Sengketa Laut Cina Selatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Individu Politik Pemerintahan Negara–Negara Asia Tenggara



Sengketa Laut Cina Selatan



Nama : M. Ryansyah Zandra 1701114121



JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS RIAU 2021



SENGKETA LAUT CINA SELATAN



LATAR BELAKANG Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki Laut Cina Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di dalamnya dengan jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis, karena kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional). Kawasan ini juga banyak dilalui oleh Armada Angkatan Laut, baik berupa kapal tangker maupun Armada Angkatan Laut dari negara-negara maju, seperti dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea yang melintasi laut itu. Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahuntahun. Hal ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan- kepentingan negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan- kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.



Laut Cina Selatan terbentuk sebagai sebuah kepulauan. Dimana, benih-benih perselisihan yang terdapat di Lautan itu, banyak di sebabkan oleh latar belakang historis, baik dari segi penamaan terhadap lautan itu maupun batas-batas kepemilikannya. Dalam hal penamaan misalnya, Republik Rakyat China (RRC), menyebutnya dengan nama Laut Selatan saja. Filipina, menyebutnya dengan nama Laut Luzón (Laut Filiphina Barat), karena keberatan dengan nama Laut Cina Selatan, sebab seolah-olah kawasan itu milik Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan Vietnam menyebutnya dengan nama Laut Timur. Dari beberapa negara yang mengklaim Laut Cina Selatan, diketahui Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam adalah yang begitu gencar dalam mempertahankan kawasan ini.



SENGKETA LAUT CINA SELATAN Sengketa diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau di kawasan Laut Cina Selatan (Laut Cina Selatan), yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan Spratly adalah Cina. Hal itu didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han (206-220 SM). Vietnam menganggap Kepulauan Spratly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam meyebutkan Kepulauan Paracel dan Spratly secara efektif didudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara. Perairan Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC) berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan terus berlanjut hingga saat ini tahun 2013. Di dalam kawasan Laut Cina Selatan terdapat kepulauan Spartly dan Paracel yang tergolong titik rawan titik rawan dalam soal klaim teritorial. Kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel adalah



yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim (claimantans). Tetapi yang lebih di sorot adalah kepulauan Spartly yang kemudian menjadi isu dominan Internasional. Pada Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis berbentuk huruf U) di seputar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Pihak Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama kali tidak ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga digunakan



pemerintah



Republik



Rakyat



Cina



(RRC),



sejak



terus setelah



kemenangan Partai Komunis 1949. Meski demikian, Republik Rakyat Cina (RRC) tidak pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya tersebut. Pada tahun 1976 pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa mengambil alih dan menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di sebelah Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama- sama di yakini kaya akan sumber daya alam gas dan minyak bumi. Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya sengketa atas kepemilikan kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel mempunyai riwayat yang panjang. Berawal dari konflik yang disebabkan oleh klaim-klaim mengenai perbatasan di wilayah perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan. Sejarah menunjukan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara di antaranya Ingris, Perancis, Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei Darussalam, Filiphina,dan Taiwan. Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan. Diawali oleh tuntutan Republik Rakyat Cina (RRC) atas seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan yang mengacu kepada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Republik Rakyat Cina (RRC) sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari



wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif di dudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara. Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Republik Rakyat Cina (RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus di kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filiphina tahun 1971, alasan Filiphina menduduki kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang sedang tidak dimiliki oleh negara manapun. Filiphina juga menunjuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa gugus kepulauan Spartly yang di namai terumbu layang. Menurut Malaysia, langkah itu di ambil berdasarkan peta batas landasan kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Ingris juga 1 januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim, namun Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus pulau. Sampai saat ini negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya akan menjadi semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengolaan yang lebih berhati-hati. Dimulai pada tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spartly, Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC) berperang di Lautan memperebutkan gugusan batu karang Johnson (Johnson South Reef). Saat itu Angkatan Laut Vietnam di halang-halangi oleh dua puluh kapal perang milik Republik Rakyat Cina (RRC) yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan, sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan kurang lebih sebanyak 70 prajurit Angkatan Laut Vietnam tewas. Sengketa perbatasan yang memicu perang besar juga terjadi di perbatasan darat kedua negara pada tahun 1979 dan 1984. Selain itu juga seperti yang terjadi antara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam yakni pendudukan Republik



