Referat Saraf - Alfatun Jamiah (1830912320006) - Myasthenia Gravis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



MYASTHENIA GRAVIS



Oleh: Alfatun Jamiah, S.Ked 1830912320006



Pembimbing: dr. Muhammad Welly Dafif, Sp.S



BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN September, 2021



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3 A. Definisi........................................................................................... 3 B. Epidemiologi................................................................................... 3 C. Patofisiologi.................................................................................... 4 D. Klasifikasi....................................................................................... 6 E. Manifestasi Klinis........................................................................... 7 F. Diagnosis......................................................................................... 9 G. Tatalaksana..................................................................................... 14 H. Komplikasi...................................................................................... 17 I. Prognosis.......................................................................................... 18 BAB III PENUTUP....................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 20



ii



BAB I PENDAHULUAN



Myasthenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular / disorders of neuromuscular transmission (DNMT) yang paling sering terjadi. Pada MG terjadi permasalahan transmisi di mana terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di serat otot (post synaptic) yang mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot). Myasthenia gravis ditandai oleh kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat.1 Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien MG diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin.2 Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian MG. Populasi MG terbilang kecil apabila dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Meskipun jumlahnya yang sedikit namun pasien tetap merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang ditimbulkan oleh proses penyakit.3 Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis diklasifikasikan menjadi 4 kelas. Kelas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. Kelas II, adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular, otot okular mengalami kelehaman dalam berbagai derajat. Kelas III, adanya kelemahan tingkat sedang pada otot-otot lain selain otot okular, otot okular



1



2



mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas IV, adanya kelemahan dalam derajat yang berat pada otot-otot selain otot okular, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas V, pada kelas ini penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.4 Salah satu permasalahan yang dialami oleh pasien MG adalah memiliki kondisi bekerja yang kurang ideal. Kondisi ini terjadi terutama karena gangguan fisik sehingga menyebabkan tujuan pekerjaan tidak dapat tercapai. Beberapa pasien MG mengalami kesulitan dalam aktivitas sekolah atau bekerja serta masalah dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka. 5 Myasthenia gravis memiliki konsekuensi psikologis seperti gangguan kecemasan, meliputi gangguan panik serta gangguan depresif. Pada tinjauan pustaka kali ini akan dibahas mengenai definisi hingga penatalaksanaan myasthenia gravis.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Myasthenia gravis adalah kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular junction. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.6 Spektrum gejala kelemahan otot berkisar dari okular murni hingga kelemahan parah pada ekstremitas, bulbar, dan otot pernapasan. Usia onset bervariasi dari masa kanak-kanak hingga dewasa akhir dengan puncak penyakit pada wanita dewasa muda dan pria yang lebih tua.7 B. Epidemiologi Prevelansi myasthenia gravis adalah 14 per 100.000 populasi (kira-kira 17.000 kasus) di Amerika. Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya sama. myasthenia gravis dapat terjadi di seluruh etnis, usia dan dapat menyerang pria ataupun wanita. Biasanya penyakit ini menyerang orang berusia 20-50 tahun. Rasio perbandingan pria dan wanita adalah 6:4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda yaitu sekitar 28 tahun. Sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Insiden myasthenia gravis pada anak-anak 0,9 – 2,0 kasus per 1 juta anak tiap tahun pada populasi



3



4



pediatrik usia 0 – 17 tahun di Kanada dari tahun 2010 hingga 2011. Angka yang lebih tinggi didapatkan di Amerika Utara, yaitu 9,1 per 1 juta penduduk. Sebanyak 4,2% terjadi pada usia 0 – 9 tahun dan 9,5% pada usia 9 – 19 tahun. Myasthenia gravis tipe okuler lebih banyak pada ras Asia, sedangkan tipe generalisata lebih banyak pada ras Eropa dan Amerika.6,7 C. Patofisiologi Patofisiologi MG terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu:8 1. Defek transmisi neuromuskular Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor keselamatan pada proses transmisi neuromuskular. Faktor keselamatan adalah perbedaan potensial pada motor endplate dan potential threshold yang dibutuhkan untuk menimbulkan potensial aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot. Menurunnya potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya reseptor asetilkolin.8 2. Autoantibodi Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot rangka. Antibodi AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma pada postsinaps permukaan otot. Selanjutnya antibody AChR akan bereaksi silang dengan AChR sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibody AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion.8



