Resume Teori Pengkajian Fiksi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME BUKU TEORI PENGKAJIAN FIKSI KARYA BURHAN NURGIYANTORO



Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pengkajian Fiksi Dosen Pengampu : Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum



Disusun oleh : Sukrisno Santoso



A 310080094



PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



IDENTITAS BUKU



1. Judul



: Teori Pengkajian Fiksi



2. Penulis



: Burhan Nurgiyantoro



3. Penerbit



: Gadjah Mada University Press.



4. Edisi dan Tahun terbit



: Edisi 7 tahun 2007



5. Kota terbit



: Yogyakarta



6. Tebal buku



: 345 halaman



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB I FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF



1.1 Fiksi: Pengertian dan Hakikat Kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra. Prosa dapat mencakup berbagai karya sastra misalnya cerpen, novel, drama dan lain-lain. Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi walaupun tidak bersifat mutlak. Prosa dalam kesastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Fiksi berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Beberapa pengertian fiksi sebagai berikut : − Fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981: 61) − Fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. (Altenbernd dan Lewis, 1966: 14) − Sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetis. (Wellek dan Warren, 1956: 212)



Fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetis. Namun juga ada karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta yang disebut sebagai fiksi historis. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini keabsahannya sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Akan tetapi pembaca hal itu tidak berarti pembaca tidak perlu memiliki sikap kritis, karena hal itu amat dibutuhkan dalam rangka memahami secara lebih baik suatu karya. Dunia fiksi jauh lebih banyak mengandung kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Dalam dunia teori dan kritik sastra dikenal adanya teori yang berhubungankan karya sastra dengan semesta dan dunia nyata. Teori yang dimaksud adalah teori mimetik, sebuah teori klasik yang berasal dari Plato dan Aristoteles, yaitu yang terkenal dengan teori imitasinya. Adanya ketegangan yang terjadi karena hubungan kebenaran imajinatif, sebenarnya juga bersumber dari pandangan Aristoteles, yaitu bahwa karya sastra merupakan perpaduan antara unsur mimetik dan kreasi, peniru dan kreativitas, khayalan dan realitas. Teori mimetik menganggap bahwa fiksi hanya peniru atau pencerminan terhadap realitas, tetapi menurut teori kreativitas merupakan hasil karya kreativitas pengarang. Fiksi menurut teori strukturalisme, merupakan karya cipta yang baru, yang menampilkan dunia bangun kata dan bersifat otonom artinya hanya tunduk pada hukum sendiri dan tidak mengacu yang di luar struktur karya fiksi karya itu sendiri.



1.2 Pembedaan Fiksi Dewasa ini karya fiksi lebih ditunjukan terhadap karya yang berbentuk naratif atau bisa disebut teks naratif. Karya fiksi dalam kesastraan Inggris dan Amerika, menunjuk karya yang berwujud novel dan cerita pendek, yang sering diujicobakan orang yang lebih bersifat teoretis. 1.2.1 Novel dan Cerita Pendek Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang juga disebut fiksi. Perbedaan antara novel dan cerpen antara lain dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Menurut Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) sastrawan kenamaan Amerika, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara dua-jam (suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk membaca novel). Cerpen sendiri walaupun sama-sama pendek mempunyai variasi yaitu: − cerpen yang pendek (short short story ), bekisar 500-an kata, − cerpen yang panjangnya ukupan (middle short story), dan − cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Novel jauh lebih panjang daripada cerpen, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatakan berbagai permasalahan yang lebih komplek. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar yang diceritakan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel dan cerpen terdapat perbedaan antara lain: Unsur Plot



Tema



Cerpen



Novel



Pada umumnya plot tunggal,



Pada umumnya memiliki



hanya terdiri dari satu



lebih dari satu plot, terdiri



peristiwa yang diikuti



dari satu plot utama dan sub-



sampai cerita berakhir



subplot.



