih besar dar 1 Mpa [12]. Klasifikasi dibutuhkan untuk menganalisa jenis batuan maupun perkiraan kekuatan dari batuan tersebut, sedangkan sifat sifat indeks dari batuan dibutuhkan untuk mengetahui seberapa jauh batuan tersebut berperilaku dalam menerima beban konstruksi. Karakteristik batuan dipengaruhi oleh pelapukan yang merupakan proses perubahan pada batuan oleh dekomposisi kimia dan disintegrasi fisik [12]. Clay Shale Shale adalah batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari pemadatan lanau (silt) dan mineral ukuran-lempung (clay-size mineral). Shale masuk kategori batuan endapan sebagai batu-lempung (clay stones). Shale umumnya terdiri dari lapisan tipis berlapis dengan fraksi yang tidak beraturan, sangat licin, dan mudah dipisahkan sepanjang bidang lapisan. Perilaku utama shale sangat sulit diidentifikasi akan tetapi setelah terkena sinar matahari, udara, dan air dalam waktu yang relatif singkat, maka shale akan menjadi tanah lempung yang lunak seperti lumpur [8]. Clay shale terbentuk dari mineral lempung (clay-size mineral) dan beberapa mineral bukan lempung (non clay mineral). Mineral bukan lempung yang banyak ditemui adalah quartz dan feldspar. Sedangkan untuk mineral lempung terdapat kira-kira 15 macam mineral yang diklasifikasikan sebagai mineral lempung antara lain terdiri dari kelompok-kelompok : montmorillonite, illite, kaolinite, dan polygorskite. Kelompok lain yang perlu diketahui adalah : chlorite, vermiculite, dan halloysite [3]. Sifat Fisik Clay Shale Sifat – sifat batuan pada dasarnya adalah sangat luas sekali karena menyangkut berbagai macam variasi dari struktur batuannya bentuk susunan butirannya (fabrics) serta komponen–komponennya yang mengikat, sehingga dalam menentukan sifat–sifat dari batuannya secara kuantitatif hanya diberikan melalui beberapa indeks yang utama sebagai indeks propertis [12]. Indeks propertis yang paling utama adalah :  Kadar air yang merupakan perbandingan antara berat air dengan berat butiran (solids) dalam tanah tersebut, dinyatakan dalam prosen,  Porositas (porosity) yang digunakan untuk mengetahui perbandingan volume antara butiran (solids) dengan pori (voids),  Densitas (density) dipakai untuk mendapatkan informasi kepadatannya dan sebagai tambahan dapat pula untuk mengetahui mengenai kandungan mineral atau butirannya,  Derajat kejenuhan yaitu perbandingan antara volume air dengan volume rongga pori (Vv) yang dinyatakan dalam prosen,  Specific Gravity (Gs) yaitu perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air,  Permeabilitas (permeability) digunakan untuk mengevaluasi konektivitas antar rongga-rongga pori batuan sehingga diketahui harga rembesannya,  Durabilitas (durability) digunakan untuk mengidentifikasikan ketahanan dari batuan apabila mengalami kehancuran pada komponen atau struktur butirannya serta terjadinya penurunan kualitas batuan pada saat mengalami tegangan,



Bidang Geoteknik- 853



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 



Kekuatan (strength) disini digunakan untuk mengetahui kekuatan kekuatan dari rangkaian butir-butir struktur batuan yang saling mengikat satu sama lain. Harga kekuatan ini dibutuhkan pula untuk menentukan klasifikasi batuannya.



Sifat Mekanik Clay Shale Sifat mekanis merupakan sifat perilaku dari struktur massa terhadap suatu gaya atau tekanan yang dijelaskan secara teknis mekanis. Parameter kekuatan clay shale tersebut terdiri dari :  Kohesi (Cu), yaitu gaya tarik antara butiran yang tergantung pada jenis dan kondisi kerapatan butir,  Bagian butiran yang bersifat gesekan tergantung pada tekanan efektif bidang geser terhadap sudut geser dalam (Ø) yang terbentuk,  Kekuatan batuan Point Load Strength Index (Ic), yaitu kuat tekan oleh dua baja berbentuk konus sampai terjadi keruntuhan dengan membentuk retakan dalam bidang tarik yang sejajar dengan sumbu pembebanan,  Tegangan air pori negatif (-Uw), ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi kertas filter Whatman no. 42,  Modulus elastisitas merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Sifat Dinamik Clay Shale Melakukan analisa respon dinamik seperti penurunan seketika deformasi atau penggeseran dari pondasi akibat beban dinamis diperlukan parameter penting yaitu modulus geser (shear modulus). Untuk mendapatkan parameter tersebut ditentukan dengan percobaan di laboratorium, tes di lapangan, atau korelasi empiris. Salah satu tes laboratorium tersebut adalah tes Elemen Bender (Bender Element Test). Pada tanah kohesif parameter dinamik tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kepadatan dan indeks plastis tanah, tekanan keliling, amplitudo, regangan geser, dan sejarah pembebanan yang sebelumnya dialami tanah tersebut [7]. Elemen Bender menggunakan prinsip kecepatan gelombang geser untuk memperoleh modulus geser tanah (G). Alat ini cukup sederhana dan cukup baik untuk menghitung modulus geser tanah pada regangan rendah yakni melalui pengukuran kecepatan perambatan gelombangan geser yang melalui sampel tanah. Dengan alat Elemen Bender, kecepatan gelombang geser, Vs dapat dihitung persamaan berikut digunakan untuk menghitung Vs. Dengan menggunaka persamaan berikut modulus geser maksimum (Gmaks) dapat ditentukan. Gmaks = V 2 ………………………………………………………………………..(2) Dimana : ρ : V : γ :



kerapatan massa tanah = γ/g (gr.dt2/cm4) kecepatan rambat gelombang geser (cm/dt) berat volume tanah (gr/cm3)



854 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



3. METODOLOGI PENELITIAN Bagan Alir Penelitian Mulai



Penelitian Lapangan : Pengambilan sampel clay shale dan Hummer test



Pengkondisian kadar air benda uji Siklus pembasahan pengeringan 1 kali



Inisial



Pengujian laboratorium: a. Pengujian sifat fisik  Gravimetri-volumetri b. Pengujian sifat mekanik  Kohesi  Point load c. Pengujian sifat dinamik  Uji bender elemen d. Pengujian teg. air pori



Penelitian Laboratorium:



1. Identifikasi parameter sifat fisik (Kadar air, ayakan, batasbatas Atterberg dan volumetrigravimetri); 2. Identifikasi kandungan



Data hasil pengujian laboratorium dan kurva hubungan antara parameter sifat fisik, parameter sifat dinamis, parameter sifat mekanis dan unsur kimia yang terkandung pada clay shale.



A Gambar 3.1. Bagan alir penelitian



Bidang Geoteknik- 855



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean A Analisis : 1. Perilaku batuan (fisik, mekanis, dan dinamik) dari seluruh variasi pembasahan-pengeringan 2. Penyusunan Laporan Kesimpulan



SELESAI



Gambar 3.2. Bagan alir penelitian (lanjutan) Pengkondisian Kadar Air dan Pembasahan – Pengeringan Pada tahap ini benda uji berupa tanah tak terganggu (undisturbed) di laboratorium dikondisikan kadar airnya dengan cara pengeringan (drying) dan pembasahan (wetting). Setelah mencapai kondisi kadar air yang diinginkan kemudian benda uji di tes. Proses siklus pembasahan dan pengeringan dilakukan dengan cara mengurangi kadar air dari kondisi awal ke kondisi kering 100% kemudian ditambahkan air sampai ke kondisi kadar air jenuh 100%. Perlakuan tersebut juga diterapkan untuk pengujian sifat fisik, mekanik, dinamik (elemen bender), dan pengukuran tegangan air pori negatif. Skema siklus pembasahan dan pengeringan dalam 1x (satu kali) siklus dapat dilihat pada Gambar 3.3.



Gambar 3.3. Skema siklus pengeringan dan pembasahan clay shale



4. ANALISA DAN HASIL PENELITIAN Penelitian sifat fisik dilakukan pada clay shale Tuban dimana sampel tanah diambil pada kedalaman 10 – 16 m. Hasil uji sifat fisik, mekanik dan dinamik clay shale Tuban dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Identifikasi mineral clay shale Tuban ditunjukkan pada Tabel 4.2. Sedangkan pengaruh kadar air dan tegangan air pori negatif terhadap parameter fisik mekanik dan dinamik dapat dilihat pada Gambar 3.4, Gambar 3.5, dan Gambar 3.6.



856 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 4.1 Hasil Uji Sifat Fisik Tanah Jenis Pengujian



Kedalaman 12 m 14 m



10 m Gravimetri dan Volumetri 1. Berat Spesifik 2. Kadar Air, w (%) 3. Berat Volume Tanah, t (gr/cm3) 4. Berat Volume Kering, d (gr/cm3) 5. Angka Pori, e 6. Derajat Kejenuhan, Sr (%) Analisa Saringan dan Hidrometer 1. Fraksi Kerikil (gravel) (%) 2. Fraksi Pasir (sand) (%) 3. Fraksi Lanau (silt) (%) 4. Fraksi Lempung (clay) (%) Konsistensi 1. Batas Cair (LL) (%) 2. Batas Plastis (PL) (%) 3. Indeks Plastis (PI) ) (%) Swelling



1. Activity (A) 2. Swelling Potential (Skempton (1935)



16 m



2.635 20.242 1.905 1.584 0.663 80.399



2.654 21.975 2.047 1.672 0.582 100



2.677 14.735 1.987 1.731 0.546 72.232



2.659 17.721 2.110 1.792 0.484 97.407



0.00 0.37 11.00 88.63



0.00 0.57 27.29 72.14



0.00 0.93 41.95 57.12



0.00 0.74 44.00 55.26



88.55 29.39 59.17



77.76 27.10 50.66



70.81 24.18 46.63



66.47 21.13 45.34



1.21 tinggi



1.51 tinggi



0.7 tinggi



0.9 tinggi



30.563



32.763



39.363



48.163



18.119



17.839



19.518



22.314



620.949 73452.5



661.652 89614.2



738.772 721.724 108447 109907



Propertis Mekanik Point Load Strenght Index



1. Ic (kg/cm2) Unconfined Compression Test (UCS)



2. Cu (kg/cm2) Propertis Dinamik



1. Kecepatan Gel. Geser, (Vs) (m/dtk) 2. Modulus Geser (Gmax) (kPa)



Tabel 4.2. Jenis Komposisi Kimia clay shale yang Diteliti Mineral clay mineral (phyllosilicates)



Kaolinite illite montmollonite chlorite



non clay mineral



Quartz feldspar



Komposisi Mineral (%) clay shale (coklat) clay shale (abu-abu) 15.9 21.3 32.6 45.3 25.5 26 -



33.4 -



Bidang Geoteknik- 857



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



e



B



A



-Uw (kPa)



w (%)



Sr (%)



C



D



-Uw (kPa) w (%) Gambar 3.4. Pengaruh pembasahan 1x terhadap hubungan antara kadar air, angka pori, derajat kejenuhan, tegangan air pori negatif pada clay shale Tuban



Pembasahan



30.00



30.00



25.00



25.00



20.00



20.00



15.00 10.00 5.00



Cu (Kg/cm 2 )



0.00 25



20



15



10



5



0



15.00 10.00 5.00 0.00 1



w (%)



Pembasahan



250.00



250.00



200.00



200.00



150.00



150.00



Ic 100.00 (Kg/cm 2 ) 50.00 0.00 30



20



10



w (%)



0



Pembasahan



100



10000



-Uw (Kpa)



1000000



Pembasahan



100.00 50.00 0.00 1



100



10000



-Uw (Kpa)



1000000



Gambar 3.5. Pengaruh pembasahan 1x terhadap hubungan antara kadar air dan parameter mekanik clay shale Tuban.



858 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Pembasahan



120,000



120,000



100,000



100,000



80,000 60,000



20



10



w (%)



0



Pembasahan



80,000 60,000



40,000



40,000



20,000



20,000



0 30



Gmax (Kpa)



0 1



100



10000



1000000



-Uw (Kpa)



Gambar 3.6. Pengaruh pembasahan 1x terhadap hubungan antara kadar air dan parameter dinamik clay shale Tuban.



5. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Karakteristik Fisik Berdasarkan pengujian karakteristik fisik didapatkan berat volume clay shale (γt) berkisar antara 1,408 – 2,11 gr/cm3, kadar air tertinggi dijumpai pada kedalaman 12 m. Spesifik gravitasi (Gs) berkisar antara 2,635 – 2,677. Pada kedalaman 10 m, kandungan lempung tertinggi pada clay shale sebesar 88,63% yang menghasilkan IP tertinggi yaitu sebesar 59,17%. 2. Karakteristik Mekanik Berdasarkan pengujian karakteristik mekanik didapatkan nilai kohesi (cu) dan point load index (Ic) terbesar terletak pada kedalaman 16 m (abu-abu), yaitu sebesar 22,314 kg/cm2 dan 48,163 kg/cm2. 3. Karakteristik Dinamik Berdasarkan pengujian karakteristik dinamik didapatkan modulus geser maksimum (Gmax) terbesar terletak pada kedalaman 16 m (abu-abu) yaitu sebesar 109907 kPa. 4. Karakteristik mineral, diperoleh kandungan mineral lempung illite dominan terkandung dalam clay shale Tuban baik untuk clay shale cokelat maupun abu-abu. Kandungan illite teridentifikasi dalam rentang 32,5% - 45,3%. Sejumlah kaolinite dan chlorite juga teridentifikasi dalam jumlah yang lebih kecil. 5. Berdasarkan hasil pengujian dilaboratorium pengaruh perubahan kadar air terhadap karakteristik clay shale dapat dilihat perubahan parameter karakteristik fisik, mekanik, dan dinamik yang sangat signifikan. Pada saat pembasahan dari kondisi kering ke kondisi jenuh terjadi peningkatan angka pori sebesar 43,10%. Ini menunjukkan bahwa benda uji mengalami pengembangan yang cukup tinggi dengan bertambahnya kadar air. Setelah mengalami pengeringan dan pembasahan 1x, Angka pori turun sebesar 0.55 % dari kondisi inisial. Nilai USC (qu) clay shale Tuban juga mengalami penurunan sebesar 24,16% dari kondisi inisial setelah mengalami pengeringan pembasahan. Besarnya nilai qu tertinggi diperoleh pada kondisi kering yaitu sebesar 27.10 kg/cm2. Selain itu besarnya nilai Point load Index (Ic) dan modulus geser maksimum (Gmax) juga mengalami penurunan berturut turut sebesar 12,58% dan 96,22%. Penurunan kekuatan clay shale diakibatkan oleh rekahan yang terjadi dan peralihan parameter dari batuan menjadi tanah akibat



Bidang Geoteknik- 859



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean pelapukan. Perubahan kadar air dari kondisi kering sampai kondisi jenuh clay shale mempunyai rentang perubahan nilai parameter mencapai 8 kali.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Aditya, D. N. (2013). Geologi Dan Lingkungan Pengendapan Formasi Tuban Daerah Kerek Dan Sekitarnya Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur (Doctoral Dissertation, UPN" Veteran" Yogyakarta). 2. Bowles, J.E., 1984. Physical and Geotechnical Properties of Soils, McGraw-Hill Inc., USA. 3. Christady, Hardiyatmo Hary, 1992. Mekanika Tanah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 4. DAS, Braja M., (translated by Mochtar N.E. and Mochtar I.B.), 1995. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I, Erlangga, Jakarta. 5. Firman, I. (2008). Biostratigrafi Dan Studi Lingkungan Pengendapan Formasi Ngrayong Di Daerah Cepu. Tesis Magister, Program Studi Magister Teknik Geologi Opsi Geologi Migas Institut Teknologi Bandung. 6. Indarto (1995). "Metode Kertas Filter Untuk Menentukan Karakteristik Tegangan Air Pori Negatif pada Tanah", majalah IPTEK ITS, Nopember 1995. 7. Indarto dan Soemitro, R.A.A., 2009. Penelitian Sifat Dinamis Tanah Residual Tidak Terganggu (Undisturbed Residual Soils) Studi Kasus: Tanah Residual Kabupaten Jember, Mojokerto dan Malang, Penelitian Guru Besar, ITS. 8. M. Irsyam, (2010). "Slope Failure Of An Embankment On Clay Shale At Km 97+500 Of The Cipularang Toll Road And The Selected Solution", International Symposium on Geotechnical Engineering, Bangkok, Thailand. 9. Philips, K and Odukoya.O. (1986), "A study of the montmorillonitic clay-shale and The overlying reddish-brown clay deposits at ibese , ogun state Of nigeria", Clay Science 6, 235-249. 10. Sadisun, I. A., Shimada, H., & Matsui, K. (2000). Characterization of weathered claystone and their engineering significance. In Indonesian scientific meeting, Fukuoka, Japan. ISSN (pp. 1343-2451). 11. Schaefer, V. R., and M. A. Birchmier. (2013) "Mechanisms of Strength Loss during Wetting and Drying of Pierre Shale‖. Proceedings of the 18th International Conference on Soil Mechanics and Geotechnical Engineering, Paris. 12. Soetojo, Moesdarjono, 2009, Teknik Pondasi pada Lapisan Batuan. ITS Press. Surabaya 13. Sudarma, I Made, 2001. Pengaruh Suhu dan Tegangan Air Pori Negatif Pada Perilaku Mengembang Tanah Lempung, Tesis Magister, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 14. Wakim, Jad. "Effect of water on the mechanical behaviour of shales."Colloque PostMining. 2005. 15. William, E. (2007). Engineering performance of Bringelly shale, Electronic Journal of Geotechnical Engineering, Vol. 9A.



