Refleksi Kasus Anestesi Teknik LMA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Refleksi Kasus



Januari 2018



“MANAJEMEN JALAN NAPAS MENGGUNAKAN LARYNGEAL MASK AIRWAY PADA PASIEN DENGAN TINDAKAN REMOVE IMPLANT”



Disusun Oleh: Sidik Pribadi N 111 16 043



Pembimbing Klinik: dr. Ferry Lumintang, Sp.An



KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018



BAB I PENDAHULUAN



Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga diperlukan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.1 Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan, stabilisasi otonom.1 Pemilihan teknik anestesi pada anestesi umum didasarkan pada jenis operasi yang akan dilakukan, uisa, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan pelaksana anestesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.2 Pengelolaan jalan napas (airway) menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Hal ini disebabkan oleh beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.2 Penemuan dan pengembangan “Laryngeal Mask Airway” (LMA) oleh seorang ahli anastesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA memberikan ahli anestesi alat baru penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anastesi mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anestesi, dan prosedur pembedahan.3



LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa dekade terakhir ini. Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup muka. Salah satu yang menjadi kelemahan penggunaan sungkup muka adalah tidak dapat melindungi jalan napas dari kemungkinan regurgitasi isi lambung . Dalam pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah dibanding intubasi endotrakea.3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1. Anatomi & Fisiologi Jalan Napas Bagian Atas



Hidung Jalan napas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Udara lewat melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu penghangatan dan melembabkan (humidifikasi). Hidung adalah jalan utama pada pernapasan normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau infeksi saluran napas atas. Selama bernapas tenang, tahanan aliran udara yang melewati hidung sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan jalan napas. Tahanan yang melalui hidung adalah hampir dua kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa pernapasan mulut digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas berat.1



Faring Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring dibawahnya oleh jaringan palutum mole. Prinsip kesulitan udara melintas melalui nasofaring karena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.1 Trakea Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi servikal 6 columna vertebralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh 1620 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi brongkus kanan dan kiri pada thorakal kolumna vertebrali. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2. Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung reflek bronko kontriksi.1 2. Evaluasi Jalan Napas Tujuan evaluasi jalan napas adalah untuk menghindari gagalnya penanganan jalan napas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask, terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan



laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha laringoskopi dilakukan banyak kali.4 Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan napas jika anestesiolog mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan napas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea, atau keduanya.4 Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan napas yang komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan napas pernah terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan napas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan adanya kesulitan jalan napas. Demikian pula halnya, jika pasien memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk “memasukkan selang pernapasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi sebelumnya, maka harus dipertimbangkan adanya kesulitan jalan napas.4 Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan napas antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa lampau,



artritis



reumatoid,



hamil,



epiglotitis,



perlengketan



servikal



sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi mengenai penanganan jalan napas sebelumnya.4 Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga mulutnya. 5 Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan napas mungkin



saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.5



Gambar 1. Sistem klasifikasi Mallampati 3. Alat – Alat yang Sering Digunakan dalam Manajemen Airway a. Oral dan Nasal Airway Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan napas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior.6 Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5). 6 Panjang nasal airway dapat diperkirakan



sebagai jarak antara



lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan



adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii.6



b. Face Mask Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari sistem pernapasan ke pasien dengan pemasangan face mask yang rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.6 Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.6



c. Intubasi Endotrakeal Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan saluran tracheobronchial, mempertahankan jalan napas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit ataupun pada prosedur medis untuk mempertahankan jalan napas seseorang, pernapasan, dan oksigenasi darah. Pada cakupan tersebut, tambahan oksigen yang menggunakan face mask sederhana masih belum adekuat. 7



d. Laryngeal Mask Airway Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan ETT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan ETT pada pasien dengan jalan napas yang



sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkoskop. 7



4. Laryngeal Mask Airway (LMA) Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan nafas dan refleks - refleks proteksi jalan napas. LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam faring dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.8 Laringeal mask airway (LMA) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil,anak besar, kecil, normal dan besar.2 Tabel 1. Ukuran LMA



LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas



dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.6



Gambar 2. Bagian – bagian LMA



LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT. Kontra indikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan napas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.6



Tabel 2. Perbandingan LMA, Facemask, dan ETT



Jenis – Jenis LMA a. Clasic LMA Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan jalan nafas yang sullit. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.9



b. LMA Fastrach ( Intubating LMA ) ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus bagian atas



karena pernah dilaporkan kejadian



perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebihsering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA



memegang peranan penting dalam manajemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selamaresusitasi cardiopulmonal .9



c. LMA Proseal LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi



tekanan



positif.