Berisi satu tema



Dapat berisi lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan



Penokohan



Jumlah tokoh maupun



Jumlah tokoh lebih banyak



perwatakannya terbatas



dan perwatakannya lebih rinci dan lengkap



Latar



Tidak memerlukan detail-



Melukiskan latar secara lebih



detail khusus tentang



rinci sehingga dapat



keadaan latar, hanya



memberikan gambaran yang



melukiskan latar secara garis



lebih jelas, konkret, dan pasti



besar saja atau bahkan hanya secara implisit Kepaduan



Pencapaian sifat kepaduan



Pencapaian sifat kepaduan



lebih mudah, keutuhan cerita



lebih sulit, keutuhan cerita



hanya pendek –sependek



meliputi keseluruhan bab



satu bab dalam novel



1.2.2 Novel Serius dan Novel Popoler Sebutan novel populer atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila, dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu novel



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



hiburan, tidal peduli mutunya disebut sebagai novel pop. Sastra dan musik populer sebagai kelanjutan dari istilah populer yang sebelumnya telah dikenal di dunia sastra dan musik adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai sastra dan hiburan komersial. Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra popular yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam, 1981: 88). Novel serius justru harus sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, membaca novel serius jika ingin kita memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel ini disoroti dan diungkapan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan kepada pembaca. Contoh Hamlet, Romeo dan Juliet, Belenggu, Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, Mahabarata, dan Ramayana. Novel popular lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965: 2). Berhubung novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersial, ia takkan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cera pengucapan yang baru pula. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya. Novel serius menuntut aktivitas pembaca untuk mengoprasikan



daya



intelaktualnya.



Pembaca



dituntut



untuk



ikut



merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antartokoh. Novel serius juga tidak bersifat mengabdi kepada pembaca, dan memang pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



1.3 Unsur-unsur Fiksi Karya fiksi merupakan sebuah bangunan cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasiakan pengarang. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu sama lain yang erat dan saling menguntungkan. 1.3.1 Fakta, Tema, dan Sarana Cerita Stanton (1965: 11-36) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian; fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). − Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting merupakan unsur faktual yang dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. − Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, yang berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius dll. Tema bersinonim dengan ide atau tujuan utama cerita. − Sarana pengucapan sastra, adalah teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Macam sarana sastra antara lain, sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa), dan nada, simbolisme, dan ironi. 1.3.1 Cerita dan Wacana Menurut pandangan strukturalisme unsur fiksi dibagi dua yaitu cerita dan wacana. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedangkan wacana merupakan bentuk dari sesuatu yang diekspresikan (Chatman, 1980:23). Oleh kaum formalis Rusia yaitu membedakannya ke dalam unsur fable (fibula) dan unsure sujet (sjuzet). Fabel merupakan aspek materil (dasar) cerita, keseluruhan cerita yang diungkapkan dalam teks naratif yang disampaikan kepada pembaca. Sujet yang disebut juga plot, adalah urutan cerita yang seperti terlihat dalam teks itu, yang mungkin berupa: − Urutan kronolagis/normal (urutan dari awal hingga akhir, a-b-c) − Urutan sorot balik (flash back, c-b-a) − Urutan in medias res (mulai dari peristiwa/konflik yang menegang, b-a-c)



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB II KAJIAN FIKSI



2.1 Hakikat Fiksi Pengkajian terhadap karya fiksi, berarti penelaah, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan segala sesuatu (lebih bersifat) secara tidak langsung. Tujuan utama analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang lain adalah untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami karya itu. Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita (segera) membaca ulang karya-karya kesastraan (novel,cerpen) yang dianalisis itu, baik karya-karya itu dianalisis sendiri maupun orang lain. Namun demikian adanya perbedaan penafsiran dan atau pendapat adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa terjadi, dan itu tidak perlu dipersoalkan. Tentu saja masing-masing pendapat itu tak perlu memiliki latar belakang argumentasi yang dapat diterima.



