Protap Penatalaksanaan Sepsis PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENATALAKSANAAN SEPSIS PADA IBU Panduan Penatalaksanaan Sepsis Maternal



Koordinator



: Made Kornia Karkata



Sekretaris



: A.A.N Jaya Kusuma



Anggota



: I Gede Putu Surya Tjok. G. A. Suwardewa Nyoman Hariyasa Sanjaya Ketut Suryanegara



Sumbangan saran



: HM. Sulchan Soefoewan Imam Wahyudi Jusuf S. Effendi Budi Handono Kusnarman Keman Agoes Poerwoko Makmur Sitepu Bambang Wibowo R. Detty Siti Nurdiati Khrismawan M. Alamsyah Joserizal Serudji Amillia Siddiq Lilia Mufida Diah Rumekti Hadiati Adhitya Maharani Devi



I. Tujuan Pedoman ( baru, revisi, melengkapi, perbaharui )



Sesuai dengan rekomendasi POGI 2010 tentang perubahan format buku panduan, maka perlu dilakukan revisi terhadap Panduan Penatalaksanaan Sepsis Pada Ibu yang sudah ditetapkan oleh HKFM POGI yang berlaku sejak 2010.



II. Harapan Dan Ruang lingkup



Dengan disusunnya pedoman ini



diharapkan didapatkan kesepahaman dalam



Penatalaksanaan Sepsis Pada Ibu baik dalam hal definisi, diagnosis, dan penatalaksanaannya. Ruang lingkup bahasan : 1. Pendahuluan 2. Faktor risiko / predisposisi 3. Sumber infeksi 4. Mikropatogen 5. Patogenesis 6. Manifestasi klinis infeksi 7. Diagnosis 8. Penatalaksanaan



III. Pendahuluan Dan Latar Belakang



Di negara sedang berkembang kematian ibu merupakan fenomena gunung es, dimana karena berbagai faktor banyak kematian yang tidak dilaporkan dan tercatat. Dilaporkan hampir 500.000 kematian ibu hamil/bersalin/nifas terjadi tiap tahun yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan persalinan, kematian ini 99% terjadi di negara – negara berkembang. Sebagai contoh di Inggris terjadi kematian 2 - 9 ibu hamil/bersalin/nifas per 100.000 kelahiran, sedangkan di Afrika terjadi 100 kematian ibu hamil/bersalin/nifas per 10.000 kelahiran (1). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia tidak saja yang tertinggi diantara negara ASEAN, tetapi juga menurunnya sangat lamban yaitu 450/100.000 kelahiran pada tahun 1986 menjadi 421/100.000 pada tahun 1992 dan target yang harus dicapai pada akhir Pelita VI adalah 225/100.000 (2). Telah



diketahui ada 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia yaitu, perdarahan, sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion. Sebagian besar kematian ibu yang disebabkan oleh ke lima hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, memberikan informasi/edukasi serta penanganan medis yang cepat dan tepat.(4,5) Laporan di RSUP Sanglah Denpasar selama 5 tahun (1996 – 2000) mendapat AKI 170/100.000 kelahiran, lebih rendah dari angka rata-rata Rumah Sakit Pendidikan Nasional. Terdapat pergeseran penyebab kematian karena perdarahan dari 68,5% (1969-1971) menjadi 33,33% (1996-2000); karena infeksi menurun dari 38,08% (1972-1974) menjadi 12,5% (1996-2000). Sebaliknya ditemukan kematian ibu oleh penyakit medis penyerta yang meningkat dari 12,90% (1975-1977) menjadi 18,75% (1996-2000)(3). AKI yang disebabkan oleh kondisi medis langsung terbanyak (25%) disebabkan karena perdarahan, diikuti oleh infeksi (15%), unsafe abortion (13%), eklampsia (12%), persalinan lama dengan/ tanpa pecah ketuban (8%) dan penyebab lainnya (8%). Sedangkan penyebab tidak langsung adalah anemia, penyakit kardiovaskular, malaria, tuberculosis, hepatitis dan penyakitpenyakit lainnya. Meskipun sudah mulai jarang tetapi bila infeksi yang terjadi pada saat hamil, persalinan, dan nifas yang tidak ditangani dengan baik bisa berkelanjutan menjadi sepsis, sepsis berat dan syok septik dan berkembang menjadi Multi Organ Dysfunction Syndrome (MODS), yang menimbulkan mortalitas yang sangat tinggi.



IV. Identifikasi Dan Asesment Berbasis Bukti V. Definisi - Definisi Dari Istilah Yang Dipakai ( sesuai dengan topik “guideline “ )



1. Infeksi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme atau invasi organ steril oleh mikroorganisme. 2. Bakteriemia adalah adanya bakteria dalam darah. 3. Systemic Inflamatory Response Syndrome ( SIRS ) adalah reaksi inflmasi sebagai reaksi terhadap adanya berbagai penyakit/ kondisi dengan diagnosis seperti telah disebutkan diatas. 4. Sepsis ( SIRS + infeksi ) adalah SIRS yang disebabkan oleh faktor infeksi.



5. Sepsis berat / severe sepsis adalah sepsis dengan tanda - tanda disfungsi organ atau penurunan perfusi organ ( asidosis laktat, oliguri < 30 ml/jam atau 0,5 ml/kg berat badan/jam, hipotensi < 90 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg ) dan perubahan mental. 6. Syok septik adalah sepsis berat dan hipotensi yang persisten, meskipun telah diberikan cairan yang adekuat, dan setelah menyingkirkan penyebab hipotensi yang lainnya. 7. Sindrom disfungsi organ multipel ( MODS ) adalah adanya gangguan fungsi multi organ pada pasien dengan sakit berat akut dimana hemostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. VI. Keterbatasan Data Dalam Pedoman



VII. Keterangan Sesuai Evidens Based Medicine Practice



VIII. Intervensi ( medisinalis, operatif, termasuk informed consent )



Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus dimulai secara agresif dan adekuat dalam waktu kurang dari 6 jam. Patokan yang disebut dengan”early goal directed therapy” telah terbukti dapat menurunkan angka kematian ibu secara bermakna. Pendekatan tersebut terdiri dari pemberian cairan intra vena, peningkatan pemberian oksigen, pemberian obat obat vasopresor, pemberian obat - obat inotropik, pemberian tranfusi darah, pemberian ventilasi mekanik, dan pemakaian kateter arteri. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian kembali, cardiac preload, afterload dan kontraktilitas jantung untuk tujuan akhir yaitu tercapainya keseimbangan antara oxygen delivery dan oxygen demand. (12 )



1. Medisinalis ( regimen - regimen )



A. Pengobatan dengan antibiotika Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan spektrum yang mencakup kemungkinan kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan serta biaya. Pemberian antibiotika segera harus dilakukan tanpa menunggu hasil kultur dan dapat dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas.



Apabila hasil kultur dan tes sensitifitas sudah ada, maka jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes sensitifitas yang ada, untuk menghindari timbulnya resistensi antibiotika tersebut. Pada infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena untuk mempercepat kerja obat. Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis/sepsis berat/syok septik sebagai berikut : 



Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, yang dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih dapat diberikan kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin atau metronidazole.







Sebagai alternatif, pada pasien pasien yang tidak mengalami neutropenia dapat diberikan sefalosposrin generasi ke dua atau ke tiga. Sepalosporin generasi ketiga atau keempat, sepeti Cefotaxime, Ceftizoxime, Cefoperazone, Ceftriaxone, Cefpirone, Cefepine atau Ceftazidime serta Meropenem dapat dipertimbangkan pada infeksi yang berat atau pada infeksi oleh berbagai macam strain bakteria gram negatif.







Pada sepsis berat yang mengancam nyawa direkomendasikan kombinasi sefalosporin generasi ke tiga atau keempat dengan aminoglikosida.







Pada beberapa rumah sakit, terdapat bakteri gram negatif yang resisten terhadap aminoglikosida dan sefalosporin generasi ke dua, tiga dan empat. Pada kondisi ini dapat diberikan Meropenem atau Ciprofloxacin. Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin, dapat diberikan Amikasin, Ceftazidime, Cefepime, Meropenem atau Tobramisin. Strain Enerokokal yang saat ini resisten dengan banyak antibiotika dapat diberikan klorampenikol, Doksisiklin atau Fluorokuinolon.







