Saujana Kampung Melayu Dan Peristiwa Keekonomian Melayu (Peristiwa Di Riau) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Saujana Kampung Melayu dan Peristiwa Keekonomian Melayu (Peristiwa di Riau) Gambar salah satu model gambaran saujana (lansdkape) perkampungan Melayu Riau. Masing-masing kawasan adalah potensi tradisi dan terutama kegiatan keekonomian mereka dan memberikan andil melahirkan pelbagai genre teks sastra Melayu. Sumber tulisan ini berasal dari penelitian Dr. Elmustian Rahman, MA., Pantun dalam Peristiwa Keekonomian Tradisional Melayu Riau, 2018. Program Pascasarjana Unri. Alamat: [email protected]



Masyarakat Riau dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yakni masyarakat homogen dan heterogen. Masyarakat Riau yang homogen hidup terutama di perkampungan dan sebagian di kota. Terdiri dari masyarakat asli Melayu dan masyarakat transmigrasi. Sedangkan masyarakat heterogen kecenderungannya hidup di wilayah-wilayah pertumbuhan ekonomi dan perkotaan. Masyarakat Riau yang homogen pada umumnya hidup di pinggiran empat sungai besar di Riau. Empat sungai itu adalah sungai Rokan dengan anak-anak sungainya di Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Sungai Siak yang merupakan sungai yang keseluruhannya berada di Riau. Sungai Kampar yang anak sungainya berhulu di Sumatra Barat. Dan, di sebelah Selatan adalah sungai Inderagiri di Hilir dan Batang Kuantan di hulu yang membelah rantau Kuantan berhulu di Sumatra Barat. Masing-masing sungai memiliki suku asli dan masyarakat adat serta memiliki kerajaan. Sungai Rokan memiliki masyarakat suku asli Bonai. Sungai Siak memiliki suku asli Sakai. Sungai Kampar memiliki suku asli Petalangan, Sungai Inderagiri memiliki suku asli Talang Mamak. Pesisir Sumatera di wilayah Riau ada juga suku asli seperti Akit (Akit Ratas dan Akit Bawah) di Pulau Rupat, suku Laut, sebagian menyebutnya dengan Suku Duanu di Concong Luar sekitar muara Sungai Indragiri dan masih dapat ditambah seperti suku Hutan, atau orang Selat di perairan Bengkalis. Dalam banyak referensi antropologis dan sosiologis mereka merupakan suku asli yang nenek moyangnya bermigrasi ke Nusantara pada gelombang pertama 2000 hingga 3000 sebelum Masehi. Berdasarkan masing-masing sungai itu pula masyarakat Riau memiliki masyarakat adat seperti: Sungai Rokan memiliki masyarakat Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Kuntodarussalam, Rokan, Pendalian atau Rokan IV Koto. Sungai Siak memiliki masyarakat adat di Tapung, Sungai Kampar memiliki masyarakat adat Kampar seperti Kampar Limo Koto, seperti Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Kampar dan Salo. Di tambah dengan Kampar Kiri dengan 5 khalifah seperti khalifah Gunung, khalifah Kuntu, khalifah Ujung Bukit, dan khalifah Songgan. Sungai Indragiri atau Kuantan memiliki masyarakat adat Tiga Lorong, yakni Baturijal Hulu, Baturijal Hilir, dan Pematang-Selunak di Kabupaten Indragiri Hulu, dan Rantau Kuantan atau Rantau nan Kurang Oso Duo Puluoh di Batang Kuantan. Masing-masing sungai atau batang memiliki kerajaan, yakni: Sungai Rokan memiliki kerajaan atau semacam luhak, yang terdiri dari luhan Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Kuntodarussalam, Rokan, Pendalian atau Rokan IV Koto. Puak ini merupakan wilayah antara wilayah budaya adat dengan budaya kerajaan. Sungai Siak memiliki kerajaan Siak Sri Inderapura. Sungai Kampar memiliki kerajaan Pelalawan. Sungai Inderagiri atau Batang Kuantan memiliki kerajaan Inderagiri. Bahkan di hulu Kuantan, yakni di Kecamatan Kuantan Mudik berdiri kerajaan purba, yakni kerajaan Kandis, sebuah kerajaan yang berdiri sebelum Masehi.



1.Sungai atau Batang Sungai disebut juga dengan batang dalam alam Melayu. Istilah batang, dikarenakan karena lazimnya sungai memiliki cabangcabang sungai dan anak-anak cabang, lebih mirip secara idiomatik seperti batang atau pohon. Merupakan sebagai ruang inti dari kampung Melayu dan dijadikan kawasan bermain masyarakat Melayu Riau. Masyarakat Melayu menjadikan Sungai sebagai ruang representasi artikulasi sosial. Sungai seperti kawasan baruh melahirkan teks-teks siklus kehidupan masyarakat seperti bual-bual di tepian, turun mandi, upacara berendam sebelum bersunat, mandi belimau dengan menggunakan limau kasai atau limau sundai. Bersunat atau berkhitan disebut juga dengan sunat rasul. Dalam kehidupan masa lalu meskipun sungai melahirkan teks-teks profan, sungai juga melahirkan teks-teks sakral, misalnya sungai dijadikan tempat pembuangan sial yang mereka simbolkan dengan perlengkapan ritual seperti sesajian. Dari sungai ini pula menghadirkan teks-teks sastra tentang mencari atau menangkap ikan dan aktivitas memelihara pekarangan. Pekarangan sebuah istilah semua bentuk dan jenis menangkap ikan. 2.Darat



Dalam sebuah kampung ada yang diistilah dengan darat dan baruh. Wilayah darat yang bermakna arah menjauhi sungai atau laut. Wilayah darat bagi masyarakat Melayu memiliki wilayah yang berlapislapis, seperti apa yang disebut dengan sawah atau ladang. Di sebelah sawah atau ladang darat ada wilayah kebun, seperti kebun karet. Di sebelah darat dari kebun ada hutan rimba yang dapat diambil kayu kayannya, untuk membuat rumah, kayu api, dll. Ada pula pohon enau dll. Di beberapa tempat seperti di Petalangan, dan Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong, hutan ini disebut hutang kepungan sialang. Di sebelah darat lagi dari wilayah ini ada hutan atau rimba simpanan. Wilayah ini merupakan tempat tersimpannya kayu-kayu yang dapat diambil bila diperlukan oleh masyarakat untuk kepentingan umum. Misalnya kayu untuk bahan bangun masjid atau madrasah dan balai-balai keramaian. Di Rantau Kuantan hutan simpanan ini kayunya hanya untuk membuat perahu atau jalur. Kawasan darat melahirkan teks-teks sakral. Kampung terletak di kawasan darat yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan religius. Ada surau, masjid, perkuburan suku, dll. Kawasan darat berhubungan tanah persawahan dan perladangan. Dibangun rumah-rumah sementara yang disebut dengan pondok, ada juga rumah besar namun tidak terlalu banyak yang disebut dengan teratak. Biasanya tempat berkebun atau berladang atau bisa juga wilayah hutan ganang. Meski disebut darat, juga menyimpan kawasan danau atau tasik yang memegang peranan yang lebih kurang sama dengan sungai. 3.Baruh



Kawasan baruh dalam masyarakat Melayu adalah kawasan yang mengarah ke sungai atau laut. Merupakan oposisi binari dari kawasan darat. Kawasan baruh cenderung dipahami sebagai kampung atau negeri. Kawasan ini menjadi tempat menetap dan pusat keramaian masyarakat. Kawasan ini pula dianggap “epicentrum peradaban” sebuah kampung Melayu. Di kawasan ini tinggal pemimpin suku, menti, orang adat, dan orang syarak berumah di baruh. Di Kawasan ini lahir teks-teks siklus kehidupan seperti teks tradisi melahirkan, teks-teks kanak-kanak, teks-teks orang dewasa, upacara perkawinan, serta upacara adat masyarakat Melayu dan berbagai peristiwa seni. Kehidupan di baruh berhubungan dengan teks-teks tebing dan pulau, teluk dan tanjung, rantau dan tepian. Kawasan baruh cenderung melahirkan teks-teks profan.



1



4.Hulu



Hulu adalah sebutan untuk sesuatu yang melawan arus air sungai. Perjalanan ke hulu disebut dengan mudik. Sesuatu yang terkait dengan kawasan hulu adalah simbol asal-muasal, berhubungan dengan adab sopan, santun, terkait dengan hukum adat semula jadi, cenderung juga disebut wilayah sakral atau daya supranatural. Ulu atau hulu berarti pangkal atau kekuasaan, yang menyiratkan kejernihan. Hulu dalam kaitan itu menjadi oposisi binari dari hilir. Dalam kehidupan masyarakat Tiga Lorong hulu adalah salah satu arah selain hilir, darat, dan baruh, sesuatu yang berhubungan dengan sungai. Kawasan Tiga Lorong adalah wilayah perbatasan (frontier area), perhubungan antara hulu (Inderagiri) dengan hilir (Rantau Kuantan) memainkan peranan dalam politik orang Melayu Tiga Lorong. Di Batang Kuantan atau Sungai Indragiri misalnya untuk kasus ini menjadi, asas pengeksporan hasil hutan dari kawasan pedalaman yang ditukarkan dengan kain dan garam dari hilir. Ibukota bagi negeri berdekatan sungai didirikan di kawasan yang strategik yaitu kuala sungai. Hal ini memudahkan urusan pengawasan terhadap semua pergerakan antara hulu hingga hilir sungai. Bagi masyarakat Tiga Lorong misalnya, istilah 'hulu' dan 'orang hulu' ialah dua perkataan yang mengandung imaji. Yakni orangorang yang kuat memegang adat namun masih menjalankan ritual-ritual kepercayaan nenek moyang. Hal ini bertentangan dengan anggapan terhadap ‘hilir’ atau ‘orang hilir' yang dikatakan sebagai orang yang mempunyai prinsip agama itu adalah adat itu sendiri. Imaji ini sedikit membuka dan menggeser, sejak lintas perdagangan ekonomi antara Hulu dan Hilir. Kawasan Hulu bagi masyarakat Tiga Lorong di penghujung dekade terakhir menjadi tempat sumber ilmu bela diri seperti silat Pangean. Berkaitan dengan gelar, terutama istilah yang berhubungan dengan ‘hulu’, seperti halnya gelar penghulu atau datuk adat yang biasanya digunakan kepada seseorang ketua negeri atau tetua adat yang mengelola sesuatu negeri atau kawasan. Perkataan hulu menunjukkan peranannya sebagai seorang ketua. Istilah hulu adalah sebutan umum untuk menyebutkan jabatan pangkat khusus yang disandang oleh seseorang, misalnya; penghulu, datuk, ninik mamak, panglima, ketua; pengetua, induk semang, tuan guru, dll. Oleh karenanya, bagi orang Melayu sebutan hulu itu diterjemahkan bagi pemimpin yang menjadi pilihan seseorang. Tidaklah setiap orang mampu menjadi pemimpin bagi orang banyak Sebutan ini sejalan pula dengan istilah yang selalu disebut dengan gagang, ulu parang atau ulu lembing, dll., sesuatu yang dapat dipegang dan menjadi bersahabat karena tidak sakit memakai alat tersebut. 5.Hilir



Sesuatu yang bertentangan dengan hulu atau bagian wilayah sungai yang mengarah ke tempat rendah, seperti halnya ke pantai. Simbolisasi dengan keterbukaan, kawasan yang menganggap adat yang dianggap mulai berubah, imaji-imaji kelonggaran atau masuknya pengaruh, kecenderungan profane, atau massal, persoalan-persoalan nafsu-nafsi, dan selalu menjadi kawasan bandar, cenderung diartikan heterogenitas. Berhimpunnya beberapa suku. Di Hilir Inderagiri misalnya berhimpun suku Banjar, Bugis, dan bahkan China. Meskipun kecenderungan ini bergeser kepada kota dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya hulu, maka hilir adalah jenis salah satu arah, selain hulu, darat, dan baruh, sesuatu yang berhubungan dengan sungai. Hilir selalu disandingkan dan sekaligus ditandingkan dengan hulu. Keduanya istilah ini bagi masyarakat Tiga Lorong mewakili perbedaan karakteristik geografi, linguistik, dan budaya mereka. Kawasan hilir sungai biasanya dipenuhi pohon nipah, bakau, dan pohon tropis lainnya yang biasa tumbuh di tepi laut. Sebagian lagi wilayah pertanian misalnya menanam padi dan hulu merupakan tempat bersembunyi perbukitan dan gunung-ganang. Kedua kawasan ini juga masuk dalam imaji bahasa yang berbeda, yakni hulu yang mengarah ke Melayu Minangkabau sedangkan hilir mengarah ke Melayu inti, kerajaan Inderagiri untuk kasus sungai Indragiri atau Batang Kuantan, Kampar, yang berbeda dengan Rokan yang berhulu di Tapanuli Selatan dan Minangkabau. Perbedaan ini juga menjadi bagian dari perbedaan karakter adat-istiadat, seperti yang dijelaskan pada hulu. Kebanyakan negeri Melayu membentuk pusat kerajaan di hilir, yang berdekatan sungai utama yang menghubungkannya dengan hulu sungai. Sepanjang sejarah Melayu, salah satu masalah yang sering terjadi adalah hilir berusaha untuk menguasai hulu. Dalam sejarah, banyak kerajaan di sepanjang sungai bertolak-angsur dengan “datuk atau



kekuasaan adat di bagian hulu sungai” (kekuasaan di hulu) dan “raja di bahagian hilir sungai” (kekuasaan kerajaan di hilir). 6.Kampung Kampung Melayu, --istilah sementara untuk menyebutkan sebuah komunitas yang memenuhi kelaziman kelompok tradisi (folklore) suatu masyarakat--, biasanya cenderung mengelompok, memiliki saujana (landskape) yang bagi mereka memiliki fungsional sosial, ekonomi, dan adat atau budaya. Kampung Melayu lazimnya terletak di antara teluk dan tanjung hingga ke tanjung dan teluk berikutnya yang disebut dengan rantau. Jadi, penduduk Melayu biasanya berdiam dalam satu hamparan rantau. Pada kawasan saujana kampung seperti itu, biasanya memenuhi syarat kampung Melayu. Kampung adalah suatu pemukiman masyarakat Melayu yang memiliki ciri-ciri tradisi dan terdiri dari rumahrumah yang mengelompok. Ada rumah yang baru dibangun dan ada juga rumah tua lebih dari seratusan tahun. Kampung memiliki fasilitas umum yang dipakai bersama-sama seperti surau atau masjid, sekolah atau madrasah, ada kepuk atau belubur, ada perkuburan, dll. Dalam sebuah kampung Melayu lazimnya terdapat seorang tetua adat seperti penghulu atau batin yang menjadi kepala kampung, ada imam mesjid, bidan atau dukun, dan tetua-tetua kampung, dll. Kampung bersama datuk-datuk adat yang ada di kampung tersebut. Di kawasan ini lahir teks-teks inisiasi kehidupan masyarakat Melayu, mulai dari melahirkan hingga kematian dan ritual dan upacara pasca kematian. Perkembangan berikutnya di kawasan kampung ini adalah kampung baru. Yakni kampung yang baru didirikan, biasanya setelah meninggalkan tempat lama atau kampung sebelumnya. Wujud pula kampung dalam, yakni sebuah kompleks pemukiman yang ada di dalam benteng kerajaan Melayu, tempat istana raja dan rumah kaum bangsawan berada. Selain istana, di dalamnya juga terdapat balai kerapatan dan masjid kerajaan. Dan untuk istilah-istilah berikutnya ada pula Kampung lama dan kampung tua. Kampung lama. Kampung yang telah lama ditinggalkan karena penduduknya telah pindah ke kampung yang baru. Kampung tua. Kampung yang telah berusia tua dan pernah menjadi kampung yang besar di masa lalu, namun sekarang mulai sepi dan ditinggalkan orang. 7.Dusun



