Subkultur Kekuasaan (SKK), Subkultur Ekonomi (SKE), Dan Subkultur Sosial (SKS) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Relasi Subkultur Kekuasaan, Subkultur Ekonomi, dan Subkultur Sosial (Kajian Naratif relasi SKK, SKE, SKS) Oleh: Sebastianus G. Duminggu



1.1. Subkultur Kekuasaan, Subkultur Ekonomi, dan Subkultur Sosial Sebagai sebuah sains, ilmu pemerintahan dikontruksi dalam tiga nilai utama sebagai kerangka pikir dasar, yaitu, subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE), dan subkultur sosial (SKS). 1.1.1. Subkultur Kekuasaan Subkultur kekuasaan lahir dari keinginan masyrakat sosial (subkultur sosial) dalam upaya untuk menegakan, menjaga norma-norma sosial. Dalam upaya tersebut, masyarakat sebagai (subkultur Sosial) menetukan dan menetapkan siapa atau lembaga yang berfungsi mengontrol kekuasaan, maka lahirlah subkultur kekuasaan. Upaya menetralisir keadaan dengan penciptaan keadilan dan kedamaian oleh subkultur kekuasaan setidaknya berpijak pada prinsip berkuasa semudah mungkin, menggunakan kekuasaan se-efektif mungkin dan mempertanggungjawabkan



penggunaan



kekuasaan



seformal



mungkin.



Mengamati



mekanisme sistem politik dilevel pusat maupun politik lokal (Pilkada), sirkulasi kekuasaan setiap periode berlangsung tak begitu mudah selain mahal (high cost). Kekuasaan tampaknya tak efektif menyebarkan benih-benih kesejahteraan dimana terlalu banyak program yang tak menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Kekuasaan lebih efektif sebagai ancaman melalui kontrol media sosial daripada upaya melindungi warga negara yang kritis dimuka umum. Negara cenderung bergerak dari demokrasi ke otoritarianisme (Huntington, Gerungan, 2016). 1.1.2. Subkultur Ekonomi Usaha masyarakat sosial (subkultur sosial) untuk memenuhi kebutuhannya akan nilai di dalam suatu masyarakat, disebut subkultur ekonomi (SKE). Pengembangan nilai ekonomi sebagai sumber daya sebuah negara dikelola dengan prinsip “membeli seuntung mungkin, menjual semurah mungkin dan mengelola sehemat mungkin”. SKE berfungsi



membentuk, menambah dan mencipta nilai. Sayang sekali, sering timbul masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi (pemilikan), kesempatan, dan kemampuan mengolahnya berbedabeda dan tidak merata, sehingga pada suatu saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan). Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan persaudaraan dianggap tidak adil. 1.1.3. Subkultur Sosial Masyarakat memiliki naluri penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi permasalahan sosial, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati, ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya masyarakat menyesuaikan norma-norma sosial demi keadilan sosial bagi mereka sendiri



tersebut



melahirkan sebuah subkultur yang disebut subkultur sosial. Dalam realitanya, subkultur ini (SKS) merupakan bulan-bulanan dari kedua subkultur diatas (SKK & SKE). Subkultur sosial yang beranggotakan masyarakat biasa, sering diperlakukan tidak adil dari segi hukum, komoditas, dan kehidupan sosial itu sendiri. Selayaknya asing di negeri sendiri, masyarakat selaku subkultur sosial yang seharusnya mengontrol kedua subkultur (SKK & SKE) di atas, malah dikontrol oleh kedua subkultur tersebut. 1.2. Relasi Subkultur Kekuasaan, Subkultur Ekonomi, dan Subkultur Sosial di Indonesia Untuk mencegah kehancuran (chaos), ketiga subkultur (SKK, SKE, SKS) selayaknya berkembang selaras, seimbang, serasi dan sinergik. Dalam konteks tersebut, kita memerlukan pembangunan masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar pembangunan fisik, sebagai upaya memperkuat dan menyeimbangkan kedudukan yang paling lemah diantara ketiga subkultur dimaksud. Sebuah realita permasalahan akan ketimpangan ketiga subkultur adalah ketika holdingisasi yang dijalankan pemerintah dahulu kala lewat PP Nomor 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Kita cermati dengan



baik, tampaknya separuh lebih sumber daya negara bergerak liar ketangan swasta sebagai pemegang modal. Negara tampak merugi bukan untung dihadapan para pemegang modal, sementara sumber daya tersebut menjadi mahal ditangan rakyat, bahkan yang lebih menyedihkan ketika kendali keseluruhan sumber daya kehilangan jaminan bagi pasokan masa depan generasi selanjutnya. Pertanyaan pentingnya, dimanakah peran Negara (Pemerintah) dan kepada siapakah sumber daya itu mesti dialokasikan? Apabila peran pemerintah sebagai satu-satunya unsur paling konkrit diantara unsur-unsur negara dan semakin menyusut, ataupun dalam kasus diatas mengalami distorsi ketingkat yang paling dangkal (keterbatasan peran), maka realitas sumber daya ekonomi dengan mudah berpindah kesemua pihak pemegang modal termasuk pada sejumlah pengontrol modal di negara lain. Pada titik tertentu prinsip pemegang modal yang memberlakukan persaingan (competitivness) sebagai hukum besi pasar bebas (laises fair) pada akhirnya berpotensi menciptakan gejala yang paling dikhawatirkan yaitu seleksi alam (natural selection). Dalam situasi semacam itu tentu saja diperlukan peran pemerintah yang tak dapat dikecilkan maknanya. Melebarnya potensi kearah terciptanya ketidakadilan dan ketidak damaian, tentu saja membutuhkan intervensi dalam bentuk aturan (rules). Guna menegakkan aturan itu kita membutuhkan seperangkat kekuasaan yang dapat dipergunakan seperlunya hingga terciptanya suatu ketertiban umum (social order). Agar kekuasaan tak mudah menjadi bias maka alokasi kekuasaan yang bersifat sah itu haruslah dibatasi. Pembatasan kekuasaan dilakukan melalui undang-undang sehingga kekuasaan tak menjadi liar sebagaimana kecemasan Hobbes, Locke dan Mostesqueue. Masalah demikian dalam waktu relatif pendek dapat menciptakan perilaku deuternement de pouvoir, abuse of power, collution, corruption, nepotisme, penindasan dan pembohongan (public of lie). Potret diatas idealnya membutuhkan upaya untuk mencegah dan mengurangi kekuasaan yang liar dan incontitutional. Parahnya, subkultur ekonomi (pemegang modal) kini bersetubuh terangterangan dengan subkultur kekuasaan (pemerintah). Semakin bisu masyarakat dalam merespon gejala diatas semakin terperosok pula subkultur sosial dihadapan kedua subkultur yang terus memperkuat posisinya. Diperlukan upaya mencegah dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan lewat kontrol sosial (social control), baik manusia sebagai objek, sovereign maupun sebagai consumer. Kontrol sosial setidaknya dilakukan pertama, membangun kepedulian, kesadaran,



keberanian dan spirit heroism. Meredupnya peran civil society dan mahasiswa sebagai kelas menengah melalui jatah ekonomi diberbagai perusahaan pemerintah plat merah (BUMN) mengindikasikan lemahnya kepedulian, kesadaran, keberanian dan heroisme masyarakat terhadap ekses kolaborasi subkultur ekonomi dan kekuasaan. Kedua, perlunya memperkuat budaya konsumeristik, dimana setiap warga negara memahami apa yang semestinya yang menjadi hak, bagaimana memenuhinya, serta bagaimana menghentikan pelayanan pemerintah yang buruk, sebab pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh pelayanan pemerintahan yang baik. Ketiga, diperlukan collective action sebagai upaya mengimbangi kecendrungan membesarnya subkultur kekuasaan serta kemampuan mengembalikan tatanan hukum dan sosial pada tempatnya. Tanpa itu, dalam rentang tertentu dapat memicu terciptanya civil disobedience, civil distrust, anarkhi, terrorisme, perang saudara dan pada titik ekstremitas, revolusi. Kontrol sosial tersebut tetusaja harus dan bermula dari masyrakat sebagai subkultur sosial. Kontrol dari subkultur sosial sangat penting untuk mencegah penyimpangan yang dilakukan oleh subkultur kekuasaan dan subkultur ekonomi. Hal tersebut dilakukan agar stabilitas sebuah Negara terjaga. Untuk mencegah bayangan kelam yang terjadi di Indonesai karena ketimpangan pada ketiga subkultur, maka ketiga subkultur selayaknya berkembang selaras, seimbang, serasi dan sinergik.



Daftar rujukan: Roffiq, Muhammad, 2017. Holdingisasi BUMN. Makalah, IPDN, Jakarta.