860 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



EFEK PANJANG TANCAP DAN SPASI CERUCUK DALAM PENINGKATAN TAHANAN GESER TANAH LUNAK BERDASARKAN PEMODELAN DI LABORATORIUM Rusdiansyah1, Indrasurya B. Mochtar2 dan Noor Endah Mochtar2 1



Mahasiswa S3, Geoteknik, Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, email:[email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya



ABSTRAK Selama ini pemakaian cerucuk cukup efektif sebagai metode alternatif perkuatan stabilitas lereng maupun perkuatan embankment jalan. Pada embankment jalan, cerucuk digunakan sebagai bahan yang kaku berfungsi untuk menaikkan stabilitas tanah. Sebagai perkuatan lereng, cerucuk sangat efektif berfungsi sebagai pasak/tulangan yang dapat memotong bidang kelongsoran lereng. Sehingga cerucuk dapat memberikan tambahan gaya geser pada lereng yang mampu melawan gaya geser longsoran yang terjadi. Tambahan gaya geser yang dihasilkan oleh cerucuk tersebut dapat meningkatkan angka keamanan (safety factor) stabilitas lereng. Sampai dengan saat ini, pengembangan teori tentang konstruksi perkuatan cerucuk pada stabilitas lereng tanah lunak guna menambah kekuatan gesernya (yang mendekati kondisi di lapangan) masih sedikit dan belum memadai. Hanya saja untuk pengembangannya tersebut sangat diperlukan informasi yang rinci dan jelas tentang interaksi antara tanah lunak dengan cerucuk. Informasi tersebut dapat diperoleh salah satunya dari penelitian skala laboratorium yang dibuat mendekati kondisi lapangan. Tujuan penelitian ini untuk menjawab bagaimana pengaruh panjang tancapan (rasio tancap) dan pengaruh jarak (spasi) antar cerucuk terhadap penambahan tahanan geser dari stabilitas lereng tanah lunak. Penelitian ini dilaksanakan melalui salah satu cara pendekatan model skala laboratorium, namun perilakunya dibuat mendekati perilaku sebenarnya di lapangan. Bidang kelongsoran lereng yang terjadi di lapangan didekati dengan bidang geser yang sengaja dibuat di laboratorium dengan menggeser contoh tanah (Plab) yang terdapat dalam kotak geser hasil modifikasi yang berukuran relatif besar pada alat geser langsung. Cerucuk yang akan digunakan berupa cerucuk kayu mini dan ditanamkan pada contoh tanah tadi. Variasi rasio tancap (L/D) yang diterapkan sebesar 5, 10, 15, dan 20. Sedangkaan variasi spasi cerucuk yang digunakan sebesar 3D, 5D, dan 8D. Diharapkan dari perilaku skala kecil tersebut dihasilkan tambahan teori mengenai perkuatan lereng dengan cerucuk yang mendekati kondisi sebenarnya di lapangan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa semakin besar rasio tancap yang digunakan cerucuk maka semakin meningkatkan tahanan geser tanah lunak. Selain itu tahanan geser tanah lunak juga meningkat apabila spasi antar cerucuk yang digunakan sebesar 3D sampai 5D. Akan tetapi penurunan tahanan geser tanah lunak terjadi apabila spasi antar cerucuk yang digunakan adalah lebih besar dari 5D. Kata kunci: Cerucuk, rasio tancap, spasi antar cerucuk, rasio Plab/Pmax



1. PENDAHULUAN Upaya untuk meningkatkan tahanan geser tanah lunak yang rendah dapat dilakukan antara lain melalui metode perkuatan tanah. Metode perkuatan tanah bertujuan untuk menambah kekuatan tanah agar lebih mampu mendukung beban yang bekerja padanya. Saat ini tersedia beragam metode perkuatan tanah dengan teknologi yang memadai dan metode tersebut telah berkembang dengan baik. Namun perlu menjadi perhatian bahwa suatu metode perkuatan tanah belum tentu tepat untuk jenis tanah yang lain dan permasalahan spesifik yang ditimbulkan oleh tanah tersebut.



Bidang Geoteknik- 861



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Salah satu metode perkuatan tanah yang efektif untuk mengatasi kelongsoran jalan dan stabilitas lereng adalah dengan menggunakan perkuatan tiang-tiang vertikal yang berperilaku seperti sistem cerucuk. Sistem cerucuk adalah istilah yang dikenal di Indonesia, dimana tiang pancang kecil berdiameter 7,5cm–25cm dipasangkan sebagai group tiang atau tiang satu-satu secara vertikal atau miring. Penggunaan tiang pancang (cerucuk) sebagai elemen penahan tanah sudah dilakukan dimasa lalu karena dapat memberikan solusi yang efisien, sejak tiang (cerucuk) dapat dilaksanakan dengan mudah tanpa mengganggu keseimbangan lereng (DeBeer dan Wallays, 1970; Ito dkk, 1981). Tiang pancang kayu (cerucuk) pernah digunakan sebagai perkuatan stabilitas lereng tanah sangat lunak di Swedia walaupun pada saat itu penggunaan tiang bor dengan diameter 1,5 m sedang populer digunakan di Eropa dan Amerika untuk meningkatkan stabilitas kelongsoran lereng pada tanah lempung kaku (Bulley, 1965, dan Offenberger, 1981). Selama ini pemakaian cerucuk cukup efektif sebagai metode alternatif perkuatan stabilitas lereng maupun perkuatan embankment jalan. Pada embankment jalan, cerucuk digunakan sebagai bahan yang kaku berfungsi untuk menaikkan stabilitas tanah. Adanya cerucuk dibawah embankment jalan dapat meningkatkan daya dukung tanah dasar dan mengurangi penurunan yang akan terjadi. Hal ini karena cerucuk dapat menghasilkan hambatan terhadap keruntuhan geser. Sebagai perkuatan lereng, cerucuk sangat efektif berfungsi sebagai pasak/tulangan yang dapat memotong bidang kelongsoran lereng. Sehingga cerucuk dapat memberikan tambahan gaya geser pada lereng yang mampu melawan gaya geser longsoran yang terjadi. Tambahan gaya geser yang dihasilkan oleh cerucuk tersebut dapat meningkatkan angka keamanan (safety factor) stabilitas lereng. Beberapa kajian penanganan kelongsoran jalan dan stabilitas talud di lapangan (Mochtar, 2011) menunjukkan bahwa cerucuk telah terbukti dapat meningkatkan tahanan geser tanah. Mochtar (2011) juga menjelaskan bahwa apabila overall stabilitynya lebih menentukan dalam perhitungan stabilitas turap, maka asumsi yang lebih mendekati kondisi sebenarnya di lapangan adalah asumsi konstruksi cerucuk. Cerucuk memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan turap dalam mengatasi overall stability. Alasannya berdasarkan pada kemampuan cerucuk yang dapat menghambat pergeseran tanah pada bidang longsornya. Cerucuk dapat dipancang sampai melewati bidang runtuh tanpa menghasilkan kelenturan yang berlebih sebagaimana yang terjadi pada turap. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan bagaimana perilaku interaksi tanah dengan cerucuk dalam peningkatan tahanan geser tanah lunak, terutama untuk mengetahui bagaimana pengaruh panjang tancap cerucuk dan jarak (spasi) antar cerucuk terhadap peningkatan tahanan geser tanah. Sehingga tujuan utama dalam penelitian ini untuk mengembangkan teori tahanan geser tanah lunak akibat adanya cerucuk.



2. TINJAUAN PUSTAKA Teori Mochtar (2000) dan Teori Mochtar dan Arya (2002) Cerucuk digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan tahanan geser tanah. Apabila komponen tahanan tanah terhadap geser meningkat maka daya dukung tanah juga menjadi meningkat. Cerucuk dapat berfungsi menahan gaya geser lebih besar dibandingkan dengan tanah.



862 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Mochtar (2000) telah mengembangkan teori penambahan tahanan geser dari tanah akibat adanya cerucuk. Teori ini berdasarkan pada teori tiang pancang penahan gaya horisontal oleh NAVFAC DM-7 (1971). Pada teori tersebut daya dukung geser tiang pancang terhadap gaya lateral pada suatu tanah dipengaruhi oleh : kekakuan dan kekuatan lentur dari tiang pancang tersebut, panjang penetrasi tiang yang masuk pada tanah diukur dari permukaan tanah, kekuatan geser tanahnya sendiri, dan jumlah tiang pancang. Berdasarkan teori tiang pancang ini Mochtar (2000) mengembangkan teori penambahan tahanan geser dari tanah akibat adanya cerucuk. Dalam Gambar 1a dan Gambar 1b asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori penambahan tahanan geser dari tanah akibat adanya cerucuk oleh Mochtar (2000) adalah sebagai berikut : 1. Kelompok cerucuk dianggap sebagai kelompok tiang dengan rigid cap di muka tanah yang menerima gaya horisontal. 2. Gaya horisontal tersebut merupakan tegangan geser yang terjadi di sepanjang bidang gelincir.



(a)



(b)



Gambar 1. (a). Asumsi kedudukan cerucuk/micropiles sebagai penahan terhadap keruntuhan geser di lapangan (b). Asumsi tiang pancang kelompok menahan gaya lateral yang digunakan sebagai dasar mencari tahanan geser cerucuk (Mochtar 2000, dari NAVFAC DM-7, 1971) Dalam teori Mochtar (2000) untuk menghitung kebutuhan cerucuk per-meter, terlebih dahulu ditentukan kekuatan 1(satu) cerucuk untuk menahan gaya horisontal. Pada Persamaan (1) menunjukkan gaya horisontal (P) yang mampu ditahan oleh 1(satu) cerucuk. Dalam persamaan tersebut, gaya horisontal (P) adalah merupakan fungsi perbandingan dari momen lentur yang bekerja pada cerucuk akibat beban P (Mp) dengan koefisien momen akibat gaya lateral P (Fm) dan faktor kekakuan relatif (T). Pmax 1 cerucuk =



Mpmax1cerucuk FM xT



(1)



dengan : Mpmax = momen tarik max yang bekerja pada cerucuk akibat beban P, kg-cm FM = koefisien momen akibat gaya lateral P Pmax = gaya horisontal maksimum yang diterima cerucuk, kg T = faktor kekakuan relatif, cm



Bidang Geoteknik- 863



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Persamaan (1) tersebut kemudian dikembangkan oleh Mochtar dan Arya (2002). Mochtar dan Arya (2002) telah menambahkan faktor koreksi yang mempertimbangkan pengaruh jenis tanah (cu), kedalaman tancap cerucuk (L/D), diameter cerucuk (D), dan jumlah cerucuk. Sehingga Persamaan 2 menjadi :



Pmax (1 cerucuk) 



Mpmax (1 cerucuk) fm.T



x Fk ............................................................................. (3)



Dimana :



 0,89  0,12 L / D   0,855Cu 0,392  Fk  2,643 .   2,69 2,865   



Parameter yang Mempengaruhi Faktor Keamanan (SF) Stabilitas Lereng yang diperkuat dengan Cerucuk Ada beberapa parameter yang dapat mempengaruhi interaksi lereng-cerucuk di lapangan. Parameter-parameter tersebut adalah : 1) pengaruh panjang atau kedalaman cerucuk, 2) pengaruh jenis tanah, 3) pengaruh diameter dan kekakuan cerucuk, 4) pengaruh posisi cerucuk, 5) pengaruh jumlah cerucuk, 6) pengaruh spasi cerucuk, dan 7) pengaruh konfigurasi cerucuk kelompok terhadap arah gaya geser yang bekerja. Belakangan ini beberapa peneliti telah melakukan analisis terhadap sebagian parameter tersebut dengan menggunakan metode simulasi numerik (finite element, finite difference, dll) dan metode analisis keseimbangan batas. Berikut diuraikan sebagian dari hasil kajian para peneliti mengenai hal itu, diantaranya Ashour dan Ardalan (2012) telah melakukan kajian analisis mengenai stabilisasi lereng dengan tiang (dalam hal ini dapat disebut sebagai cerucuk) berdasarkan model keseimbangan interaksi tanah-cerucuk. Dalam kajian analisisnya, Ashour dan Ardalan (2012) menggunakan bantuan bahasa pemrograman PSSLOPE yang merupakan kombinasi bahasa fortran dan visual basic. Parameter tanah yang digunakan merupakan data asumsi jenis tanah lempung berkualitas baik, tanah pasir, dan batu. Hasil kajian menunjukkan bahwa kedalaman cerucuk pada sistem lereng yang diperkuat cerucuk harus tertanam pada tanah yang stabil dibawah permukaan bidang gelincir. Hal ini karena dapat memperkecil deformasi yang terjadi pada cerucuk. Apabila jenis tanah yang berada diatas permukaan bidang gelincir tergolong tanah yang tidak menguntungkan (jelek) maka akan menghasilkan tekanan yang besar terhadap cerucuk. Ashour dan Ardalan (2012) juga menyatakan bahwa pada spasi (jarak) cerucuk tertentu, semakin besar diameter cerucuk yang digunakan maka semakin meningkatkan faktor keamanan (SF). Namun pada rasio antara panjang cerucuk diatas permukaan bidang longsor dan diameter cerucuk yang kecil justru dapat memperkecil SF dengan semakin besarnya diameter cerucuk yang digunakan. Selain itu dari kajian menunjukkan bahwa lokasi cerucuk yang tepat berada ditengah lereng (diantara sisi kaki lereng dan atas/kepala lereng) dapat menghasilkan SF yang maksimum. Sedangkan terkait dengan spasi (jarak) cerucuk, bahwa spasi cerucuk yang meningkat akan menurunkan faktor keamanan (SF) stabilitas lereng.



864 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kourkoulis dkk (2011) telah melakukan analisis pemodelan lereng-cerucuk menggunakan metode finite element dan bantuan software XTRACT. Asumsi jenis tanah yang digunakan adalah jenis tanah pasir kelanauan dan batuan lunak. Dalam hasil analisisnya menyatakan bahwa semakin dalam cerucuk yang ditancapkan dibawah permukaan bidang kelongsoran maka semakin kecil deformasi yang akan terjadi pada bagian kepala cerucuk. Deformasi pada bagian kepala cerucuk akan mengecil apabila cerucuk tertanam pada jenis tanah yang keras. Spasi cerucuk yang kecil (rapat) dapat meningkatkan gaya penahan geser, memperkecil momen lentur, dan memperkecil deformasi pada bagian kepala cerucuk. Hasil kajian Kourkoulis dkk (2011) juga menunjukkan bahwa apabila lapisan tanah memiliki ketebalan yang tipis maka cerucuk berperilaku seperti rigid dan menyerupai perilaku dinding penahan tanah atau pondasi kaisson, sehingga efek dari cerucuk kelompok menjadi tidak berpengaruh. Sebaliknya apabila ketebalan lapisan tanah besar (tebal), maka cerucuk berperilaku fleksibel dan efek cerucuk kelompok menjadi berpengaruh.



3. MATERIAL, PERALATAN, DAN CARA PENGUJIANNYA Material Dalam penelitian ini jenis tanah lempung yang digunakan yaitu tanah lempung dengan tingkat konsistensi lunak yang diambil dari daerah lingkungan kampus ITS, yaitu tanah yang terdapat pada lahan belakang Gedung Robotica ITS Surabaya. Pada Tabel 1disajikan rekapitulasi karakteristik fisik dan mekanis tanah lempung tersebut. Dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis lempung lunak yang digunakan dalam penelitian ini menurut klasifikasi metode USCS tergolong memiliki tingkat plastisitas yang tinggi (CH). Sedangkan menurut klasifikasi metode AASHTO tergolong A-7 (tanah berlempung). Tabel 1 Sifat Fisik dan Mekanis Tanah Kondisi Undisturbed No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Parameter(*) Berat Volume, γt Kadar Air, Wc Angka Pori, e Derajat Kejenuhan, Sr Berat Jenis, Gs Batas Cair, LL Batas Plastis, PL Indeks Plastisitas, PI Fraksi Lempung Fraksi Lanau Fraksi Pasir Kohesi Undrained, Cu



Nilai 1,424 gr/cm3 92,21% 2,567 94,95% 2,643 64,90% 30,33% 34,57% 75,44% 17,32% 7,24% 0,190 kg/cm2



(*) Catatan : Kedalaman sampel dan kedalaman muka air tanah = -1,2m



Untuk model cerucuk mini yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari bahan kayu jenis Meranti (kayu kelas II). Model cerucuk dibuat dalam bentuk batang silinder



Bidang Geoteknik- 865



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean dengan diameter 3mm, 4,5mm, dan 6mm, dan dengan ukuran panjang batang yang disesuaikan dengan kebutuhan variasi perlakuan dalam penelitian ini. Batang kayu yang dipilih diupayakan memiliki sifat homogenitas bahan kayu dari batang model cerucuk mini yang sama. Berdasarkan pengujian kadar air dan berat volume, kayu yang telah dipilih sebagai bahan penelitian ini memiliki kadar air rata-rata sebesar 14,87 % dan berat volume rata-rata kayu sebesar 0,55gr/cm3. Selain itu untuk mendapatkan nilai modulus elastisitas dari model cerucuk mini berbahan kayu tersebut maka dilakukan pengujian tarik pada model cerucuk mini tersebut. Dari hasil pengujian tarik didapatkan nilai modulus elastisitas sebesar E=21812,39 kg/cm2. Sedangkan nilai tegangan tarik maksimum yang didapat sebesar ζtr = 589,697 kg/cm2 Peralatan Alat uji geser langsung (Direct Shear) konvensional yang biasa digunakan di laboratorium dimodifikasi pada bagian tertentu dari sistem alat tersebut. Model alat geser langsung hasil modifikasi sebagian besar bentuknya menyerupai alat uji geser langsung konvensional. Perbedaannya terdapat pada bentuk kotak geser (shear box) yang digunakan. Selain itu pada model alat uji geser langsung yang dimodifikasi tidak membutuhkan balok beban dan dial vertikal karena dalam penelitian ini hanya untuk mengetahui kemampuan cerucuk menahan gaya geser horisontal. Dalam Gambar 2 menunjukkan konstruksi alat uji geser langsung tanah-cerucuk yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini. Beberapa komponen penting yang terdapat dalam alat uji geser langsung tanah-cerucuk tersebut, yaitu : 1(satu) set proving ring dengan kapasitas 500kgf, 1(satu) set batang pendorong, 1(satu) buah dial horisontal dengan kapasitas 50mm , 1(satu) unit motor penggerak kecepatan automatic kapasitas 60Hz yang dilengkapi dengan panel pengatur kecepatan secara digital, dan kotak geser (shear box) yang berukuran relative besar, yaitu 20cm x 15cm x 12cm.



866 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 2 Alat uji geser langsung modifikasi (a) tampak muka (b) tampak samping (c) tampak atas Cara Pengujian Pengujian geser langsung terhadap model benda uji tanah-cerucuk dilakukan dengan menggunakan alat uji geser langsung modifikasi. Pada saat pemasangan model cerucuk kedalam model tanah dilaksanakan dengan cara menekan cerucuk dengan tangan. Posisi cerucuk dipastikan vertikal terhadap bidang shear box dan berada pada area tengah shear box. Alat bantu dapat digunakan untuk mengatur posisi cerucuk tersebut. Gaya geser horisontal diberikan pada benda uji (kotak geser) setelah motor penggerak yang telah diatur kecepatannya (dalam hal ini kecepatan penggeseran berkisar sebesar 0,1 mm/menit sampai 2 mm/menit) menyalurkan gaya horisontal melalui batang pendorong. Besaran gaya geser horisontal terbaca melalui dial pada proving ring tersebut. Gaya horisontal tersebut dinyatakan sebagai parameter Plab dalam makalah ini. Bersamaan dengan itu pula besaran deformasi horisontal dari benda uji terbaca pada dial horisontal yang terdapat pada alat uji geser langsung tanah-cerucuk tersebut. Variasi perlakuan benda uji yang akan dilaksanakan pada pengujian geser langsung dengan alat uji geser tanah-cerucuk modifikasi adalah variasi rasio tancap cerucuk (L/D) dan variasi spasi kelompok cerucuk dengan jumlah cerucuk yang tertanam sebanyak 2 buah masing-masing berdiameter 3mm. Dalam penelitian ini variasi rasio tancap (L/D) yang diterapkan sebesar 5, 10, 15, dan 20 (dimana L adalah panjang tancap tiang cerucuk dibawah bidang geser). Sedangkan variasi spasi cerucuk yang digunakan sebesar 3D, 5D, dan 8D (dimana D adalah diameter cerucuk).



4. HASIL PENGUJIAN DAN BAHASAN Pengaruh Panjang Tancapan Cerucuk terhadap Peningkatan Kuat Geser Dalam Gambar 3 menunjukkan kurva yang menjelaskan hubungan variasi rasio tancap (L/D : 5, 10, 15, dan 20) dan rasio Plab/Pmax dengan spasi cerucuk yang digunakan saat pengujian adalah sebesar 3D, 5D, dan 8D. Dalam hal ini rasio Plab/Pmax merupakan representasi dari tahanan geser tanah lunak. Dimana Pmax adalah gaya horisontal yang dapat ditahan oleh 1(satu) tiang cerucuk berdasarkan perhitungan analitis menggunakan Persamaan (1) oleh Mochtar (2000). Sedangkan Plab adalah gaya horisontal yang dapat ditahan oleh 1(satu) tiang cerucuk berdasarkan hasil pengujian di Laboratorium.