Heuristik dan Hermeneutik Heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotik tingkat pertama, berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan) yaitu pengetahuan tentang bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Hermeneutik merupakan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya



dan



sebaliknya,



pemahaman



unsur-unsur



berdasarkan



keseluruhannya. Dalam kajian kesastraan peda umumnya dikenal analisis struktural dan semiotik. Kajian analisis struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur (intrinsik) dalam sebuah karya sastra. Kajian semiotik merupakan usaha pendekatan yang muncul lebih kemudian, yang antara lain sebagai reaksi atas pendekatan struktural yang dianggap mempunyai kelemahan-



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



kelemahan. Namun dalam praktik kedua pendekatan ini sulit dibedakan karena saling melengkapi.



2.2 Kajian Struktural Sebuah karya sastra, fiksi, atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangunnya). Strukturalisme dapat dipandang sebagi salah satu pendekatan (baca: penelitian) kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkkutan. Analisis struktural karya sastra dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasika, mengkaji, dan mendeskripsikan



fungsi



dan



hubungan



antarunsur



intrinsik



fiksi



yang



bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang yang secara bersama menghasilakan sebuah keseluruhan. Analisis structural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam microteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 136). Analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini semiotik, sehingga menjadi analisis struktural-semiotik, atau analisis struktural yang dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.



2.3 Kajian Semiotik Peletak dasar teori semiotik ada dua orang yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992: 2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, dll. Perkembangan teori semiotik hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu semiotik komunikasi yang menekankan pada teori produksi tanda dan semiotik signifikasi yang menekankan pada pemahaman atau pemberian makna suatu tanda.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



2.3.1 Teori Semiotik Pierce Teori Pierce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang representamen haruslah mengacu atau mewakili sesuatu yang disebut objek. Agar berfungsi tanda harus dipahami atau ditangkap misalnya dengan bantuan suatu kode. Interpretant yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. Proses perwakilan tanda disebut semiosis.Pierce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan yaitu: − Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan. − Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi. − Simbol, jika ia brupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. 2.3.2 Teori Semiotik Saussure Teori ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda, menurut Saussure memiliki dua unsur yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Kenyataannya bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah, sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi.Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian, dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tatarantataran seperti dalam stidi linguistik. Bahasa sebagai aspek material atau alat dalam karya sastra, lain halnya dengan, misalnya cat dalam seni lukis, telah memiliki konsep makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya.



2.1 Kajian Intertekstual Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



pengarang dantafsiran pembaca. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya yang lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi(menolak, memutarbalikkan esensi) kovensi. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya yang lain yang diduga menjadi hipogramnya. Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Misalnya hubungan intertekstual dalam teks fiksi, antara penokohan tokoh wanita Tuti dalam Layar Terkembang dan Tini dalam Belenggu dengan tokoh-tokoh perempuan pada sejumlah novel Balai Pustaka. Pada tokoh perempuan novel Balai Pustaka dapat dilihat bahwa masih diperempuankan belum diwanitakan, mereka adalah tokoh yang hanya diobsesikan sebagai ibu rumah tangga, wanita di pihak lain menyaran kepada pertentangan makna negatif dari perempuan.



2.5 Dekonstruksi Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternative dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tentu dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan sebab, sekali lagi, tak ada lagi makna yang dihadirkan sesuatu yang sudah menentu, melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironinya.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB III TEMA



3.1 Hakikat Tema Mempertanyakan suatu makna sebuah karya sastra jega mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentunya mengandung dan menawarkan tema, namun apa isi tema sendiri tak mudah ditunjukkan. Maka tema hanya bisa dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan (Hartoko & Rahmanto,1986: 142). Untuk menemukan sebuah tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel (ide utama dan tujuan utama).Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan



sebelumnya



oleh



pengarang



yang



dipergunakan



untuk



mengembangkan cerita.



3.2 Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan Masalah kehidupan sangat luas dan kompleks. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Berbagai masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke dalam karya fiksi, baik berupa pengalaman yang bersifat individual maupun sosial, adalah cinta (sampai atau tak sampai, terhadap kekasih, orang tua, saudara, tanah air, atau yang lain), kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religius, harga diri dan juga kesetiakawanan, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan, kebenaran dan sebagainya. Misalnya cinta tak sampai, seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Si Cebol Merindukan



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Bulan, Di bawah Lindungan Kakbah, dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk. Masalah takut misalnya Jalan Tak Ada Ujung. Masalah keadilan dan kebenaran misalnya Harimau!Harimau! dan Maut dan Cinta. Masalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak



misalnya novel Tanah Gersang. Masalah religius



misalnya novel Robohnya Surau Kami. Masalah perjuangan melawan penjajah misalnya Laki-Laki dan Mesiu. Fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tanggung jawab kreativitas pengarang, dan itu mungkin tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata.



3.3 Tema dan Unsur Cerita yang Lain Tema merupakan salah satu unsur fiksi. Unsur yang lain misalnya tokoh, plot, latar, dan cerita dimungkinkan akan menjadi padu dan bermakna jika diikat olah sebuah tema. Plot pada hakikatnya apa yang dilakukan tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny, 1966: 95). Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan sesuatu kejadian. Cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna, atau tujuan prnulisan fiksi itu.



3.4 Penggolongan Tema 3.4.1 Tema Tradisional dan Nontradisional Tema tradisional adalah tema yang telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, di manapun, dan kapanpun artinya dengan sifat universal. Misalnya novel Sitti Nurbaya, Salah Pilih, Azab dan Sengsara, Maut dan Cinta, Perjanjian dengan Maut, Harimau!Harimau!, Romeo dan Julliet. Tema Nontradisional biasanya berupa tema yang tidak lazim digunakan. Tema ini mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



3.4.2 Tingkatan Tema Menurut Shipley Shipley dalam Dictionary of World Litetature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatantingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Contohnya karya fiksi yang mengangkat tema ini, misalnya Around the World in Eighty days karya Julius Verne. Kedua, tema tingkat organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Novel-novel Mochtar Lubis banyak mengangkat tema ini, misalnya Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Maut dan Cinta. Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, objek pencarian tema. Misalnya Royan Revolusi, Kemelut Hidup, Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk dan dua serial berikutnya, Canting, Para Priyayi dan sebagainya. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Novel yang mengandung tema tingkat ini, misalnya Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, dan sebagainya. Kelima, tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Contoh karya-karya Navis seperti Robohnya Surau Kami, Datangnya dan Perginya, dan Kemarau dapat dikelompokkan ke dalam fiksi bertema tingkat ini.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



3.4.3 Tema Utama dan Tema Tambahan Tema utama juga disebut tema mayor, menentukan tema utama pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Tema tambahan juga disebut tema minor. Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna-makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.



3.5 Penafsiran Tema Tema hadir bersama dan terpadu dengan unsur-unsur structural yang lain yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita. Penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Dalam usaha menentukan penafsiran tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Staton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria sebagai berikut: − Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. − Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. − Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada buktibukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan. − Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB IV CERITA



4.1 Hakikat Cerita Faktor cerita itu yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibaca. Bahwa orang membaca sebuah buku fiksi lebih termotivasi oleh rasa ingin tahunya terhadap cerita. Aspak cerita (story) dalam sebuah karya fiksimerupakan sesuatu hal yang esensial atau memiliki peran sentral. Cerita merupakan inti sebuah karya, bagus tidaknya cerita yang disajikan, di samping akan memotivasi seseorang untuk membacanya, jika akan mempengaruhi unsur-unsur pembangunan yang lain. Dengan bercerita sebenarnya pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan-gagasan, kepada kita-pembaca. Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang dilakui dan atau ditimpakan kepada tokoh cerita. Peristiwa merupakan gagasan yang berwujud lakuan, gerak, yang dalam sebuah cerita dapat berwujud deskripsi lakuan, gerak, atau aktivitas yang lain. Walau cerita merupakan deretan peristiwa yang terjadi sesuai dengan urutan waktu, jadi secara kronologis, dalam sebuah karya fiksi, urutan peristiwa itu seting disiasati dan dimanipulasi sehingga tak dapat lagi disebut sederhana. Manipulasi urutan waktu tersebut dalam karya fiksi biasanya berupa pembalikan waktu penceritaan, peristiwa yang secara logikakausalitas terjadi belakangan, justru diceritakan lebih dahulu.



4.2 Cerita dan Plot Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang erat dan tak terpisahkan. Baik cerita maupun plot sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana yang disajikan dalam sebuah karya. Cerita dan plot, keduanya memang sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa namun tuntutan plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Masalah peristiwa sendiri yang menjadi dasar pembicaraan cerita dan plot, banyak aspeknya. Urutan peristiwa



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



sebuah novel, berhubung telah disiasati dan dimanipulasi, biasanya tidak lagi lurus-kronologis. Hal itu disengaja karena ia merupakan salah satu cara untuk mencari efek keindahan dan kebaruan struktur penceritaan.



4.3 Cerita dan Pokok Permasalahan Pokok permasalahan kehidupan yang diangkat dalam cerita fiksi yaitu kenyataan kehidupan terdapat berbagai persoalan yang sering dihadapi manusia, misal permasalahan antarmanusia, sosial, hubungan dengan Tuhan, dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan sebagainya. Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan yang berusaha mengungkap dan menyangkutkannya ke dalam sebuah karya. Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok permasalahan akan tetap eksis walau ia tak pernah diangkat untuk dijadikan cerita. Misal novel Jalan Tak Ada Ujung menjadi terkenal bukan karena hubungan dengan pokok permasalahan takut itu, melainkan lebih disebabkan kemampuan pengarang mengolah dan mentransformasikan masalah tersebut ke dalam sebuah karya sastra. Pengarang Jalan Tak Ada Ujung mampu mengambil pokok permasalahan yang terdapat di semesta, mengolahnya dengan daya imajinasi dan kreativitas, dan mengungkapkannya ke dalam bentuk karya naratif secara tepat sehingga mampu mencipta dan menampilkan sebuah model kehidupan. Pemilihan pokok permasalahan ke dalam sebuah karya fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema. Misalnya banyak karya fiksi yang sama-sama mengangkat tema kepahlawanan dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan contoh dalam karya-karya Trisnoyuono seperti Pagar Kawat Berduri, Petualangan, Laki-laki dan Mesiau, Hujan Kepagian dan lain-lain. Bahkan, dalam Hujan Kepagian, tema kepahlawanan itu dapat dipersempit, yaitu kepahlawanan remaja (usia) sekolah.



