Referat Konjungtivitis Alergi Super Final [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KONJUNGTIVITIS ALERGI



Pembimbing : dr. Werlinson Tobing, SpM



Disusun oleh : Daniel Kusnadi (01073170157)



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE 23 APRIL 2018 – 27 MAY 2018 TANGERANG



DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2 BAB I PENDAHULUAN ......................................................... Error! Bookmark not defined. BAB II ........................................................................................ Error! Bookmark not defined. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 3 2.1



ANATOMI & FISIOLOGI9 ..................................................................................... 3



2.2



DEFINISI KONJUNGTIVITIS ALERGI10............................................................ 4



2.3



EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS ALERGI ................................................. 4



2.4



PATOFISIOLOGI KONJUNGTIVITIS ALERGI................................................ 4



2.5



KLASIFIKASI KONJUNGTIVITIS ALERGI10 ................................................... 5



2.6



MANIFESTASI KLINIS1,10 ..................................................................................... 6



2.7 PENDEKATAN DIAGNOSIS KONJUNGTIVITIS ALERGI1 . Error! Bookmark not defined. 2.8



DIAGNOSIS10 ............................................................................................................ 7



2.9



TERAPI10,14 ................................................................................................................ 8



2.10



KOMPLIKASI ..................................................................................................... 11



2.11



EDUKASI ............................................................................................................. 12



BAB III ....................................................................................... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13



2



TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI & FISIOLOGI1 Konjungtiva merupakan membran transparan yang melapisi bagian dalam dari kelopak mata dan bagian anterior dari bola mata , berakhir pada limbus. Konjungtiva dibagi 3 bagian (Gambar 2)2. Konjungtiva palpebral (P), konjungtiva fornix (IF), dan konjungtiva bulbar. Konjungtiva palpebra mulai dari lapisan mukokutan pada kelopak mata. Konjungtiva fornix merupakan lipatan dan bagian transisi dari konjungtiva tarsal ke konjungtiva bulbar. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior dari sklera dan berakhir pada bagian limbus. Stroma dari konjungtiva bulbar tidak menempel dengan kuat pada kapsul tenon, kecuali pada bagian limbus dimana kedua lapis dari kapsul tenon dan konjungtiva menjadi satu. Batas bagian batas radier pada limbus, konjungtiva membentuk jaringan palisade Vogt. Lokasi ini diduga sebagai reservoir dari sel punca kornea. Perdarahan dari konjungtiva dipercabangi oleh arteri siliar anterior dan arteri palpebra. Drainase limfatik dari konjungtiva menuju pada nodus preaurikuler dan submandibular. Konjungtiva memiliki 3 lapisan secara histologi (Gambar 1)3. Lapisan pertama adalah lapisan epitel. Lapisan epitel biasa berkedalaman 5 lapis. Pada bagian basal, lapisan epitel disusun oleh epitel kuboid dan bertransformasi menjadi polyhedral. Sel goblet berada pada bagian epitel, paling banyak pada bagian fornix dan inferonasal. Lapisan stroma terdiri dari jaringan ikat dan kaya akan vaskularisasi. Pada bagian ini terdapat kelenjar aksesoris lakrimal krause dan wolfring. Pada lapisan terakhir adalah lapisan CALT. Lapisan ini tersusun atas jaringan linfoid yang terdiri dari limfosit, pembuluh limfatik, dan pembuluh darah.



Gambar 2 : Histologi Konjungtiva11



Gambar 1 : Anatomi Permukaan Konjungtiva10



3



2.2 DEFINISI KONJUNGTIVITIS ALERGI4 Konjungtivitis alergi merupakan reaksi imunologis pada konjungtiva yang dimediasikan oleh IgE dan dihubungkan dengan rasa gatal, kemerahan pada konjungtiva, dan sekresi air mata. 2.3 EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS ALERGI Alergi pada bola mata diperkirakan diderita oleh 20 % dari populasi tahunan. Penyakit ini paling sering terjadi pada dewasa muda dengan onset rata-rata 20 tahun. Konjungtivitis bakteri lebih sering pada anak dibandingkan dengan orang dewasa.5,6 Intensitas gejala biasa menurun seiring bertambah nya umur. Akan tetapi, orang tua juga masih bisa berlanjut dengan gejala yang parah. 7–10 Pada suatu survei yang diadakan pada tahun 1993, proporsi pasien yang didiagnosis penyakit alergi konjungtiva ada 12.2 % pada anak dan 14.8% pada orang dewasa. Berdasarkan gender, pasien perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki dengan perbandingan 2 : 1 pada penyakit PAC dan SAC. Pada kelainan VKC pasien laki-laki lebih banyak dari pasien perempuan dengan perbandingan 2 : 1.4



