Sastra Embrio [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama:Habib Dwika Ananda NIM:19201244002 Kelas:PBSI C 2019 Mata Kuliah:Sejarah Sastra Dosen Pengampu:Dr.Drs.Hartono,M.Hum.



SASTRA EMBRIONAL Corak sastra baru yangmuncul pertama kali berupa penceritaan kembali kisah-kisah lama dengan bahasa yang hidup dalam masyarakat pada waktu itu. T.Rooda (ahli bahasa jawa, 1844), menulis buku setebal 197 halaman dengan judul Raja Priangon, dalam bahasa Jawa berbentuk prosa. Kebiasaan untuk menceritakan kembali kisah-kisah lama dalam bahasa sehari-hari ini kemudian berkembang sampai tahun 1880-an. Sampai tahun 1900-an sebenarnya masih banyak penulis jawa yang masih bekerja dengan cara itu, yakni dengan menceritakan kembali kisah-kisah lama, dan memuncak pada zaman permulaan Balai Pustaka. Masa peralihan yang berlangsung dalam bahasa jawa ini baru mencapai titik akhirnya pada tahun 1920, yakni dengan lahirnya sastra jawa modern yang pertama berbentuk roman berjudul serat riyanto di tulis oleh R.M. Sulardi. Dalam bahasa sunda juga muncul corak penceritaan kembali ini. Pada tahun 1884 muncul buku dongeng-dongeng nu araneh (dongeng-dongeng yang aneh), angling Darma  yang ditulis tahun 1907, sedang R.Prawirakusumah menulis Dongeng-Dongeng Tuladan  (dongeng-dongeng teladan) tahun 1911. Bahasa sunda telah mencapai bentuk sastra modern mendahului bahasa jawa, yakni dengan terbitnya roman Sunda yang pertama tahun 1914 yang ditulis oleh D.K.Ardiwinata berjudul Baruang Ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda).Sedangkan dalam bahasa Melayu tinggi corak sastra modern telah jauh muncul sebelum pertengahan abad 19, ditaindai dengan munculnya buku-buku Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Sastra melayu yang berkembang pesat menjadi sastra modern adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu-rendah yang berkembang di lingkungan masyarakat Tionghoa yang tinggal di kota-kota di Indonesia.sekitar tahun 1870 muncullah buku Sair Kedatangan sri Maharaja Siam di Betawi dalam bahasa Melayu-rendah yang ditulis oleh golongan Tionghoa. Syair-syair itu pada mulanya ditulis dengan huruf Jawi (Arab-Indonesia), namun karena pengenalan terhadap huruf tradisional Indonesia semakin berkurang (akibat adanya pendidikan Barat) maka syair-syair berisi cerita ditulis dalam huruf latin sampai tahun 1910-an. Karena golongan masyarakat Tionghoa di Indonesia makin banyak yang memperoleh kebudayaan Barat, maka orientasi golongan ini kepada sastra Barat juga timbul lebih dahulu di banding dengan golongan masyarakat lain di Indonesia. Inilah sebabnya terjemahan sastra Barat ke dalam bahasa Melayur-rendah banyak dikerjakan oleh penulis Tionghoa. Tetapi terjemahan sastra Barat kedalam bahasa Melayu-rendah yang pertama kali justru dilakukan oleh orang Belanda. Pada masa antara tahun1850-an sampai tahun 1900 terdapat tiga wilayah sastra modern yang menghasilkan karya-karya yang merupakan embrio dari munculnya sastra modern yang sesungguhnya di Indonesia.



Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya sastra Melayu-rendah golongan Tionghoa, yaitu: 1. Ketercerabutan dari akar budaya nenek moyang 2. Adanya modal untuk percetakan 3. Orientasi budaya Barat. Sastra golongan Tioanghoa memakai bahasa Melayu-rendah yang mudah di pahami oleh kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia, yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya sastra Indonesia modern. 1. SASTRA MELAYU RENDAH BUKAN TIONGHOA Rintisan sastra Melayu rendah yang dimulai orang-orang Tionghoa pada sekitar tahun 1870, pada tahun 1890-an memperoleh bentuknya di tangan penulis Belanda dan Indonesia.Sastra Melayu rendah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia berkembang sampai tahun 1924. Penulis-penulisnya antara lain Raden Mas Tirtoadisuryo, Mas Marco kartodikromo, Haji Mukti dan Semaun. Pengarang Indonesia pertama yang menulis novel dalam bahasa Melayu rendah adalah F.D.J.Pangemanann (1870-1910). H.Komer aadalah sastrawan sezaman dengan Pangemananann yang banyak menulis roman pendek (cerita pendek). Dan tokoh lainnya adalah F. Wigger, ia adalah mantan pegawai pemerintah Belanda di Indonesia yang kemudian bekerja sebagai wartawan.Bahsa sastra Melayu rendah yang ditulis oleh para pengarang Indonesia ini dikatakan jauh lebih baik daripada bahasa melayu rendah golongan Tionghoa, dan sudah mirip dengan bahasa Melayu tinggi yang sangat dihargai pemerintah kolonial.  2.SASTRA MELAYU RENDAH TIONGHOA Asal Mu-asal Sejak abad 16 orang-orang Hokkian sebagai golongan Tionghoa bermigrasi ke Indonesia. Jumlah orang Tionghoa mengalami peningkatan yang berlipat pada tahun 18601900. kemunculan sastra melayu rendah tionghoa dari lingkungan masyarakat golongan Hokkian ini yang kebanyakan memang bermukim di kota-kota Jawa.  Sastra Melayu Rendah disebut sastra Melayu-Tionghoa, Melayu-China, MelayuPasar, atau Melayu Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Meski usianya tak terlampau lama, sejak abad ke-19 hingga tahun 1960-an, telah mencatatkan peran penting dalam sejarah literasi di Indonesia. Sebab utama munculnya Sastra Melayu Rendah Tionghoa adalah kebutuhan budaya kaum peranakan (kaum Hokkian) yang rata-rata kelas pedagang dan pengusaha itu, suatu kelas sosial yang dekat dengan keperluan pendidikan dan bacaan. Karena mereka tidak menguasai bahasa cina lagi, mereka hanya menguasai bahasa daerah setempat, bahasa belanda atau bahasa melayu rendah. maka pilihan untuk berkegiatan dalam budaya mereka dilakukan dalam bahasa-bahasa tersebut. Sastera melayu rendah menggunakan bahasa



melayu pasar, yaitu bahasa melayu yang di gunakan sebagai bahasa perdagangan dan komunikasi sehari-hari di india dan belanda. Sastra Melayu-Rendah paling banyak dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim dan berdomisili di Jawa. Mereka yang tak lagi menguasai bahasa leluhur menggunakan bahasa Melayu-Rendah sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai istilah, sastra Melayu-Rendah bermuatan politis. dimunculkan oleh Balai Poestaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk kesusastraan yang tak menggunakan varian linguistik Melayu-Riau sebagai bahasa yang tidak standar, rendah, cabul, dan liar. IM Hendrarti menengarai, pemberian stigma buruk terhadap sastra Melayu-Rendah terkait dengan politik pembatasan penyebaran informasi yang dapat membahayakan stabilitas pemerintah kolonial. Pasalnya, Melayu-Rendah dianggap sebagai ragam bahasa yang biasa dipakai untuk kepentingan-kepentingan subversif, terutama oleh para jurnalis di era pergerakan. Sangat salah apabila dalam perkembangan sastra di negeri kita, Sastra Melayu Rendah Tionghoa dinisbikan. Bagaimanapun juga peranan Sastra Melayu Rendah Tionghoa dalam negeri ini cukuplah besar sebagai ihwal guru spiritual atau “ide” dari karya-karya sastra yang kemudian berkembang di negeri ini. Ciri Khas Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.  Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.  Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.  Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde OosterlingenRed), dan Bumiputra.



Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.  Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.  Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia. Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu. Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.  Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa. Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid. Masa Berakhir Sastra Melayu Rendah             Pada saat pendudukan Jepang, karya sastra melayu rendah semakin sulit ditemukan dikarenakan



pemerintah



Jepang



tidak



membiarkan



kebebasan



untuk



kreatif



berkarya. Selain itu saat Jepang menguasai Indonesia melarang diterbitkannya karya-karya sastra melayu rendah, bahasanya yang cabul, kotor, liar dan frontal, dicap berbahaya karena isinya mengungkapkan penderitaan dan keadaan pada saat itu semakin membuat kemarahan Jepang kepada orang-orang yang membuat karya sastra pada saat itu.             Pada akhirnya karya sastra melayu rendah benar-benar tenggelam saat Indonesia merdeka karena pemerintah menyarankan bahasa yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dan bahasa melayu rendah kurang diminati oleh masyarakat Indonesia.