4.4 Cerita dan Fakta Sebuah karya mungkin saja ditulis berdasarkan data-data faktual, peristiwa-peristiwa dan sesuatu yang lain yang benar-benar ada dan terjadi.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Namun, ia dapat ditulis hanya berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan (baca:diimajinasikan) mungkin ada dan terjadi, walau secara faktual hal-hal itu tak pernah ditemui di dunia nyata. Ada unsur-unsur yang mempengaruhi cerita dan fakta yaitu: − Tulisan dengan Data Faktual Tulisan dengan data faktual misalnya tulisan berita sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan untuk surat kabar. − Dialog Fakta dengan Fiksi Masalah ketegangan antara yang nyata dengan yang rekaan dalam karya sastra sudah dipersoalkan oleh Aristoteles yaitu dengan teori mimetik dan creatio-nya. Sebuah karya yang hanya mengemukakan hal-hal yang benarbenar terjadi secara apa adanya akan ditolak untuk disebut sebagai sebuah novel melainkan mungkin sebuah laporan. Sebuah karya fiksi yang secara mutlak berisi peristiwa-peristiwa imajinatif yang sama sekali tidak mencerminkan realitas kehidupan, ia akan sulit, atau bahkan tidak dapat dipahami. Namun perlu disadari bahwa dalam karya fiksi, adanya kemiripan dengan kenyataan bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sarana untuk menampilkan sesuatu kepada pembaca yang lebih dari kenyataan itu sendiri (Teew, 1984: 232). − Unsur Realitas dan Imajinasi Unsur imajinitas lebih menonjol dalam karya fiksi, sedang unsur realitas lebih menonjol pada karya nonfiksi. Pengarang cerita novel tak dapat mungkin mencipta tanpa didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap (dunia) realitas. Sebaliknya penulis nonfiksi dan atau berita, walu menulis berdasarkan fakta, hal itu tak mungkin dilakukan tanpa adanya interpretasi pribadi. Semakin langung pengaruh realitas, misalnya novel hanya bersifat pantulan kenyataan, semakin rendah kadar imajinasinya. Sebaliknya, semakin intens penghayatan pengarang terhadap realitas kehidupan, sehingga ia hanya akan berupa interpretasi terhadapnya-semakin menjauhkan sifat keterikatan novel dari realitas.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB V PEMPLOTAN



5.1 Hakikat Plot dan Pemplotan Beberapa pengertian menurut para ahli, antara lain: − Stanton (1965: 14), mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. − Kenny (1966: 14), mengemukan plot sebagai peristiwa-peristiwayang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. − Forster(1970: 93), plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.



Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri dari urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwaperistiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan. Sifat plot misterius dan intelektual menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mencekam pembaca. Sifat misterius plot tersebut tampaknya tak berbeda kaitannya dengan pengertian suspense, rasa ingin tahu pembaca. Bahwa unsur suspense merupakan suatu hal yang amat penting di dalam plot sebuah karya naratif. Unsur inilah, antara lain yang menjadi pendorong pembaca untuk mau menyelesaikan novel yang dibacanya. Oleh karena itu plot bersifat misterius, untuk memahaminya diperlukan kemampuan intelektul. Tanpa disertai adanya daya intelektual, tak mungkin orang dapat memahami plot cerita dengan baik. Hubungan antarperistiwa, kasus, atau berbagai persoalan yang diungkapkan dalam sebuah karya, belum tentu ditunjukkan secara eksplisit dan langsung oleh pengarang.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



5.2 Peristiwa, Konflik, dan Klimaks Perisiwa, konflik dan klimaks merupan tiga unsur yang amat esensial dan saling berhubungan. 5.2.1 Peristiwa Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg,1992: 150). Peristiwa dibagi menjadi 3 tergantung dari mana ia dilihat: − Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peeristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan. − Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengkaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita. − Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsurunsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin tokoh.



5.2.2 Konflik Konflik yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting, merupakan unsur esensial dalam perkembangan plot. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan(Wellek &Warren, 1989:285). Peristiwa dan konflik biasanya bearkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik ataupun batin. Konflik internal, yaitu: − konflik fisik adalah sesuatu yang terjadi dengan melibatkan aktivitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang diluar dirinya. − koflik batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati, seseorang tokoh.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Konflik eksternal, yaitu: − konflik fisik/elemental adalah konflik yang disebabkan adanya benturan antara tokoh dengan lingkungan alam. − konflik sosial adalah konflik yang disebabkan adanya kontak sosial antarmanusia



atau



masalah



yang



muncul



akibat



adanya



hubungan



antarmanusia.



5.2.3 Klimaks Klimaks menurut Stanton (1965: 16), adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Dalam sebuah karya fiksi kita tamui dan rasakan , ternyata sulit menentukan klimaks. Orang bisa berbeda pendapat dalam menentukan klimaks.



