Taqdim Takhir [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMU TAFSIR II TAQDIM DAN TA’KHIR Makalah ini Dibuat Sebagai Salah Satu Pemenuhan Tugas di Semester Empat Mata Kuliah Ilmu Tafsir II



Dosen Pengampu : Ustadz Abdul Manaf M.A.



DISUSUN OLEH : Ali Imran Edi PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AR-RAHMAN BOGOR 2019 1



PRAKATA



Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Swt atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya yang menurunkan Al-Quran kepada Baginda Nabi Muhammad ‫ وسلم عليه هللا صلى‬sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad ‫ وسلم عليه هللا صلى‬, keluarga serta para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah atas rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Terima kasih banyak kami ucapkan untuk dosen Mata Kuliah ini Ustadz Abdul Manaf, dengan bimbingan serta arahannya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Jazaakallah khairan katsiran. Terima kasih kami ucapkan untuk para petugas perpustakaan di berbagai tempat yang kami datangi dan banyak membantu menunjukkan buku-buku referensi yang kami perlukan untuk penyelesaian makalah ini. Jazakumullah khairan katsiran. Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami membuka diri dari pembaca untuk memberikan masukan, saran serta kritik yang sifatnya untuk membangun demi memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyusunan pada makalah berikutnya. Kami berharap, semoga dari makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan penyusun serta memberi wawasan tentang Ilmu Tafsir II. Aamiin Yaa Rabbal’aalamiin. Megamendung, 07 Februari 2019



Penyusun



2



DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI BAB I ...................................................................................................................................................................... 4



PENDAHULUAN................................................................................................................................................ 4 A.



Latar Belakang ............................................................................................................................................ 4



B.



Rumusan Masalah ....................................................................................................................................... 4



C.



Tujuan ......................................................................................................................................................... 4



BAB II..................................................................................................................................................................... 5 PEMBAHASAN ..................................................................................................................................................... 5 A.



Definisi Taqdim dan Ta’khir....................................................................................................................... 5



B.



Macam-macam taqdim dan ta’khir ............................................................................................................. 6



C.



Sebab-sebab taqdim dan ta’khir .................................................................................................................. 6



BAB III ................................................................................................................................................................. 10 PENUTUP ............................................................................................................................................................ 10 A.



Kesimpulan ............................................................................................................................................... 10



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................... 11



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susunan kata dalam tulisan atau ucapan sangat berperanan sangat penting, bukan saja dari sisi keindahannya, tetapi juga makna dan pesan-pesan yang dikandungnya. Karena itu, ketidaktepatan menempatkan kata dalam satu susunan atau ketidaktepatan dalam memahaminya dapat berdampak negatif, baik dlam buruk/indhanya susunan maupun dalam benar atau menyimpangnya ia dari pesan yang dimaksud. Pakar-pakar bahasa menjelaskan aneka sebab yang menjadikan lafadz/kata harus atau boleh didahulukan atas yang lain, demikian juga yang harus dan boleh disebut demikian. Kalau merujuk pada Al-Qur’an kita dapat menemukan sekian banyak sebab yang menjadikan sesuatu yang lazimnya diletakkan diawal kalimat, justru diletakkan diakhirnya. Pakar-pakar di bidang sastra arab menyebutkan sekian sebab yang mengharuskan susunan satu kata menggunakan susunan yang lazim/lumrah. Antara lain, apabila perubahan mengakibatkan rancuhnya makna atau hilangnya keindahan susunan kata. Sebaliknya, akan sangat baik didahulukan sesuatu, kendati lazimnya ia disebut kemudian. Apabila ada maksud-maksud tertentu yang akan disampaikan dalam celah susunan itu. Oleh sebab itu, agar dapat memahami lebih dalam sebab-sebab yang menjadikan suatu lafadz yang lazimnya diletakkan diawal kalimat justru diakhirkan. Dalam makalah ini akan dipaparkan agar menambah wawasan pembaca dlam hal ini tentang taqdim dan ta’khir. B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi taqdim dan ta’khir? 2. Sebutkan macam-macam taqdim dan ta’khir? 3. Apa sebab-sebab taqdim dna ta’khir? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi taqdim dan ta’khir. 2. Untuk mengetahui macam-macam taqdim dna ta’khir. 3. Untuk mengetahui sebab-sebab taqdim dan ta’khir.



4



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Taqdim dan Ta’khir Ilmu balaghah merupakan salah satu persyaratan penting bagi orang yang hendak menjadi mufassir, karena terkadang satu ayat baru bisa dimengerti dengan ilmu balaghah. Meskipun Bahasa Arab yang digunakan dapat dipahahami, namun terdapat pula bagian-bagian Al-Qur’an yang sulit dipahami.1 Salah satunya pembahasan mengenai taqdim dan ta’khir dalam Al-Qur’an. Dalam kajian susastra Arab, taqdim dan ta’khir termasuk kategori pembahasan ilmu Ma’ani.2 Kajian mengenai taqdim dan ta’khir mengandung banyak manfaat dan keindahan, berdaya tinggi, senantiasa memberi kilauan dan membawa pembaca pada kelembutan syair bahasa.3 Di dalam kamus Lisanul Arab, kata taqdim merupakan bentuk isim mashdar dari kata kerja “qaddama yuqaddimu taqdīman” yang berarti mendahulukan.4 Sedangkan kata ta’khir merupakan bentuk mashdar dari kata kerja “akhkhara yuakhkhiru ta’khīran” yang mempunyai arti mengakhirkan.5 Taqdim dan ta’khir dalam Al-Qur’an adalah penyebutan suatu lafadz dengan mendahulukan atau mengakhirkan atas lafadz yang lain. Dalam kajian balaghah, taqdim dan ta’khir terbagi menjadi dua: mendahulukan subjek (musnad ilaih) daripada predikat (musnad) dan sebaliknya.6 Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang mengandung aspek taqdim dan ta’khir yakni QS. alFath ayat 7:



ً ‫ع َز‬ }7{ ‫يزا َح َكي ًما‬ َ ‫س َم َاوا‬ ‫َو َ هّلِلَ ُجنُودُ ال ه‬ َ ‫ت َواْأل َ ْر‬ َ ُ‫ض َو َكانَ هللا‬ “Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Fath: 7) Dalam ayat tersebut terdapat dua bentuk taqdim dan ta’khir, yakni: 1. Taqdīm dan ta’khīr yang berkaitan dengan perihal ‘amil, 2. taqdīm dan ta’khīr yang tidak berkaitan dengan ‘amil.



Abdul Karim Hafid, “Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Qur’an (Pendekatan Qawaid al- Lughah al-‘Arabiyah)”, Al-Jami’ah , Vol.39, No. 1, Juni 2001, hlm. 128 2 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1971) hlm. 46. 3 Abdul Qahir al-Jurjani, Dala’ilul I’jaz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999) hlm. 83 4 Ibnu Manzūr, Lisan al-‘Arab (t.tp:tt) jilid 12. hlm. 465. 5 Ibnu Manzūr, Lisan al-‘Arab (t.tp:tt) jilid 4. hlm. 12 6 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1971). hlm.88-92 1



5



Adapun taqdim dan ta’khir bentuk pertama adalah didahulukannya musnad (Lillah) atas musnad ilaih (junud al- al-samawat wa al-arḍ) bertujuan untuk menjelaskan (menekankan) bahwa langit dan bumi hanyalah kuasa Allah. Sedangkan bentuk yang kedua yakni didahulukannya kata al-samawat dari kata al-arḍ adalah bertujuan untuk memuliakan (keutamaan), karena langit lebih utama daripada bumi. Dengan artian bahwa langit merupakan tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan pada sifat keesaan Allah. Di dalamnya terdapat matahari, bulan, bintang-bintang dan banyak sekali keajaiban-keajaiban lain yang tidak ditemukan dalam bumi. B. Macam-macam taqdim dan ta’khir Taqdim dan ta’khir terbagi menjadi dua macam: a) Mendahulukan kata dari ‘amilnya yang seharusnya ‘amil tersebut didahulukan (al-taqdim ‘ala niyyat al-ta’khir). Seperti mendahulukan khabar dari mubtada’,fa’il dari fi’il dan maf’ul dari fi’il. Macam yang pertama ini kemudian terbagi lagi menjadi dua yakni mendahulukan musnad ilaih (subyek) dari musnad (predikat) dan sebaliknya. b) Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain tanpa berhubungan dengan ‘amil (al-taqdim Lā ‘ala niyyah al-Ta’khir).Seperti mendahulukan kata karena hukum kausalitas, mendahulukan Dzat, mendahulukan atas dasar memuliakan, mendahulukan sesuai dengan urutan dan mendahulukan sesuai masa dan kejadiannya. C. Sebab-sebab taqdim dan ta’khir Sebab-sebab taqdim dan ta’khir antara lain: 1. Menghindari kesalahpahaman, seperti: “berkata seorang mukmin dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya” (QS. Ghafir; 28). Seandainyan kalimat ali Firfaun (‫ (ءال فرعون‬keluarga Firaun diletakkan sebelum Yaktumu Imanahu )‫ (يكتم إيمنه‬menyembunyikan Imannya, maka bisa jadi ada yang memahami ayat itu dalam arti yang bersangkutan menyembunyikan imannya dari keluarga Firaun saja, padahal yang dimaksud disini ialah menyembunyikan terhadap siapa pun. 2. Memberi makna pengkhususan, seperti firman Allah:



ُ ‫َإيهاكَ نَ ْعبُدُ َوإَيهاكَ نَ ْست َ َع‬ }5{ ‫ين‬ Jika ayat ini diterjemahkan tanpa memperhatikan penempatan objek, hanya sekadar mengetahui tentang makna kata demi kata, makam bisa saja ada yang menerjemahkan dengan “Engkau yang kami sembah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan”.7



7



Quraish Shihab, kaidah Tafsir, Tangerang, lentera Hati, 2015 hal.231



6



Tetapi yang menyadari sebab didahulukannya objek pada ayat itu sebagai memngandung mkana pengkhususan, maka dia akan mnerjemahkannya dengan: Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepada Mu kami memohon pertolongan,” yakni bukan kepada selain engkau ya Allah. 3. Menunjukkan betapa pentingnya yang didahulukan, seperti ucapan nabi Musa as. Yang direkam Al-Quran ketika menghadapi kaumnya yang meminta agar dibuatkan pula berhala untuk disembah sebagai Tuhan. Nabi Musa berucap:



َ َ ‫قَا َل أ‬ }140{ َ‫ضلَ ُك ْم َعلَى ْالعَالَ َمين‬ ‫غي َْر هللاَ أ َ ْب َغي ُك ْم إَالَ ًها َو ُه َو فَ ه‬ “Apakah selain Allah aku (pantas) menacikan kalian sesembahan, pada dia (Allah) telah mengistimewakan kamu atas seluruh alam (pada masa kalian)? (QS. Al-A’raf: 140) 4. Penekanan, seperti firman-Nya dlam QS. Al-Maidah:116, yang bermaksud menekankan tentang siapa pelaku



ُ َ ‫َءأَنتَ قُ ْلتَ َللنه‬ َ‫ُون هللا‬ َ ‫ى إَالَ َهي َْن َمن د‬ َ ‫اس ات ه َخذُونَي َوأ َم‬ ”apakah engkau yang menyampaikan kepada manusia bahwa: jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah?” 5. Mungundang rasa takut, seperti firman-Nya



ْ ‫س َع َر‬ }12{ ‫ت‬ ُ ‫َو َإذَا ْال َج َحي ُم‬ “Bila api neraka (dengan dahsyat) telah dinyalakan” (QS. At-Takwir:12) Atau sebaliknya untuk menundang kerinduan, seperti lanjutan ayat diatas:



ْ َ‫َوإَذَا ْال َجنهةُ أ ُ ْز َلف‬ }13{ ‫ت‬ ”Bila surga yang demikian indah telah didekatkan” 6. Keindahan nada susunanya, seperti:8



}32{ ُ‫عا فَا ْسلُ ُكوه‬ ً ‫س ْبعُونَ ذ ََرا‬ ُ ‫} ث ُ هم فَي َس ْل َسلَ ٍة ذَ ْر‬31{ ُ‫صلُّوه‬ َ ‫ع َها‬ َ ‫يم‬ َ ‫} ث ُ هم ْال َج َح‬30{ ُ‫ُخذُوهُ فَغُلُّوه‬ “ Kepada para penjaga neraka dikatakan: Ambillah ia dan ikatlah tangannya ke lehernya, kemudian ke neraka jahannam bakarlah ia. Lalu tingkatkan siksanya berupa ke dalam rantai



8



Quraish Shihab, kaidah Tafsir, Tangerang, lentera Hati, 2015 hal.232



7



yang panjangnya tujuh puluh hasta (sangat panjang)belitlah ia. (QS, Al- haqqah:30-32), atau seperti pada QS.Thaha;67. Hal ini yang tidak kurang pentingnya menyangkut susunan kata dalanm konteks pemahaman makna adalah perbedaan penekanan antara susunan yang dimulai dengan menggunakan kata kerja (mas akini, masa lalu maupun perintah yang disusul menyebut pelakunya baik dlam bentuk mabni lil ma’lum maupun bentuk mabni lil majhul dengan susunan yang dimulai dengan menyebut subjeknya terlebih dahulu kemudian objeknya. Yang pertama dinamai jumlah fi’liyyah dan yang kedua adalh jumlah ismiyyah. Kaidah menyatakn bahwa: jumlah ismiyyah mnegandung makna kemantapan dna kesinambungan, sedang jumlah fi’liyyah mengandung terjadinya sesuatu dari saat ke saat.dalam QS. At-taubah:40, yang antara lain menyatakan:



ٌ ‫ع َز‬ }40{ ‫يز َح َكي ٌم‬ ُّ ‫َو َجعَ َل َك َل َمةَ الهذَينَ َكفَ ُروا ال‬ َ ُ‫َي ْالعُ ْليَا َوهللا‬ َ ‫س ْفلَى َو َك َل َمةُ هللاَ ه‬ “Allah menajdikan kalimat seruan orang-orang kafir itu rendah, sedang kalimat Allah selalu mantap ketinggiannya.” Penggalan ayat wajala kaliamata alladzina kafaru asSufla adalah jumlah Fi’liyyah. Ini berartu saat Allah menjadikan kalimat seruan orang kafir pada peringkat yang rendah. Ini juga mengandung arti bahwa bisa jadi ada saat dimana Allah tidka menjadikannya demikian. Tetapi, ketika menjelasksan tentang kalimat Allah digunakannya jumalh Ismiyyah, dan ini berarti bahwa ketinggian kalimat selalu mantap dan smepurna dan bahw aia meninggi oleh faktor internal yang ada padnaya bukan karena ia dijadikan demikian (faktor eksternal). Perhatikan juga ucapan salam malaikat ketika datang menemuai Nabi Ibrahim as. Dan bagaiman jawaban Nabi mulia itu: “(ingtlah) ketika (mereka para malaikat menemuai Nabi Ibrahim. Lalu mengucapkan: Salam(an), Ibarhim menjawab: Salam(un)! (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Salaman pada mulanya adalah nusallimu alaika salaman sehingga susunan ini berbentuk jumlah fi’liyyah, sedanng jawaban Nabi Ibrahim as. adalah jumlah Ismiyyah karena ia pada mulanya mengucapkan: salam alaikum. Dengan demikan pada hakikatnya beliau menjawab salam sambil berdoa agar keselamatan yang besar dan agung selalu mantap meyertai mereka. Demikian nabi Ibrahim as. menjawab salam dengan yang lebih baik daripada yang diucapkan tamu-tamu beliau.9 Kita dapat menemukan dua onformasi yang sepintas terlihat pesannyaa sama, tetapi berbeda susunan kalimatnya karena ada sesuatu yang ingin ditekankan disini. Bandingkanlah dengan firman Allah yang berkaitan dengan larangan membunuh anak-anak. QS. AlAn’am:151 yang menyatakan: Nahnu narquzukum waiyyahum, sedang pada QS. Al-Isra:31 9



Quraish Shihab, kaidah Tafsir, Tangerang, lentera Hati, 2015 hal.233



8



dinyatakanNya Nahnu narzuqukum waiyyakum. Ini karena surah Al-An’an berbicara tentang pembunuhan anak akibat kekhawatiran ayah jangan smapai ia jatuh miskin bila harus memelihara anak lagi, sedang pada surah Al-Isra’ yang dikhawatirkan ole sang ayah bukan dirinya, tetapi terhadap anak yang dilahirkannya bila kelak mereka menjadi miskin.10 ‘



10



Quraish Shihab, kaidah Tafsir, Tangerang, lentera Hati, 2015 hal.234



9



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Di dalam kamus Lisanul Arab, kata taqdim merupakan bentuk isim mashdar dari kata kerja “qaddama yuqaddimu taqdīman” yang berarti mendahulukan. Sedangkan kata ta’khir merupakan bentuk mashdar dari kata kerja “akhkhara yuakhkhiru ta’khīran” yang mempunyai arti mengakhirkan.



10



DAFTAR PUSTAKA Hafid Abdul Karim, “Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Qur’an (Pendekatan Qawaid al- Lughah al-‘Arabiyah)”, Al-Jami’ah , Vol.39, No. 1, Juni 200 Al-Hasyimi Ahmad, Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1971) Al-Jurjani Abdul Qahir, Dala’ilul I’jaz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999) Manzur,Ibnu, Lisan al-‘Arab (t.tp:tt) jilid 12. Al-Hasyimi Ahmad, Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1971). Shihab Quraish, kaidah Tafsir, Tangerang, lentera Hati, 2015



11