Rakyat Cina (RRC) atas Karang Mischief 1995, dan baku tembak antara kapal perang Republik Rakyat Cina (RRC) dan Filiphina didekat pulau Campones 1996, menunjukan sengketa tersebut bisa tersulut menjadi konflik terbuka sewaktuwaktu.Sampai saat ini konflik klaim tumpang tindih yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan masih terus berlangsung dan menjadi perdebatan antara beberapa negara di kawasan ASEAN melalui perundingan diplomasi. Melihat situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut turun tangan menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan bisa kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan



selain



itu



juga



dapat



megancam keaman negara-negara ASEAN, dan sekitarnya. Sepuluh negara anggota ASEAN sepakat mempercepat proses implementasi perilaku yang harus menjadi pegangan sejumlah negara yang terlibat sengketa Laut Cina Selatan. Yakni dengan diadakannya Declaration on the Conduct of Parties (DOC) yaitu hukum



yang



mengikat



pihak-pihak



yang



bertikai. ASEAN



juga



menunjukkan keinginan untuk memulai penyusunan dan pembahasan kode etik DOC, yang kemudian akan dibahas dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan diterapkan di wilayah perairan itu. Aktor yang berperan didalamnya tidak hanya Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC), tetapi juga melibatkan beberapa negara anggota ASEAN,



yaitu



Malaysia dan Filiphina, serta Taiwan. Klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, saling tumpang



tindih,



sehingga



menimbulkan



masalah



dalam



penentuan



batas.Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar masalah ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen. Persoalannya menjadi semakin kursial karena klaim-



klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri,baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara (Julyani, 2014) 1. Profil Kepulauan Spartly dan Proses Persengketaan menjadi Konflik Kepulauan Spartly diperkirakan memiliki luas 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar 350 pulau, yang kebanyakan merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Cina dan negara-negara ASEAN. Kepulauan Spartly terletak di sebelah Selatan Cina dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah barat Filipina, sebelah utara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kepulauan ini sebenarnya bukan merupakan yang layak huni, akan tetapi pulai ini memiliki banyak potensi SDA dan geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu kawasan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung perekonomian negara. Penemuan minyak dan gas bumi pertama dikepulauan ini adalah tahun 1968. Menurut data The Geology and Mineral Resourccs Ministry of the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly adalah sekitar 17,7 miliar ton. Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat tidur cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan SDA lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi sengketa dan konflik di antara negara-negara bersengketa. Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan disana menjadi salah satu penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut . Setidaknya ada 6 negara yang mengklaim wilayah kepulauan Spratly yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kelima negara di atas, kecuali Brunei Darussalam mempunyai klaim dan pemberian nama terhadap pulau-pulau di kepulauan Spratly, sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut di Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif



(ZEE) negaranya. Kepulauan Spratly memang mempunyai cerita panjang dalam kaitannya dengan sengketa wilayah negara di atas dalam konteks ZEE dan historis serta penamaan pulau-pulau dan nama Laut Cina Selatan. Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan nama Kalayaan (tanah kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama. Tahun 1947 RRC adalah negara yang pertama mengklaim Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun demikian belum ada tanda-tanda pendudukan yang dilakukan oleh RRC di wilayah tersebut pada saat itu. Negara yang lebih dahulu melakukan pendudukan justru antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia dan Taiwan. Vietnam mengklaim dan langsung melakukan pendudukan di Kepulauan Paracel dan Spratly setelah perang dunia kedua berakhir. Kepulauan Paracel juga merupakan salah satu kepulauan yang banyak diklaim selain Kepulauan Spratly. Hal yang sama juga dilakukan oleh Taiwan setelah perang dunia kedua. Filipina juga melakukan klaim dengan menduduki kepulauan Spratly pada tahun 1971. Filipina beralasan bahwa kepulauan tersebut merupakan wilayah bebas. Filipina juga merunjuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap Kepulauan Spartly. Hal tersebut tak lepas kaitannya dengan asas laut tertutup yang menyatakan bahwa bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu saja. Klaim selanjutnya dilakukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia melakukan klaim terhadap beberapa pulau di Kepulauan Spratly yang kemudian diberi nama Terumbu Layang. Pulau tersebut termasuk dalam wilayah landas kontinen Malaysia atas dasar pemetaan wilayah negara yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979. Tidak mau kalah, Brunei Darussalam juga melakukan klaim namun bukan terhadap gugusan yakni hanya wilayah laut di Kepulauan Spratly. Hal itu dilakukan setelah Brunei merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1984.



Konflik akibat sengketa ini cukup banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata 1974 antara Cina dan Vietnam yang terjadi kedua kalinya pada 1988. Selain itu pernah terjadi tembak menembak kapal perang antara RRC dan Filipina dekat Pulau Campones tahun 1996. Situasi yang dapat berujung konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu itu pasukan militer RRC gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau sengketa. Kemudian Vietnam melayangkan protes kepada Cina atas tindakan tersebut. Namun situasi makin memanas setelah kapal minyak Petro Vietnam dirusak oleh militer Cina pada Mei dan Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan dengan mengadakan kegiatan militer rutin tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011. Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan di antaranya Declaration On the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada 4 November 2002. Namun upaya tersebut tidak diindahkan lagi oleh para pihak bersengketa. Ini akibat prinsip yang keras dan perbedaan pemahaman dalam upaya menyelesaikan sengketa ini. Konflik bersenjata yang dilancarkan pihak tersebut di atas merupakan salah satu wujud tidak dipatuhinya DOC. 2. Negara-Negara Yang Terlibat Konflik di Laut China Selatan Negara-negara yang terlibat langsung sengketa Laut Cina Selatan ada enam negara yaitu Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Masing-masing negara mempunyai dasar dan pandangan yang berbeda-beda tentang klaim mereka di Laut Cina Selatan. Berikut profil negara-negara tersebut. a. China China merupakan aktor penting dalam konflik di Laut Cina Selatan. Kawasan klaimnya yang sangat luas hingga mencapai seluruh wilayah Laut Cina Selatan menjadi pemicu ketegangan dengan negara-negara di sekitarnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumya, klaim China pada dasarnya



terdefinisikan



dalam



“nine-dash line” sebuah Kawasan yang sangat luas membentang beratus-ratus mil dari selatan hingga ke kawasan timur Provinsi Hainan, China. Artinya, jika sampai timur Provinsi Hainan, Taiwan dan China mempunyai kawasan klaim yang



sama. Isu klaim di Laut Cina Selatan jelas menjadikan perseteruan kedua negara semakin panas. Bersama-sama dengan Vietnam, kedua negara China dan Taiwan juga sama-sama menggunakan dalil sejarah dalam melakukan klaimnya (Lunn, 2016). Seiring dengan berjalannya waktu, China semakin agresif di Laut Cina Selatan dengan melakukan eksplorasi



sumber daya



alam.



Melalui



tiga



perusahaan minyak negara China melakukan eksplorasi besar-besaran. Ketiga perusahaan tersebut adalah China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), China Petroleum & Chemical Corporation (Sinopec) dan China National Petroleum Corporation (CNPC) (U.S. Energy Information Administration, 2013). Menariknya, perhatian serius AS terkait ketegangan di Laut Cina Selatan yang melibatkan China menjadikan eskalasi konflik semakin meningkat. Walaupun dikatakan bahwa sikap China semakin moderat terutama pasca pernyataan Sekretaris Negara AS Hillary Clinton pada ASEAN Regional Forum (ARF) Juli 2010 (Fravel, 2012). Namun, realitasnya ketegangan semakin meningkat terutama antara China dan negara ASEAN (Lunn, 2016). Selain itu, tentu saja berpengaruh kepada arah kebijakan luar negeri AS di ASEAN terkait Laut Cina Selatan yang mempunyai potensi perdagangan mencapai 5,3 trilyun USD (Council on Foreign Relations, 2016). b. Brunei Darussalam Sampai tahun 2011, Brunei Darussalam secara aktif telah melakukan eksplorasi minyak di Laut Cina Selatan. Hal ini bisa dilakukan tidak lain disebabkan sengketa wilayah dengan Malaysia tahun 2009 bisa diselesaikan yang berdampak pada leluasanya kegiatan eksplorasi Brunei Darussalam di Laut Cina Selatan. Namun, aktivitas Brunei Darussalam mulai terkendala ketika secara langsung bersinggungan dan terlibat sengketa di Laut Cina Selatan. Padahal, Brunei tidak melakukan klaim apapun sebelumnya atas wilayah di Laut Cina Selatan terutama Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Tetapi, pasca memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1985, Brunei Darussalam secara tidak langsung bersengketa dengan Vietnam sebagai akibat dari meluasnya garis landasan kontinen warisan penjajah Inggris berdasarkan undang-undang 1958



U.K. Order in Council. Akibatnya, Brunei merasa berhak atas status kawasan Louisa Reef yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly. Sudah tentu klaim Brunei Darussalam ditolak semua negara pengklaim Laut Cina Selatan yaitu China, Taiwan, Malaysia, Vietnam dan Filipina (U.S. Energy Information Administration, 2013). Klaim Brunei atas status Louisa Reef menjadi sumber masalah terutama dengan China, Vietnam dan Malaysia. Namun pasca penandatanganan Exchange of Letters antara Malaysia-Brunei tahun 2009, klaim Malaysia atas Louisa Reef dengan sendirinya batal. Louisa Reef yang terletak di 6°20′7″N 113°16′47″E kurang lebih 120 mil barat daya garis pantai Brunei dan 408 mil dari garis pantai Vietnam. China menamakan Louisa Reef sebagai Nantong Jiao (南通), sementara dalam istilah Melayu Louisa Reefdisebut Terumbu Semarang Barat Kecil. Rumitnya masalah klaim Louisa Reef oleh Brunei dan negara-negara terkait tampaknya juga bersumber dari kurang jelasnya penggambaran Louisa Reef karena ada yang mengklaim hanya “gugusan karang” dan ada yang menyebutnya “pulau.” Perbedaan pendefinisian tersebut pada akhirnya berimbas kepada masalah perbatasan termasuk Brunei Darussalam di kawasan rawan konflik Laut Cina Selatan (Roach, 2014).



c. Malaysia Ketertarikan Malaysia yang terlibat dalam konflik di Laut Cina Selatan juga tidak lepas dari perebutan sumber daya alam. Perusahaan minyak Malaysia PETRONAS secara aktif juga meningkatkan kegiatan eksplorasinya di Laut Cina Selatan dengan menggandeng perusahaan multinasional lainnya misalnya Lundin, BHP Billiton, ConocoPhillips, ExxonMobil, Hess, KUFPEC, MDC O&G, Murphy Oil, Newfield, Nippon, Petrofac, Roc Oil, Shell, dan Talisman Energy (U.S. Energy Information Administration, 2013). Dengan menggunakan bukti sejarah warisan penjajah Inggris, klaim Malaysia adalah (1) sejauh 12 mil laut, termasuk (2) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang berdampak pada (3) perluasan luas landasan kontinen hingga ke Laut Cina Selatan. Malaysia sendiri telah menandatangani konvensi hukum laut internasional (UNCLOS) pada 2 Desember 1982 dan meratifikasinya pada 14 Oktober 1996 (Roach, 2014).



Keterlibatan Malaysia dalam konflik di Laut Cina Selatan dimulai pasca penerbitan Peta Baru Menunjukkan Sempadan Perairan dan Pelantar Benua Malaysia (selanjutnya disingkat: Peta Baru) pada tanggal 21 Desember 1979 dan secara resmi mengklaim perluasan



ZEE



pada



tanggal



25 April



1980.



Dampaknya, Malaysia secara tidak langsung terlibat sengketa dengan negara tetangga terkait klaim beberapa wilayah. Misalnya (1) Pulau Sipadan–Ligitan dengan Indonesia, (2) Pulau Batu Puteh dengan Singapura, (3) Limbang, Lawas, Terusan, Rangau dan Louisa Reefdengan Brunei, dan (4) dengan Filipina, Vietnam, China dan Taiwan terkait Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan (Salleh, Che Mohd Razali, & Jusoff, 2009). Penerbitan Peta Baruoleh pemerintah Malaysia langsung memicu ketegangan dengan Indonesia dan bahkan ditentang oleh delapan negara lain di Laut Cina Selatan yang berimplikasi kepada memanasnya kawasan tersebut (Salleh, 2007). d. Filipina Filipina menjadi salah satu negara yang penting dalam konflik Laut Cina Selatan. Selain itu, Filipina termasuk menjadi negara yang paling awal melakukan aktivitas strategis di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1970-an, Filipina telah mulai melakukan eksplorasi di kawasan Reed Bank yang merupakan bagian Kepulauan Spratly. Usaha keras Filipina membuahkan hasil dengan ditemukannya sumber gas alam pada tahun 1976 di kawasan tersebut. Tindakan Filipina langsung diprotes China dan mendesak Manila untuk segera menghentikankegiatannya di Laut Cina Selatan (U.S. Energy Information Administration, 2013). Namun, keadaan justru semakin memanas karena