Pertama,



tekanan



seal



jalan



nafas



yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernapasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tubeorogastric untuk dekompresi lambung.10 Terdapat suatu teori yang baik dan bukti perfoma untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut.9



d. Flexible LMA Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laring dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing.9



4. Teknik Anastesi LMA Indikasi10 a. Sebagai



alternatif dari ventilasi face mask



atau intubasi ET



untuk



airway management . LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi. b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri. Kontraindikasi 10 a. Pasien - pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada emergency adalah pengecualian). b. Pasien-pasien dengan



penurunan compliance



sistem



pernafasan,



karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran



pada



tekanan



inspirasi



tinggi



dan



akan



terjadi



pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung. c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama. d. Pasien-pasien dengan refleks jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu terjadinya laryngospasm. Efek Samping 10 Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek sampingyang utama adalah aspirasi.



Teknik Induksi dan Insersi Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting



untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna.9 Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak respon terhadap tindakan jaw thrust . Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena refleks proteksi yang ditumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang rileks/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan.3 Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan napas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi cuff akan menstimulasi dinding faring dan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan



kardiovaskuler



setelah



insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.3 Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti fentanyl atau alfentanyl). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi dilakukan



dengan



posisi



seperti



akan dilakukan



laryngoscopy



(Sniffing Position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi.Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff



setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa faring.3 Dokter anestesi berdiri dibelakang



pasien



yang berbaring



supine dengan satu tangan menstabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan



dengan



cara



menaruh



tangan



dibawah



occiput pasien



dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus



(sfingter



esofagus



bagian



atas)



dan



harusnya



sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” teridentifikasi.9



Gambar 2. Pemasangan LMP



Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA9: 1. End point yang jelas dirasakan selama insersi. 2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi. 3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi. 4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah. 5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut. Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal,



termasuk



cedera



syaraf



(glossopharyngeal,



hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.9 Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mempalpasi secara intermiten pada pilot ballon.9 Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara membagging dengan lembut. Perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat



bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan napas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.9



Teknik Ekstubasi Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks proteksi jalan napas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada faring secara umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasm. Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat–saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut.9



Komplikasi Pemakaian LMA cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap



aspirasi



paru



karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, dan pada refluks gastro-esofageal.9



BAB III TINJAUAN KASUS



1. Identitas Penderita 



Nama



: Tn. AT







Umur



: 65 thn







Alamat



: Desa langaleso







Agama



: Islam







Ruangan



: Ebony







Tanggal Pemeriksaan



: 09-01-2018







No.Rek.Medis



: 00-33-46



2. Anamnesis 



Keluhan Utama



: pelepasan implant







Riwayat Penyakit Sekarang



:



Pasien datang ke poliklinik ortopedi RSUD Torabelo dengan riwayat fraktur radius ulna pada lengan kanan dan rencana untuk pelepasan implant. Keluhan fraktur radius ulna menimpa pasien tahun 2017 yang lalu, dan pasien sudah pernah dioperasi untuk pemasangan plate. Keluhan mual dan muntah disangkal. Buang air kecil dan besar pasien lancar. Demam (-), sesak (-), muntah (-), nyeri menelan (-) dan gangguan menelan (-). o Riwayat alergi (-) o Riwayat asma (-) o Riwayat penyakit jantung (-) o Riwayat penyakit berat lainnya (-) o Riwayat anestesi (+) sebanyak satu kali, tidak terdapat komplikasi. 



Riwayat penyakit keluarga: o Riwayat penyakit paru (-) o Riwayat penyakit jantung (-)



o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)



3. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Kesadaran



: Compos mentis (GCS E4 V5 M6)



Berat Badan



: 70 kg



Status Gizi



: Gizi Baik



Airway



: Paten



Pernafasan



: Respirasi 18 kali/menit



Nadi



: 82 kali/menit, regular, kuat angkat



TD



:120/70mmHg



Suhu



: 36,5o C



a. B1 (Breath) : Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 5 cm, jarak hyothyoid 6 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 18 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-). b.



B2 (Blood) : Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.



c.



B3 (Brain) : Kesadaran : Compos mentis, pupil: isokor 2mm/2mm, defisit neurologi (-).



d.



B4 (Bladder) : Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna kekuningan.



e.



B5 (Bowel) : Abdomen : tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-), muntah (-) massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).



f.



B6 Back & Bone : Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema ekstremitas bawah (-/-).



4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium tanggal 08-01-2018 Tabel 3. Hematologi Rutin Parameter



Hasil



Satuan



Range Normal



RBC



4,31



106/mm3



3,8-5,2



Hemoglobin (Hb)



13



gr/dl



11,7-15,5



Hematokrit



39,6



%



35,0-47,0



PLT



305



103/mm3



150-440



WBC



6,07



103/mm3



3,6-11,0



BT



2’ 00”



menit



1-5



CT



4’ 00”



menit



4-10



Tabel 4. Kimia Klinik Parameter



Hasil



Satuan



Range Normal



GDS



70



mg/dL



70 -140



Tabel 5. Imunoserologi Parameter



Hasil



HbsAg



Negatif



5.



Diagnosis Kerja : Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant



6.



Tindakan



: Remove implant



7.



Kesan Anestesi Laki-laki 65 tahun dengan diagnosis union fraktur radius ulna (D) pro remove implant dan PS ASA I.



8.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan yaitu : Rencana operasi : Remove implant Di Ruangan : Surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+), site mark (+). 



9.



Puasa : 8 jam preoperasi



Kesimpulan Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:  Diagnosis Pre Operatif : Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant  Status Operatif



: ASA I, Mallampati I



 Jenis Anastesi



: General Anestesi



11. Laporan Anestesi 1) Diagnosis Pra Bedah Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant 2) Diagnosis Pasca Bedah Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant 3) Penatalaksanaan Praoperasi RL 200 ml 4) Penatalaksanaan Anestesi a. Jenis Pembedahan



: Remove implant



b. Jenis Anestesi



: General Anestesi



c. Teknik Anestesi



: General Anestesi dengan teknik LMA nomor 4



d. Mulai Anestesi



: 09 januari 2018, pukul 10.00 WITA



e. Mulai Operasi



: 09 januari 2018, pukul 10.05 WITA



f. Premedikasi



: ondancentron 4 mg Ranitidin 50 mg Pethidin 60 mg Midazolam 3 mg



g. Induksi



: Propofol 100 mg



h. Maintanance



: Sevoflurane 3%



i. Alat bantu pernapasan



: LMA nomor 4



j. Respirasi



: Pernapasan spontan



k. Posisi



: Supinasi



l. Cairan Durante Operasi



: RL 800 ml



m. Selesai operasi



: 11.05 WITA



12. Preinduksi Pemeriksaan fisik preoperative 



B1 (Breath) : Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 5 cm, jarak hyothyoid 6 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi



pernapasan



:



18



kali/menit,



suara



pernapasan



:



bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-). 



B2 (Blood) : Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.







B3 (Brain) : Kesadaran : Compos mentis, pupil : isokor 2mm/2mm, defisit neurologi (-).







B4 (Bladder) : Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna kekuningan.







B5 (Bowel) : Abdomen : tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-), muntah (-) massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).







B6 Back & Bone : Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema ekstremitas bawah (-/-).



Persiapan pasien preoperatif : IVFD RL 200 ml Persiapan di kamar operasi : Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :  Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.  Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.  Alat-alat resusitasi (STATICS).  Obat-obat anastesia yang diperlukan.  Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.  Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.  Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.  Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.  Kartu catatan medik anestesia



Tabel 6. Komponen STATICS Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung. S



Scope



Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.



T



Tubes



Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini digunakan laryngeal mask airway ukuran 4 Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa



A



Airways



hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.



T



Tapes



Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)



I



Introducer



yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel atau stilet.



C



Connector



S



Suction



Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia. Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.



13. Intra Operatif Laporan Anestesi Durante Operatif 



Jenis anestesi







Lama anestesi : 10.00 – 11.20 (1 jam 20 menit)







Lama operasi



: 10.05 – 11.05 (1 jam)







Anestesiologi



: dr. Muhammad Rizal, Sp.An, M.Kes







Ahli Bedah



: dr. Jecky Chandra, Sp.OT, M.Kes







Posisi



: Supine







Infus



: 1 line di tangan kiri



: General Anestesi



Tabel 7. Laporan Monitoring Anestesi



Jam



Tekanan darah



Frekuensi denyut nadi



Saturasi



Terapi



oksigen Ondancentron 4 mg Ranitidin 50 mg



09.55



130/84



70



99%



Pethidin 50 mg Midazolam 3 mg Propofol 100 mg



10.00



112/74



89



99%



10.05



118/79



84



99%



10.10



111/75



80



99%



10.15



100/64



88



99%



10.20



108/65



87



99%



10.30



118/76



89



99%



10.35



120/80



85



99%



10.40



125/84



89



99%



10.45



115/75



85



99%



10.55



118/79



84



99%



11.00



110/70



80



99%



11.05



100/70



70



99%



11.10



115/70



75



99%



11.15



118/79



80



99%



11.20



120/84



85



99%



Sevoflurane 3%



14. Terapi Cairan : BB



: 70 kg



EBV



: 75 ml/kgBB x 70 kg = 5250 ml



Jumlah perdarahan



: ± 150 ml



% perdarahan : 100/5250 x 100% = 1,9 % 𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 × = 5250 ×



𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 − 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 + 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )/ 2 39,6−25 (39,6+25)/ 2



= 5250 ×



14,6 32,3



= 2373 𝑚𝑙



Pemberian Cairan  Cairan masuk : - Pre operatif



: Kristaloid RL 200 ml



- Durante operatif: o Kristaloid RL 800 ml Total input cairan : 1000 ml  Cairan keluar : Durante operatif - Perdarahan ± 150 ml - Urin (-) Total output cairan : ± 150 ml



Perhitungan Cairan a.



Input yang diperlukan selama operasi : 1.



Cairan maintanance (M) : 30 cc x 70 kg = 2100 ml/24jam = 87,5 ml/jam



2.



Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 87,5 = 700 ml – 600 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 100 ml



3.



Stress Operasi Besar : 8 ml x 70 kg = 560 ml



4.



Cairan defisit darah selama oprasi = 150 ml x 3 = 450 ml



Untuk mengganti kehilangan darah 150 ml diperlukan 450 ml cairan kristaloid. Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = 87,5 + 100 + 560 + 450 = 1197,5 ml



b. Cairan masuk : Kristaloid



: 200 ml + 800 ml = 1000 ml



Koloid



: -



Whole blood



: -



Total cairan masuk : 1000 ml



c. Keseimbangan kebutuhan: Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1000 ml – 1197,5 ml = - 197,5 ml



15. Post Operatif Pemantauan di Recovery Room : a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik c. Bila Aldrette Score ≥8 boleh pindah ruangan. d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit – sedikit. Tabel 8. Skor Pemulihan Pasca Anesthesia J.A Aldrette 1970 TANDA AKTIVITAS



KRITERIA Seluruh ektrimitas dapat digerakkan



SKOR 2



Dapat menggerakkan 2 ekstrimitas Tidak bergerak



1



0



RESPIRASI



Mampu bernapas dalam dan batuk



2



Dangkal namun pertukaran udara adequate Apnea dan Obstruksi



1



0 SIRKULASI



TD < 20% dari nilai pre anestesi



2



TD 20% - 50% dari nilai pre anestesi TD > 50% dari nilai pre anestesi



1



0 KESADARAN Sadar, siaga, dan orientasi Bangun namun cepat tertidur kembali



2 1



Tidak berespon 0 WARNA



Merah muda



2



KULIT



Pucat



1



Sianosis



0



TOTAL SKOR



9



Perintah di ruangan : a.



Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)



b.



Bila kesakitan beri analgetik.



c.



Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv



d.



Program cairan : infus RL 20 tetes/menit



e.



Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam, mulai pukul 20.00 WITA



BAB IV PEMBAHASAN



Pasien, Tn. AT 65 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi remove implant pada tanggal 09 januari 2018 dengan diagnosis pre operatif union fraktur radius ulna (D) pro remove implant. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 08 januari 2018. Pada anamnesis didapatkan riwayat fraktur radius ulna 2 tahun yang lalu. Pasien sudah menjalani operasi dan di anestesi tahun 2016 untuk pemasangan implant pada frakturnya. Pasien tidak mengeluhkan gejala fisik. Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan serta dilakukan juga pemeriksaan GDS dan uji imunoserologi HbsAg. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg; nadi 82x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi: Hb 13 g/dl; GDS 70 mg/dL dan HBsAg (-). Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit berat, alergi, dan dapat berkomunikasi serta beraktivitas dengan normal. Dengan keadaan tersebut, pasien termasuk dalam kategori ASA I. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontra indikasi dilakukannya tindakan. Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi. Adapun indikasi dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan menggunakan premedikasi. Teknik anestesinya dengan pemasangan LMA nomor 4. Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan RL 200 ml. Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 30cc x 70 kg sehingga kebutuhan cairan maintenance pasien selama 1 jam operasi adalah 2100 ml/24jam = 87,5 ml/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam.



Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini adalah 700 ml dan sebelumnya pasien telah menrima 600 ml di ruang perawatan. Selama oprasi jumlah defisit darah adalah 150 ml sehingga memerlukan pergantian cairan dengan kristaloid sebanyak 450 ml. Oleh karena operasi yang dijalani tergolong besar maka stress operatif sebanyak 8 ml x 70 kg sehingga dibutuhkan 560 ml cairan kristaloid. Total kebutuhan cairan sebanyak 1197,5 ml. Namun, pasien mendapatkan 1000 ml cairan kristaloid sampai operatif selesai sehingga masih membutuhkan sebanyak -197,5 ml cairan pengganti. Pasien masuk keruang OK pada pukul 09.45 dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 120/70 mmHg; Nadi 82x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi sedacum (midazolam) 3 mg pada kasus ini sebagai premedikasi untuk efek sedatif. Obat ini memiliki efek sedatif. Sedativa ini berfungsi menenangkan otak dan sistem saraf kita. Karena itu, midazolam akan memicu rasa kantuk dan rileks, sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan sebelum seseorang menjalani operasi. Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu propofol 130 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama. LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan pada pasien dengan reflek jalan nafas yang intack, karena insersi LMA akan mengakibatkan laryngospasm.



LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi. Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah kurang invasif, mudah penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek laryngospasm dan bronkospasme minimal, dan tidah membutuhkan agen relaksasi otot untuk pemasangannya. LMA diekstubasikan ketika pasien sadar, pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah. Ekstubasi LMA dilakukan pada keadaan pasien sadar karena dimana refleks proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali. Pada kasus ini obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevofluran 3%. Sevofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cair, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk inhalasi. Proses induksi dan pemulihan cepat dari semua obat anestesia inhalasi yang lain. Terhadap kardiovaskular relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama anestesia. Tahanan vaskular dan curah jantung menurun sehingga tekanan darah sedikit menurun. Pada pukul 11.05 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 120/84 mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 1 jam dengan perdarahan ±150 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan napas dalam keadaan baik, pernapasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis.



BAB V KESIMPULAN



Pasien Tn. AT 65 tahun dengan diagnosis union fraktur radius ulna (D) pro remove implant menjalani tindakan remove implant dengan status fisik ASA 1 dan skor mallampati 1. Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi general (umum) dengan LMA, respirasi spontan. Anestesi general tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel. Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah alat bantu pernapasan (penanganan jalan nafas) yang dimasukkan kedalam laring. Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.



Daftar Pustaka 1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 2. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter 42, .Elsivier : 2005 : page 1617. 3. Turan et al.Comparison of the laryngeal mask (LMA) and laryngeal tube (LT) with the new perilaryngeal airway (CobraPLA) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 : 234 – 238 4. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The American Society ofAnesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-2. 5. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta. 2014. 6. Orebaugh SL. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools. Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins. 2007. 7. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta 8. Verghese C, Brimacombe JR.Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910 patients : safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996 ; 82 : 129 – 133 9. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update inAnaesthe sia : 32 – 42 10. Peter F Dunn.Clinical



Anesthesia Procedures of the Massachusetts



General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217