Kawasan dusun, yakni sebuah kawasan perkampungan yang dihuni oleh penduduknya secara menetap. Jumlah penduduknya lebih kecil jika dibandingkan dengan kawasan kampung. Dusun dapat dikatakan merupakan cikal bakal dari kampung. Di kawasan ini berdiri rumah-rumah pondok dan hingga semipermanen. Dusun dilengkapi dengan tanam-tanaman palawija dan bumbu-bumbuan, seperti serai, kunyit, lengkuas, temu, lio (helia), cekur, berbagai jenis lado (cabe), sirih, bawang, pandan harum, dll. Berbagai-bagai jenis buah-buahan budaya, seperti nangka dan cempedak, berbagai-bagai jenis pisang. Pelbagai jenis limau, seperti limau nipis, limau sundai, jeruk purut, kesturi, limau kesik. Ada juga gambir, kulit manis, cengkeh, daun salam, buah pala, dan buah keras atau kemiri. Di kawasan tersebut selain rumah juga ditanam tanam-tanaman multikultur untuk keperluan sehari-hari, seperti kelapa, rambutan, nangka, dan cempedak. Ditanam juga mempelam, pauh, embacang, kuini, tayas, limos, dan mangga. Ada tanaman seperti buah-buahan seperti kemang dan binjai. Untuk tanaman yang seperti ini ditanam yang diniatkan untuk disedekahkan. Setelah menghasilkan dapat dinikmati bersama dalam satu dusun tersebut. Sehingga tidak terjadi masalah sosial kelak di kemudian hari. Penanaman kelapa bahkan bisa dengan menumpang di tanah orang lain dengan hasil yang dibagikan. Di dalam kawasan yang berhampiran dengan dusun dan kampung juga ada tanam-tanaman keras, seperti durian dengan berbagai-bagai jenisnya, durian Belanda (sirsak), rambutan, buah kuduk biawak, arampara, rambutan utan, nangka, cempedak, pelbagai jenis duku seperti duku turak dan duku beluluk, langsat, derendan, rambai, manggis, kelapa, buah bedaro (mata kucing), mempelam, kuini, embacang, limoih (limos), tayas, pauh, mangga, petai, alai, kabau, petai belando, rumbia, dan pinang. 8.Kawasan Larangan Sungai bagi masyarakat Melayu menjadi kawasan bermain dalam pelbagai aspek kehidupan. Pengelompokan kawasan di atas pun memperlihatkan, bahwa tanah dusun, kampung, sawah-ladang, hutan produksi, rimba kepungan sialang dan kawasan hutan simpanan, dengan mempertimbangkan sungai. Dan, tampaklah bagaimana sungai



2



menjadi semacam episentrum kebudayaan Melayu. Dan, adalah persoalan marwah, bagi sesiapa saja yang merusak kawasan sungai, sawah ladang, hutan rimba seperti terangkum dalam pantang larang terekspresikan dalam pantun-pantun dan syair. Kawasan saujana sebagai sesuatu yang dijaga-pulihara dengan cermat dan penuh kehatihatian. Kawasan yang sengaja dijaga-pulihara dengan ketentuan adat yang ketat, agar terhindar dari kerusakan. Dari sikap seperti ini maka lahirlah apa yang disebut dengan sungai larangan, danau atau tasik larang dan rimba larangan. Sungai larangan yakni sebuah sebutan untuk kawasan yang satu atau beberapa ruang sungai yang memiliki aturan adat yang mesti diikuti oleh masyarakat. Aturan itu antara lain tidak boleh menahan atau menagan pekarangan, dianjurkan untuk menjaga dan memelihara sungai tersebut dari gangguan hewan atau manusia lainnya. Sanksi adat dan pantang larang diberlakukan, antara lain dengan memberikan hukuman berat terhadap siapa saja yang merusak kawasan ini. Orang yang mengambil biasanya akan kena tulah, sebutan untuk penyakit perut buncit tanpa sebab dan kemudian mati tanpa pertolongan yang semestinya karena dikhawatirkan orang yang menolongnya juga akan kena tulah. Kawasan larangan, seperti di atas merupakan kebijakan lokal menjaga lingkungan danau atau tasik, sungai, dan rimba. Lubuk Larangan di Kampar Kiri, di sungai Rokan, antara lain di kampung Kubang Buayo (Rokan 4 Koto), Rokan Hilir. Menjadi tradisi dari dahulu masyarakat kenegerian Baturijal dan Cerenti sekali setahun melaksanakan merawang basamo. Mereka bersatu atau bergabung untuk merawang atau mencari ikan bersama-sama di tempat ini. Lubuk larangan yang paling banyak di Batang Kumu sungai Rokan. 9. Tanjung Sebutan tanjung selalu dipasangkan dengan teluk. Tanjung adalah suatu keadaan tanah yang menjorok atau menonjol atau wilayah kelokan tebing sungai yang berhadapan dengan teluk. Tanjung di kawasan sungai biasanya dijadikan penduduk sebagai tempat bermain dan tempat menahan pekarangan. Pekarangan adalah istilah yang digunakan untuk suatu usaha tempat memasang alat perangkap ikan, seperti lukah gedang, tajur, jantang, dll. Tebing di kawasan tanjung cenderung airnya deras dan tebingnya selalu runtuh atau abrasi. Di tanjung pula mempunyai wilayah pandangan yang sempit karena dibatasi oleh sungai. Di kawasan tanjung ini pula lahir teks-teks sastra yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat seperti teks-teks yang berhubungan dengan perikanan. 10. Teluk



Sebutan teluk dalam masyarakat Melayu adalah sebutan untuk bahagian sungai yang berbentuk menjorok ke darat. Di seberang tanjung kerap disebut dengan teluk seperti yang dikatakan pada bagian tanjung di atas. Wilayah kelokan batang atau sungai biasanya berhadapan dengan tanjung. Masyarakat Melayu lebih menyukai teluk sebagai tempat mandi selain pulau. Arus air di teluk biasanya berkunak-kunak atau berpusar dan tebingnya selalu terjadi runtuh (abrasi). 11. Padang Pada umumnya, di kampung-kampung Melayu disertai dengan padang, yakni kawasan tempat masyarakat Melayu memelihara hewan ternak seperti lembu, kerbau, dan kambing. Usaha beternak selain untuk keperluan konsumsi keluarga sendiri juga untuk dapat diperdagangkan kepada masyarakat di kampung itu, sehingga kebutuhan konsumsi protein hewani dapat terpenuhi tanpa harus diimpor dari negeri lain. Di kawasan padang ini melahirkan teks-teks yang berhubungan dengan hewan ternak dan imajinasi-imajinasi tentang beternak seperti simbol-simbol keberuntungan masyarakat terhadap hewan ternak lainnya. 12. Alur



Sungai yang biasanya mengalirkan arus air dari bencah dan sawah. Pelangai perairan dari lahan gambut dan sejenisnya. Di bagian darat, alur merupakan tempat mencari ikan rawa atau sawah dan di bagian muara mencari ikan sungai. Lazimnya ikan yang diperoleh pada kawasan ini antara lain ikan puyu, ikan singkat atau tangkerelik, kepa, pawas, dan sejenisnya paling banyak diperoleh. Alur sering berbentuk anak sungai, semacam lekuk yang memanjang pada tanah, atap, alur air, dll. Alur menjadi simbol keteraturan adat istiadat. Aturan adat, yang baik dan benar yang diikuti masyarakat. Dikenal peribahasa alur bertempuh, jalan berturut



bermakna: sesuatu yang dilakukan menurut adat atau kebiasaan yang lazim. Dari sekian banyak tempat pada saujana dalam alam Melayu di atas, memungkinkan banyak lahir tempat atau kawasan yang melahirkan ritual dan upacara-upacara yang masing-masing tempat atau kawasan itu melahirkan genre sastra. 13. Sawah Orang Melayu membedakan antara huma basah (sawah) atau berair dengan huma kering (umo ladang) karena banyak sebab penangannya juga berbeda. Sawah adalah kawasan penting berupa tanah basah yang diolah untuk dijadikan tempat menanam padi. Pengairannya dari air tadah hujan atau berasal dari tanah rawa. Sawah bagi masyarakat Melayu terbagi dalam petak-petak dengan pembatas berupa tanah yang ditinggikan yang disebut bato. Bato adalah pembatas tanah yang keras. Bato semua dari balun, yakni tumpukan jerami yang disusun membujur sesuai keinginan, yang lama kelamaan balun ini ditinggikan dan ditinggikan terus dan menjadi keras dan bisa dilalui dan diinjak menjadi keras dan menjadi tanah yang kemudian disebut dengan bato. Istilah lainnya disebut pematang. Fungsi utamanya sebagai pembatas sawah dan jalan lalu-lalang orang, juga dijadikan tempat menanam tanaman palawija. Tanaman yang ditanam antara lain seperti kacang-kacangan (kacang pancang, kacang bulu atau kacang kuning, kacang ijau, kacang belimbing, kacang tanah), jagung, terung, kenulo, peghio, dan lain-lain. Sebelum sawah ditanami padi, biasanya sawah terlebih dahulu digemburkan dengan mencangkul dan melumatkan tanahnya. Benih padi yang diambil dari kepuk disemai dulu. Baru setelah berumur dua hingga tiga minggu padi dianggua (dianggur). Dianggur sebutan memindahkan padi ke lumpur yang berada di tepi sawah. Setelah itu padi yang sudah dianggua tadi baru ditanami dengan jarak yang ditentukan, hingga berbuah. Di kawasan sawah hidup tumbuhan yang bisa dimakan, berupa tanaman air, seperti seroja yang menjadi simbol Melayu purba, pelayau atau genjer, kemangi, pampung, galinggang sayur, buah kumbuh, dll. Di daratannya sedikit ada ubi kayu, ubi jalar, daun katu, pepaya, sawi, taruk, labu, kundur, kacang, terung, terung rimbang, berbagai-bagai jenis lado, perio (peria), mentimun mencit, mentimun, betik, kemikai (sejenis semangka). Dalam kawasan ini pula sawah hidup ikan air darat atau ikan sawah-rawa, seperti ikan tuman, ruan (anak-anak, anak bocek, anak kedak, ruan), jalai, pelumpung, sianget, puyu, sepat ghatuis, sepat nasi, sepat buto, sepat siam, kepa, pateghung, ikan tangkaghelik ukuran kecil dan ikan singkat jika sudah besar, kepalo timah, pawas, belut, limbat (limbat kalang, limbat aka), berbagai-bagai jenis ciput pinang atau ciput sawah. 14. Ladang (Umo Renah) Kawasan yang berhampiran dengan sawah, atau dibuat bersendirian karena dibuat di ladang kasang. Merupakan kawasan penting lainnya setelah sawah. Sebutan untuk umo kasang atau ladang, yakni lahan tanam untuk tanaman padi atau jenis tanaman jangka pendek lainnya yang terletak di dataran tinggi atau bukit. Tanaman padi yang ditanam di ladang atau umo kasang ini adalah padi darat atau padi bukit. Dibuat dengan membuka hutan dengan menebang pohon-pohonnya, membersihkan, dan meratakan tanahnya. Penanaman padi di ladang dilakukan dengan cara bergotong royong, seperti batoboh atau pelaghien atau perharian. Ada tradisi menugal dengan menu utama cindul tugal. Masyarakat Tiga Lorong karena tanahnya yang luas tidak memerlukan pupuk, namun demikian kesuburan tanah penting, karena itu menanam padi di darat sering berpindah-ranah lokasi untuk mencari kawasan ladang yang baru. Cara seperti ini dilarang dihentikan oleh kebijakan pemerintah Indonesia pada masa orde baru melalui PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yang mendapat pendidikan yang tidak memahami tradisi pertanian Melayu. Padahal, kalaupun ladangnya berpindah-pindah, tetapi tidak boleh keluar dari kawasan yang sudah ditetapkan itu. Sesuai dengan ungkapan adatnya mengatakan: “walau berpindah, di sana juga; walau beralih tetap di situ”. 15. Danau dan Tasik Sebutan danau dan tasik dalam alam Melayu, memiliki pengertian yang berbeda. Danau memiliki ukuran yang lebih luas, sedangkan tasik lebih kecil, dan lebih besar dari lekuk. Suatu tempat dengan genangan air yang luas atau panjang, arusnya tenang, memiliki