Presiden



Ferdinand Marcos



mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 11 Juni 1978 yang memasukkan Kepulauan Spratly yang mereka kenal sebagai Kelompok Kepulauan Kalayaan ke dalam wilayah teritorial Filipina (Presidential Decree no. 1596,1978). Pada tahun 2013, Filipina melayangkan gugatan atas klaim China di Laut Cina Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Belanda melalui peradilan UNCLOS. Namun sekali lagi Beijing mengingatkan Manila untuk tidak terlalu agresif dalam permasalahan Laut Cina Selatan yang melibatkan kedua negara. Karena bagi China hal tersebut bisa merusak persahabatan yang selama ini sudah



terjalin dengan baik (Weatherbee, 2009:148). Bagi Filipina, kebijakan China di Laut Cina Selatan sangat mengancam Filipina. Sebaliknya, Filipina tidak terlalu mempermasalahkan Vietnam yang juga melakukan aktivitas strategis di Laut Cina Selatan. Filipina beralasan bahwa aktivitas Vietnam tidak mengancam karena dilakukan dalam skala kecil dibandingkan China yang melakukan pembangunan dengan skala besar. Namun, tidak dipungkiri bahwa sikap Filipina terhadap Vietnam yang sangat moderat juga dilatarbelakangi oleh kerja sama intensif bidang keamanan antara Manila dan Hanoi (Voice of America, 8/5/2015). e. Taiwan Posisi Taiwan dalam konflik Laut Cina Selatan bisa dikatakan menarik. Karena kawasan klaim Taiwan di Laut Cina Selatan tidak lain adalah wilayah klaim China itu sendiri (Ma, 2006). Persamaan sejarah politik membuat Taiwan merasa mempunyai hak yang sama atas wilayah Laut Cina Selatan. Sedangkan China masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya. Dalil klaim Taiwan adalah berdasarkan sejarah negara tersebut terutama pasca pemisahan diri dari China yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Pada tahun 1947 pemerintah Kuomintang membuat peta resmi yang memasukkan wilayah-wilayah klaim termasuk seluruh kawasan Laut Cina Selatan misalnya Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Pulau Pratas dan Scarborough Reef dalam teritorial Taiwan (U.S. Energy Information Administration, 2013). Dalam konteks klaim Taiwan di Laut Cina Selatan, Taiwan terfokus pada sebuah pulau yang dikenal dengan Pulau Itu Aba yang merupakan pulau terbesar di Kepulauan Spratly. Konsekensinya, garis ZEE Taiwan semakin luas bahkan menjangkau pulau-pulau sekitar Laut Cina Selatan. Pulau Natuna misalnya, walaupun sudah resmi dan diakui oleh Indonesia sebagai bagian teritorialnya, namun Taiwan dan juga China yang sama-sama mengklaim seluruh kawasan Laut Cina Selatan menganggap Natuna adalah bagian dari wilayah mereka. Indonesia juga pada dasarnya tidak terlibat langsung dengan konflik Laut Cina Selatan. Meskipun demikian, tindakan China dan Taiwan yang mengklaim Pulau Natuna menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Indonesia sudah



pasti tidak mau tinggal diam dan tegas dengan isu kedaulatan negara. Sebagai langkah nyata, pemerintah Indonesia misalnya melalui TNI-AL membakar dan menenggelamkan kapal nelayan China yang masuk wilayah Indonesia di LSC pada bulan Juni 2016 (Council on Foreign Relations, 2016). f. Vietnam Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan juga didasari oleh bukti sejarah penjajah sebelumnya yaitu Prancis. Ketika menguasasi Vietnam, pemerintah kolonial Prancis melakukan beberapa ekspedisi ke Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Pada awalnya ketika Vietnam terbelah menjadi Republik Demokratik Vietnam atau Vietnam Utara (di bawah Ho Chi Minh) dan The State of Vietnam atau Vietnam Selatan (di bawah Bao Dai) sikap Prancis berbeda. Ketika itu, Prancis yang mendukung Vietnam Selatan memasukkan Kepulauan Paracel dalam wilayah teritorialnya. Namun, Prancis menolak klaim Vietnam Selatan atas Kepulauan Spratly karena sudah diklaim Prancis. Menariknya, pasca Perang Dingin, terjadi persaingan sengit terutama antara Vietnam dan China untuk mendekati negara-negara ASEAN. Tujuanya jelas agar mendapat dukungan terkait klaim di Laut Cina Selatan dan permasalahan tidak semakin rumit (Tonnesson, 2001). Keterlibatan negara-negara di atas jelas berdampak kepada polarisasi politik regional Asia Tenggara. Bagi negara-negara yang terlibat langsung seperti Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam aspek kedaulatan dan menjaga kepentingan nasional menjadi fokus isu di Laut Cina Selatan. Walaupun Indonesia tidak secara langsung terlibat di Laut Cina Selatan, namun sewaktuwaktu bisa terseret masalah karena salah satu bagian wilayah terutama Pulau Natuna menjadi bagian klaim China dan Taiwan. Negara lain misalnya Thailand tidak berkepentingan di Laut Cina Selatan meskipun Teluk Thailand posisinya tidak jauh dari Laut Cina Selatan. Sedangkan Singapura, mempunyai posisi strategis sebagai mediator dan corong negara-negara Asia Tenggara terkait isu Laut Cina Selatan. Adapun AS, posisinya sangat jelas yaitu mempunyai “kepentingan besar” di Laut Cina Selatan terutama potensi ekonomi dan pertahanan keamanan (Maksum, 2017)



3.



Usaha Penyelesaian Konflik Usaha untuk menyelesaikan konflik sudah banyak dilakukan, di antaranya



adalah pada tahun 1991, RRC melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang berlangsung di Singapura. Pada tahun 1992, Cina mengadakan pertemuan bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus dalam menangani sengketa perbatasan teritorial. Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina melakukan hal yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi selama 40 tahun di wilayah yang disengketakan. RRC dan Filipina juga melakukan pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly. Dan Pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam juga sudah bertemu untuk membicarakan hak pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah. Sedangkan beberapa perjanjian multilateral yang pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly, antara lain Deklarasi Kuala Lumpur 1971, yang membahas tentang kawasan damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) atau ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, yang dihasilkan dan disetujui pada KTT ASEAN I pada tahun 1976, Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF), yang dibentuk pada tahun 1994. Pertemuan ARF pertama kali dilangsungkan di Bangkok, KTT ASEAN V tahun 1995, yang menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear Free Zone) dan Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study Groups, yang dipelopori oleh Indonesia. Dalam rangka meredakan konflik mengenai kepemilikan Spratly, negaranegara yang terlibat sengketa berusaha melalukan perundingan dan dialog bilateral. Pertemuan bilateral dilakukan oleh negara-negara yang berkonflik sejak 1988 untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui diskusi dan konsultasi. Dari pertemuan-pertemuan ini, terlihat bahwa negara-negara tersebut setuju untuk mencari penyelesaian secara damai melalui konsultasi, membangun rasa percaya, membentuk berbagai kerja sama, dan berusaha untuk tidak menggunakan kekuatan



senjata. Selain itu, ketiga negara tersebut (Cina, Vietnam dan Filipina) setuju untuk mengakui atau menyelesaikan sengketa mereka atas dasar prinsip-prinsip hukum Internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut 1982 (KLH 1992). Dialog ini melibatkan aktor-aktor non-negara seperti ahli-ahli kelautan dan para akademisi. Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua pihak yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring ekosistem, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi di Laut Cina Selatan. Dalam dialog ini kemudian disepakati proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati ( Ekosistem ). Dibawanya permasalahan ini oleh Indonesia ke ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik. Pada Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties In South China Sea. Pada bulan maret 2005, Cina-VietnamFilipina mendatangani MoU kerjasama dalam bidang ekspolorasi energi dan sepakat untuk menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly. Pada tahun 2006 China-ASEAN Joint Working Group melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak (RRC dan ASEAN) berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan. \ Upaya ini memang cukup efektif dalam penyelesaian sengketa jika dilihat dari situasi setelah perjanjian. Selain itu beberapa perjanjian multilateral juga berupa mediasi yang dipelopori oleh mediator sehingga perjanjian dapat berjalan lebih baik. Namun tidak sepenuhnya berjalan dengan baik lagi-lagi karena tidak dicapainya peta kepemilikan pulau dan banyaknya pihak yang melanggar sendiri perjanjian tersebut, seperti terjadinya perusakan kapal oleh pihak-pihak tertentu. Salah satu yang belum dilakukan dalam perjanjian itu adalah kemungkinan untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama. Padahal perjanjian ini dapat menjadi usaha alternatif untuk meredam konflik di Kepulauan Spartly. Dalam hukum internasional, hal ini memang dimungkinkan untuk dilakukan. Perjanjian semacam ini dapat dilihat misalnya : perjanjian Indonesia dengan Australia dalam pengelolaan dan pembagian di Blok



Cepu. Upaya ini dapat menjadi solusi karena jika dilihat latar belakang permasalahan ini adalah karena potensi minyak dan gas bumi yang berlimpah. Upaya penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa masih saja berlanjut hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara negara bersengketa yang sebenarnya merupakan negara bertetangga, bahkan beberapa di antaranya konflik bersenjata. Dalam



perkembangan



terakhir,



Amerika Serikan dibawah Presiden Barack Obama tidak malu-malu lagi menampakkan minatnya terhadap wilaya Laut Cina Selatan dengan mengerahkan 60% kekuatan militernya di Asia. Dan Filipina sebagaimana banyak diberitakan, bersedia menyediakan beberapa pelabuhannya untuk pangkalan militer Amerika. Hal ini membuat RRC khawatir dan mulai membangun kekuatan militernya dengan antara lain membangun kapal induk dan mempercepat pembangunan rudal jarak jauhnya. Kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan, berpotensi untuk menjadi tempat pertama meletusnya konflik bersenjata di wilayah Asia Tenggara. Penyebabnya adalah sengketa wilayah antar Negara yang sudah puluhan tahun belum terselesaikan dan campur tangannya negara-negara adidaya yang sarat dengan kepentingan ekonomi globalnya 4.



Upaya Indonesia Menyelesaikan Konflik di Kawasan Laut Cina Selatan Dalam Lajur Indonesia sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani



konflik



di kawasan Laut Cina Selatan juga memiliki latar belakang



tersendiri.Keterlibatan



Indonesia



bukan



tanpa



alasan



yang



sifatnya



strategis.Indonesia diharuskan untuk turut terlibat demi mencapai kepentingan ekonomi nasional.Lebih lanjut, apabila kawasan di Laut Cina Selatan dapat kembali tertib dan bebas dari segala ancaman, maka aktivitas perdagangan dan eksplorasi alam Indonesia di kawasan ini pun dapat berjalan lancar. Terlepas dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi nasional, ancaman lain terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi serta kedaulatan menjadi kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan. Sebagai



negara



maritim,



Indonesia memiliki pertimbangan bahwa apabila terdapat



kerusakan lingkungan di kawasan Laut Cina Selatan akan secara tidak langsung turut berdampak bagi ekosistem di perairan Indonesia. Lain hal ketika Indonesia berusaha melakukan sekuritisasi disekitar Laut Natuna¾yang berlimpah akan gas alam. Kepentingan Indonesia untuk menarik garis perbatasan ini disebabkan oleh ancaman dari Cina , yang apabila tetap bersikeras mempertahankan bukti historis melalui peta yang dibuat pada tahun 1947, akan menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen Indonesia. Peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah perundingan yang dibentuk diantara negara-negara yang bertikai.Salah satu wujud upaya Indonesia adalah dengan melaksanakan South China Sea Informal Meetings yang diadakan hampir setiap tahun. Signifikansi pertemuan ini menghasikan sebuah kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara yang bertikai untuk mendirikan sebuah wilayah politik guna melancarkan hubungan diplomatik dan kerjasama satu sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkan confidence building measures menjadi bagian penting disetiap agenda pertemuan. Selain South China Sea Informal Meetings, upaya Indonesia juga diwujudkan dalam sejumlah perundingan damai lainnya, seperti Technical Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs). Penggunaan mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup determinan dalam penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya akan berdampak buruk bagi semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar. Sebagai negara yang memprakarsai pola interaksi second track diplomacy dalam upaya penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada di wilayah sekitarnya melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.(Aisyah:2014)



KESIMPULAN Konflik di Kepulauan Spratly muncul akibat klaim yang dilakukan oleh 6 negara yaitu Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam di mana masing-masing negara memiliki versinya masing-masing. Sengketa ini muncul karena dipicu oleh pernyataan Cina tentang kepemilikan wilayah tersebut pada tahun 1971. Letaknya yang strategis dan kandungan kekayaan yang melimpah berupa minyak dan gas bumi membuat keenam negara yang bersengketa berusaha mati-matian dalam memperoleh wilayah kepulauan ini. Upaya penyelesaian konflik ini sudah dilakukan sejak tahun 1970 baik melalui upaya-upaya bilateral maupun multilateral. Dalam upaya-upaya tersebut telah disepakati beberapa hal seperti kerjasama pengelolaan wilayah Kepulauan Spratly, maupun pembagian sumber daya alam. Akan tetapi konflik ini belum selesai karena belum ada kesepakatan mengenai hak kepemilikan wilayah Kepulauan tersebut. ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara ikut berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik di wilayah tersebut. Indonesia sebagai negara yang cinta damai juga ikut menginisiasi dialog serta pertemuan-pertemuan multilateral untuk mempercepat proses penyelesaian konflik di Kepulauan Spratly. Keterlibatan Amerika Serikat dalam sengketa Kepualauan Spratly semakin menambah ketegangan. Sikap Amerika yang ingin terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly tidak terlalu mengejutkan. Hal ini mengingat kondisi geopolitik Kepulauan Spratly di Asia Tenggara “menggoda” setiap negara untuk menguasai kepulauan ini. Kepulauan Spratly memiliki sumber daya hayati (perikanan) dan sumber daya non hayati (mineral , minyak, gas dan tambang) yang sangat melimpah. Selain itu, letaknya yang strategis membuat negara yang menguasai Kepulauan Spratly akan dengan mudah mengontrol rute maritime yang menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudera Hindia. Dibalik alasan menjaga keamanan, Amerika mungkin memiliki “agenda lain” atas Kepulauan Spratly.



Ikut campurnya AS atas sengketa Kepulauan Spratly, mengindikasikan bahwa Amerika tidak ingin China memperluas pengaruhnya terutama di wilayah Asia. Apalagi belum lama ini China terus meningkatkan belanja pertahanannya. Jika Amerika terus membiarkan China memperluas pengaruhnya baik melalui pertahanan, politik maupun ekonomi, maka kepentingan Amerika di wilayah Asia bisa terganggu.



DAFTAR PUSTAKA



ASEAN



dan



Laut



China



Selatan.



Dapat



diakses



melaluihttp://lipi.go.id/risetunggulan/single/asean-dan-isu-lautchina-selatan/14 diakses pada tanggal tanggal 19 Oktober 20121 pukul 15.00 Aisyah, Siska Yulia Nur, 2014. Makalah Konflik Klaim Laut Cina Selatan diakses



dari https://www.iskaaulya07.blogspot.co.id/2014/10/



makalah-konflik-klaim-laut-cina-selatan.html, diakses pada tanggal 19 Oktober 2021 pukul 15.00 Julyani, Rachmi,“Konflik Laut Cina Selatan”, rachmi julyani tambunan, diakses dari http://rachmijulyanitambunan.blogspot.co.id/2014/11/konfliklaut-cina-selatan-geografi-asia.html, diakses pada tanggal 19 Oktober 20121 pukul 15.07 Maksum, Ali. 2017 . Regionalisme dan Kompleksitas Laut Cina Selatan” Jurnal Sospol, Vol. 3 No. 2 (Januari-Juni 2017). hlm.7-15. Letak



Geografis



Laut



Tiongkok



Selatan



https://projects.voanews.com/southchina-sea/indonesian/ pada tanggal tanggal 19 Oktober 20121 pukul 15.13



dalam diakses