Puisi Linus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Data buku kumpulan puisi Judul : Langit Kelabu Penulis : Linus Suryadi AG Cetakan : I, 1980 Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta. Tebal : 75 halaman (57 judul puisi) BP No. 2801 Beberapa pilihan puisi Linus Suryadi AG dalam Langit Kelabu



Lambaian-lambaian Sunyi lambaian-lambaian sunyi langit kelabu abadi senandung senandung duka lambaian-lambaian sunyi langit kelabu abadi adalah kehidupan hari kini 1971



Berdiri di Pinggir Sungai, Demikian Dekat Hati Kita berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita gemericik air pada batu, kelap-kelip ikan memanjangkan tepian dan sebuah pandangan sayup, akan berada dalam jangkauan nian



berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita engkau dan aku yang hibuk, akan bertahan dengan rasa lebat dan teduh angin dahan-dahan tetumbuhan menyambutnya sepertinya geriap pasir pada masanya, seperti penyap air di jurang sana, seakan gelagat engkau dan aku akan terusir karena cuaca berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita engkau dan aku diam, engkau dan aku memancapkan salam jangan juga menerkanya, O, Kekasih muara yang tenggelam 1971 (nb. baris ke 11, engkau dan aku memancapkan salam; saya ragu apakah itu salah cetak dari menancapkan?)



Pada Remang Suatu Malam pada remang suatu malam kuhirup cahaya bintang swara-swara menyusup berpaling dari balik dinding swara-swara mendegap melengking dalam angin pada remang suatu malam kuhirupkan cahaya bintang 1971



Jangan Engkau Menyebut Jua jangan engkau menyebut jua bahwa hujan belum lagi reda sebab kelam melalui jendela rela menghantarkan bauan bunga bayangan terakhir mengusir kita kapan ruang sunyi pun kian hampa membingkai rawan dalam kenangan di dalam abstraksi di dalam diam meninggalkan segumpalan daging seolah kain dalam ayunan angin



bagaikan awan menguraikan hujan adalah angan dalam rindu-dendam 1973



Tergambarkah di Sini, Sunyimu, Segala Dusta tergambarkah di sini, sunyimu, segala dusta geriap angin, merayap, tengah malam purnama hasrat berbagi beban batin bersamamu, bersetia tergambarkan di sini, sunyimu, segala dusta mengurai hikmah, dalam kasih, dalam pesona adalah Wasiat Abadi sebagai saksi kehadiran kita 1973



Begitukah Pandangmu, Sayup, Bagai Bintang begitukah pandangmu, sayup, bagai bintang kemolekan bercahaya, menyusur tanjung-tanjung benua bersandar pada kasih, bumi yang setia sebelum awan menggusur bayang-bayang, dalam duka begitukah pandangmu, sayup, bagai bintang menatap lanskap alam, di luar tatkala diam kegaduhan dalam kelam, mendekap angan muram sebelum makna ganda dari kata menyilang 1973



Melangkahi Selokan, di Liku Gang, Engkau Pulang melangkahi selokan, di liku gang, engkau pulang terbentanglah panjang, jalan, terbujurlah kelam engkau pandang, semak-semak tidur, alpa digenggam menyibak gugus bintang, berserak, angan menyilang masihkah lusuh, perburuan, masihkah sungsang tiada rindu, kan tak rabu, engkau sandang 1973



Cahaya mula-mula Cahaya: berpijar di ufuk jingga



yang gemilang menyingkap tabir Semesta belukar sekeliling, kegelapan berguling yang lantas sepi merajai seluruh cipta kemudian margasatwa, rekah dari janinnya yang lalu mereka berebut menyambut Sabda di setiap saat, di setiap tempat, yang ada tiba-tiba kita: takjub sekaligus duka 1974



Sinar Bintang Menyentuh Rumpun Bunga sinar bintang menyentuh rumpun bunga halaman belakang, kolam, memantulkan cahaya menjadi rahasia pandang, menjadi bayang angan kukira ada wajahmu elok tertinggal di sana ada angin mengendap, lewat, ada wangian menyergap terasa dingin dan asing yang kian lengkap aku berpaling muka, aku berjaga pula tapi tak ada singgah pesanmu bersama-sama 1974



Memandang dalam Petang, Mentari Menyulut Bulan memandang dalam petang, mentari menyulut bulan memandang ada engkau dalam nuansa, aku kembali enggan kini kita sepasang, Tuhan, memandang bayang-bayang 1974



Danau siapakah berkaca di Danau Kehidupan romanmu anggun dan teduh berkilauan sepi dari bujuk, pamrih atas dendam terlihat bening dan hening permukaan bolehkah aku bertamu, datang diam-diam mencuci luka raga-jiwa kotor kusandang sebab batinmu netral diajak bertandang : Purnama merangkul segenap gelombang! 1974



Lalu Kita Ragu-ragu Menyebut; Siapa di Situ lalu kita ragu-ragu menyebut; siapa di situ siapa memadu angan dan kalbu dalam sedu bersandar di pintu, mabok kepayang duka hari-hari terjabat dalam gelap, dalam sunyi semesta lalu kita setia menatap batas cakrawala dinding batas indera ditembus oleh jiwa yang menggelorakan gairah di dalam dada untuk menjangkau – kau – jiwaku risau! 1974



Gereja St. Albertus, Jetis 1974 rumah Tuhan sunyi juga, bertanda salib pada remang pohon-pohon cemara, menunjuk langit bagi mata yang daif, bagi jiwa yang papa bagi kita: jadi tak terkata, duka namanya namun Bulan tiba pula, di atas bangunan tua pelan mengayunkan langkah di sela-sela mega jauh yang di sana, lengang dicerlang cuaca dan dekat pada kita, lambang jarak, sepi sapa 1974



Pegunungan di Selatan, Luruh dalam Hujan pegunungan di selatan, luruh dalam hujan tiada lagi apa sekarang, mengabut hutan berdesik musim menjauh, anginkah yang datang membawa bayang sendiri, menepis jejak hari tiada lagi apa kelam, menggelap malam bergerak dingin menghampiri, O, ayunan Lamban 1974



Surabaya I menggaung lagu Bar, mari kita datang dalam irama mengapung, kata-kata diucapkan redup lampu, engkau-aku, kan tenggelam



memburu gelap kelam, hati kita girang dalam gairah lambung, kaki-kaki diayunkan larat-larut, hikmah hidup, kan menjelang II kurengkuh buaian, hangatmu tubuh prempuan elok dalam dialog, esok saat-saat yang hilang dansa-dansi, basa-basi, kan menepis bayang kujemput terang hari, kutakut hidup sunyi akan rangkulan luput, akan genggaman sayang harap aku, harap aku, kan melepas layang III beri rekah bibir, panas tubuh bergetar dalam regukan subuh, dalam lekapan pusar tahan diri keluh, sebelum menjadi pudar tandas darah menjalar, deras napas bertukar dalam rayapan akhir, dalam tembusan akar bagan sunyi penuh, sebelum habis terbakar IV telaga segala telaga, sekeliling hutan duka tersimpan bijak laki, tersandang liang luka meruah rahmat hari, satu permainan jiwa damba segala damba, kali tujuh berlaga malam habis gelap, malam habis puja terkapar sonder hati, satu senyawa jua V tinggal hanya lengang, anggur indera telanjang menjulur dendam-rindu, menjalar jauh angan menunggu dalam rabu, dalam ketaktentuan jalan hanya tinggal bulan, pucat didera terang seorang melenggang, seraya memegang maut aku, muat aku, dalam dekapan! 1973



Kini Hari Meraba Jalan, Usia Mengiring Langkah kini hari meraba jalan, usia mengiring langkah hari-hari yang mengeras bulan, engkau demikian betah menggelincir jatuh, embun di rumputan tersimpan dalam rabu lusuh



lalu hari menepis jalan, usai diburu resah hari-hari yang membatas bulan, keremangan demikian megah menguyup tubuh, telanjang hari tertahan dalam dingin subuh yang jauh memandang, kan memandang jalan yang jauh mengusut, kan mengusut lengang pengakuan bakal datang, sekali kelak hari-hari tajam memandang, kelengangan sajak



Tentang Linus Suryadi Agustinus



Linus Suryadi Agustinus lahir di Sleman, Yogyakarta, 3 Maret 1951. Kumpulan puisinya: Langit Kelabu (1980), Pengakuan Pariyem (1980), Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1988), Kembang Tunjung (1988), Lingga-Yoni (belum terbit), puisi bersetting wayang dan watak dalam Ramayana dan Mahabrata, Yogya Kotaku (belum terbit). Juga menulis beberapa buku esai sastra dan menyunting Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yang terbit tahun 1987.



Catatan Lain



Langit Kelabu, Sajak-sajak 1971-1973-1974. Begitulah yang tertulis. Tak ada puisi tahun 1972. Kalau menengok ke daftar isi, puisi dibagi tidak berdasarkan subjudul, tapi berdasarkan tahun, yaitu Sajak-sajak 1971 (12 puisi), Sajak-sajak 1973 (13 puisi) dan Sajak-sajak 1974 (32 puisi). Pembacaan sepintas, sajak-sajak dalam kumpulan ini pasti akan mengingatkan ke sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Semacam sajak suasana.              Diposting oleh M. Nahdiansyah Abdi di 18.05 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Label: koleksi Perpustarda Prov. Kalsel, Linus Suryadi AG