Obat anti jamur tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin, kecuali pada pasien pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi kondisi tertentu yang memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat diberikan Ampotericin B atau Flukonasol.(13,14,15)



Pilihan Antibiotika untuk sepsis/sepsis berat/syok sepsis(16) Subset



Patogen penyebab



Terapi yg dianjurkan



Terapi alternatif



Perubahan IV ke oral



Sumber Intraabdom inal/pelvik



Enterobacteriac eae B fragillis



Meropenem 1 gr(IV)/8 jam2minggu atau Piperacillin/tazobactam 3.375 gmIV/6jam-3minggu Atau Ertapenem 1 gm(IV) /24 jam-2minggu Atau kombinasi dengan Ceftriaxone 1 gm IV/24 jam-2minggu Plus Metronidazole 1 gm IV/24 jam-2minggu



Quinolone IV2minggu + salah satu dari: Metronidazol e 1 gm IV/24 jam-2minggu Atau Clindamycin 600 mg IV /8 jam-2minggu



Urosepsis



Enterobacteriac eae E faecalis



Meropenem 1gmIV/8jam-1sp 2minggu Atau Piperacillin/tazobact am 3,375gmIV/jam-1 sp 2minggu



Quinolone IV1sp 2minggu atau kombinasi dengan amniglikosida IV1sp 2 minggu atau Vancomisin 1gmIV/12 jam -1sp 2 minggu



Moxiflo-xacin 400 mg(po)/24 jam -2 minggu Atau kombina-si dengan Clindamycin 300 mg(po)/8 jam -2 minggu + salah satu dari CiproFloxacn 500 mg(po) /12 jam atau LevofloXacin 500 mg/24 jam-2 minggu Quinolone(po) – asp 2 minggu



Candidemi a



C albicans



Flukonasol 800mg IV 1x,lanjutkan dengan 400 mgIV/24 jam-2 minggu Atau Ampotericin B 0,7 mgmg/kg IV /24 jam 2minggu Atau Itrakonasol 200 mgIV/12 jam-2 hari,lanjutkan dengan 200 mgIV/24 jam – 2minggu.



B. Resusitasi cairan Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah adanya vasodilatasi umum yang diakibatkan oleh pelepasan Nitric Oxide ( NO ) dalam jumlah besar. Disamping itu pada sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh adanya peningkatan kapasitas vaskular ( penurunan venous return ), dehidrasi ( karena asupan yang menurun, kehilangan cairan melalui keringat, dan pernapasan ) atau karena adanya perdarahan dan kebocoran plasma. Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk mempertahankan perfusi jaringan dan menormalisasi metabolisme selular. Pemberian cairan kristaloid / koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik diberikan secara bolus 250 – 1000 mL selama 5 - 15 menit, setelah itu dipertahankan sesuai dengan tekanan darah, yaitu mempertahankan tekanan darah sistolik minimal 90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ( MAP ) 60 - 65 mmHg, dan volume urine ≥ 0,5 mL/kg berat badan/jam. Bila setelah pemberian cairan tersebut secara klinis, tekanan darah tidak ada perubahan / masih hipotensif, frekuensi denyut jantung tidak menurun, isi nadi tidak cukup, kulit dan ekstermitas dingin, produksi urin tidak membaik, dan kesadaran tidak membaik, maka pemberian cairan selanjutnya sebaiknya dimonitor dengan pemasangan Central Venous Pressure ( CVP ) yang dipertahankan pada tekanan 8 - 12 mmH2O, atau yang lebih tepat dengan memonitor tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik dengan pemasangan Pulmonary Capillry Wedge Pressure ( PCWP ) yang dipertahankan pada tekanan 12 - 16 mmHg. Suplai oksigen sistemik tergantung dari cardiac output dan oxygen carrying capacity dari darah. Kadar Hb yang ideal untuk pasien sepsis adalah 8 hingga 10 gr/dl tergantung keadaan klinis penderita. Semua tindakan ini dilakukan di ruang perawatan intensif dengan monitoring yang ketat. Apabila tekanan darah tetap tidak naik setelah pemberian cairan dan peningkatan hemoglobin, maka diperlukan pemberian obat vasopresor. Vasopresor yang dipilih harus mempertimbangkan efek kardiak dan vaskular perifer dari obat tersebut. Norepinefrin lebih sering dipakai karena tidak banyak menyebabkan peningkatan frekuensi denyut jantung. Pada syok septik, norepinefrin juga lebih baik dalam meningkatkan cardiac output dibandingkan dengan dopamin, demikian juga dalam perbaikan aliran darah ke ginjal dan produksi urin. Bila cardic output tetap tidak baik,yang ditandai oleh perfusi perifer yang tidak adekuat, serta indek kardiak < 2,5 L/min/m2, maka dapat diberikan obat obat inotropik, seperti Dobutamin, yang dimulai dengan dosis 2,5 µg/kg berat badan/ menit dan dinaikkan setiap 30 menit, sampai tercapai perfusi yang normal atau frekuensi jantung >140 x/menit atau hilangnya hipotensi. Akhirnya apabila kombinasi



