Sejarah Lampung_Menyebar Semangat Sejarah Lokal: Sehimpun Tulisan dari Lampung
 9786232112674 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Menyebar Semangat



Sejarah Lokal Sehimpun Tulisan dari Lampung



Editor: Arman AZ



Menyebar Semangat



Sejarah Lokal Sehimpun Tulisan dari Lampung Kata Pengantar: Prof. Ahmad Najib Burhani, Ph.D



(Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI)



Chusnunia Chalim, Ph.D (Wakil Gubernur Lampung)



Adi Setiawan | Barnas Rasmana | Diana Lisa | Hidayatullah Rabbani | Kian Amboro | Muhammad Rendra S. Oki Hajiansyah Wahab | Pandu Pinuju Widodo Rizky Khairina | Utara Setia Nugraha | Willy Alfarius



Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung Penulis: Adi Setiawan | Barnas Rasmana | Diana Lisa | Hidayatullah Rabbani | Kian Amboro | Muhammad Rendra S. Oki Hajiansyah Wahab | Pandu Pinuju Widodo Rizky Khairina | Utara Setia Nugraha | Willy Alfarius Kata Pengantar: Prof. Ahmad Najib Burhani, Ph.D (Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI) Chusnunia Chalim, Ph.D (Wakil Gubernur Lampung) Editor : Arman AZ. Desain Cover & Layout Team Aura Creative Penerbit AURA CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI No.003/LPU/2013 xiv+ 135 hal : 14.5 x 21 cm Cetakan, Agustus 2021 ISBN: 978-623-211-267-4 Alamat Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, No 19 D Gedongmeneng Bandar Lampung HP. 081281430268 082282148711 E-mail : [email protected] Website : www.aura-publishing.com Hak Cipta dilindungi Undang-undang



KATA PENGANTAR



Prof. Ahmad Najib Burhani, Ph.D. Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)



B



uku yang berjudul Menyebar Semangat Sejarah Lokal: Sehimpun Tulisan dari Lampung ini membahas isu yang berkenaan dengan sejarah lokal, bangunan bersejarah dan wisata sejarah yang ada di Lampung. Pasca Orde Baru, penulisan sejarah di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Masyarakat tidak lagi terpaku pada sumber sejarah resmi yang dikeluarkan oleh negara dalam mempelajari sejarah bangsanya. Di era yang disebut sebagai “Era Reformasi” itu, kehidupan berjalan lebih demokratis dan hal tersebut, diantaranya, menyebabkan terjadinya eforia penulisan sejarah dalam berbagai versi. Termasuk di dalamnya adalah berbagai tulisan mengenai pelurusan sejarah, sejarah lokal, dan tafsir ulang terhadap buku-buku sejarah yang sebelumnya “dikontrol” pemerintah selama Orde Baru. (Nordholt, dkk: 2008) Berbagai tema baru juga bermunculan dalam penulisan sejarah, baik dalam konteks nasional maupun lokal. Kesadaran sejarah masyarakat pun tumbuh dengan pesat baik yang dipelopori oleh akademisi maupun peminat sejarah (non akademik). Ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Pecinta Sejarah (Historical Society), dan muncul juga penerbit MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



v



baru yang banyak menerbitkan karya sejarah termasuk penerbit yang menerbitkan karya-karya terjemahan yang dulu di zaman Orde Baru sempat dilarang. Era reformasi memberi kesempatan berbagai pihak dalam menghadirkan masa lalu dalam ruang memori dan imajinasi masyarakat luas saat ini secara bebas. Masyarakat atau publik kini dapat terlibat dalam praktek dan produksi sejarah, atau meminjam istilah Sayer (2017), mengkomunikasikan sejarah ke khalayak (publik), atau lebih jauh lagi bisa disebutkan bahwa “publik yang memegang kendali dan menjadikan sejarah menjalani satu proses – Demokrasi-“. Ini yang kemudian dikenal sebagai Sejarah Publik (Sayer: 2017). Keterlibatan dan keikutsertaan oleh-, dari- dan denganpublik dalam sejarah, menjadi bagian penting dalam praktiknya. Sehingga sejarah publik masuk dalam kajian transdisiplin, dalam arti mulai dari sejarawan (akademik), konsultan sejarah, profesional museum, sejarawan pemerintah, arsiparis, sejarawan lisan, pegiat sumber daya budaya, kurator, produser film dan media, penerjemah historis, pelestari sejarah, sejarawan lokal, bahkan aktivis masyarakat dan komunitas dapat menjadi bagian dari pelaku sejarah publik. Dengan kata lain, mengutip pemikiran Amboro (2020), sejarah publik adalah usaha melibatkan masyarakat atau publik dalam rangka merekonstruksi peristiwa masa lalu dan mengkomunikasikannya kembali kepada publik, atau sejarah dari, oleh-, dan ke- publik (Amboro: 2020). Sejarawan publik berperan membuat sejarah menarik bagi masyarakat, lebih khusus untuk generasi muda. Apapun bentuknya, apakah dalam bentuk tulisan lepas, buku, film atau multimedia. Sejarah tidak dimaknai sebagai rangkaian tahun



vi



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



dan peristiwa, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan dan bermakna untuk kehidupan zaman sekarang. (Brahmantyo: 2017) Berbagai karya sejarawan publik sekarang ini bisa dinikmati dalam berbagai bentuk dan medium. Kini sejumlah diantaranya dimanifestasikan dalam bentuk sejarah digital baik berupa blog pribadi atau blog komunitas yang banyak menyajikan sejarah yang menarik dan enak dibaca. Media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook dan YouTube sangat berperan sebagai medium publisitas karya sejarah yang menarik minat publik terutama generasi muda. (Cipasang; 2017) Buku ini memiliki keistimewaan tidak hanya karena menambah pemahaman mengenai sejarah di Lampung, tetapi juga karena mampu memberikan perspektif baru bagaimana memasyarakatkan sejarah dengan bahasa dan sajian yang lebih mudah diterima semua kalangan. Sehingga sejarah tidak dipahami semata berdasarkan angka tahun dan peristiwa masa lampau saja namun dapat dikontekskan dalam kehidupan masa kini. Masyarakat Lampung tentu mendapatkan manfaat yang besar dari membaca buku ini untuk bergotong royong membangkitkan kisah-kisah sejarahnya dan melestarikan peninggalan budayanya. Karena masyarakat yang besar dan maju adalah masyarakat yang tidak kehilangan budayanya dan menjadikan budaya itu sebagai identitas dan jati diri. Semangat kolaborasi dalam penulisan buku ini yang melibatkan banyak pihak dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, peneliti, budayawan, mahasiswa dan masyarakat membuka ruang penulisan sejarah yang deliberatif, yang memberi ruang kepada berbagai pihak untuk berkontribusi aktif dalam memahami sejarahnya sendiri. Saya sepakat bahwa sejarah harus demokratis, tidak dihegemoni MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



vii



oleh negara seperti di zaman Orde Baru. Meski, tentu saja, pemerintah tetap bisa mengeluarkan versi resmi tentang berbagai peristiwa sejarah tertentu terkait negeri ini. Selanjutnya, saya berharap semangat kolaborasi seperti ditampilkan dalam penulisan buku ini dapat terus dijaga agar pengembangan penulisan sejarah dan pelestarian cagar budaya dapat terus memberi manfaat kepada masyarakat luas.



Jakarta, 21 Juli 2021



viii



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Kata Pengantar



Wakil Gubernur Lampung



Kembangkan Terus Penulisan Sejarah Lokal arcus Tullius Cicero dalam De Oratore mengatakan Historia est testis temporum, lux veritatis, vita memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis. Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah sejarah adalah tanda zaman, cahaya kebenaran, kehidupan ingatan, guru kehidupan, utusan zaman purba. Sejarah menghubungkan generasi sekarang dengan generasi masa lampau, dan tindakan yang dilakukan dimasa kini hanya dapat dijelaskan dan dimengerti dengan menggunakan referensi masa lampaunya, dan sejarah membantu menjembatani rentangan waktu tersebut. Penulisan sejarah khususnya sejarah lokal selalu menarik untuk diperbincangkan karena batasan “lokal” yang dianggap cukup problematis karena selalu mengalami perubahan cakupan dan maknanya serta persoalan kepastian dan pemaknaan historis, penulisan sejarah lokal juga seringkali dihadapkan pada unsur kewajaran sejarah yang bersifat nonakademik. Meski demikian penulisan sejarah lokal diyakini dapat memberi kontribusi positif bagi pengembangan penulisan sejarah nasional. Buku yang hadir ditangan pembaca ini adalah karya yang ditulis oleh para penulis dari berbagai kalangan mulai dari dosen, guru, mahasiswa maupun pegiat komunitas sejarah.



M



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



ix



Meski belum mewakili semua daerah di Lampung keberagaman daerah telah mulai nampak tercermin dari representasi daerah yang ditulis seperti Metro, Tulang Bawang, Pringsewu, Bandar Lampung, Lampung Timur, Lampung Tengah dll. Seperti kita ketahui bersama sejak dulu, Lampung memiliki potensi besar dengan corak kebudayaan dan sejarahnya. Penulisan sejarah lokal memberikan kesempatan untuk mengenal lebih baik lingkungan tempat tinggalnya, dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa bangga. Sifat elastisitas sejarah lokal membuatnya mampu menghadirkan berbagai fenomena, baik yang berkaitan sejarah sosial dalam lingkup lokal, peranan pahlawan lokal dalam perjuangan lokal maupun nasional, kebudayaan lokal, perkembangan agama, asal-usul suatu etnis, dan berbagai peristiwa lainnya yang terjadi pada tingkat lokal. Pemerintah Propinsi Lampung meski dalam keadaan yang sulit akibat pandemi terus berusaha memberikab perhatian pada masalah sejarah dan kebudayaan. Khusus terkait cagar budaya misalnya Propinsi Lampung telah memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Langkah serupa juga telah diikuti oleh Kota Metro sebagai wujud komitmen terhadap perlindungan cagar budaya. Tentu kami berharap kedepannya secara perlahan semua daerah akan memberikan perhatian serupa . Sebagai Wakil Gubernur Lampung saya mengapresiasi dan menyambut baik hadirnya buku yang ditulis oleh putraputri Lampung sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan keanekaragaman sejarah maupun bangunan bersejarah yang akan memperkaya khazanah pengetahuan. Tak lupa saya sampaikan terima kasih kepada PMB LIPI yang



x



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



telah berkolaborasi dengan para penulis di Lampung untuk melahirkan buku ini. Saya berharap buku ini akan memicu lahirnya berbagai karya lainnya baik terkait sejarah lokal maupun bangunanbangunan bersejarah di Lampung. Salah seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer berpesan Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Akhirnya selamat membaca dan semoga buku ini memberikan manfaat.



Lampung, Juli 2021



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



xi



Daftar Isi



Kata Pengantar Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI................................................................................



v



Kata Pengantar Wakil Gubernur Lampung ............................



ix



Bagian 1 Menengok Dokterswoning, Bangunan Bergaya Kolonial di Metro (Kian Amboro) ............................................................................... Bagian 2 Talang Air Pajaresuk, Jejak Sejarah Kolonisasi di Pringsewu (BarnasRasmana) ......................................................................... Bagian 3 Sejarah Singkat Santa Maria Metro



1



14



(Oki Hajiansyah Wahab) ............................................................. Bagian 4 Bendungan Argo Guruh



23



(Pandu Pinuju Widodo)............................................................... Bagian 5 Masuknya Cengkeh ke Sumatera



33



(Rizky Khairina) ...........................................................................



44



xii



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 6 Misi dan Zending Kristen di Lampung Masa Kolonial 1924-1942 (Willy Alfarius).............................................................................. Bagian 7 Menggala: Bandar Niaga di Lampung Tempo Doeloe



51



(Muhammad Rendra S. Dan Hidayatullah Rabbani............. 64 Bagian 8 Arsitektur dan Penguatan Identitas Rumah Daswati (Daerah Swantara Tingkat) Kota Bandar Lampung (Diana Lisa) .................................................................................... 81 Bagian 9 Tugu Mardirahayu dan Kenangan Agresi Militer Belanda di Lampung (Utara Setia Nugraha) ................................................................. 94 Bagian 10 Potensi Museum Desa Rejoagung Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Lokal (Adi Setiawan) ............................................................................... 102 Epilog Mengembalikan Sejarah ke Publik (Hidayatullah Rabbani) ............................................................... 112 Daftar Pustaka .................................................................................. 120 Tentang Penulis................................................................................ 131



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



xiii



xiv



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 1 Menengok Dokterswoning, Bangunan Bergaya Kolonial di Metro



(Kian Amboro)



Gambar 1. Bangunan Dokterswoning tampak depan (Sumber: Dokumentasi TACB Kota Metro, 2020)



S



ebuah bangunan kokoh berwarna kuning gading, berhias batu-batu alam di bagian dindingnya, tenang, sepi di antara teduhnya pepohonan di halaman, di tengah hiruk pikuknya nafas perkotaan. Aktivitas padat di jantung kota, lalu lalang kendaraan yang sibuk setiap harinya, kontras dengan situasi dibalik pagar setinggi dua meter yang membatasi halaman bangunan itu. MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



1



Bangunan itu bernama Dokterswoning yang berada di pusat Kota Metro. Upaya perlindungannya dimulai ketika Dokterswoning dicatat dalam daftar Inventarisasi Cagar Budaya di Metro oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten pada tahun 2015 dengan nomor inventarisasi 429/CB4/LL/2015. Lokasinya strategis, dekat dengan gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah dinas para pejabat pemerintahan, sejak dahulu hingga sekarang. Warga Metro tentu familiar dengan bangunan yang terletak di Jalan Brigjen Sutiyoso Nomor 2 Kecamatan Metro Pusat, Kota Metro ini. Masyarakat mungkin lebih mengenal lokasinya berada di Jalan Ahmad Yani, tepat di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ahmad Yani, karena memang lokasi bangunan ini berada di sudut pertemuan dua jalan dan arah hadap bangunannya juga menghadap sudut tenggara. Sebagian masyarakat Kota Metro mengetahui bahwa bangunan ini bukan bangunan biasa, selain dikenal sebagai bangunan tua, Dokterswoning dikenal sebagai bangunan bersejarah. Akan tetapi jika ditanya, mungkin tak banyak masyarakat yang dapat menjelaskan bagaimana sejarah atau apa keistimewaan dari bangunan ini.



Dokterswoning sebagai bagian dari Ibukota Kolonisasi Sukadana Dokterswoning adalah frasa dalam bahasa Belanda yang berarti Rumah Dokter. Bangunan ini merupakan tempat tinggal dari dokter pemerintah yang bertugas di Metro sejak era Hindia Belanda. Keberadaan bangunan Dokterswoning ini juga menjadi penanda awal pembukaan dan perkembangan



2



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Metro sebagai sebuah kota. Berlatar dari periodesasi sejarah pelaksanaan Politik Etis di Lampung yang memasuki Fase Perluasan antara tahun 1932-1941, Metro merupakan wilayah yang dibuka dan direncanakan sejak awal sebagai ibukota dari Kolonisasi Sukadana (Pelzer, 1948). Salah satu kolonisasi berbasis pertanian lahan basah terluas di Hindia Belanda ketika itu, dengan wilayah potensinya hingga ± 70.000 bouw (baca: bau) (Sjamsu, 1960). Sebagai ruang kota, Metro ditata sedemikian rupa, lokasi-lokasi pembangunan sarana prasarana layaknya perkotaan direncanakan. Seperti rumah kontrolir (controleur), rumah asisten kontrolir (aspirant controleur), rumah dokter pemerintah (dokterswoning), rumah sakit pemerintah (gouvernements-ziekenhuis), kantor administrasi nasional (Binnenlandsch Bestuur kantoor), kantor pekerjaan umum irigasi (Waterstaats-kantoor), kawasan perumahan pegawai rendah (woningen kleine ambtenaren geprojecteerd), kawasan pemukiman Eropa (Europeesche woonwijk), bank perkreditan rakyat (Algemeene Volkscrediet Bank), sekolah (school), masjid (moskee), kantor pos pembantu (hulfpost kantoor), area untuk Missie, barak dan penjara, serta lokasi pemakaman terpisah (R.K. Missie kerkhof, Chineesch kerkhof) (De Indische Mercuur, 1939).’



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



3



Gambar 2. Dokterswoning ketika selesai proses pembangunan (kiri), foto diambil oleh Jan van der Kolk pada Maret 1940. Sumber: KITLV, Leiden nomor arsip: 53179 Gambar 3. Dokterswoning setelah beberapa tahun kemudian (kanan). Sumber: Tropen Museum, Amsterdam nomor arsip: 30000067.



Selama tahun 1939, Dokterswoning kerap kali diwartakan oleh beberapa surat kabar di Hindia Belanda, sembari mengabarkan bagaimana kemajuan-kemajuan program kolonisasi pemerintah. Dokterswoning dibangun antara bulan Mei-Juni 1939 dan selesai pada bulan Februari 1940, bersamaan dengan pembangunan rumah kontrolir (controleur), rumah pejabat kepolisian, dan rumah pejabat dinas pekerjaan umum irigasi. Pada Maret 1940, seorang fotografer yang bekerja kepada pemerintah Hindia Belanda, Jan van der Kolk, mendokumentasikan Dokterswoning ini untuk keperluan propaganda kolonisasi (Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 1939; De Indische Courant, 1939a, 1939b, 1939c; De Locomotief, 1939; Deli Courant, 1939b; Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1939). Dokterswoning dibangun sebagai tempat tinggal dokter pemerintah yang diberi tugas memberikan pelayanan kesehatan di Metro. Sampai tahun 1941, kesehatan merupakan masalah yang paling serius dihadapi oleh kolonis dan pemerintah Hindia Belanda. Sejak tahun 1936 serangan kolera,



4



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



disentri, dan malaria adalah kasus yang paling banyak menyita perhatian, dan tentu nyawa para kolonis. Meski demikian, pemerintah ketika itu melaporkan jumlah kasus dapat ditekan secara perlahan setiap tahunnya, seiring dengan membaiknya sanitasi dan perkembangan ruang pemukiman di wilayah ini (Centrale Commisie voor Migratie en Kolonisatie van Inheemschen, 1941).



Gambar 4. Kutipan harian Deli Courant yang terbit 13 April 1939, mewartakan pengangkatan dokter Soemarno sebagai dokter kolonisasi yang ditugaskan di Metro (Deli Courant, 1939a).



Mas Soemarno Hadiwinoto tercatat sebagai dokter pertama yang menempati bangunan Dokterswoning. Pengangkatannya sebagai dokter kolonisasi dimulai sejak April 1939, dan bertugas di Metro, pusat Kolonisasi Sukadana. Akan tetapi karena rumah dinas untuknya belum selesai dibangun, MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



5



maka sementara waktu ia tinggal dan menjalankan tugasnya di Gedongtataan (Deli Courant, 1939a). Dokter Soemarno bertugas dibantu dengan 13 orang mantri juru rawat, 1 orang mantri malaria, 80 orang petugas pembagi kina, 2 orang pembantu klinik, dan 1 orang bidan (Sjamsu, 1960). Dokterswoning masih menjadi kediamannya hingga memasuki era kemerdekaan, dan berkiprah bersama pejuang dan laskar rakyat di Metro dalam mempertahankan kemerdekaan di wilayah Metro pada era Revolusi Fisik.



Gambar 5. Dokterswoning tampak depan ketika disewa menjadi rumah makan (kiri), foto diambil oleh BPCB Serang tahun 2012 (Saptono et al., 2014). Gambar 6. Bagian dalam (interior) Ruang Tamu Dokterswoning (kanan), foto diambil oleh BPCB Serang tahun 2012 (Saptono et al., 2014).



Dokter selanjutnya yang menempati bangunan ini adalah dr. Patih Burhanudin dan dr. Liem, belum didapat informasi jelas mengenai dua dokter ini. Selanjutnya berdasarkan sumber lisan, dr. Yoesoef menempati Dokterswoning hingga tahun 1972. Pada tahun 1972-1977 menjadi kediaman dr. Winaya Duarsa. Mulai tahun 1977-1991 dr. Sofyan AT tinggal ditempat ini, dan tahun 1992-1996 dr. Maryanto tercatat menjadi dokter pemerintah terakhir yang menempati Dokterswoning ini sebagai tempat tinggal.



6



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Setelahnya, pengelolaan bangunan ini dibawah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan pemanfaatannya mengalami peralihan. Mulai dari disewakan, dipergunakan kantor UPT Kebersihan Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup, dan sebagai rumah makan. Setelah dilakukan pendataan oleh BPCB Banten pada tahun 2015, Dokterswoning dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro. Pada tahun 2020, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro mulai fokus untuk melakukan kajian terhadap bangunan ini. Dimulai dengan membentuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Terdapat beberapa hal menarik dari hasil kajian terhadap bangunan ini. Bangunan yang berusia 80 tahun ini dapat dikatakan masih utuh dan lengkap, tidak banyak perubahan bentuk bangunan, kecuali beberapa bagian karena faktor ketahanan usia.



