SAP Hisprung R. 15 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT HIRSCHSPRUNG DI RUANG 15 RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG



PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS) RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2020



LEMBAR PENGESAHAN



Satuan Acara Penyuluhan yang berjudul



“Hisprung”



di Ruang 15 RSUD Dr. Saiful



Anwar Malang yang akan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 09 Januari 2020 yang disusun oleh : 1. Ria Sukmawati 2. Galuh Nurul Fajriah 3. Thendi Saputra Sakti 4. Anil Anadya Irawan



Telah disetujui dan disahkan pada : Hari



:



Tanggal



:



Pembimbing Klinik



Pembimbing Institusi



................................................



.................................................



Kepala Ruangan



......................................................



SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT HIRSCHSPRUNG



Pokok Bahasan



: Penyakit hirschsprung



Sub Pokok Bahasan : Definisi, faktor resiko, tanda dan gejala, pemeriksaan, penatalaksanaan, dan pencegahan Sasaran



: Keluarga pasien



Hari / tanggal



: Kamis, 09 Januari 2020



Tempat



: Ruang 15 RSSA



Waktu



: 10.00 - 10.30 WIB



A. Latar Belakang Penyakit hirschsprung (Megakolon Kongenital) merupakan kelainan bawaan berupa tidak adanya ganglion pada usus besar, mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal, termasuk rektum, dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. Penyebab penyakit hirschsprung adalah tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meissneri pada rektum. Tidak adanya sel ganglion ini mengakibatkan inkoordinasi gerakan peristaltik sehingga terjadi ganguan pasase usus yang dapat merupakan suatu obstruksi usus fungsional. Obstruksi fungsional ini akan menyebabkan hipertrofi serta dilatasi pada kolon yang lebih proksimal (Surya dan Putu Ayu, 2012). Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering



dialami



oleh



neonatus.



Demikian



pula,



kebanyakan



kasus



Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis



hingga



usia



remaja



atau



dewasa



muda.



Terdapat



kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup. Dengan mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1 (Surya dan Putu Ayu, 2012). Penyakit hirschsprung dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan bedah yang perlu penanganan segera. Jika tanpa penanganan segera, maka mortalitas dapat mencapai 80% pada bulan-bulan pertama kehidupan.



Dengan penanganan yang tepat angka kematian dapat di tekan. Menurut Swenson (2002) jika dilakukan tindakan bedah angka kematian bisa ditekan hingga 2,5% (Kemenkes RI 2017). Di Indonesia, pemahaman mengenai penyakit hirschsprung masih kurang sehingga pasien sering terlambat diberikan tatalaksana yang adekuat, yang berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas dan serta biaya pengobatan. Keterlambatan diagnosis dan terapi juga mengakibatkan pasien yang seharusnya bisa dilakukan operasi definitif satu tahap menjadi beberapa tahap. Hal ini akan mengakibatkan perawatan yang lebih lama dan biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, edukasi kesehatan tentang penyakit hirschsprung perlu diberikan kepada masyarakat (Kemenkes RI, 2017). B. Tujuan Umum Setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit hirschsprung selama 30 menit, keluarga pasien mengetahui dan memahami tentang penyakit hirschsprung. C. Tujuan Khusus Setelah mengikuti pendidikan kesehatan tentang penyakit hirschsprung, keluarga pasien dapat: 1. Menjelaskan definisi penyakit hirschsprung. 2. Menjelaskan faktor resiko penyakit hirschsprung 3. Menjelaskan tanda dan gejala penyakit hirschsprung 4. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik penyakit hirschsprung 5. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit hirschsprung 6. Menjelaskan pencegahan penyakit hirschsprung D. Materi 1. Definisi penyakit hirschsprung. 2. Faktor resiko penyakit hirschsprung 3. Tanda dan gejala penyakit hirschsprung 4. Pemeriksaan diagnostik penyakit hirschsprung 5. Penatalaksanaan penyakit hirschsprung 6. Pencegahan penyakit hirschsprung E. Metode Ceramah dan diskusi/ tanya jawab F. Media 1. PPT



2. Leaflet 3. LCD



G. Kegiatan No 1



Waktu 3 menit



Tahap



Kegiatan Mahasiswa



Pembukaan -



Mengucapkan



Kegiatan Peserta -



Menjawab salam.



-



Mendengarkan/



salam. -



Menyampaikan topic dan



tujuan



yang



memperhatikan.



akan dicapai. 2



20 menit



Kegiatan



-



inti



Menanyakan pendapat



-



Menjawab/ merespon.



-



Mendengarkan/



peserta



tentang tanda-tanda dan



persiapan



persalinan ibu hamil. -



Menjelaskan pengertian



memperhatikan.



persalinan. -



Menjelaskan



-



permasalahan tubuh



Memperhatikan/ memperhatikan.



menjelang persalinan. -



Menjelaskan



-



persiapan



ibu



Mendengarkan/ memperhatikan.



menghadapi persalinan. -



Menjelaskan tanda-



-



tanda persalinan. -



Menjelaskan komplikasi



Mendengar/ memperhatikan.



tanda



Mendengar/ memperhatikan.



persalinan. -



Menjelaskan persiapan apa saja yang harus dibawa saat persalinan.



-



Mendengar/ memperhatikan.



-



Menjelaskan



jenis



persalinan



yang



-



Mendengar/ memperhatikan.



akan dipilih.



3



7 menit



Penutup



-



Merangkum yang



materi -



dijelaskan



Merangkum



materi



bersama penyuluh.



bersama peserta. -



Memberikan



-



Bertanya.



kesempatan kembali kepada



peserta



untuk bertanya. -



Memberikan reward. -



Menjawab.



-



Mengucapkan



Membalas



terimakasih



atas



ucapan



terimakasih.



kesediaan mengikuti penyuluhan. -



Menutup



dengan -



Membalas salam.



mengucapkan salam H. Evaluasi 1. Standar persiapan Kesiapan media, alat untuk pendidikan kesehatan, pengaturan tempat sudah disesuaikan dan materi sudah dipersiapkan. 2. Standar proses a. Peserta mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan dengan baik sampai selesai. b. Peserta memberikan respon dengan bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan penyaji. 3. Standar hasil a. Peserta dapat menjelaskan definisi penyakit hirschsprung. b. Peserta dapat menjelaskan faktor resiko penyakit hirschsprung. c. Peserta



dapat



hirschsprung.



menjelaskan



tanda



dan



gejala



penyakit



d. Peserta dapat menjelaskan pemeriksaan diagnostik penyakit hirschsprung. e. Peserta



dapat



menjelaskan



penatalaksanaan



penyakit



hirschsprun. f.



Peserta dapat menjelaskan pencegahan penyakit hirschsprung.



PENYAKIT HIRSCHSPRUNG A. Definisi Penyakit hirschsprung merupakan kelainan bawaan berupa tidak adanya ganglion pada usus besar, mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal, termasuk rektum, dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. B. Faktor resiko penyakit hirschsprung Hirschprung merupakan kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya (Cahyaningsih, 2013). Faktor genetik dikelompokkan menjadi tiga jenis meliputi kelainan mutasi gen tunggal, aberasi kromosom dan multifaktorial (gabungan genetik dan pengaruh lingkungan). Sementara faktor non-genetik/lingkungan terdiri dari penggunaan obat-obatan selama hamil terutama pada trimester pertama (teratogen), paparan bahan kimia dan asap rokok, infeksi dan penyakit ibu yang berpengaruh pada janin sehingga menyebabkan kelainan bentuk dan fungsi pada bayi yang dilahirkan. Berikut ini merupakan penjelasan singkat dari faktor bayi dan faktor ibu. 1. Faktor Bayi 1) Umur Bayi Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari). 2) Riwayat Sindrom Down Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom 21. 2. Faktor Ibu 1) Umur Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi



dengan Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. 2) Ras/Etnis Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada



kesehatan



fisik



yang



sangat



berat



dan



memperbesar



kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital. C. Tanda dan gejala penyakit hirschsprung Manifestasi klinis Hirschprung bervariasi menurut usia ketika gejala penyakit adalah sebagai berikut : 1. Pada neonatus, seringkali mengalami obstruksi intestinal totalis, muntah bewarna hijau, obstipasi, distensi abdomen, pengeluaran meconium tertunda >24 jam pertama umumnya muncul mulai saat lahir dengan terlambatnya pengeluaran mekonium (normal 48 jam setelah lahir). Pada periode bayi baru lahir ditemukan kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam hingga 48 jam pertama setelah lahir, keengganan mengkonsumsi cairan, enterocolitis yang ditandai dengan diare sesaat, muntah yang bernoda empedu dan distensi abdomen. 2. Pada bayi, tergantung derajat aganglionosis atau pembesaran usus. Bayi seringkali kurus, anemis dan jarang defekasi. Sering sekali di sertai kelainan lain seperti sindrom Down (Setiawan. 2015). Pada bayi juga dapat dijumpai failure to thrive (FTT), konstipasi, distensi abdomen, episode diare dan vomitus serta tanda-tanda yang sering menandai adanya enterokolitis seperti diare yang menyembur atau menyerupai air, demam dan keadaan umum yang buruk. Sedangkan pada anak-anak didapatkan konstipasi, feses mirip tambang dan berbau busuk, distensi abdomen, peristaltik yang terlihat, massa feses mudah diraba dan anak tampak malnutrisi serta anemia. 3. Pada anak, gejala lebih kronik, gagal tumbuh, mengalami mual, anoreksia, distensi abdomen yang progrsif, massa feses dalam abdomen, feses cair/berbutir,seperti pita, diare/konstipasi, dehidrasi berat sampai dengan mengalami syok, dinding abdomen menipis sehingga vena dapat terlihat.



