Referat Tuli Kongenital [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT Tuli Kongenital



Disusun oleh :



Muhammad Rayhan Fuad Farizi



1102013183 1102014109



Pembimbing : dr. Rahmi Hastuti, Sp.THT-KL



KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN PERIODE 23 AGUSTUS – 5 SEPTEMBER 2021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI



1



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr.Wb Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga Referat yang berjudul “TULI KONGENITAL” ini dapat diselesaikan. Penulisan dan penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu telinga, hidung, dan tenggorokan. Selain itu, tujuan lainnya adalah sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi pembaca, terutama pengetahuan mengenai Ilmu Kesehatan, semoga dapat memberikan manfaat. Penyelesain referat ini tidak terlepas dari bantuan dokter pembimbing, staf pengajar, serta orang-orang sekitar yang terkait. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. dr. Rahmi Hastuti, Sp.THT-KL selaku pembimbing bagian kepaniteraan Ilmu Telinga,Hidung dan Tenggorokan. 2. Teman-teman sejawat kelompok dokter muda Dalam menyelesaikan penulisan Referat ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi maupun dari bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis mohon maaf atas segala kekhilafan, serta dengan tangan terbuka mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Jakarta, 29 Agustus 2021



Penulis



2



BAB 1 PENDAHULUAN



Pendengaran merupakan salah satu fungsi terpenting bagi kehidupan manusia, merupakan salah satu bagian dari panca indera. Adanya gangguan pada fungsi pendengaran atau tuli pasti akan menyebabkan gangguan dalam proses kehidupan sehari-hari, apalagi jika ketulian terjadi pada masa awal perkembangan proses belajar pada kehidupan yaitu pada masa anak-anak. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun saat lahir (Nugroho, 2014).



Prevalensi tuli kongenital di seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 1–3 kejadian dari 1000 bayi lahir hidup. Survei kesehatan indera pendengaran yang dilakukan Departemen Kesehatan pada 7 propinsi di Indonesia (1994–1996) mendapatkan prevalensi tuli kongenital sebesar 0,1% (Nugroho, 2014). Menurut Perawakilan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PP PERHATI KL) Dr.dr. Fikri Mirza Putranto, Sp. THT-KL (K) mengatakan angka tuli kongenital pada bayi baru lahir mencapai 1/1000 kelahiran pada bulan Maret tahun 2020 (Kemkes RI, 2020). Oleh sebab itu seorang dokter umum diharapkan menjadi jembatan pertama dalam penegakan diagnosis dan inisiator pertama untuk menentukan penderita tuli kongenital yang perlu dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu unit spesialis THT.



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga



Gambar 1. Anatomi telinga (Ghorayeb, 2008)



Sistem auditorius terdiri dari tiga komponen yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastis dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan sepertiga luar sedangkan dua pertiga bagian dalamnya terdiri dari tulang. Panjang dari liang telinga ini berkisar 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut



4



kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam liang telinga sedikit dijumpai kelenjar serumen (Ghorayeb, 2008). Telinga tengah berbentuk kubus yang dibatasi oleh bagian-bagian seperti berikut: 1. Batas luar 2. Batas depan



: :



membran timpani tuba eustachius



3. Batas bawah



:



vena jugularis (bulbus jugularis)



4. Batas belakang :



aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis



5. Batas atas



:



tegmen timpani



6. Batas dalam



:



berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.



Membran timpani berbentuk bundar dan cekung apabila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar yaitu lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam adalah epitel saluran nafas. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan sebagai radier dibagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari bagian umbo bermula suatu reflek cahaya yaitu pada pukul 7 pada telinga kiri dan pukul 5 pada telinga kanan. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis tengah pada longus maleus dan garis tegak lurus pada garis itu di umbo sehingga didapati bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan dan bawahbelakang. Tulang pendengaran pada telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes berhubungan dengan tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang pendengaran ini adalah persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini



5



terdapat aditus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan nasofaring dan telinga tengah (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007).



Gambar 2. Irisan membujur koklea (Ghorayeb, 2008) Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis ujung atau puncak dari koklea disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, pada sebelah atas terlihat skala vestibuli, bawah tampak skala timpani dan duktus koklearis pada skala media atau diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli sedangkan dasar skala media disebut membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal melekat sel rambut



6



yang terdiri dari sel rambut dalam dan luar dan kanalis corti yang membentuk organ korti (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007). Organ korti memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu baris dan sel rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan reseptor murni yang mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan pusat pendengaran. Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga fungsi motorik yang berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi frekuensi tertentu secara selektif. 2.2 Fisiologi Pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Arsyad S. et al., 2007).