5



3. Patologi timus Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar 10% pasien MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR dan antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga hyperplasia timus folikular pada pasien MG tipe awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan lambat. 4. Defek pada sistem imun MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai sel B. Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari sel T CD4+ (Sel T helper). Mereka akan menyekresikan sitokin inflamasi yang menginduksi reaksi autoimun terhadap self-antigen dan akhirnya mengaktifkan sel B.



Gambar 2.1. Atas: Paut saraf otot normal, menunjukkan ujung saraf presinaptik dan postsynaptic muscle endplate. Bawah:(A) antibodi reseptor asetilkolin memblokade cholinergic binding site dari reseptor asetilkolin (AChR), mencegah asetilkolon berikatan dengan reseptor. (B) antibodi reseptor asetilkolin melakukan cross-link dengan AChR terdekat, meningkatkan laju internalisasi ke dalam otot. (C) antibodi reseptor asetilkolin yang mengikat komplemen menyebabkan destruksi muscle endplate dan menekan jumlah AChR.8



6



D. Klasifikasi Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat diklasifikasikan sebagai berikut:9 Tabel 2.1 Klasifikasi Myasthenia Gravis



Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana myasthenia gravis dibagi menjadi:6 1. Ocular miastenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian. 2. Generalized myasthenia a. Mild generalized myasthenia Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.



7



b. Moderate generalized myasthenia Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon terhadap obat tidak memuaskan. 3. Severe generalized myasthenia Acute fulmating miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortalitas tinggi. Late severe miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelanpelan atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.6 E. Manifestasi Klinis Penyakit myasthenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya myasthenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secara abnormal (ptosis).5,10



8



Gambar 2.2 Ptosis pada myasthenia gravis generalisata A. Kelopak mata tidak simetris, kelopak mata kiri lebih rendah B. Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah



Myasthenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langitlangit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita myasthenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris . Bila seorang penderita myasthenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut myasthenia gravis



9



okular. Penyakit myasthenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa. Myasthenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit myasthenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis myasthenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita myasthenia gravis.6,10  Myasthenic crisis Keadaan pasien myasthenia gravis yang menjadi lebih buruk, dapat disebabkan oleh pekerjaan fisik yang berlebihan, infeksi, melahirkan, obat yang menyekat neuromuskular, misalnya streptomisin, kurare, kina, quinidine, kloroform, eter, morfin, sedative, muscle relaxan, penggunaan urus-urus, (enema), mungkin disebabkan oleh karena hilangnya kalium.6  Cholenergic crysis Disebabkan oleh pengobatan dengan kolinesterase atau obat-obat kolinergik yang berlebihan. Hal ini menyebabkan penyebaran blok depolarisasi dari transmisi neuromuskular. Diagnosis ditegakkan dengan melihat pupil diameter < 2 mm (miosis). Tanda klinis yaitu diare, miosis, bronkospasme, emesis, lakrimasi dan hipersalivasi.6 F. Diagnosis Diagnosis myasthenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.11



10



1. Anamnesis Pada anamnesis ditanyakan mengenai tanda dan gejala yang sudah dijelaskan dibagian atas dan riwayat keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat pengobatan. 2. Tes Klinik Sederhana a. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif). b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang secara bertahap (tes positif). c. Pasien diminta mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah pita suara pasien menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka pasien disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya kembali membaik dan ptosis juga menghilang.11 3. Uji Tensilon (Endrophonium Chloride) Endrofonium



merupakan



antikolinesterase



kerja



pendek



yang



memperpanjang kerja asetilkolin pada neuromuscular junction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 89 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Myasthenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon



11



sangat singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.12



Gambar 2.3 Tes Edrofonium dan EMG pada myasthenia gravis12 Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat myasthenia gravis dengan penyebab lainnya yaitu tes ice pack. Pendinginan dapat memperbaiki transmisi neuromuskuler, sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di kelopak mata akan memperbaiki ptosis. Es dapat ditempatkan di dalam sarung tangan atau dibungkus handuk dan diletakkan secara lembut di atas kelopak mata selama 2 menit atau 5 – 10 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat resolusi ptosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 96%. Tes edrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan edrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (shorta cting) yang



12



bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur secara objektif. Pemeriksaan ini membutuhkan monitoring kardiorespirasi dan hati-hati apabila terdapat kecurigaan besar terhadap myasthenia gravis kongenital, karena pasien sering menunjukkan perburukan klinis akibat pemberian penghambat asetilkolinesterase. Tes ini berguna membantu diagnosis myasthenia gravis atau membedakan antara krisis miastenik dan krisis kolinergik. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu singkat dan durasi aksi obat yang cepat. Sebelumnya harus di pastikan bahwa jalan napas pasien paten dan ventilasi adekuat. Dosis inisial diberi kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila tidak timbul efek samping maka dosis selanjutnya diberikan 3 mg dan dinilai adanya perbaikan kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi respirasi dalam 1 menit. Jika belum menunjukkan perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat diberikan hingga dosis maksimal 10 mg total pemberian. Perbaikan ini dapat bertahan selama 5 menit. Selama prosedur pemeriksaan ini pasien harus dipantau, karena dapat timbul efek samping kolinergik, yaitu salivasi, lakrimasi, berkeringat, flushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok konduksi jantung, fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu disediakan sebagai antidotum. Kekuatan otot dapat membaik setelah tindakan ini atau kelemahan masih dapat tampak. Pemeriksa harus berhati-hati terhadap efek kolinergik yang tidak diinginkan, seperti hipersalivasi yang dapat menyebabkan eksaserbasi distres napas dan berisiko aspirasi. Waktu paruh edrofonium adalah 10 menit. Apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis



13



setelah pemberian dosis maksimal edrofonium, berarti pasien mengalami krisis kolinergik atau ada penyebab kelemahan lain selain myasthenia gravis. Karena efeknya yang cepat, pengulangan dosis sering diperlukan sebelum pasien mendapat antikolinesterase oral. Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk myasthenia gravis generalisata dan 92% untuk myasthenia gravis okular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis myasthenia gravis. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.6,12 Tabel 2.2 Diagnosis Banding Myasthenia Gravis No. 1.



Diagnosis Banding Lambert Eaton Myasthenic Syndrome



2.



Congenital Myasthenic Syndrome



3.



Botulism



4.



Penyakit motor neuron



5.



Gangguan mitokondrial



7.



Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy variant syndorme Thyroid ophtalmopathy



8.



Gangguan saraf kranialis



6.



Perbedaan Hiporefleksia disertai gejala-gejala gangguan autonomik. Onset pada masa anak-anak, antibodi seronegatif dan tidak berespon terhadap terapi immunomodulatory. Kelemahan otot sangat progresif dengan pola ‘descending’, keterlibatan autonomic dan pupil. Gambaran klinis kortikobulbar, kram otot/fasikulasi/atrofi otot, tanda-tanda gangguan upper motor neuron Onset kejadian gradual, tidak berfluktuasi, kelemahan otot bersifat simetris dan pada umumnya pasien tidak mengalami diplopia. Onset kejadian akut, kelemahan otot tidak berfluktuasi, arefleksia. Pr Proptosis Onset tiba-tiba, penyakit ini juga menyerang sistem kordinasi, kesadaran dan sensasi. Gejala sesuai dengan distribusi saraf kranialis yang mengalami gangguan.



G. Tatalaksana Penatalaksaan dari penyakit myasthenia gravis dapat dibagi dibagi menjadi 3 pendekatan yaitu: penatalaksaan simptomatik, terapi immunodulatory, dan terapi immunosupresant.6,11



14



1) Penatalaksanaan simtomatik - Anticholinesterase Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja menghambat enzim hidrolisis dari ACh pada cholinergic synapse sehingga Ach akan bekerja lebih lama pada neuromuscular junction. Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide merupakan obat anticholinesterase yang paling sering digunakan. Menurut penelitian pyrodostigmine lebih dianjurkan karena memiliki efek samping yang lebih minimal pada gastointestinal dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping lain yang muncul yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot polos sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan menyebabkan abdominal cramping, peningkatan flatus, diare dan menurunnya frekuensi buang air kecil. Jika efek samping muncul dapat diberikan propantheline 15 mg tiap dosis pyrodostigmine atau dengan dosis satu kali perhari. Dosis awal pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60 mg tiap 4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1 mg/kg dan neostagmine 0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari pyrodostigmine adalah 360 mg atau 6 tablet. Krisis kolenergik kemungkinan akan terjadi jika kelebihan dosis pyrodostigmine.13



2) Terapi Immunomodulary - Tymectomy



15



Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki potensi untuk drug free remission. Thymectomy direkomendasikan pada pasien dengan gejala myasthenia gravis yang muncul pada usia di bawah 60 tahun. Respon dari thymectomy tidak dapat diprediksi dan gejala kemungkinan akan menetap hingga beberapa bulan sampai tahun setelah operasi. Respon terbaik dari thymectomy terjadi



pada



pasien



perempuan



usia



muda.



Pasien



dengan



thymoma



direkomendasikan untuk menghilang tumor tersebut dahulu sebelum menjalani thymectomy. Thymectomy berulang dilaporkan meningkatkan keberhasilan terapi pada beberapa pasien. Jaringan thymic dianjurkan untuk tidak diangkat pada operasi pertama dan kedua dengan syarat pasien berespon baik pada operasi pertama.6 - Plasma Exchange (PLEX) PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara sementara. PLEX digunakan sebagai intervensi jangka pendek pada pasien dengan perburukan gejala miastenia secara mendadak, untuk memperkuat saat operasi, mencegah eksaserbasi yang diinduksi kortikosteroid dan sebagai terapi chronic intermittent untuk pasien yang telah gagal menjalani semua terapi jenis lainnya Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter dari plasma dikeluarkan sebanyak 3 kali dalam seminggu hingga kondisi membaik yaitu sekitar 5 hingga 6 kali penukaran. Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada minggu pertama. Perbaikan klinis biasanya akan bertahan hingga 3 bulan dan efek akan menghilang kecuali diikuti dengan thymectomy atau terapi immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak memberikan manfaat kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan sebagai



16



terapi kronis kecuali terapi lain mengalami kegagalan atau kontraindikasi. Efek samping dari PLEX antara lain transitory cardiac arrythmia, nausea, kepala terasa ringan, menggigil, obscured vision, dan pedal edema. Trombus, thrombophebitis, subacute bacterial endocarditis, pneumothorax, brachial lexus injury merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari pemasangan rute akses peripheral venipuncture.13 - Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Indikasi



dari



IVIG



memiliki



kesamaan



dengan



PLEX.



Intravenous



immunoglobulin merupakan alternatif dari PLEX khususnya pada pasien anakanak maupun pasien dengan vena akses yang sulit ditemukan dan jika PLEX tidak tersedia. IVIG juga tidak direkomendasikan sebagai terapi kronis kecuali karena mengalami kegagalan atau kontraindikasi. Perbaikan klinis dilaporkan terjadi pada 50 hingga 100 persen pasien setelah diberikan dosis 3 mg/kg selama 2 hingga 4 hari. Perbaikan klinis akan bertahan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum masih belum ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung mengenai hal tersebut. Menurut Gajdos P, dosis 1 mg/kg sama efektifnya dengan dosis 2 mg/kg dalam mengobati krisis miastenia. Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit kepala maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan dengan pemberian acetaminophen atau aspirin dengan dipenhidramine sebelum pemberian IGiv. Pasien dengan selective IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi anafilaksis terhadap IVIG. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk melakukan tes kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.6



