Referat Trauma Mekanik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT TRAUMA MEKANIK PADA MATA



SMF ILMU PENYAKIT MATA KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO 2019



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Trauma Tumpul” dengan baik dan tepat waktu. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo 2019. Disamping itu, referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan kita semua tentang glaukoma. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Mohammad Tauhid Rafi’I, Sp.M , dr. Pinky Endrina Heliasanty, Sp.M , dr. Mitakhur Rochmah, Sp.M selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini di Kepaniteraan Ilmu Pnyakit Mata di Rumah Sakit Umm Daerah Sidoarjo. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo, serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak lupus dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.



2



DAFTAR ISI



JUDUL..........................................................................................................................1 KATA PENGANTAR..................................................................................................2 DAFTAR ISI.................................................................................................................3 BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4 1.1.Latar Belakang........................................................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................6 2.1 Definisi....................................................................................................................6 2.2 Anatomi dan Fisiologi.............................................................................................6 2.3 Klasifikasi...............................................................................................................7 2.5 Etiologi ...................................................................................................................8 2.6 Patofisiologi............................................................................................................9 2.7 Gejala Klinis...........................................................................................................9 2.8 Anamnesa..............................................................................................................11 2.9 Pemeriksaan...........................................................................................................12 2.10 Kelainan Akibat Trauma Tumpul........................................................................13 2.11 Penatalaksanaan ..................................................................................................33 2.12 Komplikasi .........................................................................................................36 2.13 Prognosis.............................................................................................................36 BAB III KESIMPULAN ............................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................39



3



BAB I PENDAHULUAN Trauma pada mata merupakan kerusakan fungsional atau perubahan patologis pada saraf optik yang disebabkan oleh trauma. Trauma pada saraf optik bisa merupakan bagian dari trauma kepala (Budiono S. et al., 2013). Trauma pada mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak saraf mata serta rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga menggangu fungsi penglihatan. Pada mata dapat terjadi trauma dalam bentuk-bentuk antara lain trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia dan trauma radiasi. Trauma dapat mengenai jaringan mata antara lain kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Trauma tumpul mata dapat merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda (Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019). Secara umum insiden trauma mata terbuka sebanyak 3.6-3.8 per 100.000 populasi seluruh dunia dimana puncak insidensi ada pada kelompok dewasa ratarata di sekitaran usia 30-an tahun, remaja 70. Studi lainnya menyebutkan angka kejadian trauma tembus berkisar 3.1 dari 100.000orang.70-80 % terjadi pada kaum pria, kecuali pada lansia dan bayi.Bisa dikatakan perbandingannya 3:1 antara pria dengan wanita, ini dikarenakan lakilaki lebih sering berhadapan dengan aktivitas beresiko terhadap paparan trauma okular.Kecenderungan pada anak-anak terutama yang tumbuh dalam keluarga miskin atau pendidikan rendah atau pengawasan yang buruk lebih sering terpapar dengan trauma. Dari penelitian yang dilakukan oleh oleh Daza A.B Larque,dkk pada 92 pasien rawatan open globe trauma (trauma terbuka) di Hospital de Poniente sebanyak 72% trauma intraokular ini disebabkan oleh trauma tembus (Lubis R. R., 2014). Berdasarkan studi Schein pada the Massachusetts eye and ear infirmary, 8% dari populasi yang mengalami trauma tumpul mata cukup berat adalah anak dibawah usia 15 tahun. Studi Israel menerangkan bahwa 47% dari 2500 kejadian



4



trauma mata terjadi pada usia dibawah 17 tahun. Laporan kasus kali ini menunjukkan bahwa para ahli mata harus lebih waspada terhadap trauma yang tidak jelas dan adanya pergeseran bola mata (Anggraeny C. 2014). Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat utnuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata seperti trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah kecuali trauma tumpul perkelahian, diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam, setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang ada ditempat kerjanya, pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kacamata, awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya (Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019).



5



BAB II TINJUAN PUSTAKA A. DEFINISI Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan cedera pada mata. Trauma mata adalah penyebab umum kebutaan unilateral pada anak dan dewasa (Anggraeny C. 2014). B. ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda.15 Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor.



Gambar II. 1 anatomi bola mata



6



C. KLASIFIKASI Berdasarkan Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT), mengklasifikasikan trauma mata berdasarkan diagram dibawah ini (Anggraeny C. 2014) :



TRAUMA MATA



TRAUMA TERBUKA



TRAUMA TERTUTUP



Laserasi Kontusio



Ruptur



Laserasi Lameellar Penetrasi



Perforasi



IOFB



1. Trauma tertutup adalah luka pada dinding bola mata (sklera atau kornea) dan luka ini tidak merusak bagian dari intraokuler. Trauma tertutup terdiri atas kontusio dan laserasi lamellar. a. Kontusio adalah tidak ada luka (no full-thickness). Trauma disebabkan oleh energi langsung dari objek (misalnya pecahnya koroid) atau perubahan bentuk bola dunia (misalnya, resesi sudut) b. Laserasi lamellar adalah trauma tertutup pada bola mata yang ditandai oleh luka yang mengenai sebagian ketebalan dinding bola mata. Trauma ini biasa disebabkan oleh benda tajam ataupun benda tumpul. 2. Trauma terbuka pada bola mata adalah trauma yang menyebabkan luka dan mengenai keseluruhan dinding dari bola mata (sklera dan kornea). Trauma terbuka terdiri atas : a. Ruptur adalah adanya luka yang mengenai dari seluruh ketebalan dinding bola mata, yang disebabkan oleh trauma tumpul dan mekanisme ini dapat



7



mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan intraokuli. Luka terjadi akbat mekanisme dari dalam ke luar mata. b. Laserasi adalah luka yang mengenai seluruh ketebalan dinding bola mata yang disebabkan oleh benda tajam. Keadaan ini akan menimbulkan adanya trauma penetrasi ataupun trauma perforasi. Luka terjadi akbat mekanisme dari luar ke dalam mata. c. Trauma penetrasi adalah luka yang masuk (entrance wound). Jika terdapat lebih dari satu luka, setiap luka memiliki penyebab yang berbeda. d. Trauma perforasi adalah luka yang masuk dan keluar (entrance and exit wound). Kedua luka memiliki penyebab yang sama. e. Intraocular foreign body (IOFB) adalah adanya benda asing pada intraokular yang keadaan ini sangat berhubungan dengan adanya trauma penetrasi. D. ETIOLOGI Berdasarkan British Medical Journal (BMJ), trauma mata dapat di golongkan berdasarkan penyebabnya yaitu, trauma mekanik, trauma non mekanik yaitu trauma kimiawi, trauma termal, dan trauma radiasi. Trauma Mekanik Trauma mekanik dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Trauma tumpul pada mata lebih sering disebabkan oleh trauma yang berasal dari benda tumpul seperti pukulan, terbentur bola. Trauma tumpul dengan kekuatan yang besar akan menghasilkan tekanan anteroposterior, sehingga keadaan ini dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli, ruptur, dan robekan pada struktur intamata lainnya. Keadaan ini juga dapat meluas sehingga dapat menyebabkan kerusakan segmen posterior (Anggraeny C. 2014). Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sclera. Trauma tajam mata



8



dapat diklasifikasikan atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan perforasi yang meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi benda asing intra okuler (Anggraeny C. 2014). E. PATOFISIOLOGI Beratnya trauma bergantung pada ukuran objek, kecepatan menembus dan kandungan yang terdapat didalamnya. Benda yang tajam seperti pisau akan mengakibatkan laserasi sempurna pada mata. Sementara benda yang melayang ditentukan oleh energi kinetik dalam hal menyebabkan berat ringannya trauma yang dialami penderita. Luka bisa saja hanya terkena pada kornea dan tidak sampai menembus segmen anterior yang mungkin kecil kemungkinan hilang penglihatan namun dalam proses penyembuhannya akan meninggalkan bekas (skar). Lentikular difus atau lokalisata terjadi akibat trauma di segmen anterior yang melibatkan kapsul anterior dari lensa. Terbentuknya traksi pada vitreo-retina dan skar beberapa saat setelah terjadinya luka di bagian posterior berperan penting terhadap kejadian lepasnya retina (retinal detachment). Enukleasi pada mata bisa diakibatkan oleh infeksi, abses vitreous, sinekia anterior, katarak dan fractional retinal detachment (Lubis R.R., 2014). Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidralis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali (Anggraeny C. 2014). F. GEJALA KLINIS 9