7



2.3 Perkembangan Auditorik Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan perembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007). Berdasarkan penelitian bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa pada usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan sudah dapat memberikan respon pada suara yang ada disekitarnya namun reaksi janin masih reaksi seperti refleks moro, terhentinya aktivitas, dan refleks auropalpebral. Kuccwara membuktikan respon terhadap suara berupa refleks aurpalpebral yang konsisten pada janin usia 24-25 minggu.1 Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain (Soetjipto and Darmiyanti, 2007): • Usia 0-4 bulan, kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro. • Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara. • Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat. • Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.



8



• Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara. 2.4 Tuli Kongenital 2.4.1 Definisi Tuli kongenital adalah tuli yang terjadi sebelum persalinan atau pada saat persalinan,



disebabkan



oleh



kelainan



secara



genetik



dan



nongenetik



(P2ptm.kemkes, 2018). 2.4.2 Epidemiologi Di dunia yang sedang berkembang ini, 1 dari 1.000 kelahiran melahirkan bayi yang mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi pada atau segera setelah kelahiran, baik akibat faktor herediter atau non herediter. Diperkirakan 2-3 kasus gangguan pendengaran pada neonatus disebabkan karena genetik. Kebanyakan tuli kongenital terjadi karena adanya malformasi bentuk telinga dan adanya penyakit tertentu yang diderita oleh ibu saat hamil (Weber, Deschler and Sokol, 2009). Menurut kementrian kesehatan RI angka tuli kongenital pada bayi baru lahir mencapai 1/1000 kelahiran dan Riskesdas 2018 menyatakan, ada 0,11% dari anak usia kurang dari 5 tahun atau sekira 25 ribu kasus masuk pada kategori tuli (Kemkes RI, 2020).  2.4.3 Klasifikasi Tuli kongeital dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi) (Arsyad S. et al., 2007).



9



Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007):      



0-25 dB HL : normal 26-40 dB HL : tuli ringan 41-55 dB HL : tuli sedang 56-70 dB HL : tuli sedang berat 71-90 dB HL : tuli berat >90 dB HL : tuli sangat berat



Menurut American National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas (Shah and Lotke, 2008):    



16-25 dB HL : tuli sangat ringan 26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan 41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengarpercakapan 71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan



>95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal (Scott, 2011). Selanjutnya, ketulian dapat diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (dimana terdapat kegagalan gelombang suara mencapai telinga dalam melalui saluran konduksi udara luar dan tengah), tuli sensorineural (dimana terdapat abnormalitas atau kerusakan sel-sel sensoris dan serat saraf pada telinga dalam), dan tuli campuran (gabungan tuli konduktif dan tuli sensorineural) (Scott, 2011) (Shah and Lotke, 2008). 2.4.4 Faktor risiko Infeksi saluran kemih, hipoksia atau jaundice pada neonatus merupakan salah satu yang bertanggung jawab penyebab terkenanya gangguan pendengaran. Tidak dilakukannya pemeriksaan dini pada neonatus dapat menyebabkan bayi mengalami speech delay sehingga bayi terlambat untuk berbicara. Adapun pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan operasi implan koklear, memakai alat bantu dengar (hearing aids) serta terapi dukungan untuk orang tua (Baguley and Mcferran, 2015):



10



Adapun faktor non herediter yang dapat menyebabkan terjadinya tuli kongenital yaitu (Duthey, 2013): 1. Penyakit infeksi saat kehamilan, seperti rubella, Cytomegalovirus, atau virus herpes simpleks 2. Bayi lahir premature 3. Bayi dengan BBLR 4. Abnormalitas cranio-facial 5. Trauma 6. Adanya zat toxin dari obat atau alkohol yang dikonsumsi ibu saat hamil 7. Maternal diabetes 8. Anoxia 2.4.5 Etiologi Gangguan pendengaran pada anak dapat berkembang dari penyebab yaitu prenatal, perinatal dan post natal (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007): 1. Masa Pranatal Selama kehamilan periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap gangguan yang terjadi pada masa itu akan menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada masa tersebut dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat yang ototoksik dan teratogenik yang dapat mengganggu organogenesis dan merusak sel silia seperti salisilat, kina, neomisin, barbiturat, gentamisin dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi masa prenatal ini adalah (Soetirto, Hendarmin and Bashiruddin, 2007) I.



Infant faktor Janin dapat lahir dengan kelainan pada telinga dalam yang dapat disebabkan genetik maupun faktor nongenetik. Kelainan yang muncul



11



dapat sendiri maupun dapat merupakan bagian dari suatu sindrom. Kelainan pada telinga dalam dapat berupa kelainan membranous labirin atau kombinasi dari kelainan membran labirin dan tulang labirin. Yang termasuk dari gangguan ini adalah:       



Sheibe's dysplasia Alexander's dysplasia Bing-Siebeman dysplasia Michel dysplasia Mondini's dysplasia Enlarge vestibular aqueduct Semicircular canal malformation



II. Maternal faktor Adapun yang termasuk dari maternal faktor adalah;   



Infeksi Penggunaan obat-obatan semasa kehamilan Terpapar radiasi pada trimester pertama (Hendarmin and Suwento, 2007).



Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi menggangu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambur koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturate, thalidomide, dll (Arsyad S. et al., 2007). Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian (Arsyad S. et al., 2007). 2. Masa Perinatal Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko terjadinya tuli kongenital seperti premature, berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis) (Arsyad S. et al., 2007). 3. Masa Post Natal



12



Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi selaput otak, perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga menyebabkan tuli saraf dan konduktif (Hendarmin and Suwento, 2007) Adapun faktor yang mempengaruhi tuli kongenital setelah kelahiran adalah A. Genetik Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi menjadi nonsyndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL). Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single gene) atau disebut monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk monogenik; sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung jawab untuk sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke generasi berikutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree (Bashirudin, 2006). I. Non-syndromic hearing loss (NSHL) NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya.NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000 orang. NSHL lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural. NSHL terjadi pada 80% tuli genetik.Kelainan genetik pada penderita NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu (Bashirudin, 2006): 



Autosomal resesif



Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif terjadi pada 75% dari seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya suatu nukleotida (guanine). Connexin 26 merupakan protein



13



protein yang terekspresikan pada koklea, berperan dalam proses perputaran ion K+ dalam koklea (Bashirudin, 2006).  



Autosomal dominan X-linked Kelainan mitokondria (Bashirudin, 2006).







II. Syndromic hearing loss (SHL) Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan gangguan pendengaran yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari 100 sindrom, kebanyakan berhubungan dengan tuli sensorineural, diantaranya adalah (Bashirudin, 2006), (Scott, 2011):







Alport Syndrome



Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang. Memiliki karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan pendengaran sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki dibanding wanita. Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi tinggi (Bashirudin, 2006). 



Pendred Syndrome



Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan pendengaran kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis dari hasil tes perklorat. Gangguan pendengaran biasanya terjadi bilateral (Bashirudin, 2006). 



Waardenburg Syndrome



Waardenburg syndrome mengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan diperkirakan sebesar 2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran kongenital di Amerika. Kelainan klinis yang tampak adalah kelainan pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan stria vaskular, dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis. Gambaran klinis dari Waadenburg syndrome adalah kelainan lokasi dari kantus medial dan



14



punkta lakrimalijs, hyperplasia high nasal root, gambaran albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf unilateral atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat (Bashirudin, 2006). 



Usher Syndrome - Sensorineural Deafness



Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup. Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai berat. Kelainan histopatologi yang ditemukan adalah adanya degenerasi epitel sensoris



koklea.



Tidak



ditemukannya



cochlear



microphonic



mengindikasikan adanya gangguan pendengaran (Bashirudin, 2006).  Lainnya :



B. 



o



Branchio-Oto-Renal syndrome



o



X-linked Charcot Marie Tooth



o



Goldenhar syndrome



o



Jervell-Lange-Nielsen syndrome



o



Mohr-Tranebjaerg syndrome



o



Norrie disease



o



Stickler syndrome



o



Treacher Collins' syndrome (Scott, 2011).



Non Genetik Mondini Dysplasia Deformitas tipe mondini ini dapat kita jumpai pada sindroma CHARGE



(Coloboma, Heart desease, Choanal Atresia, Retarded development, Gonadal aplasia, dan Ear abnormalities) (Scott, 2011). 



Sindroma pelebaran aquaduktus vestibular



Sistem vestibularis terdiri atas kanalis semisirkularis yang berjalan sepanjang utrikula dan sakula. Pada sindrom ini, diameter dari sistem tersebut meningkat



15



(hal ini dapat diukur pada CT dan MRI resolusi tinggi) sehingga menyebabkan tuli sensorineural (Scott, 2011).  Malformasi lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya tuli konduktif antara lain: palatoskizis, malformasi osikular, fiksasi osikular, atresia liang telinga luar, kolesteatoma kongenital (Scott, 2011).  Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide (Scott, 2011).  Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (TORCH) (Scott, 2011). 2.4.6 Manifestasi Klinis



Seringkali orang tua tidak menyadari adanya gejala awal ketulian pada bayi, dan baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anaknya bila tidak ada tanggapan/respon anak terhadap suara keras, ataupun anak belum/terlambat berbicara, Gejalanya yaitu (Agustina, 2021): Usia 1-9 bulan 



Tidak terkejut ketika mendengar suara dengan volume tinggi.







Tidak terlihat merespons ketika dipanggil oleh suara yang familiar.







Tidak berceloteh “ma-ma”, “da-da”, “ta-ta”, atau sejenisnya.







Tidak tertarik dengan mainan yang mengeluarkan bunyi.



Usia 9-15 bulan 



Tidak mengucapkan berbagai macam suara dengan berbagai suku kata.







Tidak menunjukkan respons ketika namanya dipanggil.







Saat anak rewel, tidak bisa ditenangkan oleh orang sekitarnya.







Tidak



mengeluarkan



berbagai



macam



informasi



untuk



mengekspresikan rasa senang, kesal, atau sedih. Usia 15-24 bulan 



Tidak tertarik mendengarkan cerita atau lagu.



16







Tidak sering bernyanyi atau berbicara.







Tidak mampu menunjuk anggota tubuh saat orang tua meminta menunjuk.







Tidak mampu mengucapkan kata sederhana yang rutin dilakukan sehari-hari seperti “makan”, “mama”, dan “papa”.



Kurang dari 2 tahun 



Tidak menjawab ketika dipangggil.







Sering menonton televisi dengan volume sangat keras.







Jika ditanya, anak sering kali menjawab dengan ‘tidak nyambung’.







Artikulasi bicara tidak jelas.







Kemampuan bicara lebih lambat dibandingkan anak seusianya.







Mengalami kesulitan belajar di sekolah.



2.4.7 Diagnosis Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir Newborn Hearing Screening dibedakan menjadi (Soetjipto and Darmiyanti, 2007): 1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS): dilakukan pada semua bayi baru lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit. 2. Targeted Newborn Hearing Screening: dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap ketulian. Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000, gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response



17



(AABR). Program skrining ini telah dijalankan pada tahun 2001 dan telah diterapkan seutuhnya di Inggris (Scott, 2011). Telah banyak dibuat pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang teridentifikasi menderita gangguan pendengaran, baik melalui program penapisan atau dirujuk untuk penilaian fungsi pendengaran. American Speech Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku (behavioral), elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa. Terdapat berbagai macam pemeriksaan yang saling melengkapi satu dengan lainnya untuk menentukan adanya gangguan pendengaran (Asbudi, 2009).



Gambar Alur



3. Skema Pemeriksaan Pendengaran Bayi Baru lahir (Rundjan et al., 2005).



18



Timpanometri Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anakanak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga (NDCS, 2008). Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)



Gambar 4. Automated otoacoustic emissions (Soetjipto and Darmiyanti, 2007). OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk mengetahui apakah koklea berfungsi normal, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis, non-invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik, kurangnya aliran darahyang menuju koklea menyebabkan