Arsitektur Indis di Kota Kolonial Kota Metro termasuk ke dalam jenis kota terencana zaman kolonial, karena adanya kepentingan kolonisasi, sehingga dapat disebut sebagai kota kolonial atau koloniale stad. Pusat kota dibangun dengan dua gaya atau bergaya Indische, yaitu perpaduan antara gaya Barat dan gaya pribumi tradisional (Lubis, 2000). Antara abad ke-XIX hingga XX, Pemerintah Hindia Belanda membentuk citra kolonial pada kota-kota di Indonesia. Alun-alun sebagai ciri khas pusat kota masyarakat Jawa (konsep catur gatra tunggal), digunakan sebagai modal awal untuk membentuk citra tersebut. Alunalun dicitrakan sebagai pusat kekuasaan administrasi pemerintah kolonial. Dari aspek ekonomi, penataan spasial kota kolonial ditujukan untuk kepentingan ekonomi kolonial, MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



7



produksi dan kontrol. Perkembangan kota kemudian harus selaras dengan perkembangan arsitekturnya, dan arsitektur harus mengikuti syarat-syarat pembangunan kota yang telah direncanakan (Handinoto & Soehargo, 2003). Ketika memasuki abad ke-XIX hingga XX, arsitektur yang berkembang pesat di Hindia Belanda adalah arsitektur Indis. Ini berkembang dari munculnya kebudayaan Indis, terutama di Jawa. Arsitektur Indis merupakan arsitektur yang bersifat eklektik antara gaya Eropa Barat dengan gaya arsitektur lokal (Soekiman, 2014). Percampuran ini terjadi sebagai bentuk adaptasi bangsa Eropa terhadap iklim yang berbeda di daerah tropis yang cenderung panas dan memiliki kelembaban tinggi. Hal ini juga dapat diamati di Kota Metro, baik secara tata ruang kota maupun arsitektur bangunannya. Kota Metro dahulu memiliki alun-alun (kini Taman Merdeka) yang berfungsi penting sebagai pusat kontrol pemerintah, bahkan hingga era Pendudukan Jepang. Beberapa bangunan peninggalan era kolonial di Kota Metro juga memiliki sejumlah ciri-ciri arsitektur Indis ini, salah satunya adalah bangunan Dokterswoning. Salah satu jenis bangunan kolonial adalah bangunan rumah tinggal. Khusus untuk bangunan rumah tinggal, ada beberapa kriteria yang dibagi ke dalam 3 tipe, yaitu: pertama, bangunan tanpa halaman, berjejer padat menyerupai ruko, seperti halnya di Belanda; kedua, tipe bangunan yang mempunyai serambi depan yang luas dan bertiang gaya Eropa; ketiga, bangunan yang tidak memiliki bentuk khusus, tetapi banyak menggunakan unsur bangunan Eropa, berfungsi sebagai bangunan peristirahatan (Abrianto & Aryandini, 2000). Berdasarkan kategori tersebut, Dokterswoning termasuk



8



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



bangunan kolonial tipe ketiga, karena banyak menggunakan unsur-unsur bangunan Eropa yang dipadukan dengan unsur lokal, dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau peristirahatan. Bangunan Dokterswoning berdiri di atas lahan seluas ± 10.743 m² ini memiliki luas bangunan ± 670 m². Bangunan utamanya memiliki denah persegi panjang, jika secara keseluruhan beserta bangunan tambahan akan membentuk denah L dengan arah hadap ke tenggara, dan berada pada koordinat 5°6’57” LS dan 105°18’32” BT. Bangunan memiliki konstruksi kerangka kayu pada bagian atap, plafon, kusen pintu dan jendela, dengan panel-panel kaca pada bagian daun pintu dan jendelanya. Dinding bangunan Dokterswoning terbuat dari material batu bata merah dan diplester. Ketebalan dinding ± 15 cm dan merupakan pasangan setengah bata. Konstruksi dinding bangunan dengan batu bata dan semen, merupakan pengaruh teknologi Eropa, terutama pada teknik pemasangan batanya, dan semen umumnya digunakan sebagai perekat pasangan batu bata tersebut (Sumintardja, 1981). Konstruksi dinding yang tebal berfungsi untuk mengantisipasi panas matahari, sehingga ruangan menjadi dingin. Selain itu unsur-unsur lokal terlihat jelas di Dokterswoning pada penggunaan jendela dengan ukuran besar dan berjumlah banyak, serta memiliki lubang ventilasi untuk fungsi penerangan tambahan dan sirkulasi udara. Seperti diketahui di wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia, paparan sinar matahari dan tingkat kelembaban sangat tinggi.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



9



Gambar 7. Bangunan Dokterswoning jika dilihat dari sisi Jalan Brigjend Sutiyoso (Sumber: Dokumentasi TACB Kota Metro, 2020) Gambar 8. Bangunan Dokterswoning jika dilihat dari sisi Jalan Ahmad Yani (Sumber: Dokumentasi TACB Kota Metro, 2020)



Ciri khas lain bangunan kolonial Indis yang ada pada Dokterswoning dapat dijumpai pada bagian-bagian tertentu, seperti fasad yang simetris, penggunaan lantai berbahan tegel dengan pola hias abstrak membentuk bingkai persegi pada bagian tepi, adanya gewel (gevel) pada fasad yang berbentuk segitiga (pediment), dan ornamen batu-batu andesit pada dinding bagian luar. Bangunan Dokterswoning memiliki serambi di bagian depan yang beratap, disangga dengan kolom (tiang) kayu di atas balustrade (pagar) dengan ornamen batu andesit. Ketinggian balustrade 80 cm dan ketebalan 31,5 pada bagian sisi kanan-kiri aksesnya. Ornamen batu-batu alam yang berbahan batu andesit ini menjadi kekhasan bangunanbangunan bergaya Indis, memberikan kesan gigantis dan kokoh. Kesan yang sengaja ditunjukkan bahwa pemilik atau penghuninya memiliki status khusus dalam pemerintahan dan jabatan. Pada bagian atap, berdasarkan dokumen arsip foto yang menggambarkan kondisi ketika bangunan ini didirikan, tampak bagian atap telah mengalami deformasi secara total. Pada



10



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



tahun 1940, bagian atap dokterswoning memiliki dua geble dan pediment dan pada bagian ujung atap memiliki hiasan kemuncak depan dan belakang (geveltoppen). Kini bagian atap Dokterswoning berbentuk perisai atau limasan, dengan material penutup adalah genteng. Bagian listplank polos tanpa adanya pola hias. Saat ini warna bagian atap gelap kehitaman dan tidak memiliki hiasan atap (nok acroterie) dan tanpa hiasan kemuncak lagi (geveltoppen). Dokterswoning merupakan bangunan peninggalan sejarah yang melekat didalamnya sebagian memori kolektif tentang Kolonisasi Sukadana. Keberadaan peninggalan sejarah ini dapat menjadi monumen, penanda, pengingat, bukti terjadinya peristiwa pada masa lampau (Boret & Shibayama, 2018; Brown, 2013; Duncan, 2009). Tidak hanya memiliki nilai arsitektural saja, bangunan-bangunan bersejarah juga merupakan benda dimana memori kolektif dapat melekat dan tersimpan. Tidak hanya pada benda, bentang wilayah dan bentang kawasan juga dapat menyimpan memori kolektif (Kyvig & Marty, 2010; Sumalyo, 1995). Metro sebagai sebuah bentang wilayah dan kawasan, tentu juga menyimpan memori kolektif warganya. Setelah melalui tahapan panjang, sejak proses pendataan, pengkajian, penyusunan rekomendasi, kini Dokterswoning telah ditetapkan statusnya menjadi Bangunan Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Metro Nomor 408/KPTS/D-01/2021 tanggal 02 Juni 2021. Hal ini merupakan hasil dari kerja panjang dan kerja bersama antara warga Kota Metro, bersama dengan pemerintah daerahnya. Penetapan status ini memberi gambaran cerah masa depan bangunan Dokterswoning. Ia seperti bersiap untuk bangun dari MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



11



kesepian dan tidur panjangnya, seperti menyambut identitas baru yang akan dilekatkan kepadanya sebagai bangunan bersejarah, tidak lagi dianggap sekedar bangunan tua dan lusuh. Bersiap berbangga karena akan dianggap sebagai landmark dan bagian identitas sejarah wilayah, tidak lagi dianggap sebagai beban sejarah dan musuh modernisasi kotanya. Ia seperti bersemangat untuk kembali dirawat dan dikunjungi banyak orang, seperti awal ketika ia dibangun dahulu. Bersiap menyampaikan pesan-pesan dari masa silam dan berbagi pengalamannya sebagai saksi bisu perkembangan Kota Metro.



Penutup Bangunan Dokterswoning mulai didirikan pada medio 1939 dan selesai pada permulaan tahun 1940. Ditinjau dari aspek sejarah, latar belakang dibangunnya Dokterswoning dapat menjadi petunjuk tentang situasi yang terjadi di Metro pada waktu itu. Sejak awal mula dibangun, Dokterswoning diperuntukkan sebagai bangunan rumah tinggal bagi dokter pemerintah yang ditugaskan untuk memberi pelayanan kesehatan di Metro ketika era kolonial, dengan penghuni pertamanya adalah dr. Soemarno Hadiwinoto. Apabila ditinjau dari gaya arsitekturnya, Dokterswoning memiliki gaya arsitektur campuran, yaitu gaya Indis (Indische Style) atau gaya Hindia Baru, yang merupakan perpaduan gaya Eropa (klasik dan neoklasik) dan gaya arsitektur lokal. Gaya Indis merupakan bentuk baru yang lahir dari proses adaptasi dengan iklim dan budaya tropis di Indonesia. Sejumlah ciri-ciri gaya arsitektur Indis yang dapat diamati



12



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



pada bangunan Dokterswoning dapat dilihat dari bentuk fasad, elemen bukaan berupa pintu dan jendela, konstruksi atap dan konstruksi dinding bangunan, penggunaan tegel pada bagian lantai, dan ornamen batu alam yang mengelilingi seluruh bagian setengah dinding luar bangunan. Sehingga apabila ditinjau dari ciri-ciri yang tampak dan periodesasi waktu pembangunannya, maka bangunan Dokterswoning dapat dikategorikan tinggalan sejarah dan tinggalan arkeologis pada akhir periode kolonial. Sehingga, dapat dikatakan bahwa bangunan Dokterswoning sebagai Bangunan Cagar Budaya perlu mendapatkan perhatian khusus agar terjaga keaslian dan kelestariannya.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



13



Bagian 2 Talang Air Pajaresuk, Jejak Sejarah Kolonisasi di Pringsewu



(Barnas Rasmana)



P



rogram kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda di beberapa daerah di Lampung banyak menyisakan bangunan-bangunan yang hingga kini masih difungsikan dengan baik, disamping tidak sedikit yang kondisinya tidak terawat bahkan harus dihancurkan sebab desakan pembangunan.



Wilayah pertama yang dijadikan pusat kolonisasi di Lampung adalah Desa Bagelen, Gedong Tataan, dan dari awal pelaksanaannya pada tahun 1905 hingga 1942 terus mengalami perkembangan sehingga diperkirakan telah menjangkau seluruh kawasan yang ada di Lampung, termasuk di Pringsewu. Pringsewu sebagaimana tertuang dalam UndangUndang nomor 48 Tahun 2008 merupakan suatu daerah di Provinsi Lampung yang pada 03 April 2009 diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menjadi daerah otonom bernama Kabupaten Pringsewu, sehingga tepat pada tanggal tersebut oleh pemerintah dan masyarakat dijadikan sebagai momen hari jadi Kabupaten Pringsewu yang kerap diperingati setiap tahunnya.



14



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Setelah menjadi daerah otonom, Kabupaten Pringsewu saat ini memiliki luas wilayah 625 km2, dengan 9 kecamatan serta memiliki 5 kelurahan dan 126 desa. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pringsewu dalam “Kabupaten Pringsewu dalam Angka Tahun 2021” memuat 9 kecamatan tersebut yaitu Pardasuka, Ambarawa, Pagelaran, Pagelaran Utara, Pringsewu, Gadingrejo, Sukoharjo, Banyumas dan Adiluwih. Kondisi masyarakat Kabupaten Pringsewu umumnya didominasi oleh masyarakat suku Jawa. Hal ini bisa dipahami karena sekira 96 tahun yang lalu, Pringsewu merupakan daerah perluasan kolonisasi masyarakat Jawa di Lampung. Sebagaimana diketahui bahwa program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda adalah aplikasi dari kebijakan politik etis yang terdiri dari Edukasi, Irigasi dan Emigrasi, dengan masing-masing memiliki arti, Edukasi: memperluas pendidikan bagi masyarakat bumiputera di Hindia Belanda, Irigasi: membangun bendungan dan jaringan irigasi untuk kepentingan pertanian, dan Emigrasi merupakan pemindahan penduduk, yang pertama kali dilakukan pada 1905 dengan memindahkan penduduk Jawa ke Lampung, tepatnya di Desa Bagelen, Gedong Tataan yang kini berada di Kabupaten Pesawaran. Kuswono, dkk, dalam bukunya Metro Tempo Dulu: Sejarah Metro Era Kolonisasi 1935-1942 memuat informasi pelaksanaan program kolonisasi di Lampung, sebagaimana berikut ini: “Perpindahan penduduk dari Jawa terutama Jawa Tengah ke daerah Lampung dimulai dari tahun 1905. Sejumlah petani dari Bagelen, Jawa Tengah dipindahkan ke daerah kolonisasi Gedong Tataan, berjarak 27 kilometer sebelah barat Teluk MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



15



Betung. Desa pertama yang didirikan diberi nama desa asal yakni Bagelen. Namun demikian masyarakat asli Lampung di sekitar desa itu masih menyebut orang Jawa.” Duapuluh tahun kemudian giliran Pringsewu yang menjadi wilayah kolonisasi baru. Sekaligus menggambarkan ketika itu program kolonisasi terus berkembang, karena dibarengi dengan adanya propaganda yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menarik minat penduduk Jawa mengikuti program kolonisasi. Selain itu, akibat adanya kepadatan penduduk di kolonisasi Gedong Tataan, mendorong pemerintah untuk memperluas daerah permukiman sekaligus lahan pertanian baru di Pringsewu. “Pada tahun 1925, lahir sebuah wilayah kolonisasi baru dari perkembangan wilayah Gedong Tataan yang terus menerima kedatangan kolonis Jawa. Sekitar 4-5 kilometer menuju utara dari wilayah Margakaya dibukalah wilayah koloni baru yang kemudian dikenal Pringsewu”. (Akhmad Nakhrowi, 2020) Karsiwan dalam Pembangunan Irigasi Way Tebu Sebagai Kebijakan Etis Pemerintah Kolonial Belanda Di Pringsewu Tahun 1927 juga menyebutkan hal senada bahwa Pringsewu merupakan sebuah daerah di Karesidenan Lampung yang terletak di sebelah barat kolonisasi Gedong Tataan dan merupakan daerah perluasan dari kolonisasi ini. Daerah ini mulai didiami pada tahun 1925 akibat dari semakin besar dan padatnya penduduk di desa Bagelen, sehingga generasi ke dua bahkan ke tiga harus mencari lokasi pemukiman baru. Sebagaimana pembahasan di muka, program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda di beberapa daerah di



16



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Lampung banyak menyisakan bangunan yang dahulunya difungsikan sebagai fasilitas kesehatan, pendidikan, keagamaan, perekonomian hingga yang berfungsi sebagai fasilitas penunjang pertanian. Seperti halnya di Kabupaten Pringsewu, beberapa bangunan yang dahulu dibangun pada masa kolonisasi masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Satu dari beberapa bangunan Belanda yang ada di Pringsewu tersebut oleh masyarakat sekitar dikanal dengan sebutan Talang Air. Talang Air yang berada di desa Pajaresuk, Pringsewu pertama kali dibangun pada tahun 1928 ketika program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Fungsi dari talang air ini adalah menghubungkan aliran air dari irigasi Way Tebu ke lokasi lahan pertanian yang ada di wilayah Pringsewu. Disamping sebagai aliran air, pada perkembangannya saat ini, talang air tersebut dimanfaatkan sebagai jembatan untuk pejalan kaki ataupun kendaraan roda dua, lebih dari itu oleh komunitas atau Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Pajaresuk, Talang Air ini dimanfaatkan sebagai objek wisata sejarah.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



17



Gambar salah satu bangunan Talang Air yang terletak di desa Pajaresuk Pringsewu.



“Talang Air yang saat ini kami namai Talang Indah ini memiliki nilai edukasi sejarah karena Talang ini dibuat pada era kolonial Belanda yaitu dibuatnya pada tahun 1928 dan sampai saat ini berfungsi sebagai jembatan lalulintas warga dan bagian dari jaringan irigasi untuk mengairi sawah-sawah yang ada di Kabupaten Pringsewu.” (Suratmin Ketua Pokdarwis Talang Air Pringsewu). Bangunan Talang Air peninggalan masa kolonial Hindia Belanda yang masih dapat kita jumpai saat ini bukan hanya terdapat di Desa Fajaresuk. Talang air tersebar di beberapa desa, sambung menyambung menembus lokasi perbukitan hingga terhubung ke sumber air dari sistem irigasi Way Tebu yakni Way Tebu III di desa Gumuk Mas, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu. “Totalnya 5 Talang. Talang Pertama di Desa Ganjaran, Talang Dua di Desa Bumi Ayu, Talang Tiga di



18



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Desa Pajaresok, Talang Empat dan lima di Desa Bumi Arum,” ungkap Suratmin Ketua Pokdarwis Talang Air Pringsewu. Menurut Rudi Rianto (juru kunci Bendungan Gubuk Mas Way Tebu III), bendungan Way Tebu III memasok air ke saluran irigasi teknis yang mengairi ribuan hektar sawah di Kecamatan Pagelaran dan Pringsewu, termasuk ke wilayah Desa Podorejo, Bumiarum, Bumi Ayu, Pajaresuk dan Sidoarjo. Untuk menghubungkan saluran irigasi yang melintasi perbukitan, dibangunlah talang yang menyerupai jembatan (talang air) oleh pemerintah kolonial Belanda yang berjumlah lima 5 buah talang dan tersebar di beberapa lokasi dan diberi nama sesuai dengan tempat talang air berada seperti talang Ganjaran di Kecamatan Ganjaran, talang Pajaresuk di daerah Pajaresuk, talang Bumiarum di Desa Bumiarum dan juga talang Bumi Ayu di Desa Bumi Ayu. Talang Air yang dibangun era kolonisasi Belanda ini posisinya membentang dari bukit satu ke bukit lainnya, melintasi lembah atau rawa dengan ketinggian sekitar 25 meter dengan panjang bervariasi mulai dari 50 hingga 200 meter. Talang Air yang diperkirakan usianya sudah mencapai 93 tahun itu terbuat dari besi (pelat baja) dan berbentuk silinder dengan ditopang oleh tiang-tiang pancang yang menempel ke pondasi cor batu belah sepanjang bentangannya. Keberadaan Talang Air yang tersebar di kolonisasi Pringsewu sangat berpengaruh terhadap produktifitas lahan persawahan yang menjadi garapan utama para kolonis. Terutama bila dilihat secara geografis, di wilayah kolonisasi Pringsewu kondisinya banyak terdapat perbukitan sehingga menimbulkan lokasi-lokasi cekungan, lembah atau rawa yang bila tidak dibangun talang maka lokasi persawahan yang MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



19



berada sisi lain dari perbukitan tersebut sulit mendapat suplai air yang mencukupi. Berkat adanya rangkaian talang ini maka ribuan lahan persawahan yang menjadi garapan para kolonis Jawa mendapat suplai air yang mencukupi dan tentunya berdampak kepada meningkatnya hasil panen padi. Keberhasilan pembangunan irigasi Way Tebu berdampak pada produksi padi di Lampung tahun 1936. Tahun 1936 untuk pertama kalinya beras dari kolonisasi Lampung dikirimkan ke pasar-pasar di Jakarta melalui Pelabuhan Panjang dengan jumlah pengiriman mencapai 2,5 ton beras. Bahkan hingga saat ini jaringan irigasi Way Tebu tetap mampu menjadi penopang utama pertanian di daerah Pringsewu sebagai salah satu daerah penghasil beras di Lampung. (Karsiwan:2013). Perlu dicatat bahwa keberadaan talang air di wilayah kolonisasi Pringsewu tidak bisa dipisahkan dari jaringan irigasi Way Tebu III sebagai jalur utama aliran air irigasi yang melintasi daerah kabupaten Pringsewu, karena sebagaimana keberadaannya, talang air berfungsi sebagai jembatan penghubung aliran air yang akan dikirimkan dari jaringan irigasi Way Tebu ke lahan persawahan yang terhalang oleh perbukitan. Amral Sjamsu, dalam bukunya Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955, menjelaskan hal senada, sebagaimana dikutip berikut: “Khususnya Irigasi Way Tebu III yang melintasi Pringsewu, proses pembangunannya diserahkan kepada pemerintahan desa, di bawah pimpinan kepala desa, kolonis-kolonis yang akan memanfaatkan air untuk mengairi areal persawahan mereka berhasil membangun saluran irigasi primer sepanjang 4.453 meter dengan



20



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



lebar kurang lebih 3,5 meter belum termasuk saluran irigasi sekunder sepanjang 150 km yang melintasi di beberapa daerah perbukitan seperti Bumiarum, Bumi Ayu, Ganjaran dan Pajaresuk yang terhubung melalui jembatan talang air.”



Kesimpulan Bangunan bersejarah tentunya memiliki arti penting sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu dikelola dan dilestarikan dengan baik oleh pemerintah melalui dinas terkait maupun oleh masyarakat secara umum. Kemudian dengan pengelolaan dan pelestarian yang tepat, tidak menutup kemungkinan keberadaan bangunan peninggalan sejarah dapat memberikan nilai ekonomis atau pendapatan terhadap masyarakat sekitar. Lebih jauh dari keberadaan bangunan bersejarah yang bisa kita jumpai saat ini di Kabupaten Pringsewu sedikitnya bisa dipetik pengetahuan, pendidikan ataupun pelajaran. Dari bangunan Talang Air ini kita menjadi tahu bahwa Kabupaten Pringsewu pernah menjadi target perluasan daerah kolonisasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1925. Kemudian untuk menunjang kehidupan masyarakat kolonis yang bertumpu kepada pertanian dibutuhkan sistem pengairan seperti halnya Talang Air dan Irigasi Way Tebu. Dari sisi pendidikan, bukti adanya bangunan bersejarah tentunya bisa menceritakan kehidupan era kolonisasi di Kabupaten Pringsewu. Barangkali, Pringsewu bisa seperti sekarang ini karena berkat kerja keras para pendahulu MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



21



kita. Puluhan hektar sawah, lahan pertanian dan puluhan kilometer panjang saluran irigasi sebagai penyuplai air ke lahan pertanian menjadi bukti kesatuan kisah perjuangan para kolonisasi atau transmigran Jawa yang ditempatkan di Pringsewu. Atau paling tidak dari peninggalan sejarah, kisah sejarah ini, kita bisa belajar bersyukur dan bersikap bahwa sisa-sisa warisan para pendahulu kita ini patut untuk dijaga, dirawat dan dilestarikan. Hal itu sesuai dengan amanat undang-undang (UURI No. 11 Tahun 2010), tentang cagar budaya yang berbunyi Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.



22



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 3 Sejarah Singkat Santa Maria Metro



(Oki Hajiansyah Wahab)



(RS Santa Maria, Foto Dokumen BPCB Banten 2012)



P



ada tahun 1905 terjadi perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung, Sumatera Selatan. Keadaan di daerah yang subur ini masih banyak rawa dan air tergenang. Penyakit malaria, TBC, desentri, dan borok merajalela. Meski para penduduknya telah bekerja keras membuka hutan namun kebutuhan sehari-hari saat itu belum tercukupi.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



23



Sebagaimana dikisahkan dalam website fsgm (http://fsgm-indonesia.org/2017/06/26/80-tahun-parokimetro-lampung/Dalam sejarah misi Katolik di Lampung, Pastor Strater SJ dan Pastor Van Oort SCJ menjadikan Pringsewu sebagai pusat misi pertama. Saat itu Uskup Palembang Mgr Dr Meckelholt SCJ mengirim empat suster misionaris ke Indonesia: Sr. M. Odulpha Schwalenberg, Sr. M. Solanis Meyer, Sr. M. Arnolde Wouters, dan Sr. M. Engelmunda Van Orten. Dari Denekamp, Nederland, selama tiga minggu para misionaris muda ini berlayar dengan kapal Indrapura melalui Pelabhuan Mersaille (Perancis) ke Batavia. Setiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, mereka disambut suster-suster Ursulin dan menginap di Susteran Jalan Pos 2 Jakarta. Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Lampung. Di Pelabuhan Panjang, Sumatera, mereka disambut suster-suster Hati Kudus, P. Van Oort SCJ, P. A. Hermelink Gentiaras SCJ, dan P. Kuipers SCJ. Selanjutnya pada 4 Juni 1932 mereka tiba di Pringsewu. Setelah tiba di Pringsewu Sr. M. Arnolde membuka klinik di kamar tamu. Hari demi hari orang yang berobat bertambah banyak. Umumnya penderita malaria. Setelah menolong pasien di klinik, Sr. M. Arnolde bersepeda ke desa-desa. Ia membuka pengobatan di rumah-rumah kepala kampung. Para suster juga mempedulikan bidang pendidikan. Seiring waktu para suster mulai terjangkit malaria. Tak lama kemudian kongregasi mengirim tiga suster, Sr. M. Cortilia Welendorf, Sr. M. Edelgardis Hannink, dan Sr. M. Adelia Grase. Mereka didatangkan dari Jawa Tengah untuk bertugas mengajar, merawat, mengunjungi rumah-rumah penduduk saat itu.