Tanda dan gejala antara lain kemunduran tajam penglihatan setelah trauma kepala didaerah frontal atau trauma orbita. Penurunan dapat berjalan cepat atau perlahan- lahan bisa samai 0. Gangguan lapang pandang bisa beragam (Budiono S. et al., 2019). Gejala yang lain antara lain : 1. Mata merah 2. Rasa sakit 3. Mual dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO) 4. Penglihatan kabur 5. Penurunan visus 6. Infeksi konjungtiva Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata, terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap. Trauma yang diakibatkan oleh benda tumpul dapat menyebabkan adalah hematoma palpebra, edema konjungtiva, perdarahan subkonjungtiva, edema kornea, dislokasi lensa dan hifema (Akbar M. et al., 2019). Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata maka akan terlihat tanda-tanda trauma tembus seperti



nyeri, tajam



penglihatan yang menurun. Gejala yang muncul dari trauma tembus mata dapat diuraikan sebagai berikut (Lubis R.R., 2014) : a. Efek mekanik langsung yaitu efek yang segera muncul setelah terjadinya trauma okular yang terlihat bergantung bagaimana efek mekanik pada struktur yang terlibat. Yang paling umum ditemukan adalah laserasi di kornea maupun sklera dengan atau tanpa keterlibatan struktur mata lainnya. b. Efek kontusio kebanyakan kasus trauma tembus pada mata berhubungan dengan efek kontusio, bervariasi mulai dari abrasi kornea yang sederhana sampai rupturnya bola mata. Pada beberapa kasus, perubahan bisa saja lamban



10



atau malah progresif. Untuk itu pasien harus tetap dalam pengawasan untuk beberapa bulan. c. Infeksi terdapat tiga mekanisme terjadinya infeksi yaitu Infeksi primer, infeksi sekunder dan infeksi terjadi lambat. Infeksi primer adalah terjadi bersamaan dengan trauma. Infeksi sekunder yaitu infeksi ini terjadi sebelum luka pulih/sembuh. Infeksi yang terjadi lambat yaitu timbul akibat konsolidasi skar yang buruk khususnya apabila ada fistula. Infeksi menjadi tantangan besar dalam manajemen trauma tembus oleh karena bisa mengakibatkan komplikasi di kemudian hari seperti cincin abses di kornea, iridocyclitis purulen dengan hipopion, skleritis infeksi nekrotik, endophtalmitis, panopthahnitis, jarang namun bisa saja terjadi yaitu adanya gas gangrene atau bahkan tetanus okular. d. Iridocyclitis post trauma yaitu kejadiannya cukup sering, muncul tanda-tanda inflamasi pada pasien eperti nyeri, mata kemerahan, fotofobia, dan penurunan kemampuan melihat. e. Sympathetic Ophtalmitis. Hal ini jarang terjadi, sifatnya bilateral, merupakan suatu granuloma dari panuveitis yang terjadi setelah pembedahan atau trauma pada uvea salah satu nata. Onset klinis didahului oleh inflamasi ringan oleh mata yang tidak ada trauma dan perburukan inflamasi pada mata yang terkena trauma. Gejala seperti nyeri, fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur. Pencegahannya yaitu dengan melakukan enukleasi pada mata yang terpapar trauma dalam 2 minggu setelah onset trauma. Ini dikerjakan pada mata yang sudah terpapar trauma sangat berat dan tidak ada lagi potensi untuk mengembalikan penglihatannya. f. Benda asing intraokular yang tertahan yaitu materi atau partikel yang sering tertahan misalnya potongan besi atau logam, batu, pecahan, sampai yang jarang seperti duri rerumputan. G. ANAMNESIS Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma demikian bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat bahkan sampai kebutaan. Untuk mengetahui kelainan



11



yang ditimbulkan perlu diadakan pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan. Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai : 1. Proses terjadinya trauma 2. Benda apa yang mengenai mata tersebut 3. Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itum (Apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain) 4. Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata 5. Berapa besar benda yang mengenai mata 6. Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lainnya) Apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan : 1. Apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut 2. Kapan terjadi trauma itu 3. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit 4. Apakah sudah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya. H. PEMERIKSAAN Pemeriksaan pada kasus trauma mata dilakukan baik subyektif maupun obyektif. 1. Pemeriksaan Subyektif Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma. 2. Pemeriksaan Obyektif Pada saat penderita masuk ruang pemeriksaan, sudah dapat diketahui adanya kelainan di sekitar mata seperti adanya perdarahan sekitar mata, pembengkakan di dahi, di pipi, hidung dan lain-lainnya. Pemeriksaan mata perlu dilakukan secara sistematik dan cermat. Yang diperiksa pada kasus trauma mata ialah : a. Keadaan kelopak mata



12



b. Kornea c. Bilik mata depan d. Pupil e. Lensa dan fundus f. Gerakkan bola mata g. Tekanan bola mata. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan dengan sentolop loupe, slit lamp dan oftalmoskop. Evaluasi awal yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan akuisi visual, lapangan pandang konfrontasional, pemeriksaan pupil, dan funduskopi mungkin dilakukan secara eksttim karena ada penekanan yang menyebabkan ekstrusi dari isi bola mata melalui perlukaan pada sklera maupun kornea. Tanda-tanda penetrasi yang dapat dilihat yaitu prolapsus uvea, distorsi pupil, katarak, dan perdarahan vitreous. Jika diduga sebagai suatu trauma tembus mata maka sudah seharusnya dilakukan perlindungan yang aman dan nyaman terhadap mata yang terpapar trauma dengan pelindung dari plastik yang jernih di sekitar mata (disanggakan ke dahi dan pipi). Eye patch tidak dianjurkan untuk menghindari tekanan langsung pada mata. Pasien diberitahu untuk tidak batuk dengan keras dan segera merujuk ke ophthalmologist untuk penanganan selanjutnya. Apabila diduga sebagai suatu trauma tembus pada mata maka dapat dilakukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan antara lain dengan plain radiography, USG dan CT scan yang dapat memberikan informasi yang adekuat apabila ada benda asing yang tertinggal di dalam mata (Lubis R. R., 2014). I. KELAINAN AKIBAT TRAUMA TUMPUL 1. Kelainan Pada Orbita Jarang sekali ditemukan kelainan orbita akibat trauma tumpul. Apabila terjadi kelainan orbita, maka gejala yang mudah tampak ialah adanya eksoftalmos dan gangguan gerakan bola mata akibat perdarahan di



13



dalam rongga orbita. Kadang-kadang juga terjadi hematom kelopak mata dan perdarahan subkonjungktiva (Anggraeny C., 2014). Fraktur rima orbita dapat diperkirakan pada perabaan yang terasa sebagai tepi orbita yang tidak rata. Fraktur di bagian dalam orbita, akan menyebabkan emfisema atau terjadi enoftalmos bahkan mungkin disertai kerusakan pada foramen optik dan mengenai saraf optik dengan akibat kebutaan. Untuk memastikan adanya keretakan tulang orbita dilakukan pemeriksaan radiologi orbita (Anggraeny C., 2014). 2. Kelainan Pada Kelopak Mata Trauma kelopak mata merupakan kejadian yang sering. Oleh karena longgarnya jaringan ikat subkutan, maka adanya hematom dan edema kelopak mata kadang-kadang menunjukkan gejala yang berlebihan dan menakutkan, sehingga mendorong penderita untuk lekas-lekas minta pertolongan dokter. Hematoma



palpebra



yang



merupakan



pembengkakan



atau



penimbunan darah dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju, atau benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini disebut sebagai hematoma kacamata. Hematoma kacamata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya a.oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura



14



orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kacamata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.2 Hematoma kacamata Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 3. Kelainan Pada Konjungtiva a. Edema Konjungtiva Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.



15



Sedangkan pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.3 Edema Konjungtiva 4. Hematoma Subkonjungtiva Jika



terjadi



perdarahan



subkonjungtiva



(hematoma



subkonjungtiva), maka konjungtiva akan tampak merah dengan batas tegas, yang pada penekanan tidak menghilang atau menipis. Hal ini penting untuk membedakannya dengan hiperemi atau hemangioma konjungtiva. Lama kelamaan perdarahan ini mengalami, perubahan warna menjadi membiru, menipis dan umumnya diserap dalam waktu 2- 3 minggu (Anggrahaeny C., 2014). Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah kongjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut,



16



hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.4. Hematoma sub konjungtiva Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres air hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. Untuk mencegah perluasan perdarahan dapat diberikan vasokonstriktor dan air mata buatan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Epitel konjungtiva mudah mengalami regenerasi sehingga luka pada konjungtiva penyembuhannya cepat. Robekan konjungtiva sebaiknya dijahit untuk mempercepat penyembuhannya (Anggraeny C., 2014).



17



5. Kelainan Pada Kornea Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan kornea mulai dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana lesi letaknya di bagian sentral, lebih-lebih bila mengakibatkan kekeruhan kornea yang luas, dapat mengakibatkan pengurangan tajam penglihatan. Pada umumnya bila lesi kornea tidak sampai merusak membran bowman atau stromanya, maka kornea akan cepat sembuh tanpa meninggalkan sikatriks pada kornea. Pada lesi yang lebih dalam pada lapisan kornea, umumnya akan meninggalkan sikatriks berupa nebula, makula atau leukoma kornea (Anggraeny C., 2014). a. Edema Kornea Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement. Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 4% dan larutan albumin. Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M. Descement yang lama sehingga mengakibatkan



18



keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme irregular (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). b. Erosi Kornea Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme,



lakrimasi,



fotofobia,



dan



penglihatan



akan



tergantung oleh media kornea yang keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi perwarnaan fluoresein akan berwarna hijau (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul kemudian. Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel. Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikelupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



19



Gambar II.5. Erosi Kornea c. Erosi Kornea Rekuren Erosi kornea rekuren, biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas kembali diwaktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya erpitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornesa yang mengenai seluruh



20



permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid. Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 6. Kelainan pada Uvea a. Iridoplegia Trauma



tumpul



pada



uvea



dapat



mengakibatkan



kelumpuhan otot sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.5 Iridoplegia



21



b. Iridodialisis Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.6 Iridialysis



Gambar II.7 Iridodyalisis c. Hifema



22



Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.8. Hifema Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi, dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi penyulit glaukoma. Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila berjalam penyakit tidak berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan di lakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda 23



imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata. Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Perdarahan sekunder dapat terjadi sesudah hari ketiga terjadinya trauma. Hifema biasanya akan mengalami penyerapan spontan. Bila mana hifema penuh, dan penyerapannya sukar, dapat terjadi hemosiderosis kornea (penimbunan pigmen darah dalam kornea), atau glaukoma sekunder. Apabila hifema tidak mengurang dalam 5 hari dan tekanan bola mata meninggi, dilakukan tindakan pembedahan



mengeluarkan



darah



dari



bilik



mata



depan



(parasentesis) (Anggraeny C., 2014). Bedah Pada Hifema dilakukan parasentesis yang merupakantindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut : dibuat incisi kornea 2mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik. Biasanya luka incisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



24



d. Iridosiklitis Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan puil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun. Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa funduskopi dengan midriatika (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 7. Kelainan pada Lensa Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan subluksasi lensa atau luksasi lensa (lensa mengalami perpindahan tempat). Zonula Zinn dan badan kaca dapat menonjol ke dalam bilik mata depan sebagai hernia. Pada umumnya lensa yang mengalami dislokasi itu beberapa tahun kemudian akan mengalami katarak. Bila trauma tumpul menimbulkan ruptur yang tidak langsung pada kapsul lensa maka akan terjadi katarak. Baik subluksasi maupun luksasi lensa dapat menimbulkan glaukoma sekunder atau iritasi mata. Dislokasi lensa ataupun katarak akibat trauma tumpul dapat menyebabkan pengurangan tajam penglihatan sampai kebutaan, perlu penanganan dokter spesialis untuk dilakukan tindakan pembedahan katarak (Anggraeny C., 2014).



a. Dislokasi lensa Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan



25



mengakibatkan kedudukan lensa terganggu (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). b. Subluksasi lensa Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zunula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapun (sindrom marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder. Subluksasi dapat mengakiatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). c. Luksasi lensa anterior Bila seluruh zonula zinn disekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi. Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien 26



secapatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolmida untuk menurunkan tekanan bola matanya (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). d. Luksasi lensa posterior Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam didataran bawah polus fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12,0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). e. Katarak Trauma Katarak akibat cedera pada mata dapat akibta trauma perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dandapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius. Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat perforasi epitel sehinga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 27



Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching. Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinkan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis, dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). f. Cincin Vossius Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



28



Gambar II.9 Cincin Vossius



8. Kelainan Pada Retina Dan Koroid a. Edema retina dan koroid Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



29



Gambar II.10 Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abuabu. Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). b. Ablasi Retina Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir menganggu lapang pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatan akan menurun. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk



30



dilakukan pembedahan oleh dokter mata (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019).



Gambar II.11 Ablasio Retina 9. Kelainan Pada Koroid a. Ruptur Koroid Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optic. Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorbsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 10. Kelainan Pada Saraf Optik a. Avulsi Papil Saraf Optik Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu



31



dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 11. Optik Neuropati Traumatik Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapang pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat. Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optik. Pengobatan adalah dengan merawat pasien waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan (Ilyas S. dan Yulianti S. R., 2019). 12. Perubahan tekanan bola mata Trauma mata dapat menyebabkan perubahan tekanan bola mata baik penurunan peninggian tekanan bola mata. Bila tekanan menjadi rendah, yang pada perabaan dengan jari terasa lunak sekali, menandakan adanya kerusakan dinding bola mata, yaitu terjadinya ruptur bola mata. Pada umumnya letak ruptur itu di tempat yang lemah di bagian sklera yang agak menipis seperti di daerah badan siliar atau di kutub posterior bola mata. Bilamana tekanan bola mata naik, terjadilah glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder dapat timbul segera, yaitu beberapa saat setelah kejadian trauma disebabkan oleh banyaknya darah dalam bola mata atau hifema, dimana sel-sel darah itu menyumbat jaringan trabekel dan saluran keluarnya (Anggraeny C., 2014).



32



13. Kelainan gerakkan mata Mata yang sehat dapat membuka dan menutup dengan mudah, sedangkan bola matanya dapat digerakkan ke segala arah. Pada trauma tumpul mata, ada kemungkinan terjadi gangguan gerakkan kelopak mata berarti kelopak mata itu tidak dapat menutup atau tidak dapat membuka dengan sempurna. Kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dinamakan lagoftalmos, disebabkan oleh kelumpuhan N VII. Kelopak mata yang tidak dapat membuka dengan sempurna disebut ptosis, hal ini disebabkan oleh adanya edema atau hematoma kelopak superior. Pada trauma tumpul mata dapat terjadi gangguan gerakkan bola mata yang disebabkan oleh perdarahan rongga orbita atau kerusakan otot-otot mata luar (Anggraeny C., 2014).



Gambar. Lagoftalmos dan Ptosis



33



J. PENATALAKSANAAN Hal-hal berikut ini sementara dapat dilakukan selama periode preoperative adalah menggunakan pelindung pada mata, hindari penggunaan obat topikal atau intervensi lainnya yang membuat kelopak mata harus dibuka, pasien dipuasakan untuk persiapan operasi, sediakan medikasi yang sesuai untuk sedasi dan kontrol nyeri, mulailah pemberian antibiotik IV, profilaksis tetanus, konsul bagian anestesi. Trauma berhubungan dengan kontaminasi hal-hal yang kotor dan atau benda asing intraokular yang tertahan membutuhkan perhatian khusus akan resiko Bacillus endophtalmitis. Karena organisme ini dapat menghancurkan jaringan mata dalam 24 jam, terapi antibiotik yang efektif terhadap Bacillus diberikan intravena maupun intravitreal, biasanya golongan fluoroquinolone (seperti levofloxacin, moxifloxacin), clindamycin atau vancomycin dapat dipertimbangkan. Pembedahan untuk perbaikan harus dilakukan sesegera mungkin pada kasus beresiko terinfeksi organisme ini (Lubis R. R., 2014). Terapi non pembedahan. Beberapa kasus trauma tembus ada yang sangat minimal yang didapatkan dari pemeriksaan fisik awal dengan tidak ada kerusakan intraokular,



prolapsus,



atau



perlekatan.Kasus



seperti



ini



mungkin



hanya



membutuhkan terapi antibiotik sistemik maupun topikal selama pengawasan ketat. Jika terdapat kebocoran di jaringan komea, tetapi ruang anterior tetap utuh, klinisi bisa mencoba untuk menghentikan kebocoran dengan farmakologi menekan produksi aqueous (misal dengan |3-blocker sistemik atau topikal), penutup yang dilekatkan ke mata, dan atau suatu kontak lensa terapeutik. Umumnya, apabila tindakan ini gagal untuk menutup luka dalam 2-3 hari, pembedahan untuk penutupan dengan jahitan direkomendasikan (Lubis R. R., 2014). Pembedahan



dilakukan



dengan



tujuan



utamanya



adalah



untuk



mengembalikan keutuhan dari bola mata. Tujuan sekunder untuk memenuhi perbaikan primer yaitu mengembalikan penglihatan melalui perbaikan kerusakan internal dan eksternal mata. Apabila prognosis penglihatan mata yang terpajan trauma sangat tidak ada harapan dan pasien beresiko untuk terjadi simpatetik oftalmia, tindakan enukleasi dapat dipertimbangkan. Tindakan anastesi umum hampir selalu