Bidang Geoteknik- 867



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Berdasarkan kurva hubungan yang dijelaskan dalam Gambar 3 menunjukkan bahwa tahanan geser tanah lunak (rasio Plab/Pmax) mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya panjang tancap (penanaman) cerucuk dibawah bidang geser tanah (bidang longsor). Hal ini disebabkan karena dengan semakin besarnya nilai rasio tancap yang berarti bahwa semakin panjang tiang cerucuk yang menancap (tertanam) dibawah bidang geser (bidang longsor). Dengan semakin panjangnya tiang cerucuk yang tertanam maka semakin besar pula daerah kerja (daerah perlawanan) atau reaksi lateral yang terjadi pada cerucuk yang menghambat pergeseran tanah. Sehingga penambahan gaya geser yang dihasilkan oleh cerucuk menjadi semakin besar. Pada nilai rasio tancap yang sama dalam kurva tersebut menunjukkan bahwa cerucukcerucuk yang menggunakan spasi 5D menghasilkan rasio Plab/Pmax yang lebih besar dibandingkan dengan spasi cerucuk sebesar 3D dan 8D.



Gambar 3. Kurva hubungan variasi rasio tancap dan rasio Plab/Pmax



Pengaruh Spasi Cerucuk terhadap Peningkatan Kuat Geser Untuk mengetahui pengaruh spasi cerucuk terhadap peningkatan kuat geser tanah maka dalam penelitian ini digunakan spasi cerucuk sebesar 3D, 5D, dan 8D. Masingmasing perlakuan variasi spasi tersebut juga memperhatikan rasio tancap yang diterapkan saat pelaksanaan pengujian gesernya. Dalam Gambar 4 disajikan data dan kurva yang menjelaskan hubungan variasi spasi cerucuk dan rasio Plab/Pmax untuk masing-masing rasio tancap cerucuk sebesar L/D=5, L/D=10, L/D=15, dan L/D=20. Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada kurva hubungan dalam Gambar 4 maka dapat disimpulkan bahwa untuk rentang spasi cerucuk sebesar 3D sampai 5D, nilai rasio Plab/Pmax mengalami peningkatan. Namun apabila cerucuk menggunakan spasi lebih dari 5D (5D sampai 8D) maka rasio Plab/Pmax mengalami penurunan. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa cerucuk dengan spasi 5D dapat memberikan hasil yang optimal dan efektif. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa apabila cerucuk menggunakan spasi antara 3D sampai 5D, kekuatan geser tanah akan meningkat karena pada rentang spasi tersebut



868 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 kinerja cerucuk kelompok lebih maksimal memberikan efek pasak pada perkuatan tanah. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada jarak (spasi) tersebut dapat menghasilkan tahanan antara tiang cerucuk tersebut terhadap dorongan (gaya geser) yang terjadi. Spasi yang rapat (3D sampai 5D) dapat memperkecil deformasi yang terjadi pada tanah karena spasi yang rapat dapat meningkatkan gaya penahan geser. Sedangkan pada rentang spasi lebih dari 5D (yaitu 8D)¸ rasio Plab/Pmax mengalami penurunan karena pada spasi tersebut tergolong besar (tidak rapat), sehingga cerucukcerucuk berperilaku hampir seperti cerucuk tunggal (individu) yang tidak terikat oleh sesamanya. Akibatnya dorongan dari tanah (gaya geser) tidak ditahan dan akan melalui dengan mudah diantara tiang-tiang.



Gambar 4 Kurva hubungan variasi spasi cerucuk dan rasio Plab/Pmax



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan, yaitu: 1. Panjang tancap cerucuk mempengaruhi peningkatan kuat geser tanah, dimana semakin panjang batang cerucuk yang ditancap dibawah bidang kelongsoran maka semakin meningkat pula kuat geser tanah yang dihasilkan. 2. Pada spasi cerucuk sebesar 3D dan 5D yang digunakan, kuat geser tanah menjadi meningkat. Kuat geser tanah mengalami penurunan disaat spasi cerucuk yang digunakan semakin besar, dalam hal ini spasi cerucuk yang digunakan lebih dari 5D (spasi 8D). 3. Spasi cerucuk yang digunakan sebesar 5D dapat menghasilkan kuat geser tanah yang lebih besar.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Ashour M dan Ardalan H, (2012) Analysis of pile stabilized slopes based on soil-pile interaction, Computers and Geotechnics-ELSEVIER, 39:85-97.



Bidang Geoteknik- 869



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Bulley, W.A., (1965) Cylindrical Pile Retaining Wall Construction-Seattle Freeway, Paper presented at Roads and Streets Conference, Seattle, Washington. 3. DeBeer, E. E., dan Wallays, M., (1970), Stabilization of a slope in schist by means of bored piles reinforced with steel beams, Proceeding 2nd International Congress Rock Mechanics, Vol. 3, 361-369. 4. Ito, T., Matsui, T., dan Hong, W. P., (1981), Design method for stabilizing piles against landslide - one row of piles, Soils and Foundations, Vol.21, No.l, pp.21-37. 5. Ito, T., Matsui, T., dan Hong, W. P., (1982), Extended design method for multi-row stabilizing piles against landslide, Soils and Foundations, Vol.22, No. 1, pp. 1-13. 6. Kourkoulis, R., Gelagoti, F., Anastasopoulos, I., dan Gazetas, G., (2011), Slope stabilizing piles and pile-groups, Parametric study and design insights, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering, 137(7), 663–678. 7. Mochtar, I. B., (2000), Teknologi Perbaikan Tanah dan Alternatif Perencanaan pada Tanah Bermasalah (Problematic Soils), Penerbit Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, Surabaya. 8. Mochtar, I. B. dan Arya I.W., (2002), Pengaruh penambahan cerucuk terhadap peningkatan kuat geser tanah lunak pada pemodelan di laboratorium, Tesis Bidang Geoteknik, Program Studi Teknik Sipil, Program Pascasarjana ITS Surabaya. 9. Mochtar, I. B., (2010), Masalah Pergerakan Tanah dan Turap Baja di Lereng Tebing Dekat Gedung Squash, Kota Balikpapan, Laporan Penyelidikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat LPPM, ITS, untuk Pemda Kota Balikpapan. 10. Mochtar, I. B., (2011), Kajian Kelongsoran Jalan dan Stabilitas Talud Pada Proyek Pembangunan Jalan dengan Turap, Sepanjang Lokasi Jln.Marsma.Iswahyudi, STA 0+000 s/d 0+796, Kota Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Laporan Penyelidikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat LPPM, ITS, untuk Pemkab Berau. 11. NAVFAC DM-7, (1971), Design Manual, Soil Mechanics, Foundation and Earth Structures, Depth. Of the Naval Facilities Engineering Command, Virginia, USA. 12. Offenberger, J.H, (1981), Hillside stabilized with concrete cylinder pile retaining wall, Public Works, Vol. 112, No. 9, pp. 82-86. 13. Wei W.B. dan Cheng Y.M., (2009), Strength reduction analysis for slope reinforced with one row of piles, Computers and Geotechnics-ELSEVIER, Vol.36 : 1176-1185.



870 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



APLIKASI FUZZY LOGIC UNTUK MEMPERKIRAKAN JUMLAH DAN KEDALAMAN PONDASI TIANG Suwarno1 1



Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email: [email protected]



ABSTRAK Permasalahan yang sering dijumpai dalam merencana pondasi tiang group adalah menentukan konfigurasi (susunan) tiang yang meliputi jumlah tiang, jarak antar tiang, dan kedalaman tiang berdasarkan data tanah yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan program bantu yang praktis untuk menentukan jumlah dan kedalaman tiang sesuai dengan beban rencana yang ada. Program bantu (software) yang diusulkan disini adalah metoda Fuzzy Logic yang ditulis dengan bahasa visual basic dan dijalankan dengan software Matlab 7. Input dari program ini berupa beban vertikal, beban momen arah X dan Y, diameter tiang (sisi untuk tiang persegi), dan ukuran pile cap. Selain itu diinputkan data tanah berupa nilai SPT (Standard Penetration Test), jumlah tiang dalam baris dan kolom, serta angka keamanan daya dukung tiang group yang disyaratkan. Daya dukung tiang dihitung berdasarkan friction (gesekan) saja. Program bantu ini dapat dipergunakan untuk menentukan kedalaman dan jumlah tiang yang optimum. Input data yang dimasukkan adalah reaksi vertikal akibat beban mati dan hidup (dalam contoh kasus ini dipakai beban jembatan standard Bina Marga BM-100 bentang 40 meter). Selain itu diinputkan pula data tanah (nilai SPT) pada setiap kedalaman interval 1 meter serta diameter tiang dan ukuran pile cap.. Software ini dicoba dipakai untuk menentukan kedalaman optimum tiang, dan jumlah tiang (dalam baris dan kolom). Diperoleh hasil yang optimum yaitu tiang sebanyak 13 x 3 buah tiang, dengan kedalaman 42,6 meter untuk tiang berdiameter 45 cm; atau sebanyak 13 x 3 buah tiang dengan kedalaman 41,2 meter untuk tiang berdiameter 50 cm. Variasi jarak antar tiang juga dapat dicobakan dalam program bantu ini sehingga akan diketahui jarak antar tiang yang paling efisien. Dalam contoh kasus diatas hanya dipergunakan jarak antar tiang sebesar 1.70 meter saja. Kata kunci: Fuzzy, logic, tiang, jembatan



1. PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam perencanaan pondasi tiang group, permasalahan yang sering dijumpai adalah konfigurasi (susunan) tiang yang meliputi jumlah tiang, jarak antar tiang dan kedalaman tiang yang mempengaruhi biaya pondasi. Untuk itu diperlukan metode yang praktis sebagai dasar untuk menentukan jumlah dan kedalaman tiang sesuai dengan beban rencana yang ada. Untuk keperluan itu, dibuat suatu cara dengan menggunakan metode fuzzy logic, dengan program Matlab 7 yang kemudian dibuat visualisasinya dalam visual basic. Dalam makalah ini, daya dukung tiang dihitung berdasarkan friction (friction pile) saja. Running program menggunakan input beban jembatan standar Bina Marga BM-100 untuk bentang 40 meter. Ukuran bentang ini diambil karena struktur bangunan bawahnya sebagian besar menggunakan pondasi tiang group.



Bidang Geoteknik- 871



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Permasalahan Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana menentukan konfigurasi (susunan) tiang yang meliputi jumlah tiang, jarak antar tiang dan kedalaman tiang yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Tujuan Mendapatkan konfigurasi (susunan) tiang yang meliputi jumlah tiang, jarak antar tiang dan kedalaman tiang dengan biaya konstruksi sistem pondasi yang paling murah. Batasan Masalah 1. Data tanah yang digunakan adalah data Standar Penetration Test (SPT). 2. Daya dukung tiang pancang hanya dihitung berdasarkan friction (friction pile).



2. DASAR TEORI FUZZY LOGIC. Zadeh (1965) memodifikasi teori himpunan dimana setiap anggotanya memiliki derajat keanggotaan yang bernilai kontinu antara 0 sampai 1. Himpunan ini disebut himpunan kabur (Fuzzy set). Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang input ke dalam suatu ruang output. Antara ruang input dan output terdapat satu kotak hitam yang harus memetakan input ke output yang sesuai. Selama ini, ada beberapa cara yang mampu bekerja pada kotak hitam tersebut antara lain sistem fuzzy, sistem linier, jaringan syaraf, persamaan differensial dan lain-lain. Ada beberapa alasan mengapa orang menggunakan logika fuzzy, antara lain konsep logika fuzzy sederhana, sangat fleksibel; memiliki toleransi terhadap data-data yang tidak tepat. Himpunan Fuzzy Himpunan Crisp dan himpunan Fuzzy. Himpunan Crisp A didefinisikan oleh item-item yang ada pada himpunan itu. Jika a  A , maka nilai yang berhubungan dengan a adalah 1. Namun, jika a  A ,maka nilai yang berhubungan dengan nilai a adalah 0. Himpunan fuzzy akan mencakup bilangan real pada interval [0,1], tidak hanya berada pada 0 atau 1, namun juga nilai yang terletak di antaranya. Fuzzy Linier Programing. Salah satu contoh model linier programing klasik, adalah : Maksimumkan : f(x) = cTx dengan batasan : Ax ≤ b x ≥ 0 dengan c, x  R n , b  R m , A  R mxn A, b dan c adalah bilangan-bilangan Crisp, tanda ≤ pada kasus maksimasi dan tanda ≥ pada kasus minimasi. Kombinasi Pembebanan pada Jembatan Ada 5 kombinasi pembebanan berdasarkan buku Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya yaitu : 1. M + H + Ta 2. M + Ta + Gg + A 3. Kombinasi (I) + Rm + Gg + A 4. M + Tag + Hg 5. M + P1



872 – Bidang Geoteknik



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Lebar abutmen , B = 21,00 m dimana : M = beban mati (dead load) H = beban hidup (live load) Ta = tekanan tanah aktif (dikonversi untuk B abutment) Gg= gaya gesek = 0,15 (M+H) Rmt = gaya rem (traffic force) A = beban angin (wind load) Hg= gaya gempa (earthquake) Perhitungan Daya Dukung Tiang. Perhitungan Daya Dukung Tiang Tunggal. Perhitungan daya dukung tanah memakai metode Luciano Decourt (1982) : QL = QP + QS dimana : QL : Daya dukung tanah maximum pada pondasi QP : Resistance ultimate di dasar pondasi QS : Resistance ultimate akibat lekatan lateral Perhitungan Daya Dukung Tiang Kelompok Dalam kasus ini daya dukung hanya dihitung berdasarkan friction (Qs) sebagai berikut : QL (group) = QL (1 tiang) x n x ε QL (1 tiang) = QS = qS x AS = ( ŇS/3 + 1 ) x AS dimana : qS = Tegangan akibat lekatan lateral dalam t/m2 ŇS = Harga rata - rata sepanjang tiang yang tertanam, dengan batasan : 3 ≤ N ≤ 50 AS = Keliling x panjang tiang yang terbenam (luas selimut tiang) Koefisien efisiensi menggunakan perumusan dari Converse Labarre : D  m  1n  n  1m  ε = 1  arctan   S 90 mn  D : Diameter sebuah tiang pondasi S : Jarak minimum as ke as antar tiang dalam group m : Jumlah baris tiang dalam group n : Jumlah kolom tiang dalam group



Bidang Geoteknik- 873



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



3. METODOLOGI 3.1. Flow Chart STAR T Pengumpulan Data



Data tanah



Pengolahan Data



Data bangunan atas



Data bangunan atas : Pembebanan jembatan standart Bina Marga BM 100



Data tanah : Mendapatkan klasifikasi jenis tanah Mendapat nilai Φ, c, γ, N



Menghitung beban yang bekerja : gaya reaksi Vertikal (V) dan Momen Mx dan My pada bentang 40 meter



Perencanaan Tiang Group dengan fuzzy logic Cek Ulang pada Fuzzy logic



Cek Hasil fuzzy logic dengan Pekerjaan Manual



TIDAK



SESUAI YA



Pemilihan Pondasi dengan fuzzy logic



874 – Bidang Geoteknik



A



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 A



INPUT : V, Mx, My, D, N (SPT), Ukuran pile cap,SF



Algoritma tiap variable (m, n, jarak)



Pemilihan nilai variabel



Kombinasi variabel Perubahan nilai variabel



Parameter pembatas



TIDAK Sesuai



YA Tampilkan Hasil



Stop



Gambar 1. Flowchart metodologi Perancangan pondasi tiang group dengan fuzzy logic dengan urutan pengerjaan sebagai berikut :  Peng-inputan data  Memasukkan algoritma untuk masing-masing variabel.  Kombinasi variabel  Pengecekan hasil perhitungan dengan syarat yang telah ditentukan  Bila sesuai maka ditampilkan hasil.  Cek hasil fuzzy logic dengan desain awal (manual).



4. PERENCANAAN PONDASI JEMBATAN Umum Dalam perencanaan abutment ini akan direncanakan untuk pondasi jembatan standar bina marga dengan panjang bentang 20 meter sebagai contoh. Pembebanan Pembebanan Struktur Atas Beban Mati Dengan menggunakan balok girder Bina marga BM 100 untuk bentang 40 meter.



Bidang Geoteknik- 875



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



CAST IN PLACE CONCRETE PRECAST CONCRETE SLAB PRECAST CONCRETE DIAPHRAGM



S



S



S



S H >=1600



H 2*d; e(i,j,k)=0; elseif lg(i,k)>Pa; e(i,j,k)=0; elseif bg(j,k)>Le; e(i,j,k)=0; elseif e(i,j,k)2*d; p(i,j,k)=0; elseif Le-Bg(j,k)>2*d; p(i,j,k)=0; else p(i,j,k)=r(i,j)+r1(i,j,k)+r2(i,j,k); end end end end



Dari algoritma diatas apabila tidak diberi batasan maka akan menghasilkan matrik dengan ukuran 25 x 25 x 40 4. Menentukan daya dukung tiang tunggal dalam kelompok. for i=1:25; for j=1:25; for k=1:40; for l=1:500; Qg(1,1,k)=x1(k,1); if p(i,j,k)0,60 dan data dinyatakan handal. 5.3 Pembobotan Model Hirarki Jawaban dari setiap responden dihitung rata-ratanya dengan menggunakan rata-rata geometrik. Setelah nilai rata-rata dari jawaban seluruh responden didapat tabulasi data hasil kuisioner, langkah selanjutnya adalah menghitung bobot dan penentuan nilai konsistensi. Maka didapat nilai bobot dan urutan prioritas pada Gambar 5 dan Gambar 6.



SD LH IR VC KT TG



: : : : : :



tingkat kerusakan jalan lalu lintas harian rata-rata tingkat kekasaran jalan tingkat pelayanan jalan kemiringan tanah tata guna lahan



Gambar 5 : Nilai Bobot Kriteria Berdasarkan Pemeliharaan Jalan



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 905



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean SD LH IR VC KT TG



: : : : : :



tingkat kerusakan jalan lalu lintas harian rata-rata tingkat kekasaran jalan tingkat pelayanan jalan kemiringan tanah tata guna lahan



Gambar 6 : Nilai Bobot Kriteria Berdasarkan Peningkatan Kapasitas Jalan



Penanganan Jalan Pemeliharaan Jalan Peningkatan Kapasitas



Tabel 8: Bobot dan Peringkat Keteranga SD LH IR n Bobot 0,34 0,15 0,27 Peringkat 1 3 2 Bobot 0,11 0,32 0,15 Peringkat 4 1 3



VC



KT



TG



0,13 4 0,31 2



0,06 5 0,04 6



0,04 6 0,07 5



5.4 Usulan Prioritas Penanganan Jalan 1. Berdasarkan Pemeliharaan Jalan Berdasarkan hasil analisis maka didapatkan 20 urutan prioritas pemeliharaan jalan lintas utara di Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9: Usulan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Pemeliharaan Jalan No Nama ruas No Nama ruas 1 Jl. K.H. Hasyim Ashari (Pas) 5 Jl. Akses Bandara Juanda 2 Jl. Akses Bandara Juanda Baru 6 Jl. A. Yani (Sda) 3 Jl. Layang Sidoarjo 7 Jl. Jenggolo (Sda) 4 Jl. Mojopahit (Sda) 8 Jl. Rm. Mangun Diprojo (Sda)



No 9 10 11 12 13 14



Tabel 11: (lanjutan) Nama ruas No Nama ruas Waru - Bts. Kota Sidoarjo 15 Jl. A. Yani (Bangil) Jl. Gajah Mada (Sda) 16 Jl. Sisingamangaraja (Jln. Jakarta) Jl. Letjen Suprapto (Pas) 17 Jl. Gresik (Sby) Bts.Probolinggo-Paiton 113+17 - 18 Jl. Demak (Sby) 0+000 - 0+700 113+87 19 Jl. Hos. Cokroaminoto (Pas) Jl. Moch. Yamin (Tbn) 20 Jl. Demak (Sby) 0+700 - 2+520 Jl. Sidorame (Sby)



2. Berdasarkan Peningkatan Kapasitas Jalan Berdasarkan hasil analisis maka didapatkan 20 urutan prioritas peningkatan kapasitas jalan lintas utara di Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 10.



