12 0 252 KB
RINGKASAN JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA “DEGRADASI LINGKUNGAN DAN MARGINALISASI MASYARAKAT DI NEGARA BERKEMBANG : SUATU TINJAUAN POLITIK EKOLOGI”
ABSTRACT The aim of this paper is to understand the political aspect of environmental degradation in developing countries. The data was collected trough library and internet research. The author found that imbalances in power relations have made marginal peoples more vulnerable to the impact of environmental degradation.
Governents
tend
to
play
their
role
in
promoting
capital
accumulation, particularly from roreign investment, but reluctantly live up to their responsibility to protect marginalized people from environmental risk. By putting aside this kind of responsibilityfor environment and social injustices. Keyword political ecology, development, marginalization, environmental degradation, power relations, developing countries, social justice, environmental justice.
1. Pendahuluan Melihat persoalan
lingkungan
sebagai
masalahcyang
semata-mata
memerlukan penyelesaian teknis dan manajemen adalah cara pandang yang bias. Pandangan ini mengabaikan persoalan relasi kekuasaan yang timpang dan ketidakadian. Degradasi lingkungan di negara berkembang merupakan persoalan kompleks, terutama ketika negara berkembang berintegrasi dalam sistem perdagangan dunia yang timpang. Proses pasar bebas dimulai dari ekstraksi sumber daya alam, mendapatkan biaya tenaga kerja yang lebih murahdan merebut pasar di negara berkembang.kepentingan investor ini bertemu dengan ambisi dari pemerintah negara berkembang utuk memacu kecepatan kecepatan industrinya, untuk pendapatan negara yang instan. Aktor diluar investorpun masih dalam golongan masyarakat marginl, dan kurang punya kapasitas untuk meninggalkan daerah asalnya yang mengalami degradasi lingkungan. 2. Ketimpangan Relasi Kekuasaan
dari sudut politik ekologi, relasi kekuasaan yang timpang adalah faktor kunci
dalam
memahami
persoalan
degradasi
lingkungan.
Kekuasaan
itu
mengandung dominasi untuk mengeksploitasi alam. Relasi kekuasaan yang timpang dan proses marginalisasi masyarakat lokal tampak pada kasus pencemaran di Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Penambangan oleh PT Newmont Minahasa Raya seperti yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Maasyarakat, Peneliti, ORMAS, dan Media Massa. Pihak pertama ingin mengejar keuntungan dan pihak kedua ingin mendapatkan pendapatan pajak dari hasil investasi. Namun
kelemahan
posisi
aktor
lokal,
membuat
mereka
hanya
mampu
menanggung dampak negatif investor. Ketimpangan relasi kekuasaan juga menghasilkan
ketidakadilan
ekologi
yaitu,
pemanfaatan
lingkungan
yang
menguntungkan sebagian kalangan, namun merugikan bagi kalangan asyarakat lain. 3. Relasi Kekuasaan dalam Perdagangan Internasional Negara menjadi aktor yang aktif dalam eksploitasi tersebut dengan mengirimkan tetara dan perusahaan-perusahaan dagang ke negara jajahan untuk mendudukkan masyarakat pribumi dan menjaga keamanan distribusi hasil eksploitasi alam seperti rempah dan bahan tambang. Paska dekolonisasi, proses kontrol tersebut berulang melalui cara yang berbeda. Negara penjajah tidak lagi mengirimkan tentara dan segala jenis alat paksa untuk mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang. Kolonial jenis baru berwujud atau berafiliasi dalam bentuk perusahaan multinasional yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan konsumen pasar dunia. 4. Revolusi Hijau, Degradasi Lingkungan, dan Ketergantungan Revolusi hijau menunjuk pada upaya besar dari perusahaan-perusahaan di negara maju menggunakan bibit hibrida unggulan demi peningkatan produksi beras
di
negara-negara
berkembang.
Bibit
padi
jenis
ungggulan
yang
dikembangkan semenjak tahun 9960an digunakan hingga saat ini. Varietas baru yang adalah IR-20, IR-26, dan IR-36 mengalami hal serupa. Bibit baru telah menciptakan relasi kekuasaan yang timpang dan pola ketergantungan petani terhadap perusahaan penjual bibit, pupuk kimia dan pestisida. Disamping membeli bibit, petani juga harus membeli paket input dari bibit unggul tersebut yaitu pestisida dan pupuk kimia. Pada level negara, revolusi hijau menimbulakan negara berkebang akan selalu bergantung pada negara maju. Pengenalan dan penerapan revolusi hijau di negara berkembang tidak terlepas dari motivasi politik ekonomi. Pertama revolusi hijau adalah strategi dari negara maju untuk membendung revolusi merah yaitu gerakan para komunis. Sangat logis jika negara kapitalis menaruh perhatian terhadap penemuan
bioteknologi untuk meningkatkan hasil panen. Kedua, revolusi hijau merupakan pendekatan dari bussines as usual, dimana temuan baru menjadi investasi di negara berkembang. Revolusi hijau pertama kali dipelopori Rockefeller dan Ford Foundation yang didukung oleh lembaga keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF. Logika Kapitalisme melihat bahwa inovasi harus menciptakan permintaan baru agar produsen dapat menghasilkan barang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan. 5. Keberpihakan Negara dan Kapitalisme Pertanyaan besar adalah apa dan bagaimana peran pemerintah di negara berkembang warganya.
dalam
Namun
menanggapi ketika
terjadi
degradasi
lingkungan
yang
merugikan
degradasi
lingkungan
karena
kehadiran
perusahaan-perusahaan multinasional, negara justru berpihak kepada institusi kapital global dan berperan sebgai agen pembangunan ekonomi. Kementerian yang menangani lingkungan hidup di negara berkembang tidak didukung oleh kementerian lainnya dalam penegakan hukum. 6. Kesimpulan Dampak buruk dari degradasi lingkungan,
lebih
banyak
menimpa
kalangan marginal atau masyarakat miskin. Persoaalan politik ekologi dalam degradasi lingkungan tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya hubungan relasi kekuasaan yang demokratisyang didalamnya kebijakan pembangunan pemerintahh dapat dikontrol oleh publik dan kelompok masyarakat marginal memmiliki akses pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan. Dari jurnal yang menjadi acuuan penulisan ringkasan diatas, ada format yang dapat saya uraikan a. Abstract b. Pendahuluan c. Uraian materi
sbb : d. Kesimpulan
RINGKASAN JURNAL ILMIAH JURAL DIPLOMASI
FORAT INSTITUSIONALISASI KERJASAMA KEAMANAN MULTILATERAL DI ASIA TIMUR RIZAL SUKMA* Abstrak Tulisan ini membahas format institusionalisasi kerjasama multilateral Asia Timur sebagai bentuk kerjasama tiga pilar dimana ASEAN berfunggsi sebagai poros dengan ASEAN Regional Forum dan East Asian Summit (EAS). Pembahasan
terbagi
menjadi
:
karakteristik,
kelemahan,
kekuatan
dari
pengaturan keamanan multilteral. Membahas arti penting EAS. Tantangan dan peluang ASEAN mendatang. 1. Pendahuluan Perdebatan mengenai format pelembagaan kerjasama keamanan di Asia Timur berkaitan erat dengan ramainya dengan perbincangan mengenai arsitektur keamanan regioal. Ini bermula dari usulan mantan PM Australia Kevin Rudd mengenai pembentukan komunitas Asia-Pasifik. 2. Kerjasama Keamanan Multilateral
di
Asia
Timur:
Karakteristik, Kelemahan, dan Kekuatan Untuk kawasan asia timur, kerjasama keamanan multilateral yang mencakup keseluruhan kawasan merupakan suatu yyang baru. Bahkan di Asia Tenggara, dimana PBB ASEAN kerap dilihat sebagai contoh keberhasilan relatif sebuah
eksperimen
multilateralisme,
kerjasama
keamanan
formaldalam
kerangka multilateral baru terjadi setelah berakhirnyaPerang Dingin. Namun keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga multilateral ini kerap menjadi sasaran kritik. Negara ASEAN misalnya dianggap tidak terlalu efektif dalam menangani berbagai persoalan keamanan diantara mereka sendiri melalui mekanisme multilateral. 3. Kontek Strategis Baru Kerjasama keamanan Multilateral: Relevansi perluasan EAS Dalam konteks strategis baru dikawasan sekarang, kritik terhadap efektivitas kerjasama keamanan multilateral berbasis ASEAN kembali engemuka. Kekhawatiran utama berkisar pada keragu-raguan apakah format tersebut akan tetap mampu mengelola berbagai ketidakpastian yang lahir dari pergeseran kekuatan strategis, sebagai akibat kebangkitan Cna dan India. Sehingga negara semacam Amerika akan berusaha membuat kerjasama keamanan bersifat adhoc. Kebutuhan akan format baru itu terjawab ketika para menteri luar negeri ASEAN, dalam pertemuan ASEAN ministerial meeting AMM ke 43 di Hanoi juli 2010, yang tepat berkenaan dengan EAS.
4. Kesimpulan: Tantangan ASEAN Perkembangan yang terjadi belakangan ini jeas menunjukkan bahwa kawasan asiia timur merupakan kawasan yang sangat kompleks, yang tidak dapat dikelola hanya melalui sistem atau struktur kerjasama multilateral tunggal. Berbagai institusi yang ada, seperti ASEAN, ARF, ASEAN plus three, dan EAS. Sebagai ketua Asean pada 2011, Indonesia berada pada posisi untuk mendorong ASEAN menjalankan Tnggung Jawab. Bagi ASEAN, tantangan beraat dimasa mendatang sudah seharusnya dilihat sebagai pertanda bahwa sekarang ini adalah saatnya untuk mengimplementasikan, bukan lagi saat untuk tampil dengan visi-visi baru. Dari jurnal yang menjadi acuuan penulisan ringkasan diatas, ada format yang dapat saya uraikan d. Abstract e. Pendahuluan f. Uraian materi
sbb : d. Kesimpulan
RE-VIEW JURNAL WIDYA SOSIOPOLITIKA DAN JURNAL DIPLOMASI
I GEDE
NGURAH
ARIS PRASETYA PROGRAM STUDI ILMU POLITIK UNUVERSITAS UDAYANA 2012
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA