Sisilah DN Aidit [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Ahmad
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Silsilah keluarga Aidit



Moedigdo



Ayahnya, Koesoemodikdo, adalah bupati pertama Tuban. Tapi Moedigdo menolak mewarisi jabatan yang dianggapnya hanya antek penjajah. Moedigdo kemudian merantau ke Medan dan bertemu serta menikah dengan Siti Aminah.



Siti Aminah



Keturunan ningrat Minang ini adalah teman sekolah Sutan Sjahrir. Menurut Ibarruri–putri sulung D.N. Aidit–neneknya yang berbadan besar itu sering membantu Sjahrir dalam perkelahian di sekolah.



Ranting yang Terberai



A



cHMAD ”Dipo Nusantara” Aidit tak lahir dari keluarga komunis. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah muslim taat dan pemuka masyarakat yang dihormati. Kakek dari garis ibu, Ki Agus Haji Abdul Rachman, adalah pendiri Batu Itam, kampung di pesisir di barat Belitung, sekitar 15 kilometer utara Tanjungpandan. Tapi garis hidup dan politik ideologi mencerai-beraikan anak dan cucu Abdullah. Kini mereka hidup terpisah, sebagian menjadi eksil di Eropa.



Basri Aidit



Dokter Soetanti



(1924 - 1991) Dia dokter Indonesia pertama yang menguasai akupunktur. Kerabat ayahnya, R.M. Soesalit, anak tunggal R.A. Kartini, membantu membiayai sekolah Soetanti. Selepas dari penjara Orde Baru pada 1980, dia kembali praktek, termasuk memberikan pengobatan gratis untuk para tetangga miskinnya di Pondok Gede, Jakarta. ”Ketika Ibu meninggal, orang kampung melayat sambil membawa ayam dan kelapa,” kata Ilham Aidit.



Ibarruri Putri Alam



(58 tahun) Menginjakkan kaki pertama kali di Moskow, Rusia, pada 1958. Kini dia menetap di Paris dan bekerja sebagai perawat. Tahun lalu dia menerbitkan otobiografi berjudul Anak Sulung D.N. Aidit.



60 | TEMPO 1 Oktober 2007



Achmad Aidit alias



Dipa Nusantara Aidit



(30 Juli 1923-23 November 1965) Sejak kecil dikenal pemberani. Karena suaranya nyaring, dia sering menjadi tukang azan di surau dekat rumahnya. Sewaktu dia memutuskan ke Jakarta, setelah khatam ngaji, neneknya khawatir dia menjadi Serani (Kristen). Di Jakarta Achmad tertarik pada Marxisme dan aktif berpolitik.



Ilya Aidit



(56 tahun) Dia bergabung dengan kakaknya di Moskow pada usia 8 tahun. Setelah G30S, Ilya ikut Ibarruri berkelana ke Cina, Burma, Makao, dan akhirnya menetap di Paris.



(1925-1992) Boleh dibilang dia agak jauh dari dunia D.N. Aidit. Ketika kakaknya sukses memimpin partai, Basri cuma pegawai biasa di Dinas Pekerjaan Umum Tanah Abang, Jakarta. Toh, ketika anggota PKI dikejar-kejar, Basri ikut dikirim ke Pulau Buru. Dia bebas pada 1980.



Iwan Aidit



(55 tahun) Setelah berpisah dari orang tua, Iwan bersama kedua adiknya, Ilham dan Irfan, menumpang di rumah keluarga Mulyana, saudara ibunya di Bandung. Lulus dari Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung, Iwan sepenuhnya jadi profesional dan mencari hidup di luar negeri. Kini ia menjadi warga negara Kanada dan bekerja untuk Petronas, perusahaan minyak Malaysia.



Mailan



Abdullah Aidit



(Meninggal 1927) Istri pertama Abdullah. Ayahnya, KAH Abdul Rachman, adalah pendiri kampung Batu Itam di Belitung. Mailan meninggal tak lama setelah melahirkan Murad.



Masirah



(Meninggal 1968) Dia ikut membesarkan Nurul Islam, sebuah perkumpulan keagamaan di Belitung. Dia pernah pula menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara-Republik Indonesia Serikat mewakili Belitung. Pada Juni 1954 Abdullah mengundurkan diri dari lembaga perwakilan tersebut.



(Meninggal 1974)



IbrahimAidit (1926) Usianya tak sampai sehari.



Murad Aidit



(80 tahun) Temannya banyak: dari aktivis pelajar di Menteng 31, Jakarta, hingga sastrawan seperti Chairil Anwar, Sanusi Pane, dan H.B. Jasin. Hasil pemilu 1955, Murad menjadi anggota DPRD II Belitung. Dia juga terpilih menjadi Wakil Bupati Belitung, namun lebih suka melanjutkan studi ekonomi di Moskow. Kini tinggal di Cikumpa, Depok.



Ilham Aidit



(48 tahun) Empat tentara dengan pistol di tangan berniat ”menghabisi” Ilham dan Irfan, saudara kembarnya, namun urung setelah tentara menyadari keduanya hanya bocah berusia 8 tahun. Kini arsitek lulusan Universitas Parahyangan Bandung itu tinggal di Kota Kembang dan kini terlibat proyek rekonstruksi Aceh.



Sobron Aidit



(1934 - 2007) Kegemaran akan sastra bertambah setelah datang ke Jakarta pada 1948 dan mengenal Chairil Anwar. Dia menetap di Prancis hingga berpulang pada 10 Februari 2007. Buku-buku­ nya, baik fiksi, puisi, maupun memoar, telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Razia Agustus adalah buku terakhirnya, terbit November lalu.



Asahan Aidit



(69 tahun) Sewaktu muda, dia seorang pemain biola. Bersama Mokhtar Embut, Syafeii Embut, dan Theo Djin Hui, mereka membentuk kelompok kuartet. Ketika sedang di Moskow untuk memperdalam filologi, pecah peristiwa G30S. Setelah terdampar di Cina dan Vietnam, dia kini menetap di Belanda.



Irfan Aidit



(48 tahun) Dia sempat belajar di fakultas kedokteran. Saat ini menetap di Cimahi, Jawa Barat.



Foto: istimewa, Koleksi Ilham Aidit, Tempo/Ahmad Taufik, Tempo/arif Fadillah, Repro/tempo/Ramdani



Sumber: 1. Buku Anak Sulung D.N. Aidit, oleh Ibarruri Aidit 2. Buku Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit, oleh Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah 3. Buku Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, oleh Sobron Aidit 4. Wawancara Tempo



1 Oktober 2007 TEMPO | 61