906 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 10: Usulan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Peningkatan Kapasitas Jalan No Nama ruas No Nama ruas 1 Jl. Akses Bandara Juanda Baru 11 Jl. Pattimura (Bangil) 2 Jl. Mojopahit (Sda) 12 Jl. A. Yani (Bangil) 3 Jl. Akses Bandara Juanda 13 Jl. Sidorame (Sby) 4 Jl. Layang Sidoarjo 14 Jl. Untung Suropati (Bangil) 5 Jl. A. Yani (Sda) 15 Jl. Sisingamangaraja (Jln. Jakarta) 6 Jl. Jenggolo (Sda) 16 Jl. Kartini (Bangil) 7 Jl. Rm. Mangun Diprojo (Sda) 17 Jl. Dr. Sutomo (Bangil) 8 Jl. Gajah Mada (Sda) 18 Jl. Letjen Suprapto (Pas) 9 Waru - Bts. Kota Sidoarjo 19 Jl. Sarwojala (Sby) 10 Jl. K.H. Hasyim Ashari (Pas) 20 Jl. Jaksa Agung Suprapto (Bangil) 5.5 Sistem informasi geografis prioritas penanganan jalan SIG prioritas penanganan jalan dilakukan dengan cara menggabungkan SIG jaringan jalan dengan hasil usulan prioritas penanganan jalan. Adapun gambaran dari SIG ini ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut. SIG Jaringan Jalan prioritas penanganan jalan Join Table SIG prioritas penanganan Gambar 7 : Bagan alir SIG Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Pemeliharaan Jalan



Berdasarkan Peningkatan Kapasitas



Gambar 8 : SIG Usulan Prioritas Penanganan Jalan



6.



KESIMPULAN Berdasarkan perhitungan dengan analisis multikriteria, maka diambil kesimpulan: 1. Kriteria yang berpengaruh dalam menentukan urutan prioritas pemeliharaan jalan antara lain : SDI (34%), IRI (27%), LHR (15%), VCR (13%), kemiringan tanah (6%), dan tata guna lahan (4%). Sedangkan kriteria yang berpengaruh dalam menentukan urutan prioritas peningkatan kapasitas jalan antara lain : LHR (32%), VCR (31%), IRI (15%), SDI (11%), tata guna lahan (7%) dan kemiringan tanah (4%).



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 907



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Urutan prioritas 5 (lima) ruas jalan yang berada di urutan tertinggi berdasarkan pemeliharaan jalan antara lain : Jl. K.H. Hasyim Ashari (Pasuruan), Jl. Akses Bandara Juanda Baru, Jl. Layang Sidoarjo, Jl. Mojopahit (Sidoarjo) dan Jl. Akses Bandara Juanda.Urutan prioritas 5 (lima) ruas jalan yang berada di urutan tertinggi berdasarkan peningkatan kapasitas jalan antara lain : Jl. Akses Bandara Juanda Baru, Jl. Mojopahit (Sidoarjo), Jl. Akses Bandara Juanda, Jl. Layang Sidoarjo dan Jl. A. Yani (Sidoarjo).



7.



DAFTAR PUSTAKA 1. Y. Tsai, B. Gao, and J. S. Lai (2004), GIS-Enabled Multi-Year Project-Linked Network Pavement MR & R System, TRB Annual Meeting, no. 404. 2. A. Niju (2006), GIS based Pavement Maintenance & Management System (GPMMS), Unpublished Master Thesis, National Institute Of Technology Calicut. 3. W. Chen, J. Yuan, and M. Li (2012), Application of GIS/GPS in Shanghai Airport Pavement Management System, Procedia Engineering, vol. 29, pp. 2322–2326,. 4. G. W. Flintsch and R. Dymond (2004), Review of State Practices on the Use of GIS for Pavement, TRB Annual Meeting, vol. 7477, no. 1, pp. 1–19. 5. B. Huang, T. F. Fwa, and W. T. Chan (2004), A Mobile GIS-based Pavement Distress Data Collection System, TRB Annual Meeting. 6. Pemerintah Republik Indonesia (2004), Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. 7. Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Keputusan Direktorat Jenderal Bina Marga Nomor 48 Tahun 2011 Tentang Jalan Lintas, Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta. 8. Pemerintah Republik Indonesia (2006), Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. 9. Direktorat Jenderal Bina Marga (2005), Manual Indonesian Integrated Road Management System (IIRMS), Direktorat Bina Program, Jakarta. 10. Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Direktorat Bina Teknik, Jakarta. 11. Departemen Kehutanan (1986), Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Jakarta. 12. Tamin, O.Z. (2000), Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung. 13. Saaty, T.L. (1993), Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks, PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.



908 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS PENGELOLAAN MASYARAKAT BERDASARKAN PERSEPSI PENGELOLA HIMPUNAN PENDUDUK PEMAKAI AIR MINUM (HIPPAM) DI KABUPATEN TULUNGAGUNG Moh. Imam Moklisin1, Tri Joko Wahyu Adi2, dan IDAA Warma Dewanthi3 1



Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected] 2 Dosen pada Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected] 3 Dosen pada Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected]



ABSTRAK Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam pemenuhan sasaran Millenium Development Goals (MDG‘s) 2015 telah mengembangankan sistem penyediaan air bersih perdesaan melalui Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM) yang tersebar di 13 kecamatan di Kabupaten Tulungagung. Kondisi geografis sebagian besar daerah pegunungan dan jauh dari jaringan layanan PDAM menyebabkan pesatnya pertumbuhan HIPPAM diwilayah tersebut. Dukungan Pemerintah dalam peningkatan kinerja pengelolaan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat masih belum bisa dikatakan optimal dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana dari pemerintah. Upaya-upaya keberhasilan pada pengelolaan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat perlu dilakukan, agar pengelolaannya dapat berfungsi optimal serta terjaga kinerja dan keberlanjutannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan HIPPAM dalam mengelola aset infrastruktur air bersih perdesaan di Kabupaten Tulungagung. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan menggunakan survey kuisioner. Responden penelitian adalah ketua badan pengelola HIPPAM. Teknik pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling dengan sampel sebanyak 36 HIPPAM dari 56 HIPPAM. Data kemudian dianalisis menggunakan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan HIPPAM adalah : kemauan masyarakat membayar, inovasi pembiayaan, kuantitas sumber air, biaya operasional dan pemeliharaan serta partisipasi masyarakat. Keluaran penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan masukan bagi pemerintah daerah beserta badan pengelola di daerahnya untuk meningkatkan kinerja pengelolaan yang lebih baik dan berkelanjutan. Kata kunci : air bersih perdesaan, HIPPAM, analisis faktor, Kabupaten Tulungagung



1. PENDAHULUAN Kabupaten Tulungagung sebagian besar merupakan kawasan pegununungan. Kondisi geografis dan struktur tanah pegunungan secara garis besar pada setiap musim kemarau dapat dipastikan selalu terjadi krisis air bersih. Persoalan itu terjadi karena sumber air yang berada di wilayah tersebut berjarak cukup jauh, dan kontinuitas sumber airnya sangat rendah. Bila tiba musim kemarau panjang, mata air dan sungai sebagai sumber air yang ada hanya mengeluarkan air yang sangat sedikit bahkan tidak sama sekali. Pembangunan infrastruktur sistem penyediaan air bersih skala perkotaan maupun perdesaan merupakan upaya strategis Pemerintah dalam percepatan sasaran Millenium Development Goals (MDG‘s) 2015. Salah satu kasus yang terjadi di Kabupaten



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 909



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tulungagung saat ini capaian pelayanan akses air minum layak baru mencapai 48,14% kawasan perkotaan dan 64,16% kawasan perdesaan, sedangkan tingkat pelayanan yang diharapkan sesuai target MDG‘s 2015 adalah sebesar 75,29% untuk wilayah perkotaan dan 65,81% untuk wilayah perdesaan. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam pemenuhan sasaran MDG‘s 2015 telah mengembangankan sistem penyediaan air bersih perdesaan melalui Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM) yang berjumlah 56 HIPPAM yang tersebar di 13 kecamatan. Cikal bakal pesatnya pertumbuhan HIPPAM di Kabupaten Tulungagung, ditunjang oleh kondisi geografis di wilayah tersebut yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan yang rawan akan pemenuhan air bersih dan jauh dari jaringan layanan PDAM. Dukungan Pemerintah dalam peningkatan kinerja pengelolaan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat masih belum bisa dikatakan optimal dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana dari pemerintah. Berkenaan dengan hal diatas, sebagai dasar penelitian ini adalah karena masih banyaknya HIPPAM yang pengelolaannya belum optimal, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan badan pengelola HIPPAM dan belum adanya standart mutu pengelolaan sistem penyediaan air bersih perdesaan dari Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut perlu dicari upaya-upaya keberhasilan apa yang dianggap sebagai penentu keberhasilan pada pengelolaan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Kabupaten Tulungagung.



2. DASAR TEORI 2.1 Analisis Faktor Dalam studi perilaku dan sosial, peneliti membutuhkan pengembangan pengukuran untuk bermacam-macam variabel yang tidak dapat diukur secara langsung, seperti tingkah laku, pendapat, intelegensi, personality dan lain-lain. Faktor analisis adalah metode yang dapat digunakan untuk pengukuran semacam itu. (Subash Sharma, 1996) 2.2 Kaiser Meyer Oikin (KMO) Uji KMO bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan. Hipotesis dari KMO adalah sebagai berikut : Hipotesis Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan Statistik uji : p



p



 r i 1 j 1



p



p



2 ij



p



p



  rij2   a ij2



i 1 j 1 KMO = i  1 j  1 ........................................................................................(1) i = 1, 2, 3, ..., p dan j = 1, 2, ..., p rij = Koefisien korelasi antara variabel i dan j aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j



Apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima Ho sehingga dapat disimpulkan jumlah data telah cukup difaktorkan.



910 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



2.3 Uji Bartlett (Kebebasan Antar Variabel) Uji Bartlett bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X1, X2,…,Xp independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel sama dengan matriks identitas. Sehingga untuk menguji kebebasan antar variabel ini, uji Bartlett menyatakan hipotesis sebagai berikut: H0 : ρ = I H1 : ρ ≠ I Statistik Uji : 1 p rk   rik p  1 i 1 , k = 1, 2,...,p ......................................................................................... 2  rik p ( p  1) i  k ........ ...................................................................................... (2) 2 2 ( p  1) 1  (1  r ) ˆ  p  ( p  2)(1  r ) 2 .................................................................. Dengan : r k = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k dari matrik R (matrik korelasi) r = rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal r











Daerah penolakan : tolak H0 jika p 2 (n  1)  2 2 ˆ T ( r  r )   ( r k  r )    ( p 1) ( p  2 ) / 2;   ik  2 (1  r )  i  k k 1  .................................................(3) Maka variabel-variabel saling berkorelasi hal ini berarti terdapat hubungan antar variabel. Jika H0 ditolak maka analisis multivariat layak untuk digunakan terutama metode analisis komponen utama dan analisis faktor.



3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Variabel penelitian didapatkan dari studi literatur baik dari jurnal maupun dari penelitian terdahulu. Sebelum digunakan sebagai variabel penelitian, terlebih dahulu divalidasi melalui survei pendahuluan oleh 5 responden.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 911



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 1 : Variabel Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17



Indikator Keterjangkauan tarif Kemampuan dan kemauan masyarakat membayar Inovasi Pembiayaan Lembaga dengan kepengurusan yang jelas Peran pemerintah dan swasta Kebijakan dan peraturan pemerintah Kualitas sumber air Kuantitas sumber air Kontinuitas sumber air Konservasi sumber air Biaya operasional dan pemeliharaan Partisipasi Masyarakat Pertumbuhan pelayanan Suplai pasokan air ke pelanggan Tingkat pendidikan pengelola Keahlian pengelola Penghasilan/Gaji pengelola



3.2 Populasi dan sampel Pada penelitian ini populasi yang diteliti adalah kelompok masyarakat pengelola sistem penyediaan air bersih perdesaan atau Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM) di Kabupaten Tulungagung. Adapun jumlah populasi pada studi kasus penelitian ini adalah sebanyak 56 HIPPAM yang tersebar di 13 kecamatan di Kabupaten Tulungagung. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 20 responden yang tersebar di 13 kecamatan dan di pilih berdasarkan random sampling di masing-masing kecamatan. Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Ketua Badan Pengelola HIPPAM selaku pelaksana operasi sistem penyediaan air minum berbasis pengelolaan masyarakat di Kabupaten Tulungagung. 3.3 Proses Analisa Data Proses analisa data dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut ini: Penyebaran kuisioner utama dari hasil survei pendahuluan untuk mencari kelompok faktor variabel-variabel penentu keberhasilan pada pengelolaan sistem penyediaan air minum berbasis masyarakat. Analisis faktor dengan menggunakan bantuan SPSS 19 untuk mereduksi faktor-faktor penelitian. Penggambaran hasil dari analisis faktor kedalam diagram scatter/ matriks untuk mendapatkan faktor-faktor paling dominan. 3.4 Rancangan kueisioner Kuesioner adalah daftar pertanyaan operasional yang ditanyakan pada responden terpilih untuk menjawab hipotesis-hipotesis yang dikembangkan sesuai tujuan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner harus dapat mengumpulkan keterangan-keterangan responden yang diperlukan untuk menghasilkan indikatorindikator atau memenuhi rancangan tabulasi yang ingin dikaji.



912 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Kuisioner dirancang dalam tiga kelompok, yaitu: a) Data pribadi, yaitu pertanyaan terhadap responden mengenai kedudukan atau jabatan, lama pengalaman responden bekerja pada bidang pengelolaan HIPPAM, serta pendidikan responden. b) Data HIPPAM, yaitu tentang data teknis lokasi penelitian dan HIPPAM yang menjadi objek observasi c) Faktor penentu keberhasilan, yaitu poin-poin tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan HIPPAM di Kabupaten Tulungagung, yaitu:



4. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisa Setelah seluruh data diperoleh melalui kuisioner terkumpul, kemudian dilakukan tahap berikutnya, yaitu analisis data. Analisis data menggunakan metode kuantitatif yang dioperasikan dengan menggunakan program SPSS 19 for Windows, untuk mencari faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan pada pengelolaan sistem penyediaan air bersih berbasis mayarakat di Kabupaten Tulungagung. 4.1.1 Profil Responden Prosentase tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah berpendidikan Sarjana yaitu sebanyak 3 orang atau 15% dari responden,, SMA yaitu sebanyak 12 orang atau 60% dari responden, sedangkan yang berpendidikan SMP sebanyak 5 orang atau 25% . 4.1.2 Uji Asumsi Analisis Faktor Analisis faktor mempunyai asumsi yang harus dipenuhi sebelumnya diantaranya yaitu data atau sampel diasumsikan cukup dan antar variabel mempunyai korelasi. 4.1.3 Identifikasi Kecukupan Data Kecukupan data atau samplel dapat diidentifikasi melalui nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA) dan Kaiser-Meyer-Olkin (KMO). Nilai kedua ukuran tersebut bisa didapatkan dengan bantuan software SPSS. Mengacu pada landasan teori bahwa sekelompok data dikatakan memenuhi asumsi kecukupan data adalah jika nilai MSA dan KMO lebih besar daripada 0.5 (J.F.Hair,2006). Berikut ini adalah output nilai MSA dan KMO dari SPSS Tabel 2. Output MSA dan KMO dari SPSS Kaiser's Measure of Sampling Adequacy SPSS 0.600 Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa asumsi kecukupan data telah terpenuhi yaitu dengan melihat nilai MSA dan KMO sebesar 0.6 pada output SPSS. Uji kecukupan data atau sampel telah terpenuhi, berarti salah satu asumsi untuk melanjutkan ke analisis faktor telah terpenuhi.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 913



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 4.2 Identifikasi Korelasi Antar Variabel Antar variabel harus memenuhi asumsi berkorelasi. Untuk membantu mengidentifikasi korelasi antar variabel dignakan bantuan software SPSS, untuk ketiga software yang lain tidak ada output untuk uji korelasi. Berdasarkan landasan teori bahwa hipotesis untuk uji korelasi ini adalah sebagai berikut, H0 : Matriks korelasi adalah matriks identitas H1 : Matriks korelasi bukan matriks identitas Tabel 3 : Output Bartlett‘s Test of Sphericity dari SPSS KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Tes t of Spheric ity



Approx. Chi-Square df Sig.



.680 116.739 28 .000



Dari tabel 2 diketahui bahwa antar variabel yang mempengaruhi keberhasilan HIPPAM telah memenuhi asumsi saling berkorelasi yaitu dengan melihat nilai Sig. 0.000 kurang dari α 0.05 yang berarti tolak H0. Dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor telah terpenuhi. 4.3 Penentuan Banyak Faktor Dengan Eigenvalue Seperti yang dijelaskan di atas penentuan banyak faktor di dasarkan pada nilai eigenvalue dari matriks korelasi antar variabel. Dengan software SPSS diperoleh output nilai eigenvalue seperti yang ditampilkan pada tabel 3 berikut. Tabel 4 : Output SPSS nilai Eigenvalue Matriks Korelasi Eigenvalue Variabel SPSS 1 4.44 2 1.42 3 0.81 4 0.51 5 0.37 6 0.31 7 0.11 8 0.04 Nilai eigenvalue yang diambil untuk menentukan berapa banyaknya faktor yang terbentuk adalah nilai eigenvalue yang lebih besar dari satu (Subhash Sharma, 1996). Jika mengacu pada tabel 3 maka jumlah faktor yang terbentuk sebanyak dua faktor



914 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 4.4 Penentuan Banyak Faktor Dengan Scree Plot Scree plot adalah grafik yang menggambarkan plot nilai eigenvalue dari masing-masing variabel. Software yang menyediakan output scree plot adalah SPSS. Scree Plot of S3, ..., Link 5



Eigenvalue



4



3



2



1



0 1



2



3



4 5 Factor Number



6



7



8



Gambar 1 : Output Scree Plot Minitab Seperti pada pembahasan sebelumnya, untuk menentukan banyak faktor yang terbentuk dapat dilihat pada nilai eigenvalue yang lebih dari satu. Pada gambar 1, dapat dilihat bahwa ada dua variabel yang mempunyai nilai eigenvalue lebih dari satu, jadi ada dua faktor yang terbentuk. 4.5 Pengelompokan Variabel Kedalam Faktor 1 dan Faktor 2 Pada software SPSS metode ekstraksi yang digunakan untuk pembagian variabel adalah principal componen faktoring analysis. Pembagian variabel-variabel ke dalam kelompok faktor tertentu didasarkan pada perbandingan nilai loading faktor secara mutlak mana yang lebih besar antar loading faktor dari faktor 1 dan faktor 2. Pada tabel 4 di bawah ini merupakan output SPSS yang telah melalui proses rotasi varimax dan nilai loading faktor yang dibawah atau sama dengan 0.4 tidak ditampilkan. Apabila belum melalui proses rotasi varimax terdapat nilai loading faktor variabel yang terletak pada faktor 1 dan faktor 2 Tabel 5 : Output SPSS Faktor 1 dan Faktor 2 Rotated Component Matrixa Component 1 2 L1 0.815 L2 0.759 K1 0.945 K2 0.885 K3 0.672 K4 0.756 K5 0.895 K6 0.652



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 915



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Hasil pada tabel 5 adalah hasil pengelompokan variabel-variabel kedalam masingmasing faktor setelah dirotasi varimax, sehingga dengan jelas dapat diketahui anggota variabel-variabel pada faktor 1 dan faktor 2. Nilai loading faktor pada masing-masing faktor 1 dan faktor 2 yang dibawah 0.5 dihapuskan. Tabel 6 : Analisis Faktor Aspek Finasial dan Sumber Daya Manusia No. Komponen Faktor 1 Muat Eigen Keterjangkauan tarif 0.945 4.44 Kemampuan dan kemauan masyarakat 0.885 Faktor 1



No. Faktor 2



membayar Inovasi Pembiayaan Tingkat pendidikan pengelola Keahlian pengelola Penghasilan/Gaji pengelola



0.672 0.756 0.895 0.652



Tabel 7 : Analisis Faktor Aspek Kelembagaan Komponen Faktor 2 Muat Lembaga dengan Kepengurusan yang 0.815 jelas Peran pemerintah dan swasta



Eigen 1.42



0.759



5. KESIMPULAN Dari pembahasan pada bagia sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Dari hasil perhitungan, proses analisa data telah memenuhi uji asumsi kecukupan data yang ditunjukkan dengan nilai KMO 0.6 dan uji asumsi yang ditunjukkan Bartlett‘s test dengan nilai Sig. chi-square 0.000. 2. Faktor umum yang terbentuk sebanyak 2 faktor, hasil ini diperoleh dari nilai eigenvalue dari komponen yang lebih dari 1 ada 2 komponen. Diperoleh juga dari eigenvalue yang digambarkan pada scree plot ada 2 komponen. 3. Secara umum variabel-variabel yang masuk faktor 1 adalah Keterjangkauan tarif, Kemampuan dan kemauan masyarakat membayar, inovasi pembiayaan, tingkat pendidikan pengelola, keahlian pengelola, penghasilan/gaji pengelola, sedangkan pada faktor 2 adalah Lembaga dengan kepengurusan yang jelas, peran pemerintah dan swasta.