3



kedalaman dan luas tertentu untuk dapat dikatakan sebagai danau. Danau terjadi secara alamiah. Sebuah genangan air yang luas namun tidak cukup dalam maka tidak dapat disebut sebagai danau. Danau di kawasan Tiga Lorong dan Rokan bagian hilir merupakan bentuk lingkungan danau perairan tawar yang tidak bergerak (lactic). Merupakan salah satu alternatif tempat mencari ikan selain sungai dan sawah atau rawa-rawa. Lazimnya, masyarakat yang ingin mengadakan kenduri cukup pergi menyinang aau menyuluh, menyerampang, dan menjaring ke danau. Ikan pun dapat dalam waktu tak berapa lama. Di antara banyak danau yang ada di Tiga Lorong, Rawang Landai merupakan rawang larangan yang awalnya adalah danau. Rawang ini dilarang siapa saja mengambil ikannya kecuali dengan waktu yang sudah ditentukan, yakni sekali setahun pada pun musim kemarau. Mampu menghasilkan ikan memenuhi keperluan masyarakat Tiga Lorong dan rantau Cerenti. Menurut riwayat masyarakat, danau tersebut dahulunya ada tapah besar, yang ukurannya lebih dari orang dewasa, paling besar dan sudah memakan daging carnivore. Namun rawang tersebut sekarang tak lagi berfungsi seperti dulu. Ikan yang ada punah karena sempitnya tempat kehidupan mereka. Padahal melihat dari potensinya dulu, danau ini berhubungan dengan rawa-rawa yang airnya memiliki potensi persawahan lebih dari 500 ha. Pada zaman lampau masyarakat Cerenti Rantau Kuantan dan masyarakat Baturijal Tiga Lorong, kerap kali terjadi perselisihan, perkelahian dan menurut cerita lisan bahkan terjadi peperangan, namun sikap sportifitas dan memaafkan selalu datang dari Baturijal. Hal ini terakulasi dari upacara tahunan merawang (panen ikan) ikan bersama. Masyarakat Baturijal terlebih dahulu mengambil inisiatif mengundang bersama merawang ikan. Rawang yang wujud awalnya adalah danau dari sungai yang genting ini. Rawang Landai ini hak milik masyarakat adat Baturijal. Peristiwa merawang ikan di Rawang Landai ini ditanamkan kuasa mitos, jika ada hati yang tidak bersih di antara kedua belah pihak dan terjadi perselisihan maka kedua belah pihak masyarakat tidak memperoleh ikan. Oleh karenanya, mereka saling memaafkan dengan hati yang bersih. Dari peristiwa ini wujud bagaimana arus bergerak terus dan saat masanya dia akan bergerak tenang dan kembali bergerak deras. Danau-danau bisa berubah menjadi paya, rawa, rawang, odang, calong atau lupak. Danau bisa saja ditumbuhi oleh kiambang, semak, bento, kumpai, rumbai, dll. sehingga vegetasi tersebut menutupi permukaanya. Bila demikian halnya maka disebut dengan rao (rawarawa). Danau yang telah tertutup permukannya oleh tumbuhan rawarawa kemudian tumbuh pula pohon-pohon di dalamnya, meskipun air masih tergenang sepanjang tahun di tempat tersebut maka disebut dengan rawang. Danau yang berukuran kecil menjorok ke darat, airnya mengalir ke sungai disebut lupak. Danau yang telah menjadi rawang kemudian airnya kering di musim kemarau disebut dengan odang. Danau berukuran kecil di tepi sungai disebut calong.Di tempat ini ikan bersarang orang Melayu dan menjadi tempat bersama mencari ikan dan pada saatnya menjadi ajang mencari jodoh pula. Danau sangat jarang ditemui di daerah hulu Sungai Rokan karena kontur tanahnya yang miring, meskipun demikian danau-danau tersebut berukuran kecil atau sedang. Danau yang terbentuk dalam jalur sungai mati banyak ditemukan di bagian hulu, bentuknya memanjang mengikuti jalur sungai. Sungai Rokan bagian hilir terdiri dari banyak danau-danau besar, panjang-panjang, bahkan danau-danau yang ada saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Hal itu disebabkan karena kontur tanah bagian pesisir pantai timur Sumatra adalah wilayah dataran rendah yang luas. Dalam hitungan masa yang panjang telah terjadi perubahan pada topografi permukaan tanah karena surutnya ketinggian air laut sehingga muncul tanah baru yang disebut dengan istilah tanah timbuo (tanah timbul). Di atas tanah timbul itulah terbentuk danau-danau dan sungai-sungai yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan danau dan sungai di pedalaman Sumatra. 16. Pematang Sebutan untuk permukaan tanah yang tinggi dari tanah sekelilingnya berair atau renah. Berisikan tanaman keras, kopi, durian, jambu sentil, inai, bunga rayo, puding berbagai-bagai jenis, temu lawak, temu kunci, temu pauh, kunyit putih, merica, ubi belando, ubi darah unggaih, tebu dengan berbagai-bagai seperti tebu gagak, tebu kapur, tebu telo yang bunganya bisa dimakan atau digulai. Labu air juga ditanam sebagai wadah air sebelum ember diciptakan. Kawasan



pematang dijadikan tempat pondok atau permukiman. Pematang atau Selunak menjadi salah satu wilayah Tiga Lorong. 17. Kepungan Sialang dan Hutan Simpanan Kawasan yang penting yang letaknya berhampiran dengan sawah-ladang dan hutan simpanan, ada kawasan khusus yang disebut dengan kawasan kepungan sialang. Tumbuh dan hidupnya pohonpohon “sialang”, yakni tempat lebah bersarang. Berhampiran dengan kawasan kepungan sialang, adalah kawasan perkebunan karet yang dalam beberapa dekade pernah menjadi primadona dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Tiga Lorong yang disebut dengan “Zaman Kupon”. Selain karet, di kawasan ini juga tumbuh pohon enau yang beberapa bagian batangnya dapat dijadikan beberapa peralatan dapur, sapi ijuk, sapu lidi, dan lain-lain. Tandan buahnya yang muda diolah dengan ritual dan menghasilkan air nira dan gula. Ada pula pohon kemang dan binjai yang dapat dimakan atau dijadikan asam sambal. Ada pohon jenis asam lainnya seperti asam kandis, gelugur, asam paya, buah lakum. Kawasan ini hidup buah-buahan seperti salak buah nam, pohon tampang keras (kemiri), buah berang, sukun, buah tampui, tupak, kulum tunjuk, buah aramparo, buah tungau, berenai, buah kayu kelat, kayu salam, buah keduduk, rukam, seletup, rembut jala atau seletup jala (rambutan menjalar), buah pua (sejenis lengkuas hutan), buah ribu-ribu, buah lakum, buah biduk-biduk, buah lengkanang, mengkudu, buah kasiak, rotan yang di samping batangnya dijadikan berbagai keperluan, juga buahnya menjadi makanan yang menyehatkan. Kawasan hutan atau rimba simpanan, yakni kawasan yang mengandung mitos-mitos kuasa supranatural atau mahluk ghaib. Rimba yang tidak boleh dirusak dan dibinasakan. Di sanalah tempat kehidupan berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hewan yang bisa dimakan seperti napuh, pelanduk, kancil, rusa, kijang, landak, lunjo. Pelbagai jenis unggas, seperti ayam utan, muwou, kuwau, burung penyiul, balam, punai, puyuh, ruak-ruak, burung pucung-pucung, belibis, barau-barau, burung tangkaleso dengan mitos yang beristerikan dengan ikan kahyangan, burung ular. Dalam rimba simpanan hidup kayu-kayan, seperti merpui, pelangas, kulim, sarang kumbang, merantih rambai, merantih kunyit, merantih sisik buayo, merantih bungo, merantih batu, medang perawas, medang pelahang, merbau, punti kayu, balam merah, balam gaing, tambesu, singkawang putih, singkawang merah, napal, perupuk rawang, terentang biasa, terentang manuk, kayu kelat, kayu kelat samak, kayu kelat jambu, kayu kelat putih, nyatuh, seminai, mersawa, tenam, balau, rengas, kempas, cempedak ayek, jelutung, pulai, keruwing, ramin, sungkai, daru-daru, bungo, tampui kakugho, buluhbuluh, pudu, kundo, celucus, pisang-pisang, arang-arang, sudu-sudu, benio, samak tampurung. Kawasan ini melahirkan banyak sekali teks-teks sastra dan imajinasi yang berhubungan dengannya. Ritual mengambil madu sialang misalnya, dari awal hingga menghadirkan mantra-mantra dan nyanyian dan mitos-mitos pohon sialang. 18. Tanah Tinggi Tanah tinggi kawasan yang kerap dijadikan tempat kediaman penduduk, jika berhampiran dengan sungai yang disebut dengan sungai dan selalu disebut dengan tebing tinggi. Karena strategisnya tempat ini karena dianggap aman bagi banjir orang Melayu menjadikan tempat ini sebagai tempat mendirikan fasilitas umum seperti masjid, surau atau madrasah. Kawasan ini melahirkan teks-teks upacara siklus kehidupan manusia dan ritual pengobatan, mitos-mitos. Pantun menjadi teks yang dipentingkan karena lahir di kawasan ini. 19. Kampung Terpulau Sebuah kawasan yang awalnya adalah kampung yang dikelilingi sungai, dan kemudian gentingnya dibuat terusan atau diputuskan dengan dibuat parit atau alur, maka lama kelamaan, terusan tersebut abrasi dan membesar. Kampung terpulau misalnya di Tiga Lorong bernama Pulau Baru. Dulu penduduk kenegerian Baturijal Hulu Tiga Lorong berkampung di Kampung Pulau ini. Kawasan ini melahirkan teks-teks yang berhubungan dengan syair dan senandung lagu profan anak-anak hingga remaja. 20. Pulau, Pasir Luas Pulau adalah timbunan pasir atau beting di bantaran sungai. Disebut juga dengan pasir luas. Biasanya sifat pulau ini selalu hanyut,



4



tetapi ada juga yang maju ke hulu, seperti yang terjadi di Pulau Jambu Baturijal Hulu. Terhadap pulau yang seperti itu ditanamkan mitos-mitos antara lain pulau yang bertuah, diramalkan negeri itu akan maju, dll. Karakter tumpukan atau pulau ini di kenegerian Baturijal terdiri dari dari pulau pasir dan pulau batu. Sebagai mana kebiasaan orang kenegerian Baturijal, pulau-pulau tersebut diberi nama, seperti Pulau Kecik, Pulau Baru, Pulau Jambu, dan Pulau Raman. Pulau Baru terdiri dari tumpukan pasir, sedangkan Pulau Raman lebih banyak batu. Pulau ini memberikan kehidupan bagi masyarakat kenegerian Baturijal, selain mengambil pasir atau batunya, yang tidak akan pernah habis. Pembangunan lebuh raya di Indragiri Hulu pada tahun 1970-an merupakan batu yang diperoleh dari Pulau Raman, juga batubara yang dibawa hanyut oleh arus dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Hingga tahun 1970-an di beberapa pulau justru tempat penyu (seghak dan tuntung) bertelur dan dikonsumsi oleh masyarakat. Di tepi sungai Inderagiri atau Batang Kuantan, Pulau yang secara evolusi menjadi daratan dijadikan ladang padi, jagung dan tanaman palawija lainnya.



tertumpu pada terusan yang telah menjadi sungai tersebut sedangkan aliran sungai di bagian tanjung menjadi lebih tenang, kemudian endapan lumpur dan sampah hanyut menumpuk di mulut danau, demikianlah terjadi dalam masa yang panjang sehingga dalam beberapa kasus danau itu pun bisa berubah menjadi daratan. Kebanyakan terusan-terusan di daerah hilir Sungai Rokan diberi nama seperti kebiasaan orang Melayu memberi nama untuk sebuah sungai atau menggunakan nama orang yang menggali parit terusan tersebut. Di Sungai Rokan bagian hilir, muara pertemuan aliran torusan disebut dengan istilah kualo terusan (torusan disebut dengan istilah terusan untuk dialek Melayu di Rokan Hilir), bukan muao terusan. Terusan tersebut dimiliki oleh orang yang membuatnya bila sengaja digali untuk keperluan menangkap ikan, ada juga terusan yang terjadi secara alamiah disebabkan banjir besar, kemudian air meluap di tengah-tengah tanjung sehingga terbentuklah jalur aliran air, ketika kejadian itu berulang-ulang maka berubahlah jalur aliran air tadi menjadi terusan dan menjadi sumber penghidupan masyarakat Melayu.



21. Padang Padang adalah kawasan tempat bertapak orang yang dikhaskan memelihara hewan. Namun padang perburuan adalah kawasan yang dikhaskan orang berburu untuk hewan yang dijaga dan dipelihara dari perkembangbiakannya. Ada beberapa jenis padang dalam alam Melayu, yakni padang perburuan dan padang ternak. a) Padang perburuan adalah kawasan salah satu tapak mata pencaharian orang Melayu, yang melahirkan banyak teks-teks sastra dalam alam Melayu. Terutama teks yang berhubungan dengan teks mengusir penunggu atau hantu tanah). Padang perburuan lazimnya meskipun pemaknaannya perburuan cenderung negatif, namun bagi masyarakat Melayu padang perburuan adalah sebuah kawasan yang memiliki cukup banyak kesediaan makanan berupa dedaunan dan air. Artinya, hewan yang diperoleh dari hasil perburuan seperti kancil, pelanduk, rusa, kijang, napuh, dan sejenisnya tetap diburu sesuai dengan keperluan rumah tangga di kampung tersebut dan diyakini hewan yang tersedia akan tetap berkembang. Kawasan ini berbatasan dengan hutan, rimba kepungan sialang, dan rimba larangan. Di beberapa tempat di Riau seperti di Rokan Hilir ada kawasan yang bernama Padang Pendapatan. Saat ini Padang Pendapatan merupakan nama tempat di wilayah Kecamatan Pujud. Kawasan ini terletak di pinggir Sungai Rokan. Di Padang Pendapatan ada ritual-ritual pembujukan Datuk Penjarang terhadap Putri Hijau di dalam perahu Landak Menari. b) Padang ternak. Sebuah kampung juga memiliki kawasan yang dikhususkan untuk beternak hewan, seperti kerbau, sapi atau lembu dan kambing. Orang-orang Melayu yang memiliki tanda sausa atau pusaran rambut keberuntungan memelihara hewan mereka biasanya berumah di kawasan padang ternak. Di Tiga Lorong ada nama suatu tempat yang awalnya tempat untuk memelihara hewan ternak. Jika Pulau Padang yang berlokasi di Baturijal hilir.



23. Tanjung Daratan yang menjorok ke laut atau daratan yang dikelilingi laut pada ketiga sisinya. Tanjung yang luas disebut semenanjung, misalnya Semenanjung Malaysia. Di sungai, tanjung merupakan lawan dari dari teluk dan keduanya dapat ditemukan pada suatu garis pantai yang sama; Tanjung. Tumbuhan yang kerap selalu ada di Tanjung ini adalah pohon Tanjung (Mimusops elengi) yang kerap dijadikan bahan ritual atau upacara. Pohon Tanjung memiliki bunga berbau harum, berwarna putih kekuning-kuningan. Selain itu, digunakan untuk pengantin perempuan atau campuran bunga rampai. Biasanya digunakan untuk hiasan sanggul.



22. Terusan Sebutan parit yang sengaja dibuat sehingga keberadaannya bisa saja memutus tanjung sungai. Pada mulut terusan yang berbentuk parit tersebut biasanya digunakan untuk tempat memasang pengila, lukah, dan alat penangkap ikan lainnya. Kata terusan itu sendiri bermakna bahwa air sungai diteruskan atau dialirkan melalui sebuah parit buatan dari satu sisi tebing sungai bagian mudik ke sisi tebing sungai bagian hilir tepat di sebelahnya, selalu dibuat pada sebuah tanjung. Terusan itu dapat bertambah lebar dan dalam akibat erosi air sungai yang deras, bahkan bisa sama lebar dan dalamnya dengan sungai, seperti yang terjadi di Baturijal Hulu Tiga Lorong. Terusan yang sudah lama dan sudah menjadi aliran sungai tidak lagi disebut sebagai terusan, selanjutnya terusan itu disebut sungai, cara yang demikian itu difahami oleh orang-orang di bagian hulu Sungai Rokan. Lain halnya dengan daerah hilir Sungai Rokan bahwa terusan yang telah berubah menjadi sungai tetap disebut terusan. Bagian Sungai Rokan yang terpotong oleh terusan itu tetap disebut sebagai Batang Rokan, hal ini dapat dimaklumi karena air di bagian hilir Sungai Rokan relatif tenang sehingga antara sungai dan terusan itu nyaris sama bentuk dan alirannya, sulit untuk dibedakan. Terusan yang ada di hulu Sungai Rokan lebih mudah untuk menjadi sungai dibandingkan terusan yang ada di hilir Sungai Rokan karena arus sungai di hulu lebih deras dibandingkan arus sungai di hilir relatif lebih tenang. Sungai pada tanjung biasanya akan berubah menjadi danau karena arus air



24. Rantau Suatu kawasan kedatuan yang pada awalnya berada di bawah pemerintahan para datuk sebagai pemegang teraju adat untuk mengawal dan memandu kehidupan masyarakat. Wilayah ini disebut rantau karena keberadaannya sangat jauh dari pusat kerajaan, seperti Rantau Tiga Lorong, Rantau Kuantan, dan Rantau Singingi. Di Rokan istilah Rantau digunakan untuk menyebutkan alur sungai yang panjang lurus atau sungai yang tidak berkelok dan dangkal airnya, pada bagian tepi sungai tersebut terdapat pasir yang panjang, biasanya sungai yang ada rantau-nya dianggap baik untuk dijadikan sebagai teratak, dusun atau kampung. Keadaan seperti itu juga memperkuat sebutan kumpulan puak-puak di Rantau Kuantan, Singingi, Binuang Sakti dan seterusnya. Rantau-rantau selain dari Rantau Kuantan, Rantau Singingi, Rantau Nan Kurang Oso Tigopuluah, juga disebutkan Rantau Binuang di Rokan. Istilah rantau kemudian dijadikan ukuran yang menyebutkan seruas sungai atau satu rentang alur sungai yang panjang lurus atau tidak berkelok-kelok sebagai serantau. 25. Tepian Sebutan untuk tempat mandi orang Melayu. Tepian di masyarakat kenegerian Baturijal dipisahkan antara tepian laki-laki dan tepian perempuan. Biasanya tepian perempuan diletakkan di sebelah hulu arus, sedangkan tepian laki-laki di sebelah hilir arus. Jika pihak laki-laki terpaksa melewati tepian perempuan maka pihak laki-laki harus medam-dam atau batuk-batuk, yang berarti pertanda sebagai ada lakilaki yang mau lewat. Untuk tepian yang lebih besar dan lengkap di tepi sungai, yakni tepian yang sudah memiliki tempat mandi, mencuci dan kakus (MCK), lazimnya dijadikan pula sebagai tempat orang berdagang, transaksi jual beli atau tukar barang (barter) antara penduduk. Tepian seperti itu terkadang menjadi tempat silaturahmi, yakni percakapan menanyakan kabar orang yang jauh-jauh. Dan, sebagian ada pula yang menjadi tempat dimulainya perjodohan, di Rokan disebut dengan bualbual di air. 26. Muara anak sungai Muara anak sungai merupakan suatu kawasan yang dijaga bersama karena merupakan tempat keluar masuknya ikan. Namun jika muara anak sungai itu kecil biasanya dimiliki oleh satu orang. Dan pemiliknya menagan pekarangan seperti sero, lukah, jaring dan alat tangkapan pancingan seperti jantang, dan sejenisnya. Terkadang untuk muara anak sungai yang besar bersarang pula berbagai penunggu, seperti jin dan buaya.



5



27. Rimba Larangan atau Rimba Simpanan Dalam alam Melayu Riau ada ungkapan Melayu kuno yang berdimensi hukum sebagai berikut: Ke hutan berbunga kayu Ke ladang berbunga padi Ke sungai berbunga pasir Ke laut berbunga karang Secara ringkas dapat dikatakan, Riau bukanlah wilayah kosong tanpa tuan. Apa pun yang berada di alam Melayu di Riau ada pemilik. Masyarakat Petalangan misalnya mengenal sistem pengolahan tanah secara berpindah-pindah tetapi masih dalam wilayah pebatinannya sendiri. UU Hamidy (1987) dalam bukunya Rimba Kepungan Sialang, menuliskan bagaimana hutan rimba yang menghasilkan berbagai rupa, di Petalangan sebagai contoh. Hasil yang diperoleh seperti rotan, damar, getah sondeh, jelutung dan berbagai jenis kayu seperti seminai, tembusu, meranti, kulim, medang, punak, mentangur kuras, dan sebagainya. Disebut rimba simpanan, karena hasil-hasil hutan tanah tersebut merupakan simpanan atau cadangan bagi kehidupan penduduk dan fauna di sekeliling rimba tersebut. Sebagai simpanan atau cadangan, hasilnya boleh diambil, asal menurut ketentuan adat yang berlaku: “tebas tidak merusak, tebang tidak membinasakan, rimba ditebang diganti rimba; pohon ditebang diganti pohon.” Ungkapan rangkai kata yang berbunyi "Tebas tidak merusak, tebang tidak membinasakan" mengandung ketentuan terhadap kelestarian alam lingkungan. Kalau ada beberapa kayu rimba simpanan yang akan ditebang untuk diambil hasilnya, maka tindakan itu hendaklah dalam keadaan tidak melampaui batas. Kalau rotan dan berbagai jenis akar hendak diambil, maka seyogyanya hanya ditebas rotan dan akar yang sudah tua saja, sehingga tidak merusak kepada rotan dan akar yang muda yang akan menjadi rotan dan akar yang baru, menggantikan kelak yang telah dipotong itu. Begitu pula kayu yang ditebang. Menurut adat hendaklah kayu yang berguna saja, yaitu kayu yang telah sampai umurnya. Kayu-kayu yang muda jangan sampai rusak oleh penebangan kayu tua. Sebab kayu yang muda itulah yang akan menggantkan kayu yang telah ditebang itu. Dengan demikian ada semacam ketentuan atau adat yang memberikan pembatasan dan pengendalian dalam pengambilan hasilhasil hutan. Ketentuan itu diharapkan menjadi cara membatasi hawa nafsu terhadap alam, sehingga kerusakan alam lingkungan (hutan rimba) oleh perbuatan itu masih dalam batas-batas kemampuan alam itu memperbaikinya. Karena semua hasil rimba simpanan hanya diambil sekedar yang perlu saja, serta dilakukan dengan cara yang hatihati (wajar) berdasarkan keadaan untuk keselamatan hutan itu sendiri, maka wajah alam asli relatif dapat bertahan. Itulah sebabnya dikatakan dalam ketentuan itu melalui unngkapan berikut: "Rimba ditebang diganti rimba, pohon ditebang diganti pohon". Masalah kelestarian rimba simpanan itu, bukan hanya dalam pertimbangan peranannya bagi kepentingan manusia di sekitarnya saja. Rimba simpanan itu juga dicadangkan untuk kepentingan hidup fauna, seperti berjenis hewan, ikan dan serangga berada di dalamnya. Binatang, Burung, ikan dan serangga mempunyai kaitan yang erat dengan hutan rimba. Keduanya -- rimba dan fauna -- saling membutuhkan. Sedang maknanya amat besar terhadap keseimbangan sistem lingkungan hidup. Tak dapat di bayangkan bagaimana nasib binatang, burung ikan dan serangga jika hutan rimba telah punah di tempat itu bersandar kehidupan mereka. Ekologi akan terganggu yang pada gilirannya akan mengganggu kelestarian hidup umat manusia. Masyarakat Melayu Riau mengenal sistem pengolahan tanah secara berpindah-pindah tetapi masih dalam wilayah pebatinannya sendiri. Masyarakat petalangan mengenal adanya tiga wilayah kehidupan, yaitu Pertama, rimba peladangan, Kedua, rimba simpanan, hutan rimba yang menghasilkan berbagai rupa, Ketiga. rimba kepungan sialang. Rimba larangan disebut juga dengan rimba simpanan. Seperti yang diketahui, bahwa semua kawasan dikampung sudah