vasopresor dan obat intropik sudah diberikan dan hasilnya belum optimal maka dapat diberikan Vasopresin dengan dosis 0,01 sampai 0,04 unit/menit dengan tujuan untuk mencegah iskemiia arteria koroner dan splanikus. Pemberian bikarbonat pada asidosis tidak dianjurkan .(7,8,9,10,13,14,15) Pemberian resusitasi cairan harus dilakukan dengan pengawasan hemodinamik yang ketat yaitu, tekanan darah, nadi, cardiac output, PCWP, produksi urine, dan kadar asam laktat darah. Hatihati dalam pemberian cairan koloid pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, sebab dapat mempengaruhi fungsi filtrasi ginjal yang pada akhirnya dapat mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut. (9,15) C. Pengobatan mencegah gagal nafas (17) Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal nafas ( frekuensi nafas > 35 kali/menit), penurunan kesadaran, dan hipoksemia berat, maka dilakukan intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi mekanik. Adapun kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan apakah seseorang sudah ada dalam kondisi kegagala nafas yang mengancam adalah sebagai berikut : 1. Mekanikal : a. Kapasitas Vital < 15 mL/kg b. Maternal inspiratory force (MIF) < - 25 cm H20 c. Frekuensi nafas > 35 kali/menit 2. Oksigenasi : a. Pa 02 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4 b. P(A-a)02 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0 3. Ventilasi : a. Pa CO2 > 55 mmHg (pada keadaan akut) b. Dead space/ tidal volume ( Vd/Vt > 0,6) 4. End Respiratory lung inflation inadequate for adequate gas exchange. D. Pemberian kortikosteroid (18 ) Meskipun masih kontroversi penggunaan kortikosteroid dosis kecil jangka panjang menunjukkan perbaikan hemodinamik dan menurunkan kebutuhan obat vasopressor serta menurunkan secara bermakna angka kematian pasien di ruang intensif serta mengurangi hari



rawat pasien. Penggunaan kortikosteroid ini juga tidak terbukti menimbulkan perdarahan saluran cerna, terjadinya superinfeksi dan hiperglikemia. Dengan demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan pada pasien pasien sepsis dan syok septik. Rekomendasi dosis yang dberikan adalah hidrokortison 50 - 100 mg intravena setiap 6 - 8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per infus ditambahkan dengan fludokortidon 50 ug/hari, untuk kemudian dilakukan tappering-off secara bertahap sesuai dengan kondisi klinis. Pemberian physiologic doses of corticosteroid tersebut, dapat diberikan pada kadar kortisol yang normal atau tinggi, dengan asumsi terjadi efek down regulasi reseptor adrenergik disertai dengan respon desensitisasi (9,17,19 ) E. Pemberian antikoagulan (13) Sesuai dengan tersedianya fasilitas pada pasien dengan sepsis berat, syok septik, dan pasien dengan resiko kematian tinggi ( APACHE II > 25 ) dapat diberikan recombinant actvated protein C ( rh APC ). Efek terapi yang diharapkan dari rhAPC ini adalah efek antikoagulan dan antifibrinolitik, sehingga dapat memperbaiki kondisi konsumtif koagulopati dan menghambat kaskade inflamasi. Perdarahan merupakan risiko mayor pemberian activated protein C, seperti perdarahan intrakranial. Kriteria pemberian dan kontra indikasinya dapat dilihat pada lampiran 1. Score APACHE II dapat dilihat pada lampiran 2.



F. Pengendalian gula darah Untuk mencegah terjadinya kematian akibat multiple organ dysfunction syndromes ( MODS ), dilakukan pemberian terapi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah pada kadar 80 - 100 mg/dL, dan harus dilakukan monitoring ketat terhadap adanya tanda tanda hipoglikemik Pada pasien pasien sepsis yang mengalami hiperglikemia terjadi penurunan fungsi fagositosis netropil, dan pemberian insulin mampu meningkatkan fungsi tersebut. Potensi insulin yang lainnya adalah kemampuan insulin untuk menurunkan kejadian apoptosis sel dengan cara mengaktivasi



pospatidil



inositol3-kinase.



Tanpa



memandang



apapun



mekanismenya,



pengendalian gula darah pada pasien pasien kritis penting dilakukan, dengan catatan tetap melakukan monitoring adanya hipoglikemik yang dapat membahayakan jaringan otak ( hypoglycemic brain injury ). Kadar gula darah yang direkomendasikan adalah antara 80 - 110 mg/dl. (9,11,12,13,18,19 )



Tabel dibawah ini dapat dipakai sebagai pedoman pemberian dan monitoring insulin pada pasien pasien sepsis.



Tabel 1 : Appropriate action depending on blood glucose level : (12) Test



BG level(mg/dl)



A: Measure on entry to ICU



> 220



Action Start insulin at dose of 2-4IU/h.Continue test B



220-110



Start insulin at dose 1-2 IU/h. Continue test B < 110



Do not start Insulin continue test BG Monitoring every 4 h. continue test A



B : Measure glucose levelUntil normal



> 140



increase dose by 1-2 IU/h



110-140



increase dose 0,5 – 1 IU/h



Approaching N



adjust insulin dose by 0,1-0,5 IU/h Continue test C.



C: Measure glucose every 4h



Approaching N Normal Falling steeply



adjust insulin dose by 0,5 – 1 IU/h leave insulin dose unchanged reduce insulin dose and check glucose within 1-2 h



60-80



reduce insulin dose and check glucose Within 1 h



40-60



Stop insulin assure adequate baseline Glucose intake and check glucose 1 h



< 40



Stop insulin, assure adequate baseline Glucose intake administer glucose 10 gr IV boluses and check glucose 1h



G. Penatalaksanaan koagulasi intravaskuler diseminata Koagulasi intravaskuler diseminata ( KID ) adalah proses trombohemoragik sistemik yang terkait dengan kondisi klinis tertentu dengan adanya bukti - bukti laboratorik seperti (1). aktivasi prokoagulan, (2). aktivasi fibrinolitik, (3). konsumsi inhibitor, dan (4). kegagalan organ. Diagnosis KID pada sepsis seringkali sulit ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan laboartorium saja, oleh karena hampir semua uji laboartorik memberikan hasil abnormal. Sebaliknya bila hasil uji laboratoriknya masih belum menunjukkan gangguan, maka pemeriksaan ulang dilakukan dalam 24 - 48 jam sesuai keadaan klinis penderita, sehingga sebelum memutuskan terapi hendaknya perlu diperhatikan keadaan klinis penderita. Pada pertemuan konsensus International Society on Thrombosis and Hemostasis ( ISTH ) ke - 47 tahun 2001, diajukan sistem penilaian untuk menetapkan diagnosis KID. Bila skor 5 atau lebih sugestif DIC,bila kurang dari 5 perlu diulang dalam 1 – 2 hari. (9,20) Tabel 2. Sistem Skor KID ( ISTH 2001 )



1. Penilaian risiko : apokah terdapat penyebab yang berkaitan dengan DIC ?  jika tidak penilaian tidak dilanjutkan 2. Uji koagulasi ( hitung trombosit,PT,fibrinogrn,FDP/D-Dimer ) 3. Skor : Hitung trombosit : > 100. 000 = 0 50.000 – 100 000 = 1 < 50 000 = 2 FDP/D-Dimer