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Masduqi, A. (2010), Keberlanjutan Sistem Penyediaan Air Bersih Perpipaan di Perdesaan, Disertasi Doktoral, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 2. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, (1989), Instruksi Gubernur Jawa Timur No. 9 tahun 1989 tentang Pembentukan Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM), Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Surabaya. 3. Pemerintah Kabupaten Tulungagung, (2002), Perda No. 25 tahun 2002 tentang Lembaga Kemasyarakat, dasar aturan pembentukan Baan Pengelolaa Air Minum Perdesaan dan Pengelolaan HIPPAM, Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Tulungagung.



916 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 4. Pemerintah Kabupaten Tulungagung (2014), Laporan Monitoring Pengelolaan HIPPAM di Kabupaten Tulungagung, Dinas PU Bina Marga dan Cipta Karya Kabupaten Tulungagung, Tulungagung. 5. Sharma, S. (1996), Applied Multivariate Techniques, John Wiley & Sons, New York. 6. Wegelin-Schuringa, M. (1998), Community Management Models For Small- Scale Water Supply Systems, Paper For Discusion In Workshop On Public PrivatePartnerships In Service Provision For Community Managed Water Supply Schemes, IRC International Water and Sanitation Centre, Kenya.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 917



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



918 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS PENINGKATAN KINERJA ASPEK OPERASIONAL PDAM DENGAN MENGGUNAKAN LEAN SIGMA (STUDI KASUS PDAM SURYA SEMBADA KOTA SURABAYA) Umi Syarifah 1, I Putu Artama Wiguna2, Joni Hermana3 1



Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil-FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, email : [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 3 Dosen Jurusan Teknik Lingkungan FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya



ABSTRAK PDAM Surya Sembada Kota Surabaya berperan penting dalam menyediakan air bersih bagi penduduk dan perkembangan Kota Surabaya. Berdasarkan hasil evaluasi kinerja BPPSPAM tahun 2013. PDAM Surya Sembada termasuk salah satu dari 176 PDAM di Indonesia yang memiliki kinerja sehat, dengan nilai total kinerja 3,68 (2010); 3,79 (2011); dan 3,87 (2012). Namun dari 4 aspek penilaian yang dilakukan BPPSPAM (aspek keuangan, aspek pelayanan, aspek operasional, dan aspek SDM), bobot kinerja terendah ada pada aspek operasional (hanya 44 – 58%). Secara umum tujuan penelitian ini adalah meninjau lebih jauh kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada dengan mencoba fokus pada permasalahan dominan yang menyebabkan belum maksimalnya kinerja aspek operasional PDAM, serta fokus pada penyederhanaan proses dengan membuang/mengurangi aktifitas non value added /waste. Untuk mengidentifikasi dan menghilangkan aktivitas waste digunakan metode Lean Sigma. Lean digunakan untuk mengidentifikasi dan mereduksi waste dalam proses utamanya, sedangkan Sigma digunakan untuk mereduksi variasi yang timbul dalam proses. Tahapan yang digunakan adalah DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control). Pemahaman proses digambarkan dengan Value Stream Mapping. Dari hasil penelitian dan analisa data, pada tahap define, didapatkan bahwa permasalahan utama yang mempengaruhi kinerja aspek operasional PDAM adalah masalah efisiensi produksi (difokuskan pada kapasitas produksi IPAM yang belum mencukupi kebutuhan pelanggan), dengan nilai rating tertinggi berdasarkan kuesioner yang disebarkan kepada beberapa responden yang terkait langsung dengan kinerja aspek operasional. Sedangkan pada tahap measure diperoleh besarnya gap nilai kinerja aspek operasional PDAM terhadap Permen PU No.18/PRT/2007 > 40%. Dari current stream map dan diagram SIPOC, didapatkan waste berupa over production. Hal ini terlihat dari nilai idle capacity yang cukup besar pada tahun 2013 yaitu sebesar 15,9%. Kata kunci : DMAIC, lean sigma, PDAM Surya Sembada, value stream mapping, waste.



1. PENDAHULUAN Berdasarkan hasil evaluasi kinerja BPPSPAM tahun 2013 terhadap 350 PDAM di Indonesia, PDAM Surya Sembada Kota Surabaya termasuk salah satu dari 176 PDAM di Indonesia yang memiliki kinerja sehat, dengan nilai total kinerja 3,68 (2010); 3,79 (2011); dan 3,87 (2012). Namun dari 4 aspek penilaian yang dilakukan BPPSPAM (aspek keuangan, aspek pelayanan, aspek operasional, dan aspek SDM), bobot kinerja terendah ada pada aspek operasional (hanya 44 – 58%). Dari kinerja aspek operasional PDAM tersebut, nilai kehilangan air setiap tahunnya cukup tinggi berkisar 33-35%. Disamping itu, tekanan sambungan pelangggan juga sangat rendah, berkisar 0,8 – 11 % (sumber : BPPSPAM 2013). PDAM Surya Sembada Kota Surabaya juga memiliki masalah pasokan air untuk dapat memenuhi target MDGs di tahun 2018 dan juga



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 919



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean ancaman krisis air bersih di tahun 2015 karena kurangnya penambahan pasokan air bersih dan terus meningkatnya jumlah pelanggan setiap tahunnya. Melihat kondisi tersebut, dibutuhkan suatu cara terbaik agar kualitas kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya menjadi lebih efektif, efisien, menguntungkan perusahaan, dan meningkatkan kepuasan pelanggan dengan cara meningkatkan kapasitas produksi agar mampu memenuhi cakupan layanan 100% penduduk Kota Surabaya hingga Tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja aspek operasional PDAM Kota Surabaya dengan menggunakan metode Lean Sigma yang merupakan suatu konsep manajemen operasional yang mengkombinasikan antara Lean dan Six Sigma, yaitu suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) melalui peningkatan terus menerus secara radikal. Six Sigma berprinsip pada minimasi penyimpangan (deviasi). Konsep Lean bertujuan mereduksi waste (pemborosan). Value Stream Mapping digunakan untuk menggambarkan sebuah proses termasuk aliran informasi, pekerjaan dan material yang akan sangat membantu untuk bisa mengidentifikasi waste yang terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dirasa perlu untuk meninjau lebih jauh kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya yang ada saat ini dengan mencoba fokus pada permasalahan dominan yang menyebabkan belum maksimalnya kinerja aspek operasional PDAM, serta fokus pada penyederhanaan proses dengan membuang atau mengurangi aktifitas-aktifitas non value added (pemborosan).



2. DASAR TEORI 2.1 Penilaian Kinerja PDAM Berdasarkan SK Mendagri No.47 Tahun 1999 Adapun nilai kinerja tiap aspek ditentukan dengan rumus : Aspek administrasi ( )………………………..............(1) ( ) Aspek teknik/operasional (



)



(



)



(



) ……………………….............(2)



(



) ……………………………….(3)



Aspek keuangan Tingkat keberhasilan PDAM ditentukan atas total nilai kinerja dari ketiga aspek yang ditinjau. Adapun penilaian terhadap tingkat keberhasilan PDAM dibagi atas: Baik sekali, bila memperoleh nilai kinerja > 75 Baik, bila memperoleh nilai kinerja > 60 sampai dengan 75 Cukup, bila memperoleh nilai kinerja > 45 sampai dengan 60 Kurang, bila memperoleh nilai kinerja > 30 sampai dengan 45 Tidak baik, bila memperoleh nilai kinerja ≤ 30 2.2 Penilaian Kinerja PDAM menurut BPPSPAM Indikator ini mengacu pada pasal 59 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM. Aspek Keuangan, dengan bobot 25%, Aspek Pelayanan, bobot 25%, Aspek Operasional, bobot 35%



920 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Aspek Sumber Daya Manusia, bobot 15% Tingkat keberhasilan PDAM, dibagi dalam tiga kategori yakni :  Kategori Sehat, memperoleh nilai lebih besar dari 2,8  Kategori Kurang Sehat, memperoleh nilai antara 2.2 – 2,8  Kategori Sakit, memperoleh nilai kurang dari 2.2 2.3 Lean dan Value Stream Mapping Konsep Lean Thinking dapat diaplikasikan pada perusahaan manufaktur maupun jasa, karena pada dasarnya efisiensi selalu menjadi target yang ingin dicapai oleh semua perusahaan. Dasar pemikiran lean adalah berusaha untuk menghilangkan waste (pemborosan). Diterapkan untuk mewujudkan sebuah Value Stream yang ramping atau Lean. Tujuan dari proses Value Stream Mapping adalah untuk bisa mengcapture semua aliran kunci (pekerjaan, informasi, dan material) dalam proses dan kinerja (Rother, 2009). Secara umum proses ini digambarkan seperti gambar dibawah ini.



Gambar 1: Konsep Value Stream Mapping Menurut George (2002), alat yang dapat dipakai dalam Six Sigma untuk menghasilkan proses mapping yang terbaik adalah Diagram SIPOC (Supplier Input Process Output Costumer). 2.4 Value Added (VA) dan Non Value Added (NVA) Tujuan dari VA dan NVA analysis adalah untuk :  Mengidentifikasi dan menghilangkan biaya tersembunyi yang tidak memberikan nilai tambah  Mengurangi proses yang tidak perlu  Mengurangi waktu response time  Menaikkan tingkat penggunaan sumber daya Dalam upaya menghilangkan waste, adalah penting untuk mengetahui definisi waste dan dimana waste tersebut berada dalam satu proses. Ada 7 macam waste yang didefinisikan oleh Shiego Shingo (Hines & Rich, 2001), yaitu : Over Production, Defect, Unnecessary inventory, Over processing, Excessive transportation, Waiting, Unneessary motion. 2.5 Six Sigma Gagasan utama dibelakang Six Sigma ialah jika kita dapat mengukur berapa banyak cacat yang ada dalam suatu proses, maka dapat digambarkan secara sistematis bagaimana cara menghapuskan cacat tersebut dan bagaimana mendapatkan keluaran yang bebas atau mendekati bebas cacat/zero defect. Dalam pelaksanaan Six Sigma ada 2 model pendekatan, yaitu DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control), dan DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, Verify). Konsep model pendekatan DMAIC seperti pada gambar berikut.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 921



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Gambar 2: Pendekatan Penyelesaian Permasalahan dengan Six Sigma Terdapat beberapa teknik yang merupakan kunci dalam merencanakan dan mengeksekusi proyek-proyek Six Sigma, yaitu : a) Alat-alat untuk menghasilkan ide dan mengorganisasi informasi : brainstorming, fishbone, b) Alat-alat untuk mengumpulkan data : check sheet c) Alat-alat untuk analisis proses dan data : diagram pareto, peta kendali atribut (cchart) d) Alat-alat untuk analisis proses dan data : Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)



3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian menggunakan metode Lean Sigma, yang dimulai dengan tahap define, yaitu dengan mendefinisikan permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi nilai kinerja PDAM dari aspek operasional. Dari beberapa permasalahan tersebut kemudian dilakukan proses pembobotan untuk mencari penyebab dominan yang menyebabkan belum maksimalnya nilai kinerja tersebut. Tahap selanjutnya adalah tahap measure dengan mengukur besarnya deviasi nilai kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya terhadap target yang seharusnya dicapai untuk bisa memenuhi kriteria PDAM sehat berdasarkan pasal 59 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM. Selanjutnya dari penyebab dominan yang diperoleh pada tahap define, penelitian difokuskan pada masalah yang menjadi baseline dan dilakukan penggambaran alur sistem produksi air bersih secara keseluruhan dan digambarkan dalam value stream mapping sehingga bisa menggambarkan current state map operasional perusahaan saat ini dalam memproduksi air bersih. Pada tahap measure juga diakukan proses identifikasi non value added/waste berdasarkan alur current state map dan diagram SIPOC. Tahap selanjutnya adalah tahap analyze yaitu menentukan waste/NVA terbesar yang mempengaruhi kinerja dengan cara pembobotan terhadap hasil wawancara terhadap beberapa stakeholder terkait. Dari waste tersebut, kemudian dilakukan analisa faktorfaktor penyebab terjadinya waste melalui diskusi dengan pihak perusahaan. Tahap terakhir adalah Improve, yaitu dengan merancang perbaikan untuk membantu meningkatkan kinerja aspek operasional PDAM dengan menggunakan tool brainstorming yang melibatkan pihak perusahaan.



922 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Penilaian Kinerja Pelayanan Air Bersih Aspek Operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya Sesuai Kriteria BPPSPAM Hasil evaluasi kinerja PDAM Surya Sembada berdasarkan kriteria BPPSPAM berdasarkan Pasal 59 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 18/PRT/M/2007 tentang penyelenggaran pengembangan SPAM menunjukkan bahwa kinerja PDAM Surya Sembada Kota Surabaya secara keseluruhan mulai dari tahun 2010 hingga 2013 adalah dalam kategori sehat, dengan perolehan nilai > 2,8. Grafik dibawah ini menunjukkan perbandingan nilai kinerja pada lima indikator aspek operasional PDAM berdasarkan kriteria BPPSPAM mulai tahun 2010 hingga tahun 2013.



6 5 4 3



5



5



4



5



5



5



4 standar



3



2010



3



2



2



2



2 1



1



2012 2013



Penggantian Meter Air



Tekanan Sambungan Pelanggan



Jam Operasi Layanan/hari



Tingkat Kehilangan Air



Efisiensi Produksi



0



1



2011



Gambar 3 : Grafik Perbandingan Nilai Kinerja Aspek Operasional PDAM (kriteria BPPSPAM) Dari grafik terlihat bahwa terjadi tren yang cukup fluktuatif, terutama pada indikator tingkat kehilangan air. Secara keseluruhan grafik diatas menunjukkan bahwa nilai kinerja dari tahun 2010 hingga 2013 dibawah standar nilai, hanya pada indikator jam operasi layanan yang mengalami kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2010. Pada indikator efisiensi produksi, mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir dibanding tahun 2010. Begitu pula dengan indikator penggantian meter air pelanggan, terlihat bahwa pada tiga tahun sebelumnya memiliki nilai kinerja 2, namun menurun kembali di tahun 2013 dengan posisi nilai kinerja 1. Sedangkan pada indikator tekanan sambungan pelanggan, posisi nilai kinerja sangat rendah dibanding standar nilai, dengan posisi nilai hanya 1. 4.2 Penilaian Kinerja Pelayanan Air Bersih Aspek Operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya Berdasarkan Kepmendagri 47/1999 Penilaian kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada Kota Surabaya berdasarkan Kepmendagri No. 47 Tahun 1999 meliputi 10 (sepuluh) aspek penilaian. Berikut ini hasil evaluasi kinerja mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 923



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 6



3



2



2



2



1



1



1



2



1



2011 Peneraan meter air



Tingkat kehilangan air



Produksi pemanfaatn instalasi produksi



Kontinuitas air



Kualitas air distribusi



standar Cakupan pelayanan



2



2



2



2012



2013 Rasio karyawan per 1000 pelanggan



3



3



3



4



Kemudahan pelayanan



4



0



5



4



Kemampuan penanganan pengadaan



5



Kecepatan penyambungan baru



5



Gambar 4 : Grafik Perbandingan Nilai Kinerja Aspek Operasional PDAM (Kepemendagri No.47/1999)



Secara keseluruhan grafik diatas menunjukkan bahwa beberapa indikator kinerja (cakupan pelayanan, kemampuan penanganan pengaduan, kemudahan pelayanan, dan rasio karyawan per 1000 pelanggan) dari tahun 2011 hingga 2013 berada pada posisi sesuai standar nilai. Sedangkan untuk 6 indikator lain, berada dibawah standar nilai, dengan posisi 1 hingga 2 poin dibawah nilai standar. Identifikasi Permasalahan yang Mempengaruhi Kinerja Aspek Operasional PDAM (Tahap Define) Dibatasi pada indikator kinerja yang ditetapkan oleh BPPSPAM yang merujuk pada pasal 59 Permen PU No.18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, dimana kriteria dalam menentukan nilai kinerja operasional PDAM terdiri dari 5 kriteria, yaitu efisiensi produksi, tingkat kehilangan air, jam operasi pelayanan, tekanan air pada sambungan pelanggan dan penggantian/kalibrasi meter air pelanggan. 1) Hasil Validasi Kuesioner Tahap Pertama Berikut hasil validasi pakar atau hasil penyusunan kuesioner tahap satu selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1: Variabel Hasil Validasi Pakar KRITERIA A



Efisiensi produksi



B



Tingkat kehilangan air



C



Jam operasi pelayanan Tekanan air pada sambungan pelanggan



D E



Penggantian/kalibrasi meter air pelanggan



VARIABEL Kuantitas air baku tidak mencukupi Kualitas air baku memburuk Kapasitas produksi IPAM belum mencukupi, Distribusi air kurang maksimal Infrastruktur IPAM minim Kebocoran fisik jaringan perpipaan Konsumsi pelanggan lebih besar daripada yang tercatat Pencurian/illegal connection Tingkat pelayanan air kontinyu < 1x 24jam/hari Tekanan air PDAM pada rata-rata pipa pelanggan tidak memenuhi < 0,7 bar 1. Penggantian meter air pelanggan jarang dilakukan 2. Kalibrasi meter air pelanggan jarang dilakukan 3. Akurasi meter air pelanggan tidak terjamin



1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 1. 1.