2.4 PATOFISIOLOGI KONJUNGTIVITIS ALERGI Konjungtivitis alergi merupakan radang pada konjungtiva yang diakibatkan oleh allergen yang bersentuhan dengan permukaan mata pasien yang alergi dengan substansi allergen tersebut. Hal ini merupakan reaksi dari hipersensitivitas tipe I, yang mirip dengan patofisiologi dengan penyakin atopi lainnya. Berdasarkan hasil dari swab konjungtiva, terdapat 2 fase dari respon alergi pada konjungtivitis alergi. Pertama, respon langsung oleh alergen yang dimediasi dengan mayoritas sel mast. Sel ini berada dengan konsentrasi tinggi pada epitel konjungtiva dan meningkat lebih lagi pada orang yang menderita konjungtivitis alergi. 11 Sel mast menjadi aktif dan ketika terjadi cross-link allergen-specific IgE pada permukaan sel, akan terjadi eksositosis mediator kimia dari sel mast. Histmain merupakan mediator utama pada respon awal yang mengakibatkan vasodilasi, peningkatan perbeabilitas vaskuler, dan rasa gatal. Reseptor H1 dan H2 berperan dalam alergi pada bola mata. Peningkatan histamin dibuktikan pada suatu penelitan dengan pasien seasonal allergic conjunctivitis.12 Kedua, fase lanjut dari konjungtivitis alergi dimulai dengan influx dari sel inflamasi lainnya, yang diakibatkan oleh respon kemotaksis dari sitokin dan kemokin 4



yang dilepas oleh sel mast pada fase langsung. Eosinophil, basophil, dan neutrophil muncul setelah 6-10 jam setelah kontak dengan alergen yang diikuti dengan limfosit dan monosit. Eosinophil memproduksi dan melepaskan leukotriene C 4, peroksida eosinofilik, protein kation eosinophil, dan histamin kedalam air mata. Aktivitas sel ini mengakibatkan inflamasi yang berkelanjutan.13 2.5 KLASIFIKASI KONJUNGTIVITIS ALERGI4 • Konjungtivitis alergi akut1 Merupakan reaksi hipersensitivitas dengan onset mendadak yang diakibatkan oleh paparan lingkungan tanpa diikuti dengan perubaan proliferatif dari konjungtiva, biasanya akibat alergen yang sudah lazim diketahui seperti bulu kucing. Gejala biasa muncul secara cepat (dalam 30 menit). Ketika paparan dengan alergen berakhir, gejala membaik dalam waktu satu hari. Gejala yang dialami pasien biasa berupa gatal, hiperemis, menangis, kemosis, dan edema pada kelopak mata. •



Seasonal Allergic Conjunctivitis Konjungtivitis alergi tipe ini biasa dikenal dengan beberapa nama,



konjungtivitis alergi, rhinokonjungtivitis alergi, dll. Hal ini sering diasosiasikan dengan rhinitis dan polen dari lingkungan. SAC merupakan konjungtivitis alergi yang tidak disertai perubahan proliferasi pada konjungtiva. SAC biasa timbul dengan onset yang lambat, berkembang dalam hitungan hari atau minggu, dan biasanya spesifik terhadap polen yang keluar dalam suatu musim. •



Perennial Allergic Conjunctivitis Merupakan reaksi alergi yang dimediasi oleh reaksi IgE yang terjadi sepanjang



tahun tanpa disertai dengan perubahan proliferatif pada konjungtiva. Contoh nya, tungau, tungau hewan, jamur, atau disebabkan juga oleh sensitisasi multiple. Yang membedakan PAC dengan SAC adalah PAC merupakan kondisi kronis, dengan gejala persisten dan ringan. Gejala diperparah ketika paparan alergen diperpanjang atau diperparah dengan faktor iritasi nonspesifik lainnya. •