24



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Perlahan pelayanan terus meluas ke berbagai daerah tak hanya di Pringsewu. Sumber referensi lain mencatat pada tahun 1935 Rookmaker yang saat itu menjabat sebagai Residen Lampung menetapkan sebuah pemukiman baru untuk para transmigran dari pulau Jawa. Daerah itu diberi nama Metropolis yang artinya Kota Tengah sebab letaknya berada di tengah-tengah Karesidenan Lampung. Rookmaker juga menugaskan seorang dokter pemerintah bernama dr.Ehlnhardt yang diketahui sebagai seorang insprktur yang sedang meninjau pelaksanaan program kolonisasi untuk membantu para kolonis yang sakit (Kusworo (2020 : 118). FSGM Indonesia dalam artikelnya 80 Tahun Paroki Metro Lampung menjelaskan bahwa kehadiran paroki di Metro diawali dengan para transmigran dari Jawa yang tinggal di Bedeng 15 dan 21. Pada tahun 1936 terhitung telah ada 150 orang warga Jemaah Katholik di Metro dengan Pastor M. Gerardus Nielen SCJ sebagai gembalanya. Kebanyakan dari mereka sudah menganut katolik dari tanah Jawa. Masuk dan berkembangnya agama Katolik di Paroki Metro juga tidak terlepas dari terbentuknya Prefektur Apostolik Sumatera tahun 1911-1923. Prefektur Apostolik sendiri adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan. Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang Prefek Apostolik, yang biasanya adalah seorang Pastor dan bukan Uskup. Selanjutnya pada tahun 1932 pembukaan kolonisasi di Gedung Dalam daerah Sukadana yang kemudian pada tahun 1935 menjelma menjadi kolonisasi Metro. Daerah-daerah lain MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



25



yang dibuka untuk kolonisasi misalnya Trimulyo pada tahun 1935. Metro kota pada tahun 1936, perluasan Gedung Dalam pada tahun 1937/1938, Batanghari pada 1941, menyusul Punggur, Probolinggo pada tahun 1943. Pastor Neilen yang ditugaskan di Metro saat itu mencari tanah untuk bangunan misi Katholik. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga sedang membuka Bedeng 15 untuk dijadikan pusat pemerintahan Lampung bagian tengah. Meskipun pejabat kontrolir tetap berada di Sukadana tetapi di Bedeng 15 atau Kota Metro juga telah ditempatkan seorang wedana dan aspiran kontrolir. Pemerintah saat itu pun juga memberi perhatian terhadap Gereja Katolik di Metro. Pemerintah saat itu memberikan tanah sebelah selatan Jalan AH. Nasution dengan hak guna bangunan selama 20 tahun. Di gedung sederhana tersebut umat merayakan misa kudus pada Hari Minggu dan hari-hari besar kegamaan lainnya (Veronika, 2003 : 17)



Foto acara perpisahan Pastor Neilen di Metro pada 18 Mei 1937. Sumber : tropenmuseum (NMvW) Amsterdam Belanda Nomor Arsip : 30041191



26



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Rumah Sakit Bersalin Santa Maria berdiri sejak 1938 yang pada awalnya adalah bangunan klinik kesehatan yakni Roomsch Katholieke Missie. Santa Maria terletak di tengah-tengah Kota Metro, di sebelah Gereja Hati Kudus dan tepat di seberang pojok kanan Taman Merdeka, adalah rumah sakit tertua yang didirikan dengan nama St. Elisabeth atas prakarsa sustersuster Fransiskan di bawah penanganan Pastor M. Neilen, SCJ, sekaligus sebagai imam gereja pertama yang tinggal di Kota Metro, setelah dibukanya stasi misi kedua di luar Tanjungkarang, pada tanggal 1 Februari 1937, Metro sendiri menjadi stasi misi kedua yang dibuka di luar Tanjungkarang, (Rahmatul Ummah : 2018). . Pada zaman Belanda belum ada rumah sakit yang lain, rumah sakit Santa Maria inilah yang menangani rakyat yang sakit, baik malaria atau jenis penyakit lainnya. Meski berdinding geribik saat dibuka, rumah sakit inilah yang melayani berbagai penyakit para transmigran saat itu seperti malaria, TBC, disentri, dan borok merajalela. Romo Neilen meminta bantuan tiga suster asal Belanda dari Pringsewu untuk melakukan pelayanan kesehatan. Maraknya penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan membuat pada tahun 1939 kembali didatangkan tiga suster dari Jerman untuk membantu pelayanan kesehatan,(Gereja Katolik Metro : 2017)



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



27



Foto Bruder dan Suster katolik Eropa di Rumah Sakit Metro Distrik Lampung Sekitar Maret 1940. Sumber : KITLV Leiden Belanda



Pada tanggal 20 Februari 1942 Jepang menguasai Lampung. Pada bulan April 1942 semua imam dan suster ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, Rumah Sakit Katolik di Metro diambil alih oleh Jepang dan gereja digunakan sebagai barak-barak. Kesulitan yang dihadapi P. Nielen adalah masa pendudukan Jepang. Imam dan para suster ditangkap dan dipenjarakan di Tanjungkarang, bahkan dipindahkan ke Muntok, Bangka dan ke Belalau, Sumatera Selatan. Sebagaimana dipaparkan Rahmatul Ummah, KH. Arief Mahya dalam tulisannya, Mengenal Seluk Beluk Metro Tempoe Doeloe di HU. Lampung Post, 11 Juni 2014 menjelaskan bahwa sejak dibuka hingga tahun 1952 di Metro hanya ada 1 rumah sakit, yaitu rumah sakit bersalin kepunyaan Misi Katholik, bagian depannya dipakai Dinas Kesehatan Pemerintah sebagai balai pengobatan dengan dr. Soemarno pimpinannya, dibantu



28



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



R. Sosrosowdarmo, Sarindo Hasibuan, dan lain-lain mantri kesehatannya. Dalam perkembangannya sejak berdiri bangunan Rumah Sakit Umum (RSU) Ahmad Yani, pada tahun 1967 sejak itulah kemudian Santa Maria secara khusus melayani pasien bersalin untuk ibu dan anak. Pada tahun 1958 para suster mengajukan permohonan izin untuk Rumah Sakit Bersalin yang izinnya kemudian terbit pada 14 September 1960. Sejak berdirinya Rumah Sakit Umum (RSU) Ahmad Yani, yang dulunya bernama Balai Kesehatan milik pemerintah, sejak itulah kemudian Santa Maria mengkhususkan diri melayani pasien bersalin (ibu dan anak). Selanjutnya pada tahun 2013 pemerintah menerapkan aturan bahwa seluruh rumah sakit bersalin harus berganti nama menjadi klinik. Sejak 26 Juli 2013 Rumah Bersalin Santa Maria resmi berganti nama menjadi klinik Bersalin dan Rawat Inap Utama Santa Maria Metro. Perjalanan panjang Santa Maria sebagai cikal bakal pelayanan kesehatan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda di Metro hari ini. Terlebih sejak pendiriannya hingga saat ini Santa Maria selain terus menjaga pelestarian bangunan bersejarah juga telah mengedepankan nilai-nilai pelayanan kemanusiaan dibandingkan keuntungan dan melayani masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Hingga saat ini ribuan atau bahkan puluhan ribu anak telah dilahirkan di Rumah Sakit tertua di Kota Metro. Sebagai rumah sakit tertua yang telah berperan besar di masa lalu RB. Santa Maria yang menyimpan banyak sejarah dalam perjalanan Kota Metro. Sejak awal berdiri Santa Maria telah menyadari bahwa masalah kesehatan dinilai sangat penting bagi kemajuan kota dan perkembangan sumber daya manusia yang ada saat itu. Selain usia yang telah melampaui MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



29



lebih dari 50 tahun, kandungan nilai sejarah didalamnya juga hingga saat ini bangunannya tetap dipertahankan dan mewakili masa gaya bangunan era kolonial/indis. Pengaruh arsitektur kolonial dalam bangunan Santa Maria, seperti dijelaskan oleh Sumalyo (1993) menggambarkan perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan lingkungan Hindia Belanda yang berbeda dengan Eropa dimana mereka melakukan adaptasi dan akulturasi dengan arsitektur lokal untuk menciptakan arsitektur yang lebih sesuai untuk mereka tinggali di Hindia Belanda. Arsitektur Indis selanjutnya merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menyebutkan arsitektur kolonial Belanda hasil proses adaptasi dan akulturasi tersebut, (Yulianto : 1993).



Pemanfaatan Setelah melalui tahapan panjang dan kerja bersama antara warga Kota Metro, bersama dengan pemerintah daerahnya sejak proses pendataan, pengkajian, penyusunan rekomendasi, kini Klinik Santa Maria ditetapkan statusnya menjadi Bangunan Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Metro Nomor 408/KPTS/D-01/2021 tanggal 02 Juni 2021. Lewat pengenalan bangunan bersejarah, belajar sejarah juga memberikan guna rekreatif. Ketika kita mengunjungi sebuah situs sejarah, maka seakan-akan kita sedang melakukan lawatan sejarah, menerobos waktu dan tempat menuju masa lampau untuk mengikuti peristiwa yang terjadi.



30



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia khususnya yang ada di Kota Metro sendiri merupakan bukti peristiwa masa lampau yang menghasilkan artefak dengan nilai sejarah tinggi karena arsitek dengan ilmunya telah mampu mengubah peradaban manusia khususnya di Metro. Terlebih para suster yang bertugas di Santa Maria juga terus menyimpan berbagai peralatan kesehatan yang pernah digunakan di masa lalu sebagai bagian dari upaya pelestarian sejarah bagi generasi masa kini dan yang akan datang. Keberadaan bangunan bersejarah ini tentunya tidak lepas dari perjalanan sejarah yang terjadi di daerah tersebut. Mengunjungi tempat bersejarah, tidak perlu harus dengan biaya yang besar dimana guru dapat memanfaatkan situs-situs sejarah yang berada di dalam kota. Relevansi kehadiran Santa Maria dewasa ini juga merefleksikan salah satu visi Kota Metro saat ini yakni sebagai Kota Sehat. Selain itu Cor Dijkgraaf, seorang pakar pengembangan kawasan bersejarah dari Leiden University, Belanda menjelaskan bahwa kawasan bersejarah di sebuah lokasi bisa menjadi modal utama pengembangan sektor pariwisata. Peninggalan bersejarah membuat sebuah kota menjadi unik dan membedakan kota satu dengan kota lainnya. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro sendiri tengah melakukan kajian guna menetapkan RS Santa Maria sebagai bangunan cagar budaya. Melalui penetapan status cagar budaya diharapkan kesadaran masyarakat akan sejarah perkembangan Kota Metro sendiri akan semakin meningkat. Melalui upaya pelestarian yang coba dilakukan pada dasarnya ditujukan demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



31



khususnya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dapat diambil pelajaran dan inspirasinya oleh generasi saat ini.



32



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 4 Bendungan Argo Guruh



(Pandu Pinuju Widodo)



B



elanda adalah negara yang terlama mengeksploitasi Hindia Belanda (Indonesia) membuat negara tersebut menanggung beban balas budi terhadap koloninya. Beban balas budi tersebut terwujud melalui program Politik Etis yang memiliki tiga program, yakni irigasi, transmigrasi, dan edukasi. (Fakriansah & Intan, 2019). Politik etis merupakan salah satu kebijakan yang bertujuan membangun Hindia Belanda yang tidak keluar dari konteks balas budi. Transmigrasi merupakan salah satu konsep dari politik etis yang memiliki beberapa daerah tujuan, salah satunya adalah Lampung. Daerah yang merupakan bibir dari pulau sumatera ini menjadi sasaran implementasi perpindahan penduduk dari pulau jawa ke luar pulau jawa. Perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa untuk pertama kalinya dilakukan. Gedong Tataan (kini bagian dari wilayah Kabupaten Pringsewu) adalah lokasi pertama pemindahan penduduk ditempatkan sebanyak 155 kepala keluarga berasal dari Karesidenan Kedu, Jawa Tengah ditempatkan di daerah ini (Sudarno, 2018). Upaya perluasan daerah kolonisasi terus dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, seperti di Wonosobo, Gedong Dalem, Sukadana, dan daerah lainnya (Amboro et al., 2018; Kuswono et al., 2020; Sjamsu, 1960). MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



33



Padatnya penduduk dipulau jawa membuat Pemerintah Hindia Belanda harus melakukan pemindahan penduduk ketempat yang lebih renggang dan jauh dari kemungkinan kepadatan penduduk. Hal ini harus beriringan dengan Infrastruktur seperti irigasi untuk mengairi wilayah kolonnisasi. Upaya pemetaan persebaran para kolonis di keresidenan lampung haruslah diimbangin dengan fasilitas ukntuk memenuhi kebutuhan para kolonis. Pada tahun 1932 dibukalah Kolonisasi Sukadana, wilayahnya meliputi Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur dan Batanghari (Sekarang).Tingkat kepadatan penduduk di daerah kolonisasi sukadana sangat pesat, sejak dibuka pada tahun 1932, oleh karena itu perluasan wilayah kolonisasi terus dilakukan salah satunya adalah negoisasi lahan dengan masyarakat pribumi (Marga Buay Nuban).



Gambar 1. Banguan Argoguruh (Sumber : Dokumen Trimoerdjo Heritge.2020)



34



Gambar 2. Bangunan Argoguruh Tampak Sisi kiri (Selatan) (Sumber : Dokumen Trimoerdjo Heritge.2020)



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bendung Argoguroh adalah pintu air yang memutus aliran sungai Way Sekampung, untuk mengairi daerah kolonisasi Sukadana, secara etimologi berasal dari kata argo yang berarti alat ukur dan guruh berarti juru. Yang jika diartikan tempat dimana juru ukur menentukan titik lokasi bagian mana dari sungai way Sekampung yang harus dibendung. Bendung argoguruh dibangun pada tahun 1935, dan dirancang oleh ir. Wehlburg. Bendung Argoguruh terletak di desa Tegineneng Kabupaten Pesawaran, dalam pembangunanya bendungan Argoguruh dibangun oleh para kolonisasi yang sudah tinggal sejak lama (dibuka kolonisasi Sukadana 1932) dan juga para kolonisasi baru yang didatangkan dari pulau jawa, sejak diperkenalkan sistem bawon. Bendung Argoguruh mengairi lahan sekitar 30.000 bau,pada tanggal 20 Agustus 1936 dan terus bertambah ditahun-tahun berikutnya. Perluasan saluran irigasi yang mengairi daerah kolonisasi sukadana terus berlanjut hingga akhir masa Pemerintahan Hindia Belanda. Bendung Argoguruh sekarang berada dibawah pengelolaan Balai Besar Sumber Daya Air Provinsi Lampung. Mirisnya dalam pembangunan bendungan ini memakan banyak korban, karena asupan makanan yang sekedarnya dan upah yang sangat minim serta fasilitas kesehatan yang belum mumpuni. Bukan hal yang tabu dimana pemerintah Hindia Belanda memperkerjakan rakyatnya dengan senonoh tanpa diimbangi dengan kebutuhan pangan, kesehatan dan fasilitas lainya yang dapat menompang kelangsungan hidup bagi para pekerja. Walaupun pembuatan Bendung Argoguruh ini adalah bagian dari konteks politik etis yang dilebeli politik balas budi dari kerajaan Belanda karena rakyat Indonesia telah banyak MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



35



membantu memakmurkannya. Tapi dalam segi praktik jauh menyimpang dari kemanusiaan sekalipun. Bendung Argoguruh merupakan saksi dari goresan cerita sejarah yang berbentuk bangunan permanen yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran maupun pariwisata, letaknya yang berada tidak jauh dari lintas Sumatera. Mesin penghidup roda perekonomian wilayahwilayah di tiga kabupaten sejak era kolonisasi. Kurangnya pembelajaran sejarah diluar kelas mungkin salah satu faktor masyarakat setempat tidak mengetahui secara rinci dan konteks dari bangunan besar penuh arti ini. Oleh karena itu pemanfaatan selain sebagai pintu air tidak pernah terjadi, padahal memiliki potensi yang sangat tinggi dalam mendongkrak roda perekonomian masyarakat sekitar.



Bendung Argoguruh dan Trimoerdjo Sejak dibangun pada tahun 1935 dan diresmikan pada tahun 1936, Bendung Argoguruh menjadi gerbang vital bagi kemakmuran wilayah-wilayah di daerah kolonisasi Sukadana, salah satunya adalah desa induk yang bernama Trimoerdjo (Sekarang Kecamatan Trimurjo).



36



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Gambar 3. Bendungan Tiga Kanal (Sumber : Dokumen Trimoerdjo Heritge.2020)



Wilayah persawahan yang seluas 8034 ha di desa induk tersebut sangatlah bergantung pada pengairan dari Bendung Argoguruh. Trimoerdjo adalah desa Induk di Kolonisasi Sukadana yang memiliki ejaan awal Trimoerdo, tri berarti tiga dan moerdo berarti sirah (bahasa jawa) atau kepala. Jika disatukan maka akan bermakna tiga kepala, yang diambil dari MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



37



tiga pintu air diwilayah trimoerdjo, yang merupakan terusan dari pengairan Bendung Argoguruh ke tiga wilayah yaitu yang mengarah keselatan/daerah Kota Gajah, mengarah ketimur yaitu daerah metro dan pekalongan dan kearah utara yaitu daerah Bantul. Berdasarkan tradisi lisan yang dirawat oleh masyarakat setempat, Pintu air tiga kanal yang menjadi simbol dari wilayah Trimoerdjo tersebut adalah jantung dari sebuah kemakmuran dan menentukan baik tidaknya hasil panen dengan cara melihat keadaan air di bendungan tersebut. Trimoerdjo adalah wilayah dimana penempatan awal, masyarakat kolonis dengan sistim pemukiman sementara/ bedeng (Bedding). Bedeng dikelompokan berdasarkan angka, Bedeng 1, Bedeng 2, Bedeng 3, Bedeng 4, Bedeng 5, Bedeng 6, Bedeng 7, Bedeng 8, Bedeng 10, Bedeng 11,Bedeng 12, Bedeng 13, Bedeng 17, Bedeng 18 dan Bedeng 19. Sub pengairan dari Bendungan tiga kanal mengairi seluruh wilayah pertanian diwilayah Trimoerdjo melalui pintu air yang mengarah kearah Selatan yaitu Kota Gajah. Pemukiman diwiliayah Trimoerdjo sejak era awal kolonisasi (1932) hingga pasca kemerdekaan terhitung sangat pesat perkembangan kepadatan penduduknya, Oleh karena itu lahan pemukiman yang semakin sempit mengharuskan penduduk membuka daerah pemukiman baru dimasa pasca kemerdekaan yang mempengaruhi luas lahan pertanian yang menjadi ciri khas dan Komoditi utama wilayah tersebut. Ada yang menarik dari sejarah kolonisasi didaerah Trimoerdjo, yaitu kisah persahabatan antara pejabat Hindia Belanda di wilayah Trimoerdjo dan penduduk pribumi. Bernama Bringrive salah satu asisten wedana di kolonisasi



38



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Sukadana, yang menjabat pada tahun 1938 sampai 1940 dengan Munasir salah satu penduduk pribumi di Desa Purwoadi bedeng 19. Munasir adalah sosok pahlawan yang turut serta membangun desa Induk Trimoerdjo pada era kolonisasi. Lahir pada tanggal 03 Maret 1903, Munasir adalah salah satu Kolonis dari Pulau Jawa yang berasal dari daerah Trenggalek Jawa Timur. Berdasarkan keterangan dari anak pertamanya, Munasir dan Bringrive adalah sepasang sahabat yang bekerja sama diadministrasi pemerintahan di desa Induk Trimoerdjo pada masa prakemerdekaan. Pada masa Pasca kemerdekaan terjadi pemulangan secara besar-besaran terhadap orangorang asli Belanda ke negerinya, disini Bringrive dipulangkan kembali ke negerinya yaitu Belanda. Sedangkan Munasir pada pasca kemerdekaan turut serta andil dalam membangun desa dimana tempat dia tinggal dengan menjabat sebagai kepala kampung selama dua periode. Pada tahun 1979 Bringrive bermaksud kembali mengunjungi kembali sahabatnya di Desa Purwo adi bedeng 19 Kecamatan. Trimurjo dan melihat wilayah yang pernah dirinya pimpin. Pada saat itu Munasir sedang menjabat sebagai kepala desa. Bringrive ketika berkunjung membawa kamera untuk mengambil dokumentasidokumentasi diwilayah purwoadi, perlu diketahu pada saat itu kamera merupakan barang yang sangat mahal dan langka, oleh karena itu hal ini menjadi salah satu sisi keberuntungan masyarakat Trimoedjo untuk memiliki arsip-arsip dokumentasi pada tahun 1979 dimana Bringrive berkunjung kembali ke indonesia. Munasir juga tercatat sebagai anggota PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia) pada tahun 1991.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



39



Sejarah Lisan Trimoedrjo Sejarah lisan merupakan salah satu dari sumber sejarah, yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Sejarah lisan ini dibedakan dengan tradisi lisan, yang mempunyai arti yang jauh berbeda. ila tradisi lisan itu mempunyai arti : "Ceritera rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secera beruntun juga melalui lisan. Si pelisan (pengungkap ceritera) tidak terikat oleh peristiwanya itu sendiri. Si pelisan bukan penyaksi dan atau bukan peserta dalam peristiwa sejarah ceritera, dan tidak bertanggung jawab atas pernyataan yang diceriterakannya". Sejarah lisan memiliki arti yang khas yang bertanggung jawab, yaitu : "Sumber sejarah yang dilisankan oleh manusia pengikut atau yang menjadi saksi akan adanya peristiwa sejarah pada zamannya". Si pelisan benar-benar mengetahui, mengikuti kejadian masa lampau yang diceriterakan, dengan penuh tanggung jawab atas kebenarannya. Dengan demikian si pelisan harus diseleksi secara kritis sebagaimana menghadapi sumber sejarah. (Darban. 1997) Masyarakat Kecamatan Trimurjo termasuk masyarakat semi urban, yang masih merawat tradisi lisannya. Banyak hal yang mereka wariskan ke generasi-generasi mereka selanjutnya melalui hal yag bersifat tersirat. Beberapa diantaranya berkatan erat dengan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi simbol dari eksistensi para orang tua mereka.



40



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



 Bendung Argoguruh dan tumbal manusia Jika kita melihat bangunan yang besar nan gagah pastilah kita berfikir akan bagaimana cara manusia membangunnya. Mulai dari bahan baku yang tergolong langka hingga letak geografis yang mempengaruhi umur dari bangunan tersebut. Bendung argoguruh termasuk bangun bersejarah dari masyarakat Trimurjo yang berusia 85 tahun, bangunan yang tinggi dan besar ini memiliki banyak versi sejarah lisan yang menarik untuk disajikan. Salah satunya adalah cerita dari narasumber yang bernama Kardiman, salah satu seorang penduduk di Kecamatan Trimurjo ini menjelaskan awal dibangunya bendung Argoguruh tersebut. Kardiman selaku anak dari kolonis dari Pulau Jawa pada saat pembangunan bangunan tersebut barulah berusia 4 tahun. Menurutnya pada saat itu banyak para kolonis yang menjadi korban dalam pembangunan tersbut. Korbang yang meninggal jenazahnya dikuburkan dibawah pondasi bangunan tersebut, hal itu disengaja oleh para pejabat Hindia Belanda. Para kolonis dengan sengaja diberi asupan dan upah yang minimum, agar kesehatan mereka turun dan meninggal dunia. Karena menurut kepercayaan mereka hal dapat memperkuat dan memperpanjang usia bangunan, mungkin hal tersebut bukan sesuatu yang baru dengan adannya kepercayaan semacam ini didunia arsitektur. Istilah tumbal adalah salah satu sisi dari cerita sejarah yang memiliki nilai tinggi dimasyarakat dalam merawat dan mempertahankan kiasan-kiasan cerita sejarah.  Bendungan tiga kanal Salah satu simbol dari daerah desa induk Trimoerdjo, dan memiliki arti penting bagi masyarakatnya juga memiliki cerita yang menarik. Menurut narasumber yang pernah MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



41



menyaksikan pembangunanya, yang bernama Suyatman (83) dia menceritakan tentang bagaimana para kolonis mengangkat batu-batu yang akan dijadikan sisi dinding dari bendungan tersbut, batu-batu itu diangkut menggunakan alat semacam gerobak dari tempat yang jauh (tidak disebutkan dimana tempat asalnya). Suyatman adalah anak dari kolonis yang berasal dari pulau jawa, yang pada saat itu menetap di bedeng (rumah sementara) bernomor 2. Saat pembangunan tersbut dia menceritakan bahwasanya para kolonis tidak diberi upah, karena pada saat itu kebanyakan kolonis yang ikut serta dalam pembangunan bendungan tersebut adalah para kolonis baru, yang didatangkan dari jawa. Berbeda dengan kolonis-kolonis lama yang datang dari Pulau Jawa yang sudah memiliki lahan di daerah kolonisasi Sukadana, para kolonis baru baiaya kebutuhan pokoknya ditanggunng oleh kolonis lama, karena sebagian besar mereka masih ada ikatan keluarga ataupun sahabat.