Sumber : hasil olahan data primer



924 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Sedangkan hasil validasi oleh beberapa pakar tersebut mengenai indikator yang digunakan untuk menentukan variabel dominan adalah sebagai berikut : Tabel 2 : Indikator yang Mempengaruhi Kriteria Hasil Validasi Pakar KRITERIA



Indikator



1



Efisiensi produksi



2



Tingkat kehilangan air



3



Jam operasi pelayanan



4



Tekanan air pada sambungan pelanggan



5



Penggantian/kalibrasi meter air pelanggan



          



Pengaruh terhadap jumlah pelanggan Pengaruh terhadap kepuasan pelanggan Pengaruh terhadap kinerja operasi PDAM Pengaruh terhadap kompetensi PDAM Pengaruh terhadap kelancaran produksi Pengaruh terhadap pendapatan PDAM Pengaruh terhadap kenaikan biaya OP Tingkat kompleksitas masalah Urgensi penanganan Kemungkinan rencana penanganan masalah Besarnya biaya penanganan masalah



Sumber : Hasil olahan data primer 2) Hasil Pembobotan Kriteria Dari variabel diatas, diperoleh data dan informasi mengenai kriteria yang mempengaruhi nilai kinerja aspek operasional PDAM Surya Sembada. Dari 5 kriteria yang ditetapkan oleh BPPSPAM, akan dipilih 3 kriteria utama yang menjadi fokus pembahasan berikutnya, yaitu :  Kriteria efisiensi produksi (masalah ―A‖), dengan skor rata-rata variabel sebesar 0,391,  Kriteria tingkat kehilangan air (masalah ―B‖), dengan skor rata-rata variabel sebesar 0,330  Kriteria jam operasi pelayanan (masalah ―C‖), dengan skor rata-rata variabel sebesar 0,328. Dari ketiga kriteria tadi, dilakukan pembobotan dan peratingan kembali untuk lebih memantapkan masalah yang akan menjadi prioritas penelitian dan fokus pembahasan. Hasilnya adalah sebagai berikut :  efisiensi menempati urutan pertama dengan total bobot 1446, dilanjutan dengan masalah ―B‖ (tingkat kehilangan air) dengan total bobot 1184, dan ketiga masalah ―C‖ (jam operasi layanan) dengan total bobot 880. 3) Hasil Pembobotan Variabel dominan Tabel 3 : Pembobotan tingkat kepentingan variabel VARIABEL (1)



1 (3)



(2)



Responden 2 3 4 (4) (5) (6)



5 (7)



Total (8)



Nilai Ratarata (9)



Bobot (10)



SKOR (11)



1



Kuantitas Air baku



3



3



2



3



2



13



2.6



0.176



0.457



2



Kualitas air baku memburuk



3



3



2



2



2



12



2.4



0.162



0.389



3



Kapasitas produksi IPAM belum mencukupi



5



4



5



4



4



22



4.4



0.297



1.308



4



Distribusi air kurang maksimal



3



3



3



4



3



16



3.2



0.216



0.692



5



Infrastruktur IPAM minim



2



3



2



2



2



11



2.2



0.149



0.327



1



3.173



TOTAL



74



Sumber : hasil analisa



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 925



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



Dari tabel diatas, kemudian dibuat diagram pareto sebagai berikut : 100.00%100%



100% 90%



90%



89.69%



80%



80%



77.43%



70%



70% 63.03%



60%



50%



60% 50%



41.23% 41.23%



40% 30%



40% 30%



21.81% 14.40%



20%



12.27%



20%



10.31%



Infrastrukt ur IPAM minim



Kuantitas Air baku



Kualitas air baku memburuk



0% Distribusi air kurang maksimal



10%



0% Kapasitas produksi IPAM belum mencukupi



10%



frekuensi % akumulatif



Gambar 5 : Diagram Pareto Variabel Penyebab Berdasarkan diagram pareto, ditunjukan secara jelas masalah tertinggi sebesar 41,23% dari seluruh masalah dikarenakan oleh kapasitas produksi IPAM belum mencukupi. 1.3 Pengukuran Capaian Kinerja Aspek Operasional PDAM dan Identifikasi Waste (tahap measure) Pada tahap measure dilakukan tiga kegiatan, yaitu sbb ; 1. Pengukuran Capaian Kinerja Aspek Operasional PDAM Terhadap Target Permen PU No.18/PRT/M/2007 Metode yang dipakai adalah membuat tabulasi perbandingan hasil penilaian kinerja PDAM Surya Sembada Kota Surabaya tahun 2010 hingga tahun 2013 dengan standar penilaian yang ditetapkan sesuai Permen PU No.18/PRT/M/2007 sebagai berikut : Tabel 3 : Tabulasi Gap Nilai Kinerja PDAM terhadap Permen PU 18/PRT/2007 ASPEK



PENCAPAIAN TERHADAP TARGET 2010



2011



2012



2013



KEUANGAN



91.20%



91.20%



91.20%



PELAYANAN



94.00%



90.00%



OPERASIONAL



44.29%



SUMBER DAYA MANUSIA



78.67%



GAP 2010



2011



2012



2013



91.20%



-8.80%



-8.80%



-8.80%



-8.80%



96.00%



84.00%



-6.00%



-10.00%



-4.00%



-16.00%



58.00%



58.29%



62.29%



-55.71%



-42.00%



-41.71%



-37.71%



68.00%



68.00%



68.00%



-21.33%



-32.00%



-32.00%



-32.00%



Sumber : hasil analisis Penjelasan dari adanya gap atau selisih nilai capaian kinerja antara PDAM Surabaya dengan target Permen PU 18/PRT/2007 dapat diuraikan sebagai berikut:  Pencapaian nilai kinerja pada aspek keuangan selalu stabil mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2013 yaitu sebanyak 91,20%, dengan nilai gap yang cukup kecil yaitu 8,80%. Ini menunjukkan bahwa kinerja aspek keuangan PDAM Surabaya selama 4 tahun terakhir sangat bagus karena skor rata-rata mencapai 1,14 dari standar skor maksimum 1,25.



926 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 











Pencapaian nilai kinerja rata-rata pada aspek pelayanan mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2013 yaitu sebanyak 91%, dengan nilai gap yaitu 9%. Penurunan nilai kinerja aspek pelayanan justru terjadi di tahun 2013. Namun demikian, kinerja aspek pelayanan PDAM Surabaya cukup bagus karena skor rata-rata mencapai 1,138 dari standar skor maksimum 1,25. Pencapaian nilai kinerja rata-rata pada aspek operasional mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2013 yaitu sebanyak 55,71%, dengan nilai gap yang sangat besar yaitu 44,29%. Ini menunjukkan bahwa kinerja aspek operasional PDAM Surabaya belum maksimal karena skor rata-rata hanya mencapai 0,975 dari standar skor maksimum 1,75. Namun jika dilihat pada tahun 2013 mengalami kenaikan dibandingkan 3 tahun sebelumnya. Pencapaian nilai kinerja rata-rata pada aspek SDM mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2013 yaitu sebanyak 70,67%, dengan nilai gap 29,33%. Ini menunjukkan bahwa kinerja aspek SDM PDAM Surabaya cukup bagus karena skor rata-rata mencapai 0,53 dari standar skor maksimum 0,75.



1) Penggambaran Alur Sistem dengan Value Stream Mapping Penggambaran current state map dengan value stream mapping ini dilakukan secara sederhana berdasarkan data dan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Kegiatan ini menggunakan konsep Supplier – Process – Costumer. Hasil dari current state map dapat dilihat pada gambar berikut.



Gambar 6: Value Stream Mapping Proses Produksi Air PDAM Kota Surabaya



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 927



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2) Identifikasi Pemborosan (Waste/Non Value Added)



Gambar 7 : Digram SIPOC Kapasitas Produksi PDAM Kota Surabaya Dari diagram SIPOC diatas, didapatkan waste pada proses diatas berupa over production (produksi yang terlalu banyak atau terlalu cepat sehingga menyebabkan inventory berlebih serta terganggunya aliran informasi dan material). Hal ini terlihat dari nilai idle capacity yang cukup besar pada tahun 2013 yaitu sebesar 15,9%.



5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil evaluasi kinerja berdasarkan kriteria BPPSPAM dan Kepmendagri No. 47 Tahun 1999 mulai dari tahun 2010 hingga 2013 menunjukkan bahwa kinerja PDAM Surya Sembada Kota Surabaya secara keseluruhan adalah dalam kategori sehat dan kondisi baik. 2. Dari hasil analisa, kriteria efisiensi produksi merupakan fokus utama permasalahan dominan. Kemudian berdasarkan diagram pareto, masalah tertinggi sebesar 41,23% dari seluruh masalah dikarenakan oleh kapasitas produksi IPAM belum mencukupi. 3. Pencapaian nilai kinerja rata-rata pada aspek operasional mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2013 yaitu sebanyak 55,71%, dengan nilai gap yang sangat besar yaitu 44,29%. Ini menunjukkan bahwa kinerja aspek operasional PDAM Surabaya belum maksimal. 4. Dari current stream map dan diagram SIPOC, didapatkan waste berupa over production. Hal ini terlihat dari nilai idle capacity yang cukup besar pada tahun 2013 yaitu sebesar 15,9%.



928 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



6. DAFTAR PUSTAKA 1. BPPSPAM. (2013). Buku Kinerja PDAM 2013 Wilayah II Pulau Jawa. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta. 2. Ester Agustina Tampubolon. (2013). Implementasi Lean Six Sigma untuk Mengoptimalkan Waktu Pelaksanaan di CoalHandling System PLTU Cilacap. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. 3. Gaspersz,Vincent. (2005). Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi : Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 4. Gaspersz,Vincent. (2002). Pedoman Implementasi Six Sigma : Terintegrasi dengan ISO 9001 : 2000, MBNQA, dan HACCP. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 5. George,M.L. (2002). Lean Six Sigma (Combining Six Sigma Quality with Lean Speed). United States of America : CWL Publishing Enterprises. 6. Perpamsi. (2010). Peta Masalah PDAM Edisi Desember 2010. Jakarta. 7. Sumiarto. (2013). Implementasi Lean Six Sigma Untuk Mengurangi Response Time Pekerjaan Maintenance. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 929



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Halaman ini sengaja dikosongkan



930 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PEMELIHARAAN EMBUNG ( STUDI KASUS : BIDANG OPERASI DAN PEMELIHARAAN BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI BRANTAS ) Wijaya Mudi Putra1, Umboro Lasminto2, Edijatno3 1



Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected]. 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 031-5939925. 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 031-5939925.



ABSTRAK Pemeliharaan embung adalah proses penting dalam siklus manajemen aset embung. Hal ini digunakan untuk mempertahankan fungsi embung agar tetap sesuai perencanaan awal. Dalam Wilayah Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Brantas terdapat 222 embung dan 70 buah embung diantaranya berada pada Bidang Operasi dan Pemeliharaan. Keterbatasan dana dari pemerintah dan kurangnya sumber daya manusia terutama tenaga pengawas dalam pemeliharaan embung berakibat pada lemahnya informasi kondisi embung, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan membuat sebuah alat berbasis teknologi informasi yang dapat membantu mendapatkan informasi setiap embung dengan cepat dan tepat. Metode penelitian menggunakan pengamatan dan melakukan pembuatan model basisdata dari data dan berbagai formulir yang digunakan. Pengambilan keputusan untuk prioritas pemeliharaan mengunakan skor pembobotan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja embung, sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu faktor kondisi fisik 30%, faktor lingkungan 5%, faktor pengelolaan 50%, dan faktor kelembagaan 15%. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah piranti lunak yang dapat digunakan sebagai alat untuk membantu proses pemeliharaan embung, meliputi fungsi pencatatan embung beserta komponennya, pemeliharaan, monitoring, dan pengukuran kinerja dari embung tersebut. Kata kunci : embung, sistem informasi kerusakan embung,



database embung , pemeliharaan embung



1. PENDAHULUAN Pemeliharaan bertujuan untuk mempertahankan fungsi dari aset dalam memberikan manfaat kepada para penggunanya. Pemeliharaan merupakan proses yang berkelanjutan baik dari sisi teknis maupun pembiayaan. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS Brantas) dibawah Direktorat Jendral Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum adalah instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada pengelolaan aset yang berada di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Jumlah aset yang dipelihara oleh bidang O&P pada saat inventarisasi tahun 2013 telah mencapai 500 buah aset infrastruktur. Didalamnya terdapat tujuh puluh penampung air skala kecil atau biasa disebut embung. Luasnya lokasi untuk melakukan monitoring embung yang berguna untuk pemeliharaan dan kurangnya Sumber Daya Manusia merupakan masalah bagi BBWS Brantas, oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah membuat sebuah piranti lunak yang dapat memberikan bantuan mengenai informasi kondisi embung, sehingga dapat memberi masukan dalam mengambil keputusan terkait pemeliharaan embung.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 931



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean



2. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen aset infrastruktur adalah gabungan dari beberapa disiplin ilmu yang bertujuan untuk merumuskan strategi dalam mempertahankan aset infrastruktur seperti fasilitas penampungan dan pengolahan air, jaringan utilitas, pengolahan sampah dan limbah, jalan, jembatan, rel kereta api, dan sebagainya. Proses ini pada umumnya berfokus pada siklus hidup fasilitas secara umum, sedangkan secara khusus berfokus kepada operasi, pemeliharaan , rehabilitasi, dan pengantian. Manajemen aset pada umumnya menerapkan teknologi informasi atau perangkat lunak untuk mengatur dan menerapkan strategi yang akan digunakan, dengan tujuan mempertahankan dan memperpanjang umur infrastruktur yang dikelola sehingga dapat menjaga kualitas hidup para penggunanya dan efisiensi biaya. (Cagle, 2003) Pengertian embung menurut (Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, 1994) merupakan suatu bangunan penampung air hujan dioperasikan selama musim kering untuk berbagai keperluan oleh sekelompok masyarakat. Biasanya embung dibangun melintang pada alur sungai yang memiliki kontur cekungan sehingga dapat menampung air sebanyakbanyaknya dengan tanggul yang dibangun sependek mungkin. Karakteristik tersebut juga terdapat pada bendungan, namun yang membedakan bendungan dengan embung adalah pada batasan-batasan ukuran skala bangunannya, seperti berikut : 1. Daerah Aliran Sungai kurang dari 100 Hektar. 2. Tinggi tanggul kurang dari 10 meter. 3. Volume tampungan air tidak boleh lebih dari 100.000 m3. 4. Panjang jaringan pipa kurang dari 3000 meter. Namun batasan diatas tidak mengikat mengingat di lapangan ada embung yang masuk dalam kriteria bendungan besar namun diberi nama embung atau sebaliknya. Basisdata atau lebih dikenal sebagai database adalah kumpulan data atau informasi yang disusun secara sistematik dan terstruktur sehingga mempermudah pencarian atau pengolahan data berikutnya. Saat ini basisdata lebih banyak menggunakan piranti lunak (software) sebagai media penyimpanan dan pengolahannya, namun sebenarnya kumpulan data di kertas pada sebuah rak lemari yang tertata juga merupakan pengertian dasar dari basisdata. Pada saat ini basisdata lebih banyak menggunakan piranti lunak karena digunakan untuk mengoperasikan data atau informasi yang sangat banyak dan dalam jangka wantu yang lama. Operasi yang digunakan pada basisdata dalam piranti lunak adalah: 1. Masukan data / input. 2. Menyimpan data / storage. 3. Memanggil data yang tersimpan / query. 4. Manajemen data.



3. METODOLOGI Penelitian dimulai dengan melakukan pengamatan yang ada di bidang Operasi dan Pemeliharaan BBWS Brantas, dari pengamatan yang dilakukan maka diperoleh permasalahan yang timbul. Pengumpulan data adalah data sekunder yang berasal dari BBWS Brantas. Data sekunder merupakan data inventaris semua embung yang dioperasikan dan dipelihara oleh bidang O&P BBWS Brantas. Pada analisis data akan dilakukan proses



932 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 pengelompokan komponen-komponen yang dimiliki oleh setiap embung yang masih memiliki hubungan / korelasi yang dekat sehingga akan memudahkan dalam tahap penyusunan skema tabel di basisdata. Untuk memperjelas bagaimana alur penelitian yang dilakukan maka dapat dilihat pada (Gambar 1)



Gambar 2: Diagram alir penelitian



4. PERANCANGAN MODEL Piranti lunak yang dibuat masih mengacu pada desain piranti lunak Pengolah Data Sumber Daya Air 4 (PDSDA 4) dan berbagai form monitoring yang digunakan petugas untuk melakukan monitoring atau perawatan. Langkah tersebut diambil agar para petugas tidak memerlukan waktu lama untuk beradaptasi dengan aplikasi. Modifikasi juga dilakukan agar aplikasi memiliki keleluasaan jika terjadi perubahan untuk waktu kedepan, hal ini sangat diperlukan mengingat pembangunan embung masih terus dilakukan oleh BBWS Brantas yang pada saatnya embung – embung tersebut juga akan dipelihara. Perancangan basisdata secara akan meliputi berbagai hal sebagai berikut :



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 933



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 1. 2. 3. 4. 5.



Pembuatan model tabel Pembuatan relasi antar tabel Pembuatan tampilan antar muka Pembuatan kode pendukung operasi dan kode pengambilan keputusan. Pembuatan laporan.



5. IMPLEMENTASI DAN VALIDASI MODEL 5.1 Implementasi piranti lunak Implementasi adalah tahapan untuk mengetahui apakah piranti lunak yang sudah dirancang dapat memenuhi semua kebutuhan yang ada. Studi kasus yang dilakukan adalah semua embung Bidang O&P BBWS Brantas. Implementasi awal piranti lunak dimulai dengan mengisikan data-data pendukung yang berada dalam menu ―dataset‖ meliputi pengisian data Propinsi, Kabupaten, Wilayah Sungai, komponen, dan sebagainya. Selanjutnya adalah pengisian data embung yang dimiliki oleh BBWS Brantas. Data embung (Gambar 3) meliputi nama embung, kode embung, dan berbagai spesifikasi yang dimiliki oleh embung tersebut. Selanjutnya jika pengisian data awal sudah terlaksana maka kita dapat melanjutkan kepada data-data seperti monitoring dan perawatan dari setiap embung tersebut. Modul perawatan dan monitoring inilah yang diperlukan sebagai data acuan untuk melakukan pengambilan keputusan pada tahap berikutnya.



Gambar 3 : Data embung pada piranti lunak Piranti lunak yang telah dibuat pada saat implementasi akan dioperasikan oleh para petugas, oleh karena itu diperlukan panduan untuk menjelaskan bagaimana melakukan operasi dalam piranti lunak ini. Pada (Gambar 4) menjelaskan bagaimana susunan menu dalam piranti lunak yang dapat dioperasikan oleh para petugas.



934 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Menu Awal



Embung



Jadwal



Inventaris



Laporan



Pemeliharaan



Monitoring



Kondisi



Lokasi



Rutin



Kondisi fisik



Kinerja



Dana



Berkala



Nilai kinerja



Prioritas pemeliharaan



Spesifikasi



Biaya perawatan



Setelan



Daftar embung



Dataset



Bantuan



Nilai hasil kinerja



Komponen



Parameter lain



Gambar 4 : Susunan menu piranti lunak 5.2 Validasi Piranti lunak Validasi piranti lunak diperlukan untuk mengetahui apakah piranti lunak sudah bekerja sesuai alur logika yang diinginkan dan sudah sesuai dengan kondisi lapangan. Pemeriksaan setiap bagian piranti lunak digunakan untuk memberikan jaminan bahwa piranti lunak sudah dapat bekerja sepenuhnya. Validasi akan dibagi dalam dua bagian yaitu : 1. Validasi sistem yaitu validasi yang dilakukan untuk mengetahui apakah pada setiap masukan / input yang diberikan, piranti lunak tersebut memberikan respon keluaran / output sesuai yang diinginkan. 2. Validasi sistem pendukung keputusan yaitu melakukan validasi kepada perhitungan sistem pengambil keputusan, apakah perhitungan yang dilakukan oleh piranti lunak sudah benar. Metode yang digunakan untuk validasi sistem pengambil keputusan adalah dengan menghitung data yang sudah ada secara manual dan akan dibandingkan dengan perhitungan oleh piranti lunak.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 935



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 2 : Perhitungan kinerja embung secara manual Embung Blu’uran Nilai kinerja No



Bobot Indikator (%)



Indikator



A



Prasarana fisik



Skor



Nilai kinerja



30



1



Tubuh embung



19



0,8



15,2



2



Kolam embung



18



0,8



14,4



3



Pelimpah



18



0,8



14,4



4



Saluran pembuang



15



0,8



12



5



Jaringan distribusi



15



0,3



4,5



6



Bangunan pelengkap



15



0,3



4,5



Jumlah B



Lingkungan



65 5



1



DAS



25



0,8



20



2



Sedimentasi



25



0,8



20



3



Curah hujan



25



0,8



20



4



Masyarakat



25



0,8



20



Jumlah C



Pengelolaan



80 50



1



O&P



25



0,6



2



SOP



25



0,4



10



3



Biaya



25



0,7



17,5



4



Pelaporan



25



0,4



10



Jumlah D



Kelembagaan 1



15



52,5 15 25



0,7



17,5



2



Organisasi pengelola Organisasi masyarakat



25



0,3



7,5



3



SDM pengelola



25



0,6



15



4



SDM masyarakat



25



0,3



7,5



Jumlah



47,5



Total nilai kinerja



56,88



Nilai Hasil Kinerja No



Indikator



Bobot Indikator (%)



Skor



Nilai kinerja



1



Kecukupan air



25



0,7



17,5



2



Kapasitas pelayanan



30



0,6



18



3



Kualitas air



20



0,4



8



4



Stabilitas air



25



0,8



20



Total nilai hasil kinerja



936 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



63,5



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



Gambar 5 : Perhitungan kinerja embung menggunakan piranti lunak Dapat dilihat perbandingan hasil perhitungan secara manual (Tabel 1) embung blu‘uran dan perhitungan yang dilakukan oleh piranti lunak (Gambar 4), pada perhitungan manual nilai kinerja embung blu‘uran bernilai 56,88 dan hasil nilai kinerja adalah 63,5. Perolehan perhitungan piranti lunak juga memberikan nilai kinerja embung blu‘uran 56,88 dan nilai hasil kinerja 63,5.



6. KESIMPULAN 1. Pembuatan sistem informasi menggunakan piranti lunak basis data yang melingkupi inventarisasi embung, monitoring, pemeliharaan, dan biaya dapat memerikan informasi yang lebih tepat dan cepat. 2. Prioritas pemeliharaan ditentukan dengan nilai kinerja dan nilai hasil kinerja pada setiap embung.



7. DAFTAR PUSTAKA 1. Cagle, R. F. (2003). Infrastructure Asset Management: An Emerging Direction. AACE International Transactions. 2. Commons, L. A. (2014, maret 1). Bahasa pemrograman. Dipetik april 2014, dari www.wikipedia.org: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_pemrograman 3. Commons, L. A. (2014, april). Visual Basic. Dipetik maret 2014, dari www.wikipedia.org: http://id.wikipedia.org/wiki/Visual_Basic 4. Direktorat jendral SDA Kementerian Pekerjaan Umum. (2007). Pedoman teknis operasi dan pemeliharaan bendung. jakarta: Kementerian PU.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 937



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 5. License, C. C. (2014, maret 2). SQL. Dipetik april 2014, dari www.wikipedia.org: http://en.wikipedia.org/wiki/SQL 6. Litbang Kementerian Pekerjaan Umum. (1994). Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering Di Indonesia. Jakarta. 7. Litbang Kementerian Pekerjaan Umum. (1994). Pedoman Teknis Sederhana Bangunan Pengairan untuk Pedesaan. Jakarta. 8. López, M. H. (2011). The World‘s Technological Capacity to Store, Communicate, and Compute Information. Science (journal) , 332(6025), 60-65. 9. P. R. Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan. Jakarta. 10. P. R. Undang - undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Jakarta. 11. Pusat bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Daring. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. 12. Sawyer, W. /. (2007). Using Information Technology terjemahan Indonesia. ANDI. 13. Setyaningrum, E. (2014). Evaluasi Kinerja Embung Air Baku di Pulau Madura. Surabaya: Magister Manajemen Aset, Teknik Sipil, ITS. 14. Sharman Barker and Martin Shepperd. (2004). The Analytic Hierarchy Process and Almost Dataless Prediction. Empirical Software Engineering Research Group, Bournemouth University.



15. Unit Data Sumber Daya Air. (2009). Panduan Penggunaan Pengelola Data Sumber Daya Air Versi 4. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum.



938 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



PENILAIAN RUAS JALAN MERR IIC STA.1+800 SAMPAI DENGAN STA.6+450 DENGAN METODE PENDEKATAN DEPRECIATE REPLACEMENT COST Agung Anca Wiguno1, I Putu Artama Wiguna2, dan Retno Indryani3 1



Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected] 2 Dosen pada Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected] 3 Dosen pada Jurusan Teknik Sipil - FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, [email protected]



ABSTRAK Sebagai pertanggung jawaban penggunaan anggaran, setiap tahun Pemerintah Indonesia menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hasil LKPP dipublikasikan kepada masyarakat luas melalui situs-situs resmi pemerintah sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk membuat LKPP yang akurat, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu jenis barang milik Negara (BMN) yang jumlahnya cukup banyak serta memiliki nilai yang cukup signifikan adalah aset infrastruktur yaitu aset yang dimaksudkan sebagai sarana utilitas utama publik seperti jalan, jembatan, jaringan saluran air dan jaringan listrik. Jalan merupakan aset infrastruktur dengan nilai terbesar sehingga agar nilai jalan yang dilaporkan akurat, maka perlu dilakukan perhitungan nilai wajar aset jalan. Ruas jalan MERR IIC dibangun mulai tahun 2008 dan hingga saat ini belum selesai 100%, namun sejak tahun 2009 sudah dioperasikan secara bertahap. Sampai saat ini, lokasi yang sudah dioperasikan adalah STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 sepanjang 4,65 KM. Sementara itu, hingga saat ini, belum dilakukan perhitungan nilai wajar untuk ruas jalan tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menganalisa nilai wajar konstuksi jalan dan jembatan. Karena jalan dan jembatan adalah properti khusus, maka digunakan metode Depreciate Replacement Cost (DRC) disertai dengan observasi langsung di lapangan untuk menganalisa estimasi nilai penyusutan jalan dan engineering breakdown method untuk estimasi nilai penyusutan jembatan. Dengan pelaksanaan penelitian ini, didapatkan hasil yaitu biaya pembangunan kembali atau GRC ruas jalan MERR IIC STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 adalah sebesar Rp. 255.092.546.889,40; nilai penyusutan ruas jalan adalah sebesar Rp. 9.526.632.667,60; serta nilai wajar atau DRC adalah sebesar Rp. 245.565.914.221,80. Dari hasil penilaian ini diharapkan bisa memberi masukan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dalam proses penilaian jalan dan jembatan.



Kata kunci : nilai wajar jalan, penilaian jalan, DRC



1. PENDAHULUAN Ruas jalan MERR (Middle East Ring Road) IIC merupakan salah satu ruas jalan non tol yang memiliki nilai strategis karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan Kabupaten Sidoarjo, Surabaya bagian selatan, Surabaya bagian timur, serta Surabaya bagian Utara seiring dengan pertambahan volume lalu lintas di jalan-jalan protokol Surabaya dan kemacetan yang rutin terjadi pada jam-jam sibuk. Hingga saat ini, belum dilakukan penghitungan nilai wajar ruas jalan MERR IIC tercatat pada SIMAK BMN (Sistem Informasi Akuntansi Barang Milik Negara). Oleh karena itu, penting untuk melakukan penilaian ruas jalan MERR IIC dengan menggunakan metode DRC.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 939



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tujuan dari penelitian ini adalah : Mendapatkan nilai pembangunan kembali jalan dan jembatan Mengetahui kondisi fisik dan nilai penyusutan jalan dan jembatan Mengetahui nilai wajar jalan dan jembatan dengan metode DRC.



2. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan estimasi nilai wajar konstruksi ruas jalan, yang terdiri atas nilai wajar konstruksi jalan dan nilai wajar konstruksi jembatan. Agar didapatkan estimasi nilai wajar, maka diperlukan analisa untuk mendapatkan GRC (Gross Reproduction Cost) dan penyusutan. Untuk lebih jelasnya, bagan alur penelitian dapat pada Gambar 0.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan Tujuan Penelitian Studi Literatur



Pengumpulan Data Primer Kondisi Jalan ( jenis & kuantitas kerusakan) Spesifikasi (jenis & volume pekerjaan)



Pengumpulan Data Sekunder  Spesifikasi (Gambar potongan melintang jalan, gambar desain jembatan)  Data historis jalan (spesifikasi peningkatan struktur, spesifikasi pelebaran)  Data historis jembatan (tahun pembangunan, tahun renovasi)



Estimasi Biaya Reproduksi (GRC) (biaya langsung & tidak langsung)



940 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



A



A Jalan



Jembatan Analisa penyusutan (fisik dan fungsional)



Analisa penyusutan (metode engineering breakdown)



Biaya Reproduksi Terdepresiasi (DRC: Depreciate Replacement Cost) DRC = GRC - penyusutan



Biaya Reproduksi Terdepresiasi (DRC: Depreciate Replacement Cost) DRC = GRC - penyusutan



Indikasi Nilai Wajar Jalan



Indikasi Nilai Wajar Jembatan



Estimasi nilai Wajar ruas jalan MERR IIC STA.1+800 sampai dengan STA.6+450



Kesimpulan & saran



Gambar 0.1: Bagan Alir Penelitian Sumber dan Cara Pengumpulan Data 1. Untuk nilai bangunan jalan dan jembatan, data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari analisa gambar rencana dari proyek pembangunan ruas jalan yaitu berupa spek jalan dan jembatan yang meliputi ukuran konstruksi, jenis konstruksi, desain, jumlah peralatan yang digunakan, dan material yang digunakan untuk membangun konstruksi. Selain itu diperlukan juga wawancara dengan petugas satuan kerja tentang RAB (Rencana Anggaran Biaya) pembangunan. Sedangkan data sekunder yaitu berupa daftar harga satuan material, upah, sewa alat, serta jenis-jenis pekerjaan yang diperlukan dalam pembangunan konstruksi jalan dan jembatan. 2. Untuk nilai penyusutan konstruksi jalan dan jembatan, data yang diperlukan adalah data primer dan sekunder. Data primer yaitu hasil observasi langsung (observed condition breakdown method) atas kondisi fisik jalan. Metode survey jalan yang dipakai mengacu pada Manual Pemeliharaan Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Propinsi Nomor 001/T/Bt/1995 dari Direktorat Jenderal Bina Marga. Sedangkan data sekunder yaitu data historis pembangunan dan renovasi jembatan yang terdapat pada ruas jalan MERR IIC. Analisis Biaya Pembangunan Kembali Biaya pembangunan kembali atau Gross Replacement Cost (GRC) diperlukan dalam rangka menghitung nilai wajar jalan. Dari data sekunder berupa RAB pembangunan jalan dan jembatan, didapatkan data berupa jenis dan volume pekerjaan serta material yang diperlukan dalam pembangunan. Selanjutnya dianalis dengan menggunakan biaya



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 941



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean satuan sehingga didapatkan biaya pembangunan jalan dan jembatan baru (Gross Replacement Cost/GRC). Biaya satuan didapatkan dari Analisa Harga Satuan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum. .....(1) GRC konstruksi jalan merupakan biaya dikeluarkan untuk membangun konstruksi jalan yang menyerupai dengan konstruksi jalan properti subjek. GRC konstruksi jalan dapat diestimasi dengan metode survey kuantitas yaitu dengan menghitung komponenkomponen pekerjaan secara detail dalam pembangunan konstruksi tersebut. Secara umum, pekerjaan pembangunan konstuksi jalan terdiri atas beberapa divisi, yaitu divisi umum, divisi drainase, divisi pekerjaan tanah, divisi pelebaran dan bahu jalan, divisi perkerasan berbutir, divisi perkerasan aspal, divisi pekerjaan struktur, serta divisi pengembalian kondisi dan pekerjaan minor. Masing-masing divisi terdiri atas beberapa pekerjaan. GRC konstruksi jalan pada dasarnya merupakan penjumlahan dari harga yang harus dibayarkan pada masing-masing pekerjaan tersebut, dengan rumus sebagai berikut:



.................................(2) Harga pekerjaan pada masing-masing divisi tersebut terkait dengan harga satuan pekerjaan serta kuantitas pekerjaan dengan rumus sebagai berikut: .........................(3) GRC konstruksi jembatan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membangun konstruksi jembatan. Secara umum, pembangunan konstruksi jembatan terdiri atas 2 komponen utama, yaitu struktur bawah yang terdiri atas abuthment, wing wall, timbunan, serta struktur atas yang terdiri atas gelagar, plat beton, lapis aspal, dan expansion joint. Dengan demikian, maka GRC konstuksi jembatan merupakan penjumlahan harga masing-masing komponen penyusunnya atau dirumuskan sebagai berikut: ...................................(4)



Analisa Penyusutan Jalan dan Jembatan Penyusutan konstruksi jalan diestimasi dengan menggunakan metode rinci terlihat, yaitu berdasarkan keusangan fisik yang terjadi dan dengan metode garis lurus. Keusangan fisik dianalisa dari data kerusakan yang terjadi pada konstruksi jalan kemudian dilakukan analisa biaya perbaikan untuk mengembalikan kondisi jalan ke kondisi semula, atau dirumuskan sebagai berikut: .................(5)



Sedangkan untuk estimasi penyusutan menggunakan metode garis lurus, memakai asumsi bahwa nilai penyusutan jalan dan jembatan tiap tahun sepanjang umur rencana adalah sama.



942 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 ........................................................................(6) Umur efektif masing-masing komponen dihitung dengan menggunakan rumusan dalam Daftar Komponen Penilaian Bangunan DJKN sebagai berikut: (



)



(



)



...........(7) Perhitungan Depreciate Replacement Cost (DRC) Pada prinsipnya, dengan pendekatan biaya, penilai membuat estimasi nilai dengan membandingkan biaya yang diperlukan untuk membangun properti baru untuk menggantikan properti yang ada. Nilai properti diperoleh dengan mengestimasi biaya penggantian baru bangunan (Gross Replacement Cost/GRC) dikurangi dengan penyusutan atau depresiasi. – ..........................................................................................(8)



3. PRESENTASI DATA Sesuai rencana, panjang ruas jalan MERR IIC adalah 6,45 KM. Namun hingga saat ini baru selesai 4,65 KM. Sehingga lokasi penelitian yang dipakai adalah ruas jalan MERR IIC mulai STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 sepanjang 4,65 KM. Gambaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 0.2.



Gambar 0.2: Lokasi Penelitian Program pembangunan fisik ruas Jalan MERR IIC melalui beberapa tahapan, dimulai dari tahun 2008. Hingga kini penyelesaiannya belum 100%, tetapi sudah dioperasionalkan mulai tahun 2009 pada segmen yang sudah selesai dibangun. Tahaptahap pembangunan fisik ruas Jalan MERR IIC dapat dilihat pada tabel 03.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 943



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 0.3: Realisasi Pelaksanaan Pembangunan Ruas Jalan MERR IIC Tahap



Tahun realisasi



I



2008-2009



II



2010



III



2011



IV



2011



V



2012



VI



2013



Lokasi STA 1+800 – 2+250 STA 3+500 – 5+200 STA 2+250 – 2+840 STA 5+200 – 6+185 STA 6+185 – 6+500 STA 2+840 – 3+500 STA 2+225 – 2+350 STA 6+300 – 6+500 STA 0+000 – 0+200 STA 2+850 – 3+100 STA 1+725 – 1+825



Panjang



Anggaran Dana



2,185 KM



95 M



1,575 KM



25,5 M



0,315 KM 0,66 KM 0,125 KM 0,2 KM



3,4 M



0,36 KM



9,8 M



0,1 KM



8,6 M



10,8 M



Sumber: SNVT PJN Metropolitan 1 Surabaya, 2014 Pada ruas jalan MERR IIC mulai STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 sepanjang 4,65 KM terdapat tiga buah jembatan. Ketiga jembatan tersebut dibangun pada Tahap I, yaitu tahun 2008-2009. Daftar ketiga jembatan terlihat pada Tabel 0.4. Tabel 0.4: Daftar Jembatan pada Ruas Jalan MERR IIC STA.1+800 - STA.6+450 No. Nama Jembatan



Tipe Jembatan



Lokasi



1. 2. 3.



Gelagar Beton Gelagar Beton Gelagar Beton



STA.3+950 STA.4+100 STA.4+350



Jembatan Sungai Pondok Nirwana Jembatan MERR IIC Jembatan Sungai Semampir



Panjang Bentang (m) 16 117 16



Sumber: gambar rencana proyek ruas jalan MERR IIC (Kementerian PU, 2008)



4. ANALISA DATA Analisa Biaya Pembangunan Kembali Konstruksi Jalan Perhitungan Volume Pekerjaan Langkah pertama dalam menganalisis biaya pembangunan kembali atau Gross Replacement Cost (GRC) adalah menghitung volume pekerjaan pembangunan, termasuk jika ada kegiatan peningkatan jalan. Pada penelitian ini, data volume pekerjaan diambil dari RAB pembangunan ruas jalan MERR IIC. Pekerjaan pembangunan konstruksi jalan dilakukan pada tahap I sampai dengan tahap VI (sesuai dengan tabel 03.