19



sel-sel rambut luar koklea tidak dapat memproduksi OEA (Soetjipto and Darmiyanti, 2007). Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari. Selain juga untuk orang dewasa. Pada bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat beristirahat/tidur. Tesnya tergolong singkat dan tidak sakit, namun memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya ada gangguan pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut. Tes ini melibatkan penempatan sebuah ear-piece kecil ke dalam telinga luar bayi yang mengirimkeluar suara clicking yang lembut. Respons “echo” kemudian diukur oleh komputer dan menunjukkan berfungsinya tlinga tengah dan dalam (koklea) bayi (NDCS, 2008). Orang tua tetap dengan bayi mereka sementara tes dilakukan dan dibutuhkan hanya beberapa menit untuk memberikan hasil. Partisipasi tidak diperlukan dari bayi, dan mereka seringkali tertidur saat menjalani tes. Jika tes tidak menunjukkan jawaban yang jelas, maka akan diulang. Ini tidak berarti mereka memiliki gangguan pendengaran karena kadangkadang kondisi saat pemutaran tidak benar; mungkin bayi tidak tenang atau mungkin masih terdapat cairan di saluran telinga saat kelahiran. Jika setelah percobaan kedua AOAE, bayi masih tidak menunjukkan reaksi, mereka akandialihkan untuk jenis tes pendengaran kedua yang disebut automated auditory brainstem response (AABR) (NDCS, 2008). Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Automated Brain Evoked Response Audiometri (BERA)



20



Gambar 5. Automated auditory brainstem response (Soetjipto and Darmiyanti, 2007) Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-jaras pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai pada saat



pemberian



impuls



sampai



menimbulkan



reaksi



dalam



bentuk



gelombang.Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas yang tinggi, penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara konvensional (Soetjipto and Darmiyanti, 2007). Auditory Brainstem Response (ABR) Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan sudah dapat dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai screening, juga dengan 2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini cuma mampu mendeteksi ambang suara hingga 40 dB. Sedangkan guna mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran yang diderita, lazimnya dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) (Soetjipto and Darmiyanti, 2007). 2.4.9 Tatalaksana Ada atau tidaknya ketulian seharusnya bisa dideteksi sejak bayi berusia 3 bulan. Pada pendengaran normal suara masuk akan diproses masuk dalam kokhlea, sebuah saluran atau tuba yang berputar spiral mirip rumah siput dan berisi organorgan pendengaran. Getaran gelombang suara digetarkan ke kokhlea sehingga terjadi gerakan pada cairan sel-sel rambut dam membran-membran di dalamnya. Sel-sel rambut inilah yang mengirim sinyal saraf ke otak. Jika terjadi kerusakan dan gangguan otomatis suara tidak dapat ditangkap dan diterjemahkan otak. Perlu untuk mengetahui derajat dan jenis dari tuli yang diperoleh dan kelainan yang mengikuti seperti retardasi mental atau kebutaan serta kehilangan



21



pendengaran yang bersifat prelingual atau post lingual. Tujuan dari habilitasi pada anak-anak dengan gangguan pendengaran adalah perkembangan bahasa dan berbicara, bersosialisasi dan dapat mengeluarkan suara. (Rundjan et al., 2005). Adapun penatalaksanaan tuli kogenital adalah: 1.



Pengawasan orang tua Orang tua yang mempunyai anak yang tuli haruslah secara emosional



menerima kekurangan yang dihadapi anak mereka. Mereka haruslah diberitahu tentang



kekurangan



yang dihadapi



anak



mereka



dan bagaimana



cara



menanganinya. Peran orang tua dalam habilitasi sangatpenting dimana untuk penjagaan dan pemakaian dari alat bantu dengar, pemasangan telinga palsu selama pertumbuhan menjadi dewasa, sering melakukan pemeriksaan, memberikan pendidikan di rumah dan pemilihan dalam besuara (Rundjan et al., 2005). 2.



Habilitasi Pada penderita gangguan pendengaran, fungsi auditorik jelek atau tidak ada



sama sekali. Oleh sebab itu untuk mendapatkan informasi yang baik, mereka perlu untuk meningkatkan kualitas pendengaran dengan amplifikasi pendengaran atau implan koklea. Orang yang terdeteksi gangguan pendengaran biasanya diberikan terapi alat bantu dengar (ABD) atau hearing aids sekitar enam bulan. Selama ini pula dilakukan serangkaian tes untuk mengetahui respon pendengaran dan kemampuan berkomunikasi. Jika tidak berpengaruh signifikan implantasi kokhlea menjadi solusi berikutnya tuli akibat infeksi dan tuli konduktif atau gangguan luar dan tengah umumnya bisa diobati atau dibantu dengan alat bantu dengar begitupun tuli kogenital (Rundjan et al., 2005). Hearing aid atau alat bantu pendengaran pada saat ini tersedia dalam beberapa jenis. Tipe yang terbaik untuk dipilih tergantung pada tingkat kehilangan pendengaran, bentuk telinga, gaya hidup dan kebutuhan akan pendengaran. Berikut ada lima jenis alat bantu pendengaran (Rundjan et al., 2005) : 



Behind The Ear (BTE)



22



Jenis ABD ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan di bagian atas daun telinga. Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai dengan kanal telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke gendang telinga. Jenis ini mudah untuk dimanipulasi dan segala tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Seluruh ABD, tanpa memperhatikan jenisnya, dibuat dengan bagian dasar yang sama. ABD jenis BTE, seperti yang ditunjukkan dibawah ini, dapat diamati letak mikrofon, tone hook, volume control, saklar on/off, dan baterai.



Gambar 6. Alat Bantu Pendengaran Jenis Behind The Ear (Rundjan et al., 2005). 



In The Ear (ITE)



Jenis ini diletakkan di dalam daun telinga. Alat ini akan menutup saluran telinga sepenuhnya. Seperti halnya BTE, jenis tipe ini mudah dioperasikan dapat sesuai dengan kebanyakan rangkaian yang dikembangkan.



Gambar 7. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Ear (Rundjan et al., 2005). 



In The Canal (ITC)



Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak kelihatan dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE. Karena bentuknya



23



yang lebih kecil sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan tidak semua tipe rangkaian dapat pas untuk model ini (Rundjan et al., 2005).



Gambar 8. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Canal(Rundjan et al., 2005). 



Completely-in-the-Canal (CIC)



Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal telinga dan umumnya tidak dapat dilihat. Karena bentuknya yang begitu kecil sehingga tidak semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Jenis ini sangat sesuai untuk penderita yang amat parah. Pada dasarnya cara kerja alat pendengaran ini sama dengan jenis BTE melainkan letaknya saja yang berbeda (Rundjan et al., 2005).



Gambar 9. Alat Bantu Pendengaran Jenis Completely-in-the-Canal (Rundjan et al., 2005).  Bone Anchored Hearing Aids (BAHA) Jenis alat bantu dengar tipe ini dipasang permanen di dalam kulit di belakang telinga, yaitu sebuat lempeng titanium dan prossesor. Prinsip kerjanya yaitu lempeng titanium menerima rangsang dari luar kemudian



24



diolah di prosessor dan dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui tulang (Rundjan et al., 2005).



Gambar 11. Bone Anchored Hearing Aids (Rundjan et al., 2005).



Cochlear implant (Implantasi Koklea) adalah alat pendengaran buatan yang dirancang untuk menghasilkan sensasi pendengaran yang berguna yang secara elektrikal merangsang saraf-saraf dalam pusat telinga. Implan koklea dirancang untuk simpangan bagian–bagian rusak dari bagian dalam telinga dan mengirim rangsangan listrik secara langsung ke saraf pendengar dimana rangsangan tersebut kemudian ditafsirkan sebagai suara oleh otak. Alat ini menyediakan kemampuan untuk sensasi pendengaran yang berguna dan memperbaiki kemampuan berkomunikasi bagi orang yang kehilangan pendengaran yang parah. Implantasi koklear adalah sebuah pilihan penting bagi individu yang memperoleh sedikit atau tidak ada keuntungan dari sebuah ABD konvensional (Rundjan et al., 2005).



25



Gambar 12. Implantasi Koklea (Ghorayeb, 2008).



Prinsip kerja dari Implan koklea (Rundjan et al., 2005): a) Gelombang suara masuk pada mikrofon yang ditempatkan pada headpiece. b) Suara dikirim ke speech processor melalui sebuah kabel tipis yang menghubungkan headpiece ke speech processor. c) The speech processor mengubah suara tersebut menjadi sebuah sinyal khusus yang dapat ditafsirkan oleh otak. Perubahan ini diselesaikan dengan



suatu



program yang disebut speech processing strategies. d) Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama ke headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat yang ditanam tersebut. e) Sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat telinga dan merangsang saraf pendengaran. f) Saraf pendengaran kemudian mengirim sinyal – sinyal listrik ke otak dimana siyal – sinyal listrik tersebut ditafsirkan sebagai suara.



26



3.