17



3) Terapi Immunosuppresant - Kortikosteroid Prednison dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari 75% pasien dengan myasthenia gravis. Perbaikan kondisi klinis biasanya akan muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian prednisone pertama. Respon terbaik terjadi pada pasien dengan onset muda. Pasien dengan thymoma biasanya akan membaik dengan prednison setelah dilakukan pengangkatan tumor. Dosis awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga 2 mg/kg perhari. Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan diturunkan setiap bulannya hingga mencapai dosis terendah untuk terapi maintance, dimana idealnya 20 mg setiap harinya. Penurunan dosis untuk tiap orang akan bervariasi. Pasien dengan initial response yang buruk dianjurkan untuk menggunakan dosis alternatif yaitu 100-120 mg dan turunkan dosis 20 hingga 60 mg tiap bulan. Efek samping dari pemberian prednison jangka lama antara lain hypercortism.6,13 H. Komplikasi Krisis miastenik adalah komplikasi dari myasthenia gravis yang ditandai dengan memburuknya kelemahan otot, mengakibatkan gagal napas yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis. Krisis miastenik merupakan komplikasi paling umum dari myasthenia gravis. Sejak awal 1960-an perawatan pernapasanpada pasien dengan krisis miastenik dialihkan dari ventilasi eksternal tekanan negatif ke ventilasi tekanan positif di internsive care unit. Angka kematian akibat krisis miastenik menurun dari 42% pada awal 1960-an hingga 6%



18



pada akhir 1970-an dan usia rata-rata saat meninggal meningkat. Saat ini angka kematian adalah 4% dan merupakan hasil dari kondisi medis komorbiditas.14 I.



Prognosis Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot



ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya. Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien, dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan imunomodulator, mortality rate pada myasthenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.15 .



BAB III PENUTUP



Myasthenia gravis adalah kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes sederhana ataupun penunjang. Penatalaksaan dari penyakit myasthenia gravis dapat dibagi dibagi menjadi 3 pendekatan yaitu: penatalaksaan simptomatik, terapi immunodulatory, dan terapi immunosupresant. Dengan alur diagnosis yang tepat, harapannya tatalaksana juga dapat dilakukan dengan cepat sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah.



19



DAFTAR PUSTAKA



1. Anthony AA, James AR. Neuromuscular disorders. New York: The McGraw Hill Companies, Inc; 2008. hal.457-465. 2. US Department of Health & Human Services. Myasthenia gravis. [serial online] 2017 (diunduh Oktober 2017. Tersedia dari: http://www. womenshealth.gov/a-z-topics/myasthenia-gravis. 3. Tri A, I Made K, Debie D. Gambaran karakteristik pasien myasthenia gravis di pulau Jawa. Jurnal Kesehatan Bhakti Husada.2016; 3(1):33-7. 4. Myasthenia Gravis Foundation of America. The MGFA clinical classification [serial online] 2017 (diunduh Agustus 2021). http://www.myasthenia.org/LinkClick.aspx?fileticket=slitErMYbkA %3d&tabid=125 5. Muhammad Fadel , Syafrita Yuliarni , Susanti Lydia. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Myasthenia gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(1): 43-49. 6. Wijayanti LA Sri. Aspek klinis dan penatalaksanaan myasthenia gravis. FK UNUD. 2016; 1-27. 7. Dresser Laura, Wlodarski Richard, Rezania Kourosh and Soliven Betty. Myasthenia Gravis: Epidemiology, Pathophysiology and Clinical Manifestations. Journal of Clinical Medicine. 2021; 10(2235): 1-17. 8. Wang S, Breskovska I, Gandhy S, Punga AR, Guptill JT, Kaminski HJ. Advances in autoimmune myasthenia gravis management. Expert Review of Neurotherapeutics. 2018; 18(7): 573-588. 9. Statland JM, Ciafaloni E. Myasthenia gravis: Five new things. Neurol Clin Pract. 2013;3(2):126 – 133. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm. nih.gov/23914322 10. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia gravis: a review. Autoimmune diseases. 2012: 3: 1-10. doi: 10.1155/2012/874680 11. Bahrudin M. Neurologi klinis. Malang: UMM Press; 2016. 12. Sanders D.B., Juel V.C., MuSK-antibody positive myasthenia gravis:questions from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201202:85-89. 20



21



13. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Myasthenia gravis. JAPI. 2004 November; 52:897-903. 14. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic crisis. The neurospitalist. 2011: 1(1); 16-22. doi: 10.1177/1941875210382918. 15. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2007;2(44):1-13.