Berikut adalah periodesasi sejarah perkembangan sastra Melayu rendah Tionghoa: Masa Lie Kim Hok (1884- 1910) Lie Kim Hok (1853- 1912) adalah bapak dari bahasa dan sastra Melayu rendah Tionghoa. Tokoh ini amat dihormati oleh para sastrawan Melayu-Tionghoa karena kepeloporannya dalam membentuk bahasa Melayu-Tionghoa menjadi bahasa yang lebih mendekati bahsa Melayu-Tinggi dan bahasa Belanda. Lie Kim Hok tidak pernah menulis roman asli, ia banyak menerjemahkan novel-novel  eropa maupun Cina. Ia telah menuklis sekita 28 buku. Masa Perkembangan (1911- 1923) Dalam masa ini pengaruh sastra Barat terhadap sastra Melayu rendah Tionghoa makin besar. Ini disebabkan karena adanya pendidikan Belanda yang diberikan pada golongan Tionghoa pada tahun 1908. Dalam masa ini karya tulis yang dihasilkan tidak roman saja, tetapi juga meliputi karya-karya drama, syair dan terjemahan. Dalam masa perkembangan ini telah dihasilkan sekitar 100 novel  yang rata-rata bersifat realistik.



Tokoh sastrawan yang terkenal pada zaman perkembangan ini adalah: 1. 2. 3. 4. 5.  



Tio Le Soei (1894- 1974) Gouw Peng Liang (1869- 1928) Thio Tjin Boen (1885- 1928) Tan Beon Kim (1887- 1959) Tjoe Boe San (1892- 1925)



Masa Cerita Bulanan (1924- 1945) Masa ini adalah masa amat subur dalam kurun waktu sejarah sastra Melayu-rendah tionghoa, dan justru merupakan masa tamatnya sastra Melayu-rendah Indonesia yang lebih menitikberatka pada tuuan-tujuan politik daripada sastra. Gejala dari suburnya sastra Melayurendah Tionghoa ini adalah munculnya cerita bulanan,Beberapa penulis yang terkenal pada masa ini, diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Kwee Tek Hoay (1880- 1951) Njoo Cheong Seng (1902- 1962) Liem King Hoo alias Romano (1900- 1942) Chen Wen Soan (1903- 1948) Pouw Kioe An atau Sastradjaja, Romo (1906-…) Tan Hong Boen (1925- 1950) Ong Ping Lok atau Monseieur Novel (1903- 1978)



Masa Akhir (1945- 1960) Setelah kemerdekaan, tidak ada lagi pembedaan antara golongan pribumi dan golongan timur asing yang di dalamnya termasuk golongan Tionghoa. Meskipun golongan Tionghoa telah menjadi satu sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang baru lahir, tetapi secara kultural



mereka masih tetap hidup sebagai golongan masyarakat seperti dalam zaman penjajahan. Dalam hukum memang sudah tidak ada perbedaan lagi, tetapi kehidupan budaya mereka masih memakan waktu untuk menjadi satu dengan budaya golongan pribumi. Sastra golongan Tionghoa ini masih tetap terus hidup kira-kira hingga 20 tahun kemudian. Pemakaian bahasa Melayu-rendah golongan Tionghoa makin mendekati bahasa persatuan, Meskipun begitu mereka masih dengan mudah dapat dikenali laggam Melayu-rendahnya dalam karya-karya sastranya. Bahasa Melayu-rendah benar-benar lenyap dalam dasawarsa 1970-an. Penerbitan cerita bulanan dalam masa ini mulai surut. Karya-karya sastra golongan Tionghoa mulai memusatkan diri ke dalam majalah-majalah mingguan. Jenis cerita silat justru berkembang.



3.SASTRA JAWA



Perjalanan sastra Jawa yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh budaya asing yang datang ke tanah Jawa. Pengaruh budaya luar yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India, yaitu pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa Budha dan Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II antara abad XVI sampai awal abad XX. Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya tersebut. Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga muncullah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya karyakarya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip. Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babakan baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah.Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan



pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan  karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimaya (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya). Sastra Jawa modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa. Selain itu pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastrasastra Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa.Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat dalam bentuk pengenalan genre baru. PERIODISASI SASTRA JAWA



Sastra Jawa Kuno Sastra Jawa Kawi merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Jawa Kuno Disebutkan bahwa Sastra Jawa Kuno ditulis pada kisaran periode abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi.Karya sastra dalam periode ini ditulis dalam bentuk Gancaran (Prosa) dan Kakawin (Puisi) yang mencakup sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitabkitab keagamaan.Sastra Jawa Kuno ditulis dalam bentuk Manuskrip dan Prasasti. Adapun manuskrip yang menggunakan teks bahasa Jawa Kuno ditemukan berjumlah ribuan.Sementara itu, manuskrip yang berbentuk prasasti berjumlah puluhan hingga ratusan (tidak semua prasasti termuat teks kasusastraan). Contoh Karya Sastra Jawa Kuno diantaranya sebagai berikut :  







Candakarana : Kamus atau ensiklopedia bahasa Jawa Kuno tertua yang ditulis pada kisaran abad ke-8 masehi (dugaan ini dikarenakan di dalam kitab ini termuat nama Syailendra) Kakawin Ramayana : Syair bahasa Jawa Kuno yang mengisahkan cerita Ramayana. Diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerintahan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. Kakawin ini disebut-sebut sebagai Adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Terjemahan Mahabrata : Sebuah terjemahan Karya Sastra Kuno dalam bahasa Jawa Kawi. Terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Disisi lain, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar. Kumpulan cerita ini baru dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.



Sastra Jawa Tengahan



Sastra Jawa tengahan merupakan sastra Jawa dengan bahasa Jawa pertengahan sebagai wahana penyampaian, muncul pada akhir Majapahit dan berkembang pada periode sastra Jawa-Bali.   Kidung Selain bentuk prosa, sastra Jawa tengahan mengenal bentuk puisi yaitu kidung. Kata kidung benar-benar asli Jawa. Tidak sebagaimana halnya kakawin yang baik prosodi maupun isinya dibawa dari India, prosodi dan isi sastra kidung benar-benar Jawa. Beberapa teks sastra Jawa tengahan misalnya Tantu Panggelaran, Pararaton, Sri Tanjung, Sudamaia, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, dan Kidung Sorandaka.   Pararaton Pararaton merupakan salah satu karya sastra Jawa tengahan yang dianggap memiliki nilai kesejarahan, meskipun pengertian sejarah tidak sebagaimana berlaku sekarang yang memiliki matra faktual. Susunan dan motif-motifnya mirip dengan babad dalam sastra Jawa baru. Babad dianggap sebagai sastra sejarah yang salah satu fungsinya merupakan sarana legitimasi. Jika Pararaton dapat dipersamakan dengan babad, maka karya sastra ini merupakan refleksi dari sistem orang Jawa menilai peristiwa dan kronik. Dibawah ini dapat dilihat terdapat gambar pararaton. Sastra Jawa Baru Kasusastraan Jawa Baru hadir antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi, yakni setelah penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.Salah satu contoh karya sastra terpenting pada masa ini adalah Suluk Malang Sumirang. Disamping itu juga didapati sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini.Pada awalnya, gaya bahasa yang dipakai masih mendekati Sastra Jawa Tengahan, setidaknya sampai setelah tahun ~ 1650. Kemudian, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan.Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuno yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa jawa yang baru.



Sastra Jawa Modern Sastra Jawa Modern merupakan karya Sastra Jawa yang telah dipengaruhi Sastra Barat. Hadir setelah penjajahan Belanda di Pulau Jawa yakni sejak abad kesembilan belas masehi. Pada periode ini muncul bentuk karya sastra seperti esai, roman, novel, dan sebagainya.Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.Pada masa ini



(tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.



4.SASTRA SUNDA Khasanah kesusastraan Sunda sangat kaya akan bentuk, seperti juga dengan kesusastraankesusastraan lain, sejarah kesusastraan Sunda dimulai dengan kesusastraan lisan (Ajip Rosidi, 1966:1), yang diawali oleh lahirnya cerita dongeng dan pantun yang diperkirakan lahir dalam kurun waktu yang sama. Pada tahun 1518 cerita pantun sudah dikenal dan berkembang. Dalam cerita pantun digambarkan manusia yang gedé haté lébér wawanén (gagah berani), isinya menceritakan raja-raja Padjadjaran dan sebelumnya (Yus Rusyana, 1981:80). Menurut periodisasi sastra Sunda yang dikemukakan oleh Yus Rusyana, pada periode lahirnya pantun ini sejajar pula dengan dikenalnya mantra, kakawihan, dan sawer. Baik pantun, mantra, kakawihan, maupun sawer, keseluruhannya tersaji dalam bentuk puisi yang sudah menjadi ciri sastra Sunda lama (Yus Rusyana, 1969:9-10). Bentuk syair yang berasal dari pengaruh Arab dengan masuknya Islam ke Jawa Barat, mulai dikenal pada tahun 1552. Bentuk syair tersebut sering kita jumpai dinyanyikan orang dalam upacara sawer, pupujian, dan sebagainya (Ajip Rosidi, 1966:10). Sawer adalah suatu upacara adat yang umum di daerah Sunda untuk mendoakan keselamatan dan keberuntungan bayi yang baru lahir, anak yang baru disunat, atau lebih dikenal lagi sawer pada orang yang baru menikah. Sedangkan pupujian adalah nyanyian untuk memuja Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Dalam syair pupujian banyak sekali terdapat kata-kata Arab. Pupujian baru dikenal orang setelah adanya Islam. Pada pertengahan abad ke-17 datang pengaruh dari kesusastraan Jawa yang melahirkan bentuk wawacan yang mencapai puncaknya pada abad ke-19. Cerita wawacan sering kali melukiskan kebesaran, kesaktian, kepintaran, keagungan, kebijaksanan para raja dan para putra raja serta pejabat kerajaan. Juga para pendeta atau para kiai (Ajip Rosidi, 1966:12). Setelah itu sampai awal abad ke-19 kesusastraan Sunda belum memperoleh bentuk karya sastra yang baru lagi, tetapi karya sastra yang telah ada tersebut terus mengalami perkembangan.Kesusastraan Sunda semakin diperkaya oleh datangnya pengaruh dari Barat pada abad ke-19. Berdirinya Balai Pustaka ternyata merupakan peristiwa penting bagi perkembangan sastra Sunda pada awal abad ke-20 (Maryati, 1984:2), karena turut membantu memperkaya khasanah sastra Sunda dalam berbagai segi. Di antaranya telah tumbuh karya



sastra dalam bentuk dan kreasi baru, banyak karya-karya terjemahan serta semakin suburnya para penulis baru yang turut mendukung perkembangan kesusastraan Sunda. Dalam buku Galuring Sastra Sunda karya Yus Rusyana, dijelaskan bahwa novel keluar sekitar Mangsa Kaopat, yaitu sekitar tahun 1900-1945 Masehi. Itu juga dikarenakan adanya persentuhan dengan budaya Barat lebih intensif (Rusyana, 1969:25-28). Hasil sastra modern pada abad ke-20 antara lain ditandai oleh bentuk novel. Novel Baruang Ka Nu Ngarora karangan D.K. Ardiwinata yang diterbitkan pada tahun 1914 dianggap sebagai novel Sunda pertama (Yus Rusyana, 1979:1).Kelahiran novel antara lain dipengaruhi juga oleh tuntutan masyarakatnya. Sebagai salah satu hasil karya sastra Sunda modern yang cukup penting, novel adalah hasil pembaharuan yang dijalankan dalam sastra Sunda. Pengaruh dari sastra Barat lainnya adalah cerpen. Pada tahun 1930, terbit sebuah kumpulan cerpen dalam bahasa Sunda yang pertama yaitu Dogdog Pangréwong yang bersembunyi di belakang inisial G.S. (Ajip Rosidi, 1966:102)Bentuk puisi yang telah mendapat pengaruh dari sastra Barat adalah sajak bebas, banyak dimuat di majalah dan di antaranya ada yang telah dibukukan, seperti karangan Sayudi yang berjudul Lalaki di Tegal Pati, karangan Yus Rusyana yang berjudul Nu Mahal ti Batan Inten, karangan Ajip Rosidi yang berjudul Janté Arkidam, dan sebagainya.Dalam kesusastraan Sunda dikenal pula adanya drama dalam bentuk sandiwara, wayang golek, reog, longser, gending karesmen, dan sebagainya. Longer adalah semacam teater arena yang sangat sederhana, dan gending karesmen adalah opera bernafaskan Sunda. Daftar pustaka https://ashshaleh.wordpress.com/2016/04/17/lintas-sejarah-sastra-indonesia-masa-awal/ https://sianaktunggal.blogspot.com/2012/01/sastra-melayu-rendah.html https://blogkulo.com/sastra-jawa/ https://fbsekstensia.blogspot.com/2013/06/sastra-jawa-dan-sastra-sunda_9.html