Pengembangan berbicara dan berbahasa Komunikasi adalah merupakan proses dua arah, tergantung dari



kemampuan menerima dan mengekspresi. Penerimaan informasi melalui visual, pendengaran atau perabaan sementara ekspresi secara oral atau bahasa sinyal (Rundjan et al., 2005). • Komunikasi oral auditorik Metode ini digunakan orang yang normal dan cara komunikasi yang paling baik. Metode ini dapat digunakan pada gangguan pendengaran sedang hingga berat atau penderita dengan tuli post lingual. Alat bantu dengar digunakan untuk menambahkan penerimaan auditori. Pada masa yang sama, latihan untuk komunikasi melalui pembacaan bicara diterapakan seperti membaca gerakan bibir, muka dan gerakan alami dari tangan dan tubuh. Kemampuan ekspresi dirangsang dengan pembicaraan oral. •



Komunikasi manual Komunikasi ini dengan bahasa isyarat atau metode penulisan jari tetapi mempunyai kekurangan dimana ide yang sangat abstrak untuk diekspresikan dan masyarakat umum tidak mengerti.







Komunikasi total Komunikasi ini memerlukan semua kemampuan input sensorium. Dimana anak diajarkan untuk mengembangkan fungsi berbicara, membaca bahasa bibir dan bahasa isyarat.Semua anak dengan tuli prelingual harus menjalani ini. Alat bantu dengar berguna untuk penderita yang tuli total dan buta.



4.



Pendidikan untuk anak tuli Anak dengan penderita tuli sedang atau total dapat dimasukkan ke sekolah



anak dimana mereka diberikan tempat khusus di dalam kelas. Dengan



27



menggunakan alat batu dengar guru memakai mikrofon dan transmitter dan anak yang tuli dapat mendengarkan suara guru mereka dengan lebih baik tanpa gangguan kebisingan lingkungan (Rundjan et al., 2005). 5. Pembedahan Tergantung pada tuli kogenital yang tipe dan beratnya ketulian dan adanya gangguan lain seperti cogenital stapes fixation, choloesteatoma dan lain-lain. Atau dengan tindakan implan kokhlea untuk gangguan pendengaran karena kerusakan dan efek dari fungsi kokhlea. Caranya dengan menanamkan sejenis peranti digital di dalam telinga untuk menggantikan fungsi kokhlea yang rusak. Lalu disambungkan dengan perangkat pengatur digital dan mikrofon di bagian luar. Alat bekerja dengan menghindari bagian-bagian yang rusak di telinga bagian dalam untuk menstimulasi serta pendengaran yang masih tersisa kemudian mengirim sinyal ke otak sehingga pendengar tidak hanya mampu mendengar kembali namun dapat juga mendengarkan musik. Teknologi implan kokhlea juga sebenarnya sudah dilakukan 40 tahun yang lalu (Rundjan et al., 2005). 2.4.10 Pencegahan Menurut IDAI tahun 2017, skrining pendengaran bayi baru lahir dilakukan di beberapa rumah sakit sudah termasuk skrining yang rutin, mengingat : 



Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal.







Adanya periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara, yang dimulai dalam 6 bulan pertama Kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun.







Bayi yang mempunyai gangguan pendengaran bawaan atau didapat yang segera diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal dibandingkan bayi yang baru diintervensi setelah berusia 6 bulan (IDAI, 2017).



28



Ada faktor risiko yang diidentifikasi kemungkinan mengakibatkan gangguan pendengaran pada bayi  baru lahir yaitu (IDAI, 2017) : 



Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran







Kelainan bawaan bentuk telinga dan kelainan tulang tengkorak-muka







Infeksi



janin



ketika



dalam



kandungan



(infeksi



toksoplasmosis,



rubella,sitomegalovirus, herpes) 



Sindrom tertentu seperti sindrom Down







Berat lahir < 1500 gram







Nilai Apgar yang rendah







Perawatan di NICU







Penggunaan obat2 tertentu yang bersifat toksik terhadap saraf pendengaran







Kenyataannya adalah bahwa 50% bayi dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko tersebut diatas, sehingga bila hanya menggunakan kriteria faktor risiko tersebut maka banyak bayi yang mempunyai gangguan pendengaran



tidak



terdiagnosis. Sehingga



skrining



pendengaran



direkomendasikan untuk semua bayi baru lahir. Skrining pendengaran bayi baru lahir hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap rangsangan dengan intensitas tertentu dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun membedakan jenis tuli (tuli konduktif atau tuli saraf). Alat yang direkomendasikan untuk skrining pendengaran bayi adalah otoacoustic



emissions (OAE)



atau  automated



auditory



brainstem



response (AABR) (IDAI, 2017).   OAE dilakukan pada bayi baru lahir berusia 2 hari (di RSCM: usia 0-28 hari)



29



1. Bila hasil OAE pass dan bayi tanpa faktor risiko, dilakukan pemeriksaan



AABR atau click 35db pada usia 1-3 bulan (IDAI, 2017): a) Bila hasilnya pass, tidak perlu tindak lanjut b) Bila hasilnya refer, dilakukan pemeriksaan lanjutan (ABR click dan tone B 500 Hz atau ASSR, timpanometri high frequency), dan bila terdapat neuropati auditorik, dilakukan habilitasi usia 6 bulan. 2. Bila hasil OAE pass dan bayi mempunyai faktor risiko, atau  bila hasil OAE refer ( di RSCM juga dilakukan pemeriksaan AABR 35 db):             Pada usia 3 bulan, dilakukan pemeriksaan otoskopi, timpanometri, OAE, AABR. 



Bila hasilnya Pass, dilakukan pemantauan perkembangan bicara dan audiologi tiap 3-6 bulan sampai usia 3 tahun (sampai anak bisa bicara)







Bila hasilnya refer, dilakukan pemeriksaan lanjutan (ABR click dan tone B 500 Hz atau ASSR, timpanometri high frequency), dan bila terdapat tuli saraf, dilakukan habilitasi usia 6 bulan (IDAI, 2017). 2.4.11 Prognosis Prognosis penyakit ini sangat tergantung dari penyebabnya. Tetapi pada



dasarnya derajat ketulian menetap pada level yang sama atau semakin bertambah parah dan tidak mengalami perubahan



30



DAFTAR PUSTAKA Agustina (2021) Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Anak, Siloam Hospital. Available at: https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/deteksi-dinigangguan-pendengaran-pada-anak. Arsyad S., E. et al. (2007) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th edn. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Asbudi (2009) Deteksi Pendengaran. Available at: http://www.speech-therapy.co.cc. Baguley, D. M. and Mcferran, D. (2015) ‘Hearing impairments: causes, effects and rehabilitation’, (January). Bashirudin, J. (2006) ‘Gangguan pendengaran genetik’, Jurnal Otolaringology, 36(3). Duthey, B. (2013) ‘Background Paper 6.21 Hearing Loss’, World Health Organization, 1(February), p. 6. Ghorayeb, B. (2008) Anatomy of Ear. Hendarmin, H. and Suwento, R. (2007) Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. IDAI



(2017)



‘Skrining



pada



bayi’.



Available



at:



https://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/“skrining”-pada-bayi-barulahir-untuk-diketahui-oleh-orangtua. Kemkes



RI



(2020)



‘Waspadai



Risiko



Anak



Lahir



Tuli’.



Available



at:



https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200303/0833185/waspadai-risikoanak-lahir-tuli/.



31



NDCS (2008) Hearing tests for babies and young children, National Deaf Children’s Society. Available at: www.deafnessresearch.org.uk. Nugroho, D. (2014) ‘Tuli Kongenital Diduga Akibat Infeksi Rubela dan Sitomegalovirus’, Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine, 2(2), pp. 130– 136. doi: 10.36408/mhjcm.v2i2.106. P2ptm.kemkes (2018) ‘Gangguan Pendengaran, Tuli Kongenital’. Available at: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/gangguan-inderafungsional/page/4/mengenal-gangguan-pendengaran-tuli-kongenital. Rundjan, L. et al. (2005) ‘Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi’, Sari Pediatri, pp. 149–154. Scott,



O.



(2011)



Congenital



Deafness.



Available



at:



http://www.patient.co.uk/doctor/congenital-deafness. Shah,



R.



and



Lotke,



M.



(2008)



Hearing



Impairment.



Available



at:



http://emedicine.medscape.com. Soetirto, I., Hendarmin, H. and Bashiruddin, J. (2007) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Soetjipto and Darmiyanti (2007) ‘Tuli Kongenital’, in. Komite Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Weber, P. C., Deschler, G. D. and Sokol, H. N. (2009) ‘Etiology of Hearing Loss’. Available



at:



http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do? topicKey=~TPPkJ1o3GHCz9%0Ac&selectedTitle=1~ 150&source=search _result.



32