dimiliki sejak nenek moyang mereka secara turun temurun. Hutan yang kemudian oleh pemerintah Indonesia disebut dengan hutan belantara yang dilindungi hukum adat sejak nenek moyang mereka. Hutan simpanan merupakan kawasan tempat hidup beraneka ragam, pohon serta hewan, yang mana pohon ini mendatangkan hasil seperti: rotan, damar, gaharu serta hewan buruan, siapa yang merusaknya dikenakan hukuman atau tulah. 28. Rawang Rawang adalah sebutan untuk kawasan yang berair. Di Tiga Lorong ada rawang yang bernama Rawang Panjang, Rawang Siampo, Rawang Raduri dan lain-lain. Nama suatu tempat atau lahan pertanian yang berada di negeri Baturijal Hulu. Rawang ini juga digunakan warga untuk mencari ikan. Dinamakan rawang panjang karena kawasan rawa ini termasuk rawa yang sangat panjang dari rawang yang lain di kenegerian Baturijal Tiga Lorong. Panjang rawa ini sekitar 1.000 meter lebih. 29. Bencah Bencah adalah kawasan sawah yang berawa-rawa yang telah dikeringkan. Bencah adakalanya adalah lekukan tadah hujan. Kawasan ini dijadikan sawah yang sangat subur. 30. Lebuh Jalan raya yang dilalui oleh berbagai macam hal, seperti mobil, sepeda motor, sepeda angin, hewan, dll. Tradisi lebuh ini dalam alam Melayu baru mulai berkembang sejak abad ke-19. Jalan raya yang melewati Baturijal dibangun pada masa penjajahan Belanda, baru pada tahun 1970-an jalan tersebut bisa digunakan sebagai mana mestinya. Pada tahun 1980-an jalan tersebut diaspal setelah Indonesia merdeka lebih dari 50 tahun. Pengaspalan jalan tersebut meskipun di satu sisi menguntungkan masyarakat setempat dari isolasi, namun di sisi lain menjadi malapetaka bagi sistem kemasyarakatan orang Melayu. Hutan ulayat seperti rimba simpanan, hutan simpanan, kebun, persawahan, perladangan, dan harmonisasi kampung dan dusun terancam. Pembukaan jalan dan pembangunan jembatan memberikan peluang kepada pemilik modal untuk menggarap tanah ulayat yang dilalui oleh jalan aspal. Persoalan ini ditambah lagi dengan regulasi kepemilikan perkebunan yang tidak berpihak kepada adat istiadat Melayu. Di sisi lain, masyarakat Melayu berlomba-lomba pindah ke lebuh raya dan meninggalkan kampung halaman. Bagi yang masih tetap bertahan di tepi sungai, sekali-sekali pindah ke lebuh raya dan membangun pondok di tepi jalan. Setiap pagi dia bangun lalu duduk di muka pondok, kemudian melihat iring-iringan mobil hilir mudik, maka kepalanya pun mengekori kendaraan itu hilir mudik. Seperti orang yang sedang meratip dengan menggeleng-gelengkan kepalanya mengikuti irama mobil. Mereka lama kelamaan tergiur pula hendak seperti pemilik mobil itu. Apa yang dilakukannya? Para pemilik modal biasanya tangan-tangan kapitalis juga menyodorkan bantuan kredit riba. Jalan lain juga disodorkan dengan menjual tanah yang ada dikiri-kanan jalan aspal. Mereka beranggapan bahwa hutan simpanan itu tidak dimiliki siapa-siapa. Bagian lain lagi lahan rimba itu “dijual” oleh bupati seperti kasus lahan PT Bintang. Masyarakat yang bertahan di kampung lama, mereka disodorkan dengan berbagai hiburan, antara lain orgen tunggal dengan penyanyi erotis dari luar. Semua masyarakat tumpek-blek menyaksikan pertunjukan itu. Tua muda, anak-anak dan dewasa. Hingga kepada pemangku adat. Selain pertunjukan yang hampir mirip striptease itu, juga dilengkapi dengan minuman keras dan seksualitas. Para remaja putri seperti mendapat dasar legalitas mereka untuk keluar bersama teman-temannya. Namun, di jalan mereka sudah mempunyai pasangan masing-masing. Mungkin saja mereka akan menonton musik tersebut sejenak, namun kemudian mereka menghilang di balik rimbunan semak-semak yang memang tersedia di kampung tersebut. Bagi yang tidak memiliki pasangan, mereka menenggak minuman keras dan sebagian lagi ada yang menyediakan narkoba. Selepas permainan itu, besok paginya mereka kembali seperti kehilangan arah, dengan beban ekonomi yang semakin memberat. Jika sebagian sudah menjual tanah rimba simpanan, namun hasilnya masih kekurangan, jalan lain masih dipikirkan lagi, yakni menjual tanah perkebunan. Dan begitu seterusnya, hingga mereka menjual tanah sawah ladang. Kasus-kasus pembangunan perkebunan di Riau terlebih dahulu lebih mirip. Mereka memperoleh HGU kemudian HGU nya



6



diawali dengan mengambil kayu. Kayu-kayannya dijual. Hasil keuntungan penjualan kayu itu dijadikan modal untuk membangun perkebunan. PT Bintang salah satu contohnya. Dalam perjanjian mereka membangun kebun plasma terlebih dahulu baru membangun kebun inti, seperti yang diatur dalam peraturan pemerintah, namun kenyataannya, mereka membangun kebun inti. Jika tuntutan dari masyarakat terjadi, biasanya pihak perusahaan menyanggahnya dengan berlindung dibalik konsensi izin yang diberikan pemerintah. Jika awalnya pihak pemerintah memberi izin 6000 hektar, namun kenyataan lahannya berkurang, maka pihak perusahaan membebankannya kepada masyarakat, mereka siap membangun kebun plasma jika lahannya sudah tersedia. Dan tidak ada satu pun perkebunan yang diukur ulang dengan saksi masyarakat adat, baik masyarakat adat di bawahnya hingga di atas, seperti Lembaga Adat Melayu Riau. Buruknya penanganan dan perhatian yang dilakukan pemerintah ditambah lagi dengan jalan lempang... Tahun 1980an “kiblat” pembangunan tidak lagi mengarah kepada sungai. Sungai yang semula menjadi kawasan permainan, kini menjadi ladang pelimbahan pelbagai industri. Pada tahun Juli 2010 ketika dilakukan ekspedisi kebudayaan Sungai Indragiri, Tim ekspedisi menemukan penambangan emas ilegal (PETI) lebih dari 1000 buah dompeng (mesin pengeruk pasir) sepanjang sungai Tiga Lorong, PETI tersebut atau Dompeng tersebut tidak hanya membor ke dasar sungai tetapi mata bor sudah diarahkan ke tebing sungai. Kini, PETI meruyak, tidak hanya di sungai Indragiri atau Batang Kuantan, tetapi sudah masuk ke paya-paya



hingga ke rawa-rawa. Akibatnya, batu yang ada di dalam tanah kini terbongkar ke atas, dengan meninggalkan lapangan batu yang tandus. Statusnya menurun dari jalan negara yang pembangunannya dibiayai oleh pemerintah pusat menjadi jalan provinsi yang dibiayai Provinsi Riau. Jalan ini semakin tidak terurus setelah pemekaran Kabupaten Indragiri Hulu, menjadi Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi. 31. Bukit



Dataran tanah yang berada di suatu kawasan. Bukit merupakan suatu bentuk wujud alam wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian lebih rendah dibandingkan gunung. Bukit yang berjejer atau membentuk suatu rangkaian di suatu daerah yang luas di sebut perbukitan. Struktur bukit terdiri dari puncak bukit, tebing puncak bukit, pinggang bukit, dan kaki bukit. Di dalam pemaknaan umum, bukit juga sering disebut gunung. Misalnya bukit yang dianggap terlalu tinggi dari bukit yang lain, atau untuk menunjukan sebuah bukit yang sangat tinggi. Banyak ungkapan menggunakan simbol bukit, misalnya pribahasa bukit jadi paya, paya jadi bukit bermakna orang kaya menjadi miskin dan sebaliknya. Pribahasa ini mengingatkan bahwa nasib manusia tidak bisa ditentukan atau tidak ada yang tahu oleh manusia; bukitlah tinggi, lurahlah dalam bermakna seseorang yang telah tua dan tidak dapat ke sana-sini lagi; bukit di balik pendakian ungkapan untuk lepas dari kesusahan dan mendapat lagi kesulitan atau kesukaran. Ada juga kampung yang menggunakan nama bukit adalah Bukitbatu.



7