Konjungtivitis Atopik Merupakan alergi konjungtival kronis yang dapat terjadi pada pasien yang



menderita dermatitis atopi atau kelainan atopi lainnya. Temuan papila besar, “cobblestone appearance”. Akan tetapi banyak kasus konjungtivitis atopik tidak mengalami perubahan proliferatif. •



Konjungtivitis Vernal 5



Merupakan alergi konjungtival dengan perubahan proliferatif. Perubahan proliferatif ini dapat berupa hiperplasia papilar dari konjungtiva palpebral. Konjungtivitis vernal biasa didampingi dengan dermatitis atopik. Lesi kornea dapat ditemukan pada konjungtivitis vernal. •



Giant Papillary Conjunctivitis Merupakan suatu kondisi konjungtivitis alergi yang disertai dengan perubahan



proliferatif pada konjungtiva palpebral yang diinduksi oleh iritasi mekanis seperti lensa kontak, dll. Secara klinis, kondisi ini berbeda dengan konjungtivitis vernal dengan tidak ditemukannya lesi kornea. 2.6 MANIFESTASI KLINIS14,4 Pasien yang menderita konjungtivitis alergi biasa akan mengeluhkan gejala gatal sebagai gejala subjektif. Ketika gejala gatal tidak ditemukan, sebagai klinisi, kita harus mencurigai penyebab lain. Mata merah dan edema kelopak mata juga umum terjadi sebagai gejala objektif. Gejala dari konjungtivitis alergi biasa terjadi bilateral. Akan tetapi dapat juga terjadi secara unilateral. Krusta juga dapat terbentuk pada pagi hari. Sekret dari konjungtivitis alergi biasanya serosa. Ketika terjadi rasa nyeri pada mata, kita harus curiga penyebab lain seperti glaucoma dan episcleritis. Dari anamnesis, biasa pasien memiliki riwayat atopi, alergi musiman, maupun alergi spesifik. Biasa kita dapat menanyakan riwayat penyakit dahulu pasien, faktor apa saja yang mencetuskan hal ini. Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan hiperemis dari konjungtiva, sekresi airmata berlebih, sekret serosa, rasa terbakar, dan kemosis. Injeksi konjungtiva harus tersebar di seluruh konjungtiva, yang mempengaruhi konjungtiva bulbi dan tarsal. Apabila terjadi injeksi yang fokal, maka kemungkinan penyebab nya bukan konjungtivitis. Papilla konjungtiva dapat juga ditemukan pada konjungtiva tarsal dengan Teknik eversi. Papilla merupakan struktur yang terbentuk sebagai respon inflamasi. Papila dapat berdiameter 1 mm atau lebih. Papila biasa dapat ditemukan pada konjungtiva tarsal pada palpebra superior. Berbeda dengan papila, pada konjungtivitis alergi jarang ditemukan folikel pada konjungtiva. Folikel biasa ditemukan pada alergi kronis yang dimediasi oleh sel T. Folikel ini merupakan jaringan limfoid. Folikel paling sering ditemukan pada bagian fornix dari konjungtiva. 6



2.7 DIAGNOSIS4 Diagnosis dari konjungtivitis alergi dapat ditegakan dengan gejala alergi tipe I, dengan gejala objektif dan subjektif disertai dengan inflamasi akibat alergi. Diagnosis dapat dipastikan dengan membuktikan reaksi alergi tipe I pada konjugtiva. Kriteria diagnosis dari konjungtivitis alergi dapat dibagi tiga. Diagnosis klinis, kuasi-definitif, dan diagnosis definitif. Diagnosis klinis dapat ditegakan dengan gejala subyektif dan obyektif. Diagnosis kuasi-definitif dapat ditegakan dengan gejala klinis subyektif dan obyektif ditambah dengan gejala diatesis alergi tipe I. Diagnosis definitif dapat ditegakan dengan diagnosis klinis ditambah dengan bukti reaksi alergi tipe I dengan cara penemuan eosinofil pada smear dari sekret mata. Pada bagian ini akan dibahas teknik diagnosis dari SAC, PAC, konjungtivitis atopik, konjungtivitis vernal, dan GPC. •



Seasonal Alergic Conjunctivitis Diagnosis klinis dari SAC dapat ditegakan dengan gejala subjektif seperti rasa gatal, lakrimasi, hiperemi, dan sensasi benda asing. Disertai dengan gejala objektif yang mencakup hiperemi konjungtiva, edema konjungtiva, dan papil pada konjungtiva. Diagnosis kuasi-definitif dapat ditegakan dengan ditemukan positif serum antigen IgE spesifik atau reaksi kulit positif. Dapat juga digunakan IgE total dari cairan lakrimal. Pada tingkat diagnosis ini, kemungkinan besar pasien sudah bisa mendapatkan diagnosis definitif. Diagnosis definitif dapat ditegakan dengan apusan sekret dari mata dengan eosinofil.







Perennial Allergic Conjunctivitis Diagnosis klinis dari PAC dapat ditegakan dengan gejala subjektif rasa gatal pada mata, lakrimasi, hiperemis, dan sekret pada mata yang terjadi pada setiap musim. Gejala objektif dari PAC adalah papil dan hiperemis pada konjungtiva. Kasus PAC biasanya berlangsung kronis. Alergen yang paling sering bertanggung jawab adalah tungau. Gejala biasa tidak begitu parah. Kriteria objektif pada PAC masih kurang, sehingga dalam diagnosis dibutuhkan bukti reaksi alergi tipe I dengan smear kelenjar lakrimal. Akan tetapi karena reaksi klinis yang ditimbulkan



7



biasanya ringan, eosinofil biasa nya jarang ditemukan dalam kasus ini. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan berulang untuk diagnosis definitif. •



Konjungtivitis Atopik Konjungtivitis atopik biasanya diakibatkan oleh reaksi atopi dari dermatitis atopi. Reaksi ini kemudian menimbulkan komplikasi konjungtivitis. Lesi proliferatif dapat terjadi seperti papil besar/ “cobblestone”. Lesi jangka panjang dapat mengakibatkan pemendekan fornix dan simblefaron. Total IgE Ab pada serum dan cairan lakrimal dapat ditemukan. Selain itu, hasil positif dari serum spesifik antigen IgE Ab dapat ditemukan dalam jumlah yang tinggi.







Konjungtivitis Vernal Merupakan konjungtivitis dengan gejala yang parah. Konjungtivitis vernal biasa terdapat lesi proliferatif pada konjungtiva palpebral superior. Dapat juga teradi proliferasi pada daerah limbus. Hal ini dapat mengakibatkan lesi pada kornea. Penyebab paling banyak dari kongjungtivitis vernal adalah tungau. Pemeriksaan swab eosinofil, IgE Ab serum, dan serum specific antigen biasa akan terdeteksi dengan mudah.







Giant Papillary Conjunctivitis Pada kasus pasien dengan lensa kontak, bahan prostetik mata, atau bekas jahitan mata, disertai dengan gejala subjektif dan objektif dari konjungtivitis alergi, maka diagnosis klinis GPC dapat ditegakan. Pada kasus ini, keterlibatan reaksi alergi tipe I masih belu begitu diketahui. Karena, kemungkinan positif dari IgE spesifik jarang ditemui dan tingkat positif pada swab konjungtiva untuk smear eosinofil juga jarang ditemui.



2.8 DIFERENSIAL DIAGNOSIS Secara umum, penampakan klinis dari seluruh konjungtivitis adalah mata merah yang merata (diffuse). Pasien dengan konjungtivitis bakteri dapat dengan mudah dibedakan dengan sekret yang mukopurulen dibandingkan dengan konjungtivitis viral dan alergi. Konjungtivitis viral dan alergi agak sulit dibedakan melalui sekret. Berikut (tabel 1) yang menjabarkan gejala konjungtivitis viral yang lebih spesifik untuk membedakan konjungtivitis alergi dan viral serta bakteri.



8



Table 1 : Diferensial Diagnosis Konjungtivitis Alergi



Viral Keratoconjunctivitis Adenoviral



Herpes Simplex Virus



Varicella (herpes) zoster



Molluscum contagiosum Bacterial Nongonococcal gonococcal Chlamydial



Limfadenopati preaurikuler, lesi kornea, keratitis pungtata, pseudomembrane, ekimosis, sekret serosa, folikel konjungtiva Rash vesikuler, ulserasi kelopak mata, dendritik keratitis, pleomorphic epitelial keratitis, folikel konjungtiva, sekret serosa Preaurikuler lymphadenopati, keratitis pungtata atau dendritik, hampir sama dengan herpes simplex virus Single/multiple dome shapped umbilicated lession Sekret Purulent/mucopurulent Infiltrat kornea Neonatus : tidak ada folikel konjungtiva bulbi Dewasa : folikel konjungtiva bulbi



2.9 TERAPI4,15 A. Penanganan Awal Pasien dapat melakukan beberapa hal saat terkena konjungtivitis alergi. •



Pasien disarankan untuk tidak menggosok matanya. Karena menggosok mata dapat mengakibatkan degranulasi sel mast dan memperburuk keadaan pasien







Pasien dapat mencoba kompres dingin untuk mengurangi edema kelopak mata dan periorbit







Pasien dapat menggunakan saline untuk dilusi alergen







Pasien harus mengurangi atau menghentikan penggunaan lensa kontak saat periode simptomatik.







Pasien harus selalu mencoba menghindari alergen



B. Terapi untuk Penyebab Spesifik 1) Konjungtivitis Alergi Akut Kasus konjungtivitis alergi akut biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang karena biasanya bersifat self limiting. Manajemen utama nya adalah pencegahan paparan dari alergen. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah: 9







Antihistamin/vasokonstriktor biasa efektif dalam menangani gejala dalam jangka pendek. Biasa dalam kurun waktu 24 jam, contoh obat nya adalah naphazoline 0.25 % dan peniramine 0.3 %. Dapat diberikan 1-2 tetes setiap mata hingga 4 kali sehari. Obat jenis ini maksimal dipakai dalam kurun waktu 2 minggu.







Antihistamin topikal dengan mast cell stabilizer juga efektif. Terapi ini dapat diberikan apabila pasien masih ada keluhan setelah pemberian antihistamin dan vasokonstriktor selama 2 minggu. Obat golongan ini dapat berupa olopatadine 0.1 % 1 tetes per mata 2 kali sehari sekali, apabila menggunakan olopatadine 0.2% dan 0.7 % dapat diberikan 1 tetes 1 hari sekali. Obat ini biasa dapat menimbulkan sensasi rasa terbakar dan mata kering sesaat setelah diteteskan, oleh karena itu dapat diberikan artificial tears.



2) SAC Pada pasien dengan SAC, pengobatan harus dimulai dari 2-4 minggu sebelum mulainya gejala. Obat topikal dengan mast cell stabilizer dan antihistamin lebih dianjurkan pada pasien dengan SAC. Dosis obat sama dengan pemberian saat alergi akut. Diberikan hingga musim alergi selesai 3) PAC Pada pasien dengan PAC dapat diberikan obat topikal dengan mast cell stabilizer. Dosis sama dengan pemberian pada konjungtivitis alergi akut. Pada pasien dengan rhinitis alergi, dapat diberikan oral antihistamin cetrizine dosis 10 mg per hari. 4) Konjungtivitis Vernal Penanganan awal konjungtivitis vernal dapat diberikan topical mast cell stabilizer dan antihistamin serta perawatan mata dasar. Ada beberapa jenis obat antihistamin-mast cell stabilizer yang dapat diberikan, cth nya olopatadine dapat diberikan dengan dosis maksimal seperti pada penanganan konjungtivitis alergi akut. Perawatan mata awal dapat berupa penghindaran alergen, tidak menggosok mata, dan kompres dingin. Setelah penanganan awal sudah dilakukan, kita harus menilai apakah pasien memiliki tingkat penyakit yang mild, moderate, atau severe. Pada gejala 10



mild tidak terdapat photophobic dan tidak ada defisit visus. Pada gejala moderate terdapat defisit visus dan fotofobik akan tetapi tidak ada lesi kornea. Pada gejala severe terdapat lesi kornea dan semua gejala diatas. Pada gejala moderate hingga severe dapat ditambahkan antihistamin oral berupa cetrizine dengan dosis 10 mg per hari. Evaluasi penanganan selama 2 hingga 3 minggu, apa bila terjadi perbaikan, lanjutkan terapi hingga musim alergi berakhir. Apabila tidak terjadi perbaikan, rujuk ke spesialis mata. 5) Konjungtivitis Atopik Setiap pasien dengan suspek atopik keratokonjungtivitis harus di rujuk ke spesialis mata. Akan tetapi penanganan awal non medikamentosa pada mata seperti yang sudah disebutkan pada bagian konjungtivitis vernal dapat dilakukan terlebih dahulu disertai dengan terapi medikamentosa berupa olopatadine dengan dosis yang sama dengan konjungtivitis alergi. Apabila tidak terjadi perbaikan setelah 2-3 minggu pengobatan, maka harus dirujuk kespesialis mata untuk terapi steroid. 6) GPC Terapi GPC secara garis besar mengubah faktor etiologis. Faktor etiologis dapat berupa jahitan yang menonjol, lensa kontak, prostetik okuler, dll. Pada GPC yang berhubungan dengan lensa kontak, dapat dilakukan, penggantian lensa kontak yang lebih sering, menurunkan lama pemakaian, meningkatkan frekuensi dari terapi enzim (berguna untuk menghilangkan debri protein), memberikan mast cell stabilizer, penggunaan lensa kontak nonpreservative, dll. Pemberian mast cell stabilizer dan antihistamin sama dengan dosis pada konjungtivitis alergi. Pada pasien dengan GPC yang parah, dapat dilakukan pemberhentian penggunaan



lensa



kontak



selama



beberapa



minggu



hingga



bulan



dikombinasikan dengan pemberian kortikosteroid oleh dokter spesialis mata. Apabila kortikosteroid digunakan dalam pengobatan, harus dimonitor IOP dan dilatasi pupil untuk evaluasi katarak dan glaukoma. 2.10



KOMPLIKASI Komplikasi dari penyakit konjungtival alergi tergantung dari jenisnya. Apabila pasien menderita konjungtivitis alergi akut yang dapat berupa seasonal atau perennial maka biasanya tidak terjadi komplikasi. Apabila pasien menderita VKC maka dapat terjadi penurunan tajam penglihatan. Dari suatu 11



penelitian di arab saudi, pada tahun 1995-1997, dari 58 pasien, 55 % pasien menderita penurunan tajam penglihatan dari 20/50 hingga 20/200 dengan koreksi. Temuan klinis pada pasien ini berupa glaukoma yang dipicu steroid, katarak yang dipicu steroid, lesi pada kornea, astigmat ireguler, keratoconus, hiperplasia limbus, dan sindroma dry eye.16 Komplikasi pada AKC dapat berupa, keratokonus, glaukoma karena steroid, dapat juga terjadi karsinoma sel skuamosa. Pasien dengan AKC juga lebih rentan terkena herpes simplex keratitis dan keratitis herpetic bilateral.17 Komplikasi pada GPC biasa jarang terjadi apabila diatasi. Namun, apabila tidak diatasi, GPC dapat mengakibatkan acquired ptosis.18 2.11



EDUKASI Konjungtivitis merupakan inflamasi pada konjungtiva. Konjungtiva merupakan membran yang membungkus bagian dalam kelopak mata dan bagian putih pada mata. Konjungtivitis dapat diderita orang dewasa maupun anakanak, gejala yang paling sering muncul adalah mata merah. Ada banyak penebab konjungtivitis, beberapa hal diantaranya adalah, infeksi bakteri, virus, dan alergi. Konjungtivitis alergi biasa diakibatkan oleh alergen yang bersentuhan dengan permukaan mata. Alergen ini dapat timbul tergantung musim, sepanjang tahun, atau tiba-tiba. Gejala dari serangan konjungtivitis alergi biasanya mata merah dan rasa gatal. Apabila terjadi serangan, hindari menggosok mata. Pemberian air mata buatan, kompres dingin, dan antihistamin dapat membantu. Kurangi kontak dengan alergen, pakai AC, dan menutup jendela rumah apabila sedang musim nya. Apabila pasien yang menderita alergi perennial, dapat dirujuk kepada spesialis alergi untuk mengetahui faktor pencetus alergi. Pada



pasien yang menderita



perennial



atau



seasonal



dapat



menggunakan mast cell stabilizer dengan antihistamin, contoh obat nya dalah koltifen.



12



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.



5.



6.



7.



8.



9.



10.



11.



12.



13.



14. 15.



16.



Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach. 8th ed. China: Elsevier Ltd; 2016. 887 p. J. Song B, Nahyoung G, M. Haq S, D. Ziesker J, D. Trocme S. Duane’s Ophthalmology. Kenneth GN, editor. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2007. L. Mescher A. Junquiera’s Basic Histology Text & Atlas. 13th ed. Weitz M, editor. New York: McGraw-Hill Ed; 2013. 495 p. Takamura E, Uchio E, Ebihara N, Ohno S, Ohashi Y, Okamoto S, et al. Japanese guideline for allergic conjunctival diseases. Allergol Int [Internet]. 2011;60(2):191– 203. Available from: http://dx.doi.org/10.2332/allergolint.11-RAI-0335 Rietveld RP, ter Riet G, Bindels PJE, Sloos JH, van Weert HCPM. Predicting bacterial cause in infectious conjunctivitis: cohort study on informativeness of combinations of signs and symptoms. BMJ [Internet]. 2004 Jul 24;329(7459):206–10. Available from: http://dx.doi.org/10.1136/bmj.38128.631319.AE Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG, Hendley JO, Benjamin J, Dickens M, et al. Etiology of acute conjunctivitis in children. J Pediatr [Internet]. 1981 Apr;98(4):531–6. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6970802 Rosario N, Bielory L. Epidemiology of allergic conjunctivitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol [Internet]. 2011 Oct;11(5):471–6. Available from: http://dx.doi.org/10.1097/ACI.0b013e32834a9676 Kusunoki T, Morimoto T, Nishikomori R, Yasumi T, Heike T, Fujii T, et al. Changing prevalence and severity of childhood allergic diseases in kyoto, Japan, from 1996 to 2006. Allergol Int [Internet]. 2009 Dec;58(4):543–8. Available from: http://dx.doi.org/10.2332/allergolint.09-OA-0085 Wang H-Y, Pizzichini MMM, Becker AB, Duncan JM, Ferguson AC, Greene JM, et al. Disparate geographic prevalences of asthma, allergic rhinoconjunctivitis and atopic eczema among adolescents in five Canadian cities. Pediatr Allergy Immunol [Internet]. 2010 Aug;21(5):867–77. Available from: http://dx.doi.org/10.1111/j.13993038.2010.01064.x Singh K, Axelrod S, Bielory L. The epidemiology of ocular and nasal allergy in the United States, 1988-1994. J Allergy Clin Immunol [Internet]. 2010 Oct;126(4):778– 783.e6. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jaci.2010.06.050 Tsubota K, Takamura E, Hasegawa T, Kobayashi T. Detection by brush cytology of mast cells and eosinophils in allergic and vernal conjunctivitis. Cornea [Internet]. 1991 Nov;10(6):525–31. Available from: http://dx.doi.org/10.1111/all.12009 Ehlers WH, Donshik PC. Allergic ocular disorders: a spectrum of diseases. CLAO J [Internet]. 1992 Apr;18(2):117–24. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1606674 Fauquert JL, Jedrzejczak-Czechowicz M, Rondon C, Calder V, Silva D, Kvenshagen BK, et al. Conjunctival allergen provocation test : guidelines for daily practice. Allergy Eur J Allergy Clin Immunol. 2017;72(1):43–54. Cronau H, Kankanala RR, Mauger T. Diagnosis and management of red eye in primary care. Am Fam Physician. 2010;81(2):137–45. American Academy of Ophthalmology Cornea/External Disease Panel. Preferred Practice Pattern® Guidelines. Conjunctivitis. Am Acad Ophthalmol. 2013;: www.aao.org/ppp. Tabbara KF. Ocular complications of vernal keratoconjunctivitis. Can J Ophthalmol [Internet]. 1999 Apr;34(2):88–92. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10321319 13



17.



18.



Garff K, Trief D. Atopic Keratoconjunctivitis [Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2018 [cited 2018 May 1]. Available from: http://eyewiki.aao.org/Atopic_Keratoconjunctivitis Chrysavgi A, A. Paula G. Allergic Conjunctivitis [Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2017 [cited 2018 May 1]. Available from: http://eyewiki.aao.org/Allergic_conjunctivitis



14