5.3 Kaidah Pemplotan Masalah kreativitas, kebaharuan, dan keaslian dapt juga menyangkut masalah pengembangan plot. Pengarang memiliki kebebasan untuk memilih cara untuk mengembangkan plot, membangun konflik, menyiasati penyajian peristiwa, dan sebagainya sesuai dengan selera estetisnya. Dalam usaha pengembangan plot, pengarang juga mamiliki kebebasan kreativitas. Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi masalah: − Plausibilitas. Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. − Suspense. Suspense menyaran pada perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca(Abrams, 1981: 138). Atau, menyaran pada adanya harapan yang belum pasti pada pembaca terhadap akhir sebuah cerita (Kenny, 1966: 21). − Surprise. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberi kejutan jika sesuatu dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca (Abrams, 1981:138). − Kesatupaduan. Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.



5.4 Penahapan Plot Secara teoretis –kronologis tahap-tahap pengembangan, atau lengkapnya: struktur plot dikemukakan sebagai berikut: a. Tahapan plot: Awal-Tengah-Akhir − Tahap awal atau tahap perkenalan − Tahap tengah atau tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik. − Tahap akhir atau tahap peleraian: peleraian tertutup dan penyelesaian terbuka. b. Tahapan plot: Rincian lain 1) Tahap situation: tahap penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita. 2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, masalahmasalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. 3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. 4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. 5) Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



5.5 Pembedaan Plot 5.5.1 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu Ada beberapa macam yaitu: − Plot lurus/progresif. Jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. A →B→C→D→E − Plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir. D1→A→B→C→D2→E − 3. Alur Campuran E→D1→A→B→C→D2 5.5.2 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah − Plot tunggal, hanya mengembangkan sebuah cerita. − Plot sub-subplot, memiliki lebih dari satu alur cerita. 5.5.3 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan − Plot padat, hubungan antarperistiwa terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya. − Plot longgar, pergantian antara peristiwa penting berlangsung lambat. 5.5.4 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi − Plot peruntungan − Plot tokohan − Plot pemikiran.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB VI PENOKOHAN



6.1 Unsur Penokohan dalam Fiksi 6.1.1 Pengertian dan Hakikat Penokohan Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. − Kewajaran Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. − Kesepertihidupan Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari. − Tokoh rekaan versus tokoh nyata Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai dengan namanya, adalah tokoh rekaan, tokoh yang tak pernah ada di dunia nyata.



6.1.2 Penokohan dan Unsur Cerita yang Lain − Penokohan dan Pemplotan. Plot merupakan sesuatu yang bersifat artifisial, pada hakikatnya hanya merupakan suatu bentuk pengalaman, yang sendiri sebenarnya tak memiliki bentuk. − Penokohan dan Tema. Tema, seperti dikemukakan sebelumnya, merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau makna cerita.



6.2 Pembedaan Tokoh 6.2.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh tambahan adalah pemunculan tokoh yang sebagai tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.



6.2.2 Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi-yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero-tokoh yang ideal bagi kita. Tokoh antagononis adalah tokoh yang memerankan sebagai penyebab konflik.



6.2.3 Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Tokoh sederhana adalah tokoh yang dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya.



6.2.4 Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Tokoh statis adalah memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.



6.2.5 Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



6.3 Teknik Pelukisan Tokoh Ada beberapa teknik yang digunakan dalam menampilkan tokoh yaitu: − Teknik ekspositori/analitis Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberi deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. − Teknik Dramatik Artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingksh laku tokoh. Wujud penggambaran teknik dramatik antara lain: (1) teknik cakapan, (2) teknik tingkah laku, (3) teknik pikiran dan perasaan, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik reaksi tokoh, (6) teknik reaksi tokoh lain, (7) teknik pelukisan latar, dan (8) teknik pelukisan fisik.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB VII PELATARAN



7.1 Latar Sebagai Unsur Fiksi 7.1.1 Pengertian dan Hakikat Latar Latar atau setting yang disebut sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. − Latar fisik dan spiritual Latar fisik adalah berhubungan dengan waktu, tempat. Penunjukan latar fisik dapat dengan bermacam-macam sesuai dengan tergantung kreativitas dan selera pengarang. Latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. − Latar Netral dan Latar Tipikal Latar



netral



adalah



latar



yang



tidak



memiliki



dan



tidak



mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Latar tipikal adalah memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu maupun sosial.



Unsur latar yang ditekankan peranannya dalam sebuah novel, langsung atuapun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khusunya alur dn tokoh. Peran latar yang menonjol, atau penekanan unsur latar, dalam sebuah novel mungkin mencakup beberapa unsur dan mungkin hanya satudua unsur. Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Masalah status sosial juga berpengaruh dalam penokohan. Latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung dan tak langsuang, akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



7.2 Unsur Latar Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. 1) Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 3) Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 4) Catatan Tentang Anakronisme Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu cerita, dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah, waktu sejarah.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB VIII PENYUDUTPANDANGAN



8.1 Sudut Pandang sebagai Unsur Fiksi Sudut pandang adalah point of view, cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena berhubungan dengan masalah gaya saja, walau tidak disangkal bahwa pemilihan-pemilihan bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh.



8.2 Macam Sudut Pandang 8.2.1 Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona ketiga. Gaya “Dia”. Narator adalah seseorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama,atau kata gantinya : ia, dia, mereka. − “dia” mahatau Sudut pandang persona ketiga mahatahu dalam literatur bahasa inggris dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third person omniscient the omniscient narrator, author omnisvient. Dalam sudut pandang ini cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apasaja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. − “dia” terbatas, “dia” sebagai pengamat Dalam sudut pandang “dia” terbatas. Seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Staton, 1965: 26), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams, 1981: 144).



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



8.2.2 Sudut Pandang Persona Pertama “Aku” Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona pertama, first person point of view, “aku”, jadi : gaya “aku”, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan



kesadaran



dirinya



sendiri,



self-consciousness,



mengisahkan



peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. − “aku” tokoh utama Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang diluar dunia. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. − “aku” tokoh tambahan” Dalam sudut pandang ini tokoh aku muncul bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan first-person peripheral. Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang didiskusikan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.



8.2.3 Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB IX BAHASA



9.1 Bahasa Sebagai Unsur Fiksi Stile (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana



seseorang



pengarang



mengungkapkan



sesuatu



yang



akan



dikemukakan. Stilistika adalah kajian terhadap bentuk performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Stile adalah untuk membangkitkan nada. Nada adalah sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengrang terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan dan ekspresi sikap.



9.2 Unsur Stile Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsur stile (ia menyebutnya dengan istilah stylistics features) terdiri dari unsur fonologi sintaksis, leksikal, retorika (rhetorical), yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan sebagainya. − Unsur leksikal Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. − Unsur gramatikal Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. − Retorika Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreatifitas



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.



9.3 Percakapan dalam Novel 9.3.1 Narasi dan Dialog Sebuah karya fiksi umum nya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, tersa fariatif, dan segar.



9.3.2 Unsur Pragmatik dalam Percakapan Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel, adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pamakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa.



9.3.4 Tindak Ujar Salah satu hal yang penting dalam interpretasi percakapan secara pragmatik, konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar (speech acts), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) (lewat Leech & Short, 1981: 290).



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



BAB X MORAL



10.1 Unsur Moral dalam Fiksi Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima untuk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; ahklak, budi pekerti, susila (KBBI: 1994). Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhuungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Jenis ajaran moral itu sendiri dapt mencakup masalah yang boleh dikatakan, bersifat terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.



10.2 Pesan Religius dan Kritik Sosial Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk didalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritk sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genresastra yang lain. Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walaupun dengan tingkat intensitas yang berbeda.



10.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian moral yang bersifat langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, atau penjelasan, expositoy. Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat tidak langsung, pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak menyampaikannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita.



Resume Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro