10 0 783 KB
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelopak mata yang disebut juga palpebra merupakan lipatan kulit yang terdapat dua buah untuk tiap mata. Ia dapat digerakkan untuk menutup mata, dengan ini melindungi bola mata terhadap trauma dari luar yang bersifat fisik atau kimiawi serta membantu membasahi kornea dengan air mata pada saat berkedip. Dalam keadaan terbuka, kelopak mata memberi jalan masuk sinar ke dalam bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Membuka dan menutupnya kelopak mata dilaksanakan oleh otototot tertentu dengan persarafannya masing-masing. Ptosis adalah kondisi kelopak mata yang tidak dapat membuka dengan optimal seperti mata normal ketika memandang lurus ke depan (drooping eye lid). Blepharoptosis, juga disebut sebagai ptosis. Ptosis menggambarkan kelopak mata bagian atas yang tidak normal pada posisi primer yang rileks. Ptosis dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara. Penulis mengklasifikasikannya sebagai penyakit bawaan atau yang didapat dan sebagai (1) aponeurotik, (2) mikogen, (3) neurogenik, atau (4) mekanik. Sedangkan menurut derajatnya ptosis dibagi menjadi ptosis ringan jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm, ptosis sedang jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm dan ptosis berat jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4mm. Insiden ptosis belum pernah dilaporkan. Blepharoptosis merupakan penyebab penting dari kehilangan penglihatan. Mengingat penatalaksanaan ptosis tergantung dari etiologi dan derajat ptosis maka perlu diketahui lebih jelas tentang etiologi dan derajat ptosis. Menurut etiologinya, pada ptosis congenital (myogenic etiology) dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang lemah serta aponeurosisnya ataumenggantungkan palpebra pada otot frontal. Jenis operasi untuk ptosis kongenital adalah reseksi levator
1
eksternal. Pada ptosis yang didapat (aponeurotic etiology), misalnya pada myastenia gravis dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab tidak mungkin, maka kelopak mata diperpendek menurut arahvertikalnya (jika fungsi levator baik) atau diikatkan ke frontal (jika fungsi levator buruk). Prosedur Fasenella-Servat lebih sering digunakan untk kasus ptosis yang didapat. Sedangkan menurut derajatnya, untuk ptosis ringan yang tidak didapati kelainan kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismusdan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi. Bilaakan dilakukan operasi, prosedur Fasenella-Servat diindikasikan untuk ptosisringan. Pada kasus ptosis moderat diindikasikan pembedahan dengan teknik reseksi levator eksternal. Sedangkan pada ptosis berat, frontalis sling merupakan pendekatan yang paling baik.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana profil keluarga dari penderita ptosis? 2. Bagaimana status kesehatan dari pasien tersebut? 3. Bagaimana peran keluarga dalam kehidupan pasien sehari-hari? 4. Bagaimana upaya dokter untuk KIE pasien tersebut?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui profil keluarga dari penderita ptosis. 2. Mengetahui status kesehatan pasien tersebut. 3. Mengetahui peran keluarga dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi. 4. Mengetahui upaya pencegahan penyakit tersebut oleh pihak terkait.
2
1.4 Manfaat -
Keluarga dapat mengetahui tentang masalah kesehatan serta dapat melakukan upaya
dan
memberikan
dukungan
yang
dibutuhkan
dalam
proses
penyembuhan. -
Penulis memiliki kemampuan mengelola kesehatan berbasis keluarga serta memberikan edukasi kepada pasien ataupun keluarga untuk mencapai derajat kesehatan yang baik.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi dan Histologi Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar, dan pengeringan bola mata. Kelopak mata mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan, sedang di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.Secara garis besar palpebra superior terbagi menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan anterior (kulit dan otot orbikularis) dan lapisan posterior (tarsus, aponeurotik levator, otot muller dan konjungtiva). 1.
Kulit Palpebra memiliki kulit yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak subkutan. Kulit disini sangat halus dan mempunyai rambut vellus halus dengan kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar keringat.
Gambar 1. Potongan sagital mata
4
2.
Otot orbikularis Otot skelet yang berfungsi untuk menutup mata. Otot ini terdiri dari lempeng yang tipis yang serat-seratnya berjalan konsentris. Otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis yang kontraksinya menyebabkan gerakan mengedip, disamping itu otot ini juga dipersarafi oleh saraf somatik eferen yang tidak dibawah kesadaran.
3.
Tarsus Jaringan ikat fibrous ± 25 mm, merupakan rangka dari palpebra. Didalamnya terdapat kelenjar meibom yang membentuk “oily layer” dari air mata.
4.
Septum Orbita Terletak di bawah otot orbikularis post septalis pada kelopak mata atas dan bawah. Septum orbita ini adalah jaringan ikat yang tipis, merupakan perluasan dari rima orbita.
5.
Otot levator dan aponeurotik levator palpebra Merupakan “major refractor” untuk kelopak mata atas. M. levator palpebra, yang berorigo pada anulis foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. M. levator palpebra dipersarafi oleh nervus okulomotoris, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
5
Gambar 2. Potongan sagital palpebra superior
2.2
Defenisi Ptosis Ptosis adalah istilah medis untuk suatu keadaan dimana kelopak mata atas
(palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau bilateral. Posisi normal palpebra superior adalah 2 mm dari tepi limbus atas dan palpebra inferior berada tepat pada tepi limbus bawah. Kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau menghiperekstensikan kepalanya. Bila ptosis menutupi pupil secara keseluruhan maka keadaan ini akan mengakibatkan ambliopia.
6
2.3
Etiologi Secara garis besar ptosis dapat dibedakan atas 2, yaitu : 1. Ptosis yang didapatkan (acquired); pada umumnya disebabkan oleh : a. Faktor mekanik : Akibat berat yang abnormal dari palpebra dapat menyulitkan otot levator palpebra mengangkat palpebra. Hal ini dapat disebabkan oleh inflamasi akut atau kronik berupa edema, tumor atau materi lemak yang keras, misalnya xanthelasma. b. Faktor miogenik : Ptosis pada satu atau kedua kelopak mata sering merupakan tanda awal myasthenia gravis dan kejadiannya diatas 95% dari kasus yang ada. c. Faktor neurogenik (paralitik) : Terdapat intervensi pada jalur bagian saraf cranial III yang mempersarafi otot levator pada tingkat manapun dari inti okulomotor ke myoneural junction. Ptosis didapat (acquired) biasanya terjadi unilateral. d. Faktor trauma : Trauma tumpul maupun tajam pada aponeurosis levator maupun otot levator sendiri juga menyebabkan ptosis. Pada pemeriksaan histologik, defek terjadi karena adanya kombinasi faktor miogenik, aponeurotik dan sikatriks. Perbaikan terkadang terjadi dalam 6 bulan atau lebih, jika tidak ada perbaikan maka tindakan pembedahan dapat menjadi alternatif. 2. Ptosis congenital: akibat kegagalan perkembangan m.levator palpebra. Dapat terjadi sendiri maupun bersama dengan kelainan otot rektus superior (paling sering) atau kelumpuhan otot mata eksternal menyeluruh (jarang). Hal ini bersifat herediter.
7
2.4
Insiden Sampai saat ini insidens ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis kongenital dapat
mengenai seluruh ras, angka kejadian ptosis sama antara pria dan wanita. Ptosis kongenital biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama kelahiran. 2.5
Klasifikasi Berdasarkan jarak jatuhnya palpebra superior, ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat : Klasifikasi Ptosis Ukuran ≤2mm 3mm ≥4mm
2.6
Derajat Ringan Sedang Berat
Gejala Klinis Pasien ptosis sering datang dengan keluhan utama jatuhnya kelopak mata atas
dengan atau tanpa riwayat trauma lahir, paralisis n. III, horner syndrom ataupun penyakit sistemik lainnya. Keluhan tersebut biasanya disertai dengan ambliopia sekunder. Pada orang dewasa akan disertai dengan berkurangnya lapang pandang karena mata bagian atas tertutup oleh palpebra superior. Pada kasus lain, beberapa orang (utamanya pada anak-anak) keadaan ini akan dikompensasi dengan cara memiringkan kepalanya ke belakang (hiperekstensi) sebagai usaha untuk dapat melihat dibalik palpebra superior yang menghalangi pandangannya. Biasanya penderita juga mengatasinya dengan menaikkan alis mata (mengerutkan dahi). Ini biasanya terjadi pada ptosis bilateral. Jika satu pupil tertutup seluruhnya, dapat terjadi ambliopia. Ptosis yang disebabkan distrofi otot berlangsung secara perlahan-lahan tapi progresif yang akhirnya menjadi komplit. Ptosis pada myasthenia gravis onsetnya perlahan-lahan, timbulnya khas yaitu pada malam hari disertai kelelahan, dan bertambah berat sepanjang malam. Kemudian menjadi permanen. Ptosis bilateral pada orang muda merupakan tanda awal myasthenia gravis. Pada ptosis kongenital seringkali gejala muncul sejak penderita lahir, namun kadang pula manifestasi klinik ptosis baru muncul 8
pada tahun pertama kehidupan. Kebanyakan kasus ptosis kongenital diakibatkan oleh suatu disgenesis miogenic lokal. Bila dibandingkan dengan otot yang normal, terdapat serat dan jaringan adipose di dalam otot, sehingga akan mengurangi kemampuan otot levator untuk berkontraksi dan relaksasi. Kondisi ini disebut sebagai miogenic ptosis kongenital. Pada kepustakaan lain digambarkan juga perbedaan klinik antara congenital myogenic and neurogenic ptosis dan congenital aponeurotic ptosis. 2.7
Cara Pemeriksaan 1. Pemeriksaan fisis pada pasien ptosis dimulai dengan empat pemeriksaan klinik : -
Palpebra Fissure Height Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah dan
kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan primer. Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm dari limbus). Jika ptosis unilateral, pemeriksa harus membedakan dengan artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau retraksi kelopak mata kontralateral. Kelopak mata harus dieversi untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis papilar raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila kelopak mata atas mengalami retraksi – dokter harus secara manual mengangkat kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata lain. -
Margin-reflex distance Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya
kornea pada posisi primer, normalnya ± 4 mm. Refleks cahaya dapat terhalang pada kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya nol atau negatif. Bila pasien mengeluh terganggu pada saat membaca maka jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.
9
-
Upper lid crease Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan
kelopak atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital. -
Levator function Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur
penyimpangan total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan ke atas, sambil menekan dengan kuat pada alis mata pasien untuk mencegah kerja otot frontalis. Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas diukur. -
Bells Phenomenon Penderita disuruh menutup/memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa
membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells Phenomenon (+).
Palpebra Fissure Height Margin-Reflex Distance Upper Lid Crease Levator Function Example of ptosis data sheet
9,5 +4 8 15
7,5 +2 11 14
Jarak penyimpangan fungsi kelopak mata : -
Baik : lebih dari 8 mm
-
Sedang : 5-8 mm
-
Buruk : kurang dari 5 mm
10
Gambar 3. Cara pengukuran fungsi otot levator
2. Pemeriksaan Laboratorium Jika dicurigai myasthenia gravis, memeriksa kadar reseptor asetilkolin antibodi serum. 3. Pemeriksaan Pencitraan Berikut ini adalah indikasi untuk melakukan studi neuroimaging (misalnya, MRI, CT Scan) dari orbita dan otak: 1. Sejarah tidak konsisten dan onset tidak jelas 2. temuan neurologis lain bersama dengan ptosis 3. suspect fraktur orbita dengan riwayat trauma 4. Terlihat atau teraba massa tutup 5. Suspect tumor orbital (misalnya limfoma, leukemia, rhabdomyosarcoma) 6. Adanya sindrom Horner dengan atau tanpa temuan neurologis lainnya
11
7. Adanya kelumpuhan saraf kranial ketiga dengan atau tanpa temuan neurologis lainnya 4. Tes lainnya Jika dicurigai myasthenia gravis, tes berikut dianjurkan: 1. EMG 2. Tensilon test 3. Ice Test Jika diduga adanya gangguan mitokondria, EKG dianjurkan.
2.8
Diagnosa
Diagnosis ptosis tidak sulit untuk ditegakkan. Berdasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan yang tepat maka selain diagnosis, juga dapat diketahui causa dari ptosis dan derajat beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan penanganan yang tepat. 2.9
Penatalaksanaan Apabila ptosisnya ringan, tidak didapati kelainan kosmetik dan tidak terdapat
kelainan visual seperti ambliopia, strabismus dan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi. Penanganan ptosis pada umumnya adalah pembedahan. Pada anak-anak dengan ptosis tidak memerlukan pembedahan secepatnya namun perlu tetap diobservasi secara periodik untuk mencegah terjadinya ambliopia. Bila telah terjadinya ambliopia, pembedahan dapat direncanakan secepatnya. Namun jika hanya untuk memperbaiki kosmetik akibat ptosis pada anak, maka pembedahan dapat ditunda hingga anak berumur 3-4 tahun. Indikasi pembedahan : 1. Fungsional Gangguan axis penglihatan. Ambliopia dan stabismus dapat menyertai ptosis pada anakanak.
12
2. Kosmetik Tujuan operasi adalah simetris, dan simetris dalam semua posisi pandangan hanya mungkin jika fungsi levator tidak terganggu. Kontra Indikasi pembedahan: 1. Kelainan permukaan kornea 2. Bells Phenomenon negatif 3. Paralisa nervus okulomotoris 4. Myasthenia gravis Prinsip-Prinsip Pembedahan : Pembedahan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan cukup dengan anestesi lokal. Pada ptosis ringan, jaringan kelopak mata yang dibuang jumlahnya sedikit. Prinsip dasar pembedahan ptosis yaitu memendekkan otot levator palpebra atau menghubungkan kelopak mata atas dengan otot alis mata. Koreksi ptosis pada umumnya dilaksanakan hanya setelah ditemukan penyebab dari kondisi tersebut. Dan perlu diingat bahwa pembedahan memiliki banyak resiko dan perlu untuk didiskusikan sebelumnya dengan ahli bedah yang akan menangani pasien tersebut.
13
BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Profil Keluarga Tn. EB
Ny. RT
Tn. YB
Tn. PB
Ny. RB
An. JB
An. MB
Nn. NB
An. SB
Terdapat 2 kepala keluarga dalam rumah pasien: Nama Kepala Keluarga I
: Tn. Eduardus Bolang
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
Pendidikan terakhir
: Sarjana
Nama Istri (Pasien)
: Ny. Rosalina Tlonaen
Umur
: 58 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir
: SMA
Status pernikahan
: Sah
14
Jumlah anak
: 3 orang
Nama anak
:
o Anak I
: Petrus Bolang
Umur
: 36 tahun
Pendidikan
: Sarjana
o Anak II
: Yopi Bolang
Umur
: 32 tahun
Pendidikan
: Sarjana
o Anak III
: Nancy Bolang
Umur
: 28 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Suku
: Alor
Agama
: Kristen protestan
Alamat
: Naikoten 1
Nama Kepala Keluarga II Nama Kepala Keluarga II
: Tn. Yopi Bolang
Umur
: 32 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan terakhir
: Sarjana
Nama Istri (Pasien)
: Ny. Rolin Bolang
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir
: SMA
Status pernikahan
: Sah
Jumlah anak
: 3 orang
15
Pasien adalah istri dari anak ke dua dalam keluarga ini. Pasien bertatus sebagai menantu dari kepala keluarga I. Dirumah pasien, terdapat 2 kepala keluarga. 3.2 Status Kesehatan Pasien a)
Anamnesis
1)
Anamnesis : Keluhan utama
: Kelopak mata kiri pasien tidak membuka
seperti normal. Riwayat penyakit sekarang
: Pasien mengeluhkan kelopak mata kiri pasien
yang tidak dapat membuka secara normal sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya kelopak mata pasien jatuh menutupi bola mata sedikit namun perlahan menutup bola mata kiri secara menyeluruh dan tidak dapat membuka. Pasien sering mengalami sakit kepala hebat dibagian depan kepala dirasakan seperti berdenyut. Nyeri kepala sudah dialami sekitar 3 bulan yang lalu dan semakin lama semakin memburuk hingga pasien menangis dan tidak bisa tidur ataupun melakukan aktivitas biasa. Pasien juga mengalami muntah yang tidak disertai dengan mual. Pasien sudah pergi ke dokter dan disarankan untuk melakukan CT Scan Kepala. Riwayat penyakit dahulu
: Sekitar 2 tahun lalu setelah melahirkan anak
terakhir pasien sempat mengalami kelumpuhan wajah sebelah kiri hingga mulut bengkok dan didiagnosis sebagai Bell’s Palsy yang kemudian sembuh dengan pengobatan oleh dokter. Pasien juga terdiagnosa hipertensi tetapi tidak melakukan pengobatan. Riwayat keluarga
:
Keluarga
pasien
tidak
pernah
mengalami hal yang sama. Riwayat Pengobatan
: Pasien mengkonsumsi obat : 1.
