Semiotik Dan Dinamika Sosial Budaya - Mengenang Prof. Dr. Benny H. Hoed, Bapak Semiotik Indonesia PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia



SEMINAR NASIONAL SEMIOTIK, PRAGMATIK, DAN KEBUDAYAAN 2016



ISSN: 2356-1025



SEMINAR NASIONAL SEMIOTIK, PRAGMATIK, DAN KEBUDAYAAN



Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya: Mengenang Prof. Dr. Benny H. Hoed, Bapak Semiotik Indonesia



Kampus UI Depok, 1-2 Agustus 2016



PROSIDING Seminar Nasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan



Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya



Kampus UI Depok, 2 Agustus 2016



DEWAN REDAKSI



Pelindung



Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia



Penasihat



Ketua Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia



Pengarah



Dr. Untung Yuwono Dr. F.X. Rahyono Prof. Dr. Djoko Marihandono Tommy Christomy, Ph.D



Editor



Dr. B. Kushartanti M. Sally Pattinasarany, M.A. Yasmine P. Anabel, M.Hum R. Niken Pramanik, M.Hum



Sekretaris



Zahroh Nuriah, M.A. Adhika Irlang Suwiryo, M.A.



PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL SEMIOTIK, PRAGMATIK, DAN KEBUDAYAAN Diterbitkan oleh Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Juli 2016 ISSN: 2356-1025



i



PRAKATA Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir merupakan tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna oleh manusia. Pada perkembangannya, semiotik menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan. Dari aras semiotik struktural, Barthes (1957), misalnya, mengembangkan teori tanda de Saussure untuk menjelaskan bagaimana kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi sebagai pengembangan makna tanda. Danesi dan Perron (1999), yang mengembangkan semiotik Pierce dari aras semiotik pragmatis, memaknai manusia sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dengan melihat sejarah. Kebudayaan, dengan demikian, merupakan sistem tanda yang berkelindan dan tidak terputus karena selalu berkembang dengan tidak lepas dari sejarahnya. Pragmatik merupakan akumulasi teori yang bertumpu pada tanda dan pemakaiannya. Bagi pragmatik, tanda tidak selalu dipahami maknanya secara sama, namun bergantung pada situasi. Bahkan, perbedaan paham atas makna suatu lambang bahasa tidak selalu berlaku sama bagi setiap kelompok dalam masyarakat bahasa yang sama. Dengan ancangan pragmatik, tanda dipandang sebagai gejala sosial-budaya yang bermakna. Pernyataan-pernyataan tersebut—yang kemudian menyuburkan pengkajian tanda— dikemukakan oleh Profesor Benny H. Hoed dalam buku karyanya berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (2008). Pak Benny, demikian panggilan akrabnya semasa hidupnya, menantang ilmuwan untuk mengungkapkan apa yang ada di balik gejala atau penanda dengan menggunakan perangkat semiotik dan pragmatik. Belum lagi Pak Benny menjawab pertanyaan besarnya apakah semiotik dapat digolongkan sebagai ilmu, tidak hanya seperangkat teori untuk mengkaji tanda, Sang Pencipta berkehendak lain, seolah-olah mengabulkan tulusnya Pak Benny memberikan kesempatan kepada para ilmuwan untuk menjawab pertanyaan itu. Beliau menghadap Yang Mengasihinya pada tanggal 19 November 2015. Atas inspirasi Pak Benny pula, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) menyelenggarakan seminar berkala mengenai semiotik dan pragmatik. Maka, pada tahun 2016 ini, untuk mengenang Pak Benny beserta sumbangsihnya dalam pengembangan semiotik dan pragmatik, Seminar Nasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan ini mengambil tema “Semiotik, Pragmatik, dan Dinamika Sosial Budaya: Mengenang Prof. Dr. Benny H. Hoed, Bapak Semiotik Indonesia”. Seminar ini merupakan wadah bagi para ilmuwan untuk mendiseminasi hasil penelitian tentang tanda dalam dinamika sosial-budaya dan pemaknaannya berlandaskan semiotik dan pragmatik. Sub-subtema yang dibahas meliputi (1) Semiotik dan/atau Pragmatik dan Dinamika Sosial-Budaya; (2) Semiotik dan/atau Pragmatik dan Kearifan Budaya; (3) Semiotik dan/atau Pragmatik dan Bahasa Isyarat; (4) Semiotik dan/atau Pragmatik dan Media. Prosiding Seminar Nasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan: Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya memuat makalah-makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan yang diadakan pada tanggal 1-2 Agustus 2016 di Depok. Bagian awal prosiding diisi dengan makalah-makalah para Pembicara Utama, yang diikuti dengan makalah-makalah para Pemakalah pada Sidang-sidang Paralel. Selamat membaca dan memahami dinamika sosial budaya. Depok, 2 Agustus 2016 Tim Editor ii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL DEWAN REDAKSI PRAKATA DAFTAR ISI



i ii iii



MAKALAH UTAMA 3



SEJARAH DALAM BUDAYA Djoko Marihandono ARSITEKTUR SEBAGAI TANDA: MEMBACA GEJALA KARYA ARSITEKTUR MELALUI SEMIOTIK Gunawan Tjahjono



17



DEKONSTRUKSI DERRIDA: RESAH MENELUSURI JALAN SUNYI Haryatmoko



28



KONSEP DICENT DALAM KAJIAN URBAN LANDSCAPE DAN TOPONOMI Tommy Christomy



47



MAKALAH PARALEL PEMAKNAAN FESYEN HIJAB DI KALANGAN PEGIAT FESYEN DAN MUSLIMAH UMUM DI INDONESIA A. Naufalul Umam dan Seradona Altiria



57



MELAWAN KORUPSI LEWAT GAMBAR: VISUALISASI KARTUN EDITORIAL PERS AWAL ORDE BARU 1968-1974 Aditia Muara Padiatra



72



SYAIR LAGU MELAYU JAMBI DALAM KAJIAN SEMIOTIKA: TAPAK KILAS KEHIDUPAN RAKYAT Afriliani



87



DIGLOSIA DALAM TEKS PERCAKAPAN TELEPON SISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Amalia Dewi, Khairunnisa iii



96



PEMAKNAAAN BAJU PIYAMA BERGARIS (KAJIAN SEMIOTIK PADA FILM BOY IN THE STRIPED OF PAJAMAS) Andalusia Neneng Permatasari



109



PRO DAN KONTRA TERHADAP LOGO BARU UNILEVER Andrea Pradsna Paramita Djarwo



119



MITOS DAN KONOTASI DALAM IKLAN PRODUK KECANTIKAN DAN KESEHATAN BIBIR PADA MAJALAH COSMO GIRL: SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK Aprivianti Sugiyo



134



REPRESENTASI PEMERINTAHAN ERA ORDE BARU PADA RUANG IBUKOTA JAKARTA Ardianti Permata Ayu



146



IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN INTERPRETASI STRIP KOMIK PEANUTS: PEMAKNAAN PEMBACA ATAS PERISTIWA BUDAYA YANG BERLANGSUNG DI DALAMNYA Ayu Ida Savitri



166



PERKENALAN DAN EKSPLORASI SYSTEMIC FUNCTIONAL LINGUISTICS DAN READING IMAGES UNTUK MEMAKNAI TANDA BUDAYA Budi Hermawan



184



PENGGUNAAN METAFORA DALAM SURAT KABAR MEDIA INDONESIA PADA RUBRIK EDITORIAL DAN OPINI DALAM TOPIK KEJAHATAN SEKSUAL Dhian Kurniawati



197



KESANTUNAN LINGUISTIK DAN KESANTUNAN PRAGMATIK IMPERATIF DALAM PESAN BERGAMBAR DI MEDIA SOSIAL Diana Tustiantina



208



KEHIDUPAN MULTI ETNIS DI KOEDOES (MENGUAK DINAMIKA SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KUDUS TAHUN 1912 MELALUI NOVEL PEROESOEHAN DI KOEDOES) Edwina Satmoko Tanojo; Lili Sagita; Nanny Sri Lestari



220



ASPEK SEMIOTIK DALAM RITUAL MENEMPATI RUMAH BARU SESUAI TRADISI MASYARAKAT GORONTALO Ellyana Hinta



239



iv



PENAFSIRAN IDENTITAS GENDER ERA VICTORIA INGGRIS: KAJIAN SEMIOTIKA SAMPUL NOVEL KARYA GEORGE ELIOT THE MILL ON THE FLOSS. Eta Farmacelia Nurulhady



248



REPRESENTASI SAINS DAN TEKNOLOGI, DAN MEMORI JEPANG PASCAPERANG DALAM SERIAL ANIME “TETSUJIN 28” Firman Budianto



257



SEMIOTIKA DAN LINGUISTIK Hermina Sutami



273



MEMBAYANGKAN NEGERI IMPIAN: GAMBARAN PERAWAT DAN PENGASUH LANSIA INDONESIA TERHADAP JEPANG Himawan Pratama



289



EFEK PERLOKUSI-MEDIS KORBAN WOMEN TRAFFICKING Ike Revita dan R.Trioclarise



302



REPRESENTASI HISTORIS PATUNG TIGARAKSA KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN (KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES) Ilmi Solihat



313



NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MEDIA INFORMASI DI RUANG PUBLIK KOTA SOLOK, SUMATERA BARAT: KAJIAN PRAGMATIK Inestie Printa Elisya



320



KPK: TAK LEKANG Kenanya Hermanus; Atreyu Moniaga; Hamdan Permana



333



ANALISIS SEMIOTIK PRAGMATIK PADA MEDIA INTERNET DETIK.COM TERHADAP PERNYATAAN ARTIS. AHMAD DHANI: SIAPAPUN CAGUB GERINDRA, KALAU CAWAGUBNYA SAYA PASTI TOP! Lely Demiyati



348



SIMBOL DAN MAKNA DALAM RITUS RUWATAN GOLONGAN SUKÉRTA Lies Mariani



358



REPRESENTASI “PEREMPUAN MATANG” DALAM MAJALAH PESONA (FEMINA GROUP) Lina Meilinawati Rahayu



377



v



KONSEP WAJAH DALAM WACANA DIALOG PENOLAKAN BAHASA JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK Nani Sunarni dan Dewi Sakinah



387



PEMAKNAAN FILM ANIMASI “Маша и М в ь” (“MASHA DAN BERUANG”) Nia Kurnia Sofiah



401



KEARIFAN LOKAL PADA FALSAFAH URIP SAMADYA SEBAGAI STRATEGI MASYARAKAT JAWA MENGHADAPI MEA 2016 Nur Fateah, M.A., dan Giovani Juli A.



411



MAKNA SOSIAL DALAM MIM INTERNET “#SaveHajiLulung” Nurhayati



423



ANALISIS GANGGUAN PRAGMATIK DAN EKSPRESIF SISWA SDN 04 PANTAI PURUS PADANG DENGAN METODE PKHK (PEMERIKSAAN KOMUNIKASI HEMISFER KANAN) Ratih Purwasih



440



STEREOTIPE KE-TIONGHOA-AN: SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA BUDAYA Ronald Maraden Parlindungan Silalahi



455



TUBUH PEREMPUAN ANTARA SEKSUALITAS DAN KOMODITAS (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM IKLAN) Ronny Yudhi Septa Priana



466



KONOTASI DAN CITRA FIGUR MANUSIA DAN HEWAN PADA KELOMPOK ARCA-ARCA MEGALITIK DI KAWASAN PASEMAH, SUMATERA SELATAN Rr. Triwurjani



476



KOMUNIKASI ARSITEKTUR MELALUI KONTINUM EKSPRESI MAKNA PRESERVASI PADA BENTUK DAN WARNA ATAP TEMPAT IBADAH DENGAN CORAK BUDAYA TIONGHOA: STUDI SEMIOTIKA UMBERTO ECO PADA MODEL DAN WARNA ATAP GEREJA KATOLIK SANTA MARIA DE FATIMA Rustono Farady Marta dan Yan Katalo



504



vi



KERJA, KERJA, KERJA: ANALISIS SEMIOTIK PRAGMATIK KONSEP PEKERJAAN PADA ERA REVOLUSI MENTAL Sartono



520



PERGESERAN TANDA MASKULINITAS BERDASARKAN REPRESENTASI IKLAN TELEVISI PRODUK PERAWATAN WAJAH PRIA DENGAN STEREOTIPE GENDER Satwiko Budiono



529



REPRESENTASI BUDAYA PADA BULAN RAMADAN DI INDONESIA DALAM KOMIK HEY-HO! PADA MEDIA DARING KOMPAS.COM Selly Rizki Yanita dan Aprivianti Sugiyo



544



REPRESENTASI KESANTUNAN TINDAK TUTUR ILOKUSI ANGGOTA DPRD PROVINSI SULAWESI SELATAN Siti Suwadah Rimang dan Syafruddin



557



PROSES PEMAKNAAN NAMA TUMBUHAN OBAT-OBATAN TRADISIONAL SUNDA Sugeng Riyanto; Wagiati; Dadang Suganda; Reiza Dienaputra; Eva Tuckyta S. Sujatna; Agus Suryadimulya; Susi Yuliawati



566



PEMBACAAN WACANA IKLAN COCA COLADALAM PERSPEKTIF SEMIOTIK CHARLES SANDERS PEIRCE Wahyudi Joko Santoso



575



KEARIFAN LOKAL PETANI DAN PERSEPSINYA TERHADAP PEKERJAAN NONPETANI BAGI ORANG SAMIN DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK) Wakit Abdullah



589



CARA MASYARAKAT INDONESIA MEMAKNAI SEJARAH YANG DIGAMBARKAN MELALUI NARASI DAN DIALOG TOKOH CATHLEEN DAN RIAN DALAM NOVEL RAHASIA MEEDE BAB 13 Zenin Octa Widyama Ridmar



609



vii



MAKALAH UTAMA



SEJARAH DALAM BUDAYA Djoko Marihandono (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia; [email protected])



1. Pendahuluan Sejak 1985, masalah hakekat Ilmu Pengetahuan Budaya mulai dipikirkan secara lebih serius. Yang dimaksudkan sebagai lebih serius adalah dibicarakan secara khusus, didiskusikan secara berkala di antara para pakar Ilmu Pengetahuan Budaya, yang saat itu dimotori oleh Prof. Dr. EKM Masinambow, Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, Prof. Dr. Noehadi Magetsari, Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar, dan Prof. Dr. Mundardjito. Hasil diskusi yang cukup intens itu dituangkan dalam mata kuliah yang diberikan untuk semua mahasiswa S-2 yang diberi nama Teori Kebudayaan, yang wajib diambil oleh semua mahasiswa



S-2 di Fakultas Sastra UI (saat itu).



Dengan penuh semangat, para



pemrakarsa ini mengumpulkan bahan acuan untuk perkuliahan. Alhasil terkumpullah bacaan Teori Kebudayaan yang setelah dijilid dapat dijadikan bantal tidur karena jumlahnya hampir mencapai 500 halaman. Untuk memudahkan pelaksanaan perkuliahan yang wajib diambil oleh mahasiswa S-2 FSUI, dikerahkanlah para pengajar lulusan S-2 Antropologi Linguistik untuk menjadi mentor mata kuliah Teori Kebudayaan tersebut. Manfaat dari para mentor adalah memimpin diskusi mahasiswa yang sudah dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas topik yang sudah ditetapkan oleh para pengajar. Agar mahasiswa S-2 dan para mentor tidak kehilangan arah, Prof. Dr. EKM Masinambow mendapatkan tugas untuk menulis paper tentang manfaat teori dalam penelitian budaya. Dalam



perjalanan



waktu,



terasa



bahwa



semuanya



masih



memerlukan



penyempurnaan. Hal ini disebabkan masih ada kerancuan antara Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Budaya. Oleh karena itu, kembali menjadi tugas Prof. Dr. EKM Masinambow untuk membuat ragangan paper tentang Teori Kebudayaan dan Ilmu



3



Pengetahuan Budaya. Setelah melalui diskusi yang terus-menerus dan intens bersama para pakar tersebut, akhirnya paper tersebut dapat diselesaikan dengan baik.1 Setelah Prof. Dr. EKM Masinambow wafat (2005), mata kuliah ini dikembangkan lagi oleh Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, Prof. Mundardjito, dan Prof. Okke K.S. Zaimar. Gagasannya yang penting dalam perkembangan pengajaran Teori Kebudayaan adalah upaya Prof. Benny H. Hoed untuk mencari benang merah yang menghubungkan ilmuilmu yang berada dalam lingkup Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Oleh karena itu, diupayakan semua keilmuan yang ada di FIB terwakili dalam mata kuliah ini: Linguistik, Susastra, Filsafat, Sejarah, Arkeologi, dan Perpustakaan.



2. Teori Kebudayaan Hal utama yang patut diketahui oleh mahasiswa tentang Teori Kebudayaan adalah posisi Ilmu Pengetahuan Budaya dalam khazanah semesta ilmu yang ada saat ini. Setidaknya, haruslah dipahami perbedaan antara Ilmu Pasti Alam dan Ilmu Pengetahuan Budaya. Ilmu Pasti Alam berkaitan dengan menemukan hukum alam berdasarkan fenomena alam. Hukum dalam ilmu-ilmu alam adalah tetap, sementara yang berbeda dapat dikategorikan dalam anomali. Sifat dari Ilmu Pengetahuan Alam adalah materialistik, yang meneliti tentang fenomena alam. Ilmu Pengetahuan Budaya memandang



manusia sekaligus sebagai subjek



maupun objek. Objek penelitiannya adalah ideografis (idealistik) dan materialistik. Sementara itu, humaniora



berkaitan dengan pendidikan untuk mencapai tingkat



peradaban tertentu (humanities, human science). Konsep tentang: kebudayaan (Nomina), budaya (ajektiva), paradaban, haruslah dipahami oleh mahasiswa sebelum mereka memahami tentang ilmu-ilmu budaya. Walaupun terdapat demikian banyak definisi



Paper yang berjudul “Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya” karya EKM Masinambow ini diterbitkan 2 kali. Pertama diterbitkan dalam buku kumpulan tulisan Meretas Ranah (2001), Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat (Eds). Yogyakarta: Penerbit Bentang. Namun, setelah melalui perjalanan waktu, paper tersebut dikoreksi oleh penulisnya, dan diterbitkan kembali dengan judul yang sama dan dimuat dalam buku Semiotika Budaya, dalam Tommy Christomy dan Untung Yuwono (Eds.) FIB-UI: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. 1



4



tentang kebudayaan (sudah dikumpulkan oleh A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn)2, namun, secara umum dapat dikatakan bahwa ranah Ilmu Pengetahuan Budaya berawal dari gagasan (Idealistic) sampai dengan Entitas fisik (Material View), yang meliputi ilmu filsafat, susastra, pengkajian teks, sejarah, psikolinguistik, linguistik kognitif, Semiotik, pragmatik, sosiolinguistik, antropologi linguistik, antropologi, arkeologi, dan teori adaptasi. Dari sinilah kita berhubungan dengan ilmu dan teori yang saat ini kita geluti. Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, ilmu pengetahuan budaya memfokuskan diri pada gagasan atau makna yang berada dalam teks dan atau artefak. Sementara itu ilmu sosial memfokuskan diri pada interaksi antaranggota masyarakat atau lembaga. Dalam beberapa kasus terdapat ketersinggungan antara ilmu pengetahuan budaya dan ilmu sosial, atau bahkan dapat saling tumpang tindih antara keduanya. Apabila kita mengambil salah satu dari definisi dari Kroeber dan Kluckhon, Kebudayaan dapat diartikan sebagai “Culture consist of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by simbols, constituing the distictive achievement of human group, including their embodiment in artifacts. Dengan demikian, kebudayaan adalah perilaku manusia yang diperoleh dan dinyatakan dengan simbolsimbol, termasuk di dalamnya artefaknya. Inti dari kebudayaan adalah gagasan dan khususnya dalam kaitannya dengan nilai. “The essential core of culture consists of traditional … ideas and especially their attached values. Dengan demikian culture systems (system budaya) may, on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action. Dengan demikian, ranah kebudayaaan bergerak dari gagasan/tindakan (ideas/acts) sampai dengan artefak (material Culture). 3



3. Cultural Layers Kebudayaan merupakan sebuah struktur yang merupakan hasil dari kelompok masyarakat. Struktur hanya diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti setelah diketahui unsur-unsur yang saling berkaitan. Bapak Strukturalisme linguistik Ferdinand de Saussure melalui murid-muridnya (Charles Bally dan Albert Sechehaye) 2



Lihat A.L. Kroeber, C. Kluckhohn. 1963. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Greenwood Press., hlm. 357. 3 Idem.



5



telah memperkenalkan kepada kita bahwa bahasa itu memiliki struktur,4 yang memulai kajiannya dari pembedaan antara signifié (petanda) dan Signifiant (Penanda). Analisis de Saussure masih diperkaya dengan munculnya konsep kuncinya, yakni langue-parole, sincronique-diacronique, dan sytegmatique-paradigmatique. Konsep dasar dari analisis de Saussure ini kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes (1964), yang menekankan relasi antartanda yang bersifat sintagmatis dan paradigmatis.



Sementara itu, Piaget



(1968) mengembangkan konsep struktur yang lebih komprehensif. 5 Menurut Piaget, struktur memiliki tiga sifat dasar, yakni merupakan suatu totalitas, dapat bertransformasi dan berotoregulasi. Penjelasan Piaget dijelaskan secara gamblang dalam buku tersebut.



Profil Kebudayaan menurut Toompenaars (1997, hlm. 22)



Lapisan paling luar dari kebudayaan adalah produk



6



dan artefak. Lapisan ini



dapat diamati, dapat direkam, dapat difoto. Pada lapisan paling luar ini disebut oleh Trompenaars sebagai kebudayaan eksplisit. Lapisan yang lebih dalam, yang berada di tengah adalah norms and values (diterjemahkan oleh Benny Hoed sebagai nilai dan norma). Menurut Trompenaars,



4



Charles Bally dan Albert Sechehaye. 1916. Elements de Linguistique Generale. Paris: Payot. Lihat Benny H. Hoed. 2014. “Kebudayaan sebagai struktur dan profilnya” dalam Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, hlm. 294. Jakarta: Komunitas Bambu 6 Benny Hoed lebih suka menggunakan istilah tindakan sebagai terjemahan dari produk. (Ibid, hlm. 296). 5



6



“Norms are the mutual sense a group has of what is “right” and “wrong”. Norms can develop on a formal level as written laws, and on an informal level as social control. Values, on the other hand, determine the definition of “good and bad”, and are therefore closely related to the ideals shared by a group.”



Sementara itu, lapisan paling dalam adalah inti dari kebudayaan yang disebut sebagai Basic Assumption, yang disebut juga sebagai budaya implisit (implicit). Benny Hoed tidak menerjemahkan istilah ini, namun disamakan dengan konsep mentalité yang diperkenalkan oleh Fernand Braudel, tokoh mazhab Les Annales yang berkembang di Prancis. Dalam buku Semiotik dibedakan dengan tegas antara mentalité dan sistem nilai yang berubah dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Mentalité merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang sangat sulit untuk berubah.



7



Mentalité



merupakan kebudayaan yang seakan-akan terrepresi, dan terpendam dalam masyarakat. Namun apabila muncul suatu pemicu, maka muncullah kebudayaan yang “seakan-akan” tidur itu. Braudel memperkenalkan tiga waktu kesejarahan, yakni sejarah peristiwa, sejarah sosial, dan sejarah yang hampir tidak berubah. Sejarah peristiwa diibaratkan oleh Braudel sebagai “kembang api” di dalam gelapnya malam, sangat meriah, sangat terang. Namun menurut Braudel, sejarah peristiwa belum dapat menjelaskan tentang sejarah itu sendiri, karena bagi Braudel sejarah peristiwa bagaikan lapisan atas aliran sungai, yang banyak riaknya. Sementara di bawahnya terdapat suatu gerakan lain yang menyebabkan aliran itu. Inilah yang disebut sebagai sejarah sosial. Sejarah sosial berubah dalam rentang waktu yang lambat, yang mengakibatkan munculnya sejarah peristiwa. Perubahan yang terjadi bisa berupa perubahan norma, adat ataupun perubahan tatanan masyarakat. Sementara itu waktu kesejarahan yang ketiga menurut Braudel adalag kebudayaan yang berlangsung sangat lama dan hampir tidak berubah. Dikatakan oleh Braudel bahwa Mentalité derives from distance past, from ancient beliefs, fears and anxieties which are almost unconscious, transmitted from generation to generation.8 7 Benny H. Hoed menerjemahkan mentalité dengan istilah mentalitas. Saya pribadi kurang sependapat, karena bagi saya mentalité hidup dalam suatu masyarakat dan bukan individu-individu. Sementara istilah mentalitas dapat melekat pada seorang individu. 8 Lihat Fernand Braudel, 1995. A History of Civilisation . New York, USA: Penguin books, hlm. 22.



7



4. Realitas sebagai kajian Sejarah Sejarawan bekerja berdasarkan dokumen arsip. Di dalam arsip terkandung realitas. Dengan metode yang dimilikinya, sejarawan akan mampu melakukan kritik sumber, sehingga unsur subjektivitas dapat ditekan seminimal mungkin. Kemudian pertanyaannya adalah apakah realitas itu. Seorang antropolog Victor W. Turner mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga macam realitas. a. Reality as it is (what is really out there, whatever that may be); b. Reality as experience (how that reality presents itself to consciousness); c. Reality as expressions (how individual experience is framed ans articulated).9 Demikian pula, dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa kehidupan, antara lain: a. Life as lived (reality); b. Life as experienced (experience); c. Life as told (expression).



as experience Life as lived



as told



Hanya orang-orang yang naif saja yang percaya bahwa expression ekuivalen dengan realitas. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari secara ketat dibedakan antara kehidupan (life) sebagai pengalaman dan sebagai pengungkapan simbolis. Hubungan antara pengalaman dan ekspresinya selalu menimbulkan problematik dan merupakan bidang penelitian apa pun termasuk dalam bidang antropologis maupun dalam bidang historis. Oleh karena itu, sebelum menggunakan arsip, sejarawan harus melakukan kritik sumber terlebih dahulu, baik kritik internal (konten) maupun eksternalnya (fisik). 9



Lihat Victor W. Turner. 1986. Experience and its expressions dalam The anthropology of experience, Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (Eds). United States of Amerika: University of Illinois, hlm. 6 dan 7.



8



Realitas



Arsip P e r j a l a n a n



Penulis Arsip



Arsip



w a k t u



Pembaca Arsip



3



9



Kritik Sumber: Dokumen



Eksternal/Forensik



lnternal/konten



1. Originalitas



1. Konten



2. Otentisitas



2. Konteks



3. Kredibiltas



3. Struktur



4. Integritas



10



5. Metodologi Sejarah Setelah dokumen diperoleh dan telah dilakukan kritik sumber, peneliti harus melakukan kritik atas dokumen yang digunakan. Dokumen



biasanya memiliki



bermacam-macam maknanya. Oleh karena itu makna makna yang terdapat dalam dokumen harus disinkronkan agar terjadi keterkaitan antar makna. Proses ini disebut sebagai proses sintesa. Sintesa adalah membuat kerangka narasi yang sudah menghasilkan suatu kisah. Dalam proses ini mulai digunakan teori. Misalnya hubungan patron-Client, yang masih bertahan kuat dalam budaya di Indonesia. Prof. Benny menduga bahwa kehidupan patron-Client yang ada dalam dunia politik di Indonesia, merupakan budaya mentalité yang tetap hidup dari dahulu hingga kini.10 Mentalité seperti itu dapat disebut sebagai mentalité feodal,



yang oleh banyak peneliti ilmu-ilmu sosial sering disebut



“bapakisme”, yang sangat sering dibarengi dengan politik uang. Selanjutnya apabila tahap ini sudah dilampaui, tahap sintesa ini akan membuka jalan ke tahap berikutnya, yakni tahap rekonstruksi. Rekonstruksi merupakan proses pengantar laporan akhir yang merupakan pengembangan dari kerangka narasi. Bedanya antara rekonstruksi dan narasi adalah diletakkannya dalam konteks pemikiran, yaitu dalam wujud metodologi.



Berbagai macam metodologi dapat digunakan, seperti



metodologi strukturasi, struktural, konstruktivistik, marxis, naratif, atau deskriptif. Dengan demikian, apabila akan digunakan metodologi strukturasi Giddens, tentu akan membicarakan proses dinamisasi agen menjadi agency, atau proses perubahan struktur yang disebut strukturasi. Dinamisasi agen dapat melalui berbagai upaya, seperti: capability



dan power. Demikian pula apabila akan digunakan metodologi



konstruktivistik, akan berhubungan dengan habitus, kapital, arena, strategi. Jadi, hasil karya historis menjadi ilmiah karena didasari oleh penggunaan metodologi. Untuk menjawab penggunaan teori dalam kajian sejarah, teori dapat digunakan dan dapat pula tidak digunakan, tergantung bagaimana metodologi yang akan digunakan oleh peneliti sejarah. Dalam sejarah naratif ataupun deskriptif misalnya, tidak digunakan teori. Namun bukan berarti bahwa dalam sejarah naratif itu mudah. Sejarah naratif memerlukan persyaratan yang ketat, khususnya dalam hal data. Dukungan data secara 10



Lihat Benny H. Hoed 2014. Semiotik & dinamika sosial budaya. Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 297.



11



sekuensial harus kuat. Jika tidak, akan terjadi rumpang yang akan menggagalkan metodologi naratif yang digunakannya. Dalam beberapa kasus, Sejarah tidak dapat menggunakan hipotesis, karena: a. Sejarah bertolak dari peristiwa; b. Peristiwa itu sudah terjadi; c. Yang menghubungkan anatara sejarawan dan peristiwa adalah data masa lampau; Dengan demikian, apabila digunakan hipotesis resikonya subjektivitas akan menjadi tinggi sekali karena teori akan menguji hipotesis dan bukan menguji fakta. Padahal sejarawan bertugas untuk mensintesakan fakta. Di samping itu, kemungkinan besar akan terjadi anakronistik karena teori dan fakta berasal dari zaman yang berbeda dengan peristiwa. Namun, sejarawan boleh menggunakan asumsi karena asumsi tidak akan diuji dengan teori. Interpretasi mengarah kepada asumsi dan untuk menekan unsur subjektivitas dalam asumsi. Asumsi tersebut harus diletakkan dalam konteks metodologis, untuk melengkapi kerangka rekonstruksi. Hal inilah yang disebut sebagai retorika historis.



ASUMSI



ASUMSI



ASUMSI



Dalam kesimpulan penulisan laporan, asumsi berubah menjadi opini dengan nilai subjektivitas yang rendah, karena sudah dibingkai dalam metodologi. Fakta, menurut modernisme dan positivisme, melekat dalam data, tanpa harus melalui tahap interpretasi sehingga dapat dianggap sebagai suatu realitas yang benarbenar terjadi. Sementara itu, postmodernisme, menolak bahwa fakta itu tidak ada dalam data, tetapi ada dalam interpretasi (dalam setiap dokumen mengandung fakta). Buktinya 12



adalah suatu data dapat menghasilkan banyak fakta sehingga sering terjadi perbedaan interpretasi. Kelompok modernis bertahan dengan tetap menggunakan positivisme dalam melakukan interpretasi. Hal ini mengarah pada paradigma normatif, yaitu menekankan hasil interpretasi sebagai suatu norma. Arahnya adalah kebenaran objektif. Contohnya adalah yang sekarang ini terjadi pada kasus hukum. Tanpa adanya paradigma normatif, kasus hukum tidak akan selesai dan tidak ada prinsip keadilan karena masing-masing pihak yang berselisih akan menafsirkan sendiri-sendiri menurut standar kebenarannya sendiri. Sementara itu, posmodernisme menganggap bahwa fakta adalah wewenang pelaku interpretasi. Jadi hal ini mengarah kepada paradigma empiris, yaitu kebenaran intersubjektif. Hal ini mengarah pada proses dekonstruksi terhadap pemikiran modernis yang bersifat rekonstruktif. Dalam sejarah, yang mengatur keduanya adalah aspek legalitasnya. Aspek legalitas ini berawal dari heuristik sampai dengan rekonstruksi. Ketika memilah data, data itu bisa digunakan sebagai bukti dan bukan opini, sehingga ketika peneliti melakukan rekonstruksi, hasilnya dapat menjadi novum. Misalnya: arsip yang diperoleh dari internet tidak memiliki aspek legalitas. Sementara itu mazhab modernisme mengatakan bahwa rekonstruksi adalah menyusun kembali apa yang telah terjadi. Hal ini ditentang oleh mazhab strukturalisme yang mengatakan bahwa menyusun kembali bukanlah merupakan rekonstruksi, tetapi merupakan konstruksi karena rekonstruksi tidak mungkin dilakukan, karena realitasnya berbeda. Oleh karena itu sejarah hanya muncul satu kali saja. Strukturalisme menentang paham sejarah yang berulang (l’histoire se répète). Sementara itu posmodernisme menganggap bahwa yang ada adalah dekonstruksi (membongkar) dengan memadukan keduanya.11



Penutup Mata kuliah Teori Kebudayaan, wajib diambil oleh semua mahasiswa S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Mata kuliah Teori Kebudayaan yang telah dirancang oleh Prof. EKM Masinambow bersama dengan Prof. Benny Hoed dan 11Lihat Alun Munslow. 1977.



Deconstructing history. London: Routledge.



13



para pengajar lain yang telah disebutkan dalam awal makalah ini, memberikan pemahaman bagi para mahasiswa S2 tentang hakikat teori kebudayaan dan perkembangannya serta sejumlah aspek kebudayaan tertentu. Namun, Prof. Benny H. Hoed harus bekerja keras dengan kolega lainnya seperti Prof. Nurhadi Magetsari dan Prof. Mundardjito, Prof. Okke, terlebih setelah wafatnya Prof. EKM Masinambow pada 2005. Ilmu Pengetahuan Budaya, bergerak secara kontinuum dari ideologis sampai dengan materialistik. Dengan demikian, teori-teori yang yang termasuk dalam ilmu budaya juga berawal dari idealistik hingga materialistik seperti: filsafat, susastra, kajian teks, sejarah, psikolinguistik, linguistik kognitif, semiotik, pragmatik, sosiolinguistik, antropologi linguistik, antropologi,



arkeologi,



dan teori adaptasi. Hal ini berbeda



dengan ranah ilmu-ilmu sosial yang menekankan pada hubungan dan relasi antarmanusia atau lembaga. Ditegaskan pula bahwa kebudayaan itu bermacam-macam dan berlapis-lapis. Oleh karena itu sangat besar kemungkinan terjadinya singgungan antara ilmu sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang memfokuskan pada tingkah laku, artefak dan teks. Dari ketiga fokus itu, yang amat penting adalah menemukan basic assumption, yang dalam strukturalisme meminjam istilah yang dikemukakan oleh Fernand Braudel, yakni mentalité. Prof. Benny H. Hoed telah berhasil membuka wawasan para mantan muridnya, untuk memikirkan kembali hakikat keilmuan yang tergabung di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di universitas kita ini. Sebagai ahli



linguistik struktural, telah



mengilhaminya untuk mengembangkannya di FIB dan mengaitkanya dengan ilmu-ilmu lainnya seperti Susastra, sejarah, Ilmu Budaya, Arkeologi, Semiotik, sehingga diharapkan para mahasiswa mampu menganalisis karya akhirnya secara multi disiplin, yang sangat diperlukan dalam pengembangan keilmuan di fakultas kita. Dalam studi sejarah, peranan strukturalisme sangat besar, terutama dalam perkembangan paradigma penulisan sejarah yang dilakukan oleh para sejarawan Prancis Les Annales. Dari sejarawan mazhab Les Annales inilah paradigma baru penulisan sejarah berkembang, dimulai dari sejarah spekulatif yang bersifat naratif dan deskriptif berubah menjadi sejarah analitis yang memerlukan metodologi yang jelas dan mendalam. 14



Perkembangan keilmuan dari strukturalisme, berkembang ke Pos-strukturalisme dan Neostrukturalisme menjadi perhatian Prof. Benny Hoed, termasuk di dalamnya modernisme dan post-modernisme. Hal inilah yang memicu mantan murid-muridnya pengampu mata kuliah Teori Kebudayaan saat ini (Sdr. Tommy Christomy, Ph. D; Dr. Suma Riella Rusdiarti; Dr. Wani Rahardjo; dan saya) untuk terus mengikuti perkembangan ilmu demi memenuhi



tuntutan zaman maupun untuk memenuhi



kebutuhan mahasiswa. Prof. Benny H. Hoed telah banyak berjasa dalam mengarahkan para mantan muridnya ketika mereka menemui kesulitan dalam menyelesaikan penelitiannya. Dengan tangkas dan dengan cara yang sangat santun Prof. Benny H. Hoed mampu mencarikan jalan keluar apabila mahasiswa menemukan kesulitan dalam penelitiannya. Sikap kritisnya membuat semua orang merasa dekat dengan Prof. Benny H. Hoed. Penghargaan yang setinggi-tingginya kita sampaikan kepada almarhum atas jasa dan perhatiannya secara konsisten dalam proses pengembangan ilmu di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.



Daftar Acuan Bally, Charles dan Albert Sechehaye. (1916). Elements de linguistique generale. Paris: Payot. Burke, Peter. (1990). The French historical revolution: the annals school 1928—89. Cambridge: Polity Press Braudel, Fernand. (1995). A history of civilisation . New York, USA: Penguin books. Christomy, Tommy dan Untung Yuwono (Eds), (2010). Semiotika budaya, Depok: PPKB FIB-UI. Hoed, Benny H. (2014). Kebudayaan sebagai struktur dan profilnya dalam Semiotik & dinamika sosial budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Husen, Ida Sundari, Rahayu Hidayat (Rds). (2001). Meretas ranah. Yogyakarta: Penerbit Bentang. Munslow, Alun. (1977). Deconstructing history. London: Routledge.



15



Turner, Victor W. dan Edward M. Bruner. (1986). The anthropology of experience, Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (Eds). United States of Amerika: University of Illinois.



16



ARSITEKTUR SEBAGAI TANDA: MEMBACA GEJALA KARYA ARSITEKTUR MELALUI SEMIOTIK1 Gunawan Tjahjono ( Guru Besar Arstiektur (Purnabakti) Fakultas Teknik Universitas Indonesia)2



Abstrak Manusia hidup dalam dunia tanda. Segala sesuatu yang kita hadapi diubah manusia terlebih dahulu sebagai tanda untuk kemudian ia dapat bersikap terhadapnya. Karya arsitektur merupakan segenap tanda yang senantiasa membatasi kegiatan bagi penggunanya. Sejauh manusia hidup dalam ruang penataan manusia, dia berhubungan dengan ruang arsitektural, terlepas dari apakah ruang itu dibuat oleh arsitek atau tidak, jika bermakna baginya. Tulisan ini mencoba mengungkapkan gejala tersebut dengan pendekatan semiotik, ilmu tentang tanda. Ungkapan tulisan ini hanya terbatas pada gejala arsitektural dalam skala yang akrab dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat mendekatkan pengalaman dengan paparan.



1. Wacana Semiotik di Dunia Arsitektur Semiotik mulai hangat dibahas para cendekia arsitektur di 1980-an.3 Di era itu makna masuk dalam debat arsitektur berkenaan dengan pemunculan sekelompok cendekia arsitektur yang membuka cakrawala melalui suatu cara pandang baru yakni dengan menganggap arsitektur sebagai komunikasi. Sebelum itu arsitektur cenderung terbingkai dalam segitiga Vitruvius, yang lazim dikenal dengan: kekokohan (firmitas), keterpakaian (utilitas), dan keindahan (venustas), 4



Untuk dipaparkan dalam Acara Seminar Nasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan “Semiotik dan dinamika Sosial Budaya”: Mengenang Prof. Dr. Benny H. Hoed. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 12 Agustus 2016. 2 Kini mengajr Mata Ajaran: Teori dan Metode Perancangan dan, Kota dan Perkembangannya di Indonesia. 3 Semiotik masuk diskusi arsitektur jauh sebelum itu. Namun di tahun 1980, terbit sebuah buku yang isinya penuh pembahasan tentang hubungan semiotic dengan arsitektur, yaitu Signs, Symbols, and Architecture yang diedit oleh Geoffrey Broadbent, Richard Bunt dan Charles Jencks. (Chichester, New York, Brisbane dan Toronto: John Wiley and Sons, 1980). Untuk sejarah diskursus Semiotik dalam bidang arsitektur, simak: C. Jencks. “Introduction to Section 1.” Dalam G. Broadbent dkk. hal.7-10. 4 Marcus Vitruvius Pollio adalah arsitek dan penulis yang hidup di Abad Ke-1 Masehi dan bekerja untuk Romawi. Bukunya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1960. Namun, yang menjadi acuan bagi pendidik arsitektur di dunia hanya peringkasan pandangannya dalam tiga pilar pembentuk arsitektur yang terkenal sebagai penggunaan (utilitas), kekokohan (firmitas) dan keindahan (venustas). Padahal ulasannya lebih rumit dan lengkap dari hanya segitiga tersebut. Simak: Vitruvius Pollio, M. The Ten Books on Architecture. (Penerjemah: Morris Hicky Morgan. New York: Dover, 1960). 1



17



di awal 1960-an hingga akhir 1970-an, titik berat pembahasan arsitektur berpusat ke ruang dan waktu.5 Memasuki 1980, arsitektur mulai dipandang dengan meminjam berbagai disiplin ilmu, antara lain komunikasi dan bahasa sebagai pengantarnya. Semiotik sempat diprakarsai beberapa teoritikus Inggeris, Italia, dan Amerika Serikat. Memasuki 1990-an arsitektur ramai diwacanakan dengan deconstruction dengan pemunculan beberapa karya arsitek yang mampu bekerjasama dengan Jacque Derrida dan menghasilkan karya-karya yang menimbulkan kontroversial.6 Memasuki Milenium baru arsitektur mulai diwakili karya-karya yang lebih majemuk, dari yang amat sederhana (minimum) hingga yang mengakar di tempat, dan yang mengesankan kontemplatif.7 Ini menandakan arsitektur itu memiliki dinamikanya sendiri dan landasannya tak lagi terikat pada diktum-diktum Vitruvius, ruang, makna dan komunikasi. Arsitektur berkembang sesuai kehendak arsitek yang senantiasa hidup dalam dunia yang penuh dinamika. Dalam era perkembangan teknologi informasi ini arsitek dapat dengan mudah meminjam gagasan disiplin ilmu lain untuk kemudian mengalihkannya ke dalam perancangan sehingga menghasilkan karya yang diinginkannya atau diinginkan oleh pemesannya. Sesuatu yang mengantikan sesuatu itu tanda. Melalui penggantian kehadiran benda itu, kita mampu menyingkat tata olah berpikir sehingga lebih cepat berkonsep. Oleh sebab itu ilmu tentang tanda itu menjadi demikian menarik, seakan mampu menjelaskan seluruh gejala dunia. Melalui tanda, manusia mampu mengabstraksi sehingga mendorong kemampuan lain. Berkat dorongan pemikiran manusia senantiasa memerbarui temuan-temuannya sehingga terdapat perjalanan peradaban sebagaimana kita saksikan kini. Bahasa merupakan tanda yang berada di



5



Dimulai dengan beberapa buku yang amat memengaruhi pandangan praktisi dan akademisi di saat itu, antara lain karya Sigfried Gideon. Space Time, and Architecture: The Growth of a New Tradition (Cambridge, Mass: Harvard, 1941, ed.V, 2006), lalu karya Bruno Zevi. Architecture as Space yang diterbitkan di Italia pada tahun 1948 lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris di tahun 1957, lalu terdapat beberapa kali revisi, terakhir oleh De Capo Press, 1993. Kemudian sebuah karya kalsik oleh ahli geografi Yi Fu Tuan dengan Space and Place: an Experiential Perspective (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1976), dunia arsitektur tak lagi memusatkan diri ke bentuk/wujud penampilan maupun fungsi bangunan, tetapi ke mutu ruang dan tempat yang diciptakan. 6 Hal itu diawali dengan suatu pameran di Museum of Modern Arts New York, Amerika Serikat yang bertema The Deconstructivist Architecture tahun 1988. Curator Philip Johnson dan Mark Wigley. Pameran ini kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul sama oleh Museum of Modern Art juga. Nama-nama kondang yang kemudian kita kenal dengan sebutan starchitect seperti Frank Gehry, Rem Koolhaas, Zaha Hadid, adalah figure yang dimunculkan di pameran tersebut. 7 Berkat promosi John Pawson, arsitek Inggris agar kembali ke minimal, minimalisme menjadi perhatian arsitek dunia. Namun di tahun 2012 Pritzker Prize, semacam Nobel Prize untuk bidang arsitektur diberikan ke Wang Shu, arsitek Tiongkok yang karyanya amat membumi, wacana arsitektur mulai majemuk.



18



tingkat tertentu yang kini kita kenal sebagai simbol. Ilmu mengenai tanda kini disebut semiotik (semiotic) atau semiologi (semiology).



Benda yang mewakili dirinya sendiri oleh Peirce dinamakan ikon (icon). Lalu yang mengindikasikan maknanya Peirce sebut index, dan hasil pemaknaannya sesuai konteks sosial budaya penafsirnya disebut simbol (symbol). De Saussure menamai tanda yang memicu indikasi signifier. Signifier senantiasa mengindikasi dan ia namakan signified. Dalam kerangka berpikir dua raksasa semiotik dan semiologi ini makna arsitektur diungkap. 2. Arsitektur dan Arsitek Charles W. Moore (alm), seorang arsitek dan cendekiawan arsitektur Amerika Serikat, memberi ulasan yang sangat bagus tentang tugas seorang arsitek. Ringkasan ulasannya; tugas seorang arsitek adalah memotong sebagian dari hamparan ruang tak terbatas dan membuatnya dikenal sebagai suatu ranah yang tercerap oleh penghuninya.8 Tulisan 1975 ini menekankan makna untuk berarsitektur. Sementara itu arsitektur tak lain adalah segenap pengetahuan sang arsitek yang di dunia Yunani Kuna adalah kepala tukang kayu.9 Kini hampir tak ada arsitek yang menempuh pendidikan tinggi mau mengaku sebagai kepala tukang. Tentu makna kepala tukang di masa orang Yunani Kuna melahirkan istilah ini amat berbeda dari masa kini yang serba profesional, sertifikasi dan mengejar selembar kertas pengakuan lain bagi seseorang yang mengaku menguasai sebidang kerja di dunia membangun bangunan gedung. Jika arsitektur adalah pengetahuan sebagaimana dibatasi oleh berbagai kamus bahasa Inggeris, maka dia adalah benda yang tak ada raganya.10 Lalu bagaimana kita memaknai arsitektur? Tentu dari hasil pengetahuan yang tak teraga itu, yaitu karya arsitektur, yang sering hadir dalam wujud bangunan gedung. Bangunan dengan demikian adalah hasil pemilahan ruang yang diberi batas-batas dengan bahan-bahan sehingga berwujud dan dapat dicerap oleh mereka 8



Untuk lebih jauh tentang unsur-unsur pembentuk arsitektur, simak: Moore,C. dan Allen, G. Dimensions: Space, shape and scale in architecture. New York: Architectural Record Books, 1975. Hal.7. 9 Untuk mengikuti sejarah profesi dan pengertian arsitek dari sisi professional, simak buku yang kini menjadi klasik, Kostof. S. The Architect: Chapters in the History of Profession. Oxford: oxford Unviersity Press, 1977. 10 Jika anda bertanya ke arsitek tentang apa itu arsitektur, maka jawaban yang berbeda akan anda temukan sesuai dengan kecenderungan masing-masing arsitek yang biasanya amat tinggi egonya. Oleh sebab itu dalam tulisan ini saya berpegang pada pengertian umum yang dapat ditemukan di kamus-kamus, terutama yang berbahasa Inggris karena istilah itu merupakan alih Bahasa dari Bahasa Inggris. Saya mencoba merangkai intisari definisi kamuskamus terkemuka (Oxford, Mirriam Websters) sebagai berikut; Architecture is the art and science of designing and constructing building. Sebagai art and science yang merupakan pengetahuan, maka arsitektur itu tak teraga.



19



yang berkegiatan di dalam atau sekitarnya. Dalam kaitan ini arsitektur adalah hasil budaya. Hanya budaya siapa yang mengisi benak sang arsitek, amat tergantung pada pendidikannya.



Berkat indera, manusia mencerap segala sesuatu yang melingkunginya dan dari cerapan itu dia memaknai pengalamannya sehingga setiap pengulangan kegiatan di lingkungan yang sama dia mampu bersikap. Pertanyaan akan timbul dalam kaitan ini, yaitu, jika bangunan merupakan tanda, bagaimana membaca dan menafsirkannya? Kemudian semiotik telah berkembang pesat dengan dua aliran besar yang diprakarsai oleh Charles Sanders Peirce (semiotic, dan tergolong dalam pragmatik), dan Ferdinand de Saussure (semiology, dan tergolong dalam strukturalis), aliran mana yang lebih jitu membaca gejala arsitektural?11 Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mengetahui cakupan arsitektur. Sebagai ilmu merancang dan menata ruang, arsitektur bergerak dalam berbagai skala. Dari skala intim seperti ruang dalam suatu rumah tinggal, lalu rumah sebagai satuan, rumah sebagai bagian dari ruang lingkungan sekitarnya yang mengalir, bagian lingkungan sebagai bagian dari kawasan kota, hingga ruang yang menghubungkan kota dan bentang lahannya. Tentu ini adalah pandangan disiplin. Cakupan itu tak dapat dipungkiri akan berbenturan dengan disiplin ilmu lain seperti perencana kota dan wilayah serta geografi yang juga memelajari ruang. Meski demikian kita dapat menguraikan unsur-unsur pemakna ruang terkait dalam setiap skala dan mencoba membuat satuan yang dapat dikodekan sesuai kaidah bahasa agar dapat menyampaikannya ke khalayak yang ingin mengetahuinya. Dalam ulasan selanjutnya, tak mungkin saya menjangkau berbagai skala. Oleh sebab itu hanya dalam skala yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, yaitu bangunan gedung dan bagianbagiannya yang akan saya telaah. Untuk menjawab pertanyaan kedua, kita perlu memahami semiotik. Ini tak mudah bagi mereka yang bukan berada di dalam sisiplin yang terkait komunikasi. Mendekati teks asli bahasa Inggeris dan bahasa Perancis sudah merupakan hambatan bagi mereka yang berbahasa induk berbeda. Kini, dengan kemajuan ilmu penerjemahan, banyak teks telah dialihbahasakan ke dalam 11 Peirce dan de Saussure mengembangkan teori mereka secara terpisah. Hanya, saat Peirce membangun teorinya dengan publikasi, de Saussure masih berusia kanak-kanak. Peirce melihat semiotic dalam bingkai logika secara umum sedangkan de Saussure melihatnya sebagai dua kutub. Untuk lebih ajuh dengan Peirce, simak. Peirce, C.S. The Philosophical Writing of Peirce. Dipilih dan diedit serta memberi pengantar oleh Justus Buchler. New York: Dover, 1955, 2014. Untuk analisis de Sussure, simak. G. Broadbent. “General Introduction.” Dalam Broadbent, et.al. op.cit. hal.1-4. Untuk pemahaman yang lebih mudah dicerna, simak. H. Hoed, B. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Pengantar: Tommy Christomy. Depok: Komunitas Bambu, 2011.



20



beberapa bahasa induk sehingga gagasan-gagasan beredar secara luas. Bagi pembaca berinduk bahasa Bahasa Indonesia, semiotik telah diperkenalkan oleh Profesor Benny H. Hoed dengan contoh-contoh yang mudah dipahami.12 Dalam ulasan berikut, saya banyak berhutang pada karya almarhum Profesor Hoed



dan lain bacaan. Dalam keterbatasan daya dan waktu, saya



mengangkat beberapa contoh karya arsitektur untuk ditinjau dengan semiotik.



3. Unsur Bangunan sebagai Pembentuk Karya Arsitektur dan Penafsirannya Unsur-unsur pembentuk ruang, seperti dinding, pintu, jendela, lantai dan langit-langit, sangat akrab dalam kegiatan sehari-hari kita sebagai pengguna bangunan gedung. Keterkaitan unsurunsur tersebut telah disampaikan, sekurangnya dinding, jendela dan pintu, dengan jelas oleh Profesor Hoed dalam keterkaitan mereka dengan semiotik dan makna yang ditarik dari pengalaman mereka yang berbeda latar belakang budaya dalam menafsirkannya.13 Dalam penelaahan yang disampaikan beliau, kita yang akrab dengan semiotik akan merasa bahwa uraian Profesor Hoed berada dalam kerangka pikir strukturalisme de Saussure yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes.14 Beliau meski menyinggung, bukan beranjak dari kerangka pikir yang dikembangkan oleh Peirce. Hal itu tak menjadi halangan bagi pembaca karena contohcontoh dan ulasannya terkomunikasikan dengan baik, khusus bagi mereka yang telah sehari-hari akrab dengan pintu, jendela, dan dinding serta, bila ditambahkan, lantai dan langit-langit karena kehadiran unsur-unsur tersebut dialami terus menerus dalam berkegiatan. Para pemakai unsur-unsur pembentuk ruang dan bangunan itu memaknai pengalamannya sesuai latar belakang budaya masing-masing dan seberapa jauh keterlibatan mereka terhadap setiap unsur bangunan gedung itu. Bagi mereka, unsur-unsur tersebut hadir mewakili dirinya sendiri. Hanya dalam perbincangan kita di saat tanpa kehadiran unsur tersebut dapat kita menggantikannya dengna kata-kata, simbol-simbol yang dapat dimengerti hanya oleh mereka yang memakainya.



12



Hoed, Ibid. dalam bahasan semiotik tentu sesuai dengan latar belakang Profesor Hoed sebagai pakar linguistic, tak semua contoh yang terkait arsitektur itu terliput. Namun ada beberapa contoh yang baik bagi pembaca, khususnya tentagn membaca Tugu Nasional di Monumen Nasional di Jakarta. 13 Hoed, op.cit. hal.12-13. 14 Untuk tokoh ini, ada sederetan karya, yang semua dalam bahasa Prancis. Bagi pembaca yang berminat, dapat menyimak daftar pustaka karya professor Hoed. Saya angkat antara lain yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Barthes, R. Mythologies. Paris: Seuil, 1957, dan, Elements of Semiology. Paris: Seuil, 2000.



21



Keadaan



ini



menunjukkan



bahwa



unsur-unsur



pemakna



ruang



yang



hadir



memberitahukan pemakai tentang keterpakaiannya. Pintu dipakai sebagai selembar bidang berbahan (pada umumnya kayu) yang dapat dibuka atau tutup dan dari situ memberi ambang bagi batas yang diberikan oleh dinding. Jendela hadir mengomunikasikan ketergunaannya sebagai selembar bidang yang pada umumnya lebih kecil matranya dibandignkan pintu agar cahaya dan, dalam keadaan tak ada penyejuk udara, udara (jika dibuka) masuk. Sang pemakai dapat mengendalikan unsur-unsur tersebut sesuai kebutuhannya. Apa yang terjadi jika pemakainya tak pernah mengenal pintu, jendela, dan dinding dalam pengalaman sehari-hari? Pertanyaan ini akan aneh didengar pembaca yang belum berhadapan dengan masyarakat yang membangun rumah tanpa pintu, jendela, dan dinding. Namun masyarakat demikian hadir dan banyak ditemui di Indonesia. Saya ingin mengajak pembaca sejenak menyimak keadaan suatu suku di Timor yang membangun Ume Mbubu dan Lopo sebagai sepasang bangunan yang paling bermakna dalam kehidupannya agar jelas maksud pertanyaan tersebut. Di Desa Nona dekat Kupang, dan Desa Boti dekat Soe Pulau Timor, masyarakat membangun hunian yang dinamakan Ume Mbubu dan bangunan untuk berkumpul yang dinamakan Lopo. Baik Ume Mbubu maupun Lopo tak memiliki pintu, dinding, dan jendela sebagaimana kita orang kota memahami. Untuk memasuki Ume Mbubu seseorang harus merangkak masuk sebuah bukaan yang terbentuk oleh atap yang penutupnya turun mendekati tanah. Untuk memasuki Lopo seseorang harus memanjat dari batur, mendorong tutupan lantai yang jika tak mengenalnya akan dicerap sebagai langit-langit. Selain bukaan tersebut tak ada lagi lobang lain yang menembus penutup atap yang juga berlaku sebagai dinding.15 Dengan demikian konsep pintu, jendela, dan dinding tak ditemukan di desa-desa ini. Bagi orang yang lama hidup didampingi pintu, jendela, dan dinding, kehadiran titik masuk seperti itu adalah janggal. Sebaliknya bagi masyarakat tersebut, kehadiran pintu, jendela dan dinding untuk hunian tak bermanfaat. Dengan demikian, makna pintu sebagai tempat memasuki ruangan suatu hunian atau bangunan gedung tak akan sama dengan lobang masuk ke Ume. Penyatuan atap dan dinding juga membedakan cerapan mereka terhadap apa yang kita kenal sebagai penegas ruangan. Memasuki 15



Untuk Desa Boti, silakan simak Saraswati, T. Bangunan Adat Timor di Desa Maslete dan Desa Boti. Yogyakarta: K-Media, 2016. Uraian di atas adalah hasil catatan pribadi saya sebagai hasil mengunjungi Desa Nona di Banteng pada tanggal 18 dan 19 Juni 2016.



22



suatu ranah memiliki makna yang amat berbeda dari pengalaman orang kota pada umumnya. Jendela tak pernah jelas kegunaannya bagi orang Nona dan Boti dan memang dalam kehidupan sehari-hari baik anggota masyarakat maupun penghuni Ume Mbubu dan Lopo tak berada di “dalam” pondoknya. Kegiatan mereka ada di luar pondok. Ume Mbubu akan ketahuan keterpakaiannya jika ada anggota rumah tangga yang melahirkan bayi. Lopo akan menemukan keterpakaiannya jika ada pertemuan anggota masyarakat. Sebagai akibat, ruang dalam Ume Mbubu selalu gelap. Di sini kita juga simak bahwa unsur-unsur bangunan hadir untuk dialami dan dipakai. Melalui pemakaian unsur-unsur tersebut, sang pemakai memaknainya. Dengan pengulangan pemakaian unsur ruang, pemakai menumbuhkan keakraban terhadap unsur itu dan kemudian mudah bersikap dan bertindak jika menemukan keadaan yang menghadirkan unsur-unsur ruang tersebut. Arsitektur merupakan pengetahuan menata unsur-unsur pemilah ruang. Dalam kaitan dengan semiotik, arsitektur merupakan sistem tanda yang maknanya senantiasa mengalir meski ada patokan dalam penamaan unsur-unsur ruang. Arsitek merancang untuk memenuhi kebutuhan pemesan rancangan. Oleh sebab itu arsitek wajib memahami cerapan mereka yang akan memakai hasil rancangannya. Jika pengetahuan itu terbina melalui pengalaman langsung maka lokasi pembina pengetahuan melekatkan nilai-nilai setempat tentang makna setiap unsur ruang dan arsitek yang tumbuh bersama orang selokasi tak akan mengalami kesulitan menghasilkan unsur-unsur ruang yang telah akrab dengan pemakainya. Dalam pendidikan arsitektur di Indonesia yang ilmunya kita terima sebagai warisan dari orang Belanda, ruangan harus terang, dan udara harus lancar mengalir melintasi ruangan. Keadaan demikian dimaknai pelajar arsitektur sebagai faktor kesehatan dalam berhuni. Dengan kacamata demikian pelajar arsitektur yang telah selesai dan menjadi pejabat yang bertugas membangun desa akan membawa makna yang kemudian menjadi mitos karena berkonotasi tentang makna jendela dan ruang dalam yang dipelajarinya selama ini. Dia akan menganggap hunian orang-orang desa bertradisi kuat seperti Boti dan Nona ini hunian yang tak sehat.16 Menilai artinya mencocokkan nilai sang penilai terhadap sasaran penilaian. Dengan perbedaan nilai dan perbedaan mitos maka gerakan rumah sehat menemukan sasarannya dan dengan demikian dapat diprojekkan.



16



Untuk mitos sebagai hasil conotasi dalam jangka waktu panjang, simak, Hoed, op.cit. hlm. 67.



23



Dari pengukuran berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan kesehatan, mungkin ada kekurangan Ume Mbubu memenuhi baku yang ditentukan badan kesehatan dunia. Namun perlu kita ingat, bahwa, pertama, masyarakat tersebut hanya akan masuk ke rumah mereka setelah usai berkegiatan di luar rumah sepanjang hari. Kedua, mereka sering menghangatkan ruang dalam hunian dan dengan demikian asap yang dihasilkan akan mengusir nyamuk, serangga, dan mengawetkan bahan bangunan yang menunjang struktur. Sisi kelebihan itu tak pernah dipikirkan pejabat yang menimba ilmu dari warisan budaya berbeda dan dengan cepat menilai suatu keadaan dengan nilai hasil pendidikannya kemudian mengambil keputusan. Selain itu tanda yang dikomunikasikan ilmu pengetahuan kesehatan amat berbeda dari tanda yang dikomunikasikan oleh budaya masyarakat yang disasar. Makna yang disalahtafsirkan ini mengakibatkan banyak bangunan peninggalan leluhur Indonesia di banyak lokasi ‘tradisional’ menjadi korban pembangunan dan menghadapi kepunahan.17 Andaikata ada orang dari kedua desa yang digambarkan di atas mengunjungi menara BNI di Jakarta, dia akan kebingungan bersikap dan bertindak menghadapi unsur-unsur bangunan yang pemilah ruang gedung kantor itu karena tak ada pengalaman menemukan keadaan demikian. Pintu lift, misalnya, akan memusingkan mereka karena mirip pintu di kantor perdesaannya, tapi begitu masuk, lift tak mengantarkan mereka ke ruang lain, melainkan mengurung diri mereka. Hal ini pernah dialami seorang pembantu Departemen Arsitektur FTUI yang jika dia diminta mengantarkan surat ke Pusat Atministrasi Universitas Indonesia Kampus Depok, tak pernah mau naik lift, tetapi tangga. Kesulitan menafsirkan unsur bangunan tak hanya kita temukan dalam contoh di atas. Para ahli juga menemukan kesulitan memaknai bangunan peninggalan peradaban masa lalu yang pemakaiannya tak lagi diketahui di masa kini.18 Hingga kini misteri patung di Easter Island masih belum terungkap. Ini menunjukkan ada signifier, namun tak ada signified. Candi Borobudur, yang pemakaiannya ditafsir sebagaimana yang ditunjukkan setiap ada perayaan Waisak, meninggalkan teka-teki bagi pengunjung yang berasal dari pewaris budaya atau tradisi tersebut, apakah benar cara pemakaiannya demikian. Bagi wisatawan yang mengunjungi 17



Keadaan ini dialami oleh masyarakat desa di Pulau Sangir yang telah berhenti membangun hunian secara tradisional karena rumah mereka dianggap tak sehat dan diharuskan pindah ke rumah sehat yang telah disiapkan dinas pekerjaan Umum setempat dengan bermodalkan rumah tipe. Simak Tjahjono. “The House that Breathes: on the distinction of Sangirese Architectural Tradition.” Dalam AlSayyad, N. (editor serial). Technology and the Making of Urban Landscape. Berkeley: Center for Environmental Design Research IASTE Working Paper Series. Vol. 135, 2000, hlm.. 1-16. 18 Hal itu dikemukakan oleh Umberto Eco, simak, Eco. Ibid.



24



Borobudur, menaiki puncak secepatnya adalah cara pintas. Mereka jika membaca petunjuk, yang dalam kaitan ini dalam wujud rangkaian tanda yang harus dipahami melalui tanda lain, akan mencoba mengelilingi Candi Borobudur untuk menghayati makna kehadiran ikon ini. Tanda merujuk ke tanda lain dan membentuk sistem dalam dirinya sehingga memeroleh makna merupakan suatu hal yang perlu dikenal dalam mengalami karya arsitektur.



Dari sini kita tinjau lagi beberapa teori terkemuka dalam membaca karya arsitektur. Mengacu pada de Saussure, maka pintu adalah signifier/penanda yang menandakan ada tempat untuk masuk-keluar, atau suatu tembusan ruang jika ia dibuka dan akan menghantarkan kita dari suatu batas ke batas lain. Namun pintu bagi suku Boti atau Nona di Timor, bukan lagi tempat masuk-keluar, mereka perlu waktu untuk memahami apa keterpakaiannya baru dapat menggunakannya secara tepat. Kenisbian budaya ini, dalam penjelasan kerangka pikir de Saussure akan berhenti dan kita perlu memberi waktu bagi orang yang berbeda budaya untuk akrab dengan situasi barunya. Jika kita beralih ke kerangka pikir pragmatik dalam alur pikir Peirce, pintu adalah suatu ikon karena ia mewakili dirinya sendiri. Lalu sebagai ikon pintu mengindikasikan keterpakaian tertentu yang akan menyimbolkan makna tertentu yang dalam hal ini bagi kita yang mengenal baik pintu akan memakainya secara tepat. Pintu, dengan demikian tak langsung menandakan melainkan ia memerlukan penafsir yang terikat budaya tertentu untuk dapat memaknainya. Peirce mengajukan tata olah pemaknaan dengan kehadiran tiga unsur, yaitu sesuatu yang mewakili sesuatu atau representamen (buka-tutup dan masuk-keluar), yang merujuk pada sesuatu yang diwakilinya, objek (pintu), dan kemudian penafsir atau interpretan (yang menafsirkan makna). Tanda, dengan demikian tak hanya mewakili tetapi juga ditafsir. Mana yang lebih tepat untuk menafsir makna karya arsitektur? Kedua pendekatan memiliki latar pijak yang berbeda dan oleh sebab itu masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Peirce, meski menyusun teorinya lebih dahulu, baru belakangan ini karyanya mendapat perhatian besar dari para cendekia. Teoritisi arsitektur memandang pendekatan Peirce masih dapat berkembang. Namun dikotomi de Saussure yang dikembangkan Barthes dengan konsep denotasi dan konotasi juga berpotensi membawa makna karya arsitektur ke tingkat tertentu.



25



Tokoh yang mencoba membahas gejala arsitektural secara rinci adalah Umberto Eco, profesor semiotik Italia yang amat berpengaruh. Beliau tak terjebak ke dalam salah satu aliran semiotik dan membuka wawasan pembacanya ke ranah umum komunikasi dan makna yang kemudian ke cara membuat kode untuk membaca (karya) arsitektur. Berbagai kesulitan meletakkan karya arsitektur ke dalam bingkai semiotik telah disampaikannya, terutama hal terkait fungsi, melalui publikasinya. Dia menyimpulkan bahwa arsitek dalam berkarya perlu memungkinkan karyanya gayut terhadap beberapa cara membaca yang berbeda.19 Pendapat Eco ini mengingatkan para arsitek agar memahami tata olah pemaknaan tempat rancangannya akan dimanfaatkan. Dari segi itu arsitek perlu ingat bahwa ingatan disiplin mereka tak sama dengan ingatan sosial sebagaimana telah ditunjukkan oleh contoh Desa Nona dan Desa Boti. Perbedaan ingatan kolektif ini penting agar arsitek tidak terbudaki oleh penyandang dana yang meletakkan dananya ke mana saja dengan makna yang tercabut dari akar tempat. 20 Kotakota dunia kini cenderung meniadakan makna tempat sebagai akibat ulah para investor yang dengan berbagai dalih telah membunuh kekhasan setempat.21 Apakah kota-kota di Indonesia akan menyusul nasib kota-kota dunia lain? Hal ini tentu amat menantang, terutama setelah Eco menerbitkan karya tulisnya, karya arsitektur deconstructivist bermunculan dengan acuan yang tak jelas sehingga membingungkan dunia arsitektur dan pengguna serta semakin menjauhkan karya arsitektur dari penggunanya. Namun semiotik senantiasa mengikuti dinamika perkembangan nilai sosial budaya. Dalam era arsitektur memasuki kehampaan teori seperti saat ini. Penggalian daya semiotik sebagai metode membaca gejala arsitektur tetap terbuka. Juga di era informasi ini komunikasi semakin berperan dan arsitektur semakin dapat meluaskan disiplinnya untuk mencakup semiotik sebagai penggerak. Kini manusia perkotaan berkegiatan di lingkungan yang sebagian ditata oleh mereka yang bertugas, sebagian tumbuh kembang sesuai pemukimnya. Sebagian dari ruang tertata itu merupakan hasil rancangan arsitek atau yang bekerja dalam dunia perancangan. Unsur-unsur pembentuk ruang senantiasa menyampaikan, atau berlaku sebagai, tanda-tanda yang memberi Simak, U. Eco. “Function and Sign: The Semiotics of Architecture.” Dalam Broadbent dkk. Sign,… hlm. 11-69. Mengenai ingatan disiplin profesi dan ingatan disiplin social, simak Anderson, S. “Memory Without Monuments: Vernacular Architecture.” Dalam TDSR. Vol.XI, Fall, 1999, hlm.. 13-21. 21 Hal ini timbul sebagai pertanyaan besar para cendekia. Cendekia arsitektur dan perkotaan membaca bahaya melalui tanda-tanda kehadiran bangunan-bangunan hasil modal besar yang cenderung satu citra sehingga membuat pengunjung semakin tak tahu keberadaannya. Simak. Notopia. Architectural Review. 1432.CCXXXIX, Juni 2016.



19 20



26



makna bagi pengalamnya. Dari rupa/wujud yang membentuk ruang itu manusia menarik kesan. Kesan itu terbentuk dengan membandingkan dengan pengelaman lama, tanda-tanda yang tercerap tubuh melalui berbagai indera dan kemudian arti tersusun untuk kemudian berdasarkan itu dia bersikap. Tata olah ini mengungkapkan bahwa setiap unsur lingkungan yang dialami manusia adalah tanda.



4. Simpulan Semiotik mampu membantu arsitek memahami makna setempat. Dengan memelajari semiotik dengan seksama, kesalahtafsiran hasil rancangan dapat dikurangi, meski belum tentu komunikasi arsitek dengan pemakai akan berjalan sesuai asa sang perancang. Kemelesetan komunikasi senantiasa terjadi, namun upaya menguranginya juga selalu ada, asal ada kemauan mencoba.



27



DEKONSTRUKSI DERRIDA: RESAH MENELUSURI JALAN SUNYI*



1



Haryatmoko (Universitas Indonesia) 1. Pendahuluan Dekonstruksi Derrida adalah bentuk keresahan menghadapi penafsiran tunggal yang mendaku sebagai rezim kepastian. Dekonstruksi juga membuat resah karena aspirasi utamanya menyingkap makna-makna yang dipinggirkan, diabaikan atau disembunyikan. Dekonstruksi adalah jalan sunyi. Pembaca berusaha menghindarinya lantaran menuntut pertanggungjawaban metodologis pelik dan rentan memicu polemik. Apalagi dekonstruksi mengukur keberhasilannya justru ketika pembaca familiar dibuat merasa asing. Bagian pertama tulisan ini berupa landasan teori. Bagian kedua penerapannya untuk mendekonstruksi cerpen “Jendela Tua” dari Jyut Fitra. Ketika penafsiran harus mengikuti aturan baku yang dijaga dan diawasi otoritas, dekonstruksi datang untuk mengusik sehingga membuat resah otoritas itu. Mengusik apa yang telah disahkan oleh tradisi dan dijaga oleh sejarah. Maka strategi yang dipilih ialah menelusuri asal-usul konsep-konsepnya yang terstruktur. Karena terstruktur, konsep itu dianggap setia dan seakan satu-satunya pembawa pesan teks yang paling benar. Bentuk penelusuran dekonstruksi membantu untuk bisa melihat apa yang disembunyikan oleh sejarah atau yang dilarangnya dengan menyusun kembali sejarah melalui unsur-unsur yang ditindas. Penyembunyian itu berlangsung melalui hierarki metafisik seperti dalam logika biner, maka pembedaan makna harafiah dan rohaniah, imanen dan transenden menjadi sasaran dekonstruksi. Orang terbiasa memahami dekonstruksi Derrida sebagai bentuk pengambilan jarak yang agresif: menggoncang, memindah, membongkar, menghancurkan, mempertanyakan teks. Banyak pemikir skeptis terhadap dekonstruksi. Skeptis karena kesan pertama dekonstruksi hanya memporakporandakan pemaknaan. Kutipan Goldschmit menawarkan perspektif lain: Tanpa bisa menertawakan diri sendiri, dekonstruksi tidak akan mungkin terwujud (2003, hlm. 229). Pernyataan ini menggambarkan perlunya bisa menertawakan diri sendiri agar dekonstruksi bisa *Berkat



Prof. Benny Hoed dan dengan membaca buku beliau Semiotika dan Dinamika Sosial-Budaya, saya mendapat pencerahan konsep “différance” Derrida. Pencerahan itu membuat saya berani menerapkan dekonstruksi untuk membaca cerpen. Judul dan alinea pengantar tulisan saya ini baru, tapi landasan teorinya (hlm.1-7) pernah dimuat di majalah Basis, lalu diperbaiki untuk dimuat di buku saya Membongkar Rezim Kepastian. Landasan teori ini saya kutip kembali di tulisan ini untuk mengantar dekonstruksi cerpen. Bagian dekonstruksi cerpen Jendela Tua ini baru samasekali (hlm.8-18). Bagian yang disebut terakhir ini akan menjadi subbab Bab VI dari buku saya Analisa Wacana Kritis, yang akan diterbitkan Penerbit Buku Rajawali.



28



membawa buah. Virus dekonstruksi sudah menelusup sejak pembentukan teks. Jadi dekonstruksi seperti tak terelakkan. Suatu saat dekonstruksi akan beroperasi karena ia merupakan prinsip intern teks.



2. Tujuan Dekonstruksi Ada beberapa tujuan yang mau dicapai dekonstruksi. Pertama, dekonstruksi menawarkan cara untuk mengidentifikasi kontradiksi dalam politik teks sehingga membantu untuk memperoleh kesadaran lebih tinggi akan adanya bentuk-bentuk inkonsistensi dalam teks. Pemilihan kata, penyusunan kalimat, cara memilih representasi atau kecenderungan ideologis secara sadar atau tidak sudah memberi warna tertentu pada teks. Misalnya menulis tentang representasi identitas bangsa dengan tema ‘pribumi versus non-pribumi’, berarti sudah memilih, memihak dan melegitimasi pemahaman atau nilai keaslian melawan pendatang. Kedua, dekonstruksi memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana yang mampu membuka kemungkinan baru untuk perubahan melalui hubungan yang tidak mungkin. Tradisi justru tidak membatasi cara penafsiran baru, memungkinkan kreativitas karena tradisi membuka kemungkinan baru dengan menyingkap lintasan teks. Ketiga, dekonstruksi membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan melihat cara-cara bagaimana pengalaman ditentukan oleh ideologi yang tidak kita sadari karena ideologi sudah dibangun atau menyatu di dalam bahasa. Maka dekonstruksi mau mencairkannya. Jadi sebetulnya bahasa bukan alat komunikasi netral namun cair, ambigu karena melalui bahasa, ideologi-ideologi tertentu memprogram cara berpikir kita tanpa kita sadari. Misalnya, ketika menggunakan istilah minoritas/mayoritas, sadar atau tidak sebetulnya sedang meminggirkan kelompok tertentu dan menempatkan penting kelompok yang lain. Keempat, dekonstruksi dianggap berhasil bila mampu mengubah teks, membuat asing pembaca familiarnya, membuat mata terbelalak ketika disingkap makna-makna yang terpinggirkan. Dekonstruksi menawarkan untuk mengubah pemahaman yang sudah pasti, familiar, sesuai tradisi, atau yang menurut pesan sehingga terbuka terhadap perspektif baru.



3. Prinsip Intern Teks Mengusik Sistem Kebenaran dan Konsep Différance 29



Istilah “pengambilan jarak” bisa dipakai untuk memaknai dekonstruksi karena konsep ini mampu menjelaskan prosedur pembongkaran sebagai unsur yang melekat pada prinsip intern teks. Dekonstruksi melihat ada prinsip kehancuran yang terpateri dalam setiap teks tertulis. Dekonstruksi beraksi seperti virus yang disebarkan sejak awal, yang membongkar sejak sebelum semua perakitan tekstual atau institusional. Ketika Derrida menganalisa teks Marcel Mauss L’essai sur le don (Esei tentang Pemberian, 1923), definisi potlatch yang diberikan oleh Marcel Mauss sudah mengandung virus. Konsep Potlatch yang didefinisikan sebagai pemberian yang dipertukarkan sudah membawa bibit perbantahan. Dalam definisi itu, pemberian yang dipertukarkan akhirnya tidak lain kecuali pinjaman yang dikembalikan, artinya meniadakan pemberian itu sendiri (Derrida, 1991, hlm. 55). Dekonstruksi Derrida bukan sesuatu yang berasal dari luar teks. Dekonstruksi hanya mungkin bila pembaca tidak percaya begitu saja kepada kepenuhan makna teks, curiga terhadap makna teks yang tunggal, bila tak lagi terpancang pada hubungan hierarki penanda-petanda. Maka dekonstruksi, menurut Klages, dianggap mengusik kekuatan-kekuatan yang menentukan pemaknaan di dalam teks itu sendiri (2006, hlm.59). Artinya, dekonstruksi membaca suatu teks untuk melihat di mana teks meletakkan pusat dirinya, bagaimana mengonstruksi sistem kebenaran dan pemaknaannya sendiri, serta melihat bagaimana saling bertentangan sendiri. Setiap teks menciptakan dunianya sendiri, dengan istilah-istilah dan premis-premisnya sendiri. Seperti halnya suatu sistem pemikiran filsafat, suatu konsep berperan sebagai pusat yang menyatukan seluruh struktur pemikiran (Klages, 2006, hlm. 59). Gagasan dasar dekonstruksi mau menyingkap pusat teks itu dan ingin melihat apa yang akan terjadi terhadap strukturnya itu bila suatu konsep dihilangkan. Fungsi pusat teks membatasi permainan, menjamin konsep-konsep tetap dalam relasi ketat satu dengan yang lainnya sehingga pembaca tahu hakikat masing-masing dan sisi kutub mana masing-masing berada. Jadi dari sisi positif, dekonstruksi merupakan cara membaca di mana struktur teks digoncang agar ada lebih banyak permainan terjadi dan lebih mudah menyingkap ambiguitas makna. Derrida memperkenalkan konsep différance untuk menyebut proses pemaknaan secara berbeda karena konteks berubah. Konsep différance (penundaan, perbedaan) berarti menunda hubungan penanda dan petanda. Différance dalam bahasa Prancis seharusnya menggunakan akhiran “-ence”, tetapi Derrida sengaja menggunakan “-ance” untuk menunjukkan peleburan dua makna kata kerja différer: berbeda dan menunda. Penggantian huruf ke tujuh itu (dari “e” ke “a”) tidak mengubah ucapannya. Dengan penggantian huruf itu mau ditunjukkan bahwa ucapan 30



yang dari kacamata metafisik dianggap prioritas, justru tidak mampu melukiskannya. Différance adalah perbedaan yang dicabut dari logika biner sehingga bisa bermakna baru. Dengan différance mengenai masalah hubungan penanda dan maknanya. Différance mengingatkan bahwa semua representasi dijiwai oleh pengulangan. Pengulangan merupakan energi yang menggerakkan hubungan dengan hal yang direpresentasikan, namun sekaligus mengandung makna penundaan, yang terbuka pada masa depan. Atribut itu tidak memadai, maka harus dicari di luar sistem bahasa yang masih terbatas ini (Hoed, 2011, hlm. 78-80). “Tidak akan ada atribut unik (...). Ketiadaan atribut unik itu perlu dipikirkan tanpa nostalgia, artinya di luar mitos bahasa (...), tapi justru perlu mengafirmasi dalam tawa dan gerak tari” (Derrida, 1972, hlm. 29). Jadi penanda-penanda baru diketahui maknanya bila sudah di dalam konteks.



4. Undécidable: Membongkar Hierarki Metafisik Dekonstruksi mengritik dialektika. Dialektika adalah jenis pemikiran arogan yang berambisi mencapai pengetahuan mutlak, mau menguasai makna secara penuh. Dialektika (tesis, antitesis dan sintesis) dianggap bentuk pemahaman yang ingin menguras habis untuk menguasai apa yang terjadi dalam pemikiran. Dalam dialektika, berlangsung cara kerja yang mau menjamin penguasaan pemikiran dengan praandaian bahwa yang negatif (antitesis) bisa diangkat atau dientaskan. Yang negatif (kejahatan) dianggap mempunyai makna, asal tidak berhenti pada dirinya, tapi melampauinya dan menghapus diri. Yang negatif dipertahankan, tapi dengan diangkat, dibersihkan, diinteriorisasi sehingga bisa diterima sejarah sebagai unsur dialektika. Dekonstruksi merupakan gerak melawan ambisi filsafat untuk menguasai makna dan pemaknaan. Penguasaan makna berambisi sampai pada pengetahuan mutlak. Ambisi ini masih bagian tradisi idealis. Bentuk metafisika ini justru ditentang oleh Derrida. Hierarki metafisik itu kental melekat pada bahasa. Dalam oposisi biner jasmani/rohani, buruk/baik, konsep ‘rohani’ dan ‘baik’ sudah ditempatkan pada posisi hierarkis lebih tinggi. Maka dekonstruksi menatap dengan curiga semua bentuk oposisi karena menyembunyikan hubungan dominasi atau hierarki. Salah satu langkah strateginya ialah menetralisir oposisi setelah membalikkan hubungan hierarkisnya (Goldschmit, 2003, hlm. 21). Hierarki oposisi dan pendakuan kebenaran sama dengan upaya membakukan makna, yang tidak lain kecuali suatu upaya menetapkan diri dalam posisi otoritas (Petitdemange, 1989, hlm. 359). Akibatnya, pemahamannya menjadi normatif terhadap penafsiran-penafsiran lain. Yang berbeda akan mendapat sanksi. 31



Begitu menetapkan diri sebagai norma/ukuran, penafsiran menjadi otoriter. Lalu berkembang terorisme pemikiran di mana intoleransi dan fanatisme memperoleh legitimasi. Maka kekhawatiran Derrida sangat beralasan karena pelaksanaan kekuasaan tidak bisa lepas dari rezim wacana, padahal setiap wacana mempunyai klaim kebenaran. Pengetahuan tak terpisahkan dari kekuasaan, bukan karena pengetahuan lekat dengan otoritas kebenaran, tetapi pengetahuan mengandung kekuasaan yang bisa mengklaim dirinya benar (Foucault 1976). Hierarki metafisik biasanya melekat pada logika biner. Oleh karena itu, untuk menyingkap ideologi dalam bahasa harus mulai menganalisa hubungan-hubungan biner penggunaan kata tertentu. Bahasa bukan hanya alat komunikasi atau jembatan antara pengalaman dan dunia, namun bahasa itu ideologis. Bahasa menyiratkan ideologi yang beroperasi pada waktu tertentu dan dalam budaya tertentu. Contoh, kata ‘slut’ digunakan untuk menyebut perempuan yang tidur dengan banyak lelaki, sedangkan ‘stud’ (kuda pejantan) digunakan untuk lelaki yang tidur dengan banyak perempuan. Penggunaan kata menyingkap/mengabadikan keyakinan budaya tertentu (Deutscher 2006). Jadi dekonstruksi datang untuk mencairkan ideologi yang membeku dalam bahasa dengan mengguncang hierarki metafisik melalui konsep ‘undécidable’. Untuk mengguncang hierarki metafisik yang tersirat dalam oposisi biner perlu mengidentifikasi konsep-konsep yang masuk ke dalam kategori ‘undécidable’. Disebut undécidable karena sulit untuk dimasukkan ke dalam salah satu kutub oposisi biner. Misalnya konsep ‘supplement’ dimasukkan ke kutub biner ‘penuh’ atau ‘kurang’? Suplement bisa mempunyai arti ‘penuh’ ketika semua sudah mencukupi, lalu ditambah suplemen agar komplit, namun sekaligus mengandung kekurangan karena tanpa supplement, ada yang kurang. Menyingkap ‘undécidabilitas’ teks berarti menunjukkan bahwa makna teks tidak menentu, tidak bisa langsung diputuskan, plural, bisa saling bertentangan. Maka teks tidak memiliki makna yang sudah ditentukan sebelumnya. Jadi dekonstruksi menjadi praktek penulisan yang berjalan di pinggiran teks-teks. Hanya ada tanda, penanda dari penanda, tidak ada yang pertama. Pemaknaan selalu menunggu konteks atau dihubungkan dengan situasi tertentu. Untuk bisa mengenali atau mengidentifikasi konsep-konsep yang ‘undécidable’ perlu melakukan beberapa langkah ini (Tyson, 2006, hlm. 259): pertama, mencatat semua penafsiran tentang sifat, kejadian, gambar yang ditawarkan oleh teks; kedua, menunjukkan cara bagaimana penafsiran itu bertentangan satu dengan yang lain; ketiga, menunjukkan bahwa konflik itu menghasilkan lebih banyak lagi penafsiran; keempat, gunakan ketiga langkah tersebut untuk 32



menentukan ‘undécidabilitas’ teks. Undécidable dimaksudkan bahwa antara pembaca dan teks saling terkait dalam penyebaran makna bahasa. Makna hanya ‘momen makna’ yang akan membuka makna-makna baru atau makna lain sehingga lahir makna yang tak terbatas. Setelah menyingkap hierarki metafisik, langkah selanjutnya ialah membalikkan dan menetralisir. Caranya, menghancurkan hubungan kekuatan yang dilembagakan. Namun pembalikan ini masih terperangkap di dalam lingkaran logosentrik, belum menghapusnya. Oleh karena itu diperlukan menetralisasi hubungan kutub kekuatan itu dengan mencabut konsep yang sebelumnya diprioritaskan agar prioritas yang baru tidak dimaknai sama seperti dalam logosentrisme. Dengan demikian, terjadilah



penyebaran makna, yang sudah didekonstruksi



menjadi awal pertentangan logika biner di mana ia diambil.



5. Masalah Penyebaran Makna (Diseminasi) Bagi Derrida, teks dibentuk dari perbedaan-perbedaan dan jejak dari jejak karena semua teks adalah perubahan dari suatu teks lain. Teks terkait dengan organisasi retorika, model pembeberan dan produksi, sintaksis yang bukan hanya penghubung ke makna dan acuan ke kebenaran, tetapi juga penataan prosedur dan semua yang diinvestasikan di dalamnya, termasuk pilihan kata, gaya bahasa, penataan urutan dan logika (Derrida, 1972, hlm. 348-349). Jadi ia menekankan ciri teatral/presentasi semua tekstualitas. Ada akses bagi sintaksis dalam pengaturan permainan makna sehingga bukan hanya semantik, bukan pula sintaksis (Almaric, 2006, hlm. 63). Permainan makna ini diterjemahkan dengan dipertahankannya struktur acuan. Paradoksnya, acuan hanya melihat dirinya sendiri dan membuat teks sebagai jaringan penanda tanpa akhir. Pemahaman berlangsung dalam pencatatan kembali proses makna dan kebenaran dalam suatu sintaksis. Gerak produktifnya justru bila tidak hanya terpateri pada suatu acuan (ke luar bahasa). Karena tidak terpaku pada satu acuan, memungkinkan untuk membuka lebar-lebar bagi penyebaran makna, meski bukan sekedar polysemi. Derrida dengan aspek sintaksis mau membidik penyebaran makna. Disseminasi dipahami sebagai “mempunyai efek makna”, “menyebar makna di antara tak terhitung alternatif”, atau “menegasi makna tetap tertentu” (Abrams, 1985, hlm. 57). Jadi tidak ada makna yang sudah diputuskan. Semua adalah penanda (metafora) dan hanya akan mengetahui makna (petanda) dalam konteks.



33



Pemikiran bisa berkembang berkat koordinasi metafora. Koordinasi ini tidak lepas dari suatu gugus semantik, sebetulnya berasal dari konseptualisasi metafisikanya sendiri. Contoh, konsep fixation (bhs.Perancis) oleh seorang psikoanalis akan dipahami sebagai ‘keterikatan libido pada seseorang, suatu benda, suatu hal atau suatu tahap perkembangan psikologi tertentu’. Sementara itu, seorang filsuf hermeneut menangkap fixation du discours par l’écriture sebagai ‘terpaterinya wacana melalui tulisan’; konsep “fixation” itu tidak ada hubungan sama sekali dengan libido. Cara pemahaman psikoanalisa itu dianggap terjebak ke dalam pendekatan melulu semantik. Sementara itu, contoh pemaknaan filsuf hermeneut itu memperhitungkan sintaksis metaforanya. Makna konsep fixation tampil ketika dirangkai dengan unsur sintaksis lainnya: le discours (wacana), kata depan ‘par’ (melalui) dan kata benda “l’écriture” (tulisan). Motif prioritas pada sintaksis ini mau menekankan bahwa metafora harus dipahami dalam daya penyebarannya sebagai terjemahan yang selalu berwajah jamak dan tidak stabil bagi penelitian teks. Jadi dekonstruksi Derrida tidak dimaksudkan memberikan prioritas pada sintaksis, tapi mau membubarkan oposisi semantik-sintaksis dengan menunjukkan bahwa keduanya saling menulari dan saling melibatkan diri satu sama lain (.Amalric, 2006, hlm. 71). Hierarki konsep-metafora juga menjadi sasaran dekonstruksi. Disebut metafora semua pergeseran dari makna harafiah ke makna kiasan (Ricoeur, 1975, hlm. 239). Makna harafiah adalah pengertian yang mengandung nilai leksikal. Makna metaforik tidak leksikal, tetapi nilainya diciptakan oleh konteks. Perbandingannya adalah metafora dengan bahasa puitis, seperti model dengan bahasa ilmiah (Ricoeur, 1975, hlm. 302). Model merupakan instrumen untuk mendeskripsikan kembali dalam kerangka logika penemuan, bukan logika pembuktian. Metafora merupakan strategi wacana di mana bahasa menanggalkan diri dari fungsi deskripsi langsung untuk masuk pada tingkat mitos agar aspek kreatif, penemuan baru bisa berfungsi (Ricoeur, 1975, hlm. 311). Metafora bermain di dalam ketegangan antara perspektif dan keterbukaan, menunjuk dan mengusulkan, bayangan dan makna, makna kongkrit dan makna jamak, presisi dan gema afektif. Semua modalitas yang dimiliki metafora itu akan menjadi kongkrit dan kontekstual dalam konsep. Prosedur ini menjadi alasan mengapa, menurut Ricoeur, konsep dianggap berada dalam tataran lebih tinggi dari pada metafora. Konsep merupakan hasil dari seleksi makna metafora. Jadi metafora memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pembentukan konsep. Sementara itu, menurut Derrida, konsep tidak lebih tinggi dari metafora (La mythologie blanche, 1972, 34



hlm.323). Konsep tidak mengatakan secara lebih benar atau lebih transparan apa yang dapat ditawarkan oleh metafora meski secara kurang gesit. Konsep bahkan lebih miskin, pelupa akan makna yang tersembunyi dan tidak peka terhadap kemungkinan retorika yang tak terbatas. Derrida membalikkan hubungan hierarki ucapan-tulisan dengan memberi prioritas pada tulisan. Tulisan membentuk teks. Dalam ucapan, menurut para pemikir idealis atau mereka yang masih dalam palungan metafisika, makna itu seakan melekat dengan maksud pewicara, makna identik dengan pemikiran dan kesadaran. La différance (bukan différence) menandai pembalikan di mana tulisan mengambil jarak terhadap ucapan/wicara karena dalam la différance tercipta jarak yang tertulis, yaitu huruf “a” yang tidak dapat didengar, yang lepas dari suara. Jarak ini mengingatkan bahwa tulisan adalah yang ditahan, yang belum pernah didengar oleh logocentrisme. La différance adalah sesuatu yang tak bisa dihadirkan oleh suara, karena ia itu bisu, diam, di mana-mana aktif, tidak hadir di mana pun (Marges de la philosophie, 1972, hlm. 6). Prioritas itu lalu dibalik untuk diberikan kepada tulisan. Dengan tulisan, makna teks lebih berkembang bisa lepas dari maksud pengarang. Istilah yang dipakai Ricoeur ialah bahwa melalui tulisan telah terjadi otonomisasi teks (Ricoeur, 1986). Teks bisa otonom lepas dari maksud pengarang dan dari konteks produksi awal. Sedangkan ucapan justru merupakan wacana yang tidak terpateri. Ucapan atau pernyataan lisan sifatnya fugitive (bisa melarikan diri), tidak pasti, bisa ingkar janji, dan mudah melarikan diri dari tuntutan. Tulisan, sebaliknya, membuat wacana terpateri dan tidak bisa menghindar dari tuntutan. Penerimaan atas otonomisasi teks itu memungkinkan adanya pengkayaan makna. Bukan berarti lalu terjadi kesewenang-wenangan di dalam pemaknaan. Pengambilan jarak penafsir terhadap pemahamannya menghindarkan dari kesewenang-wenangan. Dalam pengambilan jarak ini, dekonstruksi beraksi. Selain itu, pemahaman teks tidak bisa hanya tergantung pada subyek karena kerja semantik tidak boleh lepas dari lintasan makna yang ditorehkan oleh sintaksis. Yang terakhir ini sifatnya obyektif.



6. Menerapkan Dekonstruksi untuk Membaca Cerpen Dekonstruksi cerpen sedikit berbeda dengan dekonstruksi esai atau artikel, terutama yang menyangkut masalah alur kisah. Maka akan membantu, bila pembaca memahami kaidah-kaidah teori narasi, mengenali ideologi teks bukan hanya melalui pusat teks yang ditunjuk oleh oposisi biner saja. Melalui pemahaman teori narasi, pembaca bisa menempatkan oposisi biner mana 35



yang menjadi pusat teks karena biasanya oposisi biner itu ditampilkan di dalam momen yang menggugah dan dicoba dipecahkan di dalam klimaks atau titik balik. Di bawah ini, dijelaskan bagaimana langkah-langkah dekonstruksi cerpen dilakukan. 7. Dekonstruksi “Jendela Tua” (Cerpen tulisan Jyut Fitra, KOMPAS, 26 Oktober 2008, hlm. 26) Selalu. Pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah anak-anak memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu tua. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu akan terus berjalan. Sebuah jam lama di tembok rumah gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding yang lain. Ibu tua itu mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang. Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah sendirian dapat melunasi semua itu? Ibu tua itu bergumam sendiri. Lalu berjalan menuju kursi kayu untuk memulai aktivitasnya tiap malam, menjahit. Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia jenuh dengan rangkak malam yang akhirakhir ini ia rasa bergerak sangat lamban. Usianya sudah enam puluh lima tahun. Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu menghadang tiap lembar rambutnya yang memutih serta kulitnya yang keriput. Semenjak ketiga anaknya yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang perempuan bersuami dan memilih menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Hanya Upik, seorang anak perempuan tetangga yang masih kelas enam SD yang menemani kehidupannya menjalani hari-hari. Tak banyak kesulitan memang dalam hidupnya. Selain harta dan tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung dan sebagainya, anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya? “Apa yang dapat dimaknai dari rumah gadang kebesaran. Lengkung luas kelapangan. Tanah, sawah, dan tanaman yang berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang……”, sering ia keluhkan itu. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu ketenangan malam-malamnya. Tiap hari dilalui oleh ibu tua seolah-olah waktu tak ada guna. Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh dia mulai memasak. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu menunggu Upik pulang sekolah. Lalu makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu… Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang mengglitik: kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya mereka semua jauh. Rantau lebih memikat mereka ketimbang dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi yang merusuh hati. Ibu tua tak sanggup memaksa mereka untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah memiliki rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri. “Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri” gumam ibu tua itu kembali tersenyum sndiri. Di jendela, ibu tua menatap jauh ke halaman. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan. Ada yang berkejar layang-layang putus. Di ujungnya, gunung Sago terhampar jelas. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yang bernama kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang disebut lampau. Ketika ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang, Mengantarkan kawa (makanan dan minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bersama-sama dengan para petani. Dengan samba lado dan ikan asin



36



yang dibuatnya dirumah. Lalu mereka pulang setelah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan sawah luas yang menguning, Ah, kenangan! Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran. Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu bersama suami dan istri mereka serta cucu-cucunya. Kesunyinannya akan pecah. Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair dan mengalir. Ia harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu tua tersenyum puas. Sangat lepas. “Upik, seminggu lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yang ditebang kemarin. Etek suni paling suka kolak dicampur lemang!”. “Jangan lupa minta jagung pada pak Simuh. Pak Adang Kalun pasti minta jagung bakar!”. “Kita nanti akan buat samba lado tanak buat Etek Eti!” “Oya, Upik. Juga pengek ikan buat pak Etek Rustam!”. “Pical buat pak Angah”. Upik kadang bingung. Kadang ucapan-ucapan ibu tua sudah seperti meracau. Tapi bocah kecil itu mencoba memahami dengan usianya sendiri, betapa menggunungnya rindu yang menggumpal di diri ibu tua. Dengan patuh ia siapkan apa yang diminta oleh ibu tua. Sementara sang ibu tua, segala sesuatu terhadap tingkah dan lakunya terlihat berlebihan. Beras yang masih ada ditambah. Takut nanti tidak cukup katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah. Debu-debu. Kain pintu ditukar dengan yang baru. Begitu juga dengan korden dan taplak meja. Halaman dan pekarangan diupahkan untuk membersihkannya. Pagar rumah dicat. Ibu tua terlihat riang dan girang. Sebentar-sebentar ia tersenyum. Sebentarsebentar ia beralih melihat foto keluarga. Foto di mana mereka semua sedang tersenyum. “Sunyi akan pecah dari rumah ini!” ucapnya seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu terlihat dari wajah keriputnya yang menjelma berseri-seri penuh kesenangan. Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu. Keramaian dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan. Segala yang bernama masa lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan. Tapi ibu tua mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Ketika anak-anak, menantu dan cucucucu yang ditunggu-tunggunya pulang, ia sama sekali tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak menyaksikan lengang yang cair. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang ditemukan adalah sebuah siksaan baru yang bernama keterasingan. Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa anak-anaknya yang telah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Kadang terdengar keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang di kampung. Mereka telah mengusung kota ke rumah gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin menangis. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan ke restoran ketimbang mencicipi masakan yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa dirinya limbung dan segera akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas. Di jendela, sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya kembali ke kota, ibu tua tertegun menatap jauh ke halaman. Di belakangnya, Upik diam tak berkata-kata. Dendang dari tape tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yang titik menimpa selendang usangnya. Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati jika tambah parah. Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini. Kalian tau apa yang membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini. Bila tak ingat Tuhan, tentu lebih baik memilih mati. Ibu tua mencoba tersenyum mendengar dendang tersebut. Dihapusnya airmata. Lalu menatap ke arah Upik. “Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan” ucap ibu tua itu. Lalu menutup jendela dan senja pun turun di kampung itu. Payakumbuh, September 2008



8. Kesunyian: Apakah Ungkapan Kerinduan terhadap Orang yang Dicintai?



37



Apa yang menjadi pusat ketegangan di dalam cerita pendek “Jendela Tua” ini dan bagaimana dipecahkan dalam perkembangan tema utama? Pusat teks ini merupakan tema yang pada dasarnya berusaha menyatukan semua unsur-unsur yang membentuk kisah. Teks meletakkan pusat dirinya dengan mengonstruksi sistem kebenaran dan pemaknaannya sendiri, meski akhirnya bisa tersingkap bahwa ternyata saling bertentangan sendiri. Langkah ini membantu menemukan oposisi biner ketika salah satu pasangan oposisi lebih diutamakan dari pada yang lain. Oposisi biner menjadi kunci ntuk menguak ideologi teks.



9. Oposisi Biner Diseleksi, Kemudian Dibongkar. Cara yang ditempuh adalah memeriksa teks agar bisa menemukan penjelasan bagaimana unsur-unsur dalam cerpen yang bertentangan/beroposisi itu ternyata saling melengkapi, bahkan sebetulnya tidak sungguh-sungguh saling bertentangan. Dengan mengurai oposisi itu, kita bisa belajar bahwa ideologi teks yang dibela, entah sadar atau tidak, memiliki keterbatasan. Dalam cerpen “Jendela Tua”, oposisi biner yang menstruktur teks adalah ‘kesunyian’ seorang ibu yang menimbulkan rasa rindu akan kehadiran anak-anaknya dan keramaian kehadiran anak-anak, menantu dan cucu-cucu. Kesunyian ibu tua yang merindukan kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya tentu membuat pembaca tersentuh, berempati dan memihak ibu tua. Dengan demikian kelihatan ideologi teksnya, di satu sisi, mau menunjukkan bahwa cerpen ini membuat pembaca berempati dan sangat menghargai kerinduan ibu tua akan anak-anaknya, dan di lain sisi, mengritisi sikap ketidakpedulian anak-anak terhadap ibunya. Kerinduan ibu tua adalah ungkapan cintanya kepada anak-anaknya. Namun penulis cerpen ini tidak mau larut dalam ideologi teks tersebut. Penulis tidak membiarkan teks berbicara sendiri tanpa interupsi. Penulis rupanya mau mengingatkan sikap ibu tua dengan refleksi narator yang diletakkan di lidah ibu tua itu sendiri: “Mungkin ini yang ibu-ibu lupakan. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi”. Peringatan atau refleksi penulis sudah disisipkan di antara baris-baris yang memuat ideologi teks dengan cara menyadarkan sikap ibu tua yang dianggap menolak realitas kehidupan. Namun juga refleksi yang ditujukan untuk mengingatkan pembaca dengan ungkapan inklusif : “Yang kita lupa”. Ternyata, dengan mengacu ke teori narasi, kita dibantu menguak bahwa ideologi teks dalam cerpen seperti ini bisa dikenali di bagian ‘momen yang menggugah’ (inciting moment). Saat di mana konflik atau permasalahan untuk pertama kali ditampilkan. Momen ini biasanya 38



dimaksudkan untuk mengundang minat atau rasa ingin tahu pembaca. Sering momen ini merupakan isi atau tema utama yang sudah diantar oleh eksposisi atau bisa juga menjadi awal komplikasi kisah. Dalam cerpen ini ungkapannya: “Ibu tua menghela nafas panjang. Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?”. Keberpihakkan kepada ibu tua ini merupakan bentuk reaksi positif terhadap keluh-kesah ibu tua itu karena hidupnya penuh kesunyian akibat ditinggal suami dan anak-anak: Semenjak ketiga anaknya yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang perempuan bersuami dan memilih menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Kesunyian ibu tua itu memang menjadi pusat teks yang kemudian mengonstruksi sistem kebenaran dan pemaknaan dari teks tersebut. Pusat teks ini sejak awal sudah tampil secara meyakinkan sebagai permasalahan utama. Lalu empat oposisi biner lainnya - ‘tua-muda’, ‘desakota’, ‘santun-tidak sopan’ (keras), dan ‘makan di rumah - makan di restoran’ mengikuti logika atau dinamika binaritas ‘kesunyian-bersama-sama’. Momen penampilan tema ‘kesunyian’ ini rupanya merupakan cara untuk mengundang minat, rasa ingin tahu atau simpati pembaca. Maka alur dan logika ceritanya yang mengisahkan tentang perjuangan ibu tua ini dalam mengatasi kesunyian ini menarik karena di situ tersirat harapan bahwa akhirnya akan bisa terpecahkan ketika lebaran dan anak-anak, menantu dan cucucucu berdatangan. Dalam perjuangan menghadapi kesunyian ini, muncul bentuk konfrontasi dan konflik yang diorganisir dengan tekanan di sekitar logika biner dengan payung utamanya kesunyian-keramaian, yang kemudian diikuti logika biner ‘sendiri-bersama’, ‘tua-muda’, ‘desakota’, ‘santun-tidak sopan’ (keras), dan ‘makan di rumah - makan di restoran’. Deskripsi tentang kesunyian itu terasa begitu menggigit yang terungkap dalam kerinduan akan kedatangan anak-anak digambarkan dengan kainginan ibu tua untuk selalu melihat almanak; mulai terobsesi menyiapkan masakan kesukaan anak-anaknya. Ungkapan lain kesunyian itu ialah mengamati satu persatu foto anggota keluarga yang terpampang di dinding. Kesunyian itu terasa semakin menggigit lagi ketika digambarkan bagaimana ibu tua itu mengisi hari-harinya: …tiap malam menjahit, merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk; setelah sholat subuh dia mulai memasak. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput, lalu menunggu Upik pulang sekolah. Lalu 39



makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu… Betapa kuat rindu ibu tua itu untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya. Itulah satu-satunya harapan yang bisa mengusir kesunyian. Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-leppas dari angkaangka tersebut seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran, anak-anaknya akan pulang. Kensunyian itu semakin tergambar jelas ketika teks memberi ilustrasi suasana jiwa ibu tua: …Tanah, sawah, dan tanaman yang berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang…sering ia keluhkan itu; Tiap hari dilalui oleh ibu tua itu seolah-olah waktu tak ada guna. Suasana melankoli semakin menggerus hati ibu tua ketika disuarakan oleh lirik lagu dari tape tetangga, meski lirik lantunan lagu dari rumah tetangga itu mampu membuatnya tersenyum, tapi tersenyum menertawakan situasi dirinya. Pengorganisasian logika biner berikutnya adalah kesendirian ibu tua dalam kontras dengan mereka (anak-anak) yang bersama-sama. Maka ketika mendengarkan lirik lantunan tape tetangga itu ibu tua hanya mampu tersenyum sendiri. Sedangkan anak-anaknya …mereka semua jauh. Oposisi biner ‘sendiri-bersama’ itu tidak bisa dilepaskan dari logika biner ‘kampung-kota’ karena binaritas yang terakhir ini menjadi alasan kesunyian ibu tua. Kampung identik dengan sepi/lengang yang harus ditinggalkan, kota merepresentasikan keramaian yang memikat. Rantau lebih memikat mereka ketimbang dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi yang merusuh hati. Sebetulnya ibu tua berharap anak-anaknya menetap di kampung di mana mereka dibesarkan, tetapi harapan itu tidak mungkin dipenuhi. Ibu tua tak sanggup memaksa mereka untuk pulang untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah memiliki rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri. `Dua pasang binaritas ini sebetulnya sudah cukup menjelaskan makna kesunyian ibu tua. Sebetulnya ada perasaan tidak rela bahwa anak-anak pergi. Bukan hanya itu, ada penyesalan bahwa mereka telah menjadi dewasa dan meninggalkannya karena sudah punya rumah sendiri dan keluarga sendiri. Yang dirindukan ibu tua itu adalah suasana kebersamaan ketika mereka masih kanak-kanak. Penyesalan dan ketidakrelaan itu tercermin dalam ungkapan nostalgianya di baris-baris berikutnya. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yang bernama kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang disebut lampau. Ketika ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang. Mengantarkan kawa (makanan dan minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan 40



sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bersama-sama dengan para petani. Yang dirindukan ibu tua sebetulnya bukan kehadiran anak-anaknya yang sudah dewasa, dan sudah menikah memiliki keluarga, tetapi yang diharapkan adalah kehadiran anak-anak di masa lalu. Dengan demikian teks ini juga menyiratkan adanya semacam egoisme karena penyesalannya itu menjadi ungkapan bahwa dirinya kini sudah menjadi tua. Penafsiran ini nanti akan didukung dalam adegan ketika anak-anak dan cucu-cucu sudah datang, betapa kecewanya ibu tua menemukan anak-anaknya tidak seperti dulu lagi. Bertolak dari bahasan tentang penyesalan ini, pembaca bisa diajak masuk ke oposisi biner yang ke empat ‘santun-tidak sopan’ (keras). Dan oposisi biner yang keempat ini justru yang memicu titik balik sehingga terungkap adanya pembalikan hierarki metafisik yang membuka kedok ideologi teks.



10. Pembalikan Hierarki Metafisik Ketika anak-anak, cucu-cucu dan menantu datang, ibu tua terkejut sedih menyaksikan perubahan perilaku dan bahasa mereka. Serasa bukan lagi perjumpaan yang dibayangkan dan diharapkan. Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa anak-anaknya yang telah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Kadang terdengar keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang kampung. Oposisi biner ‘santun-tidak sopan’ dikaitkan dengan kesantunan perilaku orang kampung dan ‘semau gue’ orang kota. Anak-anaknya telah berubah seakan kota telah mengubah perilaku dan cara bicara mereka. Ini yang disesali dan membuat ibu tua terkejut sedih. Ia tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak menyaksikan lengang yang cair. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang ditemukan adalah sebuah siksaan baru yang bernama keasingan. Oposisi biner ini menunjukkan bahwa ibu tua mulai mengambil jarak terhadap sikap anak-anaknya, mulai merasa tidak bisa mengenali lagi mereka. Maka penilaian normatif mulai mewarnai relasi orangtua-anak. Oposisi biner dalam cerpen ini ‘sendiri-bersama’, ‘tua-muda’, ‘desa-kota’, ‘santun-tidak sopan’ (keras), dan ‘makan di rumah - makan di restoran’ menurut Derrida adalah bentuk hierarki metafisik di mana kutub pertama (‘sendiri-…, ‘tua-…, ‘desa-…, ‘santun-…, ‘makan di rumah-…) sadar atau tidak sadar dianggap lebih baik dari pada kutub kedua (‘muda-…, ‘kota-…, ‘tidak sopan-…, ‘makan di restoran-…). Namun akhirnya, pembalikan hierarki matafisik dalam 41



cerpen ini terjadi pada saat klimaks, yaitu ketika mencapai puncak komplikasi yang melibatkan emosi dan penalaran. Titik puncak yang dicapai ibu tua ternyata justru merupakan situasi dalam keadaan terburuk dirinya. Anak-anaknya seperti telah menjadi orang asing bagi ibu tua. Ibu tua itu tidak bisa mengenali lagi perilaku dan bahasa anak-anaknya. Makan di restoran ditafsirkan sebagai penolakan terhadap masakan yang jauh-jauh hari telah dipersiapkannya. Keasingan dan penolakan ini menyakitkan hatinya, mengecewakannya: “Mereka telah mengusung kota ke rumah gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin menangis. Terbongkarlah ideologi cerpen ini, kesunyian ibu tua yang menyebabkan rindu akan kehadiran anak-anaknya ternyata bukan kerinduan akan anak-anaknya yang sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri, namun kerinduan akan anak-anaknya semasa masih kecil ketika masih menurut dan patuh padanya, yang penuh dengan tatakrama seperti orang kampung. Dengan demikian kerinduannya ini bukan pertama-tama ungkapan cinta yang altruis, tanpa pamrih, namun kerinduan itu lebih merupakan bentuk egoisme dalam wujud nostalgia yang dengan jeli dijelaskan dalam oposisi biner yang terakhir: ‘makan di rumah-makan di restoran’. Egoisme ibu tua semakin terungkap ketika anak-anak lebih memilih makan di restoran ketimbang makan di rumah gadang. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan ke restoran ketimbang mencicipi masakan yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa dirinya limbung dan segera akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas. Terasa semua yang telah dirancang ibu tua tak terwujud karena ibu tua jauh-jauh hari sudah mempersiapkan makanan kesukaan anak-anaknya ketika masih kecil, tapi anak-anaknya tidak menyentuhnya. Semakin kelihatan ibu tua itu memperlakukan anak-anaknya seperti dulu, maka kekecewaannya juga datang karena kerja kerasnya tidak dihargai, bahkan diabaikan. Kerinduannya bukan mendamba perjumpaan dengan anak-anaknya seperti apa adanya, namun melalui perjumpaan itu, ibu tua ingin menemukan kembali peran masa lalunya ketika masih muda. Kehadiran anakanaknya justru menghempaskan hasratnya untuk bisa merasa berguna dan dibutuhkan lagi. Keasingan ibu tua terhadap perilaku, sikap atau bahasa anak-anaknya merupakan bentuk penolakan terhadap realitas kehidupan, terhadap perubahan pada anak-anaknya. Analisa ini diungkap sendiri oleh penulis. Tapi ibu tua mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Realisme hidup yang ditolak oleh ibu tua itu sebetulnya disadarinya, dan dengan demikian teks ini mengungkap dengan bagus adanya jurang antara antara ‘tahu’ dan ‘mampu 42



menghadapinya’. Dalam hatinya, sebetulnya ibu tua sadar bahwa kesunyian adalah keniscayaan ketika menjadi tua. Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri gumamibu tuaitu kembali tersenyum sendiri. Meski sudah menyadari kenyataan itu, ibu tua masih belum percaya. Maka ia sangat berharap bahwa kehadiran anak-anak, menantu dan cucu-cucunya akan memecah kesunyian itu. Namun akhirnya yang ditemuinya lain, dia terpaksa menerima kepahitan itu. Pada akhir teks cerpen itu, sebetulnya yang terjadi bukan bentuk kepasrahan dan penerimaan diri seorang ibu tua menghadapi kesunyian, namun keterpaksaan karena ibu tua tidak bisa lagi menolak kesunyian itu. “Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas kerinduan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan” ucap ibu tua itu. Teks terakhir ini, selain bukan bentuk penerimaan realitas kehidupan, juga tidak mencerminkan bentuk penyerahan diri kepada Tuhan. Seakan-akan Tuhan hanya menjadi pelarian ketika sudah tidak ada lagi jalan pemecahan dalam menghadapi masalah kesunyian. Tuhan diingat setelah ibu tua itu merasa ditolak oleh anak-anaknya, atau merasa terasing dengan perilaku dan tutur kata anak-anaknya. Cerpen ini di permukaan seakan membawa pembaca untuk bersikap seperti ibu tua menerima nasib dalam menghadapi kesunyian dengan menyerahkan kepada Tuhan, namun sebetulnya bila direnungkan secara lebih mendalam, merupakan kritik terhadap cara kita menghayati agama. Tuhan diperlakukan tidak adil karena hanya diingat bila kita dalam kesulitan atau bermasalah. Tuhan bukan sahabat yang kita sapa setiap saat. Dia bukan lagi menjadi tujuan hidup, tetapi ditempatkan dalam hubungan instrumental, Tuhan dijadikan alat untuk membantu memecahkan masalah dan nestapa kita. Sebetulnya ada keputusasaan ibu tua menghadapi kenyataan kesunyian hidupnya ketika kepedihannya itu diungkap oleh dendang dari tape tetangga yang tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yang menimpa selendangnya “…kalian tau apa yang membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini. Bila tak ingatTuhan. Tentu lebih baik memilih mati”. Dalam situasi keputusasaan itu, Upik tampil mengambil peran penting dalam hidup ibu tua. Upik, kelas enam SD, anak tetangga pada awalnya hanya diminta menemani ibu tua agar tidak terlalu kesepian. Ia hanya sebagai pembantu mengusir kesepian sementara anak-anaknya di 43



rantau. Setelah titik balik, saat ketemu anak-anaknya, ibu tua kecewa, merasa asing dan sedih, akhirnya kelihatan dalam cerpen ini, Upik berperan penting dalam seluruh kehidupan ibu tua. Setidaknya ada tiga alasan yang memperlihatkan betapa Upik berperan penting dalam kehidupan ibu tua. Pertama, Upik menjadi tempat keluh-kesah dan curahan hati ibu tua: “Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapt mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan”. Kepada Upik lah akhirnya ibu tua bisa mencurahkan hatinya dan hasil permenungannya. Kedua, ternyata sehari-hari dalam kerjasama dengan Upik lah segala kesibukan ibu tua itu dilakukan ketika mempersiapkan kedatangan anak-anak, cucu-cucu dan menantunya. “Upik, seminggu lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yang ditebang kemarin. Etek Suni paling suka kolak dicampur lemang. Jangan lupa minta jagung pada Pak Simuh. Pak Adang Kalun pasti minta jagung bakar…”. Dan akhirnya, alasan ketiga, hal yang selalu rutin dilakukan oleh ibu tua sesudah melakukan semua pekerjaan atau kegiatan tidak ada lain kecuali menunggu kedatangan Upik pulang sekolah. Melihat peran Upik yang pada awalnya kelihatannya hanya sebagai pengganjal ketidakhadiran anak-anak, ternyata justru menjadi sangat penting bagi kehidupan ibu tua. Analisa ini mengingatkan kita bahwa kita sering lupa dengan kehadiran dan peran orang-orang di sekitar kita karena dianggap biasa. Kita sering lebih merindukan orang-orang yang kita cintai tetapi berada jauh dari kita. Padahal yang nyata-nyata menopang hidup kita adalah mereka yang secara spasial berada dekat kita. Pada saat kita sakit, pada saat kita butuh bantuan, pada saat kita menghadapi masalah, mereka lah yang langsung bisa mengulurkan tangan membantu kita.



11. Penyebaran/Perkembangan Makna Dari seluruh kisah yang dinarasikan cerpen ini, kesunyian bukan lagi dimaknai sebagai bentuk kerinduan akan kehadiran orang yang dicintai atau perasaan kosong karena ketidakhadiran orang yang dicintai. Ternyata dari teks cerpen ini tersingkap bahwa rindu tidak lagi menjadi monopoli tanda cinta. Maka cerpen ini berhasil menunjukkan tiga hal. Pertama, bahwa kesunyian merupakan bentuk lain dari egoisme yang mendambakan pengakuan sosial, tetapi tidak terpenuhi, anak-anak atau publik yang diharapkan mengapresiasi atau berterimakasih berkat kerja, prestasi, atau jerih-payah kita, ternyata tidak bertindak seperti 44



yang kita harapkan; kedua, kesunyian adalah ungkapan suasana hati atau sikap yang tidak menerima realisme kehidupan yang terungkap dengan mengabaikan orang-orang di sekitar kita atau tidak bisa bersyukur atas apa yang sudah diterima selama ini, dan kurang berterimakasih atas kehadiran orang-orang di dekat kita. Ilustrasi peran Upik cukup untuk memberi pembenaran. Nilai ketiga yang bisa dipetik bisa dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: “Adakah cinta yang tulus?” Ternyata mencintai seseorang itu sering masih disertai syarat-syarat. Anak-anak yang dirindukan ibu tua itu sebetulnya yang sesuai dengan gambarannya, yaitu santun, tetap seperti mereka waktu masih kanak-kanak, mau makan makanan yang disediakan ibunya, tidak membawa budaya kota ke kampung, dan sopan seperti orang kampung. Bukankah kita juga demikian? Mau bersahabat atau mencintai asalkan perilaku, sikap dan tindakannya sesuai dengan apa yang saya harapkan. Ibu tua itu tidak bisa menerima bahwa anak-anaknya lebih suka tinggal di rantau, di kota dan menyukai makanan yang ada di restoran. Kita sering tidak rela bahwa orang yang kita cintai berkembang, berubah dan mungkin menyingkap sisi-sisi yang asing bagi kita, meski belum tentu merugikan, tetapi karena keluar dari skema cara berpikir kita, lalu kita tolak. Maka di akhir cerpen dikatakan “Rindu hanyalah sebatas keinginan”. Dalam kerinduan ibu tua itu, ternyata bukan pihak lain yang sebetulnya didamba kehadirannya dan dipenuhi kebahagiaannya, namun yang dicari adalah lebih terpenuhinya hasrat egois dirinya yang menderita karena mengalami kesunyian. Daftar Acuan



Abrams, M.H. (1985). A Glossary of Literary Terms. Orlando: Harcourt Brace College, Almaric, J.L. (2006). Ricoeur, Derrida. L’enjeu de la métaphore, Paris: P.U.F. Caputo, J.D. (peny.). (1997). Deconstruction in A Nutshell. A Conversation with J.Derrida. New York: Fordham University Press. Derrida, J. (1967). De la grammatologie, Paris: Minuit Derrida, J. (1972). Marges de la philosophie, Paris: Minuit. Derrida, J. (1972). La mythologie blanche. Dalam Marges de la philosophie. Paris: Minuit, hlm. 247-324. Derrida, J. (1991). Donner le Temps. La fausse monnaie. Paris: Galilée.



45



Derrida, J. (1981). Positions. Diterjemahkan oleh Alan Brass. Chicago: The University of Chicago Press. Deutscher, P. (2006). How to Read Derrida, New York: Norton & Company Ferrie, C. (1998). Pourquoi lire Derrida. Paris: Kime Foucault, M. (1976). Histoire de la sexualité. La volonté de savoir. Paris: Gallimard Goldschmit, M. (2003). Jacques Derrida: une introduction. Paris: La Découverte Hoed, B. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu Hottois, G. (1997). De la Renaissance à la Postmodernité., Brussels: De Boeck et Larcier Jyut Fitra, “Jendela Tua” dalam KOMPAS, 26 Oktober 2008, hlm. 26. Petitdemange, G. (1989). “Le rappel à la memoire”, dlm: Revue Etudes, Oktober 1989, (371/4), hlm.355-369 Ricoeur, P. (1975). La métaphore vive. Paris: Seuil Ricoeur, P. (1986). Du texte à l’action. Essais d’herméneutique I. Paris: Esprit/Seuil Tyson, L. (2006). Critical Theory Today. New York: Routledge Wood, D.(peny.). (1992). Derrida. A Critical Reader. Oxford: Blackwell.



46



KONSEP DICENT DALAM KAJIAN URBAN LANDSCAPE DAN TOPONIMI Tommy Christomy (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)



1. Pendahuluan Semotik pragmatik, akhir-akhir ini, mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan terutama yang berkecimpung di bidang ‘marketing, politik, dan lain-lain. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bagaimana sebuah produk, dalam hal ini SIGNS, dibentuk dengan memanfaatkan cara-cara pendeskripsian “realitas” dan “ide” melalui berbagai jaringan proposisi. Dalam kesempatan ini saya akan membahas satu aspek penting dari semiotik pragmatik yaitu dicent yang sering dikenal pula sebagai ‘proposisi’. Dicent menurut Pierce adalah “… is a Sign of actual existence” atau disebut juga sebagai“informational Sign” but it does not assert” (Noth, 1995, hlm. 45). Sebagaimana konsep proposisi, dicent adalah sebuah tanda yg dalam proses interpretasinya dapat dianggap “benar” atau “salah” Sebuah konsep yang tidak terlalu banyak menarik perhatian para peneliti Indonesia yang memanfaatkan paradigm semiotik pragmatik peirce, tentu hal ini perlu diberi catatan. Untuk menjelaskan hal tersebut, saya akan mengacu pada perubahan nama lanskap dan toponimi yang ada di kota tasikmalaya. Dalam makalah ini, saya berharap dapat menunjukan adanya kecenderungan penggunaan proposisi dengan “strategi simbolik” dalam penamaan nama jalan dan wilayah, atau kalau ditautkan dengan interpretant (I), berpola dicent--symbolic—legisign, ketimbang penggunaan dicent—indexical—legisign atau dicent-indexical—sinsign terutama untuk toponimi yang muncul setelah tahun 70-an. Untuk itu, pertama tama saya perlu menjelaskan sejumlah konsep penting terkait trikotomi peirce disusul dengan pemaparan mengenai “dicent” kemudian masuk dalam diskusi mengenai toponimi dilihat dari perspektif semiotik (dicent). Trikotomi Peirce merupakan bagian penting dalam proses semiosis yang sering digambarkan secara umum dengan diagram “segi tiga”. Yang penting dari trikotomi Peirce itu adalah adanya satu penjelasan mengenai fungsi dari setiap elemen yag membangun tanda secara



47



utuh. Trikotomi Peirce terdiri atas Representamen (R) Object (O) Interpretan (I). Oleh karena itu SIGNS melibatkan (R), (O), dan (I). Signs dalam pandangan Peirce harus perceptible bagi si pembuat tanda atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses ‘signifikasi’. Sebaliknya, kalau tidak perceptible ‘tanda’ tersebut tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, aspek function tersebut menjadi salah satu ciri dari pragmatiknya Peirce. Perceptible tidaknya sebuah ‘tanda’ sangat ditentukan oleh kehadiran ‘Representamen’, dan setiap representamen berfungsi merepresentasikan ‘sesuatu yang lain’ seperti bunyi, gerakan, bentuk, warna, proses, suhu dan bahkan konsep yang dalam istilah Pierce disebut ‘object’. Konsep ‘representamen’ disarankan Peirce karena adanya kebutuhan untuk membedakan sign dan sign vehicle, Peirce menekankan penggunaan ‘representamen’ (R) ketimbang sign vehicle. Sebagai sebuah aspek dari SIGN, R merepresentasikan seusatu yang lain (O) dengan tiga kemungkinan: kemipirian (icon), penunjukan atau kausalitas (index), kesepakatan (symbol). Dalam hal ini, Peirce membedakan dua jenis (O) dynamical object dan immediate object; batuan pipih yang ditemukan di Trowulan bisa jadi immediate object bagi arkeolog



tapi cuma



bongkahan batu batu biasa atau dynamical object bagi masyarakat awam. Representamen yang mengacu pada object dengan cara yang berbeda itu kemudian memicu proses interpretasi (I). Proses intepretasi tersebut dilalui melalui tiga opsi: rhematic, dicent/decisign, legisign; sesuatu yang potensial, proposisi, dan argumen.



2. Dicent Dicent merupakan interpretan yang melibatkan faktor eksternal di luar tanda. Dicent (dicisign) menurut Peirce, sebagaimana dikutip Noth, “is a Sign of actual existence”, disebut juga “informational sign” yang sering disejajarkan dengan konsep ‘proposisi’ dalam logika formal maupun semantic (Noth, 1995, hlm. 45—46). Melalui proposisi pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang karena setiap informasi dapat dipaparkan, dibenarkan, atau disanggah. Perbedaan yang mencolok antara semiotik dan linguistik dalam hal proposisi adalah titik tolak yang sedikit berbeda. Linguistik berangkat dari gejala kebahasaan yang mengharuskan adanya elemen penghubung (copula) antara subjek dan predicate sementara semiotik lebih menonjolkan persoalan representasi dari setiap elemen dicent/proposisi. Oleh karena itu, copula, dalam proposisi Peirce dianggap tidak penting yang penting adalah hadirnya dua kategori tanda 48



yang berasal secondness/index dan thridness. Dengan demikian, konsep Peirce adalah beyond grammar dan secara minimalis struktur proposisi terdiri atas index dan rheme (Kenneth Atkins, 2016, hlm. 2) “Propositions, on Peirce’s view, are essentially compound. Minimally, they consist both of what Peirce calls an index (e.g. demonstrative pronouns like that, here, there, etc. or personal pronouns like I, you, she, etc.) and of what he calls a rheme (e.g. common nouns like horse, house, white, etc. or relative terms like love, hit, represents to, etc.).” (Kenneth Atkins, 2016, hlm. 2)



Index dalam perspektif Peirce adalah sebuah tanda yang berfungsi dengan menggunakan kaidah penunjukan, kausalitas, gesture yang direpresentasikan tidak hanya melalui tanda-tanda linguistik tapi melalui representasi gesture, warna, bunyi, kineti, dan sebagainya. Menurut Kenneth Atkins (2016) “One way of getting at the difference is to think of Peirce’s conception of an index not as being a conception of linguistic terms per se but a conception of the function of certain linguistic terms, namely, their pointing function.” Dalam perpsektif Peirce index boleh jadi implisit: “A man walking with a child points his arm up into the air and says ‘There is a balloon.’ The pointing arm is an essential part of the Symbol [i.e. the proposition There is a balloon] without which the latter would convey no information. (Essential Peirce 2, hlm. 274–5)”



Sementara itu, dilihat dari proses semiosisnya, dari titik tolah (I) interpretan maka urutannya dapat dikembalikan kedalam tiga pola semiosis dengan mempertimbangkan relasi antara (I), (O) dan (R): (1) dicent--symbolic—legisign,



(2) dicent—indexical—legisign,



dan (3) dicent-



indexical sinsign (Noth, hlm. 45). Contoh populer dari Peirce mengenai tidak proses semiosis ini (1) dicent--symbolic—legisign “an ordinary proposition”, (2) dicent—indexical—legisign “a street cry: traffic signs, commands”, (3) dicent-indexical-sinsign “a weathercock” (Noth, hlm. 45). Tasikmalaya adalah kota kecil yang didirkan secara resmi pada tahun 1913 oleh kolonial Belanda untuk menggantikan posisi kabupaten Sukapura, 12 km arah timur kota sekarang. Dengan demikian Tasikmalaya adalah kota kolonial awal Abad 20 yang lebih tertata ketimbang kota kabupaten sebelumnya ketika masih di Sukapura. Terlebih pada tahun 1922, Tasikmalaya 49



menjadi keresidenan Oost-Priangan walaupun kemudian berubah lagi menjadi kabupaten pada tahun 1931 dengan banyaknya persoalan ekonomi yang dihadapi Belanda secara global. Kota Tasikmalaya terletak persis di jalur rel kereta api yang menghubungkan Tasikmalaya dengan kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kota dibangun dengan konsep blok dan setiap blok dikitari oleh jalan-jalan yang tertata simetris. Pusat Kota diisi oleh Kantor dan Rumah Bupati lengkap dengan alun-alunnya. Di sebelah baratnya terletak, sekolah, penjara, masjid, taman, pecinan, tempat hiburan, dan pusat perdagangannya. Di masa lalu, pemukiman elit dan hotel mewah, “mentengnya Tasikmalaya” dibangun di antara stasiun di sebelah utara dan pusat pemerintahan di sebelah selatan. Bangunan kolonial yag tersisa sekarang digunakan oleh instalasi militer, rumah sakit dan sekolah, masih tersisa jejak restoran dan hotel. Sebagian nama wilayah perkampungan dan jalan-jalan disesuaikan dengan nama asal usul yang terkait dengan lingkungan sekitar. Yang menarik untuk dibicarakan dalam pertemuan ini adalah perubahan landskap dan toponimi dari masa sebelum tahun 70-an.



3. Landskap dan Toponimi Kota Tasikmalaya dikenal oleh sebagian kalangan generasi tua sebagai kota ‘seribu bukit’ hal ini terkait dengan jejak erupsi Gn. Galunggung ke arah kota Tasikmalaya yang membentuk gunung-gunung keil dan bukit (pasir) yang berasal dari bongkahan batu vulkanik. Oleh karena itu, sebagian generasi yang lahir di bawah tahun 60 bahkan 70-an masih mengenal sejumlah nama kampung, jalan, dan wilayah di perkotaan yang diberi nama-nama gunung: Gunung Sabeulah, Gunung Ki Cau, Gunung Roay, Gunung Pongpok, Gunung Ceuri, Gunung Gadog, dan banyak lagi. Di luar Tasikmalaya kita sering mendapatkan nama daerah seperti Gunung Batu, Gunung Tilu, Ci Gunug dll. Nama tempat seperti ini menunjukan ikonisitas di landskap perkotaan, sesuatu yang ditemukan pula ditempat-tempat lain di dunia (Małgorzata RutkiewiczHanczewska, 2012). Ikonisitas juga dibangun melalui nama-nama sungai: Cimulu, Ci Hideung, Ci Romban, dst. Selain nama-nama gunung yang menunjukkan kemiripan dengan lingkungannya, toponimi di Tasikmalaya banyak pula yang menggunakan indeksikalitas, sebuah penanda yang mengacu pada sesuatu yang lain dengan cara ‘penunjukan’: Jalan Manonjaya, Jalan Singaparna, Jalan Ciamis, Jalan Cibeureum. Nama jalan seperti ini seperti “anak panah” penunjuk jalan: Jalan



50



Manonjaya/ jalan ke arah Manonjaya. Sama halnya di ujung kota Jakarta kita akan menemukan Jl. Raya Bogor /jalan menuju Bogor. Dalam perkembangannya, landskap dan toponimi di wilayah kota Tasikmalaya banyak yang berubah dengan tidak lagi memanfaatkan icon dan index tetapi justru memperbanyak tandatanda simbolis. Perubahan ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori. Pertama, simbol digunakan untuk mengganti index dan icon. Kedua, simbol digunakan untuk membuat nama jalan yang baru. Pada umumnya, dari pengamatan saya sementara, nama jalan yang paling banyak mendapat perubahan dan penambahan. Jalan-jalan yang baru dibuka atau direnovasi sebagai bagian dari peremajaan kota cenderung menggunakan nama-nama tokoh yang (1) berjasa pada masa revolusi fisik (2) pejabat termasuk menteri, dan (3) ulama (lihat lampiran). Sebagian nama-nama tokoh tersebut ada yang dikenal masa hidupnya oleh generasi yang lahir sebelum tahun 70-an. Namun, banyak pula nama-nama yang bahkan tidak mudah dikenal oleh sebagian masyarakat Tasikmalaya yang lahir sebelum tahun 60-an dan masih hidup sampai sekarang. Mungkin masih banyak yang masih mengenal siapa Mashudi, tapi belum tentu banyak yang tahu siapa Letnan Harun atau Kolonel Basyir Surya, Brigadir Jend. Sutoko, dan lain-lain. Dengan kata lain, nama-nama itu secara simbolis mewakili suatu gagasan tentang pentingnya menyematkan tokoh-tokoh militer dan birokrat lokal dalam tata ruang kota Tasikmalaya. Sebagaimana kaidah sebuah simbol, tidak ada hubungan keterkaitan langsung antara tanda dan objek yang diwakilinya. Nama-nama jalan dan wilayah di Tasikmalaya banyak mengalami perubahan dari yang semula menggunakan ikon dan indeks, mengarah ke yang sangat simbolik. Perubahan atau penambahan pada nama kota atau wilayah secara simbolik tersebut sudah barang tentu dipengaruhi oleh dinamika sosial budaya setempat. Salah satu penyebab perubahan itu adalah berubahnya landksap. Salah satu contoh yang monumental ketika pemerintah setempat membongkar habis Gunung Singa, reservoir air, tempat wisata, kolam renang, dan hutan kota, dan kini berdiri Hotel Santika. Gunung Singa sangat erat dengan memori penduduk Tasikmalaya tahun 70-an ke bawah. Seluruh air bersih disuplai dari reservoir Gunung Singa yang menerima gelontoran air dari Gunung Galunggung. Nama Gunung Singa kini musnah dalam peta Tasikmalaya. Perubahan juga disebabkan oleh kebutuhan untuk menyematkan figure putra daerah yang dianggap pahlawan atau figure yang sukses secara politik maupun militer (lihat 51



lampiran). Bahkan ada kebutuhan untuk menerjemahkan Tasikmalaya sebagai “kota santri” dengan membuat nama jalan baru yang berafiliasi ke tokoh agama kendati jumlahnya tidak banyak. Nama-nama wilayah dan tempat tersebut, terutama yang dibuat baru-baru ini, baik secara eksplisit maupun implisit membangun proposisi (dicent) dengan cara memanfaatkan relasi simbolik atau dicent--symbolic—legisign: sebuah statemen yang dibangun berdasarkan kaidah simbolik yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan atau wacana politik (legisign). Sementara itu, nama-nama sebelumnya, baik yang masih digunakan maupun yang talah tidak digunakan, preposisinya dibangun melalui jalur indexical legisign atau indexial sinsign. Apa yang saya kemukakan masih perlu pendalaman lebih jauh dengan data yang lebih representatif. Sungguhpun demikian, dari data yang terbatas dan pembicaraan yang ringkas ini setidaknya ada sesuatu yang dapat diteliti lebih lanjut yakni terkait perubahan landskap dan toponiminya; cenderung bergerak dari yang ikonis ke yang simbolik. Dampak dari perubahan tersebut, tidaklah terlalu mudah memahami sesuatu yang simbolik ketimbang yang ikonik dan indeksikal. Mengapa jalur yang sulit ditempuh? Apakah sesuatu uang ikonis tidak lagi menarik minat masyarakat kendati sangat efisen dan mudah dicerap. Jawaban sementara karena ada kebutuhan untuk menandai landskap dengan wacana dominan pada masanya. Apakah masyarakat bisa menerima? Itulah persoalan dan topik berikutnya yang harus diteliti apakah proposisi-proposisi tersebut terterima atau tidak?



Daftar Pustaka Noth, W. (1995). Handbook of Semiotics. Brimington and Indianapolis: Indiana University Press. Kenneth Atkins, R. (2016). Peirce on facts and true propositions, British Journal for the History of Philosophy, DOI: 10.1080/09608788.2016.1185390 Rutkiewicz-Hanczewska, M. (2012). “Iconicity in urban place naming (with examples of names from places in Poland)” Semiotica 189–1/4 (2012)



52



Lampiran 1 Nama Jalan dan Area No. Nama



jalan



1



Jalan Gunung Sabeulah



x



x



gunung



2



Jalan Gunung Pereng



x



x



gunung



3



Jalan Galunggung



x



x



gunung



4



Jalan Gunung Ki Cau



x



x



gunung



5



Jalan Gunung Roay



x



x



gunung



6



Jalan Gunung Pongpok



x



x



gunung



7



Jalan Gunung Kialir



x



x



gunung



8



Gunung Singa



x



9



Gunung Sebe



x



x



gunung



10



Gunung Dengkeng



x



x



gunung



11



Gunung Gadog



x



x



gunung



12



Gunung Ceuri



x



x



gunung



13



Gunung Awi



x



x



gunung



14



Gunung Tandala



x



x



gunung



15



Picung Remuk



x



x



gunung



16



Gunung Koneng



x



x



gunung



53



area



status Object



gunung



17



Jl. Gubernur Sewaka



x



x



Politik



18.



Jl. Let. Jen. Mashudi



x



x



Militer



19



Jl. Letnan Harun



x



x



Militer



20.



Jl. Letda Lily Rochili



x



x



Militer



21



Jl. Let. Kol Basir Surya



x



x



Militer



22



Jl, K.H. Khoer Afandi



x



x



Ulama



23



Jl. HZ Mustofa



x



x



Ulama



24



Jl. Kol H. Utuy Sobandi



x



x



Militer



25



Jl, Kol. Abdul Saleh



x



x



Militer



26



Jl. Perintis Kemerdekaan x



Militer



Sekarang



Ulama



Jl.



Abdul



Muhyi Olahrga



Jl. Pangaduan Kuda



54



Dan



MAKALAH PARALEL



PEMAKNAAN FESYEN HIJAB DI KALANGAN PEGIAT FESYEN DAN MUSLIMAH UMUM DI INDONESIA A. Naufalul Umam dan Seradona Altiria (Program Studi Magister Sains, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, [email protected]) Abstrak Perkembangan antusiasme wanita Muslim Indonesia terhadap hijab tidak terlepas dari industri pakaian Muslimah yang makin menguat secara luas baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional. Namun bagaimanapun juga, sebagian wanita Muslim tidak simpatik terhadap kesadaran berhijab yang disebabkan oleh tren fesyen karena menurut mereka sejatinya hijab adalah bentuk ketaatan dan bukan komoditas dagang. Bahkan antropolog Amerika, Carla Jones (2010) memandang tren fesyen Muslimah sebagai kerancuan dan peleburan antara ketaatan dan konsumerisme, di mana terdapat beban semiotik di dalam pakaian Muslimah yang trendy karena adanya paradoks antara kesederhanaan (modesty) dan penonjolan diri (vanity). Penelitian ini bertujuan menelusuri pemaknaan fesyen hijab sebagai tanda sosial di tengah masyarakat Indonesia, khususnya pada dua kelompok, yakni Muslimah pelaku industri fesyen hijab (model, komunitas, desainer), dan Muslimah pada umumnya yang tidak terlibat dalam industri tersebut. Dengan mengacu pada teori Peirce (1955) tentang semiotik pragmatis, pemaknaan Muslimah terhadap fesyen hijab dalam penelitian ditelusuri dengan wawancara terstruktur melalui tiga domain pemaknaan, yaitu kelas, gender, dan religi. Kata kunci: semiotik, tanda, pemaknaan, Peirce, fesyen hijab.



1. Pendahuluan Dalam bukunya “Islam, Indonesia, & Democracy”, Azra (2006) menjelaskan bagaimana pengaruh kelompok agamis Islam mulai muncul di permukaan dan meraih banyak simpati masyarakat Indonesia. Banyak organisasi dan pergerakan yang mengusung ideologi Islam sebagai jawaban dan jalan keluar dari kerancuan masa transisi Indonesia selepas jatuhnya kekuasaan Soeharto. Salah satu perubahan yang tampak jelas adalah makin banyaknya wanita Muslim yang mengenakan hijab setelah sebelumnya banyak mengalami pelarangan dan boikot di berbagai instansi. Bagi pemerhati dari luar negeri yang mengamati Indonesia sesudah pemerintahan Soeharto, ada sebuah kecemasan yang timbul ketika makin banyak wanita Muslim mengenakan hijab karena hal tersebut dinilai sebagai pertanda menurunnya pluralisme di Indonesia. Namun belakangan kemudian, diketahui bahwa alasan wanita Muslim dalam berhijab sangatlah beragam, dan terjadi banyak akulturasi busana Muslim dengan kultur kekotaan dan busana tradisional yang menunjukkan bahwa hijab bukanlah ancaman terhadap pluralisme Indonesia (Pringle, 2010). 57



Perkembangan hijab di dunia fesyen kemudian memasuki masa kejayaannya dalam dunia kapitalisme Indonesia. Perkembangan hijab sebagai fesyen juga didukung gejolak konsumsi spiritualisme yang mulai marak di Indonesia yang berfungsi tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan rohani, namun juga sebagai ekspresi dan pengukuhan status, terutama bagi kalangan OKB (orang kaya baru) yang mengedepankan konsumsi spiritualisme dalam menonjolkan religiusitas sekaligus kekayaannya (Fealy, 2008). Penerimaan yang baik dan antusias dari masyarakat ini menjadi momentum tersendiri bagi desainer dan produser busana Muslim di Indonesia. Beberapa desainer seperti Dian Pelangi, Jenahara, Zaskia Sungkar, dan Restu Anggraini tidak hanya mendulang sukses di dalam negeri, mereka bahkan sempat memamerkan karyanya di London Fashion Week (Desainer baju Muslim, 2016). Bahkan Dian Pelangi, seorang desainer muda yang disebut sebagai pelopor busana Muslim modern di Indonesia tercatat di #BOF500 (The Business of Fashion, Great Britain) sebagai salah satu dari 500 orang yang paling berpengaruh dalam membentuk industri global (Armenia, 2015). Sejak awal kemunculannya, Dian Pelangi percaya bahwa Muslimah yang berhijab dengan indah adalah wanita yang mewujudkan cintanya kepada Tuhan dalam kelumrahan untuk ingin terlihat cantik karena Tuhan pun mencintai keindahan, ia memiliki visi kepada kalangan wanita berhijab di Indonesia untuk saling menginspirasi satu sama lain melalui gaya berpakaian dan gaya hidupnya (Pelangi, 2012). Tidak hanya desainer yang menyambut antusiasme busana Muslimah ini. Seiring dengan meningkatnya produksi pakaian Islami, kebutuhan akan model pun meningkat, Hijmi Models dan Zaura Models menjadi agensi model yang mulai berkembang karena mereka menghadirkan model-model khusus untuk busana Muslimah di mana para modelnya pun Muslimah yang berhijab (Waldan, 2012). Dalam sebuah artikel di tabloid Nova ini, Ulida dari Hijmi Models mengatakan bahwa model berhijab punya ikatan batin dengan desainerdesainer busana Muslim karena sama-sama punya tujuan syiar. Ashfi dari Zaura Models mengatakan bahwa penting bagi model berhijab untuk mengikuti standar tinggi, postur tubuh, dan kemampuan yang setara dengan model pada umumnya. Ia juga menambahkan bahwa menjadi model bukanlah perkara yang mudah, namun hadirnya model berhijab yang berkualitas akan dapat memajukan fesyen Islam di Indonesia dengan karakter yang khas. Bagaimanapun juga, perjalanan tren yang berkembang pesat ini tidak luput dari kritik dan skeptisme sebagian umat Islam di Indonesia. Felix Siauw adalah salah satu tokoh penceramah populer yang sering menyinggung soal ini, dalam bukunya “Yuk, Berhijab!” ia mengingatkan tentang berbagai upaya modifikasi bentuk hijab yang akan menggiring wanita 58



Muslim tidak mencium bau surga dan mengembalikan agensi pengenaan hijab bukan sebagai semangat mengikuti tren namun sebagai bentuk ketaatan diri dalam beragama (Siauw, 2013). Antropolog dari luar negeri pun menyatakan skeptismenya terhadap hijab sebagai ketaatan karena yang tampak di Indonesia adalah hijab sebagai bentuk baru dari tren fesyen dalam sebuah sistem kapitalisme pada umumnya (Jones, 2010b). Pada dua makalah Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia tahun 2014 lalu diketahui bahwa dalam perkembangan busana Muslim, Muslimah di Indonesia mendapati dirinya berada di dalam dinamika perubahan pemaknaan hijab (Tauifqurrahman, 2014), dan negosiasi budaya Islam Timur Tengah dengan Indonesia beserta ambivalensinya (Rahayu, 2014). Perdebatan akan pemaknaan hijab ini terus berlangsung baik di kalangan pegiat fesyen, pemuka agama, hingga masyarakat umum, menjadikan Indonesia yang mulai dilirik sebagai pusat busana Muslim dunia juga sekaligus sebagai titik observasi ekspresi agama Islam di dunia. 2. Perkembangan Fesyen Hijab dan Keberatannya Satu hal yang paling kentara sejak maraknya identitas Islam diekspresikan di Indonesia adalah komodifikasi atribut dan konten Islami, terutama untuk kalangan pemuda. LukensBull (2008) menyorot terjadinya ideologisasi dari komoditas di mana barang-barang dikategorikan sebagai produk budaya tertentu dan menanamkan sentimen terhadap “produk Barat”, serta terjadinya komodifikasi ideologi terutama ideologi Islam yang digandrungi anak muda sebagai bentuk ekspresi diri. Carla Jones, seorang profesor antropologi budaya dari Amerika Serikat menjabarkan skeptisme terhadap nilai spiritualitas wanita Muslim Indonesia dalam mengenakan hijab. Dalam artikelnya yang bertajuk “Images of Desire”, Jones (2010a) menelusuri bagaimana interaksi antara majalah NooR dan desainer busana Muslim membentuk sosok wanita Muslim trendy untuk menarik perhatian konsumen dan menepis anggapan bahwa ini adalah kapitalisme dengan wajah religi. Penelusuran Jones (2010a) dimulai dengan pembahasan awal maraknya ekspresi keislaman pasca pemerintahan Soeharto. Saat itu terdapat surat pembaca di majalah gaya hidup wanita Femina yang memohon untuk menampilkan wanita berjilbab karena seakanakan wanita berjilbab tidak dianggap di media sehingga seakan-akan tidak dianggap pula keberadaannya di dunia nyata. Anggapan yang ada saat itu adalah wanita berhijab tidak



59



setara dengan wanita tidak berhijab dari segi penampilan dengan dianggap sebagai tidak fashionable, tidak keren, dan tidak diinginkan. Pada situasi politik saat itu yang sangat mengedepankan nilai-nilai Indonesia membuat nilai Islami yang dianggap berasal dari Timur Tengah tidak begitu terdengar atau dianggap. Di situlah majalah NooR muncul dengan tujuan untuk mengangkat identitas wanita Muslim di Indonesia. Berbeda dengan majalah di Amerika dan Eropa yang kesulitan menghadirkan fesyen Muslim karena citranya politisnya yang cenderung dikaitkan dengan imigran isu rasial, di Indonesia fesyen Muslim disambut dengan antusias oleh mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Setelah tren ini berkembang dan bahkan menjadi tren arus utama di kalangan Muslim, muncul ambivalensi dari staf editor NooR sendiri. Di satu sisi ada rasa bangga karena busana Muslim tidak lagi menjadi tren minoritas, namun di sisi lain ada rasa cemas karena busana Muslim justru mengalihkan pengupayaan ketaatan yang sesungguhnya. Sebuah pertanyaan skeptis yang diajukan Jones (2010a) adalah bagaimana mungkin seorang wanita berbusana Muslim dapat dibilang relijius ketika ia terlalu menarik, terlalu mudah diakses, dan terlalu mudah dikonsumsi melalui gambar-gambar di media massa. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang juga diajukan oleh wanita-wanita Indonesia saat itu. Menanggapi hal ini, NooR dan desainer Itang Yunasz merespon dengan menghadirkan sebuah konsep kecantikan spiritual, yakni di mana kebaikan hati yang menjadi kecantikan utama dibungkus dan ditingkatkan oleh penampilan menarik yang menjadi kecantikan luar atau sekunder. Namun Jones (2010a) berpendapat bahwa komodifikasi dalam ibadah tidak mencerminkan subyektivitas Islam, namun justru menggambarkan objektivikasi agama Islam. Ia juga menyimpulkan bahwa busana Muslim adalah hanya tentang citra dan fashion statement, sebuah ekspresi ketaatan yang hanya di permukaan saja dan tidak mendalam. Penelusuran lebih mendalam mengenai tren busana Muslim ini diperjelas oleh Jones (2010b) dalam sebuah artikel studi etnologi di American Ethnologist yang berjudul “Materializing Piety”. Dalam pemaparannya kali ini Jones memberikan gambaran lebih spesifik tentang bagaimana busana Muslim bagi wanita adalah sebuah ekspresi diri atau tentang bagaimana seseorang menampilkan dirinya di hadapan publik. Jones pun mengatakan adanya beban semiotik yang dipikul wanita Muslim berbusana tertutup nan modis. Beban semiotik tersebut ada pada tiga domain, yakni kelas, gender, dan religi dalam sebuah fashion statement wanita berhijab.



60



Dari domain kelas, Jones (2010b) mengungkapkan bahwa terdapat indikasi adanya upaya peningkatan stigma hijab sebagai barang kelas bawah dengan mempromosikan desain mewah dan elegan. Ketika hijab hendak dipertarungkan di industri fesyen, pelaku bisnis ini harus bermain dengan aturan industri, yakni dengan menggunakan konsumerisme pelanggan setia dan produksi tanpa henti. Dengan demikian, terjadilah sistem industri yang makin menegaskan adanya perbedaan kelas antara hijab sebagai pakaian apa adanya dan fesyen hijab ‘modis’ yang lebih tinggi kelasnya. Jones juga mengutip pernyataan seorang aktivis kerakyatan Islam Eko Prasetyo (2007) yang menyatakan bahwa fesyen hijab menunjukkan bahwa ketaatan dicapai melalui kepemilikan dan cenderung melupakan orang miskin dalam syiarnya. Fokus promosi ketaatan menjadi lebih besar ke arah kepemilikian ini melalui peragaan busana, iklan, produksi dan sebagainya karena secara ekonomis lebih menguntungkan. Dari domain gender, Jones (2010b) menitikberatkan kritik terkait kewanitaan para wanita berhijab. Kelompok pemikir urban yang sering mempertanyakan tujuan berpenampilan modis pada busana Muslim mengatakan bahwa dengan label apapun wanita tetap sama saja seorang yang bisa ditebak, yaitu dangkal dan sekedar tersedot dalam bentuk baru dari “dekorasi diri” atau dalam kata lain gender yang sekedar selalu mengikuti gaya baru dalam berpakaian. Sementara itu, dari kalangan agamis, Jones memaparkan kritik seorang Ustad dalam ceramah di masjid yang menyatakan bahwa wanita berjilbab namun pulang malam dan mengenakan pakaian ketat atau tipis telah mempermalukan Islam. Kritik tersebut menekankan tentang bagaimana wanita seharusnya tidak bertindak dalam merepresentasikan Islam. Kritik kalangan agamis tersebut juga masuk dalam domain ketiga, yaitu religi. Domain ini sering saling tumpang tindih dengan domain gender karena di dalamnya tidak hanya ada tuntutan bagaimana seorang Muslim harus bertindak, namun juga ada tuntutan spesifik bagaimana wanita harus bertindak sesuai tuntutan agama. Dalam domain religi, pertanyaan-pertanyaan mengenai pemaknaan hijab banyak tertuju pada alasan mengapa seorang wanita berpakaian modis dalam berhijab ketika tren ini sedang marak. Kelompok agamis mengkhawatirkan bahwa mengikuti tren pakaian yang sedang tenar itu membuat wanita jadi sekedar pengikut dan justru tidak menjadi diri sendiri yang terlepas dari tren penampilan fisik yang dangkal sebagaimana diajarkan oleh agama dalam mengenakan hijab. Namun di sisi lain, ada tarik-menarik pemaknaan tentang busana Muslim di mana masyarakat pun menilai bahwa perkawinan komersial dan ketaatan beragama bukanlah suatu hal yang saling berkontradiksi. Masyarakat beranggapan bahwa gejolak keinginan konsumsi 61



dipadu dengan kenyamanan dari menaati peraturan Tuhan adalah sebuah bukti bahwa kenikmatan dan disiplin beragama itu berhubungan erat. Salah satu contoh yang menggambarkan ini adalah pengakuan desainer Itang Yunasz yang pada mulanya enggan untuk membuat pakaian Islami karena dianggap tidak fashionable, namun kemudian mendedikasikan diri untuk busana Muslim karena panggilan jiwa (Jones, 2010b). Ketiga domain dari apa yang disebut Jones (2010b) sebagai beban semiotik ini menggambarkan tuntutan sosial dan pemaknaan subjektif tentang hijab dalam dunia fesyen. Secara umum, Jones (2010a, 2010b) menyimpulkan bahwa kemenarikan diri yang menjadi ciri khas dunia fesyen dan kapitalisasi dalam industri fesyen tidak seharusnya bercampur aduk dengan nilai-nilai religi yang diyakininya seharusnya melepaskan diri manusia dari halhal duniawi yang dangkal dan menuju nilai-nilai spiritualitas yang dalam. Namun bagaimanapun juga proposisi dari Jones (2010a, 2010b) sangat subyektif dalam menggambarkan pemaknaan para pemakai hijab di tengah-tengah maraknya dan bangkitnya hijab dalam dunia fesyen. Di samping itu, telah terjadi perubahan dinamika pemakai hijab yang cukup signifikan dalam masyarakat sejak hadirnya Hijabers Community, sekelompok wanita Muslimah yang mendedikasikan diri untuk berhijab mengikuti perkembangan fesyen, di mana terjadi berkurangnya jarak antara desainer dan industri dengan konsumennya dan membuat busana Muslim yang trendy menjadi semakin lumrah di kalangan masyarakat Indonesia (Beta, 2014). Penelitian ini berupaya untuk menghadirkan pemaknaan yang lebih obyektif dengan cara menjaring pendapat pemakai hijab, baik itu dari pegiat fesyen maupun dari masyarakat umum, tentang bagaimana mereka memaknai hijab. Dari situ dapat ditarik kesimpulan sebuah gambaran pemaknaan hijab oleh pemakai hijab itu sendiri sehingga dapat ditarik sebuah penjabaran yang lebih obyektif mengenai pemaknaan hijab oleh wanita Muslim Indonesia.



2. Kerangka Konseptual dan Metode Penelitian Semiotik adalah seperangkat teori yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis pemaknaan yang terjadi pada manusia terhadap sekitarnya, dengan demikian pendekatan semiotik ini menjadi sangat relevan dalam mengkaji kebudayaan manusia (Hoed, 2014). Menurut Hoed (2014), dalam semiotik pragmatis terdapat penekanan pada proses pemaknaan tanda, atau bagaimana tanda tersebut dikelola dalam kognisi seseorang, berbeda dengan relasi sintagmatik seperti yang ada pada semiotik struktural. Pokok pemikiran pada semiotik pragmatis berakar pada ide Peirce (1931--1958, dalam Hoed, 2014) tentang tanda adalah “... sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain”, dan terdapat 62



proses trikotomis dalam memaknai tanda, yaitu penyerapan melalui pancaindera (representamen), pengaitan representamen dengan yang berkaitan dengannya (objek), kemudian penafsiran objek sesuai dengan keinginan (intrepretan). Dalam objek, pengaitan representamen amat bergantung pada konten yang ada dalam pikiran masing-masing orang, termasuk di dalamnya mengenai identitas dan pengalaman pribadinya. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Peirce (1868) bahwa konsepsi tentang apa yang ada saat ini hanyalah sekedar kesadaran tentang apa yang masuk dalam perhatian seseorang, di mana presisi dan abstraksi dari sebuah proses konsepsi datang dari perhatian pada satu elemen dan pengabaian elemen lainnya. Dalam trikotomi kedua mengenai objek, Peirce (1931--1958, dalam Hoed, 2014) membagi tiga kategori tanda. Yang pertama adalah index, sebuah tanda yang bersifat sebab akibat, misalnya ketika seseorang merogoh benda di saku celananya dan menemukan benda padat bergerigi, ia akan langsung mengetahuinya bahwa itu adalah kunci. Yang kedua adalah icon, dengan representamen yang ada serupa dengan objek yang dikaitkannya seperti foto atau lukisan seseorang adalah icon dari orang tersebut. Yang ketiga adalah symbol, dengan representamen berasal dari konvensi sosial dan pemaknaannya sangat terkait dengan kesepakatan dan konsensus sosial yang ada. Khusus untuk symbol, Peirce (1955) menyebutnya sebagai tanda yang terkait dengan asosiasinya terhadap ide-ide umum. Symbol menuntut adanya contoh-contoh yang dapat dibayangkan, kemudian symbol ini secara tidak langsung akandipengaruhi oleh contohcontoh ini. Namun contoh-contoh tersebut tidaklah mengubah karakter sebuah simbol secara signifikan. Dalam teori Peirce tentang semiotik pragmatis ini, hijab adalah sebuah symbol yang pemaknaannya sangat subyektif karena melibatkan bagaimana seseorang mengaitkannya dengan berbagai objek untuk kemudian menyimpulkan maknanya dalam proses interpretan. Terlebih lagi ketika representan yang dihadirkan bukan sekedar hijab, namun hijab sebagai fesyen, maka symbol hijab akan makin luas hubungan dengan hal lain yang terkait dengannya karena tidak hanya terbatas pada agama namun juga tren, norma sosial, estetika, dan hal-hal lain terkait dengan fesyen. Barthes (2013) dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan pada tahun 1966 dengan judul “Fashion and The Social Sciences” menyatakan bahwa dalam sebuah masyarakat, fesyen tidak hanya sekedar bentuk pakaian, namun tentang tentang ritme dan waktu. Barthes memberikan contoh bagaimana pada suatu waktu tren rok wanita adalah rok panjang. Beberapa puluh tahun kemudian, tren rok pendek, kemudian beberapa puluh tahun lagi rok 63



panjang kembali menjadi tren. Tren tidak hanya dipengaruhi oleh waktu, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh peristiwa sejarah yang signifikan seiring dengan berevolusinya ideologi, sentimen, dan perubahan nuansa keagamaan dalam suatu masyarakat. Sejalan dengan pendapat Barthes (2013) tersebut, perkembangan hijab dalam dunia fesyen pun menggambarkan ritme dan waktu masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, penggambaran dinamika hijab di suatu masa akan berubah pada masa yang lain. Penelitian yang didasarkan pada ide Barthes tersebut bertujuan memetakan kembali pemaknaan hijab setelah sebelumnya berkali-kali dibahas pada era awal kemunculan (Taufiqurrachman, 2014) dan awal perkembangan (Jones, 2010a, 21010b; Rahayu, 2014) dengan adanya indikasi pemaknaan baru di era yang baru ini, era di mana hijab telah masuk dalam dunia fesyen umum. Penelitian ini juga mengambil prinsip Peirce (1955). Saat ini, hijab dalam dunia fesyen memiliki pemaknaan berbeda bagi setiap orang. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pemakai hijab memaknai hijab dalam dunia fesyen. Pemaknaan ini ditelaah melalui tiga domain “beban semiotik” yang disampaikan oleh Jones (2010b), yakni kelas, gender dan religi. Untuk itu, dilakukan sebuah wawancara terstruktur terhadap pemakai hijab untuk menggali gambaran pemaknaan tentang hijab dalam dunia fesyen. Metode kualitatif dengan wawancara dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa paradigma metodologis dalam semiotik adalah paradigma kualitatif dengan wawancara melalui subyek-subyek terpilih untuk memberikan pemahaman sebagai salah satu cara pengambilan datanya (Hoed, 2014). Dalam menyusun pertanyaan wawancara untuk menggali pemaknaan melalui tiga domain, peneliti menggunakan teks stimulus, “... sebuah deskripsi, narasi, fragmen cerita, serangkaian atau kumpulan gambar yang merupakan perpanjangan dari sekedar pertanyaan, kalimat, atau proposisi” (Törrönen, 2002, hlm. 344). Dengan kata lain, wawancara menggunakan serangkaian pertanyaan yang sekaligus ditujukan sebagai stimulus dalam menggali informasi tertentu. Törrönen (2002) menjelaskan bahwa dalam teks stimulus, peneliti memilih produk budaya yang menantang dengan didukung oleh beberapa pertanyaan, narasumber diharapkan untuk menanggapi makna yang terkandung di dalamnya, tata cara yang biasa dilakukan, dan praktek-praktek di dalam fenomena yang diujikan. Oleh karena itu,



pertanyaan dalam



penelitian ini menjaga kerangka jawaban informan untuk tetap meletakkan hijab tetap di dalam konteks fesyen, lebih spesifiknya lagi fesyen hijab dalam tiga domain yang telah disebutkan sebelumnya.



64



Contoh pertanyaan untuk domain kelas misalnya, “Menurut Anda bagaimanakah model hijab yang elegan dan yang kampungan?”. Contoh pertanyaan untuk domain gender adalah, “Menurut Anda bagaimanakah hijab mendefinisikan perempuan?”. Contoh pertanyaan untuk domain



religi



adalah,



“Bagaimanakah



pemakai



hijab



yang



proporsional



dalam



merepresentasikan Islam?”. Seluruh percakapan dalam wawancara direkam untuk kemudian ditranskripsi. Setelah



data



didokumentasi



dan



dikodefikasi,



proses



selanjutnya



adalah



penyederhanaan bentuk tuturan/kalimat sehingga bagian dari tuturan/kalimat yang dirasa tidak penting dapat dihilangkan. Proses penyederhanaan ini menggunakan teori makrostruktur oleh Van Dijk (1980, dalam Renkema, 2004, hlm. 94--96), yaitu; a) menyunting dan/atau menandai unit tuturan yang dianggap dapat dihilangkan tanpa mengubah makna kontekstualnya (deletion), b) merekonstruksi tuturan yang telah disunting tanpa mengubah makna kontekstualnya (re-construction), dan c) melakukan generalisasi terhadap data yang dianggap membicarakan hal yang sama tanpa mengubah makna kontekstualnya (generalization). Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan dua kategori, yaitu pegiat fesyen, pemakai hijab yang aktif terlibat dalam industri fesyen, dan masyarakat umum, pemakai hijab yang tidak terlibat aktif dalam industri fesyen. Informan-informan tersebut; dari pegiat fesyen antara lain Hannie Hananto (desainer), Aulia Hakim (model hijab, penemu Moeslema.com), Vina A. Muliana (model hijab, None Jakarta 2014), Pandan Sari P. N. (model hijab, runnerup I Hijab Hunt 2014); dari masyarakat umum antara lain Farah Rizkiana N. (akademisi/dosen), Jayaning Hartami (book advisor Mizan), Dzatul Lu’lu’ (magister Linguistik FIB UI), Suhartatik (ibu rumah tangga, warga Pondok Pesantren Salafi), Iniartini (pengurus yayasan sekolah dasar).



3. Hasil Wawancara Berikut ini adalah skema pemaknaan hijab dalam dunia fesyen dari kelompok pegiat fesyen dan masyarakat umum melalui tiga domain pemaknaan dan dengan tema utama pada tiap domain. Informasi yang dimasukkan dalam skema ini adalah informasi yang relevan dengan tema utama tersebut.



65



Gambar 1. Skema Pemaknaan Fesyen Hijab pada Pegiat Fesyen



Gambar 2. Skema Pemaknaan Fesyen Hijab pada Pegiat Fesyen



66



Dari hasil wawancara ditemukan bahwa ada satu pertanyaan yang memiliki jawaban serupa dari hampir seluruh informan. Pertanyaan itu adalah pertanyaan tentang apa makna hijab bagi mereka. Tujuh dari sembilan informan mengatakan bahwa makna utama hijab bagi mereka adalah sebuah identitas dan mereka secara terang-terangan mengaitkan identitas tersebut kepada identitas agama sebagai seorang Muslim, identitas seorang wanita, atau identitas sebagai seorang wanita Muslim. Namun, para informan tidak menyebutkan secara terang-terangan mengenai identitas kelas yang tersampaikan secara tersirat. Salah satu informan dari pegiat fesyen menyebutkan pengalaman tentang wanita berhijab yang dipandang dengan penuh curiga di sebuah restoran mewah ketika hijab belum begitu popular, sedangkan saat ini sudah banyak wanita berhijab yang keluar masuk restoran seperti itu. Di samping itu, informan tersebut juga menjelaskan dalam ajang internasional, fesyen hijab Indonesia mengangkat citra wanita Indonesia dari anggapan stereotip TKW menjadi wanita yang terhormat atau punya harga diri. Salah seorang informan dari masyarakat umum juga menyatakan bahwa adanya gaya berhijab tertentu membuat seseorang tampak seperti “anak pesantren” atau “ibu-ibu pasar” dan ada yang membuat tampak seperti “wanita karier” atau “wanita modern”. Informan lain juga menyebutkan betapa jelasnya tren pakaian mahal untuk barang yang dilabeli syar’i sekalipun. Hal ini selaras dengan pendapat Jones (2010b) yang mengutip ide Marx tentang bagaimana sebuah barang bernilai lebih dari sekedar biaya produksi karena adanya makna sosial yang tersematkan di dalamnya. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi adanya indikasi bahwa hijab memang menjadi sebuah komoditas yang sangat erat dengan gender dan religi, serta secara tersirat mengindikasikan adanya perbedaan kelas dari jenis hijab yang dikenakan. Adanya perbedaan kelas yang dinyatakan secara tersirat oleh informan ini juga ditanggapi dari dua sisi oleh beberapa dari mereka yang akhirnya mengatakan dengan terus terang bahwa fesyen hijab menunjukkan dari kalangan mana seorang pengena hijab itu berasal. Mereka mengatakan senang dengan adanya perbedaan kelas ini karena hijab mulai dianggap “tidak murahan”. Mereka juga sekaligus terganggu dengan hijab mahal yang menjadi barang dagangan kelas atas, baik itu fisiknya atau citranya. Ambivalensi sikap terhadap fesyen hijab ini serupa dengan yang dirasakan pada awal kemunculannya dulu. Menilik pada muncul dan berkembangnya Hijabers Community (Beta, 2014), kenaikan kelas hijab melalui fesyen adalah suatu hal yang amat disambut di kalangan masyarakat urban. Bagi mereka, kenaikan kelas melalui keluwesan nilai keislaman yang dapat berbaur dengan nilai-nilai lainnya adalah sebuah pintu yang membuka jalan bagi pengena hijab untuk



67



lebih diterima di kalangan yang lebih tinggi setelah sebelumnya mengalami diskriminasi dan dianggap remeh. Informan,



baik



dari



kalangan



pegiat



fesyen



maupun



masyarakat



umum,



mengkonfirmasi hal ini. Dua pegiat fesyen menyatakan kebahagiaan dan kebanggaannya akan kebangkitan pengena hijab yang dapat menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang kompeten, tiga masyarakat umum pun menyatakan kebanggaannya kepada beberapa figur publik yang berhijab dan menginspirasi banyak wanita melalui akun-akun media sosialnya. Walaupun demikian, kelompok pegiat fesyen, baik itu desainer maupun model berhijab, mengaku masih sering mendapatkan diskriminasi dalam dunia fesyen umum. Bagaimanapun juga masih ada perbedaan pandangan dalam domain gender mengenai bagaimana seharusnya wanita berhijab berperilaku dalam kehidupan sosial sehari-hari. Namun, tidak ada pola tersendiri pada pegiat fesyen dan masyarakat umum. Pada tiap kelompok tersebut terdapat informan yang cenderung lebih leluasa dalam menentukan batas perilaku berdasarkan gender dan ada pula informan yang cenderung lebih ketat batasannya. Para informan yang cenderung membebaskan wanita berhijab untuk berekspresi dalam karir, pergaulan, dan kegiatan lainnya menyebutkan nilai-nilai seperti kebebasan berpikir, modernitas, dan pembangunan komunitas. Bahkan tiga masyarakat umum menolak adanya penyematan makna terkait gender terhadap pengena hijab karena mereka menganggap hijab tidak ada kaitannya dengan kualitas kewanitaan seseorang. Sementara itu, para informan yang cenderung lebih ketat batasan moral berdasarkan gender, seperti wanita berhijab tidak boleh bersenda gurau dengan lawan jenis, menjaga diri di rumah, dan hanya memakai hijab model tertentu, selalu menggunakan landasan keagamaan dalam argument mereka. Biasanya, di dalam kalimat penjelasannya terdapat frase-frase seperti “Dalam Islam kan...”, “Sesuai aturan agama...”, “Yang benar menurut Islam...”. Bagaimanapun juga, seluruh informan cenderung sepakat perihal menjaga pergaulan terhadap lawan jenis dengan alasan nilai-nilai keagamaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jones (2010b) yang mengatakan bahwa ada “feminine piety” atau ketaatan feminin yang diusung dalam pengenaan hijab. Hanya saja Jones tidak menangkap sisi di mana pengena hijab menolak untuk merujuk pada nilai-nilai konservatif dan bahkan menolak peyematan makna gender dalam hijab. Pada domain religi, tema yang berdiri independen secara eksklusif untuk religi adalah perihal spiritualitas. Mayoritas informan menyebutkan hijab sebagai pelindung, baik dari ancaman fisik maupun ancaman moral. Mereka menyebutkan adanya ketenangan batin sekaligus antusiasme dalam menaati aturan beragama. Untuk tema-tema lain dalam domain ini berkaitan dengan domain gender yang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan 68



domain kelas yang menyangkut citra agama Islam sebagai agama yang umatnya terhormat dan terpandang, serta wanita Muslim yang mampu bersaing dan kompeten di bidangnya. Hasil wawancara pada domain religi ini tidak sejalan dengan pendapat Jones (2010a) yang cenderung beranggapan bahwa makna religiusitas harusnya terlepas dari kapitalisasi yang tercermin dari industri fesyen. Nyatanya, makna nilai religiusitas ini tidak mudah untuk direduksi dalam satu domain saja melainkan terkait erat dengan berbagai aspek sosial dalam domain kelas dan gender. Dalam sudut pandang psikologi tentang agama, Donahue dan Nielsen (2005) pernah menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang sejatinya merupakan budaya sosial karena landasan rujukan agamanya pun berasal dari kehidupan sosial Nabi Muhammad yang tercantum dalam Hadis.



4. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana kompleksnya pemaknaan hijab pada era masuknya hijab dalam dunia fesyen umum dengan adanya keterkaitan antara satu domain pemaknaan dengan domain lainnya. Perbedaan pemaknaan pun tidak semerta-merta dapat dibedakan berdasarkan keterlibatan pemakai hijab dalam dunia fesyen. Pembahasan tentang hijab dan pemaknaannya di Indonesia akan tetap berlangsung seiring perkembangan zaman, dan sebagaimana Jones (2010b) menyatakan bahwa sudut pandang pembahasan hijab di Indonesia sangat terkait dengan relasi kuasa yang membahasnya. Daftar Acuan Armenia, R. (2015, September 26). Dian Pelangi masuk jajaran 500 tokoh bisnis fesyen sedunia.



CNN



Indonesia.



Diambil



dari



http://www.cnnindonesia.com/gaya-



hidup/20150926143443-277-81068/dian-pelangi-masuk-jajaran-500-tokoh-bisnisfesyen-sedunia/ Azra, A. (2006). Indonesia, Islam, and democracy. Singapore: Equinox Publishing. Barthes, R. (2013). The language of fashion (A.Stafford, Trans.). Sydney: Bloomsburry. Beta, A. R. (2014). Hijabers: How young urban Muslim women redefine themselves in Indonesia. The international communication gazette,76 (4–5), 377–389. doi: 10.1177/1748048514524103 Desainer baju Muslim Indonesia pamerkan rancangan di London. (2016, Februari 19). BBC Indonesia. Diambil dari http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2016/02/160219_



69



Donahue, M. J., & Nielsen, M. E. (2005). Religion, attitudes, and social behavior. Dalam R. F. Paloutzian & C. L. Park (Eds.), Handbook of the psychology of religion and spirituality (hlm. 274--294). New York, NY: the Guilford Press. Fealy, G. (2008). Consuming Islam: commodified religion and aspirational pietism in contemporary Indonesia. In Greg Fealy and Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (hlm.. 15--39), Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Gökariksel, B., & McLarney, E. (2010). Muslim women, consumer capitalism, and the Islamic culture industry. Journal of Middle East Women’s Studies, 6(3), 1--18. Hoed, B.H. (2014). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu. Jones, C. (2010a). Images of desire: creating virtue and value in Indonesian Islamic lifestyle magazine. Journal of Middle East Women’s Studies, 6 (3), 91--177. Jones, C. (2010b). Materializing piety: gendered anxieties about faithful consumption in contemporary urban Indonesia. American Ethnologist, 37(4), 617--627. doi: 10.111/j.1548-1425.2010.01275.x Lukens-Bull, R. (2008). Commodification of religion and the ‘religificatation’ of commodities: Youth culture and religious identity. Dalam P. Kitiarsa (Ed.), Religious commodifications in Asia: Marketing gods (pp. 220-234). New York: Routledge. Peirce, C. S. (1868). On a new list of categories. Proceedings of the American Academy of Arts and Sciences,7, 287--298. Peirce, C. S. (1955). Philosophical writings of Peirce (J. Buchler, Ed.). New York: Dover Publications. Pelangi, D. (2012). Hijab street syle. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Prasetyo, E. (2007). Astaghfirullah, Islam jangan dijual!. Yogyakarta: Resist Book. Pringle, R. (2010). Understanding Islam in Indonesia. Singapore: Editions Didier Millet. Rahayu, L.M. (2014). Jilbab: budaya pop dan indentitas Muslim Indonesia. Dalam B.Kushartani, M. S. Pattinasarany, Y. P. Anabel, N. S. Wrihatni, R. N. Pramanik (Eds.), Peran semiotik dan pragmatik dalam memaknai kebudayaan lokal dan global, 439-458. Depok, Indonesia: Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Renkema, J. (2004). Introduction to discourse studies. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Siauw, F. (2013). Yuk, berhijab!. Bandung: Mizania.



70



Taufiqurrachman, F. (2014). Pergeseran makna penggunaan istilah kerudung, jilbab, dan hijab dalam realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam B.Kushartani, M. S. Pattinasarany, Y. P. Anabel, N. S. Wrihatni, R. N. Pramanik (Eds.), Peran semiotik dan pragmatik dalam memaknai kebudayaan lokal dan global, 268-275. Depok, Indonesia: Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Törrönen, J. (2002). Semiotic theory on qualitative interviewing using stimulus texts. Qualitative Research, 2, 343-362. doi: 10.1177/146879410200200304 Waldan, N. K. (2012, Agustus 20). Model berhijab yang makin dicari. Tabloid Nova. Diambil



dari



http://tabloidnova.com/News/Peristiwa/Model-Berhijab-Yang-Makin-



Dicari



71



MELAWAN KORUPSI LEWAT GAMBAR : VISUALISASI KARTUN EDITORIAL PERS AWAL ORDE BARU 1968-1974 Aditia Muara Padiatra (Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, [email protected]) Abstrak



Penelitian ini membahas visualisasi kasus korupsi dalam wadah kartun editorial, yang mengambil studi kasus harian-harian pada masa awal Orde Baru dengan rentang waktu pada tahun 1968 sampai dengan tahun 1974. Dalam perjalanan sejarah pers pada masa awal Orde Baru, kartun editorial mempunyai peranan penting sebagai media kontrol, khususnya terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa awal Orde Baru. Melalui penelitian ini, dapat terlihat bagaimana perkembangan kartun editorial dalam melakukan visualisasi terhadap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru sampai dengan Peristiwa Malari 1974 yang menjadi batas akhir dari sikap kritis pers pada masa awal Orde Baru. Melalui simbiosis yang ada, yakni persepsi mengenai korupsi dalam kartun editorial yang dimuat, sikap pemerintah pada saat itu, dan peristiwa Malari, kesemuanya merupakan satuan benang merah yang pada akhirnya menjadi pembentuk interpretasi dari suatu peristiwa yang ada di dalam sejarah tanah air. Kata kunci: Pers, korupsi, kartun editorial 1.



Pendahuluan Pada kehidupan sehari hari, kita tentu pernah membaca Koran, menonton Reportase,



atau sekedar mengunduh berita di Internet untuk melihat informasi yang ada. Kegiatan tersebut, tanpa sadar sebenarnya telah membawa kita untuk bersentuhan dengan dunia yang dinamakan Pers. Dalam pandangan TC Bray (1965,hlm.50) pers merupakan komponen penting dalam berjalannya sebuah negara. Hal ini dikarenakan pers mempunyai peranan yang vital sebagai alat penyebarluasan berita dan juga sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Melalui pers, pendapat dan kritik dari masyarakat dapat diungkapkan. Hal ini bertujuan agar pihak yang dituju dapat mengerti dan mengetahui apa yang diinginkan oleh salah satu pihak. Melalui media pers pula, kita dapat melihat bagaimana kondisi dan masyarakat yang ada pada saat itu. Sebagai media cetak yang produk utamanya adalah berita, maka dalam keberadaannya di dunia pers tentunya sangat dipengaruhi oleh tampilan berita yang disajikannya. Namun, pers tidak mutlak hanya ditentukan oleh tampilan beritanya, terdapat faktor-faktor lain yang cukup menentukan, seperti pada kolom tajuk rencana maupun kartun editorial yang menyertainya. Dalam dunia pers sendiri, kartun editorial juga merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempengaruhi pendapat khalayak umum, selain kolom tajuk rencana dan 72



artikel berita. Polah tingkah, sikap individu dan bahkan perilaku kelompok dapat digambarkan melalui menggunakan kartun editorial tersebut. Melalui kartun, para pembaca seakan diajak ke dalam suasana yang lebih santai, meskipun pesan-pesan didalam kartun tersebut sama seriusnya dengan artikel berita disurat kabar. Akan tetapi, kartun dalam hal ini lebih mudah dicerna dan dipahami. Menurut Haris Sumadiria (2006,hlm.79) hal ini dikarenakan gambar kartun merupakan pesan hidup yang didalamnya terkandung banyak deskripsi-deskripsi verbal yang lainnya. Bennedict Anderson (2006,hlm.163) sendiri menggambarkan kartun sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan kesadaran kolektif secara jelas tanpa harus melalui jalur birokrasi maupun institusi politik. Hal ini merupakan fungsi kartun sebagai sarana penyampaian informasi alternatif selain kolom tajuk rencana dan artikel berita. Sebagai editorial yang bersifat visual, peranan kartun editorial tentunya tidak terlepas dengan kondisi sosial-politik-ekonomi pada masa pers itu berada, diantaranya informasi yang berkaitan dengan korupsi. Dalam tataran sejarah, munculnya masa awal Orde Baru menggantikan era Demokrasi Terpimpin atau masa Orde Lama membuat pers terkondisi dalam suasana euforia dengan mengangkat slogan ”kebebasan pers”. Hal ini yang kemudian menurut Akhmad Zaini Abar (1995,hlm.77-88) menjadikan pers pada awal Orde Baru memiliki model pers yang populis dan kritis. Model tersebut dimungkinkan dengan situasi pada awal Orde Baru yang pada waktu itu mendukung keleluasaan pemberitaan dan kebebasan pers. Hal ini merupakan akibat dari tumbangnya rezim kekuasaan Soekarno yang pada saat itu sangat ketat mengontrol pemberitaan yang dilakukan oleh pers, oleh karena itu pada masa awal Orde Baru, pers seakan mengalami kegembiraan besar terhadap suasana baru yang ada pada saat itu, setelah sebelumnya begitu terhambat oleh berbagai aksi represif, termasuk pembredelan yang dilakukan oleh penguasa pada era Demokrasi Terpimpin. Hal ini kemudian yang menjadikan Indonesia di bawah rezim Orde Baru pernah mengenal satu periode dimana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan



kekuasaan



yang



berafiliasi



didalamnya.



Pers



berani



mengkritik



penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan kekuasaan, mengecam ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan akibat pembangunan, mengkritik strategi pembangunan yang kapitalistik, serta membongkar korupsi yang merajalela ditubuh negara, dan lain-lain. Hal yang menarik untuk dikaji dan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana kemudian beberapa harian yang ada pada masa awal Orde Baru saat itu, yakni Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Nusantara, melalui visualisasi kartun editorial yang mereka muat dan terbitkan pada kurun masa awal Orde Baru sampai dengan pembredelan massal pers 73



yang dilakukan oleh pemerintah atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Malari memberikan gambarannya mengenai korupsi dan penyelewengan yang terjadi pada masa tersebut. Peristiwa Malari merupakan titik kulminasi yang terjadi akibat demonstrasi yang dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa terkait dengan penanaman modal asing, terutama oleh Jepang yang dianggap tidak merata, serta maraknya korupsi yang terjadi didalam pemerintahan pada masa awal Orde Baru. Peristiwa ini, dalam pandangan Francois Raillon (1988,hlm.50) pada akhirnya banyak menelan korban dari pers, yang kala itu menyoroti peristiwa tersebut dalam fungsinya sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Makalah ini memaparkan visualisasi kartun editorial yang harian-harian tersebut muat dalam kurun waktu 1968 sampai dengan 1974 dengan menggunakan kaidah sejarah yang dibantu dengan teori semiotika komunikasi Alex Sobur sebagai landasan penjelasan.



2.



Pengertian Kartun Editorial



Mengutip ucapan Mahamood (1999,hlm.1-2), kartun editorial sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai tajuk rencana dalam bentuk visual. Berbeda dengan informasi pada halaman-halaman lain yang berpotensi objektif, kartun editorial pada hakikatnya subjektif dan berkaitan erat dengan karakter daripada surat kabar yang bersangkutan, dalam kata lain kartun editorial dalam hal ini bisa dikatakan sebagai mentifact atau fakta mental (Sartono Kartodirdjo,1992,hlm.177-179) dari suatu penelaahan terhadap suatu surat kabar yang dikaji. Kartun jenis ini muncul secara periodik dan menempati halaman awal pada tata-letak surat kabar yang memuatnya bersama dengan tajuk rencana, pojok, esai, dan surat pembaca dan biasanya berisi sindiran terhadap suatu fenomena tertentu, seperti korupsi ataupun isu yang sedang hangat dan ramai dibicarakan kala itu. Alex Sobur sendiri (2009,hlm.140) mengatakan bahwa di Indonesia, pers terutama suratkabar menampilkan kartun editorial sebagai sebuah ungkapan kritis terhadap berbagai masalah yang berkembang secara tersamar dan tersembunyi. Melalui kartun tersebut, pembaca diajak untuk berpikir, merenungkan dan memahami pesan-pesan yang tersurat dan tersirat dalam gambar tersebut. Acapkali gambar tersebut terkesan lucu karena mengandung unsur humor sehingga mengundang gelak tawa pembaca. Lebih lanjut, dirinya berujar bahwa kartun editorial mempunyai kemampuan dalam mengemas suatu permasalahan sesaat namun secara ringkas, namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca tersenyum sendirian. Hal ini sejalan dengan pendapat GM Sudarta (2000,hlm.xiii) yang menilai bahwa suatu peristiwa yang terekam dalam sebuah kartun editorial saat menyikapi keadaan sosial politik di suatu negara dan juga dunia dalam suatu kurun waktu tertentu dapat 74



pula menjadi sebuah cermin sejarah. Hal ini dikarenakan kartun editorial yang dimuat tersebut tidak terlepas dari muatan opini dan kritik terhadap jiwa zaman yang berkembang kala itu.



3.



Pers Awal Orba dan Korupsi : Melawan Lewat Gambar



Menurut situasi politik yang berkembang pada saat itu, pergeseran demi pergeseran kebijakan yang terjadi pada masa awal Orde Baru cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan pers yang ada di Indonesia. Hal ini dapat ditelaah karena pada awal-awal kebangkitan Orde Baru, penguasa memandang dan memperlakukan pers yang mempunyai afiliasi non/anti komunis sebagai partner of power-nya dalam menghancurkan PKI dan simpatisansimpatisannya serta untuk meruntuhkan kekuasaan Soekarno. Pers, dalam hal ini, membantu pemerintahan Orde Baru melalui publikasi-publikasi yang berkaitan dengan keburukankeburukan serta kekejaman yang terjadi pada masa Orde Lama. Tindakan-tindakan tersebut, sebagai upaya membantu pemerintah Orde Baru sangat berguna dalam meruntuhkan kekuasaan



Demokrasi



Terpimpin



di



bawah



kepemimpinan



Soekarno



(dalam



Agassi,1969,Hlm.259). Abar sendiri (1995,hlm.60-67) menganalogikan pers pada periode transisi ini sebagai “peluru” yang dianggap ideal dalam meruntuhkan legitimasi serta citra daripada kekuasaan Soekarno dan menaikkan pamor daripada pihak militer angkatan darat, khususnya figur Soeharto. Representasi ini kemudian diwakilkan oleh harian Kompas melalui sebuah kartun editorial pada saat itu yang dapat menggambarkan bagaimana euforia dari berdirinya sebuah Orde Baru yang dianggapnya dapat membawa arah baru bagi Indonesia menuju kesejahteraan dan kemakmuran, setelah begitu terpuruk sebelumnya pada rezim Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno.



Gambar 2.1 : Kartun editorial harian Kompas, 1 Oktober 1967



Pada tahun-tahun pertama, kebangkitan Orde Baru tersebut, pers memberikan sambutan yang positif bagi gerakan-gerakan politik yang diusung oleh oleh Militer, khususnya Angkatan Darat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila saat itu 75



pemerintah sangat toleran terhadap pers yang turut aktif dalam membangun citra rezim Orde Baru yang positif di mata masyarakat. Hal ini sendiri sesuai dengan analogi David Hill (2011,hlm.34) yang mengatakan bahwa pers pada saat itu menjadi unsur penting dalam memelihara dan membantu tumbuhnya legitimasi kekuasaan Orde Baru. Walaupun begitu, masa “bulan madu” ini kemudian tidak berlangsung lama. Setelah Orde Lama serta PKI runtuh, sikap dan perlakuan Orde Baru terhadap pers pun mulai berangsur-angsur berubah. Harold Crouch (1986,hlm.328-329) dalam analisisnya menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh dua faktor yang saling mendukung, pertama, kekuasaan Orde Baru semakin bertambah kuat dan besar setelah Orde Lama runtuh. Tidak ada lagi halangan yang dapat menghambat kekuasaannya dalam menjalankan negara kecuali didalam tubuhnya sendiri. Kedua, mulai ada suara-suara kritik yang disampaikan oleh pers Indonesia terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama setelah ditemukannya fenomena-fenomena korupsi yang mulai tumbuh dan kemudian merajalela didalam tubuh birokrasi negara Orde Baru. Kompas sendiri secara jeli menggambarkan hal ini dengan kemudian menurunkan kartun editorial pada hari kesaktian pancasila 1 Oktober 1968 dengan mengingatkan kepada para pembaca hariannya bahwa selain memperingati hari kejatuhan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), akan tetapi mereka tetap juga harus senantiasa waspada terhadap bahaya laten lainnya, yaitu korupsi yang masih ada dan mulai menggejala pada masa awal Orde Baru.



Gambar 2.2 : Kartun editorial harian Kompas, 1 Oktober 1968



Pada tahun 1970, memburuknya hubungan itu menjadi nyata. Hal ini disebabkan oleh maraknya kembali aksi-aksi dan protes mahasiswa yang memprotes tingginya tingkat inflasi dan bertambahnya kesulitan hidup. Hal tersebut kemudian bertambah buruk dengan adanya isu yang makin membesar tentang korupsi besar-besaran di tahun 1970 yang mengiringi pertumbuhan ekonomi disamping munculnya tanda-tanda pertama dari adanya boom atau kenaikan harga minyak (dalam Aditia Muara Padiatra,2015,hlm.103-119). Hal ini kemudian yang (menurut pandangan mahasiswa dan sebagian kalangan) menjadikan pembangunan tidaklah dibarengi dengan perbaikan nyata tingkat hidup secara umum kecuali untuk suatu lapisan kecil masyarakat yang mulai menjadi penikmat sehingga 76



tak pelak aksi-aksi protes mahasiswa yang ada menjadi semakin luas dan membesar. Abar menuturkan bahwa pada masa ini pers, baik secara langsung maupun tidak langsung mulai secara kritis menuduh sejumlah perwira yang dekat dengan Presiden Soeharto terlibat kasus korupsi, seperti Ibnu Soetowo, Sudjono Humardani, Soerjo dan Achmad Tirtosudiro. Dalam hal ini Harian Nusantara dibawah T.D Hafas kemudian menjadi wakil dari representasi kritikan pers pada saat itu dengan menurunkan visualisasi kartun editorialnya untuk kemudian merekam bagaimana situasi, terutama pada kasus korupsi pertamina yang sedang berkecamuk pada saat itu:



Gambar 2.3 : Kartun editorial harian Nusantara, 3 Juli 1970



Gerakan-gerakan anti korupsi itu kemudian dihentikan ketika dibulan Februari Komisi Empat yang bertugas untuk mempelajari dan membenahi masalah korupsi secara resmi didirikan (dalam Raillon,1988,hlm.80). Mahasiswa dalam hal ini menghentikan gerakannya guna memberikan kesempatan bagi komisi yang dipimpin oleh Wilopo SH bersama bekas Wakil Presiden Hatta tersebut untuk bekerja. Namun tidak beberapa lama kemudian, Gerakan Anti Korupsi dimulai lagi di bulan Juli karena Komisi Empat dinilai terlalu lambat mengumumkan hasil kerja mereka. Kelompok Mahasiswa Menggugat yang bergabung dengan KAPPI kemudian membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) pimpinan Arief Budiman, Sjahrir



dan



Marsillam



Simandjuntak.



Harian



Sinar



Harapan



sendiri



mencoba



menggambarkan bagaimana kinerja dari Komisi Empat yang seakan kewalahan dalam memberantas korupsi dengan menurunkan kartun editorial sebagai berikut :



77



Gambar 2.4 : Kartun editorial harian Sinar Harapan, 4 Juli 1970



Di bulan September, Parlemen mengadakan diskusi membahas Rencana UndangUndang Anti Korupsi. Hal ini kemudian membuat Gerakan anti korupsi dihentikan untuk sementara, karena mahasiswa merasa bahwa tuntutan mereka telah didengar. Di sisi lain, Kompas sendiri mempunyai cara lain dalam menggambarkan situasi pemberantasan korupsi pada tahun 1970 tersebut dengan menurunkan sebuah kartun editorial yang secara satir mengkritik presiden yang seakan membela para pejabat yang bergelimang harta dari hasil korupsi dengan menyebutkan bahwa yang bersangkutan sudah van huis uit rijk. Kalimat ini sendiri merupakan kalimat dari bahasa Belanda yang mempunyai arti, bahwa keluarga yang bersangkutan sudah dari dahulu kaya raya atau “sudah kaya dari dulu”. Hal ini sendiri juga dikomentari oleh beberapa harian, seperti harian Indonesia Raya yang menilai kata-kata tersebut adalah kata-kata pamungkas yang keluar dari ucapan seorang pejabat ketika ada rekannya atau pejabat yang lain pamer kekayaan dari hasil korupsi kala itu (Lihat halaman tajuk rencana Indonesia Raya, 23 Juli 1970).



Gambar 2.5 : Kartun editorial harian Kompas, 23 Juli 1970



Pemerintah sendiri kala itu cenderung bersikap menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih keras terhadap pers. Hal ini bisa dianalisis pada pidato Presiden Soeharto yang kala itu justru memuji pers kala itu dengan mengatakan bahwa pers sudah lebih dewasa dan bisa mewujudkan kekuatan keempat.1 Menurut Abar (1995,hlm.69-70) sikap pemerintah ini disebabkan oleh beberapa faktor, hal ini antara lain adalah Pertama, penguasa Orde



Baru



merasa



masih



memerlukan



legitimasi



sekaligus



pencitraan



untuk



mengidentifikasikan dirinya sebagai penguasa yang demokratis sesuai dengan amanat yang diembannya, yaitu dasar negara Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kedua, sikap menahan diri ini juga muncul karena militer, lebih khusus lagi Angkatan Darat, merasa belum cukup untuk mengkonsolidasikan kekuatan didalam tubuhnya sendiri, Ketiga, sikap menahan diri ini juga mungkin disebabkan oleh persepsi rezim yang memandang kritik-



1



Kompas, 16 Oktober 1970.



78



kritik pers sebagai sesuatu yang cukup bermanfaat untuk melakukan suatu perbaikan sesuai dengan harapan publik yang ada pada saat itu. Merunut kepada hal tersebut, tindakan terkeras yang kemudian dilakukan oleh pemerintah terhadap kritik-kritik pers pada saat itu adalah dengan melakukan ancamanancaman untuk membredel media yang masih berani meliput berita-berita yang dapat menimbulkan gejolak serta mengganggu stabilitas yang ada. Namun pada tahun-tahun berikutnya, di mana pemilu pada tahun 1971 berhasil diselenggarakan dan format politik Orde Baru berhasil terbentuk, pemerintah pun mulai menunjukkan tindakan nyata dari ancamannya tersebut. Realisasi dari sikap pemerintah yang berubah dan menjadi represif terhadap suarasuara kritis dari pers saat itu. Contohnya adalah peristiwa pemanggilan penanggung jawab harian Nusantara T.D. Hafas ke pengadilan pada tanggal 20 april 1971 dengan tuduhan primer karena pemberitaan surat kabarnya dianggap menghina pemerintah dan presiden Soeharto, serta pelarangan terbit harian KAMI dan Duta Masyarakat pada 3 Juli 1971 (dalam Herald Tidar,1986,hlm.373) karena menyajikan berita-berita mengenai pemilu pada minggu tenang pada akhirnya merupakan indikator dari titik balik dimulainya perubahan situasi pada kehidupan pers pada masa awal Orde Baru, dari yang semula bersifat bebas, berubah menjadi ketat kembali. Akhir 1971 sendiri, merupakan periode di mana protes-protes mahasiswa kembali bermunculan. Protes ini sendiri dimulai ketika Ibu Tien Soeharto mengusulkan mendirikan satu kompleks hiburan dan kebudayaan yang disebut Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Untuk melaksanakan proyek yang mahal ini, Ibu Tien mencari dana dengan meminta kepada beberapa instansi resmi untuk memberikan sumbangan secara sukarela (dana Non Budgetair). Inisiatif dari Ibu Negara ini dianggap tidak tepat karena selain bukan kebutuhan pokok, hal ini juga bertentangan dengan kepentingan negara karena biaya yang mahal dan tidak jelasnya cara memperoleh dana. Pers pun tidak tinggal diam dan kembali menyuarakan kritikannya terhadap kebijakan yang dianggap salah sasaran tersebut. Indonesia Raya dalam hal ini kemudian menjadi wakil dari representasi sikap kritis pers kala itu dengan menurunkan visualisasi kartun editorial yang menganalogikan Ibu Tien secara satir sedang mengambil uang dari celengan yang bertuliskan “potensi swasta untuk pembangunan” untuk ditaruh ke meja yang bertuliskan “miniatur Indonesia”.



79



Gambar 2.6 : Kartun editorial harian Indonesia Raya, 23 Desember 1971.



Hal ini kemudian berlanjut pada tahun 1972, di mana pada saat itu suhu politik menjadi meningkat karena dilarangnya gerakan-gerakan anti “Mini”. Beberapa pemimpinnya seperti Arief Budiman dan H.J Princen, ditangkap. Banyak wartawan mengalami tekanan akibat penutupan koran-koran yang dilakukan oleh pemerintah selama beberapa hari. Persoalan ini kemudian dibawa ke DPR, dan setelah mendengarkan wakil – wakil dari empat buah koran Ibukota (Sinar Harapan, Indonesia Raya, Berita Yudha, Harian KAMI, dan Mahasiswa Indonesia dari Bandung), DPR menyimpulkan di bulan Maret 1972 bahwa proyek Taman Mini itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan dari negara dan juga tak ada sumbangan wajib. Akan tetapi, aksi-aksi tersebut bukan mereda, malahan lebih hebat. Hal ini sendiri diakibatkan oleh berbagai fenomena yang muncul kemudian, seperti semakin besarnya jurang antara yang kaya dan rakyat kecil. Di sisi lain, munculnya kasus korupsi besar kala itu, yaitu kasus korupsi Badan Urusan Logistik (Bulog) dan mencuatnya hubungan antara beberapa pejabat dan cukong yang ada kala itu makin membuat suasana yang ada antara pers dan pemerintah menjadi kian panas. Representasi ini diwakilkan oleh harian Indonesia Raya kemudian membahas secara keras hal ini melalui visualisasi kartun editorialnya yang menyentil keadaan pada saat itu.



Gambar 2.7 : Kartun editorial harian Indonesia Raya, 17 Oktober 1972.



80



Beranjak ke tahun 1973, hubungan antara pers dan pemerintah semakin memburuk ketika pada awal tahun, tepatnya pada tanggal 2 Januari, Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro mencabut surat izin terbit (SIT) harian Sinar Harapan untuk sementara karena menyiarkan isi RAPBN 1973-1974 sebelum Pemerintah mengumumkannya secara resmi, sehingga dianggap membocorkan rahasia negara (Lihat Halaman Berita Indonesia Raya, 3 Januari 1973). Beberapa hari kemudian, Wakil Kopkamtib, Laksamana Sudomo memberikan peringatan keras kepada tiga harian, yaitu Pos Kota, Kami dan harian Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan berita yang tidak benar mengenai intrik-intrik politik serta kekacauan negara (Lihat Halaman Berita Indonesia Raya, 5 Januari 1973). Harian Kompas sendiri dalam hal ini mencoba untuk menggambarkan situasi yang berkembang pada saat itu dengan mengambil gambaran pada situasi minggu tenang yang coba dijalankan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1973, berikut visualisasi harian Kompas melalui kartun editorial Oom Pasikom yang kemudian tergambarkan sebagai berikut :



Gambar 2.8 : Kartun editorial harian Kompas, 3 Maret 1973



Di bulan-bulan terakhir tahun 1973 tersebut pula, seiring dengan kritik-kritik yang dilancarkan oleh mahasiswa, pers pun semakin menjadi keras dalam melancarkan kritikan terhadap pemerintah. Beberapa visualisasi kartun editorial dari Indonesia Raya juga menguatkan pandangan ini yang antara lain digambarkan sebagai berikut:



Gambar 2.9 : Kartun editorial harian Indonesia Raya, 24 Desember 1973



81



Protes-protes pun semakin menjadi, mahasiswa yang tergabung dalam berbagai Dewan Mahasiswa serta organisasi-organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia (GMII), Angkatan Muda Indonesia (AMI), Komite Anti Korupsi (KAK), Generasi Pembayar Hutang (GPH) dan lain sebagainya makin meluaskan aksinya (Lihat Pedoman, 25 Oktober 1973). Semua gerakan ini pada akhirnya berpuncak pada kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka selama 4 hari yang dimulai pada tanggal 14 Januari. Harian Kompas dan Indonesia Raya dalam hal ini dengan gayanya masing-masing mencoba untuk melukiskan situasi tersebut dengan menurunkan visualisasi kartun editorial mengenai kedatangan Perdana Menteri Tanaka yang kemudian tergambarkan sebagai berikut :



Gambar 3.0 : Kartun editorial harian Indonesia Raya, 11 Januari 1974



Gambar 3.1 : Kartun editorial harian Kompas, 14 Januari 1974



Pada tanggal 15 Januari 1974, demonstran yang terdiri atas mahasiswa dan aktivis nonkampus tersebut berkumpul di Sekretariat Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), Jalan Salemba, Jakarta Pusat, guna melangsungkan aksi besar-besaran. Para massa aksi sendiri kala itu bersepakat acara kemudian dipusatkan ke Universitas Trisakti. Dengan membawa tema sentral dengan tiga tuntutan, yakni bubarkan Aspri, turunkan harga-harga, dan berantas korupsi yang kemudian dikenal Tritura 1974. Mereka mulai berjalan kaki dari Salemba sekitar jam 08.00 menuju Jalan Raden Saleh, lalu ke Cikini, Gambir, dan Merdeka Timur. Setelahnya massa aksi kemudian terus bergerak menuju ke Monumen Nasional, dalam perjalanan jumlah demonstran bertambah, terutama karena ikutnya para pelajar SMA. Sepanjang perjalanan para demonstran menurunkan bendera-bendera penyambutan tamu negara menjadi setengah tiang sebagai tanda duka cita karena datangnya Tanaka. 82



Setelah apel dibubarkan, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Tak diduga setelahnya, unsur-unsur tidak terkontrol di luar massa mahasiswa, di mana ratusan dan ribuan massa, yang di antaranya berisi para preman kemudian mulai membuat kerusuhan dan perbuatan-perbuatan



yang



tidak



terpuji,



seperti



membakari



mobil-mobil



Jepang,



mengempeskan ban sambil mengobrak-abrik toko-toko, gedung-gedung dan lainnya (Raillon,1988,hlm.111-112). Ketua DMUI, Hariman Siregar (wawancara penulis,2015) sendiri yang mengetahui hal itu setelah apel mahasiswa berusaha untuk mengendalikan massa yang begitu tak terkendali kala itu, tetapi tidak berhasil. Berikut petikan wawancaranya yang dikutip antara lain sebagai berikut: Jadi gua sendiri waktu itu bilang ke masyarakat minta kebijakan, boleh nyanyi dulu.. maju tak gentar dulu... ga ada yang bisa nyanyi, nah dalam hati gw nih, wah ini kaco juga sedikit nih gua pikir... Seriussss.. “perjuangan kita tidak untuk untuk pengrusakan”, “pulang dulu nanti kita kumpul lagi….



Abar (1995,hlm.72) berusaha menggambarkan peristiwa yang lebih kita kenal dengan peristiwa “ Malapetaka Lima Belas Januari ” tersebut berlangsung: “Dari segi kelumpuhan yang ditimbulkannya terhadap kehidupan ibukota, orang agaknya bisa membandingkannya dengan lumpuhnya kota Paris akibat huru-hara disana pada bulan Mei 1968. Dan ketegangan yang dirasakan penduduk Jakarta minggu lalu, tak ubahnya ketegangan yang dialami oleh penduduk Peking ketika huru-hara yang pecah di Universitas Peking di masa puncak revolusi kebudayaan disana. Untuk pertama kalinya memiliki barang-barang buatan Jepang, terutama kendaraan bermotor, bagi orang Jakarta minggu lalu merupakan beban pikiran yang menyiksa dan semacam dosa.”



Titik kulminasi dari situasi politik yang panas dan kacau tersebut pada akhirnya adalah serangkaian tindakan represif pemerintah dalam melakukan pelarangan penerbitan terhadap beberapa harian secara massal dan beruntun pada awal tahun 1974. Pada masa tersebut, setidaknya terdapat 12 media cetak yang dibredel, seperti: Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Kami, Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times, Abadi, Suluh Berita, Pemuda Indonesia, Indonesia Pos, mingguan Wenang dan majalah Ekspress. Pemerintah kala itu menuduh pers turut serta dalam mematangkan situasi politik sehingga kemudian meledak menjadi aksi huru-hara yang menelan korban jiwa dan materi. Sehingga dalam hal ini, pemerintah mengambil langkah-langkah tegas terkait dengan hak-hak yang dimiliki oleh pers, terutama dalam hal penerbitan dan pemberitaan-penberitaan dalam skala nasional, yang kemudian direalisasikan dengan tindakan pembredelan besar-besaran. Taufik Abdullah (1997,hlm.xiv) sendiri mengistilahkan hal tersebut sebagai January Massacre yang pada



83



akhirnya membuat eksistensi pers yang otonom dan kritis pada masa itu menjadi memudar atau dipudarkan.



4.



Kesimpulan Dalam sebuah tatanan negara yang berdemokrasi, pers mempunyai posisi yang



penting, yakni sebagai media informasi kepada masyarakat dan sekaligus menjadi anjing penjaga (watchdog) bagi pemerintah terhadap masalah-masalah yang ada di sekeliling mereka. Sejarah mencatat bahwa masa awal Orde Baru di mulai dengan sebuah euforia kebebasan pers yang ditandai dengan banyaknya pemberitaan yang lugas, langsung menuju titik sasaran, dan tanpa basa-basi. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh surat kabar – surat kabar yang terbit pada saat itu untuk dapat menyampaikan pendapat dan kritikannya terhadap ketimpangan dan penyelewengan-penyelewengan seperti perilaku korupsi yang mulai marak terjadi pada masa tersebut. Pendapat dan kritikan tersebut sendiri tidak hanya dilakukan melalui lembaran berita, kolom pojok, ataupun tajuk rencana, namun hal tersebut juga dilakukan melalui kartun editorial yang dimuat di dalam surat kabar yang terbit kala itu. Kartun editorial sendiri yang menjadi bahan analisis dalam studi sejarah kali ini menggambarkan bagaimana suatu fenomena korupsi tersebut tidak hanya dapat dikupas lewat pemberitaan-pemberitaan yang serius dan melalui kata-kata yang sukar untuk dimengerti, sehingga tidak dapat ditangkap maknanya oleh seluruh kalangan masyarakat. Akan tetapi hal tersebut juga dapat dilakukan secara santai melalui gaya humor yang jenaka sehingga lebih mudah dicerna dan dipahami sehubungan dengan sifatnya yang menghibur. Di sisi lain, kasus pembredelan masal di tahun 1974, yang telah membawa Indonesia Raya ke pembredelannya yang kedua sendiri dapat disimpulkan sebagai peristiwa yang terjadi akibat rentetan pemberitaan pada surat kabar dan majalah, yang dianggap telah memperuncing suasana hingga terjadi peristiwa Malari. Fenomena ini sendiri dapat kita lihat dari sikap dan perlakuan pemerintah terhadap pers pada periode antara 1966-1974 yang terus mengalami perubahan-perubahan yang dinamis. Pada tahun-tahun dari awal pembentukan Orde Baru, pemerintah memandang pers sebagai partner of power sekaligus alat untuk mendelegitimasi pengaruh dari rezim demokrasi terpimpin secara keseluruhan. Seiring dengan penyimpangan-penyimpangan dan kasus korupsi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, hubungan itu pun berakhir. Meskipun begitu, sikap pers yang bebas, dan kritis masih tetap diperbolehkan. Hal ini terjadi karena rezim Orde Baru dalam hal ini masih membutuhkan legitimasi dari pers kala itu sebagai sebuah pemerintahan yang etis, sembari menyelesaikan konsolidasi politik yang sedang disusun. Setelah proses konsolidasi tersebut 84



dirasakan cukup, maka sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers pun kemudian berubah secara drastis. Hal ini kemudian berujung kepada peristiwa Malari 1974, yang pada akhirnya menamatkan riwayat dari kebebasan pers yang ada pada saat itu.



Daftar Acuan Abar, Akhmad Zaini. (1995) 1966-1974 : Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta : Lkis. Abdullah, Taufik. (1997) Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya : Politik Dalam Negeri dan masalah Nasional.” Seri I. Jakarta: Yayasan Obor. Agassi, Judith B. (1969) Mass Media in Indonesia, MIT Massachusett : Centre for International Studies. Anderson, Bennedict R.O’G. (2006) Language and power : Exploring Political Culture of Indonesia. Itacha : Cornell University Press. Bray, T.C. (1965) A Newspaper Role in Modern Society. St Lucia : University of Queensland. Crouch, Harold. (1986) Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Hill, David T. (2011) Pers di Masa Orde Baru. Jakarta :. Yayasan Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan LSPP. Mahamood, Mulyadi. (1999) Kartun dan Kartunis, Selangor : Stilglow Sdn. Bhd. Raillon, Francois. (1988) Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia : Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES. Sobur, Alex. (2009) Semiotika Komunikasi, Jakarta : PT Remaja Rosdakarya Bandung. Sudarta, GM. (2000) Reformasi : Sejak Tumbangnya Orde Baru sampai Lahirnya Reformasi dalam Kartun GM Sudarta. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Sumadiria, Haris. (2006) Jurnalistik Indonesia menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Tidar, Herald. (1986) Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi: Perkembangan Permasalahan dan Perspektifnya. Jakarta: Sinar Harapan.



Jurnal Padiatra, Aditia Muara. “Introduction to Malari : Dari Situasi, Aksi, hingga Rusuh pada Awal Orde Baru 1970 – 1974” dalam Jurnal Criksetra Vol 4 Nomor 8 Agustus 2015. Surat Kabar Indonesia Raya Tahun 1971, 1972, 1973, 1974 Kompas Tahun 1967, 1968, 1970, 1973, 1974 85



Nusantara Tahun 1970 Pedoman Tahun 1973 Sinar Harapan Tahun 1970



Wawancara Bapak Hariman Siregar (65 Tahun), Tokoh Malari dan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI). Wawancara dilakukan di rumahnya pada tanggal 7 Mei 2015.



86



SYAIR LAGU MELAYU JAMBI DALAM KAJIAN SEMIOTIKA: TAPAK KILAS KEHIDUPAN RAKYAT Afriliani (Universitas Indonesia; [email protected]) Abstrak Kebudayaan masyarakat Melayu Jambi merupakan warisan dari tradisi-tradisi Melayu yang sangat kental. Tradisi dan kepercayaan ini dapat dilihat dari karya seni seperti syair lagu. Kajian semiotik membantu menemukan bagaimana masyarakat Jambi melihat tanda (kegiatan, alam, dan masyarakat) dalam syair lagu daerah Jambi. Pada analisis ini akan menggunakan teori tripihak Peirce. Konsep tripihak Peirce yaitu berlandaskan hubungan antara representamen-objek-interpretan (Danesi & Peron, 1999, hlm. 73). Tanda atau gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai cara pemaknaan tanda dengan memperhatikan hubungan antara representamen dan objek yang dilandasi bahwa objek tidak selalu sama dengan realitas yang diberikan oleh representamen (Hoed,2014, hlm.9). Syair yang terkandung di lagu-lagu rakyat melayu Jambi biasanya terdiri dari sajak yang berima. Syair lagu yang dianalisis diambil dari beberapa lagu seperti lagu Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo Hitam, Mak Inang, Dagang Manumpang, Negeri Jambi, Damar Bakipeh, dan Angso Duo. Dari lagu-lagu tersebut dianalisis bagaimana tanda mengambarkan ruang, waktu, metafora, aktifitas manusia, gambaran alam, dan kepemimpinan. Kata kunci: Semiotik, Melayu Jambi, Lagu Melayu.



1. Pendahuluan Kebudayaan Melayu adalah salah satu warisan kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Melayu Jambi dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Melayu yang terdapat disekitar daerah Jambi, sebut saja Kesultanan Islam Melayu Jambi, Kesultanan Muda Melayu Dharmasraya, Kerajaan Melayu Deli, dan Kerajaan Sriwijaya. Dengan adanya kerajaankerajaan, maka produktivitas karya seni juga meningkat akibat adanya dorongan dalam mengisi bentuk-bentuk penghargaan kepada raja, upacara adat, dan bentuk pergaulan mudamudi. Produk-produk kebudayaan seperti syair, puisi, pantun, pepatah tua, tari-tarian, dan musik adalah cerminan kehidupan masyarakat melayu Jambi. Dari segi kebudayaan tari, sebagai contoh tari Sekapur Sirih, mengambarkan bagaimana bentuk penyambutan kepada penguasa dalam hal ini pihak kerajaan dan iringannya menjadi sangat sakral. Penyambutan dikemas dalam adat melayu yang kental dilambangkan dengan buah pinang dan kapur yang dibungkus di dalam daun sirih dan 87



diserahkan di dalam cerano (kotak). Munculnya tradisi pemberian si kapur sirih di akhir setiap tarian si kapur sirih yang masih berlaku sekarang menunjukan adat yang dipegang walau jaman telah berganti. Masih banyak lagi simbol-simbol Melayu yang lekat dalam tradisi tari, dan juga simbol-simbol ke-islaman seperti yang terdapat dalam tari Zapin di mana syair pengiringnya merupakan shalawat kepada Allah dan Rasulullah. Budaya ini tertuang secara verbal dalam simbol-simbol tertentu. Tari-tarian diiringi oleh syair dan musik yang mengiringinya. Syair musik ini bukanlah hal yang secara sembarangan tetapi memuat unsur-unsur kearifan lokal (local wisdom). Menurut Everet (2012) Budaya membentuk simbol. Artinya tanda tersebut dibentuk oleh budaya dan bahwasanya bahasa adalah artefak kebudayaan, maka bahasa dapat menelisik jejak-jejak kebudayaan masa lampau. Budaya yang terdapat dalam lirik lagu dan syair melayu Jambi tidak semata-mata berorientasi pada kehidupan kerajaan tetapi banyak mengandung nilai-nilai kehidupan masyarakat, tradisi lokal, dan pandangan terhadap alam. Sehingga ini akan sangat menarik untuk diselidiki dalam melihat kearifan lokal melayu Jambi dari sudut pandang semiotik karena dengan semiotik akan lebih mudah menintrepetasi tanda-tanda yang ada. 2. Bahasa, Budaya, dan Semiotika Dalam menyelidiki hasil budaya dalam hal ini lagu dan kaitannya dengan masyarakat penggunanya serta alam yang menyertainya memunculkan pertanyaan; Bagaimana bahasa dapat memiliki hubungan dengan budaya? Kramsch (1998) dalam pembahasannya “the relationship of language and culture” menarik kaitan yang jelas antara budaya, masyarakat, dan lingkungan. Komunitas pengguna bahasa menyatukan orang dari budaya (culture) dan asal (nature) yang berbeda akan tetapi terbentuk dari anggota yang menggunakan bahasa yang sama dalam memenuhi kebutuhan sosial mereka. Yang membedakan komunitas pengguna bahasa tidak hanya dari pemilihan kata, aturan bahasa, ciri bunyi tetapi juga topik pembicaraan, cara bagaimana informasi disampaikan dan interaksi pengguna bahasa. Komunitas pengguna bahasa tidak lepas dari pengaruh budaya yang memiliki dua lapisan yaitu sosial (synchronic) yang menghasilkan fakta dan sejarah (diachronic) yang menghasilkan artefak. Keduanya disebut sebagai konteks sosiokultural dalam penelitian bahasa. Selain fakta dan artefak, juga terdapat lapis ketiga yang memuat imaginasi yaitu imaginasi biasa, terlaksana, dan tidakterlaksana (Kramsch, 1998). Dari keterangan diatas ditarik kesimpulan bahwa masyarakat dari budaya satu akan berbeda dengan masyarakat dari budaya lain. 88



Budaya dilihat dari semiotik menurut Christommy (2010) dapat dilihat sebagai sistem tanda yang dikaji melalui beberapa tahap yaitu pertama tanda budaya diletakan sebagaimana masyarakat budaya melihat tanda tersebut. Kedua adalah tanda dikaji dengan sitem tanda lain. Ketiga adalah tanda diliat dari unsur pragmatik, interteks, institusionalisasi makna, dan negosiasi makna yang menyertai nya. Simbol-simbol verbal dalam syair lagu melayu Jambi akan dicari maknanya menggunakan pendekatan semiotika trikotomi Peirce. Peirce mendefinisikan tanda sebagai representamen yang secara kontan mewakili objek (Hoed, 2014). Representamen adalah sesuatu yang benar-benar hadir dan konsep adalah yang mengkodekan objek (sesuatu yang berada diluar observasi). Peirce juga memberi istilah interpretan sebagai makna dari tanda yang diterima seseorang. Tanda itu sendiri terdiri dari jalan personal, sosial, dan spesifik konteks (Danesi dan Perron, 1999). Peirce mengungkapkan proses pemaknaan dalam kaidah semiosis yang terdiri dari tiga proses. Yang pertama adalah pencerapan aspek representamen tanda melalui panca indera. Yang kedua adalah mengaitkan secara spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memakai representamen itu (disebut sebagai objek). Yang ketiga adalah menafsirkan objek sesuai keinginan yang juga disebut interpretan (Hoed, 2014). Konsep semiotik Peirce ini disebut juga konsep trikotomi atau ketigapihakan.



3. Ruang Dalam Masyarakat Melayu Jambi Ruang dalam kajian semiotik ada bermacam-macam jenis. Ada ruang tempat berlindung yang disebut dengan shelter, ruang sebagai peta, kode arsitektur, kode spasial, kode ruang publik, ruang privat, dan ruang suci. Ruang dapat ditunjukan dalam bentuk indeksial (mengidentifikasi dimana ruang itu berada), ikonik (representasi dalam bentuk relasi topografi), dan simbolik (sistem konvensional). Masyarakat melayu Jambi mengenal konsep ruang, dan konsep ruang hadir dalam syair lagu melayu Jambi. Seperti pada syair: Dari ujung jabong, sampai durian tangguk rajo (dari Ujung Jabung sampai durian Tangguk Rajo) Dari sialang belantak besi, hinggo bukit tambo nan tulang (dari Sialang Belantak Besi, hingga Bukit Tambo nan Tulang) Itulah negeri Jambi, sepucuk Jambi Sembilan lurah (itulah negeri Jambi, sepucuk Jambi sembilan lurah ) Bersih, aman, dan tertib kotanyo, serto ramah tamah rakyatnyo 89



(bersih, aman, dan tertib kotanya, serta ramah tamah rakyatnya) Lagu: Negeri Jambi Syair ini merupakan representamen ruang yang menggambarkan Jambi. Apabila orang awam yang mendengarkan lagu ini, syair diawal dianggap pemanis (ornamen) lagu. Akan tetepi bila kita liat secara kesejarahanya, syair diawal memiliki makna kearifan lokal yang kuat. Bila digambarkan dalam trikotomi peirce: Konsep 1



Syair 1 dan 2



konsep 2



ornamen lagu



Batas administratif



konsep 3



Batas adat



Representamen pada syair lagu tersebut bersifat indeksial karena bersifat menunjuk, terlihat pada lirik “itulah negeri Jambi”. Kata “itu” adalah bentuk dieksis, dan merupakan tanda indeksial. Petunjuk lain seperti pada Ujung Jabung sampai Durian Tangguk Rajo adalah indeks daerah Tanjung Jabung (sekarang Tanjung Jabung Timur dan Barat, daerah timur) sampai durian Tangguk Rajo (Tanjung Simalidu, daerah utara). Sedangkan dari Sialang Belantak Besi sampai Bukit Tambo nan Tulang dideskripsikan dari daerah Sitinjau Laut (utara) dan daearah Singkut, Sarulangun (sebelah selatan). Bila dideskripsikan secara indeksial, daerah-daerah yang diucapkan didalam syair tadi adalah daerah administratif di Jambi karean melihat pada lirik berikutnya yang menerangkan “Negeri Jambi” dan “Kota Jambi”. Apabila maknanya ditelusuri kembali, daerah-daerah yang disebutkan tadi tidak sepenuhnya daerah yang dimiliki Provinsi Jambi saat ini. Daerah Ujung Jabung adalah daerah pelabuhan sehingga dalam tambo adat mengikuti daratan, perairan, dan kepulauan di sekitarnya termasuk Kepulauan Berhala. Ini juga terdapat dalam lirik lagu Paduko Berhala “jalanlah-jalan keujung jabong, singgahlah dulu di Pangayuan”, Pangayuan merujuk kepada daerah berupa pulau dengan pasir putih dan pantainya yang panjang. Kata “Pangayuan” juga terdapat dalam bahasa tagalog yang berarti “bibir pantai yang panjang”. Kepulauan Berhala pada Februari 2013 secara administratif melalui keputusan Mahkamah Konstitusi saat ini berada di dalam wilayah administratif Kepulauan Riau. Artinya, batasan administratif tidak menjamin sebagai cerminan batasan budaya, seperti terdapat dalam lirik berikut: Pulau Berhalo pasirnyo putih, pantainyo panjang (Pulau Berhala, pasirnya putih, pantainya panjang) 90



Pusako Jambi dak pernah hilang, sejarah lamo elok tegakan, nyawo di badan jadi taruhan (Pusaka Jambi tidak pernah hilang, sejarah lama sebaiknya ditegakan, nyawa di badan menjadi taruhan) Lagu: Datuk Paduko Berhalo Lirik diatas adalah penggambaran daerah Pulau Berhalo sebagai daerah adat Jambi dimana dahulunya ditemukan oleh Datuk Paduko Berhalo atau Akhmad Barus II, seorang keturunan Turki yang menyebarkan agama Islam di pesisir timur Jambi. Datuk Paduko Berhalo menikahi Putri Salaro Pinang Masak yang kemudian memimpin kerajaan melayu II secara turun menurun. Anak mereka adalah Orang Kayo Hitam yang dalam sejarah berjasa melawan penjajahan Belanda. Daearah batasan lainnya seperti daerah sialang Belantak Besi dan Durian Tangguk rajo adalah daerah yang menunjukan utara Jambi. Sialang Belantak Besi (sekarang Sitinjau Laut) saat ini merupakan daerah administratif Sumatera Barat. Sitinjau Laut adalah batas tiga daerah kerajaan melayu Jambi (kerinci), Melayu Riau, dan Minangkabau dalam perjanjian sitinjau laut, naskah kuno depati muda dalam Tasman (2014). Sedangkan daerah Durian Tangguk rajo merupakan perbatasan Jambi-Sumatera barat. Pada kata sepucuk Jambi sembilan lurah juga termasuk representamen ikonis. Jambi diibaratkan sepucuk/ sebentuk daerah yang direpresentasikan dalam sembilan daearah. Bila pertama kali mendengar orang akan menginterpretasikan 9 lurah dengan konsep lurah yang dimiliki saat ini, lurah pada konsep ini merupakan satu pucuk (ulu) dan 9 daerah yang dibawahi (depati). Jambi memiliki petunjuk arah berupa ilir (hilir) dan ulu (hulu) seperti juga terdapat pada lirik: “Sungai batang hari ngilir ke utaro, berenang pagi hari badan sengsaro”. Hilir dan hulu masih menjadi bentuk petunjuk arah dalam kehidupan masyarakat Jambi saat ini. Sembilan daearah ini sekarang tidak semuanya termasuk dalam daerah administratif Provinsi Jambi. Apa yang dapat disimpulkan adalah syair lagu ini mengambarkan struktur ruang Jambi masa lampau adalah dari Kerajaan Melayu II yang berpijak dari pulau berhala sampai Kerajaan Melayu (kerinci) serta dari perbatasan Sitinjau Laut 3 Kerajaan: Melayu Jambi, Minang, dan Melayu Riau, sampai daerah Singkut (selatan, dekat Sumatera Selatan). Walaupun tidak menjadi bagian dari satu administratif, rakyat diyakini hidup dengan aman dan damai seperti pada lirik terakhir “Bersih, aman, dan tertib kotanyo, serto ramah tamah rakyatnyo”.



91



4. Waktu dalam Masyarakat Melayu Jambi Dalam masyarakat modern, kita mengenal sistem waktu dan penanggalan mengikuti sistem kalender masehi dan sistem waktu 24 jam. Masyarakat melayu Jambi mempunyai konsep terhadap waktu yang erat kaitanya dengan alam yang tempat mereka tinggal.



Waktu



gejala alam



perilaku makhluk hidup



(siang/malam)



(manusia, hewan, dan tumbuhan)



Sebagai contoh marilah kita lihat potongan lirik lagu berikut: Harilah petang sawe bebunyilah sawe (hari sudah petang, sawe berbunyi) Lagu: Mak Inang Pada lirik lagu diatas, petang (sore) diintepretasikan dengan keadaan sawe bebunyilah sawe. Pada kalimat “berbunyilah sawe” adalah bentuk representamen indeksial. Sawe adalah jenis burung. Burung ini akan dapat ditemui di sore hari. Sehingga masyarakat menandai waktu petang apabila mereka telah mendengar burung (sawe) berkicau. Pada lirik lainnya : Berenang pagi hari badan sengsaro (berenang pagi hari, badan sengsara) Lagu: Angso Duo Menggambarkan pagi hari dan badan sengsara. Bentuk representamen berupa indeksial yaitu badan sengsara adalah petunjuk sebab akibat dari mandi. Interpretasi tidak berhenti sampai di sini. Pertanyaan yang penting adalah kenapa mandi pagi hari itu membuat badan sengsara? Konsep pagi masyarakat jambi pada konteks ini adalah waktu subuh yang artinya matahari belum muncul di ufuk timur. Cuaca subuh terbilang dingin, dan lingkungan sangat gelap. Mandi pada konsep dahulu adalah mandi ke sungai yang biasanya seseorang harus berjalan kaki untuk menempuh sungai yang masih di kelilingi hutan dan tidak ada



92



penerangan. Sehingga mandi di waktu subuh akan membahayakan selain air yang dingin juga karena lingkungan yang masih gelap. Akan tetapi ada juga konsep yang menjelaskan waktu pagi bukan selalu waktu subuh, seperti pada lirik: Buah keduduk buah belimbing sayang, jangan dipetik di pagi hari. Lagu: Batik Jambi Waktu pagi di sini jelas bukan menyempitkan konsep waktu pagi untuk waktu subuh saja. Buah keduduk dan buah belimbing adalah jenis buah yang digunakan untuk memasak. Memasak bukanlah aktifitas yang dilakukan hanya di waktu subuh. Seperti kita ketahui, masyarakat melayu Jambi mayoritas adalah muslim sehingga aktifitas memasak di pagi hari biasanya dilakukan setelah shalat subuh. Dari beberapa contoh diatas, konsep pagi dan petang akan tergantung dari aktifitas manusianya. Petang ketika burung sawe berbunyi adalah waktu yang tepat bagi petani untuk pulang ke rumah. Petani memilih pulang ke rumah saat petang agar tidak pulang terlalu larut malam karena biasanya ladang mereka berada di hutan dan tidak berada di dekat rumah, sehingga perjalanan ke rumah akan memakan waktu. Apabila rumah mereka berada di dekat ladang atau hutan, pulang di waktu petang akan memberikan mereka waktu untuk mempersiapkan diri sebelum gelap tiba. Pada lirik yang lain juga mengambarkan bagaimana waktu dihitung seperti pada lirik: Sudah lamo idaklah ka rimbo, raso lah babuah dek oi muranti bujang (sudah lama tidak ke hutan, rasanya sudah berbuah pohon Meranti Bujang) Lagu: Ketalang Petang Kata lamo atau lama direpresentasikan dengan jumlah waktu yang dibutuhkan pohon muranti bujang untuk berbuah. Pada lirik ini, konsep lama merujuk kepada perilaku makhluk hidup, dalam hal ini adalah musim buah yang terjadi dalam waktu beberapa bulan. Konsep lama juga diungkapkan pada lirik yang seperti berikut: Manggo mudo jangan simpan lamo-lamo (mangga muda jangan disimpan lama-lama ) Lagu : Angso Duo Idak dapat rambut yang keriting, biak membujang sepuluh tahun (tidak dapat rambut yang keriting , hendak membujang selama sepuluh tahun) Lagu: Dagang Manumpang 93



Hubungan manggo mudo dan konsep lama tidak merepresentasikan lama adalah waktu yang berbulan-bulan melainkan hanya beberapa hari. Sedangkan hubungan antara representamen sepuluh tahun dan lama dapat diintepretasikan bahwa konsep lama adalah setelah melewati masa bertahun-tahun. Dari perbandingan beberapa lirik, tampak konsep lama akan sangat bergantung dengan aktifitas apa yang melingkupinya. Lama dapat berupa ukuran berhari-hari, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun.



5. Metafora Masyarakat Melayu Jambi Metafora mempermudah kita memberikan penjelasan sesuatu yang abstrak menjadi lebih kongkrit. Metafora juga dapat menyederhanakan konsep yang kompleks menjadi konsep yang sederhana yang terdapat di keseharian dan budaya tempat kita tinggal. Metafora juga digunakan untuk memperkuat dan menjelaskan maksud dari sebuah tuturan. Begitu juga peran metafora dalam budaya hadir sebagai faktor-faktor konseptual dalam ritual dan simbol. Seperti pada lirik berikut ini: Kaulah kayo elok dek makesud sampai (kamu orang kaya enak tujuan terpenuhi) Ngan lah musekin elok dek oi karam ditengah (saya orang miskin sebaiknya karam di tengah) Lagu: Damar Bakipeh Lirik tersebut mengandung metafora kaya dan miskin. Kaya direpresentasikan dengan “maksud yang sampai” dan miskin direpresentasikan dengan “karam di tengah”. ‘Maksud yang sampai’ memiliki konsep keinginan yang terkabul, sehingga kaya direpresentasikan sebagai keadaan yang dapat mengabulkan keinginan-keinginan. Sedangkan miskin direpresentasikan dalam ‘karam ditengah’. Kata karam biasanya diasosiasikan kepada kapal bukan manusia, kata karam artinya tenggelam, gugur, atau tidak sampai. Apabila konsep kaya adalah keinginan yang sampai maka konsep miskin adalah keinginan yang tidak sampai atau tidak terpenuhi. Bentuk lain metafora adalah pada lirik: Hendak betanyo kepado bintang, dimano letak si matohari (Hendak bertanya kepada bintang, dimana letak si matahari) Lagu: Damar Bakipeh Lirik ini sebenarnya mengandung ironi. Bintang dapat dilihat saat malam hari, sedangkan matahari dapat dilihat saat siang hari. Bintang dan matahari mempresentasikan dua benda yang tidak bertemu satu sama lain. Apabila konsep bintang dan matahari dianggap 94



sebagai dua orang manusia, maka mereka tidak mengenal satu sama lain. Sehingga dapat ditarik kesimpulan makna dari lirik ini adalah melakukan pekerjaan yang tidak akan mendapatkan hasil. Metafora yang digunakan seperti menggunakan simbol-simbol karam, matahari, dan bintang erat hubunganya dengan aktifitas masyarakat. Seperti kata karam berasosiasi dengan perahu yaitu alat transportasi air yang dapat di temui di sungai sebagaimana masyarakat bergantung pada sungai untuk kehidupan sehari-hari seperti sungai Batanghari.



6. Simpulan Menggunakan kajian semiotik dalam menelisik makna lagu-lagu rakyat melayu Jambi akan memberikan sekilas gambaran kehidupan masyarakat Jambi tempo dulu. Masyarakat Jambi mengenal batas-batas daerahnya dengan penandaan batas-batas adat. Masyarakat mengenal konsep waktu pagi dan petang dengan mengaitkannya dengan keadaan alam sekitar. Di dalam lagu kita juga dapat menemukan bagaimana metafora digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu dan metafora erat hubungannya dengan simbol-simbol kebudayaan yang hadir dalam masyarakat melayu Jambi.



Daftar Acuan Christomy, T & U. Yuwono (Peny.). (2010). Semiotika Budaya. FIBUI: Pusat



Penelitian



Kemasyarakatan dan Budaya. Cetakan II Danesi, M. & P. Perron. (1999). Analyzing Cultures, An Introduction Handbook. Bloomingtoon: Indiana University Press Everet, D. (2012). Language: The Cultural Tool. London: Profile Books. Hoed, B. H. (2014). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu: Depok Kramsch, C. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Tasman, A. (2014). Sialang Belantak Besi- Titik Batas Jambi, Alam Minang dan Riau. http://auliatasman.unja.ac.id/web/index.php/artikel/79-membongkar-adat-lamopusako-usang-105. Diunduh pada tanggal 9 juni 2016



95



DIGLOSIA DALAM TEKS PERCAKAPAN TELEPON SISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Amalia Dewi, Khairunnisa (Universitas Muhammadiyah Jakarta, [email protected]) Abstrak Penelitian ini berjudul Diglosia dalam Teks Percakapan Telepon Siswa dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini, secara umum, adalah untuk mempelajari kajian sosiolinguistik, khususnya diglosia dalam teks percakapan telepon siswa. Tujuan khususnya adalah menganalisis diglosia dalam teks percakapan telepon siswa serta untuk mengetahui seberapa banyak penggunaan diglosia dalam teks tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti memperoleh data penelitian yang berasal dari subjek penelitian yaitu teks percakapan telepon siswa. Hasil penelitian ini adalah 1) terdapat dua jenis diglosia dalam teks percakapan telepon siswa yaitu ragam T (tinggi) dan ragam R (rendah); 2) siswa lebih banyak menggunakan ragam T. Tingkatan ekonomi yang rendah membuat sebagian siswa hidup di lingkungan yang kurang terkontrol atau terpantau orang tua, sehingga penyerapan bahasa siswa kurang terkendali. Situasi yang kurang terkendali ini membuat ragam T dan R diserap oleh oleh siswa tanpa disaring terlebih dahulu. Menimbulkan bahasa Indonesia baku tercampur dengan bahasa pergaulan sehari-hari yang penggunaannya tidak disesuaikan dengan konteks. Kata kunci: diglosia, teks percakapan telepon, ragam bahasa. 1.



Pendahuluan Bahasa merupakan alat pemersatu bangsa. Bahasa juga bagian dari kebudayaan sehingga



menjadi hal yang harus diwariskan. Kemampuan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dapat diperoleh melalui jalur pendidikan. Kaitannya dengan bidang bahasa atau linguistik, dikenal gabungan antara linguistik dan sosiologi yaitu sosiolinguistik. Ilmu tersebut dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bahasa dan masyarakat penuturnya. Kajian sosiolinguistik yang akan digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah diglosia. Diglosia secara umum berarti penggunaan variasi bahasa yang lebih dikenal dengan ragam tinggi (T) dan rendah (R). Penggunaan ragam T biasanya digunakan untuk ragam formal, sedangkan ragam R untuk ragam nonformal. Apabila seorang penulis menggunakan pilihan kata yang baik, tinggi, dan halus, berarti karya penulis tersebut termasuk diglosia yang menggunakan ragam T. Sebaliknya, jika pilihan kata yang digunakan kurang baik, rendah, dan kasar berarti karya sang pengarang termasuk diglosia yang menggunakan ragam R. Pada penelitian ini, peneliti menganalisis diglosia yang digunakan pada teks percakapan telepon siswa SMP. Teks 96



yang dihasilkan siswa akan beragam hasilnya karena siswa-siswi memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang yang berbeda menghasilkan karya atau penciptaan yang berbeda pula. Mulai dari gaya penceritaan, tuturan, dan pilihan kata yang digunakan, sehingga menciptakan perbedaan pada hasil tulisan siswa. Percakapan adalah salah satu cara berkomunikasi. Rahayu (2009: 6) menyatakan bahwa berkomunikasi adalah menyampaikan pesan kepada seseorang untuk direspons. Salah satu cara menyampaikan pesan adalah melakukan percakapan. Percakapan merupakan dialog antara satu orang dengan yang lainnya untuk menyampaikan pesan. Percakapan itu berisi pertukaran informasi atau pikiran seseorang yang diucapkan melalui lisan. Percakapan tersebut dapat terjadi pada konteks formal dan nonformal. Percakapan yang diteliti pada penelitian ini adalah teks percakapan telepon siswa. Teks percaapan telepon tersebut bertema formal dan nonformal. Berdasarkan hasil observasi awal di SMP YPI Bintaro yang terletak di Jalan Perintis No. 1 B Bintaro, Jakarta Selatan, ada beberapa hal yang menjadi daya tarik untuk diteliti. Masingmasing kelas didapati siswa-siswi yang berasal dari berbagai macam latar sosial dan ekonomi sehingga menimbulkan penggunaan bahasa yang berbeda pula dan memunculkan beragam tingkatan bahasa (T atau R). Tingkatan ekonomi yang rendah membuat sebagian siswa hidup di lingkungan yang kurang terkontrol atau terpantau orang tua, sehingga penyerapan bahasa siswa kurang terkendali. Situasi yang kurang terkendali ini membuat ragam T dan R diserap oleh oleh siswa tanpa disaring terlebih dahulu. Menimbulkan bahasa Indonesia baku tercampur dengan bahasa pergaulan sehari-hari yang penggunaannya tidak disesuaikan dengan konteks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut dapat diteliti karena adanya dua ragam bahasa atau lebih dalam sebuah situasi. Siswa-siswi di SMP YPI Bintaro dianggap subjek yang tepat untuk penelitian ini karena mereka makhluk dinamis yang terus mengalami perkembangan dan perubahan bahasa. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Ari Muhammad Iqbal (2014) tentang Diglosia Pada Percakapan dalam Novel The Devil Wears Prada Karya Lauren Weisberger: Satu Kajian Sosiolinguistik. Hasil penelitian tersebut menyatakan terdapat dua jenis diglosia yaitu ragam T dan R. Ragam T dan R diperoleh berdasarkan faktor sosial dan dimensi sosial yang mempengaruhinya. Diglosia menjadi sebuah fenomena yang ada di setiap daerah, baik di Indonesia maupun mancanegara. Setiap satu bahasa pasti memiliki ragam-ragam bahasa yang status penggunaannya sama-sama diakui dan dihormati. Seringkali seseorang/siswa menggunakan ragam bahasa (T) 97



atau (R) yang tidak sesuai konteksnya/tumpang tindih. Permasalahan itulah yang baiknya diteliti dan diperbaiki sehingga penggunaan ragam bahasa (T) dan (R) oleh siswa dapat sesuai dengan ketentuannya. Peneliti akan melakukan sebuah analisis terhadap teks percakapan telepon siswa berdasarkan ilmu sosiolinguistik yaitu diglosia. Oleh karena itu, peneliti mengangkat masalah yang berjudul Diglosia dalam Teks Percakapan Telepon Siswa dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia.



2.



Diglosia dalam Teks Percakapan Telepon Menurut Rokhman (2013:20), istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson



(1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Di setiap negara itu, terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, yaitu Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, Al-Fusha dan Al-Dirij di negara-negara Arab, Schriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swis, Francais dan Creole di Haiti. Chaer (2010: 92) menyatakan bahwa kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Ferguson dalam Chaer (2010: 92) menyatakan bahwa istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Menurut Ferguson dalam Wardhaugh (2006: 89) adalah sebagai berikut. Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects of the language (which may include a standard or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation. Berdasarkan kutipan di atas, diglosia sebagai bahasa yang relatif stabil, artinya memiliki variasi bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi. Ada yang dimaksud sebagai ragam utama (berstandar regional), tetapi memiliki ragam-ragam lain. Bahasa ini dipelajari secara formal namun tidak selalu digunakan masyarakat untuk percakapan sehari-hari. Menurut Rokhman (2013: 20), diglosia memiliki ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang disebut ragam bahasa rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari tak 98



resmi. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah, percakapan dengan teman, lingkungan sekitar, dan lain-lain. Ragam T yang dibakukan (ditandai dengan H = High) dan ragam R yang juga dibakukan (ditandai dengan L = Low). Kedua ragam baku tersebut mendapatkan pengakuan secara terbuka dalam masyarakat dan diberi nama yang dikenal luas oleh masyarakat. Dapat dilihat dalam contoh tabel di dalam buku Sosiolinguistik, karya Sumarsono (2014: 37) sebagai berikut. Bahasa Jerman Arab Yunani Tamil



Ragam Tinggi (H) Hochdeutsch (Bahasa Jerman tinggi) Bahasa klasik (Al-Fusha) Katharvouse Bahasa sastra



Ragam Rendah (L) Schweizerdeutsch (Bahasa Jerman Swiss) Ragam cakapan (Addarij) Dhimotiki Ragam cakapan



Tabel 2.1. Ragam T dan R di Beberapa Negara



Berdasarkan beberapa pendapat di atas, diglosia adalah penggunaan variasi bahasa dalam percakapan yang dilakukan sehari-hari, baik di rumah, sekolah, kantor, kampus, percakapan dengan teman sejawat, dalam surat baik pribadi maupun resmi, dan lain-lain. Variasi bahasa tersebut berupa ragam-ragam yang telah memiliki standar. Ada juga ragam bahasa yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari sehingga pemilihan katanya pun disesuaikan, seperti ragam T dan R. Pada beberapa negara yang telah disebutkan di atas, memiliki ragam T dan R yang telah dibakukan keberadaannya, bahkan telah diakui masyarakat luas. Maka yang paling penting adalah pengkhususan fungsi dari masing-masing ragam bahasa tersebut. Ferguson dalam Chaer (2010: 93-97) menyatakan bahwa diglosia memiliki sembilan topik, tetapi yang akan dibahas hanya mengenai fungsi. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasidari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). dalam bahasa Yunani ragam T-nya disebut katharevusa, yaitu bahasa Yunani murni dengan ciriciri linguistik Yunani klasik, sedangkan ragam R-nya disebut dhimotiki, yaitu bahasa Yunani lisan.



99



Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Masyarakat diglosis memiliki dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut ragam T dan yang kedua disebut ragam R. Distribusi fungsional ragam T dan ragam R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya ragam T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain hanya ragam R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal sedangkan fungsi R hanya pada situasi santai atau informal. Tabel berikut memperlihatkan penggunaan ragam T dan R berdasarkan konteksnya. NO



SITUASI



T



R



1



Khotbah salat Jumat



V



-



2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Berbincang dengan teman sebaya Menulis buku harian (diary) Pembicaraan saat rapat di kantor Kegiatan belajar mengajar di kelas Bertelepon dengan teman sebaya Bertelepon dengan bapak/ibu guru Acara humor di televisi Pidato kenegaraan Komentar di media online atau daring Membawakan berita di televisi Arisan



V V V V V -



V V V V V V



Tabel 2.2. Penggunaan ragam T dan R berdasarkan konteksnya



Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa contoh penggunaan ragam T dan R di beberapa situasi. Namun, dewasa ini, masih sering dijumpai penggunaan ragam T dan R yang tidak sesuai situasi, termasuk dalam teks percakapan telepon siswa. Penggunaan ragam T dan R dalam situasi formal maupun nonformal yang tidak sesuai dengan situasinya menyebabkan si penutur menjadi ejekan orang lain. Penggunaan ragam T dan R yang tidak sesuai juga menimbulkan pandangan buruk bagi penutur atau penggunanya karena dianggap tidak mampu menempatkan atau menggunakan bahasa pada situasi yang tepat. Kaitannya dengan diglosia, sering kali fenomena tersebut muncul dalam percakapan (percakapan telepon). Percakapan merupakan komunikasi dua arah. Ditandai dengan adanya umpan balik yang berarti tanggapan atau respons dari penerima pesan. Umpan balik terdiri atas dua jenis, yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif. Umpan balik positif dari penerima



100



pesan akan mendorong lebih jauh proses komunikasi, sedangkan umpan balik negatif akan mengubah proses komunikasi atau bahkan mengakhiri komunikasi (Morissan, 2013: 21). Menurut Effendi (2009: 6), percakapan memiliki perbedaan dalam ragam lisan dan tulisan. Dalam percakapan sehari-hari seperti di pasar, ruang pertunjukan, dan fasilitas umum sering kali lafal kata atau lagu tuturan bahasa Indonesia ragam lisan terpengaruh oleh lafal kata atau lagu tuturan bahasa daerah. Kalimat yang dituturkan dalam percakapan biasanya tidak cermat. Hal tersebut menyebabkan proses komunikasi yang negatif karena penggunaan bahasa Indonesia ragam lisan lazimnya mencerminkan norma-norma kemasyarakatan dan beberapa kaidah tata bahasa yang berlaku. Dapat disimpulkan bahwa menulis percakapan telepon adalah komunikasi dua arah antara pembicara dan pendengar yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan (teks). Percakapan mengandung pesan yang benar, dapat dipercaya, dan mengandung informasi. Percakapan ditandai dengan adanya umpan balik, baik positif maupun negatif, namun senantiasa penelepon bersikap sopan dan menyesuaikan dengan kondisi penelepon. Demi terciptanya proses komunikasi yang positif, seseorang harus mampu menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan maupun tulisan yang sesuai dengan kondisi kemasyarakatan yang ada.



3. Pembahasan No. Nama Siswa



1



Paragraf/ Baris ke-



Kutipan



Ke-6 s.d. F: Ini pak maaf 7 sebenernya saya minggu yang lalu saya mau bilang.



FI (Formal)



101



Jenis Ragam T R R



Analisis



Baris ke-6 menunjukkan ragam R pada kata sebenernya. Kata sebenernya merujuk pada kata sebenernya dalam ragam T yang artinya sesungguhnya/sebetulnya. Kata sebenernya biasa digunakan dalam percakapan seharihari/konteks nonformal dan dianggap benar oleh penggunanya. Namun dalam konteks formal, kata sebenernya tidak



Ke-21 s.d. F: Kalo bisa bapak 24 membuat undangan untuk guru-guru lain di sekolahan, agar anak yatim lebih suka pak.



2



R



Ke-5 s.d. I: Iya saya Indra. 6 Oh ya saya mau tanya, Ridwan acara kesukaan apa yang kamu sukai di televisi?



T



Ke-14 s.d. I: Saya juga suka 15 acara seperti Doraemon dan acara yang menantang Uji Nyali.



T



KD (Nonformal)



3



MF



Ke-5



D: Di Jl. Sudirman 102



R



dibenarkan, maka yang tepat adalah kata sebenarnya. Baris ke-21 s.d. 24 menunjukkan ragam R pada kata kalo. Kata kalo merujuk pada kata kalau dalam ragam T yang artinya seandainya/ andaikan/jika, dsb. Kata kalo biasa digunakan dalam percakapan seharihari/konteks nonformal dan dianggap benar oleh penggunanya. Namun dalam konteks formal, kata kalo tidak dibenarkan, maka yang tepat adalah kata kalau. Baris ke-5 s.d. 6 menunjukkan ragam T pada kata saya. Kata saya merujuk pada kata aku pada ragam R yang artinya diri sendiri. Sebenarnya sah-sah saja jika orang pertama menggunakan kata aku/saya, namun jika dikhususkan lagi, lebih tepat menggunakan kata aku untuk konteks nonformal yang bersifat lebih santai dan luwes. Baris ke-14 s.d. 15 menunjukkan ragam T pada kata seperti. Kata seperti merujuk pada kata kayak yang artinya seperti/sebagai. Kata seperti umumnya digunakan pada konteks yang lebih formal, sedangkan dalam dialog tersebut lebih baik digunakan kata kayak yang bersifat tidak resmi/ termasuk ke dalam ragam R. Baris ke-5 menunjukkan



(Formal)



No. 37, jam berapa ibu datang?



Ke-10



4



NM (Nonformal)



IG: Ok Din nanti ibu sampaikan salammu Din.



Ke-7 s.d. N: Aku suka film 8 anak jalanan episode yang berdebat untuk mendapati Reva, kalo kamu suka episode apa?



103



R



T



ragam R pada kata jam. Kata jam di dalam kalimat ini merujuk pada kata pukul pada ragam T yang artinya menyatakan waktu. Kata pukul umumnya digunakan dalam konteks formal. Sedangkat kata jam digunakan dalam konteks nonformal yaitu percakapan antara teman sebaya. Penggunaan kata jam seringkali dianggap benar oleh penggunanya. Namun dalam konteks formal, lebih tepat digunakan kata pukul. Baris ke-5 menunjukkan ragam R pada kata ok (oke) merujuk pada kata baik pada ragam T yang artinya ya/menyatakan setuju/sepakat, dsb. Kata ok (oke) umumnya digunakan dalam konteks nonformal yaitu percakapan antara teman sebaya sehari-hari. Sedangkan kata baik umumnya digunakan dalam konteks formal yang mengutamakan kesopanan karena lawan bicara dianggap penting dan disegani. Maka dalam percakapan ini lebih tepat digunakan kata baik. Baris ke-7 s.d. 8 menunjukkan ragam T pada kata mendapati. Kata mendapati merujuk pada kata ngedapetin pada ragam R yang artinya memperoleh. Kata mendapati sudah baku dan umumnya digunakan dalam konteks formal, sehingga termasuk ke dalam ragam T. Sedangkan kata



Ke-9 s.d. P: Kalo aku suka 10 film anak jalanan episode yang Boy mengirim surat untuk Reva pada saat malam hari.



5 PFA (Formal)



Ke-7 s.d. BN: Oh iya, ibu 8 mau nitip sumbangan ke anak yatim ke panti asuhan. 104



T



R



ngedapetin umumnya digunakan untuk percakapan antara teman yang tidak formal, sehingga termasuk ke dalam ragam R. Maka dalam percakapan tersebut lebih tepat digunakan kata ngedapetin. Baris ke-9 s.d. 10 menunjukkan ragam T pada kata mengirim dan malam. Kata mengirim merujuk pada kata ngirim pada ragam R yang artinya menyampaikan sesuatu. Kata mengirim umumnya digunakan pada konteks formal, sehingga termasuk ke dalam ragam T. Sedangkan kata ngirim digunakan dalam konteks nonformal, sehingga termasuk ke dalam ragam R. Maka yang lebih tepat dalam percakapan tersebut adalah kata ngirim karena sesuai dengan konteks dan membuat percakapan menjadi lebih luwes. Kata malam merujuk pada kata malem pada ragam R yang artinya waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Kata malam lebih tepat penggunaannya pada percakapan yang konteksnya formal, sedangkat kata malem lebih tepat digunakan pada konteks nonformal seperti percakapan tersebut. Baris ke-7 s.d. 8 menunjukkan ragam R pada kata nitip. Kata nitip merujuk pada kata menitip pada ragam T yang artinya



Ke-18 s.d. P: Ya bu, saya 19 merasa kasihan anak yatim gak punya orang tua, hidup sendiri, cari makan sendiri, cari uang sendiri.



6



Ke-7 s.d. D: Begini aku 8 bertelefon ingin menanyakan acara kesukaanmu di televisi?!



RN (Nonformal)



105



R



T



menaruh/ mengamanatkan/ menyimpan, dsb. Kata nintip umumnya digunakan pada percakapan sehari-hari yang sifatnya tidak formal. Namun dalam percakapan antara murid dengan siswa yang konteksnya formal seperti percakapan tersebut, sebaiknya menggunakan kata menitip karena sudah baku dan termasuk ragam T. Baris ke-10 s.d. 11 menunjukkan ragam R pada kata gak. Kata gak merujuk pada kata tidak pada ragam T yang artinya partikel yang menyatakan pengingkaran/penolakan. Kata tidak umumnya digunakan dalam konteks formal karena termasuk dalam ragam T. Sedangkan kata gak (enggak/kagak) umumnya digunakan dalam konteks nonformal yaitu dalam percakapan seharihari dengan teman sebaya, sehingga termasuk ragam R. Baris ke-7 s.d. 8 menunjukkan ragam T pada kata begini, ingin, menanyakan, dan televisi. Kata begini merupakan ragam T karena digunakan pada konteks formal. Kata begini merujuk pada kata gini pada ragam R yang artinya adalah seperti ini. Kata yang lebih tepat digunakan pada percakapan tersebut adalah kata gini. Kata ingin merujuk pada kata mau pada ragam R yang artinya bakal, sungguh-sungguh suka



hendak/sudi, dsb. Kata ingin umumnya digunakan dalam konteks formal, sehingga termasuk ke dalam ragam T. Sedangkan kata mau umumnya digunakan dalam konteks nonformal, sehinga termasuk ke dalam ragam R. Maka lebih tepat menggunakan kata mau karena sesuai dengan konteksnya. Kata menanyakan merujuk pada kata nanyain pada ragam R yang artinya bertanya sesuatu kepada.../ meminta keterangan sesuatu. Kata menanyakan umumnya digunakan dalam konteks formal, sehingga termasuk ke dalam ragam T. Sedangkan kata nanyain umumnya digunakan dalam konteks nonformal, sehinga termasuk ke dalam ragam R. Maka lebih tepat menggunakan kata nanyain karena sesuai dengan konteksnya. Kata televisi merujuk pada kata tivi pada ragam R yang artinya sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel. Penggunaan kata televisi diperuntukan pada konteks formal, sehingga kata tersebut termasuk ke dalam ragam T. Sedangkan kata tivi penggunaannya pada konteks nonformal dan kata tersebut belum baku, sehingga termasuk ke dalam ragam R. Maka lebih tepat menggunakan kata tivi 106



Ke-12 s.d. G: Iya, karena 13 kartun Doraemon sangat bagus dan penuh keajaiban.



T



JUMLAH



6



dalam percakapan tersebut. Baris ke-12 s.d. 13 menunjukkan ragam T pada kata karena. Kata karena merujuk pada kata soalnya pada ragam R yang artinya sebab atau alasan. Kata karena umumnya digunakan dalam konteks formal, sehigga termasuk ke dalam ragam T. Kata soalnya umumnya digunakan dalam konteks nonformal dan dianggap benar oleh penggunanya. Maka lebih tepat menggunakan kata soalnya pada percakapan tersebut. 6



Tabel Analisis T dan R Pada Teks Telepon



4.



Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Diglosia dalam Teks Percakapan



Telepon Siswa dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut. Peneliti menganalisis ragam T dan ragam R pada 6 teks percakapan telepon siswa yang berasal dari 6 siswa, yang menghasilkan 6 buah ragam T dan 6 ragam R. Terdapat ragam T yang umumnya digunakan oleh siswa yaitu kata saya, seperti, mendapati, mengirim, malam, begini, ingin, menanyakan, dan televisi. Kata-kata tersebut memiliki pasangannya di dalam ragam R yaitu saya menjadi aku, seperti menjadi kayak, mendapati menjadi ngedapetin, mengirim menjadi ngirim, malam menjadi malem, bagini menjadi gini, ingin menjadi mau, menanyakan menjadi nanyain, dan televisi menjadi tivi. Pada ragam R terdapat beberapa kata yang umumnya digunakan yaitu kata sebenernya, kalo, jam, dan gak yang memiliki pasangannya pada ragam T yaitu sebenarnya, kalau, pukul, dan tidak.



Daftar Acuan Chaer, A. dan L. Agustina. (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Effendi. (2009). Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 107



Iqbal, A.M. (2014). Widyatama Repository: Diglosia Pada Percakapan dalam Novel The Devil Wears Prada Karya Lauren Weisberger:



Satu



Kajian



Sosiolinguistik,



(Online),



http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/handle/123456789/4579, diakses 1 Mei 2015). Morissan. (2013). Teori komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Rokhman, F. (2013). Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumarsono. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Wardhaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics 5th Edition. Malden: Blackwell Publishing.



108



PEMAKNAAAN BAJU PIYAMA BERGARIS (KAJIAN SEMIOTIK PADA FILM BOY IN THE STRIPED OF PAJAMAS) Andalusia Neneng Permatasari (Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung, [email protected])



Abstrak Pada usia tujuh tahun, seorang anak mampu menggunakan tanda dan memaknai tanda. Namun, pemahamannya masih berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya yang terbatas. Film Boy in The Striped Pajamas menunjukkan proses seorang anak memaknai sebuah tanda, yaitu makna dari piyama bergaris. Proses tersebut menjadi fokus tulisan ini untuk dikaji dengan tiga tahap pemaknaan dari Peirce, yaitu kepertamaan (firtsness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan (thirdness). Proses memaknai tanda seorang anak pada film Boy in The Striped Pajamas memengaruhi proses pemaknaan tanda baju bergaris. Oleh karena itu, penelitian ini memperlihatkan proses pemaknaan tokoh Bruno dan penonton pada baju piyama bergaris yang terdapat pada film Boy in The Striped Pajamas. Kata kunci: film, proses pemaknaan, perkembangan kognitif, masa pra-operasional



1.



Pendahuluan Seperti halnya bahasa, masa-masa pemerolehan bahasa pada anak usia dini



dimulai dengan pengenalan dan pemaknaan terhadap simbol. Kata /mama/ dimaknai dengan mengaitkan pada sosok ibu. Begitu pula kata /papa/ yang dikaitkan dengan sosok ayah. Oleh karena itu, anak usia dini telah mampu menyematkan makna pada sesuatu sesuai dengan fase perkembangan kognitifnya. Sejak terbitnya Diari Anne Frank, kisah-kisah yang berkaitan dengan genosida Nazi mulai muncul dan langsung digemari. Contohnya buku yang berjudul “Masa Kanak-Kanak” yang ditulis Jona Obersky mengenai masa kanak-kanaknya di pengungsian Yahudi. Selain itu, ada juga film Beautiful Life yang bercerita dari sudut pandang seorang anak Yahudi yang tinggal di kamp kerja Nazi. Sebuah film karya Mark Heman yang berjudul Boy in The Striped Pajamas mampu menyoroti dengan baik fase pengenalan dan pemaknaan simbol pada seorang anak dalam filmnya. Berawal dari rasa penasaran seorang anak bernama Bruno pada baju piyama bergaris. Bruno sering bertanya pada orang tua dan orang dewasa yang ada di rumahnya mengenai piyama bergaris tersebut. Namun, pertanyaan Bruno tidak dijawab dengan baik, bahkan tidak pernah terjawab. Akhirnya, dengan pengalaman dan pengetahuan yang terbatas, Bruno mencoba memaknai sendiri tentang piyama



109



bergaris



tersebut.



Pemaknaannya



terhadap



baju



piyama



bergarislah



yang



membawanya pada petaka di akhir film. Makalah ini akan mengkaji proses pemaknaan terhadap simbol baju piyama bergaris dengan konsep tanda dalam tiga dimensi dari Peirce. Proses yang berhasil dipaparkan akan disesuaikan dengan fase perkembangan kognitif dari Piaget.



2. Teori dan Metodologi 2.1 Semiotik Bettetini (1973, hlm. 11) mengatakan bahwa film itu dibangun oleh berbagai elemen atau sumber-sumber yang dapat memancing penonton untuk berasumsi, membuat perkiraan, atau berhipotesis. Asumsi, perkiraan, dan hipotesis tersebut diciptakan berdasarkan pengetahuan dan wawasan penonton masing-masing.. Salah satu bentuk asumsi, perkiraan, dan hipotesis ketika menonton film adalah memaknai tanda-tanda di dalamnya. Peirce dalam Noth (1990, hlm. 40) mengatakan bahwa tanda harus dilihat dalam tiga dimensi. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap sebuah tanda dilakukan secara bertahap. Bagi Peirce, tanda membuat orang berpikir dan memahami sebuah peristiwa. Oleh karena itu, Peirce menyamakan semiotik dengan logika. Seperti halnya pada logika, pemaknaan tanda pada semiotik dilakukan dengan tahapantahapan dan alur yang saling berkait. Tahapan dan alur pemaknaan tersebut harus dapat dipahami oleh nalar. Tahap pertama dari pemahaman terhadap tanda disebut sebagai kepertamaan (firstness), yaitu saat tanda dipahami dengan apa adanya, tanpa merujuk pada hal apa pun di luar tanda. Tahap kedua disebut kekeduaan (secondness), yaitu saat tanda dimaknai secara individual. Tahap ketiga disebut keketigaan (thirdness), yaitu saat tanda dimaknai berdasarkan kesepakatan dan menjadi tetap. Adanya tiga tahapan dalam proses pemaknaan sebuah tanda memberikan sebuah gambaran bahwa pemaknaan tanda adalah sebuah proses kognisi. Sebagai orang dewasa tentu tidak merasa kesulitan memahami sebuah tanda karena kemampuan kognitif orang dewasa sudah mampu memahami sebuah tanda sampai pada tahap ketiga. Pemaknaan sampai tahap ketiga karena didukung oleh banyaknya pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang dimiliki orang dewasa. Pada seorang anak, terutama usia dini, proses pemaknaan pun sangat bergantung pada kemampuan



110



kognisinya. Dengan pengalaman yang terbatas, seorang anak usia dini dapat memaknai tanda dengan caranya sendiri.



2.2 Semiotik Film Seperti yang dikatakan oleh Bettetini (1973, hlm. 11) bahwa film itu dibangun oleh berbagai elemen atau sumber-sumber yang memancing penonton untuk berhipotesis. Pengetahuan dan wawasan penonton sangat berpengaruh untuk berinteraksi dengan film tersebut lalu memaknai tanda-tanda di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai penonton, saya sangat tertarik untuk “mempreteli” berbagai tanda yang ada dalam film Boy in The Striped Pajamas ini untuk mendapatkan makna dari film ini. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis semiotik pragmatis Danesi dan Peron serta struktur naratif Labov dan Waletzky yang terdiri dari abstraksi, orientasi (tokoh dan situasi), komplikasi, hasil dan koda. Semiotik film itu sendiri dimulai pada era strukturalis, yaitu sekitar tahun 1960-an di Italia dan Perancis. Oleh karena itu, pengaruh strukturalisme Saussure, Hjelmslev, dan Martinet sangat terasa (Noth, 1995, hlm. 464). Dalam penelitian semiotik film, studi naratif film diberi prioritas. Hal ini disebabkan memandang film sebagai teks. Senada dengan Danesi dan Peron (1999, hlm. 250) yang mengatakan bahwa naratif bisa berupa verbal (teks novel, cerita, dan lain-lain), nonverbal (gambar, dan lain-lain), atau bahkan keduanya. Adapun film adalah salah satu macam naratif yang mengandung unsur verbal dan gambar. Senada dengan Peirce, Danesi dan Peron mengatakan bahwa tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu” seperti halnya gejala suatu penyakit yang menandai suatu penyakit (Hoed, 2008, hlm. 18). Oleh karena itu, penelitian semiotik itu harus mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan tubuh, pikiran, dan kebudayaannya. Hal ini menandakan adanya hubungan yang erat antaran semiosis, representasi, dan signifying order.



2.3 Perkembangan Kognitif pada Seorang Anak Kemampuan seorang anak mengeksplorasi lingkungan sekitar secara aktif dipandang Piaget sebagai hal paling mendasar dari perkembangan kognitif seorang anak. Dengan kemampuan mengeksplorasi lingkungan sekitarnya, seorang anak mampu mengkonstruksi pemikiran mereka. Misalnya, saat seorang anak melihat seekor kucing dan diberi tahu bahwa binatang berbulu, berekor, dan berkaki empat 111



adalah kucing. Ketika dia melihat anjing, dia akan menyebut itu sebagai kucing juga karena konsep yang terekam mengenai binatang berbulu, berekor, dan berkaki empat adalah kucing. Kesalahan anak menyebut anjing sebagai kucing bukanlah sebuah kekeliruan yang fatal karena proses pemaknaan seorang anak terhadap konsep binatang berbulu, berkaki empat, dan berekor hanya seekor kucing. Contoh di atas menunjukkan tahapan atau proses seorang anak memaknai halhal yang ada di sekitarnya. Piaget menyebutkan dua mekanisme yang terjadi ketika seorang anak memperoleh pengetahuan dan pemahaman, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses yang terjadi pada struktur kognitif dengan cara mengaitkan dan menghubungkan hal atau pengalaman baru yang diperolehnya dengan hal atau pengalaman sebelumnya yang terekam dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah menata ulang skema yang telah ada sebelumnya ketika menemukan hal-hal baru. Inilah yang dimaksud oleh Piaget bahwa manusia dapat belajar dari kesalahankesalahan sebelumnya. Piaget (dalam Keenan, 2009, hlm. 43—44) membagi tahapan perkembangan kognitif pada manusia sebagai berikut. a. Sensorimotor, yaitu tahap perkembangan kognitif yang terjadi pada bayi sampai anak berumur dua tahun. b. Pra-operasional, yaitu tahap perkembangan kognitif yang terjadi pada anak usia dua sampai tujuh tahun. c. Konkret-operasional, yaitu tahap perkembangan kognitif yang terjadi pada anak usia tujuh sampai sebelas tahun. d. Formal-operasional, yaitu tahap perkembangan kognitif mulai dari masa remaja sampai dewasa. Kemampuan yang dimiliki anak usia dini pada masa pra-operasional adalah sebagai berikut (Martin and Fabes, 2009, hlm. 40—41). a. Meniru hal-hal yang ada di sekitarnya, misalnya meminumkan susu pada boneka sambil berkata seperti yang diucapkan ibu pada anaknya. Hal tersebut merupakan tindakan yang ditiru dari kebiasaan yang diterima seorang anak dari ibunya. b. Symbolic thought, yaitu anak usia dini telah memiliki kemampuan menggunakan simbol untuk merepresentasikan sesuatu. Kemampuan simbolis inilah yang menjadi bekal seorang anak dalam perkembangan bahasanya.



112



c. Fokus, yaitu kemampuan seorang anak untuk fokus pada suatu hal. Oleh karena itu, pada masa para-operasional, anak cenderung egois dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.



3. Temuan dan Pembahasan Boy in The Striped Pajamas adalah sebuah film karya Mark Heman yang diadaptasi dari novel karya John Boyne. Kisah tentang Bruno (7 tahun) anak seorang panglima tentara Nazi yang berteman dengan Shmuel (7 tahun) seorang anak keturunan Yahudi yang tinggal di kamp kerja di bawah penguasaan ayahnya. Bruno mengenal Shmuel karena dia penasaran dengan orang-orang dengan baju garis-garis. Bruno sering melihat orang-orang berbaju garis-garis itu di belakang kawasan rumah barunya. Bruno menyangka baju bergaris itu adalah piyama. Suatu hari, Bruno dapat menerabas keluar dari lingkungan rumahnya untuk mencari tahu mengenai orangorang tersebut. Saat itulah Bruno bertemu dengan Shmuel. Bruno senang menemukan Shmuel yang berumur sama dengannya sekaligus heran dengan piyama bergaris yang selalu dipakai Shmuel. Selain itu, pada piyama Shmuel pun tertempel nomor yang semakin membuat Bruno penasaran sekaligus iri. Persahabatan mereka terus terjalin. Bruno selalu membawakan Shmuel makanan, sebaliknya Shmuel selalu menemani Bruno mengobrol dan bermain. Tidak ada yang mereka pikirkan selain bermain meskipun harus terhalang kawat listrik. Akhirnya, Bruno meminta seragam yang sama dengan Shmuel sebagai seragam bermain, yaitu piyama bergaris dan memiliki nomor yang telah tertempel. Keinginan Bruno pun terkabul. Shmuel berhasil mendapatkan seragam yang sama untuk Bruno. Bruno segera berganti pakaian dan masuk ke kawasan tempat tinggal Shmuel. Mereka terus bermain sampai ke tempat gas uap. Tempat gas uap adalah tempat hukuman sampai mati bagi orang-orang Yahudi. Baju bergaris yang dikenakan Bruno bukanlah seragam bermain. Baju itu bukan piyama atau seragam bermain, melainkan seragam yang dipakai orang-orang Yahudi pada masa tawanan Jerman. Namun, untuk anak usia 7 tahun, konsep penjara dan tawanan bukanlah hal yang akrab dalam kehidupan mereka.



3.1 Proses Pemaknaan Piyama Bergaris Tokoh Bruno pada film Boy in The Striped Pajamas berumur 7 tahun. Anak usia 7 tahun menurut Piaget masuk pada tahap pra-operasional. Pada tahap pra113



operasional, seorang anak telah dapat menggunakan simbol untuk merepresentasikan sesuatu. Tokoh Bruno menganggap bahwa seragam bergaris yang dipakai tokoh Shmuel adalah seragam bermain. Pemaknaan Bruno terhadap baju bergaris sebagai piyama dan seragam bermain menandakan bahwa pada usia tujuh tahun seorang anak mampu menggunakan tanda dan memberikan makna pada tanda. Sebagaimana yang dikatakan Peirce, pemaknaan terhadap suatu tanda melalui proses yang terdiri atas tiga tahap.



Tahap pertama adalah kepertamaan (firstness). Pada tahap pertama, baju bergaris dimaknai sebagai sesuatu yang digunakan di badan. Pada tahap ini, sebuah tanda baju dimaknai apa adanya. Tahap kepertamaan disebut juga sebagai tanda itu sendiri. Tahap kedua adalah kekeduaan (secondness). Pada tahap kedua, baju bergaris dimaknai secara individual oleh tokoh Bruno sebagai baju piyama dan seragam bermain. Tokoh Bruno memaknai sebagai piyama karena model baju tersebut yang sepasang dengan celana. Pada masa itu, baju berlengan panjang yang sepasang dengan celana panjang adalah piyama. Pada tahap kekeduaan ini, tokoh Bruno memaknai sampai dua kali. Setelah piyama, baju garis-garis dimaknai sebagai seragam bermain. Garis-garis pada usia kanak-kanak identik dengan taman hiburan, badut, komidi putar, dan es krim. Hal itu sesuai dengan latar waktu film Boy in The Striped of Pajamas, yaitu tahun 1920-an. Pada tahun 1920-an di Eropa, taman hiburan identik dengan komidi putar. Kekhasan terletak pada atap dari komidi putar, yaitu bergaris penuh warna. Taman hiburan pun identik dengan badut. Baju yang dikenakan badut pun memiliki corak bergaris penuh warna. Selanjutnya, bagian dari taman hiburan adalah es krim. Jika membeli dua sekop es krim berbeda rasa, warna dua sekop es krim pun



114



berbeda dan jika dilihat secara vertikal terlihat seperti garis. Berikut adalah gambaran proses pemaknaan tokoh Bruno pada baju bergaris (Permatasari, 2015, hlm. 185). Proses pemaknaan tahap kedua sangat dipengaruhi oleh pandangan individual. Peirce (Noth, 1990, hlm. 44) menamakannya dengan indeks. Hal tersebut selaras dengan pandangan Piaget bahwa pada tahap pra-operasional (usia 2—7 tahun), seorang anak memandang segala sesuatu dari sudut pandang dirinya sendiri. Sudut pandang sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman yang dimiliki seorang anak berumur tujuh tahun sebagian besar diisi oleh bermain. Oleh karena itu, tokoh Bruno mengasimilasikan baju piyama bergaris dengan garis-garis yang terdapat pada komidi putar, baju badut, dan es krim. Hasilnya, tokoh Bruno memaknai baju piyama bergaris yang digunakan Shmuel adalah seragam bermain. Tahap ketiga atau keketigaan (thirdness) adalah proses pemaknaan sebuah tanda berdasarkan kesepakatan. Untuk anak usia tujuh tahun, kesepakatan belum menjadi konsep yang dikuasai. Pada usia tujuh tahun, fase egoisme yang memandang segala hal dari sudut pandangnya sendiri masih dominan. Oleh karena itu, pada anak usia tujuh tahun, tahap keketigaan (thirdness) pada proses pemaknaan sebuah tanda belum terjadi. Piyama bergaris berdasarkan kesepakatan pada masa itu adalah tanda orang Yahudi yang tinggal di penjara Nazi. Pada masa itu, orang Yahudi dianggap berbahaya sehingga tidak dapat hidup bebas. Seragam yang digunakan orang Yahudi di penjara adalah piyama bergaris. Oleh karena itu, piyama bergaris dimaknai sebagai orang Yahudi dan berbahaya. Hal tersebut tentu tidak dapat dipahami Bruno yang masih berusia tujuh tahun. Konsep penjara, kebebasan, dan perbedaan ras belum dipahami Bruno. Padahal, pemerintah Nazi saat itu mewajibkan diajarkan ideologi Nazi yang mengistimewakan ras mereka sejak usia dini. Tokoh Bruno yang tidak memahami konsep penjara dan perbedaan ras mengafirmasi pernyataan Berks (2006, hlm. 6) bahwa walaupun anak di usia 6—11 tahun dapat mempelajari sesuatu lebih luas lagi, ada dua hal utama yang menjadi ciri khas anak di usia tersebut, yaitu persahabatan dan permainan. Sebagai salah satu bentuk narasi, pemaknaan penonton terhadap baju bergaris yang dimunculkan sebagai judul dituntun oleh pemaknaan tokoh Bruno pada baju bergaris. Baju bergaris dalam film ini adalah sebuah abstraksi yang menuntun alur film sampai akhir. Selanjutnya, rasa penasaran yang belum terjawab mengenai baju bergaris ini pun mengantarkan Bruno pada Shmuel. Dia melihat Shmuel pun memakai 115



baju yang sama, ditambah terdapat nomor di bagian dadanya. Maka, Bruno pun menganggap bahwa itu adalah baju bermain dengan nomor kode masing-masing pemain. Rasa penasaran, jiwa petualang khas kanak-kanak, dan rasa kesepian adalah sebuah situasi yang menjadi titik tolak cerita dalam film ini, yaitu cerita persahabatan Bruno dan Shmuel. Jiwa petualang khas anak-anak yang dimiliki Bruno membuatnya semakin tertantang ketika guru yang dipanggil ayahnya mengatakan bahwa dia adalah petualang hebat jika berhasil menemukan seorang Yahudi yang baik. Tentu saja, Bruno merasa dia petualang hebat karena menurutnya Shmuel seorang Yahudi yang baik. Padahal, gurunya itu sedang kesal karena Bruno selalu ingin belajar buku petualangan daripada buku sejarah kebesaran Jerman yang diberikannya. Ketidakpahaman Bruno atas konflik yang terjadi dan mengapa Yahudi meski dimusuhi, semakin membuat Bruno mendekati Shmuel yang hanya teman satusatunya di sana. Di balik kawat listrik mereka bermain catur, bola, dan lain-lain. Ketidakpahaman ini juga yang membuat Bruno tidak gentar untuk membantu Shmuel mencari ayahnya yang hilang, yang pada akhirnya menjadi penutup riwayat mereka berdua. Bahkan, di saat-saat terakhir mereka di kamar gas pun, Bruno dan Shmuel masih merasa mereka sedang bermain petualangan. Seiring dengan komplikasi (konflik) yang terjadi, baik itu ketidakpuasannya pada ayah dan ibunya serta rasa kesepiannya, maka dia bertemu Shmuel yang mengubah lagi pemaknaannya pada baju bergaris itu. Akhirnya, dia memaknai menjadi baju seragam bermain dan berpetualang karena dia melihat baju Shmuel memiliki nomor yang dianggapnya sebagai kode pemain. Pemaknaan Bruno ini selain menjadi pengantar cerita, titik tolak cerita, juga mengantarkan penonton untuk melihat sebuah tanda yaitu baju bergaris. Setelah melihat bahwa hasil dan koda (penutup) dari cerita dalam film ini adalah kejadian tragis yang akhirnya menimpa Bruno dan Shmuel yang tersekap di kamar gas karena hendak berpetualang mencari ayah Shmuel, pada akhirnya dapat ditarik sebuah makna. Makna pertama adalah baju bergaris seperti piyama, seperti halnya perkiraan Bruno. Lalu, makna kekeduaannya adalah baju yang dipakai oleh orangorang keturunan Yahudi yang ada di kamp kerja Nazi, seperti yang dipakai oleh Pavel dan Shmuel dalam film ini. Makna keketigaannya adalah bukti genosida dan kekejaman Nazi karena setiap orang yang berbaju seperti itu, selalu akan mendapat giliran untuk masuk ke ruang gas dan mati perlahan. Seperti nasib ayah Shmuel, 116



Shmuel dan Bruno, serta orang-orang berbaju bergaris lain yang ditampakkan sebagai penutup film ini.



4. Kesimpulan Tokoh Bruno pada film Boy in The Striped Pajamas menunjukkan seorang anak di usia tujuh tahun yang penuh rasa ingin tahu. Piaget mengategorikan usia tujuh tahun pada masa pra-operasional. Pada masa pra-operasional seorang anak telah dapat menggunakan dan memaknai tanda. Pemahaman dan pemaknaan terhadap tanda pada seorang anak berumur tujuh tahun masih terbatas pada pengalaman yang dialaminya. Seperti telah disebutkan pada bagian temuan dan pembahasan, tokoh Bruno penasaran pada piyama bergaris. Rasa ingin tahu yang mengantarkannya untuk mencoba memberi makna pada baju bergaris tersebut menjadi titik tolak narasi pada film ini. Dengan pengalamannya yang terbatas, tokoh Bruno berusaha memaknai piyama bergaris tersebut. Perjalanan tokoh Bruno memaknai baju bergaris mengisi elemen orientasi, evaluasi, dan komplikasi pada narasi film ini. Pemaknaan baju bergaris sebagai seragam bermain menunjukkan bahwa kemampuan seorang anak usia tujuh tahun memaknai tanda hanya sampai pada tahap secondness atau kekeduaan. Pada tahap kekeduaan, tanda baru dimaknai secara individual. Hal itu mendukung pernyataan Piaget yang mengatakan bahwa pada masa pra-operasional, seorang anak masih berfokus pada dirinya sendiri. Anak pada masa pra-operasional belum dapat memahami konvensi atau kesepakatan. Pemaknaan tokoh Bruno pada baju bergaris membuat Bruno mengalami petaka. Pada bagian akhir film yang menjadi koda, Bruno memaksa ingin memakai piyama bergaris tersebut sehingga Bruno ikut tersekap di ruang gas beracun. Pemaknaan penonton ditentukan juga oleh pemaknaan tokoh Bruno pada baju bergaris. Pemaknaan pertama atau kepertamaan, baik penonton atau Bruno, memaknainya sebagai baju bergaris apa adanya. Pemaknaan kedua/kekeduaan antara tokoh Bruno dan penonton berbeda: tokoh Bruno memaknai sebagai seragam bermain/piyama, sedangkan penonton memaknainya sebagai seragam tahanan NAZI. Pemaknaan ketiga/keketigaan tentu saja berbeda karena pada keketigaan tahapan kognitif antara Bruno dan penonton berbeda. Namun, pemaknaan keketigaan penonton pun sangat dipengaruhi oleh proses pemaknaan Bruno. Penonton memaknai baju bergaris pada tahap keketigaan adalah kekejaman NAZI. Hal tersebut



117



berdasarkan pada elemen koda yang menunjukkan adegan Bruno dan Shmuel terkurung dalam ruang uap untuk para tahanan.



Daftar Acuan Amir Piliang, Y. (2003). Hipersemiotika. Yogyakarta: Jalasutra. Berk, L. E (2006). Child development. United States of America: Logman. Bettetini, G. (1973). The language and technique of the film. Paris : Mouton, The Hague Paris Danesi, M. and P. Perron. (1999). Analyzing cultures an introduction and handbook. Bloomington: Indiana University Press. Hoed, B. H. (2008). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Noth, W. (1994). Handbook of semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Martin, C. L. and R. Febes. (2009). Discovering child development. USA: Houghton Mifflin Company. Keenan, T. dan S. Evans (2009). An introduction to child development. California: Sage Foundations of Psychology. Permatasari, A. N. (2015). Pemaknaan tanda pada anak usia dini dalam Prosiding ICCI 2015. Bandung: Pendidikan Guru PAUD Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.



118



PRO DAN KONTRA TERHADAP LOGO BARU UNILEVER .Andrea Pradsna Paramita Djarwo (Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, [email protected]) Abstrak Jika ada suatu perusahaan diibaratkan sebagai sebuah negara, logonya dapat diumpamakan sebagai simbol negara yang diwakilinya. Logo itu akan mencerminkan visi dan misi yang diperjuangkan atau dicita-citakan perusahaan tersebut. Sebagai simbol, tentu sangatlah ideal apabila makna yang dikandungnya, dapat dipahami dan dikenali, baik oleh pihak perusahaannya sendiri maupun pihak di luar perusahaan atau konsumennya. Logo Unilever memiliki kekuatan besar dalam menarik perhatian pembeli. Saat ini logo yang dipakai di lebih dari 100 negara adalah logo Unilever yang untuk pertama kalinya diperkenalkan pada perayaan hari jadinya yang ke 75 tahun, yakni pada tahun 2004. Perubahan logo yang tadinya sederhana telah berubah menjadi sebuah logo alkulturasi yang rumit dan detil, memuat 25 gambar vektor sebagai gambaran dari visi misi dan produk yang diwakilinya. Perubahan yang drastis dan menarik ini kemudian melahirkan pro kontra terhadap pemahaman simbol yang diembannya . Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dan asosiatif, makalah ini diharapkan memberikan ilustrasi dan ulasan pro kontra terhadap penggambaran gambar vektor, yang disebutkan dalam laman resmi Unilever dan laman-laman terkait lainnya sebagai ‘simbol’. Selain itu dalam makalah ini akan diangkat permasalahan lainnya yaitu apakah penggunaan istilah ‘simbol’ itu sudah tepat, mengingat kita mengenal adanya tanda lainnya seperti ikon. Selanjutnya keterlibatan faktor budaya yang melandasi pemilihan gambar vektor yang stereotipe atau prototipe akan dicermati.



Kata kunci: budaya, ikon, logo, perusahaan multinasional Unilever, simbol 1. Pendahuluan Logo dan perusahaan merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Andai suatu perusahaan digambarkan sebagai suatu negara, maka logonya dapat diumpamakan sebagai simbol negara yang diwakilinya. Logonya akan memuat filosofi atau visi dan misi yang diperjuangkan atau dicita-citakan perusahaan tersebut. Sebagai simbol, tentu sangatlah ideal apabila kandungan maknanya, dapat dipahami dan dikenali secara langsung maupun tidak langsung, baik oleh pihak perusahaan sendiri maupun pihak di luar perusahaan atau konsumennya. Di Indonesia, merk sabun mandi Lifebouy dan Lux, sabun cuci piring Sunlight, sampo Sunsilk, margarine Blueband telah lama dikenal dan dianggap sebagai produk bermutu tinggi.



119



Produk-produk tersebut sebenarnya merupakan sebagian kecil dari produk 31 merek terkenal yang dimiliki oleh perusahaan multinasional Unilever Indonesia.



Gambar 1. Daftar merek dagang yang dikelola perusahaan Unilever (Sumber: https://www.unilever.co.id/brands/)



Perusahaan raksasa multinasional ini berinduk pada perusahaan Unilever Global dan berbisnis di lebih dari 100 negara. Logo perusahaan Unilever yang sekarang memakai hanya 2 warna yaitu warna biru dan putih.



Gambar 2. Logo Unilever (Sumber: https://www.unilever.com/about/who-we-are/our-logo/ )



Menurut De Rooi (2006, hlm. 202), logo Unilever yang diimplementasikan pada tahun 2004,



pada hari jadinya yang ke 75 tahun, memuat 25 simbol. Simbol-simbol tersebut



merepresentasikan secara visual berbagai aspek bisnis Unilever yang sekaligus memperlihatkan identitas perusahaannya. “….With our new logo, supported by our vitality mission, we hope to become more visible and make it clearer who we are and what we do.” Diharapkan dengan logo yang baru, publik dapat mengenali segala sesuatu tentang perusahaan Unilever dari aspek siapa dan apa (who and what). Logo Unilever yang karismatik terdiri dari 25 simbol, sangatlah menarik perhatian untuk dicermati lebih lanjut.



Sesuai fungsinya, simbol-simbol tersebut diharapkan mampu



mengedapankan citra positif suatu perusahaan dengan mempresentasikan sekaligus visi dan misi perusahaan. Mengingat logo perusahaan multinasional Unilever ini digunakan pada lebih dari 100 negara – yang masing-masing memiliki cara pandang dan budaya yang berlainan -, menimbulkan sebuah permasalahan pokok yaitu apakah ke-25 simbol dapat dilihat dan ditangkap maknanya secara gamblang dan seragam di semua negara. Sebagai contoh, simbol 120



dimaksudkan sebagai



gambar saos dan selai. Orang Indonesia melihatnya lebih sebagai ikon untuk keong. Berdasarkan masalah pokok tersebut, pertanyaan dalam makalah ini kemudian dirumuskan menjadi : 1. Apakah makna simbol atau ikon yang terdapat pada logo Unilever dapat langsung berterima di negara-negara tempat perusahaan Unilever melakukan usahanya? 2. Apakah ke 25 gambar vektor dalam logo Unilever, lebih tepat dinyatakan sebagai simbol atau ikon? Terdapat penggunaan istilah ikon dan simbol yang tidak konsisten pada laman www. unilever.com dan pada buku terbitan Unilever, berjudul Matters, a global company interacting with society, (2006, hlm. 202). 3. Bagaimanakah cara orang memaknai simbol-simbol tersebut? Apakah proses pemaknaan yang terjadi lebih berdasarkan asosiasi atau persamaan atau faktor lainnya? Ulasan jawaban akan didasarkan pada definisi ikon dan simbol dari Dirven dan Verspoor (2001). Makalah ini memiliki 3 tujuan. Pertama untuk memberikan paparan tentang adanya keragaman



pemaknaan simbol dan ikon. Kedua, mengidentifikasi gambar vektor pada logo



sebagai ikon atau simbol dan ketiga, mengilustrasikan proses pembentukan makna secara mikro yang diwakili Indonesia dan makro yaitu masyarakat Internasional. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif yang didasarkan pada analisis komparatif. Analisis komparatif dilakukan dengan membandingkan hasil survei dengan data sumber. Untuk mendapatkan jawaban dari pokok permasalahan dilakukan survei berupa angket. Arikunto (2006, hlm. 151) menyatakan bahwa angket adalah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal yang ia ketahui.



Teknik pengumpulan data ini dirasa paling tepat untuk studi ini karena adanya



keterbatasan waktu dan tenaga. Responden terdiri dari 20 orang yang berusia antara 18 tahun hingga 56 tahun. Terdapat 11 responden wanita dan 9 responden pria. Mayoritas responden berdomisili di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Selebihnya tersebar di Jawa Tengah dan luar Jawa seperti di Padang dan bahkan di luar Indonesia seperti di Jerman. Para responden berasal dari berbagai kalangan, yaitu mahasiswa, dosen, karyawan dan satpam. Para responden mendapatkan 2 tugas. Pertama, mereka diminta menyebutkan ke-25 gambar-gambar vektor pada logo Unilever tanpa mengetahui bahwa gambar-gambar tersebut berasal dari logo Unilever. Kedua, mereka diminta untuk memberikan pendapat mereka mengenai gambar-gambar vektor sebelumnya yang dikaitkan dengan produk dan visi misi Unilever. Mereka cukup menyampaikan apakah mereka setuju/sepakat atau tidak dengan penggunaan vektor tersebut. Pemberian lembar soal dan 121



jawaban (lihat: Gambar 5) dilakukan dengan 2 cara yaitu secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan dengan memberikan sendiri lembar soal dan –jawaban kepada responden dan setelah mereka mengerjakannya, dilakukanlah wawancara. Cara yang tidak langsung adalah dengan mengirim foto lembar soal dan jawaban melalui media Whatsapp dan meminta para responden mengirimnya kembali. Setelah mendapatkan jawaban, dilakukan percakapan per telepon. Korpus makalah adalah logo Unilever yang diimplementasikan pada tahun 2004 yang terdiri dari 25 gambar vektor dan tanggapan para responden terhadap pemilihan gambar vektor tersebut.



2. Latar Belakang Logo Unilever Menurut laman resmi perusahaan Unilever Global (www.unilever.com), perusahaan Unilever adalah suatu perusahaan raksasa multinasional Inggris-Belanda yang bergerak di bidang makanan, minuman; pemeliharaan kebersihan dan perawatan personal. Kantor utamanya ada 2, yaitu Unilever N.V. di Rotterdam di Belanda dan Unilever plc,London di Inggris. Pada tahun 2012, perusahaan Unilever adalah salah satu dari 3 perusahaan makanan dan perawatan personal terbesar di dunia. Saingannya adalah perusahaan Procter & Gamble and Nestlé. Perusahaan Unilever di Indonesia merupakan salah satu perusahaan Unilever Global yang beroperasi di kurang lebih 100 negara dengan memegang tak kurang dari 400 merek dagang dengan berbagai pilihan produk. Jumlah negara tidak disebutkan secara terperinci. Pada sejumlah referensi ditemukan angka yang berbeda. Bahkan dalam artikel di internet "Unilever buys some Sara Lee businesses for almost $2B" (2009). disebutkan angka 190. Negara-negara tersebut terbagi ke dalam lima zona besar, yaitu Afrika, Amerika, Asia Pasifik, Eropa dan Timur Tengah. Perusahaan Unilever Global pertama kali didirikan pada tahun 1930 dan merupakan hasil merger 2 perusahaan, yaitu perusahaan Belanda pembuat margarin Margarine Unie dan perusahaan Inggris pembuat sabun Lever Brothers. Tiga tahun kemudian, perusahaan Unilever Indonesia didirikan. Di pertengahan kedua abad ke-20, perusahaan multinasional ini semakin mengembangkan usahanya, dan tak lagi menghasilkan produk yang berbahan bakar lemak nabati dan hewani saja. Unilever juga memperluas daerah operasinya. Dalam laman resmi Unilever Global, disebutkan



bahwa visinya adalah “ …making sustainable living commonplace.”



‘menciptakan ruang hidup natural yang berkelanjutan.’



Misinya adalah:“….supporting



sustainability and providing our consumers around the world with the products they need to look good, feel good and get more out of life “ ‘ mendukung kondisi berkelanjutan dan menyediakan 122



barang-barang kebutuhan bagi pelanggan di seluruh dunia dengan produk-produknya yang membuat mereka terlihat baik, merasa nyaman dan mendapatkan lebih banyak kebaikan dari kehidupan ini’. Misi mereka dicapai dengan berfokus pada lima hal, yaitu: a better future for children,’ masa depan yang lebih baik bagi anak-anak’, a healthier future ‘masa depan yang lebih sehat’, a more confident future ‘masa depan yang lebih pasti’ , a better future for the planet ‘masa depan yang lebih baik bagi bumi, dan a better future for farming and farmers,’masa depan yang lebih baik untuk agrotani dan para petani’. Berpedoman pada visi dan misi, perusahaan Unilever jelas memiliki standar prilaku perusahaan yang tinggi dengan memperhatikan rekanan kerja dan lingkungan hidup. Rekanan kerja adalah komunitas yang terlibat dalam operasi bisnis dan kegiatan perusahaan Unilever. Perusahaan Unilever sedapat mungkin bekerja dengan prinsip ramah lingkungan. Logo perusahaan Unilever telah mengalami perubahan. Diawali dengan logonya Unilever yang sederhana di tahun 1964, yang hanya berupa huruf U dengan dominasi warna biru dan tulisan Unilever. Sejak tahun 2004, logo tersebut berubah menjadi logo yang kharismatik, sarat dengan 25 gambar vektor yang menggambarkan produk yang dijual, bahan dasar produk yang dipergunakan dan visi misi yang diembannya. Logo baru ini didesain oleh konsultan merek Wolff Olins.



Gambar 3. Penggantian Logo Unilever (Sumber: http://logos.wikia.com/wiki/Unilever)



Huruf U, selain mewakili kata Unilever, juga menggambarkan citra perusahaan yang memiliki merek ‘ quality mark, ‘yang berkualitas’, guaranteeing , ‘terjamin mutunya’, reliablitiy ‘dapat dipercaya’, vitality ‘berenergi’ dan reponsiblity dan ‘bertanggung jawab’.



123



Didukung oleh 25



simbol yang dimuat pada huruf U tersebut, logo tersebut diharapkan menjadi magnet untuk menarik konsumen baru dan mempertahankan kesetiaan konsumen lama. Gambar 5 adalah kumpulan ke-25 gambar vektor yang termuat dalam logo Unilever versi 2004 beserta keterangan maknanya. Dalam keterangan itu juga dijelaskan tentang simbol atau keterangan produk, -visi misi yang hendak dicapainya. Selanjutnya, dalam bagian analisis ini, akan digunakan istilah gambar vektor untuk simbol/ikon yang terdapat pada logo. Gambar vektor adalah gambar digital yang membentuk suatu garis atau kurva yang kemudian menjadi sebuah objek. Gambar objek seperti ini, apabila dibesarkan tidak akan pecah. Biasanya sering digunakan dalam aplikasi pembuatan logo, image tracing. ( http://portofoliodesain.blogspot.co.id/2010/09/ perbedaan-gambar-gambar gambar vektor-dan-gambar.htmlg) Matahari. Sumber energi. Lambang vitalitas. Produk yang dimaksudkan adalah antara lain margarine Becel sebagai sumber energi dan detergen Omo yang menggunakan energi matahari dalam proses kerjanya.



Simbol daur ulang. Ini menyiratkan keawetan



DNA. Kunci kehidupan yang sehat. Lambang biosains . Matahari sebagai tonggak kehidupan kehidupan dan DNA adalah yang terkecil.



Partikel, komponen.Gambar ini mengacu pada iptek, busa dan gelembung.



Lebah. Lambang pekerja keras dan karya cipta. Lebah merupakan simbol tantangan dan kesempatan mengelola alam. Tangan. Simbol kepekaan, perawatan dan kebutuhan. Diasososiasikan dengan kulit dan sentuhan



Bibir. Gambar ini melambangkan kecantikan, penampilan yang indah dan ras.



Burung. Burung adalah simbol kebebasan, melambangkan ketenangan setelah bekerja seharian dan dapat lebih menikmati hidup.



Rambut. Simbol kecantikan dan penampilan indah. Apabila rambut dikombinasikan dengan gambar bunga, melambangkan bersih, wangi dan apabila gambar rambut dikombinasikan dengan tangan, melambangkan rambut yang lembut.



124



Bunga merepresentasikan wewangian dan dikombinasikan dengan gambar tangan menjadi lambang krem perawataan kelembaban kulit Pohon Palem yang menghasilkan sumber energi yang menghasilkan minyak kelapa sawit, buah kelapa dan kurma. Pohon palem melambangkan surga. Saos atau selai juga melambangkan proses mencampur atau mengaduk dan juga penambah rasa.



Es Krim. Hidangan selingan yang menggembirakan dan penuh kenikmatan.



Sendok. Simbol untuk pemberian makan, mencicipi dan memasak.



Ombak. Melambangkan kebersihan, kesejukan, dan energi baik untuk kosmetika perawatan tubuh maupun cucian



Mangkuk yang berisi hidangan yang sedap dan harumnya menggoda. Simbol untuk makanan siap saji, minuman hangat dan sup Bumbu. Bumbu melambangkan penambah cita rasa dan kesegaran isi.



Tetesan air yang melambangkan air bersih dan kemurnian.



Ikan. Ikan merepresentasi makanan laut dan air tawar.



Baju. Gambar ini melambangkan cucian yang harum menyegarkan dan terlihat bagus.



Kilap. Lambang kebersihan, kesehatan dan luapan energi.



Hati. Gambar ini melambangkan cinta, perawatan dan kesehatan.



Teh, suatu tanaman atau ekstrak seperti teh, juga sebagai lambang pertumbuhan dan pertanian.



Beku. Gambar ini simbol dari kesegaran dan serpih/bunga salju melambangkan keadaan beku.



Wadah, kemasan pot yang melambangkan perawatan personal



Gambar 4. Gambar simbol logo Unilever dan maknanya (Sumber: https://www.unilever.com/about/who-we-are/our-logo/ )



3. Analisis Data



125



Untuk dapat memberikan jawaban atas permasalahan pokok, telah dilakukan survey terhadap 20 responden berupa kuesioner tentang 2 hal, yaitu 1. persepsi responden terhadap gambar gambar vektor tanpa bantuan konteks (Tugas 1) (Lihat: Gambar 5) dan 2. apakah mereka bisa menyepakati atau menyetujui



bahwa gambar-gambar vektor tersebut mewakili makna



tertentu, dari sudut pandang perusahaan Unilever? (Tugas 2). Untuk menyelesaikan kedua tugas, para responden diberikan waktu tidak lebih dari 15 menit. Mereka hanya menjawab berdasarkan kesan pertama yang mereka peroleh. Jawaban dari tugas bersifat relatif dan tidak ada konsep benar atau salah.



Contoh sebagian Tugas 1



Contoh sebagian Tugas 2



Gambar 5. Contoh Tugas1 dan Tugas 2 (Sumber: http://logos.wikia.com/wiki/Unilever)



Tugas 1 Di bawah ini dipaparkan jawaban Tugas 1 dari responden yang sudah dikelompokkan berdasarkan gambar-gambar vektor. Angka di belakang keterangan merupakan jumlah responden yang memberi jawaban yang sama. Gambar-gambar vektor yang tak memiliki angka berarti hanya sekali atau 2 kali muncul dalam jawaban. Kata bercetak tebal adalah benda yang sesuai dengan gambar vektor yang dimaksud perusahaan Unilever.



126



Tabel Jawaban Tugas 1 cipratan air (4) , cat, ( 4), ledakan api, kembang api, sinar,cahaya, bintang dan matahari ( 1 ) tidak tahu (2) sel/dna (4), ikan (3),jangkar, 2 huruf mati DO, tidak tahu (5) lebah (9), kumbang (7), kupu-kupu (4), tawon



daur ulang (10), refresh (3), ikan putaran, panah , tidak tahu (1)



bola-bola (2) molekul, buih, titik, jejak, ion, gelembung, sel,embun, spora, tidak tahu 4 burung (14) merpati (3), twitter, simbol kebebasan , simbol perdamaian api (5), kail, cakar, trisula, hembusan angin, kuncir , rambut, pengait



bibir



tangan (4) kuda laut, femininitas, vas bunga, ayam, kakak tua dan jejak kaki tidak tahu (7)



es krim (16 ) tanda panah, bom, ujung tombak, tidak tahu



daun (10), tanaman, bunga, pot tanaman, tumbuhan. daun teh (1)



bunga (20)



pohon kelapa (14) palem, pohon, kelapa sawit, pantai, tidak tahu(1)



serpih/butiran salju (5), bunga (2), pembibitan, daun semak-semak, bintang, lingkungan hidup, tidak tahu(2)



keong (6), spiral, obat nyamuk, centrifugal, kue mantao, perisai, es krim, jamur, pusaran air.



ombak (11), bintang, bulan sabit, bumi, angka,tidak tahu (4)



sendok (20)



tetesan air (8) lidah api (6), hujan, tidak tahu (2) ) hemaglobin



api (3), kopi (3), hidangan panas (3), uap (2) api unggun, bebek, keris, selendang, cangkir, mangkuk tidak



Container/ wadah, lambang pusat informasi, toples, orang memegang sendok, robot, botol tinta, botol, 127



tahu (1) cabe (10) wortel (7), lobak (3), agri tani



tidak tahu (7) pakaian/baju (11), alat pel, pelampung, sweater, ubur-ubur, kemeja, fashion, lidah tidak tahu (2) Hati (17), serangan jantung, cinta, kasih sayang



ikan (18) gelombang laut (1) tidak tahu (1)



matahari (5), letusan/ledakan(3) bulan bintang (3), gerhana kinclong (1) cincin tidak tahu (5)



Jika kita cermati, jawaban yang diberikan kepada 20 responden, orang Indonesia, pendidikan mimimal SMA, kita akan mendapati banyak hal. Jawaban Tugas I tanpa terpengaruh oleh konteks. Jawaban responden yang sesuai dengan maksud pihak Unilever hanya ada 3, yaitu bunga , bibir, dan sendok (100%). Ketiga gambar tersebut hanya mewakili 12% dari keseluruhan gambar vektor. Selanjutnya, gambar vektor ikan, hati, burung, dan pohon kelapa mengikutinya sebesar 90% dan 80%. Dengan demikian, tingkat kesamaan persepsi yang ditunjukkan masih tinggi. Gambar vektor tersebut dapat dikatakan mirip dengan benda yang kita kenali dalam kehidupan di sekeliling kita sehingga tidak ada kesulitan bagi responden dalam mengenali bendabenda ini. Ketidaksamaan atau perbedaan persepsi yang signifikan ditunjukkan pada gambar vektor berikut. keong



DNA



matahari



wadah



serpihan salju



cipratan air



rambut



bola-bola



lebih banyak dipersepsi responden sebagai cabe atau wortel. Dapat dikatakan bahwa gambar vektor itu banyak direspons dan dimaknai berbeda di antara responden (lihat Tabel 2 Gambar 6). Sebagai contoh



dipersepsikan sebagai keong, spiral, obat nyamuk, centrifugal, kue mantao,



perisai, es krim, jamur



dan pusaran air, padahal oleh perusahaan 128



Unilever



dimaksudkan sebagai simbol krim atau selai. Tingkat kesulitan mengenali benda-benda yang direpresentasikan dapat dilihat pada tabel 1. Jika kita perhatikan Gambar 6 pada Tabel 1 dan 2, terlihat bahwa ada persamaan dan keragaman persepsi gambar vektor meskipun para responden berada dan dibesarkan di lingkungan budaya yang sama yaitu Indonesia. Tabel 1 Kesamaan persepsi responden Objek dengan jawaban yang sama dengan responden lainnya bunga, bibir, sendok es krim ikan hati burung, pohon kelapa pakaian, cabe, daur ulang daun, ombak lebah tetesan air keong matahari, serpihan salju , sel dna wadah, ,cipratan air, bola-bola



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.



Tabel 2. Keragaman persepsi responden Tugas 1



Jumlah responden



Persentase (%)



20



100



19 18 17 14



95 90 85 70



11



55



10 9 8 6 5



50 45 40 30 25



4 3 2



20 15 10



1.



Yang sulit dna



2.



semangkuk sup



3.



tangan



4



rambut



5.



matahari



6.



kilap



7.



selai, krem



8.



komponen partikel



Persepsi Responden sel/dna ikan, jangkar, 2 huruf mati DO, tidak tahu api, kopi, hidangan panas, uap api unggun, bebek, keris, selendang, cangkir, mangkuk, tidak tahu tangan, kuda laut, femininitas, vas bunga, ayam, kakak tua dan jejak kaki tidak tahu api, kail, cakar, trisula, hembusan angin, kuncir , rambut, pengait cipratan air , cat, , ledakan api, kembang api, sinar,cahaya, bintang dan matahari tidak tahu matahari , letusan/ledakan bulan bintang, gerhana kinclong , cincin tidak tahu keong , spiral, obat nyamuk, centrifugal, kue mantao, perisai, es krim, jamur, pusaran air. serpih/butiran salju, bunga, pembibitan, daun semak-semak, bintang, lingkungan hidup, tidak tahu



Pada tabel 2 tampak adanya keanekearagaman persepsi yang signifikan dari satu gambar vektor.



Kearagaman persepsi tersebut dapat berlandaskan



kesamaan /kemiripan yang



sebahagian atau keseluruhan benda. Di samping itu, ada yang berlandaskan hubungan jenis (hiponim), hiperonim, sinonim, atau bahkan berlandaskan keterkaitannya (asosiasi) yang tidak langsung. Gambar vektor ini diidentifikasi responden dengan penyebutan suatu hiponim tepatnya jenis pohon palem seperti : pohon kelapa palem, pohon, kelapa sawit. Selain itu muncul kata pantai yang dilandasi oleh pemikiran asosiatif. Contoh yang lain adalah



yang dipersepsikan sebagai



pakaian/baju , alat pel, pelampung, sweater, ubur-ubur, kemeja, fashion, lidah dan tidak tahu. Jawaban yang diberikan seperti pelampung, ubur-ubur, alat pel dan lidah tidak sesuai 129



dengan harapan Perusahaan Unilever, yaitu pakaian. Jawaban alat pel, pelampung, ubur-ubur dan lidah tampak dilandasi oleh faktor kemiripan yang sebagian. Alat pel yang dimaksud adalah kainnya, pelampung tampak mirip dari bentuknya dan juga letak kemiringannya jika berada di air. Ubur-ubur tampak memiliki kesamaan dengan lengan lengan baju yang panjang bila dikaitkan dengan kaki-kakinya yang banyak dan panjang. Gambar vektor pakaian dengan lengannya yang panjang dikaitkan dengan lidah sebagai bagian organ manusia yang lentur dan dapat digerakkan sedemikian rupa bagai cucian yang tertiup angin, bergerak bebas. Jawaban seperti pakaian, baju dan sweater dapatlah dikaitkan dengan unsur jenis (hiponim) yang termasuk dalam kategori yang sama, berdasarkan kesamaan yang banyak. Pada hasil kuesioner juga ditemukan jawaban “tidak tahu” untuk beberapa vektor. Hal itu terjadi karena tidak ditemukannya korelasi antargambar vektor dengan wawasan yang dimiliki responden, baik yang berasal dari pengalaman atau pengetahuannya. Mereka tidak dapat melihat kemiripan atau asosiasi yang dapat menghubungkannya dengan bagasi pengetahuannya. Ada beberapa gambar vektor yang tak dapat atau sangat sulit untuk dicarikan keterkaitannya dengan kehidupan atau budaya yang mengelilingi mereka sehari-hari. Kesulitan terbesar yang ditemukan sebagian besar responden adalah pada gambar vektor rambut, dan



matahari,



kilap,



selai atau krim.



Menjawab pertanyaaan kedua yaitu apakah ke 25 gambar vektor merupakan simbol atau ikon. Dengan menggunakan definisi ikon dan simbol Dirven dan Verspoor (2001, hlm.6), istilah ikon dapat digunakan pihak perusahaan Unilever di negara yang memiliki budaya dan persepsi yang sama dengan pihak Unilever yang menyiratkan pemikiran Barat. Hubungannya ditekankan kepada gelijkenis ‘kesamaan’. Sementara itu, jika gambar-gambar vektornya disebut dengan istilah simbol, tingkat kemungkinan penerimaan pemaknaan atau persepsi tersebut akan lebih besar meskipun dengan tidak langsung. Hal ini karena hubungan antara yang menandai dan ditandai berlandaskan ‘conventionele band ‘hubungan kesepakatan’. Pada tugas 1, ada beberapa gambar vektor yang sulit dipersepsikan atau tak segera dapat dipahami. Hal tersebut disebabkan seluruh



responden adalah orang Indonesia yang



memiliki cara pandang budaya ketimuran.



Budaya menentukan cara kita memandang



masih dan



berpikir tentang sesuatu hal. Mencermati hasil tugas 2 pada tabel 2, tampak terjadi perubahan persepsi setelah para responden diberikan keterangan bahwa daftar gambar vektor tersebut mewakili produk-produk Unilever. 130



Tabel 3. Hasil tugas 2



Urutan Objek yang disetujui, disepakati, 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Jumlah Persentase (%) lebah, sendok, hati, bibir, bunga, 20 100 lebah es krim, ikan, 19 95 burung, tetasan air 18 90 pohon palem, daur ulang dan ombak 17 85 pakaian 16 80 teh, rambut dan partikel 12 60 kilap, cemerlang, mangkuk, bunga 10 50 dan tangan



Para responden tampak terpengaruh oleh konteks dan mengubah cara pandang mereka. Mayoritas jawaban bersifat menyetujui dan menyepakati makna atau representasi yang termuat pada logo perusahaan Unilever. Di sini terjadi semacam proses “kesepakatan” yang tidak kentara atau gamblang. Proses ini berlangsung karena image Unilever yang superior. Ke-22 gambar vektor mendapatkan persetujuan dan kesepakatan dengan “mudah atau langsung” dari para responden, meskipun sisanya seperti DNA, beku (makanan yang dibekukan) dan selai/krem tidak. Mereka sulit melihat keterkaitan antara ketiga benda tersebut melalui media kemiripan atau asosiasi. DNA, beku, dan selai memang hal yang berkaitan dengan budaya tertentu dan hal itu mungkin belumlah menjadi sesuatu yang umum. Budaya dipengaruhi berbagai faktor seperti pendidikan, pengalaman, lingkungan hidup, bahasa,kepercayaan, norma sosial, kelas sosial masyarkat, gender dan lainnya lagi. Pada kelompok masyarakat yang sama tentu masih dapat ditemukan adanya keragaman juga, namun angkanya tampak kecil sekali jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat global. Dalam kasus logo Unilever ini, penggunaan istilah ikon akan tepat ditujukan bagi masyarakat yang dapat mengindentifikasi gambar vektor yang dimaksud dan penggunaan istilah simbol lebih mudah diterapkan pada masyarakat internasional. Pihak perusahaan Unilever bertindak sebagai agent of socialization (2013) yang memperkenalkan makna gambar vektor tersebut kepada masyarakat luas



dalam lima zona operasinya, yaitu Amerika, Asia Pasifik, 131



Afrika, Timur Tengah dan Eropa yang memiliki keragaman budaya. Kelompok masyarakat itu lalu mengadaptasinya atas dasar kesepakatan. Di sinilah terjadi proses sosialisasi high culture (budaya yang dipandang lebih tinggi) kepada pop culture (budaya lokal) yang mengarah kepada global culture (budaya global) sejalan dengan proses Socialization dalam Introduction to Sociology (2013). Proses transfer budaya dari perusahaan yang memiliki image istimewa kepada konsumennya menjadikan hal-hal yang awalnya asing / tak dikenali dalam budaya konsumennya, perlahan-lahan teradaptasi dan menjadi bagian dari budayanya dan bagian dari dirinya. Hal itu berlangsung tak terlihat dan tak disadari.



4. Simpulan Logo persahaan raksasa multinasional Unilever menjadi semacam kartu identitas perusahaan. Duapuluh lima gambar vektor yang merepresentasikan produk, visi dan misinya, memang tidak langsung dapat dimaknai dan dipersepsikan “sama” oleh konsumen di semua negara tempat perusahaan Unilever beroperasi. Hal itu karena adanya benturan budaya yang menyebabkan terjadinya keragaman persepsi di dalam masyarakat. Istilah ikon dan simbol yang ditemukan di laman resmi Unilever atau pustakanya dapat digunakan bergantian. Jika mengacu pada perusahaan Unilever Global, pantaslah istilah simbol digunakan. Jika mengacu pada perusahaan Unilever lokal, istilah ikon dapat digunakan. Landasan penentunya adalah unsur kemiripan atau kesepakatan yang terjalin. Sebagai perusahaan multinasional, Unilever telah menjadi semacam agent of socialization yang secara tidak langsung memperkenalkan budaya tinggi kepada budaya lokal dan perlahanlahan diadaptasi oleh budaya lokal. Dalam hal ini, yang awalnya mengalami benturan budaya dan bersifat kontra, perlahan-lahan dapat melebur dan beradaptasi dengan budaya lokal. Kontra dan pro yang ekstrem terhadap pemaknaan logo Unilever tak pernah ada sesungguhnya.



Daftar Acuan Arikunto, S, (2006). Metodelogi penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara. De Rooi, M, (2006). Matters. A global company interacting with society.Alphen aan de Rijn: Dutch Publishers.



132



Dirven, R. dan Verspoor, M.(ed). ( 2001). Cognietieve inleiding tot taal en taalwetenschap. Leuven: Acco. Openstax College. (2013). Introduction to sociology.Houston: Rice University. Winarno, B. (2004). Shaping a great future: the continuing journey to place Unilever Inodneia in every home every day. Jakarta: PT Unilever Indonesia Tbk.



Laman internet http://logos.wikia.com/wiki/Unilever/. Diakses hari Selasa , 12 Juli 2016, pukul 20.30. https://www.unilever.co.id/brands/. Diakses hari Senin, 18 Juli 2016. pukul 22.30. https://www.unilever.com/about/who-we-are/our-logo/. Diakses, hari Sabtu, 23 Juli 2016. https://www.unilever.com/ Diakses, hari Jumat, 22 Juli 2016. https://www.unilever.co.id/ Diakses hari Sabtu, 9 Juli 2016. http://portofoliodesain.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-gambar-gambargambar vektor-dangambar.html. Diakses hari Sabtu, 24 Juli 2016 jam http://www.unilever.com/sustainable-liviingliving/ourapproach/ourbuisinessataglance/ http://portofoliodesain.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-gambar-gambar gambar vektor-dangambar.html/. Diakses hari Sabtu, 24 Juli 2016, pukul 08.00. http://usatoday30.usatoday.com/money/world/2009-09-25-unilever_N.htm "Unilever buys some Sara Lee businesses formost $2B". USA Today.25 September 2009.Diakses hari Selasa, 12 Juli 2016 pukul 21.30.



,



133



MITOS DAN KONOTASI DALAM IKLAN PRODUK KECANTIKAN DAN KESEHATAN BIBIR PADA MAJALAH COSMO GIRL: SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK



Aprivianti Sugiyo (Mahasiswa Pascasarjana Departemen Linguistik FIB UI, [email protected]) Abstrak Kecantikan dan kesehatan menjadi hal yang paling diperhatikan oleh perempuan urban. Salah satu bagian tubuh yang merepresentasikan kecantikan seorang perempuan adalah wajah, terutama bibir. Banyak perempuan ingin memiliki bibir yang cantik dan sehat untuk menjaga penampilan mereka di hadapan orang lain. Hal tersebut menjadi daya tarik industri untuk membuat produk-produk pemulas bibir. Makalah ini menunjukkan mitos-mitos yang beredar di kalangan perempuan pekerja di lingkungan kantor media Republika mengenai kecantikan dan kesehatan bibir. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik untuk menganalisis data dan akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Barthes mengenai konsep mitos dan konotasi. Data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah iklan-iklan yang berkaitan dengan kecantikan dan kesehatan bibir dalam majalah Cosmo Girl selama tiga bulan, yaitu Maret, April, dan Mei 2016, atau sebanyak tiga edisi. Dalam tiga edisi tersebut, ditemukan dua iklan yang berkaitan dengan kecantikan dan kesehatan bibir. Iklan-iklan yang dianalisis tersebut adalah Lip Cream Wardah, Emina Sugar Rush, dan Lip Scrub Emina. Pemilihan warna lipstik yang menarik dan sesuai dengan warna kulit, bibir yang tidak kering, dan penggambaran orang berkulit putih yang membuat warna lipstik terlihat cerah, menjadi mitos dan konotasi yang berkembang di masyarakat mengenai kecantikan dan kesehatan bibir. Kata kunci: iklan, kecantikan, mitos, konotasi, bibir. 1.



Pendahuluan Iklan merupakan salah satu perwujudan kebudayaan karena berasal dari akal dan daya



manusia. Iklan mempunyai fungsi memperkenalkan barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, baik untuk dibeli maupun untuk dipakai tanpa dibeli. Tujuan iklan adalah agar khalayak mempunyai kepercayaan pada produk yang diiklankan (Hoed, 2014: 269). Iklan dapat ditemukan di manapun, baik di media cetak, daring, maupun sepanjang jalan dalam bentuk reklame dan sebagainya. Produk yang diiklankan pun bermacam-macam dan meliputi segala barang yang dibutuhkan masyarakat. Strategi yang dilakukan perusahaan iklan untuk memasarkan produknya pun bervariasi. Dalam periklanan, pemasaran memerhatikan dua hal, yaitu imej dan simbol konsumsi. Imej berarti bahwa konsumen mengasosiasikannya dengan merek tertentu. Secara semiotik, beberapa komponen yang diperhitungkan dalam imej, seperti karakteristik produk, nilai 134



finansial, dan kesesuaian sosial, merupakan petanda atau isi dari produk, sementara objek materialnya adalah penanda. Sementara itu, simbol konsumsi membuat beberapa asumsi mengenai makna tanda. Makna tanda tersebut tidak hanya mewakili karakteristik produk, tetapi juga karakteristik konsumen itu sendiri (Noth, 1995: 443). Di dalam iklan, terdapat upaya pengiklan untuk membangun kesan yang mendalam dalam benak kelompok sasaran dengan cara menyaring muatan informasi mengenai sebuah produk yang dinamakan positioning (Ries dan Trout, 2001: 1-2). Upaya positioning bertujuan untuk menjual produk di antara berbagai produk yang sejenis. Positioning membutuhkan alat, yaitu bahasa dan gambar. Bahasa yang digunakan untuk positioning, yaitu uraian verbal, stilistik, dan retorik, sedangkan ikon dan unsur ikonis nongambar, seperti suara dan onomatope, termasuk ke dalam kategori alat positioning gambar. Iklan mewakili suatu makna tertentu yang oleh pembuatnya ingin disampaikan kepada khalayak sasaran, yakni kelompok tertentu dalam masyarakat (Hoed, 2014: 270). Secara semiotik, unsur-unsur verbal dan nonverbal yang terdapat di dalam iklan digolongkan sebagai tanda sehingga ada banyak penafsiran dalam memaknainya. Barthes (1964) menyebutkan bahwa terdapat makna denotasi dan konotasi dalam suatu tanda. Makna denotasi adalah makna yang disepakati bersama mengenai objek, keadaan, dan peristiwa, sedangkan makna konotasi merupakan perluasan makna dari makna denotasi. Makna konotasi tersebut bergantung pada pengetahuan budaya. Konotasi yang terbentuk kemudian dapat muncul sebagai ideologi dan mitos di masyarakat tertentu. Makna-makna tanda yang berlaku di dalam masyarakat yang memiliki suatu cara pandang tertentu yang sudah terbentuk dan menjadi milik bersama selama bertahun-tahun disebut oleh Barthes sebagai mitos. Mitos yang beredar di masyarakat mengalami proses penyebaran dan disosialisasikan salah satunya dengan media, seperti majalah dan iklan. Banyak mitos terbentuk di masyarakat, salah satunya mitos mengenai kecantikan dan kesehatan. Kecantikan dan kesehatan menjadi hal yang paling diperhatikan oleh perempuan urban, khususnya. Salah satu bagian tubuh yang merepresentasikan kecantikan seorang perempuan adalah wajah, terutama bibir. Banyak perempuan ingin memiliki bibir yang cantik dan sehat untuk menjaga penampilan mereka di hadapan orang lain. Hal tersebut menjadi daya tarik industri untuk membuat produk-produk pemulas bibir. Melalui iklan, tanda kebudayaan dapat menjelaskan mitos apa saja yang berkaitan dengan kecantikan dan kesehatan bibir yang beredar di masyarakat. Mitos-mitos tersebut dapat terungkap dari tanda-tanda yang digunakan oleh pengiklan, baik verbal maupun nonverbal, atas produk yang ditawarkan. Dengan demikian, kita dapat menganalisis iklan 135



mengenai produk perawatan bibir dengan melihat tanda denotasi dan konotasinya. Penyelidikan atas makna-makna tersebut dapat mengungkapkan mitos yang berkembang di masyarakat mengenai kecantikan dan kesehatan bibir. Penelitian ini melihat bagaimana tanda-tanda verbal dan nonverbal yang disajikan dalam iklan pada majalah dapat membangun mitos yang beredar di kaum perempuan urban. Dengan mengambil tiga data iklan di majalah Cosmo Girl, majalah yang dianggap mewakili kaum perempuan urban, responden penelitian ini adalah perempuan pekerja di Republika sebagai contoh studi kasus. Teori yang digunakan adalah teori mengenai konotasi dan mitos yang dikemukakan Barthes.



2.



Mitos dan Konotasi dalam Iklan Manusia selalu dikelilingi tanda sehingga manusia pun mampu untuk menciptakan



tanda. Tanda inilah yang menjadi salah satu alat manusia untuk dapat berkomunikasi dengan benda dan orang sekitarnya. Tanda-tanda tersebut mengekspresikan ide yang merupakan kejadian mental yang menyangkut akal manusia. Dalam semiotik, di balik sebuah kejadian terdapat sebuah makna. Konsep mengenai tanda salah satunya dikemukakan oleh Barthes. Barthes mengadopsi tanda Saussure, yaitu mengenai petanda dan penanda. Namun, Barthes menggunakan istilah ekspresi (E) sebagai penanda dan isi (C) sebagai petanda. Makna tanda didasari dari relasi (R) antara E dan C. Dari kaitan E-R-C ini, Barthes mengembangkan teori tanda ke dalam dua sistem. Pertama adalah denotasi yang memperlihatkan hubungan ekspresi dan isi. Di balik makna denotasi tersebut, ada lapisan makna lain di dalamnya yang tersirat. Makna tersebut disebut oleh Barthes sebagai konotasi. Ekspresi pada denotasi dapat mengalami perluasan yang disebut dengan metabahasa. Perkembangan pada metabahasa hanya terjadi pada bentuknya, tetapi makna yang diacu tetap sama. Dalam denotasi, pemaknaan dilakukan berdasarkan konvensi yang berlaku di masyarakat. Sementara itu, konotasi memperluaskan makna dari denotasi. Bagi Barthes, konotasi digunakan untuk melihat gejala kebahasaan dan budaya dalam masyarakat. Makna konotasi terbentuk karena pengaruh sejarah dan pengalaman budaya seseorang. Dari konotasi terbentuklah mitos. Barthes menjelaskan mitos dengan tetap bertumpu pada penanda, petanda, dan tanda. Mitos ditempatkan layaknya konotasi, yaitu pada tataran kedua, karena keseluruhan citra dan konsep pada tataran pertama hanya menjadi penanda pada tataran kedua. 136



Konsep konotasi dan mitos ini akan menjadi acuan peneliti dalam menganalisis iklan. Iklan terdiri atas unsur-unsur yang memiliki potensi membangun makna. Unsur-unsur tersebut, yaitu (1) unsur verbal, segala sesuatu yang pengoperasiannya menggunakan kaidah bahasa; (2) unsur nonverbal, berupa gambar, warna, tipe tulisan, dan besar kecil tulisan; (3) unsur ikonis, unsur nonverbal yang berada di media cetak. Menurut Kasali (1998), iklan tidak memiliki struktur baku, tetapi kebanyakan iklan media cetak terdiri atas headline, subheadline, body copy, slogan, dan logo (merek dagang). Headline merupakan judul iklan yang mempunyai peranan yang penting. Inti dari headline bukan pada letaknya, melainkan merupakan bagian pertama yang dibaca oleh konsumen. Sementara itu, subheadline merupakan bagian lanjutan dari headline yang mempunyai kalimat yang cukup panjang. Kemudian, body copy adalah penjelasan produk secara perinci yang mencakup manfaat produk, alasan konsumen membeli produk tersebut, dan pesan yang diharapkan untuk dilakukan oleh konsumen. Slogan ialah kata-kata yang mudah diingat. Slogan bisa saja merupakan headline atau body copy. Terakhir, logo (merek dagang) adalah kunci dari iklan karena terkadang orang akan membeli produk karena mereknya untuk dapat menaikkan citra dirinya di masyarakat.



3.



Mitos dan Konotasi oleh Perempuan Urban terhadap Kecantikan dan Kesehatan Bibir Tiga iklan produk perawatan bibir di majalah Cosmo Girl edisi Maret, April, dan Mei



2016 dianalisis untuk mengungkapkan berbagai mitos mengenai kecantikan dan kesehatan bibir yang beredar di kalangan perempuan pekerja di perkotaan. Dengan responden penelitian adalah para perempuan yang bekerja di harian Republika dengan latar belakang pendidikan, usia, dan bidang yang berbeda, penelitian ini menjadi contoh studi kasus terhadap mitos dan konotasi dalam iklan produk perawatan bibir. Ketiga iklan dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu deskripsi unsur-unsur iklan, kategorisasi unsur iklan sebagai tanda (coding), dan interpretasi peneliti mengenai makna tanda dari responden. Pada tahap pertama, unsur verbal dan ikonis pada masing-masing iklan dideskripsikan dan dikelompokkan berdasarkan fungsi unsur verbal sebagai headline, subheadline, atau body copy dan berdasarkan unsur ikonis yang berupa gambar, latar, model, atau warna. Proses kategorisasi pada tahap kedua akan memperlihatkan unsur tanda dalam iklan yang dimaknai oleh responden yang didapatkan dari penyebaran kuesioner. Pada tahap



137



terakhir, makna tanda yang diberikan oleh responden dianalisis konotasi dan mitosnya menurut interpretasi peneliti.



Data 1: Analisis Iklan Lip Cream Wardah



Gambar 1. Sumber: Cosmo Girl Maret 2016



Iklan ini memiliki unsur verbal yang ditonjolkan melalui penggunaan ukuran huruf yang relatif lebih besar dari unsur verbal lainnya sehingga unsur verbal yang menonjol tersebut adalah headline yang terdiri atas New, Wardah, Exclusive Matte, dan Lip Cream. Kemudian, dalam iklan ini, juga terdapat subheadline dengan ukuran huruf yang lebih kecil yang berbunyi “Intensitas kemewahan warna sempurna tak terlupakan”. Body copy pada iklan ini tertulis di bawah subheadline dengan bunyi: Naikkan intensitas kehadiranmu dengan tampilan bibir mewah sempurna dari Wardah Exclusive Matte Lip Cream.  Inovasi Lushlip Liquid dengan tekstur cream lembut untuk aplikasi sekali oles dengan warna merata.  Kandungan Colorbinding Pigments di dalamnya memberikan matte finish intens yang tahan lama.



Terdapat beberapa unsur ikonis di dalam iklan ini. Pertama, dua model yang masingmasing memegang produk lip cream dengan warna yang sama dengan yang mereka oleskan di bibirnya saat berfoto. Satu model mempunyai muka seperti orang Eropa dengan rambut berwarna cokelat, berkulit putih, dan menggunakan lipstik berwarna merah. Model lainnya menggunakan hijab, berkulit putih, dan menggunakan lipstik berwarna merah muda. Kedua model menggunakan pakaian berwarna putih. Kemudian, latar gambar adalah putih dengan corak cairan seperti cat berwarna merah dan merah muda. Gambar produk juga ditampilkan di dalam iklan ini. Terdapat enam warna 138



lip cream yang merupakan pilihan warna dari produk tersebut dan disertai dengan gambar bibir yang mewakili pilihan warna-warna tersebut. Iklan ini dimaknai oleh beberapa responden dengan melihat unsur verbal dan ikonis. Makna-makna tersebut disajikan dengan tabel di bawah ini. Jenis Tanda Tanda Verbal



No. 1.



Tanda Wardah Exclusive Matte Lip Cream



2.



Tanda Ikonis



Intensitas kemewahan warna sempurna tak terlupakan. Naikkan intensitas kehadiranmu dengan tampilan bibir mewah sempurna dari Wardah Exclusive Matte Lip Cream.  Inovasi Lushlip Liquid dengan tekstur cream lembut untuk aplikasi sekali oles dengan warna merata.  Kandungan Colorbinding Pigments di dalamnya memberikan matte finish intens yang tahan lama. 3. Model



4.



Warna



Makna Nama produk dan jenis produk yang terkenal dan dianggap semua orang tahu. Produk yang dapat membuat bibir basah, tidak kering, dan menjadi terlihat mewah. Produk yang ditargetkan untuk anak muda. Penjelasan iklan mudah dipahami karena menggunakan bahasa Indonesia yang singkat, tetapi detail, sehingga tidak membuat bingung. Dari keseluruhan tanda yang ada di dalam iklan, bagian penjelasan produk yang membuat menarik dan dapat meyakinkan pembaca ingin membelinya.



Kedua model adalah orang Eropa dan Indonesia. Penampilan dua model yang berbeda, satu memakai hijab dan lainnya tidak, berarti bahwa produk ini cocok, baik untuk perempuan yang berhijab maupun tidak. Selama ini, Wardah dikenal sebagai produk halal yang menargetkan muslimah, tetapi dengan adanya model yang tidak berhijab, iklan ini dimaksudkan untuk memberii tahu masyarakat bahwa Wardah juga dapat digunakan untuk orang nonmuslim. Pilihan warna yang ditampilkan menarik, terutama warna-warna pada lipstiknya. Perempuan cenderung untuk melihat warna lipstiknya yang dikaitkan dengan warna kulit mereka.



Dari data di atas, peneliti akan menguraikan konotasi yang beredar menurut interpretasi peneliti. Responden mengenal merek ini dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari pemaknaan mereka mengenai tanda verbal. Mereka sangat mengetahui fungsi dari produk ini dan keekslusifannya. Merek ini, menurut mereka, sangat dikenal di masyarakat dan tepercaya



139



sehingga ketika iklan ini pertama kali dimunculkan sebagai produk baru, kemungkinan orang akan membelinya karena melihat mereknya. Kemudian, responden mengetahui manfaat dari produk dan tertarik dengan pilihan warnanya. Namun, hal ini menjadi bertolak belakang karena responden tidak menyukai latar warna dan desain di dalam iklan. Menurut mereka, penonjolan keeksklusifannya jadi tidak tersampaikan karena bagi mereka, eksklusif adalah penggunaan latar dan warna yang simpel. Kecantikan yang ditunjukkan dari model dinilai responden sudah pas. Dengan kulit model yang putih, membuat warna lip cream jadi terlihat cerah dan bagus. Penggunaan model dinilai tepat karena menunjukkan bahwa produk ini tidak hanya untuk perempuan berhijab karena selama ini masyarakat lebih mengetahui Wardah sebagai produk yang bernuansa Islami. Jadi, dapat disimpulkan bahwa positioning yang dilakukan pengiklan berhasil. Penggunaan bahasa di dalam iklan tersebut membuat pembaca menjadi tertarik untuk membelinya karena pengiklan berhasil meyakinkan pembaca dengan manfaat yang dideskripsikan di dalam iklan tersebut. Penggunaan visual yang berkaitan dengan warna menjadi hal yang paling menarik di dalam iklan tersebut, terutama varian warna pada lip cream. Konotasi mengenai pemilihan model berhasil dilakukan pengiklan karena mitos bahwa perempuan putih menggunakan lipstik berwarna cerah adalah sebuah kecantikan. Perempuan cenderung untuk memilih warna lipstik yang sesuai dengan kulit mereka sehingga ketika melihat varian warna pada iklan, mereka akan mengira-ngira warna apa yang cocok dengan warna kulit mereka. Data 2: Analisis Iklan Emina Sugar Rush



Gambar 2. Sumber: Cosmo Girl April 2016



140



Unsur-unsur verbal yang terdapat di iklan ini yang menjadi headline adalah Emina dan Sugar Rush. Sementara itu, body copy pada iklan ini berbunyi: Be a sweetheart with vibrant color of Sugar Rush Lipstick! It’s yummy color and super creamy texture wil definitely make you sugar high!



Terdapat beberapa unsur ikonis dalam iklan ini. Pertama, model dalam iklan ini adalah perempuan muda dengan muka Eropa atau Amerika, berkulit putih, berambut pirang dan panjang, serta dengan memakai baju yang berbeda-beda. Latar dari gambar adalah berwarna putih. Terdapat frame atau seperti bingkai foto di tiap gambar modelnya yang tiap bingkai tersebut berlatar warna yang berbeda, bergantung pada warna lipstik ysng berada di depannya. Gambar produk ditampilkan di depan bingkai yang terdiri atas empat varian warna yang berbeda dan masing-masing nama warna yang juga nama jenis produk dituliskan di dalam bingkai tersebut. Makna dari unsur verbal dan ikonis digambarkan oleh responden sebagai berikut. Jenis Tanda Tanda Verbal



Tanda Ikonis



No. 1.



Tanda Emina Sugar Rush



2.



Be a sweetheart with vibrant color of Sugar Rush Lipstick! It’s yummy color and super creamy texture will definitely make you sugar high!



3.



Model



4.



Warna



Makna Merek produk, tetapi tidak begitu dikenal masyarakat karena produk baru. Bahasanya kurang meyakinkan karena tidak jelas penggunaan penulisan istilahistilahnya. Bahasa dalam iklan ini tidak meyakinkan pembaca untuk membelinya karena pemberian informasi yang kurang. Model adalah orang Eropa atau Amerika sehingga terlihat bahwa produk ini bukan buatan Indonesia atau ditujukan untuk skala internasional. Selain itu, penggunaan model yang berkulit putih membuat warna lisptik menjadi menarik. Karena model adalah remaja perempuan, produk ini ditujukan untuk usia remaja atau perempuan muda dengan usia berkisar antara 18 dan 22 tahun. Menarik, simpel, dan fresh seperti gaya hidup anak muda. Penggunaan latar warna yang sesuai dengan warna lipstik membuat menarik desain yang ditampilkan.



Dari data di atas, peneliti akan menguraikan konotasi yang beredar menurut interpretasi peneliti. Sebagian besar responden tidak mengenal merek ini sehingga mereka memaknai unsur verbal yang berupa merek berdasarkan makna denotasi itu sendiri. Konotasi 141



unsur verbal yang dari pengiklan, yaitu pengiklan menggunakan istilah-istilah asing yang terasa “sangat muda”, seperti be a sweetheart atau it’s yummy color yang menandakan bahwa sasaran pasar mereka adalah remaja. Namun, sayangnya, responden justru menganggap unsur verbal ini tidak menarik karena tidak memberikan informasi mengenai produk. Kemudian, responden tertarik dengan pilihan warnanya. Warna yang cerah dan fresh menjadi hal yang paling menarik di antara unsur lainnya. Kesan muda dan simpel tergambarkan melalui warna dalam iklan. Kecantikan yang ditunjukkan dari model dinilai responden sudah pas. Muka orang Barat yang berkulit putih sebagai model membuat warna-warna lipstik tampak bagus dilihat. Warna-warna pada lipstik pun membuat responden tertarik untuk membelinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa positioning yang dilakukan pengiklan cukup berhasil karena didukung oleh penggunaan latar dan desain yang simpel meskipun sebagian besar responden tidak mengetahui merek tersebut. Penggunaan warna yang cerah sebagai latar dalam desain membuat responden tertarik dan menganggap bahwa varian warna lipstik pada produk tersebut fresh. Responden menganggap bahwa sasaran iklan ini adalah remaja. Konotasi yang diberikan oleh pengiklan dalam penggunaan model orang Eropa yang berkulit putih menjadi mitos di kalangan perempuan bahwa kecantikan bibir dapat terpancarkan dengan penggunaan warna-warna cerah pada lipstik di bibir orang berkulit putih. Data 3: Analisis Iklan Emina Sugar Rush Lip Scrub



Gambar 3. Sumber: Cosmo Girl April 2016



Unsur-unsur verbal yang terdapat di iklan ini yang menjadi headline adalah Get Pretty Lips, Now! dan Emina Sugar Rush Lip Scrub. Subheadline dalam iklan ini adalah “The perfect way to get your lips preety and healthy”. Sementara itu, body copy pada iklan ini berbunyi: 142



Campuran butiran halus gula dan biji buah aprikot yang terdapat dalam Emina Sugar Rush Lip Scrub membantu mengangkat sel kulit mati pada bibir dengan lembut. Say goodbye to your dry skin on your lips and hello to your smooth and softened pout! Kandungan shea butter, olive oil, dan jojoba oil di dalamnya juga bikin bibir kita senantiasa lembab dan terhindar dari pecah-pecah. Not just that, Emina Sugar Rush Lip Scrub juga mengandung vitamin C dan E yang bikin bibir kita selalu lembut dan cantik!



Terdapat beberapa unsur ikonis dalam iklan ini. Pertama, model dalam iklan ini adalah perempuan muda dengan muka Eropa atau Amerika, berkulit putih, dan berambut pirang yang rambutnya diikat dengan beberapa ikatan kecil dan di antara kedua ikatan rambut tersebut disematkan Emina Sugar Rush Lip Scrub. Latar dari gambar adalah berwarna biru muda. Gambar produk ditampilkan di depan gambar model sehingga konsumen dapat melihatnya dengan jelas. Makna dari unsur verbal dan ikonis digambarkan oleh responden sebagai berikut. Jenis Tanda Tanda Verbal



No. 1.



2.



Tanda Ikonis



Tanda Emina Sugar Rush Lip Scrub



3.



The perfect way to get your lips preety and healthy. Campuran butiran halus gula dan biji buah aprikot yang terdapat dalam Emina Sugar Rush Lip Scrub membantu mengangkat sel kulit mati pada bibir dengan lembut. Say goodbye to your dry skin on your lips and hello to your smooth and softened pout! Kandungan shea butter, olive oil, dan jojoba oil di dalamnya juga bikin bibir kita senantiasa lembab dan terhindar dari pecah-pecah. Not just that, Emina Sugar Rush Lip Scrub juga mengandung vitamin C dan E yang bikin bibir kita selalu lembut dan cantik! Model



4.



Warna



143



Makna Merek produk yang ditujukan untuk kesehatan bibir. Namun, banyak yang tidak mengenal merek ini. Penjelasan dalam produk yang lengkap mengenai fungsi dan manfaatnya sehingga meyakinkan pembaca untuk membelinya. Bagian ini menjadi bagian yang paling menarik dari iklan tersebut. Manfaat dari kandungan yang terdapat di dalam produk diketahui untuk menjaga kesehatan bibir agar tidak kering dan membuat bibir menjadi cerah.



Model dalam iklan adalah remaja perempuan sehingga produk ini ditujukan untuk usia remaja. Namun, gambar model terlalu besar sehingga agak mengganggu desain pada iklan. Menarik, simpel, dan soft. Penggunaan warna yang simpel dan soft sesuai dengan manfaat produk yang ditujukan untuk kesehatan bibir sehingga tidak memerlukan warna yang terlalu cerah dan ramai.



Dari data di atas, peneliti akan menguraikan konotasi yang beredar menurut interpretasi peneliti. Sebagian besar responden tidak mengenal merek ini sehingga mereka memaknai unsur verbal yang berupa merek berdasarkan makna denotasi itu sendiri. Konotasi yang disampaikan pengiklan melalui unsur verbal berupa informasi mengenai kesehatan dipahami dengan jelas oleh responden dan dianggap lengkap. Kandungan di dalam lip scrub tersebut meyakinkan responden untuk mencobanya karena mereka mempunyai latar pengetahuan mengenai manfaat dari kandungan tersebut. Oleh karena itu, responden tertarik untuk membelinya meskipun mereka tidak mengenal produk tersebut. Kemudian, responden tertarik dengan pilihan warnanya yang simpel dan soft. Hal tersebut karena dianggap responden berkaitan dengan fungsi produk yang ditujukan untuk kesehatan bibir. Oleh karena itu, penggunaan desain warna yang simpel dan soft tepat di dalam penggambaran iklan. Kecantikan yang ditunjukkan dari model dinilai responden sudah pas. Muka orang Barat yang berkulit putih dengan bibir yang merekah dianggap sebagai mitos kecantikan. Namun, responden menganggap bahwa ukuran gambar model dalam desain terlalu besar sehingga agak mengganggu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa positioning yang dilakukan pengiklan cukup berhasil karena didukung oleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai manfaat produk meskipun sebagian besar responden tidak mengetahui merek tersebut. Penggunaan warna yang simpel dan soft menjadi salah satu daya tarik dalam iklan tersebut. Responden menganggap bahwa sasaran iklan ini adalah remaja. Konotasi dari informasi mengenai manfaat produk yang terdapat di dalam iklan menjadi mitos di kalangan perempuan bahwa kesehatan bibir ditunjukkan dengan anggapan bibir berwarna cerah dan tidak kering.



4.



Simpulan: Mitos dan Konotasi Sebagai Alat Positioning Dari tiga iklan di atas, terlihat bahwa pengiklan melakukan positioning dengan



mempertimbangkan mitos dan konotasi yang beredar di masyarakat mengenai kecantikan dan kesehatan bibir. Terdapat tiga konotasi yang berkaitan dengan produk perawatan bibir yang beredar di masyarakat, yaitu konotasi yang berkaitan dengan produk, konotasi yang berkaitan dengan kecantikan, serta konotasi yang berkaitan dengan kesehatan. Dalam konotasi yang berkaitan dengan produk, pemilihan warna menjadi penting dalam pembuatan iklan lipstik karena lipstik yang dijual terdiri atas beberapa varian warna. Kemunculan pilihan warna lipstik berperan penting karena ini yang menjadi fokus perhatian 144



calon konsumen. Oleh karena itu, pemilihan latar warna iklan pun berpengaruh karena harus sesuai dengan pilihan warna produk yang dijual. Selain itu, unsur verbal dalam iklan juga menjadi penting karena masyarakat dapat mengetahui fungsi dan manfaat produk melalui informasi yang diberikan dalam iklan. Konotasi yang berkaitan dengan kecantikan mencakup definisi cantik dan tidak cantik. Di sini, pemilihan model menjadi penting. Kulit model yang putih dinilai menjadi pas untuk menggunakan lipstik dengan warna apa pun. Kesesuaian antara warna kulit dan pilihan warna lipstik menjadi definisi cantik bagi perempuan. Terakhir, konotasi yang berkaitan dengan kesehatan bibir meliputi permasalahan yang sering terjadi pada bibir. Kaum perempuan beranggapan bahwa bibir yang sehat adalah bibir yang tidak kering dan berwarna cerah. Kesehatan tersebut berpengaruh pada kecantikan bibir sehingga perempuan urban akan percaya diri ketika bibirnya sehat dan cantik dengan diperoleh dari warna lipstik yang sesuai dengan kulit wajahnya. Dengan demikian, mitos yang beredar di masyarakat mengenai kecantikan dan kesehatan bibir sangat diperlukan oleh pihak pengiklan. Hal ini berkaitan dengan produk yang akan dijualnya. Jika pengiklan dapat memahami mitos yang beredar, pesan yang akan disampaikan pengiklan dapat tersampaikan dengan baik oleh sasaran pasarnya.



Daftar Acuan Anabel, Y. (2013). Konotasi dan mitos dalam iklan produk perawatan kulit wajah wanita: kajian linguistik dan semiotik. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Barthes, R. (1964). Elements of semiology. London: Hill and Wang Publisher. Danesi, M. dan P. Perron. (1999). Analyzing cultures: an introduction & handbook. Bloomington: Indiana University Press. Eco, U. (1976). A theory of semiotics. Bloomington and London: Indiana University Press. Hoed, B. H. (2014). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu. Kasali, R. (1998). Membidik pasar Indonesia: segmentasi, targeting, dan positioning. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Noth, W. (1995). Handbook of semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Ries, Al, dan J. Trout. (2001). Positioning: the battle for your mind. New York: McGraw-Hill Education.



145