Penutup Politik etis merupakan salah satu kebijakan yang bertujuan membangun Hindia Belanda yang tidak keluar dari konteks balas budi. Transmigrasi merupakan salah satu konsep dari politik etis yang memiliki beberapa daerah tujuan, salah satunya adalah Lampung. Daerah yang merupakan bibir dari Pulau Sumatera ini menjadi sasaran implementasi perpindahan penduduk dari pulau jawa ke luar pulau jawa. Bendung Argoguroh adalah pintu air yang memutus aliran sungai Way Sekampung, untuk mengairi daerah kolonisasi sukadana, secara etimologi berasal dari kata argo yang berarti alat ukur dan guruh berarti juru. Yang jika



42



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



diartikan tempat dimana juru ukur menentukan titik lokasi bagian mana dari Sungai Way Sekampung yang harus dibendung. Bendung argoguruh dibangun pada tahun 1935, dan dirancang oleh ir. Wehlburg. Bendung Argoguruh terletak di Desa Tegineneng Kabupaten Pesawaran, dalam pembangunanya bendungan Argoguruh dibangun oleh para kolonisasi yang sudah tinggal sejak lama (dibuka kolonisasi Sukadana 1932). Wilayah persawahan yang seluas 8034 ha di desa induk tersebut sangatlah bergantung pada pengairan dari Bendung Argoguruh. Trimoerdjo adalah desa Induk di Kolonisasi Sukadana yang memiliki ejaan awal Trimoerdo, tri berarti tiga dan moerdo berarti sirah (bahasa Jawa) atau kepala. Jika disatukan maka akan bermakna tiga kepala, yang diambil dari tiga pintu air diwilayah Trimoerdjo Masyarakat Kecamatan Trimurjo termasuk masyarakat semi urban, yang masih merawat tradisi lisannya. Banyak hal yang mereka wariskan ke generasi-generasi mereka selanjutnya melalui hal yag bersifat tersirat. Beberapa diantaranya berkatan erat dengan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi simbol dari eksistensi para orang tua mereka.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



43



Bagian 5 Masuknya Cengkeh ke Sumatera



(Rizky Khairina)







Pemerintah Batavia menentang pemindahan pohon cengkeh ke daerah lain. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Inggris, yang menganggap Sumatera sangat cocok untuk rempah-rempah yang berharga ini (cengkeh). Upaya ini tidak berhasil sampai penaklukan Pemukiman Timur (Maluku) mewujudkan harapan untuk mengimpor pohon cengkeh juga ke Bengkulu” (Jacob, 1936). Marsden mengumumkan tentang pengenalan budidaya cengkeh di Bengkulu di bawah Pemerintah Inggris (Marsden, 2013). Di sisi lain, Robert Broff yang merupakan Kepala Benteng Marlbrough (yang terletak di pantai dekat Bengkulu) juga mengatakan bahwa pengenalan budidaya cengkeh di Sumatera sangat penting. Pada tahun 1798, Broff membawa 5.000 bibit cengkeh dari Maluku ke distrik Bengkulu dan Silebar melalui sungai yang mengalir dari laut selatan Bengkulu. Tanaman cengkeh yang tumbuh subur di Bengkulu, mendorong Pemerintah Inggris pada tahun 1803 kembali mengirim bibit cengkeh sebanyak 6.000 bibit ke Bengkulu. Pada masa perintisan budidaya cengkeh di Sumatera, tanaman cengkeh diperjualbelikan tanpa menggunakan bea dan cukai, sehingga budidaya dapat bertahan di Sumatera



44



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



(Jacob, 1936). Pada abad ke-20 khususnya di Pulau Sumatera, budidaya cengkeh mulai diperluas dan jumlah produksi cengkeh yang cukup besar sudah diekspor dari Pulau Sumatera (Emst, 1930). Di Sumatera, telah ditunjukkan bahwa di pedalaman pohon cengkeh dapat tumbuh dengan sangat baik (Emst, 1930).



Awal Penanaman Cengkeh dan Penyebarannya di Lampung Masuknya komoditi cengkeh pertama kali ke daerah Lampung sampai saat ini belum ada data yang pasti. Akan tetapi, dari tulisan O. L. Helfrich tahun 1880 dapat dikatakan bahwa budidaya cengkeh sudah ada di wilayah Lampung pada akhir abad ke-19. Budidaya cengkeh ini sudah dikenal di Pesisir Barat Lampung oleh Marga Way Sindi yang merupakan salah satu marga masyarakat Lampung yang terdapat di Pesisir Barat. Masyarakat Lampung yang masuk ke dalam Marga Way Sindi merupakan masyarakat yang tinggal di Pulau Pisang (Helfrich, 1880). Marga Way Sindi mulai menanam cengkeh di ladang-ladang milik mereka yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Pada buku karangan Jacob, dituliskan bahwa cengkeh diperkenalkan di Lampung, kira-kira pada tahun 1891 (Jacob, 1936). Dalam hal ini, budidaya cengkeh ditanam di sisi timur Teluk Semangka yang masuk ke dalam Onderafdeeling Semangka dengan ibu kota Kota Agung. Budidaya cengkeh di Teluk Semangka ini dibudidayakan oleh Marga Limau. Budidaya cengkeh yang diperkenalkan dari Bengkulu ini sangat memungkinkan karena di beberapa wilayah di Bengkulu merupakan penghasil cengkeh (Jacob, 1936). MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



45



Gambar 1. Daerah Budidaya Cengkeh di Pulau Sumatera Tahun 1934 Sumber: Jacob AL, De Geschiedenis de Economische Beteekenis en Het Pharmaceutisch Onderzoek van Kruidnagelen, (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1936), hlm. 44.



Dapat dilihat dari peta di atas terdapat beberapa wilayah yang merupakan sentra tanaman cengkeh di Pulau Sumatera. Di beberapa titik wilayah sentra cengkeh merupakan wilayah yang dekat dengan pantai/laut. Apabila ditarik garis lurus, Residen Pantai Barat Sumatera, Residen Bengkulu, dan Residen Distrik Lampung sangat dimungkinkan untuk perluasan budidaya cengkeh di Sumatera. Residen Bengkulu yang berada di antara Residen Pantai Barat Sumatera dan Residen Lampung menjadikan perluasan budidaya cengkeh menjadi lebih mudah (Westenenk, 1921).



46



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Sejak tahun 1934, Dinas Informasi Pertanian di Lampung telah membuat propaganda untuk budidaya cengkeh, sehingga penduduk Lampung banyak yang membuat perkebunan uji coba cengkeh (Jacob, 1936). Dalam hal ini, Dinas Informasi Pertanian mendirikan tempat pembibitan dan menyediakan bahan tanaman serta memberikan kursus pertanian dengan menerbitkan buku bergambar dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1934 dilakukan tinjauan penyakit cengkeh di daerah Tanjungkarang dan menurut Van der Goot tidak ada cengkeh yang rusak karena terjangkit hama atau penyakit (Franssen, 1937). Cengkeh kemudian mulai dibudidayakan ke arah timur wilayah Lampung yaitu di daerah Mesuji pada tahun 1934. Budidaya cengkeh dilakukan di daerah ini berawal ketika tahun 1934, Tn. Goedhardt melakukan perjalanan ke Wiralaga Mesuji bersama dengan kepala administrasi lokal Sukadana, Residen Menggala, dan beberapa dokter dari Telukbetung dan Kotabumi (De Indische Courant, 1934). Di Wiralaga kemudian diadakan sebuah pertemuan oleh residen, dengan salah satu pembahasan mengenai uji coba budidaya cengkeh. Di daerah Mesuji, penanaman cengkeh dilakukan untuk memperbaiki pendapatan masyarakat Mesuji yang sempat menurun. Hal ini terjadi karena kejatuhan harga jual hasil hutan seperti kayu, damar, dan rotan (De Indische Courant, 1934). Sementara itu, di daerah varkenshoek Lampung yaitu pesisir selatan Kalianda tanaman cengkeh juga sudah ditanam oleh masyarakat di daerah ini. Budidaya cengkeh di pesisir selatan Kalianda banyak dilakukan di daerah Gunung Rajabasa, karena terdapat banyak sungai yang mengalir di gunung ini (Landbouwkroniek, 1937). Perdagangan cengkeh yang dilakukan di dekat pelabuhan pesisir, juga menjadikan MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



47



pelabuhan ini sebagai sarana bagi perahu untuk mengangkut hasil cengkeh ke Pulau Jawa. Beberapa kampung di sisi timur Rajabasa mengangkut hasil cengkehnya melalui daerah pesisir Ketapang menggunakan perahu ke Anyer (Banten) (Graaf dan Stibbe, 1918). Di sisi lain, hasil budidaya cengkeh di kebun-kebun milik rakyat sebagian besar dikirim dan diproses oleh industri kretek (Emst,1930) di Jawa dengan diawasi oleh konsultan pertanian (Vereeniging van Landbouwconsulenten in Nederlandsch-Indie, 1940). Sedangkan sebagian kecil panen cengkeh dari Lampung diekspor ke luar negeri. Selain ke Jawa dan luar negeri, ekspor juga dilakukan ke daerah lain. Berikut statistik cengkeh yang dikirim ke Jawa, luar negeri, dan daerah lainnya pada tahun 1928 hingga 1934. Tabel 1. Ekspor Cengkeh Lampung Tahun 1928-1934 Ekspor Cengkeh



1928



1929



1930



1931



1932



1933



1934



Ke Jawa



4



3



15



-



1



12



2



Ke luar negeri



-



-



2



-



-



-



-



Ke daerah lain



-



-



-



-



-



-



-



Jumlah



4



3



17



-



1



12



2



Sumber: Jacob AL, De Geschiedenis de Economische Beteekenis en Het Pharmaceutisch Onderzoek van Kruidnagelen, (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1936), hlm. 70.



Pembudidayaan cengkeh juga dilakukan di Metro, Lampung Tengah. Hal ini dibuktikan dengan isi album yang berisi surat pengantar dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta untuk otoritas di Lampung, menyebutkan bahwa dalam perjalanan insinyur H.J. Brinkgreve (KITLV, 1978) pada tahun



48



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



1978 ke Metro, Brinkgreve melihat perkebunan cengkeh tipe Colombo yang sudah ditanam dari tahun 1955 dan mendokumentasikan tiga orang laki-laki berdiri di dekat pohon cengkeh (KITLV, 1978). Hal ini membuktikan bahwa budidaya cengkeh semakin menyebar ke beberapa daerah pusat kota yang tidak dekat dengan daerah pesisir. Secara umum, orang Cina tidak bertindak sebagai eksportir langsung, karena penjualan cengkeh dilakukan atas nama rumah-rumah ekspor milik orang Eropa (Jacob, 1936). Seperti foto di bawah ini, memperlihatkan dua laki-laki sedang berfoto bersama pohon cengkeh. Penanaman cengkeh pada masa ini tergolong bukan monokultur, tetapi cengkeh tumbuh bersama dengan tanaman lainnya seperti pohon pisang yang ditanam di kebun milik masyarakat. Foto 1. Pohon Cengkeh di Kebun Masyarakat Lampung Tahun 1932



Sumber: Collectie KITLV.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



49



Penutup Masuknya cengkeh ke Lampung memberikan kontribusi yang sangat penting dalam memperbaiki pendapatan masyarakat Lampung. Hal ini terjadi karena jatuhnya harga jual komoditi lainnya seperti lada dan kayu. Sehingga masyarakat melihat peluang untuk menanam komoditi lain yang lebih menguntungkan yaitu cengkeh. Hal ini memberi peluang terhadap budidaya cengkeh untuk menyebar ke beberapa daerah di Lampung. Di sisi lain, Dinas Pertanian ikut menggalakkan masyarakat untuk melakukan penanaman uji coba di kebun-kebun milik rakyat, khususnya di daerahdaerah yang cocok untuk dilakukan penanaman cengkeh. Sementara itu, dapat disimpulkan juga bahwa Lampung bukan merupakan penghasil cengkeh utama di Pulau Sumatera pada masa kolonial.



50



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 6 Misi dan Zending Kristen di Lampung Masa Kolonial 1924-1942



(Willy Alfarius)



K



emunculan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, di Lampung beriringan dengan munculnya program kolonisasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai 1905. Sebelumnya tidak ditemukan jejak keberadaan agama ini di Lampung mengingat wilayah ini selalu berada dalam naungan sistem politik yang lekat dengan Islam, baik sistem genealogis Lampung seperti kebuaian dan keratuan (Wakidi, 1997:85-89) maupun Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang (Wargadalem, 2017:101), selain pula wilayah ini di diami oleh berbagai macam suku lain seperti Palembang, Banten, hingga Bugis. Dalam rentang dua dekade sejak pertama kali dicanangkan sebagai daerah tujuan kolonisasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1905, Karesidenan Lampung berangsur-angsur padat secara demografis. Hingga 1925 setidaknya ada sejumlah 26.208 orang kolonis yang tercatat secara resmi menempati kawasan kolonisasi lama di Gedong Tataan dan Kota Agung (Sjamsu, 1956:6). Selain persebaran demografi yang semakin padat, datangnya ribuan kolonis dari pulau Jawa ke Lampung semakin membuka akses dan MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



51



kemungkinan terhadapnya masuknya kebudayaan baru, termasuk agama.



berbagai



macam



Tulisan ini menjelaskan secara ringkas proses masuknya beberapa kelompok misi dan zending yang melakukan aktivitas dan penyebaran agama Kristen di Lampung. Selain itu tulisan ini juga menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan agama Kristen menjadi relatif cukup berkembang di Lampung masa kolonial. Pembahasan dimulai pada 1924 ketika untuk pertama kalinya satu zending Kristen masuk dan melakukan kegiatan keagamaannya di Lampung. Pembahasan diakhiri pada 1942 ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, yang secara otomatis menghentikan nyaris seluruh kegiatan keagamaan maupun kolonisasi.



Zending Advent Menjadi yang Pertama Meski sudah didatangi para kolonis secara resmi sejak 1905, hingga kini belum ditemukan sumber resmi yang menyebutkan kapan persisnya kehadiran agama Kristen di Lampung, baik lembaga maupun individu. Namun pada 1918 tercatat beberapa orang Indo-Eropa yang tergabung dalam IEV (IndoEuropeesche Verbond) melakukan kolonisasi ke wilayah Gisting. Para pemukim IEV ini sebagian besarnya adalah penganut Katolik (Steenbrink, 2007:352-354). Hanya saja kemudian tidak ditemukan sumber yang mencatat apakah mereka melakukan kegiatan keagamaan di sana dan apakah ada otoritas gereja yang memberikan pelayanan keagamaan atau peribadahan kepada mereka. Sejauh data yang tersedia, Gereja Advent yang saat itu secara resmi bernama Advent Zendingsgenootschaap menjadi



52



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



zending pertama yang melakukan kegiatan penyebaran agama Kristen di Lampung. Sebuah artikel dalam Warta Geredja edisi Juni 1959, majalah resmi Gereja Advent menyebutkan seorang misionaris asal Australia bernama George Albert Wood tiba di Lampung pada 1924 dan melakukan kegiatan pengabaran injil di sana. Ia diutus oleh kantor pusat Gereja Advent Hindia Belanda yang saat itu berada di Bandung. Sesampainya di Lampung, ia melakukan kegiatan penyebaran injil di beberapa kawasan perkebunan yang saat itu banyak terdapat di sekitaran Tanjung Karang dan Teluk Betung.



Gambar 1 Perkumpulan Gereja Advent di Lampung. Sumber: Warta Geredja, Januari 1927.



Selain sebagai seorang misionaris, Wood juga menjual buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan ajaran Gereja Advent. Saat itu peran penjual buku atau yang disebut sebagai colporteur sangat sentral bagi perkembangan Gereja Advent di MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



53



Hindia Belanda (Tambunan, 1999:530). Hingga kemudian orang pertama yang ia temui adalah seorang pekerja rantau asal Timor bernama J.J. Merukh. Ia adalah seorang annemer (pemborong) dalam proyek pembangunan jalan Teluk BetungKota Agung. Dari beberapa kali pertemuan, akhirnya Merukh secara resmi dipermandikan (dibaptis) menjadi anggota Gereja Advent. Pertemuan dengan Merukh ini yang kemudian membuat Gereja Advent mulai mendapatkan anggota-anggota baru dari para perantau asal Timor. Mulai muncul beberapa perkumpulan Gereja Advent seperti di Way Hui, Tambang Besi, Bernung, Tanjung Karang, Gunung Meraksa, Gisting, Pulau Kelagian, Way Galih, Triplek, Sebalang, Toela Toembak, dan Kalianda (Warta Geredja, 1927:6). Keberadaan para pemukim dalam wilayah kolonisasi kemudian menjadi tujuan baru bagi para penyebar injil dari Gereja Advent. Seorang misionaris bernama Jorris Toenna kemudian ditugaskan untuk menyebarkan injil di kalangan para kolonis asal Jawa yang ketika itu jumlahnya sudah mencapai kurang lebih 25 ribu jiwa. Ia bergerak bersama seorang misionaris lain bernama B.C. Dompas yang sebelum ditugaskan di Lampung telah cukup berpengalaman melakukan kegiatan penyebaran injil di Madiun, Jawa Timur. Di area kolonisasi Pringsewu dan Wonosobo dalam beberapa tahun sejak kedatangan Toenna pada 1926 telah muncul perkumpulan-perkumpulan Gereja Advent di Wonokario, Gumukmas, Gumukrajin, Gunung Meraksa, dan Gadingrejo (Warta Geredja, 1929:4).



54



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Gambar 2 Perkumpulan Gereja Advent yang terdapat di Pulau Kelagian. Sumber: Warta Geredja, 1936.



Meski menjadi zending pertama yang melakukan kegiatan penyebaran injil di Lampung, namun hingga akhir periode berkuasanya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1942, keberadaan Gereja Advent di Lampung dapat disebut tidak berkembang secara signifikan. Selain kegiatan penyebaran injil serta pelayanan peribadahan, praktis tidak ada kegiatan lain khususnya dalam bidang sosial seperti pendidikan maupun kesehatan yang dilakukan oleh Gereja Advent di Lampung. Hingga 1941 dalam catatan Yearbook of the Seventh-day Adventist Denomination hanya ada 318 anggota Gereja Advent di Sumatera Selatan, yang dalam hal ini mencakup wilayah Lampung bersama Palembang dan Bengkulu. Artinya, kemungkinan besar hanya ada sekitar 100MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



55



an saja anggota Gereja Advent di Lampung. Bahkan kemudian tercatat hanya ada tiga perkumpulan yang terus bertahan hingga Indonesia merdeka yaitu Way Hui, Tanjung Karang, dan Tambang Besi (suatu desa yang kini bernama Galih Lunik di Tanjung Bintang, Lampung Selatan).



Gereja Katolik Berselang empat tahun dari kedatangan misionaris Gereja Advent ke Lampung, pada 1928 untuk pertama kalinya Gereja Katolik secara resmi memulai aktivitas keagamaannya di Lampung. Seorang pastor berkebangsaan Belanda bernama H.J.D. van Oort dari Kongegrasi SCJ (Sacro Corde Jesu, Serikat Hati Kudus Yesus) diutus untuk pergi ke Lampung dan kemudian mendirikan sebuah gereja di Tanjung Karang, persisnya di seberang Stasiun Kereta Api Tanjung Karang, yang diresmikan pada 16 Desember 1928. Gereja yang didirikan oleh Pastor van Oort tersebut lantas berkembang menjadi katedral yang kemudian menjadi pusat bagi semua kegiatan penyebaran injil yang dilakukan oleh Gereja Katolik di Lampung (Budhiatmaja, et.al., 2004:8). Sebelum dikirim ke Lampung, Pastor van Oort bertugas di Palembang dan dikenal telah mendirikan banyak stasi atau perkumpulan umat di sana. Kurang lebih dalam tiga tahun pertama kegiatan Gereja Katolik masih terfokus di Tanjung Karang dan Teluk Betung saja yang notabene merupakan pusat pemerintahan Karesidenan Lampung. Namun peta demografi Lampung yang semakin dipenuhi oleh para kolonis dari Jawa tentu menjadi tempat yang dinilai tepat untuk meluaskan jangkauan penyebaran agama Katolik yang tidak terbatas hanya di kawasan perkotaan saja. Hal ini bisa didasarkan pada



56



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



berkembangnya penyebaran injil di kalangan orang-orang Jawa, terutama yang terpusat di Muntilan, Jawa Tengah dan Yogyakarta (Steenbrink, 2003:213-218). Baru kemudian pada 1931 Gereja Katolik memasuki kawasan kolonisasi dengan mendirikan HIS (Hollandsche Inlandsche School), sekolah menengah untuk kaum bumiputra di Gedong Tataan. Selain itu di Gisting juga didirikan sekolah pertanian, menyesuaikan dengan kawasan tersebut yang dipenuhi perbukitan serta perkebunan kopi (Steenbrink, 2007:352-354). Sebelumnya otoritas gereja melalui Pastor van Oort telah meminta izin terlebih dahulu kepada Barkmeyer sebagai pemimpin proyek kolonisasi dan Residen Lampung Rookmaker untuk melakukan kegiatan keagamaannya di wilayah tersebut (Provinsial SCJ Sumatera Selatan, 12). Berselang setahun berikutnya, pada 1932 Gereja Katolik mengirimkan seorang pastor yaitu Albertus Hermelink untuk membuka pos misi pelayanan gereja di kawasan kolonisasi Pringsewu. Saat itu sudah ada dua orang penganut Katolik di kawasan kolonisasi Pringsewu yaitu Agustinus Suwardi Sumorejo dan Martinus Suhardi (Astono Budhiatmaja, et.al., 2004:10). Bersama Bruder Vincentius van Havelingen, mereka berdua membangun sebuah kapel, pastoran, susteran, sekolah, dan klinik di atas tanah seluas 4,2 hektar yang terletak di dekat pasar. Sebelumnya tanah ini telah dibeli oleh Gereja Katolik dari pemerintah kolonial. Saat itu Pringsewu sedang tumbuh menjadi kawasan kolonisasi yang ramai sejak dibuka pada 1926. Setidaknya sudah ada lima desa yang dibentuk di sana yaitu Pringsewu, Sidoharjo, Podomoro, Pajaresuk, dan Bumiarum (Kampto Utomo, 49).



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



57



Kehadiran Pastor Hermelink menjadi penting karena ia mampu membaur bersama-sama dengan para kolonis asal Jawa. Sebelum ditempatkan di Pringsewu, Pastor Hermelink terlebih dahulu belajar bahasa Jawa di Yogyakarta selama enam bulan. Ia diajar oleh seorang guru bahasa Jawa bernama Justinus Kasan Muradi. Kemahirannya dalam berbahasa Jawa inilah yang memudahkan ia dalam berkomunikasi dan menjangkau para kolonis (Ign. Sukasworo, et.al., 2007:20-21).



Gambar 3 Potret Pastor Albertus Hermelink Gentiaras sebagai perintis bagi perkembangan Gereja Katolik di Lampung, terutama di kawasan kolonisasi Pringsewu. Sumber: Sukasworo, Ign., et.al., Bunga Rampai 75 Tahun Gereja Katolik Paroki St. Yosef Pringsewu. Pringsewu: Seksi Publikasi dan Kanisius, 2007, hlm. 60.



58



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Hingga 1940 tercatat ada 1.831 penganut Katolik di Lampung yang berasal dari kelompok bumiputra. Mereka tersebar antara lain di Karangsari-Pasuruan (Kalianda), Metro, Pringsewu, dan Tanjung Karang yang sekaligus sudah resmi berdiri sebagai paroki (Endrayanto, 2012:40). Salah satu faktor utama bagi perkembangan signifikan Gereja Katolik di Lampung adalah pelayanan sosial yang mereka lakukan khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Selain mendirikan HIS, sebelumnya Gereja Katolik juga mendirikan HCS (Hollandsch Chinese School) di Teluk Betung pada 1929.Hingga 1938 Gereja Katolik di Lampung memiliki dua HIS, sebelas sekolah rakyat, dan dua sekolah lanjutan (vervolgschool). Ditambah lagi dengan Sekolah Melanie (Kartini School), Taman Kanak-kanak (Frobel), dan CVO (Cursus voor Volk Onderwijzer) (Ign. Sukasworo, et.al., 22:26). Bidang kesehatan juga menjadi fokus bagi pelayanan yang dilakukan Gereja Katolik di Lampung. Mereka mendirikan rumah sakit dan klinik bersalin yang antara lain terdapat di Pringsewu dan Metro. Pembiayaan untuk rumah sakit dan klinik bersalin ini terutama disokong oleh orang-orang Belanda yang bekerja di onderneming atau perkebunan karet di Way Lima, Gedong Tataan, dan Natar. Suster-suster dari Ordo Fransiskanes yang menjadi tulang punggung bagi pelayanan dalam bidang ini dengan diketuai oleh Suster Arnolde Wouters. Bahkan seperti di wilayah Pringsewu para suster setiap minggunya rutin mengunjungi para kolonis untuk memberikan bantuan pelayanan kesehatan secara langsung. Hingga kemudian kedatangan Jepang pada 1942 seiring dengan menyerahnya Hindia Belanda bersamaan dengan Perang Dunia II menghentikan segala aktivitas MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



59



keagamaan Gereja Katolik, termasuk lembaga pendidikan dan kesehatan milik mereka.



Gereja Kristen Jawa Dekade 1930-an menjadi semacam titik puncak bagi program kolonisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Lampung. Ketika itu dua tempat kolonisasi baru telah dibuka yaitu Metro dan Sukadana. Seiring dengan hal tersebut jumlah kolonis yang dipindahkan ke Lampung semakin banyak dan beragam, termasuk orang-orang Jawa beragama Kristen. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu faktor bagi kegiatan pelayanan Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Lampung, yang dimulai pada 1936 dan bermula dari ide yang dikemukan oleh GKJ Klasis Purworejo. Banyak kolonis yang berangkat ke tanah seberang merupakan kolonis beragama Kristen yang berasal dari Jawa Tengah bagian selatan seperti Karesidenan Kedu, Banyumas, Surakarta, dan Yogyakarta (PradjartaDirdjosanjoto, et.al., 2008:v). Proses ini diawali dengan diutusnya Pendeta Darmohatmodjo dan Pendeta Siswowasono untuk meninjau dan mempelajari keadaan di antara para kolonis di Lampung pada 19 Mei 1936. Dari kunjungan pertama ini hanya ditemukan dua keluarga Kristen Jawa yaitu Yusuf dan Naomi Berhitu di wilayah kolonisasi Gedong Tataan. Kemudian dilakukan peninjauan kedua, sebelum menemui para kolonis kedua pendeta tersebut bertemu dengan para pejabat pemerintah seperti residen, kontrolir, wedana, hingga lurah dan carik. Dalam hal ini Pendeta Darmohatmodjo kemudian memainkan peran penting bagi perluasan kegiatan penyebaran



60



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Injil yang dilakukan oleh GKJ di Lampung (Hoogerwerf, 1987:19-22). Peninjauan kedua yang dilakukan Pendeta Darmohatmodjo, Pendeta A.R. Misael, dan dokter Wardoyo ini sekaligus untuk mengatur dan mempersiapkan beberapa orang yang dianggap sebagai pionir bagi perkumpulan orangorang Kristen yang akan dilayani GKJ di Lampung. Dari antara para kolonis kemudian dipilih beberapa orang untuk menjadi colporteur (penjual buku-buku Kristen) yang akan ditugaskan mengedarkan majalah penginjilan Margo Joewana. Hingga akhirnya pada 1938 dalam sebuah Sidang Sinode GKJ di Kebumen ditetapkan Klasis Purworejo sebagai penanggung jawab pelayanan GKJ di Lampung. Ditetapkan pula bahwa untuk membiayai kegiatan penyebaran Injil di Lampung, enam klasis GKJ yang terdapat di Surakarta, Yogyakarta, Purworejo, Magelang, Kebumen, dan Banyumas menjadi donatur tetap dengan anggaran total 120 gulden per bulan (Soekotjo, 2009:56). Sesuai dengan ide awal, kegiatan pelayanan dan penyebaran injil difokuskan di kawasan kolonisasi, khususnya Metro yang semakin dibanjiri kolonis asal Jawa. Dalam laporan yang ditulis oleh Pendeta Darmohatmodjo, ada lima perkumpulan yang cukup potensial untuk terus dikembangkan yaitu di Tanjung Karang, Trimurjo, Ambarawa, Wonosobo, dan Belitang. Di Metro sendiri sudah berdiri empat perkumpulan yaitu di Margorejo, Wonosari, Batanghari, dan Bedeng 13 (Hoogerwerf, 1987:35). Selain karena kehadirannya yang sudah agak belakangan dibanding Gereja Advent dan Gereja Katolik, kegiatan GKJ di kawasan kolonisasi kurang berkembang khususnya dalam jumlah pertambahan anggota. Tidak banyak pula kegiatan lain MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



61



yang bisa dilakukan untuk mengembangkan gereja selain sebatas melakukan pelayanan kepada anggota-anggota lama. Hanya berselang enam tahun sejak masuk pertama kali di Lampung, kegiatan penyebaran injil maupun aktivitas pelayanan peribadahan yang dilakukan GKJ praktis berhenti dengan datangnya Jepang yang menaklukan dan mengambil alih wilayah Hindia Belanda pada Maret 1942.



Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya pembukaan Lampung sebagai area tujuan kolonisasi pada 1905 membuka sebuah kemungkinan baru yaitu muncul dan berkembangnya agama Kristen yang sebelumnya tidak diketahui keberadaannya di wilayah ini. Selain kehadiran para kolonis dari Jawa, kehadiran agama Kristen tentu memberikan warna baru bagi keragaman sosial, budaya, maupun demografi Lampung. Lantas kemudian agama Kristen di Lampung cukup berkembang, khususnya di antara para kolonis, karena mereka membawa harapan terhadap perbaikan nasib para kolonis. Misalnya saja kebutuhan di bidang pendidikan maupun kesehatan, yang seharusnya disediakan pemerintah kolonial saat itu, justru dipenuhi oleh gereja. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu faktor bagi berkembangnya agama Kristen di Lampung. Selain gereja, bangunan dan perkumpulannya, beberapa warisan gereja dari masa kolonial ini masih dapat ditemui hingga kini seperti misalnya sekolah-sekolah maupun rumah sakit dan klinik yang sudah berdiri sejak sebelum Indonesia merdeka. Peran para penyebar injil dari Eropa/Barat juga amat berpengaruh bagi perkembangan agama Kristen di Lampung.



62



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Terutama Gereja Advent dan Gereja Katolik, mereka pada mulanya mengandalkan para penyebar injil asal Eropa seperti George Albert Wood dan Albertus Hermelink untuk memulai kegiatan keagamaan mereka di antara para kolonis. Mereka menggunakan pendekatan kebudayaan, terutama kemampuan dalam berbahasa Jawa, untuk memudahkan proses penyebaran agama Kristen di antara para kolonis yang didatangkan seluruhnya dari Jawa. Maka pada akhirnya jejak agama Kristen di Lampung saat ini sebagian terbesarnya berada di daerah kabupaten yang sejak dulu menjadi basis kolonis pendatang dari Jawa.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



63



Bagian 7 Menggala: Bandar Niaga di Lampung Tempo Doeloe



Penulis: Muhammad Rendra S. dan Hidayatullah Rabbani



Menggala Pewaris Kejayaan Kerajaan Tulang Bawang



M



enggala sebagai sebuah nama wilayah baru dikenal setelah periode kolonial. Dalam beberapa catatan sejarah yang ada, wilayah Menggala dijadikan patokan letak sebuah kerajaan kuno yang bernama Tulang Bawang berdasarkan catatan dari musafir Cina, I Tsing yang mengunjungi Nusantara sekitar abad ke-7 M. Nama Tulang Bawang berasal dari transkripsi dari kata Te-lang-Po-hawang dalam catatan tersebut. Oleh para ahli sejarah diperkirakan letak Kerajaan Tulang Bawang berada di sisi Sungai (Way) Tulang Bawang antara wilayah Pagar Dewa dan Menggala saat ini. Penemuan kerajaan ini dianggap sebagian ahli sebagai asal usul orang Lampung walau pendapat ini masih menjadi perdebatan tersendiri karena kurangnya bukti-bukti pendukung. (Lihat Depdikbud: 1978) Timbulnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M, membuat nama Tulang Bawang tidak dijumpai lagi dalam kronik Cina. (Depdikbud: 1978) Eksistensi Tulang Bawang baru muncul kembali pada periode Kesultanan Banten sekitar abad



64



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



ke-16 M, disebutkan bahwa terdapat wilayah penghasil lada yang terletak di sisi Sungai Tulang Bawang dan menjadi salah satu pemasok lada bagi Kesultanan Banten. Walau diwilayah itu tidak pernah ditemui suatu kekuasaan politik lokal yang dominan, seperti wilayah sungai-sungai besar lain yang ada di Sumatera yang tumbuh pusat politik seperti di Musi (Palembang), Batang Hari (Jambi), Indra Giri (Riau), Siak (Sumatera Utara), dan lainnya, Sungai Tulang Bawang tetap menjadi penting sebagai sarana jalur perdagangan rempahrempah di kawasan Asia Tenggara. (Asnan: 2016) Pada periode abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19, Sungai Tulang Bawang menjadi arena perebutan pengaruh kekuasaan yang lebih besar ketika itu yaitu antara Banten, Palembang, Belanda, dan Inggris untuk mengontrol jalur perdagangan rempahrempah yang merupakan komoditas penting saat itu. (Ariwibowo: 2018)



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



65



Keterangan: Peta Lampung di awal abad ke-20 (Menggala dan Sungai Tulang Bawang tanda panah) Sumber gambar: Broesma: 1916



Komoditas Perdagangan Utama Meilink-Roelofsz (1962) dalam bukunya menyebut bahwa wilayah Tulang Bawang-Sekampung menjadi sentra komoditas kapas, hasil laut, beras, buah-buahan, dan sebagian kecil emas. Wilayah ini menjadi salah satu penghasil lada



66



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



terbaik, meskipun jumlahnya masih dalam skala kecil karena masih dibudidayakan oleh rakyat. Meilink-Roelofsz mengatakan jumlah produksi lada di Tulang Bawang pada sekitar awal abad ke-16 masih berada di bawah jumlah komoditas kapas. (Ariwibowo: 2017) Sungai Tulang Bawang memiliki panjang kurang lebih 136 km ini, memiliki sekitar 6 anak sungai lain yang memiliki panjang lebih dari 100 km. Anak Sungai Tulang Bawang ini menjadi penghubung wilayah Tulang Bawang dengan wilayahwilayah di pedalaman Bengkulu dan Palembang. Keberadaan Sungai Tulang Bawang berperan penting proses tumbuh dan berkembangnya peradaban di Lampung. Selain sebagai sarana transportasi dan pertukaran ekonomi yang menghubungkan dengan daerah pantai hingga pedalaman, rupanya juga menjadi pertukaran pengetahuan antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya. Hal tersebut yang kemudian melahirkan tempat bertemunya berbagai kepentingan tersebut, yang kemudian tumbuh menjadi sebuah kota yang ramai bernama Menggala. Berdasarkan tradisi lisan, sebelum bernama Menggala, wilayah ini dikenal sebutan Gattau Tejang / Rantau Tijang. (Warganegara; Hary Ganjar Budiman, dkk. 2016) Posisi Menggala yang cukup strategis di sisi selatan Sungai Tulang Bawang dan berada dekat dengan pusat-pusat perkebunan lada disekitarnya, menjadikan wilayah ini tempat dikumpulkannya berbagai komoditas perdagangan sebelum diangkut ke wilayah lain di luar Tulang Bawang. Menggala tumbuh menjadi bandar niaga di Lampung yang ramai. Menggala dihuni berbagai suku bangsa lain di Nusantara, ada Palembang, Bugis, Banten, dan orang-orang Lampung lain di MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



67



sekitarnya. Selain berdagang, suku bangsa lain juga ada yang mencari ikan dan membuka perkebunan lada dan komoditas lain di sekitar Sungai Tulang Bawang, mereka juga membuat pemukiman disekitar Kota Menggala. Kondisi tersebut menjadikan Menggala sebagai daerah terbuka terhadap dunia dan peradaban luar, terlihat dari adat istiadat dan tabiat orang Menggala khususnya dan kepada masyarakat Lampung secara keseluruhan dalam pandangan hidupnya. Dalam buku De Eerste Schipvaart Der Nederlanders Naar Oost-Indië Onder Cornelis De Houtman (Pelayaran Pertama Orang Belanda ke Hindia Timur Di Bawah Cornelis de Houtman) disebutkan bahwa wilayah pelabuhan di Sumatera, seperti Barus, Pariaman, Tulang Bawang, Indragiri, dan Jambi menjadi pusat dari komoditas perdagangan lada (lada hitam dan putih), cangkang kura-kura, kapas, dan lainnya. Sebelum Banten menutup pelabuhan-pelabuhan di wilayah kekuasannya kecuali pelabuhan Banten pada masa wali raja Pangeran Ranamenggala untuk membendung monopoli VOC ,di sekitar Sumatera, para pedagang dari Tiongkok dan Portugis dapat membeli langsung komoditas lada dari Tulang Bawang. (lihat dalam Ariwibowo: 2017) Membeli lada langsung di Tulang Bawang akan memperoleh keuntungan yang sangat besar menurut catatan Cornelis de Houtman. Para pedagang dari Tiongkok yang membeli lada di pelabuhan Tulang Bawang biasanya menjual lada-lada ini ke pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa, Malaka, dan Banten, di samping tentunya di wilayah Tiongkok daratan. Selain lada, wilayah Tulang Bawang juga menghasilkan kamper, kapas, kayu, dan kemenyan (Rouffaer dan Ijzerman, 1925, Tweede Deel: dalam Ariwibowo: 2017)



68



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Setelah kemunduran Kerajaan Banten akibat perjanjian dengan VOC pada 1684, terjadi perubahan bagi kehidupan masyarakat Tulang Bawang dan Lampung secara keseluruhan. (Depdikbud: 1978) VOC memonopoli dan mengatur perdagangan di wilayah Lampung. Mereka mempertahakan penanaman lada yang telah dilakukan, juga memperluas perkebunan-perkebunan lada di wilayah lain di Lampung, termasuk mengenalkan komoditas-komoditas tanaman baru. Sepanjang abad ke-17, Lada menjadi komoditas utama bagi VOC, meskipun harga lada mengalami penurunan yang sangat besar pada paruh kedua abad ke-17 M. (Ariwibowo: 2018) Kemunduran VOC pada akhir abad ke-18 turut mempengaruhi kondisi politik, sosial dan ekonomi di sekitar Sungai Tulang Bawang. Perniagaan di Menggala mengalami kemunduran akibat bubarnya VOC dan ketidakstabilan politik di kawasan Hindia Belanda termasuk perang yang dilakukan oleh Radin Intan I, Radin Intan II, dan Batin Mangoenang di sepanjang periode 1817-1856 dengan Belanda, membuat perdagangan lada sebagai komoditas utama perdagangan di Menggala mengalami kemunduran tajam. (Lihat Depdikbud: 1978; Ariwibowo: 2017) Pada pertengahan abad ke-19, pemerintah Kolonial Belanda berhasil menegakkan kembali sumpremasi atas wilayah Lampung. Belanda memulai kembali pembudidayaan dan perdagangan lada di wilayah Lampung. Namun peran Sungai Tulang Bawang sebagai jalur transportasi utama jalur perdagangan ini mulai ditinggalkan. Meskipun perdagangan lada mengalami perkembangan yang sangat baik pada dekade awal abad ke-20, Menggala justru mengalami kemunduran sebagai Bandar Niaga yang melalui jalur sungai. MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



69



Pembangunan jalan raya dari Teluk Betung ke Menggala sejauh 130 km serta jalur kereta api yang menghubungkan wilayah Sumatera Selatan, yang tujuan awalnya sebagai upaya menghemat waktu distribusi hasil bumi membuat peran jalur Sungai Tulang Bawang sebagai sarana transportasi utama perdagangan hasil bumi mulai ditinggalkan. Keberadaan Teluk Betung yang menjadi pusat perdagangan di wilayah Sumatera bagian selatan semakin memperparah kemuduran pelabuhan Menggala. (Broesma, R. 1916; Lihat Ariwibowo: 2017)



Keterangan gambar: perahun di Sungai Tulang Bawang. Sumber gambar: Broesma: 1916.



70



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Pemerintah kolonial berpendapat bahwa perdagangan melalui jalur sungai seperti Tulang Bawang dan Mesuji di Karesidenan Lampung dinilai sangat berbahaya dan tidak aman. Selain itu, pembangunan jalan raya dan kereta api oleh pemerintah kolonial Belanda juga sebagai upaya untuk meredam konflik dengan penanganan yang lebih cepat dan efisien. Semakin ramainya wilayah Lampung termasuk karena kehadiran para transmigran (kolonisasi) pada awal abad ke-20 membuat kebutuhan transportasi penumpang dan barang di wilayah Lampung meningkat, pada periode ini komoditas perdagangan di wilayah Lampung bukan hanya lada, tetapi juga karet, cengkeh, kapas, damar, kopi, benang sutera.



Bukti Peninggalan Kejayaan Masa Lalu Menggala Berdasarkan buku Tinggalan Sejarah di Tulang Bawang karya Hary Ganjar Budiman, dkk (2016), di Menggala masih terasa sisa-sisa kejayaan berupa peninggalan kebudayaan sebagai kota niaga. Salah satunya pelabuhan kecil di tepi Sungai Tulang Bawang yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Tanggo Rajo (Tangga Raja) yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, dibangun saat Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin sebagai tempat transaksi lada. Di tempat ini pula menjadi tempat persinggahan kapal-kapal uap ataupun perahu-perahu yang menghubungkan Menggala dan Teluk Betung hingga Singapura. Bekas pelabuhan tersebut kini hanya digunakan sebagai tempat kegiatan adat dan tujuan wisata di Menggala setelah dipugar pada tahun 2010.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



71



Keterangan gambar: Tangga Raja (Tanggou Rajo) Menggala pada awal abad ke-20. Sumber gambar: Broesma: 1916.



Keterangan gambar: Tempat tambatan perahu di Menggala pada awal abad ke20. Sumber gambar: Broesma: 1916.



Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa akibat menjadi bandar niaga yang ramai, Menggala menjadi kota terbuka, berbagai kebudayaan memberi pengaruh terhadap perkembangan masyarakat termasuk dalam bidang keagamaan. Hal ini terlihat adanya peninggalan masjid tua yang dibangun pada tahun 1830 M yang diberi nama Masjid Agung Kibang dengan menaranya dibangun tahun 1913 M. Masjid ini masih bisa disaksikan di Jalan 1 Kibang, Kecamatan Menggala, Tulang Bawang.



72



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Keterangan: Menara Masjid Agung Kibang, Masjid yang diresmikan tahun 1830 ini telah mengalami beberapa kali renovasi sebelum menjadi bentuk sekarang. (Sumber: Hary Ganjar Budiman, dkk: 2016)



Peninggalan penting lainnya yaitu tata kota Menggala yang awalnya membujur sepanjang kurang lebih 5 km di sisi bagian selatan Sungai Tulang Bawang atau kini dikenal dengan Jalan 1 (Sraat/ Straat 1), disepanjangan jalan tersebut dapat ditemui berbagai peninggalan khas kota di pinggir sungai yaitu rumah-rumah panggung dari kayu yang terlihat kokoh dan besar. Selain itu karena sejak tahun 1857, Menggala dijadikan ibukota Lampung bagian tengah yang dikepalai oleh seorang MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



73



Asisten Residen maka tata kota Menggala ikut menyesuaikan sesuai tata kota pemerintahan yaitu ada kantor polisi, kantor pos, gedung Perwatin, dan gedung HIS (Hollandsch-Inlandsche School) yang hingga kini masih bisa disaksikan di bagian ujung selatan dari Jalan 1 ini, walau kini telah mengalami perubahan fungsi dan renovasi. Sekitar 2 km ke arah utara, bisa disaksikan peninggalan rumah tinggal penguasa Marga Buay Bulan yaitu Pangeran Warganegara ke-4 yang bergelar Sultan Ngukup. Bangunan yang dibangun menggunakan kayu tembesu pada tahun 1879 ini masih mempertahakan arsitektur lama dengan interior dan perabot yang masih dipelihara dengan baik.



Keterangan: Rumah kediaman Pangeran Warganegara ke-4 yang bergelar Sultan Ngukup, masih bisa dilihat di Jalan 1 Lebuh Dalem Menggala. Sumber foto: (Hary Ganjar Budiman, dkk: 2016)



74



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Di bagian ujung Jalan 1 (Straat 1) ini terdapat bangunanbangunan panggung seperti ruko yang terbuat dari kayu mapun yang sudah dikombinasikan dengan semen yang difungsikan sebagai rumah tinggal dibagian atas dan dibagian bawah sebagai tempat berjualan, daerah ini dikenal dengan nama pasar atas. 500 meter ke utara terdapat perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Bugis dan disisi timurnya terdapat Kampung Palembang (pasar lama Menggala). Berdasarkan toponim tersebut dapat diperkirakan dahulu memang terdapat masyarakat bersuku lain yang berdiam di Menggala. Hal tersebut tidak mengherankan karena tidak jauh dari Kampung Bugis terdapat pelabuhan / dermaga boom yang dahulu difungsikan sebagai tempat kapal-kapal dagang dan tempat bersandarnya perahu-perahu transportasi yang membawa hasil bumi yang dikumpulkan dari sekitar Menggala ke daerah lain,



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



75



Keteranga: Bekas dermaga/boom (gambar 1), Pasar Atas (Gambar 2), Kampung Bugis (2) Sumber: Dikutip dari buku Hary Ganjar Budiman, dkk: 2016



Tata kota Menggala dalam perkembangnnya mengalami perluasan ke arah timur. Ciri khas utama tata kota ini adanya jalur-jalur pemukiman yang lurus-lurus yang membujur dari utara-selatan dengan penamaan menggunakan kata serapan Belanda seperti Jalan 1 (Straat/ Sraat 1), Jalan 2 (Straat/ Sraat 2), Jalan 3 (Straat/ Sraat 3), Jalan 4 (Straat/ Sraat 4), Jalan 5 (Straat/ Sraat 5). Saat ini dikota lama Menggala ini masih bisa



76



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



disaksikan rumah-rumah panggung khas Lampung baik yang masih menggunakan kayu maupun sudah dengan batu bata dengan arsitektur mengadopsi dengan rumah khas lampung maupun berbagai kebudayaan luar seperti rumah bergaya kolonial. Selain peninggalan berupa bangunan, bisa ditelusuri jejak-jejak konglomerat Indonesia yang sukses ditingkat Internasional yang berawal dari aktivitas niaga di Menggala, misal Agoes Moesin Dasaad yang mendirikan Dasaad Moesin Concern.(Mestika Zed: 2003) Sosok ini merupakan konglomerat pribumi sebelum kemerdekaan, dan beliau turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosok lainnya yaitu Achmad Bakrie ayah dari Aburizal Bakrie yang mendirikan Firma Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent pada 1942. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan umum dan agen hasil bumi, seperti kopi, lada, cengkeh, dan tapioka. (https://www.viva.co.id/)



Kondisi Menggala Saat Ini Pembangunan jalur kereta api antara Tanjung KarangPalembang dan dibangunnya jalan raya Menggala-Teluk Betung serta berkembangnya transportasi darat pada perempat pertama abad ke-20 oleh bebeerapa penelitian dianggap penyebab utama kemunduran Menggala sebagai pusat perniagaan sungai di Lampung. (lihat Ariwibowo, 2018; 2017; Hary Ganjar Budiman, dkk.:2016). Namun perlu dilihat juga bahwa kemunduran Menggala juga disebabkan oleh masuknya kapitalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan besar (onderneming) yang mulai masuk sejak dikeluarkannya MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



77



Undang-Undang Agraria tahun 1870 (agrarische wet). Perkebunan besar kopi dan karet pertama kali dibuka di onder afdeling Teluk Betung, yaitu di Way Lima (1889), Way Rate (1893) dan di Sungai Langka (1899). Pembukaan perkebunanperkebunan besar di Lampung meluas hingga awal abad ke-20. Sehingga komoditas hasil bumi yang awalnya diusahakan secara terbatas oleh masyarakat kalah bersaing dengan komoditas-komoditas baru yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. (Depdikbud:1978) Penetapan-penetapan tanah yang dimiliki milik Marga atau yang belum digarap menjadi tanah negara (boscbwezen) atau oleh masyarakat lampung menyebut sebagai “hutan larangan”. Penetapan ini berlangsung mulai tahun 1922 hingga 1942, dan menurut catatan yang ada telah diselesaikan sebanyak 51 register (kawasan hutan) yang melarang masyarakat untuk mengolah dan mendiami kawasan yang telah dikuasai oleh negara kolonial tersebut.( Kusworo: 2000) Hal ini menyebabkan areal bertanam dan berladang masyarakat semakin berkurang. Program migrasi (kolonisasi) yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada awal abad ke-20, turut menjadi faktor lain dari mundurnya Menggala sebagai kota niaga dan transportasi sungai. Karena pemerintah kolonial lebih menitik beratkan jalur darat sebagai sarana transportasi, hal tersebut terbukti dengan adanya jalan-jalan raya yang menghubungkan berbagai wiilayah di Lampung termasuk kendaraan bermotor telah masuk sebagai sarana transportasi yang dianggap lebih aman dibanding melalui sungai. Pada awalnya perubahan-perubahan diatas tidak memberi pengaruh secara langsung oleh masyarkat asli,



78



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



karena secara jumlah penduduk masih sedikit dan ketersediaan lahan untuk perladangan dan pertanian masih dianggap luas. Namun dari segi pereknomian Menggala sebagai pelabuhan niaga semakin pudar peranannya. Yang perlu mendapat perhatian serius kini yaitu kemuduran kota-kota tua di Lampung termasuk di Menggala sendiri yang ibarat “hidup segan, matipun tidak mau”, yang tersisa hanya bangunan-bangunan tua yang bernilai sejarah yang menunggu roboh tanpa banyak pemeliharaan dan perhatian. Selain itu eksistensi masyarakat asli semakin tersingkir, sebagai contoh Kota Menggala yang kini terkungkung oleh penguasaan lahan adat/ulayat oleh perusaahan Sugar Group Companies yang menguasai lahan adat Ujung Gunung, termasuk sengketa oleh lahan yang dikuasi militer Astra Kestra yang terjadi tahun 1990-an hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. (Hermawan, Dedy, dkk: 2017) Dibagian utara Menggala lahan-lahan menjadi wilayah transmigran, dan dibagian selatan dibatasi lahan-lahan milik perusahaan juga yang diperoleh melalui kongkalikong antara oknum adat, pemerintah dan perusahaan untuk menguasai lahan-lahan yang seharusnya bisa dikelola oleh masyarakat asli/adat dan memberikan kesejahteraan lebih kemasyarakat ketimbang dikuasai oleh perusahaan yang lebih menguntungkan segelintir elit dan masyarkat hanya menjadi budak ditanah leluhurnya. Masyarakat Menggala yang semakin banyak, dan kebutuhan akan akses tanah semakin meningkat, namun tanah leluhurnya dikuasai oleh korporasi besar yang didukung negara melalui mekanisme undang-undang dan hukum formal lainnya. Kini kejayaan Menggala hanya tinggal MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



79



cerita, hanya menjadi pemuas nostalgia dan penenang masyarakat yang sebenarnya sudah tersingkir secara perlahan. Walau kini Menggala dikenal pusat pemerintahan Kabupaten Tulang Bawang, namun tidak banyak perubahan yang berarti dan kalah dengan wilayah sekitarnya, yang kuasa tanah dipegang masyarakat misal di Metro mungkin?



80



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Bagian 8 Arsitektur dan Penguatan Identitas Rumah Daswati (Daerah Swantara Tingkat) Kota Bandar Lampung



(Diana Lisa)



A



rsitektur ada sebagai wujud pemenuhan kebutuhan ruang kegiatan manusia dan barang. Arsitektur memberi ruang gerak manusia untuk berinteraksi dan berhubungan sosial antar sesama. Ruang yang tercipta guna memenuhi fungsi kebutuhan manusia sebagai pengguna serta makhluk lainnya di alam ini. Demikian juga sebagai tempat bernaung, tempat perlindungan dari lingkungan buatan (built environment) dengan berbagai macam kegunaan. Lalu, apa sebenarnya arsitektur.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



81



Gambar.1. Bangunan arsitektur Sumber : https://www.google.com/search?q=gambar+ikonik+bangunan+arsitektur



Berawal dari asal mula budaya arsitektur sebagai tempat bernaung untuk bertahan hidup seperti tempat bernaung yang paling sederhana di Tierra Del Fuego (Argentina), tempat tinggal orang Indian Amerika di Wisconsin dan Minnesota sampai pada tempat bernaung orang Eskimo (Snyder, Catanese., hal.4).1 Selain sebagai tempat bernaung, arsitektur juga berfungsi melindungi manusia dan kegiatannya serta harta miliknya dari elemen, musuh seperti manusia, hewan dan kekuatan adikodrati, penekanan pada identitas sosial dan menunjukkan status. Dan dengan demikian, pemahaman asal mula arsitektur dari sudut pandang yang 1



Snyder. James.C dan Catanese, Anthony.J.,1991,’Pengantar Arsitektur’ : 4



82



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



lebih luas dan ditinjau dari faktor sosio-budaya, melebihi pentingnya dari iklim, teknologi, bahan-bahan serta ekonomi(Snyder, Catanese., hal.4,5).2



Gambar.2. Tempat penaungan di Kepulauan Tierra Del Fuego Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Tierra_del_Fuego



Di sisi lain dari sudut pandang yang berbeda, arsitektur sebagai salah satu unsur kebudayaan dapat dipandang sebagai pengetahuan yang memasalahkan pemberian bentuk serta mengandung makna yang tak dapat dipisahkan dengan segenap aktivitas kehidupan manusia (Suardana, I.N.G., hal.2).3 Dengan arsitektur melalui bangunan, pembentukan karakter manusia penghuninya berawal dari sini.Berperilaku, bersikap, pengetahuan dasar semua berawal dari bangunan, salah satunya adalah rumah tinggal. Dalam perjalanan sejarah yang panjang serta perkembangannya saat ini, perwujudan arsitektur telah mengalami proses yang tidak saja terwujud tanpa dasar, tapi arsitektur tercipta demi mewujudkan pewadahan yang berkesinambungan dan berinteraksi dengan alam tempat wujud bangunan arsitektur tersebut ada. Bangunan tidak berdiri sendiri, tapi bagaimana mewujudkan bangunan baru 2



Idem: 4,5 Suardana, I.N.G., 2015, “Rupa-rupa Arsitektur Bali”: 2



3



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



83



serasi bersinergi dengan alam lingkungan tempat bangunan tersebut diciptakan, dimanapun, di bagian dunia manapun bangunan arsitektur tercipta sebagai dasar hasil pemikiran pengetahuan manusia yang membuatnya. Seperti yang tertulis secara jelas dalam peraturan perundangan berikut ini. Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan (UU No. 6 Tahun 2017).4 Dalam penerapannya saat ini telah banyak bermunculan karya-karya bangunan arsitektur yang luar biasa yang menggugah siapapun orang yang melihatnya. Dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran ilmu aristektur, bangunan yang tercipta berdasarkan kaidah konsep, konstruksi dan teknologi yang di dukung dengan memasukkan beberapa unsur langgam atau gaya (style) tertentu sebagai manifestasi dari asal arsitektur tersebut dari berbagai belahan dunia, tidak terkecuali nilai keindahan/estetika (aesthetic) dari bangunan tersebut.



Penguatan Identitas Pada awal manusia ada di muka bumi, manusia beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal dimana berada. Manusia memerlukan ruang sebagai tempat melakukan aktifitas. Untuk melindungi diri dan keluarga dibuat pembatas 4



Undang-undang Nomor 6 Tahun 2017, Bab 1, Pasal 1, Ayat 1,’ Tentang Arsitek’.



84



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



yang secara sederhana menjadi perantara antara dunia dalam dan luar. Dibuat penutup atap sebagai perlindungan dari hujan dan panas, dibuat dinding untuk perlindungan dari sesama. Salah satu bentukan arsitektur yang paling purba adalah gundukan tanah. Gundukan merupakan prinsip konstruksi paling sederhana yang dapat dibuat. Kegiatan ini melibatkan aktivitas menumpukkan material tertentu misalnya pasir, tanah, batu, batang kayu, hingga melibatkan batu bata dan batu yang sudah diproses (dressed stones) sehingga mencapai bentuk dan ketinggian tertentu. Sering kali pembentukan gundukan disertai dengan aktivitas menggali; mengurangi volume sebuah lahan di tempat tertentu untuk menambah volume di tempat lain. (Sopandi. S, hal. 2)5. Demikianlah terbentuknya suatu naungan.



Gambar.3. Gundukan tanah sebagai rumah semut di Merauke Sumber :https://www.google.com/search?q=gambar+gundukan+tanah



5



Sopandi. S, 2013.,’Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar’ : 2



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



85



Saat ini, dimana keadaan telah berubah sesuai kondisi tempat yang secara geografis membedakan satu dengan yang lain, serta menjadikan identitas tempat/jatidiri dari suatu tempat atau kota sebagai penanda. Kota memiliki kesan apabila terdapat benda seperti bangunan menarik dan spesifik atau memiliki kekhasan/keunikan tersendiri atau apapun bentuknya serta meninggalkan kesan mental yang kuat bagi yang mengamatinya. Bangunan yang ada tersebut baik berupa bangunan rumah tinggal maupun bangunan publik lain seperti rumah sakit, perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah dan lain-lain sejak awal perencanaan hingga dirancang telah memenuhi kaidah fungsi yang sesuai dengan peruntukannya. Di beberapa kota di Indonesia, sejak jaman dulu yakni sejak peninggalan penjajahan Belanda, kota-kota dipenuhi dengan berbagai macam bentuk bangunan secara khas memperlihatkan arsitektur tersebut pada masanya. Yakni arsitektur Belanda yang biasa disebut dengan arsitektur Indies. Hampir di seluruh kota di Indonesia berdiri bangunan khas Belanda yang memiliki langgam gaya (style) seperti memperlihatkan bentuk bangunan yang gagah/monumental, tinggi dan lebar, pemakaian bahan lokal/setempat yang ada seperti batu kali, penerapan bentuk atap dengan tritisan yang lebar sebagai bentuk adaptasi terhadap iklim tropis Indonesia, demikian halnya dengan bukaan pintu dan jendela yang lebar dan sebagainya.Dan keberagaman bentuk bangunan serta langgam/gaya (style) dari setiap bangunan pada akhirnya memiliki identitas serta simbol dari daerah dimana bangunan tersebut ada. misalnya Kota Jakarta identik dengan kawasan Tugu Monas dan sekitarnya, Kota Bandung dengan Gedung Satenya yang megah dan monumental, Kota Semarang dengan Gedung Lawang Sewu dan sebagainya.



86



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Gambar 4. Gedung Lawang Sewu dan Gedung Sate Sumber : https://www.google.com/search?q=arsitektur+indies



Dari penjelasan tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa bangunan yang ada di setiap tempat di beberapa kota di dunia bahkan di Indonesia akan memberi penanda sebagai citra (image) dari sebuah kota dengan hiruk pikuk kegiatan yang berlangsung didalamnya. Suatu kekhasan dari benda tersebut akan memberi kesan mental yang berbeda bagi setiap orang yang memandang. Suatu kota akan selalu dikenang melalui memori yang ada padanya.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



87



Rumah Daswati Bagi anda yang pernah datang dan mungkin tinggal di kota Bandar Lampung sudah tentu tidak asing dengan sebutan Rumah DASWATI. Orang akan mengingat melalui pesan dan kesan dari setiap sumber baik media massa atau media elektronik bahwa dikatakan rumah ini memiliki perjalanan panjang bagi sejarah terbentuknya Provinsi Lampung.



88



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Gambar 5.Rumah DASWATI Sumber :dokumentasi pribadi, dan ilustrasi 2017,



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



89



Gambar 6. Lokasi Rumah Daswati Sumber : Google Maps 2019



Berlokasi di Jalan Tulang Bawang nomor 11, Kelurahan Enggal, Kecamatan Enggal Kota Bandar Lampung. Bangunan ini berbataskan tapak (site) yaitu sebelah utara : berbataskan dengan lahan Auto 2000, sebelah selatan : berbataskan dengan Jalan Tulang Bawang, sebelah barat : berbataskan dengan gudang Auto 2000 serta di sebelah timur : berbataskan dengan lahan parkir kendaraan Auto 2000. Sejak jaman pendudukan Jepang dengan perang pasifiknya (1941), keresidenan Lampung sebagai bagian dari Provinsi Sumatera (1945), keresidenan Lampung pada masa pemerintahan darurat (1947), hingga perubahan penetapan ketentuan menjadi Negeri (1956) hingga terakhir dari KEPUTUSAN PRESIDEN nomor 22 tahun 1963 Pemerintahan Kawedanan dihapuskan, maka sejak tahun 1963 keresidenan Lampung adalah keresidenan, kabupaten, kecamatan dan negeri. Pada tahun 1963, timbullah perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Lampung, yaitu dengan adanya Peraturan Presiden No. 22/ 1963, maka Pemerintahan Kawedanan dihapuskan. Dengan demikian, maka hirarki



90



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



pemerintahan di keresidenan Lampung sejak tahun 1963 adalah keresidenan, kabupaten, kecamatan, dan negeri.Sejak saat itu, mulai bulan Pebruari 1963, dimulailah sebuah perjuangan baru, yaitu perjuangan yang terorganisir oleh pemerintah dan rakyat Lampung untuk merubah keresidenan Lampung menjadi Provinsi Lampung (Warganegara. A, 2011)6. Setelah masa sejarah , hingga masa perjuangan yang terorganisir ini menjadi cita-cita warga Lampung, maka sejarah rumah DASWATI kembali diawali dengan babak baru. DASWATI singkatan dari Daerah Swantra Tingkat. Sebutan untuk Kota Bandar Lampung dulu disebut DASWATI 1. Daswati I merupakan cikal bakal pemerintahan provinsi. Daswati I Lampung yang baru melepaskan diri dari Daswati I Sumatera Selatan baru memiliki Daerah Tingkat II Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Kotapraja Tanjungkarang-Telukbetung (embrio Kota Bandar Lampung). Upacara serah terima penyerahan kewenangan pemerintah Daerah Swatantra Tingkat (Daswati) I Sumatera Selatan kepada Daswati I Lampung berlangsung pada tanggal 18 Maret 1964, serta resmi sebagai Kantor Daswati I Lampung. (Wahyu, 2013)7. Sebelum Provinsi Lampung terbentuk awal pemikiran atau cikal bakal dari provinsi ini dicetuskan pada sebuah rumah yang kini dikenal dengan sebutan ‘Rumah Daswati’. Rumah yang menjadi saksi bisu peristiwa pembentukan Provinsi Lampung ini dahulunya adalah milik Kolonel Achmad Ibrahim. Bangunan ini dahulunya juga berfungsi sebagai kantor Front Nasional (FN), sebuah organisasi massa yang dibentuk oleh presiden pertama 6



Warganegara. A,2011, Facebook, Sumirat. D. W, 2013,’Rumah DASWATI Sejarah Lampung Terlupakan’, Retrieved from https://dananwahyu.com/2013/09/10/rumah-daswati-sejarah-lampung-terlupakan/ 7



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



91



Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Organisasi Front Nasional ini adalah bagian dari pemerintah untuk membangun Republik Indonesia setelah perang kemerdekaan. Panitia 13 Persiapan Pembentukan Provinsi Lampung melakukan berbagai aktivitas dalam upaya berpisah dengan DASWATI I Sumatera Bagian Selatan di tahun 1963.



Gambar.7. Rumah DASWATI Sumber :https://www.google.com/search?q=Gambar+rumah+daswati



Perjalanan panjang sejarah dari suatu kota tak akan lepas dari cerita dimana sejarah mengukir hingga masa kini. Keberadaan bangunan yang bernilai tinggi sebagai hasil dari perjalanan sejarah tak mudah dilupakan begitu saja. Identitas dan kesan citra dari suatu kota tercermin dari bagaimana masyarakat sebagai warga kota akan mengenangnya dengan banyak cara. Melalui kegiatan pelestarian bangunan akan



92



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



banyak didapat manfaat bangunan itu sendiri demi eksistensi bangunan kawasan kota. Sehingga, melalui kegiatan perlindungan, pemeliharaan serta pengawasan bangunan tua maupun kawasan akan terukir citra kota yang diidamkan selama ini yakni konservasi.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



93



Bagian 9 Tugu Mardirahayu dan Kenangan Agresi Militer Belanda di Lampung



(Utara Setia Nugraha)



T



ugu Mardi Rahayu merupakan tugu yang dibangun untuk mengenang peristiwa pertempuran Agresi Militer Belanda II di Lampung, di mana tugu tersebut memiliki sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Tugu tersebut memiliki keunikan tersendiri, tidak berada di tengah kota tetapi di sebuah desa bernama Gantimulyo. Tugu tersebut merupakan upaya masyarakat dalam menjaga memori kolektif mereka supaya generasi berikutnya dapat mengetahui perjuangan para pendahulunya. Namun, banyak masyarakat yang belum bisa menceritakan sejarah tugu tersebut dan latar belakang pendiriannya maupun keadaan dan potensinya saat ini.



Sejarah Tugu Mardi Rahayu Pembangunan Tugu Mardi Rahayu tidak bisa dilepaskan dari sebuah peristiwa yang melatarbelakanginya yaitu pertempuran antara rakyat Indonesia melawan Belanda di Desa Gantimulyo. Sekitar akhir tahun 1948 hingga awal tahun 1949, sekutu melakukan penyerangan kembali. Periode ini



94



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



dikenal dengan Agresi Militer Belanda II (Sair, 2019). Pada peristiwa ini terjadi pertempuran antara tentara dan masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda. Ketika Terjadi Agresi Militer Belanda Ke II Pada Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan besarbesaran yang mengakibatkan pemimpin Indonesia seperti Sukarno, Hatta dan Syahrir ditangkap. Lampung juga terkena dampak dari peristiwa revolusi fisik tersebut. Tanggal 1 Oktober 1949 (dini hari) Angkatan Laut Indonesia (ALRI) di Kalianda mendorong mundur sebuah kapal perang Belanda menuju Telukbetung. Pagi harinya, kapal perang Belanda yang hendak berlabuh di Panjang diserang dan ditembaki oleh ALRI. Ini pertama kalinya ALRI melakukan pertempuran laut dengan senjata yang tidak proporsional. ALRI sendiri sebagai tentara yang bertugas mengamankan dan melindungi laut Indonesia itu tergolong masih sangat minim pengalaman. berawal dari dibentuknya TKR laut pada 25 november 1945 yang merupakan cikal bakal dari ALRI. Nama TKR Laut diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) Laut Pada 25 januari 1946. Selanjutnya Berubah lagi menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada Februari 1946 (Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2018). Karena belum lama dibentuk dan dari segi pengalaman masih baru, sehingga tentara Belanda yang berpengalaman akhirnya bisa mendarat di Gunung Kunyit dan Telukbetung. Setelah masuk ke kota Tanjungkarang – Telukbetung, Belanda melanjutkan perjalanan menuju Tegineneng (Wilayah Pesawaran yang sekarang berbatasan dengan Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Kota Metro) dan menuju arah barat sampai



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



95



Kemiling (Wilayah Bandarlampung Pesawaran sekarang).



berbatasan



dengan



Belanda masuk ke Kewedanaan Metro pada 3 Januari 1949. Sejak surat perintah perang muncul maka untuk mengamankan daerah ini dari serangan Belanda yang ingin merebut kembali wilayah Lampung Tengah, tempat ini digunakan sebagai basis pertahanan para gerilyawan melawan penjajah. Tempat ini adalah ujung dari perjalanan panjang bangsa yang berawal dari Bedeng 12 Tempuran Trimurjo. Pada masa revolusi fisik, Lampung Tengah merupakan daerah pertahanan di bawah Komado Front Utara yang berpusat di Kotabumi. Waktu itu beberapa kota strategis di Lampung Tengah selalu menjadi incaran Belanda karena letaknya strategis baik dilihat dari segi politik, ekonomi maupun militer. Khusus di Kewedanaan Metro dan Kabupaten Lampung Tengah, rakyat ingin mempertahankan Kewedanaan Metro dan tak ingin jatuh ke dalam penguasaan tentara Belanda. Akan tetapi hal tersebut gagal. Setelah Metro jatuh ke tangan Belanda akibatnya basis-basis perjuangan dibuat di luar Metro, salah satunya di Gantimulyo. Dipilihnya Gantimulyo sebagai basis perjuangan karena letaknya yang strategis karena masih berdekatan dengan Kewedanaan Metro. Selain itu wilayahnya masih berupa hutan, maka memudahkan para pejuang untuk berlindung. Selain itu masyarakat di sekitar Gantimulyo juga mau memasok kebutuhan para pejuang. Menurut cerita lisan, terjadi baku tembak antara Belanda dan para pejuang di Gantimulyo. Serangan Belanda dimulai pukul 9.00 pagi, saat itu pasukan sedang berada di kediaman Bapak Noyo Darmo yang saat itu dijadikan markas sementara.



96



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Belanda datang dari arah Metro kemudian terjadilah pertempuran di sana. Perlawanan para pejuang dipimpin oleh Pak Cokro. Dalam pertempuran itu banyak yang gugur di antaranya Mardi, Sujud, Kastojo, Atmo dan Tamin yang pada waktu itu dimakamkan secara darurat. Sebagai penghormatan kepada pejuang yang telah gugur dan sebagai upaya untuk terus mengenang pertempuran tersebut maka atas inisiatif Pak Cokro maka dibangunlah Tugu Mardi Rahayu di lokasi pemakaman tersebut. Proses pembangunannya diawali oleh Pak Cokro yang berinisiatif untuk membangun tugu atau monumen. Hal tersebut diungkapkan beliau kepada perangkat desa. Setelah beberapa kali rapat, akhirnya dimulailah pembangunan Tugu Mardi Rahayu pada 29 Agustus 1996. Saat proses pembangunan tugu tersebut melibatkan beberapa pihak antara Pak Cokro, Komandan II Sriwijaya (Kolonel Bibit Waluyo), Koramil Kecamatan Pekalongan, Pak Noyo Darmo serta swadaya masyarakat desa Gantimulyo. Warga bergotongroyong sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama. Biaya pembangunan tugu tersebut kurang lebih sebesar Rp. 35.000.000, yang diperoleh dari sumbangan masyarakat dan donatur utama yaitu Bapak Cokro. Dalam pembuatan Monumen Mardi Rahayu, Bapak Cokro sebagai koordinator baik materil maupun spiritual. Selain itu Bapak Noyo Darmo yang mewakafkan sebagian pekarangan rumahnya untuk pembangunan Monumen Mardi Rahayu. Dalam pembangunan monumen tersebut pihak desa Gantimulyo sangat mendukung, baik secara perizinan maupun yang berhubungan dengan surat menyurat yang dibutuhkan dalam pembangunan tersebut (Dwiansyah, 2013) MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



97



Kondisi Bangunan Tugu Mardi Rahayu Tugu Mardi Rahayu terletak Gantimulyo yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur. Dahulu desa tersebut bernama Gantiwarno. Karena pemekaran wilayah, Gantiwarno dibagi menjadi dua, salah satunya adalah Desa Gantimulyo. Letak geografis desa Gantimulyo adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan desa Gedung Dalam Baru, Kecamatan Pekalongan, sebelah selatan berbatasan dengan desa Gantiwarno, Kecamatan Pekalongan dan sebelah Barat berbatasan dengan desa Gantiwarno, Kecamatan Pekalongan (Kamelia, 2016).



Gambar 1. Bangunan Tugu Mardi Rahayu



Bentuk bangunan Monumen Mardi Rahayu pada bagian bawahnya berbentuk persegi empat setinggi tiga meter. Bagian atasnya terdapat dua patung pahlawan lengkap dengan senjata perang yang saling bertolak belakang. Monumen dikelilingi pagar besi berujung runcing setinggi satu meter



98



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



dengan luas wilayah 10 M2. Di bagian depan tugu terdapat tulisan surat perintah perang yang dikirimkan kepada Pak Cokro dan dibawahnya terdapat tahun pembangunan dan tanda tangan peresmian monumen. Tugu ini memiliki keterikatan pada masa lampau, juga keterikatan pada masayarakat Gantimulyo.



Gambar 2. Tulisan Surat Perintah Perang



Hasil wawancara dengan Bapak Muji selaku Kaur Pemerintahan di Gantimulyo, keterkaitan masyarakat dengan monumen Mardi Rahayu bisa dilihat dari sejarah yakni tahun 1949, terjadi pertempuran di daerah 37 Gantimulyo, dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Monumen ini di bangun sebagai simbol perjuangan rakyat melawan penjajah, juga sebagai penghargaan bagi para pejuang yang gugur dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa wajib ikut serta dalam membangun negeri tercinta yang sudah merdeka ini dan juga wajib bagi kita untuk memajukan tanah nenek moyang kita untuk berubah mejadi MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



99



lebih maju dan damai (sumber: wawancara Bapak Muji, 23 Juni 2013). Tugu Mardi Rahayu jika kita analisis secara mendalam tidak hanya merupakan penghargaan kepada pejuang yang gugur ataupun sekedar upaya simbolis mengenang perjuangan. Tugu ini menjadi ruang memori kolektif masyarakat. Jika dilihat dari definisinya, ruang memori merupakan ruang pengalaman hidup seseorang atau kelompok tertentu atau pengalaman yang diwariskan untuk menggambarkan kejadian yang telah lalu guna memaknai peristiwa yang telah terjadi dalam hidupnya. (Meidiana, n.d). Jadi Tugu Mardi Rahayu merupakan upaya masyarakat untuk mewariskan masa lalunya supaya generasi berikutnya dapat memaknai dan dapat mengambil nilai dari kejadian atau peristiwa di masa lalu. Kejadian atau peristiwa masa lalu tidak hanya diwariskan dengan ungkapan atau cerita-cerita lisan saja. Jika dianalisis lebih dalam, benda atau bangunan pun bisa menjaga ingatan kolektif. Ingatan kolektif tidak dapat dipisahkan dari media yang menyediakan informasi tentang masa lalu. Beragam media dapat digunakan untuk memahami, menafsirkan dan mengingat masa lalu. Contohnya, prasasti dan museum. Semua media tersebut melestarikan masa lalu sebagai bagian dari ingatan kolektif masyarakat di masa sekarang (Wattimena, 2016).



100



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Penutup Sangat penting mengetahui latar belakang berdirinya tugu Mardi Rahayu. Dengan mengetahui peristiwa tersebut, kita dapat mengetahui fungsinya sebagai upaya masyarakat menjaga ingatan mereka terhadap perjuangan revolusi fisik di Gantimulyo. Supaya generasi-generasi penerusnya dapat terus mengingat, menghargai dan memetik nilai dari perjuangan para pendahulunya. Oleh sebab itu kita sebagai generasi saat ini harus bisa mengerti, memaknai serta merekontruksi kembali fungsi awal dari dibangunnya tugu tersebut.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



101



Bagian 10 Potensi Museum Desa Rejoagung Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Lokal



(Adi Setiawan)



D



inamika kehidupan manusia dari era yang lalu hingga masa kini, tentu tidak terlepas dari segala aktivitas. Manusia adalah makhluk yang senantiasa bergerak, mencipta dan melakukan perubahan zaman. Manusia memiliki peranan penting dalam kehidupan di alam ini. Hancur atau majunya sebuah peradaban tidak dapat dilepaskan dari campur tangan manusia. Sebagai sebuah subjek yang berperan dalam perubahan zaman, sudah seharusnya manusia memiliki pandangan yang progresif. Pandangan ini perlu ada dalam setiap diri manusia. Pendidikan merupakan salah satu wahana untuk mendidik manusia menjadi individu yang baik, berwawasan luas, dan bertindak bijaksana. Dengan pernyataan lain pendidikan merupakan sebuah proses untuk memanusiakan manusia, tentu kegiatan pembelajaran adalah hal penting yang perlu dicapai oleh setiap individu. Pembelajaran sejarah merupakan sebuah langkah yang dapat diaplikasikan guna mewujudkan tujuan tersebut. Maka pembelajaran sejarah sesungguhnya adalah formula, yang finalisasinya adalah mencetak manusia yang berkarakter. Dari peristiwa-peristiwa masa lampau banyak manfaat yang dapat diambil oleh manusia. Maka proses penyampaian peristiwa masa lampau menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian



102



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



lebih. Terlebih pemilihan media pembelajaran guna tercapainya tujuan utama dari pembelajaran sejarah itu sendiri. Angkowo dan Kosasih (2007:14) menjelaskan bahwa penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan serta isi pelajaran saat itu. Penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh psikologis. Manusia adalah mahkluk yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Melalui panca inderanya manusia berusaha mengenali lingkungannya. Inilah watak manusia, dan pembelajaran sejarah yang menarik sesungguhnya harus dapat mengakomodir watak tersebut. Karena meleknya seseorang terhadap sejarah adalah langkah untuk menyadarkan karakter positif seorang individu. Dari berbagai macam media yang dapat membangkitkan minat belajar manusia terhadap pengetahuan sejarah adalah museum. Museum merupakan sebuah objek yang menyimpan benda-benda bernilai historis, tentunya akan dapat menyampaikan peristiwa masa lampau kepada manusia dengan lebih menarik. Mengutip Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995, tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum, menyebutkan bahwa museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia, serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Dalam penjelasan lain dalam buku Direktori Museum di MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



103



Indonesia disebutkan bahwa konsep definisi museum itu mengalami perubahan menyesuaikan zaman dan perkembangan dari fungsi museum itu sendiri yang antara lain dikatakan, bahwa museum merupakan tempat kumpulan barang-barang langka, museum merupakan tempat kumpulan ilmu pengetahuan dalam bentuk karya tulis seorang sarjana, dan museum merupakan tempat koleksi penemuan ilmiah (Muhammad Husni dkk, 1994:1).



Museum Desa Rejoagung



Jelas bahwa museum adalah tempat yang penting dalam upaya pemanfaatan benda-benda koleksi guna pengembangan pembelajaran terkait budaya bangsa dan pengembangan keilmuan. Karena melalui visualisasi benda-benda koleksi



104



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



museum, individu tentu akan dapat merasakan aura historis dari setiap benda. Hal ini tentu akan ditangkap oleh otak dan hati individu hingga dapat mengambil faedah dari peristiwa masa lampau. Hal ini menjadi celah yang dapat mengisi pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah lokal yang belum dapat terselenggara dengan maksimal dalam ruang kelas, akan dapat disampaikan kepada peserta didik dan masyarakat umum melalui museum. Sehingga keberadaan museum di daerah dapat dikembangkan untuk mentransfer informasi-informasi sejarah lokal kepada masyarakat. Lampung merupakan daerah yang memiliki sejarah panjang. Dinamika manusia di wilayah ini begitu cepat. Dalam catatan sejarahnya, di daerah ini pernah terjadi beberapa peristiwa penting yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Peristiwa-peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai sejarah lokal. Salah satu daerah di Lampung yang memiliki sejarah lokal adalah Desa Rejoagung yang berada di Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur. Desa yang juga dikenal dengan sebutan Bedeng 49 ini letaknya tidak jauh dari Kota Metro. Desa ini menyimpan memori kolektif terkait dengan peristiwa kolonisasi dan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengingatkan pada masyarakat mengenai hal itu, atas keinginan dari pemerintah desa dan dukungan dari pemerintah daerah Lampung Timur pada tahun 2020 berhasil dibangun sebuah museum desa yang diberi nama Museum Desa Rejoagung. Letak museum berada di pusat desa atau tepatnya di sekitar alun-alun/lapangan Desa Rejoagung. Letak museum berada satu tempat dengan Tugu Pos Komando MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



105



Tentara Revolusi tahun 1948-1949, yang lebih awal dibangun. Pemilihan lokasi museum di sekitar lapangan desa dengan alasan tempat itu sebagai tempat yang mudah dijangkau dan dapat menampung jumlah massa yang besar. Alasan lain letaknya yang strategis berada di jalan alternatif MetroBatanghari. Keberadaan Museum Desa Rejoagung adalah sebuah potensi yang dapat dikembangkan untuk media pembelajaran sejarah, khususnya sejarah lokal di sekitar Metro dan Lampung Timur. Katimo selaku juru pelihara museum menjelaskan bahwa Museum Desa Rejoagung merupakan museum desa satusatunya yang ada di Kabupaten Lampung Timur. Pembangunan museum desa ini mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten. Dukungan itu tidak terlepas dari keinginan untuk merawat ingatan tentang peristiwa masa lalu yang kini menjadi sejarah lokal. Inilah yang juga menjadi tujuan dari pemerintah desa membangun museum ini, agar generasi muda mengetahui peristiwa penting yang pernah terjadi di Desa Rejoagung.



Beberapa Koleksi Museum Desa Rejoagung



106



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Museum yang terletak persis di tepi persawahan itu memiliki koleksi berupa benda-benda bersejarah yang terkait dengan kehidupan masyarakat desa di masa lalu, seperti lesung dan kentongan. Koleksi museum yang berupa bendabenda perlengkapan hidup masyarakat itu didapatkan dari masyarakat yang diberikan secara sukarela. Koleksi lain adalah lukisan pejuang dari Desa Rejoagung yang turut berperang menghadapi pasukan Belanda saat terjadinya Agresi Militer Belanda II. Pada masa itu, wilayah Desa Rejoagung termasuk dalam pemerintahan Lampung Tengah yang berpusat di Metro. Mengutip buku Sejarah Revolusi Fisik di Provinsi Lampung bahwa pada masa revolusi fisik, Lampung Tengah merupakan daerah pertahanan di bawah Komado Front Utara yang berpusat di Kotabumi. Saat itu beberapa daerah di Lampung Tengah turut menjadi incaran Belanda karena mempunyai nilai strategis. Salah satunya daerah sekitar Kawedanan Metro, setelah berhasil menguasai Tanjungkarang, Belanda kemudian berusaha menguasai Metro. Banyak tokoh serta masyarakat di wilayah itu yang secara tegas mendukung kemerdekaan Indonesia. Saat mendengar bahwa Belanda kembali memasuki wilayah Lampung melalui Pelabuhan Panjang pada 1 Januari 1949 maka tokoh-tokoh di Kawedanan Metro melakukan konsolidasi guna membendung laju pergerakan pasukan Belanda di Lampung khususnya di wilayah Kawedanaan Metro. Tak banyak orang tahu bahwa di sekitar komplek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan kota Metro kini, pada tanggal 1 Januari 1949 saat hari beranjak gelap terjadilah sebuah rapat yang bersejarah. Rapat itu terlaksana tidak terlepas dari ide Raden Soekarso, MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



107



Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU) Metro. Pada sumber lain juga disebutkan bahwa rapat terjadi atas usulan dari Wedana Metro, Idris Reksoatmodjo. R. Soedarsono dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso, menjelaskan bahwa dalam rapat itu berkumpullah para pemimpin di Kawedanaan Metro, ada pimpinan pemerintahan, pimpinan tentara, pimpinan berbagai partai politik, pimpinan laskar rakyat serta badan-badan perjuangan. Mereka berkumpul sebagai langkah mengambil ‘ancangancang’ menghalau serangan Belanda di Metro. Rapat dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dan berlangsung sekitar 4 jam itu menghasilkan beberapa kesepakatan di antaranya adalah strategi melawan pasukan Belanda dan pembentukan Pemerintahan Darurat di luar kota. Terpilihlah sebagai Pemerintahan Darurat jika Metro dikuasai Belanda adalah Desa Rejoagung yang berada di sebelah timur Metro. Dugaan ternyata benar, Metro kemudian dikuasai Belanda. Pemerintahan Darurat kemudian dipindahkan di Desa Rejoagung, Batanghari. Di desa inilah baik pemerintah sipil dan pasukan militer membuat pos komando guna mempertahankan jalannya pemerintahan di Kawedanaan Metro.



108



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Lukisan Semun dan Yahmin (Pejuang dari Rejoagung)



Memori inilah yang berusaha disajikan oleh pemerintah Desa Rejogung melalui pembangunan Museum Desa Rejoagung dan Tugu Pos Komando Tentara Revolusi Tahun 1948-1949. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Jimin, saksi sejarah terjadinya revolusi fisik di Desa Rejoagung, pembangunan museum dan tugu sebagai upaya mengenang perjuangan aparat pemerintah, pasukan TNI dan warga Desa Rejoagung dalam menghadapi serangan Belanda. Dijelaskan olehnya, kala revolusi fisik warga desa menyediakan tempat tinggal sekaligus logistik makanan bagi pasukan TNI. Rakyat secara sukarela juga ikut serta menjadi bagian dari pasukan. Pejuang dari Desa Rejoagung yang begitu terkenal membantu pasukan TNI diantaranya adalah Semun dan Yahmin. Sosok keduanya kini terpahat dalam Tugu Pos Komando Tentara Revolusi Tahun 1948-1949 yang bersanding dengan prajurit TNI.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



109



Tugu Pos Komando Tentara Revolusi Tahun 1948-1949



Keberadaan dua bangunan di Desa Rejoagung yakni museum dan tugu di atas merupakan wahana dalam mengedukasi masyarakat tentang sejarah lokal. Sasarannya bukan hanya masyarakat Desa Rejoagung saja, namun jika dikembangkan lebih keberadaan museum dan tugu itu dapat menarik masyarakat di luar Desa Rejoagung untuk datang berkunjung dan belajar mengenai sejarah lokal yang pernah terjadi di masa lalu. Terutama bagi kalangan siswa dan mahasiswa, keberadaan museum dan tugu tersebut sangat bermanfaat untuk menambah referensi pembelajaran sejarah. Untuk ini museum membantu dalam menjalankan fungsinya di bidang pendidikan.



110



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Museum Desa Rejoagung jika dikaitkan dengan materi pembelajaran sejarah di sekolah ternyata memiliki nilai representatif. Artinya materi pembelajaran sejarah yang diajarkan kepada siswa di sekolah dapat diperkaya dengan kunjugan ke museum ini, ditambah dengan keberadaan Tugu Pos Komando Tentara Revolusi tahun 1948-1949. Potensi yang dimiliki Museum Rejoagung dalam pembelajaran sejarah setidaknya terkait materi sejarah politik etis yakni adanya kolonisasi masyarakat Jawa di Lampung dan peristiwa revolusi fisik dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keberadaan museum ini merupakan sesuatu kelebihan yang patut untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran, terutama pembelajaran sejarah lokal. Itikad pemerintah desa dalam membangun museum patut diapresiasi, dan dapat menjadi percontohan bagi daerah lain dalam upaya merawat ingatan masa lalu sekaligus menumbuhkan nilai-nilai karakter berdasarkan peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu melalui benda koleksi yang ada di museum. Terlebih adalah memberikan pengetahuan sejarah lokal yang biasanya kurang dikenal oleh masyarakat, sehingga keberadaan museum merupakan salah satu media untuk mendekatkan sejarah lokal di tengah-tengah masyarakat.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



111



Epilog Mengembalikan Sejarah ke Publik



(Hidayatullah Rabbani)



P



asca Orde Baru atau era Reformasi, penulisan sejarah di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Masyarakat tidak lagi terpaku pada sumber sejarah resmi yang dikeluarkan oleh negara dalam mempelajari sejarah bangsanya. Di era Orde Baru penulisan sejarah nasional Indonesia setidaknya memiliki tiga ciri. (Nordholt, dkk: 2008) Pertama, sejarah nasional merupakan narasi ketika negara menjadi sentral dan wakil-wakil negara merupakan aktor sejarah satu-satunya yang memiliki legitimasi, implikasinya sejarah daerah atau lokal tersisih. Kalaupun disebut-sebut, sejarah lokal yang bersangkutan harus sesuai dengan pola besar biografi negara. Ini memperkuat ide bahwa sejarah lokal tidak memiliki dinamika sendiri dan berkedudukan lebih rendah dari kepentingan pusat yang bertujuan menyukseskan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan arsip negara sebagai satu-satunya sumber penulisan “yang dapat dipercaya”. Penggunaan sumber lisan baik itu tradisi lisan (oral tradition) maupun sejarah lisan (oral history) yang menjadi basis pengetahuan atau perspektif dari sudut pandang orang lokal tidak mendapat tempat yang layak dalam penulisan sejarah di masa Orde Baru. Pendekatan ini membuat orang biasa tidak mendapat tempat yang



112



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



bermakna dalam sejarah. Jadi, selama peranan dan arti penting pelaku sejarah di luar negara tidak diakui, maka perspektif alternatif tentang Indonesia tidak dapat dikembangkan. Ketiga, sensor yang ketat terhadap tulisan sejarah yang “sensitif”, misal sebagai contoh yang nyata, yaitu penghapusan pembantaian 1965-’66 dari buku pelajaran resmi. Buku pelajaran resmi hanya menyebutkan pembunuhan enam jenderal dan empat perwira bawahannya pada malam hari tanggal 30 September/1 Oktober 1965. Kemudian kisah provokatif itu berakhir, dan akibatnya ribuan orang yang dibunuh tanpa proses hukum oleh negara, juga secara sistematis dihapus dari sejarah. Karena penghapusan ini, kredibilitas historiografi Indonesia jadi rusak dan hanya bisa diperbaiki bila korban Orde Baru diberi ruang dalam sejarah nasional. Sensor dan pelarangan yang ketat juga diberikan kepada penelitian-penelitian yang “kritis” atau berbeda dari pandangan pemerintah yang dapat “mengganggu” pembangunan nasional atau merusak persatuan dan kesatuan. Penyalahgunaan sejarah oleh penguasa Orde Baru membuat “Rakyat seolah tak mempunyai sejarah, sejarah hanya dimiliki kaum pemenang”. Ini membuat sejarah tak mempunyai banyak fungsi bagi masyarakat. Setelah Orde Baru tumbang pada Mei 1998 dan masuklah masa reformasi dengan pemerintahan yang lebih demokratis, terjadi eforia penulisan sejarah dalam berbagai versi termasuk di dalamnya mengenai pelurusan sejarah, sejarah lokal, tafsir ulang terhadap buku-buku sejarah yang “dikontrol” selama Orde Baru dan tema-tema baru muncul dalam penulisan sejarah. Setidaknya lebih dari 1600 judul baru bertema sejarah terbit sejak tahun 1998. (Nordholt, dkk: 2008) Kesadaran MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



113



sejarah masyarakat pun tumbuh dengan pesat baik yang dipelopori oleh akademisi maupun peminat sejarah (non akademik), terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Pecinta Sejarah (Historical Society), dan muncul juga penerbit baru yang banyak menerbitkan karya sejarah termasuk penerbit yang menerbitkan karya-karya terje mahan yang dulu di zaman Orde Baru sempat dilarang banyak bermunculan baik ditingkat nasional maupun lokal. Dapat dikatakan bahwa era reformasi adalah era mengembalikan sejarah ke masyarakat atau publik.



Sejarah yang Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat Seperti dijelaskan sebelumnya, era reformasi memberi kesempatan berbagai pihak dalam menghadirkan masa lalu dalam ruang memori dan imajinasi masyarakat luas saat ini secara bebas. Masyarakat atau publik kini dapat terlibat dalam praktek dan produksi sejarah, atau meminjam istilah Sayer (2017) mengkomunikasikan sejarah ke khalayak (publik), lebih jauh lagi “publik yang memegang kendali dan menjadikan sejarah menjalani satu proses –Demokrasi-“. Ini yang kemudian dikenal sebagai Sejarah Publik. (Sayer: 2017) Sejarah publik menjadi penting karena berperan dalam menumbuhkan empati sejarah di kalangan masyarakat, dimana empati sejarah merupakan keterkaitan batin yang terbangun antara seseorang dengan masa lalu. Empati sejarah bermanfaat untuk membangun pemahaman bahwa kehidupan sekarang adalah keberlanjutan dari masa lalu. Karena masa kini adalah keberlanjutan dari masa lalu, maka masa lalu adalah sesuatu yang bernilai. Masa lalu bisa dirasakan dan dimaknai



114



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



untuk saat ini dan mendatang. Dengan demikian, masa lalu dan ragam peninggalannya akan senangtiasa terjaga dalam ruang ingatan masyarakat karena di dalamnya terdapat kemanfaatan untuk kehidupan. Keterlibatan dan keikutsertaan oleh-, dari- dan denganpublik dalam sejarah, menjadi bagian penting dalam praktiknya. Sehingga sejarah publik masuk dalam kajian transdisiplin karena mulai dari sejarawan (akademik), konsultan sejarah, profesional museum, sejarawan pemerintah, arsiparis, sejarawan lisan, pegiat sumber daya budaya, kurator, produser film dan media, penerjemah historis, pelestari sejarah, sejarawan lokal, bahkan aktivis masyarakat dan komunitas dapat menjadi bagian dari pelaku sejarah publik. Berdasarkan hal tersebut mengutip pemikiran Amboro (2020) bahwa sejarah publik adalah usaha melibatkan masyarakat atau publik dalam rangka merekonstruksi peristiwa masa lalu dan mengkomunikasikannya kembali kepada publik, atau sejarah dari, oleh-, dan ke- publik. (Amboro: 2020) Sejarawan publik sebutan bagi individu yang bergelut dalam bidang sejarah dan mengkomunikasikan sejarah ke publik, mereka ini dicirikan menggunakan metodologi yang longgar, bahasa populer, berbentuk feature, human interest serta isunya spesifik dan bersifat lokalitas. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai sejarawan informal yang mengembangkan sejarah sebagai living history (sejarah dari lingkungan sekitar). Menurut Kresno Brahmantyo, Sejarah publik (public history) adalah perkembangan dari sejarah terapan (applied history). Sejarah publik berkembang sejak tahun 1970-an di MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



115



Amerika Serikat dan berkembang pesat di Australia warsa 1990-an. Di Indonesia sendiri praktek sejarah publik sudah berlangsung dan masih berkembang di Indonesia pasca Orde Baru. Kegiatan yang dilakukan baik oleh pemerintah, seperti Kemendikbud, Arsip Nasional dan Museum, maupun lembagalembaga swadaya masyarakat dalam memasyarakatkan sejarah pada dasarnya sudah menyentuh esensi dari apa yang dikategorikan Sejarah Publik. (Brahmantyo: 2017) Sejarah publik di Indonesia di pelopori beberapa lembaga seperti, ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Majalah Historia (online), Penerbit Komunitas Bambu (yang khusus menerbitkan buku-buku sejarah), Komunitas Jelajah Budaya (wisata sejarah) yang merupakan pelopor berkembangnya sejarah publik di Indonesia. Mereka membangun karakter bangsa lewat karya-karya sejarah yang mereka buat. Disimpulkan demikian karena ini murni bergerak atas inisiatif sendiri bukan institusi bentukan pemerintah. (Brahmantyo: 2017) dalam perkembangan selanjutnya, sejarah publik meluas hingga tingkat daerah dan berkat perjuangan para pegiat sejarah publik mereka mampu memasyarakatkan kembali sejarah, dan bahkan mampu mendorong pelestarian cagar budaya pada tingkat lokal.



Kolaborasi: Kunci Utama Mengembalikan Sejarah ke Publik Dalam beberapa diskusi sering muncul perdebatan mengenai istilah sejarawan akademisi dan sejarawan publik, dikotomi yang dibuat seolah keduanya saling bertentangan dan merugikan padahal, keduanya saling melengkapi dan memiliki tugas dan peran masing-masing. Seorang sejarawan



116



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



akademisi memastikan ilmu sejarah tetap on the track dengan aturan ilmiah dalam penulisan sejarah, sedangkan sejarawan publik bertugas mengabarkan sejarah kepada masyarakat termasuk kepada yang awam sekalipun dalam bentuk yang mudah diterima. Karena itu sejarawan publik umumnya bekerja di bidang pelestarian peninggalan masa lampau, museum, media, pendidikan, radio, film dan media interaktif multimedia. (Cipasang; 2017) Sejarawan publik berperan membuat sejarah menarik bagi masyarakat, lebih khusus untuk generasi muda. Apapun bentuknya apakah dalam bentuk tulisan lepas, buku, film atau multimedia. Sejarah tidak dimaknai sebagai rangkaian tahun dan peristiwa tetapi sesuatu yang dapat dirasakan dan bermakna untuk kehidupan zaman sekarang. Berbagai karya sejarawan publik sekarang ini bisa dinikmati dalam berbagai bentuk dan medium. Kini sejumlah dimanifestasikan dalam bentuk sejarah digital baik berupa blog pribadi atau komunitas banyak menyajikan sejarah yang menarik dan enak dibaca. Media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook dan YouTube sangat berperan penting menjadi medium publisitas karya sejarah yang menarik minat publik terutama generasi muda. Media massa seperti koran Lampung Post yang beberapa tahun lalu terdapat kolom Lampung Tumbai dan media televisi seperti Metro TV yang rutin menayangkan program “Melawan Lupa” turut berperan penting dalam mempopulerkan sejarah publik, Mengutip Tsabit Azinar Ahmad (2021), yang terlibat dalam sejarah publik yaitu pentahelix, yaitu adanya keterlibatan akademisi, masyarakat/komunitas, pemerintah, pelaku usaha dan media. Akademisi adalah pihak yang MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



117



mendapatkan pendidikan formal dibidang kesejarahan, budaya dan peninggalan yang menerapkan ilmunya di masyarakat sehingga sejarah publik sering disebut sejarah terapan. Aspek komunitas/ masyarakat adalah dimana inilah yang menjadi subjek pelaksanaan sejarah publik. Kemudian keterlibatan pemerintah sebagai penyokong melalui kebijakan-kebijakan pelestarian cagar budaya dan sejarah, pelaku usaha yang memberi ruang dan dukungan baik secara materi mapun nonmateri dan juga media berperan dalam menyebarluaskan informasi kesejarahan secara masif. Jadi kolaborasi dengan segala pihak adalah kunci utama dalam mengembangkan sejarah publik. Tahap akhir dalam mengembangkan sejarah publik menurut Tsabit Azinar Ahmad (2021) yaitu penguatan metanarasi tentang masalalu bag i masyarakat dan menyajikan masa lalu secara kontekstual. Penguatan metanarasi tentang masa lalu bagi masyarakat yang mencakup, Remembering atau bagaimana masa lalu direkam dalam memori kolektif masyarakat. Secara turun temurun masyarakat sudah memiliki imaji tentang masa lalu. Remembering lebih ke arah bagaimana menguatkan memori kolektif masyarakat terhadap masa lalu. Kedua, Recovering masa lalu bisa saja terlupakan oleh masyarakat saat ini. Oleh karena itu, recovering adalah tentang bagaimana masa lalu disingkap kembali untuk publik yang lebih luas setelah sekian lama “dilupakan”. Ketiga, Reinventing: adakalanya masyarakat tidak memiliki gambaran tentang masa lalunya. Karena itu, perlu ada penemu-ciptaan terhadap sejarah, masa lalu dikontruksi untuk tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.



118



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Menyajikan masa lalu secara kontekstual yaitu dengan Rebranding atau membangun identitas masa lalu dan peninggalannya di kalangan masyarakat. Kemudian Repackaging atau membangun identitas masa lalu dan peninggalannya agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Karena itu masa lalu perlu tampil dalam beragam media. Dan yang terakhir yaitu Reattachment yang berarti menguatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga keberlanjutan ingatan dan peninggalan dari masa lalu.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



119



DAFTAR PUSTAKA



BERKALA Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie. (1939, November). De Kolonisatie Soekadana: Wegen en Woningen worden Gebouwd. De Indische Courant. (1939a). Uit de Lampongs: De doorgaande verbinding van Tandjongkarang naar Palembang. De voltooiing van twee groote beton-boogbruggen. - Ook nog een geregelde autobusverbinding. De Indische Courant. (1939b, August). De Javanen-Kolonisaties in de Lampongs. De Indische Courant. (1939c, November). De Situatie in Soekadana. De Indische Courant. (23 Desember 1934). De Indische Mercuur. (1939). De kolonisatie in de Lampongs. De Locomotief. (1939, November). De Situatie in Soekadana. Deli Courant. (1939a, April). Kolonisatie-Dokter in de Lampongs. Deli Courant. (1939b, September). De Kolonisaties in de Lampongs. Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. (1939, November). De Situatie in Soekadana. Warta Geredja. Januari 1927, Maret 1929, Juni 1959. Yearbook of the Seventh-Day Adventist Denomination. 1941.



120



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



BUKU Abrianto, O,Aryandini, N. (2000), Tipologi Bangunan Kolonial di Batavia Abad XVII-XIX. Siddhayarta, 5 (2) Akip, H. Assa’ih (1976) Kerajaan Tulangbawang Lampung: Sebelum dan sesudah Islam. Telukbetung: Tanpa nama penerbit Amboro, Kian, (2020), Sejarah Publik dan Pendidikan Sejarah Bagi Masyarakat”, Historis: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, Vol 5, No 1. AL, Jacob. (1936), De Geschiedenis de Economische Beteekenis en Het Pharmaceutisch Onderzoek van Kruidnagelen. Amsterdam: J.H. de Bussy. Angkowo dan Kosasih (2007),Optimalisasi Media Pembelajaran. Grasindo: Jakarta. Ariwibowo, Gregorius Andika (2017) Sungai Tulang Bawang dalam Perdagangan Lada di Lampung pada Periode 1684 Hingga 1914”. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 19, No. 2 Tahun 2017 Ariwibowo, Gregorius Andika (2018), Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan di Keresidenan Lampung pada Periode 1856 hingga 1930”. Jurnal Patanjala, Vol. Vol 10, No 2 Tahun 2018, hlm. 331-346. Asnan, Gusti. (2016), Sungai dan Sejarah Sumatera. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pringsewu. (2021). Kabupaten Pringsewu dalam Angka Tahun 2021. Boret, S. P., dan Shibayama, A., (2018), The roles of monuments for the dead during the aftermath of the Great East Japan Earthquake, International Journal of Disaster Risk Reduction, 29 (March 2018). MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



121



Broesma, R (1916).De Lampongsche Districten. Batavia : Jawasche Boekhandel and Press. Brown, C., (2013), Memory, identity and the archival paradigm: Introduction to the special issue, Archival Science, 13 Britton, D. F., (1997), Public history and public memory, The Public Historian. Budhiatmaja, Astono, et.al. (2004), Benih yang Tertabur: Perayaan 75 Tahun Gereja Katolik Kristus Raja Tanjung Karang Bandar Lampung 1928-2003. Lampung: Panitia Perayaan 75 Tahun Gereja Katolik Kristus Raja Tanjung Karang. Budiman, Hary Ganjar dkk. (2016), Tinggalan Sejarah di Tulang Bawang, Laporan Perekaman Kebudayaan dan Kesejarahan, Bandung: BPNB Jabar Centrale Commisie voor Migratie en Kolonisatie van Inheemschen. (1941). Verslag betreffende de Javanenkolonisatie in de residentie Lampongsche Districten over het 2de kwartaal 1941. Darban, Adaby, (1997), Sejarah Lisan Memburu Sumber Sejarah Dari Para Pelaku dan Penyaksi Sejarah, Jurnal Humaniora, 1997. De Graaf, S., Stibbe, D.G (1918), Encyclopaedievan Nederlandsch Indie, Tweede Deel.S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978), Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1979), Sejarah Kebangkitan Nasional di Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.



122



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Dewan Harian Daerah Angkatan 45. (1994). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Di Lampung. Bandar Lampung: Mataram. Dinas Penerangan Angkatan Laut. (2018), Info Historia Buletin Kesejarahan TNI AL. Jakarta: Dinas Penerangan Angkatan Laut. Dirdjosanjoto, Pradjarta, G.F. de Jong, H. Reenders. (2008), Sumber-sumber Tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Salatiga: Pusat Arsip Sinode Gereja Kristen Jawa. Duncan, C. R. (2009). Monuments and martyrdom Memorializing the dead in post-conflict North Maluku. 165(4), 2009. Dwiansyah, E, (2013), Kajian Historis Tentang Monumen Mardirahayu Di Esa Gantimulyo Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur 1996-2012. Skripsi, Metro: Pendidikan Sejarah, Universitas Muhamadiyah Metro. Emst, P. Van. (1930). Indische Cultures: Landbouwkundige Platenseries Van Nederland Indie Serie IV De Kruidnagel. Amsterdam: W. Versluys-Amsterdam-Batavia-Paramarieo. Endrayanto, Herman Yosep Sunu. (2012). Melintasi Gelombang, Gereja Katolik di Sumatera Selatan: Krisis dan Pemulihan 1942-1952. Yogyakarta: Kanisius. Fakhriansyah, M., Intan Ranti P.P, (2019), “Akses Pendidikan bagi Pribumi pada Periode Etis (1901-1930)”, Jurnal Pendidikan Sejarah Vol. 8 No. 2. Franssen, C.J.H., (1937), Levenswijze En Bestrijding Van Den Kruidnagelen Djamboe Boorder Nothopeus Hemipterus Oliv, dalam Landbouw Tijdschrift der Vereeniging van Landbouwconsulenten In NederlandschIndie Deel: 9-12, No. 3, 1937, Buitenzorg: Vereeniging van Landbouwconsulenten in Nederlandsch Indie. MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



123



Graaf, S. de dan D.G. Stibbe. (1918). Encyclopedie Van Nederlandsch-Indie Tweede Deel H-M, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Guillot, Claude (2008), Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X –XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hermawan, Dedy, dkk (2017), Konflik Lahan Perkebunan: Mengungkap Perjuangan Rakyat Melawan Kooptasi Tanah HGU Sugar Group Companies. Malang: PT. Cita Intrans Selaras. H.J. Brinkgreve. (1978). Drie mannen bij een kruidnagelboom, vermoedelijk te Metro in Lampung Tengah, No. 154507. Diakses dari www.kitlv.com. H.J. Brinkgreve. (1978). Bord bij aanplant uit 1955 van kruidnagelbomen, type Colombo, vermoedelijk te Metro in Lampung Tengah, No.154508. Diakses dari www.kitlv.com. Handinoto, & Soehargo, P. H. (2003). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Yogyakarta: Penerbit ANDI dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya. Helfrich, O.L., (1880), Bijdrage Tot De Geographische, Geologische en Ethnographische Kennis der Afdeeling Kro dalam Bijdragen Tot De Taal Land En Volkenkunde van Nederlandsch Indie. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Hopes, James. (1980), Oral History. An Introduction for Student. California: University of North California Press. Hoogerwerf, E. (1987), Gereja di Tanah Seberang, Lahir dan Berkembangnya Gereja Kristen Jawa di Sumatra Selatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Husni, Muhammad dkk. (1994). Direktori Museum di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



124



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Jumadiyanto, S., (1999), Kajian Historis Peristiwa Pertempuran Di Desa Indromulyo Kecamatan Trimurjo Kanupaten Lampung Tengah Tahun 1949-1950, Skripsi, Metro: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Metro. Kamelia, A., (2016), Penerapan Strategi Bisnis Industri Rumah Tangga dalam Mengembangkan Usahanya Perspektif Ekonomi Islam (Studi Pada Industri Pengrajin Klanting Di Desagantimulyo 37 C Kecamatan Pekalongan Lampung Timur), Skripsi, Metro: Fakultas Syari’ah Dan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo. Karsiwan, et.al., (2013), Pembangunan Irigasi Way Tebu Sebagai Kebijakan Etis Pemerintah Kolonial Belanda Di Pringsewu Tahun 1927, Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah (Pesagi), Vol 1 Nomor 3. Kuswono, K., Hartati, U., Amboro, K., Mujiyati, N., Immawati, F. L., Tantri, A. D., & Wijaya, A. R. (2020). Metro Tempo Dulu: Sejarah Kota Metro Era Kolonisasi 1935-1942 ,Laduny Alifatama. Kusworo, Ahma (2000), Perambah Hutan atau Kambing Hitam.Bogor: Latin Kyvig, D. E., & Marty, M. A. (2010), Nearby History: Exploring The Past Around You (Third Ed.). Altamira Press. Landbouwconsulenten (1937), Landbouw: Tijdschrift der Vereeniging van Landbouwconsulenten in NederlandschIndie Deel: 9-12, No. 3. Buitenzorg: Vereeniging van Landbouwconsulenten in Nederlandsch Indie. Lubis, N. H. (2000), Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: AlQaprint. Marsden, William. (2013), Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu. MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



125



Meidiana, H. A. (N.D), Memori Kolektif Kota Bima Dalam Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima: Sebuah Studi Sebagai Langkah Awal Pelestarian Sejarah, Indonesian Green Technology Journal, 8-18. Menabur Benih di Tanah Harapan, Perayaan 80 Tahun Gereja Katolik Paroki Hati Yesus Maha Kudus Metro.Tanpa tahun dan penerbit Nakhrowi, A. (2020). Naskah Sumber Arsip Pringsewu Masa Kolonisasi. Pringsewu: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Pringsewu. Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari. (2008). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pelzer, K. J. (1948). Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics: Studies in Land Utilization and Agricultural Colonization in Southeastern Asia. American Geographical Society. Reid, Anthony (2010) Sejarah SumateraTempo Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu. Reid, Anthony (2011) Asia Tenggara dalam Kurun Niaga: Jaringan Perdagangan Global, Jil.2. Jakarta: Buku Obor. Sair, S. R., (2019), Perjuangan Rakyat Muara Enim pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949, Seminar Nasional Sejarah IV (Pp. 1-11). Palembang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya. Saptono, N., Widyastuti, E., Laili, N., & Qadarsih, M. (2014). Khasanah Budaya Lampung. Serang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. Sayer, Faye. (2017),Sejarah Publik: Sebuah Panduan Praktis. Yogyakarta: Ombak. Sjamsu, M. A. (1960). Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 19051955. Djambatan.



126



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Snyder, James. C. dan Anthony J. Catanese. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta Erlangga. Soedarsono R. Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso. Lampung Tengah Soekiman, Djoko. (2014), Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. Soekotjo, S.H. (2009),Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan LSP GKJ. Sopandi, S. (2013). Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Steenbrink, Karel. (2003). Catholics in Indonesia 1808-1942: A Documented History Volume 1. Leiden: KITLV Press. ______________. (2007). Catholics in Indonesia 18081942: A Documented History Volume 2. Leiden: KITLV Press. Suardana, I.N.G. (2015). Rupa-rupa Arsitektur Bali. Bali: Buku Arti. Sudarmo, (2000), Tinjauan Historis Tentang Perlawanan Rakyat Dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Kewedanaan Metro Tahun 19481949, Skripsi, Metro: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Metro. Sukasworo, Ign., et.al. (2007). Bunga Rampai 75 Tahun Gereja Katolik Paroki St. Yosef Pringsewu. Pringsewu: Seksi Publikasi dan Kanisius. Sumalyo, Yulianto. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumintardja, D. (1981). Kompendium Sejarah Arsitektur, Jilid I. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



127



Utomo, Kampto. (1975). Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Way Sekampung. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tambunan, Emil H. (1999). Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia; Sejarah Perintisan dan Pengembangannya. Jakarta: Pusat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Tim Penulis. (1994). Sejarah Revolusi Fisik di Provinsi Lampung. Bandar Lampung: Depdikbud. Vereeniging van Landbouwconsulenten in NederlandschIndie, Buitenzorg. (1940). Landbouw Tijdschrift der Vereeniging van Landbouwconsulenten in NederlandschIndie Zestiende Jaargang. Buitenzorg: Archipel Drukkerij. Wakidi, (1997), Perubahan Demografis-Ekonomis di Jawa dan Kolonisasi di Karesidenan Lampung 1830-1941, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Wargadalem, Farida R. (2017). Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan EFEO. Warganegara, Marwansyah. Masyarakat dan Adat Budaya Tulang Bawang. Naskah tidak diterbitkan. Wattimena, R. A. (2016), Mengurai Ingatan Kolektif bersama Maurice Halbwachs, Jan Assmann dan Aleida Assmann dalam Konteks Peristiwa 65 di Indonesia, Studia Philosophica Et Theologica , 16 (2) : 164-196. Westenenk, L.C. (1921). Mededeelingen Van Het Bureau Voor de Bestuurszaken der Buitengewesten Bewerkt Door Het Encyclopedisch Bureau Aflevering XXVIII: Memorie van overgave van den aftredenden resident van Benkoelen. Semarang: N. V. G. C. T Van Dorp & Co.



128



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Zed, Metika (2003) Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950. Jakarta: Pustaka LP3ES. SITUS INTERNET Ahmad, Tsabit Azinar (2021) https://www.youtube.com/ watch?v=GV1xe664NgM Brahmantyo, Kresno. (2017). https://www.kompasiana.com/ kbrahmantyo/5a118d9f93460825b5688b92/sejarahpublik-di-indonesia?page=all Brahmantyo, Kresno. (2016). Sejarah Publik dan Agen Perubahan. https://kolom.tempo.co/read/1001393/sejarahpublik-dan-agen-perubahan Ardhana, I Ketut (2017). Sejarawan dan Sejarah Publik. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_ dir/595f54dba13a203586f15b5411cbcf4c.pdf Cipasan, Yayat R (2017). https://rilis.id/pentingnyasejarawan-akademisi-dan-sejarawan-publik Hanggoro, H. T. (ed). Mengembalikan Sejarah ke Publik. Historia.id. https://historia.id/politik/articles/mengembalikansejarah-ke-publik-PzzGP, dilihat pada 25 Mei 2021. http://fsgm-indonesia.org/2017/06/26/80-tahun-parokimetro-lampung/ https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1197675catatan-ringan-pak-h-achmad-bakrie-buktikanpribumi-juga-bisa-bangun-bisnis https://www.omah1001.com/2018/02/sejarah-santa-mariadan-lahirnya-rsud.html



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



129



https://www.omah1001.com/2018/02/sejarah-santa-mariadan-lahirnya-rsud.html Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. 2021. Pertanian dan Perternakan. (https://web.lampungtengahkab.go.id/pertanian diakses 28 Mei 2021) Sumirat, Danang W., “Rumah DASWATI Sejarah Lampung Terlupakan”, https://dananwahyu.com/2013/09/10/rumahdaswati-sejarah-lampung-terlupakan/ WAWANCARA Jimin, (wawancara pada 24 Desember 2020). Katimo, (wawancara pada 13 Februari 2021). Muji, (wawancara pada 23 Juni 2013). Rudi Rianto, Juru Kunci Bendungan Gubuk Mas Way Tebu III, (wawancara pada 23 Januari 2021). Suratmin, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Talang Indah Pringsewu, (wawancara pada 23 Januari 2021).



130



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Tentang Penulis Adi Setiawan, lahir di Girikarto, Lampung pada 08 Desember 1992. Penulis menyelesaikan sarjana pendidikan sejarah pada Universitas Muhammadiyah Metro. Saat ini penulis adalah tenaga pengajar sejarah di SMA Negeri 1 Sekampung, Lampung Timur. Beberapa karya dari penulis diantaranya adalah Perlawanan Masyarakat Lampung Abad Ke-19 bersama MGMP Sejarah Lampung Timur (2018), dan Penetrasi VOC dan Kehancuran Mataram Islam (2019).



Barnas Rasmana, alumni Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro, lulus (S1) pada tahun 2018. Pernah bekerja selama 2 tahun sebagai Staf Humas UM Metro bagian dokumentasi dan publikasi. Dan saat ini tengah aktif bersama komunitas Penggiat Sejarah di Kota Metro menelusuri peninggalan sejarah berupa bangunan atau objek diduga cagar budaya yang tersebar di Provinsi Lampung.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



131



Diana Lisa, Dosen Non PNS Program Studi S1 Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik - Universitas Lampung. Gelar Sarjana Teknik diperoleh dari Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) tahun 1999 dan gelar Magister Teknik dari Magister Teknik Sipil Universitas Lampung (UNILA) tahun 2011. Pengalaman dalam dunia akademik dimulai dari penelitian mandiri, DIPA BLU dan DIPA FT juga melakukan pengabdian pada masyarakat.



Kian Amboro, Lulus sebagai Sarjana Pendidikan Sejarah di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung pada tahun 2012, Magister Pendidikan Sejarah di UNS Surakarta pada tahun 2013, dan kini sedang menempuh pendidikan doktoral dalam bidang ilmu Pendidikan Sejarah di UNS Surakarta sejak tahun 2019. Selain bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, saat ini juga beraktivitas sebagai Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro, serta turut bergiat pula di komunitas pegiat sejarah di Lampung, Kota Metro dan sekitarnya. Tertarik pada kajian pendidikan sejarah, sejarah publik, dan warisan budaya. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected].



132



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Oki Hajiansyah Wahab, lahir di Bandung pada 8 Oktober 1981 dan tumbuh di Bogor sejak SD – SMU. Menyelesaikan Program (S1) Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila (2006), Pascasarjana (S2) Ilmu Hukum Unila, dan Program Doktoral Ilmu Hukum (S3) di Universitas Diponegoro. Kini bergiat di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Lampung,



Rizky Khairina, lahir di Tanjungkarang, 27 Desember 1994. Ia menyelesaikan program sarjana dan meraih gelar Sarjana Humaniora pada tahun 2016 di Universitas Padjadjaran. Meraih gelar Master of Arts pada tahun 2021 di Universitas Gadjah Mada. Saat ini, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di UIN Raden Intan Lampung. Tertarik pada kajian sejarah perkebunan dan sejarah agraria. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]



Utara Setia Nugraha, mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro masih menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro dan menjadi anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK) IMM FKIP Universitas Muhammadiyah Metro.



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



133



Willy Alfarius. Menyelesaikan pendidikan strata satu di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2014-2019). Berminat pada kajian sejarah transmigrasi, agama, dan hak asasi manusia. Saat ini sedang menempuh studi master di program studi yang sama. Dapat dihubungi melalui surel [email protected] dan Instagram @alfariusarema



Pandu Pinuju Widodo. Lulus Pendidikan S1 pada tahun 2018 di Universitas Muhammadiyah Metro, dan kini sedang menempuh Pendidikan S2 di Universitas Lampung sejak tahun 2019. Bekerja sebagai tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan Purnama Trimurjo. Menjadi ketua komunitas penggiat sejarah bernama Trimurjo Heritage sejak tahun 2020. Dan turut serta aktif dalam kegiatan pegiat sejarah di seluruh Lampung. Penulis dapat dihubungi melalui email : [email protected]



134



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



Muhammad Rendra S., atau yang lebih dikenal dengan sapaan akrabnya yaitu Kanjeng Rendra merupakan Lulus pendidikan S1 pada tahun 2016 di STIE GENTIARAS BANDAR LAMPUNG, dan sekarang sedang melanjutkan Pendidikan S2 di Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Bandar Lampung sejak April 2021. Bekerja sebagai karyawan BUMN - Bank BRI Kanca Tulang Bawang. Aktif dalam kegiatan Seni dan Budaya sejak kecil serta bergabung dengan Dewan Kesenian Kab. Tulang Bawang tahun 2020 hingga sekarang. Aktif dalam mempelajari silsilah keturunan, budaya dan sejarah lokal di Kabupaten Tulang Bawang.



Hidayatullah Rabbani adalah peneliti bidang Sejarah Indonesia di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Kajian yang dilakukan berfokus pada sejarah konflik dan perubahan sosial di Indonesia. Penulis dapat dikontak melalui email [email protected]



MENYEBAR SEMANGAT SEJARAH LOKAL Sehimpun Tulisan dari Lampung



135