Beberapa manifestasi klinis klasik/umum yang timbul pada penyakit hirschsprung yaitu: 1. Obstruksi usus pada neonatal, dalam waktu 24 jam/ beberapa minggu setelah lahir bayi akan sakit. Seringkaliperut bayi buncit, tidak dapat mentolerir makanan dan muntah berulangkali dengan karakteristik warna kuning atau hijau (empedu). Demam, lesu dan tampak mengalami dehidrasi. 2. Perforasi usus pada neonatal, gejala termasuk distensi abdomen, susah makan, muntah , lesu dan kurangnya buang air besar, kebanyakan perforasi usus pada penyakit hirschsprung terjadi pada usia 2 bulan, dan sekitar 50% anak dengan penyakit ini kehilangan sel-sel saraf setidaknya sedengah dari usus besar. 3. Diare Berdarah pada neonatal, anak dengan penyakit hirsprung beresiko tinggi mengalami peradangan usus/ penyakit hirschsprung dengan enterocolitis. Diare yang sering di sertai dengan darah dan distensi abdomen dan demam. 4. Sebelit kronis, sembelit merupakan gejala yang fisiologis pada sebagian anak, tetapi gejala sembelit yang tidak berubah setelah pengobatan harus di curigai terutama jika terjadi pada beberapa bulan setelah lahir dan sembelit di sertai dengan muntah, distensi abdomen atau pertumbuhan bayi yang buruk. 5. Enterokilitis,



pengenalan



dini



enterokolitis



sangat



penting



untuk



menurunkan morbiditas dan mortalitas D. Pemeriksaan diagnostik penyakit hirschsprung Diagnosis penyakit Hirschprung dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain pemeriksaan fisik, radiologi, dan laboratorium. 1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, pada pemeriksaan rektum ditemukan adanya kelemahan sfingter internal dan tidak adanya feses, diikuti oleh pelepasan gas dan feses yang eksplosif dan tiba-tiba tetapi peningkatan ukuran rektum hanya berlangsung sementara. Pemeriksaan manometri anorektal dapat memperlihatkan refleks sfingter interna dan eksterna. 2. Pada pemeriksaan radiologi dengan barium enema diperoleh hasil adanya zona transisi diantara zona dilatasi normal dan segmen



aganglionik distal.



Foto abdomen dapat



menjadi pilihan untuk



mengetahui adanya penyumbatan pada kolon. 3. Pada pemeriksaan laboratorium dengan cara biopsi rektal didapatkan tidak adanya sel ganglion. Selain pemeriksaan fisik, radiologis dan laboratorium jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan patologi klinik dengan biopsi usus pada saat operasi untuk menentukan lokasi usus dimana sel ganglion dimulai (Cahyaningsih, 2013). 4. Pemeriksaan biopsy, seperti biospi isap, yakni dengan mengambil mukosa dan submucosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah submucosa. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum dan dilakukan dibawah narkos, pemeriksaan ini bersifat traumatic. Biopsy rektal untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion pada rektal. 5. Pemeriksaan lainnya,seperti pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy, pada penyakit hisprung akan khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus juga dapat dilakukan. Enema barium untuk mendeteksi adanya penyumbatan pada kolon. (Setiawan, 2015) 6. Pengkajian pada anak. Data-data yang dapat dikaji pada anak dengan penyakit Hirschprung antara lain: (1) riwayat kesehatan meliputi tidak adanya atau keterlambatan pengeluaran mekonium dalam 48 jam pertama setelah lahir, muntah bernoda empedu, pola buang air besar (BAB) pada periode neonatus untuk diagnosis awal penyakit, riwayat kebiasaan BAB, riwayat konstipasi intermiten atau diare dan konsistensi feses padat atau cair; (2) pemeriksaan fisik meliputi adanya distensi abdomen, tanda-tanda kurang nutrisi (anak tampak kurus, palor, kelemahan otot dan kelelahan), iritabilitas dan pengeluaran gasa dan feses setelah pemeriksaan rektal yang menandakan adanya obstruksi; (3) hasil laboratorium yang menunjukkan tidak adanya sel ganglion pada biopsi rectal; dan (4) kontras enema pada pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya zona transisi diantara zona dilatasi normal dan segmen aganglionik di bagian distal (Cahyaningsih, 2013). E. Penatalaksanaan penyakit hirschsprung Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan



dengan



pembedahan.



Tindakan-tindakan medis



non-bedah



mungkin dapat dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh. Manajemen bayi sampai saat operasi terdiri dari lavage kolon setiap hari untuk mengosongkan usus. Larutan normal saline harus digunakan. Jika jumlah obstruksi ada pada neonatus, kolostomi sementara atau ileostomy diperlukan untuk dekompresi usus besar. Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa



lambung.



Apabila



sebelum



operasi



ternyata



telah



mengalami



enterokolitis maka cairan resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus. Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi, tahap kedua dengan melakukan operasi definitive dan tahap ketiga dengan penutupan kolostomi. 1. Kolostomi merupakan tindakan bedah tahap pertama yang dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Pada kolostomi ini memungkinkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan). Kolostomi dilakukan dengan membuat lubang pada kolon tranversum kanan maupun kiri. Merupakan kolonutaneustomi yang disebut juga anus prenaturalis yang dibuat sementara atau menetap. 2. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang ganglionik dengan bagian bawah rektum. Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu : 1) Swenson’s sigmoidectomy: operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi ujung ke ujung usus aganglionik dan



ganglionik melalui anus dan reseksi serta anastomosis sepanjang garis bertitik-titik. 2) Prosedur Duhamel: prosedur Duhamel dilakukan dilakukan dengan cara



menaikan



kolon



normal



kearah



bawah



dan



menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubang aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik. 3) Prosedur Soave’s: operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian muscular usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionik didorong sampai menggantung dari anus. 4) Prosedur Boley: tindakan sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu. 5) Prosdur



Rehbein: anastomosis “end to end” antara kolon yang



berganglion dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Tehnik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang. 6) Miomektomi anorectal: prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion. 7) Transanal Endorectal Pull-Through: dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa. 3. Tahapan ketiga dengan penutupan kolostomi atau ileostomy. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat. Penatalaksanaan Konservatif Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tandatanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air, hal ini



disebabkan karena difusi cepat dari usus yang mengalami dialatasi air ke dalam sirkulasi (Sacharin,1986). Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon mengunakan garam faal. Cara ini efektif dilakukan pada Hisrchsprung tipe segmen pendek-untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan tindakan kolostomi didaerah ganglioner. F. Pencegahan penyakit hirschsprung Pencegahan pada penyakit Hisprung dibagi menjadi 3 pencegahan, yaitu primer, sekunder dan tersier. 1. Pencegahan Primer 1) Health Promotion Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh genetik yang tidak terlepas dari pola konsumsi serta asupan gizi dari ibu hamil sehingga ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan berhatihati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alcohol yang dapat memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap health promotion ini, sebagai pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah perlunya perhatian terhadap pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal kehamilan. Menghindari mengkonsumsi makanan yang bersifat karsinogenik,



mengikuti



penyuluhan



mengenai



konsumsi



gizi



seimbang serta olah raga dan istirahat yang cukup 2) Spesific Protection Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat diketahui adanya kelainan maupun tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung. Pencegahan lebig mengarah pada perlindungan



terhadap



ancaman



agent



penyakitnya



misalnya



melakukan akses pelayanan Antenatal Care (ANC) terutama pada skrining ibu hamil beresiko tinggi, imunisasi ibu hamil, pemberian tablet tambah darah dan pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi dini obstetric dengan komplikasi. 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya penyakit Hisrchsprung dan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan



penyebab kematian seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada tahun



1946



Ehrenpreis



menekankan



bahwa



diagnosa



penyakit



Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal. Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.



DAFTAR PUSTAKA Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC. Cahyaningsih, Dwi. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Anak dengan Post Kolostomi Hari Ke-2 Karena Hirschprung di Ruang Teratai Lantai 3 Utara Rsup Fatmawati. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto. Kemenkes RI. 2017. Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung. Mayo Clinic Staff . 2013. Disease and Coditions : Hirschsprung’s disease. Mayo Clinic



(online).



Tersedia



:



http://www.mayoclinic.org/



diseasesconditions/hirschs-prungs-disease/basics/risk-factors/con20027602 . diakses tanggal 24 Februari 2017. Romadoniyah. 2007. Asuhan Keperawatan dengan penyakit Hirschprung. (online)



http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id.download.php?id-17



diakses tanggal 1 Maret 2017 Setiawan, Haris F., et al. 2015. Penyakit Hirschsprung. Program studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Surya, Putu Ayu Ines Lassiyani. 2012. Gejala Dan Diagnosis Penyakit Hirschsprung. Fakultas Kedoteran Universitas Udayana Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC Trisnawan, I Putu., I Made Darmajaya. 2010. Metode Diagnosis Penyakit Hirscprung. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Yupono, Karmini., Rudi Hartono. 2009. Laporan Kasus: Tatalaksana Anestesi Penyakit Hirschsprung dengan Sindrom Aspirasi Mekoneum dan Pneumomediastinum pada Neonatus. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang