Putri Larasati Tugas 4 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA : Putri Larasati PRODI : KIMIA / OFFERING H NIM : 210332626405



TUGAS ANALISIS “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer” Dari jurnal tulisan Robertus Robert pada masa kolonialisme orang Eropa menganalogikan makhluk pribumi sebagai monyet. Di sini yang ditekankan adalah penanaman kewargaan (budak/pribumi dan ras kulit putih) merupakan bagian instrumental untuk berlangsungnya penguasaan kolonial yang lebih besar. Agar kolonialisme bisa terus berjalan maka Negara yang terjajah harus diberikan suatu identitas ras yang inferior atau status kewarganegaraan yang jelas. Maka pribumi saat masa itu dianalogikan sebagai monyet atau budak pribumi agar perbudakan atas pribumi bisa terus berlanjut. Permasalahannya adalah masalah gagasan Monyet Inlander yang merupakan julukan dari orang Eropa kepada pribumi, dimana Inlander adalah seluruh kelompok pribumi dan Monyet sendiri diartikan sebagai para pribumi sebagai mahluk lemah, rendah dan pemalas, di sisi lain ‘si pribumi‘ yang sama diperas dalam perbudakan. Gagasan inilah yang menjadi dasar dari praktek kekuasaan kolonial dengan pandangan yang rasis. Pandangan rasis ini membedakan antara pribumi (budak) dan kutil putih (tuan). Politik identitias kolonial inilah kiranya yang hendak dituju oleh hukum kewargaan Regerings Reglement tahun 1854 yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan yakni Europeanen, Inlanders dan Vreemde Oosterlingen . Kebijakan rasial ini dilanjutkan dengan Undangundang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892 yang menetapkan bahwa mereka yang berada di Nederland Indie termasuk dalam hal ini yang disebut inlanders dan disamakan dengan inlanders tidak diberi status nederlanders. Sementara keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Surianame dengan undang-undang tersebut memperoleh status Nederlanders. Dengan kata lain, dengan meninjau hubungan undang-undang dan praktik perbudakan kolonial yang meliputinya, jelaslah bahwa rasialisme merupakan syarat instrumental bagi kolonialisme. Pengorganisasian politis atas wilayah mental-biologis dalam Manusia Pancasila kemudian dilanjutkan dan disofistifikasi melalui konsepsi kewargaan yang subtil yakni dalam gagasan manusia Indonesia seutuhnya’. Gagasan ini dikencangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun . Konsep itu membangun demarkasi yang lebih kaku antara warga negara yang sepenuhnya menyatu dalam tubuh kepolitikan dan pembangunan negara dengan warga yang ‘didefinisikan berada di luarnya atau ‘yang bukan manusia Indonesia’. Konsepsi ‘manusia Indonesia seutuhnya’, digunakan oleh Orde Baru untuk memantapkan semacam standarisasi – atau normalisasi di dalam Foucault- sehingga dengan itu diharapkan muncul semacam standar baku mengenai siapa manusia Indonesia. Indonesia’ sebagai ‘orang timur’ harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal. Singkatnya, melalui konsep ini, Ode Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan mana-mana yang ‘warga Indonesia’ dan ‘bukan warga Indonesia’, mana-mana ‘warga yang baik’ dan ‘mana- mana warga yang tidak baik’. Dengan konsepsi ini, maka manusia Indonesia sejatinya adalah entitas kebudayaan hasil dari kreasi politik Orde Baru.



Melalui pandangan ini Mochtar Lubis terkesan bermaksud mengambil sikap esensialis tapi kritis terhadap. konsepsi manusia Indonesia. Lubis nampaknya memang tidak sedang bermaksud mengajukan suatu konsep identitas dalam kerangka politik kewargaan. Yang ia ajukan lebih merupakan semacam kritik antropologis menyangkut gejala-gejela kebudayaan pada jamannya. Setiap warga dianggap terhubung sebagai bagian universal dari komunitas internasional dan boleh menikmati perlindungan hak-hak yang juga bersifat universal. Akibatnya, dengan itu, negara juga mesti mengakui kemungkinan-kemungkinan intervensi darimasyarakat internasional menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak warga/individu.Menghadapai tantangan ini, Orde Baru mengambil dua sikap. Yang pertama adalah melalui represi terhadap organisasi-organisasi yang mengajukan gagasangagasan kelas maupun hak-asasi. Yang kedua adalah dengan mengkonsolidasikan gagasan tandingan terhadap universalisme dan populisme kelas baik yang berupa nasionalisme, kuasi-komunitarian, relativisme kebudayaan maupun kuasi-agama. Ketegangan pertama dalam konstruksi politik kewargaan pasca-Soeharto dapat kita ajukan melalui kasus Jemaat Ahmadiyah. Di sinilah kontradiksi kewargaan pertama muncul. Bagi Ahmadiyah hak-haknya sebagai warga hanya berarti apabila eksistensi dalam sistem identifikasi partikularnya diakui. Bagimereka, dengan ditanggalkannya identitas partikularnya, itu artinya lenyap juga keseluruhan sistemidentifikasi universalnya. Hak-haknya sebagai warga negara hanya akan berarti apabila eksistensi dia sebagai ‘Ahmadiyah’ diakui terlebih dahulu. Ahmadiyah menjadi warga Indonesia apabila identitasnya sebagai Ahmadiyah diterima. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa SKB menter-menteri itu pada dasarnya malah mengeksplisitikan suatu kemungkinan yang paling buruk bagi keberadaan suatu kelompok yakni hilangnya identitas kewargaan. Rakyat Indonesia yang berubah. Permasalahan yang muncul disini adalah ketika Sosiolog Bryan S. Turner mengajukan globalisasi dan politik seksual sebagai pemicu munculnya kontradiksi dalam identitas dan kewargaan kontemporer. Di dalam globalisasi, persoalaan mengenai kewargaan muncul sebagai akibat dari tantangan terhadap bentuk-bentuk tradisional negara-bangsa oleh berbagai perkembangan dalam ekonomi-politik internasional misalnya meluasnya rejim monoter,naik/turunnya doktrin Marshall mengenai negara sosial, perpindahan buruh migran, krisis perbatasan yang melahirkan pengungsi dan stateless peoples. Sementara menguatnya diskursus mengenai politik seksual. Akibatnya, di titik ini, boleh dikatakan ‘manusia Indonesia’ sekarang adalah manusia yang terfragmentasi dalam berbagai artikulasi ideologidan politik karena adanya banyak perubahan dari rakyat Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa problem besar kewarganegaraan Indonesia adalah karena pandangan rasis dari kolonial. Seiring perkembangan pandangan rasis ini dapat dihilangkan dengan praktik politik-ekonomi dan antropologi sosial manusia.