Metilprednisolon
2.
Ranitidin
3.
Vitamin B Complex 16
Riwayat Sosio-Ekonomi
:
Pasien
termasuk
dalam
sosio-ekonomi
menengah karena suami pasien merupakan wiraswasta yang tidak pasti pendapatannya. b)
Pemeriksaan Fisik
- Status Generalis
Keadaan umum
: Tampak sehat
Kesadaran
: Compos Mentis, GCS (E= 4, V=5, M=6)
Tanda Vital
:
-
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
-
Nadi
: 77x/menit
-
Pernapasan
: 19x/menit
-
Suhu
: 36,9ᴼC
Kepala
: dalam batas normal, deformitas (-)
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung
: dalam batas normal, deviasi septum (-)
Mulut
: mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Leher Palpasi
: pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks / Pulmo Inspeksi
:bentuk dada simetris kiri dan kanan, gerakan dada simetris, tipe pernapasan torakoabdominal
Palpasi
: massa (-), taktil fremitus kiri dan kanan kesan normal
Perkusi
: sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi
: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung Inspeksi
: iktus cordis tidak terlihat
Palpasi
: tidak terdapat kelainan, dalam batas normal
Auskultasi
: S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
Perkusi
: pekak (+), tidak tampak pembesaran jantung
17
Abdomen Inspeksi
: perut tampak datar, sesuai gerak pernapasan
Palpasi
: hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani (+)
Auskultasi
: bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
-
Superior Edema
: -/-
Sianosis
: -/-
Akral
: hangat
Sensorik
: +/+
Inferior
:
Edema
: -/-
Sianosis
: -/-
Akral
: hangat
Sensorik
: +/+
Status Neurologis 1. Saraf Cranialis
N. Olfactorius Subyektif
: tidak dievaluasi
Obyektif
: tidak dievaluasi
N. Opticus Visus
: sulit dievaluasi
Melihat warna : sulit dievaluasi
18
Funduskopi
: tidak dievaluasi
N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens Kedudukan bola mata
: Posisi bola mata setangkup
Pergerakan bola mata: Nasal
: dalam batas normal
Temporal
: dalam batas normal
Atas
: dalam batas normal
Bawah
: dalam batas normal
Temporal bawah
: dalam batas normal
Eksoftalmus
:-
Celah mata (Ptosis)
: + pada mata kiri
Pupil: Bentuk bulat Lebar 3mm, 3mm Perbedaan lebar isokor Reaksi pupil
Reaksicahaya langsung
: (+)/(+)
Reaksi cahaya konsensuil
: (+)/(+)
N. Trigeminus Cabang Motorik
Otot Maseter
: dalam batas normal
Otot Temporal
: dalam batas normal
Otot Pterygoideus int/ext
: dalam batas normal
Cabang Sensorik N. Oftalmikus
:dalam batas normal
N. Maxillaris
: dalam batas normal
N. Mandibularis
: dalam batas normal
Refleks kornea langsung
: dalam batas normal
19
Refleks kornea konsensuil
: dalam batas normal
N. Facialis Waktu Diam Kerutan dahi
: sama tinggi
Tinggi alis
: sama tinggi
Sudut mata
: sama tinggi
Lipatan nasolabial
: sama tinggi
Gambar 4. Posisi kerutan dahi dan tinggi alis mata waktu diam
Waktu Gerak Mengerutkan dahi
: dalam batas normal
Menutup mata
: dalam batas normal
Bersiul
: dalam batas normal
Memperlihatkan gigi
: dalam batas normal
Pengecapan 2/3 depan lidah
: tidak dievaluasi
Sekresi air mata
: tidakdievaluasi
20
Gambar 5. Posisi kerutan dahi dan tinggi alis mata waktu diam
Gambar 6. Sudut nasolabial saat bersiul
N. Vestibulocochlearis Vestibuler Vertigo
: (-)
Nistagmus
: (-)
Tinitus
: (-/-)
Cochlearis
: tidak dievaluasi
N. Glossopharyngeus dan N. Vagus Bagian Motorik: Menelan
: dalam batas normal
21
Kedudukan arcus pharynx
: sulit dievaluasi
Kedudukan uvula
: sulit dievaluasi
Pergerakan arcus pharynx
: sulit dievaluasi
Detak jantung
: normal
Bising usus
: normal
Bagian Sensorik:
Pengecapan 1/3 belakakang lidah
: sulit dievaluasi
Refleks muntah
: sulit dievaluasi
Refleks palatum mole
: sulit dievaluasi
N. Accesorius Mengangkat bahu
: dalam batas normal
Memalingkan kepala
: dalam batas normal
N. Hypoglossus Disatri
:-
Lidah Tremor
:-
Atrofi
:-
Fasikulasi
:-
Ujung lidah saat istirahat
: dalam batas normal
Ujung lidah saat dijulurkan
: dalam batas normal
Diagnosis Kerja - Ptosis berat suspect SOL ( Space Occupying Lession)
22
Penatalaksanaan -
Pasien disarankan untuk melakukan CT Scan
-
Medikamentosa :
1. Metilprednisolon 16mg (3x1) 2. Ranitidine 150mg (2x1) 3. Vitamin B Complex (1x1)
KIE : 1.
Bagi Pasien : -
Membiasakan pola makan yang sehat seperti mengkonsumsi makanan yang bergizi, mengurangi makanan yang mengandung pengawet dan bersifat karsinogenik.
-
Mencoba berpikiran positif terhadap penyakitnya dan lebih membuka diri kepada keluarga seperti sharing bersama keluarga.
2.
Bagi Keluarga : -
Memberikan dukungan kepada pasien untuk lebih berpikiran positif terhadap penyakitnya
-
Menyarankan pasien untuk menemui psikater apabila pasien mengalami stress yang berkepanjangan hingga kehilangan minat dan semangat.
-
Membantu pasien untuk melakukan kegiatan positif seperti kegiatan rekreasi yang dapat menenangkan pikiran pasien.
23
3.3 Analisa Masalah
Berdasarkan analisa masalah kami menyimpulkan bahwa pasien ini termasuk dalam ptosis acquired derajat berat dan menyingkirkan diagnosa ptosis congenital karena biasanya pada ptosis congenital lebih banyak terjadi pada tahun pertama kehidupan sedangkan pasien tidak ada riwayat ptosis sejak lahir. Ptosis acquired yang terjadi pada pasien akibat gangguan neurogenik karena ada suatu intervensi pada nervus cranial III yang seusai dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah kepada suatu keganasan di otak atau adanya suatu lesi desak ruang. Kasus
Teori SOL
•
Wanita
•
L>>P
•
Usia Muda(29 tahun)
•
Usia >51 tahun
•
Ptosis
•
nyeri kepala, terjadi secara kronik, progresif, berdenyut, dan memberat
24
•
Sakit Kepala dibagian depan
•
seluruh kepala
sudah lama tetapi dirasakan •
menghebat
terutama pada pagi hari, pada
terutama bagian depan dan
•
Muntah tanpa didahului mual
dapat bertambah nyeri saat
•
Hipertensi
mengejan atau batuk
•
Rx :
•
Muntah tanpa didahului mual
•
Metilprednisolon
•
Muntah menyemprot
•
Ranitidine
•
Hemiparese
•
Gangguan penglihatan
•
Ptosis(kelopak mata jatuh)
•
Rx : Glukokortikoid
•
Ranitidine
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat adanya beberapa kecocokan antara kasus dan teori yang mengarahkan pasien menuju ke suatu diagnosa lesi desak ruang (SOL) seperti keluhan pasien mengenai sakit kepala hebat yang dirasakan sejak 1 bulan menetap dan menghebat di bagian depan kepala terasa berdenyut dan juga adanya muntah tanpa disertai mual menunjukkan adanya gejala peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri kepala ini cenderung bersifat intermittent, tumpul, berdenyut dan memberat karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan Cerebral Blood Flow (CBF) dan dengan demikian mempertinggi
tekanan
intrakranial.
Muntah
tanpa
diawali
dengan
mual,
mengindikasikan tumor yang luas dengan efek massa tumor tersebut juga mengidikasikan adanya pergeseran otak. Selain itu terapi yang diberikan juga serupa yakni obat golongan kortikosteroid yakni obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan begitu mengkonsumsi obat ini keluhan pasien hilang.
25
Sehingga gejala-gejala pada pasien ini memperbesar kecurigaan adanya suatu masa intracranial.
26
BAB IV DISKUSI DAN PEMBAHASAN 4.1
Kunjungan Pasien Kegiatan kunjungan pasien dimulai dari tanggal 22 Juli 2017 pukul 10.00 pada
minggu ke V di Puskesmas Bakunase. Dimulai dari anamnesis pasien serta dilakukan pemeriksaan neurologis (pemeriksaan nervus cranial) dan didapatkan adanya gejala ptosis (kelopak mata tidak dapat membuka secara normal). Selain itu terdapat gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala hebat serta muntah. Berdasarkan gejala pasien diduga ptosis pasien disebabkan oleh adanya suatu massa intracranial oleh sebab itu pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan namun pasien belum melakukan pemeriksaan tersebut. Semenjak didiagnosis dengan kecurigaan tumor otak pasien mengalami gangguan secara psikis yakni kesedihan berkepanjangan, menarik diri dari lingkungan, susah tidur, dan tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas. Keluarga pasien mencoba membantu untuk memberi support kepada pasien. Selama kegiatan pengunjungan kami memberi KIE pada pasien : -
Sebaiknya pasien segera melakukan pemeriksaan lanjutan CT Scan agar dapat mengetahui diagnosa pasti sehingga dapat segera diterapi sesuai causa penyebab.
-
Mengkonsumsi makanan bergizi, kurangi makanan yang mengandung pengawet, makanan yang dibakar, serta mengandung bahan karsinogenik.
-
Istirahat yang cukup dan tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat.
-
Lebih banyak terbuka kepada keluarga dan melakukan aktivitas positif seperti melakukan hobi : menjahit, mengikuti kegiatan keagamaan,dan lainnya.
-
Sebaiknya keluarga memberikan dukungan kepada pasien untuk tetap berpikiran positif dan segera melakukan CT Scan.
-
Keluarga lebih memberikan support secara psikis kepada pasien. 27
Gambar 7. Kegiatan Memeriksa Tanda Vital
Gambar 8. Kegiatan Konseling Dan Edukasi Pasien
28
BAB V KESIMPULAN 5.1
Kesimpulan Kegiatan kunjungan didapatkan pasien dengan keluhan kelopak mata tidak dapat
membuka secara normal (ptosis). Ptosis adalah istilah medis untuk suatu keadaan dimana kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau bilateral. Untuk menegakkan diagnosis ptosis, dilakukan berdasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan yang tepat, selain itu juga dapat diketahui causa dari ptosis dan derajat beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan penanganan yang tepat. Seperti pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk dapat mengetahui diagnosa pasti agar bukan hanya diterapi secara simptomatik tetapi dapat juga terapi causal. Selain itu juga pasien perlu diberikan KIE agar dapat memodifikasi gaya hidup dan juga lebih berpikiran positif terhadap penyakitnya. 5.2
Saran Saran bagi pasien : Mengubah pola makan dan memanajemen stress sehingga lebih berpikiran positif terhadap penyakitnya Saran bagi keluarga pasien : Terus memberikan support dan dukungan kepada pasien untuk menghadapi penyakitnya.
29
Saran bagi Puskesmas Bakunase: -
Menghimbau kepada pustu-pustu untuk segera melapor ke Puskesmas apabila ditemukan gejala atau penyakit yang tidak dapat ditangani di pustu.
-
Merujuk pasien-pasien yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut ke fasilitas kesehatan sekunder.
30