34



perlu untuk perbaikan dari trauma terbuka karena injeksi anestesi lokal di retrobulbar maupun peribulbar meningkatkan tekanan orbita, yang bisa mengakibatkan eksaserbasi atau ekstrusi dari isi intraokular. Setelah pembedahan selesai, injeksi anestesi periokular dapat digunakan untuk kontrol nyeri paska operasi. Pada trauma yang berat pemberian anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata yang cedera harus steril. Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema. Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan hilang sendiri dalam beberapa hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat penyerapan darah. Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin. Penanganan hifema, yaitu : 1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap. 2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan. 3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi. 4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida). 5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari. 6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang



35



7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bilasetelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. 8. Asam aminokaproat oral untuk anti fibrinolitik. 9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari. 10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior. 11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus. K. KOMPLIKASI Komplikasi dari terjadinya trauma pada mata antar alain adalah nyeri, prolapsus struktur intraocular, perdarahan suprakoroidal, kontaminasi mikroba pada jaringan, proliferasi mikroba ke dalam mata, migrasi epitel ke dalam jaringan, inflamasi intraocular, ketidakmampuan lensa ditembus cahaya, hilangnya penglihatan yang ireversibel, endophtalmitis, oftahnia simpatik, ablasio retina, katarak, perdarahan di vitreous, retinal detachment (Lubis R. R., 2014). L. PROGNOSIS Prognosa baik apabila pada trauma segera mendapatkan penanganan. Trauma tembus pada mata merupakan trauma yang serius dan mengancam penglihatan, prognosisnya seringkali sangat buruk. Ada beberapa faktor prediktor berkaitan dengan prognosis yang buruk misalnya akuisi visual yang menurun bahkan hilang penglihatan, seperti defek pupil aferen, laserasi di kelopak, kerusakan lensa, perdarahan vitreous dan adanya benda asing intraocular (Lubis R. R., 2014).



36



BAB III KESIMPULAN Trauma pada mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak saraf mata serta rongga orbita. Trauma dapat mengenai jaringan mata : kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Kejadian trauma mata dapat terjadi pada anak dan dewasa, akan tetapi anak lebih rentan terkena. Macam-macam trauma seperti : trauma tumpul, trauma tembus bola mata,trauma kimia, trauma radiasi Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Penyebab dari trauma ini adalah : benda tumpul dan benturan atau ledakan di mana terjadi pemadatan udara. Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera, trauma tajam mata dapat diklasifikasikan atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan perforasi yang meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi benda asing intra okuler. 37



Tanda dan gejala trauma pada mata antara lain mata merah, rasa sakit, mual dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO), penglihatan kabur, penurunan visus, infeksi konjungtiva, proses terjadinya trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut. Pada anamnesa dapat membantu dalam menegakan diagnose hal yang ditanyakan seperti bagaimana arah datangnya benda, benda apa yg menyebabkan trauma, kecepatan waktunya, bahan pada benda tersebut, dsb. Pemeriksaan dapat dilakukan secara subyektif (untuk elihat penurunan penglihatan) dan obyektif (yang tampak pada penderita) dilakukan dengan sentolop loupe, slit lamp dan oftalmoskop. Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya ruptur bola mata, dapat dilakukan pembedahan kemudian diberikan antibiotic dan antinyeri. Pada cedera mata yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma pada kelainan di palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan hilang sendiri dalam beberapa hari dan dapat dilakukan pengkompresan.



38



DAFTAR PUSTAKA Akbar M., Helijanti N., Munir M. A., Sofyan A. 2019. Conjunctival Laceration Of The Tarsalis Palpebra Inferior Et Causing By A Fishing Hook. Jurnal Medical Profession (MedPro), Vol. 1, No. 2. Amru, K. 2017. Evaluasi Penatalaksanaan Penderita Trauma Mata Di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 2015-2016. Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar. Anggraini, C. 2014. Referat Trauma Tumpul Mata. Universitas Trisakti. Jakarta. Budiono S. 2013. Buku ajar Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta: Airlangga University Press. Ilyas S. dan Yulianti S. R. 2019. Ilmu Penyakit Mata Jakarta : Badan Penerbit FKUI Lubis R. R. 2014. Trauma Tembus Pada Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.



39