: Tidak meningkat ( D-dimer < 500 )



=0



Meningkat sedang ( D-dimer 500-1000 ) = 2 Sangat meningkat ( D-dimer > 1000 )



=3



Pemanjangan masa protrombin (PT) < 3 detik = 0 , 4-6 detik =1 ,



> 6 detik =2



Fibrinogen < 100 mg/dl = 1 ,



> 100 mg/dl = 0



Jumlah Skor : ≥ 5 : sesuai DIC  skor diulang setiap hari untuk pemantauan beratnya DIC < 5 : sugestif DIC  skor diulang dalam 1-2 hari Dikutip dari kepustakaan no. 20.



KID yang disebabkan oleh sepsis hal yang terpenting adalah mengatasi penyebabnya yaitu sepsis itu sendiri. Terapi antifibrinolitik ( asam traneksamat / asam aminokaproat ) tidak dianjurkan karena mengganggu proses fibrionolisis dan dapat memperberat kegagalan organ. Rekomendasi pemberian heparin adalah bila terdapat bukti terjadinya tromboemboli ( penurunan kesadaran, iskemik fokal, gangren superfisial, oliguria, azotemia, nekrosis kortikal, ARDS, perdarahan / ulserasi saluran cerna atas akut, anemia hemolitik ). Heparin diberikan secara intravena dengan dosis 100 IU/kgBB bolus dilanjutkan dengan 15 - 25 IU/kgBB/ jam ( 750 1250 IU/jam) dengan infus kontinyu dan dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5 – 2 kali kontrol. Pemberian plasma Fresh Frozen Plasma ( FFP ) dan konsentrat trombosit bila didapatkan perdarahan dan risiko terjadi perdarahan ( akan menjalani tindakan invasif ). Pemberian antitrombin III direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila aktivitas AT III < 70% dengan tujuan memperbaiki keadaan KID dan disfungsi organ. Antitrombin III diberikan dengan dosis awal 3000 IU( 50 IU/kgBB ) diikuti 1500 IU setiap 8 jam dengan infus kontinyu selama 35 hari. Substitusi AT III juga dapat diberikan berdasarkan rumus 0,6 x berat badan ( kg ) x (aktivitas yang diinginkan - aktivitas awal), aktivitas AT III yang diinginkan adalah >120%. pemakaian konsentrat AT III bersamaan dengan heparin tidak dianjurkan karena tidak memperbaiki mortalitas dan malah meningkatkan risiko perdarahan. Bila memungkinkan dianjurkan untuk memantau AT II setiap 8 jam,atau bila terjadi perbaikan klinis, atau meniali kembali skor KID.(9,20 )



H. Pengakhiran kehamilan Terdapat beberapa pengaruh sepsis terhadap kehamilan, seperti misalnya terjadinya penurunan sirkulasi uteroplasenta dan persalinan preterm, yang disebabkan oleh hipoksemia maternal dan asidosis. Keputusan untuk melahirkan tetap mempertimbangkan kondisi pasien dan umur kehamilan ( kecuali intra uterine infection ). Apabila pemberian terapi yang adekuat terhadap sepsis tetap tidak memberikan perbaikan kondisi ibu, atau terjadi perburukan kondisi ibu, maka melahirkan/mengosongkan uterus dengan segera dapat dipertimbangkan karena dapat memperbaiki venous return dan volume paru.



2. Operatif ( prosedure – teknis operatif )



A. Kontrol sumber infeksi Sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi pasien mengijinkan. Pada kasus kasus infeksi luka atau fasciitis dapat dilakukan debridement, evakuasi produk konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase pada abses pelvik, laparatomi, dan bahkan dilakukan histerektomi apabila diperlukan.(7) Bila sumber infeksi intrauterin pada saat kehamilan (misalnya khorioamnionitis pada ketuban pecah dini), maka kehamilan harus diterminasi sesuai dengan persyaratan yang ada.



ALGORITMA PENATALAKSANAAN SEPSIS MATERNAL Identifikasi pasien\ pasien patient



Tim Sepsis



Resusitasi cairan



Pemberian Antibiotika Spektrum Luas)