944 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Tabel 0.3). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan petugas satker, pada ruas jalan MERR IIC belum pernah ada kegiatan peningkatan jalan. Dari masing-masing RAB tiap tahap, diambil volume untuk masing-masing pekerjaan pada pembangunan ruas jalan MERR IIC. Analisa Harga Satuan Setelah didapatkan data volume pekerjaan yang telah didapatkan untuk masing-masing tahap pembangunan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa harga satuan untuk masing-masing pekerjaan pembangunan konstruksi jalan. Data yang dibutuhkan adalah harga satuan dasar alat, upah, dan bahan tahun 2014 yang didapatkan dari P2JN Provinsi Jawa Timur. Perhitungan Biaya Pembangunan Kembali Dengan didapatkannya volume pekerjaan dan harga satuan pekerjaan, maka dilakukan perhitungan GRC konstruksi jalan sesuai dengan persamaan 2 dan 3. Untuk pekerjaan yang tidak diketahui rincian volumenya (Lump Sum) atau pekerjaan dengan spesifikasi khusus, maka dilakukan perhitungan dimana harga pada saat pembangunan ditambah dengan inflasi tahun berjalan. Setelah dilakukan perhitungan untuk masing-masing itemitem pekerjaan di masing-masing divisi, didapatkan data GRC untuk konstruksi jalan secara keseluruhan (Tahap I – Tahap VI) seperti terlihat pada Error! Reference source not found.. Tabel 0.5 GRC Tiap Tahap Pembangunan TAHAP BANGUN I II III IV V VI TOTAL



GRC (Rp.) 84.667.433.807 61.743.867.927 8.557.295.186 23.201.015.222 15.156.244.948 9.880.935.891 203.206.792.981



Sumber: Analisis data sekunder Konstruksi Jembatan Perhitungan Volume Pekerjaan Seluruh pekerjaan pembangunan jembatan dilakukan pada tahap I, yaitu tahun 20082009. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas satker, pada jembatan di ruas jalan MERR IIC belum pernah ada kegiatan peningkatan jembatan. Sehingga data volume pekerjaan pembangunan didapat dari RAB pembangunan jembatan saja. Analisa Harga Satuan Dari data volume pekerjaan pembangunan jembatan yang telah didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa harga satuan untuk masing-masing pekerjaan pembangunan konstruksi jembatan. Data yang dibutuhkan adalah harga satuan dasar alat, upah, dan bahan tahun 2014 yang berkaitan dengan pembangunan jembatan. Data ini diperoleh dari satker P2JN Provinsi Jawa Timur. Perhitungan Biaya Pembangunan Kembali (Gross Replacement Cost/GRC) Setelah didapatkan volume pekerjaan dan harga satuan pekerjaan, maka dilakukan perhitungan biaya pembangunan kembali (Gross Replacement Cost/GRC) konstruksi jalan sesuai dengan persamaan 2,3 dan 4. Untuk pekerjaan yang tidak diketahui rincian volumenya (Lump Sum) atau pekerjaan dengan spesifikasi khusus, maka dilakukan perhitungan terpisah dimana harga pada saat pembangunan ditambah dengan inflasi



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 945



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean tahun berjalan. Dari analisa didapatkan GRC kontruksi jembatan adalah Rp. 51.885.753.908,56 Tabel 0.6 GRC Konstruksi Jembatan Tiap Divisi Pekerjaan NO. DIVISI DIVISI DIVISI DIVISI DIVISI



URAIAN / JENIS PEKERJAAN 2 3 6 7 8



PEKERJAAN DRAINASE PEKERJAAN TANAH PERKERASAN ASPAL STRUKTUR PENGEMB. KONDISI & PEK. MINOR TOTAL PPN 10% TOTAL + PPN 10%



Sumber: analisis data sekunder



946 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



JUMLAH HARGA (Rp.) 23.510.595,26 459.369.007,93 93.930.528,02 46.059.541.720,34 532.515.338,04 47.168.867.189,60 4.716.886.718,96 51.885.753.908,56



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Analisis Kondisi Fisik dan Nilai Penyusutan Kondisi Fisik Jalan Dalam rangka perhitungan nilai penyusutan, maka pada tanggal 8 Desember 2014 dilakukan survey untuk mengetahui kondisi fisik jalan. Berhubung usia ruas jalan MERR IIC masih relatif baru, mayoritas kerusakan hanya pada lapisan atas (AC-WC) berupa lubang dan marka jalan yang hilang. Diasumsikan kerataan permukaan dan lendutan masih normal. Hasil dari survey kondisi jalan dapat dilihat pada Tabel 0.7. Tabel 0.7 Hasil Survey Kondisi Ruas Jalan MERR IIC TAHAP BANGUN I II III IV V VI Total



Panjang Jalan (m) 2150 1575 315 985 450 100 5575



Volume Kerusakan Kiri



Kanan



Total



AC WC



Marka



AC WC



Marka



AC WC



Marka



(m2 )



Jalan (m2 )



(m2 )



Jalan (m2 )



(m2 )



Jalan (m2 )



32 2 0 3,8 0 0 37,8



36 30 5 27 7 15 120



21 1,25 0 32,25 0 0 54,5



30 24 12 24 15 6 111



53 3,25 0 36,05 0 0 92,3



66 54 17 51 22 21 231



Sumber: Hasil survey kondisi jalan (2014),diolah



Tahap



Tahun realisasi



I



2008-2009



Dari pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa total kerusakan fisik jalan II berupa lapisan AC-WC adalah 92,3 m2 dan marka jalan seluas 231 m2. Kondisi III perlengkapan jalan, trotoar, dan drainase diasumsikan tidak ada kerusakan.



2010 2011



S



S



S



S



S



S IV



Nilai Penyusutan Jalan Penyusutan Akibat Kerusakan Jalan V Nilai penyusutan jalan akibat kerusakan dianalogikan dengan biaya perbaikan VI kerusakan tersebut. Biaya satuan untuk perbaikan yang dipakai diasumsikan sama dengan biaya satuan untuk pekerjaan pembangunan jalan. Perhitungan nilai penyusutan jalan akibat kerusakan dapat dilihat pada Tabel 0.8. Tabel 0.8 Perhitungan Nilai Penyusutan Jalan Akibat Kerusakan TAHAP BANGUN



I II III IV V VI TOTAL



Jenis Pekerjaan Lapisan AC-WC Marka Jalan VOLUME HARGA VOLUME HARGA (m2) SATUAN (Rp.) (m2) SATUAN (Rp.) a b c d 53 65.430,00 66 269.361,66 3,25 65.430,00 54 269.361,66 0 65.430,00 17 269.361,66 36,05 65.430,00 51 269.361,66 0 65.430,00 22 269.361,66 0 65.430,00 21 269.361,66 92,3 65.430,00 231 269.361,66



JUMLAH HARGA (Rp.) e=(a*b)+(c*d) 21.245.659,36 14.758.176,98 4.579.148,17 16.096.196,01 5.925.956,45 5.656.594,80 68.261.731,77



Sumber: Hasil survey (2014), diolah Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai penyusutan akibat kerusakan jalan adalah sebesar Rp. 68.261.731,77 yang terdiri atas kerusakan lapisan AC-WC dan marka jalan. Penyusutan Akibat Keausan Permukaan Seiring dengan bertambahnya usia konstruksi jalan, maka konstruksi jalan khususnya perkerasan aspal mengalami keausan. Penghitungan penyusutan konstruksi jalan karena keausan menggunakan metode penyusutan garis lurus sesuai dengan persamaan 6. Selengkapnya, perhitungannya dapat dilihat padaTabel 0.9.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 947



2011



S



S 2012 2013



S



S



S



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tabel 0.9 Perhitungan Penyusutan Konstruksi Jalan Akibat Keausan URAIAN / JENIS PEKERJAAN



SATUAN



VOLUME BANGUN



HARGA SATUAN (Rp.) b



a



GRC (Rp.)



UMUR EFEKTIF (TAHUN)



c=a*b



d



UMUR RENCANA NILAI PENYUSUTAN (TAHUN) e



f=d/e*c



TAHAP I (Tahun 2009) Lapis Resap Pengikat Lapis Perekat Laston Lapis Aus AC-WC t = 5 cm modifikasi Laston Lapis Antara (AC-BC) Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap I



ltr ltr m2 m3



48.252,71 18.350,30 45.585,06 4.393,03



12.498,11 12.214,13 65.430,00 480.975,81



603.067.739,64 224.133.020,65 2.982.630.774,82 2.112.940.346,54



5 5 5 5



10 10 10 10



301.533.869,82 112.066.510,33 1.491.315.387,41 1.056.470.173,27 2.961.385.940,83



ltr ltr m2 m3



29.018,65 11.607,46 29.018,65 2.901,86



12.498,11 12.214,13 65.430,00 480.975,81



362.678.298,63 141.775.048,48 1.898.690.269,50 1.395.724.454,90



4 4 4 4



10 10 10 10



145.071.319,45 56.710.019,39 759.476.107,80 558.289.781,96 1.519.547.228,60



4.800,00 1.920,00 515,00 1.032,00 84,50 29.274,20



12.498,11 12.214,13 486.271,23 481.761,35 9.991.000,00 1.466,82



59.990.931,12 23.451.133,42 250.429.684,22 497.177.713,03 844.239.500,00 42.939.982,04



3 3 3 3 3 3



10 10 10 10 10 10



17.997.279,34 7.035.340,02 75.128.905,27 149.153.313,91 253.271.850,00 12.881.994,61 515.468.683,15



12.500,00 4.040,00 1.340,00 2.150,00 208,00 71.630,00



12.498,11 12.214,13 486.271,23 481.761,35 9.991.000,00 1.466,82



156.226.383,13 49.345.093,23 651.603.450,20 1.035.786.902,15 2.078.128.000,00 105.068.316,60



3 3 3 3 3 3



10 10 10 10 10 10



46.867.914,94 14.803.527,97 195.481.035,06 310.736.070,65 623.438.400,00 31.520.494,98 1.222.847.443,60



4.055,00 1.988,00 873,54 1.270,36 124,96 43.375,61



12.498,11 12.214,13 486.271,23 481.761,35 9.991.000,00 1.466,82



50.679.838,69 24.281.694,39 424.777.371,56 612.010.348,38 1.248.475.360,00 63.624.212,26



2 2 2 2 2 2



10 10 10 10 10 10



10.135.967,74 4.856.338,88 84.955.474,31 122.402.069,68 249.695.072,00 12.724.842,45 484.769.765,06



TAHAP II (Tahun 2010) Lapis Resap Pengikat Lapis Perekat Laston Lapis Aus AC-WC t = 5 cm modifikasi Laston Lapis Antara (AC-BC) Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap II



TAHAP III (Tahun 2011) Lapis Resap Pengikat ltr Lapis Perekat ltr Laston Lapis Aus Modifikasi (AC-WC Mod) (gradasi halus/kasar) ton Laston Lapis Antara Modifikasi (AC-BC Mod)(gradasi halus/kasar) ton Aspal Modifikasi ton Bahan Pengisi (Filler) Tambahan( Semen ) kg Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap III



TAHAP IV (Tahun 2011) Lapis Resap Pengikat ltr Lapis Perekat ltr Laston Lapis Aus Modifikasi (AC-WC Mod) (gradasi halus/kasar) ton Laston Lapis Antara Modifikasi (AC-BC Mod)(gradasi halus/kasar) ton Aspal Modifikasi ton Bahan Pengisi (Filler) Tambahan( Semen ) kg Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap IV



TAHAP V (Tahun 2012) Lapis Resap Pengikat ltr Lapis Perekat ltr Laston Lapis Aus Modifikasi (AC-WC Mod) (gradasi halus/kasar) ton Laston Lapis Antara Modifikasi (AC-BC Mod)(gradasi halus/kasar) ton Aspal Modifikasi ton Bahan Pengisi (Filler) Tambahan( Semen ) kg Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap V



TAHAP VI (Tahun 2013) Tidak ada pekerjaan perkerasan aspal Jumlah Penyusutan Perkerasan Aspal Tahap V



-



TOTAL PENYUSUTAN PERKERASAN ASPAL



6.704.019.061,23



Sumber: analisis data primer dan sekunder Pembangunan perkerasan aspal pada ruas jalan MERR IIC STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 berlangsung selama lima tahap (dari tahun 2008-2012). Pada tahap VI (tahun 2013), tidak ada pekerjaan pembangunan perkerasan aspal. Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa total penyusutan konstruksi jalan akibat keausan adalah sebesar Rp. 6.704.019.061,23. Nilai Penyusutan Jembatan Penyusutan konstruksi jembatan dianalisa dengan menggunakan engineering breakdown method, yaitu dengan melakukan pembobotan antara bangunan atas dan bangunan bawah berdasarkan nilai GRCnya. Data komponen jembatan, kuantitas, dan umur efektif serta umur ekonomis didapatkan melalui pengumpulan data sekunder dan wawancara dengan petugas SNVT PJN Metropolitan 1 Surabaya dan konsultan yang mengerjakan DED pembangunan ruas jalan MERR IIC. Selanjutnya dengan persamaan 6 didapatkan hasil pada Tabel 0.10. Tabel 0.10 Analisa Penyusutan Konstruksi Jembatan Tipe



GRC



Bobot



Tahun Umur Tahun Tahun Umur Efektif Perbaikan Ekonomis Penyusutan (Rp.) Penilaian Pembuatan (Thn) Berkala (Thn)



Bangunan Atas



32.411.607.305,98



62,37%



2014



2009



-



5



50



Bangunan Bawah



19.474.146.602,57



37,63%



2014



2009



-



5



50



Total



51.885.753.908,56



100%



2.021.581.569,32 732.770.305,28 2.754.351.874,60



Sumber: Data sekunder dan wawancara (2014), diolah Dari analisa didapatkan bahwa nilai penyusutan bangunan atas adalah sebesar Rp. 2.021.581.569,32 dan penyusutan bangunan bawah sebesar Rp. 732.770.305,28.



948 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4 Sehingga total penyusutan konstruksi jembatan pada ruas jalan MERR IIC adalah sebesar Rp. 2.754.351.874,6. Analisis Depreciate Replacement Cost Konstruksi Jalan DRC konstruksi jalan dihitung dengan cara mengurangi biaya pembangunan kembali dengan penyusutan. Berdasarkan persamaan 8 maka dapat dihitung DRC dari masingmasing tahap pembangunan, yang dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. Tabel 0.11 Perhitungan DRC Konstruksi Jalan TAHAP BANGUN I II III IV V VI TOTAL



GRC (Rp.) a 84.667.433.807 61.743.867.927 8.557.295.186 23.201.015.222 15.156.244.948 9.880.935.891 203.206.792.981



KERUSAKAN b 21.245.659,36 14.758.176,98 4.579.148,17 16.096.196,01 5.925.956,45 5.656.594,80 68.261.731,77



PENYUSUTAN (Rp.) KEAUSAN JUMLAH (Rp.) c d=b+c 2.961.385.941 2.982.631.600,19 1.519.547.229 1.534.305.405,58 515.468.683 520.047.831,32 1.222.847.444 1.238.943.639,60 484.769.765 490.695.721,51 5.656.594,80 6.704.019.061 6.772.280.793,00



DRC (Rp.) e=a-d 81.684.802.206,87 60.209.562.521,29 8.037.247.354,91 21.962.071.581,91 14.665.549.226,62 9.875.279.296,25 196.434.512.187,85



Sumber: perhitungan Dari perhitungan, didapatkan nilai DRC atau nilai wajar dari konstruksi jalan pada ruas jalan MERR IIC adalah sebesar Rp.196.434.512.187,85. DRC Konstruksi Jembatan DRC konstruksi jembatan dihitung dengan cara mengurangi biaya pembangunan kembali jembatan dengan penyusutan. Berdasarkan persamaan 8 maka didapatkan perhitungan: DRC = Rp. 51.885.753.908,56 – Rp. 2.754.351.874,60 = Rp. 49.131.402.033,96 Jadi, nilai DRC atau nilai wajar dari konstruksi jembatan pada ruas jalan MERR IIC adalah sebesar Rp. 49.131.402.033,96.



5. KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan: 1. Biaya pembangunan kembali atau GRC ruas jalan MERR IIC STA.1+800 sampai dengan STA.6+450 adalah sebesar Rp. 255.092.546.889,40; yang terdiri atas nilai GRC konstruksi jalan sebesar Rp. Rp. 203.206.792.980,85 dan nilai GRC konstruksi jembatan sebesar Rp. 51.885.753.908,56. 2. Nilai penyusutan ruas jalan MERR IIC adalah sebesar Rp. 9.526.632.667,60; yang terdiri atas nilai penyusutan konstruksi jalan sebesar Rp. 6.772.280.793,00 dan nilai penyusutan konstruksi jembatan sebesar Rp. Rp. 2.754.351.874,60. 3. Nilai wajar atau DRC ruas jalan MERR IIC adalah sebesar Rp. 245.565.914.221,80; yang terdiri atas nilai DRC jalan sebesar Rp.196.434.512.187,85 dan nilai DRC jembatan sebesar Rp. 49.131.402.033,96



6. DAFTAR PUSTAKA 1. Andreski, A. (2005), Senior Road Executives Course 2005, University of Birmingham, Birmingham.



Bidang Manajemen Aset Infrastruktur - 949



Inovasi Teknik Sipil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kemaritiman Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (1995), Manual Pemeliharaan Rutin Jalan Nasional dan Jalan Propinsi, Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 3. Falls, L. C., Haas, R., & Hosang, J. (2001), Asset Valuation as a Key Element of Pavement Management, International Conference on Managing Pavements, Washington. 4. Hidayati, W., & Harjanto, B. (2003), Konsep Dasar Penilaian Properti, BPFEYOGYAKARTA, Yogyakarta. 5. Kementerian Pekerjaan Umum (2012), Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pu, Jakarta. 6. Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (2013), Kode Etik Penilai Indonesia & Standar Penilaian Indonesia 2013, MAPPI, Jakarta. 7. Menteri Keuangan (2009), Peraturan Menteri Keuangan No.179/PMK.06/2009 tentang Penilaian Barang Milik Negara. 8. Pemerintah Republik Indonesia (2004), Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. 9. Plimmer, France & Sayce, Sarah (2006), Depreciated Replacement Cost – Consistent Methodology?, FIG Congress, Munich 10. Soeparjanto (2008), Modul Konsep Dasar Penilaian, Pusdiklat Keuangan Umum Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. 11. Supriyanto, H. (2011), Penilaian Properti Tujuan PBB, Indeks, Jakarta.



950 – Bidang Manajemen Aset Infrastruktur



Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil XI – 2015 ISBN : 978 – 602 – 72056– 0 – 4



ANALISIS PREDIKSI KONDISI PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN HDM-4 (STUDI KASUS : RUAS JALAN NASIONAL BTS. KOTA GRESIK – SADANG) Andi Gumonggom Hutauruk1, I Putu Artama Wiguna2, Soemino3 1



Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Aset Infrastruktur Jurusan Teknik Sipil-FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya , [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil S2- FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, [email protected] 3 Dosen Praktisi Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Jawa Timur



ABSTRAK Kerusakan jalan yang terjadi sebelum umur layanan selesai masih menjadi masalah dalam hal penyelenggaraan jalan di Indonesia. Faktor-faktor yang dianggap paling berpengaruh adalah beban lalu lintas yang tiap tahun terus meningkat dikombinasikan dengan tingginya curah hujan. Namun yang menjadi masalah adalah kebanyakan jalan yang dibangun belum sepenuhnya memperhitungkan besarnya beban lalu lintas yang akan terjadi ditahun-tahun mendatang sehingga gambaran mengenai kinerja kondisi perkerasan jalan dimasa yang akan datang masih sulit untuk diprediksi akibatnya program penanganan jalan menjadi kurang efektif terutama dari segi penentuan waktu dan biaya program penanganan jalan. Tujuan penelitian ini adalah memperkirakan kondisi perkerasan ruas jalan nasional Bts. Kota Gresik – Sadang dengan variabel utama yang digunakan adalah beban lalu lintas, CBR, curah hujan dan struktur perkerasan jalan. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode Highway Development and Management 4 (HDM-4) untuk memprediksi kondisi jalan. Pengumpulan data dilakukan dengan survei kerusakan jalan dengan metode Road Condition Index (RCI) untuk menentukan jenis kerusakan jalan dan sebagai data International Roughness Index (IRI) awal. Dari hasil penelitian dan analisa data menunjukkan bahwa peningkatan beban lalu lintas dari tahun ke tahun sangat berpengaruh terhadap kondisi perkerasan jalan Bts. Kota Gresik - Sadang yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai IRI yang cukup signifikan. Berdasarkan nilai IRI hasil prediksi, menghasilkan kondisi jalan baik, sedang, rusak ringan dan rusak berat untuk masing-masing segmen jalan. Penanganan jalan diprioritaskan pada Km Sby 52 dan Km Sby 53 dengan alternatif penanganan pelapisan ulang (overlay) (nilai SCI 80 km/jam 4 < IRI < 8 50